KEKERASAN NEGARA ORDE BARU TERHADAP RAKYAT DALAM TEKS SASTRA INDONESIA: STUDI NEW HISTORICISM The Violence State of Orde Baru to The People in Indonesia Literary Texts: Study of New Historicism Akhmad Taufiq Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember, Jalan Kalimantan 37 Jember Pos-el:
[email protected]
Abstrak: Tulisan ini mendeskripsikan fenomena kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat dalam teks sastra Indonesia. Deskripsi kekerasan negara tersebut menjadi penting dan relevan dikemukakan karena bagaimanapun kekerasan itu menyisakan trauma sejarah tersendiri bagi rakyat Indonesia. Dalam konteks demikian, teks sastra Indonesia yang merefleksikan kekerasan negara Orde Baru itu dapat diposisikan dan dibaca sebagai bentuk trauma sejarah yang tidak ingin diulang. Oleh karena itu, perspektif new historicism menjadi tepat digunakan untuk mendedah fenomena teks sastra yang demikian; yakni, dengan cara menyingkap cara beroperasinya kekerasan negara itu melalui struktur represif, struktur ideologi, dan praktik diskursif kekuasaan yang dijalankan. Dengan demikian, diharapkan konteks sejarah masa lalu menemukan daya relevansinya dengan konteks sejarah kekinian. Kata-kata kunci: kekerasan negara, new historicism, struktur represif, struktur ideologi, dan praktik diskursif Abstract: This writing describes a fenomenon of the violence state of Orde Baru to the people in Indonesia literary text. The description of the violence in state is important and relevant to show; because that violence leaves a special historical traumatic for the people of Indonesia. In contexts, those Indonesia literary texts reflecting the violence in state of Orde Baru were positioned and read as a historical traumatic form that is not want to repeat. So, the new historicism perspective is suitable to use for opening up the literary texts fenomenon; by opening the way of operational of the violence in state through the repressive structure, ideological structure, and power discursive practice. Thus, it is hoped that the relation of past history will be relevant with today contexts.
Key words: the violence state, new historicism, repressive structure, ideological structure, and discursive practice PENGANTAR
Fenomena teks masih menjadi perbincangan menarik, setidaknya hal itu menandakan bahwa teks merupakan domain yang tidak dapat dinafikan eksistensinya. Oleh karena peradaban manusia, tidak kurang merupakan rekaman jejak-jejak kemanusiaan melalui teks, maka teks merupakan konstruksi yang mengabadikan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Penghancuran atas teks dapat dipastikan, sama halnya dengan penghancuran sejarah peradaban manusia. Sebaliknya, penghormatan dan pengabadian teks merupakan penghormatan dan pengabadian sejarah peradaban manusia.
Teks dengan demikian menjadi puncak-puncak penanda peradaban
kemanusiaan yang setiap fasenya dapat ditelusuri jejak-jejak perjalanannya. Manusia dalam konteks itu tidak dapat dipisahkan dari jejak-jejak perjalanan peradabannya. Bermula dari teks, begitu pula teori new historicsm juga bertolak dari teks.1 Penghormatan teks bagi teori new historicism juga bagian dari penghormatan peradaban manusia. Oleh karenanya bagi teori new historicsm penghormatan terhadap teks itu tidaklah logis kalau diberlakukan secara diskriminatif. Idealnya, teks dengan berbagai sumber dan variasinya meniscayakan sebuah penghormatan yang sama. Dalam konteks itu teori new historicsm memberikan pandangan khusus, terkait misalnya dengan beragamnya teks, yakni tidak diperlukannya pembedaan, baik itu bersifat horisontal maupun bersifat hirarkis-vertikal (Barry, 2010:201). Berdasarkan pandangan tersebut, Greenblatt dan Gallagher (2000:168-169) mengemukakan beberapa permasalahan yang muncul dalam konteks kajian new historicism dan kajian budaya secara lebih luas. Pertama, perilaku atau budaya yang dikukuhkan dalam teks. Kedua, mengapa pembaca tertentu menganggap karya tersebut bermakna. Ketiga, perbedaan nilai kritikus dan nilai dalam teks. Keempat, konstruksi pemahaman sosial yang melatarbelakangi teks. Kelima, kebebasan berpikir yang digambarkan dalam teks secara eksplisit dan implisit. Keenam, pandangan atau ideologi yang didukung atau ditentang oleh teks.
Secara khusus kajian new historicism mencoba menelaah kembali konstruksi kekuasaan berikut jejaring yang dibentuknya melalui pembacaan secara memadai atas teks yang ada. Teks itu diurai sedemikian rupa dalam rangka mengungkapkan praktik diskursif yang berkembang dan beroperasi di dalamnya. Oleh karenanya, dalam konteks kajian new historicism, sama artinya mencoba untuk membuka selubung praksis kekuasaan yang berjalan melalui teks. Dengan demikian, teks menduduki posisi penting untuk mendedah basis kekuasaan yang ada. Hal tersebut cukup beralasan karena tidak satu pun yang dapat menghubungkan secara langsung dalam konteks kekinian, kecuali basis kekuasaan yang dikonstruksi oleh sejarah itu sendiri; yakni, dimensi ideologi, politik, dan sosio-kultural. Bertolak dari paparan tersebut menganalisis karya sastra Indonesia dalam hubungannya dengan kekuasaan menjadi menarik untuk dilakukan. Teks sastra Indonesia dengan demikian dibaca dan dianalisis dalam relasinya dengan kekuasaan yang beroperasi. Dalam kajian ini, relasi teks dengan bangunan kekuasaan itu dikontekstualisasikan dengan kekuasaan Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru dalam hal ini dipilih, setidaknya ada dua alasan: pertama, banyak teks sastra yang merefleksikan fenomena kekuasaan Orde Baru yang ‘diusung’ ke dalam bentuk teks, apakah itu sebagai kritik ataukah sebagai praktik diskursif; kedua, jarak waktu kekuasaan yang beroperasi masih dimungkinkan untuk dijangkau, baik itu yang terekam dalam memori teks, maupun dalam memori kolektif sosial rakyat Indonesia. Berangkat dari paparan demikian, fokus kajian ini
ditekan pada tiga hal:
pertama, struktur represif kekuasaan Orde Baru dalam teks sastra Indonesia; kedua, struktur ideologis kekuasaan Orde Baru dalam teks sastra Indonesia; dan ketiga, praktik diskursif kekuasaan Orde Baru dalam teks sastra Indonesia.
TEORI Asumsi dasar new historicism, seperti yang dikemukakan Greenblatt (2005:5), yakni adanya hubungan timbal-balik antara manusia dengan peradabannya. Teks dalam konteks tersebut merefleksikan pola hubungan timbal-balik antara manusia dan peradaban yang membentuknya. Teks sastra dalam konteks demikian di satu sisi dan
teks sejarah sebagai catatan jejak-rekam perjalanan peradaban manusia merupakan teks yang sejajar; diantara keduanya tidak berlaku proses diskriminasi, baik bersifat horisontal maupun vertikal. Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa tidak dapat membaca teks sejarah itu sebagai deret perjalanan manusia, yang semata-mata melalui catatan-catatan dari setiap tanda yang bersifat linier tadi. Ada jarak antara manusia dalam konteks kikinian dengan sejarah itu, kecuali hal esensial dibalik tanda yang melatarbelakanginya. Hal yang esensial itu yakni konstruksi ideologi, politik, dan latar belakang sosial budaya. Teks dan konteks dalam paparan yang demikian ini perlu dikritisi ulang.2 Kalau misalnya term teks dan konteks perlu diterima, maka ‘konteks’ dalam hubungannya dengan ‘teks’ perlu diletakkan sebagai teks; bukan konteks yang berada diluar teks. Baru premis yang menyatakan bahwa teori new historicsm berhubungan dengan teks dan konteks dapat diterima sebagai konstruksi yang sejajar, misalnya terkait dengan teks sejarah dan teks sastra. Menurut Brannigan (1999: 417), menyatakan bahwa teori new historicsm merupakan pendekatan yang menghubungkan antara teks dan konteks pada muatan penting atas dimensi politik secara lebih luas, hubungannya dengan interpretasi sastra. Dalam pandangan teori new historicsm, semua jenis teks merupakan ‘bahasa pengantar’ politik; oleh karena itu, teks memediasi formasi sosial, politik, dan budaya. Hal itulah yang kemudian ditemukan perbedaan mendasar antara Tradisional historicism (sejarah tradisional) dan new historicsm (sejarah baru). Traditional historicism memahami dan memosikan teks sebagai sebuah konstruksi yang merekam terhadap urutan peristiwa berdasarkan urutan ruang dan waktu. Peristiwa dalam konteks itu dipandang sebagai suatu kejadian yang bersifat linier. Beberapa penanda dari peristiwa dibaca sebagai jejak-jejak historis yang dibaca dan dipahami secara linier tadi. Oleh karena itu pemahamannya terhadap realitas teks sejarah juga bersifat linier. Peristiwa merupakan narasi historis yang berjalan secara progresif sebagai catatan atas fase-fase dalam hubungannya dengan ruang dan waktu tadi. Lebih lanjut, new historicsm tidaklah semata-mata membaca peristiwa tadi sebagai urutan ruang dan waktu secara linier. Peristiwa dibaca dan dipahami sebagai
kejadian yang kompleks, sebagai peristiwa yang tidak terjadi begitu saja. Dibalik peristiwa atau kejadian historis itu harus dicurigai banyak hal yang melatarbelakangi. Peristiwa atau kejadian historis itu tidak cukup logis kalau dikemukakan sebagai sesuatu yang kebetulan. Tidak ada logika yang dapat diterima atas kejadian historis yang dinyatakan sebagai peristiwa yang kebetulan. Peristiwa atau kejadian historis itu dicurigai terdapat persoalan-persoalan mendasar yang melatarinya. Persoalan mendasar yang melatari peristiwa atau kejadian historis itu, yakni persolan ideologi, politik, dan sosio-kultural. Oleh karenanya, menurut teori new historicsm, tugas akademis yang utama dalam melihat fenomena atas peristiwa historis tadi ialah membongkar dimensi ideologi, politik, dan sosio-kultural tadi. Pada saat yang sama, mencoba semaksimal mungkin untuk membuka daya operasi yang bergerak di dalamnya. Oleh karena itu, kerja utama new historicsm yakni membaca, membongkar, dan menelaah kembali peristiwa sejarah tadi dalam konteks ideologi, politik, dan sosio-kultural. Bertolak dari paparan di atas, maka new historicsm lebih bersifat sebagai gerakan yang menyejarah (historicist movement) daripada gerakan sejarah (historical movement) (Barry, 2010:204). Dalam hubungannya dengan gerakan yang menyejarah tadi, new historicsm memandang tidak ada yang diluar teks, semua ada di dalam teks yang perlu mendapatkan analisis yang memadai. Oleh karenanya, membuka jaringan kebahasaan yang ada di dalam teks merupakan sesuatu yang urgen dilakukan. Tanpa mencoba untuk membuka jaringan kebahasaan yang ada di dalam teks, maka peristiwa sejarah dalam konteks ideologi, politik, dan sosio-kultural akan tetap saja berada di tempatnya. Menurut Barry (2010:204), ada tiga lapis yang dapat dilakukan dalam upaya menjelaskan fenomena sejarah melalui teks tadi. Pertama, melalui ideologi, yakni satu fase akademis untuk membuka selubung ideologi yang berada di balik teks. Teks tidaklah hadir begitu saja. Sebagai konstruksi yeng merekam peristiwa sejarah melalui jaringan bahasa yang dimilikinya, teks menampung dan merefleksikan ideologi yang melatarbelakangi. Bahkan, menurut Gallagher (1999:434), dimensi ideologis inilah hal yang paling dominan dalam kajian new historicism. Kedua, melalui praktik diskursif
yang terjadi pada masanya sendiri; yakni, suatu upaya untuk menjelaskan praktikpraktik diskursivitas yang pernah terjadi. Melalui teks, praktik diskursif itu dapat dibaca, dibongkar, dan dijelaskan secara memadai. Ketiga, melalui praktik diskursif yang terjadi saat ini, yakni ketika teks itu sudah dalam pergulatan dan pertarungan wacana dalam konteks kekinian, karena hanya melalui praktik diskursif saat ini, hal-hal substansial dan fundamental dalam dimensi kehidupan manusia itu, baru dapat dinyatakan berhubungan dengan peristiwa historis masa lalu. Hal-hal substansial dan fundamental yang hendak dibaca dan ditelaah itu, yakni menyangkut juga fenomena kehidupan yang selama ini dipinggirkan oleh struktur kekuasaan. Negara dalam konteks demikian menjadi salah satu pihak yang sering dituduh dalam melakukan tindakan kekerasan itu. Oleh karena itu salah satu bentuk perhatian utama studi new historicsm, yakni membongkar motif kekerasan yang terjadi atas kelompok-kelompok/pihak-pihak yang dipinggirkan tadi. Kelompok-kelompok itulah yang mestinya dipihaki. Dalam konteks itu, logis seperti yang dikemukakan Barry (2010:205) bahwa studi new historicsm bersifat antikemapanan. Studi ini senantiasa menggelisahkan tindakan ketidakadilan dalam berbagai bentuknya terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan.
METODE Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini yakni dengan metode deskriptif kualitatif yang berusaha mendeskripsikan fenomena data berupa kata, kalimat, atau wacana yang menggambarkan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat dalam perspektif new historicism. Terdapat tiga hal yang dideskripsikan untuk menggambarkan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat, yaitu struktur represif, struktur ideologis, dan praktik diskursif kekuasaan. Secara khusus sebagai sumber data dalam kajian ini yakni teks sastra Indonesia yang mencakup tiga karya,
yaitu Panembahan Reso drama karya W.S. Rendra,
Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah drama karya Ratna Sarumpaet dan novel Laskar Pelangi novel karya Andrea Hirata. Teks sastra tersebut dipandang memiliki relevansi yang kuat dalam merekam dan memotret praktik kekuasaan Orde Baru.
Terdapat rentang waktu sekitar sepuluh tahunan sejak terbitnya drama Panembahan Reso karya W.S. Rendra yang terbit dalam cetakan pertama tahun 1988, disusul sekitar sembilan sampai sepuluh tahun kemudian drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna sarumpaet, yang terbit dalam cetakan pertamanya tahun 1997, dan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang terbit setelah bergulirnya era reformasi, yang terbit pada cetakan pertamanya tahun 2005. Khusus untuk novel Laskar Pelangi yang dianalisis dalam kajian ini yakni terbitan 2008. Oleh karena itu, ketiga karya sastra tersebut relevan untuk dikaji dengan new historicism.3
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini, dijelaskan beberapa hal penting yang berkenaan langsung dengan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat yang terdapat dalam teks sastra Indonesia. Beberapa hal penting tersebut, terkait langsung dengan manifestasi kekerasan yang dioperasikan oleh Orde Baru: (1) menyangkut struktur represif kekuasaan Orde Baru; (2) struktur ideologi yang digunakan oleh Orde Baru; (3) praktik diskursif kekuasaan Orde Baru. Struktur Represif Kekuasaan Orde Baru Struktur represif dalam konteks ini, yakni seluruh bentuk suprastruktur negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan paksa atas warga negara. Oleh karenanya, negara dalam konteks demikian kerap terjerumus untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama negara terhadap warga negaranya sendiri. Kekuatan suprastruktur negara itu tidak digunakan untuk memberikan kemanfaatan secara menyeluruh terhadap warga negaranya; sebaliknya, kekuatan suprastruktur itu digunakan untuk memberikan tindakan represif terhadap warga negara. Foucault (1997:162) mengemukakan bahwa dalam rangka untuk melakukan tindakan represif itu, negara membangun tekonologi kuasa dalam rangka melakukan pendisiplinan tubuh warga negaranya. Penghukuman dalam konteks itu dipandang sebagai strategi yang efektif untuk melakukan penaklukan atas tubuh-tubuh warga negara itu. Bahkan, dalam konteks represivitas negara terhadap warga negara, negara
tidak jarang berada dalam bangunan panoptikon, yakni melakukan seluruh daya untuk melakukan kontrol terhadap warga negaranya.4 Di bawah ini teks sastra yang dapat menggambarkan terjadinya tindakan represif atas nama kekuasaan Orde Baru. Lelaki II
Ibu
: Hari ini kita menikmati buah dari kesabaran kita selama ini. Kita rasakan pahit getirnya tertindas oleh ketabahan dan keikhlasan yang kita berikan sendiri. Mereka todongkan senapan ke hidung kita, kita surut. Mereka gilas rumah-rumah kita dengan traktor, kita bungkam. Mereka menyulut api memusnahkan kampung-kampung, kita terdiam. Hari ini kita akan membacakan dosa-dosa kita, lalu merayakannya dengan air mata kita sebagai saksinya. Kita dosa membiarkan orang-orang mengira mereka bisa berbuat sesukanya. Kita dosa tidak mempertahankan hak kita atas tanah yang diberikan leluhur kita pada kita. Kita dosa membiarkan tanah ini, yang diperoleh dari tangan penjajah dengan keringat dan darah, dikangkangi penjajah-penjajah baru... : Dia telah pergi, tergusur ke tempat di mana suaranya akan terendam... (Sarumpaet, 1997:50-51)
Dalam teks drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet digambarkan betapa represifnya kekuasaan Orde Baru. Penggusuran yang terjadi dalam teks merupakan representasi dari fenomena penggusuran dalam realitas yang sebenarnya. Represivitas seperti itu jelas menyisakan kepedihan yang teramat dalam bagi rakyat. Terdapat duka kemanusiaan yang dirasakan oleh rakyat sebagai akibat dari tindakan kekerasan represif seperti itu. Negara Orde Baru dalam konteks demikian menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi rakyatnya melalui instrumen suprastruktur yang dimilikinya. Pelaksana penggusuran yang terjadi itu jelas merupakan tindakan kekerasan negara yang dilakukan melalui instrumen suprastrukturnya. Instrumen negara itulah bertindak atas nama negara; yang seolah-olah rakyat dalam posisinya tidak dikategorikan sebagai bagian negara. Rakyat merupakan bagian lain atau bahkan di luar
negara. Karena rakyat menjadi bagian lain dan di luar negara, maka kekuasaan negara—dalam hal ini negara Orde Baru—merasa sah untuk memperlakukannya secara semena-mena. Kesemena-menaan itulah merupakan manifestasi dari kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Kedaulatan negara dibangun bukan atas nama rakyat; melainkan dibangun atas dasar pendekatan kekuasaan semata-mata. Dalam kondisi seperti itu, maka fenomena seperti yang terjadi dalam kutipan data di atas menjadi tidak terhindarkan. Artinya, dapat dipastikan negara akan terjebak atau tergelincir menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Tindakan represif merupakan wujud dari kesewenang-wenangan negara Orde Baru. Lebih lugas dinyatakan dalam novel Laskar Pelangi, yang mendeskripsikan tentang bentuk kesewenang-wenangan aparatur negara yang merepresi rakyatnya. Di bawah ini kutipan data yang menunjukkan hal demikian itu.
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboikoboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan ”DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni. (Hirata, 2008:43) Hal yang serpa digambarkan pula dalam teks novel Laskar pelangi. Dalam teks Laskar Pelangi wujud kesewenang-wenangan itu lebih tampak sebagai diskrimanasi. Terdapat diskriminasi yang tajam yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru, yang membelah masyarakat menjadi dua kelompok ekstrim secara ekonomi. Satu sisi, kelompok yang mewakili orang kaya, yang digambarkan dengan membangun kota satelit dan gedongan. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang miskin dan serba kekurangan. Kekuasaan Orde Baru melihat seperti ini tidak berusaha untuk membangun kebijakan ekonomi untuk mendorong terjadinya pemerataan. Sebaliknya, negahadap Orde Baru membuat garis demarkasi yang sangat tegas dan disertai ancaman. Teks yang
menyebutkan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan bentuk penegasan dari kekuasaan dan sekaligus ancaman. Disebut demikian, karena terdapat konskuensi hukum yang akan diterima rakyat kecil (miskin) yang hidup diperkampungan bila berani melewati batas teritorial. Instrumen represif negaralah yang akan bertindak; yakni, polisi khusus perusahaan timah di Belitong yang sekaligus menggambarkan, betapa efektifnya kekuasaan di dalam membangun jejaring kuasanya. Kekuasaan tidak jarang menjadi kekuatan panoptik yang senantiasa mengawasi gerak-gerik rakyat. Rakyat tidak lepas dari pengawasan negara. Negara dalam konteks itu dapat dikategorikan sebagai kekuasaan negara panoptik, yakni negara yang selalu berupaya untuk mengawasi dan mengontrol rakyat melalui instrument yang dimilikinya. Oleh karena itu, negara Orde Baru dalam konteks tersebut disebut negara panoptik atau negara panoptikon. Negara dalam konteks demikian menjadi kekuatan dan pihak yang harus menjadi serba tahu terhadap yang dilakukan oleh warga negaranya (Foucault, 1997:162-165). Oleh sebab itu, negara kerap menjadi kekuatan yang senantiasa melakukan tindakan kekerasan; pengawasan dan kontrol negara terhadap rakyat yang dilakukan dengan cara menerapkan pembatasan-pembatasan itu juga merupakan manifestasi kekerasan.
Struktur Ideologi Kekuasaan Orde Baru Struktur ideologi dibangun untuk semakin mengukuhkan kekuatan berbasis negara. Negara dipersepsikan sebagai kekuatan yang semakin digdaya dalam melakukan kontrol terhadap warganya, tanpa terkecuali kontrolnya terhadap konstruksi ideologi. Althusser memberikan istilah itu untuk memberikan impresi yang lebih halus yang ia sebut secara khusus sebagai perangkat ideologi negara (state ideological apparatuses); termasuk dalam kolompok ini ialah partai politik, sekolah, lembaga sosial-kemasyarakatan/keagamaan/peribadatan, media, keluarga,dan perkumpulan seni (Barry, 2010:192). Kelompok-kelompok itulah yang menjadi instrument strategis bagi keberlangsungan negara untuk semakin meneguhkan jaring-jaring kuasanya. Di bawah ini kutipan data yang menunjukkan manifestasi struktur ideologi yang beroperasi dalam ranah kekuasaan Orde Baru.
Raja Tua
Aryo Lembu
: Terimakasih Aryo Lembu. Kita telah bersama-sama membangun negeri ini. Kita dulu bersama-sama mengusir penjajahan bangsa asing dari tanah air kita.—Di hari ini saya tegaskan: janganlah kita mengurangi kewaspadaan. Bahaya penyusupan asing masih selalu mengancam. Karena itu para senapati harus mampu mendampingi aku dalam menjaga keutuhan negara. Ingatlah pedoman pembangunan negara yang telah kita tetapkan: Tertib, rapi, aman, dan sejahtera. : Tertib, rapi, aman, dan sejahtera! (Rendra, 1988:20)
Rendra melalui teks drama Panembahan Reso mencoba memberikan gambaran bahwa sebuah negara dibangun atas dasar ideologi tertentu. Ideologi itulah yang selanjutnya menjadi kekuatan
negara dalam rangka melakukan kontrol atau
pengendalian terhadap jalannya negera secara efektif. Dalam konteks ideologi itu pula dibangun instrumen untuk mengefektifkan ideologi itu. Punggawa-punggawa kerajaan (negara) merupakan instrumen ideologis atau dalam bahasa Althusser disebut state ideological apparatuses. Aparatur negara itu selanjutnya yang akan mengoperasionalkan ideologi itu pada tataran praksis. Ideologi ”pembangunan atau pembangunanisme” yang diungkapkan secara lugas oleh Rendra dengan wacana sosialnya, tertib, rapi, aman, dan sejahtera merupakan jargon ideologi yang sebenarnya diusung oleh kekuasaan Orde Baru. Langenberg (1996:225) mengemukakan dasar dari konstruksi negara Orde Baru adalah ketertiban, stabilitas, dan keamanan nasional. Orde Baru dalam konteks itu hendak mengekfektifkan jalannya negara (baca: pembangunan negara) dengan ideologi itu pula. Wacana sosial yang dikembangkan dan sekaligus menjadi propaganda politik Orde Baru, tidak dapat disangkal merupakan jargon dan wacana sosial yang secara terus-menerus digulirkan oleh kekuasaan Orde Baru tersebut; setidak-tidaknya sampai puncak kekuasaannya berakhir. Kata tertib, aman, rapi, dan sejahtera yang digulirkan merupakan kata yang hanya dapat ditafsirkan secara politik oleh kekuasaan negara, di luar itu dinyatakan
tidak memiliki hak. Oleh karena itu, struktur ideologi itu pada prosesnya dijalankan secara represif. Terdapat paralelisme antara struktur ideologi yang digulirkan dengan praktik kekuasaan yang represif dan otoriter. Dampaknya ialah konteks struktur ideologi itu berhubungan dengan konteks kekerasan dengan berbagai bentuknya pada rakyat. Di bawah dapat disimak pula komentar Muhammad (dalam Sarumpaet, 1997:xxi) dalam pengantar yang diberikan pada drama yang Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Dalam ”Ramboisme”, yang diagungkan adalah citra kewiraan, kelelakilakian di medan laga, citra yang akhirnya menganggap ketegaran (rigiditas sebagai suatu yang baik... ”Ideologi” seperti itulah yang sebenarnya membunuh Marsinah. Siapaun orang atau kelompok yang membantu Marsinah pasti mengira, kematian seorang buruh perempuan dari dusun itu tak akan heboh: sangka mereka mayat yang terpuruk di tepi jalan desa Jegong itu akan hanya jadi berita satu kolom di koran lokal, meskipun cukup efektif buat menggertak para pengganggu ”ketertiban” di sekitarnya. Bentuk kekerasan yang nyata-nyata terjadi yaitu kekerasan yang menimpa Marsinah. Seorang perempuan buruh yang mengalami tindakan kekerasan karena dianggap mengganggu ketertiban. Oleh karenanya sangat logis bila Gunawan Muhammad menyebutnya sebagai sebuah praktik kekerasan yang dilatarbelakangi ideologi ”ramboisme”. Penyebutan ramboisme itu sebenarnya untuk menggambarkan adanya konstruksi ideologis yang
terderevasi dari ideologi pembangunan dengan
praktik imajiner dalam pengedepanan pendekatan militer. Marsinah adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang atau kelompok orang yang dianggap mengganggu ketertiban. Sebagai orang atau kelompok orang yang mengganggu ketertiban negara, maka negara dianggap logis untuk menertibkannya. Sebuah langkah penertiban yang diambil negara, bukan dengan pendekatan sipil; sebaliknya dengan pendekatan militer. Implikasinya ialah rakyat di satu sisi semakin dilemahkan ketika berhadapan dengan struktur negara yang semakin digdaya.
Muhaimin (1990:70) mengemukakan dalam konteks seperti itu, ketaatan anggota masyarakat cenderung dan mungkin didasarkan pada rasa takut dan tekanan sematamata. Lebih lanjut, dampak ideologis yang beroperasi itu banyak berakibat pada disparitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang sangat tajam. Selanjutnya dapat dibaca data di bawah ini. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpim oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menampati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, kepala dinas, dan pejabatpejabat publik yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapt uang dari menggertaki cukong-cukong itu. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di Pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN. (Hirata, 2008:55)
Hal yang tidak kalah parah yaitu dampak dari ideologi pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde Baru dilihat dari segi ekonomi. Ideologi pembangunan ternyata berkontribusi balik dari term-term pembangunan itu sendiri. Terdapat diskriminasi dan otomatis kesenjangan ekonomi yang terstruktur yang dilakukan oleh negara Orde Baru. Dalam teks novel Laskar Pelangi, menunjukkan bahwa masyarakat Belitong sebagai akibat ideologi pembangunan Orde Baru mengalami diskriminasi yang tajam. Masyarakat Belitong disengaja untuk tetap miskin; meskipun, di sisi lain dalam kehidupan pegawai perusahaan timah menunjukkan kemewahan yang luar biasa. Fenomena demikian itu menunjukkan bahwa ideologi yang dijalankan tidak dengan kesungguhan untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan, hanyalah menjadi wacana permukaan semata. Bahkan, sebaliknya berkontraproduktif dengan jargon ideologi itu sendiri. Praktik ideologi yang demikian itu merupakan kesalahan fundamental yang berlarut-larut menjadi gurita kekuasaan yang sulit diurai dan
dibenahi. Tokoh imajiner yang digambarkan oleh Rendra dalam drama Panembahan Reso yang ditulisnya, tokoh Marsinah, dan masyarakat Belitong yang digambarkan dalam novel Laskar Pelangi menjadi gambaran komperehensif dari proses opreasi ideologi yang dijalankan, dengan semata-mata untuk kelanggengan kekuasaan. Praktik ideologi seperti itu jelas memberikan dampak terburuk bagi manusia-manusia Indonesia dimanapun keberadaannya.5
Praktik Diskursif Kekuasaan Orde Baru Praktik kekerasan dengan demikian menurut new historicism, dalam seluruh proses jejaring kuasa itu, selanjutnya diyakini hanya dapat dijelaskan melalui praktik diskursif. Foucault misalnya menyelidiki bagaimana makna, melalui beroperasinya kekuasaaan dalam praktik sosial, untuk sementara waktu distabilkan atau diregulasi dalam sebuah wacana. Istilah wacana bagi Foucault ‘menyatukan’ bahasa dan praktik, yakni mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktik sosial. Dengan begitu, dunia dan praktik sosial itu dibentuk secara diskursif. Wacana itu mengonstruksi, mendefinisikan, dan memroduksi objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar sekaligus menyingkirkan bentuk nalar yang kurang relevan (Barker, 2005:105). Seperti yang dikemukakan Foucault bahwa kebenaran itu harus dipahami sebagai sistem prosedur yang teratur bagi produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi pernyataan-pernyataan yang dihubungkan dengan relasi sirkular pada sistemsistem kuasa yang menghasilkan dan memertahankannya dan sekaligus dihubungkan dengan efek-efek kuasa yang dipengaruhinya. Selanjutnya, itulah yang yang disebut rezim kebenaran (Foucault, 1980:133).
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika
pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia konskuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilise yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain. (Hirata, 2008:42)
Secara sadar atau tidak, Orde Baru telah menggulirkan wacana diskriminasi kekuasaan yang berbasis kapital. Wacana seperti itu secara langsung atau tidak langsung akan menggiring masyarakat dalam suatu kondisi terpuruk dalam dimensi sosialnya. Masyarakat dijepit dalam sebuah kondisi soial-ekonomi yang tak berdaya. Oleh karena itu, wacana kekuasaan dalam pandangan masyarakat yang muncul ialah hadirnya praktik diskursif tentang ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan. Wacana seperti itulah yang setiap hari menjadi praktik diskursif masyarakat. Hal serupa terjadi pada masyarakat Belitong secara khusus, sebagai representasi dari masyarakat Indonesia secara umum. Ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi, bahkan politik menjadi sajian tiap hari yang hadir di depan mata. Kehidupan ekonomi kapitalis-borjuis di satu sisi, berdampingan secara diametral dengan kehidupan masyarakat yang serba kekurangan di sisi lain, sebagai akibat kemiskinan dari pola struktur ekonomi yang salah. Tentunya, fenomena seperti itu berimplikasi secara psikologis, betapa praktik diskursif pembangunan—sekali lagi—tidak berjalan paralel dengan pemenuhan kebutuhan fundamental masyarakat kecil pada umumnya. Fenomena demikian itu sudah dibaca oleh Hikam. Hikam (1996:89) menyatakan bahwa wacana politik Orde Baru tentu saja tidak berlangsung dalam kevakuman; ia berada dalam konteks struktural tertentu yakni dalam proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial yang berlangsung secara nasional. Terdapat dua dimensi penting dalam pembacaan itu: pertama, tentang beroperasinya praktik diskursif berbasis modal; kedua, praktik diskursif berbasis sosial. Yang pertama, mengacu pada jejaring wacana Orde Baru dengan titik tolak ideologi pembangunan, yang sebenarnya berorientasi pada pertumbuhan kapital. Oleh karenanya, yang pertama itu seringkali menimbulkan kesenjangan yang sangat tajam di masyarakat bila dilihat secara ekonomi. Yang kedua, mengacu pada praktik diskursif yang berorientasi pada pembentukan wacana sosial. Dalam konteks yang kedua itu,
wacana tertib, stabilitas, aman, dan sejahtera menjadi derevasi ideologis bagi praktik diskursif yang pertama. Praktik diskursif demikian itu ujung-ujungnya tetap membawa akibat negative bagi rakyat, karena hal itu semata-mata menjadi praktik diskursif kekuasaan.
Selanjutnya dapat diamati kutipan drama Marsinah Nyanyian di Bawah Tanah dan drama Panembahan Reso di bawah ini.
Tokoh
Lelaki III
: Tetapi berhubung aturan dan ketentuan-ketentuan dibuat demi bangsa, demi kemajuan dan pembangunan bangsa, kami tentu harus patuh. Sebab menolaknya, berarti mengganggu stabilitas bangsa, dan kami bisa dengan mudah dikecam berkhianat pada bangsa, kami akan dikecam Gerakan Pengacau Keamanan : Betul-betul luar biasa... (Sarumpaet, 1997:76)
Di bawah ini juga menunjukkan praktik diskursif kekuasaan dalam drama Panembahan Reso. Tumbal
Rebo Tumbal Rebo
: Negara kacau. Rakyat hidup dalam kemiskinan, kejahatan merajalela, baik dikalangan rakyat maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya anda mengambil alih kekuasaan. : Jangan kita terburu nafsu! : Apakah Anda tidak melihat? : Saya melihat dan mendengar, tetapi pemba-ngunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan. (Rendra, 1988:10)
Dalam kutipan dua teks drama di atas menunjukkan bahwa praktik diskursif kekuasaan, dalam hal ini yaitu kekuasaan Orde Baru, masih bersifat power oriented. Wacana diproduksi untuk kepentingan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Wacana pembangunan, stabilitas, gerakan pengacau keamanan, sampai pada hadirnya ancaman terhadap kekuasaan itu sendiri, menjadi fenomena wacana yang terjadi pada era Orde
Baru. Praktik diskursif kekuasaan tentang pembangunan, stabilitas, dan gerakan pengacau keamanan dengan sengaja dikonstruksi oleh Orde Baru dalam rangka memberikan logika sosial tentang absahnya negara untuk hadir di tengah rakyat sebagai pihak hero. Konstruksi wacana untuk menghadirkan hero di tengah rakyat itu hanya ada dalam wilayah bangunan wacana rakyat. Sebaliknya, rakyat sama sekali tidak merasakan hadirnya hero. Hadirnya negara bagi rakyat sebaliknya menjadi hantu yang menakutkan bagi rakyat, yang bersamanya memuat wacana ancaman, teror, dan praktik diskursif tentang kekerasan atas nama negara. Oleh karena itu, logika sosial yang dibangun oleh negara yang memroduksi wacana-wacana tadi, hakikatnya adalah praktik diskursif yang mencoba memesona dan mengelabui rakyat semata. Praktik diskursif demikian itu pada akhirnya berlawanan dengan fenomena wacana yang terjadi di tengah rakyat. Kemiskinan terjadi di mana-mana, ketidakadilan menjadi satu
bagian dari pola kehidupan yang dirasakan rakyat secara nasional.
Akumulasi wacana bagi itu semua ialah hadirnya ketidakpuasan rakyat di mana-mana. Ujungnya adalah rakyat membangun wacananya sendiri, termasuk misalnya menolak hadirnya negara. Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan negara menjadi kurang relevan,bahkan patut untuk dipertanyakan ulang. Negara, termasuk dalam hal ini negara Orde Baru juga patut dipertanyakan ulang posisi dan legitimasinya sebagai negara. Wacana kemiskinan yang terjadi dalam skala waktu yang panjang, yang paralel dengan kesenjangan, ujungnya hanya akan menghadirkan wacana delegitimasi kekuasaan. Negara Orde Baru pun tidak luput dari ancaman demikian itu. Sekuat apapun negara, kalau tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan fundamental rakyat, akhirnya akan berujung keterpurukan kekuasaan. Orde Baru pun mengalami hal yang sama; ada keterpurukan kekuasaan justeru terjadi di puncak kekuasaannya yang dibangun selama berpuluh tahun.6 Hal itu artinya, praktik diskursif delegitimasi kekuasaan, cukup ampuh dalam menumbangkan kekuasaan yang tidak berbasis rakyat, Orde baru dalam hal ini adalah contoh konkretnya.
SIMPULAN Bertolak dari analisis teks sastra yang menggunakan perspektif studi new historicism, kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, struktur represif kekuasaan Orde Baru digambarkan dalam teks sastra Indonesia, dijalankan dengan menggunakan tekanan, ancaman, dan tindakan kekerasan. Negara memerankan hal itu dengan instrument kekuasaan yang dimilikinya, yakni berupa kekuatan aparatur Negara yang dijalankan secara efektif untuk mengontrol dan mengawasi rakyat. Kedua, struktur represif itu paralel dengan struktur ideologi yang dibangun oleh Orde Baru, yaitu ideologi pembangunanisme yang ditopang dengan derevasi ideologinya berupa wacana tertib, aman, stabil, dan sejahtera. Dalam teks sastra Indonesia, fenomena hal itu tampak pada novel Laskar pelangi, drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, dan Panembahan Reso. Ketiga karya tersebut sangat kuat dalam memberikan gambaran struktur ideologi Orde Baru. Ketiga, terkait dengan praktik diskursif kekuasaan, Orde Baru digambarkan dalam ketiga teks sastra tersebut sebagai kekuasaan yang mengembangkan
praktik
diskursif
pembangunan,
stabilitas,
keamanan,
dan
kesejahteraan; meskipun, pada faktanya, melalui ketiga teks sastra itu, praktik diskursif yang demikian dinegasikan, yang terjadi malah sebaliknya rakyat banyak tertekan, miskin, dan berupaya mengembangkan praktik diskursif delegitimasi kekuasaan.
Catatan: 1
Secara lebih khusus terkait dengan istilah teks dapat dilihat dalam buku yang ditulis Jan Van Luxemburg, et al. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia, hal. 86-90 2 Sehubungan dengan istilah teks dan konteks dapat dibaca buku yang ditulis Budi Darma.2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Dalam buku itu Budi Darma memberikan paparan bahwa teks dan konteks itu merupakan fenomena yang berbeda. Teks merupakan fenomena yang terdapat di dalam sastra, sedangkan konteks fenomena yang berada di luar sastra dan memiliki hubungan dengan teks sastra. Hal yang sedikit berbeda, bila kita lihat pendapat Budi Darma dalam artikel yang ditulisnya di harian Kompas yang ia beri judul “Resepsi dan Korupsi” dalam artikel itu Budi Darma memberikan paparan bahwa teks dapat diartikan sebagai sesuatu yang sempit (mikro) dan luas (makro). Secara lebih luas (makro) semua dapat dibaca sebagai teks. 3 Tanpa bermaksud menafikan karya sastra yang lain, ketiga karya tersebut secara refleksif dipandang mampu menggambarkan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat. Drama Panembahan Reso
misalnya diandaikan merefleksikan kekerasan negara Orde Baru yang terjadi jauh sebelum tahun 1988, sejak terbitnya naskah drama ini. Begitu juga dengan drama Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah mampu merefleksikan hal serupa, sekaligus sebagai wujud trauma sejarah yang digambarkan melalui teks. Secara khusus, terkait dengan novel Laskar Pelangi, selain mampu merefleksikan kekerasan negara Orde Baru; hal yang menonjol adalah memosikan teks sebagai bentuk trauma. Disebut demikian, karena novel tersebut terbit pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru. 4 Sebagai ilustrasi, Bentham mengajukan suatu model arsitektur untuk menggambarkan pelaksanaan disiplin yang dinamakan panoptikon. Bangunan panoptikon merupakan bangunan besar , berbentuk melingkar dengan banyak kamar di sepanjang tepi lingkarannya dan di tengah-tengahnya terdapat menara pengawas. Itulah gambaran negara panoptikon, lebih lanjut lihat Foucault (1997:107). 5 Mas’oed (1990:122) menyatakan persetujuannya dengan pendapat Peter L. Berger ketika dia menganjurkan bahwa dalam mempertimbangkan suatu strategi pembangunan, kita harus melakukan apa yang disebutnya sebagai “calculus of pain”, yaitu memperhitungkan penderitaan rakyat kecil (biaya manusiawi) yang sudah pasti terseret dalam setiap usaha perombakan revolusioner. 6 Dalam beberapa kajian sejarah, misalnya menurut Langenberg, kekuasaan Orde Baru dihitung sejak 1966. Hal itu artinya, terdapat masa selama 32 tahun Orde Baru membangun kekuatan dan jejaring kekuasaan, sekaligus jejaring wacana dalam sebuah praktik diskursif kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris.2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang, terjemahan oleh Tim Kunci Cultural Studies Center, dari judul asli Cultural Studies: Theory and Practice. Sage Publication-London, 2000. Barry, Peter.2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta Jalasutra. Terjemahan oleh Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini, Judul asli, Beginning Theory: an Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press, 2005. Brannigan, John.1999.”Introduction: History, Power, and Politics In the Literary Artifact.” Edited By Wolfreys, Julian.1999. Literary Theories A Reader and Guide. Washington Squaer, New York: New York University Press. Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Foucault, Michel.1997. Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Tubuh. (penyadur oleh Petrus Sunu Hardiyanta). Yogyakarta: LKIS ____________.1980. Power/Knowladge.Suffolk: Harvester Press
Gallagher, Catherine.1999.”Marxisme and The New historicsm.” Edited By Wolfreys, Julian.1999. Literary Theories A Reader and Guide. Washington Squaer, New York: New York University Press. Greenblatt, Stephen. 2005. Renaissance Self-Fashioning. Chicago: The University of Chicago Press Greenblatt, Stephen dan Gallagher, Chaterine. 2000. Practicing New historicsm. Chicago: The University of Chicago Press Hikam, AS.1996. ”Bahasa dan Politik:Penghampiran Discursive Practice.” Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy.1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Hirata, Andrea.2008. Laskar Pelangi. Yogya: Bentang Langenberg, Michael Van.1996.”Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, dan Hegemoni.” Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandy.1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Luxemburg, J.V.,et al.1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Mas’oed, Mochtar.1990.”Orde Baru, Nasionalisme Ekonomi dan Pembangunan Nasional. Dalam Abar, Akhmad Zaini.1990.Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani. Muhaimin, Yahya.1990.”Militer dan Pembangunan Politik di Indonesia: Suatu Pengantar.” Dalam Abar, Akhmad Zaini.1990.Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani. Rendra, W.S. 1988. Panembahan Reso.Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama Sarumpaet, Ratna.1997. Marsinah Nyanyian Dari Bawah Tanah. Yogya: Bentang Simon, Roger.1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist.Terjemahan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi dari judul asli Gramsci’s Political Thaought.