Edisi 014, September 2011 Kolom
n Di g
TENTANG IMAN ta
l
slim
m
ratis
s.co
ok
ati okr
m
em
i
De
Ulil Abshar-Abdalla 1 Kolom | Edisi 014, September 2011
Edisi 014, September 2011 Kolom
Tentang Iman
Perp
S
us
aan aya rasa akan amat sulit untuk k merumuskan bagaimana ta wujud dan bentuk iman itu pada masing-masing perorangan. Untuk mempermudah pembahasan, saya ingin meminjam tiga istilah yang de slim sering dipakai dalam pendekatan u w.m ww semiotika atau strukturalisme, yaitu “langage”, “langue” dan “parole”. Langage adalah bahasa sebagai v sistem yang abstrak; langue adalah i s i M bahasa sebagai mana dipakai oleh us kelompok tertentu; parole adalah cara berbahasa orang-perorang. Saya ingin memakai tiga istilah untuk untuk mencoba mendekati masalah iman ini; tentu peminjaman istilah dari bidang kajian ke kajian yang lain bukan tanpa masalah; tapi ini sekedar peminjaman untuk mempermudah agar suatu telaah bisa bekerja. D
i
2
Edisi 014, September 2011 Kolom
n Di g
ta l
slim
m
ratis
s.co
ok
ati okr
m
em
i
De
Iman biasanya ditakrifkan sebagai “percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan ketentuan Tuhan, entah ketentuan yang mujur atau malang”. Takrif semacam itu tentu mudah diajarkan, mudah diikuti, dan sebagai rumus juga mudah untuk dikaji. Tetapi, saya rasa, takrif iman semacam itu tidak berkata apa-apa kalau kita menjumpai orang-perorang. Setiap orang tentu punya caranya sendiri iman kepada Allah dan yang lain-lain itu. Iman seperti dalam takrif itu adalah mirip bahasa sebagai “langage” dalam konsepsi Saussurean. Seluruh umat Islam di dunia melaksanakan iman dalam cara yang “umum”, universal, abstrak dan lazim seperti dalam takrif di atas. Tapi iman yang universial seperti itu adalah iman yang tidak konkret karena tidak berpijak pada penghayatan masingmasing masyarakat, masing-masing perorangan dalam keadaan tertentu yang nyata. Iman sebagai “langage” adalah iman yang tidak terkait dengan konteks.
3
Edisi 014, September 2011 Kolom
Perp
us
Ada iman lain yang lebih konkret bentuknya, karena ia berhubungan dengan situasi tertentu, yaitu iman sebagaimana dihayati oleh kelompok masyarakat tertentu, di tempat tertentu, di suatu masa tertentu; misalnya iman orang-orang Jawa, di Wonogiri, pada awal abad 20. aan Menurut saya, inilah iman yang k jauh lebih memikat untuk ditelaah, t a sebab ia lebih berbentuk. Masyarakat Islam dalam sejarahnya yang panjang menakrifkan iman dalam cara yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. de Konsepsi tentang Allah dalam pikiran. m u s l i m w Imam Asy’ari terasa tidak begituw w konkret bagi orang-orang Minang di Sumatera Barat; konsepsi ketuhananv is a la Mu’tazilah tentu sangat asing i M dari cita rasa seorang Jawa Muslim us setengah abangan di Gunung Kidul. Setiap masyarakat, secara diam-diam, merumuskan caranya sendiri-sendiri untuk iman, dan dari sanalah muncul cara beriman yang mungkin sejajar dengan bahasa dalam pengertian “langue”.
D
i
4
Edisi 014, September 2011 Kolom
n Di g
ta l
slim
m
ratis
s.co
ok
ati okr
m
em
i
De
Tentu ada iman dalam pengertian yang sejajar dengan bahasa sebagai “parole”, dan inilah iman pada level perorangan. Beberapa hadis mengindikasikan bahwa iman itu “mulur mungkret” (yazidu wa yanqushu), serupa karet yang mengembang dan mengkerut, upand-down. Pada tingkatan ini, iman nyaris mustahil bisa dirumuskan dengan jelas. Iman dalam pengertian yang personal ini, bagi saya, sifatnya cenderung eksklusif, licin, dan menghindar dari rumusan yang serba baku. Tentu ada orang-orang tertentu yang pura-pura ingkar bahwa imannya terus-menerus mengalami proses “mengembang-dan-mengkerut” dengan cara mengikatkan diri pada rumus-rumus yang pasti yang dibuat oleh kaum teolog. Orang-orang fundamentalis biasanya mencoba untuk mencari bentuk iman yang serba pasti, positivistis, dan dapat menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial yang mencakup bidang-bidang kehidupan 5
Edisi 014, September 2011 Kolom
Perp
us
yang luas. Tetapi usaha kaum fundamentalis ini akan sia-sia belaka. Iman sebagai “parole”, sebagai dialek pribadi orang perorang, menurut saya, tidak bisa dibuat rampat, persis, sebangun untuk semua orang. Ambisi kaum fundamentalis ke arah itu bisa menjadi ancaman yang aan besar. Iman sebagai “parole” adalah k wilayah di mana pribadi-pribadi ta muslim menemukan kebebasan untuk merumuskan cara mereka masingmasing untuk memahami siapa itu Allah. Kalau iman pada level ini de lim s u hendak ditata rapi agar sesuai dengan .m ww w iman sebagai “langage”, maka yang timbul adalah pengingkaran atas iman sebagai tindak-kebebasan. Bagi saya,v iman adalah tindak pembebasan dan i s i Mus kebebasan sekaligus.
D
i
© 2011 Kolom ini diterbitkan oleh Divisi Muslim Demokratis. Untuk berlangganan, kunjungi www.muslimdemokratis.com Kode kolom: 014K-UAA002 6