KOALISI NASIONAL REFORMASI PENYIARAN www.reformasipenyiaran.org -
[email protected] - @knrpid Pernyataan Sikap KNRP: Tujuh Alasan Mengapa RUU Penyiaran dari Baleg Harus Ditolak Di negara demokrasi, regulasi media dipilah ke dalam dua bagian besar: media yang menggunakan public domain dan media yang tidak menggunakan public domain.1 Media yang tidak menggunakan public domain diatur berdasarkan prinsip self-regulatory, mengatur dirinya sendiri. Di beberapa negara demokrasi maju, media yang tidak menggunakan public domain ini bahkan tidak diatur. Sebaliknya, media yang menggunakan public domain hampir selalu diatur dengan ketat (highly regulated) guna menjamin kepentingan publik. Ada tiga argumentasi yang biasa diajukan mengapa media yang menggunakan public domain harus diatur ketat. Pertama, media tersebut menggunakan frekuensi milik publik (public domain). Dengan demikian, pengaturan ketat dilakukan demi menjamin frekuensi tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Dalam konteks Indonesia, hal itu juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3): “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kedua, frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas. Teori kelangkaan (scarcity theory) mengemukakan, frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio adalah ranah publik yang sifatnya terbatas. Dalam hal ini, meskipun digitalisasi penyiaran akan melipatgandakan jumlah saluran dalam suatu frekuensi, tetapi sifatnya tetap terbatas dibandingkan dengan jumlah orang yang siap menggunakan frekuensi tersebut. Karena itu, keberadaan dan pemanfaatannya harus diatur sedemikian rupa demi kemaslahatan publik. Ketiga, sifat siaran yang terpancar luas dan hadir di mana-mana. Media televisi, misalnya, program siarannya masuk ke ruang-ruang keluarga, menjadi ‘orang asing’ dalam kehidupan keluarga, dan keberadaannya menjadi yang paling populer di antara media yang lain. Oleh karena itu, siaran televisi telah mempengaruhi sedemikian rupa bukan hanya cara individu dalam melihat realitas sosial, diri, dan kelompok lain dalam masyarakat, tetapi bahkan cara individu berpartisipasi dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, keberadaan media penyiaran semacam ini harus diatur terutama dalam kerangka menjamin apa yang disebut sebagai keberagaman, baik keragaman dalam hal isi (diversity of content), keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), dan keberagaman suara (diversity of voices). Inti dari kesemuanya adalah penggunaan frekuensi demi kepentingan publik, bukan segelintir orang atau lebih-lebih sekadar melayani kerakusan para pemodal. Berdasarkan cara pandang di atas, Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) –terdiri dari paling tidak 160 akademisi dan praktisi serta 20 organisasi masyarakat sipil yang peduli pada penyiaran yang demokratis, adil, dan berpihak pada kepentingan publik– MENGECAM draf Revisi
1
Diambil dari Naskah Akademik Versi Publik Draft Revisi UU Penyiaran, PR2Media-Yayasan Tifa, 2012. 1
UU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) DPR tertanggal 19 Juni 2017 dan karenanya draf Baleg ini harus ditolak. KNRP telah menyusun draf Usulan RUU Penyiaran yang telah disampaikan dalam bentuk tercetak kepada Komisi I, Baleg, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan para pemangku penyiaran lainnya pada April 2017.2 Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, KNRP telah menyampaikan berbagai usulan melalui forum diskusi dan media. Usulan KNRP tersebut disampaikan terutama sebagai respon terhadap draf RUU Penyiaran yang disusun oleh Komisi I DPR. KNRP menilai ada beberapa ketentuan yang bermasalah di sana karena melenceng dari demokratisasi penyiaran. Namun setelah membaca dengan cermat draf yang disusun Baleg, kami menilai draf Baleg jauh lebih bermasalah. Draf Baleg mengkhianati prinsip demokratisasi penyiaran, tidak berpihak pada kepentingan publik, dan secara sangat transparan mengusung kepentingan pemodal besar industri penyiaran. KNRP menilai paling tidak terdapat 7 (tujuh) hal yang patut dipermasalahkan dari draf Baleg. 1.
Digitalisasi Penyiaran
Digitalisasi penyiaran berimplikasi pada efisiensi penggunaan frekuensi untuk program siaran. Dengan kata lain, begitu terjadi migrasi dari penyiaran analog ke penyiaran digital, akan terjadi penghematan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial sehingga akan ada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan komunikasi non-penyiaran. Dengan demikian, migrasi ke penyiaran digital bukan saja akan memberikan peluang usaha dan penataan industri siaran yang lebih adil bagi masyarakat, namun juga memberikan digital dividend yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial (seperti frekuensi khusus untuk penanganan bencana alam, pendidikan, kesehatan, dll) dan juga untuk kepentingan pengembangan internet broadband ke seluruh Indonesia. Masalahnya, beberapa pasal yang mengatur migrasi penyiaran dalam draft Baleg justru cenderung mengukuhkan dominasi lembaga-lembaga penyiaran swasta dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. a. Penguasaan Swasta atas Sisa Frekuensi Analog Pasal 26 draft Baleg mengemukakan, “Kelebihan frekuensi radio sebagai akibat dari migrasi penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi analog ke teknologi digital tetap (cetak tebal dari KNRP) dalam penguasaan pemanfaatan oleh Lembaga Penyiaran yang memiliki IPP, dan dapat digunakan untuk pengembangan Penyelenggaraan Penyiaran sesuai dengan arah kebijakan Sistem Penyiaran Nasional.” Pasal ini memberikan kewenangan bagi pihak swasta untuk mengambil manfaat jauh lebih banyak atas digitalisasi penyiaran. Pertanyaannya: mengapa sisa frekuensi ini tidak dikembalikan kepada negara sebagai pemilik frekuensi guna digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan publik? b. Penyelenggaraan Multipleksing Aturan dalam draft Baleg yang memberikan lembaga penyiaran swasta (LPS) hak untuk mengelola dan memanfaatkan frekuensi penyiaran digital yang dimilikinya di satu wilayah siaran (sebagaimana dinyatakan pada Pasal 33) akan semakin mengukuhkan dominasi swasta. Selama ini, dalam banyak kajian, LPS gagal dalam menampilkan siaran hiburan yang berkualitas dan siaran berita yang objektif dan independen. Pemberian kekuasaan kepada LPS untuk mengelola frekuensi siaran bukan hanya mengurangi kapasitas LPS untuk lebih konsentrasi pada isi siaran, tetapi juga tidak efisien dibandingkan dengan pola single multipleksing. Di sisi lain, pengalaman menunjukkan bahwa LPS tidak dapat dipercaya dalam pemanfaatan frekuensi
2
Juga dapat dilihat di www.reformasipenyiaran.org
2
publik. Jika tidak diorientasikan demi keuntungan ekonomi semata, frekuensi cenderung disalahgunakan demi kepentingan politik praktis. c. Migrasi Alamiah Draft Baleg Pasal 17 menetapkan digitalisasi jasa penyiaran televisi dilakukan secara alamiah. Pasal 23 lebih spesifik menyatakan: “Model migrasi dari penyiaran analog dan digital diselenggarakan oleh LPP dan LPS secara alamiah”. Jika migrasi dilakukan secara alamiah, yang paling diuntungkan adalah tetap pemain-pemain lama yang memiliki dana dan infrastuktur yang paling memadai. Akibatnya, pemusatan penguasaan informasi yang selama ini terjadi tak akan berubah. Hal lainnya, jika migrasi dilakukan secara alamiah, tidak akan ada digital dividend. d. Insentif bagi LPS yang memiliki IPP Tetap Draf Baleg memberikan keistimewaan yang luar biasa bagi LPS yang telah memiliki IPP tetap pada saat UU Penyiaran berlaku. Insentif tersebut adalah (1) prioritas mendapatkan alokasi kanal digital dan (2) keringanan pajak atas pengadaan peralatan untuk penyelenggaraan siaran digital (Pasal 24 ayat 3 dan 4). 2. Organisasi Lembaga Penyiaran Draf Baleg memperkenalkan sebuah lembaga baru bernama Organisasi Lembaga Penyiaran. Pasal 149 Ayat (l) menyatakan: “Organisasi Lembaga Penyiaran merupakan satu-satunya wadah yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Salah satu maksud dan tujuan organisasi tersebut didirikan adalah untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan lembaga penyiaran (Pasal 149 Ayat 2 huruf c). Pasal 149 Ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan mengenai susunan Organisasi Lembaga Penyiaran ditetapkan oleh para lembaga penyiaran dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Keberadaan organisasi ini menjungkirbalikkan tatanan regulasi sehingga terkesan tidak logis. Lembaga penyiaran sebagai pihak yang menjadi objek aturan melalui organisasi ini ditempatkan dalam draf Baleg sebagai pihak yang memiliki kewenangan yang sangat besar dalam ikut mengatur berbagai aspek penyiaran, antara lain: a) Menjadi anggota Badan Migrasi Digital (Pasal 22 ayat 4) yang bertugas melaksanakan migrasi digital penyiaran (Pasal 22 ayat 5) serta memiliki kewenangan menyusun cetak biru migrasi digital dan mengawasi pelaksanaan migrasi digital (Pasal 22 ayat 6) b) Menjadi anggota Panel Ahli yang dibentuk KPI yang bertugas memeriksa, meneliti, dan menangani pelanggaran P-3 dan SPS (Pasal 70 ayat 1—6) kemudian memberikan rekomendasi kepada KPI untuk pengambilan keputusan (Pasal 70 ayat 6). Terhadap pelanggaran SPS, keputusan KPI harus merujuk pada rekomendasi Panel Ahli (Pasal 71 ayat 2) c) Memutus penyelesaian pelanggaran P-3 (Pasal 70 ayat 7) Dengan keberadaan organisasi ini, tampaknya asosiasi lembaga penyiaran (khususnya lembaga penyiaran swasta) menginginkan posisi dan kewenangan yang lebih kuat dengan dikukuhkan dalam aturan hukum setingkat UU dan pada gilirannya nanti akan menaikkan posisi tawar industri penyiaran dalam dunia penyiaran. Hal ini akan makin meminggirkan publik yang selama ini sering diposisikan sebagai pihak yang suaranya tak didengar. Jika keberadaan organisasi ini diakomodir dalam UU, maka persoalan regulasi penyiaran akan semakin rumit. Tumpang tindih kewenangan dan ego sektoral yang selama ini menjadi biang ketidakefektifan birokrasi juga akan terjadi di sektor penyiaran. Apalagi, keikutsertaan anggotanya dalam beberapa forum/lembaga sedikit banyak akan memboroskan uang negara.
3
Dengan segenap argumen tersebut, keberadaan organisasi usulan Baleg ini haruslah ditolak. Seharusnya Baleg memperkuat KPI yang telah dibiayai uang rakyat, bukan mengusulkan sebuah lembaga baru yang sekedar mengakomodir kepentingan para pemodal. 3. Iklan Rokok Draf Baleg tidak memberikan larangan mengenai iklan rokok. Padahal, draf Komisi I sebelumnya telah memuat larangan iklan rokok di media penyiaran (Draf Komisi 1 tertanggal 6 Februari 2017 Pasal 144 Ayat 2 huruf i). Rokok merupakan zat adiktif sebagaimana dinyatakan UU 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 113 Ayat 2. Dengan mencabut larangan iklan rokok, maka draf Baleg sesungguhnya memuat hal yang bertentangan, karena draf Baleg telah menyatakan larangan untuk mempromosikan zat adiktif (Pasal 137 Ayat 2 huruf i). Lepas dari itu, pelarangan iklan rokok mestinya menjadi prioritas DPR dalam revisi UU Penyiaran. Lebih dari 140 negara telah menghapus iklan rokok dari media penyiaran demi perlindungan anak dan remaja dari paparan produk adiktif. Langkah Baleg mempertahankan status quo adalah kemunduran. Dengan demikian, Komisi I seharusnya tetap mempertahankan ketentuan melarang iklan rokok sebagaimana yang sudah dinyatakan dalam drafnya, dan menolak rekomendasi Baleg. 4. Penyelenggaraan SSJ (Sistem Stasiun Jaringan) Draf Baleg Pasal 77 menyatakan bahwa dalam memancarteruskan Siaran ke lebih dari satu Wilayah Siar harus melalui SSJ (ayat 1), sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa SSJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memancarteruskan Isi Siaran melalui (a) LPS melalui stasiun perwakilan di daerah, dan atau (b) LPS kepada LPS lain di Wilayah Siar yang lain. Pertanyaan kemudian, apakah yang dimaksud dengan ‘stasiun perwakilan di daerah’ itu? Apakah bentuknya seperti biro perwakilan, stasiun lokal anggota jaringan ataukah hanya sekadar stasiun relay? Jika yang terakhir yang dimaksud, maka penyelenggaraan SSJ tidak lebih dari apa yang terjadi saat ini. Draf Baleg Pasal 78 menyatakan bahwa muatan siaran lokal dapat berbentuk muatan siaran lokal dari daerah lain (cross culture) di wilayah NKRI. Ketentuan ini sepertinya tampak mengesankan, namun sesungguhnya merupakan bentuk akal-akalan agar LPS dapat menyiarkan pertukaran siaran lokal dari berbagai daerah yang jauh lebih mudah dan murah untuk diselenggarakan, sementara kebutuhan masyarakat setempat tentang informasi yang aktual mengenai wilayah/lingkungan terdekat mereka dapat diabaikan oleh LPS –dan ini artinya menanggalkan hakikat dari SSJ itu sendiri. 5. Pembatasan Kepemilikan Pasal 81 memberikan pembatasan bagi kepemilikan dan penguasaan LPS. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu LPS baik di satu Wilayah Siaran maupun di beberapa wilayah siaran dibatasi, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa kepemilikan silang antara LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan LPS yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, serta antara LPS dan LPS jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. Di sini, batas yang dimaksud masih sangat kabur. Tidak jelasnya ketentuan ini berpotensi untuk mengukuhkan monopoli lembaga penyiaran di tangan segelintir orang, yang dapat mengakibatkan diversity of content dan diversity of ownership terabaikan, sebagaimana yang terjadi pada dunia penyiaran selama ini. 6. Pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Draf Komisi 1 (Pasal 121) yang kemudian diperkuat oleh draf Baleg (Pasal 113) dengan menambahkan beberapa ketentuan, sama-sama menyatakan bahwa pencabutan IPP hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan administratif dan teknis, bukan karena pelanggaran isi siaran. Hal ini tentu saja sebuah ironi, mengingat aspek isi siaran adalah aspek yang menjadi bagian yang sangat penting dalam proses memperoleh IPP dan menjadi bagian sangat signifikan dalam penilaian kinerja lembaga penyiaran, 4
apalagi pelanggaran isi siaran adalah hal yang langsung berdampak kepada masyarakat luas. Sementara itu, dalam bagian lain di draf Komisi 1 (Pasal 65 Ayat 1 huruf h) dan draf Baleg (Pasal 66 Ayat 1 huruf h) justru dinyatakan bahwa salah satu sanksi administratif oleh KPI atas pelanggaran SPS adalah rekomendasi kepada Pemerintah untuk mencabut IPP. Pertanyaannya kemudian, mengapa rekomendasi dari KPI atas pelanggaran SPS tidak menjadi faktor yang menentukan untuk dicabutnya IPP? KNRP menilai bahwa tampaknya ada kesengajaan untuk hanya menjadikan aspek-aspek administratif dan teknis sebagai alasan dapat dicabutnya IPP, sementara alasan pelanggaran isi siaran bukan aspek menentukan untuk dicabutnya IPP. 7. Kegiatan Jurnalistik Draf Baleg memperkenalkan satu bagian baru dalam Bab X (Pelaksanaan Siaran), yakni Kegiatan Jurnalistik (Pasal 134—135) yang tidak ada pada draf Komisi I. Pada Pasal 135 dinyatakan: “Dalam hal terjadi sengketa terkait muatan jurnalistik…penyelesaian sengketa dilakukan oleh KPI bersama Dewan Pers…”. Kewenangan pemeriksaan isi siaran berdasarkan P3 dan SPS seluruhnya berada di tangan KPI dan karenanya jika terjadi sengketa terkait muatan jurnalistik maka penanganannya harus dilakukan oleh KPI. Keharusan penyelesaian sengketa dengan melibatkan Dewan Pers bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang termuat pada Bab VII tentang P3 dan SPS sekaligus tugas dan wewenang KPI yang dinyatakan pada Pasal 37—38. Tujuh poin di atas adalah hal yang menurut KNRP secara sangat jelas menunjukkan keberpihakan draf Baleg kepada industri penyiaran (khususnya stasiun televisi besar) dan sebaliknya mengabaikan kepentingan publik. Apalagi, sejumlah ketentuan yang dimuat oleh Baleg tampak memiliki kesamaan dengan aspirasi Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang dalam berbagai kesempatan menyampaikan keinginan agar RUU Penyiaran antara lain mengatur digitalisasi dengan pola hybrid (menolak single mux), melibatkan asosiasi media penyiaran dalam kebijakan penyiaran digital dan Badan Migrasi Digital, tidak melarang iklan rokok, dan melonggarkan ketentuan tentang SSJ. Kami meminta kepada Komisi I DPR RI untuk tidak menerima rekomendasi dari Baleg yang sematamata hanya berpihak kepada kepentingan pemodal besar tanpa mempertimbangkan kepentingan publik luas. Sebagai wakil rakyat, Komisi I harus mampu menghasilkan revisi UU Penyiaran yang demokratis, adil, dan berpihak pada kepentingan publik. Pengkhianatan kepada publik luas adalah pengkhianatan kepada pemilik frekuensi yang sah. Jakarta, 1 Juli 2017
KOALISI NASIONAL REFORMASI PENYIARAN Narahubung: Muhamad Heychael (085715324144)
5