2
Kontroversi Hak Angket Kasus Bank Century
4
Gus Dur dan Pluralisme
6
Kebiadaban Pelarangan Buku Ilmiah
no.25 maret 2010
konstelasi Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
SBY Terperangkap dalam Koalisi inamika politik dalam Pansus Century yang mengarah ke deadlock politik telah membuat Presiden SBY kebat-kebit. Koalisi politik besar yang selama ini diandalkannya untuk mengamankan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan ternyata bergerak bak bola liar dan mengancam keberlangsungan pemerintahan. Berbagai himbauan, kritik serta ancaman dari SBY dan Partai Demokrat kepada mitra politik dalam koalisi SBY tak berhasil meredam anggota Pansus Century dari Fraksi Partai Golkar, PAN, PKS, PPP dan PKB untuk terus mempersoalkan kebijakan pemerintah dalam talangan dana ke Bank Century. Perkembangan politik terakhir ini telah membuka kembali wacana tentang sistem presidensial di Indonesia. Tulisan ini coba menyoroti dua isu penting yang berkembang akhir-akhir ini. Isu pertama, adalah soal relasi presiden dengan DPR. Isu yang kedua adalah soal relasi antar parpol dalam koalisi. Kemenangan SBY dalam Pilpres 2009 melengkapi kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009. Rupanya SBY tak cukup puas dengan modal politik yang dimilikinya. SBY ingin merengkuh kekuatan politik di luar
D
koalisi untuk bergabung. Partai Golkar kemudian bergabung dan terbentuklah koalisi besar. SBY yakin bahwa dengan besarnya koalisi pemerintahan, otomatis juga terbentuk koalisi pendukung pemerintah SBY di DPR. SBY mungkin belajar dari pengalaman politik pasca reformasi, khususnya soal relasi eksekutif-legislatif. Setelah reformasi, posisi DPR makin kuat bahkan cenderung mempunyai kekuasaan seperti parlemen dalam sistem parlementer. Beberapa pemerintahan pasca reformasi kerapkali mengalami hambatan dalam relasi eksekutif-legislatif, dan pemerintahan Gus Dur adalah contoh bagaimana DPR berhasil mendorong MPR untuk melengserkan Gus Dur sebagai presiden. SBY ingin mengamankan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan dengan jalan mengamankan kekuatan politik di DPR lewat koalisi. Logika politik SBY dalam membentuk koalisi besar mungkin tepat kalau dikaitkan dengan sistem multipartai. Kecenderungan umum dalam sistem multipartai adalah hampir tak ada satu parpol yang meraih suara mayoritas di legislatif. Ketika tak ada parpol mayoritas di legislatif, maka koalisi menjadi solusi yang
dipilih untuk mengamankan jalannya pemerintahan. Tetapi, kalau dikaitkan dengan sistem presidensial, besarnya koalisi tak menjamin pemerintahan bisa berjalan lancar. Dalam sistem presidensial, presiden dan DPR masing-masingnya punya legitimasi sendiri-sendiri (dual legitimacy). Pemerintahan tidak terbentuk dari hasil perjanjian oleh partai-partai politik di legislatif. Demikian juga anggota kabinet dari partai di legislatif tidak otomotis mewakili suara partai tersebut di legislatif. Dinamika di DPR dalam kasus Pansus Century menunjukkan bahwa koalisi pemerintahan SBY tak bisa mengikat perilaku politik anggota pansus Century dari partai koalisi. Soal yang kedua mengenai relasi antar parpol dalam koalisi. Pimpinan Partai Demokrat berupaya untuk melobi partai-partai koalisi untuk menyamakan kesimpulan dari masing-masing fraksi di Pansus (Media Indonesia, 8 Februari 2010). Partai Demokrat juga menyentil kembali soal pakta integritas yang telah ditandatangani oleh parpol yang tergabung ke dalam koalisi pemerintah. Ketika upaya lobi gagal, Sekjen Partai Demokrat, Bersambung ke hlm. 12
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Kontroversi Hak Angket ntuk pertama kalinya dalam hukum tata negara Indonesia istilah angket, enquete (Prancis, Belanda), atau inquiry (Inggris) diperkenalkan secara formal oleh Konstitusi RIS yang tercantum dalam Pasal 121. Kemudian, istilah tersebut diadopsi juga dalam Pasal 70 UUDS 1950 yang menggantikan Konstitusi RIS. Pasal 70 tersebut menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakjat mempunjai hak menjelidiki (enquete), menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang”. Berikutnya, keluar UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat sebagai aturan pelaksanaan Pasal 70 tersebut. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar pelaksanaan hak angket oleh DPR pada masa itu. Sistem pemerintahan yang diterapkan dalam kedua konstitusi tersebut merupakan sistem pemerintahan parlementer. Jelas sekali bahwa fungsi pemberian hak angket kepada DPR tersebut merupakan suatu penyesuaian terhadap praktek-praktek tata negara yang lazim diterapkan dalam tradisi parlementer. Dalam sistem parlementer, hak angket tersebut dapat berujung pada penggulingan kepala pemerintahan yang berkuasa (perdana menteri) — karena memang perdana menteri bertanggung jawab kepada DPR. Oleh karena itulah suatu kewajaran bahwa dalam sistem parlementer presiden juga diberi hak untuk membubarkan parlemen. Pada saat penerapan sistem parlementer tersebut, UUD 1950 juga memberikan hak kepada presiden untuk membubarkan DPR —
U
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://matanews.com/wp-content/uploads/PansusCentury1.jpg
yang tercantum dalam Pasal 84. Hak ini pernah digunakan Soekarno pada tahun 1959 yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959. Pada tahun 2001, Abdurrahman Wahid pernah mengeluarkan
dekrit serupa dengan maksud membubarkan DPR. Namun, tindakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak mempunyai dasar konstitusional, karena memang hak membubarkan DPR tidak diatur dalam UUD 1945. Demikian juga dengan hak angket,
Kasus Bank Century untuk menggulingkan pemerintahan, demikian juga sebaliknya, pemerintahan tidak diberi hak untuk menggulingkan DPR. Dalam prakteknya sekarang, sistem ketatanegaraan Indonesia sudah mencampur-adukkan antara sistem presidensial dan sistem parlementer. Hal ini bermula dari keluarnya UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD. Dalam undangundang ini, terutama Pasal 33 ayat (3), DPR diberi hak sebagaimana yang lazim dipakai dalam tradisi parlementer, yaitu: meminta keterangan kepada presiden (interpelasi) dan mengadakan penyelidikan (angket, enquete). Di sisi lain, presiden tidak diberi hak untuk membubarkan DPR. Kekacauan sistem ketatanegaraan ini pernah dipersoalkan oleh Abdurrahman Wahid saat menjawab interpelasi DPR terkait dengan pemberhentian Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla dari kedudukannya sebagai menteri. Dalam jawabannya tanggal 20 Juli 2000 tersebut, secara nyata Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa tindakan DPR meminta keterangan dari presiden tersebut merupakan tindakan inkonstitusional, karena hak tersebut tidak diatur dalam UUD 1945 dan hanya diatur dalam tingkat undang-undang. Dalam pidatonya tersebut, Abdurrahman Wahid juga menjelaskan bahwa: tidak diatur dalam UUD 1945. Hal ini dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari pengaturan UUD 1945 yang mencoba menerapkan sistem pemerintahan dengan corak presidensial. Sebagaimana diketahui, dalam sistem presidensial DPR tidak diberi hak
“Konsekuensi sistem pemerintahan presidensial ini memang disadari penuh oleh para perancang UUD 1945 dahulu. Dan kesadaran itu sebenarnya tetap ada sampai sekarang. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan, bahwa sekalipun sudah
mengalami amandemen, UUD 1945 tetap tidak memuat tambahan pasal tentang interpelasi”.
Kenyataannya, MPR mencantumkan hak interpelasi — bersama hak angket — ke dalam UUD 1945 melalui amandemen kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam konteks ini, sedikit banyak pidato jawaban Abdurrahman Wahid tersebut memberi inspirasi kepada MPR untuk menjadikan sistem presidensial yang dianut UUD 1945 dengan cita-rasa parlementer, yaitu dengan mencantumkan hak interpelasi dan hak angket dalam Pasal 20A. Bermula dari pasal ini pula akhirnya Abdurrahman Wahid dimakzulkan. Sistem presidensial dengan “cita rasa” parlementer semakin komplit ketika ada peraturan pelaksanaan hak enquete UUDS 1950 yang dianggap masih berlaku, yaitu UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Hingga sekarang tradisi ini terus dipertahankan. Aturan mengenai hak angket terus diperkuat dan dilembagakan, bahkan dipraktekkan. Salah satunya melalui pembentukan Panitia Khusus DPR untuk menyelidiki Kasus Bank Century.
Pengaturan Hak Angket dan Kedudukan Hukumnya Seperti disebut di awal, UUD 1945 mengatur hak angket dalam Pasal 20A. Aturan pelaksanaannya masih memakai UU No 6 Tahun 1954. Undang-undang ini masih dianggap berlaku karena belum dicabut — dan masih terus diberBersambung ke hlm. 10 www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Gus Dur dan Plural akyat Indonesia menutup tahun 2009 dengan pemakaman mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid, sekaligus mengawali tahun yang baru dengan menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang. Figur kontroversi itu menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 30 Desember 2009 di RSCM Jakarta dan dimakamkan keesokan harinya di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur dengan prosesi resmi kenegaraan. Saat tulisan ini dibuat, ribuan orang mendoakan 40 hari kematiannya. Dikatakan kontroversi karena Gus Dur sering menampilkan perilaku yang berbeda dengan pandangan umum. Ia bersafari politik bersama Siti Hardiyanti Rukmana, padahal Gus Dur adalah pendiri Forum Demokrasi, tempat berkumpulnya sejumlah intelektual dan aktivis dengan sikap politik vis-a-vis terhadap rejim Soeharto. Saat menjadi kepala negara, beliau bertemu secara diam-diam dengan terpidana Tommy Soeharto, serta membiarkan seorang bernama Suwondo mencairkan dana Bulog. Lalu, jika terjadi kisruh sosial-politik, Ia sering melontarkan inisial nama yang dituding sebagai dalang, tanpa pernah ada klarifikasi siapa tokoh yang dimaksud. Ia adalah presiden kedua setelah Soekarno yang menggunakan kekuasaan politik luar biasa yang diakui dalam sistem presidensial yakni mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk politik dengan “p”
R
4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://b.imagehost.org/0681/IMG_0022.jpg
kecil, Gus Dur adalah sosok yang sangat pragmatis. Pandangannya mengenai nilai Islam dan posisinya sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama, adalah kontroversi lain. Ia pernah mengunjungi Israel, menjalin hubungan dengan tokoh Yahudi, mengusulkan Assallam’ualaikum diganti dengan “Selamat Pagi/
Siang”, dan mendukung pernikahan beda agama. Ia selalu membela individu atau kelompok yang “dipojokkan” oleh fatwafatwa tertentu. Ia memiliki keberanian untuk melakukan yang benar bagi kemanusiaan dengan konsekuensi berhadapan dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Sikap semacam ini yang membawa Gus Dur ke level
lisme
politik nilai yang tidak dicapai oleh tokoh politik lain sejamannya. Ia disanjung sebagai tokoh pluralisme.
Pluralisme Pasca Gus Dur Membahas pluralisme pasca Gus Dur berarti mengasumsikan ada sesuatu yang signifikan dari kehadiran Gus Dur dan ketidakhadirannya. Sedikit banyak asumsi ini
ada benarnya. Dalam masyarakat majemuk, ada beragam kelompok dan nilai.Alamiah kiranya jika terdapat kelompok yang besar dan ada yang kecil, mayoritas dan minoritas. Nilai yang hidup di dalam masyarakat juga ada yang hegemonik dan ada yang tidak. Setiap individu atau kelompok mempunyai kebutuhan untuk berkembang menjadi lebih baik. Untuk itu tiap-tiap kelompok butuh ruang untuk bergerak yang lebih luas, perlu akses terhadap sumber daya yang selalu terbatas. Nilai yang dihidupi adalah identitas diri, bagian tak terpisahkan dari diri itu sendiri. Jika nilai yang dianut seseorang atau kelompok diterima oleh individu atau kelompok lain maka ia mendapatkan rasa aman. Jalan untuk mengaktualisasikan diri pun lebih terbuka. Itu sebabnya pengakuan akan keberadaan satu kelompok dinyatakan dengan memberikan hak yang sama seperti warga lainnya. Berkaitan kontestasi nilai yang dianggap baik dan benar, Gus Dur seolah terlahir untuk memiliki otoritas dan legitimasi untuk mendakwakan nilai yang secara imperatif benar adanya. Ia memiliki ingatan yang kaya dan kuat, cerdas, pengetahuannya mengenai Islam lengkap, cucu dari pendiri NU, dan tiga kali sebagai Ketua Umum PBNU. Ia dan NU seperti benteng kokoh yang menghalau justifikasi argumen antipluralisme dan sekaligus tempat berdiam bagi mereka yang selalu diukur dari kuantitas bukan dari kebenaran pendapatnya. Pertarungan wacana adalah pertarungan kekuatan (power) rasio yang tersusun dalam
argumen. Sayangnya di Indonesia, kekuatan lebih sering merupakan representasi sesuatu yang fisik, baik senjata atau massa. NU adalah organisasi massa dengan pengikut puluhan juta orang. Sifat patron-klien yang mengikat hubungan antara kyai dan santrinya membuat setiap kekuatan politik harus berhitung ulang jika harus berkonfrontasi dengan sang Ketua Umum PBNU. Pengetahuan agamanya mampu membalikkan tafsir dari fatwafatwa yang mengancam kehidupan bersama dan kepatuhan jutaan santrinya membuatnya tidak dapat ditundukkan dengan cara koersif. Sukar dielakkan bahwa ada aroma pragmatisme politik yang tercium jika ada individu dan kelompok minoritas atau marginal yang berlindung dibalik “kekuatan” yang dimiliki Gus Dur. Hal ini wajar sebab di negeri ini mereka memang bisa terancam secara fisik. Tidak heran jika kemudian ada kecemasan akan nasib minoritas setelah kepergian Gus Dur. Masih adakah benteng tempat berlindung dari kelompok aliran keras, preman berjubah, atau khotbah dengan kebencian yang sepertinya mendapat pembiaran dari negara? Awal tahun 2010, masih dalam suasana berkabung bagi keluarga mendiang, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Lirboyo, Kediri, Jawa Timur mengharamkan pelurusan rambut (rebounding) dan foto pasangan sebelum menikah (pre-wedding). Fotografer pre-wedding juga diBersambung ke hlm. 9 www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
Kebiadaban Pelaranga alam sejarah peradaban manusia, pelarangan dan pembakaran buku kerap dilakukan oleh rejim-rejim otoriter, penjajahan dan tidak memiliki peradaban. Pelarangan buku merupakan upaya untuk memonopoli ruang penafsiran, terutama penafsiran sejarah, di mana monopoli kebenaran sejarah berusaha dibangun dengan memusnahkan penafsiran yang lain. Rejim-rejim barbalik di abad pertengahan dan era kegelapan yang kerap membakar buku dan melarang orang membaca, model ini khas rejimrejim terbelakang dan tak berpendidikan yang selalu takut pada kemajuan pemikiran. Ironisnya, perilaku rejim model itu masih hinggap di Republik Indonesia pada abad duapuluh satu, di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada kepemimpinan periode pertamanya mengagungkan semboyan “Perubahan”. Masuknya peradaban kita ke dalam era reformasi tak serta merta menanggalkan perilaku biadab rejim Orde Baru, yakni membakar dan melarang buku. Pembakaran buku pelajaran sejarah untuk SMP dan SMA oleh Kejaksaan yang berlangsung sepanjang tahun 2007, menandakan betapa masih menyisa hawa totaliter di dalam tubuh pemerintahan SBY. Hasrat untuk memonopoli kebenaran sejarah hanya menjadi miliknya, dan bukan milik setiap orang. Hal yang barubaru ini diulang kembali oleh Kejaksaan Agung, dengan melarang lima buah buku, salah satu di antaranya buku Dalih
D
6
konstelasi — www.p2d.org
Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, yang diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI, 2008). Buku itu sendiri merupakan buku terjemahan yang aslinya berjudul Pretext For Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Larangan tersebut berupa Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-139/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang “Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karangan John Roosa, Penerjemah Hersiri Setiawan, Penerbit Institut Sejarah Sosial Indonesia Jl. Pinang Ranti No.3 Jakarta, Hasta Mitra Jl. Duren Tiga Selatan No.36 Jakarta Selatan di seluruh Indonesia”. Keputusan Jaksa Agung dilandaskan pada UU No.16/2009 Pasal 30 Ayat (3) Huruf (c) mengenai kewenangan Kejagung untuk mengawasi peredaran barang cetakan. Buku karya Roosa menjadi titik perhatian karena buku itu merupakan hasil riset ilmiah, dengan mengajukan data-data temuan baru, dengan metode riset ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Alasan pelarangan oleh Kejaksaan Agung adalah buku tersebut dapat “mengganggu ketertiban umum”. Suatu alasan yang — kalaupun pantas untuk diberlakukan — perlu diuji secara publik, dan bukan diputuskan secara sepihak. Istilah mengganggu ketertiban
Sumber gambar: http://a1.phobos.apple.com/us/r1000/034
an Buku Ilmiah
4/Purple/a9/db/d5/mzl.hywsojuf.320x480-75.jpg
umum merupakan istilah khas pemerintah kolonial Belanda dalam melakukan pelarangan terhadap artikel surat kabar maupun buku-buku yang dinilai bisa mengancam tatanan rust en orde. Artikel yang melanggar aturan, dikenai presdelicten dan penulisnya dikenakan hukuman penjara. Model kontrol terhadap tulisan berkembang sampai pada pelarangan buku. Dasar pelarangannya adalah “penyebar rasa kebencian” dan “mengganggu ketertiban umum”. Seperti juga pemerintah kolonial, pemerintahan SBY menentukan suatu buku “mengganggu ketertiban umum” atas dasar seleranya sendiri, tanpa bisa menjelaskan dan menunjukkan bentuk gangguan seperti apa yang telah atau akan diakibatkan oleh buku tersebut. Gangguan ketertiban umum dalam diskursus kolonialisme adalah bentuk gangguan terhadap sistem, tatanan dan mekanisme ekpsloitatif atas koloni, dan pemerintah SBY sepertinya juga berpikir dan bertindak dalam diskursus kolonial, layaknya suatu pemerintah penjajah. Dalam beberapa hal, mencegah atau membatasi peredaran buku pernah terjadi dan dipahami. Misalnya dalam hal buku tersebut isinya menghasut kebencian rasial, dan mengarahkan pada tindakan kriminal. Dan itu pun harus melalui proses pembuktian apakah betul buku itu memang berisi anjuran kebencian rasial, dan penetapannya secara hukum harus melalui proses peradilan, bukan hanya melalui otoritas dan penafsiran Kejaksaan Agung.
Untuk buku-buku yang memiliki pretensi akademik dan ilmiah, pemberlakuannya harus berbeda. Kritik terhadap argumen dan metodologi bukan lewat pelarangan, melainkan lewat kritik argumentatif dan kritik metodologis. Sang penulis, John Roosa sendiri menilai bahwa perlu suatu keputusan pengadilan untuk menyatakan apakah buku tersebut bisa “mengganggu ketertiban umum”, sungguh pun konyol
P2D konstelasi
diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi
Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Redaktur Ahli
Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung Alamat Redaksi
Jl. Maleo X No.25, Bintaro Jaya Sektor 9, Tangerang 15229 Tel: (021) 7452992 Fax: (021) 7451471 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
Sumber gambar : http://pembrianasiwi.files.wordpress.com/2010/01/bredel-buku.jpg
untuk mengadili suatu kajian ilmiah. Jadi, pelarangan buku John Roosa tidak lebih dari cara pandang lama dalam melihat Peristiwa 65, yakni monopoli intepretasi atas peristiwa itu hanya sah milik Orde Baru, pandangan lain adalah keliru, dan karenanya harus dinilai “melanggar ketertiban umum”. Buku ini mengganggu kemapanan intepretasi yang telah diyakini selama lebih dari empat dasawarsa, dan keragaman intepretasi sejarah menjadi ancaman, termasuk pada orang-orang yang selama ini menggantungkan hidupnya pada versi kebenaran sejarah ala Orde Baru, dan menilai buku-buku seperti karya John Roosa sebagai ancaman bagi diri mereka, para
8
konstelasi — www.p2d.org
pilar pendiri Orde Baru. Pelarangan buku ilmiah merupakan tindakan yang tidak menghargai kebebasan intelektual, sekalipun di Jerman misalnya, ada kebijakan untuk menolak upaya mengaburkan kekejaman Nazi lewat pembatasan peredaran buku, namun upaya seperti ini harus dilakukan melalui mekanisme peradilan, bukan mekanisme clearing house ala Kejagung yang tidak jelas proses dan pertimbangannya, serta tidak ada pertanggungjawaban ilmiah maupun hukum dalam melarang suatu karya ilmiah dalam bentuk buku. Agak sulit untuk membayangkan, suatu hasil academic research diajukan ke sidang pengadilan karena dianggap “bisa mengganggu”. Hakim pengadilan yang bernalar,
seharusnya menolak gugatan seperti itu. Setidaknya, dalam hal ini, rejim SBY masih menyandarkan dirinya pada narasi hantu komunisme ciptaan Orde Baru dan intepretasinya atas Peristiwa 65. Dalam hal ini SBY masih menujukkan dirinya sebagai murid Soeharto yang baik dan setia. Satu-satunya cara bagi SBY untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berpretensi intelektual dan terpelajar — sebagaimana kerap digembargemborkan dalam kampanyenya pada pemilihan presiden lalu — hanya bisa dibuktikan dengan mencabut larangan tersebut, dan membubarkan lembaga clearing house, sebagai pemegang kuasa tafsir terhadap isi buku n DGX
Sambungan dari hlm. 5 haramkan karena menujukkan sikap rela pada kemaksiatan. Forum ini juga melarang wanita untuk menjadi tukang ojek karena sulit menghindar dari hal-hal yang diharamkan dan menimbulkan fitnah. Jika hendak menjadi penumpang ojek sedapat mungkin menghindari fitnah atau halhal yang diharamkan, jika tidak bisa maka haram juga hukumnya. Fatwa ini memang selalu berlaku terbatas, tapi konsekuensinya sering kali menjangkau mereka yang tidak sepaham atau seiman. Mereka yang berbeda nilai ini hanya dapat dijangkau oleh hukum yang sah. Kita sadar bahwa cara berpikir sejenis yang kurang arif menyikapi perubahan sosial dan kontekstualitas masyarakat masih banyak berdiam. Forum yang sama pernah mengeluarkan fatwa haram (Mei 2009) kepada jejaring sosial seperti Facebook dan Friendster yang digunakan secara berlebihan. Maksudnya berlebihan adalah jika Facebook digunakan untuk mencari jodoh, mengenal karakter tapi tidak dalam proses khitbah (pinangan atau lamaran). Pluralisme bukan masalah kekuatan figur, bukan pula perlindungan dan belas kasihan dari mayoritas. Ia merupakan kesadaran bahwa keberagaman merupakan fakta sosial. Sesuatu yang alamiah manusia berkembang sebagai mahkluk sosial, membentuk kelompok dan identitasnya masing-masing. Kehadiran “yang lain” dalam kehidupan bersama bukan lah sebagai binari opisisi yang membuat diri kita menjadi lebih baik. Selama nilai orang lain tidak membunuh dan merampas hak hidup kelompok yang lain maka selayaknya ia sah untuk mengembangkan nilai yang
Sumber foto : http://vibizdaily.com/resources/images/uploaded/image/NASIONAL/DESEMBER%202009/Gus%20Dur-301209-3.jpg
dihidupinya. Abdurrahman Wahid telah wafat, tapi tindak tanduknya mendukung hak yang marginal adalah model yang bisa dikembangkan. Pluralisme merupakan politik nilai yang perlu terus didisemi-
nasi. Pendidikan kewargaan akan kebhinekaan dan kehidupan yang civil merupakan proyek demokrasi. Sedapat mungkin ia menjadi nilai yang melembaga di dalam berbagai kelompok masyarakat n CPX
www.p2d.org — konstelasi
9
Sambungan dari hlm. 3 lakukan meskipun mempunyai dasar validitas yang berbeda. Dalam pandangan positivis, harus diakui bahwa UU Angket tersebut sebenarnya telah kehilangan dasar validitas (validity) ketika UUDS 1950 digantikan dengan UUD 1945. Pemberlakuannya saat ini hanya karena undangundang tersebut belum dicabut. Selain UU Angket, aturan pelaksanaan hak angket juga diatur dalam UU MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3), terutama Pasal 77 jo Pasal 177 s.d. 183. Pada dasarnya, ada beberapa perbedaan pengaturan antara kedua undangundang tersebut. Antara lain soal jangka waktu dan sifat rapat yang diselenggarakan. Dalam UU Angket tidak ditentukan jangka waktu pelaksanaan hak angket, sementara dalam UU MD3 dibatasi paling lama 60 hari kerja. Dalam UU Angket rapat-rapat angket sifatnya tertutup sementara dalam UU MD3 tidak ditentukan. Lalu bagaimana kedudukan undang-undang yang satu dengan yang lainnya? Berdasarkan asas hukum lex specialis derogat legi generali, jelas bahwa kedudukan UU Angket merupakan undangundang khusus terhadap UU MD3. Hal ini dapat dilihat dari substansi bahwa UU Angket sengaja dibuat untuk mengatur mengenai pelaksanaan hak angket, sementara UU MD3 merupakan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang juga mengatur mengenai hak angket DPR. Hak angket ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan dari DPR, terutama mengawasi kebijakan pemerintah. Namun, hal yang perlu diperdebatkan adalah kebijakan peme-
10
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://matanews.com/wp-content/uploads/Paripurna280909-3.jpg
rintah saat kapan yang menjadi lingkup fungsi pengawasan tersebut. Apakah kebijakan yang lampau, dalam artian kebijakan oleh rejim periode lalu, masih menjadi lingkup fungsi pengawasan DPR sekarang? Sampai sejauh ini tidak ada dasar hukum yang membenarkan atau menyalahkan hal tersebut. Namun secara common sense seyogyanya fungsi pengawasan tersebut dilaksanakan untuk pemerintahan dalam periodenya. Tujuannya jelas adalah agar kebijakan yang dibuat pemerintah pada periode itu tidak menyimpang dari konstitusi, peraturan perundang-undangan serta citacita negara. Hal ini juga tercermin dalam praktek, baik dari era Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945 sampai pasca-amandemen, hak angket selalu dilaksanakan
oleh DPR saat itu untuk kebijakan pemerintah saat itu juga. Hak angket belum pernah dilakukan untuk kebijakan yang dibuat oleh rejim sebelumnya.
Persoalan Angket Kasus Bank Century Panitia Angket Untuk Kasus Century yang dibentuk pada bulan Desember 2009 menjadikan UU No. 6 Tahun 1954 dan UU No 27 Tahun 2009 sebagai dasar hukum. Dalam pelaksanaannya, setidaknya Panitia Angket Bank Century telah melanggar hal-hal sebagai berikut: Kewajiban Pemeriksaan dilakukan dalam Rapat tertutup Rapat Pleno Panitia memutuskan bahwa rapat pemeriksaan Pansus Century prinsipnya dilakukan secara terbuka kecuali ada
Anggota-anggota Panitia Angket wajib merahasiakan keteranganketerangan yang diperoleh dalam pemeriksaan, sampai ada keputusan lain yang diambil oleh rapat pleno tertutup DPR yang diadakan khusus untuk itu.
kondisi tertentu yang akan diputuskan dalam Pansus. Hal ini bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa “Segala pemeriksaan oleh Panitia Angket dilakukan dalam rapat tertutup”. Dalam UU No 27 Tahun 2009 memang tidak disebutkan bahwa pemeriksaan panitia angket dilakukan secara terbuka atau tertutup. Namun, mengingat kedudukan UU No 6 Tahun 1954 merupakan lex specialis terhadap UU No 27 Tahun 2009, maka seharusnya Panitia Angket tersebut tunduk pada aturan Pasal 23 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954. Kewajiban merahasiakan keterangan Pasal 23 ayat (2) UU No 6 Tahun 1954 menyebutkan bahwa:
Kenyataannya Panitia Angket sudah diselenggarakan secara terbuka, dan anggota-anggota panitia angket bahkan telah memberikan opini terhadap keterangan-keterangan yang disampaikan oleh pihak-pihak yang diperiksa oleh panitia. Ketentuan dalam pasal tersebut jelas tersirat bahwa keterangan-keterangan seputar hasil pemeriksaan hanya bisa keluar ke publik melalui pendapat resmi DPR. Sebagaimana kita saksikan, opini-opini seputar hasil pemeriksaan begitu liar dan tak terkendali. Bahkan ada anggota Pansus yang menjadi narasumber acara TV pada saat rapat Pansus sedang berlangsung. Dapat dipahami juga bahwa maksud Pasal tersebut adalah agar tidak timbul spekulasi-spekulasi politik terhadap angket.
Panitia Angket melampaui Kewenangannya Meskipun merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap Pemerintah, dalam kenyataannya, Panitia Angket Century ini bukan dalam rangka mengawasi kebijakan pemerintahan saat ini, melainkan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Dalam hal ini, Panitia Angket Century tersebut dapat dikatakan telah melampaui kewenangannya. Lagi pula tidak ada dasar hukum yang menugaskan kepada DPR saat ini untuk memeriksa kebijakan di masa lalu. Baik itu berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat khusus maupun delegasi
tugas atau amanat dari DPR periode sebelumnya untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dalam sidang paripurna terakhir pada tanggal 30 September 2009, DPR RI periode 20042009 hanya merekomendasikan kepada DPR RI selanjutnya (2009-2014) untuk: 1. Agar BPK segera menyelesaikan audit investigasi dan pendalaman lebih lanjut dari laporan intern ini terhadap dasar hukum 2. Agar BPK segera melakukan audit investigasi jumlah dan penggunaan penyertaan modal sementara yang telah diberikan LPS untuk penyelamatan Bank Century termasuk didalamnya aliran dana penggunaan dana tersebut 3. Meminta kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan lebih lanjut terhadap dugaan tindak pidana terkait dengan kasus Bank Century 4. Meminta kepada DPR RI periode 2009-2014 untuk melakukan monitoring hasil audit investigasi serta pengawasan terhadap penyelesaian kasus Bank Century secara tegas dan konsisten Rekomendasi Komisi XI DPR RI 2004-2009 yang disetujui Paripurna tersebut tidak mengamanatkan kepada DPR untuk membentuk panitia khusus. Dengan demikian terang sudah bahwa DPR RI 2009-2014 yang membentuk Panitia Angket Century tersebut telah melampaui kewenangannya sehingga inkonstitusional. Jika inkonstitusional, maka putusan DPR nanti seputar Kasus Bank Century adalah cacat hukum n FGX
www.p2d.org — konstelasi
11
Sambungan dari hlm. 1 Amir Syamsuddin menghembuskan isu reshuffle kabinet khususnya terhadap anggota kabinet yang berasal dari partai-partai koalisi yang bersuara keras dalam Pansus Century. Cara pandang terhadap pakta integritas sangatlah keliru kalau dikaitkan dengan bentuk koalisi dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, boleh saja parpol-parpol membuat kontrak politik untuk membentuk pemerintahan, tetapi kontrak politik tidak bisa mengikat kalau dibandingkan dengan bentuk perjanjian politik dalam sistem parlementer. Pakta integritas tak bisa dipakai untuk mengatur semua perilaku anggota koalisi. Karena itu tak mengherankan anggota parpol koalisi di DPR tak selalu menjalankan kebijakan yang sama dengan koalisi pemerintah. Dari kedua soal diatas, kita bisa lihat bagaimana SBY dan Partai Demokrat telah terperangkap dalam koalisi yang selama ini diandalkannya. Koalisi besar yang sebelumnya dipandang sebagai modal politik pemeritah SBY sekarang berubah menjadi perangkap laba-laba yang perlahan-lahan menusuk jantung pemerintah. Gagal dalam meyakinkan anggota koalisinya, SBY beralih mencari dukungan dari sejumlah lembaga tinggi negara. Pada tanggal 21 Januari 2010, SBY mengadakan pertemuan dengan pimpinan-pimpinan dari MPR, DPR, DPD, MK, BPK, Komisi Yudisial, dan MA yang pada intinya berupaya meyakinkan para pimpinan lembaga tinggi negara untuk tidak menyetujui kemungkinan langkah pemakzulan. Kunjungan ke markas Kostrad, memimpin latihan perang 12
konstelasi — www.p2d.org
Sumber gambar : http://kabarnet.files.wordpress.com/2010/02/koalisi1.jpg
TNI Angkatan Laut dan berkunjung ke markas Polri yang dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan mungkin adalah jalan lain yang dipilihnya sebagai tindakan antisipatif apabila keadaan politik semakin memburuk. Solusi untuk menyelesaikan kemelut politik saat ini bukanlah suatu hal yang mudah. Kalau DPR tetap berkeras menyatakan ada kesalahan kebijakan dan tindak pidana dalam kasus Bank Century, maka pilihan yang ada terbatas bagi SBY. SBY mungkin akan membiarkan Sri Mulyani dan Boediono menjadi tumbal politik agar posisinya aman dari ancaman pemakzulan.Tetapi kalau tindakan itu yang dipilih, berarti SBY mengingkari sistem presidensial yang meletakkan seluruh tanggung jawab kebijakan pemerintah di tangan presiden. Selain itu, kalau itu yang terjadi, SBY sujud sembah pada permainan politik yang dilakukan oleh mitra koalisinya di DPR. Solusi sebaliknya adalah SBY menjalankan fungsi penanggung jawab tertinggi dalam sistem presidensial dengan membela Sri Mulyani dan Boediono. Tindakan ini mungkin beresiko bahwa SBY
akan menghadapi perlawanan dari dalam koalisinya sendiri, khususnya Partai Golkar dan PKS yang begitu ngotot menyalahkan Boediono dan Sri Mulyani. Dua opsi di atas adalah solusi jangka pendek yang mungkin akan dihadapi oleh SBY. Tetapi kekisruhan politik yang mengarah ke deadlock politik seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, bisa saja terjadi di masa depan kalau kita belum melakukan refleksi kritis terhadap kombinasi sistem multipartai dengan sistem presidensial seperti yang kita jalankan selama ini. Sejumlah ahli politik menyatakan bahwa sistem multipartai lebih cocok dengan sistem parlementer. Apakah kita akan menggunakan sistem parlementer seperti yang pernah kita praktekkan pada masa lalu? Atau kalau kita ingin mempertahankan sistem presidensial, mungkinkah kita mengubah sistem multipartai menjadi sistem dua partai seperti yang dipraktekkan di Amerika Serikat? Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu diajukan agar kita terus mengeksplorasi berbagai kemungkinan di masa depan akan sistem dan praktek politik yang lain n HBX