Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:56:00 PM Sumber : Viva Penulis : Jujuk Ernawati, Fikri Halim
BPS
Sebut Harga Daging Stabil Meski Masih Tinggi
VIVA.co.id – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga daging yang beredar di pasaran hingga akhir tahun masih berkisar di angka Rp110 ribu hingga Rp116 ribu. Harga tersebut masih cenderung tinggi, namun tercatat stabil. Artinya tidak ada kenaikan berarti, meskipun tidak terjadi penurunan. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, harga yang stabil memang diperlukan sebagai harga acuan. Meskipun, masyarakat masih mengharapkan harga daging yang lebih murah. "Harga daging masih stabil (tapi masih) tinggi. Stabil itu penting untuk panduan, kalau turun, ya pasti senang," kata Sasmito di BPS, Kamis, 29 Desember 2016. Sasmito mengungkapkan bahwa harga daging itu menunjukkan kualitasnya. Untuk daging dengan harga yang tinggi tentu kualitasnya lebih bagus ketimbang daging yang lebih murah. "Yang tinggi itu, yang kualitas rata-rata kita konsumsi, tapi kan ada yang benyak lemak, itu harganya paling cuma Rp70 ribu, tergantung mana yang kita konsumsi," kata dia. Sasmito menyebut langkah pemerintah untuk melakukan impor sapi bakalan merupakan salah satu langkah untuk menstabilkan harga daging. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan harga daging. "Kalau tidak impor bisa melambung lagi (harganya), sapi lokal kita kan juga kecil-kecil, biar kecil harganya lebih mahal," tutur dia.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:18:00 PM Sumber : Tempo Penulis : TEMPO.CO
Impor Beras Tahun Ini Lebih Tinggi, Ini Penjelasan BPS TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Sasmito Hadiwibowo mengatakan impor beras tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu, yakni sebanyak 1,2 juta ton. Tahun lalu, impor beras 0,9 juta ton. “Impor beras tinggi pada Januari-Maret itu karena sisa kuota impor yang kontraknya pada 2015 lalu masuk pada awal triwulan III,” kata Sasmito Hadiwibowo saat ditemui di kantor Badan Pusat
Statistik, Jakarta Pusat, Kamis, 29 Desember 2016. Menurut Sasmito, angka impor beras mengalami penurunan jika dibandingkan periode JanuariMaret 2016. Meski mengakui tetap ada impor beras, kata dia, beras yang diimpor hanyalah beras dengan kualitas premium. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan, sepanjang 2016, impor beras hanya untuk kualitas premium. Diketahui, dari data yang disajikan BPS, nilai impor beras pada periode Januari-November 2016 adalah US$ 495,12 juta. Angka ini mengalami kenaikan dari angka tahun sebelumnya, yaitu US$ 351,60 juta. Adapun volume ekspor beras pada Januari-November 2016 adalah 1.000 ton. Angka ini juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 0,5 ribu ton. Sedangkan nilai ekspor beras Januari-November adalah US$ 0,86 juta dan mengalami kenaikan dari nilai ekspor beras tahun sebelumnya, yakni US$ 0,63 juta. DIKO OKTARA
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:15:00 PM Sumber : Kontan Penulis : Pamela Sarnia Yudho Winarto
Kepala BKPM: Kita butuh banyak tenaga kerja asing JAKARTA. Selama ini kehadiran tenaga kerja asing (TKA) dinilai sebagai momok bagi industri ketenagakerjaan Indonesia. TKA dianggap bisa mengurangi kesempatan pencari kerja dalam negeri. Apalagi, bila merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2016, tingkat pengangguran di Indonesia naik menjadi 5,61%. Angka ini menunjukkan bahwa tiap 100 orang yang bekerja ada 5 hingga 6 orang pengangguran. Masih banyak penduduk Indonesia yang membutuhkan pekerjaan. Belum lagi belakangan ini santer isu mengenai serbuan tenaga kerja China yang diduga masuk secara ilegal. Isu yang beredar mencapai 10 juta orang. Namun, berdasarkan data BKPM, total jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya 74.000 atau 0,062% dari total tenaga kerja sebesar 120 juta orang. Maka dari itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak anti tenaga kerja asing. BKPM justru menganggap saat ini Indonesia masih bergantung pada tenaga kerja asing. Kepala BKPM Thomas Lembong menganggap keahlian (transfer of expertise) dan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia penting bila kita ingin maju. "Maaf ya, tapi justru sebenarnya kita butuh jauh lebih banyak tenaga kerja asing di Indonesia," jelasnya. Menurut BKPM, rasio penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja yang ada masih rendah sehingga keberadaannya belum menjadi ancaman. Apalagi bila dibandingkan dengan rasio TKA di negara lain. "Di Qatar 94% tenaga kerja asing, di Uni Arab Emirate bahkan 96%, Singapura 36%. Yang itu mungkin ekstrem ya, tapi Amerika Serikat 16,7%, Malaysia 15,3%, dan Thailand 4.5%" ujar Kepala BKPM Thomas Lembong dalam keterangan resmi kepada KONTAN, Kamis (29/12). Tom menilai bahwa perusahaan Indonesia juga dapat memanfaatkan tenaga kerja asing guna “nyontek” sistem produksi dan cara-cara manajemen di negara lain yang sudah lebih maju. "Kita yang jadi bos mereka, kita dapat memanfaatkan mereka semaksimal mungkin," lanjutnya. Dari data Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja tercatat TKA pada tahun 2015 mencapai 69.025 orang. Kemudian, pada tahun 2016 kembali meningkat menjadi 74.183 orang.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:07:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Harga Bawang Putih Melonjak karena Sudah Mahal dari China JAKARTA - Indonesia hingga saat ini masih ketergantungan dengan impor bawang putih. Akibatnya, harga di luar negeri langsung berdampak pada harga bawang di Indonesia. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadiwibowo mengungkapkan, harga bawang putih asal China saat ini memang tengah mengalami kenaikan. Hal inilah yang menjadi penyebab mahalnya harga bawang putih di Indonesia. Menanam Cabai dan Bawang Mulai DigalakkanMenko Darmin Kritik Cara Tanam Bawang KonvensionalHarga Bawang Merah di Ambon Rp50.000/kg "Makanya harga saat ini naik. Jadi kita lihat harga di luar juga lagi tinggi," tuturnya di Kantor Pusat
BPS, Jakarta, Kamis (29/11/2016). Menurut Sasmito, harga bawang putih saat ini mencapai Rp38 ribu per kg. Padahal, awal tahun ini hanya mencapai Rp25 ribu per kg. BPS pun tak dapat memprediksi sampai kapan harga bawang putih ini mengalami kenaikan. "Belum bisa kita lihat karena harganya kan dari luar negeri," tuturnya. Keadaan sebaliknya justru diprediksi akan terjadi pada cabai. Menurutnya, produksi cabai pada awal tahun depan diprediksi akan lebih besar dibandingkan dengan konsumsi. Akibatnya, harga cabai bisa saja kembali mengalami penurunan. "Jadi ada 94.368 ton dan kebutuhannya 92.368 ton. Kalau di Desember 2016 produksinya sebesar 84.694 ton kebutuhannya 76.472 ton. Jadi harga bisa stabil," jelas Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi pada kesempatan yang sama. Untuk mencapai target ini, Kementrian Pertanian meminta kepada masyakarat atau petani untuk memanfaatkan lahan kosong untuk menanam cabai. Dengan begitu, harga bahan pangan dapat lebih stabil. "Lalu distribusi juga akan lebih merata," tutupnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:06:00 PM Sumber : Kontan Penulis : Noverius Laoli Yudho Winarto
: Impor beras dan jagung masih tinggi di 2016
BPS
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor produk pangan pada tahun 2016 masih tinggi. Khususnya impor beras dan jagung bila dibandingkan ekspor kedua komoditas tersebut. BPS mencatat dari bulan Januari-November 2016 impor beras mencapai 1,2 juta ton dengan nilai US$ 495,12 juta. Sementara ekspor beras baru mencatat 10.000 ton dengan nilai US$ 0,86 juta. Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Sasmito Hadiwibowo mengatakan pada tahun ini, Indonesia mengimpor dan juga mengekspor beras. Ia menjelaskan impor beras itu merupakan bagian dari upaya pemerintah memenuhi kebutuhan dalam negeri. "Sebenarnya izin impor beras itu dilakukan pada tahun 2015, tapi baru direalisasikan pada semester pertama 2016," ujar Sasmito dalam konferensi pers di BPS, Kamis (29/12). Bila dibandingkan realisasi impor beras tahun 2015, maka realisasi impor beras tahun 2016 jauh lebih tinggi. Pasalnya beras impor yang masuk tahun 2015 hanya sebesar 900.000 ton dan 2014 sebesar 800.000 ton. Karena itu, stok beras di gudang Perum Bulog hingga akhir tahun diperkirakan sekitar 1,5 juta ton hingga 1,6 juta ton. Ia menjelaskan berdasarkan harga beras yang diimpor, BPS mencatat harga beras di luar negeri relatif stabil. Beras yang diimpor itu harusnya sudah masuk semua pada bulan Desember 2015, tapi baru terealisasi pada sampai bulan Maret 2016 atau saat Indonesia sudah mulai memasuki panen raya. Sementara itu, BPS mencatat impor jagung sepanjang tahun 2016 mencapai 900.000 ton. Namun bila ditambah impor jagung Perum Bulog 200.000 ton, maka ada total impor jagung 1,2 juta ton sepanjang 2016.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:02:00 PM Sumber : Kompas Penulis : Pramdia Arhando Julianto
Impor Jagung RI Turun Signifikan JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan yang siginifikan terkait impor jagung Indonesia. Pada tahun 2015, tercatat impor jagung mencapai 3,27 juta ton, namun pada tahun ini sampai dengan bulan November tercatat hanya 900 ribu ton. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo mengatakan, sepanjang 2016, impor jagung Indonesia menunjukkan angka yang rendah setiap bulannya. Dia menjelaskan, impor jagung tertinggi hanya terjadi di awal tahun yaitu pada Januari sebesar 350 ribu ton. "November hampir tidak ada impor jagung. Jadi impor jagung kita sepanjang 2016 turun signifikan dari bulan ke bulan," ujar Sasmito di Kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Dia menambahkan, jika dilihat per tahun, telah terjadi penurunan volume impor jagung yang signifikan di 2016. Dari data BPS, pada 2012 impor jagung tercatat sebesar 1,69 juta ton, kemudian naik menjadi 3,19 juta ton di 2013, sebesar 3,25 juta ton di 2014 dan di 2015 sebesar 3,27 juta ton. "Pada 2016 impor jagung hanya sebesar 900 ribu ton, jadi impor jagung di 2016 turun siginifikan dari 2015," paparnya. Dia berharap hingga akhir 2016 impor jagung diharapkan tidak akan menyentuh angka satu juta ton. Ekspor jagung RI pada 2016 juga turun drastis. Ekspor di 2015 mencapai 234,6 ribu ton, namun tahun ini hingga November tercatat hanya 14,9 ribu ton. Sedangkan untuk impor komoditas gandum pada periode Januari hingga November 2016 tercatat 9,79 juta ton, naik dari tahun lalu pada periode yang sama sebesar 6,77 juta ton. "Gandum naik, karena kita tidak bisa produksi gandum. Tetapi gandum kita juga ekspor, jadi barang olahan dan kita jual lagi lebih mahal," papar Sasmito.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:45:00 PM Sumber : Detik Penulis : Yulida Medistiara
Produksi Cabai Diprediksi Naik Jadi 94.368 Ton di Januari 2017 Jakarta - Kementerian Pertanian memprediksi produksi cabai di Januari 2017 naik menjadi 94.368 ton dan kebutuhannya 92.368 ton. Jumlah produksi tersebut meningkat dari bulan Desember 2016 sebesar 84.694 ton dengan kebutuhan 76.472 ton.Kepala Biro Humas dan Informasi Kementan, Agung Hendriadi, mengatakan produksi yang meningkat itu disebabkan panen cabai yang akan terjadi di bulan Januari. Hal itu karena sejak 3 bulan sebelumnya dilakukan tanam cabai di lahan baru."Cabai di bulan Januari kenapa kebutuhannya tinggi, itu Januari itu produksi kira-kira 94,4 ribu ton dibandingkan Desember itu memang pada pertanaman yang panen ada Januari disebabkan pertanamannya itu telah dimulai sejak 3 bulan sebelumya, itu diperkirakan karena luas tanam kita itu pada saat yang tertinggi," kata Agung, di BPS, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2016). Sementara itu, meskipun jumlah produksi dan kebutuhan pada Desember 2016 ini surplus sekitar 8.212 ton, hal ini tidak serta merta membuat harga cabai turun. Melainkan di beberapa tempat terjadi lonjakan harga, bahkan di Jakarta sempat meroket mencapai Rp 90.000/kg.Menurut Agung, hal itu disebabkan distribusi yang tidak merata di daerah tertentu. Menurutnya, harga di tingkat petani justru rendah tetapi ketika dikirim ke tempat tujuan justru mengalami peningkatan sehingga jalur logistik nantinya akan diupayakan untuk segera dibenahi."Surplus sekarang masalahnya adalah distribusi itu belum begitu baik yang membuat mahal. Padahal angka di tingkat petani berkisar sekitar Rp 25.000 di Mataram jenis cabai merah besar," kata Agung.Oleh karena itu, menurutnya untuk mengantisipasi distribusi yang belum merata, Kementan mendorong tiap rumah tangga untuk menanam cabai di perkarangan rumahnya. Hal itu untuk memenuhi kebutuhan di daerah sendiri agar tidak perlu mengirim cabai dari daerah lain. "Logistik kita di Kementan ada manajemen lokasi dan waktu tanam agar menanam cabai itu ada di mana-mana. Kita kerjasama dengan Ibu-ibu PKK misal kita dorong saja menanam cabai di rumah masing-masing," kata Agung.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:39:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Ini yang Perlu Dilakukan agar RI Tak Lagi Impor Pangan JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pangan masih terus dilakukan oleh pemerintah. Di antaranya adalah gandum dan beras. Untuk impor gandum, BPS mencatat totalnya mencapai 9,79 juta ton hingga November 2016. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,77 juta ton. Kurangi Impor, Pemerintah Fokus Kembangkan Tiga Jalur IndustriData Lengkap Soal Impor JanuariOktober 2016Izin Impor Harus Diselesaikan di Awal Tak hanya itu, impor beras juga masih tetap dilakukan. Hanya saja, impor beras ini hanya dilakukan untuk beras dengan kualitas premium atau kebutuhan khusus. Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi mengatakan, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menekan impor. Salah satunya adalah dengan menanam pangan substitusi hingga mengembangkan varietas lainnya. "Peningkatan produktivitas, penanaman varietas baru yang kaitannya varietas yang tahan kekeringan. Itu perlu dilakukan," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (29/12/2016). Berbagai fasilitas pertanian pun tetap akan dikembangkan. Salah satunya adalah pembangunan embung yang ditargetkan mencapai 1300 tahun ini. Selain itu, juga akan dikembangkan fasilitas teknologi lainnya bagi para petani. "Lahan juga harus dimanfaatkan. Ini yang akan kita kembangkan selain juga dengan pemberian alsintan," tukasnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:37:00 PM Sumber : Detik Penulis : Yulida Medistiara
: Harga Pangan Mengalami Penurunan di Akhir Desember 2016
BPS
Jakarta - BPS menyebut harga sebagian besar komoditas pangan pada pekan keempat Desember 2016 menurun dibanding pekan keempat November 2016. Hal tersebut terlihat dari beberapa komoditas seperti cabai merah dan bawang merah. Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan bahwa harga bawang merah pekan keempat Desember ini Rp 34.717/kg, turun dari pekan keempat November 2016, yaitu Rp 42.702/kg. Selain itu harga cabai merah pada Desember 2016 juga turun menjadi Rp 45.901/kg dari November sebesar Rp 64.263/kg."Yang mulai turun selain beras, cabai merah, bawang merah juga turun, tempe menurun, bandeng turun, tapi ikan kembung naik, gula turun, susu turun," kata Sasmito di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Sementara itu, komoditas yang harganya sedang naik adalah bawang putih. Pada pekan keempat Desember ini sebesar Rp 38.972/kg dari periode yang sama November lalu sebesar Rp 38.042/kg. Sedangkan harga cabai rawit juga meningkat pada minggu keempat Desember ini menjadi Rp 72.822/kg, sedangkan harga pada akhir Oktober 2016 Rp 49.855/kg.Sedangkan harga daging ayam ras dan daging sapi fluktuatif. Misalnya harga daging sapi Rp 116.735/kg pada Desember 2016 sedangkan pada awal tahun Rp 110.899/kg. (mca/mca)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:26:00 PM Sumber : Kompas Penulis : Pramdia Arhando Julianto
Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta Ton JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras Indonesia sebesar 1,2 juta ton selama periode Januari - November 2016. Angka ini meningkat sekitar 110,66 persen atau 630,38 ribu ton jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 569,62 ribu ton. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, sebagian impor yang terjadi pada tahun ini merupakan sisa kontrak impor di 2015. "Ini karena sudah kontrak pada 2015 lalu dan karena ada ketentuan denda, jadi tetap diimpor ke Indonesia di awal 2016," ujar Sasmito Hadiwibowo di Kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, produksi beras tahun ini sudah melampaui target produksi 2017 yang dipatok 77 juta ton. Ke depan, pihaknya juga memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor beras di awal 2017 karena dalam waktu tiga sampai lima bulan ke depan stok beras nasional dinyatakan aman. Kepastian ini diperoleh setelah melakukan koordinasi dengan Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Pasar Induk Cipinang, dan Bulog. Jumlah stok beras di gudang Bulog saat ini sebanyak 1,8 juta ton, sedangkan yang dimiliki oleh pedagang kurang lebih sebanyak 15 juta hingga 18 juta ton. "Cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Mei 2017," papar Agung.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:24:00 PM Sumber : Detik Penulis : Muhammad Idris
Harga Bawang Putih Impor China Naik Jadi Rp 36.900/Kg Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada lonjakan harga bawang putih sejak beberapa bulan terakhir. Kenaikan itu terjadi karena harga bawang putih di negara asalnya, China, tengah melambung. Deputi Bidang Statistik Jasa dan Distribusi BPS, Sasmito Hadi Wibowo, mencontohkan harga bawang putih pada 16 Desember 2016 sebesar Rp 36.972/kg.Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan harga bawang putih rata-rata nasional pada 16 Januari 2016 sebesar Rp 25.519/kg, dan 15 Desember 2015 sebesar Rp 23.907/kg. "Bawang putih kan banyakan dari China, yang gede-gede itu, harganya cenderung naik, karena impor dari sana sudah naik," jelas Sasmito di kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Menurut dia, kenaikan tersebut dipicu oleh lonjakan harga bawang putih di China. Sebagai informasi, dari kebutuhan rata-rata bawang putih nasional sebesar 400.000 ton, sebanyak 95% berasal dari impor, terbesar dari China. "Kenaikan harga bawang putih nggak bisa diapa-apain. Karena ini dari sananya (China) sudah naik," ungkap Sasmito.
(idr/hns)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:16:00 PM Sumber : Detik Penulis : Muhammad Idris
: Impor Jagung Turun Drastis, Tapi Impor Gandum Melonjak
BPS
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada penurunan tajam impor jagung pada tahun ini. Jagung impor selama ini lebih banyak digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.Deputi Bidang Statistik Jasa dan Distribusi BPS, Sasmito Hadi Wibowo, mengatakan impor jagung di periode Januari-November 2016 tercatat sebesar 900.000 ton. Sementara impor jagung di periode yang sama tahun lalu sebesar 3,02 juta ton."Jagung ini terjadi penuruan yang sangat signifikan di 2016. Di November bahkan hampir nggak ada impor," jelas Sasmito di kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016).Dia merinci, impor jagung dalam 4 tahun terakhir sebelumnya cukup besar antara lain tahun 2012 sebesar 1,69 juta ton, tahun 2013 sebanyak 3,19 juta ton, tahun 2014 sebanyak 3,25 juta ton, dan tahun 2015 sebesar 3,27 juta ton. Namun demikian, Sasmito mengakui ada kenaikan impor gandum karena ada beberapa industri pakan ternak yang mengalihkan bahan bakunya dari jagung ke gandum.Impor gandum pada periode Januari-November 2015 sebesar 6,77 juta ton. Sementara impor gandum pada periode yang sama di tahun 2016 sebesar 9,79 juta ton."Gandum (impor) juga naik, karena kita kan nggak bisa produksi gandum. Tapi gandum kita juga ekspor, jadi barang (bahan baku) diolah kita jual lagi lebih mahal," pungkas Sasmito.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:10:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Harga Daging Sapi Tak Kunjung Turun, Ini Saran BPS JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga daging sapi masih cukup tinggi. Harga daging pun masih cukup fluktuatif. Menurut data BPS, harga daging sapi masih berada pada level Rp116.000 per kg. Tingginya harga daging ini disebabkan karena masyarakat Indonesia masih tak menyukai daging sapi impor. "Tapi kan ada daging yang lemaknya 30% harganya Rp70.000 per kg. Jadi tergantung daging mana yang dikonsumsi. Bakso kan ada yang murah ada yang mahal," tutur Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadiwibowo di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Namun, lanjutnya, pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menurunkan harga daging. Salah satunya adalah dengan cara melakukan impor sapi hidup hingga kerbau. "Sapi lokal kan kaya ayam lokal, biar kecil harga lebih mahal," tuturnya. Hanya saja, naiknya harga daging sapi ini diyakini tidak akan berdampak besar pada inflasi. BPS pun menyakini bahwa inflasi masih berada pada level 3% hingga tutup tahun 2016. "Harga daging di bulan-bulan terakhir itu terjaga. Inflasi capai angka 4% itu sulit. Saya kira ada di kepala 3%," tutupnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:07:00 PM Sumber : Detik Penulis : Yulida Medistiara
Begini Jurus Kementan Sehingga RI Tak Impor Beras Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat Indonesia tak lagi impor beras tahun ini. Impor beras di awal tahun ini merupakan sisa impor 2015 yang dikucurkan di 2016."Memang di 2016 ada impor beras yang masuk, itu residu dari keputusan impor 2015 pada bulan September, Oktober, November ada rekomendasi impor 1,1 juta ton. Sebagian masuknya di triwulan pertama 2016, selanjutnya tidak ada impor sampai sekarang," kata Kabiro Humas dan Informasi Kementan, Agung Hendriadi, di Kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Kamis (29/12/2016). Agung menjelaskan, tidak adanya impor beras itu berkat upaya khusus yang dilakukan Kementan untuk meningkatkan produksi beras. Misalnya dengan menambah luas tanam padi serta menanam tanaman yang tahan dengan kekeringan karena dampak El nino. "Meningkatkan luas tanam, peningkatan produktivitas, penanaman varietas baru yang kaitannya varietas yang tahan kekeringan padi jenis inpari 30, inpari 29," kata Agung.Misalnya penambahan luas tanam dari 2014 hingga saat ini seluas 14 juta hektar dari sebelumnya 12 juta hektar. Selain itu, menambah pembuatan embung sekitar 1.300 unit untuk mengairi lahan yang belum terdapat irigasi. "Kita membangun embung di daerah-daerah yang belum teraliri air, embung hingga akhir 2016 ada tambahan sekitar 1.300," ujarnya. Selain itu penggunaan teknologi tanam pertanian, serta pemanfaatan lahan rawa menjadi pertanian. Kementan dalam hal ini mengirimkan bantuan ke daeah-daerah terkait alsintan (alat mesin pertanian) berikut dengan bantuan benih kepada petani. Agung menambahkan, impor beras tetap ada tapi hanya untuk jenis premium. Beras jenis ini untuk memasok kebutuhan hotel, restoran, dan kafe.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:06:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Akhir Tahun, BPS: Harga Cabai Rawit Kian Pedas JAKARTA - Harga pangan mulai mengalami gejolak jelang akhir tahun 2016. Menurut catatan Badan
Pusat Statistik (BPS), harga cabai rawit mengalami kenaikan tertinggi pada akhir 2016. Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo, harga cabai rawit hingga pekan keempat bulan ini telah mencapai Rp72 ribu per kg. Lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai Rp35 ribu per kg. Pemerintah Tak Lagi Impor Cabai di 2016Kementan Kembangkan Daerah Penyangga Produksi Cabai di Luar JawaSoal Harga Cabai, Petani dan Konsumen Harus Sama-Sama Untung "Jadi harga cabai rawit semakin pedas. Mungkin masyarakat bisa melakukan substitusi dengan mengkonsumsi cabai biasa," kata Sasmito di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Sementara itu, beberapa harga bahan komoditas lainnya mengalami penurunan. Di antaranya adalah bawang merah yang hanya mencapai Rp34 ribu per kg dan cabai merah pada level Rp45 ribu per kg. Sedangkan bawang putih mengalami sedikit kenaikan pada level Rp38 ribu per kg karena masih berpatokan dengan impor dari negara lain. Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Humas Kementan, Agung Hendriadi mengatakan, stabilnya beberapa harga bahan pangan tidak terlepas dari adanya kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan harga acuan pangan. "Ada harga batas atas dan batas bawah dan ini cukup dapat stabilkan harga," tukasnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:04:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Uniknya Indonesia, Tak Tanam Gandum tapi Ekspor ke Luar Negeri JAKARTA - Indonesia selama ini selalu melakukan impor gandum. Hal ini dilakukan lantaran Indonesia tak dapat menanam gandum karena keadaan geografis. Hanya saja, Indonesia ternyata juga melakukan ekspor. Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadiwibowo, hal ini adalah salah satu wujud dari uniknya impor di Indonesia. "Gandum mau enggak mau kita selalu impor. Tapi yang menarik kita juga ekspor," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Indonesia pun telah dianggap menyamai negara lainnya yang mampu melakukan ekspor, namun tak memiliki sumber daya sendiri. Ekspor ini juga dapat dilakukan karena adanya substitusi dari masyarakat ke komoditas jagung. "Kita tidak produksi tadi ekspor. Tidak hanya Singapura, tapi Indonesia juga bisa," tutupnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:42:00 PM Sumber : Detik Penulis : Muhammad Idris
: Harga Daging Sapi Stabil, Tapi Masih Tinggi
BPS
Jakarta - Berbagai cara dilakukan pemerintah agar harga daging sapi bisa turun. Salah satunya membuka impor daging sapi beku, jeroan, sampai yang teranyar impor daging kerbau India.Deputi Bidang Statistik Jasa dan Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, mengatakan harga daging sapi segar memang masih tinggi, namun tergolong stabil dalam beberapa bulan terakhir.
BPS mencatat, harga daging sapi segar dalam 3 bulan terakhir sekitar Rp 116.000/kg. Meski daging sapi segar tinggi, masyarakat tetap punya pilihan daging dengan harga lebih terjangkau."Harga sapi stabil tapi tinggi. Ini kan soal kualitas daging sapi, yang setelah tetelan dan tulang dikeluarkan, ada yang lemaknya banyak dikeluarkan. Tapi kan ada daging yang lemaknya 30% tapi harganya Rp 70.000/kg," jelasnya di kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). "Jadi tergantung daging mana yang kita konsumsi. Bakso kan ada yang murah ada yang mahal, ada juga bakso dari dagingnya yang murah tapi enak," tambah Sasmito. Menurutnya, impor sapi bakalan hidup, daging sapi beku, maupun daging kerbau cukup efektif membuat harga daging sapi segar tak lagi berfluktuatif."Kalau nggak impor melambung banyak. Sapi lokal kan kaya ayam lokal, biar kecil harga lebih mahal, itu yang jadi balance (keseimbangan) juga," pungkas Sasmito. (idr/hns)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:41:00 PM Sumber : MetroTvNews Penulis : Dian Ihsan Siregar
Kementan Klaim Impor Beras Turun di 2016 Metrotvnews.com, Jakarta: Impor beras mengalami penurunan di 2016, bila dibanding 2015 lalu. Hal itu disebabkan adanya program upaya khusus (Upsus) yang meningkatkan produksi pangan. Indonesia tidak mengimpor beras sepanjang 2016. Jika pun ada merupakan kontrak yang terjadi pada kuartal akhir 2015 yang baru terealisasi pada awal kuartal di 2016. Setelah 1,1 juta ton didatangkan pada kuartal I-2016, Kementan mengklaim Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras. Impor yang dilakukan hanya merupakan beras jenis premium. "Memang di 2016 ada impor beras yang masuk, itu residu dari keputusan impor 2015 pada September, Oktober, November ada rekomendasi impor 1,1 juta ton, sebagian masuknya di triwulan pertama 2016, selanjutnya tidak ada impor sampai sekarang," ujar Kabiro Humas dan Informasi Kementan, Agung Hendriadi, ditemui di kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Kamis (29/12/2016). Agung mengakui di tahun ini ada impor beras, tapi impor itu merupakan jenis beras premium, serta beras untuk memenuhi kebutuhan restoran Jepang dan Timur Tengah yang memerlukan beras khusus dari negara asalnya. "Itu terkait dengan beras, apa yang kita capai, enggak impor beras kecuali premium tak lepas dari kegiatan upsus kira-kira 2 tahun ini kita kerjakan," tegas Agung. Indonesia yang sudah tidak ketergantungan lagi dengan beras impor, lanjut Agung, karena adanya upaya khusus Kementan dalam meningkatkan produksi beras, seperti menambah luas tanam padi, dan menanam tanaman yang tahan dengan kekeringan akibat dampak El Nino. "Meningkatkan luas tanam, peningkatan produktivitas, penanaman varietas baru yang kaitannya varietas yang tahan kekeringan padi jenis inpari 30, inpari 29," terang Agung. Bukan hanya itu, dia menambahkan, pengurangan impor beras juga dikarenakan adanya teknologi tanam pertanian, serta memanfaatkan lahan rawa menjadi pertanian.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:39:00 PM Sumber : Liputan6 Penulis : Septian Deny
Impor Jagung Indonesia Turun Tajam Sepanjang 2016 Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi penurunan signifikan pada impor jagung sepanjang tahun ini. Jika pada 2015 impor jagung mencapai 3,27 juta ton, maka pada tahun ini hingga November tercatat baru sebesar 900 ribu ton. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo mengatakan, sepanjang 2016 impor jagung Indonesia relatif kecil untuk setiap bulannya. Volume impor tertinggi hanya terjadi di awal tahun yaitu pada Januari sebesar 350 ribu ton, Februari 190 ribu ton dan Maret 140 ribu ton . Sedangkan dari April hingga November, impor komoditas tersebut tercatat di bawah 100 ribu ton per bulannya. Bahkan di November tidak ada impor jagung. "November hampir nggak ada impor jagung. Jadi impor jagung kita sepanjang 2016 turun signifikan dari bulan ke bulan," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016).Selain itu, jika dilihat per tahun, juga terjadi penurunan volume impor jagung yang signifikan di 2016. Pada 2012 impor jagung tercatat sebesar 1,69 juta ton, kemudian naik menjadi 3,19 juta ton di 2013, sebesar 3,25 juta ton di 2014 dan di 2015 sebesar 3,27 juta ton. Namun pada 2016 impor jagung hanya sebesar 900 ribu ton."Jadi impor jagung di 2016 turun siginifikan, jauh beda dengan 2015. Pada 2015 impornya jutaan ton, 3,27 juta ton. Tapi sekarang baru 0,9 juta (900 ribu) ton. Mudah-mudahan nggak menyentuh 1 juta ton. Jadi sangat berkurang impor jagung kita dari waktu ke waktu," jelas dia. Selain soal impor, BPS juga menyoroti ekspor jagung yang dilakukan oleh Indonesia. Untuk ekspor di tahun ini memang tidak sebesar tahun lalu. Jika ekspor di 2015 mencapai 234,6 ribu ton, di tahun ini hingga November tercatat batu 14,9 ribu ton. "Jagung ini adalah kebanyakan untuk makanan ternak, walau kita juga makan buat jagung rebus, jagung bakar dan sebagainya. Kita lihat ekspor jagung di 2015, bahkan mendekati 40 ribu ton sebulan (rata-rata). Tapi kemudian kita kurangi ekspornya karena kebutuhan dalam negeri meningkat," tandas dia.(Dny/Nrm)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:30:00 PM Sumber : Merdeka Penulis : Siti Nur Azzura
Akhir tahun, BPS sebut harga beras dan cabai merah turun Merdeka.com - Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mencatat menjelang akhir 2016, terdapat beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga. Menurutnya, penurunan ini terjadi di minggu terakhir Desember 2016. Dapatkan diskon Rp 300,000 untuk tiket libur Natal & Tahun baru-mu"Menjelang akhir tahun, ada beberapa gambaran dari komoditas-komoditas yang sering berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia," kata Sasmito di gedung BPS, Jakarta, Kamis (29/12).Dia mencatat, menjelang akhir tahun, harga beras dan cabai merah mengalami penurunan. Di mana harga nasional untuk beras mencapai Rp 10.695 per kilogram dan harga nasional untuk cabai merah mencapai Rp 37.168 per kilogram."Kemudian bawang merah harganya turun terus. Tempe agak menurun, tepung terigu turun, ikan bandeng agak menurun, tapi ikan kembung agak naik. Lalu gula pasir turun, susu kental manis turun. Ada juga bawang putih stabil, dan daging ayam ras agak fluktuatif sejauh ini," imbuhnya.Selain itu, harga emas dan perhiasan juga mengalami penurunan. "Ini kesempatan bagi yang mau beli emas. Pada bulan Agustus 2016 harga emas Rp 455.000 per gram, sekarang 411.000 per gram," imbuhnya. Sementara itu, komoditas yang mengalami kenaikan harga, yakni rokok dan gas elpiji. Harga minyak goreng juga mengalami kenaikan, di mana hingga hari ini mencapai Rp 11.725 per liter."Minyak goreng agak sedikit naik tapi kita penguasa CPO dunia jadi tidak usah khawatir kalau minyak goreng sedikit intervensi tidak masalah," pungkas Sasmito.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:23:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Pemerintah Tak Lagi Impor Cabai di 2016 JAKARTA - Impor cabai segar pada tahun ini tidak lagi dilakukan oleh pemerintah. Menurut catatan Kementerian Pertanian, data impor cabai segar masih nihil alias tidak dilakukan sama sekali. "Impor cabai segar 2015 sebanyak 43 ton dilakukan mulai Januari hingga Oktober. Jadi setelah Oktober 2015 hingga 2016 tidak ada impor cabai segar," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan bahwa impor cabai segar tak lagi dilakukan oleh pemerintah. Hanya saja, impor cabai olahan masih tetap dilakukan hingga saat ini. "Kalau cabai, menurut catatan kita yang dilakukan hanya impor cabai olahan. Jadi masuknya ke bahan industri olahan, bukan pangan," tuturnya. Diharapkan, hal ini dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Dengan begitu, maka petani cabai di Indonesia dapat memiliki keuntungan dari penjualan cabai karena tidak adanya tekanan dari cabai impor.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:19:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
BPS
Prediksi Harga Emas hingga Beras Turun di Akhir 2016
JAKARTA - Harga bahan kebutuhan pokok jelang akhir tahun biasanya selalu mengalami kenaikan. Hal ini bertepatan dengan adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi pada akhir tahun ini harga beberapa bahan pangan mengalami penurunan. Salah satunya adalah cabai hingga beras. Pasokan BBM Aman hingga Tahun BaruMenhub Geram Maskapai Seenaknya Naikkan Harga TiketBoneka 3 Dimensi Laris Manis Jadi Hiasan Natal "Lalu ada bawang merah harganya turun terus. Tempe agak menurun, tepung terigu turun, ikan bandeng agak menurun, tapi ikan kembung agak naik. Lalu gula pasir turun, susu kental manis turun. Ada juga bawang putih stabil, dan daging ayam ras agak fluktuatif," tutur Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Tak hanya itu, harga emas juga mengalami penurunan. Menurut Sasmito, hal ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk berinvestasi. "Pada bulan Agustus 2016 harga emas Rp455.000 per gram, sekarang Rp411.000 per gram. Jadi bagus untuk berinvestasi," jelasnya. Namun, terdapat beberapa harga bahan pangan yang mengalami kenaikan. Salah satunya adalah minyak goreng. Namun, BPS meminta bahwa hal ini tidak perlu dikhawatirkan oleh masyarakat. "Minyak goreng agak sedikit naik tapi kita penguasa CPO dunia jadi tidak usah khawatir. Jadi kalau minyak goreng sedikit intervensi itu bisa saja," tutupnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 7:14:00 PM Sumber : Detik Penulis : Yulida Medistiara
Kementan: RI Tak Lagi Impor Cabai, Kalau Ada Itu Produk Olahan Jakarta - Kementan Pertanian menyebut pada tahun 2016 ini pemerintah tidak mengimpor cabai. Jika pun ada menurut Kementan adalah cabai olahan yang data impornya disatukan BPS. Menurut Kementan, Indonesia memang mengimpor cabai, tetapi itu adalah cabai olahan seperti sambal atau pun cabai yang diawetkan. Sementara cabai segar, Indonesia tidak lagi mengimpor tahun 2016. "2016 kita tidak impor cabai, kalau pun ada data impor, itu adalah cabai kering atau cabai olahan, tapi cabai segar tidak ada yang impor," ujar Kabiro Humas dan Informasi Publik Kementan, Agung Hendriadi, di BPS, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2016). Jika pun ada di dalam data impor cabai, menurut Agung, data impor cabai olahan tersebut disatukan oleh BPS sehingga cabai dinilai masih impor, padahal cabai segar tidak diimpor. Sementara itu, Agung tidak menyebutkan angka impor cabai olahan hingga kini. "Kalau pun ada data impor itu adalah cabai olahan karena di BPS data tersebut disatukan antara cabai segar dan olahan. Jadi di komponen impor, itu di industri pengolahan," imbuhnya. Berdasarkan data Kementan, ketersediaan cabai pada bulan November sebesar 77,847 ton sedangkan kebutuhan cabai hanya 75,761 ton sehingga ada surplus sekitar 2,086 ton. Data tersebut meningkat pada Desember, jumlah produksi cabai sebanyak 84,684 ton sementara kebutuhannya sebesar 76,472 sehingga ada surplus produksi. Sementara tahun 2017, diprediksi pada bulan Januari produksinya meningkat menjadi 94.368 ton sementara kebutuhannya 92.101 ton. Namun, menurut Agung besaran produksi tersebut tidak serta merta distribusinya merata, hal itu lah yang menyebabkan tingginya harga cabai di pasaran. "Di daerah ada cabai yang menumpuk tetapi distribusinya tidak merata, itu yang menyebabkan naiknya harga cabai di daerah sehingga ke depan distribusi sedang kita perbaiki," ujarnya. (hns/hns)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:58:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Kementan: Produksi Padi 2016 Capai 79,14 Juta Ton JAKARTA - Kementerian Pertanian mencatat, berdasarkan data Pra Angka Ralaman (Aram) BPS, produksi padi 2016 sebesar 79,14 juta ton. Produksi ini lebih tinggi dibandingkan 2014 dan 2015 lalu. Dengan asumsi harga gabah sebesar Rp4.000 per kg, maka uang yang diterima langsung petani yaitu mencapai Rp316,56 triliun. Menurut Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi, produksi pangan 2014-2016, terdapat kenaikan produksi padi 2014 hingga 2016. Dengan memperhitungkan tambahan kenaikan anggaran 2014 hingga 2016 sebesar Rp29,4 triliun, diperoleh tambahan kenaikan produksi padi sebanyak 12,94 juta ton. "Penghasilan yang diperoleh petani dengan memperhitungkan harga gabah Rp4.000 per kg yakni mencapai Rp51,76 Triliun," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Untuk itu, Kementan pun tak lagi melakukan impor pada tahun 2016. Menurutnya, impor yang dilakukan hanya merupakan turunan kerja sama impor 2015 dan impor beras premium. "Kita butuh beras khusus premium, beras jepang, beras Madi, india resto timteng, butuh beras khusus yamg hanya bisa diproduksi di wilayah mereka. Ini sebetulnya di Januari-Maret 2016 ada impor tinggi tapi kontraknya ada di 2015," kata Deputi Bidang Statistik. Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo pada saat yang sama.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:57:00 PM Sumber : Republika Penulis : Nur Aini
Pemerintah Catat Impor Jagung Capai 1,1 Juta Ton REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mencatat impor komoditas jagung periode JanuariNovember tahun ini mencapai 900 ribu ton. Namun angka tersebut belum ditambah impor yang dilakukan Bulog sebesar 200 ribu ton.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadiwibowo mengatakan, Kementerian Pertanian melakukan ekspor jagung yang cukup tinggi pada 2015 begitu juga dengan impor. Namun pada Januari 2016 ekspor jagung ditekan untuk memenuhi kebutuhan pakan dalam negeri. Hal itu berdampak pada penurunan secara signifikan impor jagung di 2016 tiap bulannya. "November hampir nggak ada," ujarnya. Berdasarkan data yang diterima Republika.co.id dari BPS, nilai impor jagung pada Januari hingga November mencapai 179,86 juta dolar AS. Sementara nilai ekspor mencapai 4,75 juta dolar AS dari ekspor 14,9 ribu ton yang diakui Sasmito merupakan puncak ekspor jagung selama lima tahun terakhir.
Sebaliknya, untuk komoditas gandum diakui Sasmita masih impor. Hal ini mau tidak mau harus dilakukan untuk mengisi kebutuhan industri akan gandum seperti industri roti dan mie. "Tapi yang menarik, kita juga ekspor. Tidak memproduksi tapi bisa mengekspor," ujarnya.
Ekspor tersebut dilakukan dari gandum yang sebelumnya merupakan impor. "Kita ekspor dengan harga yang lebih mahal," katanya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:55:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
EL Nino dan La Nina RI Lebih Parah, Kementan: Impor Beras Justru Turun JAKARTA - Indonesia pada tahun 2015 lalu menghadapi musim kemarau panjang atau El Nino. Akibatnya, produksi beras di Indonesia pun mengalami penurunan. Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi mengatakan bahwa El Nino tahun 2015 lalu lebih parah dibandingkan tahun 1998 lalu. Hanya saja, impor beras justru mengalami penurunan. Kementan: Produksi Padi 2016 Capai 79,14 Juta TonRI Ekspor Beras 1.000 Ton, tapi Impor 1,2 Juta Ton di 2016Mendag Maksimalkan Fungsi Gudang Penyimpan Beras "Saat El Nino 1998 dengan kekuatanya 2,53 °c dan jumlah penduduk 201,54 juta jiwa, Indonesia impor beras sebesar 7,10 juta ton. Sementara jika dibandingkan dengan El Nino 2015 dengan kekuatannya lebih kuat dibanding 1998 yakni sebesar 2,95 °c dan jumlah penduduk 255,44 juta jiwa, Indonesia hanya mengimpor beras sebesar 1,15 juta ton," ujarnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Hal serupa juga terjadi pada tahun ini, tepatnya saat Indonesia memasuki musim penghujan atau La Nina. Pada saat La Nina 1999 dengan kekuatannya (1,92) °c dan jumlah penduduk 204,78 juta jiwa, Indonesia mengimpor beras sebanyak 5,04 juta ton. Namun, saat La Nina 2016 dengan jumlah penduduk 258,48 juta jiwa, Indonesia tidak melakukan impor beras. "Padahal La Nina 2016 lebih kuat dibanding 1999 yakni (0,72 )°c" jelasnya. Salah satu penyebab dari berhasilnya impor beras ditekan adalah karena adanya berbagai program khusus yang telah dilakukan. Salah satunya adalah penyerapan gabah secara langsung bagi petani. "Apabila tidak ada Program Upaya Khusus (UPSUS), maka dengan esktrapolasi semestinya di tahun 2015 hingga 2016 Indonesia impor beras 16,8 juta ton. Akan tetapi, berkat adanya program UPSUS, tahun 2016 tidak ada impor beras," tukasnya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:53:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Kementan Klaim Impor Jagung Turun 60% JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat impor jagung sepanjang tahun 2016 mengalami penurunan. Jumlah jagung impor pun menurun hingga 60%. Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi mengatakan, impor jagung pada tahun 2015 lalu mencapai 3,2 juta ton. Sementara itu, hingga Januari-Oktober 2016, total impor jagung hanya mencapai 130.677 ton. "Jadi untuk tahun ini mengalami penurunan 60%," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Namun, data ini terlihat timpang dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS, impor jagung pada Januari hingga November mencapai 900 ribu ton. Artinya, apabila berpatokan dengan data Kementan hingga Oktober di mana impor, maka sepanjang November impor jagung mencapai 130.677 ton, jumlah ini memiliki selisih yang cukup besar. Kecuali terdapat peningkatan impor jagung hingga 770 ribu ton sepanjang November. Hanya saja, Kementan memprediksi data impor jagung tetap mengalami penurunan secara bertahap. Salah satunya adalah karena meningkatnya produksi jagung secara bertahap di Indonesia.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:47:00 PM Sumber : Detik Penulis : Muhammad Idris
RI Masih Impor Beras Jenis Ini Setiap Bulan Jakarta - Meski ada kenaikan produksi beras di dalam negeri, impor beras setiap tahun tak bisa dihapuskan. Beras yang diimpor adalah jenis premium atau kehusus untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan impor beras tak bisa dihindari lantaran beras yang didatangkan dari luar merupakan beras khusus."Setiap bulan ada impor beras, tapi juga ada ekspor beras. Kita butuh beras premium seperti beras Jepang, beras mandi, beras untuk restoran India. Jadi berasnya harus beras khusus yang hanya bisa diproduksi di wilayah mereka," jelasnya di kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016).Soal beras impor yang masuk cukup besar pada triwulan pertama 2016, jelas dia, hal itu terjadi karena ada sisa beras impor dari tahun 2015 yang belum direalisasikan. "Sebetulnya impor di Januari, Februari, dan Maret ada lonjakan. Itu dari kontrak lama di 2015, negara eksportir baru kirimkan berasnya di 2016. Jadi itu residu atau sisa impor dari tahun lalu," ujar Sasmito.Data BPS, impor pada awal 2016 sendiri memang mengalami lonjakan. Pada Januari impor beras tercatat sebesar 382.550 ton, Februari 296.370 ton, Maret 303.080 ton. 2Selain itu lanjutnya, Indonesia juga sebenarnya mengekspor beras rutin setiap bulan, meski diakuinya volumenya masih kecil. Ekspor beras Indonesia seperti pada Januari tercatat 90 ton, Februari 530 ton, Maret 10 ton, April 150 ton, Mei 20 ton, Juni 90 ton, juli 80 ton, Agustus sampai Oktober tidak ada ekspor, dan November 30 ton.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:44:00 PM Sumber : Liputan6 Penulis : Septian Deny
: Impor Beras di Tahun Ini Adalah Sisa Kontrak 2015
BPS
Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan impor beras Indonesia relatif minim sepanjang 2016. Adapun langkah impor yang terjadi pada tahun ini hanya untuk beras premium, atau sisa kontrak impor di 2015."Di 2016 dari Januari-November tipis sekali impor berasnya. Ada karena kita butuh beras premium," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo di Jakarta, Kamis (29/12/2016).Dia mengakui, pada tahun ini masih ada impor beras dalam jumlah yang cukup besar kurun Januari-Maret. Beras impor tersebut dikatakan merupakan sisa kontrak impor di 2015. "Kontrak di 2015 tapi negara yang bersangkutan baru kirim di Januari 2016. Itu kemudian kita penuhi untuk cadangan beras kita. Jadi tingginya impor beras di 2016 karena sisa kontrak di 2015 tapi baru di-deliver di 2016," kata dia.Secara total, besaran impor beras kurun April-November dinilai sangat minim, bahkan tidak mencapai 50 ribu tiap bulan. Itu pun hanya beras premium yang tidak diproduksi di dalam negeri."Impor beras medium hampir tidak ada, hanya premium saja. Jadi mulai April 2016 tinggal impor beras premium saja," tandas dia.Berdasarkan data BPS, pada tahun ini impor beras di Januari sebesar 382,5 ribu ton, Februari 296,3 ribu ton, Maret 303 ribu ton. Kemudian impor turun drastis di April menjadi 36,5 ribu ton, Mei 28,9 ribu ton, Juni 26,1 ribu ton, Juli 16,3 ribu ton, Agustus 38,4 ribu ton, September 17,7 ribu ton, Oktober 17,2 ribu ton, dan November 33,8 ribu ton. (Dny/Nrm)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:42:00 PM Sumber : Liputan6 Penulis : Septian Deny
Penjelasan BPS Soal Masih Tingginya Harga Daging Sapi Liputan6.com, Jakarta - Harga daging sapi di pasar tradisional masih tinggi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ini harga komoditas tersebut masih berkisar antara Rp 110 ribu-Rp 116 ribu per kg. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo mengakui harga daging sapi di sepanjang tahun ini memang stabil tinggi. Namun sebenarnya ada juga jenis daging yang harganya lebih murah. "Daging ini memang stabil tinggi. Tapi kestabilan itu penting untuk konsumen sebagai panduan. Kalau bisa turun ya pasti konsumen lebih senang. Tapi yang tinggi itu daging yang kualitasnya ratarata kita konsumsi," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Dia mencontohkan, daging dengan lemak biasanya dijual dengan harga Rp 70 ribu per kg. Sehingga tidak bisa dikatakan jika harga daging itu tinggi. "Kan ada lemaknya banyak harganya paling Rp 70 ribu. Tergantung mana yang kita konsumsi. Tapi tingkat gaya hidup masyarakat meningkat, maunya kualitas bagus harga murah, tapi intinya situasi masih seperti itu," lanjut dia Namun demikian, Sasmito menyatakan impor sapi bakalan dan daging yang terus menerus dilakukan juga tidak bisa disalahkan. Sebab jika impor ini tidak dilakukan justru akan memicu harga daging sapi lebih tinggi lagi. "Bagaimana pun kita impor sapi bakalan itu perlu, kalau tidak impor bisa melambung lagi. Sapi lokal kita juga kan kecil-kecil. Tapi biar kecil harganya lebih mahal kaya ayam kampung saja," tandas dia. Sebelumnya pada 22 Desember 2016, Kementerian Perdagangan memfasilitasi penandatanganan nota kesepahaman kemitraan pendistribusian daging antara Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI). Fasilitas ini merupakan salah satu langkah konkret untuk mendorong turunnya harga daging di pasar rakyat. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, harga jual daging yang disepakati dalam nota kesepahaman tersebut maksimal sebesar Rp 80 ribu per kg. "Ini merupakan upaya stabilisasi harga daging sapi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Perum Bulog akan berperan sebagai penyedia stok daging dan ADDI sebagai pelaku distribusi," ujar dia. Dalam nota kesepahaman disepakati Perum Bulog dan ADDI akan menyediakan dan mendistribusikan daging sapi untuk pasar rakyat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). "Diharapkan nota kesepahaman ini dapat memberikan dampak nyata turunnya harga di pasaran dan membantu masyarakat untuk memperoleh daging dengan harga yang terjangkau," ujar dia. (Dny/Gdn)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:27:00 PM Sumber : Viva Penulis : Rochimawati, Fikri Halim
BPS
Ungkap Alasan Impor Beras 2016 Meningkat
VIVA.co.id – Badan Pusat Statistik menyatakan impor beras pada 2016 meningkat dibandingkan 2015. Tercatat volume impor beras pada periode Januari hingga November 2016 sebanyak 1,2 juta ton. Sementara itu, pada 2015 dengan periode yang sama hanya 900 ribu ton.
BPS juga mencatat kenaikan nilai impor pada periode Januari-November 2016 dibanding periode sama tahun lalu, yaitu dari US$351,6 juta pada 2015 menjadi US$495,12 juta pada 2016. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan alasan bahwa kenaikan impor disumbang oleh tingginya volume impor pada tiga bulan pertama. "Ini sebetulnya di Januari, Februari, Maret 2016, ada impor tinggi tapi kontraknya sebetulnya ada di 2015," kata Sasmito di kantor pusat BPS, Jakarta, Kamis 29 Desember 2016. Sementara itu, untuk April hingga November 2016, peningkatan impor beras disumbang dari impor beras jenis khusus yang dibutuhkan oleh restoran. Dalam periode itu, dipastikan beras medium atau beras yang biasa dikonsumsi rumah tangga tidak meningkat. "Karena kita butuh beras khusus, seperti beras premium, beras Jepang, beras madi, dan beras India buat restoran (khas) Timur Tengah. Butuh beras khusus yang hanya bisa diproduksi di wilayah mereka (eksportir)," tuturnya. Sasmito menambahkan, kenaikan impor beras dari luar negeri, lebih kepada faktor harga. Harga beras dari luar negeri lebih stabil ketimbang dalam negeri.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 6:21:00 PM Sumber : Republika Penulis : Nur Aini
Swasembada Beras Tapi Impor Tercatat 1,2 Juta Ton, Ini Alasannya REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengklaim mampu swasembada beras sepanjang 2015. Produksi beras nasional dinilai mencukupi tanpa impor. Namun, impor beras ternyata masih dilakukan pemerintah yakni jenis beras premium."Kita perlu beras premium untuk beberapa restoran tertentu," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadiwibowo, Kamis (29/12). Ia mengatakan, meski swasembada beras tapi Indonesia masih membutuhkan produk yang hanya berada di negara-negara tertentu, seperti beras premium asal Timur Tengah, India, dan Jepang. Berdasarkan data yang diberikan, impor beras pada Januari hingga November 2016 mencapai 1,2 juta ton. Selain beras premium, angka tersebut juga merupakan impor beras medium yang merupakan residu izin impor tahun lalu. Menurutnya, pada Januari-Maret 2016 terjadi impor beras yang tinggi, sekitar 300 hingga 400 ribu ton yang merupakan kontrak 2015 tetapi baru dikirim tahun ini. "Kita gunakan beras itu untuk menambah cadangan beras kita," ujarnya. Intinya, kata dia, Indonesia tahun ini tidak melakukan impor beras biasa. Bahkan, Indonesia mengekspor hingga seribu ton pada Januari hingga November ini. Ekspor tersebut mencapai nilai 0,86 juta dolar AS. Sementara itu Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, produksi beras tahun ini sudah melampaui target produksi 2017 yang dipatok 77 juta ton. Pemerintah juga memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor beras di awal 2017 karena dalam waktu 3-5 bulan ke depan stok beras nasional akan aman. Kepastian ini diperoleh setelah melakukan koordinasi dengan Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Pasar Induk Cipinang, dan Bulog. Jumlah stok beras di gudang Bulog saat ini sebanyak 1,8 juta ton sedangkan yang dimiliki oleh pedagang kurang lebih sebanyak 15 juta hingga 18 juta ton. "Cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Mei 2017," katanya.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 5:57:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
: RI Impor Jagung 900 Ribu Ton Sepanjang 2016
BPS
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor jagung sepanjang Januari hingga September tahun 2016 sebesar 900 ribu ton. Nilainya pun mencapai USD179,86 juta. Menurut Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo, impor jagung ini mengalami penurunan dibanding tahun lalu. Hal ini membuktikan bahwa produksi jagung di Indonesia telah mulai mengalami peningkatan. Kementan Klaim Impor Jagung Turun 60%Soal Data Jagung dan Beras, Menko Darmin: Jangan Menyesatkan!Impor Jagung Turun, tapi Gandum Meningkat "Kalau impor dari sisi nilai itu masih berkurang," tuturnya di Kantor Pusat BPS Jakarta, Kamis (29/12/2016). Namun, menurut catatan BPS, pemerintah juga berhasil melakukan ekspor jagung. Meskipun kecil, tercatat ekspor jagung pada Januari hingga November mencapai 14,9 ribu ton dengan total nilai impor USD4,75 juta "Tapi puncak ekspor jagung kita 2015," tuturnya. Mengutip data BPS, berikut adalah data impor jagung sejak Januari 2016: 1. Januari
Nilai impor: USD13,22 juta
Volume impor: 0,05 juta ton
Volume impor: 0,35 juta ton
5. Mei
Nilai impor: USD9,08 juta
Nilai impor: USD69,03 juta
Volume impor: 0,04 juta ton
9. September
2. Februari
Nilai impor: USD8,5 juta
Volume impor: 0,02 juta ton
Volume impor: 0,19 juta ton
6. Juni
Nilai impor: USD5,25 juta
Nilai impor: USD37,56 juta
Volume impor: 0,01 juta ton
10. Oktober
3. Maret
Nilai impor: USD2,63 juta
Volume impor: 0,02 juta ton
Volume impor: 0,14 juta ton
7. Juli
Nilai impor: USD5,33 juta
Nilai impor: USD26,45 juta
Volume impor: 0,01 juta ton
11. November
4. April
Nilai impor: USD2,47 juta
Volume impor: di bawah 0,01 ribu ton
Volume impor: 0,07 juta ton
8. Agustus
Nilai impor: USD0,34 juta
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 5:46:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
RI Ekspor Beras 1.000 Ton, tapi Impor 1,2 Juta Ton di 2016 JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi defisit pada ekspor dan impor beras pada tahun 2016. Menurut Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo, total ekspor beras Januari hingga November mencapai seribu ton. Nilainya pun mencapai USD0,86 juta. Sementara itu, impor beras tercatat sebesar 1,2 juta ton. Adapun total nilai impor antara Januari hingga November 2016 mencapai USD495,12 juta Namun, menurut Kepala Biro Humas Kementan, Agung Hendriadi, pemerintah sama sekali tidak melakukan impor beras pada tahun 2016. Impor yang dilakukan pun hanya merupakan turunan dari perjanjian impor 2015. Selain itu, Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo mengatakan bahwa impor beras yang dilakukan adalah hanya terbatas pada beras premium. Dengan begitu, isu impor beras dipastikan tidak benar. "Ekspor kita kok kadang-kadang tinggi kadang turun. Simpel saja misalnya orang Jogja (Yogyakarta) ingin makan beras Cianjur, impor dari Jawa barat. Jadi ini soal selera," tuturnya di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Namun, pemerintah tercatat berhasil melakukan ekspor beras. Berikut adalah detailnya sejak Januari 2016: Mengutip data Kementerian Pertanian, berikut adalah data impor beras pada tahun 2016: 1. Januari
5. Mei
9. September
Volume impor: 0,09 ribu ton
Volume impor: 0,02 ribu ton
Volume impor: -
Nilai impor:USD 0,06 juta
Nilai impor:USD 0,04 juta
Nilai impor: -
2. Februari
6. Juni
10. Oktober
Volume impor: 0,53 ribu ton
Volume impor: 0,09 ribu ton
Volume impor: -
Nilai impor:USD 0,19 juta
Nilai impor:USD 0,19 juta
Nilai impor: -
3. Maret
7. Juli
11. November
Volume impor: 0,01 ribu ton
Volume impor: 0,08 ribu ton
Volume impor: 0,03 ribu ton
Nilai impor:USD 0,01 juta
Nilai impor:USD 0,1 juta
Nilai impor:USD 0,05 juta
4. April
8. Agustus
Volume impor: 0,15 ribu ton
Volume impor: -
Nilai impor:USD 0,21 juta
Nilai impor:
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 5:12:00 PM Sumber : Okezone Penulis :
Tahun Ini, Kementan Sebut Tak Ada Impor Beras JAKARTA - Beras impor pada tahun ini tetap masuk ke Indonesia. Namun, impor beras ini diklaim oleh Kementerian Pertanian sebagai turunan dari impor yang telah dilakukan sejak tahun 2015 lalu. "Tahun ini kita sama sekali tidak impor beras," kata Kepala Biro Humas Kementan Agung Hendriadi di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Stok Beras Hampir 2 Juta Ton, Jokowi Tak Mau Ada Impor2 Tahun Jokowi-JK, Kelalaian Pemerintah Didik Petani Dampaknya Marak Impor2 Tahun Jokowi-JK, Impor Beras Meningkat Tajam Hal senada juga diungkapkan oleh Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo. Menurutnya, impor beras yang dilakukan saat ini hanya merupakan beras khusus. "Nah impor itu beras premium beras khusus. April sampai sekarang flat. Kalau kita impor hanya beras premium," tuturnya. Mengutip data Kementerian Pertanian, berikut adalah data impor beras pada tahun 2016: 1. Januari
Nilai impor: USD14,94 juta
Volume impor: 38,49 ribu ton
Volume impor: 382,55 ribu ton
5. Mei
Nilai impor: USD16,46 juta
Nilai impor: USD154,68 juta
Volume impor: 28,95 ribu ton
9. September
2. Februari
Nilai impor: USD12,80 juta
Volume impor: 17,77 ribu ton
Volume impor: 296,37 ribu ton
6. Juni
Nilai impor: USD8,35 juta
Nilai impor: USD121,22 juta
Volume impor: 26,19 ribu ton
10. Oktober
3. Maret
Nilai impor: USD12,27 juta
Volume impor: 17,20 ribu ton
Volume impor: 303,08 ribu ton
7. Juli
Nilai impor: USD7,79 juta
Nilai impor: USD124,45 juta
Volume impor: 16,34 ribu ton
11. November
4. April
Nilai impor: USD 6,37 huta
Volume impor: 33,8 ribu ton
Volume impor: 36,58 ribu ton
8. Agustus
Nilai impor: USD14,79 juta
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 4:46:00 PM Sumber : Sindonews Penulis : Yanuar Riezqi Yovanda
Pasar Indonesia Makin Terbuka Bikin Barang Impor Mudah Masuk JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pasar Indonesia saat ini semakin terbuka luas. Sehingga, banyak barang impor dengan begitu mudah masuk ke dalam negeri.Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, pada saat barang asing membanjiri pasar Indonesia, produk lokal justru susah bersaing di global. Inilah yang membuat angka impor masih tinggi."Tingginya impor ke Indonesia terjadi akibat minimnya hambatan nontarif, itu yang membuktikan pasar kita semakin liberal. Bahkan lebih liberal dibanding Amerika Serikat (AS)," ujarnya di Jakarta, Kamis (29/12/2016). Heri menjelaskan, Indonesia hanya mempunyai 272 barang yang masuk non tariff measures (NTM). Artinya, hanya sebanyak itu barang yang dilindungi dari puluhan ribu produk yang masuk ke Indonesia.Sementara, lanjut dia, di AS sudah ada 4.780 produk, Uni Eropa sebanyak 6.805 produk, dan China mencapai 2.194 produk. Daya saing yang melemah ini dinilai dapat membuat laju ekspor masih rendah beberapa tahun terakhir."Memang karena global melambat menyebabkan industri kita alami kontraksi. Di saat yang sama, pemerintah lambat dalam mencari potensi pasar baru yang potensial," kata Heri.Menurutnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan mengalami surplus. Namun, banyaknya impor terutama barang konsumsi membuat surplus yang terjadi dinilai tidak sehat."Tahun depan jangan ada lagi kondisi seperti ini. Pemerintah harus memperbanyak kebijakan NTM tapi dibarengi dengan data yang kuat dan kebijakan itu mestinya jangan sampai mudah dibuat partner kita di WTO," ujar dia.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 4:24:00 PM Sumber : Republika Penulis : Nur Aini
Kementan Klaim Swasembada Beras di 2016 REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setelah 32 tahun berlalu, Indonesia kembali menyabet predikat sebagai negara yang mampu swasembada beras nasional. Pemerintah mengklaim sepanjang 2016, Indonesia tidak melakukan impor beras termasuk beras premium.Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, penghentian impor beras terjadi karena adanya kenaikan produksi padi yang mencapai 79,14 juta ton gabah kering giling (GKG) tahun ini. "Ini prestasi besar, dimana FAO secara resmi mengakui Indonesia saat itu swasembada beras," kata Amran kepada Republika.co.id melalui siaran tertulis, Kamis (29/12). FAO atau Food and Agriculture Organization merupakan organisasi pangan dan pertanian di bawah PBB. Sepanjang tahun ini, ia mengatakan, pasokan pangan dinilai cukup stabil dengan produksi beras pada 2015 naik 6,64 persen. Kenaikan kembali terjadi pada 2016 sebesar 4,97 persen, meski dalam kondisi cuaca ekstrem El Nino dan La Nina. "Selama dua tahun tersebut, produksi beras naik 8,3 juta ton atau setara dengan Rp 38,5 triliun," ujarnya. Berdasarkan angka ramalan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi padi 2016 mencapai 79,14 juta ton GKG, meningkat 3,74 juta ton dibanding 2015 . Produksi jagung 2016 sebanyak 23,16 juta ton pipilan kering atau meningkat 3,55 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan produksi padi 2016 yang relatif besar diperkirakan terdapat di Sumatera Selatan (21,81 persen), Jawa Barat (6,83 persen), Sulawesi Selatan (7,66 persen), Lampung (11,13 persen), Jawa Timur (2,93 persen), Sumatera Utara (8,86 persen), Jambi (48,13 persen), Kalimantan Barat (15,21 persen), Banten (7,56 persen) dan Kalimantan Selatan (7,67 persen). Tingginya produksi memastikan Kementan tidak akan mengeluarkan kebijakan impor beras di awal 2017. Sebab, dalam waktu 3-5 bulan ke depan stok beras nasional dipastikan aman. Jumlah stok beras yang dimiliki oleh pedagang ada sebanyak 15 juta hingga 18 juta ton. Angka tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Mei 2017, sementara yang ada di Perum Bulog hingga saat ini sebanyak 1,8 juta ton. Saat ini, harga beras kualitas medium di Pasar Induk Beras Cipinang Rp 8.500 sampai dengan Rp 9.500 per kg.Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, perkiraan tersebut telah sesuai karena tiap tahun mengalami kenaikan produksi. Menurutnya, pemerintah telah menggerakkan potensi-potensi yang sudah ada. Ia mengatakan, lahan pasang surut dan rawa lebak di tanah air telah dimanfaatkan secara maksimal. "Ditambah sekarang dibantu alat mesin pertanian sehingga menjadi dua kali tanam," ujar dia.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 3:06:00 PM Sumber : Republika Penulis : Dwi Murdaningsih
Komisi IV Nilai Swasembada Beras Berhasil REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Daniel Johan, mengklaim pemerintah sudah berhasil melakukan swasembada beras pada tahun ini. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya impor beras dari luar negeri sepanjang 2016. Daniel berharap pencapaian ini dapat bertahan dan harus lebih lagi pada tahun-tahun berikutnya. Sebelumnya Indonesia tidak pernah swasembada beras sejak terakhir kali pada tahun 1984 silam. Hampir 32 tahun lamanya Indonesia tidak pernah swasembada beras. Bahkan kata Daniel, apabila berpatokan pada data Kementerian pertanian (Kementan), maka swasembada beras harusnya sudah tercapai sejak tahun lalu. “Iya jadi tahun ini sama sekali tidak perlu impor (beras)," kata dia, kepada wartawan, Kamis (29/12). Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI lainnya, Viva Yoga Mauladi mengatakan ada beberapa sebab pemerintah tidak melakukan impor beras sepanjang tahun 2016. Diantaranya, pada tahun 2016 masih ada carry over 800 ribu ton beras dari impor beras tahun 2015 . Kekurangan masuknya impor beras sebesar 800 ribu ton masuk di tahun 2016. Jadi tidak dihitung sebagai impor beras di 2016. “Kemudian pengadaan beras oleh Bulog di tahun 2016 sebesar 2,8 juta ton, naik 1 juta ton, dari tahun 2015 sebesar 1,8 juta ton,” kata Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu. Namun Mauladi menyatakan Indonesia harus terus berjuang agar tidak impor pangan lagi. Karena Data dari BPS, Indonesia masih terus melakukan impor pangan. Padahal bahan pangan itu seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri sendiri. Koordinasi dan integrasi kebijakan antara BPS, kementan, kemendag, kemendustri, KemenLHK dalam mewujudkan kedaulatan pangan sudah menjadi kebutuhan mutlak. “Itu akan dihasilkan data produksi dan konsumsi pangan secara valid dan akurat. Instruksi presiden, data pangan harus satu,” tambahnya. Sebelumnya, BPS mencatat, produksi padi tahun 2016 sebesar 79,17 juta ton gabah kering giling atau naik 4,96 persen dibandingkan 2015 dan tahun 2015 naik 6,43 persen dibandingkan tahun 2014. Untuk produksi padi dua tahun terakhir naik 8,4 juta ton setara Rp 38,5 trilyun sedangkan produksi jagung naik 4,2 juta ton senilai Rp 15,9 triliun.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 3:01:00 PM Sumber : Kontan Penulis : Dessy Rosalina, Galvan Yudistira, Tendi Mahadi Rizki Caturini
One digit credit rate still potentially open JAKARTA. This year is said to be the thoughest year for financial industry. The though challenges will remain be overshadowing the next year. The low economic growth and the interest rate movement will be affecting the financial industry performance in 2016 and 2017. The sluggish economy have affected to the low credit demand. For an example, the banking sector experienced only one digit credit growth at 8.5% to Rp 4,321.55 as of November 2016
. The financing only slightly increased by 4.43% to Rp 380.19 trillion as of October 2016. Amid the low demand on credit, government is trying to control the credit rate to one digit to boost the demands for credits. It is expected that the growing credit demands will drive the economy. Nonetheless, the target of one digit rate has not yet been achieved. There are only a few number of banks that have set the one digit rate for only particular segments. The segment of mortgage, Bank Tabungan Negara (BTN) is the only bank that sets one digit credit basic rate at 9.75% as of December 2016. Meanwhile, the basic rate of micro credit, which has significant impacts to domestic economy, remainedranging from 17.50%-19.25%. In 2017, the liquidity provisions will determine the interest rate movements. The Fed’s policy to increase the interest rate in three times in 2017 may reduce the chance of financing indsustry, mainly banking sector to reduce the interest rate. This year, the credit remains high, despite BI (the Central Bank) is agressively reducing the benchmark rate. BI recorded that the banks’ credit rate only dropped by 67 BPS since the beginning of 2016 until November 2016, while deposits rate dropped by 131 BPS. That is why the net margin rate remained increasing from 5.39% in December 2015 to 5.65% in October 2016. The net margin rate is expected to remain standing at the level of 5%-6% in 2017. Nevertheless, Financial Service Authority (FSA) and BI will continue the banking sector to realize one digit credit rate. Let alone, as much as Rp 140 trillion repatriation funds of tax amnesty are likely to penetrate domestic banking system in 2017. Chief Executive of Banking Supervision at Financial Service Authority Nelson Tampubolon said, the interest rates of all credit sectors would have been one digit, except micro credit, “Due to the high overhead costs,” Nelson said. Remain growing The interest rate reduction will be on the hand of the bankers. The reduction in credit interest rate should be considered, as the banking credit will be the vital sources of the economic activities. “The reduction in credit interest rate, as well as economic improvement are expected to increase the demands for credits in 2017,” said Corporate Secretary of BCA Jan Hendra.
If banking sector reduces the credit rate, other financial institutions will follow that decision. Chairman of Indonesian Financing Companies Association Suwandi Wiratno said that the financial institutions will adjust the multifinance rate following the banks’ decision. This is because as much as 70% of multifinance sources were derived from banking funds. Director of PT Adira Dinamika Multi Finance I Dewa Made Susila admitted that the low credit rate will be the main attractiveness in allocating financing. So, ready for one digit rate era? (Muhammad Farid/Translator)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 1:38:00 PM Sumber : Inilah Penulis : M Fadil Djailani
Tahun Ini Kinerja Ekspor RI di Titik Nadir INILAHCOM, Jakarta - Berjalan lima tahun nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan. Nilai ekspor tahun 2015 turun 26,1 persen dibandingkan tahun 2011.Memasuki tahun 2016 penurunan ekspor terus berlanjut. Pada Januari 2016 nilai ekspor tercatat sebesar 10,5 miliar dollar AS, turun dibandingkan bulan yang sama tahun lalu sebesar 13,24 miliar dollar AS, namun pada bulan November 2016 lalu kenaikan ekspor cukup tajam yakni mencapai 21,34 persen menjadi 13,50 miliar dolar Amerika Serikat. Namun jika di telesik lebih dalam kinerja ekspor Indonesia dalam 5 tahun terus menurun. Apakah ini titik nadir terendah kinerja ekspor RI, apa yang sebetulnya terjadi?Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan pada tahun 2016 merupakan titik nadir terendah dalam kinerja ekspor Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun belakang. "Daya saing perdagangan kita memang ekspor kita memang sepertinya capai titik nadir. Titik terendah," ujar Heri dalam sebuah diskusi akhir tahun di Kantornya, Jakarta Kamis (29/12/2016). Heri bilang kondisi ekonomi global memang menjadi faktor utama yang menyebabkan kinerja ekspor RI terus turun, dimana produk-produk utama ekspor seperti komoditas, migas kurang laris dipasaran.Ditambah lagi kurangnya pemerintah dalam mencari pasar-pasar non-tradisional, sehingga menambah sulit kinerja ekspor. "Memang karena global melambat yang menyebabkan industri kita mengalami kontraksi, juga pemerintah lambat cari potensi pasar baru potensial," katanya."Harusnya bisa isi dengan produkproduk kita tapi pemerintah lambat. Juga tidak bisa pertahankan eksistensi daya saing produk kita di pasar potensial. Tekstil sudah digeser dari Vietnam dan bangladesh," paparnya.Sehingga kata dia surplus yang terjadi pada tahun ini, merupakan surplus yang tidak sehat lantaran kinerja ekspor dan impor juga turun, yang menyebabkan kecacatan dalam surplus."Kontraksi industri domestik, impor bahan baku dan barang modal turun artinya permintaan barang industri turun. Maka ini dipenuhi oleh barang impor. Jadi surplus yang terjadi tahun ini adalah surplus tidak sehat karena bukan ditopang dari peningkatan ekspor, tapi dibantu oleh penurunan impor. Surplus yang tidak baik. Tahun depan tidak boleh lagi seperti ini," tandasnnya. Berikut kinerja Ekspor RI dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang mengacu pada data dari BPS dan Kemendag RI.2011 : 203,5 miliar dolar AS2012 : 190,0 miliar dolar AS2013 : 182,5 miliar dolar AS2014 : 176,0 miliar dolar AS2015 : 150,4 miliar dolar AS2016 : 117,1 (Sampai Oktober 2016) miliar dolar AS. [tar]
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 12:20:00 PM Sumber : Kontan Penulis : Galvan Yudistira, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Nina Dwiantika, Yuwono Triatmodjo Rizki Caturini
The Fed shattered the dream of one digit rate JAKARTA. Forget the dream of enjoying credits with low interest rate, as the downward trend of banking deposits freezes and tends to move to reverse direction (reversal). As the results, it is almost impossible to much further decrease the credit interest rate, let alone if the saving rate is moving up. The banking sector has increased the deposit rate to respond The Fed’s decision to increase the benchmark rate by 25 BPS to 0.5%-0.75% on 14 December 2016. The research of Mandiri Sekuritas shows that three of 12 surveyed banks have increased the deposit rate for one month and three month tenors by 25 BPS to 100 BPS during one month period as of 16 December 2016. Bank Pan Indonesia (Panin) and Bank Jatim (East Java Bank) also launched the similar strategy. On a research, which was published on 20 December, two analysts at Mandiri Sekuritas Priscilla Thany and Tjandra Lienandjaja said that deposit rate has begun to move in reverse direction. In fact, The Fed is still planning to increase the interest rate up to three times in 2017. As the result, bank will have less chance to cut the credit rate. “We expect that the deposit rate will further increase in 2017. Other banks will follow BCA’s strategy,” Priscilla and Tjandra wrote. Corporate Secretary of BCA Jan Hendra said, the increase in deposit rate is aiming at attracting the repatriation funds of tax amnesty program. “We want to endorse the deposits as the backbone for attracting the tax amnesty funds,” Jan told KONTAN, Wednesday (28/12). Since the beginning of tax amnesty program, BCA has obtained Rp 37 trillion repatriation funds. Out of that number, Rp 18 trillion flew to banking instruments, while the rests were absorbed by other investment instruments. The increase in deposits rate has reduced the chance for a lower credit rate. Jan said that BCA will follow the trend, amid the uncertain conditions. In this case, the credit rate tends to be at higher position to cover the risks of the uncertainties. Head of Economic Risk and Financial System Group at Deposit Insurance Agency (LPS) Dody Arifianto said, the liquidity will be tighter in 2017. The liquidity will be more problematic if The Fed increases the rate of more than 75
BPS. Let alone, the financing gap may occur if the credit grows at minimum 10%, while the third party funds only grow by 7%-8%. “Loan to deposit ratio (LDR) also tends to be higher than the current rate of 91%,” Doddy added. Increasing deposit rate is the right strategy to obtain liquidity. However, it would be difficult to demand banks to cut the credit rate to the level of one digit. Doddy said, the non-performing loans (NPLs) rate is suppressing bank profitability.
Banks also need an amount of funds to restructure the profitability. “The banks’ health should be the priority before demanding to reduce the credit rate,” he said. Despite the credit rate has less chance to decline, Financial Service Authority (FSA) remains optimistic that the single digit rate can be realized. Chief Executive of Banking Supervision of FSA Nelson Tampubolon expects that the interest rates of all credit sectors will stand at one digit in 2017, except micro credit rate. “The micro credit rate is unlikely to be one digit in 2017, due to high overhead costs,” Nelson added. (Muhammad Farid/Translator)
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 11:44:00 AM Sumber : Sindonews Penulis : Anto Kurniawan
Produksi Padi 2016 Diprediksi Terbesar Sepanjang RI Merdeka JAKARTA - Berdasarkan pra angka ramalan II (Aram II) yang dikeluarkan Kementerian Pertanian (Kementan) yang berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun 2016 mencapai 79,141 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,96% dibandingkan tahun lalu. Produksi padi nasional ini merupakan angka tertinggi selama Indonesia merdeka. Kenaikan angka produksi padi ini melanjuti tren peningkatan produksi padi selama dua tahun terakhir sepanjang masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pada 2015 produksi padi meningkat 6,37% dari 70,846 juta ton menjadi 75,398 juta ton dibandingkan 2014. Atas keberhasilan meningkatkan produksi ini, Indonesia mampu menjadikan tahun 2016 tidak impor beras.Produksi padi 2016 diprediksi mencapai 79.141.325 ton GKG atau meningkat 3.743.511 ton (4,97%) dari Angka Tetap (ATAP) 2015 sebesar 75.397.841. Kenaikan produksi terjadi di Pulau Jawa sebanyak 1,22 juta ton dan di luar Pulau Jawa sebanyak 2,52 juta ton. Kenaikan produksi terjadi karena naiknya luas panen seluas 919.098 hektar (ha) atau meningkat 6,51% dari 14.116.638 ha menjadi 15.035.736 ha. Kenaikan produksi padi tahun 2016 yang relatif besar diperkirakan terdapat di Sumatera Selatan (21,81%), Jawa Barat (6,83%), Sulawesi Selatan (7,66%), Lampung (11,13%), Jawa Timur (2,93%), Sumatera Utara (8,86%), Jambi (48,13%), Kalimantan Barat (15,21%), Banten (7,56%) dan Kalimantan Selatan (7,67%). Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono menanggapi, BPS tahun 2016 memang tidak mengeluarkan rilis terkait data produksi padi sampai metode survey diperbaiki hingga 2018, dan ini sudah disetujui Wakil Presiden. BPS dalam hal ini berkolaborasi dengan Kementan, data yang dihitung produktivitas per hektar dengan metode ubinan separuh dilakukan oleh BPS separuhnya lagi oleh Kementan. Sementara data luas panen dilakukan oleh Kementan. "Jadi Pra Aram yang keluar itu, kita punya data produksinya, Kementan yang punya data luas tanamnya. Sehingga data dari BPS itu 25%, Kementan 75%. Jadi angka 79 juta ton itu juga hasil olahan BPS juga. Kita duduk bareng, saya hadir, Pak Menteri Pertanian hadir, Dirjen juga hadir. Tapi karena metode kami harus diperbaiki dengan metode baru nanti, maka BPS tidak merilis Aram untuk tahun ini," ujar Adi ditemui di kantornya, di Jakarta. Adi mengatakan, pada Undang Undang Statistik, pertanian merupakan data sektoral, yang bukan kewajiban BPS, tetapi kewajiban Kementan. Tetapi secara prinsip, lanjutnya, dirinya mengakui upaya kerja keras Kementan dengan Upaya Khusus (Upsus)-nya dinilai bagus dan bisa meningkatkan produksi pertanian."Benar bila akhirnya data produksi padi menjadi naik. Ubinan itu zaman dulu kan belum ada model yang namanya Jajar Legowo (Jarwo), dalam satu sisi Jarwo ini intensitas
produksinya menjadi lebih banyak. Ada juga alsintan yang lebih modern sehingga konversi gabah kering panen menjadi beras itu bisa menjadi lebih besar atau naik," ujarnya.Bila melihat data BPS selama ini, Adi membenarkan bahwa angka 79 juta ton produksi padi tahun ini merupakan terbesar sepanjang Indonesia merdeka. Karena berdasarkan everestimate semua, bila di-backcase ke belakang, ini memang yang tertinggi."Kalau dikatakan tahun ini terbesar, iya saya yakin memang terbesar. Tetapi soal angka 79 juta ton itu Kementerian Pertanian yang tahu betul. Angka Aram ini dihasilkan dari angka luas panen dikalikan dengan produktivitas walaupun 100% luas panen data dari Kementan semua, produktivitas kita bagi-bagi, tapi BPS membantu sepenuhnya dalam pengolahan data," jelasnya.dibaca 2.822x
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 10:43:00 AM Sumber : Okezone Penulis :
Inflasi Desember Diperkirakan 0,3% JAKARTA - Tingkat inflasi pada Desember 2016 diperkirakan berada pada kisaran 0,3% atau lebih rendah dari realisasi inflasi pada bulan sebelumnya. Proyeksi itu didasarkan atas relatif terkendalinya harga bahan makanan dibandingkan periode November 2016. ”Paling 0,3% atau 0,2%. Paling segitu, bulan lalu kan cuma 0,4%,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta baru-baru ini. Dengan perkiraan inflasi itu, Darmin memastikan laju inflasi nasional sepanjang tahun 2016 bisa tidak melebihi 3%, atau di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar 4%. Inflasi Tahun Depan Diprediksi Capai 4,2%Gubernur BI Prediksi Inflasi hanya 4,3% di 2016Komoditas Petai Diprediksi Memicu Inflasi saat Ramadan Dengan inflasi November sebesar 0,47%, maka inflasi tahun kalender Januari- November 2016 tercatat sebesar 2,59% dan inflasi dari tahun ke tahun (yoy) mencapai 3,58%. Sebelumnya Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat, salah satu komoditas pangan yang menjadi penyumbang inflasi sebesar 0,47% pada November 2016 adalah cabai merah. Harga komoditas pangan tersebut melonjak akibat gangguan pasokan. Cabai merah tercatat mengalami kenaikan harga di 76 kota, karena faktor cuaca yang menyebabkan gagalnya panen serta terhambatnya distribusi komoditas tersebut di berbagai daerah. Selain cabai merah, komoditas lain penyebab inflasi adalah bawang merah, cabai rawit, tomat sayur, tarif pulsa ponsel, beras, bayam, kacang panjang, kangkung, cabai hijau, tomat buah, bawang putih, dan nasi dengan lauk. Sementara untuk bulan Desember 2016 hingga Januari 2017, Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut ketersediaancabai, baikcabaibesarmaupun cabai rawit serta bawang merah, mengalami surplus. Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono mengatakan, ketersediaan cabai besar pada Desember 2016 sebanyak 84.684 ton, sedangkan kebutuhan 76.472 ton. Adapun, ketersediaan cabai rawit mencapai 58.510 ton dengan kebutuhan sebanyak 54.346 ton. ”Dengan demikian, cabai besar pada Desember 2016 surplus sebanyak 8.212 ton sedangkan cabai rawit mencapai 4.164 ton,” katanya di Jakarta kemarin. Ketersediaan bawang merah tercatat sebanyak 108.554 ton dengan kebutuhan 82.169 ton. Sehingga, pada Desember 2016 komoditas tersebut mengalami surplus 26.385 ton. Spudnik mengatakan, kondisi surplus tersebut masih akan terus terjadi pada Januari 2017, yang mana ketersediaan cabai besar sebanyak 94.368 ton sementara kebutuhan 92.101 ton sehingga terdapat kelebihan sebanyak 2.267 ton. Sedangkan, cabai rawit ketersediaannya mencapai 73.757 ton dengan kebutuhan sebanyak 68.303 ton, dengan demikian pada Januari 2017 terdapat kelebihan mencapai 5.454 ton.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:48:00 AM Sumber : Merdeka Penulis : Idris Rusadi Putra
Rupiah merosot ke level Rp 13.480 per USD Merdeka.com - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) bergerak melemah di perdagangan hari ini, Kamis (29/12). Rupiah dibuka di Rp 13.464 per USD atau melemah dibanding penutupan perdagangan kemarin di Rp 13.460 per USD.Dapatkan diskon Rp 300,000 untuk tiket libur Natal & Tahun baru-mu Mengutip data Bloomberg, Rupiah bergerak cukup fluktuatif usai pembukaan. Tercatat, Rupiah sempat melemah ke level Rp 13.480 per USD lalu kembali menguat ke Rp 13.458 per USD. Saat ini, Rupiah berada di Rp 13.474 per USD. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar Rupiah pada November 2016 mengalami depresiasi atau melemah 3,90 persen terhadap USD, dengan rata-rata level terendah mencapai Rp 13.500,32 per USD. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, sepanjang November 2016 nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah 506,36 poin, jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. "Sepanjang November 2016 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS cukup melemah atau mengalami depresiasi," kata Sasmito, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/12). Tercatat, level terendah rata-rata nasional kurs tengah eceran rupiah terhadap USD terjadi pada minggu kelima November 2016 yang mencapai Rp 13.500,32 per USD. Sedangkan berdasar provinsi, level terendah kurs tengah terjadi di Provinsi Banten yang mencapai Rp 13.627,88 per USD pada minggu keempat November 2016. Sementara yang tertinggi terjadi di Kalimantan Utara sebesar Rp 13.151,00 per USD.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 9:24:00 AM Sumber : TheJakartaPost Penulis : Ibrahim Kholilul Rohman
Three signals from Apple The Indonesian government has just enacted the new Industry Ministry Regulation No. 65/2016 on local content. Information and Communications Technology (ICT) companies, especially those producing laptop computers, smartphones and tablets, are the main targets. They are now required to meet a threshold of 30 percent domestic content in terms of hardware, software or investment. In response, Apple, a United States giant tech company headquartered in Cupertino, California, has pledged to dedicate funding of about US$44 million to support a three-year Research and Development (R&D) program in Indonesia. In return, Apple now has the right to market all types of its iPhone in the country. Apple lags slightly behind its competitors. Samsung is now leading the Indonesian smartphone market, obtaining a quarter share, followed by China’s new baby Oppo with one-fifth. Thus, for some, the R&D policy offered by Apple might be seen solely as an effort to facilitate penetration of its latest iPhone 7 in Indonesia, the largest market in Southeast Asia. However, irrespective of its motives, we can still perceive the initiative as a big milestone that will potentially re-address the pathways of the Indonesian economy toward a more knowledge basednation. Previous studies have defined the importance of investment in R&D and human resources. Renowned economist Paul Romer ( 1990 ) explains these two aspects are essential elements for countries aiming to achieve a greater economic output. Robert Barro ( 1991 ) empirically studied the performance of 98 countries from 1960 to 1985 and assured poorer countries they could catch up with richer nations provided that they invested in a higher level of human capital. Therefore, Apple’s commitment has sent Indonesia at least three important signals. First, R&D has long been missing vocabulary. Indonesian R&D performance remains very, very weak. At the country level, we trail far behind other developing nations, let alone advanced ones. The ratio of Indonesia’s gross R&D expenditure (GERD) to gross domestic product (GDP) in 2010 was only 0.08 percent, the lowest among Asian countries. Taiwan, Japan and Korea are not only leading the region but also the world. Mulyanto ( 2014 ) recapped that Indonesia’s ratio was among the lowest in ASEAN, compared to Thailand (0.25 percent), the Philippines (0.11 percent) and Vietnam (0.19 percent) At the industry level, Indonesian companies have disappeared from the map of the 2,500 most R&D intensive companies in the world (European Commission, 2015). There is not even one Indonesian company on the list, against 24 Indian firms, six each in Hong Kong and Singapore, three Malaysian, a Thai and couple of hundred Japanese, Chinese and Taiwanese companies combined. Just to remind us, Indonesia is the third most populated country in Asia and fourth in the world. Second, Indonesia as a knowledge economy is still quite up in the sky. The knowledge economy is all about innovation. The Oslo Manual defines R&D as input for innovative capabilities. Consequently, the amount spent on R&D by a country or a company should support both technical and non-technical innovations. Moreover, activities should go far beyond the
confines of research labs. They can occur in both the public and private sectors and are conducted across borders, sectors and institutions. Nevertheless, the policy directed toward increasing the role of private R&D in Indonesia is also somewhat limited. To exemplify, given the importance of R&D data, the Indonesian Central Statistics Agency (BPS) has even dropped the questions that address research activities carried out by industry. Consequently, the last release of the annual manufacturing survey in 2011 served as the lone and the latest data point to observe this variable. Hence, talking about the triple helix in R&D stages and innovative capabilities of industry, they are still a long way off this goal. Third, the importance of becoming an ICT R&D hub. High-tech ICT companies are now leading the landscape of world industries. Companies like Google, Facebook and Apple are not only making big sales but are also among the most R&D -intensive companies in the world. ICT industries are, in general, five times more R&D intensive than non-ICT companies (European Commission, 2015). Just to better imagine the size of these companies, based on the Industrial Scoreboard (European Commission, 2015), Google recorded net sales of €77 billion (US$80.6 billion) in 2014, which equals 60 percent of Indonesian government revenues. It also spent €10 billion on R&D, which equals onethird of Indonesia’s education budget. Facebook spent €2.2 billion on R&D. Apple’s $44-million R&D funding commitment in Indonesia only accounts for 0.8 percent of its total R&D spending in 2014. Based on the classification of ICT industries defined by the OECD ( 2009 ), we can only identify 22 Indonesian ICT players among 23,370 companies covered in the annual manufacturing survey (BPS, 2011) — indeed an atomistic portion. They performed less convincingly in R&D and innovation. Thus, if domestic Indonesian firms cannot rival top-notch ICT companies, we can alternatively serve as an ICT R&D hub. In return, the country is always endowed with a large and enthusiastic market where all tech-gadgets are sold out just in seconds. To give a stronger emphasis, ICT R&D hubs should go beyond building factories in, for instance, Bekasi or Karawang, both east of Jakarta. Moreover, the Apple success story can be used as a blueprint for other tech giants to engage Indonesia not only as a solid final consumer — which has been well proven — but also as an important partner in building a sustainable ICT ecosystem. To conclude, as a long awaited gift, we should identify closely with these signals from Apple, secure the commitment and provide a clear action plan involving all stakeholders, including universities, and make sure that the R&D activities are mutually beneficial. Disclaimer: The opinions expressed in this article are those of the author and do not reflect the official stance of The Jakarta Post.
Kliping Berita Online Tanggal : 12/29/2016 8:36:00 AM Sumber : Sindonews Penulis : Koran Sindo
Banding Putusan WTO PEMERINTAH memastikan menempuh banding atas keputusan World Trade Organization (WTO) yang memenangkan gugatan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru (SB) terkait hambatan impor yang diterapkan Indonesia untuk sejumlah produk pertanian termasuk daging sapi dan unggas. Akibat kebijakan perdagangan tersebut, produk pertanian dan dari AS dan SB dinilai sulit tembus pasar domestik. Saat ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang menyusun materi pembelaan untuk segera disampaikan ke WTO. Meski keputusan WTO sudah dinyatakan final, hubungan ekspor Indonesia terhadap dua negara tersebut masih berlangsung aman. Pemerintah optimistis pembelaan yang diajukan bisa meyakinkan pihak WTO untuk mencabut keputusan memenangkan gugatan AS dan SB. Pasalnya, materi gugatan yang diajukan sejak 2011 itu dinilai sudah kurang relevan dengan kebijakan pemerintah saat ini. Sejumlah materi yang disoalkan sebagaimana diklaim Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sudah tidak menjadi isu lagi sebab sudah diperbaharui melalui sejumlah paket deregulasi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Berdasarkan data Kemendag total nilai perdagangan Indonesia dengan AS sebesar USD19,26 miliar dan Indonesia dengan SB sebesar USD 832,4 juta sepanjang periode Januari-Oktober 2016. Keberatan pihak AS dan SB berawal ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan 18 aturan yang menghambat produk hortikultura di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, serta daging sapi dan unggas. Kebijakan pemerintah tersebut diprotes karena tidak sejalan dengan aturan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan yang disahkan WTO. Protes dua negara tersebut memang sangat beralasan sebab Indonesia yang berpenduduk terbesar keempat di dunia adalah pasar yang empuk. Di sisi lain, pemerintah sudah bertekad untuk mengurangi importasi di sektor pertanian untuk mewujudkan Indonesia berdaulat dalam penyediaan pangan untuk warganya. Persoalan kemandirian pangan di negeri ini memang sungguh memprihatinkan. Bayangkan, hampir semua kebutuhan bahan pokok masyarakat harus dipenuhi melalui impor dari berbagai negara. Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan angka-angka sejumlah bahan pangan impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di antaranya gandum yang diimpor dari Australia, Kanada, dan AS dengan nilai rata-rata sebesar USD2,26 miliar per tahun. Kebutuhan gandum meroket seiring peningkatan kebutuhan industri makanan berbahan gandum. Disusul gula dengan nilai impor rata-rata sekitar USD1,9 miliar per tahun yang dipasok dari Thailand hingga Brasil. Impor gula sudah menjadi persoalan rutin selama ini menyangkut penetapan kuota impor yang menjadi buruan para importir. Selanjutnya, impor kedelai dengan nilai rata-rata mencapai USD1
miliar per tahun. Bahan baku utama untuk tempe dan tahu tersebut justru dipasok dari AS, Argentina, Paraguay, dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya. Adapun impor susu dipenuhi dari Selandia Baru, AS, Australia, dan Belanda dengan nilai rata-rata sekitar USD800 juta setiap tahun. Sedangkan kebutuhan jagung didatangkan dari sejumlah negara di antaranya China dengan nilai impor rata-rata sebesar USD822,35 juta. Masih banyak kebutuhan bahan pangan lain yang harus diimpor. Artinya, pemerintah memang harus kerja keras bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan daging sapi untuk masyarakat? Kementerian Pertanian (Kementan) kembali memprogramkan swasembada sapi melalui program upaya khusus sapi indukan wajib bunting mulai tahun depan. Pemerintah optimistis melalui program sapi bunting itu akan memacu produksi sapi hingga 200% dalam lima tahun ke depan. Data Kementan menunjukkan populasi sapi dan kerbau tercatat sebanyak 15.196.154 ekor, terdiri atas sapi potong sebanyak 13.597.154 ekor, sapi perah sekitar 472.000 ekor, dan kerbau mencapai 1.127.000 ekor. Dari total populasi sapi tersebut tercatat sebanyak 5.918.921 ekor berupa sapi betina yang berumur dua hingga delapan tahun. Kembali pada persoalan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS dan SB, pemerintah harus menyiapkan materi banding yang komprehensif. Pemerintah harus melibatkan para pemangku kepentingan untuk memperkuat argumen pembelaan. Sebab, kalau Indonesia kalah dengan keputusan WTO, konsekuensinya impor produk hortikultura berpotensi meningkat. Indonesia harus berani melakukan proteksi untuk produk dalam negeri sebagaimana dilakukan sejumlah negara maju belakangan ini. Indonesia jangan hanya jadi pasar empuk bagi produk impor.