PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216
KINETIKA BIOREAKTOR MEMBRAN ENZIMATIK UNTUK SAKARIFIKASI PATI HASIL LIKUIFAKSI I N. Widiasa1 Wisjnuprapto2 dan I G. Wenten1 1
Depatemen Teknik Kimia – Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung, 40132, Indonesia 2 KPP Bioteknologi – Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung, 40132, Indonesia *) Staf pengajar Jurusan Teknik Kimia UNDIP Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan skema proses kontinu untuk produksi glukosa dari pati tapioka menggunakan bioreaktor membran hollow fiber. Kinetika bioreaktor membran kondisi tunak dipelajari secara eksperimental dan teoritik. Penyusunan model kinetika menggunakan persamaan laju reaksi Michaelis-Menten dan model reaktor tangki teraduk sempurna (CSTR). Dalam studi ini diperoleh Km dan k2 masing-masing 552 (g/l) dan 4,04 (menit -1). Sebelum mencapai konsentrasi glukosa maksimum, model kinetika yang dibangun dapat memprediksi kinerja bioreaktor membran dengan baik. Namun dengan waktu tinggal yang lebih lama, hasil prediksi teoritik lebih besar daripada data eksperimen. Simulasi numerik lebih lanjut memberikan beberapa kesimpulan berikut. Pertama, konsentrasi substrat awal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar glukosa akhir. Kedua, sensitivitas perubahan kadar glukosa dalam produk reaksi terhadap konsentrasi enzim lebih tinggi dibandingkan dengan perubahan konsentrasi substrat. Ketiga, untuk mencapai kadar glukosa 97%, waktu tinggal yang diperlukan menurun dengan peningkatan konsentrasi glukoamilase menurut hubungan θ = 74,2CE−0,96. Selain itu, produktivitas BME sekitar 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan reaktor curah konvensional jika konsentrasi enzim 12 g/l. Kata Kunci: Bioreaktor membran, Glukoamilase, Glukosa , Hidrolisis pati Pendahuluan Hidrolisis pati merupakan proses industri yang digunakan untuk produksi glukosa kristal, sirup fruktosa, sirup glukosa, dan sirup maltosa. Produk-produk gula ini banyak digunakan sebagai pemanis, proses fermentasi, dan bahan baku berbagai produk turunannya seperti sorbitol, maltitol, dan sebagainya. Produksi glukosa skala komersial secara enzimatik terutama menggunakan pati jagung sebagai bahan baku. Namun di negara-negara tropis termasuk Indonesia, industri glukosa sangat bertumpu pada pati tapioka sebagai bahan baku. Dibandingkan dengan pati jagung atau kentang, pati tapioka memiliki beberapa keunggulan antara lain kandungan pati lebih tinggi (>90%, basis kering), kandungan protein dan mineral lebih rendah [1], temperatur gelatinisasi lebih rendah, dan kelarutan amilosa lebih tinggi [2]. Sifat-sifat tersebut sangat penting terutama dalam kaitannya dengan proses hidrolisis. Pada prinsipnya, konversi pati secara enzimatik melibatkan tiga tahap proses, yaitu likuifaksi bubur pati granular, sakarifikasi pati hasil likuifaksi, dan proses hilir hidrolisat hasil sakarifikasi. Dalam skema produksi konvensional, sakarifikasi pati hasil likuifaksi dilakukan dalam reaktor tangki teraduk secara curah (batch). Permasalahan klasik yang sering muncul antara lain: (1) start up dan shutdown produksi berulang-ulang, (2) enzim hanya sekali pakai, dan (3) produktivitas rendah karena waktu tinggal reaksi selama 72 jam. Dengan skema produksi ini, sekira 10 – 15% dari biaya total produksi digunakan untuk penyediaan enzim. Alternatif yang sangat rasional untuk meningkatkan efisiensi proses produksi glukosa dari pati adalah bioreaktor membran karena bioreaktor ini dapat mengkombinasikan kelebihan hidrolisis secara enzimatik dan perpindahan massa selektif melalui membran. Sejumlah publikasi yang terus bermunculan [3-9] menunjukkan bahwa potensi bioreaktor membran untuk hidrolisis pati sangat tinggi. Salah satu strategi proses alternatif adalah bioreaktor membran kontinu. Secara ideal, penggunaan membran ultrafiltrasi dengan molecular weight cut-off (MWCO) akan dapat menjaga enzim tetap di dalam sistem reaksi, sementara itu produk akan terpisahkan dari sistem reaksi sebagai permeat. Dengan demikian, sedikitnya ada 3 keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu (i) pemanfaatan enzim menjadi maksimal, (ii) waktu reaksi hidrolisis menjadi lebih singkat, dan (iii) beban pemurnian produk menjadi lebih ringan. Bioreaktor membran kontinu ini dapat dioperasikan sebagai reaktor plug-flow (PFR) atau sebagai reaktor tangki teraduk kontinu (CSTR). Bioreaktor membran yang beroperasi sebagai CSTR dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi konfigurasi dead-end stirred cell atau recycle configuration [10]. Dalam konfigurasi dead-end, reaksi dan pemisahan tergabung dalam satu unit. Meskipun menghadapi persoalan fouling membran dan polarisasi konsentrasi, namun bioreaktor membran dead-end banyak digunakan untuk menguji kelayakan konsep dalam skala laboratorium. Dalam sebuah bioreaktor membran recycle, reaksi dan pemisahan dapat JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-1
dikendalikan dan dioptimalisasi secara terpisah sehingga persoalan fouling membran dan polarisasi konsentrasi dapat diminimasi. Dalam proses konversi lanjut hasil likuifaksi menjadi glukosa dengan enzim glukoamilase, secara paralel juga terjadi reaksi kondensasi glukosa menjadi maltosa dan isomaltosa yang ditandai oleh adanya penurunan konsentrasi glukosa. Hal ini berarti bahwa jika proses reaksi dibiarkan terus berlangsung maka konsentrasi glukosa akan berkurang sampai mencapai komposisi kesetimbangannya. Dalam operasi di industri, aktivitas katalitik enzim glukoamilase ditiadakan dengan pemanasan cepat setelah konsentrasi glukosa mencapai maksimum [11]. Untuk dapat merancang proses produksi dengan baik, sangatlah penting untuk memahami kinetika proses sakarifikasi ini. Perlu disadari bahwa mekanisme reaksi-reaksi yang muncul dalam sakarifikasi hasil likuifaksi sangat kompleks dibandingkan dengan mekanisme reaksi hidrolisis maltosa menjadi glukosa [12]. Dalam literatur, beberapa penyederhanaan telah diusulkan sehingga menghasilkan model kinetika dengan tingkat kompleksitas yang berbeda [11-13]. Dalam makalah ini akan disajikan model matematika dan hasil-hasil simulasi numerik kelakuan bioreaktor membran untuk sakarifikasi hasil likuifaksi dalam rentang kondisi operasi praktis. Pengaruh parameter proses seperti waktu tinggal reaksi, konsentrasi substrat, dan konsentrasi enzim terhadap tingkat konversi disimulasikan secara numerik. Berdasarkan analisis numerik ini, kinerja bioreaktor membran kontinu juga dibandingkan dengan kinerja reaktor curah konvensional. Model bioreaktor membran kontinu kondisi tunak Gambar 1 merupakan diagram skematik urutan reaksi sakarifikasi hasil likuifaksi di dalam sebuah bioreaktor membran dengan mode operasi resirkulasi. Pengembangan model matematika untuk kasus ini telah dilakukan oleh Sims dan Cheryan [8] dan Ulibarri dan Hall [9] yang menggunakan model kinetika MichaelisMenten. Menurut model matematika tersebut, umpan yang masuk ke dalam reaktor tangki teraduk terdiri dari dua fraksi: pati terlikuifaksi (S0*) yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan sejumlah kecil glukosa yang terbentuk pada tahap likuifaksi (G*). Dapat dipastikan bahwa kandungan glukosa dalam larutan hasil likuifaksi sangat kecil dibandingkan dengan produk keluar dari bioreaktor membran. Oleh karena itu, kandungan glukosa yang masuk bioreaktor dalam pengembangan model ini dapat diabaikan. Secara sederhana, proses yang terjadi di dalam bioreaktor membran dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika berada di dalam bioreaktor, substrat (S0*) akan bergabung dengan enzim (E) menjadi senyawa kompleks enzim-substrat. Senyawa kompleks ini bereaksi dan pecah kembali menjadi enzim bebas (E), produk (P*), dan substrat (S). Enzim dalam bentuk bebas maupun kompleks ditahan di dalam sistem bioreaktor oleh membran. Sebaliknya, produk (P*) dan substrat yang tidak terhidrolisis (S) keluar dari sistem bioreaktor melalui membran.
Reaktor tangki teraduk P* S
So * S0* Hasil likuifaksi (umpan)
Unit membran P* S
So *
P* E
E E
S
E
S
Produk sakarifikasi
Pompa resirkulasi
Gambar 1. Ilustrasi interaksi yang terjadi antara substrat, enzim, dan produk di dalam BME [8]. Hidrolisis pati menjadi glukosa menghasilkan peningkatan konsentrasi padatan total dengan faktor 1,11 sesuai dengan persamaan reaksi berikut: + nH2O → nC6H12O6 (C6H10O5)n Hal ini merupakan hasil dari penambahan satu molekul air ke dalam setiap molekul glukosa yang dihasilkan oleh reaksi hidrolisis. Konversi pati menjadi glukosa tidak pernah tercapai karena reaksi balik glukosa menjadi maltosa dan isomaltosa. Akibatnya, substrat yang tidak terhidrolisis selalu terdapat dalam jumlah kecil dalam permeat (aliran produk sakarifikasi). Konsentrasi substrat yang tidak terhidrolisis dalam produk bergantung pada aktivitas (konsentrasi) enzim, waktu tinggal substrat di dalam bioreaktor, dan rasio konsentrasi substrat-enzim.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-2
Model kinetika untuk bioreaktor membran dengan mode operasi resirkulasi ini mula-mula dikembangkan oleh Deeslie dan Cheryan [14] untuk hidrolisis protein kedelai. Dalam studi ini, model tersebut digunakan untuk memprediksi kinerja bioreaktor sebagai fungsi dari berbagai parameter operasi. Studi distribusi waktu tinggal memverifikasi bahwa bioreaktor membran yang digunakan dapat dimodelkan sebagai reaktor tangki teraduk operasi kontinu (CSTR). Karena konsentrasi produk di dalam bioreaktor dan yang keluar dari bioreaktor adalah sama dalam sistem CSTR ideal, maka dimungkinkan untuk memprediksi secara tidak langsung konsentrasi substrat sisa di dalam bioreaktor membran berdasarkan pada hubungan antara S0, S0*, G, P*, G*, dan tingkat konversi X. Tingkat konversi didefinisikan sebagai:
X=
G − G*
(1)
1,11(S 0 − G * )
Nilai 1,11 merupakan faktor koreksi yang diperlukan untuk menghitung peningkatan padatan total selama hidrolisis seperti diuraikan di atas. Berdasarkan Gambar 1, dapat disusun korelasi-korelasi matematik sebagai berikut:
S*0 = S 0 − G * ≈ S 0
(2)
P* = G − G * ≈ G
(3)
*
P G ≈ S0 − (4) 1,11 1,11 Karena konsentrasi glukosa dalam aliran umpan sangat kecil, konsentrasi pati sisa (S) dalam bioreaktor dapat ditentukan dengan persamaan berikut: S = S*0 −
S = S*0 (1 − X)
(5) Persamaan (5) menghubungkan konsentrasi substrat sisa dalam aliran produk dengan konsentrasi substrat masuk bioreaktor membran dan tingkat konversi. Pada kondisi tunak, neraca massa untuk sistem CSTR dapat dinyatakan sebagai [15]: FS,in − FS,out = R s Vr (6) dalam persamaan ini; RS adalah laju konversi substrat; dan V adalah volume bioreaktor. Laju alir FS,in dan FS,out dapat juga dituliskan dalam bentuk tingkat konversi [15]: FS,in = FS0 (1 − X S,in ) = CS0 U 0 (1 − X S,in ) (7)
FS,out = FS0 (1 − X S,out ) = C S0 U 0 (1 − X S,out )
(8)
dalam hubungan ini FS0 adalah laju alir molal substrat untuk tingkat konversi sama dengan nol; CS0 adalah konsentrasi susbstrat pada tingkat konversi nol; U0 adalah laju alir volumetrik; serta XS,in dan XS,out adalah tingkat konversi substrat dalam aliran masuk dan keluar bioreaktor. Substitusi persamaan (7) dan (8) ke persamaan (6) menghasilkan:
RS =
C S0 U 0 (X S,out − X S,in )
(9)
Vr
Untuk hidrolisis pati tapioka dalam bioreaktor membran enzimatik, persamaan-persamaan berikut ini dapat disubstitusikan ke persamaan (9):
CS0 = S*0 ≈ S0
(10)
U0 = QP (X S,out − X S,in ) = X =
(11)
P
*
1.11(S*0 )
≈
P 1,11(S0 )
(12)
dalam hubungan ini QP adalah laju alir volumetrik permeat. Penggunaan substitusi ini akan memberikan neraca massa untuk bioreaktor membran sebagai berikut:
S Q X PQ P RS = 0 P = Vr 1,11(Vr )
(13)
R S = R G / 1,11 (14) Jika ekspresi laju reaksi produksi glukosa disederhanakan sebagai persamaan Michaelis-Menten, seperti yang dilakukan oleh Sims dan Cheryan [8] dan Ulibarri dan Hall [9]:
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-3
Vmax S k ES = 2 Km +S Km +S maka kombinasi persamaan (15) dan (13) menghasilkan: E V 1,11X 1,11X + K m = k 2 S 0 (1 − X) S 0 Q P RG =
(15)
(16)
Bahan dan Metode Penelitian Bahan Untuk menjaga konsistensi penelitian dan hasilnya dapat dibandingkan dengan proses skala industri, pati tapioka, α-amilase, dan glukoamilase (sering juga disebut amiloglukosidase atau ekso-1,4 α-glukosidase) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Raya Sugarindo Inti. Bahan-bahan kimia lain yang digunakan untuk analisis mempunyai kualitas analitis dari Sigma dan Merck, sedangkan bahan kimia untuk pengaturan kondisi larutan dan pencucian membran mempunyai kualitas teknis. Sistem bioreaktor membran Peralatan bioreaktor membran hollow fiber yang digunakan untuk studi ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu reaktor likuifaksi (6,2 L), reaktor sakarifikasi (1,2 L) dan unit ultrafiltrasi. Diagram skematik sistem bioreaktor membran ini dapat dilihat pada Gambar 2. Reaktor likuifaksi dan sakarifikasi terbuat dari kaca. Kecepatan putaran pengaduk dapat diatur pada kisaran 0 – 500 rpm. Modul ultrafiltrasi menggunakan membran dari GDP Filter dengan MWCO 100.000 Dalton. Volume total reaktor sakarifikasi dan unit ultrafiltrasi adalah ± 1200 ml. Sistem bioreaktor membran ini juga dilengkapi dengan indikator tekanan, indikator temperatur, dan pengatur temperatur automatis. Sistem ini dapat dioperasikan secara curah atau kontinu.
Pengatur tekanan TI
TC
TI
TC
PI Permeat
Water bath Pemanas elektrik Gelas ukur
RL
RS
Unit ultrafiltrasi PI
Pembuangan Pembuangan
Pembuangan
Pembuangan Pembuangan
Gambar 2. Diagram skematik bioreaktor membran (RL = reaktor likuifaksi, RS = reaktor sakarifikasi, PI = indikator tekanan, TC = pengatur temperatur, TI = indikator temperatur) Pengukuran konsentrasi sakarida Konsentrasi glukosa, maltosa, dan oligosakarida diukur dengan high-performance liquid chromatography (Knauer HPLC) yang menggunakan kolom metacarb 67 C, detektor RI 2000, fasa bergerak air, laju alir 0,5 ml/menit, temperatur 90oC, dan tekanan 725 psig. Derajat brix larutan diukur dengan refraktometer. DE (dextrose equivalent), yaitu prosentase dari ikatan glikosidik yang telah terhidrolisis, ditentukan secara analitik dengan menggunakan persamaan berikut: gula pereduksi, dinyatakan sebagai glukosa DE = (17) karbohidrat total Sebagai gambaran, DE glukosa adalah 100, DE maltosa adalah 50, dan DE pati adalah 0. Konsentrasi gula pereduksi dalam larutan diukur dengan metode Somogyi-Nelson [16]. Larutan uji dipipet ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml dan ditambahkan 1 ml reagensia alkalis, dimasukkan dalam air mendidih, tepat 20 menit diangkat
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-4
dan dimasukkan dalam air dingin. Kemudian ditambahkan 1 ml reagen warna arsenomolibdat, diaduk sampai homogen, dan ditambahkan 7 ml air distilasi. Serapan cahaya dibaca pada panjang gelombang 650 nm. Penentuan parameter kinetika Sejumlah percobaan batch dilakukan untuk mendapatkan data-data konsentrasi glukosa (g/l) terhadap waktu reaksi untuk berbagai konsentrasi substrat. Data-data ini diolah lebih lanjut menjadi data-data laju reaksi awal untuk setiap konsentrasi substrat. Dengan menggunakan hubungan laju reaksi awal dan konsentrasi substrat sebagai berikut:
1 1 Km 1 = + RG V max V max S 0
(18)
nilai Km dan Vmax diprediksi dari analisis Lineweaver-Burk (Gambar 3). Konstanta laju reaksi (k2) dihitung dengan persamaan berikut:
Vmax = k 2 E (19) Dalam studi ini diperoleh Km dan k2 masing-masing 552 (g/l) dan 4,04 (menit-1). Hasil ini sangat berbeda dengan data yang dilaporkan oleh Kusunoki dkk [12] yang memperoleh nilai Km dan k2 masing-masing 0,163-1,04 (g/l) dan 0,325-1,46 (menit-1). Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kemurnian enzim yang digunakan berbeda sehingga aktivitas katalitik enzim spesifik juga berbeda. Semakin tinggi kemurnian, semakin tinggi aktivitas spesifiknya. Kedua, sebagian enzim terperangkap pada dinding membran yang mengakibatkan interaksi substrat menjadi lebih sulit (Km lebih tinggi). Evaluasi model kinetika Parameter-parameter kinetika Km dan k2 yang ditentukan dari data eksperimen digunakan untuk memprediksi kinerja bioreaktor membran kontinu. Gambar 4 menunjukkan perubahan konsentrasi glukosa terhadap waktu tinggal untuk proses hidrolisis hasil likuifaksi dengan enzim glukoamilase pada pH 4,5 dan temperatur 57 ± 3oC. Garis pejal menyatakan hasil prediksi secara teoritik menggunakan persamaan (16) dan noktah hitam menyatakan data-data eksperimen setelah bioreaktor membran mencapai kondisi tunak. Sebelum mencapai konsentrasi glukosa maksimum, model ini dapat memprediksi kinerja bioreaktor membran dengan baik. Namun dengan waktu tinggal yang lebih lama, hasil prediksi teoritik lebih besar daripada data eksperimen. Sims dan Cheryan [8] mendapatkan hasil yang serupa untuk kasus hidrolisis pati jagung. Hal ini disebabkan oleh model Michaelis-Menten tidak memperhitungkan reaksi kondensasi glukosa menjadi maltosa, isomaltosa atau senyawasenyawa lain. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa konsentrasi glukosa cenderung menurun sampai mencapai kondisi kesetimbangannya. Oleh karena itu, waktu tinggal harus benar-benar tepat untuk mendapatkan konversi yang maksimum. 3.5
100 Kadar glukosa (%)
3.0
1/RG
2.5 2.0 1.5 1.0 y = 136.39x + 0.2472
0.5
80 60 40 Data eksperimen
20
Model
0
0.0 0
0.005
0.01 0.015 1/S0
0.02
0.025
Gambar 3. Penentuan Vmax dan Km menggunakan analisis Lineweaver-Burk
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
0
5
10 15 Waktu tinggal (jam )
20
25
Gambar 4. Perbandingan hasil prediksi dan data eksperimen untuk hidrolisis hasil likuifaksi dalam bioreaktor membran kontinu pada temperatur 57 ± 3oC dan pH 4,5
B-12-5
Konsentrasi glukosa (g/l)
700 600 500 400 300 200
S0 = 250 g/l S0 = 350 g/l S0 = 450 g/l S0 = 550 g/l
100
S0 = 300 g/l S0 = 400 g/l S0 = 500 g/l S0 = 600 g/l
0 0
15
30 45 60 Waktu tinggal (jam )
75
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap produksi glukosa
Kadar glukosa (%, basis kering)
Simulasi numerik kinerja bioreaktor membran mode operasi resirkulasi Seperti telah disampaikan di atas bahwa aplikasi persamaan (16) untuk bioreaktor membran dengan mode operasi resirkulasi memerlukan dua parameter intrinsik yang harus ditentukan secara eksperimental, yaitu konstanta Michaelis Km dan konstanta laju reaksi k2. Dengan menggunakan kedua nilai konstanta ini, kinerja bioreaktor membran dapat diprediksi sebagai fungsi dari konsentrasi substrat awal (S0), konsentrasi enzim (E) dan waktu tinggal (V/Qp). Gambar 5 menunjukkan pengaruh konsentrasi substrat terhadap konsentrasi glukosa dalam sistem bioreaktor membran yang dioperasikan secara batch. Jika konsentrasi substrat meningkat, konsentrasi glukosa (g/l) juga meningkat. Ini berarti bahwa jumlah glukosa yang terbentuk akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi substrat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan peningkatan konsentrasi substrat maka peluang enzim untuk kontak dengan molekul substrat membentuk kompleks enzim-substrat semakin besar. Kompleks enzim-substrat ini akan pecah menghasilkan glukosa. Namun perlu ditegaskan bahwa jika hasil sakarifikasi akan digunakan untuk produksi glukosa kristal maka prosentase glukosa dalam produk (basis kering) jauh lebih penting daripada jumlah konsentrasi glukosa (g/l). Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, peningkatan konsentrasi substrat awal tidak akan mempengaruhi kadar glukosa akhir. Namun dalam prakteknya, viskositas larutan akan meningkat drastis dengan kenaikan konsentrasi substrat awal sehingga glukoamilase tidak akan berfungsi secara efektif. 100 S0 = 250 g/l
80
S0 = 300 g/l S0 = 350 g/l
60
S0 = 400 g/l 40
S0 = 450 g/l S0 = 500 g/l
20
S0 = 550 g/l S0 = 600 g/l
0 0
15
30 45 Waktu tinggal (jam )
60
75
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kadar glukosa
Dalam proses hidrolisis pati menjadi glukosa, kemurnian produk merupakan faktor yang sangat penting. Karena pemisahan fraksi sakarida sangat sulit, satu-satunya cara untuk mendapatkan kemurnian tinggi adalah dengan mengupayakan tingkat konversi setinggi mungkin. Dalam proses hidrolisis pati menjadi glukosa, glukosa yang sudah terbentuk bisa terkondensasi menjadi maltosa, isomaltosa atau produk lain sehingga jika proses dibiarkan maka kadar glukosa akan berkurang. Di industri, hasil sakarifikasi dipanaskan secara cepat untuk mencegah reaksi kondensasi ini. Oleh karena itu, pengetahuan waktu tinggal yang memberikan kadar glukosa maksimum sangat penting. Pada Gambar 7 ditunjukkan kadar glukosa yang akan dihasilkan sebagai fungsi waktu tinggal dan konsentrasi enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim, waktu tinggal yang diperlukan untuk mencapai kadar glukosa 97% semakin singkat menurut hubungan τ = 84,35CE−1 (Gambar 8). Pada konsentrasi enzim 8 g/l (setara dengan 55 kali konsentrasi proses konvensional), waktu tinggal untuk mencapai kadar glukosa 97% adalah 10 jam. Gambar 9 menunjukkan pengaruh rasio konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim terhadap kadar glukosa untuk berbagai konsentrasi enzim dan waktu tinggal 2 jam. Untuk kosentrasi enzim yang sama, peningkatan rasio konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim akan meningkatkan jumlah glukosa yang terbentuk karena peluang kontak antara enzim dengan substrat semakin besar, namun jumlah substrat yang belum terhidrolisis juga meningkat. Akibatnya, peningkatan rasio konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim akan menurunkan kadar glukosa dalam produk reaksi. Bahkan dengan rasio konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim yang sama, kadar glukosa dalam produk reaksi akan berbeda jika konsentrasi enzimnya berbeda. Dapat ditegaskan bahwa sensitivitas perubahan kadar glukosa dalam produk reaksi terhadap konsentrasi enzim lebih tinggi dibandingkan dengan perubahan konsentrasi substrat. Simulasi lebih lanjut tentang perbandingan produktivtas BME dan reaktor curah konvensional ditunjukkan pada Gambar 10. Seperti terlihat pada gambar, produktivitas BME dapat mencapai 12 kali produktivitas reaktor curah konvensional dengan meningkatkan konsentrasi enzim menjadi 83 kali konsentrasi enzim proses konvensional. JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-6
600 500
80
Waktu tinggal
Kadar glukosa (%, basis kering)
100
E = 0,5 g/l 60
E = 1,0 g/l E = 2,0 g/l
40
E = 4,0 g/l
300 y = 84.35x -1
200
E = 8,0 g/l
20
100
E = 12,0 g/l
0
0 0
15
30 45 Waktu tinggal (jam )
60
0
75
Gambar 7. Profil kadar glukosa (basis kering) sebagai fungsi konsentrasi enzim dan waktu tinggal
2
4 6 8 10 Konsentrasi enzim (g/l)
12
Gambar 8. Korelasi waktu tinggal terhadap konsentrasi enzim untuk mencapai kadar glukosa 97% berat
1.0 S0 = 300 g/l S0 = 600 g/l E = 1 g/l E = 2 g/l
80 60 40 20 0
Produktivitas (ton/jam )
100
Kadar glukosa (% W)
400
0.8 0.6 BME 0.4 Reaktor curah
0.2 0.0
0
250
500
750
1000
1250
S0/E
Gambar 9. Pengaruh rasio konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim terhadap kadar glukosa untuk berbagai konsentrasi enzim dan waktu tinggal 2 jam
0
3
6 9 12 Konsentrasi enzim (g/l)
15
Gambar 10. Perbandingan produktivitas BME dan reaktor curah
Kesimpulan Kinetika bioreaktor membran kondisi tunak dipelajari secara eksperimental dan teoritik. Penyusunan model kinetika menggunakan persamaan laju reaksi Michaelis-Menten dan model reaktor tangki teraduk sempurna (CSTR). Dalam studi ini diperoleh konstanta Michaelis (Km) dan konstanta laju reaksi (k2) masing-masing 552 (g/l) dan 4,04 (menit -1). Sampai konsentrasi glukosa maksimum, model kinetika yang disusun berdasarkan pendekatan persamaan laju reaksi Michaelis-Menten dan model CSTR ideal dapat memprediksi kinerja bioreaktor membran dengan baik. Namun setelah mencapai konsentrasi maksimum, hasil prediksi teoritis lebih besar daripada data eksperimen. Analisis pengaruh parameter operasi secara numerik, seperti konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, dan waktu tinggal, memberikan hasil-hasil sebagai berikut: pertama, konsentrasi substrat awal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar glukosa akhir; kedua, sensitivitas perubahan kadar glukosa dalam produk reaksi terhadap konsentrasi enzim lebih tinggi dibandingkan dengan perubahan konsentrasi substrat; ketiga, untuk mencapai kadar glukosa 97%, waktu tinggal yang diperlukan menurun dengan peningkatan konsentrasi glukoamilase menurut hubungan τ = 84,35CE−1. Selain itu, produktivitas BME sekitar 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan reaktor curah konvensional jika konsentrasi enzim 12 g/l.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-7
Ucapan terima kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, PT. Raya Sugarindo Inti, dan Departemen Teknik Kimia ITB atas dukungan dana dan fasilitas untuk penelitian ini. Daftar Pustaka 1. Patil, S.K., (1991), Starch Properties, Modification, and Applications in Foods. Part 1, Eur. Food Drink Rev., 72 – 84. 2. Cock., J.H., (1985), Cassava: New Potential for a Neglected Crop, Westview Press, London, 23 – 26. 3. Closset, G.P., J.T., Cobb, Y.T., Syah, (1974), Study of Performance of a Tubular Membrane Reactor for an Enzyme Catalyzed Reaction, Biotechnol. Bioeng., 16, 345 – 360 4. Tachauer, E., J.T., Cobb, Y.T., Syah, (1974), Hydrolysis of Starch by a Mixture of Enzymes in a Membrane Reactor, Biotechnol. Bioeng., 16, 545 – 550 5. Madgavkar, A.M., Y.T. Syah, J.T. Cobb, (1977), Hydrolysis of Starch in a Membrane Reactor, Biotechnol. Bioeng., 19, 1719 – 1726 6. Darnoko, D., M. Cheryan., W.E. Artz, (1989), Saccharification of Cassava Starch in an Ultrafiltration Reactor, Enzyme and Microbial Technol., 11, 21–34 7. Nakajima, M., K.-I. Iwasaki, H. Nabetani, A. Watanabe, (1990), A Continuous Hydrolysis of Soluble Starch by Free Beta-Amylase and Pullulanase Using an Ultrafiltration Membrane Reactor, Agric. Biol. Chem., 54, 2793 – 2799 8. Sims, K.A., M. Cheryan, (1992), Hydrolysis of Liquefied Corn Starch in a Membrane Reactor, Biotechnol. Bioeng., 39, 960 – 967 9. Ulibarri, R.L., G.M. Hall, (1997), Saccharification of Cassava Flour Starch in a Hollow-Fiber Membrane Reactor, Enzyme and Microbial Technol., 21, 398-404 10. Cheryan, M., M.A. Mehaia, (1986), Membrane Bioreactor, dalam Membrane Separations in Biotechnology, McGregor, W.C., Editor, Marcel Dekker, New York, 225 – 301 11. Shiraishi, F., K. Kawakami, K. Kusukoni, (1985), Kinetics of Condensation of Glucose into Maltose and Isomaltose in Hydrolysis of Starch by Glucoamylase, Biotechnol. Bioeng., 27, 498 – 502 12. Kusunoki., K., K. Kawakami, F. Shiraishi, K. Kato, M. Kai, (1982), A Kinetic Expression for Hydrolysis of Soluble Starch by Glucoamylase, Biotechnol. Bioeng., 24, 347 – 354 13. 14. 15. 16.
Fuji, M., Y. Kawamura, (1985), Synergistic Action of α-Amylase and Glucoamylase on Hydrolysis of Starch, Biotechnol. Bioeng., 27, 260 – 265 Deeslie, W.D., M. Cheryan, (1981), A CSTR-Hollow Fiber System for Continuous Hydrolysis of Proteins. Performance and Kinetics, Biotechnol. Bioeng., 23 2257 – 2271 Levenspiel, O., (1999), Chemical Reaction Engineering, edisi ketiga, John Wiley and Sons Inc., New York Somogyi, M., (1951), Notes on Sugar Determination, J. Biol. Chem., 195, 19-23
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
B-12-8