“KINERJA VISI DAN MISI” ( Studi tentang Kinerja Visi dan Misi Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur )
PAPER Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Indonesia Yang Dibina Oleh Bapak Drs. Mochamad Rozikin, M.AP
Oleh : ERIN DAMAYANTI 135030118113001
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK 2014/2015
1
BAB I LATAR BELAKANG
Terselenggaranya Kepemerintahan yang baik, bersih dan berwiibawa (Good Governance and Clean Government ) merupakan prasyarat bagi setiap Pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan serta cita-cita berbangsa dan bernegara, sehingga diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan legitimate agar penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasilguna, bersih dan bertanggungjawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejalan dengan itu, dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut telah diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
penyelenggaraan
Daerah
negara
dinyatakan
meliputi
azas
bahwa
kepastian
azas-azas hukum,
azas
umum tertib
penyelenggaraan negara, azas kepentingan umum, asas keterbukaan, azas proporsionalitas, azas profesionalitas dan azas akuntabilitas. Menurut penjelasan Undang-undang tersebut, azas akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Peranan administrasi negara dalam penyelenggaraan suatu negara mencakup fungsi-fungsi
umum
pemerintahan,
seperti
hankam,
penegakan
hukum,
penyediaan barang dan jasa dalam kuantitas dan kualitas yang memadai serta bagaimana menyampaikannya kepada masyarakat dan lain-lain. Peranan tersebut
2
kemudian diwujudkan dalam bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh organisasi publik. Berbicara mengenai pelayanan publik tak akan lepas dari birokrasi, karena birokrasi merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Sadar atau tidak setiap warga negara pasti akan selalu berhubungan dengan aktivitas birokrasi. Aktivitas birokrasi mencakup beberapa serangkaian tugas utama yang harus dilaksanakan, baik yang bersifat pengaturan yang harus selalu berdasarkan peraturan perundang- undangan dan dioperasionalkan secara transparan, maupun yang dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat. Tujuan utama birokrasi adalah menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang murah untuk mewujudkan efisiensi. Hanya saja kenyataan yang terjadi selama ini birokrasi masih terkesan negatif, mulai dari inefisiensi, inefektivitas sampai pada kualitas pelayanan yang menjengkelkan karena lamban, berbelit-belit dan sebagainya. Kondisi tersebut jelas menunjukkan kinerja aparatur negara yang masih kurang baik karena bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai abdi masyarakat. Lingkungan masyarakat yang cepat berubah sebagai akibat dari arus globalisasi membuat kesadaran masyarakat untuk menuntut kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan dan perhatian akan hak-haknya menjadi terbuka. Masyarakat seakan tidak takut lagi untuk mengkritik bahkan memprotes setiap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat banyak. Keadaan yang demikian menuntut pemerintah untuk segera melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi publik dengan melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan melakukan pengukuran kinerja. Sejalan dengan upaya untuk perbaikan kinerja, analisis terhadap kinerja organisasi pemerintah menjadi sangat penting. Dengan analisis kinerja, informasi mengenai kinerja dan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kinerja dapat diketahui. Agar analisis menghasilkan informasi kinerja yang sebenarnya, maka diperlukan pengukuran kinerja yang obyektif dan komprehensif. Obyektif dan komprehensif mengandung arti bahwa kinerja diukur baik dari segi finansial maupun non finansial dan dari segi internal maupun eksternal organisasi. Hanya
3
saja selama ini pengukuran kinerja pada instansi pemerintah masih belum dilakukan secara obyektif. Pengukuran kinerja yang dilakukan cenderung memperhatikan perspektif keuangan saja. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita dalam berbangsa dan bernegara. Dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara tersebut, peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara pada umunya mencakup dua kelompok fungsional, yaitu: (a) dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum, yang antara lain meliputi penciptaan dan pemeliharaan rasa aman dan pengaturan ketertiban, pertahanan dan keamanan, penyelenggaraan hubungan diplomatik, serta pemungutan pajak; (b) dalam rangka penyelenggaraan fungsi pembangunan, seperti pembangunan bangsa serta pembangunan ekonomi dan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat . Untuk dapat menyelenggarakan fungsi sebagaimana tersebut di atas, tentu dibutuhkan dukungan berbagai sumber daya dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat. Disamping itu pemerintah juga dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga benar-benar dapat diwujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Disamping itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan upaya implementasi anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) maka instansi pemerintah harus menetapkan tingkat kinerja terukur yang akan diwujudkan pada periode satu tahun. Dewasa ini, organisasi publik sedang berada pada masa transisi dari era persaingan global menuju ke era persaingan informasi. Selain itu, organisasi publik juga menghadapi tantangan besar dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Organisasi publik semakin dituntut untuk memberikan pelayanan secara profesional, seperti layaknya organisasi bisnis, walaupun orientasi organisasi publik tetap nonprofit. Organisasi publik juga harus mulai menyadari dan lebih memperhatikan pentingnya peranan pengukuran kinerja, sebagai sarana untuk memantau keahlian dan perilaku aparat. Pemerintah menanggapi hal ini dengan mengeluarkan
4
berbagai peraturan sebagai pedoman kerja aparatur, antara lain Keputusan MENPAN
Nomor
Penyelenggaraan
63/KEP/M.PAN/7/2003
Pelayanan
Publik
dan
tentang
Pedoman
Umum
Keputusan
MENPAN
Nomor
KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Namun
demikian,
perspektif
pengukuran
kinerja
dengan
hanya
memperhatikan unsur finansial semata harus mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena banyak aspek penentu kesuksesan organisasi publik yang tidak dapat dinilai dengan angka (dikuantifikasikan) dalam satuan mata uang atau ditampilkan dalam laporan keuangan, seperti kekayaan organisasi yang sifatnya tidak berwujud (intangible assets) maupun kekayaan intelektual sumber daya manusia. Padahal, faktorfaktor tersebutlah yang justru menjadi penentu dan pendorong kemajuan suatu organisasi publik (Suharsono, 2005). Ditinjau dari perspektif non finansial, organisasi publik harus mampu memberikan pelayanan yang memadai bagi masyarakat. Untuk itu diperlukan inovasi dalam sistem pelayanan, peningkatan kompetensi pegawai, komitmen yang kuat untuk peningkatan produktivitas dan juga peningkatan fasilitas pelayanan publik. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan semakin merasa puas dengan pelayanan yang diberikan. Pada akhirnya, semua hal tersebut diharapkan dapat mendukung terciptanya pembangunan dan pengembangan pelayanan publik. Peningkatan kualitas dan kompetensi aparatur pemerintahan sangat diperlukan untuk mencapai peningkatan kualitas organisasi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibentuk Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) di setiap provinsi. Badan Diklat bertugas untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi para aparatur pemerintah dari semua organisasi publik agar mereka dapat memberikan layanan yang profesional, bersih, berwibawa, dan dengan sikap mental positif. Upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut, diperlukan suatu sistem manajemen kinerja yang mampu mengukur kinerja dan keberhasilan instansi pemerintah, dengan demikian akan tercipta legitimasi dan dukungan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya sistem
5
manajemen kinerja sektor publik (pemerintah) yang baik niscaya akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, yang pada gilirannya juga akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Kinerja merupakan tujuan utama manajemen sektor publik. Reformasi administrasi publik yang terjadi selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini pada dasarnya berfokus pada konsep kinerja dan efektivitas. Gerakan pembaharuan administrasi publik yang disebut New Public Management (NPM) atau reinvention adalah upaya meningkatkan kinerja. Reformasi administrasi publik yang terus bergulir tersebut sangat dipengaruhi oleh konsep New Publik Management (NPM) yang diperkenalkan oleh Christopher Hood pada tahun 1991. Konsep NPM terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, karena pengukuran kinerja menjadi salah satu prinsip NPM. Penerapan konsep NPM telah menyebabkan terjadinya perubahan manajemen sektor publik yang drastis dari sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Penerapan NPM juga merupakan bentuk modernisasi atau reformasi manajemen dan administrasi publik, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong terbentuknya demokratisasi. Organisasi sektor publik adalah suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan penyediaan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhandan hak publik (Mardiasmo, 2002). Organisasi sektor publik bertujuan menyediakan atau memproduksi barang-barang publik demi kesejahteraan masyarakat yang menjadi konsumenya (Kawedar,dkk 2008). Salah satu organisasi sektor publik adalah instansi pemerintah (Mardiasmo, 2002). Pemerintahan yang ada, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif masih dinilai kurang memiliki kinerja untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan merespons perkembangan situasi baik di dalam maupun di luar negeri (Keban, 2000). Dalam rangka meningkatakan kinerja pemerintah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, pemerintah Indonesia saat ini menerapkan reformasi birokrasi dalam berbagai bidang pemerintahan. Sasaran yang ingin reformasi birokrasi capai adalah terwujudnya birokrasi pemerintahan yang profesional, beretika, dan
6
efektif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, serta dapat memenuhi tuntutan publik terhadap kebutuhan pelayanan yang semakin berkualitas (Rakhmat, 2005). Sebelum era reformasi, eksekutif dan legislatif negara cenderung memiliki praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari kinerjanya (Akili, 2012). Praktik KKN membuat kinerja pemerintah menjadi buruk. Kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsep yang belakangan ini diperkenalkan sejalan dengan adanya keinginan untuk memperbaiki manajemen pemerintahan dan pengelolaan pembangunan masyarakat bangsa (Keban, 2000). Usaha-usaha dalam rangka meningkatkan kinerja instansi-instansi pemerintah dilakukan dengan mengadopsi pendekatan New Public Management (NPM) dan Reinventing Government sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara (Mardiasmo, 2002). Dengan mengadopsi pendekatan tersebut diharapkan instansi pemerintah mempunyai kinerja seperti sektor swasta yang dianggap mempunyai kinerja yang jauh lebih baik apabila dibandingkan. Saat ini usaha-usaha untuk meningkatkan kinerja pada organisasi sektor publik telah berfokus pada penerapan praktik-praktik manajemen kinerja (Hood, 1995). Praktik-praktik manajemen kinerja yang diterapkan tersebut adalah : penetapan secara spesifik tujuan-tujuan yang akan dicapai, pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, dan cara mengukur serta mengevaluasi kinerja. (Verbeeten, 2007). Praktik-praktik
manajemen
kinerja
tersebut
diterapkan
dalam
rangka
meningkatkan kinerja organisasi pemerintahan Indonesia. Dalam penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, praktik NPM ditandai dengan reorientasi terhadap kinerja lembaga pelayanan publik, bahkan secara eksplisit telah dinyatakan dalam beberapa produk perundang-undangan. Penekanan ”kinerja” dalam lembaga pelayanan publik ini dimulai sejak tahun 1999 melalui diterbitkannya Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 1999 tersebut maka selanjutnya instansi pelayanan publik memiliki kewajiban untuk merancang program dan kegiatannya berdasarkan rencana ”hasil” yang ditetapkan terlebih dahulu (Asropi, 2007). Posisi kinerja dalam aktivitas lembaga pelayanan publik semakin dikuatkan dengan diterbitkannya sejumlah kebijakan, khususnya yang terkait dengan
7
perencanaan dan penganggaran. Kebijakan tersebut antara lain meliputi: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara; UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga; PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Salah satu penerapan reformasi birokrasi adalah penerapan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 2003 (Utomo, 2007). Menurut Rangan (2004) secara teori, tujuan yang jelas dan hasil yang dapat diukur diperlukan dalam rangka mencegah sumber daya dan energi organisasi menjadi tidak terarah. Ambiguitas dan kebingungan terhadap tujuan organisasi dapat dikurangi dengan cara mengkuantifikasi tujuan dan mengukur apakah tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai sehingga organisasi dapat fokus untuk mencapai misi organisasi tersebut. Sebagai tambahan pemberian insentif mungkin dapat meningkatkan kinerja (Bonner and Sprinkle, 2002); akan tetapi mengukur dan memberi reward terhadap sebagian dari kinerja saja dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan terhadap keseluruhan kinerja (Burgess and Ratto, 2003). Menurut Mahsun (2006) kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program, kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Setiap organisasi memiliki arah dan tujuan yang tercermin dalam visi dan misi organisasi. Harus ada mekanisme dalam organisasi untuk mengomunikasikan visi dan misi organisasi kepada seluruh anggota organisasi. Setelah proses pengomunikasian visi dan misi, perlu adanya penetapan beban kerja dan tanggung jawab masing-masing pegawai atau disebut target kinerja. Target kinerja ditetapkan secara jelas dan dapat memotivasi pegawai untuk bekerja dengan sepenuh hati. Dalam era reformasi birokrasi, harus diciptakan suatu sistem manajemen kinerja untuk menilai capaian kinerja secara individual dan
8
kontribusinya terhadap pencapaian tujuan organisasi. Komitmen, kompetensi, yang diikuti penerapan reward dan punishment yang adil menjadi sarana yang efektif dalam penerapan sistem manajemen kinerja dalam organisasi. Manajemen juga sangat berkepentingan dengan peningkatan kemampuan dan motivasi pegawai. Untuk itu diperlukan sistem manajemen kinerja yang berorientasi pada pegawai untuk menjamin peningkatan kinerja organisasi. Peningkatan kinerja merupakan hal yang mutlak harus dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Untuk itu, pemerintah telah mencanangkan perbaikan atau reformasi, khususnya reformasi bagi para penyelenggara atau aparatur pemerintah atau yang dikenal dengan reformasi birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah tidak akan pernah berhenti, karena hakikat reformasi (reform) adalah perubahan secara terus-menerus ke arah yang lebih baik dan bagi instansi publik ukurannya adalah semakin baiknya mutu pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat.
9
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
Konsep Kinerja Menurut Veithzal Rivai dan Ahmad Fawzi (2005), mengutip pendapat beberapa ahli, kinerja memiliki pengertian sebagai berikut: a. Stolovitch and Keeps (1992) menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta. b. Griffin (1987) menyatakan bahwa kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja. c. Donelly, Gibson, and Ivancevich (1994) menyatakan bahwa kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Berdasarkan sudut pandang lain, Moeheriono (2009:60) menyatakan bahwa
kinerja
merupakan
gambaran
mengenai
tingkat
pencapaian
pelaksanaan suatu program, kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya. Selanjutnya, berkaitan dengan individu pegawai, Moeheriono (2009:61) menyatakan bahwa dalam implementasinya, kinerja tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan dan tingkat besaran imbalan yang diberikan, serta dipengaruhi oleh ketrampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, kinerja individu pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh faktor: (1) harapan mengenai imbalan, (2) dorongan, (3) kemampuan, (4) kebutuhan dan sifat, (5) persepsi terhadap
10
tugas, (6) imbalan internal dan eksternal, serta (7) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang disebabkan oleh motivasi dan kemampuannya serta adanya kesempatan yang diberikan pihak manajemen kepada karyawannya untuk dapat bekerja secara optimal. Berkaitan dengan pengukuran kinerja, Moeheriono (2009: 61) menyatakan bahwa ada beberapa aspek yang mendasar dan paling pokok dari pengukuran kinerja, yaitu sebagai berikut: a. Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi, dengan menetapkan secara umum apa yang diinginkan oleh organisasi sesuai dengan tujuan, visi, dan misinya. b. Merumuskan indikator kinerja dan ukuran kinerja yang mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, sedangkan indikator kinerja mengacu pada pengukuran kinerja secara langsung yang berbentuk keberhasilan utama (critical success factors) dan indikator kinerja kunci (key performance indicator). c. Mengukur tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi, menganalisis hasil pengukuran kinerja yang dapat diimplementasikan dengan membandingkan tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi. d. Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi dan pengambilan keputusan yang berkualitas, memberikan gambaran atau hasil kepada organisasi mengenai seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut dan mengevaluasi langkah apa yang harus diambil oleh organisasi selanjutnya 2.2
Pengukuran Kinerja Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system. Larry D Strout (1993) dalam Performance Measurement Guide menyatakan bahwa: “Pengukuran atau penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan
11
dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun proses-proses”. Maksudnya, setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian misi dan visi organisasi (Junaedi, 2002: 374-386). Sedangkan menurut James B. Whittaker (1993) dalam Government Performance and Results Act, A Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement sebagai berikut: “Pengukuran kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas” (Junaedi, 2002: 374-386). Pengukuran kinerja merupakan proses pengukuran persyaratanpersyaratan pekerjaan oleh manajemen, atau tingkat kebaikan seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Pengukuran kinerja dapat juga diartikan sebagai penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan personelnya, berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena organisasi pada dasarnya dioperasikan oleh sumber daya manusia, maka pengukuran kinerja sesungguhnya merupakan pengukuran atas perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka mainkan di dalam organisasi (Handayani dan Hudaya, 2002: 277-288). Proses pengukuran kinerja diawali dengan menentukan tujuan spesifik dari pengukuran, kemudian dilanjutkan dengan analisa pekerjaan untuk mengetahui apa yang sebenarnya diharapkan oleh manajemen dalam melaksanakan tugas mereka. Pada akhir periode, penilai mengukur kinerja dan mengevaluasinya. Selanjutnya dibandingkan dengan kinerja kerja standar,
kemudian
mendiskusikan
dan
mengkombinasikan
hasil
pengukuran, yang dilanjutkan dengan perencanaan program peningkatan kinerja dan implementasinya (Handayani dan Hudaya, 2002: 277-288). Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik dalam menilai implementasi
12
strategi melalui alat ukur keuangan (financial) dan bukan keuangan (non financial). Dengan demikian, sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi. Ukuran kinerja dapat berupa faktor kesuksesan organisasi (Critical Success Factors) saat ini dan masa yang akan datang (Zaeni, 2000: 13-28).
Pengukuran kinerja sektor publik
dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan (Junaedi, 2002: 374-386), yaitu: a. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam memberikan pelayanan publik. b. Ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. c. Ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggung jawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. 2.3
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Tujuan utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personel dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi. Penilaian kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik (Srimindarti, 2004: 52-64). Tersedianya penilaian kinerja yang baik, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang objektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien (Srimindarti, 2004: 52-64). Penilaian kinerja dapat dimanfaatkan oleh manajemen untuk (Gunawan, 2000: 36-40):
13
a. Mengelola operasi organisasi secara objektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum. b. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti promosi, pemberhentian dan mutasi. c. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. d. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. e. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Wayne C. Parker (1996:3) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: 1. Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan. Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilakukan dalam keterbatasan data dan berbagai pertimbangan politik serta tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan tujuan pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain, adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan perhatian pada hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar terhadap pelaksanaan anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan program baru. 2. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal. Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas. Lini teratas pun kemudian akan bertanggungjawab kepada pihak legislatif. Dalam hal ini disarankan pemakaian system pengukuran standar seperti halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes. 3. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik. Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi kinerja pemerintah kepada masyarakat dirasakan cukup menakutkan, namun publikasi laporan ini sangat
14
penting dalam keberhasilan sistem pengukuran kinerja yang baik. Keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah menjadi semakin besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin diperhatikan. 4. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan. Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang berarti tanpa adanya kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu program. Tanpa ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah akan dinilai dengan obyektif. 5. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif. Masyarakat semakin kritis untuk menilai program-program pokok pemerintah sehubungan dengan meningkatnya pajak yang dikenakan kepada mereka. Evaluasi yang dilakukan cenderung mengarah kepada penilaian apakah pemerintah memang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk menyerahkan sebagian pelayanan publik kepada sektor swasta dengan tetap bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Dengan adanya pengukuran, analisis dan evaluasi terhadap data yang berkaitan dengan kinerja, pemerintah dapat segera menentukan berbagai cara untuk mempertahankan atau meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan dan sekaligus memberikan informasi obyektif kepada publik mengenai pencapaian hasil (results) yang diperoleh. Lebih lanjut, Wayne C, Parker (1996:10) membuat sebuah model laporan penelitian mengenai pelaksanaan program-program pengukuran kinerja pemerintah yang dilakukan di negara-negara bagian di Amerika Serikat. Model ini memberikan status yang jelas mengenai kondisi programprogram pengukuran kinerja pemerintah dan melihat berapakah jumlah negara bagian yang benar-benar menjalankan program ini dengan bagus. Dengan pengamatan ini diharapkan pemerintah juga lebih terfokus dalam menetapkan dan melaksanakan program pengukuran kinerja yang benar-benar menjadi prioritas.
15
2.4
Kaitan Administrasi Publik dengan Penilaian Kinerja Administrasi publik, menurut M.Pfifner (dalam Ali Mufiz, 2004 : 17) adalah koordinasi dari usaha-usaha kolektif yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Sementara Dwight Waldo (1991:1718) mendenifisikan bahwa administrasi publik adalah organisasi dan manejemen dari manusia dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah, administrasi publik adalah suatu seni dan ilmu tentang manejemen yng dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara. Kemudian, menurut George J. Gordon pengertian administrasi publik merupakan seluruh proses yang dilakukan oleh organisasi maupun perorangan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif, eksekutif dn peradilan. Kaitan antara administrasi publik dengan penilaian kinerja adalah orientasi penilaian kinerja dalam konsep administrasi publik, yaitu dalam pemerintahan mengikuti paradigma “reinventing government” atau “postbureaucratic”, yang mengutamakan pengukuran kinerja pada hasil akhir atau tujuan serta visi organisasi, dan buan pada kemampuan mandanai input dan menjalankan proses. Dan pada saat ini tuntutan akan “good government” dalam standart penilaian kinerja pemerintahan adalah mutlak. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2007:9) kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Mangkunegara, (2007:14), kinerja karyawan dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni : Faktor individual yang terdiri dari:
Faktor psikologis yang terdiri dari:
16
Faktor organisasi yang terdiri dari: daya
Irawan (2000 : 588) menyatakan bahwa: “ Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang konkrit, dapat diamati, dan dapat diukur”. Sehingga kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dalam pelaksanaan tugas yang berdasarkan ukuran dan waktu yang telah ditentukan. Menurut Mangkunegara (2007 : 7), kinerja adalah sepadan dengan prestasi kerja actual performnce, yang merupakan hasil secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Dharma (2005) menyatakan bahwa penilaian kinerja didasarkan pada pemahaman, pengetahuan, keahlian, kepiawaian dan prilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik dan analisis atribut perilaku seseorang sesuai kriteria yang ditentukan untuk masingmasing pekerjaan. Selain pada sumber kesalahan dalam penilaian kinerja terdapat pula faktor yang didefinisikan Veithzal Rivai (2003:317) sebagai faktor
yang dapat menghambat kinerja, dalam hal ini Veithzal
mendifinisikan menjadi 3 (tiga) kelompok utama yaitu: 1. Kendala hukum/ legal. Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi tidak sah atau tidak legal. Apapun format penilaian kinerja yang digunakan oleh departemen SDM harus sah dan dapat dipercaya. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, keputudan penempatan mungkin ditentang melanggar hukum ketenagakerjaan atau hukum lainnya. Keputusan tidak tepat mungkin dapat terjadi kasus pemecatan yang diakibatkan kepada kelalaian.
17
2. Bias oleh penilai (penyelia). Setiap masalah yang didasarkan kepada ukuran subyektif adalah peluang terjadinya bias. Bentuk – bentuk bias yang umumnya terjadi adalah: a. Hallo effect terjadi ketika pendapat pribadi penilai mempengaruhi terhadap kinerja baik dalam arti positif dan kinerja jelek dalam arti negatif. b. Kesalahan yang cenderung terpusat. Beberapa penilai tidak suk menempatkan karyawan ke dalam posisi ekstrim dalam arti ada karyawan yang dinilai sangat positif dan dinilai sangat negatif. c. Bias terlalu lunak dan terlalu keras. Bias terlalu lunak terjadi ketika penilai cenderung begitu mudah dalam mengevaluasi kinerja karyawan. 3. Mengurangi bias penilaian. Bias penilaian dapat dikurangi melalu standar penilaian dinyatakan secara jelas, pelatihan, umpan balik, dan pemilihan teknik penilaian kinerja yang sesuai.
18
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Visi dan Misi Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur Visi: Mewujudkan pelayanan transportasi yang berkualitas untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Misi: 1. Meningkatkan pemerataan pelayanan, dengan prioritas pada Wilayah Kepulauan dan masyarakat berpenghasilan rendah, 2. Meningkatkan pelayanan yang murah, mudah, aman, nyaman, dan cepat, 3. Meningkatkan peranan bidang Transportasi
dalam percepatan dan
pemerataan proses pembangunan daerah 4. Mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam meningkatkan pelayanan perhubungan. 3.2
Rekomendasi Dinas Perhubungan Kabupaten Kediri Pengukuran kinerja Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur tahun 2013 menggunakan metode yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor : 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. rata-rata Indikator Kinerja Utama pada tiap-tiap sasaran pada tiap-tiap tujuan yang ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dikatagorikan Sangat Baik, dengan nilai rata-rata sebesar 108,6 berdasarkan nilai standar penilaian skala ordinal sebagai komitmen kinerja. Berdasarkan uraian capaian Kinerja sasaran yang merupakan capaian kinerja dari pengukuran Indikator Kinerja Utama atau Indikator Kinerja Sasaran dari RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2014, yang merupakan
19
capaian sasaran pada setiap tujuan dalam mencapai Misi dan Visi Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur. Dengan visi “Mewujudkan pelayanan transportasi yang berkualitas untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah” bahwa Dinas Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur masih belum terlaksana dengan baik. Misalnya saja masih ada pelayanan transportasi yang buruk. Sopir kebut-kebutan dalam mengendarai sehingga sering terjadi kecelakaan. Selain itu transportasi umum juga masih kurang merata. Masih ada daerah-daerah yang tidak dilalui transportasi umum sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mencari transportasi umum jika ingin berpergian. Sedangan pengukuran kinerja sesuai dengan misi uraikan sebagai berikut : 1. Meningkatkan pemerataan pelayanan, dengan prioritas pada Wilayah Kepulauan dan masyarakat berpenghasilan rendah : pemerataan pelayanan masih kurang, karena masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung tidak mendapatkan pelayanan yang baik. 2. Meningkatkan pelayanan yang murah, mudah, aman, nyaman, dan cepat : dalam pencapaian misi ini masih kurang, karena masih ada layanan transportasi yang membuat masyarakat merasa tidak nyaman karena sopir yang ugal-ugalan dalam mengendarai 3. Meningkatkan peranan bidang Transportasi
dalam percepatan dan
pemerataan proses pembangunan daerah : bidang transportasi masih kurang dalam melakukan pemerataan dalam rangka pembangunan daerah contohnya saja masih ada daerah yang merasa kesulitan untuk mengendarai transportasi umum ketika ingin berpergian 4. Mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam meningkatkan pelayanan perhubungan : masyarakat masih kurang berpartisipasi, misalnya saja dalam menggunakan pelayanan pada transportasi umum. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang menimbulkan kemacetan. Namun, dunia usaha sudah ikut berpartisipasi dalam melakukan pelayanan. Misalnya saja kereta api yang dimiliki oleh
20
pemerintah namun dikelola oleh swasta sehingga meningkatkan keinginan masyarakat untuk berpergian dengan menggunakan kereta api. Permasalahan
yang
masih
menjadi
perhatian
bagi
Dinas
Perhubungan dan LLAJ Provinsi Jawa Timur terkait 2 (dua) Indikator Capaian Utama meliputi: 1. Prosentase Kendaraan Tidak Melanggar Muatan Lebih. Tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan akibat adanya perilaku operator kendaraan barang yang cenderung melakukan penyimpangan jalur dari jalan utama melewati jalan alternatif untuk menghindari denda pada jembatan timbang. 2. Prosentase Peningkatan Jumlah SDM Yang Memiliki Kompetensi Penguji Kendaraan Bermotor. Tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan akibat banyaknya staf dinas perhubungan di wilayah kab/kota dengan kualifikasi penguji kendaraan bermotor telah menjalani purna tugas serta masih terbatasnya kuota peserta pendidikan dan pelatihan kompetensi penguji kendaraan bermotor yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. 3. Prosentase Pertumbuhan Jumlah Penumpang Transportasi Udara di Bandara Udara ABD Saleh Malang dan Bandar Udara Blimbingsari Banyuwangi. Tidak terpenuhinya target yang telah ditetapkan akibat belum adanya penambahan jumlah pesawat yang melayani penerbangan dari dan ke Bandara Abdulrahman Saleh Malang dan Bandara Blimbingsari Banyuwangi Meskipun Kinerja Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan Provinsi Jawa Timur tahun 2013 ini telah memperoleh hasil yang memuaskan namun masih terdapat beberapa permasalahan sehingga tidak tercapainya target kinerja yang diharapkan. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi maka diambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Banyaknya upaya operator kendaraan menghindari operasi jembatan timbang statis maka akan dilakukan pengawasan dan pengendalian kelebihan muatan pada ruas jalan alternatif dengan sistem operasi jembatan timbang secara berpindah yang pelaksanaannya dilakukan secara
21
gabungan antar instansi terkait sehingga tetap terjaganya pelaksanaan operasi jembatan timbang secara transparan dan bebas dari pungutan liar. 2. Dengan banyaknya staf penguji kendaraan bermotor yang purna tugas maka akan dilakukan koordinasi intensif dengan pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan quota peserta pendidikan dan pelatihan kompetensi penguji kendaraan bermotor. 3. Meningkatkan sarana prasarana Bandara Abd. R Saleh Malang dan Blimbingsari Banyuwangi serta berupaya untuk membuka jalur-jalur penerbangan baru sehingga menarik minat operator penerbangan untuk melayani jalur-jalur penerbangan yang pada akhirnya akan mewujudkan peningkatan jumlah penumpang selaku pengguna jasa penerbangan melalui bandara-bandara tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://dishubllaj.jatimprov.go.id/?page=content&isi=profil&id=9 http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Marita%20Ahdiyana,%20S.I.P.,%20 M.Si./Memperkuat%20Manajemen%20Strategis%20dalam%20Pengukuran%20K inerja%20Organisasi%20Sektor%20Publik.pdf http://download.portalgaruda.org/article.php?article=121451&val=4925 http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/files/post/20140206_120243/Sistem%20Manajeme n%20Kinerja%20dalam%20Kerangka%20Reformasi%20Birokrasi.pdf http://eprints.undip.ac.id/40111/1/ARIYADI.pdf
23