Keumuman ('Amm) dan Kekhususan (Khass) Seputar Ayat ل ب الرلر ل لولح لرلم ال يبلي يلع الل لهه لوألح لل Ditinjau dari Ushul Fiqih Maliki Dibuat berdasarkan Ilmu Ushul Fiqih Maliki karya Muhammad Abu Zahrah
Qur'an adalah keseluruhan Syariah, Pelindung Agama, Sumber Kebijaksanaan, Tanda keNabian (Mukjizat) serta Cahaya Mata dan Hati. Tidak ada Jalan Keselamatan kecuali Jalan Qur'an. Anda harus melepas pegangan apapun yang berlawanan dengan Qur'an. Tidak satupun dari pernyataanpernyataan di atas memerlukan penegasan atau penarikan kesimpulan karena telah lazim diketahui dalam Agama dan di kalangan kaum Muslimin. Dikarenakan demikian adanya, siapapun yang ingin melengkapi Pengetahuan Syariat dan ingin memahami Tujuan Hidupnya dan termasuk golongan orangorang yang Mengikuti Qur'an, maka harus mengambil Qur'an sebagai Pendamping Setianya siang dan malam, dalam pencarian kebenaran dan tindakan... Jika seseorang mampu untuk melakukannya, dia akan segera memiliki murid dan mendapati dirinya berada di antara Para Pendahulu (alAwwaluun). Dia tidak akan mampu melakukan itu tanpa dibantu oleh Sunnah yang menjelaskan Kitab, yakni karyakarya dari para Imam Awwal dan Kaum Salaf, yang akan membimbingnya dalam tujuan mulianya. (p. 247, vol. 3) Demikianlah Pandangan Imam Malik mengenai Qur'an. Sehingga Imam Malik hanya membaca Qur'an atau meriwayatkan Hadist atau menghasilkan Fatwa dari Qur'an dan Hadist untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepadanya. Imam Malik tidak memandang Qur'an dengan Pandangan Mendebat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata bahwa Qur'an terdiri dari Ungkapan dan Makna atau hanya Makna1; demikian pula Imam Malik tidak terlibat dalam diskusi apapun dengan Mutakallimun tentang Qur'an sebagai Makhluk karena Imam Malik tidak menganggap persoalan yang demikian untuk diperdebatkan. Imam Malik percaya bahwa kapanpun seorang manusia beradu pendapat dengan manusia lain mengenai hal ini, dia telah mengurangi keyakinan bahwa malaikat Jibril telah menyampaikan Wahyu kepada Muhammad shallallahu'alayhiwasallam. Imam Malik mengetahui bahwa Qur'an mengandung semua Syariat dan bahwa Sunnah adalah penjelasan terhadap Qur'an. Qur'an tidak dapat dipahami dengan benar dan menyeluruh kecuali jika Penjelasnya yakni Sunnah Nabi dilibatkan untuk memahami Qur'an. Imam Malik haus akan Sunnah itu, bukan semata karena Sunnah adalah Sumber Hukum Islam Kedua, tetapi karena Sunnah juga menjelaskan serta menguraikan Qur'an dan memberikan Rincian Khusus bagi Yang Umum dan Membatasi yang Tidak Terbatas. Qur'an adalah dalam bahasa Arab dan diwahyukan dalam bahasa Arab. Penduduk Arab yang demikian fasih saja memandang bahwa keindahan Qur'an tidak dapat ditiru dan membuat semua orang yang berusaha menirunya kewalahan. Imam Malik menganggap Tidak Pantas bagi seseorang untuk mencoba menjelaskan Qur'an kecuali jika orang itu memiliki Pengetahuan Mendalam tentang Bahasa Arab, Perbedaanperbedaan Dialek, dan Gaya Penyampaian. Sunnah adalah Jalan Lurus untuk Meresapi Makna Kitab. Itulah sebabnya Tidak Benar untuk Berpedoman Hanya kepada Qur'an tanpa mencari bantuan pen jelasan dari Sunnah. Imam Malik tidak menyukai penyertaan materi Injil 1 Yang berpendapat bahwa Qur'an hanya Makna, menganggap bahwa Terjemah Qur'an ke bahasa apapun diterjemahkan adalah Qur'an juga pent,
atau Talmud Yahudi dalam penjelasannya. Imam Malik tidak meyakini periwayatan seseorang yang menggunakan cara demikian. Imam Malik memuji kebaikan yang ada pada diri seseorang tapi mengkritik orang itu karena menerima Tafsir dari Qatadah karena memperhitungkan bahwa Qatadah menyertakan dalam Tafsirnya banyak Hal yang Tidak Sehat. Imam Malik menganggap Qur'an terdiri dari Ungkapan dan Makna, yang mana ini merupakan Pandangan dan Kesepakatan Mayoritas Muslim, tetapi Imam Malik tidak terlibat dalam perdebatan atau perselisihan apapun tentang hal ini. Itulah sebabnya Imam Malik menganggap bahwa sebuah Terjemah Qur'an tidak dapat digunakan untuk bacaan Shalat, atau Sujud Tilawah saat mendengarkan Ayat Sajadah, atau harus bebas dari hadas saat menyentuh, atau dibaca oleh perempuan yang haidh atau nifas atau seseorang yang berhadas besar. Sebuah terjemahan tidak pernah lebih dari Penjelasan Makna atau Sebagian Makna dari Pemahaman yang didapat dari bahasa aslinya yaitu Bahasa Arab. Ulama Maliki menyebutkan bahwa Imam Malik menggunakan bermacam tingkatan Penafsiran Tekstual sebagaimana telah dijelaskan di atas, begitu pula dalam Sunnah. Kami wajib untuk menjelaskan metoda dan pendapat Imam Malik berkenaan dengan persoalan ini dengan sejelasjelasnya dan kedudukan Imam Malik sehubungan dengan Pendapat lain tanpa terlalu berlebihan dalam perinciannya.
Nash dan Dzahir dalam Qur'an Dalam hal Hukum Syara' yang diambil dari Kitab Allah, seorang Pengambil Hukum Syara' harus mempelajari Susunan Bahasa Qur'an, Sifat Dasar Dalil yang ada dalam Qur'an, Makna yang Disampaikan oleh Dalil tersebut, Makna Sebuah Dalil berdasarkan Ungkapannya (ekspresi), dan Tujuan dari Dalil tersebut. Karena itu seorang Pengambil Hukum Syara' harus mengenali Makna Ungkapan seperti sifat Kesegeraaan dan sifat Penundaannya, yang mana sifatsifat itu menerangkan persoalan yang dibahas oleh Dalil tersebut. Setiap penggalan Dalil memiliki Tempatnya sendiri dalam keseluruhan Uraian dan juga Derajat Kekuatan Tertentu. Menghasilkan Hukum Syara' dari Qur'an memerlukan pemahaman terhadap semua yang disebut di atas. Itulah sebabnya mengapa para ulama Ushul yang datang setelah Imam Asy Syafi'i memiliki perhatian dalam mempelajari susunan Qur'an sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam AsySyafi'i sendiri, memastikan derajat dan kekuatan dari Dalil dan memberikan bobot yang tepat pada setiap Dalil yang ada. Dari Aturan Sekunder para Imam Madzhab, Fuqaha Syafi'iyyah mempelajari bagaimana menerapkan Dalil Tekstual sebagai Dasar Pengambilan Hukum Syara' dan bagaimana mereka mendukung satu jenis Dalil di atas Dalil yang lain ketika Dalildalil ini berlawanan serta apa yang menjadi dasar dalam kecenderungan pemilihan tersebut. Satu hal yang menjadi perhatian para ulama, baik dari kalangan Hanafi atau Maliki adalah mengenali mana Teks Nash dan mana Teks Dzahir Qur'an. Mereka mencatat bahwa dalam Asas Penentuan Sekunder nya, Imam Malik menggunakan kaidah Pemisahan antara Nash dengan Dzahir, sekalipun Imam Malik tidak mendefinisikannya dengan jelas. Sebagaimana telah kita bahas di atas, menurut kitab alBahja, Nash dan Dzahir Qur'an adalah berada di antara Dalildalil Hukum yang digunakan oleh Imam Malik. Para ulama Maliki menyatakan bahwa Nash dan Dzahir Qur'an berbeda dalam Tingkat Kekuatan Dalil pada saat Menarik Hukum Syara', Nash lebih kuat daripada Dzahir, sebagaimana disimpulkan dari Asas Penentuan
Sekunder yang diriwayatkan dari Imam Malik. Para ulama Ushul Fiqih Maliki mengatakan bahwa perbedaan antara Nash dengan Dzahir adalah bahwa Nash Tertutup untuk Ditafsirkan sedangkan Dzahir Terbuka untuk Ditafsirkan. Sebelum kami menjelaskan apakah sebuah Dalil dapat ditafsirkan atau tidak, kita hendaknya menandai perbedaan antara Nash dan Dzahir yang Imam Asy Syafi'i tidak bahas dalam Risalahnya karena pertimbangan bahwa Nash dan Dzahir pada dasarnya tidak dapat dibedakan. Imam AlGhazali mengatakan bahwa Imam AsySyafi'i mengadopsi Penggunaan Ilmu Linguistik2 dan Syariat tidak melarang hal yang demikian. Secara Linguistik Nash bermakna Perwujudan (Dzuhur), digunakan misalnya untuk menggambarkan seekor kijang ketika nongol kepalanya sehingga dapat dilihat. Dengan demikian sebuah Teks dapat dipandang Nash dan Dzahir sekaligus3. (alMustasfa, pt. 1, p. 384) Dari paragraf barusan dapat dilihat bahwa Imam AsySyafi'i tidak membedakan antara Dzahir dengan Nash, tetapi para ulama setelahnya melakukan pembedaan karena Aturan Hukum Sekunder yang dihasilkan oleh Fuqaha sebelum dan sesudah Imam Syafi'i membutuhkan Pembedaan antara Nash dengan Dzahir. Yakni seputar Dalil Kuat yang tidak Multi Tafsir dan juga tidak ada Hukum Syara' lain yang dapat dihasilkan darinya (Nash). Dan Dalil yang Bermakna Jelas tetapi mengizinkan adanya kemungkinan lain penafsiran, meskipun ketika seseorang mendengarkan Dalil itu, tidak terbayangkan kemungkinan lain penafsiran Dalil. Karena itu Teks memiliki Tingkatan dalam Penarikan Kesimpulan dan tidak ada Penghalang untuk menandai Teks, berupa Nash atau Dzahirnya dan menjelaskan kedudukan setiap Teks sehubungan dengan Teks lainnya. Fuqaha yang membedakan Nash dengan Dzahir mengatakan bahwa Nash ada Dua Jenis: 1 Nash sebagai Dalil yang tidak menimbulkan kemungkinan penafsiran lain sama sekali, seperti kata 'Lima' bukan Enam, bukan Empat. 2 Nash sebagai Dalil yang tidak mengakui kemungkinan penafsiran lain yang timbul dari Penarikan Kesimpulan (deduksi) Sebagaimana disebutkan oleh alGhazali, alQarafi dan lainnya, Dalam hal Dalil, Teks Dzahir adalah ada dalam Keraguan antara Dua atau lebih kemungkinan Penafsiran, tetapi Satu dari Kemungkinankemungkinan itu ditandai sebagai Lebih Kuat dari kemungkinan lainnya sehingga terbayangkan maknanya dalam pikiran ketika Dalil tersebut dibacakan. Dalam hal ini, Dzahir berbeda dari Mujmal. Mujmal adalah Keraguan Makna antara Dua atau lebih Kemungkinan Penafsiran dan Tidak ada Satupun yang Lebih Kuat dari yang lainnya. Disebut Mujmal karena Ekspresi Dasarnya dapat secara sah mendukung Lebih dari Satu Makna, seperti kata قروءdalam ayat:
هقهروءء ث لللاث للة ربأ لن يهفرسره لن ي لتللرب ليصلن ت لوال يهملطل للقا ه bisa berarti: Suci atau Haidh. Jika disebutkan diluar konteks yang mengkhususkan salah satu makna, maka itulah Mujmal. Ada juga Dalil yang Ketidakjelasannya lebih dari sekedar masalah kebahasaan, seperti Firman Allah, "Bayarlah zakatnya di hari memetik hasil panen." (6:141). Adalah Jelas bahwa Firman Allah tersebut merujuk kepada 2 Semisal Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Badi' Bayan, Ma'ani dll. 3 Demikian kirakira menurut Syafi'iyyah pent
Wajibnya4 berzakat dan juga menjelaskan bahwa di hasil panen itu ada hak orang miskin juga. Firman tersebut menjelaskan bahwa orang miskin memiliki hak bagian atas panen. Tidak ada keraguan di dalam Firman Allah tersebut mengenai hal ini. Tetapi jumlah hak bagian orang miskin yang harus dibayar tidak dijelaskan berapa besar kecilnya bagian yang harus dibayar dari keseluruhan jumlah panenan. Firman Allah yang demikian tidak diketahui apakah sebagai Nash atau Dzahir karena itu disebut Mujmal. Karena itulah besarnya jumlah yang harus dibayar harus dijelaskan oleh Sunnah, dalam Sunnah disebutkan bahwa jumlahnya adalah Sepersepuluh. Kaidah ini dapat diterapkan kepada semua Teks Mujmal, baik itu Mujmalnya karena unsur kebahasaan atau alasan lain dan Penjelasnya hanya dapat diperoleh dari 'Amal, Sunnah atau Sumber Hukum lain. Pada saat Teks Mujmal telah dijelaskan, Mujmal tersebut menjadi seperti Teks Nash atau Teks Dzahir berdasarkan Tingkat Kekuatan dari Sumber Hukum Penjelasnya. Teks Dzahir dapat dihubungkan kepada Sumber Hukum di luar Lafadz Dzahir tersebut, yang akan menetapkan Satu atau Dua kemungkinan Penafsiran. Kemudian Teks Dzahir itu diangkat dari Tingkatan Dapat Dipilih 5 kepada Tingkatan Mutlak6. Yakni ketika Sumber Hukum berupa Sunnah atau Qur'an digunakan sebagai Penjelas sehingga Penafsiran dengan Banyak Kemungkinan Tafsiran, berubah menjadi sebuah Nash dengan Satu Tafsiran atau Dua namun lebih cenderung ke Salah Satu yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya mengenai maknanya. Fuqaha Maliki menyatakan bahwa status pembuktian dari 'Amm 7 biasanya jatuh kepada kategori Dzahir, bukan Nash. Itulah sebabnya kenapa alQarafi menggunakan Ekspresi Umum sebagai contoh Dzahir. AlQarafi berkata, "Ketika satu makna dari Teks 'Amm lebih disukai dari makna lainnya dalam Teks 'Amm tersebut, biar bagaimanapun banyak atau sedikitnya makna lain itu, maka Teks tersebut disebut Dzahir, walaupun masih umum karena Teks tersebut bersifat inklusif. Dengan demikian, ekspresi dalam Teks tersebut adalah Dzahir tetapi bukan Khass8” Jika sebuah Teks 'Amm tidak mengandung makna yang menandakan bahwa KeUmumannya adalah dari sifat alami Dalil Dzahir, maka Imam Malik menganggapnya Dugaan (Dzanni) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam AsySyafi'i, yang dibuat jelas dalam kitab Risalahnya. Dalam hal ini hendaknya kita mengkaji dengan jelas apa yang dimaksud dengan Teks 'Amm dan Teks Khass.
4 Dalam kaidah Ushul Fiqih, Kata perintah/Command atau “Fi'il Amr” menunjukkan kepada Kewajiban 5 Maksudnya memiliki lebih dari satu penafsiran yang dapat dipilih 6 Maksudnya dengan Satu Tafsiran atau Dua namun lebih cenderung ke salah satu 7 ‘Amm menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “. Dengan pengertian lain, ‘Amm adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas. Contoh salah satu bentuk lafadz 'Amm yaitu Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan aliflam. ح لرلم الرلرلبا “ لوأ للح لل الل لهه ال يبلي يلع لو لPadahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 275). LAFADH alBai’ (jual beli) dan alRiba adalah kata benda yang dima’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘Amm yang mencakup semua satuan satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya. 8 “Alkhas adalah Teks yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan Teksteks lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuansatuan itu
'Amm dan Khass AlQarafi mendefinisikan Teks 'Amm sebagai sebuah Teks dengan makna universal yang menyertakan segala sesuatu yang dapat diimplementasi oleh Teks 'Amm itu. Sehingga Semua yang diimplementasi oleh 'Amm masuk dalam cakupan. Contoh, Ketika Anda mengucapkan bahwa Orang Dewasa WAJIB Shalat, Zakat dan Haji, maka setiap orang yang disebut Orang Dewasa dapat disertakan dalam penentuan Hukum Syara' ini. Ketika Allah berFirman bahwa Pencuri Dipotong Tangannya, maka Semua yang Mencuri dipotong tangannya. Ketika Hukum Syara' yang Menggunakan Teks 'Amm sebagai Sumber Hukum Tidak Diterapkan kepada Semua yang dimaksud oleh Teks 'Amm tersebut tetapi hanya sebagiannya, maka Teks 'Amm tersebut menjadi Khass (khusus). Sebagaimana ditunjukkan dalam Firman Allah "Memerdekakan seorang Hamba Sahaya yang Mukmin" (4:92) dan "Memerdekakan seorang Hamba Sahaya sebelum kedua suami isteri itu Bercampur Kembali." (58:3). Ungkapan dalam kedua Ayat tersebut adalah Khass karena tidak diterapkan kepada semua yang memiliki gambaran ini tapi hanya kepada salah satu dari mereka, meskipun yang pertama dibatasi oleh kualitas tertentu ('beriman'), sementara yang kedua adalah tidak. Pandangan pengikut Maliki mengenai Teks 'Amm adalah berbeda dari Pandangan pengikut Hanafi dalam dua hal: Pendefinisian dan Penilaian. Pendefinisian 'Amm dalam kitabkitab Hanafi adalah Ungkapan yang Menyertakan segala sesuatu yang diliputi olehnya, apakah itu dengan bentuk luar dari katakata atau makna, seperti “Zaid” bermakna siapapun dengan nama itu, atau Kata Benda yang Sama yang Menandakan Keumuman seperti 'Manusia', 'Jin', 'umat manusia', dll, Yang Menandakan Kata Benda Jamak (banyak). Adapun Khass adalah sebaliknya, yakni sebuah Ungkapan yang diterapkan Hanya pada Satu Makna, yakni Ungkapan dengan Satu Makna yang hal lain tidak miliki (tidak terbagi), apakah makna itu menunjuk sebuah spesies, misalkan hewan, atau jenis manusia atau seseorang seperti Zaid. Sehingga nama yang bermakna satu dan bukan bermakna ganda adalah Khass. Kini perbedaan 'Amm dan Khass menjadi Jelas. 'Amm merujuk kepada setiap yang Universal yang memiliki Makna yang terbagi (Musytarok 9). Sedangkan Khass merupakan Kumpulan Halhal yang bersifat Individu yang disertakan dalam frase atau makna. Perbedaan pengikut Maliki dengan pengikut Hanafi dalam hal Penilaian adalah: Maliki menganggap bahwa dalil Teks 'Amm menjadi Umum kecuali jika ditemani oleh semacam Konteks yang akan menjadikannya Dzahir. Sedangkan, pengikut Hanafi menganggap Teks 'Amm adalah Mutlak 'Amm tanpa terpengaruh oleh kemungkinan apapun. Para Ulama berbeda pendapat mengenai definisi pasti Khass. Dengan demikian tingkatannya dalam dalil adalah lebih kuat dari orangorang yang menilai bahwa Teks 'Amm adalah secara dalil sama kepada Teks Dzahir karena mereka juga percaya bahwa bukti pasti khass ada dalam kategori sama dengan Nash. Dalil Teks Nash adalah lebih kuat dari Teks Dzahir, sebagaimana Anda ketahui, tetapi Hanafiyah menganggap Nash dan Dzahir Sama. Itulah sebabnya jika Hanafiyah menemukan Kontradiksi antara Teks Khass dan 'Amm, mengingat mereka adalah kontemporer, maka Khass membuat 'Amm jadi Khusus sehingga 9 Bersekutu, kurang lebih artinya: Banyak makna yang diwakili oleh satu kata
keduanya bertindak secara bersamaan. Itulah salah satu sarana harmonisasi sumber hukum, Jika Tiada Sumber Hukum Lain yang Layak 10. Jika ada kesenjangan waktu antara mereka, yang Belakangan Datang dari Dua itu, Membatalkan yang Awal Datang, tidak peduli apakah yang Belakangan adalah 'Amm atau Khass. Pengikut Imam Hanafi beranggapan bahwa 'Amm dapat membatalkan Khass, sedangkan pengikut Imam lain tidak sependapat mengenai hal itu. Kebanyakan ulama modern berfikir bahwa: Meskipun Dalil dari sebuah Teks 'Amm dianggap berlaku untuk semua unit oleh Fuqaha dengan kesepakatan hampir menyeluruh, Teks 'Amm itu masih tetap terbuka kepada pengkhususan, yakni sebagian Unitnya dapat dibuat Khusus Jika Ada Dalilnya. Namun ulama yang lebih teliti menganggap bahwa pengkhususan tidak mengecualikan beberapa unit makna 'Amm dari penilaian 'Amm setelah maknamakna tersebut disertakan di dalamnya. Namun lebih kepada penjelasan keinginan dari Pembuat Hukum yakni Allah SWT, yang mana maknamakna itu dikhususkan dari sejak awal mulanya dan bahwa unit yang disertakan oleh ekspresi umum dalam posisi linguistik dasar kenyataannya tidak disertakan dalam dalil dari awal mulanya. alam kitab alMustafa, Imam alGhazali menjelaskan hal berikut: “Diizinkan berkata bahwa Dalil 'Amm telah dibuat Khass ... Dalil Khass ini mendefinisikan keinginan Pembicara dan bahwa dengan ekspresi makna tertentu, dikhususkan. Menurut uraian ini, Pengkhususan adalah penjelasan yang menggerakkan ungkapan dari sebuah 'Amm menjadi Khass dan konteks membuatnya jelas bahwa Ungkapan adalah bersifat kiasan (figurative) ketimbang literal11. Kenyataannya inilah dasar dari Perbedaan antara MengKhass kan yang 'Amm dan 'Amm yang Membatalkan Khass dalam hal Adanya Jarak Waktu di antara 'Amm dan Khass sebagaimana yang dimaksud oleh Hanafiyah Sejati12 karena Pembatalan Pada Dasarnya Merubah Hukum Syara' yang Sudah Ditetapkan. Ketika Penilaian 'Amm atau bagian dari 'Amm itu dibatalkan, maka Hukum Syara' yang ditetapkan berdasarkan unitunit makna yang tergabung di dalam 'Amm itu, ikut berubah juga. MengKhasskan yang 'Amm Mencegah Penyertaan unitunit makna lain yang dari awalnya memang ditujukan untuk disertakan dalam 'Amm tersebut. Kenyataannya dalam Ayat semisal الرلرلب لولح لرلم ال يبلييلع الل لهه لوأ للح لل , Khass tidak pernah menjadi bagian dalam maksud 'Amm tersebut sejak awal mulanya karena didukung oleh Sunnah bahwa maknanya adalah 'Amm. MengKhass kan 'Amm membatasi definisi 'Amm menjadi satu makna pasti yang sebetulnya hanya merupakan salah satu makna saja dari makna 'Amm yang jauh lebih luas. Demikian pula, jika yang digunakan untuk mengKhasskan yang 'Amm adalah Hadist Tunggal maka Hadist Tunggal ditolak karena pertimbangan bahwa 'Amal lebih kuat dari Hadist sebab 'Amal diriwayatkan secara Mutawatir (berganda) yang sudah jelas pasti ada amalnya. Sehingga jika sebuah 'Amm ditetapkan oleh Sunnah sebagai Pasti 'Amm yang memiliki banyak unit makna, maka Hadist 10 Oleh kaum Modernis, Harmonisasi ini disalahgunakan dengan istilah Talfiq, yakni comot sana comot sini untuk membenarkan apapun yang diinginkan, padahal ada sumber hukum yang sudah layak. Para Penyimpang dalam Madzhab Hanafi ini, disebut oleh Syaikh Abdalhaqq Bewley sebagai Deviant Hanafi pent. 11 Dalam Konteks Riba, Paragraf ini menjelaskan tentang kaum Islam Modernis Reformis yang merubah pengertian tentang Riba, menjadi khusus Riba Berdasarkan Qur'an sedangkan ada penjelas dari Sunnah, bahwa Riba yang dimaksud oleh Teks 'Amm الرلرلبا dalam ayat: ل ب الرلر ل لولح لرلم ال يبلي يلع الل لهه لوألح لل adalah 'Amm yang menyertakan banyak unit makna yang tidak dapat diKhasskan karena maksud dari Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sunnah, adalah 'Amm dan bukan Khass sebagaimana yang disalahartikan dengan sengaja oleh kaum Islam Modernis demi membenarkan Uang Kertas dan Bank pent. 12 Bukan yang Deviant Hanafi lihat no. 10
Tunggal tidak dapat membuat 'Amm tersebut menjadi Khass. AlQarafi menyebutkan bahwa Imam Malik berfikir bahwa ada Limabelas ragam cara sebuah 'Amm dapat menjadi Khass. AlQarafi berkata “Bentuk Pengkhususan ada Limabelas dalam pandangan Imam Malik”. (Tanqih, p. 90) . AlQarafi membuat wilayah pembahasan 'Amm menjadi luas. Sebagian dari limabelas ini kebanyakan orang tidak pertimbangkan untuk menjadi bagian dari pengkhususan. Itulah sebabnya tidak sah menuduh pengikut Maliki di atas persoalanpersoalan ini13 karena kaidah Ushul Fiqih lain menerima Ushul Fiqih Maliki, bahkan jika pengikut Madzhab lain tidak menyebut demikian terhadap kaidah Imam Malik. Dengan demikian posisi Madzhab Maliki ل mengenai 'Amm terutama ayat ب الرلر ل لولح لرلم ال يبلييلع الل لهه لوألح لل bukan dalam posisi untuk diperdebatkan. Karena itu di bawah ini, yang berada di antara dua rangkaian garis putus putus, adalah tidak penting lagi untuk dibicarakan, sehubungan dengan meng Khass kan 'Amm dari ayat tentang Riba di atas. Yang pertama, Perbedaaan antara Imam Malik dan lainnya dalam menggunakan Ijma untuk mengKhasskan 'Amm dalam Kitab. Ada 'Amm dalam Qur'an yang para 'Alim dari golongan Sahabat, Tabi'in dan orangorang yang datang setelah mereka, setuju bahwa 'Amm tersebut menjadi Khass dengan dalil yang dapat diandalkan. Namun yang sebenarnya terjadi bukanlah Pengkhususan oleh Ijma, melainkan Ijma bahwa Qur'an mengkhususkan Qur'an. Yang kedua, tentang Pengkhususan 'Amm oleh Hadist Tunggal yang didukung oleh Sumber Hukum lain, sebagaimana kita akan jelaskan ketika membahas Sunnah. Imam Malik tidak menggunakan kaidah ini secara mutlak begitu pula Imam lain. Adapun Imam asySyafi'i menggunakan kaidah itu dengan alasan bahwa 'Amm dapat menjadi dalil yang multitafsir. Adapun penduduk Irak yang menyatakan bahwa 'Amm adalah tegas sebelum pengkhususannya, sehingga ketika dikhususkan, malah menjadi multitafsir, dan 'Amm dapat sah dikhususkan oleh Hadist Tunggal, namun mereka tidak menggunakan Hadist Tunggal untuk mengKhasskan 'Amm yang tegas maknanya. 'Amm yang tegas tidak dapat dibuat Khass oleh Hadist Tunggal menurut penduduk Irak, itulah perkaraperkara yang membedakan Fiqih Penduduk Madinah dengan Fiqih Penduduk Irak. Imam Malik dan penduduk Madinah setelahnya menyatakan bahwa diijinkan membuat 'Amm jadi Khass dengan Hadist Tunggal dengan tidak dibatasi seperti halnya batasan yang dibuat oleh Penduduk Irak jika memang 'Amm tersebut dimaksudkan oleh Allah SWT sebagai Khass, adapun penduduk Irak justru melarang bahwa Hadist Tunggal meng Khasskan 'Amm Qur'an sebelum pengkhususan oleh Sumber Hukum lain. Penduduk Madinah yang kita maksud adalah yang datang setelah Imam Malik dan mengikuti metode penduduk Madinah seperti Imam AsySyafi'i14. 13 Maksudnya menuduh tidak menerima sebabsebab yang mengKhasskan yang 'Amm, karena jika suatu 'Amm memang dapat diKhasskan, pengikut Maliki tentu yang pertama melakukannya dengan limabelas kaidah yang dimiliki oleh Ushul Fiqih Maliki. 14 Penjelasan paragraf ini masih berkenaan dengan ayat الرلرلب لولح لرلم ال يبلييلع الل لهه لوأ للح لل sebagai sebuah 'Amm yang sudah jelas maknanya bukan Khass, dengan demikian ini menambah kejelasan bahwa ayat tersebut tidak dapat disalahtafsirkan oleh kaum Modernis Islam untuk membenarkan Riba berdasarkan Takhish menggunakan Hadist Tunggal karena penduduk Irak tempat mukim Imam Abu Hanifah justru melarangnya jika 'Amm sudah jelas maknanya. Adapun kaum Modernis ini adalah para 'deviant Hanafi' yakni orangorang yang mengklaim ijtihad serupa Imam Abu Hanifah di Irak. Begitu pula satu kaum lagi yang
Yang ketiga, Membuat 'Amm Qur'an menjadi Khusus melalui Qiyas dan membuat 'Amm Quran Khusus melalui Adatistiadat ('urf). Imam Malik, atau tepatnya Fiqih Maliki, hampir sendirian karena fuqaha lain mengecualikan dari fiqih mereka tentang halhal ini, sedangkan Imam Malik menyertakannya karena Imam Malik adalah seorang Faqih dalam Qiyas dan Adat istiadat, karena itu tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi mengenai pengKhususan 'Amm dengan qiyas dan 'urf sebab jika memang suatu Teks 'Amm memang menjadi khass oleh qiyas atau 'urf, tentu Imam Maliklah yang pertama melakukannya. Berikut ini mengenai 'Amm dari ayat:
ل ب الرلر ل لولح لرلم ال يبلي يلع الل لهه لوألح لل "Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba." (2:275)
mengklaim golongan Syafi'iyah (neo Syafi'i) juga mengklaim pembenaran riba berdasarkan metode Syafi'iyah padahal Imam Syafi'i tidak demikian.