KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI JORA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Ila Nurlaila 109013000041
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
ILA NURLAILA, 109013000041, “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Gender merupakan konsep kultural yang dibangun oleh masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan adanya kesulitan pergerakan bagi perempuan untuk menembus perubahan pandangan terhadap gender karena hal ini dibangun oleh sekelompok masyarakat. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana struktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy? 2) Bagaimana ketidakadilan pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketidakadilan pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Subjek penelitian ini adalah ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora, dan sebagai objek penelitian adalah novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode penentuan unit analysis, pencatatan data dan analisis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” dan “Geni Jora” meliputi lima aspek, yaitu, . 1) Marginalisasi terhadap perempuan. 2) Subordinasi terhadap perempuan. 3) Stereotip terhadap perempuan. 4) Violence (kekerasan) yang terjadi pada perempuan. 5) Beban kerja terhadap perempuan. Sikap-sikap yang ditunjukan oleh tokoh utama dan nilai-nilai yang terkandung dalam kedua novel tersebut dapat dijadikan pembelajaran sastra.
Kata Kunci: Ketidakadilan, Gender, Perempuan
i
ABSTRACT
ILA NURLAILA, 109013000041, " Gender Inequalities toward Women in “Perempuan Berkalung Sorban” and “Geni Jora” novel and its Implications for Literature Learning at School". Indonesian Language and Literature Departement, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum. Gender is a cultural concept which is built by the society. This caused movement difficulty to break gender point of view because this concept is built by certain society. Mirroring that concept, this research focuses on problem; 1) how is the structure of Perempuan Berkalung Sorban by Abidah El Khalieqy novel is? 2) how does the author face the gender inequalities in Perempuan Berkalung Sorban and Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy? The aim of this study is to know the author’s attitude of inequitable gender in Perempuan Berkalung Sorban and Geni Jora novel. The method used in this study is content analysis method. The subject of this study, gender inequalities toward women of the Perempuan Berkalun Sorban and Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy, and as the object research is Perempuan Berkalung Sorban and Geni Jora novel. Data collection in this study using the method of determining the unit of analysis, data recording, and analysis. Based on the research, gender inequalities toward women includes five aspects: 1) The marginalization toward women. 2) The subordinate toward women. 3) The stereotype toward women. 4) The violence toward women. 5) The force labor toward women. These atittudes showed by main character a moral values inside both novel. These attitudes are valued for literature.
Keyword: Inequalities, Gender, Women
ii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Solawat Serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, dan kesejahteraan semoga selalu menyertai keluarga Beliau, para sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang mengarapkan syafa’at darinya. Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak nasihat, saran, bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifa’I, MA., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu memberikan Ilmu, bimbingan, dan motivasi dalam proses penyusunan skripsi ini; 3. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen Pembimbing skripsi yang telah sedia meluangkan waktunya, sabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmunya kepada penulis. Hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 4. Seluruh Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Dosen FITK yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya, yang telah memberikan ilmunya selama penulis menjadi mahasiswi di Jurusan
iii
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta. Ilmu yang Bapak dan Ibu berikan sangat bermanfaat bagi penulis; 5. Dra. Siti Sahara selaku dosen penasihat Akademi yang memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 6. Ucapan teristimewa ditujukan kepada kedua orang tua penulis, yaitu Drs. Zaenal Abidin S. Pd. I. dan Komariyah A.Z. S.Pd. I. yang telah merawat, membimbing, dan tak henti-hentinya memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada kakak terbaik penulis, Eva Rifa’atul Mahmudah, S. Pd. yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, yaitu Dessy Triwulansari Sudrajat, S. Pd., Dian Ahati Mulyani, AMG., Puri Restiana Dewi, S.IP., Riska Rosiana Sularno, AMGK., Ratu Dewi Fauziah, Amd. Kep., Qaulfillah Medina Nurdin, Emma Purnama Sari S. Pd., Wulan Alfitiana S. Pd., Nurul Mardiah S. Pd., Irina Widya Ningsih S. Pd., Nuraida Marliani Sari S. Pd.. Terimakasih atas semua dukungan dan motivasi yang telah kalian berikan selama ini, kalian adalah sahabat terbaik penulis. 9. Teman-teman penulis, Harmella S. Pd., Ummul Kulsum S. Pd., Ina Rofiatul Husna S. Pd., Inayah, Anis Novita S. Pd., Santi Novianti S. Pd., Helrahmi Yusman S. Th. Q., Siti Nurfitriani, S. Pd., Slamet Yahya Sri Abdullah S. Pd. I., Mutia Mutmainah S. Pd., Rhani Az-Zhara, Sonya Maryana. 10. Teman-teman satu perjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sasra Indonesia angkatan 2009 khususnya kelas A yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 11. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
iv
Semoga semua bantuan doa, motivasi, serta bimbingan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Selain itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar dapat membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, 2 Mei 2014
Ila Nurlaila
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i ABSTRACT…………………………………………………………………. ii KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4 C. Batasan Masalah .................................................................................. 4 D. Rumusan Masalah ................................................................................ 5 E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5 G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 6 A. BAB II LANDASAN TEORI ............................................................ 9 A. Hakikat Gender .................................................................................... 9 B. Hakikat Novel ...................................................................................... 12 C. Unsur Intrinsik Novel ........................................................................... 13 D. Hakikat Pembelajaran Sastra................................................................ 19 E. Penelitian yang Relevan ....................................................................... 23 BAB III BIOGRAFI PENGARANG ........................................................... 27 B. Biografi Abidah El Khalieqy ............................................................. 27 1. Abidah dan Kultur Pesantren ........................................................... 30 2. Konsep Dasar Pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora ......................................................................................... 31 C. Sinopsis Perempuan Berkalung Sorban .......................................... 33 D. Sinopsis Geni Jora ............................................................................... 34 BAB IV HASIL ANALISIS ........................................................................... 37 A. Unsur Intrinsik Perempuan Berkalung Sorban .................................... 37 1. Tema ................................................................................................ 37
vi
2. Tokoh dan Penokohan ..................................................................... 38 3. Alur .................................................................................................. 45 4. Latar ................................................................................................. 49 5. Sudut Pandang ................................................................................. 53 B. Struktur Geni Jora ............................................................................... 54 1. Tema ................................................................................................ 55 2. Tokoh dan Penokohan ..................................................................... 56 3. Alur .................................................................................................. 66 4. Latar ................................................................................................. 68 5. Sudut Pandang ................................................................................. 71 C. Analisis Ketidakadilan Gender Pada Perempuan yang Terdapat dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora .......................... 72 1. Marginalisasi Terhadap Perempuan ................................................ 74 2. Subordinasi Terhadap Perempuan ................................................... 80 3. Stereotip Terhadap Perempuan ........................................................ 83 4. Kekerasan Terhadap Perempuan ..................................................... 87 5. Beban Kerja Terhadap Perempuan .................................................. 92 D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ............................ 97 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 100 A. Simpulan .............................................................................................. 100 B. Saran ..................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 103 LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: RPP Lampiran 2 : Materi PROFIL PENULIS
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Selama berabad-abad manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang yang ambigu. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai keindahan bagaikan bunga yang baru saja mekar, lalu kemudian dicampakkan begitu saja setelah layu. Tubuh perempuan identik dengan pesona dan kesenangan, tetapi dalam waktu yang bersamaan ia dieksploitasi demi hasrat dan keuntungan. Masyarakat muslim memuji perempuan, dalam hadis yang mengatakan bahwa “Surga di bawah kaki ibu” dan pada saat lain, ketika ia menjadi seorang istri, ia harus tunduk sepenuhnya kepada suami, tak boleh keluar rumah sepanjang suami tak mengijinkan. Dalam pandangan masyarakat yang kolot perempuan selalu dianggap nomor dua dibanding laki-laki. Perempuan hanyalah makhluk lemah yang tidak berdaya, yang bisanya hanya menangis. Perempuan tugasnya hanyalah memasak di dapur, mengurus anak, melayani suami dan patuh terhadap suami. Perempuan dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Perempuan juga tidak harus memperoleh pendidikan yang tinggi, cukup mampu baca tulis saja. Banyak perempuan yang rela menerima kodratnya dan menjalani keadaan hidup dengan pasrah mengabdi pada kaum laki-laki. Namun, tidak sedikit pula perempuan yang merasakan ketidakadilan pada dirinya dan ingin terlepas dari anggapan bahwa perempuan itu makhluk lemah yang tidak bisa apa-apa. Anggapan terhadap perbedaan gender inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan gender. Perbedaan gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata 1
2
perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan.1 Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia.2 Islam menghapuskan sekat-sekat diskriminasi dan subordinasi. Atas dasar keadilan dan kesetaraan semua dipersaudarakan dalam Islam.3 Namun kenyataannya posisi perempuan masih dalam posisi subordinasi dari laki-laki. Dipinggirkan, dan mendapat diskriminasi dalam berbagai kesempatan dan dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam aspek pendidikan perempuan merupakan salah satu pihak yang paling sedikit tersentuh dalam pembaharuan pemikiran Islam. Hal ini terbukti menurut intelektual Palestina D. Ghada Karni sebagaimana dikutip oleh Faridi yang mengatakan bahwa di sektor pendidikan perempuan jauh ketinggalan, baik dari tingkat kebutaaksaraan terlebih partisipasinya pada lembaga pendidikan formal. Dalam kebutaaksaraan kondisi Somalia merupakan Negara terparah karena 80 persen perempuan buta huruf, di Irak dan Libia, tingkat kebutaaksaraan mencapai 51 persen, di Kwait 33 persen.4 Dari data tersebut terlihat bahwa pada kenyataan dalam dunia pendidikan perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Dalam lingkungan keluarga perempuan sering mendapat kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain seperti suami. Jumlah kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Data kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia adalah sebagai berikut: pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus kekerasan pada
1
Riant Nugroho, Gender dan Stratedi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 9 2 Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta, Kibar Press, 2006), h. 3-4 3 Ibid., h. 10 4 Asnal Mala, Perspektif Gender dalam Pendidikan Pesantren, https://groups.yahoo.com/neo/groups/IslamProgresif/conversations/topics/370 diunduh pada 27 Maret 2014, pukul 15.45 WIB.
3
perempuan, tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus, tahun 2003 sebanyak 7.787 kasus, tahun 2004 sebanyak 14.040 kasus, tahun 2005 sebanyak 20.391 kasus, tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus, dan pada tahun 2007 sebanyak 25.522 kasus.5 Dilihat dari data tersebut, kekerasan yang terjadi pada perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada perempuan, Abidah El Khalieqy mengajak pembaca untuk mengetahui secara lebih detail permasalahan yang sering terjadi pada perempuan terkait dengan ketidakadilan gender yang biasa dialami perempuan. Penggambaran Abidah tentang sosok perempuan Islam berbeda dengan sosok perempuan Islam yang biasa diceritakan pada novel-novel yang bernuansa Islam lainnya seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam karyanya, Abidah menunjukkan sosok perempuan yang sangat berani untuk menuntut kebebasan dari patriarki dan juga mengkritisi dunia laki-laki yang tergambarkan pada novelnya yang berjudul Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003). Perempuan Berkalung Sorban merupakan novel yang pernah mendapatkan protes dan menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Dua tahun kemudian Abidah menulis novel yang berjudul Geni Jora. Geni Jora merupakan novel Abidah yang mendapatkan juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Permasalahan yang cukup kompleks mengenai kedudukan wanita dalam Islam, keluarga dan masyarakat juga terlihat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Sebagai karya yang berbicara mengenai agama dan moral, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan salah satu yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra. Sebagai
lembaga
pendidikan,
sekolah
bertugas
memberikan
pembelajaran moral, agama, dan sosial kepada para siswanya. Pembelajaran 5
Ninik Rahayu, Penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uupkdrt.html. diunduh pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 07. 50
4
ini bisa dilakukan dengan memberikan pembinaan melalui karya sastra. Pada hakikatnya, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan buku yang berisi cerita yang baik dan menarik yang turut memberikan pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak, prilaku, dan kepribadian anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Geni Jora serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”
B. Identifiksi Masalah Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy sangat menarik untuk dikaji, sehingga perlunya pemahaman lebih mendalam mengenai novel tersebut. 2. Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy menggambarkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan dari budaya patriarki. Oleh karena itu, hampir semua bagian mengungkapkan
perjuangan perempuan untuk bebas dari budaya
patriarki. 3. Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy relevan dengan dunia pendidikan, sehingga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.
C. Batasan Masalah Batasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dalam penelitian tidak meluas. Adapun pembatasan masalahdalam penelitian ini yaitu, analisis ketidakadilan gender pada perempuan yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
5
D. Rumusan Masalah Agar permasalahan dalam penelitian ini menjadi jelas dan terarah, perlu adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian adalah: 1. Bagaimana struktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy? 2. Bagaimana ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy 2. Mendeskripsikan ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembacanya. Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Bagi pembaca umum, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian novel Indonesia, dan juga diharapkan dapat mempermudah pemahaman makna novel dan dunia pemikiran yang melatarbelakanginya. b. Bagi pendidik, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai Implikasi di dunia pendidikan.
6
G. Metodologi Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan September 2013 sampai April 2014. Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu karena bersifat kepustakaan.
2. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat. Metode penelitian berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.6 Metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis isi (content analysis) yang sering kali digunakan untuk mengkaji pesan-pesan. Metode analisis ini digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Dokumen yang dimaksudkan di sini adalah novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy. Sedangkan pendekatan kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang yang secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivis (seperti makna jamak dari pengalaman individual, makna yang secara sosial dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori atau pola. Pendekatan ini juga menggunakan strategi penelitian seperti naratif. Peneliti mengumpulkan data penting secara terbuka terutama dimaksudkan untuk mengembangkan tema-tema dari data.7 Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Ini dikarenakan penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh dari hasil statistik atau bentuk hitungan. 6
Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 34. 7 Emzir, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitaf dan Kualitatif, (Jakarta, PT Raja Trafindo Persada, 2008), h. 28.
7
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.8
3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dan objek penelitian adalah tempat memperoleh data. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian data adalah ketidakadilan gender dalam novel PBS dan GJ karya Abidah El-Khalieqy. Sedangkan objek yang digunakan pada penelitian ini adalah novel PBS dan novel GJ karya Abidah El Kahlieqy.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pustaka. Teknik
pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber
tertulis untuk memperoleh data. Dalam pengumpulan data ini peneliti menyimak novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy secara cermat dan teliti. Setelah itu peneliti mencatat data-data yang yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam novel GJ yaitu: 1. Membaca cermat novel GJ dan novel PBS karya Abidah El Khalieqy, 2. Mencatat kalimat yang menggambarkan adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam novel GJ karya dan PBS Abidah El Khalieqy, 3. Menganalisis ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam novel GJ dan novel PBS karya Abidah El Khalieqy.
5. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu metode yang memberikan perhatian terhdap data alamiah, data yang berhubungan dengan 8
h. 11.
Lexy J Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rusdakarya.2001),
8
konteks keberadaannya.9 Sesuai dengan namanya yaitu metode kualitatif, memperlihatkan nilai-nilai dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana. Dalam pendekatan kualitatif semua permasalahan yang ada dalam sastra dapat dianalisis dengan sebaik-baiknya. Terdapat lima ciri utama penelitian kualitatif, diantaranya: a. Latar alamiah (natural setting) sebagai sumber data, dan peneliti merupakan instrument kunci, maksudnya dalam penelitian kualitatif berasumsi bahwa perilaku manusia secara signifikan dipengaruhi oleh latar situasi dan budaya di mana perilaku itu muncul. b. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif yang berarti data terurai dalam bentuk data-data atau gambar-gambar, bukn dalam bentuk angka-angka. c. Lebih mengutamakan proses bukan hasil. Dalam hal ini analisis data cenderung induktif. Dalam penelitian ini, peneliti mengkontruksi konsep secara lebih jelas di tengah kegiatan penelitian setelah mengumpulkan berbagai data fenomena dan memeriksa bagian-bagiannya. d. Makna merupakan sesuatu yang esensial bagi pendekatan kualitatif. Dengan demikian peneliti akan memberikan makna terhadap fenomena yang ditelitinya.10 Berdasarkan uraian di atas maka, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif karena sesuai dengan objek yang akan diteliti.
9
Nyoman, Kutha Ratna., op. cit. h. 47 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 25-26
10
9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakikat Gender Gender adalah berbagai atribut dan tingkah laku yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki dan dibentuk oleh budaya.1 Dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik mental emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.2 Oakley dalam Riant Nugroho mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun pada kebudayaan manusia. Gender merupakan behavioral defferences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Caplan dalam Riant Nugroho mengemukakan bahwa behavioral defferences (perbedaan perilaku) antara perempuan dan laki-laki bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Sementara itu, Kantor Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan
Republik
Indonesia
dalam
Riant
Nugraha
mengartikan bahwa gender adalah peran-peran sosial yang dikontruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (lakilaki dan perempuan).3
1
Edriana Noerdin, Potret Kemiskinan Perempuan. (Jakarta, Women Research Institute, 2006)
2
Siti Musdah Mulya, op. cit. h. 55 Riant Nugroho, op.cit., h. 3
h. 1 3
9
10
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah pembeda antara perempuan dengan laki-laki baik itu mengenai hak, kewajiban, tanggung jawab, dan peran yang dapat dibentuk dan diubah oleh kultur budaya, tradisi, pemahaman agama, dan status sosial masyarakat setempat. Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) merupakan ketentuan Tuhan yang mutlak sedangkan gender terwujud dari ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh manusia bukan oleh Tuhan. 1. Perbedaan Gender Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan. Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar. Sebaliknya perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminis, seperti lembut, pemalu, penakut, emosional, rapuh dan penyayang.4 Feminisitas dan maskulinitas ini telah dianggap sebagai kodrat yang sudah tertanamkan dari lahir.
2. Ketidakadilan Gender Gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur di mana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut dengan demikian agar dapat memahami perbedaan yang menyebabkan
4
Siti Musdah Mulya, op. cit., h. 56.
11
ketidakadilan, maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut: 5 a. Marginalisasi Bentuk marginalisasi yang biasa terjadi pada perempuan adalah yang disebabkan oleh gender defferences (perbedaan gender). Gender defferences sebagai akibat dari beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu, serta marginalisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan dapat terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan bahkan negara. b.
Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum
perempuan, sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud. c. Stereotip Pelebelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali stereotip yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan, sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. d. Violence Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan terhadap fisik maupun intregitas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan
5
Riant Nugroho, op.cit., h. 9.
12
gender. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotip gender. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender—relalite violence. e. Beban Kerja Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih berat dibanding kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan.6 Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender yang terwujud dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan beban kerja pada umumnya telah terjadi pada berbagai kalangan masyarakat. Semua perwujudan ketidakadilan gender ini saling terkait satu sama lain. Perwujudan ketidakadlinan gender itu tersosialisasikan kepada perempuan dan laki-laki dan pada akhirnya laki-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan menganggap bahwa peran gender itu merupakan suatu kodrat yang harus dijalani.
B. Hakikat Novel Kata novel berasal dari kata latin novellas yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel ini muncul kemudian.7 Pengertian novel menurut Sudjiman adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian
6 7
Riant Nugroho, op.cit., h. 9. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 164.
13
peristiwa dan latar secara tersusun.8 Sedangkan menurut Wellek dan Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan dipindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi.9 Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra fiksi yang di dalamnya memaparkan pengalaman pengarang dengan mencantumkan tokoh, watak, latar, sudut pandang, alur, tema, amanat, dan lainlain.
C. Unsur Intrinsik Novel Novel memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsurunsur yang dapat didiskusikan. Salah satunya adalah unsur intrinsik novel. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca karya sastra. Kepaduan antara unsur intrinsik inilah yang membuat suatu novel dapat terwujud. Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, alur, penokohan, latar dan sudut pandang. 1. Tema Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah karya sastra (novel) merupakan pembahasan mengenai tema. Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.10 Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam karya sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita yang dimaksud. 8
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), h. 53 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 282. 10 Fanannie, Telaah Sastra, (Surakarta: Anggota IKAPI Jateng, 2001), Cet.II, h.84 9
14
Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin berasal dari bahasa latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal
tolak
pengarang
dalam
memaparkan
karya
fiksi
yang
diciptakannya.11 Staton dalam Nurgiantoro mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”.12 Karena sastra adalah refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan bisa bermacam-macam. Tema bisa berupa permasalahan moral etika, sosial, agama, budaya yang berhubungan erat dengan kehidupan. 2. Alur (Plot) Menurut Abrams dalam Wahyudi Siswanto alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.13 Selain itu, alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga. Dan demikian selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya peristiwa pertama.14 Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu peristiwa. Aminudin dalam Wahyudi Siswanto membedakan tahapantahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang 11
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 91. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,2009), h. 70 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, ( Jakarta: PT Grasindo, 2008 ), h.159. 14 Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 139. 12
15
dikenalkan dari tokoh ini misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Leraian adalah bagian struktur alur yang sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita atau drama. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan; rahasia dibuka.15 Berdasarkan beberapa pendapat tentang alur yang telah dikemukakan di atas alur merupakan rangkaian peristiwa yang di dalamnya terdapat pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan akhirnya cerita itu mencapai penyelesaian bagaimana cerita itu dapat terselesaikan. 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting dalam suatu cerita. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai peran baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau dipuji (protagonis) atau sebagai tokoh yang menghalangi tujuan tokoh protagonis (antagonis). Di dalam sebuah karya fiksi, istilah tokoh merujuk pada pelaku yang ada dalam cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk pada penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu. Tokoh cerita adalah orang orang yang ditampilkan dalam karya sastra yang sifatnya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
15
Wahyudi Siswanto, op.cit., h. 159-160.
16
diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.16 Dari penjelasan Abrams tersebut, sudah jelas bahwa pengertian “Tokoh” mengacu pada orangnya (pelaku cerita). Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengertian tokoh. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca.17 Dengan demikian Nurgiyantoro berpendapat bahwa penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh, cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu:18 a. Tokoh protagonis Altenberhand
dan
Lewis
dalam
Burhan
Nurgiyantoro
mengemukakan bahwa tokoh protagonis sebagai tokoh yang kita kagumi, tokoh yang berpendirian pada norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. b. Tokoh antagonis Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Biasanya berbanding terbalik dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung.
16
M.H. Abrams, A Glosaary Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston,
1981), h. 20. 17 18
Burhan Nuriyantoro. Op. cit ., h. 166. Ibid., h. 178.
17
4. Latar Latar adalah segala keterangan, petunjuk atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.19Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.20 Rusnaya mengatakan bahwa latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan dalam
hal
menimbulkan
kesungguhan.21
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu atau suasana yang memperjelas kondisi peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya sastra. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita), sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajenasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab-akibat dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.”22 Secara garis besar, latar dalam fisik dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis latar, diantaranya adalah: a. Latar tempat Gambaran tentang peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pelosok, pantai, hutan, rumah, kapal laut, mobil, kereta, di udara, di darat.
19
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), h.30. Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 217. 21 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 48. 22 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 216. 20
18
b. Latar waktu Unsur yang menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat, gambaran suatu tempat pada waktu, masa, zaman, atau musim tertentu. Latar waktu mempunyai kaitan erat dengan sejarah. Latar waktu juga bisa dihubungkan dengan yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah hari, pagi, sore dan lain sebagainya.23 Adapun fungsi latar adalah memberikan informasi sebagaimana adanya, selain itu latar berfungsi sebagai pemerjelas konflik, pemerjelas tokoh, dan adanya latar juga berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh. Menurut Panuti Sudjiman latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh.24 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar memberikan landasan berpijak secara konkret dan jelas. Hal itu akan memberikan kesan realis kepada pembaca, bahwa cerita yang dikisahkan seolah-olah ada dan sungguh-sungguh terjadi. 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.25 Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Menurut Robert Stanton dalam Adib Sofia dan Sugihastuti mengartikan sudut pandang sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita untuk melihat secara hati-hati agar ceritanya memiliki hasil yang sangat memadai.26
23
Tuloli. Teori Fiksi. (Gorontalo, BMT Nurul Jannah. 2000), h. 155 Sudjiman, op. cit., h. 46. 25 Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.69. 26 Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang, (Bandung: Katarsis, 2003), h. 16 24
19
Secara garis besar sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat. Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, pengarang memakai istilah “aku” dalam ceritanya, ia menjadi tokoh utama. Dalam hal ini narator ikut terlibat dalam cerita. Narator masuk ke dalam cerita menjadi tokoh “aku”, yaitu tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri, serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh aku. Adapun sudut pandang orang ketiga, narator menjadi seorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebutkan nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus tersebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menentukan posisinya dalam suatu karyanya sastra. Dan caranya pun bermacam-macam, hal tersebut disesuaikan dengan penceritaan dan peristiwa yang akan diciptakan oleh pengarang.
D. Hakikat Pembelajaran Sastra Materi atau bahan pelajaran merupakan salah satu komponen penting selain komponen pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran bisa disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tercapai tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan
20
pembelajaran.27 Pelajaran-pelajaran yang dirancang tentunya memiliki peranan yang sangat penting bagi terlaksananya tujuan pendidikan. Tujuan dari pembelajaran tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan kognitif, tujuan afektif, dan tujuan psikomotorik. Ada banyak materi pembelajaran di sekolah, salah satunya adalah pembelajaran sastra. Kaitannya dengan pembelajaran, sastra memiliki konstribusi yang sangat besar dalam dunia pendidikan khususnya bagi pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana yang disebutkan dalam kurikulum 1994 dan Garis-garis Besar Program Pengajaran bahasa Indonesian tentang pembelajaran sastra tertera bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Berdasarkan pedoman tersebut, jelas sekali bahwa pembelajaran sastra memiliki tujuan yang jelas, secara tidak langsung melalui pembelajaran sastra. Peserta didik dituntut untuk mengapresiasikan karya sastra yang dibaca dan dipelajarinya. Mengapresiasi berarti menilai dan memaknai dari karya sastra itu sendiri, mengungkapkan nilai dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya. Oemarjati mengungkapkan bahwa: Mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang disatu pihat peka terhadap nilai-nilai yang dikandung sastra yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dan kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu kepada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.28
27
Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 202. 28 Boen, S Oemarjati, “PembinaanApresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar” dalam Bambang Kaswanti Purwa (ed), “Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pembelajaran”, (Yogyakarta: Kanisisus, 1991), h. 58.
21
Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Pengajaran tersebut berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah yang mempunyai intruksional khusus bagi pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu 1) Agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan berbahasa; 2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektuan manusia Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik selalu mengandung sesuatu yang patut direnungkan. Hasil perenungan itu pada akhirnya dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dan menumbuhkan semacam emosi dan dorongan positif terhadap perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.29 Pengertian ini menunjukan bahwa fungsi karya sastra bukan hanya untuk mengibur, tetapi juga karya sastra dapat mengajarkan sesuatu yang berguna. Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa melatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit kemampuan menyimak, berbicara, dan menulis yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atu lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan bicara dengan ikut berperan dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra itu
29
Achadiati Ikram, dkk, “Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 33.
22
menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.30 Dengan demikian, kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Karena dengan pembelajaran sastra siswa dapat menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan itu dapat berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti, nilai moral, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Bahkan dapat lebih dari itu, dengan pembelajaran sastra, siswa dapat melatih kemampuan dalam menganalisis dan merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial.31 Dalam pelaksanaan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah: 1. Kecakapan mengenal diri (self awarenesses) atau kecakapan personal 2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) 3. Kecakapan sosial (social skill) 4. Kecakapan akademik (academic skill) 5. Kecakapan vokasional (cocasional skill)32 30
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet VIII, h. 17. Ibid., h. 19. 32 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: 2008), h. 171-173. 31
23
Mengacu pada amanat kurikulum di atas, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembentukan siswa, karena dengan pembelajaran sastra siswa dituntut mengapresiasikan nilainilai yang terkandung dalam karya sastra yang telah dipelajarinya. Dan nilai-nilai kemanusiaan
tersebut
ditanamkan
dalam
diri
siswa
sehingga
dapat
mempengaruhi daya imajinasi, pola pikir, emosional, kreatifitas, dan intelektual siswa. Banyak jenis karya sastra yang dapat diapresiasikan oleh siswa untuk pembelajara, salah satunya adalah novel. Novel biasanya sering dipilih untuk diapresiasi karena novel adalah jenis karya sastra yang menceritakan kehidupan seorang manusia. Dalam novel terdapat konflik permasalahan yang terkadang terjadi pula dalam kehidupan nyata yang menjadikan cerita itu tidak terlihat monoton. Cerita itu disampaikan oleh penulis dengan menggunakan bahasa yang sehari-hari. Selain itu dalam sebuah novel juga biasanya terdapat nila-nilai kemanusiaan yang bisa direnungkan pada kehidupan sehari-hari. Begitulah sastra dengan hasil karyanya, dapat memberikan sisi positif bagi kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan.
E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan tinjauan di internet dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini penulis tidak menemuka judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Pada bagian ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pertama skripsi dengan judul ”Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy Kajian Sosiologi Sastra”. Penelitian ini dilakukan oleh Ana Fitria Vivi Suhartina mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora karya Abidah El Kalieqy.
24
Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora (2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini settingnya ada di Pesantren. Persamaan penelitian Ana Fitria Vivi Suhartina dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ana Fitria Vivi Suhartina mengkaji tentang kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Kedua, skripsi dengan judul ”Novel Menebus Impian Karya Abidah El Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan”. Penelitian ini dilakukan oleh Primasari Wahyuni mahasiswi Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) eksistensi perempuan dalam novel Menebus Impian yang meliputi: (a) kebebasan memilih bagi perempuan (kebebasan memilih pasangan hidup, memilih pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan nasibnya sendiri); dan (b) perlawanan perempuan; (2) pokok-pokok pikiran feminisme, meliputi: (a) kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan fisik, seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi); (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh profeminis dan kontra feminis; (d) analisis feminisme liberal dalam novel; (3) keadaan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai pendidikan dalam
25
novel Menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral, nilai sosial, dan nilai budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian secara feminisme yang dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi. Persamaan penelitian Primasari Wahyuni dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ngismatul Marfuah meneliti nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Ketiga, skripsi dengan judul “Aspek Sosial dalam novel Menembus Impian Karya Abidah El Khalieqy dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”. Penelitian ini dilakukan oleh Ngismatul Marfuah mahasiswi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo pada tahun 2013. Penelitian dibatasi pada aspek sosial yang ada dalam novel Menembus Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini adalah: (1) aspek-aspek sosial dalam novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy, meliputi (a) aspek cinta kasih terdiri dari cinta kasih antara Nur Kemalajati kepada Emak, cinta kasih Emak kepada Nur Kemalajati, dan cinta kasih Nur Kemalajati kepada Dian Septiaji, (b) aspek agama ditunjukkan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah agama, (c) aspek ekonomi ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkat perekonomian, (d) aspek pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan non-formal. (2) hubungan aspek-aspek sosial dalam novel Menebus Impian antara lain: (a) hubungan aspek cinta kasih dengan aspek pendidikan, (b) aspek cinta kasih dengan ekonomi, (c) aspek ekonomi dengan aspek pendidikan. (3) novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di kelas XI SMA. Persamaan penelitian Ngismatul Marfuah dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy.
26
Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ngismatul Marfuah meneliti aspek sosial yang ada dalam novel Menembus Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.
27
BAB III BIOGRAFI PENULIS, SINOPSIS PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI JORA
A. Biografi Abidah El-Khalieqy Abidah Al-Khalieqy lahir Jombang, Jawa Timur 1 Maret 1965 dan dikenal sebagai perempuan penyair kontemporer Indonesia. Setamat Madrasah Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah selama 6 tahun di Pondok Pesantren PERSIS, Bangil, Pasuruan, SMA Muhammadiyah, Jakarta Utara, Madrasah Aliyah Negeri, Klaten, dan Fakultas Syari’ah (Hukum) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pembina Seni dan Sastra pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendiri Sudi Apresiasi Sastra (SAS) Yogyakarta tahun 1987, Pengurus Lingkar Penyair Yogyakarta (1987-1990).1 Di pesantren Persis, ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis “Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam” (1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1986-1988). Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta, 1988-1990). Menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asian Pacific Forum on Women, Law and Development, 1989).2
1 2
Abidah El Khalieqy, Geni Jora, (Bandung: Qanita, 2009), h. 270. Abidah El Khalieqy, Mikraj Odyssey, (Bandung: Qanita, 2009), h. 163.
27
28
Karya-karya kesustraannya diikutkan dalam berbagai buku antologi bersama seperti: ASEANO: An Antology of Poems Southeast Asia (1996), Cyber Album Indonesia – Australia (1998), Force Majeure (2007), Rainbow: Indonesian
Womens Poet (2008), Word Without Borders (2009), E-books
Library For Diffabel (2007) dan lebih dari 15 buku sastra lainnya.3 Sebagian karya-karya kesusastraannya terhimpun dalam antalogi Ibuku Laut Berkobar (1998) dan Percintaan dan Kemabukan. Sedangkan puisi-puisinya tentang perempuan dan aborsi diterjemahkan oleh Geo Fax dan dirilis dalam bentuk Cyberalbum. Selain tertuang dalam dua antologi di atas, serta novel Atas Singgasana, karya-karya Abidah juga terdapat dalam ASEANO : Anthology of Poems Shout East Asia, Antologi-antologi dan leksikon sastra modern Indonesia. Karya-karyanya banyak juga dipublikasikan melalui media massa baik lokal maupun nasional. Sebagai seorang penyair yang kreatif pada 1994 hingga 2000, Abidah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membaca karya puisinya di Taman Ismail Marzuki dan membacakan puisi-puisinya di sekretariat ASEAN. Selain membaca puisi-puisinya juga menjadi pembicara pada Forum Penyair Abad 21 di TIM, menjadi pembicara dalam Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (2000). Abidah tercatat pernah mewakili Indonesia dalam ASEAN Writer’s Conference Workshop Poetry di Manila Pilipina pada tahun 1995 dan menjadi pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) pada tahun 1997. Selain itu, Abidah pun pernah mendapat penghargaan Seni di bidang Sastra dari Pemerintah DIY. Abidah juga pernah mengikuti Konferensi Perempuan Islam se-Asia Pasifik dan Timur-Tengah pada tahun 1999, International Literary Festival 3
Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, (Yogyakarta: Araska, 2012), h. 242.
29
Biennale pada tahun 2007, Jakarta International Litelary Festival pada tahun 2008, Aceh International Litelary Festival pada tahun 2009. Berikut ini merupakan buku-buku karya Abidah El Khalieqy yang sudah diterbitkan: 1. Ibuku Laut Berkobar (1997) 2. Menari Di Atas Gunting (2001) 3. Perempuan Berkalung Sorban (2001, Sudah difilmkan dan dicetak lebih dari 50.000 ex) 4. Atas Singgasana (2002, menjadi bacaan di SMA seluruh Indonesia, dan dicetak oleh Diknas Lebih dari 30.000 ex.) 5. Geni Jora (2004, juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta) 6. Mahabbah Rindu (2007) 7. Nirzona (2008) 8. Mikraj Odyssey (2009) 9. Menembus Impian (2010, sudah difilmkan) 10. Lampuki (2011), dan 11. Mataraisa (2012)
Abidah juga dikenal sebagai sosok aktivis dalam berbagai kegiatan diskusi, menjelajah kota-kota, mesjid-mesjid dan situs-situs kuno di Timur Tengah, Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iran. Selain sebagai aktivis, Abidah juga dikenal sebagai sosok yang menyenangi alunan musik. Bahkan Abidah sangat hafal lagu-lagu Arab, Suriah dan Maroko dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida alRoumi, Mayada el Hennawi sampai Rasheed Thaha.
30
1. Abidah dan Kultur Pesantren. Sejak kecil Abidah hidup di tengah keluarga santri. Kognisi sosial kaum santrilah yang membentuk kepribadian dan pemikirannya. Abidah adalah salah satu produk masyarakat santri yang bersentuhan dengan dunia modern. Jombang, kota kelahirannya di mana ia melalui masa kecilnya adalah salah satu pusat pesantren besar di Indonesia, yang tertua adalah Pesantren Gedang, yang didirikan oleh kakek Kyai Hasyim Asy’ari, kemudian Pesantren Tambak Beras, Sambong, Sukopuro, Paculgung, Watugajah dan masih ada sekitar 15 lebih pesantren kecil yang di wilayah Jombang. Masyarakat santri adalah masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri unik dan khusus. Mereka mempunyai sebuah tradisi intelektual yang diwarisi dari generasi ke generasi. (Sachiko:2000). Tradisi tersebut dipelihara dan dikembangkan di pondok-pondok pesantren, yakni tradisi keilmuwan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab salaf yang amat kuat mereka pegang. Istilah-istilah seperti NU, Bahtsul Masail, Kyai, Gus, mazhab Syafi’i, Tareqat, Manaqib,Dhiba’, Sholawat, Tahfidz Qur’an, Rebana, adalah istilah-istilah yang diasosioriskan pada masyarakat unik ini. Tokoh–tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Emha, Nurkholis Majid, hampir semua masyarakat Indonesia tahu bahwa mereka berasal dari dan tergolong sebagai kaum santri. Kantong-kantong wilayah santri yang terkenal adalah Banten-Jawa Barat, Sarang-Rembang-Lasem-Jateng Jateng, Lirboyo-Kediri, Tebu Ireng-Tambak Beras-Jombang, Tremas-Pacitan Jatim. Tetapi saat ini hampir di seluruh pelosok pulau Jawa terdapat pondok pesantren baik kecil maupun besar. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh santri dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran pesantren. Kultur
pesantren
adalah
kultur
yang
khas.
Cliffort
Geertz
menggambarkan bahwa santri adalah bagian dari masyarakat Jawa sebagaimana pernyataannya: “Santri mewakili sikap menitik beratkan pada
31
segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang dan petani. Abangan mewakili sikap yang menitik beratkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh, secara luas berhubungan dengan unsur-unsur mistik kerakyatan. Dan priyayi menitik beratkan pada segi-segi Hinduisme dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.” Karena pada umumnya pusat-pusat pesantren ada di daerah pedesaan, kehidupan sehari-hari kaum santri lebih akrab dengan kehidupan masyarakat desa dari pada kota, kehidupan mereka yang sebenarnya kurang terekspos ke luar wilayah mereka. Tetapi ketika perkembangan zaman semakin pesat, benturan-benturan dengan dunia luar mulai mereka rasakan. Bahkan kini pun banyak pesantren-pesantren besar eksis di tengah-tengah masyarakat kota.4
2. Konsep Dasar Pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Menurut Abidah persoalan perempuan itu tidak lekang oleh zaman. Sejak Adam sampai Muhammad, sejak zaman Muhammad sampai sekarang, persoalan perempuan dengan berbagai macam sisinya masih saja aktual untuk dibicarakan. Itu sebabnya perempuan disebut-sebut dalam Al-Quran dan Hadist sebagai bagian dari masalah kehidupan dunia selain kekuasaan dan harta. Dalam sejarahnya sampai kini, persoalan perempuan timbul lebih disebabkan oleh sumber-sumber tiranik yang bergerak melalui sistem patriarki. Oleh pikiran dan konstruksi budaya kaum lelaki. 5 Bagi Abidah sebagai penulis, yang menjadi konsep dasar pembuatan novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai pengingat dan motivasi bagi kaum laki-laki dan perempuan, khususnya kaum muslimah untuk 4
Fatichatus Sarifah, Biografi Abidah El Khalieqy, Artikel diakses di http://www.solopos.com/2012/07/06/abidah-el-khalieqy-menulis-adalah-panggilan-hidup-199603 pada tanggal 26 Agustus 2013, pukul 07.08 WIB 5 Siti Rizkia Kamilah, Skripsi, Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban, (Wawancara pribadi dengan Abidah El-Khalieqy melalui email: Jakarta, 04 Juni 2010)
32
melakukan perubahan sosial dan budaya yang didasarkan pada prinsipprinsip kemanusiaan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan YME. Sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat merandahkan bahkan menindas sesamanya. Selain itu juga sebagai penyemangat bagi kaum perempuan agar bisa lebih berani mengkritisi terhadap ajaran-ajaran Islam (khususnya hadits-hadits misoginis) yang disalahgunakan atau dijadikan alasan untuk merendahkan kaum perempuan. Maka untuk dapat melakukan itu perempuan harus memiliki pengetahuan yang memadai, dan membangun sikap yang mandiri. Hampir di setiap tulisannya, Abidah sebagai pengarang novel selalu menggambarkan sosok perempuan yang kuat, cerdas, dan pandai. Hal ini merupakan sebuah harapan dari Abidah agar menjadi inspirasi bagi pembacanya, terutama bagi generasi perempuan saat ini dan masa yang akan datang. Dan itu merupakan bagian yang penting dari proses kreasi hasil karyanya. Secara ideal perempuan menginginkan keadilan sosial dan persamaan pada segala aspek kehidupannya, seperti dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tapi itu semua seakan sulit terwujud karena pada kenyataannya masih banyak keluarga muslim yang melihat perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut Abidah kondisi perempuan di Indonesia masih sangat termarginalkan. Abidah ingin mencari akar permasalahannya dan ia beritakan ke publik melalui novel. Walaupun selama ini permasalahan perempuan sudah banyak ditulis, mulai dari masalah penderitaan mereka sampai keterpinggiran mereka. Tetapi Abidah merasa perlu membahas bagaimana solusi ke depannya untuk menyikapi kondisi tersebut. Oleh karena itu lahirlah novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora sebagai media dari pemberdayaan perempuan.
33
B. Sinopsis Perempuan Berkalung Sorban Seorang gadis kecil bernama Anisa hidup di lingkungan pesantren sebagai putri seorang kiai. Anisa adalah anak yang lincah dan cerdas, namun posisinya sebagai perempuan menjadikannya tidak bebas berkreasi. Anisa selalu merasa keluarganya dan adat sangat tidak adil. Ia dilarang berkuda, berbicara saat makan, berpendapat, dan bergurau bersama, sementara kedua kakak laki-lakinya diizinkan melakukan hal tersebut. Ia juga harus rajin belajar dan bangun pagi, sementara kakaknya boleh bermalas-malasan sesuka hati, semua itu hanya karena ia seorang perempuan. Anisa tidak pernah tinggal diam atas prlakuan itu, ia selalu berontak. Anisa mempunyai seorang saudara sekaligus sebagai satusatunya sahabat yang selalu memahaminya, Lek Khudori, begitu panggil Anisa. Namun, kedekatan mereka harus terenggang ketika Khudori harus melanjutkan studinya ke Kairo, dan hanya suratlah penyambung bisu hubungan keduanya. Setelah lulus sekolah dasar, Anisa dipaksa menikah dengan putra seorang kiyai, dialah Samsudin. Samsudin selalu melakukan kekerasan dalam rumah tangga, selalu membentak, memukul, memaksa, bahkan dalam berhubungan suami-istri Samssudin sering meminta yang tidak wajar. Suatu ketika, Anisa didatangi seorang janda yang tengah hamil tua, dia mengaku bahwa anak tersebut adalah buah hatinya bersama Samsudin. Kemudian Anisa harus bersedia dipoligami. Merasa senasib mendapat perlakuan kurang baik dari Syamsudin, Anisa dan mbak Kalsum, si istri muda, sepakat untuk saling bantu. Mbak Kalsum juga sering belajar mengaji pada Anisa. Di sisi lain, kembalinya Khudori dari Kairo mengembalikan harapan Anisa untuk memerdekakan diri pula. Dengan ditemani Khudori, Anisa berani menceritakan semua kejadian yang ia alami selama berumah tangga dengan Syamsudin. Kemudian, keluarga Anisa melakukan musyawarah dengan keluarga Syamsudin untuk perceraian mereka. Perceraian itupun terjadi, Anisa merasa sangat lega. Namun, Anisa dan Khudori kembali resah ketika cinta mereka yang tumbuh seiring dengan berjalannya waktu itu tidak mendapat restu dari orang tua
34
Anisa. Mereka kemudian melanjutkan hidup masing-masing sambil menunggu masa idah Anisa dan restu dari orang tuanya. Anisa melanjutkan studinya, ia kuliah di Yogjakarta. Di sana ia mengikuti organisasi yang mengurusi hak-hak perempuan. Ia juga aktif dalam duni tulismenulis. Di tengah-tengah kesibukan yang ia nikmati, Khudori kembali datang dan meminangnya. Kali ini Khudori sudah mendapat restu dari orang tua Nisa. Mereka pun menikah. Kehidupan rumah tangga mereka sangat damai. Khudori sering membantu Anisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Walaupun kadang terjadi masalah, keduanya bisa mengatasi itu dengan baik. Kebahagiaan mereka bertambah lengkap setelah cukup lama menunggu dengan sabar untuk mendaptkan momongan. Anisa melahirkan seorang bayi yang kemudian diberi nama Mahbub yang berarti cinta kasih. Suatu hari Anisa dan Khudori menghadiri sebuah undangan pernikahan teman lamanya di kampung kelahirannya. Di situ, mereka bertemu kembali dengan Syamsudin. Dari matanya, nampak kebencian dan keirian Syamsudin pada Khudori. Kemudian Syamsudin meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari pertemuan itu, Anisa mendapat kabar bahwa Khudori mengalami kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan lagi. Tuduhan Anisa selalu mengarah pada satu nama: Syamsudin. Namun, bagaimanapun juga ia tak punya bukti yang nyata. Akhirnya ia harus menjalani hidup ini tanpa Khudori dan membesarkan Mahbub seorang diri.
C. Sinopsis Geni Jora Nama tokoh utama cerita ini adalah Kejora. Kejora merupakan seorang perempuan yang cerdas, selalu ranking satu di kelas. Ia pun merupakan perempuan mandiri dengan cita-cita tinggi yaitu mendobrak dominasi lakilaki. Untuk seorang anak dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran Islam, agak aneh juga ia dinamai Kejora. Kakak perempuannya bernama Bianglala. Kedua saudara lelaki mereka bahkan bernama Samudra dan Prahara.
35
Kejora terlahir dari seorang ibu berstatus istri kedua, Kejora beserta ketiga saudaranya tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal mengurung mereka seperti sebuah harem, hanya bagian pintu pagar saja yang agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Ibu tirinya, istri pertama ayahnya, tinggal di dalam harem itu juga. Rumahnya dengan rumah mereka beradu punggung, hanya dipisahkan oleh sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Kejora kecil hanya dibolehkan ke luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya, Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang. Ini membuat Kejora kesal karena merasa dibeda-bedakan. Ketika Kejora dan Lola (nama panggilan Bianglala) menginjak remaja, mereka menyukai pemuda yang berada di sebelah rumah. Setiap pagi, kedua gadis cilik itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka, demi mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua mereka. Rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, ibunya, ibu tirinya, dan Lola, hanya berada di urutan kedua. Selalu ke dua, meski ia jauh lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, oleh sebab lama berada di bawah dominasi para lelaki, akhirnya justru menjadi salah satu agen patriarkhi di rumah tersebut. Kesemua ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati. Dendam kepada penguasaan para lelaki. Selanjutnya, Kejora, oleh ayahnya, disekolahkan ke pesantren paling top di kotanya. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam dan diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya, tidak semata-mata pelajaran agama saja. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding mereka yang jebolan sekolah umum. Kejora mewakili
36
gambaran seorang santri ideal tersebut. Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dalam pesantren ini ia menemukan kejanggalan-kejanggan seperti ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada geng-gengan yang saling bermusuhan, sampai dengan skandal asmara sejenis alias lesbianisme. Tak terhindarkan memang, mengingat sehari-hari yang mereka temui dan gauli adalah kaum sejenis. Sudah tentu, lesbian merupakan sesuatu yang haram di pesantren tersebut dan pelakunya pasti diganjar hukuman rotan. Setelah menyelesaikan sekolahnya di pesantren, Kejora melanjutkan kuliahnya di Damaskus dengan mendapatkan beasiswa dari pesantrennya dulu. Di sana Kejora bertemu dengan Zakky yang tak lain adalah putra dari pemilik pesantren tempat ia bersekolah. Dan pada akhirnya ia menjalin kasih dengan Zakky. Zakky yang merupakan play boy terkadang membuat Kejora cemburu sampai pada akhirnya Kejora yang tak tahan lagi melihat tingkah Zakky yang menyukai Lola, memutuskan untuk mengencani Asaav sahabat Zakky untuk membalaskan rasa sakit hatinya itu. Zakky yang tidak terima dengan tindakan yang akan dilakukan Kejora pun pada Akhirnya berjanji bahwa akan menjadikan Kejora sebagai satu-satunya wanita di sisi Zakky.
37
BAB IV HASIL ANALISIS A. Unsur Intrinsik Novel Perempuan Berkalung Sorban Analisis unsur intrinsik dalam novel PBS berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar (tempat, waktu, sosial), dan sudut pandang. Unsur-unsur tersebut didapat dari data atau fakta yang ada dalam novel PBS karya Abidah El Khalieqy melalui pembacaan yang cermat dan berulang.
A. Tema Tema dari novel PBS adalah pembebasan seorang perempuan dari budaya patriarki yang selama ini memasungnya. Tema tersebut tergambar jelas dari perjalanan hidup Annisa untuk memperoleh kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Penggambaran tokoh Annisa dalam novel PBS ini dibuat untuk mengembangkan gagasan kesetaraan gender. Hampir seluruh bab dalam novel PBS ini membahas tentang usaha tokoh utama Annisa untuk mendapatkan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari kutipan novel PBS sebagai berikut: “….. Selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban harihariku untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari.” ( PBS. h. 241) Kutipan tersebut menjelaskan tekad kuat Annisa untuk tetap memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang selama ini termarginalkan. Bukan hal yang mudah bagi Annisa untuk mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan. Annisa harus menghadapi berbagai macam rintangan. Salah satunya adalah orang tua Annisa yang masih menjunjung tinggi nilai patriarki. Pada akhirnya ia mendapatkan apa yang selama ini ia cari yaitu
37
38
kesetaraan yang ia dapatkan ketika menikah dengan Khudhori yang sangat mendukung akan kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan. B. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan pelaku yang ada dalam sebuah cerita. Penokohan dalam novel PBS dapat diketahui melalui perbuatan, kebiasaan, dialog yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Penokohan dapat berubah-ubah sesuai dengan kedalaman cerita tersebut. Perubahan itu terjadi dari jahat menjadi baik atau tokoh baik yang tetap baik. Dengan demikian tokoh dan penokohan tersebut dapat dikenali oleh pembaca. Nurgiyantoro membedakan tokoh ke dalam beberapa kriteria. 1 Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Tokoh Protagonis Berikut ini merupakan tokoh protagonis yang ada dalam novel PBS karya Abidah El Khalieqy: 1) Annisa Annisa merupakan tokoh utama dalam novel ini. Tokoh Annisa
memiliki
porsi
penceritaan
yang
banyak
tentang
kehidupannya, Annisa juga berperan sebagai pencerita sehingga ia selalu muncul mulai dari awal hingga akhir cerita. Annisa digambarkan secara analitik oleh pengarang sebagai anak dari seorang Kiai
yang
mempunyai
pondok
pesantren
khusus
perempuan di daerahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitipan berikut: ”……Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh Bapakku, Kiai Haji Hanan Abdul Malik, memiliki cita-cita dan harapan untuk mendidik dan menjadikan remaja putri agar menjadi kaum muslimmah yang berguna….” (PBS. h. 53) Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang membuat tokoh utama yang seorang anak dari tokoh terpandang di desanya, yang
1
Nurgiantoro, op. cit., h. 178.
39
menjunjung nilai-nilai patriarki. Melalui penggambaran kondisi keluarga Annisa yang disampaikan pengarang secara analitik telah memberikan
gambaran
terhadap
dibesarkan dalam lingkungan
pembaca
bahwa
Annisa
yang menekankan nilai-nilai
patriarki. Annisa merupakan tokoh perempuan yang diciptakan oleh pengarang
sebagai
pelopor
perbaikan
derajat
perempuan,
khususnya dalam lingkungan pesantren salaf. Annisa berusaha membebaskan
diri
dari
cara
pandang
orang-orang
yang
memandang sesuatu hanya dari jenis kelamin. Annisa digambarkan sebagai sosok yang memiliki tekad kuat dan pantang menyerah. Tekad tersebut ia implementasikan ketika ia sedang tersudutkan. Seperti pada kutipan berikut: “Apa pun yang terjadi, aku harus bisa, aku mesti belajar naik kuda, aku akan tetap belajar naik kuda, naik kuda.” (PBS. h. 35) Secara dramatik, pengarang memunculkan penokohan Annisa sebagai sosok yang kritis, ini terbukti dengan rasa ingintahuannya yang sanggat tinggi terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Ia selalu mempertanyakan tentang perbedaan perlakuan yang didapatkannya. Selain itu Annisa juga digambarkan secara dramatik sebagai orang yang sangat menyukai ilmu pengetahuan. Annisa juga memiliki sifat pasrah, sifat pasrah ini ditunjukkan ketika Annisa dijodohkan dengan Samsudin. Ia tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya untuk menikah, padahal saat itu ia masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Tetapi sifat pasrah yang ditujukkan Annisa ini bertentangan dengan sifatnya
yang
berontak.
Dari
awal
cerita
pengarang
menggambarkan Annisa secara dramatik sebagai sosok yang sering berontak dan melanggar aturan yang dibuat ayahnya. Selama hidup dengan Samsudin, Annisa sama sekali tidak pernah bercerita tentang kekerasan yang selalu diterimanya dari
40
Samsudin. Ini bertentangan dengan penggambaran usianya yang masih sangat muda yaitu duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah. Pengarang menghadirkan tokoh utama yang masih sangat muda dan harus menjalani kekerasan pisik, psikis, dan seksual tiap harinya, dan ia masih bisa bertahan tanpa ada sedikitpun rasa takut yang dihadirkan kepada sosok Samsudin.
2) Khudhori Khudhori merupakan tokoh utama tambahan dalam novel PBS ini. Porsi penceritaannya banyak walaupun tidak sebanyak porsi penceritaan Annisa. Khudhori digambarkan secara analitik melalui tokoh Annisa sebagai sosok yang mempunyai wawasan yang luas. Ini terbukti dari pemahamannya yang sangat banyak tentang puisi-puisi kuno, memahami nilai-nilai ajaran islam secara luas dan mendalam, ia juga mengenal dengan sangat baik karyakarya Mozart dan Beethoven. Selain itu ia juga dapat melanjutkan pendidikannya di Mesir dan juga Berlin. Ini menunjukkan bahwa selain memiliki wawasan yang luas, ia juga memiliki semangat dan kemauan yang tinggi, seperti pada kutipan berikut: “……Lek Khudhori suka pada puisi, bahkan juga mengenal nama-nama penyair dunia yang terkenal.” (PBS. h. 36) Pengarang
mencoba
menggambarkan
sosok
Khudhori
sebagai sosok yang cuek tidak peduli akan masalah yang sedang dihadapinya. Ini terbukti dengan ketidakpeduliannya terhadap fitnah yang ditujukkan padanya. Padahal fitnahan tersebut sudah membuatnya bertengkar dengan istrinya Annisa, seperti pada kutipan: “…. Jika ada yang bilang aku sudah menikah, aku tidak mau melacak dari mana sumbernya, silahkan Nisa melacaknya sendiri. Sebab aku tidak suka melayani fitnah. Oke?” (PBS. h. 217) Dari kutipan di atas, pengarang menjelaskan bahwa Khudhori tidak pernah menanggapi apa pun kabar jelek yang menerpa
41
dirinya. Ini terlihat janggal karena Khudhori merupakan seorang suami
yang
berarti
merupakan
seorang
pemimpin
dalam
keluarganya yang seharusnya dapat mengatasi permasalahan dalam rumah tangga. Bukan malah membiarkannya melarut dan semakin menjadi. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Khudhori memiliki sifat cuek, bijaksana, penyayang, serta memiliki wawasan yang sangat luas. Penggambaran tokoh Khudhori mendukung terbentuknya tema dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ini. Sikap Khudhori yang selalu mendukung pemikiran-pemikiran yang dimiliki Annisa tentang sistem patriarkat yang seharusnya sudah tidak dijadikan patokan
dalam
kehidupan.
Penggambaran
tokoh
Khudhori
diceritakan semuanya oleh Annisa.
3) Kalsum Kalsum adalah istri kedua Samsudin yang usianya jauh di atas usia Samsudin. Kalsum digambarkan secara analitik oleh Annisa sebagai seorang yang matrialistis. Salah satu alasan mengapa ia mau menikah dengan Samsudin adalah karena Samsudin memiliki warisan yang sangat banyak. Ini terbukti pada kutipan berikut: Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. (PBS. h. 105) Dalam hal ini Kalsum mengalami perubahan karakter. Pengarang secara dramatik menggambarkan tokoh Kalsum yang pada awalnya suka mengatur dan tidak ramah terhadap Annisa menjadi sosok yang ramah dan menjadi teman berkeluh kesah Annisa.
42
4) Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa) Haji Hanan Abdul Malik adalah pemilik salah satu pesantren putri di Jawa Timur sekaligus ayah Anissa yang selalu menerapkan sistem patriarki di lingkungan keluarga dan pesantrennya. Pengarang menggambarkan penokohan Haji Hanan Abdul Malik secara dramatik. Haji Hanan digambarkan sebagai sosok yang tegas dalam mengambil keputusan. Ini terlihat ketika Annisa melanggar peraturan yang dibuat ayahnya ini, ia tidak segan-segan untuk menghukum Annisa walaupun Annisa merupakan putrinya, seperti pada kutipan berikut: “ Sekarang dengar! Mulai hari ini kau tidak boleh keluar rumah selain sekolah dan ke pondok. Jika sekali ketahuan membangkang, bapak akan kunci kamu dalam kamar selama seminggu, paham?” (PBS. h. 40) Selain itu, Haji Hanan juga digambarkan sebagai orang yang bijaksana. Ini terbukti ketika ia dihadapkan dengan persoalan Annisa yang ingin bercerai dengan Samsudin karena kelakuan Samsudin yang selalu berbuat kasar terhadap Annisa. Ia tidak mau mengambil keputusan secara gegabah karena khawatir akan membuat hubungannya dengan keluarga besar Samsudin yang notabenenya adalah teman dekat ayahnya menjadi renggang karena persoalan ini, seperti pada kutipan berikut ini: “Tentu saja bu, masalahnya bukan aku mau atau tidak mau, tetapi aku sedang berpikir, kira-kira ini akan mengganggu persahabatan kami selanjutnya.” (PBS. h. 147) Kutipan tersebut menunjukan bahwa Haji Hanan Abul Malik merupakan orang yang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Bahkan walaupun keputusan tersebut berhubungan erat dengan nasib putrinya. Hal ini sedikit janggal karena sebagai orang tua ia seharusnya lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan anaknya. Pada
dasarnya
dalam
sebuah
keluarga
setiap
anak
mempunyai hak dalam mendapatkan perlakuan dan didikan yang
43
sama tanpa dibeda-bedakan dengan anak yang lainnya. Akan tetapi dalam novel ini Haji Hanan memperlakukan anak perempuan dan laki-lakinya dengan berbeda. Membuat kecemburuan terjadi pada pihak yang merasa dinomorduakan. Dalam novel ini tokoh Haji Hanan Abdul Malik mengalami perubahan sikap yang pada awalnya sangat keras apalagi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan budaya patriarki, menjadi melunak dan tidak terlalu terpatok pada budaya patriarki. Ini terbukti ketika Annisa diijinkan untuk melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta. Padahal sebelumnya ia menentang keras Annisa melanjutkan sekolah apalagi di luar kota. Dari kutipan diatas, terlihat bahwa Haji Hanan Abdul Malik memiliki sifat yang tegas dan bijaksana
5) Hajah Mutminah (Ibu Annisa) Hajah Mutmainah merupakan ibu dari Annisa. Peranan ibu dalam novel ini hanya di lingkup domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya. Itu pula yang ia ajarkan kepada Annisa. Pengarang menceritakan penokohan hajah Mutminah dalam PBS ini secara dramatik. Hajah Mutminah digambarkan sebagai seorang yang bijaksana. Ini terbukti ketika ketika Annisa dan Rizal yang baru saja pulang dengan basah kuyup. Iya tidak memarahi Annisa dan menyalahkannya atas kejadian Rizal yang tercebur di bumblang seperti yang dilakukan oleh suaminya. Ia hanya menyuruh keduanya untuk lekas mandi, seperti pada kutipan berikut: “‟Sudah, sudah, sekarang mandi sana. Kau Rizal, kau juga Nisa.‟ Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan yang adil.” (PBS. h. 22) Selain bijaksana, Hajah Mutminah juga digambarkan oleh pengarang sebagai seorang ibu yang penyayang. Seperti pada kutipan berikut: “Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan
44
masalah ini secara kekeluargaan. Demi Nisa pak. Bapak harus membincangkan masalah ini dengan Kyai Nasir.” (PBS. h. 147) Kutipan tersebut menunjukan ibu yang panik mendengar anak perempuannya dianiaya oleh suaminya. Hal yang pada umumnya dilakukan semmua ibu ketika mendengar anaknya terluka. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hajah Mutminah mempunyai sifat yang bijaksana dan penyayang.
b. Tokoh Antagonis Samsudin Samsudin diceritakan sebagai seorang sarjana hukum yang sama sekali tidak mengerti tentang hukum. Secara dramatik, pengarang memunculkan penokohan Samsudin dengan karakter sosok yang kejam, hal ini terbukti dengan perlakuannya terhadap istrinya yang selalu kasar tanpa belas kasih. Ia selalu memukul, menendang, menjambak rambut Annisa tanpa
merasa bersalah
sedikitpun atas apa yang telah ia lakukan, seperti pada kutipan berikut: “Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan mukaku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama, kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai.” (PBS. h. 111) Hal ini tidak sesuai dengan peranannya sebagai suami yang seharusnya bisa melindungi istrinya. Samsudin digambarkan secara analitik oleh Annisa sebagai seseorang yang suka memaksakan kehendaknya. Ini terbukti ketika samsudin memaksa untuk menggauli Annisa, padahal ia dalam keadaan haid (tidak suci). Seusai gombal begitu, ia memaksakan lidahnya untuk dimasukkan ke mulutku, dan jika aku menolaknya, ia mengulanginya dengan beringas dan mengirim kembali air kotoran itu ke mulutnya. Seperti biasanya, sembari menahan
45
rasa mual di perut, lambungku terasa kejang dan ingin muntah. Lalu kedua kaki juga kejang…..(PBS. h. 110) Penggambaran karakter Samsudin bertolak belakang dengan latar belakang keluarganya yang merupakan Kyai, yang seharusnya dapat bersikap baik, menghargai istrinya, tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangganya. Selain itu, hal ini juga tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yaitu Sarjana hukum yang seharusnya lebih mengerti dan paham mengenai masalah hukum
dan
tidak
seharusnya
melakukan
kekerasan
dan
pemerkosaan dalam rumah tangga. Samsudin juga didambarkan secara analitik melalui tokoh Annisa sebagai sosok pemalas dan juga jorok, seperti pada kutipan berikut: Samsudin bangun saat matahari terbit dan tanpa berkumur atau cuci muka dulu, ia langsung menhirup kopi panas di meja baru kemudian ke kamar mandi. Sekalipun dalam kondisi junub, ia hanya mandi biasa. Hanya kadang-kadang ia mandi junub, atau kebetulan gatal karena banyak ketombe dan terpaksa ia menyamponya. (PBS. h. 88) Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Samsudin memiliki sifat yang kejam, suka memaksakan kehendaknya, malas dan jorok. 3. Alur Alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga.
46
Dan demikian selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya peristiwa pertama.2 Alur yang digunakan dalam novel PBS adalah alur maju. Peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam novel ini menceritakan kehidupan tokoh utama dalam menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Alur disusun mulai dari pengenalan, kemudian dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi mulai terdapat konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian. Cerita ini diawali dengan pengenalan tokoh utama Annisa. Tahap pengenalan ini berfungsi untuk memberikan informasi awal kepada pembaca. Informasi awal yang yang diperkenalkan kepada pembaca yaitu ketika Annisa yang sedang melihat-lihat buku kenanangannya. Melalui penceritaan sorot balik, cerita beralih ke masa lalu melalui lamunan tokoh utama. “Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan.” (PBS. h. 17) Kutipan di atas bermaksud untuk mempersiapkan pembaca melihat cerita selanjutnya. Situasi berkembang dengan adanya perbedaan perlakuan yang dirasakan tokoh utama dengan kaum laki-laki. Kesenjangan yang dirasakan Annisa ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Tradisi dalam keluarga Tradisi dalam keluarga Annisa yang sangat menjunjung nilai-nilai patriarki membuatnya dibedakan dengan kedua kakak laki-lakinya. Pengarang menggambarkan kedua kakak laki-laki Annisa diberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mendapat tekanan dari siapa pun. Sedangkan perempuan hanya
2
139.
Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
47
mendapatkan tugas dengan bentuk segala macam pelayanan untuk kaum laki-laki. ”Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!” (PBS. h. 21)
Adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki diperlihatkan dengan sangat jelas dalam novel ini. Latar belakang pendiri pesantren putri salaf, mendukung terjadinya konflik dalam keluarga. Ayah Annisa yang merupakan pendiri Pesantren Putri merasa harus benar-benar menerapkan aturan dengan berkiblat pada sistem patriarki.
2. Tadisi berpendapat Budaya dalam pesantren salaf yaitu perempuan tunduk dengan aturan dan perintah laki-laki. Setiap perkataan dan perintah harus dipatuhi dan inilah yang membuat perempuan tidak memiliki hak untuk mengutarakan pendapatnya. Begitu juga yang terjadi pada Annisa. Meskipun banyak pertanyaan yang ia miliki untuk diutarakan berkaitan dengan peranannya yang dimarginalkan, ketika ia menanyakan semua itu maka jawaban yang didapatkan tidaklah sesuai dengan yang ia harapkan. Ujung-ujungnya akan kembali pada pokok persoalan semula bahwa perempuan tidak layak untuk bertanya terlalu banyak. Bahkan pada persoalan mendasar mengenai hak dan kewajiban, seperti pada kutipan berikut: ”’Tidak perlu diteruskan. Lebih baik kita memperdalam topik kita malam ini, ” tegas pak Kiai dengan nada memutus. Ada yang terasa aneh dalam benakku. Ada yang aneh dalam benakku, bukannya pertanyaanku juga dalam rangka memperdalam topik malam ini. (PBS. h. 76)
48
3. Tradisi perjodohan Masyarakat pesantren yang masih menjunjung kebudayaan patriarki menjadikan adanya sekat antara perempuan dan laki-laki. Para Kyai yang menjadi sosok yang dipercayai oleh masyarakat masih terikat dengan pola pikir yang sangat tua yaitu perempuan harus diajarkan menjadi seorang ibu rumah tangga dan menjadi pelayan suami bahkan untuk suami yang bukan merupakan pilihannya sendiri. Dalam tradisi pesantren, perempuan diajarkan untuk selalu menerima posisinya sebagai seorang ibu, istri dan seorang perempuan yang mempunyai posisi kedua setelah laki-laki. Tradisi perjodohan ini juga sangat melekat dalam budaya Jawa yang diangkat dalam novel PBS ini yaitu ketika Annisa harus dengan terpaksa menerima perjodohan dengan Samsudin saat dirinya masih duduk di bangku MTs (setara dengan SMP) seperti pada kutipan berikut: Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Begitu riangnya mereka menggambari masa depanku semau-maunya. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi mereka melibatkanku. (PBS. h. 81) Dalam novel ini perempuan menikah pada usia yang relatif muda sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka tidak perlu menunggu sesuatu, seperti menunggu menuntut ilmu, karena menuntut ilmu bukanlah hal yang diwajibkan untu perempuan. Perempuan hanya diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan tugasnya sebagai perempuan yang nantinya akan mendampingi laki-laki. Dalam novel ini pengarang mengungkap tradisi dalam pesantren yang lebih mementingkan mengaji kitab-kitab kuning, dan ironisnya dalam novel ini pengarang menggambarkan interpretasi terhadap kitab-kitab kuning itu dilakukan oleh kaum lelaki sehinga menjadi suatu kewajaran jika keadilan untuk
49
perempuan menjadi sangat bias. Keberadaan laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang. Konflik mencapai klimaksnya ketika Annisa selalu mendapatkan penyiksaan secara bertubi-tubi yang dilakukan oleh suami pertamaya, Samsudin. Annisa mendapat kekerasan secara pisik mupun psikis yang membuat Annisa mengalami trauma. Leraian dalam novel ini yaitu ketika keluarga Annisa mengetahui kekejaman yang telah dilakukan oleh Samsudin, dan pada akhirnya mencari jalan keluar untuk permasalahan Samsudin dan Annisa yaitu dengan cara perceraian. Pada tahap ini keluarga Annisa mulai tidak bersikap keras pada Annisa, ruang lingkupnya yang dulu dibatasi mulai direnggangkan sedikit demi sedikit, dan pada akhirnya diberikan izin untuk menikah dengan Khudhori Bagian terakhir dari novel ini yaitu pengarang memberikan penyelesaian yang sangat jelas. Pengarang meniadakan tokoh Khudhori yang selama ini menjadi tokoh yang selalu ada untuk mendukung tokoh utama, dan mengharuskan Annisa hidup berdua dengan putra semata wayangnya. Pada tahap penelesaian ini pengarang menjadikan tokoh utama sebagai perempuan yang harus hidup mandiri tanpa sosok lakilaki yang selalu mendukungnya.
4.
Latar Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar mencakup latar tempat dan waktu yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar dalam novel PBS adalah sebagai berikut: a.
Latar Tempat Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Adapun latar tempat utama dalam novel ini
50
yaitu di Jawa Timur, ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan pengarang yaitu bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Jawa, seperti pada kutipan berikut: “O.... jadi rupanya kamu yang mempunyai inisiatif, bocah wedok. Kamu yang mengajarkan kakakmu jadi penyelam seperti ini? Kamu yang membujuk kakakmu mengembara?” (PBS. h. 21) Pada kutipan di atas terdapat kata wedok yang berarti perempuan dalam bahasa Jawa terutama Jawa Timur. Selain pada kutipan tersebut, kata-kata yang memakai bahasa Jawa seperti bumblang, kecemplung, pencikalan dan lain-lain. Selain dengan penggunaan kosakata dalam bahasa Jawa, latar belakang penulis juga mempengaruhi latar tempat dalam novel ini. Seperti yang telah diketahui, bahwa Abidah El-Khalieqy berasa dari Jawa Timur. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peristiwa dalam cerita ini berlangsung di daerah Jawa Timur. Pengarang juga menggunakan beberapa latar tempat untuk novel PBS ini. Latar tempat yang digunakan pengarang yaitu: 1) Pesantren Dalam cerpen ini digambarkan bahwa Annisa merupakan anak dari pemilik pesantren putri di Jawa Timur. Pesantren seringkali dianggap sebagai sub-kultur yang memiliki aturan main dan sistem nilai sendiri di dalam kultur besar di negeri ini. Dalam masyarakat kesalapahaman antara gender dan seks seringkali terjadi dan bahkan semuanya dianggap sebagai kodrat. Kesahlakaprahan semacam ini, juga seringkali terjadi di kalangan pesantren khususnya dalam pola pemikiran Kyai dan santri.3 Hal tersebut terlihat sekali dalam novel PBS ini. Pola pikir para Kyai yang cenderung kolot, dengan menjadikan perempuan sebagai sosok nomor dua setelah laki-laki membuat perempuan tidak dapat melakukan hal sesuai dengan 3
Asnal Mala, op, cit.
51
keinginannya. Melalui penjelasan secara deskriptif dan juga melalui
dialog-dialog
yang
ada,
latar
pesantren
ini
mempengaruhi pola pikir masyarakat di sekitar pesantren. Pola pikir yang keliru inilah yang diajarkan juga di pesantren putri milik ayah Annisa, sehingga dalam penerapan terhadap santrinya, para ustadz dan Kyai selalu mendoktrin santrinya agar berpola pikir yang sama dengan pola pikir mereka, seperti pada kutipan berikut: “Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh bapakku, Kyai Haji Hanan Abdul Malik memiliki cita-cita dan harapan untuk mendidik dan menjadikan remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi bangsa dan Negara. Meskipun pada prakteknya pondok kami selalu menekankan pendidikan akhlak perempuan dalam bermasyarakat dan berumah tangga.” (PBS. h. 53) Dari
kutipan
di
atas
terlihat
bahwa
pengarang
menggambarkan kehidupan pesantren yang dimiliki oleh ayah Annisa merupakan pesantren yang masih kental dengan budaya
patriarki.
Dalam
budaya
pesantren,
laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang bisa melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa adanya batasan, aturan dan larangan yang berlaku. Sementara itu perempuan dimarginalisasikan dengan adanya interpretasi tentang kitab-kitab yang menjadi bacaan wajib di pesantren. Ini dapat dilihat dari kebebasan kedua saudara laki-laki Annisa, yaitu Rizal dan Wildan. Mereka berdua dapat dengan bebas melakukan apa saja yang diinginkan tanpa mendapat tentangan dari orang-orang sekitarnya termasuk kedua orang tuanya yang merupakan pemilik pondok pesantren. Menurut Ayah Annisa antara laki-laki dan perempuan mempunyai dunianya masing-masing. Dunia perempuan merupakan dunia rumah tangga yang nanti pada akhirnya perempuan dididik dengan pola pikir bahwa perempuan
52
diciptakan untuk menjadi pelayan laki-laki (suami). Tidak sepantasnya laki-laki melakukan tugas perempuan yaitu tugas rumah tangga.
2) Rumah Samsudin Melalui penggambaran secara deskriptif dan melalui dilalog yang ada, latar tempat yang ada pada cerita ini terdapat di rumah Samsudin. Sesuai dengan kutipan: “Selain Samsudin, hanya akulah satu-satunya penghuni rumah ini. Jika ia pergi perasaanku menjadi seluasa untuk berbuat apa saja yang kusuka. Mau masak dulu atau mencuci dulu, sama sekali tidak masalah. Akan menjadi masalah jika tetangganya yang datang dan menanyakan ke mana Samsudin pergi.....” (PBS. h. 96) Kutipan tersebut, memperlihatkan Annisa yang telah menikah dan mendiami rumah Samsudin. Semua kekerasan dan penyiksaan yang terjadi pada Annisa terjadi di rumah Samsudin. Karena hanya di rumahnya lah Samsudin dapat melakukan kekerasan terhadap Annisa tanpa bisa diketahui oleh orang lain.
3) Yogyakarta Secara deskriptif, pengarang menggambarkan latar tempat yang lainnya, yaitu di daerah Yogyakarta. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar menjadi pilihan latar tempat selanjutnya oleh pengarang. ”Yogyakarta mendapat julukan kota pelajar, kota budaya dan kota wisata. Disebut sebagai kota pelajar karena banyak terdapat sekolah dan tempat kursus, sehingga banyak penduduk yang menetap untuk menuntut ilmu.”
4
Latar Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar
dipilih pengarang untuk dijadikan simbol pendidikan yang 4
Renggo Astuti, Wahyuningsih, Taryati. Pengetahuan Sikap, Kepercayaan, dan Perilaku Generasi Muda Terhadap Budaya Tradisional di Kota Yogyakarta. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998)., h.12.
53
sedang dijalani oleh Annisa. Annisa yang dulunya tidak pernah diijinkan untuk melanjutkan sekolahnya. Kemudian diberi ijin oleh kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya di Yogyakarta.
b.
Latar Waktu Latar waktu yang digunakan dalam novel PBS yaitu sekitar tahun 80-an. Karena di dalam novel tersebut menceritakan tentang perjuangan seorang wanita untuk menyamakan kedudukan dan haknya dengan laki-laki. Dan pada tahun 80-an kedudukan wanita masih berada di bawah laki-laki.
Banyaknya kesenjangan-
kesenjangan sosial yang terjadi pada perempuan. Kesenjangankesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan pada tahun 80-an itu diangkat pengarang melalui ketidakadilan yang dialami tokoh Annisa pada tahun 80-an. Selain itu alasan yang mendukung bahwa novel ini berlatar waktu tahun 80-an adalah kejadian-kejadian atau kehidupan tokoh Annisa yang menggambarkan kehidupan pada era 80-an, seperti, peralatan atau alat komunikasi yang digunakan masih berupa surat, telepon masih jarang sekali dimiliki oleh masyarakat. “Pada saat usia kandunganku mencapai lima bulan, ibu dan bapak mengunjungi kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri cerita kehamilanku yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu terharu dan gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus, seakan tak percaya dengan semuanya.” (PBS. h. 222)
5.
Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara pengarang menceritakan sebuah cerita, bagaimana menampilkan tokoh, latar, dan peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita pada pembaca. Dalam novel PBS ini, Abidah El Khalieqy
54
menggunakan sudut pandang
orang pertama tokoh utama. Karena
dalam novel PBS ini, pengarang menggunakan kata “aku” untuk mendeskripsikan tokoh utama dan dengan kata “aku” tokoh utama ini dapat mendeskripsikan tokoh lainnya. Dengan menggunakan sudut pandang “aku” membuat pembaca merasa seperti berada dalam cerita, karena pembaca mudah meresapi cerita tersebut. Kutipan yang mendukung sudut pandang orang pertama tokoh utama pada novel PBS ini yaitu sebagai berikut: “….. seorang laki-laki hitam bertubuh pendek dengan perut menonjol Sembilan senti ke arah depan tiba-tiba nyelonong di antara kami. Sejurus aku terpana. Darah mendesir dan lidahku kelu.” (PBS. h. 62) Penggunaan sudut pandang orang pertama tokoh utama ini menggambarkan bahwa pengarang tidak ikut dalam cerita. Posisi pencerita pada sudut pandang ini adalah pada tokoh utama. Tokoh utama yang menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam cerita.
Hal itu dapat dilihat dari peristiwa yang dialami Annisa,
penggambaran tokoh-tokoh lainnya dari sudut pandang tokoh utama. Melalui tokoh Annisa, pengarang menuangkan kehidupan masyarakat desa tempat tinggalnya sebagai masyarakat yang masih patuh dengan sistem patriarki. Perasaan batin kehidupan perempuan yang ingin bebas dari belenggu patriarki banyak dituangkan melalui tokoh Annisa.
B. Unsur Intrinsik Novel Geni Jora Analisis unsur intrinsik dalam novel GJ berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar (tempat, waktu, sosial), dan sudut pandang. Unsurunsur tersebut didapat dari data atau fakta yang ada dalam novel GJ karya Abidah El Khalieqy melalui pembacaan yang cermat dan berulang.
55
1. Tema Tema dalam novel GJ termasuk tema mayor, yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya. Tema dari novel ini sendiri adalah sebuah gugatan untuk menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum perempuan. Hampir seluruh bab pada novel GJ membahas gugatan untuk menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum perempuan. Perjuangan tokoh utama yang bernama Kejora untuk mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki. Ia berpegang pada prinsip keadilan antara laki-laki dan perempuan. Dapat dilihat dari kutipan berikut: “Jika misalnya Zakky poligami, apa reaksi Kak Jora,” tanya Najwa, “Aku akan poliandri, pakai cara-cara yang legal.” “Seperti apa?” “Pertama aku akan mengkhulu’nya. Lalu menikah lagi dengan bintang film yang gantengnya melebihi Zakky. Poliandri atau tidak, yang penting rasa adilnya. Sama-sama dua.” (GJ. h. 192) Kutipan tersebut menjelaskan tokoh utama Kejora yang memegang teguh prinsipnya agar disejajarkan dengan kaum laki-laki. Bukan hal yang mudah bagi Kejora untuk memperjuangkan keadilan gender. Apalagi ia harus dihadapkan pada kemunafikan yang diperlihatkan oleh Zakky, dan kekolotan pola pikir nenek yang masih kental dengan budaya patriarki. Tokoh Zakky ini mengalami simbolisasi sebagai pendukung patriarki yang punya tendensi seksualitas, perempuan hanya pemuas hasrat petualangannya sebagai lelaki. Kejora menemukan sikap ketidakseimbangan dalam diri Zakky, yaitu antara intelektualitas-religius dan libido-seksualnya. Kejora tidak mau begitu saja menyerah pada kemunafikan Zakky. Dalam pandangan Kejora ideologi patriarki penuh kepalsuan. Kecenderunannya ada pada tendensi libido seksual laki-laki.
56
2. Tokoh dan penokohan Penokohan dalam novel GJ dapat diketahui melalui perbuatan, kebiasaan, dialog yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Dalam sastra populer penokohan dapat berubah-ubah sesuai dengan kedalaman cerita tersebut. Perubahan itu terjadi dari jahat menjadi baik atau tokoh baik yang tetap baik. Dengan demikian tokoh dan penokohan tersebut dapat dikenali oleh pembaca. Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ diuraikan sebagai berikut: a. Tokoh Protagonis Ada pun tokoh dan penokohan dalam novel GJ diuraikan sebagai berikut: 1). Kejora Tokoh Kejora merupakan tokoh utama dari novel GJ. Tokoh Kejora berperan sebagai pencerita, sehingga ia selalu muncul dari awal hingga akhir cerita. Kejora memiliki porsi penceritaan yang sangat banyak tentang kehidupannya. Kejora digambarkan secara analitik melalui tokoh Nadia dan dirinya sendiri sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dengan matanya yang belok. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Kamu tidak adil Kejora” kata Nadia, “ayo ceritakan, alam seperti apa yang telah melahirkan gadis cantik sepertimu.…” (GJ. h. 30)
Kejora namaku, matakku belok, seperti boneka cantik dari negeri Antah….. (GJ. h. 47) Kejora dibesarkan di lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya patriarki. Ia selalu dijadikan yang nomor dua dan harus selalu mengalah dari saudara laki-lakinya. Oleh sebab itulah Kejora menjadi sosok yang tidak mau mengalah, seperti pada kutipan berikut: “……jika ditonjok hidungmu, ganti tonjok hidungnya. Jika dia meninjumu, tinju dia dengan kekuatan yang sama. Sebagaimana
57
Zakky mengiris hatiku, kuiris pula hatinya hingga luka berdaradarah oleh cemburu.. Pada usianya yang masih muda yaitu usia sembilan tahun, Kejora sudah dapat merefleksikan dirinya dan kaum perempuan di lingkungannya yang selalu di nomorduakan. Melalui dialog antara Kejora dan juga nenek, pengarang menggambarkan sikap kritis kejora yang sudah muncul dari usia Sembilan tahun: “Jadi selama ini nenek selalu mengalah?” “Itulah yang harus nenek lakukan cucu.” “Pantas nenek tak pernah diperhitungkan.” “Diperhitungkan?” Nenek terlonjak “Benar, nenek tidak pernah diperhitungkan, nenek tahu apa sebabnya?” “Sebab nenek mematok harga mati, dan harga mati nenek adalah kekalahan. (GJ. h.81) Sikap kritis yang digambarkan oleh pengarang ini bertentangan dengan usia Kejora saat itu. Kejora yang masih berusia sembilan tahun sudah dapat berpikir tentang dia dan kaum perempuan yang selalu di nomorduakan. Pemikiran Kejora saat itu tidak sesuai dengan usianya pada saat itu. Kejora melanjutkan sekolahnya di pesantren. Kejora merupakan santri yang sangat pandai. Hal ini terbukti dari dia yang selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Bukan hanya itu dia bahkan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Damaskus. Padahal sekolah hanya memberikan beasiswa untuk satu orang saja. Pengarang secara analitik menggambarkan Kejora sebagai sosok yang tegas. Ini terbukti ketika Kejora menggantikan posisi Encik Rahmah (petugas yang selalu memeriksa bawaan santri) yang selalu melakukan pelanggaran. “Telah berkali-kali kusaksikan perilaku Encik Rahmah yang melanggar itu. Saat tiba giliranku diangkat menjadi ketua majelis tahkim, aku pun bertindak untuk mengganjar kenakalan Encik Rahmah. Pada akhirnya, ia pun digeser kedudukannya oleh Encik yang lain.” (GJ. h.161)
58
Secara dramatik pengarang memunculkan penokohan Kejora dengan sifat pecemburu. Hal ini terbukti dengan kecemburuannya yang besar terhadap kakaknya Lola. Padahal Lola adalah kakaknya yang amat menyayanginya dan tidak mungkin menghianatinya dengan cara berhubungan dengan Zakky. Sesuai dengan kutipan berikut: “Kakak kandungku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan calon suamiku,ini keterlaluan…..”(GJ. h. 215) Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kejora adalah seorang perempuan yang cantik dan cerdas. Ia memiliki sifat yang tegas dalam mengambil setiap keputusan. Ia orang yang mempunyai usaha yang keras untuk dapat membuktikan dirinya. Ia juga seorang yang tidak mau mengalah, baik pada saudara laki-lakinya ataupun pada Zakky kekasihnya. Kejora sangat sabar ketika Sonya temannya menggosipkan dia meliki hubungan khusus dengan Elya sahabatnya. Selain
itu
Kejora
juga
mudah
cemburu.
Ia
memperlihatkan
kecemburuannya yang amat besar ketika Zakky membuat janji dengan kakaknya Bianglala.
2). Zakky Hedouri Zakky Hedouri adalah putra madirul ma’had tempat Kejora menuntut ilmu sekaligus kekasih hati Kejora. Porsi penceritaan Zaaky dalam novel ini cukup banyak, walau tidak sebanya kemunculan Kejora. Zakky digambarkan secara analitik melalui tokoh Kejora sebagai seorang play boy yang senang mengoleksi perempuan cantik. “Kau benar, Nadia. Zakky sendiri adalah petualang kelas kakap. Kupikir, ia mengenal semua ciri-ciri perempuan cantik Maroko, dari Sijjilmasa hingga Pulau Magadore, dari Ausara hingga Tician Ticha, selama tiga tahun ia kuliah di sini.” (GJ. h.45) Zakky digambarkan secara analitik oleh Kejora sebagai sosok yang pintar dan mempunyai banyak kelebihan yang dapat membuat
59
para gadis tergila-gila. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai sosok yang gemar minum-minuman keras, seperti pada kutipan berikut ini: “…..Aktivitas intelektual yang cukup bergengsi di Taqiyeh, itu saja sudah membuat para perempuan yang ada di majelisnya saling mmeremas jemari, setiap kali Zakky melontarkan humor di antara kajian-kajian seriusnya……. Masih banyak kelebihan yang ia miliki.” (GJ. h.160) ……kegemaran Zakky minum khamar dan berganti-ganti pasangan. Semua yang kemilau menjadi pudar dan kusam oleh tingkah laku yang tak terpuji.” (GJ. h.148) Sifat Zakky yang gemar minum-minuman keras dan bergantiganti pasangan ini sangat bertolak belakang dengan latar belakang keluarganya yaitu pemilik pesantren terkenal. Di mana seharusnya sebagai putra pemilik pesantren ia sersikap baik, alim, dan mentaati ajaran agamnya, tidak suka berganti-ganti pasangan dan tidak suka minum-minuman keras. Pada cerita ini pun Zakky digambarkan sebagai sosok yang pecemburu dan tidak bisa menahan emosinya. Seperti pada kutipan berikut: “Kalian bersekongkol untuk melecehkanku ya? Berkonspirasi untuk menghianatiku? Dasar para penghianat!! Kursi ditendang. Meja dilantakkan, buku berhamburan. Kamarku banjir makian. (GJ. h.181) Pengarang membuat sosok Zakky yang tidak mudah terbawa emosi dan pecemburu ini menjadi sosok yang lemah dan selalu mengalah jika dihadapkan dengan kekasihnya Kejora. Seolah pengarang ingin menyampaikan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bisa mengendalikan situasi keadaan. Perempuan pun bisa melakukannya. Ini ditunjukkan dari tokoh Kejora yang tidak mau mengalah pada siapa saja, dan tokoh Zakky yang seakan lemah dan patuh di hadapan perempuan (Kejora). “Aku tidak akan poligami. Ini janjiku. Jika aku mengingkarinya, kau boleh melalukan hal yang sama. Dan itu adalah hukuman paling menyakitkan untukku. Aku tidak siap. Dan tidak akan pernah siap menyaksikan kau dengan yang lain, Jora. Aku ingin kau hanya untukku. Selamanya!” (GJ. h. 260)
60
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Zakky adalah seorang yang pandai dan cerdas. Ia memiliki sifat playboy karena dia suka berganti-ganti pasangan. Tetapi setelah bertemu dengan Kejora dia sudah tidak suka meladeni perempuan yang mendekatinya lagi. Mau mengalah, walaupun Zakky adalah seorang laki-laki tetapi ia tidak sungkan untuk mengalah pada kekasihnya Kejora. Selain itu Zakky juga seorang yang mudah cemburu, mudah terbawa emosi.
3). Elya Huraibi Elya diceritakan sebagai sahabat baik Kejora. Ia digambarkan sebagai seorang yang perhatian dan penyayang terutama terhadap Kejora. Ia sangat terkesan dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Kejora. Ia juga tak segan-segan memperlihatkan kekagumannya tersebut kepada Jora. Pengarang menggambarkan penokohan secara dramatic. Elya digambarkan sebagai sahabat yang sangat setia kawan. Ia selalu ada di samping Kejora dan selalu mendengarkan cerita Kejora mengenai keadaan keluarganya dan sistem patriarki yang selalu ditanamkan dalam keluarganya. Elya digambarkan sebagai perempuan yang tegas, perhatian dan penyayang, seperti pada kutipan berikut: “Seperti seorang kaka yang penuh perhatian. Elya senantiasa mendorongku untuk maju dengan kritik dan pujian. Ia mengkritikku dengan luapan kasih saying dan memujiku hampir setiap waktu. Kadang, aku merasa, Elya lebih memperhatikanku daripada dirinya sendiri.” Kejora menggambarkan Elya sebagai sosok yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang. Selain itu ia juga sangat mengagumi kepintaran dan kecerdasan Kejora. Elya selalu ada di sisi Kejora saat ia senang atau pun saat Kejora sedang sedih, ia akan menjadi pendengar yang selalu bisa menenangkan hati Kejora. Elya juga digambarkan sebagai seorang yang cuek tidak peduli atas gosip yang terjadi mengenai dirinya. Ini terbukti ketika ia dan Kejora digosipkan memiliki hubungan khusus melebihi perteman. Ia
61
tidak mengambil pusing gosip tersebut dan membiarkannya hilang dengan sendirinya, seperti pada kutipn berikut: “……beberapa kakak kelas enam terus menanyaiku” “Masa? Siapa mereka?” “Diantaranya ka Lubna dan ka Sekha,” “Mereka menanyakan persahabatan kita atau gosip murahan?” “Gosip murahan” katanya “lalu kujawab dengan gosip mahalan.” Lanjut Elya, sambil terus menerus tertawa. (GJ. h.127) Dari kutipan di atas, pengarang menjelaskan bahwa Elya Huraibi tidak pernah menanggapi gosip yang mengatakan bahwa ia dan Kejora merupakan pasangan Lesbi. Ini bertentangan karena sangatlah wajar jika Elya berusaha menepis gosip yang menimpanya. Gosip tersebut telah mencemarkan nama baiknya dan juga teman dekatnya dan seharusnya Elya melakukan pencegahan agar gossip itu tidak semakin menjadi dan bukan malah membiarkannya begitu saja. Penggambaran tokoh Elya mendukung terbentuknya tema dalam novel Geni Jora. Sikap dan pemikiran-pemikirannya Elya yang yang selalu mendukung pandangan Kejora. Penggambaran tokoh Elya diceritakan semuanya oleh Kejora.
4). Bianglala Bianglala atau sering disebut Lola ini merupakan kakak kandung Kejora. Pengarang menghadirkan Lola ketika Kejora mendapatkan perlakuan tidak adil di lingkungan rumahnya. Lola dan Jora sama-sama tidak mendapatkan kebebasan di dalam rumahnya sendiri. Porsi penceritaan Lola sendiri pun tidak terlalu banyak. Lola digambarkan secara analitik oleh Kejora sebagai perempuan yang memiliki wajah cantik, seperti kutipan berikut: “ Bianglala. Seperti pelangi sore hari, saat matahari bersinar di sebelah barat dan hujan turun di sebelah timur. Ia adalah spectrum besar yang melengkung oleh terurainya cahaya yang menembus rintik hujan. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Indah nian penampilanmu Lola.” (GJ. h.212)
62
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Bianglala mempunyai keindahan rupa yang sangat mempesona. Tidak hanya berwajah cantik, Lola juga merupakan orang yang professional dalam mengerjakan pekerjaannya. Ketika ia medapatkan sebuah pekerjaan ia akan menyelesaikannya tanpa menunda-nundanya. Terbukti pada kutipan berikut: “……Sorry ya Zak, ini uang honorariummu dan lain lain. Tinggal tanda tangan, ayo silakan! “Acara masih besok kenapa terburu-buru?” “Aku ingi segala sesuatunya beres lebih awal. Nggak apa-apa kan?” (GJ. h. 263) Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Lola memiliki sikap yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Bertentangan dengan kebiasaan dalam kultur patriarki. Dalam GJ Abidah menawarkan tokohtokoh perempuan yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan di area publik.
5). Asaav Muscovic Asaav Muscovic adalah sahabat baik Zakky yang merupakan seorang mualaf keturunan Yahudi. Pengarang menggambarkan Asaav secara analitik melalui tokoh Kejora sebagai seorang yang ramah dan suka dengan humor. Seperti pada kutipan berikut: “Biasanya orang Yahudi pintar dalam berdagang dan pelitnya minta ampun. Tetapi Asaav lain. Ia membawa sebagian kebiasaan bangsa Yahudi yang suka humor.” (GJ. h.175) Penggambaran sikap Asaav yang memiliki humor juga terlihat secara dramatik ketika ia sering melontarkan humor-humor segar yang membuat suasana nyaman jika beradadi dekatnya. Pengarang menggambarkan penokohan Asaav secara dramatik sebagai seorang yang tidak mudah terbawa emosi. Ini terbukti ketika Zakky yang memukulnya bertubi-tubi karena kesalahpahaman. Ia tidak membalasnya. Seperti pada kutipan berikut: “tersinggung dan malu oleh sindiran Asaav. Lebih malu lagi karena Asaav tidak membalasnya,
63
tak meladeni kemarahan yang kekanak-kanakan.” (GJ. h. 225) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa sikapnya yang tidak mudah terbawa emosi ini tidak sesuai dengan penggambaran orang-orang Yahudi yang biasanya pelit dan mudah terbawa emosi. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Asaav merupakan orang yang memiliki humor dan tidak mudah terbawa emosi.
b. Tokoh Antagonis 1) Nenek Nenek adalah tokoh yang menerapkan sistem patriarki dalam keluarga
Kejora.
Tokoh
neneklah
yang
selalu
menempatkan
perempuan sebagai kelas dua, inferior, dan harus selalu mengalah dalam hubungannya dengan laki-laki sangat jelas. Pandangan nenek Kejora yang mengatakan, “Perempuan harus selalu mengalah, sebab jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Tidak ada lakilaki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan,” (GJ. h. 81) kutipan tersebut menunjukkan begitu kuatnya ideologi patriarki menguasai tatanan kehidupan ini. Tokoh nenek digambarkan secara dramatik sebagai sosok yang pasrah menerima apa adanya apa pun yang terjadi pada dirinya, seperti pada kutipan berikut: “Jadi selama ini nenek selalu mengalah?” “Itulah yang harus nenek lakukan, cucu.” “Pantas nenek tidak pernah diperhitungkan.” “Diperhitungkan?” nenek terlonjak “Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu kenapa?” “Apa sebabnya, cucu?” “Sebab nenek telah mematok harga mati, dan harga mati nenek adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak yang kalah?” (GJ. h. 82) Sikap pasrah dan selalu mengalah dari kaum laki-laki itu terjadi karena nenek sangat menjunjung tinggi budaya patriarki. Itu juga ia
64
terapkan dalam cara mendidik anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya setiap anak berhak mendapatkan perlakuan dan didikan yang sama tanpa menimbang-nimbang apakah ia anak lakilaki
atau
perempuan.
Akan
tetapi
dalam
novel
ini
nenek
memperlakukan cucu perempuan dan laki-lakinya dengan berbeda. Membuat kecemburuan terjadi pada pihak yang merasa dinomorduakan.
2) Sonya Al-Katiri dan Namya Al-Katiri Sonya Al-Katiri dan Namya Alkatiri adalah teman Kejora saat ia masih di pesantren. Sonya dan Namya digambarkan secara dramatik sebagai perempuan yang tidak hormat pada orang tua, sesuai dengan kutipan berikut: “Samar-samar kedengar dari ujung sebelah kiri seorang santri menyahut, „Andai ada seribu Kejora, Ustad Omar akan lupa istrinya. Andai….‟ (dengan intonasi orang membaca puisi)” (GJ. h. 52)
kutipan tersebut menegaskan bahwa Namya sama sekali tidak
memiliki rasa hormat kepada gurunya. Hal ini bertentangan dengan statusnya sebagai santri di pesantren tersebut, yang seharusnya bisa menghormati orang yang lebih tua terlebih lagi gurunya sendiri. Dalam pendidikan
di
pesantren
tentunya
diajarkan
bagaimana
cara
memperlakukan orang lain dengan baik dan itu tidak terlihat dari diri Alkatiri bersaudara ini. Secara dramatik, pengarang menggambarkan Namya sebagai anak yang suka berbohong. Terbukti ketika di ruang kelas ia yang sedang menggoda Kejora dan ketika ditanya oleh ustadnya ia tidak menjawabnya dengan jujur. “Ustad Omar jatuh cinta padamu.” ……….. “Kau Namya! Coba ulangi sekali lagi apa yang kau katakan tadi?” “Saya bilang pada Jora bahwa otaknya hebat.” (GJ. h. 53) Namya dan Sonya Tidak hanya itu saja, latar belakang keluarga mereka yang kaya raya membuat mereka senang memamerkan barangbarang mewah yang mereka miliki, seperti pada kutipan berikut: “Ia
65
berdiri di muka cermin daan memberikan komentar panjang lebar tentang kehebatan gaunnya kepada teman-teman yang bersedia mendengarkan.” (GJ. h. 61) Sonya dan Namya juga suka membuat keonaran di lingkungan pesantren. Kadang-kadang mereka mencuri makanan milik temantemannya, bolos tidak masuk pada jam pelajaran, dan sebagainya. Sikap-sikap yang terdapat dalam diri Sonya dan Namya bertentangan dengan kodratnya sebagai perempuan yang biasanya bersikap lembut, menghormati orang lain dan tidak melakukan hal-hal yang buruk. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tokoh Sonya dan Namya memiliki sifat yang sama, yaitu sama-sama tidak memiliki rasa hormat pada orang tua, pamer, pembohong, dan juga suka mencari keributan di pesantren.
3) Khalil dan Hasan Khalil dan Hasan adalah paman Kejora sekaligus orang kepercayaan ayah Kejora. Khalil dan Hasan digambarkan secara analitik melalui Kejora sebagai lelaki yang memiliki sikap semenamena terhadap Kejora dan Bianglala. Mereka sering sekali melakukan pelecehan seksual terhadap Kejora dan Bianglala, seperti pada kutipan berikut: …..pandanganku masih terlalu jelas untuk mengintip tangan paman Hasan yang memegang pundak Lola, dan secepat kilat Lola menepisnya. Kulihat paman mengucapkan sesuatu dan Lola menggeleng. Paman bangkit berdiri di belakang Lola tetapi tangannya menjulur cepat ke payudaranya. Lola tersentak, tetapi paman Khalil di sampingnya malah tertawa. (GJ. h. 112) Ketipan tersebut pengarang mendeskripsikan bahwa kedua paman Kejora telah melakukan tindak pelecehan seksual terhadap Bianglala. Hal tersebut bertentangan dengan status Khalil dan Hasan yang masih keluarga dekat Kejora yang seharusnya bisa menyayangi dan melindungi Jora dan Lola.
66
3.
Alur Alur adalah rangkain cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadikan oleh para pelaku dalam suatu cerita.5 Alur atau Plot yang digunakan dalam novel GJ adalah alur maju. Tahapan alur dalam novel ini meliputi penyituasian atau pengenalan, peristiwa mulai bergerak melalui pengembangan masalah dalam cerita, konflik, klimaks dan peristiwa ditutup dengan penyelesaian. Tahap pengenalan terlihat dari panorama tempat yang menjadi latar cerita. Kejora merupakan tokoh utama dalam novel ini bersama kekasihnya Zakky yang yang sedang bepergian di negara Timur Tengah. Novel ini terbentuk oleh satu alur utama dan dua alur bawahan. Alur utama dimulai dengan pengenalan tokoh Kejora yang sedang melakukan perjalanan untuk mendatangi Konferensi Perempuan Dunia. Setelah itu melalui penceritaan sorot balik, cerit beralih ke masa lalu melalui lamunan tokoh utama. Seperti pada kutipan berikut: “…..Spanyolan sepanjang perjalanan mengingatkanku saat Rihlah Mahabbah keliling Jawa sebagai acara perpisahan setelah lulus pesanntren beberapa tahun silam. Dan kamu memutar Syidi Ana-nya Mayada untuk Jawa Barat,….. Apa kabarmu, Javissyarqi? Kifak Inta?” (GJ. h. 45—46) Kutipan tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan pembaca untuk cerita selanjutnya, yaitu cerita Kejora semasa di Pesantren, dan masuk dalam alur bawahan pertama. Alur bawahan pertama ini dimulai dengan Kejora yang sedang menghadapi ujian yang diadakan pesantrennya. Seperti pada kutipan berikut: “Sebutkan hal-hal yang membatalkan salat?” “Hanya ada satu ustadz.” “Iya, sebutkan” ……………. “Tidak memiliki imajenasi.” Beliau pun tertawa dan memintaku menjelaskan jawabanku. (GJ. h. 49)
5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grsindo, 2008), h, 159
67
Informasi pertama yang diberikan dari alur bawahan adalah Kejora yang cerdas dan memiliki pemikiran tersendiri. Situasi berkembang dengan adanya fitnah yang disebarkan oleh Sonya mengenai Kejora dan juga Elya yang merupakan sepasang kekasih. Konflik mencapai klimaksnya ketika Kejora mulai merasakan benihbenih cinta kepada Elya. Kedekatan Elya dan juga Kejora dan ditambah pesantren yang didiami Kejora merupakan pesantren Khusus putri ini membuat Jora merasa nyaman dengan kedekatannya dengan Elya, dan mulai menganggap dirinya sudah memiliki rasa cinta terhadap Elya sahabatnya. Pada tahap ini Kejora pertengkaran di dalam batinnya mengenai perasaannya terhadap Elya, dan pada akhirnya Kejora mulai menjaga jarak dengan Elya. Bagian terakhir dari alur bawahan ini Kejora yang mulai menyadari kekeliruan mengenai perasaan yang dirasakannya terhadap Elya. Dan akhirnya mereka mulai dekat kembali, walau pun gossip buruk terus saja menerpa mereka. Alur bawahan pertama terbentuk dari peristiwa-peristiwa ketika Kejora sedang berada di pesantren. Sedangkan alur bawahan yang kedua terbentuk dari peristiwa-peristiwa menyangkut kehidupan Kejora saat ia masih kecil. Selanjutnya alur bawahan pertama ini masuk ke dalam alur utama, pada peristiwa yang menggambarkan kehidupannya setelah ia kuliah di Damaskus. Pada tahap ini ditunjukkan suara emosional yang semakin panas karena tokoh mulai dilibatkan dengan konflik. Konflik pada alur utama adalah ketika Zakky cemburu pada sahabatnya sendiri Assav. Konflik mencapai klimaksnya ketika Kejora juga merasakan kecemburuan terhadap kakaknya Lola. Leraian dalam alur utama pada novel Geni Jora ini adalah ketika Zakky menjelaskan kesalahpahaman terjadi antara dia dan juga Kejora.
yang
68
Bagian terakhir pada alur utama dalam novel ini adalah pengarang memberikan penyelesaian yang jelas. Pengarang membuat sosok Zakky yang pada mulanya adalah seorang play boy, menjadi seoang laki-laki yang berkomitmen dengan Kejora bahwa dia tidak akan pernah poligami dan juga akan selalu mencintai Kejora. Dalam hal ini Kejora mendapatkan apa yang ia inginkan yaitu posisinya sebagai perempuan dihargai oleh pasangannya.“ Aku tidak akan poligami. Ini janjiku. Jika aku mengingkarinya, kau boleh melakukan hal yang sama. Dan itu adalah hukuman paling menyakitkan untukku. Aku tidak siap. Dan tidak akan pernah siap menyaksikan kau dengan yang lain, Jora. Aku ingin kau hanya untukku. Selamanya!” (GJ. h. 261)
. 4.
Latar Latar merupakan segala sesatu yang merujuk pada apa saja yang ada
di dalam peristiwa., baik tempat maupun waktu. Penggambaran latar pada novel GJ adalah sebagai berikut: a. Latar Tempat Secara keseluruhan, tempat yang menjadi latar cerita dalam novel GJ mengambil lokasi yang berada di Timur Tengah yang salah satunya adalah Maroko. Maroko merupakan Negara islam yang menghargai kebebasan untuk perempuan. Pada tahun 2004 Raja Mohammed VI dari Maroko memulai suatu Undang-Undang Keluarga Maroko baru. UU tersebut dimaksudkan untuk mengatasi ketidaksetaraan yang dipaksakan atas kaum perempuan, melindungi hak-hak anak, dan menjaga martabat kaum lelaki. Kaum perempuan di Maroko diberi kebebasan, termasuk kemerdekaan mengenakan jilbab atau tidak.6 Tema dari novel ini pun mendukung pemilihan latar tempat di negara Timur Tengah, seperti Maroko. Negara Islam 6
Murai Yusuko, Kathleen Martinez, dan Meriem Boulekbod, artikel Pandangan Kaum Muda Perubahan Kebudayaan di Maroko http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20170&lan=ba&sp=0 , diunduh pada 13 Maret 2014 pukul 20.05 WIB.
69
yang di dalam pemerintahannya sangat menghargai kebebasan bagi kaum perempuan. Latar tempat dalam novel ini diceritakan secara deskriptif oleh tokoh Kejora, seperti pada kutipan berikut. Setelah Damaskus, inilah perjalanan kedua yang menggetarkan jaringan sarafku. Maroko. Sebuah tempat penuh kontras dan keindahan yang menakjubkan. Negara modern dengan jiwa yang bersahaja. Lebih dari separuh buminya adalah sahara, taman Allah sebagaimana legenda arab yang terjaga. Menandingi Sahara yang perkasa, Pegunungan Atlas membentang bagai tulang punggung Maroko. (GJ. h. 11) Pemilihan latar tempat di Negara Maroko ini karena sebagai simbol dari kebebasan untuk perempuan yang terlihat di sana. Selain di Maroko, Abidah juga menggambarkan latar di rumah Kejora. Penggambaran latar ini diceritakan melalui dialog-dialog antara Kejora dan anggota keluarganya, seperti Lola, Nenek, Prahara dan Ibu. Di rumah ini lah Kejora dan saudara perempuannya Lola mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Pandangan nenek Kejora yang masih kolot, yang selalu berpikir bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin yang peringkatnya selalu berada di atas perempuan memicu tokoh Kejora untuk dapat membuktikan diri bahwa perempuan bukanlah makhuk nomer dua yang selalu berada di bawah laki-laki. Pesantren juga menjadi latar tempat pada novel ini. Penggambaran latar ini disampaikan secara deskriptif. Di pesantren inilah Abidah memcoba menceritakan sisi lain yang biasanya ada di pesantren. Seperti santri-santi yang mengalami lesbian (penyuka sesama jenis), dan beberapa santri yang suka membuat keributan di pesantren seperti yang dilakukan oleh geng Sonya dan Geng Detty. Semua hal ini sangat meresahkan dan sulit sekali untuk diberantas tuntas hingga ke akar-akarnya. Selain itu, Yogyakarta menjadi latar tempat yang lain dalam novel ini. Pengarang menggambarkan latar tempat Yogyakarta
70
secara deskriptif melalui penggambaran dari Kejora tentang kotakota yang berada di daerah Yogyakarta, seperti pada kutipan berikut ini: Sepanjang emperan Malioboro, anda akan menemukan segala keindahan barang-barang kerajinan dengan harga yang relatif murah. Berbekal kepandaian menawar, anda bisa memborong berbagai bentuk tas kulit, topi, sepatu, gelang gading, baju batik, segala macam aksesoris, mainan anak, alat kesehatan, rupa- rupa cincin, dan batu akik. (GJ. h. 254) Selain itu pengambilan latar tempat Yogyakarta sebagai simbol bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, karena Yogyakarta merupakan tempat yang terkenal dengan kualitas pendidikannya yang baik.
b. Latar Waktu Latar Waktu dalam novel GJ tidak begitu dijelaskan secara rinci mengambil latar pada tahun berapa. Banyak latar waktu yang disebutkan secara deskriptif maupun melalui dialog-dialog yang ada tentang latar waktu yang hanya sekedar latar waktu pagi, siang, sore dan malam. Selain itu dalam novel GJ terdapat perubahan periode waktu yang terjadi selama penceritaan. Tedapat dua perubahan periode waktu yang terjadi dalam novel GJ. Perubahan periode waktu yang pertama dimulai dari Kejora masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan berusia 9 tahun sampai Kejora duduk di kelas empat di pesantrennya (setara dengan kelas satu Sekolah Menengah Atas) yang panjang waktu penceritaannya selama lima tahun. Perubahan periode waktu yang kedua diawali dari Kejora yang berada di kelas lima di Pesantrennya sampai Kejora melanjutkan kuliah di Damaskus yang panjang waktu penceritaanya berkisar enam tahun. Jadi perubahan periode waktu keseluruhan dalam novel GJ adalah sebelas tahun.
71
5. Sudut pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menceritakan sebuah cerita, bagaimana menampilkan tokoh, latar, dan peristiwaperistiwa yang ada dalam cerita kepada pembaca. Dalam novel GJ ini, Abidah El Khalieqy menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Dalam novel ini tokoh utama akuan adalah Kejora. Karena dalam novel GJ ini tokoh utamanya yaitu Kejora yang menceritakan tentang kehidupan yang dialaminya dan tokoh Kejora pula lah yang menceritakan tokoh tokoh lainnya. Dengan menggunakan sudut pandang aku ini membuat pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita dan dapat lebih meresapi cerita. Kutipan yang mendukung sudut pandang orang pertama pelaku utama ini sebagai berikut: “Ibu seorang perempuan sederhana yang mengelola rumahnya menjadi kastil yang indah bagi anak-anak dan suaminya. Ia tak pernah kemana-mana. Ia melangkahi pintu besar hanya diwaktu takziah, pesta pernikahan, atau menjadi imam salat jumat di langgar yan khusus untuk perempuan.” (GJ. h. 102) Pada kutipan tersebut, tokoh aku (Kejora) lah yang menceritakan bagaimana tokoh-tokoh lainnya ada dan mengisi cerita dalam novel ini. Tokoh lainnya diceritakan melalui pendapat dan pandangan tokoh Kejora. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini pembaca dapat merasa lebih dekat dan masuk ke dalam cerita. Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini menunjukkan bahwa pengarang tidak sama sekali masuk ke dalam cerita. Posisi pencerita dalam sudut pandang ini terdapat pada tokoh utamanya yaitu Kejora. Segala bentuk peristiwa yang ada dalam cerita digambarkan melalui pandangan Kejora. Selain itu, penggambaran tokoh-tokoh lain yang terdapat pada novel ini juga digambarkan melalui pandangan Kejora. Melalui tokoh Kejora pengarang mengungkapkan bagaimana system patriarki yang harus diterima oleh Kejora.
72
C. Analisis Ketidakadilan Gender Pada Perempuan yang Terdapat dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Geni Jora Abidah El-Khalieqy merupakan sastrawan yang berasal dari Jawa Timur. Kekhasan Abidah dalam menulis karya sastra dapat dibedakan dengan mudah ketimbang sastrawan lain, karena Abidah memiliki ciri-ciri khusus, yaitu setiap karyanya baik novel maupun cerpen tidak terlepas dari hal-hal yang bersangkutan dengan agama, khususnya agama islam. Dalam beberapa karyanya Abidah mengangkat tentang posisi perempuan dalam agama dapat dilihat dengan jelas dari beberapa karyanya, seperti, novelnya yang berjudul Perempuan berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003). Dalam karyanya tersebut, Abidah mengkritisi tradisi dan pandangan beragama yang kental dengan budaya patriarki dan cenderung tidak memihak pada perempuan terutama dalam lingkungan pesantren salaf. Pandangan dan pengamatannya mengenai posisi perempuan dalam islam terutama dalam lingkup pesantren ini ia tuangkan dalam cerpen maupun novel. Perempuan Berkalung Sorban (2001) contohnya, Abidah mengungkapkan bahwa tujuannya dalam membuat novel PBS ini adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB.7 Dalam PBS Abidah berbicara tentang budaya patriarki yang sudah mendarah daging. Novel ini, erat kaitannya dengan nilai-nilai kegamaan. “Agama merupakan batu fondasi perbedaan gender.”8 Dari kutipan tersebut terlihat bahwa dalam agama pun membahas tentang gender. Perbedaan ini dibahas dalam beberapa kitab yang biasa dipelajari di pesantren seperti kitab Uqud al Lujani. Menurut penelitian Martin Van Bruinisen, professor Belanda yang meneliti kitab kuning di Indonesia, kitab Uqud al Lujani adalah salah satu kitab yang banyak dipelajari di pesantren. Padahal, kelompok kritis islam Indonesia menyimpulkan bahwa kitab ini sangat tidak ramah pada perempuan
7 8
Wawancara dengan Abidah EL Khalieqy dalam Koran Tempo (Edisi 15 Februari 2009) Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) h. 84
73
karena banyak pernyataan yang dinilai menyudutkan perempuan.9 Pada novel ini dikisahkan seorang perempuan yang ingin mendapatkan pengakuan kesetaraan dari kaum laki-laki. Melalui tokoh utamanya, Annisa, ia menyampaikan kritiknya terhadap Kyai dan kitab-kitab yang berkarakter menyudutkan perempuan. Selain itu, dalam PBS juga membahas hak-hak reproduksi perempuan dengan memunculkan tokoh Samsudin yang sering melakukan kekerasan terhadap Annisa. Setelah ia mendapatkan perbedaan perlakuan yang dilakukan di lingkungan rumah dan pesantren serta mendapatkan kekerasan seksual oleh Samsudin, pada akhirnya Annisa menikah dengan Khudhori yang tidak memandang permasalahan atas dasar gender dan dapat menghargai Annisa sebagai perempuan walaupun pada akhirnya Annisa harus rela kehilangan Khudhori dan hidup sendiri bersama anaknya. Dari cerita di atas sangat jelas bahwa Abidah menginginkan perempuan meraih kemandiriannya sendiri tanpa ketergantungan pada kaum laki laki, dan perempuan harus menguasai ilmu pengetahuan agar ia dapat mandiri. Kematian Khudhori, suami keduanya, yang membuat Annisa harus hidup sendiri dan membesarkan anaknya sendiri menjadi simbol bahwa perempuan harus mampu hidup mandiri tanpa bantuan laki-laki. Keputusan Abidah untuk mengkritik para Kyai dan kehidupan pesantren kitab-kitab yang menyudutkan perempuan ini berdampak negatif. Terlebih setelah novel PBS ini difilmkan, ia dianggap melecehkan agama Islam. Berdasarkan paparan tersebut, sangatlah jelas bahwa keputusan Abidah mengkritik kehidupan pesantren salaf yang terlalu berpatok pada kitab-kitab yang menyudutkan perempuan memunculkan reaksi negatif dari pembaca. Pada tahun 2004 ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Geni Jora yang masih bercerita tentang upaya pembebasan perempuan dari budaya patriarki 9
Asnal Mala, Op,cit.
74
namun Abidah tidak menyampaikan kritiknya secara terang-terangan seperti pada novel PBS. Berikut ini adalah pembahasan mengenai Ketidakdilan Gender yang terlihat dalam novel PBS dan GJ.
1.
Marginalisasi terhadap Perempuan Salah satu bentuk ketidakadilan yang terdapat dalam novel PBS dan GJ adalah marginalisasi. Marginalisasi pada perempuan merupakan batasan-batasan yang diterima oleh perempuan. Nilai-nilai partriarki yang sangat kental membuat kaum perempuan mengalami diskriminasi dalam kehidupannya. Di dalam keluarga, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. “Keluarga merupakan pengaruh pertama dan utama dalam perkembangan seorang anak.”10 Kutipan tersebut menyatakan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi seseorang yang berkarakter seperti apa itu tergantung dari bagaimana cara didikan yang diterapkan oleh orang keluarganya. orang tua selayaknya dapat memperlakukan anak-anak mereka tanpa melakukan diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Dalam PBS disinggung bagaimana cara didik orang tua yang selalu membeda-bedakan perlakuan untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini dialami oleh tokoh utama yang selalu mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya, seperti pada kutipan berikut: “Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran dalam kuasanya, main bola, dan main layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka, mengiris
bawang hingga mataku pedas
demi kelezatan
dan
kenyamanan perut mereka.” (PBS. h. 23) Kutipan tersebut bercerita tentang bagaimana tokoh utama mendapatkan perlakuan berbeda yang dilakukan oleh ayahnya. Sikap tidak suka akan perbedaan perlakuan 10
Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara, (Jakarta, Kompas, 2010) , h. 158.
75
yang diterima, ditunjukan oleh sikap tokoh utama yang sering melanggar aturan-aturan yang ada. Sikap-sikap yang ditunjukan oleh tokoh utama bermakna bahwa ia inginkan pembebasan dari budaya patriarki yang ada di lingkungannya. Ia tidak menerima hanya karena alasan ia merupakan seorang anak perempuan membuat ia diperlakukan berbeda. Pengambilan latar tempat di daerah Jawa juga mempengaruhi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan pada novel ini. “Dalam konstruksi budaya Jawa, munculnya kecenderungan boy preference (lebih berpihak pada anak laki-laki). Kecenderungan tersebut akhirnya menimbulkan ketidakadilan yang terefleksi dalam perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan.”11 Seperti yang dijelaskan pada kutipan tersebut, bahwa dalam budaya masyarakat Jawa anak laki-laki lebih diutamakan dan dihargai kebebasannya daripada anak perempuan. Ini pula yang terjadi dalam novel PBS yang mengambil latar di daerah Jawa Timur. Sikap yang ditunjukkan oleh Annisa menunjukkan bahwa ia memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil, meskipun ia seorang perempuan. Ia tidak menerima perlakuan orang-orang di sekitarnya yang menganggap perempuan sebagai makhuk lemah. Perlakuan orang-orang terhadap perempuan tentunya bertentangan dengan Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:
شعُىبًا ُ ْجعَلّْنَاكُم َ َيَا أَ ُيهَا الّنَاسُ إِّنَا خَلَقّْنَاكُمْ مِنْ َذ َكرٍ وَأُّنْثَىٰ و ٌّن اللَهَ عَلِيم َ َِوقَبَائِلَ لِ َتعَا َرفُىا ۚ إِّنَ َأ ْك َر َمكُمْ عِّنْدَ اللَهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إ ٌخَبِير
11
Rahmawati dalam Amiroh Ambarwati, Perspektif Feminis dalam Novel Perempuan di Titik Nol Terjemah Novel Imra‟atun‟inda Nuqtah Karya Nawal El Sadaawi dan Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy. (Muwazah: 2009)., h. 27
76
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah iialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. alHujurat/49;13). Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa hubungan antara manusia dan laki-laki diatur oleh norma agama. Ayat tersebut memberi penjelasan bahwa pada dasarnya manusia semua diciptakan sama, meskipun berasal dari bangsa, suku, budaya yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan perlakuan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar Annisa, yang membeda-bedakannya dengan saudara laki-lakinya. Dalam Al Qur-an pun dijelaskan bahwa perempuan dan laki laki pada dasarnya sama, yang membedakan antara keduanya hanyalah iman ketakwaannya. Jadi tak seharusnya batasan-batasan terhadap kaum perempuan itu dibuat. “Al-Qur‟an sangat menekankan nilai keadilan, kesetaraan dan keharmonisan. Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi semesta alam, tentu anti rasialisme dan menolak diskriminasi.”12 Kembali pada pembahasan terhadap marginalisasi pada perempuan, hal ini juga terlihat ketika Samsudin melakukan praktek poligami secara terbuka. Meskipun dalam hukum islam poligami diperbolehkan, bukan berarti suami boleh melakukan praktek poligami seenaknya. Tokoh utama dalam novel ini dipoligami dengan alasan suami yang ingin menyakiti istrinya. Ia kemudian melakukan perselingkuhan yang membuat wanita lain ini mengalami kehamilan dan akhirnya meminta pertanggungjawaban Samsudin. Apalagi dalam melakukan praktik 12
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012) h. 26.
77
poligaminya, Samsudin tidak bisa berlaku adil ketika memperlakukan istri pertama dan istri keduanya. Dua tahun kemudian Abidah kembali menulis novel yang bertemakan sama dengan Perempuan Berkalung Sorban, yaitu novel Geni Jora. Marginalisasi juga terjadi pada tokoh utama GJ yaitu, Kejora. Tidak jauh berbeda dengan penggambaran Annisa pada PBS, pada GJ Abidah menggambarkan Kejora selalu mendapatkan diskriminasi dari neneknya. Ia selalu dinomorduakan dari adik laki-lakinya, Prahara. Perlakuan
nenek
menyebabkan tidak
yang
cenderung
adanya
memarginalkan
perempuan
penghargaan terhadap prestasi yang
diperoleh perempuan. Oleh karena itu, Kejora selalu termotivasi untuk melawan ketidakadilan tersebut, seperti tampak pada kutipan berikut: “Ini kah nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun
ranking pertama di dunia rankingmu, kau adalah
perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.” (GJ. h. 82) Sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan yang didapatnya, Kejora selalu belajar dan terus meningkatkan prestasinya. Pada GJ, Abidah juga mengangkat tentang praktik poligami. Di sini yang melakukan praktik poligami adalah ayah Kejora. Namun, penggambaran praktik poligami dalam GJ lebih baik dari penggambaran praktik poligami dalam PBS. Dalam GJ alasan ayah Kejora melakukan praktik poligami adalah karena istri pertamanya tidak bisa mendapatkan keturunan dan ayah Kejora memperlakukan kedua istrinya dengan adil. ”Semuanya lebih dari cukup, Sayang. Tak ada sesuatu pun yang kurang. Allah melimpahkan segala kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang tak terhingga pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri” (GJ. h. 102)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh ayah mampu berlaku
adil dalam praktik poligaminya. Dilihat dari konsep ceritanya, tokoh ayah memiliki sifat yang jauh berbeda dengan tokoh Samsudin dalam PBS. Sikap tokoh ayah Kejora yang melakukan praktik poligami dikarenakan
78
istri pertamanya tidak mampu memberikan keturunan ini lebih masuk akal dan dapat ditolerir daripada sikap Samsudin yang sengaja melakukan perselingkuhan dan praktik poligami untuk menyakiti Annisa. Walaupun begitu terlihat jelas sikap Abidah menunjukkan bahwa “poligami sebagai keadaan darurat, dapat dilakukan asal syaratsyaratnya dapat dipenuhi.”13 Kutipan tersebut menyatakan pandangan Abidah bahwa sesungguhnya poligami dapat dilakukan jika memang dalam keadaan yang terdesak seperti dalam PBS ketika Kalsum datang ke Annisa untuk minta dinikahi oleh Samsudin karena dirinya sudah terlanjur hamil. Dan dalam GJ, ayah Kejora melakukan praktik poligami karena tidak memiliki keturunan dari istri pertamanya. Walaupun begitu praktik poligami juga harus dilakukan dengan cara yang adil. M Quraish Shihab dalam Wiyatmi menyatakan bahwa “poligami itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya.”14 Dari kutipan di atas terlihat bahwa poligami itu ada dan boleh dilakukan pada saat-saat terdesak saja, dan itu pun harus dengan ketentuan-ketentuan yang ada, tidak bisa sembarangan melakukan poligami. Selain itu, pada GJ digambarkan juga sikap Kejora yang menolak jika dia harus dimadu. Hal ini menunjukan pada dasarnya tidak ada wanita yang menginginkan dimadu. Berbeda dengan sikap Annisa yang tidak dapat berbuat apa-apa saat ia harus dimadu. Dilihat dari konsep cerita, tokoh Kejora dalam GJ memiliki sifat yang hampir sama dengan Annisa dalam PBS. Tetapi yang membedakan antara Annisa dalam PBS dengan Kejora dalam GJ adalah pada sikap Annisa yang pasrah dan menerima begitu saja untuk dijodohkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya, dan juga menerima keputusan Samsudin berpoligami dikarenakan ia sama sekali tidak mencintai Samsudin. Berbeda dengan Kejora yang dibebaskan untuk memilih calon 13 14
Wiyatmi, op.cit, h. 169 Ibid., h. 170
79
pendamping hidupnya sendiri, ia juga bersikeras menolak poligami dengan alasan apa pun. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya, yaitu Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003) Abidah selalu mengangkat isu diskriminasi yang terjadi pada perempuan dan praktik poligami yang biasa dilakukan laki-laki. Dalam penceritaannya, Annisa dan Kejora memiliki perbedaan dalam menuntut kesetaraan. Tokoh Annisa dalam PBS mentuntut keadilan dan kesetaraan secara terang-terangan, tetapi di sini tokoh utama tetap menerima keputusan yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya, seperti perjodohan. Namun dalam GJ, Abidah menjadi lebih baik dalam memposisikan tokoh utama. Tokoh utama GJ tidak dijodohkan secara paksa, ia juga digambarkan sebagai perempuan yang tidak mau mengalah terhadap ketidakadilan yang terjadi padanya. Dalam novel PBS dan juga GJ terlihat ada dua pola poligami yang terjadi, pola pertama, poligami dilakukan dengan terbuka, istri pertama terpaksa memberi izin, hubungan antara istri pertama dengan kedua kurang baik. Penyebab poligami dilakukan karena hubungan antara suami dengan istri pertama tidak harmonis, keduanya menikah karena perjodohan dan bukan atas landasan saling mencintai, suami melakukan perselingkuhan yang menyebabkan kehamilan perempuan lain. Dan ini terjadi dalam PBS. Pola kedua, poligami dilakukan dengan terbuka, ada izin istri pertama, kedua istri berhubungan dengan baik. Penyebab poligami karena istri pertama tidak dapat memberikan keturunan. 15 Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah ingin Jika sesuatu ketidakadilan terjadi padanya ia akan membalasnya satu tingkat dari apa yang diterimanya, bahkan ia tak segan-segan untuk berpoliandri jika suatu saat pasangannya melakukan poligami.
15
Wiyatmi, op,cit., h. 162
80
2.
Subordinasi terhadap Perempuan Subordinasi adalah suatu sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin.16 Konsep subordinasi pada perempuan dalam PBS berbeda dengan konsep subordinasi pada perempuan dalam GJ. Dalam PBS subordinasi terlihat dalam lingkup rumah tangga yaitu melalui pendidikan yaitu dengan memprioritaskan anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dibandingkan perempuan, ini disebabkan adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga yang kerjaannya hanya untuk mengurusi urusan rumah tangga. Dalam PBS tokoh utama tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan kedua saudara laki-lakinya boleh. Tapi walaupun demikian Abidah tetap menggambarkan tokoh utama yang memiliki pintar. Tokoh utama yang diceritakan menikah ketika ia baru lulus Sekolah Dasar karena perjodohan, tetap melanjutkan sekolahnya setelah ia menikah. “Maka, sekalipun sudah hampir dua minggu aku absen dari panggilan guru,, kupaksakan diri ini untuk kembali ke sekolah Tsanawiyah. Dengan penuh keyakinan bahwa segalanya akan berubah ketika lautan ilmu itu telah berkumpul di sini, dalam otakku.”(PBS. h. 98) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama tidak ingin putus sekolah lantaran ia sudah menikah. Ia tetap melanjutkan sekolahnya sampai akhirnya Aliyah (setara dengan SMA). Saat Aliyah ia bercerai dengan Samsudin dengan alasan karena selama ini Samsudin selalu berbuat kasar dan tak henti-hentinya menyakitinya. Terlihat bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam PBS tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Pemikiran yang seperti inilah yang coba disingkirkan dengan
16
Rian Nugroho, op. cit., 13
81
penggambaran tokoh Annisa yang teguh kukuh tak menyerah untuk terus bersekolah. Peranan orang tua yang seharusnya bisa melindungi hak-hak anak, baik itu anak laki-laki ataupun perempuan, dan memberikan pendidikan yang layak kepada anaknya, tidak memaksakan kehendak orang tua terutama dalam pernikahan dan pemilihan jodoh. Anak perempuan memiliki kebebasan sendiri menentukan pasangan hidupnya, dan orang tua hanya cukup memberikan nasihat dan pertimbangannya. Semua hal itu tidak terlihat dalam novel ini yang hampir semua tokoh perempuannya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi, dan pemaksaan pernikahan yang dilakukan oleh orang tua tokoh utama. Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora karya Abidah El Khalieqy terlihat penggambaran yang berbeda mengenai pendidikan untuk perempuan. Dalam GJ dijelaskan bahwa pendidikan bagi wanita pun penting. Ini ditunjukkan dari keadaan Kejora yang sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuntut ilmu meskipun ia adalah seorang perempuan. Berbeda dengan PBS yang hampir semua tokoh perempuannya tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi. Dalam GJ tokoh perempuan di sini mendapatkan dukungan untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi, seperti pada kutipan berikut: “Kami mau les, Om.” Aku menjawab “Mau les? Les apa?” “Les bahasa Arab.” “Masa? Kalian mau jadi TKW?” Idih! Om norak. Kami sih mau masuk pesantren, bukan jadi TKW Om.” “Oh...begitu. hebat, dong. Ngomong-ngomong bukannya kalian selama ini juga tinggal di pesantren?” (GJ. h. 105) Kutipan di atas menyatakan bahwa dari kecil Kejora dan Lola sudah dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Bahkan
82
sampai mengikuti les agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan. Walaupun biasanya mereka tidak pernah diijinkan untuk keluar dari rumah tapi untuk menuntut ilmu mereka diijinkan untuk membuka gerbang rumahnya. Penggambaran perempuan yang sulit mendapatkan pendidikan yang diperlihatkan dengan sangat jelas di PBS tidak terlihat dalam novel GJ. Selain itu, melalui tokoh Omi (ibunda Zakky) dijelaskan bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Abidah juga memberikan pandangannya tentang pendidikan dalam tradisi Syi’i, yaitu pendidikan bagi perempuan lebih penting daripada pendidikan bagi laki-laki, seperti pada kutipan berikut: “Akan sangat berbeda jika sudah membicarakan masalah pendidikan. Omi Ida banyak
dipengaruhi
pernikahan
Fathimiyah
yang
justru
tidak
mengkoloni Turki. Dalam tradisi Syi‟I, pendidikn untuk perempuan bagi perempuan lebih utama dibandingkan pendidikan bagi laki-laki.” (GJ. h. 189)
Kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah menambahkan pandangan
tentang kebudayaan yang mengutamakan pendidikan untuk perempuan dibandingkan laki-laki melalui tokoh Omi Ida yang merupakan ibu dari Zakky. Melalui tokoh Omi
Ida, Abidah ingin menyampaikan
pandanganya bahwa pendidikan juga sangat penting bagi kaum perempuan. Pemilihan Negara Timur Tengah sebagai tempat untuk melanjutkan sekolah karena Negara-negara di Timur Tengah dapat dijadikan sebagai simbol kebebasan. Seperti kutipan berikut. Di sini kutemukan orang Afrika bergandengan tangan dengan orang Prancis. Orang Prancis bermain football bersama orang Arab dan orang Yahudi menjual taring macan pada orang Herber. Sementara orang Herber berdesak-desakan memotong permadani Tazenakht dengan permata asli untuk ditawarkan kepada orang Afrika. Berduyun-duyun manusia dari berbagai ras yang berkulit hitam, berkulit cokelat, dan berkulit putih, meramaikan kebidupan dan membentuk kebudayaan Maroko. (GJ. h. 12—13)
83
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam menggambarkan Subordinasi pada perempuan dalam PBS dan GJ. Dalam PBS, digambarkan bahwa pendidikan bagi perempuan tidaklah penting, oleh karena itu tokoh-tokoh perempuan dalam PBS tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sedngkan dalam GJ tokoh-tokoh perempuannya dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke luar negeri. Selain itu dalam PBS tokoh utamanya dipaksa untuk menerima perjodohan oleh orang tuanya yang berujung pada perceraian. Sedangkan dalam GJ tokoh utamanya diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pendamping hidupnya. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan saat menggambarkan subordinasi pada perempuan kedua novelnya, yaitu Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Dalam PBS Abidah selalu mengangkat isu subordinasi yaitu mengenai pendidikan yang tidak terlalu penting bagi perempuan. Akan tetapi pada GJ, Abidah tida menyinggung subordinasi mengenai pendidikan. Karena semua tokoh perempuan dalam GJ berpendidikan tinggi.
3.
Stereotip terhadap Perempuan Stereotip adalah pelebelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu.17 Stereotip-stereotip itu mencerminkan kesan umum mengenai bahasa perempuan dan laki-laki. Stereotip-stereotip tersebut jarang sekali berpihak pada perempuan.18 Dalam PBS dan GJ, terdapat
pandangan yang berbeda tentang
stereotipe yang terjadi pada perempuan. Bentuk stereotip yang ditampilkan dalam PBS yaitu anggapan bahwa perempuan itu penggoda, seperti pada kutipan berikut: ”…… keakrabanmu dengannya 17
Riant Nugroho, op.cit., h. 12 David Graddol dan Joan Swann, Gender Voice: Telaah Kritis, Relasi Bahasa Gender, (Pedati: 2003), h. 2 18
84
akan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Terlebih sekarang ini. Ingatlah, bahwa kau adalah seorang janda, Nisa. Dan statusmu itulah yang membuat pikiran orang dalam menilaimu. Jika sedikit saja kau lengah, mereka akan berebut menggunjingkanmu. ” (GJ. h. 145) dari kutipan berikut terlihat bahwa budaya dalam masyarakat PBS memberikan stereotif yang negatif bagi perempuan, yaitu perempuan sebagai makhluk penggoda. Ini ditunjukkan dari tokoh Annisa yang mendapatkan pelbelan negatif itu hanya karena ia seorang perempuan dan seorang janda, sehingga msyarakat menyimpulkan bahwa ia seorang perempuan penggoda saat ia sering pergi berdua dengan Khudhori. Selain itu, adanya keyakinan di masyarakat bahwa tugas perempuan
adalah
untuk
melayani
suami
berakibat
pada
menomorduakan pendidikan bagi perempuan, hal ini terlihat pada kutipan berikut: “.....dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan memiliki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut, atau di mana saja asal bisa mendatangkan rezeki halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak.....” (PBS. h. 27)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa budaya yang ada membentuk anggapan bahwa dalam rumah tangga yang seharusnya mencari nafkah adalah laki-laki (suami) dan tugas perempuan (istri) adalah mengurus segala keperluan rumah tangga dan melayani. Hal ini membuat stereotip tentang pendidikan untuk perempuan tidak terlalu diutamakan. “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorongan kitab kuning. Kami juga tidak terlalu terburu. Ya, mungkin menunggu si Udin Wisuda kelak.” (PBS. h. 81) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pandangan orang-orang terhadap pendidikan untuk anak perempuan pada masa itu
85
tidaklah penting. Karena perempuan bukanlah pemimpin dalam keluarga yang berkewajiban untuk mencari nafkah, jadi bagi mereka (perempuan) pendidikan bukanlah hal yang utama yang harus mereka dapatkan. Tetapi penggambaran Abidah mengenai sosok Samsudin yang malas, tidak bertanggung jawab dan kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan seakan melelehkan stereotip tentang suami yang seharusnya mencari nafkah di luar rumah, sesuai dengan kutipan beriku: “sekalipun sarjana, Samsudin tidak bekerja atau belum mendapat pekerjaan.” Kutipan tersebut telah mematahkan stereotip yang ada pada novel ini, karena sebagai laki-laki Samsudin benar-benar tidak bisa diandalkan. Untuk biaya hidup mereka pun masih mengandalkan orang tua Samsudin. Dua tahun kemudian, dalam novelnya yang berjudul Geni Jora, Abidah juga memperlihatkan pelebelan yang negative untuk kaum perempuan, seperti pada kutipan berikut: “Ayah akan berpihak pada mereka, sebab mereka orang kepercayaannya. Belum lagi kalau Nenek tahu, ia akan memojokanku, memojokkan kita berdua.sebab itu, jaga mulutmu.” (GJ. h. 91) Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Lola yang sudah dilecehkan oleh kedua pamannya namun tak mau memberitahu kepada siapa pun perihal tersebut, ini dikarenakan ia beranggapan bahwa Ayah dan Neneknya tidak akan membelanya, bahkan akan menyalahkannya. Anggapan seperti inilah yang diangkat oleh Abidah dalam GJ. Anggapan yang mengatakan bahwa pelecehan seksual yang sering terjadi pada perempuan tidak terlepas dari kesalahan perempuan. Dalam hal ini perempuan menjadi korban yang disalahkan. Selain itu, dalam GJ juga dijelaskan bahwa laki-laki adalah pihak yang nantinya akan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarganya. Namun dalam GJ, pentingnya pendidikan untuk
86
perempuan juga mendapat porsi yang sama dengan pentingnya pendidikan bagi laki-laki, sehingga semua tokoh perempuan dalam GJ bersekolah sampai jenjang yang tinggi. Penggambaran tokoh utama sebagai salah satu mahasiswa yang sedang kuliah di Damaskus. Selain Kejora, Elya, dan Lola tokoh perempuan dalam GJ juga melanjutkan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi. Ini berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam PBS yang mayoritasnya pendidikan terakhirnya SD, SMP, ataupun SMA. Dalam PBS hanya Annisa yang memperjuangkan haknya untuk terus mendapatkan pendidikan yang sama dengan lakilaki. Dalam GJ Abidah mencoba menunjukkan pandangannya pada pembaca bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan lakilaki dalam hal mendapatkan pendidikan yang yang tinggi juga layak. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam PBS dan GJ samasama mengangkat isu tentang stereotip yang sering dipasangkan pada perempuan, perempuan sebagai makhluk penggoda yang, dan walaupun mereka mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, itu tetap saja perempuanlah yang akan dipersalahkan. Gambaran seperti inilah yang masih kita temui dalam kehidupan nyata. Perbedaan terlihat ketika Abidah menggambarkan laki-laki sebagai pencari nafkah yang berakibat pendidikan bagi perempuan dinomorduakan dalam PBS. Namun dalam GJ adanya anggapan bahwa laki-laki merupakan orang yang mencari nafkah dalam keluarga tidak membuat hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan menjadi hilang. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya, yaitu PBS dan PBS Abidah mengangkat isu pelebelan negatif yaitu pelebelan bahwa perempuan merupakan makhluk penggoda. Dalam PBS, Annisa yang merupakan janda dianggap sering menggoda Khudhori karena mereka berdua sering pergi keluar bersama. Begitu
87
pula dalam GJ, Lola yang dilecehkan oleh kedua pamannya, tidak berani melaporkannya kepada ayahnya karena takut nantinya ia yang akan disalahkan. Selain itu anggapan bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah membuat perempuan sulit untuk mendapatkan haknya di dunia pendidikan dalam PBS, sedangkan dalam GJ, anggapan seperti itu tidak mempengaruhi pendidikan yang akan mereka (perempuan) jalani. 4. Kekerasan (Violence) terhadap Perempuan Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Dikaitkan dengan novel PBS dan GJ, diceritakan kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima tokoh utama. Dalam PBS, jenis kekerasan yang pertama kali munculkan adalah tindakan pelecehan yang dialami oleh tokoh utama dan sahabatnya ketika mereka pergi ke bioskop. Di sini detegaskan bahwa banyak sekali tindak pelecehan yang terjadi pada perempuan di tempat umum, seperti pada kutipan berikut: “’Maaf mungkin lain kali. Sebab seseorang sedang menunggu kami di ujung jalan itu.’ Aku menirukan Aisyah lalu secepatnya pergi ke utara. Tetapi lelaki itu tidak gampang dibohongi, ia menangkap tanganku dan berusaha meringkus tubuhku...” (GJ. h. 45) Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pelecehan pada perempuan dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja.
Selain itu, pada PBS digambarkan bahwa tokoh utamanya yang selalu mendapatkan kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual. Kekerasan seksual yang dialami Annisa adalah pemerkosaan oleh suaminya sendiri.
Dikatakan sebagai perkosaan, padahal dilakukan
88
oleh suami sendiri ini karena hubungan suami-istri dibangun atas dasar mencintai dan saling memahami, tidak ada paksaan di dalamnya apalagi jika perilaku seksual yang dilakukan itu menyimpang, ini bisa dikategorikan dalam kasus pemerkosaan. Di sini Abidah mengangkat mengenai pemerkosaan dalam perkawinan dengan memunculkan tokoh utama yang selalu mendapatkan semua hal itu dari suaminya. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut. Dengan paksa pula ia membuka bajuku dan semua yang nempel di badan. Aku meronta kesakitan tapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku sehingga semuanya menjaid tidak tertahankan. Seperti ada peluru karet yang menembus badanku. (PBS. h. 90) Kutipan di atas menunjukan bahwa tokoh utama dalam PBS mendapatkan kekerasan seksual oleh suaminya sendiri. Sehingga menimbulkan trauma yang besar kepapa tokoh Annisa.
Samsudin
sebagai suami merasa mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas Annisa, ia tidak peduli bagaimana perasaan Annisa saat itu. Hal ini bertentangan dengan Al-Quran surat Annisa ayat 19 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. Annisa/4: 19) Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa seorang suami haruslah memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik. Tidak dengan paksaan apalagi dengan kekerasan. Ini sangat bertolak belakang pada
89
penggambaran suami (Samsudin) pada PBS yang memperlakukan dan menggauli istrinya secara paksa dan kasar. Selain itu Annisa juga mendapatkan kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh Samsudin. Anissa mendapatkan kekerasan fisik ketika ia mulai memberontak terhadap prilaku Samsudin yang menyimpang. Seperti yang terlihat dari kutipan berikut: “Plak! Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubu-tubi hingga pipi dan pundakku lebam dan kebirubiruan.” (GJ. h.111). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Annisa mendapat tindak kekerasan oleh suaminya sendiri hanya karena ketika Samsudin menginginkan berhubungan intim dengan Annisa tanpa ditutupi selimut, sedangkan Annisa menginginkan selimut itu membuat Samsudin geram. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Karena pada dasarnya pemerintah pun melindungi perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui sebagaimana dikemukakan dalam: Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.19 Kekerasan yang terjadi pada Annisa membuatnya mengalami trauma. Selain kekerasan seksual dan fisik dari Samsudin, ia juga sering dicemooh dan dimaki. Bahkan yang lebih keterlaluan lagi, Annisa diperlihatkan oleh Samsudin cara berhubungan suami istri dengan istri barunya, Kulsum. Samsudin melakukan hubungan seksual dengan istri keduanya tepat dihadapan Annisa dan hal ini menimbulkan perasaan 19
Ninik Rahayu penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uupkdrt.html. diunduh pada tabffal 10 Januari 2014 pukul 07. 50 WIB
90
yang menjijikkan dalam jiwa Annisa, dan pada akhirnya ini menjadi tekanan mental yang dialami oleh Annisa ketika menikah dengan Samsudin. Lewat tokoh Annisa, Abidah ingin memberi gambaran tentang bagaimana seorang istri yang selalu di siksa secara lahir maupun batin oleh suaminya. Dalam PBS, Abidah memunculkan sosok tokoh utama yang selalu melawan kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh suaminya. Sosok Samsudin yang digambarkan sebagai putra seorang Kyai dan telah menjadi sarjana hukum, namun perangainya tidaklah seperti orang yang mengerti agama dan hukum. Menunjukkan bahwa tidak semua orang yang berasal dari keluarga Kyai atau pun ulama merupakan orang yang arif yang mengerti dan mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora. Abidah mengangkat pelecehan seksual pada perempuan yang sering terjadi. Hampir sama dengan PBS, dalam GJ tokoh utama beserta kakaknya mengalami tindak pelecehan seksual. Jika dalam PBS tokoh utama dan sahabatnya dilecehkan oleh orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dan pelecehan itu terjadi di tempat umum, dalam GJ pelecehan itu dilakukan oleh pamannya sendiri, dan terjadi di rumah Kejora. Seperti yang ditunjukkan pada kutipan berikut. ..sore itu senja hampir turun, tetapi pandanganku masih terlalu jelas untuk mengintip tangan paman Hasan yang memegang pundak Lola, dan secepat kilat Lola menepisnya. Kulihat paman mengucapkan sesuatu dan Lola menggeleng. Paman bangkit berdiri di belakang Lola tetapi tangannya menjulur cepat ke payudaranya. Lola tersentak, tetapi paman Khalil di sampingnya malah tertawa. (GJ. h. 90) Kutipan di atas menyatakan bahwa penegasan pandangan Abidah tentang pelecehan yang terjadi pada perempuan. Memiliki hubungan darah tidak menutup kemungkinan untuk untuk melakukan tindak
91
pelecehan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi penghuninya berubah menjadi tempat yang tidak aman bagi penghuninya. Dalam novel ini dominasi patriarki yang terwujud dalam tindak semena-semena dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan dilakukan oleh orang terdekat (keluarga) sendiri.. Pelecehan seksual yang sering dilakukan oleh kedua paman Kejora terhadap
Kejora dan Bianglala
menunjukkan adanya dominasi
patriarki tersebut. Kejora dan Bianglala tidak mau melaporkan perbuatan tersebut kepada ayahnya, karena mereka tidak yakin ayahnya akan berpihak padanya. Oleh karena itu, keduanya bersepakat pada suatu hari harus dapat membalas perbuatan tersebut. “Kau akan membalasnya? Kapan?” “Nanti, tunggu saja,” jawab Lola dingin, namun tegas dan pasti. Aku merinding, tak kusangka, kakakku Bianglala yang pendiam, ternyata dalam dirinya menyimpan magma. Tak kubayangkan saat magma itu meledak, seratus prahara bakal menderak-derak, melantakkan paman Hasan si biludak burik. Aku senang mendengar ucapan kakakku dan “hari pembalasan” terus kutunggu-tunggu. (GJ. h. 122) Kutipan
di
atas
menggambarkan
bahwa
Jora
dan
Lola
menunjukkan sikap perlawanan yang ingin dilakukannya, untuk membalaskan dendam kepada pamannya yang telah melecehkan ia dan adiknya. Tetapi di sini tidak diceritakan bagaimana Lola membalaskan dendamnya. Di sini hanya di jelaskan ketika sudah besar saat Kejora bertemu dengan pamannya, cara pandangannya kepada Kejora penuh hormat dan rasa takut. Seakan pernah terjadi suatu kejadian antara mereka. Dari kedua novel karyanya, dapat disimpulkan bahwa pengarang mengangkat isu kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam bentuk pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Terdapat perbedaan pandangan kekerasan yang terlihat dalam PBS dan GJ.
92
Dalam PBS Abidah mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pemerkosaan pada perempuan, serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Sedangkan dalam GJ Abidah hanya mengangkat peleceh seksual yang sering terjadi pada perempuan. Kekerasan yang digambarkan dalam PBS sering kita jumpai dalam realitas kehidupan sosial yang ada, di mana hak-hak reproduksi perempuan seakan dicabut dan perempuan yang kehilangan hak-hak reproduksinya diperlakukan secara semena-mena.
5. Beban Kerja Terhadap Perempuan Bentuk ketidakadilan yang terakhir terdapat dalam PBS dan GJ adalah beban kerja. Anggapan yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.20 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa sudah sejak lama anggapan mengenai perempuan yang hanya boleh memiliki pekerjaan yang hanya di area domestik saja Menurut Sugihastuti Citra wanita dalam aspek keluarga dgambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.21 Pencitraan perempuan yang lemah lembut membuat dia harus berada di sektor domestik. Pandangan inilah yang membuat perempuan sulit bergerak di ruang publik. Dikaitkan dengan novel PBS terdapat gambaran mengenai beban kerja ditunjukan melalui tokoh utama dalam novel PBS. Dalam PBS tokoh utama yang dari kecil sudah ditekankan bahwa pekerjaan perempuan adalah di rumah menjadi ibu rumah tangga, seperti pada 20
Riant Nugroho, op,cit, h. 16 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), h. 123. 21
93
kutipan berikut: “Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran dalam kuasanya. Main bola, layang-layang, sementara aku disekap di dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka, mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan kenyamanan perut mereka...” (PBS. h. 49)
Kutipan di atas menyatakan bahwa beban kerja pada perempuan memang sekitar pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lainnya. Sebenarnya pekerjaan rumah tangga itu bukanlah kodrat yang harus dijalani oleh perempuan seperti yang dijelaskan oleh Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat “Memang benar perempuan mempunyai kodrat haid, mengandung, melahirkan dan menyusui, tetapi mengasuh anak yang dikandung bukanlah kodrat. Begitu pula memasak, mencuci dan seterusnya adalah bukan kodrat.”22 Dari kutipat tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan perempuan untuk memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya bukan merupakan kodrat yang diterimanya dari lahir. Tapi semua itu adalah sistem budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini juga diperlihatkan pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, seperti pada tokoh Lek Umi dan ibu Annisa yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun mereka dalam keadaan lelah. Dalam novel ini ditunjukkan juga bahwa pekerjaan dalam sektor domestik bukan merupakan kodrat yang harus diterima perempuan dengan memasukkan tokoh ibu Dita yang selalu bekerja mencari nafkah sedangkan suaminya hanya bermalas-malasan di rumah di awal cerita PBS. ”Tetapi ibunya Dita juga pergi ke kantor, pak guru, dan tidak pernah ke pasar.” “Oya? Siapa itu Dita?” “Tetangga saya, pak.”
22
Lusi Margiyani dalam Muhammad Hidayat Rahz, Perempuan dengan Bebaskan Tumbuh dalam Perempuan yang menuntun, (Ashoka Indonesia, 2000) h. 91
94
“Baik.. baik.. jad anak-anak, memang ada seorang ibu yang juga pergi ke kantor, mungkin karena suaminya sudah meninggal sehingga si ibu harus mencari nafkah sendiri untuk....” “Tetapi ayahnya Dita belum meninggal, pak. Ayahnya Dita memiliki banyak burung dan setiap burungnya diberi makan burung dan mengajarinya kalimat... rezeki nomplok, rezeki nomplok, rezeki nomplok.” (PBS. h. 25—25) Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bisa mencari nafkah di luar sana, tetapi di perempuan juga bisa melakukannya. Dengan memunculkan cerita ibu Dita yang membanting tulang untuk mencari nafkah sedangkan ayahnya hanya asik-asikan di rumah dengan burung-burung peliharaannya. Sindiran yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa beban kerja yang dialami perempuan kian bertambah ketika suami yang seharusnya mencari nafkan malah bersantai-santai di rumah, dan menganggap semua burung-burung yang dipeliharanya itu yang mendatangkan rezeki. Pandangan lain tentang berban kerja oleh perempuan ditunjukkan ketika tokoh Annisa menikah dengan Khudori. Annisa tidak menanggung beban kerja rumah tangga sendiri. Sebelum ia mempunyai pembantu rumah tangga, Khudhori selalu membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. “Nisa... Nisa... eh, tak kulihat suamimu sejak tadi, apa ia sedang pergi? Sedang nyuci popok di belakang, sebentar lagi juga selesai. Maklum PRT-nya belum dapat juga, Mbak. Mungkin besok didatangkan dari kampung, ibu yang carikan..” (PBS. h. 230) Pada kutipan tersebut terlihat beban rumah tangga tidak ditanggung oleh Annisa sendiri, tetapi terkadang dibantu juga oleh suaminya dan itu semua mereka lakukan bersama sebelum datangnya pembantu rumah tangga. Karena setelah adanya pembantu rumah tangga pekerjaan Annisa lebih ringan lagi. Dua tahun kemudian dalam novelnya GJ, terlihat perbedaan yang terjadi dalam penceritaan beban kerja untuk perempuan. Dalam GJ
95
tokoh-tokoh perempuannya tidak diberikan beban kerja yang menumpuk seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan dalam PBS, karena di sini diceritakan bahwa keluarga Kejora adalah keluarga yang kaya raya, dan mereka mampu mempekerjakan tiga pembantu untuk satu rumah. “Kini Wak Girun, dan Wak Tiwar dua dari enam pembantu kami, telah siap dengan lawakannya sebelum mempertontonkan kobolehannya untuk menari zapin.” (GJ. h. 86) Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam GJ, Abidah tidak menyinggung masalah beban kerja terhadap perempuan. Tidak semestinya semua beban kerja di di terima oleh pihak perempuan. Apalagi jika perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga, maka beban kerja itu akan semakin menumpuk dan membebani. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ada perbedaan pengangkatan masalah beban kerja pada perempuan dalam PBS dan GJ. Dalam PBS, Abidah menceritakan bahwa tokoh utama dan tokoh-tokoh perempuan yang ada di PBS ini diberikan beban kerja yang amat banyak. Seluruh pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan oleh perempuan tanpa adanya campur tangan laki-laki. Ini dikarenakan faktor lingkungan dan kebiasaan mereka yang memang patuh pada budaya patriarki. Tetapi melalui tokoh Khudhori yang akhirnya menjadi suami Annisa. Pandangan tersebut mulai ditepiskan. Sebagai suami Annisa Khudhori tidak segan segan untuk membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berbeda dengan GJ, dalam GJ, tokoh perempuan tidak diberikan beban kerja. Ini sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam GJ digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa, berwibawa, dan menguasai ilmu agama. Jadi dalam ceritanya tidak ada penggambaran beban kerja terhadap perempuan. Dari paparan mengenai ketidakadilan gender terhadap perempuan yang meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, violence, dan beban
96
kerja dalam PBS dan GJ, dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender yang selalu dibahas dan muncul dalam kedua novel tersebut meliputi, diskriminasi terhadap perempuan, praktik poligami yang dilakukan lakilaki, dan pelecehan seksual. Penulis dapat menyimpulkan bahwa pengarang tetap konsisten membahas diskriminasi terhadap perempuan, praktik poligami yang dilakukan laki-laki, dan pelecehan seksual dan itulah isu ketidakadilan gender yang ingin dipertahankan oleh pengarang. Perempuan masih dikurung secara normatif sebagai penunggu rumah, pengasuh anak, dan ’thengak-thenguk’ di depan tungku api. Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah di tengah pasar , di jalan dan kantor. Realitas demikian memperlihatkan bahwa hasil keringat dan darah perempuan bukan mereupakan milik mereka sepenuhnya. Hak-hak reproduksi perempuan, keselamatan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan, masih saja dicuri dan diselewengkan oleh kaum partriarki dan oleh berbagai alasan yang diambil dari ayat-ayat suci, kitab-kitab keagamaan, dan fatwa para Kiai.”23 Kutipan di atas menjelaskan mengapa dalam novelnya Abidah mengangkat tema Ketidakadilan gender terhadap perempuan yang didasarkan nilai-nilai partriarki yang melekat dan penyalahartian ayatayat suci seperti pada surat An-Nisa ayat 3 yang menyatakan laki-laki dapat menikahi empat perempuan dengan berbagai syarat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan pada tidak berbuat aniaya. (QS, An-Nisa; 3) Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan. Dengan diturunkannya ayat ini, seorang muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu.24 Dari kutipan di atas, dapatlah dipahami turunnya ayat itu karena untuk memberi batasan menikah terhadap laki-laki tetapi untuk 23
AD. Eridani, Perawan Kumpulan Fiksi Pembela Perempuan, (Jakarta: Rahima, 2009), h.
24
Wiyatmi, op.cit. h. 157-158.
7.
97
melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki yang terjadi dahulu. Karena dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa jika seseorang hendak melakukan poligami, dia harus bisa berlaku adil pada setiap istrinya, namun pada dasarnya seadil-adilnya pernikahan adalah pernikahan yang monogami. Hal ini yang kemudian diangkat oleh Abidah dalam novelnya PBS.
D. Impikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Pendidikan merupakan salah satu faktor kemajuan bangsa. Bangsa bisa maju karena didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Maka dari itu diperlukan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan pendidikan guna menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Pendidikan berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh setiap individu. Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan, terlihat upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha dengan melakukan beberapa perubahan untuk kemajuan pendidikan, khususnya perubahan dalam kurikulum. Perubahan kurikulum ini bertujuan untuk menjadikan pendidikan semakin berkembang sesuai zamannya. Sebagai proses kemanusiaan manusia pendidikan menjadi esensi untuk memberdayakan manusia sebagai individu yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tonggak kokohnya peradaban bangsa. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra indonesia bidang sastra adalah: 1) Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2) Peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual
98
manusia
Indonesia.
Tujuan
itu
dijabarkan
mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra.
ke
dalam
kompetensi
25
Sesuai dengan tujuan pembelajaran di atas, telihat bahwa peserta didik haruslah mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan. Tujuan ini berhubungan dengan pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik
yang sejalan dengan sistem
pembelajaran di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik, diperlukan campur tangan dari berbagai pihak, terutama pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, memberi arahan, membimbing, dan mendukung peserta didik agar menjadi kepribadian yang baik. Pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik dapat memberikan pembelajaran dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pembentukan karakter juga dapat dilakukan dengan pengenalan saatra kepada peserta didik. Dengan mengajarkan sastra pada peserta didik, diharapkan peserta didik mampu menyerap nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Tetapi pendidik haruslah cermat dalam menentukan karya sastra mana yang bisa dijadikan pembelajaran di sekolah, karena setiap bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang membacanya. Oleh karena itu, pendidik harus pandai dalam memilah dan memilih bacaan mana yang tepat dan mengandung nilai-nilai positif untuk diberikan pada peserta didiknya. Salah satu karya yang cocok dan dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah karya dari Abidah ElKhalieqy. Ia merupakan sastrawan yang dalam setiap karyanya mengandung nilai-nilai religi, moral, sosial dan budaya. Contoh karya Abidah yang dapat menjadi rujukan untuk pembelajaran sastra di sekolah adalah novel PBS dan GJ.
25
Siswanto, op.cit. h. 171
99
Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan latar, dan juga unsur ekstrinsik yang meliputi latar belakan tentang pembuatan karya tersebut. Dalam novel PBS dan GJ, pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membacanya, kemudian menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta mengetahui apa latar belakang penulis membuat novel tersebut. Maka dengan demikian, peserta didik dapat mengambil manfaat dan contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan karakter yang ada pada novel tersebut. Nilai positif dapat dilihat dari penggambaran tokoh utama dalam PBS yang mempunyai rasa ingintahu yang tinggi, ia ilmu pengetahuan yang menjadikannya pandai dan cerdas. Selain itu ia juga mempunyai tekat yang kuat
dan
pantang
menyerah
dalam
menghadapi
masalah
yang
menyudutkannya. Selain itu nilai positif juga dapat diambil dari tokoh Khudhori yang mempunyai sifat bijaksana, tenang dalam menghadapi suatu permasalahan dan berpikiran positif. Apabila kita melihat sikap dari tokoh Samsudin yang pemalas, kasar dan suka memfitnah ini, siswa dapat mengetahui bahwa itu merupakan sifat yang negatif yang jangan sampai ditiru oleh siswa. Nilai positif dalam GJ juga bisa kita ambil dari tokoh Kejora yang memiliki kecerdasan tinggi dan memiliki jiwa kepemimpinan. Ini dapat dijadikan sebagai contoh untuk siswa agar karaktenya dapat terbentuk dengan sifat-sifat pisitif. Dengan mengetahui sikap-sikap dari beberapa tokoh dalam novel PBS dan GJ ini diharapkan peserta didik mampu mengembangkan karakter yang ada di dirinya dan mampu menyerap nilai-nilai positif yang ada. Pada dasarnya pembelajaran pembacaan novel ini diharapkan dapat membantu siswa dalam membentuk karakternya menjadi lebih baik.
99
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Sruktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban meliputi tema yang diangkat dari perjuangan seorang perempuan untuk memperoleh hak dan kebebasan dari budaya patriarki. Alur yang digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Annisa. Selain tokoh utama Annisa, tokoh-tokoh tambahan yang ada pada novel ini adalah, Khudhori, Samsudin, ayah Annisa, ibu Annisa, Rizal, dan Wildan. Latar tempat yang terdapat dalam novel ini yaitu bertempat di daerah Jawa, sedangkan latar waktu terjadinya peristiwa cerita dalam novel adalah pada tahun 1980-an. Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama, tokoh utama. Selanjutnya ialah struktur yang membangun bovel Geni Jora. Tema yang diangkat dalam novel ini adalah tentang gugatan yang menuntut perlakuan yang adil terhadap kaum perempuan dengan tokoh utama Kejora. Tokoh tambahan yang mendukung novel ini adalah, Zakky, Elya, Asaav,Lola, Sonya dan Nenek. Alur yang digunakan pengarang adalah alur maju dengan memunculkan peristiwa batin di dalamnya. Latar tempat yang dipakai dalam novel ini adalah daerah-daerah negara Timur tengah seperti Damaskus, Tangier, dan Cassablanca, selain di negara Timur Tengah, Geni Jora juga mengambil latar tempat di indonesia, yaitu Yogyakarta. Latar waktu pada novel Geni Jora tidak diketahui kapan tepatnya terjadi, hanya menunjukkan malam, siang, sore dan pagi hari saja. Dalam novel ini sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama tokoh utama.
99
100
2. Ketidakadilan Gender yang terjadi pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora dikelompokan menjadi lima aspek. 1) Marginalisasi terhadap perempuan. Diskriminasi pada perempuan sangat terlihat pada kedua novel ini. 2) Subordinasi terhadap perempuan. Dalam hal ini, terlihat perbedaan penyampaian subordinasi pada kedua novel ini. Ini terlihat dari tokoh-tokoh perempuan dalam Perempuan Berkalung Sorban yang tidak berpendidikan tinggi, sedangkan dalam Geni Jora tidak terlihat sama sekali pandangan bahwa perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi karena semua tokoh perempuan dalam Geni Jora digambarkan berpendidikan dan pintar. 3) Stereotip terhadap perempuan. Dalam hal ini Abidah mengangkat pandangan yang biasanya didapatkan oleh perempuan yaitu perempuan sebagai makhluk penggoda. 4) Violence (kekerasan) yang terjadi pada perempuan. Dalam hal ini pengarang mencoba untuk mengungkap kekerasan yang sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan pandangan mengenai kekerasan yang ditunjukkan pengarang pada Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Dalam Geni Jora Abidah tidak mengangkat masalah kekerasan fisik seperti yang terjadi dalam Perempuan Berkalung Sorban. Namun, dalam Geni Jora diceritakan pula pelecehan seksual yang dialami tokoh utama. 5) Beban kerja terhadap perempuan. Beban kerja yang harus diterima oleh perempuan dalam Perempuan Berkalung Sorban tokoh-tokoh wanitanya dibebankan dengan pekerjaan di sektor domestik sedangkan pada Geni Jora tokoh perempuannya tidak dibebankan dengan beban kerja. 3. Ketidakadilan Gender yang terjadi pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XII, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai adalah memahami isi novel dengan kriteria dasar mampu mengidentifikasi tema, alur, penokohan, latar dan sudut pandang serta menemukan
unsur
ekstrinsik
dalam
novel
yang
telah
dibaca.
101
Pembelajaran Sastra melalui pembacaan novel, ini diharapkan dapat membantu siswa dalam menemukan hal-hal yang positif dalam dua karya ini. Hal-hal positif yang terkandung dalam kedua novel ini dapat membantu membentuk karakter siswa. Hal-hal positif yang terdapat pada kedua novel ini adalah sifat tegas yang ditunjukkan oleh tokoh Ayah dalam mendidik anak-anaknya, serta dalam tokoh Annisa yang tegas dalam menghadapi Samsudin. Selain tegas ada juga cerdas dan berwawasan luas, ini ditunjukkan oleh Annisa, dan Kejora yang memiliki kecerdasan dan kritis dalam menanggapi kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya, dan menghadapi kenyataan hidup dengan penuh harapan.
B. Saran Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis: 1. Diharapkan Guru dan mahasiswa program sastra hendaknya dapat memaksimalkan
penggunaan
bahan
pembelajaran
sastra.
Novel
Perempuan Berkalung Sorban dan novel Geni Jora dapat dijadikan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan pendidik dapat memanfaatkan karya sastra ini sebagai media pembelajaran di sekolah. 2. Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam kehidupan di masyarakat. Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan novel yang mengandung nilai-nilai positif dan tidak ada salahnya untuk membaca novel tersebut.
Daftar Pustaka Abrams, M.H. A Glosaary Litertaty Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston. 1981. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2002. Al-Quranul Karim dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syaamil Cipta Media. 2005. Astuti Renggo, Wahyuningsih, Taryati. Pengetahuan Sikap, Kepercayaan, dan Perilaku Generasi Muda Terhadap Budaya Tradisional di Kota Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1998. AD, Eridani. Perawan: Kumpulan Fiksi Pembela Perempuan. Jakarta: Rahima. 2009 Edriana Noerdin, Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute. 2006. Emzir. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitaf dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja Trafindo Persada. 2008. Fayumi, Badriyah dkk. Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam). Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI. 2001. Graddol David dan Joan Swann. Gender Voice: Telaah Kritis Relasi Bahasa Gender. Pedati. 2003. Ikram, Achadiati, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008.
102
103
Kamilah, Siti Rizkia. Skripsi, Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban. Jakarta.2010. Khalieqy Abidah El. Geni Jora. Bandung: Qanita. 2009. Khalieqy Abidah El. Mikraj Odyssey. Bandung: Qanita. 2008 Khalieqy Abidah El. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarya: Araska. 2009 Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012. Mala,
Asnal.
Perspektif
Gender
dalam
Pendidikan
Pesantren,
https://groups.yahoo.com/neo/groups/IslamProgresif/conversations/topics /370 diunduh pada 27 Maret 2014, pukul 15.45 WIB. Margiyani, Lusi dalam Muhammad Hidayat Rahz, Perempuan dengan Bebaskan Tumbuh dalam Perempuan yang Menuntun, Ashoka Indonesia. 2000. Moeleong, lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rusdakarya. 2001. Mosse Cleves Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 2007. Murai Yusuko, Kathleen Martinez, dan Meriem Boulekbod, Pandangan Kaum Muda
Perubahan
Kebudayaan
di
Maroko
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20170&lan=ba&sp= 0 , diunduh 13 Maret 2014 pukul 20.05 WIB. Ninik Rahayu, Penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undangno-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tanggauu-pkdrt.html. diunduh 10 januari 2014 pukul 07. 50 WIB.
104
Noerdin, Edriana dkk. Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute. 2006. Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 2000. Nurhayati, Eti. Psikologi Sastra dalam Berbagai Perspektif. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Nurkhoiron, M. Jilbab, Komodifikasi, dan Pergulatan Identitas Islam. Depok: Srinthil Kajian Multikultural Desantara. 2009. Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-bulir Sstra dan Bahasa Pembahasan Pembelajaran. Yogyakarta: Kanisius. 1991. Rahmanto. B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Rusyana, Yus. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. 1982. Saldi, Saparinah. Berbeda tetapi Setara. Jakarta: Kompas. 2010 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Sudjiman, Panuti Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1998.
105
Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty. Bandung: Nuansa. 2000. Tarigan, Henry, Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1993. Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: BMT Nurul Jannah. 2000. Waluyo, Herman. Apresiasi dan pengajaran sastra. Suarkarta: Sebelas Maret University Press. 2002. Wellek Rene dan Austin Weren . Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. 1993. Wiyatmi. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Ombak. 2012.
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
MATA PELAJARAN
: Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS/ SEMESTER
: XII (dua belas) / I (satu)
PROGRAM
: Umum
ALOKASI WAKTU
: 4 x 45 menit
ASPEK
: Mendengarkan
A. STANDAR KOMPETENSI Memahami pembacaan novel
B. KOMPETENSI DASAR Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel
C. INDIKATOR PEMBELJARAN Indikator Pencapaian Kompetensi
Siswa
mampu
pembacaan
mendengarkan
penggalan
novel
Siswa
mampu
menceritakan
kembali penggalan novel yang diceritakan.
Siswa mampu menentukan unsurunsur intrinsik pada penggalan novel yang telah dibacakan.
Siswa
mampu
Kewirausahaan/
Karakter Bangsa
Ekonomi Kreatif
Aktif
Kepemimpinan
Komunikatif Kreatif
dengan baik.
Nilai Budaya dan
mengidentifikasi
Mandiri
Lampiran 1
unsur-unsur penggalan
intrinsik novel
pada
yang
telah
dibacakan. Materi Pokok Pembelajaran
Penggalan novel yang dibacakan Penokohan dalam novel Latar dalam novel Alur dalam novel Cara mengidentifikasi tema, penokohan, latar dan alur dalam novel
D. STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka
Terstruktur
Memahami pembacaan
Mengidentifikasi
penggalan novel
penokohan,
dan
Mandiri alur, latar
Siswa
mampu
berdiskusi
mengenai
dalam penggalan novel
alur, penokohan, dan
yang dibacakan
latar novel yang sudah diidentifikasi
E. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Tahap
Alokasi
Kegiatan Pembelajaran
Waktu
Pembuka
Apresiasi berupa absen dan motivasi
(Apresiasi)
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran secara komunikatif
penokohan, latar dan juga alur dan
siswa
dan Karakter Bangsa Aktif Komunikati f
Guru dan siswa bertanya jawab tentang Guru
20 menit
Nilai Budaya
bertanya
jawab
Lampiran 1
mengenai
cara
mengidentifikasi
penokohan, latar, dan alur dalam novel Inti
a. Eksplorasi Siswa
150 menit mendengarkan
pembacaan
Mandiri Kreatif
penggalan novel melalui rekaman/ siswa lain Siswa secara mandiri mengidentifikasi penokohan novel Siswa secara mandiri mengidentifikasi latar novel Siswa secara mandiri mengidentifikasi alur novel b. Elaborasi Siswa
mendiskusikan
alur,
penokohan, latar penggalan novel yang sudah dibacakan Siswa
saling
memberi
masukan
kekurangan hasil identifikasinya Siswa
mempresentasikan
hasil
identifikasi alur, penokohan, dan latar novel yang sudah diperbaiki c. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui
Penutup
Siswa
diminta
menjelaskan 10 menit
Komunikatif
Lampiran 1
(internalisasi
kesulitannya
dan persepsi)
pembacaan novel Siswa
dalam
diminta
menyimak
mengungkapkan
pengalamannya
dalam
mengidentifikasi alur, penokohan dan latar dalam novel. Siswa mengungkapkan permasalahan di masyarakan yang sesuai dengan permasalahan dalam novel Siswa mengerjakan uji kompetensi dan menjawab kuis uji teori
F. METODE DAN SUMBER BELAJAR Sumber Belajar
V
Engkos Kosasih. Cerdas Berbahasa
Pustaka rujukan
Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta Halaman13-15. Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Gajah
Mada
Fiksi.
Yogyakrta:
University Press,
Halaman 23. V
Media
cetak
dan Artikel atau siaran pembahasan novel
elektronik
Geni Jora
V
Website internet
Artikel pembahasan novel Geni Jora
V
Lingkungan
Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan penokohan alur dan latar novel
Metode
V
Presentasi
V
Diskusi Kelompok
Lampiran 1
Inquri
V
dan
pemeragaan model
PENILAIAN V Tes Lisan V Tes Tertulis TEKNIK
DAN
BENTUK
V Observasi Kinerja/Demontrasi V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio V Pengukuran Sikap
INSTRUMEN /SOAL Daftar pertanyaan lisan tentang pengertian dan perbedaan novel Indonesia & terjemahan Tugas/perintah untuk melakukan diskusi, presentasi, pemberian tanggapan Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari
Mengetahui,
Jakarta, 21 April 2014
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran,
————————————– NIP
—————————— NIP
Lampiran 2
Uraian Materi Mengidentifikasi alur, latar, dan penokohan dalam penggalan novel yang dibacakan. 1. Alur Alur adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu per satu dan saling berkaitan menurut hokum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Alur dapat juga disebut sebagai rangkaian kejadian atau susunan peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Alur meliputi beberapa tahapan, yaitu: a. Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka
cerita,
pemberian
informasi
awal
yang
berfungsi
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. b. Tahap pemunculan konflik. Masalah-masalh dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. c. Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan
kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. d. Tahap klimaks, konflik ata pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui dan ditimpakankepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. e. Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain , subsun konflik atau konflik tambahan, jika ada juga diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. 2. Latar Latar dapat diartikan sebagai waktu dan tempat terjadinya peristiwa di dalam sebuah karya sastra. Latar perlu digambarkan sebelum cerita
Lampiran 2
digubah dan watak tokoh dibangun dan dikembangkan. Oleh karena itu maka terdapat beberapa jenis latar, diantaranya: a. Latar tempat, yaitu gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu nisa berdiri atas Negara, kota, kmpung atau desa, pelosok, pantai, hutan, rumah, kapal laut, mobel, kereta. b. Latar waktu, merupakan unsur yang menggambarkan kapan masa dalam fiksi terjadi. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat, gambbaran suatu tempat pada waktu yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah hari, sore, dan lain sebagainya. c. Ltar social, berhubungan dengan prilaku kehidupan social masyarakat di suatu tempat. Kehidupan social sangat banyak aspek yang terkandung di dalamnya, seperti agama, kebiasaan, adat istiadat, padangan hidup, cara berpikir, emosi, status, kedudukan social, pendidikan dan ekonomi. 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan pemeran dalam suatu karya sedangkan penokohan merupakan sifat yang diberikan pada setiap tokoh. Berikut di bawah ini merupakan
teknik-teknik
yang
dilakukan
oleh
pengarang
untuk
menggambarkan dan mengembangkan watak para tokoh diantaranya sebagai berikut: a. Menggambarkan secara langsung atau metode analitik b. Metode kontekstual, pengarang menggambarkan melalui konteks bahasa dan wacana c. Metode aliran kesadaran, yang diutamakan bukan aspek dari luar fisik tokoh, tetapi aspek dalam batin dan pikirannya d. Melalui tingkah laku tokoh e. Melalui tokoh dan tokoh lain f. Melalui latar kehidupan tokoh lain g. Melalui gambaran fisik tokoh
Profil Penulis
Ila Nurlaila, lahir di Pandeglang, pada 02 Juni 1991 ini biasa disapa Ila. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Pandeglang, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Pandeglang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Pandeglang. Setelah lulus SMA pada tahun 2009, ia memilih melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan pilihan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis sangat menyukai seni, khususnya dalam seni peran. Itulah yang menjadi alasan mengapa ia masuk menjadi anggota UKM Teater Syahid. Ia tercatat pernah menjadi sutradara pementasan drama Buku Wajah karya Irina Widia Ningsih (2012) dan juga pernah menjadi pengajar di Binus International School.