KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN Clara Lintang Parisca Mahasiswi Fakultas Hukum Atmajaya Yogyakarta
Pendahuluan Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral dalam suatu proses peradilan. Pada kasus pidana, nasib terdakwa akan ditentukan pada tahap ini, jika tidak cukup alat bukti, terdakwa akan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan., begitupun sebaliknya. Sedangkan pada kasus perdata, dalam tahap pembuktian ini para pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta–fakta hukum yang merupakan titik pokok sengketa. Para pihak yang mampu menunjukkan alat bukti sah dan menyakinkan, cenderung akan menuai kemenangan, demikian pula sebaliknya. Bagi hakim, tahap pembuktian merupakan tahap yang amat berpengaruh secara signifikan untuk menjatuhkan vonis. Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara memperhatikan dengan sungguh–sungguh alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Tidak sembarang alat bukti bisa diterima hakim, kecuali alat bukti itu tergolong sah. Pada kesempatan ini secara khusus kita akan membicarakan keterkaitan arsip elektronik sebagai alat bukti sah di Pengadilan. Masalah ini dipandang perlu diketahui oleh publik, agar dampak negatif perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi tetap dapat dikontrol dengan hukum, sehingga publik terselamatkan.
Arsip Elektronik Sebagai Alat Bukti Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti menurut UU, yaitu : keterangan saksi (harus 2 orang saksi), keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Di luar alat bukti itu tidak dibenarkan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam Pasal 183 KUHAP dituliskan bahwa Hakim tidak boleh mnjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah dan Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Bila tidak adanya alat bukti sah yang cukup atau tidak mempunyai nilai yuridis yang tidak mampu meyakinkan Hakim, seringkali menyulitkan penyidik, sehingga penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP), bahkan Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas jika perkara sudah dimejahijaukan.
Dalam Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) maupun Pasal 164 ketentuan Hukum Acara Perdata ( Het Herziene Indonesisch Reglemnt/HIR) dan Pasal 284 (Rechtsreglement Buitengewestn/Rbg) mengatur bahwa alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Kualitas dan kuantitas alat bukti sangat menentukan bagi para pihak untuk memenangkan gugatan. Sengketa sistem elektronik , secara empiris tidak mudah diselesaikan dengan adil apabila pembuktian hanya berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 164 KUHPdt dan Pasal 284 Rbg, konvergensi dibidang teknologi informasi, media dan informatika (telematika), namun harus segera diimbangi dengan perluasan alat-alat bukti berupa alat bukti elektronik. Pemerintah dan DPR untuk mengantisipasi permasalahan diatas telah membuat regulasi berupa Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik beserta hasil cetakannya sebagai alat bukti sah di Pengadilan, sehingga sekarang ini alat bukti di Pengadilan bertambah satu yang sebelumnya belum ada. Beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam UU ITE adalah pasal 5 yang mengatur tentang : 1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. 4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta.
Sedangkan dalam Pasal 6 UU ITE juga menyatakan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 dituliskan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik. Adapun Dokumen Elektronik sesuai pasal 1 ayat 4 adalah Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elekromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui sistem elektronik. Tanda tangan Elekronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi atau autentikasi . Sedangkan dalam pasal 5 ayat 3 bahwa suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.
Bebrapa Dokumen Yang Tidak Dapat Dijadikan Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam UU ITE Pasal 5 ayat 4 dituliskan bahwa ada beberapa dokumen yang tidak dapat menjadi alat bukti yang sah ,yaitu : 1. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis 2. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta Pada penjelasan Pasal 5 ayat 4 dinyatakan bahwa surat yang menurut UU ITE harus dibuat dalam bentuk tertulis
tidak terbatas hanya pada surat berharga, surat yang
berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan administrasi negara. Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut
ruang siber (cyber
space), bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan perluasan alat bukti maka subjek pelakunya dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Apa keterkaitan perluasan alat bukti sah dalam UU ITE dengan hukum kearsipan? Keterkaitan itu telah tampak sejak awal pengaturan mengenai pengertian ”arsip”. Pada pasal 1 UU No 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan (selanjutnya disebut UUPK), arsip ialah naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara, Badan-badan Pemerintah, Badan-badan Swasta dan/atau perorangan dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah dan/atau kebangsaan. Pengaturan secara khusus mengenai ”arsip elektronik” pada UUPK yang baru nanti, terasa amat penting dan oleh karenanya perlu detail, agar segala persoalan yang
terkait dengan UU ITE menjadi jelas dasar hukumnya. UU ITE memang tidak mengatur secara eksplisit mengenai kearsipan, namun demikian secara implisit masalah arsip elektronik, khususnya yang berupa infomasi elektronik, dokumen elektronik, dan tanda tangan elektronik, telah diatur secara memadai, baik mengenai pengertian-pengertian istilah yang terkait maupun implikasinya sebagai alat bukti sah di pengadilan. Dengan adanya perluasan alat bukti sah berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pengakuan dan penghargaan terhadap keberadaan arsip telah selangkah lebih maju. Implikasi yuridisnya adalah : (1) hukum kearsipan harus segera direvisi agar konsisten dengan UU ITE (2) sistem peradilan Indonesia akan mengalami perkembangan pula, yaitu proses peradilan dapat terselenggaraan dengan mudah, cepat dan biaya murah (3) pada tataran praktis cyber crime mudah diungkap dan ditangkap, antara lain : 1. Bagi aparatur penyidik, flash disk, mini disk atau copy disk dapat dijadikan sebagai alat bukti sah atas kejahatan cyber. Penyidik berhak membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam file koputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya jika data tersebut diduga keras mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam pelanggaran HAM Berat, UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme 3. Dalam kegiatan e-commerce, disana dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Dari segi hukum pembuktian jika terjadi kejahatan atau sengketa sebagai akibat adanya transaksi efek di Bursa Efek, misalnya sekarang berdasarkan UU No 8/1997 tentang Dokumen Perusahaan dan UU ITE, data elektronik atau dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
III. PENUTUP
Arsip elektronik sebagai alat bukti hukum dapat dipahami keberadaannya karena di satu sisi arsip merupakan rekaman kegiatan yang nyata dan di sisi lain arsip dapat dijadikan alat bukti sah dipengadilan . Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dengan adanya perkembangan teknologi arsip tercipta dalam berbagai bentuk media, tidak hanya berbentuk tekstual/kertas .
Surat keterangan Mahkamah Agung (MA) pernah merealisir keterangan pembuktian arsip mikro film sebagai alat bukti sah di pengadilan, demikian juga UU Dokumen Perusahaan menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikro film, CD-Rom, WORM merupakan alat bukti yang sah (Pasal 15). Persoaalnnya apakah praktek di pengadilan akan merujuk pada ketentuan tersebut apabila terjadi kasus yang menyangkut hal ini, hanya hakimlah yang memiliki kewenangan untuk itu.
Yogyakarta, 30 Agustus 2009
© 2009. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY