ARTIKEL ILMIAH
JUDUL
: IMPLIKASI PERKEMBANGAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK TERHADAP
SISTEM
PEMBUKTIAN
PERDATA
DI
PENGADILAN
A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia pada berbagai aspek kehidupan, yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan pada kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan global Pembangunan di bidang hukum merupakan bagian dari pembangunan nasional, karena hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain pembangunan. Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum. Hukum sebagai sarana
pembaruan (pembangunan) masyarakat sebagaimana
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, berkembang pula seiring dengan lajunya pembangunan/perkembangan di segala bidang kehidupan.1
Mengingat bahwa
perkembangan dan pembaruan masyarakat di suatu negara yang sedang berkembang dipelopori oleh pemerintah, sudah tentu hukum memegang peranan penting dalam proses pembaruan (pembangunan) tersebut. Pembangunan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak dapat dipisahkan
dari
perkembangan
masyarakat,
khususnya perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai fenomena 1
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Binacipta, 1986, hlm.36.
baru
yang merupakan
implikasi dari kemajuan teknologi dan
informasi.
Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global, adalah perkembangan teknologi dan informasi, yang antara lain ditandai dengan era teknologi informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya interconnected network (internet) yang mempergunakan komunikasi tanpa kertas (paperless document). Kemajuan teknologi akhir-akhir ini menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang, termasuk dalam kontak seseorang dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya merupakan salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Sebenarnya aktivitas dunia maya sangat luas mencakup banyak hal dan di berbagai bidang. Melalui media elektronik masyarakat memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu.2 Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial negara (borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti: e-mail, chating video, video teleconference, dan situs website (www), telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas negara. Fenomena ini merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda dunia. Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi elektronik, seperti misalnya layanan ATM (Anjungan Tunai Mandiri), transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking, internet banking, e-commerce, dan lain-lain; ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu diperlukan kehadiran hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan/sengketa yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif yang ada belum dapat menjangkaunya. Perkembangan teknologi yang menimbulkan kemajuan di bidang komunikasi dan informasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya harus ditunjang oleh 2
Man S. Sastrawidjaja, Bunga RampaiHukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 171, dikutip dari Mariamdarus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Siber (Cyber Law) Di Indonesia, Pidato diucapkan pada upacara memasuki masa Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Selasa 13 November 2001, bertempat di Hotel Toba, Medan, hlm.3.
perangkat hukum materiil saja (cyber law), tetapi juga harus didukung oleh perangkat hukum formal, dalam hal ini
Hukum Acara Perdata, sebagai sarana untuk
melaksanakan hukum perdata materiil. Oleh karena itu perlu dibentuk Hukum Acara Perdata baru sebagai pengganti hukum acara perdata yang sekarang berlaku. Hukum acara perdata yang ada merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku sampai sekarang. Bangsa Indonesia sejak merdeka sampai saat ini belum membentuk hukum acara perdata yang baru sebagai pembaruan atas hukum acara perdata yang sekarang berlaku yaitu HIR/RBg, meskipun demikian upaya untuk membentuknya sudah lama dilakukan, terbukti dengan sudah dimilikinya rancangan undang-undang tentang Hukum Acara Perdata yang sampai saat ini masih dalam proses penyusunan.3 Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui tahap pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Terjadi perubahan dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik dimasyarakat. Baik HIR/RBg maupun peraturan lainnya tentang acara perdata sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data elektronik sebagai salah satu alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi keberadaan dokumen/data elektronik sebagai alat bukti. Sementara dalam perkembangannya sekarang dikenal adanya bukti elektronik (dianggap sebagai alat bukti) seperti misalnya data/dokumen elektronik yang dikaitkan dengan tandatangan digital dan peraturan bea materai yang harus dipenuhi oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, di samping bukti-bukti lain seperti misalnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto, faximili, CCTV, bahkan sistem layanan pesan singkat.(short massage system / sms). 3
Himpunan Risalah Rapat Panitia Penyusunan RUU Tentang Hukum Acara Perdata, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Proyek Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, 2004.
Perkembangan yang terjadi sebagaimana terurai di atas khususnya yang menyangkut alat bukti elektronik, berpengaruh pula terhadap sistem pembuktian perdata. Menurut sistem HIR/RBg (hukum acara perdata yang berlaku), dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang saja (dalam hal ini HIR/RBg).4 Keadaan ini tentu saja akan menyulitkan proses penyelesaian sengketa, khususnya proses pembuktian dalam hal terjadinya sengketa pada transaksi E-commerce. Beranjak dari uraian tersebut di atas, maka dilakukan pengkajian terhadap perkembangan alat bukti dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dalam hal ini dengan munculnya alat bukti elektronik, serta bagaimana pengaruhnya terhadap sistem pembuktian perdata (mengingat alat bukti merupakan salah satu variabel dalam sistem pembuktian) di pengadilan.
B. Identifikasi Masalah: Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalahmasalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan bukti elektronik dalam
praktik
penyelesaian
sengketa perdata melalui pengadilan? 2. Bagaimana implikasi perkembangan alat bukti elektronik terhadap sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan di Indonesia?
C. Kerangka Pemikiran Teori negara kesejahteraan (welfare state) melandasi pemikiran bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana tercantum dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm.141.
dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Di dalam konsep Negara Hukum
adanya
keteraturan
dengan
memelihara
ketertiban
umum
dan
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, merupakan tujuan yang hendak dicapai. Dalam konsep negara kesejahteraan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, negara melalui pemerintah sebagai organ penyelenggara kehidupan bernegara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran warganya. Salah satu cara untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui pembangunan nasional yang salah satu aspeknya adalah pembangunan hukum. Pembangunan hukum yang merupakan salah satu cara guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya harus dilakukan terhadap hukum materiil saja tetapi juga hukum formal dalam hal ini hukum acara perdata. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang telah menyebabkan semakin berkembang pula transaksi modern melalui media elektronik, belum diikuti oleh perkembangan hukum terutama
hukum
formal
yang
dapat
mengikuti
percepatan
perkembangan
implementasi teknologi tersebut. Pada konsep negara hukum, dalam pengertian yang sederhana tidak ada warga negara yang berada di atas hukum dan karenanya semua warga negara harus patuh pada hukum. Persamaan di muka hukum (equality before the law) merupakan satu di antara arti-arti negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon (rule of law) yang kemudian diakui sebagai nilai-nilai universal. Nilai-nilai persamaan dan keadilan sangat erat terkait dengan proses penegakan hukum, yang tidak lain merupakan instrumen di tataran praktis dalam konsep negara hukum.5 Pembangunan hukum ditujukan untuk mewujudkan supremasi hukum yang merupakan ciri negara hukum. Hal yang penting dalam rangka pembangunan hukum adalah pemahaman terhadap hukum sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum tidak hanya peraturan perundang-undangan saja yang harus dibenahi, tetapi juga sub-sub sistem hukum lainnya, seperti: sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta kesadaran hukum masyarakat.
5
A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan (Mahkamah Agung di Bawah Soeharto), ELSAM, Jakarta, 2004, hlm. 42.
Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh adanya perubahan. Peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur, perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan, atau kombinasi dari keduanya. Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Jelaslah bahwa pemakaian hukum yang demikian yakni sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat. Pembangunan nasional meliputi juga pembangunan di bidang hukum karena hukum sebagai alat pembaharu masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan
yang
terjadi
dalam
masyarakat,
antara
lain
pembangunan.
Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat dengan segala fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age). Seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, penggunaan internet
semakin
berkembang, saat ini internet menjadi salah satu teknologi yang membahana dalam setiap aktivitas manusia. Semula dunia internet merupakan pusat media komunikasi dan informasi, namun kini dapat digunakan sebagai media transaksi, kemudian dikenal dengan apa yang disebut sebagai transaksi perdagangan yang dilakukan melalui media elektronik (electronic commerce). Pesatnya perkembangan penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis yang berbasis transaksi elektronik, belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan perkembangan implementasi teknologi. Oleh karena itu diperlukan kehadiran hukum yang dapat menjangkau permasalahan
pelangaran-
pelanggaran yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif yang ada belum dapat
menjangkau hal-hal tersebut.6 Perlu diperhatikan dalam rangka membuat hukum positif di dunia maya tetang perbedaan mendasar antara masyarakat dunia maya dengan masyarakat nyata dalam tindakan dan perbuatan hukum, dampak yang diakibatkannya, penerapan sanksi dan juga pembuktiannya. Dalam dunia maya, para penegak hukum akan mengalami persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya, karena harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat buktinya bersifat elektronik, antara lain dalam bentuk dokumen elektronik, yang belum diatur dalam hukum acara perdata Indonesia namun dalam praktik sudah dikenal dan banyak digunakan. Permasalahan timbul apabila terjadi sengketa akibat hubungan hukum keperdataan yang dilakukan secara elektronik khususnya dalam bidang perdagangan dan perbankan, dalam hal penyelesaian yang dilakukan melalui pengadilan (litigasi), berkaitan dengan masalah pembuktian yang menggunakan alat bukti elektronik. Hukum pembuktian Indonesia sampai saat ini masih mendasarkan pada HIR/RBg yang secara limitatif menentukan alat bukti dalam perkara perdata. Sebenarnya di Indonesia telah ada beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya: 1. Dikenalnya online trading dalam bursa efek; 2. Pengaturan mikro film dan sarana elektronik sebagai media penyimpanan dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik dalam UU No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. 3. Pengaturan tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah yang diatur dalam hukum acara perdata, dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim di pengadilan dalam memutus perkara/sengketa yang terjadi sebagai akibat dari
6
Ahmad M. Ramli, RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Urgensi RegulasiCyber Law di Indonesia, PPH Newsletter No.49/XIII/Juni 2002, hlm.36.
dilakukannya transaksi di dunia maya, karena dalam sistem hukum acara perdata Indonesia yang bersumber pada HIR/RBg, pembuktian itu baru sah bila didasarkan pada bukti-bukti yang sudah diatur dalam undang-undang (hukum acara perdata. Secara yuridis formal, alat bukti elektronik belum dimasukkan (diatur) dalam undangundang/ hukum acara perdata sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian perkara secara litigasi, sementara dalam praktik sudah banyak digunakan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum (yang merupakan salah satu unsur dalam penegkan hukum) bagi pencari keadilan. Dalam menegakan hukum ada 3 unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).7 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kemanfaatan, masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum; Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Keadilan, dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut.
D. Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu metode yang menitikberatkan penelitian pada data kepustakaan, atau data sekunder melalui asas-asas hukum dan perbandingan hukum.8 Pendekatan melalui asas-asas hukum
7
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.1. Mohon dilihat juga Gustav Radburch yang mengatakan bahwa hukum mengandung beberapa tuntutan dasar, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan finalitas hukum (hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar harus diakui), dalam Theo Huijbers OSC, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 165. 8 Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm.1.
adalah penelitian terhadap norma-norma hukum yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkahlaku yang pantas.9 Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka kajian dilakukan terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam data sekunder, yang tersebar dalam bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Hal ini meliputi kajian terhadap perundang-undangan tentang acara perdata khususnya hukum pembuktian perdata, buku-buku yang memuat tentang acara perdata dan hukum pembuktian serta tentang sistem hukum dan perkembangannya, artikel-artikel dalam jurnal-jurnal yang mengupas tentang alat bukti elektronik, sistem pembuktian , hukum acara perdata, dan hukum pembuktian. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara memberikan data atau gambaran seteliti mungkin mengenai objek permasalahan. Gambaran tersebut berupa kedudukan alat bukti elektronik dalam pembuktian perdata di Pengadilan dan bagaimana pengaruhnya terhadap sistem pembuktian perdata. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 1).
Bahan hukum primer,
antara lain
Undang-Undang Dasar 1945,
KUHPerdata, HIR/RBg, RV, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam bidang hukum perdata dan acara perdata yang terkait dengan objek permasalahan; 2).
Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berhubungan dengan objek permasalahan;
3).
Bahan hukum tersier berupa jurnal, majalah, surat kabar, kamus ensiklopedi,
kamus
bahasa
yang
ada
kaitannya
dengan
hukum, objek
permasalahan, serta internet.. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai penunjang data sekunder, yang dilakukan melalui studi lapangan dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, mengklasifikasikan, dan
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.19.
meneliti data penelitian melalui wawancara lepas tetapi terarah dengan para nara sumber berpedoman pada pedoman wawancara. Nara sumber yang digunakan terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim Pengadilan Negeri Bandung, hakim Pengadilan Niaga Jakarta, hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hakim Mahkamah Agung; Pakar hukum acara perdata di Indonesia Sudikno Mertokusumo; Pihak-pihak yang terkait dengan objek penelitian, serta Instansi/ Departemen terkait dengan objek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan studi dokumen
dan
wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukm tersier. Di samping itu teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab langsung pada nara sumber dengan menggunakan pedoman wawancara. Untuk melakukan analisis data dan menarik simpulan-simpulan dari hasil penelitian, maka data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier akan dianalisis secara kualitatif, kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif . Penelitian akan dilakukan di Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, Leiden dan Den Haag – Belanda, serta Singapura. Data sekunder diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Fakultas Hukum Unversitas Gajah Mada, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia, Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan Agama Bandung, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Niaga Jakarta, Mahkamah Agung, serta Instansi atau Departemen lainnya yang terkait dengan objek penelitian.
E. Hasil dan Pembahasan 1. Perkembangan
Alat Bukti
Elektronik Dalam Praktik Penyelesaian
Sengketa Perdata Melalui Pengadilan
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi dewasa ini telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik yang dikenal dengan e-commerce semakin banyak dilakukan, sehingga perbuatan hukum tidak lagi hanya didasarkan pada tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Transaksi melalui media internet, pada dasarnya merupakan pasar yang potensial, karena masyarakat selaku konsumen dapat melakukan transaksi dengan distributor atau produsen di seluruh dunia dengan biaya yang relatif rendah. Dalam era globalisasi, efisiensi dalam berbagai bidang kehidupan merupakan suatu keharusan untuk mencapai tingkat perekonomian yang lebih baik dan lebih kompetitif. Suatu negara akan tertinggal jauh apabila tidak dapat dengan cepat mengikuti dan mengaplikasikan perkembangan bidang transaksi yang memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Transaksi melalui media internet telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi daya kerja dan menumbuhkan aktivitas baru yang merangsang tingkat pertumbuhan. Sementara itu, derasnya pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis yang berbasis transaksi elektronik di Indonesia, seperti: layanan ATM, transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking, internet banking, dll, ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan perkembangan implementasi teknologi, termasuk juga belum ada hukum yang mengatur permasalah pelanggaran yang terjadi di dunia maya dan sengketa yang ditimbulkan karenanya. Perdagangan secara elektronik yang semakin banyak terjadi dewasa ini, di satu sisi memberikan peluang dan berbagai kemudahan namun di sisi lain memberikan dampak negatif seperti kemungkinan timbulnya kerugian yang dialami oleh konsumen yang melakukan transaksi. Kerugian konsumen pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu kerugian yang diakibatkan oleh perilaku penjual secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen, dan kerugian konsumen
yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ke tiga sehingga konsumen dirugikan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, semakin berkembang pula perdagangan yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan e-commerce. Dengan sendirinya alat bukti mengalami perkembangan dengan munculnya bukti dalam bentuk informasi atau dokumen elektronik, yang dikenal dengan istilah alat bukti elektronik. Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan sebagai bukti secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Dalam dunia maya (cyberspace), masalah penegakan hukum dan pembuktian merupakan persoalan tersendiri, mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat mengenai data elektronik bukan saja belum diakomodir dalam hukum acara perdata positif, tetapi juga dalam kenyataannya data elektronik sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga dampak yang diakibatkannya dapat demikian cepat.
Karena itu, kemajuan teknologi informasi
menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus juga menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya,
dapat
dipertanggungjawabkan,
dapat
diakses,
dan
dapat
ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.
Alat bukti elektronik memiliki kelemahan dari segi pembuktian, karena surat (akta) yang bersifat virtual itu sangat rentan untuk diubah, dipalsukan atau bahkan dibuat oleh orang yang sebenarnya bukanlah para pihak yang berwenang membuatnya tetapi bersikap seolah-olah sebagai para pihak yang sebenarnya. Secara umum bukti elektronik yang timbul dalam praktik adalah berbentuk dokumen elektronik, yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima,
atau
disimpan
dalam
bentuk
analog,
digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.10 Pengakuan dan pengaturan terhadap dokumen elektronik di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1997 melalui Undang Undang Dokumen Perusahaan sebagai titik awal diakuinya bukti elektronik. Pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Dokumen Perusahaan adalah data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain, maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar. Bila dilihat dari sejarah pembentukan undang-undang ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya undang-undang ini dibentuk untuk mencabut dan mengganti ketentuan Pasal 6 Kitab Undang Undang Hukum Dagang yang mengatur mengenai kewajiban penyimpanan dokumen perusahaan yang saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Oleh karena itu dengan undang-undang Dokumen Perusahaan ini, mulai diatur mengenai pengalihan data tertulis (surat) ke dalam bentuk data elektronik. Sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan pembentukan undang-undang ini, pada bagian “menimbang” huruf f dinyatakan bahwa:
10
Pasal 1 butir 14, Rancangan Undang Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
“Kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik.” Selama ini penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti didasarkan pada Undang-undang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam undangundang ini, baik yang dibuat dalam bentuk tertulis di atas kertas atau sarana lain, maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar, dapat digunakan sebagai alat bukti.11 Lebih lanjut undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap pengalihan dikomen perusahaan ke dalam bentuk microfilm atau media lainnya wajib dilegalisasi, artinya jika dokumen perusahaan itu tidak dilegalisasi maka dokumen hasil pengalihan tersebut secara hukum tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Legalisasi adalah tindakan pengesahan isi dokumen perusahaan yang dialihkan atau ditransformasikan ke dalam mikrofilm atau media lainnya yang menerangkan atau menyatakan bahwa isi dokumen perusahaan yang terkandung di dalam mikrofilm atau media lainnya tersebut sesuai dengan naskah aslinya.12 Microfilm adalah film yang memuat rekaman bahan tertulis, tercetak, dan tergambar dalam ukuran yang sangat kecil. Media lainnya adalah alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk – Read Only Memory (CD-ROM) dan Write Once Read Memory (WORM).13 Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa dengan undang-undang Dokumen Perusahaan mulai ada pengaturan dokumen elektronik sebagai alat bukti, meskipun terbatas pada dokumen perusahaan. Undang-undang ini hanya mengatur mengenai peralihan dari data tertulis ke dalam bentuk data elektronik, 11
Pasal 11 ayat (5) Undang Undang Dokumen Perusahaan menyebutkan: “kewajiban penyimpanan dokumen perusahaan dalam bentuk mikrofilm tidak menghilangkan fungsi dokumen yang bersangkutan sebagai alat bukti sesuai dengan kebutuhan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan mengenai daluwarsa suatu tuntutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau untuk kepentingan hukum lainnya.” 12 Pasal 13 UU Dokumen Perusahaan. 13 Penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU Dokumen Perusahaan.
sebaliknya mengenai pengakuan terhadap data elektronik dapat diakui sebagaimana halnya bukti tertulis belum ada pengaturannya. Dengan demikian penggunaan hasil cetak dari data elektronik masih dipertanyakan kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti. Dapatlah dikatakan bahwa munculnya undang-undang Dokumen Perusahaan merupakan titik awal mulai diakuinya bukti elektronik berupa dokumen elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan dokumen perusahaan yang sudah terekam dalam bentuk dokumen elektronik sebagai alat bukti, dan hakim berdasarkan undangundang Dokumen Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk menerimanya sebagai alat bukti sekalipun HIR/RBg tidak mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti. Di samping itu, telah pula dilakukan upaya lain untuk mengakui secara formal dokumen elektronik sebagai alat bukti melalui Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dijelaskan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik , juga hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.14 Namun pengakuan terhadap informasi dan atau dokumen elktronik sebagai alat bukti yang sah ini terbatas sifatnya, hanya berlaku pada transaksi elektronik saja dan tidak berlaku untuk:15 a. Pembuatan dan pelaksanaan surat-surat yang berkenaan dengan terjadinya atau putusnya suatu perkawinan; b. Surat-surat yang menurut ketentuan undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, seperti misalnya akta kelahiran atau surat kenal lahir; c. Perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak, seperti misalnya akta jual beli tanah; d. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan, misalnya sertifikat hak milik;
14 15
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 5 ayat (4) UU Informasi dan Transaksi Elektronik
e. Dokumen–dokumen lainnya yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang, misalnya akta notaris atau putusan hakim. Sesunguhnya keberadaan undang-undang ITE ini sangat diperlukan untuk memberikan koridor hukum yang jelas dan terarah serta menyikapi pentingnya keberadaan undang-undang yang berkaitan dengan dunia maya (cyberspace), khususnya yang mencakup pengaturan transaksi elektronik.
2. Implikasi Perkembangan Bukti Elektronik Terhadap Sistem Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hukum acara perdata adalah
seperangkat
aturan
yang
mengatur
cara
bagaimana
seseorang
mempertahankan hak dan kepentingannya melalui suatu badan yang disebut badan peradilan demi tercapainya tertib hukum. Hukum acara perdata merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi untuk tercapainya suatu tujuan. Salah satu bagian dari hukum acara perdata adalah hukum pembuktian/proses pembuktian. Pembuktian merupakan bagian terpenting dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, karena melalui tahap pembuktian maka kebenaran adanya suatu peristiwa dan adanya suatu hak dapat dinyatakan terbukti atau tidak di muka persidangan. Pada intinya dengan pembuktian, para pihak berupaya meyakinkan hakim tentang kebenaran adanya suatu peristiwa atau hak, dengan menggunakan alat-alat bukti. Melalui pembuktian, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu sengketa. Para pihaklah yang berkewajiban untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya suatu hak di muka persidangan, sedangkan hakim bertugas menilai pembuktian yang disampaikan oleh para pihak apakah kebenaran peristiwa atau adanya suatu hak dapat dibuktikan atau tidak dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Menurut Riduan Syahrani, pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa
perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang dikemukakan.16 Hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata yang merupakan
hukum
formal
dan
berfungsi
untuk
mempertahankan
atau
melaksanakan hukum materiil (dalam hal ini hukum perdata materiil). Hukum acara perdata mempunyai sifat publik karena mengikat bagi setiap orang yang menggunakannya, dalam arti manakala orang mulai menggunakan hukum acara perdata maka ia terikat untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang ditentukan/diatur dalam hukum acara perdata (tidak dapat disimpangi). Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa sifat mengikat atau formalisme dari hukum acara perdata ini perlu untuk menjamin adanya tata tertib dalam pemeriksaan perkara sehingga kedua belah pihak mempunyai kesempatan untuk membela kepentingan masing-masing. Peraturan yang sifatnya mengikat itu juga perlu untuk menjamin
agar hakim tetap bersifat tidak berat sebelah dalam
melakukan pemeriksaan perkara.17 Demikian pula halnya dengan hukum pembuktian mempunyai sifat yang mengikat bagi pihak yang menggunakannya, dalam pembuktian para pihak terikat pada hukum pembuktian yang berlaku termasuk sistem pembuktian, kekuatan pembuktian dan alat-alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata yaitu HIR/RBg, BW, dan peraturan lainnya tentang acara perdata. Pasal 164 HIR mengatur secara limitatif dan berurutan alat-alat bukti dalam perkara perdata di persidangan, yaitu terdiri dari: surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu, dalam HIR diatur pula alat bukti pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR, yang berdasarkan yurisprudensi dapat dijadikan alat bukti karena dengan pemeriksaan setempat menambah pengetahuan hakim), dan juga keterangan saksi ahli (Pasal 154 HIR) meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses pembuktian hakim terikat pada alat alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim
16 17
Riduan Syahrani, loc.cit., Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum. Wirjono Projodikoro, op.cit., hlm.16.
hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 BW) ialah surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu dalam HIR dan RBg juga diatur mengenai pemeriksaan setempat dan keterangan saksi ahli yang juga dapat merupakan alat bukti. Hukum
pembuktian
yang
berlaku
saat
ini,
secara
formal
belum
mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sedangkan dalam praktiknya di masyarakat melalui transaksi perdagangan secara elektronik, alat bukti elektronik sudah banyak digunakan, terutama dalam transaksi bisnis modern. Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses pembuktian hakim terikat pada alat alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Ini berarti bahwa hukum acara perdata Indonesia menganut sistem pembuktian yang tertutup. Hal ini sejalan dengan apa yang termuat dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat pencari keadilan dalam era perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, perlu adanya suatu perubahan sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Dalam arti proses pembuktian di pengadilan tidak terikat pada alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang secara terbatas, karenanya dalam undang-undang Acara Perdata yang akan datang hendaknya alat bukti diatur dalam pasal dengan sifat terbuka, tidak ditentukan secara limitatif tentang apa saja yang dapat dijadikan alat bukti. Ketentuan yang mengatur tentang alat bukti hendaknya dibuat secara terbuka, sehingga memberi kemungkinan untuk dapat mengakomodasi seandainya di
kemudian hari muncul alat-alat bukti yang belum ditentukan atau diatur dalam undang-undang. Dengan demikian ketentuan tentang acara perdata (undangundang Acara Perdata yang baru) dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat serta memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga berlaku dalam kurun waktu yang panjang.
E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan hasil kajian yang dilandasi oleh kerangka berfikir secara teoritis dan analisis secara yuridis atas pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam tulisan ini, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: a.
Perkembangan alat bukti elektronik melalui transaksi perdagangan modern, seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan teleconference, sms, cctv, informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpan data, sudah mulai digunakan oleh hakim, khususnya hakim Pengadilan Niaga, dalam menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Secara materil sudah diakomodasi pengaturannya dalam UU Dokumen Perusahaan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Implikasi perkembangan alat bukti elektronik terhadap sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan di Indonesia adalah bahwa perkembangan alat bukti elektronik melalui transaksi perdagangan modern sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas, mempengaruhi sistem pembuktian perdata yang selama ini berlaku berdasarkan sistem HIR. Pada umumnya hakim mau menerima dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti, khususnya hakim Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan sengketa merk dagang atau
kepailitan perusahaan. Kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (mempunyai kekuatan pembuktian bebas).
2. Saran a. RUU Hukum Acara Perdata harus sudah mengakomodasi perkembangan alat bukti elektronik berupa dokumen elektronik dan pemeriksaan saksi melalui teleconference. Mengingat keduanya sudah lama dikenal dan digunakan dalam praktik, maka sudah waktunya diatur dan dirumuskan secara tegas (dinormatifkan) guna memenuhi kebutuhan praktik peradilan untuk tercapainya ketertiban hukum dan kepastian hukum . b. Untuk
memenuhi
kebutuhan masyarakat pencari keadilan dalam era
perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini, perlu ada perubahan sistem pembuktian dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Karenanya dalam hukum acara perdata yang akan datang hendaknya alat bukti diatur dalam pasal dengan sifat terbuka, tidak ditentukan secara limitatif tentang apa saja yang dapat dijadikan alat bukti.
F. Daftar Pustaka Ahmad M. Ramli, RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Urgensi Regulasi Cyber Law di Indonesia, PPH Newsletter No.49/XIII/Juni 2002. A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan (Mahkamah Agung di Bawah Soeharto), ELSAM, Jakarta, 2004.
Man S. Sastrawidjaja, Bunga RampaiHukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005. Mariamdarus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Siber (Cyber Law) Di Indonesia, Pidato diucapkan pada upacara memasuki masa Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 13 November 2001. Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Binacipta, 1986. Riduan Syahrani, loc.cit., Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1998. Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Liberty, Yogyakarta, 2002. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 Theo Huijbers OSC, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.