1
ANALISIS YURIDIS ALAT BUKTI ELEKTRONIK BERUPA E-MAIL DALAM PERKARA PERDATA DIKAITKAN DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK AHDHI THAMUS ABSTRAK Perkembangan teknologi dibidang komunikasi dan informasi seharusnya didukung oleh peraturan perundang-undangan. Dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, acara pembuktian merupakan bagian terpenting untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya suatu hak yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, khususnya menyangkut alat bukti elektronik, berpengaruh pula terhadap sistem pembuktian perdata. Hakim sebagai praktisi hukum yang terikat dengan ketentuan undangundang harus mampu menjelaskan kekuatan alat bukti dari suatu alat bukti berbentuk elektronik terutama e-mail. Kata kunci : Kekuatan Alat Bukit, Alat Bukti Elektronik, Perkara Perdata ABSTRACT The development of technology should have been supported by laws and regulation. In the settlement of a civil proceedings, event of verification is the most essential part ini establishing the validity of an event as well as prevails as the basis for a plaintiff to file a lawsuit to a court, especially concerning electronic evidence which cloud affect the verification system in a civil proceedings. A judge, as legal practitioner bound by laws and regulations, is must be able to shed light upon the power of evidence, particularly electronic mail (e-mail). Kata kunci : The Power of Evidence, Electronic Evidence, Civil
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
2
PENDAHULUAN Banyaknya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi elektronik ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mengatur sehingga diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dunia maya. Perkembangan teknologi yang timbul dibidang komunikasi dan informasi seharusnya didukung oleh peraturan perundang-undangan baik itu hukum materil maupun hukum formal. Dalam hal ini, Hukum Acara Perdata yang baru perlu dibentuk untuk melaksanakan hukum perdata materil untuk mendukung perkembangan teknologi tersebut. Hukum Acara Perdata yang berlaku sampai saat ini berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 adalah Het Herzienne Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: Stb.1848 No.16, Stb.1941 No.44) untuk wilayah Jawa dan Madura, serta Rechtreglement Buitengewesten (RBg atau Reglemen untuk daerah seberang: Stb. 1927 No.227) untuk
wilayah
luar
Jawa
dan
Madura,
Reglement
op
de
Burgelijk
Rechtverordening (Rv atau hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S.1847 No.52,1849 No.63) ditambah dengan berbagai peraturan tentang acara perdata lain.1 HIR dan Rbg merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku sampai sekarang. Bangsa Indonesia sejak merdeka sampai saat ini belum mampu membentuk hukum acara perdata yang baru. Perkembangan yang terjadi khususnya menyangkut alat bukti elektronik, berpengaruh pula terhadap sistem pembuktian perdata. Menurut sistem pembuktian HIR/Rbg (hukum acara yang berlaku) dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 331
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
3
undang saja.2 Keadaan ini tentu saja akan menyulitkan proses penyelesaian perkara, khususnya pembuktian dalam hal terjadi sengketa yang menggunakan alat bukti elektronik. Pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti di pengadilan masih dipertanyakan validitasnya. Informasi elektronik sudah seharusnya menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Suatu alat bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan.3 Pihak-pihak yang mengajukan bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem yang dapat dipercaya yang pembuatannya dilakukan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik.4 Dalam halnya bukti elektronik, dimana informasi elektronik dan dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Alat bukti elektronik berupa dokumen elektronik yang pada umumnya dituangkan dalam bentuk tulisan dalam sebuah e-mail (surat elektronik), dimana tulisan yang berupa e-mail dibuat oleh pihak untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan seseorang. Maka dokumen elektronik ini dapat digolongkan sebagai alat bukti tertulis sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 Rbg, begitu pula halnya dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan dokumen elektronik sebagai perluasan alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia termasuk juga dalam hal hukum acara perdata. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan pengkajian dan analisis terhadap perkembangan alat bukti dalam penyelesaian sengketa perdata melalui 2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi VI, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 141. 3
Ridwan, “Penilaian Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Perdata,” Varia Peradilan No.296. (Juli 2010), hal.36. 4
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
4
pengadilan, dalam hal ini dengan munculnya alat bukti elektronik, serta bagaimana pengaruh terhadap sistem pembuktian perdata di pengadilan guna menunjang pembaharuan hukum acara perdata. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang dapat dilihat dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kekuatan yuridis alat bukti elektronik berupa e-mail dalam perkara perdata bila dikaitkan dengan pasal 164 HIR dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 2. Bagaimana implementasi kekuatan alat bukti elektronik berupa e-mail
dalam praktek di peradilan di Indonesia khususnya dalam perkara Prita Mulyasari? Tujuan umum dari penulisan skripsi ini, yaitu untuk menambah dan memperbanyak kepustakaan yang berhubungan dengan alat bukti dalam perkara perdata, khususnya e-mail sebagai alat bukti elektronik. 1. Mengetahui kekuatan yuridis alat bukti elektronik berupa e-mail dalam perkara perdata bila dikaitkan dengan pasal 164 HIR dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Mengetahui implementasi kekuatan alat bukti elektronik berupa e-mail dalam praktek di peradilan di Indonesia khususnya kasus Prita Mulyasari.
PEMBAHASAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA Bagian terpenting dalam suatu proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan merupakan tahap pembuktian. Arti pembuktian menurut Subekti menyatakan bahwa “membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.5 Dengan demikian pembuktian hanya diperlukan apabila terdapat persengketaan atau perkara di pengadilan.
5
Soebekti, Hukum Pembuktian, Cet.XVII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hal.1.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
5
Tujuan pembuktian bagi para pihak adalah untuk menyampaikan faktafakta yang membuktikan bahwa peristiwa yang menjadi pokok perkara benarbenar terjadi atau tidak terjadi, sehingga hakim akan memutuskan sesuai dengan tuntutan para pihak. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut tetapi cukup dengan kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan bersifat kemungkinan,6 namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap ada kesulitan-kesulitan yang harus ditaati dalam proses pembuktian Pembagian beban pembuktian merupakan tugas hakim dalam proses persidangan, dan hakim bertanggung jawab untuk membagi beban pembuktian dengan adil kepada para pihak yang bersengketa untuk mencegah terjadi praktek pembagian beban pembuktian yang dapat merugikan salah satu pihak. Pedoman umum seorang hakim dalam menentukan beban pembuktian adalah ketentuan di dalam Pasal 163 HIR yang menyatakan :7 “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau dapat membantah hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau kejadian itu”. Dari bunyi pasal diatas, berarti kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat
dapat
membuktikan
dibebani peristiwa
dengan yang
beban
pembuktian.
diajukannya,
sedangkan
Penggugat
wajib
tergugat
wajib
membuktikan bantahannya. Jika penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya dalam gugatan, ia harus dikalahkan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, jika salah satu pihak dibebani dengan beban pembuktian dan tidak dapat dibuktikan berarti ia akan dikalahkan, ini yang disebut dengan resiko pembuktian.8
6
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 496. 7
Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor, Politea, 1995), hal. 119.
8
Sudikno Mertokusumo (a), Hukum Acara Perdata Perdata Indonesia, Ed. Ke-7, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 141-142.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
6
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi, yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex factie saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.9 Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.10 Hukum pembuktian mengenal beberapa sistem pembuktian atau teori pembuktian yaitu sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim atau conviction-in time (Bloot Gemoedelijke Overtuiging), sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an yang logis atau conviction raiosonee/ la conviction raisonee (Beredeneerde Overtuiging/ De Vrije Bewijsleer), sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie), dan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative (Negatief Wettelijk Bewjstheorie/ Negatief Wettelijk Stelsel). Dalam hukum acara perdata di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie). Kesimpulan ini didapatkan jika merujuk kepada beberapa ketentuan yang mengatur hukum perdata formil melalui HIR, yaitu Pasal 138 ayat (2), 150 ayat (3), 153 ayat (1), 154 ayat (1), 155 ayat (1) dan 156 ayat (1).11 Dengan demikan apabila tidak ada bukti, tidak dapat dihukum, dan apabila tidak ada bukti, sekalipun hanya bukti minimum, harus dihukum.12
9
Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Juli 1975 No.1087 K/Sip/1973 dalam perkara perdata antara Omon al. Kusman bin Arma melawan Wasli bin Kanta dkk. Lihat Mahkamah Agung Indonesia, Rangkuman Yuresprudensi Mahkamah Agung Indonesia, Jilid II Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Proyek Yuresprudensi Mahkamah Agugn, 1977), hal. 210. 10
Yahya Harahap (b), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 276. 11
Lihat juga Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 3 Agustus 1974 Nomor 290 K/ Sip/1973. 12
Teguh Samudra, Hukum Acara Perdata dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 32.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
7
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti hakim yang boleh mengambil keputusan (menjatuhkan putusan) berdasarkan alat-alat bukti yang ditemukan oleh undangundang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata tersebut diatur dalam undangundang 164 HIR. Pasal 164 HIR mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata, yaitu:13 1. alat bukti tertulis 2. keterangan saksi; 3. persangkaan; 4. pengakuan; 5. sumpah. Diluar Pasal 164 HIR terdapat alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR dan keterangan ahli dan saksi ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR.14 Alat Bukti Tertulis Alat bukti tertulis merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan, orang memang dengan sengaja membuat alat-alat bukti yang akan digunakan (dipersiapkan) untuk membuktikan perbuatan hukum yang ia lakukan dikemudian hari seandainya timbul perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan.15 Alat bukti tertulis dapat dibagi menjadi alat bukti tertulis yang berupa akta dan alat bukti tertulis yang bukan berupa akta, sedangkan akta juga dibagi dua yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta adalah surat yang memuat peristwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang sejak semula dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dan
13
Soebekti, Op.Cit., hal. 19.
14
Efa Laela Fakriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: Alumni, 2009) , hal. 16. 15
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
8
ditandatangani oleh pembuatnya.16 Untuk dapat digolongkan kedalam pengertian akta, surat tersebut harus ditandatangani, keharusan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata yang menerangkan bahwa seandainya pembuat akta otentik
dilakukan
oleh
pejabat
yang berwenang,
tetapi
akta
tersebut
ditandatangani oleh para pihak, akta tersebut mempunyai kekuatan alat bukti tertulis. a. Akta Otentik Menurut Pasal 165 HIR, akta otentik adalah suatu surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak daripadanya tentang segala hal yang disebutkan dalam surat itu.17 b. Akta dibawah tangan Akta dibawah tangan yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.18. Akta jenis ini dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata. Alat bukti tertulis bukan berupa akta merupakan setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Dalam Pasal 1881 KUHPerdata, diatur secara khusus beberapa surat dibawah tangan yang bukan merupakan akta yaitu daftar (register), surat-surat rumah tangga, dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegang. Kekuatan pembuktian surat-surat tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim.19
16
Sudikno Mertokusumo (a), Op.Cit.hal.149.
17
Ibid., hal. 155.
18
Sudikno Mertokusumo (a), Op.Cit., hal. 158.
19
Ibid., hal. 164.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
9
Kekuatan pembuktian dari alat bukti tertulis terletak pada aslinya ( Pasal 1888 KUHPerdata). Undang-undang hanyalah mengatur kekuatan pembuktian daripada salinan daripada akta, sehingga kekuatan pembuktian daripada surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Salinan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan aslinya. Hakim selalu berwenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya dimuka sidang.20 Keterangan Saksi Alat bukti keterangan saksi diatur dalam Pasal 139 sampai Pasal 152 HIR, Pasal 168 sampai Pasal 172 HIR. Berkenaan dengan keterangan saksi ini, dikatakan bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.21 Saksi-saksi itu secara keseluruhan melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang harus dibuktikan dimuka hukum.22 Setiap orang dapat menjadi saksi kecuali anak yang dibawah umum, orang yang dibawah pengampuan, terhadap anak dibawah umur dan orang dibawah pengampuan sesuai dengan Pasal 1912 ayat (2) KUHPerdata hanya dapat dianggap sebagai penjelasan/ keterangan bukan merupakan kesaksian. Kesaksian harus diberikan dibawah sumpah yang diucapkan dihadapan para pihak dimuka sidang (Pasal 147 HIR). Menurut ketentuan Pasal 171 HIR kesaksian yang dapat diberikan oleh saksi terbatas pada peristiwa-peristiwa atau kejadian yang dialami sendiri olehnya, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir bukanlah merupakan kesaksian Keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga yang mengetahui secara langsung peristiwa yang
20
Ibid., hal. 166.
21
Ibid.
22
Soebekti, Op.Cit., hal. 37.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
10
dipersoalkan (testimonuim de auditu) pada umumnya tidak diperkenankan, karena kesaksian itu berhubungan dengan peristiwa yang dialaminya sendiri. Dalam Pasal 169 HIR diatur tentang syarat minimal keterangan saksi dalam hukum pembuktian yaitu seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup (unnus testis nullus testis). Maksud pasal ini bukanlah mengharuskan supaya tiap-tiap peristiwa dibuktikan dengan tidak ada bukti lain adalah tidak cukup.23 Jika dalam suatu persidangan perkara hanya ada seorang saksi, harus dilengkapi dengan alat bukti lain yang mendukung keterangan saksi. Didalam persidangan ada pihak-pihak yang tidak dapat didengar sebagai saksi sesuai Pasal 145 ayat (1) HIR dan pihak-pihak yang dapat mengundurkan diri dari kesaksian diatur dalam Pasal 146 ayat (1) HIR. Nilai kekuatan alat bukti saksi bersifat bebas, artinya kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi dipersidangan dianggap tidak sempurna dan tidak mengikat yang mana hakim tidak wajib terikat untuk menerima dan menolak kebenaran dari keterangan saksi. Persangkaan Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peritistiwa yang telah dianggap terbukti atau dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.24 Persangkaan dibutuhkan apabila sulit untuk mencari saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Hal ini berarti untuk mengatasi permasalahan kesulitan bukti dalam suatu perkara, maka persangkaan dapat menjadi sebuah cara yang efektif.25 Berdasarkan Pasal 1915 KUHPerdata, persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim
23
Ibid., hal. 74 – 75.
24
Ibid.
25
Sutantio, Op.Cit., hal. 77.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
11
ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas dengan perkataan lain terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan.26 Namun demikian harus memperhatikan ketentuan Pasal 173 HIR yang menyatakan bahwa persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada hubungan satu sama lainlah yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Berdasarkan keputusan MA No. 308 K/Sip./1959 tanggal 11 November 1959 menyatakan bahwa kesaksian-kesaksian yang berdasarkan atas pendengaran dari orang lain (testimonium de auditu) tidak dapat dipergunakan sebagai bukti langsung, tetapi dapat dijadikan sebagai persangkaan, dari mana disimpulkan terbuktinya suatu hal.27 Pengakuan Pengakuan merupakan keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Dikatakan sepihak karena pengakuan tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui pihak lawan, maka pihak-pihak yang mendalilkan itu tidak perlu membuktikannya. Pengakuan sendiri diatur dalam Pasal 174, 175, dan 176 HIR. Pengakuan sebagai alat bukti adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara yang dilakukan dimuka hakim di persidangan atau di luar persidangan.28 a. Pengakuan dimuka hakim persidangan
26
Ibid., hal.. 78.
27
Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Pembuktian Jilid 2, (Bandung, Binacipta, 1981), hal. 695. 28
Soesilo, Op.Cit., hal.128.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
12
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim persidangan memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu, dasarnya adalah Pasal 174 dan 176 HIR serta Pasal 1925 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan ini, hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. b. Pengakuan diluar persidangan Pengakuan diluar sidang adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata diluar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya. Pengakuan di luar sidang pengadilan diatur dalam Pasal 175 HIR yang mengatakan kekuatan pembuktian daripada pengakuan lisan di luar persidangan diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sumpah Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan seseorang dengan suatu keyakinan bahwa jika pernyataan tersebut tidak benar, dia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan yang mengingat akan sifat Maha Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.29 Pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. Menurut Pasal 156 HIR, sumpah yang diberatkan oleh pihak satu kepada pihak lain, harus mengenai perbuatan-perbuatan. Terdapat dua macam sumpah, yaitu sumpah promissoir yang digunakan untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan sumpah assertoir atau confirmatoir yang digunakan untuk memberikan keterangan guna
29
Ibid., hal. 187.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
13
meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak.30 Yang termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli sebelum memberikan keterangan dalam persidangan yang ditujukan untuk menjamin bahwa keterangan itu adalah benar. Sumpah assertoir atau confirmatoir adalah sumpah-sumpah yang meneguhkan suatu peristiwa yang nantinya dapat dijadikan alat bukti.31 Alat bukti sumpah baru dapat diterapkan apabila sama sekali tidak ada alat bukti lain atau alat bukti yang ada kurang mampu menguatkan dalil gugatan maupun dalil bantahan. Alat Bukti Lainnya Diluar Pasal 164 HIR, alat bukti yang dapat digunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat yang diatur dalam Pasal 153 HIR serta keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 154 HIR. a. Pemeriksaan setempat Pengertian pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan perkara oleh hakim karena jabatannya (persidangan), yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri objek sengketa, dapat memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.32 Tujuan pemeriksaan setempat adalah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa. Yang akan diperiksa oleh hakim adalah suatu barang yang bersifat tetap maka akan terjadi kesulitan untuk mengajukan barang tersebut ke muka pengadilan, dapat berupa gedung, tanah, dan barangbarang lain yang bersifat tetap. b. Keterangan ahli
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Sudkno Mertokusumo (a), Op.Cit., hal.187
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
14
Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim mendengarkan keterangan seorang ahli untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu hal yang biasanya hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu misalnya tentang hal-hal yang bersifat teknis, kebiasaan, dalam lalu lintas perdagangan dan sebagainya.33 Ahli adalah orang yang memiliki kemampuan khusus dibidang tertentu. Menurut hukum, seseorang baru dapat dikatakan ahli apabila:34 a) memiliki
pengetahuan
khusus
atau
spesialis
dibidang
ilmu
pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten dibidang tersebut; b) spesialis itu bisa dalam bentuk skill atau kemampuan karena hasil latihan atau hasil pengamatan; c) sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau pengalaman yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa. Seorang ahli memberikan keterangan yang merupakan pendapatnya atau kesimpulannya. Dengan kata lain ahli tidak berkewajiban untuk sudah pernah terkait langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. ALAT BUKTI ELEKTRONIK Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
33
Ibid., hal. 196.
34
Yahya Harahap, Op.Cit., hal.790.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
15
Transaksi Elektronik,35 adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi
mempersiapkan,
mengolah,
menganalisis,
menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Sesuatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasi dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan kembali sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya. 36 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan,37 dapat dikatakan hukum Indonesia sudah mulai menjangkau bukti elektronik, karena telah memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikrofilm. Selanjutnya, terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless) tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak terjadi sengketa ke pengadilan.38 Cara pandang yang dimaksud adalah perubahan paper based menjadi electronic based. Dalam perkembangannya, informasi yang berwujud elektronik (electronic based) semakin diakui keefisienannya, baik dalam hal pembuatan, pengolahan maupun penyimpanan informasi elektronik tersebut39 Dalam perkembangannya, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik melalui Pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik,40 yang mengatakan bahwa
36
Efa Laela Fakriah, Op.Cit., hal,14 – 15.
38
Efa Laela Fakriah, Op.Cit., hal. 29.
39
Edmon Makarim (b), Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 447. 40
Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 5.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
16
(1)Informasi dan atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. (2)Informasi dan atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakkannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. (3)Informasi dan atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam lingkup ilmu komunikasi ataupun teknologi sistem komunikasi maka keberadaan transaksi dipahami sebagai suatu perikatan atau hubungan hukum antar pihak yang dilakukan dengan cara saling bertukar informasi untuk melakukan perdagangan. Oleh karena itu, kebanyakan para ahli teknik akan memahaminya sesuai dengan kaedah-kaedah dasar dalam aspek keamanan berkomunikasi, yakni antara lain harus bersifat confidential, integrity, authority, authenticity, dan dan non-repudiation. Jadi sepanjang tidak dapat dijamin bahwa hubungan komunikasi tersebut adalah aman, maka sepaturnya ia tidak dihargai sebagai suatu perikatan yang sah, karena punya potensi dan indikasi turut campurnya pihak ketiga yang mungkin beritikad tidak baik. Jadi yang menjadi penekanan adalah informasi yang disampaikan antar para pihak yang dijadikan dasar untuk terjadinya transaksi baru dapat dikatakan mengikat apabila ia dijamin validitasnya melalui saluran ataupun sistem komunikasi yang aman, padahal katakata “aman” itu sendiri sangat relatif sifatnya karena dalam suatu sistem elektronik tidak pernah ada kata “aman” dalam arti sesungguhnya.41 NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN INFORMASI ELEKTRONIK Suatu informasi elektronik bernilai secara hukum karena kesetaraan fungsional keberadaannya42 adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi
41
Ibid., hal. 254 - 255
42
Kesetaraan fungsional (functional equivalent approach) yakni mempersamakan kesetaraan fungsional bahwa suatu informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi setidaknya tiga dasar, yakni (i) informasi tersebut dianggap “tertulis” jika ia dapat disimpan dan ditemukan kembali, (ii) informasi tersebut dianggap “asli” jika yang disimpan dan ditemukan serta dibaca kembali tidak berubah substansinya, atau dengan kata lain terjamin keotentikan dan integritasnya, dan (iii) informasi tersebut dianggap “bertanda tangan” apabila
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
17
yang tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu rekaman elektronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original). Secara teknis berdasarkan muatannya suatu informasi elektronik dapat dikategorikan menjadi dua, yakni suatu informasi elektronik secara lahiriah hanya memperlihatkan suatu fakta peristiwa hukum saja sehingga dengan sendirinya ia hanya dapat berfungsi sebagai petunjuk semata karena validitasnya harus dirangkai pertemuannya dengan informasi lain dan suatu informasi elektronik yang secara lahiriah tidak hanya memperlihat suatu fakta peristiwa hukum saja melainkan juga dapat menjelaskan dan merujuk kepada suatu subyek hukum yang bertanggung jawab daripadanya.43 Informasi elektronik yang dapat dikomunikasikan atau dikirimkan kepada pihak lain melalui suatu sistem komunikasi (electronic communication) untuk melakukan suatu transaksi, maka validitas suatu informasi elektronik selayaknya berpijak pada beberapa prinsip sistem komunikasi yang aman (secured information), yakni kerahasiaan, integritas, otontisitas, otoritas, nonrepudisasi, dan ketersediaan. Dapat dikatakan adanya suatu rentang nilai atau spektrum dalam menentukan bobot nilai kekuatan pembuktian suatu informasi elektronik dari yang akan sangat bergantung kepada sejauhmana realibilitas sistem keamanan baik dalam sistem informasi maupun terhadap sistem komunikasi elektronik itu sendiri. Hal tersebut akan memperlihatkan adanya jenjang tertentu, yakni dari suatu tingkatan yang paling rendah sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, yakni menjadi alat bukti yang berdiri sendiri.44 1. Keberadaan informasi elektronik dalam tingkatan yang paling rendah secara obyektif tidak terjamin validitasnya dalam menjelaskan adanya terdaapt informasi yang menjelaskan adanya suatu subyek hukum yang bertanggung jawab diatasnya atau terdapat reliable menjelaskan identitas dan otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tersebut. Ketentuan ini dapat dipakai untuk melihat keberadaan informasi elektronik yang tersimpan pada sistem elektronik pada primary storage maupun secondary storage. Makarim (a), Op.Cit., hal. 24. 43
Ibid., hal 27
44
Ibid., hal. 31.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
18
suatu peristiwa hukum yang direkamnya dan tidak mampu menjelaskan atau memastikan siapa subyek hukum yang bertanggung jawab dari padanya. Namun karena suatu informasi elektronik tidak dapat ditampik keberadaannya hanya karena bentuknya elektronik, maka dengan karakteristik seperti ini terbuka ruang yang lebih bebas bagi hakim untuk melakukan permeriksaan dengan kesetaraan fungsional yang akan dipersamakan layaknya bukti yang tertulis, asli dan bertanda tangan.45 2. Dalam tingkatan yang menengah, keberadaan informasi elektronik dapat salah satunya memenuhi dari kelima unsur dalam secured communication, namun masih terbuka adanya penampikan dari yang bersangkutan. Secara obyektif, informasi elektronik terjamin validitasnya atau mampu menerangkan siapa subyek hukum yang bertanggung jawab daripadanya, namun akuntabilitas atau reabilitas sistem elektronik yang dipakai tidak berjalan dengan baik (tidak terakreditasi), sehingga dengan sendirinya dapat dengan mudah di tampik oleh orang yang bersangkutan.46 3. Dalam tingkatan yang paling kuat (high level), keberadaan informasi elektronik secara obyektif terjamin validitasnya dan mampu menerangkan siapa subyek hukum yang bertanggung jawab serta sistem elektroniknya pun mampu terjamin berjalan dengan baik (terakreditasi), sehingga tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, maka apa yang dinyatakan oleh sistem tersebut dapat dianggap valid secara teknis dan hukum. Dalam konteks seperti ini maka substansi suatu informasi elektronik telah terjaga dengan baik dan selayaknya secara materil dapat dipersamakan dengan akta otentik.47 Kekuatan
Confidentiality
Integrity
Authencity
Authorization
pembuktian
Nonrepudiation
45
Ibid.
46
Ibid., hal. 32.
47
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
19
Lemah
X
X
X
X
X
Intermediate
√
√
√
√
X
Kuat
√
√
√
√
√
Lemah - Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab
Intermediate
Kuat
- Jelas siapa yang bertanggung
- Jelas siapa yang
- Boleh jadi utuh tapi belum
- Tidak otentik
terverifikasi sehingga belum
- Tidak utuh
otentik
- Bisa ditampik
- Masih dapat ditampik
bertanggung jawab - Tidak dapat ditampik - Terverifikasi dan otentik
Gambar 1. Tingkatan Nilai Kekuatan Pembuktian Informasi Elektronik ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA BELANDA Belanda mengatur secara resmi tentang tanda tangan elektronik dalam Dutch Signature Act. Pembentukan undang-undang Belanda telah mengatur secara umum mengenai pengakuan secara hukum terhadap tanda tangan elektronik pada Buku 3 bab 1 bagian 1a Pasal 15a sampai dengan Pasal 15i tentang Electronic Transactions On Respect Of Property Right dalam aturan baru dari Dutch Civil Code/ DCC. Dutch Civil Code telah mengatur tanda tangan elektronik. Buku 3 Bab 1 Bagian 1a Pasal 15a ayat (1) telah mengatur tanda tangan secara elektronik yang menyatakan bahwa: “An electronic signature has the same juridical effect as a handwritten signature if the method employed for its authentication is sufficiently reliable,having regards to the purpose for which the electronic data are used and to all other circumstnces of the case”
Buku 6 bab 3 bagian 4a Pasal 196b dan Pasal 196c yang mengatur tentang Liabitility in The Case of Electronic Transactions menyatakan bahwa tanggung jawab penyedia jasa sertifikasi yang dalam mengeluarkan sertifikat menjamin
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
20
keotentikan identitas dari pihak yang memiliki tanda tangan elektronik tersebut, syarat-syarat dalam menjalankan. Dutch Signature Act menggambarkan tentang syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar dokumen elektronik dapat disamakan dengan dokumen tertulis, yaitu bahwa suatu dokumen elektronik dapat diletakkan sejajar dengan dokumen tertulis jika memebuhi persyaratan sebagai berikut: 1. jika dokumen dapat dibaca (dimengerti) oleh para pihak; 2. jika kebenaran dari isi perjanjian tersebut dapat terjamin; 3. jika waktu atau saat terjadinya perjanjian dapat ditentukan dengan pasti; 4. jika identitas para pihak dapat ditentukan dengan pasti.48 ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA PERANCIS French Civil Code Pasal 1316 menjelaskan bahwa alat bukti dokumen atau alat bukti dalam bentuk tertulis yang terdiri dari urutan huruf, karakter, angka atau tanda-tanda lain yang memiliki arti dan dapat dimengerti, yang dibentuk dalam media apapun dapat diterima. “Documentary evidence, or evidence in writing, results from a sequence of letters, characters, figures or of any other sign or symbols having an intelligible meaning, whatever their medium and the ways and means of their transmission may be.” Pasal 1316 ayat (1) menyatakan bahwa dokumen yang berbentuk elektronik dapat diterima sebagai alat bukti dengan alat bukti dokumen yang terbuat dari kertas. “A document in electronic form is admissible as evidence in the same manner as a paper-based document, provided that the person from whom it proceeds can be duly identified and that it be established and stored in conditions calculated to secure it integrity.“ Hal tersebut dipertegas lagi dengan Pasal 1316 ayat (3) yang menjelaskan bahwa alat bukti dokumen yang medianya berbentuk elektronik memiliki nilai
48
Efa Laela Fakriah, Op. Cit., hal. 152.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
21
pembuktian yang sama dengan pembuktian alat bukti dokumen yang dibuat dari kertas. “An electronic based document has the same probative value as a paper based document” Dengan adanya undang-undang tersebut, dokumen yang medianya berbentuk elektronik sudah diakui sebagai alat bukti yang nilai pembuktiannya setara dengan alat bukti dokumen yang dibuat dengan kertas. Dalam membuat dokumen elektronik tersebut, dibutuhkan tanda tangan dari para pihak dalam mengakuinya. Hal ini bertujuan untuk menentukan subjek hukum dalam mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab dalam membuat dokumen tersebut. Pasal 1316 ayat (4) menyatakan bahwa tanda tangan elektronik dibuat untuk melaksanakan dokumen yang dibuat dalam bentuk elektronik tersebut. “The signature necessary to the execution of a legal transaction identifies the person who opposes it. It makes clear the consent of the parties to the obligations which flow from the transaction. When it is apposed by public officer, it confers authenticity to the document”. Dokumen yang berbentuk elektronik, dalam mengindentifikasinya membutuhkan
proses
identifikasi
yang
dapat
dipercaya
yaitu
dengan
menghubungkan proses pengidentifikasian dengan instrumen yang terkait dengannya. Proses pengindentifikasian tersebut harus menggunakan instrumen yang dapat dipercaya sehingga tanda tangan elektronik yang dibuat dapat diidentifikasi dan terjaga keotentikannya. Proses pengidentifikasian harus diterima oleh pejabat publik yang berwenang. ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA JERMAN Hukum Perdata Jerman juga mengatur tentang dasar hukum mengenai membuat dokumen elektronik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (4), dan Pasal 15 ayat (3) Notarization Act. Pasal 39a Notarization Act menyatakan:
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
22
“Notarial certificates and other notarial attestations pursuant to §39 may be establishes electronically. For that purpose, a qualified electronic signature pursuant to the electronic notarial document. The signature shall be based on a certificate that is permanently verifiable. A confirmation by the competent authority confirming that the issuer of the document is a notary must be attached to the notarial attestation. The notarial attestation shall indicate the place and date of issue” Dalam hal ini, akta notaris dan bentuk akta notaris lainnya dapat berbentuk elektronik. Dalam penggunaannya untuk memenuhi syarat harus dibubuhkan tanda tangan. Tanda Tangan Elektronik harus dicantumkan dalam akta notaris. Pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus berdasarkan sertifikasi yang dapat dipercaya. Pengesahan akta dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam menerbitkan dokumen tersebut yaitu notaris yang tercantum dalam akta notaris tersebut. Pengesahan dokumen harus menyebutkan tempat dan tanggal penerbitan akta. Dokumen elektronik juga telah diatur dalam German Civil Code yang diatur dalam Pasal 126 ayat (3) yang menyatakan bahwa If electronic form is to replace the written form prescribed by law, the issuer of the declaration must add his name to it and provide the electronic document with a qualified electronic signature in accordance with the Electronic Signature Act Dokumen yang berbentuk elektronik dapat menggantikan dokumen yang berbentuk tulisan. Pembuatan dokumen elektronik harus mencantumkan nama para pihak sebagai subjek hukum dan mencantumkan tanda tangannya. Tanda tangan yang dicantumkan dalam dokumen elektronik merupakan tanda tangan elektronik. Adannya pengaturan undang-undang tersebut mengakui bahwa dokumen elektronik dapat diakui sebagai alat bukti dalam perkara perdata di Jerman. PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan abik secara teoritis maupun dengan melihat korelasinya dengan implementasi dan analisa dalam studi kasus, Penulis memberikan simpulan sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
23
1. Kekuatan alat bukti elektronik ditentukan melalui sistem komunikasi untuk melakukan suatu transaksi dijalankan oleh sistem komunikasi yang aman, yakni kerahasiaan, integritas, otentistas, otoritas, nonrepudisasi, dan ketersediaan. Dapat dikatakan adanya suatu rentang nilai atau spektrum dalam menentukan bobot nilai kekuatan pembuktian suatu informasi elektronik dari yang akan sangat bergantung kepada sejauhmana realibilitas sistem keamanan baik dalam sistem informasi maupun terhadap sistem
komunikasi
elektronik
itu
sendiri.
Hal
tersebut
akan
memperlihatkan adanya jenjang tertentu, yakni dari suatu tingkatan yang paling rendah sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, yakni menjadi alat bukti yang berdiri sendiri. 2. Alat bukti elektronik dalam praktik baik berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik dan keluaran sistem elektronik lainnya bila dihubungkan dengan hukum acara perdata nasional yang diatur dalam HIR masih belum mengakomodasi secara jelas. Dengan adanya UU ITE maka informasi elektronik mengakomodirnya menjadi alat bukti sehingga informasi yang berbentuk elektronik maupupun hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah menurut hukum acara. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang diberikan dan melihat kepada kasus yang Penulis telah analisis maka saran yang dapat berikan sebagai hasil dari penelitian ini ialah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan koridor hukum yang jelas dan menyikapi pentingnya keberadaan undang-undang yang berkaitan dengan dunia maya, khususnya yang mencakup hukum formal, dalam hal ini hukum acara perdata, maka dalam upaya pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum acara perdata hendaknya berorientasi pada transaksi elektronik yang berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi. 2. Perlu adanya lembaga yang mengawasi sistem elektronik yang digunakan oleh para penyedia jasa elektronik di Indonesia supaya sistem yang
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
24
digunakan merupakan sistem yang terakreditasi sehingga setiap bentuk media yang memproses, mengolah data, dan mengeluarkannya dalam bentuk media apapun dapat memiliki kekuatan pembuktian otentik. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU No. 11 tahun 2008. LN No.58 Tahun 2008. TLN No. 4843.
______. Undang-Undang Dokumen Perusahaan. UU. No. 8 Tahun 1997. LN 18 Tahun 1997. TLN No.3674.
______. Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan dan Transaksi Elektronik, PP No. 82 Tahun 2012, LN. No.189 Tahun 2012, TLN. No.5348 Buku Ali, Chidir. Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Pembuktian Jilid 2. Bandung, Binacipta, 1981.
Fakriah, Efa Laela. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung: Alumni, 2009.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Makarim, Edmon. Notaris dan Transaksi Elektronik: Kajian Hukum Tentang Cybernotary Atau Electronic Notary. Jakarta, PT. Rajawali Grafindo Persada, 2011.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013
25
______. Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Mamudji, Sri. et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi VI. Yogyakarta: Liberty, 2002.
Soebekti. Hukum Pembuktian. Cet.XVII. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.
Soesilo. RIB/HIR dengan Penjelasan. Bogor, Politea, 1995.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. cet. 3. Jakarta: Universitas Indonesia , 2007. Surtantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 2009. Ridwan. “Penilaian Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Perdata.” Varia Peradilan No.296. (Juli 2010). Hal. 36.
Bastuck, Burkhard dan Burkard Gopfert. Admission and Presentation of Evidence in Germany. Loyola Los Angeles International & Comparative
Law
Review. 609. Vol. 16, 6 Januari 1994. Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia.” Disertasi Doktor Unversitas Gajahmada. Jogjakarta. 1970.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Ahdhi Thamus, FH UI, 2013