KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN (Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)
Oleh : SISHARYANTO PUTRO WIBOWO A14070022
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SUMMARY SISHARYANTO PUTRO WIBOWO. The Relationship Between Inconsintence of land utilization and Land Degradation level. Under supervision of Asdar Iswati dan Dyah Retno Panuju. The basic function of spatial planning is an instrument to direct and control land conversion. But in fact, we found lots of mismatching among actual used and plan. The deviation could be due to various environmental problems, for such as land degradation. Land degradation causes the emergence of unproductive areas. This study aims to (1) find out suitability of spatial utilization in Kecamatan Babakan Madang and Klapanunggal at year 2000 to 2010, (2) identify physical environment variables to characterize degradation level of land, (3) understand the relationship between spatial mismatch between plan and utilization and degradation level. Several methods employed in this study included: (1) overlapping of spatial utilization map with spatial plan of year 2000-2010 to determine of spatial mismatch, (2) discriminant analysis to determine physical environmental variables characterizing degradation level of land, (3) overlapping spatial mismatch with level of land degradation to find out relationship between spatial mismatch with degradation level of land. The spatial mismatch in Kecamatan Babakan Madang, ware 0.57% on protected forest areas, 27.41% on production forest areas, 100% on plantation areas, 24.33% on dryland farming areas, 23.38% on industrial areas. The mismatch in Kecamatan Klapanunggal, were 12.23% in production forest areas, 5.19% in wetland farming areas, 40.97% in dryland farming areas, 24.88% in industrial designation areas, and 3.64% in rural residential areas. Physical environmental variables characterized level of land degradation were erosion rate, surface rock, effective depth, and rock exposed. The spatial inconsistence were increasing level of degradation when production forest area were utilized as residential, up land, and C excavation areas. In addition, the inconsintence of utilization in other areas did not increase level of land degradation. Keywords: irregularities, land utilization, level of land degradation, characterize variable.
RINGKASAN SISHARYANTO PUTRO WIBOWO. Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alokasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan. Dibawah bimbingan Asdar Iswati dan Dyah Retno Panuju. Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen pemberi arahan dan pengendalian perubahan penggunaan lahan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan penyimpangan rencana dengan keadaan sebenarnya di lapang. Penyimpangan yang terjadi menyebabkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang terjadi yaitu degradasi lahan. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal– areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui kesesuaian alokasi dengan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 2000-2010, (2) Mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan, (3) Mengetahui hubungan penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dengan perubahan tingkat kekritisan lahan. Metode dalam penelitian ini meliputi: (1) Tumpang tindih peta penggunaan lahan dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2000-2010 untuk mengetahui penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang, (2) Analisis diskriminan untuk mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan, (3) Tumpang tindih peta penyimpangan pemanfaatan ruang dengan lahan kritis untuk mengetahui keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan perubahan tingkat kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang di Kecamatan Babakan Madang, 0.57% di kawasan hutan lindung, 27.41% di kawasan hutan produksi, 100% di kawasan perkebunan, 24.33% di kawasan pertanian lahan kering, 23.38% di kawasan peruntukan industri. Penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang di Kecamatan Klapanunggal : 12.23% di kawasan hutan produksi, 5.19% di kawasan pertanian lahan basah, 40.97% di kawasan pertanian lahan kering, 24.88% di kawasan peruntukan industri, dan 3.64% di kawasan pemukiman perdesaan. Variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan yaitu erosi, batuan permukaan, kedalaman efektif dan singkapan batuan. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang meningkatkan kekritisan lahan yaitu penyimpangan pada kawasan hutan produksi menjadi pemukiman, tegalan, dan galian C. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan yang lain tidak meningkatkan kekritisan lahan. Kata Kunci: Penyimpangan, Alokasi Ruang, Lahan Kritis, Variabel penciri.
KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN (Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)
Oleh : SISHARYANTO PUTRO WIBOWO A14070022
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alokasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)
Nama Mahasiswa
: Sisharyanto Putro Wibowo
NRP
: A14070022
Departemen
: Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Asdar Iswati, M.S NIP.19600410 198503 2 001
Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si NIP.19710412 199702 2 005
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Sisharyanto Putro Wibowo, dilahirkan di Pati, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Imam Siswanto dan Woro Haryantiningsih, S.E. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri Garung Lor 01 Kudus pada tahun 1995, kemudian pindah di SD Negeri Puri 03 Pati pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri 2 Pati dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Pati dan menyelesaikan pendidikanya pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) Selama menjadi Mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi yakni anggota Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Bina Desa IPB tahun 2009-2010, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catur IPB, dan anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) pada tahun 2007-2012. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah IPB (HMIT). Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan Pengembangan Wilayah tahun ajaran 2010/2011.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alolasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Kedua orang tua (ayah Imam Siswanto dan ibu Woro Haryantiningsih, S.E) kakak Martina Sistyaningrum, adik Sistyanto Putro Wicaksono, dan segenap keluarga besar yang telah memberikan motivasi dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi. 2. Dr. Ir. Asdar Iswati, M.S dan Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku pembimbing I dan II atas segala bimbingan dan arahannya yang diberikan kepada penulis. 3. Segenap jajaran para Dosen dan Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB terutama Mbak Dian dan Mbak Hesti. 4. Kepala Bappeda Kabupaten Bogor beserta staf yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 5. Teman-teman yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasinya kepada penulis : Nindi, Harisfan, Deny, Daniel, Ahyar, Rahmat, Dimas, Amin, Agoeng, Aci, Siti, Lili, Febri dan Citra. 6. Keluarga besar Soilscaper 44 dan Keluarga besar IKMP Pati atas kebersamaannya selama ini. 7. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak serta dapat memajukan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Tujuan .........................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan .......................................................................
4
2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) .....................................................
5
2.3. Lahan Kritis .................................................................................
6
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................
11
3.2. Bahan dan Alat .............................................................................
11
3.3. Metode Penelitian ........................................................................
12
3.3.1. Identifikasi Kesesuaian Alokasi Ruang .................................
13
3.3.2. Membuat Peta Kerja, untuk Mendapatkan Data Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan ....................................................................................
14
3.3.3. Identifikasi Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan........
16
3.3.4. Menguji Tingkat Ketepatan Klasifikasi DRLKT dengan kriteria modifikasi DRLKT dan Puslittanak .........................
16
3.3.5. Analisis Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan ................................................................
17
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis ............................................................................
19
4.2. Iklim .............................................................................................
20
4.3. Tanah ............................................................................................
20
4.4. Geologi dan Topografi .................................................................
21
4.5. Sosial Ekonomi ............................................................................
21
ii
4.6. Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 .........
22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal ...............................................................................
23
5.2. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang .............................................
26
5.3. Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan ..........
31
5.4. Ketepatan Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan DRLKT Menggunakan Kriteria Modifikasi ...............................................
32
5.5. Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan ............................................................
37
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ..................................................................................
42
6.2. Saran ............................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
43
LAMPIRAN ..............................................................................................
46
iii
DAFTAR TABEL
No 1.
Halaman Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997..........................................................................
8
Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan .........................................................................................
9
Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas...................................................................................................
10
4.
Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi ...........
15
5.
Cara Pengumpulan Data Fisik Lingkungan ......................................
15
6.
Interpretasi nilai r ..............................................................................
18
7.
Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 .........................................................................................
22
Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal ...............................................................
23
Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang ..............................................................................................
27
10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal ....................................................................................
29
11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan ..................................................................
32
12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. .......................................................................................
33
13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. .................................................................
34
14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan ..................................................................
37
15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang.............................................
38
16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Klapanunggal ..................................................
39
17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan .................................................................................................
40
2.
3.
8. 9.
iv
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1.
Lokasi Penelitian ...............................................................................
11
2.
Diagram Alir Penelitian ....................................................................
12
3.
Peta Administrasi Kecamatan Babakan Madang ..............................
19
4.
Peta Administrasi Kecamatan Klapanunggal ....................................
20
5.
Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang ....................
24
6.
Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal ..........................
25
7.
Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang ....................................
26
8.
Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang
28
9.
Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal ..........................................
29
10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Klapanunggal ......
31
11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang ...............................................................................
35
12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal ....................................................................................
36
v
DAFTAR LAMPIRAN
No 1.
Halaman Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang ............................
47
Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Klapanunggal ..................................
49
3.
Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan Lahan ............
52
4.
Luas dan Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap Desa di Kecamatan Babakan Madang................................................
53
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap Desa di Kecamatan Klapanunggal .....................................................................................
54
Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Babakan Madang ...........
55
Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Babakan Madang ...........
55
Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Klapanunggal ................
55
Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Perkebunan di Kecamatan Babakan Madang ................
56
10. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Babakan Madang ...............................................................................................
56
11. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Klapanunggal ...
56
12. Data Karakteristik Fisik Lingkungan di Lokasi Penelitian ................
57
2.
5. 6. 7. 8. 9.
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan yang cukup pesat menyebabkan terjadinya perubahan pola
penggunaan lahan. Kegiatan pembangunan disamping akan menghasilkan manfaat juga akan membawa dampak negatif, sehingga keduanya harus diperhitungkan secara seimbang. Dampak negatif harus dihilangkan atau ditekan sekecil mungkin. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terjadinya degradasi lahan antara lain: kegiatan deforestasi, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian itu sendiri (Suntoro, 2006). Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal–areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis. Lahan kritis merupakan masalah nasional di Indonesia, berdasarkan data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 2000 terdapat 23.24 juta hektar lahan kritis di Indonesia (Dirjen RLPS, 2000), sedangkan pada tahun 2004 mencapai 96.3 juta hektar dimana 57% berada di kawasan hutan (Dirjen RLPS, 2004b). Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidro-orologis dan fungsi ekonomi. Dengan perkataan lain lahan kritis adalah lahan tidak produktif, yang kondisinya tidak memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan pertanian tanpa usaha-usaha rehabilitasi. Lahan kritis biasanya dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyaknya singkapan batuan di permukaan (Suwardjo et al., 1995). Permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan lahan cenderung tetap dan merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat di perbaharui (non renewable). Sehingga dalam pemanfaatanya dirasakan perlu perencanaan penggunaan lahan dengan harapan dapat terwujudnya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif, efektif dan efisien. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah.
2
Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen pemberi arahan dan pengendalian perubahan penggunaan lahan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan penyimpangan rencana dengan keadaan sebenarnya di lapang. Penyimpangan yang terjadi menyebabkan kesemrawutan ruang dan pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah–masalah lingkungan. Apabila masalah-masalah lingkungan yang terjadi ini tidak dikendalikan dan ditindaklanjuti secara cepat dan terpadu dapat menyebabkan penurunan ketersediaan sumberdaya alam bahkan mengganggu keseimbangan lingkungan. Di Kawasan Bopunjur yang merupakan hulu (up-stream) dari Kawasan Jabodetabek, berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2001 telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan dari yang seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan
lindung,
namun
kenyataannya
digunakan
sebagai
kawasan
permukiman/perkotaan sebesar 79.5% dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No.114/1999. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35.000 ha atau 29% dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang untuk permukiman dan industri pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah (Dirjen Penataan Ruang, 2003). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian ini akan dikaji lebih mendalam mengenai hubungan tingkat kekritisan suatu lahan dengan ketidak sesuaian penggunaan lahan terhadap alokasi ruang dalam RTRW. Setelah mengetahui dampak dari tidak sesuainya penggunaan lahan tersebut terhadap kekritisan lahan, maka dalam pemanfaatan penggunaan lahan diharapkan akan dilaksanakan secara lebih bijaksana dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.
3
1.2.
Tujuan Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kesesuaian alokasi dengan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal pada tahun 2000-2010. 2. Mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan. 3. Menguji tingkat ketepatan klasifikasi tingkat kekritisan lahan Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (DRLKT) menggunakan kriteria modifikasi. 4. Mengetahui hubungan penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, semak, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000). Berikut ini merupakan penjelasan beberapa jenis penggunaan lahan berdasarkan pedoman survai yang digunakan oleh Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri (Sitorus 1989): 1). Hutan adalah areal yang ditumbuhi berbaga jenis pepohonan besar dan kecil dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan heterogen yang merupakan hutan alam atau hutan homogen yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja. 2). Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras atau tanaman tahunan, baik untuk usaha perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. 3). Kebun Campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas jenis mana yang lebih dominan. 4). Tegalan adalah areal pertanian lahan kering, biasanya tanaman yang diusahakan adalah tanaman berumur pendek. 5). Sawah adalah areal pertanian lahan basah yang secara periodik atau terusmenerus ditanami padi.
5
6). Danau adalah areal penggenangan permanen yang dalam dan terjadi secara alami. 7). Rawa adalah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga pada umumnya ditumbuhi rerumputan rawa. 8). Perkampungan atau Pemukiman adalah bagian dari permukaan bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi segala (sarana dan prasarana) yang menunjang kehidupan penduduk. Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh kemampuan lahan dan lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan dipengaruhi oleh kelas kemampuan lahan yang dicirikan adanya perbedaan sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan akan menciptakan pemanfaatan ruang yang tepat guna dan berhasil guna sehingga penting dilakukan perhitungan terhadap faktor-faktor fisik tanah untuk mengetahui besarnya kemampuan dan kesesuaian lahan pada suatu kawasan. Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah ruang, kemampuan dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007).
2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Rencana tata ruang merupakan instrumen penting bagi pemerintah, sehingga penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan pengesahan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Rencana tata ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Menurut Wiranto (2001), pelaksanaan pembangunan
6
harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, agar dapat dihindari masalah:
(1)
ketidakseimbangan
laju
pertumbuhan
antar
daerah;
(2)
ketidakefisienan pemanfaatan sumberdaya alam dan kemerosotan kualitas lingkungan hidup; (3) ketidaktertiban penggunaan tanah; (4) ketidakefisienan kegiatan ekonomi-sosial; dan (5) ketidakharmonisan interaksi sosial ekonomi antar pelaku dalam pemanfaatan ruang. Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini di tunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sitorus, 2004). Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003, yaitu: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai penyimpangan antara rencana dan pemanfaatan ruang. Kerusakan lahan merupakan beban berat yang harus ditanggung masyarakat terutama jika diperhitungkan akibat sampingan yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan, banjir pada saat musim hujan, pendangkalan irigasi dan saluran sungai serta kekurangan air pada saat musim kemarau. Hal ini menuntut perhatian karena memperbaiki lahan yang telah kritis agar dapat berfungsi dengan baik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal (Arsyad, 2000).
2.3. Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya (Tim Balai Penelitian Tanah, 2004). Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
7
adalah tutupan vegetasi, lereng, erosi, dan kedalaman solum tanah. Tutupan vegetasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Disamping itu kondisi tutupan vegetasi yang baik juga memberikan serasah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah (Notohadiprawiro, 2006). Hubungan antara lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil lereng akan semakin besar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air di daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis juga semakin kecil (Darmawijaya, 1992). Erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan, dan padang penggembalaan. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan-lahan tersebut yang berarti juga akan terjadi peningkatan biaya dibutuhkan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu: lahan potensial kritis, lahan semi/hampir kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis (Sitorus, 2004). a) Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan. Bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi/hampir kritis atau lahan kritis. b) Lahan semi/hampir kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi yang rendah.
8
c) Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. d) Lahan sangat kritis adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk di rehabilitasi. Di dalam Karmelia (2006) disebutkan bahwa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1997 telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan
yaitu
: (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat
torehan/kerapatan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis. Ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis tersebut disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997 Parameter
Potensial Kritis
Semi Kritis
Kritis
Sangat Kritis
Penutupan vegetasi
> 75 %
50-75 %
25-50 %
< 25 %
Tingkat torehan
Agak tertoreh
Cukup tertoreh
/ kerapatan drainase
Cukup tertoreh
Sangat tertoreh
Hutan, kebun
Pertanian, lahan
campuran,
kering, semak
belukar,
belukar, alang-
perkebunan
alang
Dalam
Sedang
Dangkal
(>100 cm)
(60-100 cm)
(30-60 cm)
Penggunaan lahan
Kedalam tanah
Sangat tertoreh Sangat tertoreh sekali
Sangat tertoreh
Pertanian, lahan
Gundul,
kering, rumput
rumput
semak
semak Sangat dangkal (< 30 cm )
Sumber : Karmelia (2006)
Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis, (2) Potensial Kritis, (3) Agak Kritis, (4) Kritis, dan (5) Sangat Kritis. Kriteria pengelompokkan ini berdasarkan pada variabel:
9
kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan No 1
2
Kriteria (% bobot)
Kelas
Skor
Keterangan
>80%
5
Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional
Produktivitas
1. Sangat Tinggi
(30)
2. Tinggi
61 – 80 %
4
3. Sedang
41 – 60 %
3
4. Rendah
21 – 40 %
2
5.Sangat Rendah
<20 %
1
Lereng
1. Datar
<8 %
5
(20)
2. Landai
8 – 15 %
4
3. Agak Curam
16 – 25 %
3
4. Curam
26 – 40 %
2
>40 %
1
5. Sangat Curam 3
Besaran/Diskripsi
Erosi
1. Ringan
(15)
Tanah dalam : <25% lapisan tanah
5
atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m 2. Sedang
Tanah dalam : 25 – 75 % lapisan
4
tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : 25–50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m 3. Berat
Tanah dalam : > 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal : 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang
3
10
Tabel 2 (Lanjutan) Kriteria
No 3
(% bobot) Erosi
Kelas
Besaran/Diskripsi
Skor
4. Sangat Berat
Tanah dalam : Semua lapisan tanah
2
(15)
Keterangan
atas hilang, >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi
4
Batu – batuan
1. Sedikit
(5)
< 10 % permukaan lahan tertutup
5
batuan 2. Sedang
10 – 30 % permukaan lahan
3
tertutup batuan 3. Banyak
>30 % permukaan lahan tertutup
1
batuan 5
Manajemen
1. Baik
(30)
- Penerapan teknologi konservasi
5
tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis 2. Sedang
- Tidak lengkap atau tidak
3
terpelihara 3. Buruk
- Tidak ada
1
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004
Tabel 3. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas Tingkat Kekritisan
Jumlah Nilai (bobot x skor)
Sangat Kritis
115 – 200
Kritis
201 – 275
Agak Kritis
276 – 350
Potensial Kritis
351 – 425
Tidak kritis
426 – 500
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004
11
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan
Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai Desember 2011.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
3.2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : (1)
Citra ALOS AVNIR 2009, peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 skala 1:100.000, peta lahan kritis tahun 2009 skala 1:100.000, peta administrasi skala 1:25.000, peta lereng skala 1:250.000, peta curah hujan skala 1:250.000, dan peta tanah tinjau skala 1:250.000, data Potensi Desa Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal.
12
Peralatan yang digunakan dalam penelitian, (1)
Untuk pengamatan karakteristik lahan kritis : Bor tanah, abney level, Global Position System (GPS), pisau, dan kamera digital.
(2)
Untuk analisis statistik dan spasial: Seperangkat komputer yang di lengkapi software Arc View GIS 3.3, dan Statistica 8.0.
3.3.
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap kegiatan, (1) identifikasi
kesesuaian alokasi ruang, (2) identifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, (3) menguji ketepatan klasifikasi DRLKT menggunakan kriteria modifikasi, dan (4) analisis keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3 Tahap 4
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
13
3.3.1. Identifikasi Kesesuaian Alokasi Ruang Identifikasi kesesuaian alokasi ruang terhadap penggunaan lahan dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR tahun 2009 untuk mendapatkan peta penggunaan lahan. Kemudian peta penggunaan lahan yang dihasilkan di overlay dengan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2000-2010, sehingga dihasilkan peta penyimpangan alokasi ruang dengan penggunaan lahan. Tahapan klasifikasi penggunaan lahan meliputi: (1) koreksi geometrik dan (2) interpretasi visual penggunaan lahan.
1)
Koreksi Geometrik Koreksi geometrik merupakan koreksi posisi citra akibat kesalahan
geometrik. Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan cara menentukan titiktitik ikat atau Ground Control Point (GCP) yang mudah ditentukan seperti percabangan sungai atau perpotongan jalan, yang dibuat merata pada seluruh citra. Sistem koordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem koordinat bujur-lintang (Latitude-Longitude). Akurasi koreksi geometrik di ukur dengan nilai RMS (Root Mean Square) error. Semakin kecil RMS error maka ketepatan titik GCP semakin tinggi. Perhitungan RMS error menggunakan persamaan berikut (Jensen, 1996) :
x dan y = koordinat citra asli (input) X dan Y = koordinat citra keluaran (output)
2)
Interpretasi Penggunaan Lahan Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan mengamati
berbagai kenampakan obyek menggunakan warna asli (true color) dan dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi citra, yaitu rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Obyek–obyek yang diamati kemudian dikelaskan dalam salah satu penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, kebun
14
campuran, semak, rumput, pemukiman, jalan dan emplasmen, sawah, tegalan, badan air, galian c, dan industri. Penarikan batas penggunaan atau penutupan lahan dilakukan secara langsung melalui digitasi layar (on-screen digitizing) yaitu melakukan digitasi pada monitor komputer secara langsung. Proses ini dilakukan dengan software Arcview 3.2 beserta ekstensi Arcview image Analysis 1.1.
3.3.2. Membuat Peta Kerja, untuk Mendapatkan Data Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan Peta kerja sebagai dasar pengumpulan data untuk mengetahui keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan dibuat dengan cara overlay antara peta penyimpangan alokasi ruang dengan peta lahan kritis. Jumlah titik pengamatan 48 titik, terdiri dari 31 titik pengamatan pada kawasan yang satuan penggunaannya menyimpang di berbagai tingkat kekritisan lahan dan 17 titik pada kawasan yang penggunaannya tidak menyimpang sehingga dianggap sebagai kontrol. Pengamatan variabel lahan kritis dilakukan pada penggunaan lahan tegalan, sawah, hutan, dan kebun campuran. Sedangkan pada penggunaan lahan pemukiman, industri dan galian-C tidak memungkinkan pengamatan/pengukuran variabel lahan kritis, sehingga hanya mengambil foto. Untuk mendapatkan variabel penciri tingkat kekritisan lahan, selain 48 titik pengamatan, juga diamati 30 titik pengamatan tambahan. Dengan bertambahnya 30 titik pengamatan tersebut diharapkan variabel penciri kelas kekritisan lahan hasil analisis statistik lebih mendekati kondisi di lapang. Tiga puluh titik pengamatan tersebut ditentukan berdasarkan jumlah tiap kategori kelas kekritisan lahan di dua kecamatan, masing – masing kelas kekritisan lahan diamati 3 titik pengamatan. Variabel lahan kritis yang diamati : kedalaman efektif, lereng, batuan di permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi. Variabel tersebut merupakan modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT tahun 2004 dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) tahun 1997. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi tersaji pada Tabel 4. Cara pengumpulan data fisik lebih lengkap terdapat pada Tabel 5
15
Tabel 4. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi 1) 2) 3) 4) 5)
DRLKT Produktivitas Lereng Erosi Batu – batuan Manajemen
Puslittanak 1) 2) 3) 4) 5)
Penutupan vegetasi Tingkat torehan Kerapatan drainase Penggunaan lahan Kedalaman efektif
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Modifikasi Kedalaman efektif Lereng Batuan permukaan Drainase Singkapan batuan Erosi Tindakan konservasi Tutupan vegetasi
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004 dan Karmelia (2004)
Tabel 5. Cara Pengumpulan Data Fisik Lingkungan No
1 2 3
4
5 6
Jenis Variabel
Cara Pengumpulan
Pengamatan di lapang menggunakan bor Kedalaman tanah. Pengeboran dilakukan sampai efektif tanah kedalaman maksimal 120 cm atau sampai kedalaman batuan atau padas. Lereng Diukur dengan abney Level di lapang Batuan Diamati dilapang berdasarkan persentase permukaan batuan di permukaan tanah Diamati di lapang berdasarkan tingkat drainase tanah : a) Cepat : tanah bertekstur kasar (berpasir), air cepat meresap kedalam tanah, tidak ada karatan. b) Baik : tekstur tanah diantara berpasir Drainase dan berliat, air mudah meresap kedalam tanah, dan tidak pernah jenuh air. c) Lambat : tanah bertekstur halus (berliat) air lambat meresap kedalam tanah (tergenang air), terdapat karatan berwarna keabu-abuan. Singkapan Diamati dilapang berdasarkan persentase batuan singkapan–singkapan batuan Erosi
7
Tindakan Konservasi
8
Tutupan vegetasi
Diamati dilapang berdasarkan tererosi (erosi parit dan alur) atau tidak tererosi Diamati berdasarkan ada atau tidak adanya bangunan konservasi di lapangan. Bangunan konservasi yang diamati meliputi teras bangku dan guludan. Diamati dilapang berdasarkan persentase tutupan vegetasi di atas permukaan tanah.
Keterangan/ Satuan cm % %
1 = drainase cepat dan baik 0 = drainase lambat
% 1 = tererosi 0 = tidak tererosi 1 = tidak ada 0 = ada %
16
3.3.3. Identifikasi Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Untuk mengidentifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, data kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi di analisis diskriminan. Dengan persamaan umum fungsi diskrminan (Johnson dan Wichern, 2002) :
Zjk = a + W1*X1k + W2X2k +...+ Wn*Xnk Dimana : Zjk
= Nilai diskriminan Z dari fungsi diskriminan j untuk obyek k
a
= Intersep
Wi
= Koefisien diskrimian untuk variabel independen ke-i
Xik
= Nilai variabel ke-i untuk obyek ke-k
Untuk menjamin tidak terjadinya redundansi (multikolinearitas) antar variabel digunakan metode analisis diskriminan bertatar. Dalam analisis diskriminan dengan prosedur bertatar (stepwise), model penciri ditetapkan tahap demi tahap. Dalam setiap tahap, variabel kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi
dievaluasi, sehingga diperoleh variabel yang berkontribusi terbesar
dalam membedakan tingkat kekritisan lahan.
3.3.4. Menguji Tingkat Ketepatan Klasifikasi DRLKT dengan Kriteria Modifikasi DRLKT dan Puslittanak. Tingkat ketepatan klasifikasi DRLKT di uji dengan menggunakan variabel fisik lahan kritis hasil modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT dan Puslittanak. Variabel fisik lahan kritis tersebut meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi, yang kemudian di analisis diskriminan dimana keluarannya berupa matrik klasifikasi dan peluang prosterior.
17
3.3.5. Analisis Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Dalam menganalisis keeratan hubungan antara tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan dan variabel fisik lahan yang ada di wilayah penelitian, maka dilakukan analisis korelasi. Data yang digunakan meliputi luas masing – masing tingkat kekritisan lahan, luas penyimpangan alokasi ruang, serta data variabel fisik lahan kritis yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi. Analisis korelasi memanfaatkan persamaan berikut :
Dimana = Koefisien Korelasi Pearson x1
= Luas dan tingkat kekritisan lahan
x2
= Luas penyimpangan penggunaan lahan dan nilai variabel fisik lahan
Dimana
rs = Koefisien korelasi rank spearman tx = Banyaknya observasi sama pada variabel X untuk rank tertentu ty = Banyaknya observasi sama pada variabel Y untuk rank tertentu di = Perbedaan rank X dan rank Y pada observasi ke-i i = Observasi ke-i, untuk i = 1, 2, …, n
18
Analisis korelasi dalam penelitian ini meliputi korelasi Person dan korelasi Rank Spearman. Dalam melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan maka dilakukan korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Untuk melihat hubungan tingkat kekritisan dengan variabel fisik lahan yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, dan tutupan vegetasi menggunakan analisis korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Sedangkan untuk melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan variabel fisik lahan yang meliputi drainase, erosi, dan tindakan konservasi menggunakan analisis korelasi Spearman karena data berskala ordinal. Interpretasi nilai r (koefisien korelasi) disajikan pada Tabel 6 (Usman dan Akbar, 2006)
Tabel 6. Interpretasi nilai r Interval nilai (koefisien)
Derajat hubungan
0
Tidak berkorelasi
0.01 – 0.20
Sangat lemah
0.21 – 0.40
Lemah
0.41 – 0.60
Sedang
0.61 – 0.80
Kuat
0.81 – 0.99
Sangat Kuat
1
Berkorelasi sempurna
19
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1.
Letak Geografis Secara geografis Kecamatan Babakan Madang terletak antara 6o30’0”
sampai dengan 6o38’17” Lintang Selatan dan 106o50’22” sampai dengan 106o58’52” Bujur Timur, dengan luas wilayah ± 9.230 ha. Kecamatan Babakan Madang terdiri dari 9 desa, yaitu: Desa Cijayanti, Bojong Koneng, Karang Tengah, Sumur Batu, Babakan Madang, Citaringgul, Cipambuan, Kadumangu, dan Sentul (Gambar 3).
Gambar 3. Peta Administrasi Kecamatan Babakan Madang Kecamatan Klapanunggal terletak antara 6o25’51” sampai dengan 6o32’8” Lintang Selatan dan 106o53’30” sampai dengan 107o1’30” Bujur Timur, dengan luas wilayah ± 9.569 ha. Secara administratif Kecamatan Klapanunggal terdiri dari 9 desa, yaitu: Desa Leuwikaret, Lulut, Bantar Jati, Nambo, Kembang Kuning, Klapanunggal, Ligarmukti, Bojong, dan Cikahuripan (Gambar 4).
20
Gambar 4. Peta Administrasi Kecamatan Klapanunggal
4.2.
Iklim Kecamatan Babakan Madang rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3500-
4000 mm/tahun dengan luas 8114 ha atau 87.90%, terletak di tengah kecamatan. Sisanya di bagian selatan curah hujan 4000-4500 mm/tahun (11.05%), dan di bagian Utara curah hujan 3000-3500 mm/tahun (1.05%) (BMG, 2007). Kecamatan Klapanunggal rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3500-4000 mm/tahun sebesar 5747 ha atau 60.06% dari luas kecamatan. Sisanya bagian Utara mendapatkan curah hujan sebesar 3000-3500 mm/tahun (39.39%), dan bagian selatan 4000-4500 mm/tahun (0.55%) (BMG, 2007). Suhu dan kelembaban udara di lokasi penelitian di perkirakan sama dengan Kabupaten Bogor. Berdasarkan stasiun pengamatan di Darmaga, Kabupaten Bogor dari tahun 1975-2005, suhu udara berkisar rata-rata 200C sampai 300C dengan kelembaban udara 70% (http://iklim.bmg.go.id, 18 Juli 2012)
4.3.
Tanah Berdasarkan Peta Tanah skala 1:250.000 yang dikeluarkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) tahun 1966, sebagian besar jenis tanah yang di temukan di Kecamatan Babakan Madang
21
adalah tanah Latosol, dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (2006) termasuk order Inceptisol. Kompleks Latosol merah kekuningan, Latosol coklat, Podzolik sebesar 7799 ha atau 84.49% dari luas kecamatan. Sisanya Asosiasi Latosol merah, Latosol coklat kemerahan (1.31%) dan Latosol merah (14.20%). Kecamatan Klapanunggal sebagian besar luasan wilayahnya memiliki jenis tanah Podzolik dan Latosol, dalam klasifikasi taksonomi tanah termasuk order Ultisol. Kompleks Podzolik merah kekuningan, Podzolik kuning dan Regosol sebesar 3217 ha atau 33.62% dari luas kecamatan, Podzolik merah 21.53%, dan Asosiasi Latosol merah, Latosol coklat kemerahan dan Laterit 20.61%. Sisanya Asosiasi Podzolik kuning dan Hidromorf kelabu (12.39%), Kompleks Latosol merah kekuningan, Latosol coklat, Podzolik (11.71%) dan Grumusol (0.13%).
4.4.
Geologi dan Topografi Berdasarkan peta geologi lembar Bogor skala 1:100.000 yang dikeluarkan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1990 , formasi geologi di Kecamatan Babakan Madang di dominasi oleh Formasi Jatiluhur (Tmj), terdiri dari napal dan batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Selain itu terdapat cukup luas Formasi Volkanik G. Kencana (Qvk), terdiri dari breksi dengan bongkah andesit dan basalt. Topografi di berombak sampai berbukit, dengan kelas kemiringan lereng dominan (45.4%) curam (26-40%), dan 34.4% sangat curam (>40%), sisanya 0.3% kelas kemiringan agak curam (16-25%) dan 19.0% datar (<8%). Formasi geologi di Kecamatan Klapanunggal di dominasi oleh Formasi Klapanunggal (Tmk), terdiri dari batugamping koral, sisipan batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa glaukonitan. Topografi berombak sampai berbukit, dengan kelas kemiringan lereng dominan (72.4%) curam (26-40%) dan sisanya 26.6% datar (<8%).
4.5.
Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Kecamatan Babakan Madang pada tahun 2009
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor sebanyak 90.838 jiwa,
22
dengan tingkat kepadatan penduduk 920 jiwa/ km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani, sedangkan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, hotel, jasa, dan lain-lain (BPS, 2009). Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Desa Karang Tengah sebesar 14371 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Sentul sebesar 4035 jiwa/ km2. Jumlah penduduk di Kecamatan Klapanunggal di tahun 2008 sebesar 79.662 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 812 jiwa/km2. Jumlah penduduk (13122 jiwa) dan tingkat kepadatan (2399 jiwa/ km2) terbesar terletak di Desa Kembang Kuning. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Klapanunggal adalah di sektor jasa, sedangkan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, hotel, jasa, pertanian dan lain-lain (BPS, 2008).
4.6.
Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 Menurut Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2000, berdasarkan RTRW
Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 peruntukan ruang Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Klapanunggal tersaji pada Tabel 7. Peruntukan ruang di Kecamatan Babakan Madang sebagian besar untuk kawasan pemukiman perkotaan dan di Kecamatan Klapanunggal sebagian besar untuk kawasan hutan produksi. Di Kecamatan Babakan Madang tidak terdapat peruntukan ruang kawasan pertambangan, dan kawasan pertanian lahan basar, sedangkan di Kecamatan Klapanunggal tidak terdapat kawasan perkebunan. Tabel 7. Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 No
Jenis Pemanfaatan Ruang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12
Kawasan Hutan Produksi Kawasan Lindung Kawasan Pariwisata Kawasan Pengembangan Perkotaan Kawasan Perkebunan Kawasan Permukiman Perdesaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pertambangan Kawasan Pertanian Lahan Basah
Sumber : Peta RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010
Babakan Madang Proporsi Luas (ha) (%) 1583.26 17.15 1826.90 19.79 562.16 6.09 1466.94 15.89 5.85 0.06 182.31 1.97 2790.43 30.23 611.44 6.62 180.08 1.95 -
Klapanunggal Proporsi Luas (ha) (%) 3756.80 39.25 239.64 2.51 32.69 0.34 3.79 0.039 1009.76 10.55 630.77 6.59 796.19 8.32 1250.15 13.06 802.85 8.39 1017.63 10.63
23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009,
Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, jalan dan emplasmen, kebun campuran, pemukiman, rumput, sawah, dan tegalan. Kecamatan Klapanunggal memiliki 10 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, kebun campuran, pemukiman, sawah, tegalan, galian C, lahan terbuka dan semak. Secara spasial sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang pada Gambar 5 dan Kecamatan Klapanunggal pada Gambar 6. Luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Badan air Hutan Industri Jalan dan Emplasmen Kebun Campuran Pemukiman Rumput Sawah Tegalan Galian C Lahan Terbuka Semak Total
Luas (ha) Babakan Klapanunggal Madang 91.32 86.26 3143.23 3141.57 76.18 379.12 136.94 681.61 1025.91 1567.61 1259.19 196.32 459.05 1669.85 2877.79 257.98 547.74 253.83 947.99 9230.05 9569.43
Proporsi (%) Babakan Klapanunggal Madang 0.99 0.90 34.05 32.83 0.83 3.96 1.48 7.38 10.72 16.98 13.16 2.13 4.97 17.45 31.18 2.70 5.72 2.65 9.91 100.00 100.00
Sumber : Hasil Interpretasi Citra Alos Anvir 2009
Dari Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang didominasi oleh hutan dan tegalan dengan proporsi masing-masing 34.05% dan 31.18% dari total luas Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan Klapanunggal didominasi oleh hutan dan sawah, dengan proporsi masing-masing 32.83% dan 17.45% dari total luas Kecamatan Klapanungal. Tingginya penggunaan lahan hutan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal
24
dikarenakan terdapat peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang cukup luas, sehingga penggunaan lahan hutan di dalam kawasan tersebut tetap terjaga dari konversi ke penggunaan lain karena dilindungi oleh hukum, walaupun masih terdapat beberapa penyimpangan.
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang
Penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang lebih dominan tegalan dari pada padi sawah, hal tersebut di karenakan sedikitnya aliran sungai yang melintasi Kecamatan Babakan Madang, dimana air sungai merupakan salah satu sumber utama irigasi padi sawah. Sedangkan di Kecamatan Klapanunggal cukup banyak dialiri air sungai sehingga penggunaan lahan untuk padi sawah lebih dominan. Penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Babakan Madang sebesar 1567.61 ha dan Klapanunggal 1259.19 ha. Luasnya peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan menyebabkan banyaknya pemukiman di kedua kecamatan tersebut. Total peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan di Kecamatan Babakan Madang sebesar 2972.74 ha atau
25
48.09%, dan di Kecamatan Klapanunggal 1644,32 ha atau 17.18% dimana masih cukup luas peruntukan kawasan pemukiman tersebut yang belum menjadi pemukiman. Penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Babakan Madang sebesar 681.61 ha dan Klapanunggal 1025.91 ha. Tingginya penggunaan lahan kebun campuran di karenakan tingginya penggunaan lahan pemukiman, sawah dan tegalan. Dimana kebun campuran cenderung berada di sekitar pemukiman, sawah, dan tegalan. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Babakan yaitu jalan dan emplasmen, dan rumput. Penggunaan lahan jalan dan emplasmen berupa jalan tol dan sirkuit sentul, rumput berupa lapangan golf. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Klapanunggal yaitu Galian C berupa batuan kapur yang di tambang oleh PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan penduduk sekitar.
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal
26
5.2.
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan
Klapanunggal
berdasarkan
matrik
logik
disajikan
pada
Lampiran
3.
Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 9. Dari Gambar 7 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang terjadi di kawasan budidaya dan lindung. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya terjadi di kawasan, perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan industri. Penyimpangan terbesar terjadi di kawasan perkebunan sebesar 100%, dimana 69.57% untuk tegalan dan 30.43% untuk kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk tegalan 21.51%. Penyimpangan di kedua kawasan tersebut sebagian besar terdapat di Desa Karang Tengah. Dimana 1927 dari 3381 rumah tangga berprofesi sebagai petani, dengan komoditas pertanian yang diusahakan adalah ubi kayu (BPS, 2009), sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering terbesar untuk sawah 18.16%. Penyimpangan tersebut terjadi di sekitar daerah aliran sungai di Desa Karang Tengah, dimana lahan masih bisa ditanami padi sawah.
% Penyimpangan
100 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
27.41
24.33
23.38
0.57 Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan Kawasan Kawasan Perkebunan Pertanian Peruntukan Lahan Kering Industri
Gambar 7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang
27
Tabel 9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang RTRW
Penyimpangan
No
1
2
Kawasan
Luas (ha)
Kawasan Hutan Lindung
1826.91
Kawasan Hutan Produksi
1583.27
3
Kawasan Perkebunan
4
Kawasan Pertanian Lahan Kering
611.45
Kawasan Peruntukan Industri
180.08
5
5.85
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
%
Sawah
10.23
0.56
Tegalan
0.11
0.01
Pemukiman
13.07
0.83
Sawah
80.33
5.07
Tegalan
340.54
21.51
Tegalan
4.07
69.57
Kebun Campuran
1.78
30.43
Pemukiman
37.71
6.17
Sawah
111.01
18.16
Pemukiman
42.10
23.38
Total
Total (ha) 10.34
433.94
5.85
148.72 42.10 639.17
Kawasan peruntukan industri menyimpang sebesar 23.38% dari alokasi RTRW dengan jenis penyimpangan menjadi pemukiman. Penyimpangan terjadi di Desa Sentul, dimana 1263 dari 2469 rumah tangga bekerja di sektor industri. Adanya industri menarik para penduduk di luar desa tersebut untuk bekerja di sana. Sehingga menyebabkan tumbuhnya pemukiman–pemukiman baru sebagai tempat tinggal penduduk pendatang. Dimana pemukiman tersebut sebagian menyimpang dari peruntukan kawasaan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung sebesar 0.57%, untuk sawah 0.56% dan tegalan 0.01%. Penyimpangan tersebut terdapat di Desa Karang Tengah dan Bojong Koneng, dimana 1927 dari 3381 rumah tangga di Desa Karang Tengah dan 1406 dari 2618 rumah tangga di Desa Bojong Koneng bekerja sebagai petani (BPS, 2009). Sehingga terdapat beberapa petani yang menggunakan kawasan hutan lindung untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 4. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 8.
28
Gambar 8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang
Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal hanya terjadi di kawasan budidaya yaitu pada kawasan pertanian lahan kering, industri, hutan produksi, pertanian lahan basah, dan pemukiman pedesaan. Jenis dan luas penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disajikan pada pada Tabel 10 dan Gambar 9. Dari Tabel 10 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyimpangan terbesar terjadi di kawasan pertanian lahan kering. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering digunakan untuk pemukiman 34.18%, selain itu industri 3.09% dan sawah 3.7%. Penyimpangan tersebut sebagian besar terletak di Desa Ligar Mukti. Tingginya penyimpangan kawasan pertanian lahan kering menjadi pemukiman di kawasan tersebut karena jauhnya jarak desa dari pusat kota. Listiawan (2010) mengungkapkan bahwa, jarak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.
% Penyimpangan
29
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40.97
24.88 12.23 5.19
Kawasan Hutan Produksi
3.64
Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Pertanian Pertanian Peruntukan Pemukiman Lahan Basah Lahan Kering Industri Pedesaan
Gambar 9. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal Tabel 10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal RTRW No
Luas (ha)
Kawasan
1
Kawasan Hutan Produksi
3756.80
2
Kawasan Pertanian Lahan Basah
1017.63
3
Kawasan Pertanian Lahan Kering
796.19
Penggunaan Lahan Galian C Kebun Campuran Lahan Terbuka
4.17
0.11
Pemukiman Sawah Tegalan
33.50 50.65 89.10
0.89 1.35 2.37
Pemukiman
52.78
5.19
Industri
24.64
3.09
272.17
34.18
29.48
3.70
311.03 36.71
24.88 3.64
Pemukiman Sawah
4 5
Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pemukiman Pedesaan Total
1250.16 1009.76
Penyimpangan Luas % (ha) 116.93 3.11 165.29 4.40
Pemukiman Industri
Total (ha)
459.64
52.78 326.29 311.03 36.71 1186.44
Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan basah dan peruntukan
industri
berupa
pemukiman
sebesar
5.19%
dan
24.88%.
Penyimpangan tersebut terjadi di Desa Klapanunggal dan Kembang Kuning. Tingginya jumlah penduduk (11859 jiwa di Desa Klapanunggal dan 13122 jiwa di Desa Kembang Kuning) (BPS, 2008) menyebabkan terjadinya penyimpangan di kedua kawasan tersebut. Selain itu, penduduk di kedua desa tersebut sebagian
30
besar bekerja di sektor industri (BPS, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Restina (2009) kepadatan penduduk dan jenis pekerjaan mempengaruhi terjadinya penyimpangan alokasi ruang. Adanya industri menarik para penduduk untuk bekerja di sana yang menyebabkan tumbuhnya pemukiman–pemukiman di sekitar kawasan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pemukiman perdesaan berupa industri sebesar 36.71 ha atau 3.64%. Penyumbang terbesar penyimpangan tersebut terdapat pada pabrik Holcim, dimana 19.10 ha atau 21.96% dari luas pabrik Holcim tidak sesuai dengan alokasi ruang yang seharusnya digunakan untuk pemukiman perdesaan. PT. Holcim Indonesia Tbk merupakan industri semen ketiga terbesar di Indonesia dengan kapasitas terpasang sebesar 7.9 juta ton. Dengan produksi yang tercapai pada tahun 2005 sebesar 6.5 juta ton (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk kebun campuran sebesar 165.29 ha atau 4.40%. Selain itu untuk galian C sebesar 116.93 ha atau 3.11%. Banyaknya kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran karena dekatnya kawasan hutan produksi dengan pemukiman penduduk, sawah, dan tegalan, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan sebagian kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-C sebesar 116.93 ha atau 3.11%, penyimpangan terjadi Desa Leuwikaret dan Desa Klapanunggal. Di Desa Leuwikaret penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-C disebabkan oleh tambang PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang merupakan industri semen terbesar kedua setelah Semen Gresik Grup dengan total kapasitas sebesar 16.5 juta ton atau 37% dari seluruh kapasitas terpasang industri semen di Indonesia (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Sedangkan di Desa Klapanunggal penyimpangan kawasan hutan produksi menjadi galian-C terjadi karena terdapat beberapa tambang liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Tambang liar di desa tersebut disebabkan oleh kurangnya pengawasan aparat berwajib. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 5. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 10.
31
Gambar 10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal
5.3.
Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan Hasil pengamatan variabel penciri tingkat kekritisan lahan di lapang tersaji
pada Lampiran 6 – 11. Hasil analisis diskriminan dari data tersebut disajikan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 memperlihatkan bahwa terdapat empat variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% membedakan tingkat kekritisan lahan yaitu batuan permukaan, kedalaman efektif, singkapan batuan dan erosi. Sedangkan varibel yang lain lereng, drainase, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi tidak terpilih. Hal ini mengindikasikan kemampuan variabel yang rendah dalam
mendiskriminasi
antar
kelas
kekritisan,
kemungkinan
adanya
multikolinearitas antar variabel. Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa nilai Wilks’ variabel batuan permukaan, kedalaman efektif, erosi, dan singkapan batuan cenderung mendekati 0. Nilai Wilks’ lambda mendekati 0 menunjukkan variabel tersebut mampu membedakan tingkat kekritisan lahan cukup sempurna. Keempat variabel tersebut memiliki nilai 1-Toler cenderung mendekati 1, nilai tersebut menunjukkan redudansi cukup tinggi (Panuju dan Rustiadi, 2010).
32
Tabel 11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Fisik Lahan Wilks' p-level Variabel Batuan Permukaan 0.423 0.002 Kedalaman Efektif 0.376 0.028 Singkapan Batuan 0.370 0.039 Tingkat Erosi 0.369 0.042 5.4.
Ketepatan
Klasifikasi
Tingkat
Karakteristik 1-Toler. 0.671 0.688 0.466 0.620
Kekritisan
Lahan
DRLKT
ketepatan
klasifikasi
DRLKT
Menggunakan Kriteria Modifikasi Hasil
analisis
diskriminan
untuk
menggunakan Kriteria Modifikasi disajikan dalam matriks klasifikasi pada Tabel 12. Dari Tabel 12 menunjukkan bahwa ketepatan klasifikasi DRLKT dengan menggunakan kriteria modifikasi sebesar 66.67%, sisanya 33.33% merupakan kesalahan klasifikasi. Tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah dikarenakan kriteria yang digunakan untuk menguji tingkat ketepatan klasifikasi berbeda dari kriteria DRLKT. Ketepatan klasifikasi pada kelas sangat kritis sebesar 71.43%, dimana 2 dari 7 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas agak kritis dan potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas kritis 53.85%, dimana 6 dari 13 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis 2 sampel , potensial kritis 3 sampel, dan tidak kritis 1 sampel. Satu sampel tidak kritis tersebut terdapat di Kecamatan Babakan Madang dengan penggunaan lahan sawah, tingginya tutupan vegetasi, lereng yang tidak curam karena sudah di teras, batuan dan singkapan batuan yang rendah, serta tidak terjadi erosi menyebabkan sampel tersebut cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis dari pada kedalam kelas kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas agak kritis 66.67%, dimana 4 sampel dari 18 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas potensial kritis sebesar 81.25%, dimana 2 sampel dari 16 sampel yang di ujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas tidak kritis 50%, dimana 3 sampel dari 6 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Persentase ketepatan klasifikasi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kelas kritis dan tidak kritis
33
merupakan dua kelas yang ketepatan klasifikasinya relatif lebih rendah, jika di bandingkan dengan kelas kekritisan lainnya.
Tabel 12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. Tingkat Kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Total
Persentase Ketepatan 71.43 53.85 66.67 81.25 50.00 66.67
Sangat Kritis 5 2 1 0 0 8
Kritis 0 7 1 1 0 9
Agak Kritis 1 0 12 2 0 15
Potensial Kritis 1 3 4 13 3 24
Tidak Kritis 0 1 0 0 3 4
Peluang posterior yang menunjukkan ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan secara detil disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 memperlihatkan bahwa variabel fisik lahan dari pengamatan lapang terdapat 20 kasus misklasifikasi dari 60 unit pengamatan yang di analisis. Unit pengamatan yang mengalami misklasifikasi yaitu nomor 1, 2, 4, 7, 11, 15, 20, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 34, 35, 37, 38, 40, 50, dan 51. Pada unit pengamatan nomer 25, 29, dan 21, cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis. Unit pengamatan nomor 2 dan 11, cenderung masuk ke dalam kelas kritis. Unit pengamatan nomor 15, 22, dan 37, cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Unit pengamatan nomor 1, 2, 20, 23, 27, 33, 34, 35, 38, 40 dan 50, cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Sedangkan unit pengamatan nomer 4 cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis. Sebaran secara spasial ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan terdapat pada Gambar 11 dan 12. Data karakteristik fisik lingkungan tersaji pada Lampiran 12.
34
Tabel 13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. No * 1 * 2 3 * 4 5 6 * 7 8 9 10 * 11 12 13 14 * 15 16 17 18 19 * 20 21 * 22 * 23 24 * 25 26 * 27 28 * 29 30 31 32 * 33 * 34 * 35 36 * 37 * 38 * 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 * 50 * 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Keterangan :
Simbol
Pengamatan
Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis
Potensial Kritis
Tidak Kritis
Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.SW2.1 HP.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.TG3.1 Agak Kritis 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 HP.SW2.2 Kritis 0.00 0.07 0.08 0.12 0.73 HP.TG3.2 Agak Kritis 0.01 0.33 0.43 0.23 0.00 HL.SW4.1 Potensial Kritis 0.00 0.15 0.20 0.59 0.05 PB.TG3 Agak Kritis 0.03 0.72 0.17 0.08 0.00 LK.SW2 Kritis 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 LK.SW4.1 Potensial Kritis 0.00 0.17 0.19 0.38 0.26 HP.TG2.1 Kritis 0.08 0.66 0.17 0.06 0.03 LK.SW4.2 Potensial Kritis 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 HP.H4.1 Potensial Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 HP.H2.1 Kritis 0.06 0.62 0.23 0.08 0.00 HL.H41 Potensial Kritis 0.00 0.05 0.38 0.57 0.00 PB.KC4 Potensial Kritis 0.00 0.09 0.46 0.45 0.00 LK.TG1 Sangat Kritis 0.85 0.13 0.02 0.00 0.00 LK.TG3 Agak Kritis 0.13 0.32 0.44 0.11 0.00 LK.TG21 Kritis 0.24 0.66 0.08 0.01 0.00 HP.H4.2 Potensial Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 HP.H2.2 Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 Pp.TG1 Sangat Kritis 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 Prw.RP1 Sangat Kritis 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 Pp.KC1 Sangat Kritis 0.01 0.20 0.25 0.52 0.02 Prw.TG2 Kritis 0.08 0.53 0.31 0.08 0.00 LK.TG2.2 Kritis 0.52 0.31 0.15 0.02 0.00 Pp.TG2 Kritis 0.00 0.56 0.18 0.25 0.01 Pp.KC3.1 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 Pp.KC3.2 Agak Kritis 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 Pp.TG3 Agak Kritis 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 HL.H4.2 Potensial Kritis 0.00 0.14 0.38 0.47 0.01 Pp.SW4 Potensial Kritis 0.01 0.09 0.27 0.51 0.12 PP.TG4 Potensial Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.TG5.1 Tidak Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.TG5.2 Tidak Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.RP5 Tidak Kritis 0.00 0.10 0.21 0.61 0.07 HP.KC3 Agak Kritis 0.00 0.06 0.64 0.29 0.00 HP.SW4 Potensial Kritis 0.01 0.04 0.58 0.37 0.00 HP.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 LK.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.H3 Agak Kritis 0.09 0.23 0.62 0.07 0.00 HP.H4 Potensial Kritis 0.00 0.10 0.34 0.56 0.01 LK.TG3 Agak Kritis 0.00 0.03 0.50 0.47 0.00 LB.SW4 Potensial Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 HP.H31 Agak Kritis 0.01 0.22 0.55 0.22 0.00 ZT.GC1 Sangat Kritis 0.99 0.01 0.01 0.00 0.00 IN.LT11 Sangat Kritis 0.90 0.05 0.04 0.00 0.00 IN.LT12 Sangat Kritis 0.71 0.06 0.23 0.01 0.00 IN.LT2 Kritis 0.05 0.67 0.16 0.08 0.04 Pp.SW2 Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 Kritis 0.65 0.30 0.05 0.00 0.00 IN.SE2 LK.H3 Agak Kritis 0.14 0.09 0.69 0.07 0.01 PD.KC3 Agak Kritis 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 Pp.SE3 Agak Kritis 0.10 0.02 0.80 0.07 0.01 LB.SW41 Potensial Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 PD.KC4 Potensial Kritis 0.00 0.15 0.07 0.60 0.19 LB.SW42 Potensial Kritis 0.00 0.09 0.07 0.60 0.23 IN.KC5 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 IN.SE51 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 IN.SE52 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 kasus bertanda *) terjadi salah klasifikasi; nilai cetak merah peluang di kelas DRLKT dan dicetak biru peluang terbesar hasil pemodelan.
35
35
Gambar 11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang
36
36
Gambar 12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal
37
5.5.
Keterkaitan Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan Keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan
tersaji pada Tabel 14. Dari Tabel 14 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara penyimpangan pemanfaatan ruang dengan tingkat kekritisan lahan signifikan pada tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka penyimpangan pemanfaatan ruang berkorelasi lemah terhadap lahan sangat kritis, berkorelasi sedang terhadap lahan kritis dan tidak kritis, berkorelasi kuat terhadap lahan potensial kritis, dan berkorelasi sangat kuat terhadap lahan agak kritis. Koefisien korelasi paling besar terdapat pada lahan agak kritis (0.950), nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin luas penyimpangan pemanfaatan ruang maka tingkat kekritisan lahan agak kritis cenderung semakin luas jika dibandingkan dengan tingkat kekritisan lahan yang lain. Tabel 14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan
Penyimpangan
Koefisien Korelasi Signifikansi
Sangat Kritis
Tingkat Kekritisan Lahan Agak Potensial Kritis Kritis Kritis
Tidak Kritis
0.342
0.438
0.950
0.665
0.503
0.130
0.047
0.000
0.001
0.020
Penyimpangan alokasi ruang dan perubahan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 terlihat bahwa penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang pada kawasan hutan lindung, pertanian lahan kering dan kawasan industri di Kecamatan Babakan Madang tidak menimbulkan peningkatan kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung untuk tegalan, tidak dilakukan pengamatan lapang karena luasannya relatif kecil yaitu 0.11 ha atau 0.01% dan susah di jangkau. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan produksi,
menjadi
pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 meningkatkan kekritisan lahan, hal tersebut terlihat dari tingkat kekritisan lahan pada hutan produksi potensial kritis, berubah menjadi agak kritis. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 1 tidak meningkatkan
38
kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kekritisan lahan karena tutupan vegetasi pada penggunaan lahan tersebut lebih sedikit dari pada kawasan hutan produksi yang penggunaan lahannya tetap sebagai hutan. Berkurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengaruh hujan dan lereng semakin nyata terhadap timbulnya erosi. Erosi menyebabkan kedalaman efektif tanah semakin dangkal dan meningkatnya persentase singkapan batuan dan batuan permukaan di tanah. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 1.
Tabel 15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang No
Alokasi Ruang
1
Kawasan Hutan Lindung
2
Kawasan Hutan Produksi
3
Kawasan Perkebunan
4
Kawasan Pertanian Lahan Kering
5
Kawasan Peruntukan Industri
Penggunaan Lahan Hutan Lindung Sawah Hutan Produksi Pemukiman Sawah Tegalan Kebun Campuran Tegalan Tegalan Pemukiman Sawah Industri Pemukiman
Tingkat Kekritisan Lokasi 1 Lokasi 2 Potensial Kritis Potensial Kritis Kritis Potensial Kritis Kritis Agak Kritis Kritis Potensial Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Kritis Kritis Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis -
Penyimpangan pemanfaatan ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Klapanunggal disajikan dalam Tabel 16. Dari Tabel 16 terlihat bahwa hanya pada kawasan hutan produksi menjadi galian C yang mengalami peningkatan kekritisan lahan, yaitu dari agak kritis menjadi sangat kritis. Peningkatan kekritisan untuk galian-C tersebut di karenakan tutupan vegetasi dan solum tanah sebagian besar telah hilang akibat kegiatan pertambangan. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 2.
39
Tabel 16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan di Kecamatan Klapanunggal No
Alokasi Ruang
1
Hutan Produksi
2
Kawasan Pertanian Lahan Basah
3
Kawasan Pertanian Lahan Kering
4
Kawasan Peruntukan Industri
5
Kawasan Pemukiman Perdesaan
Penggunaan Lahan Hutan Galian C Kebun Campuran Sawah Tegalan Pemukiman Sawah Pemukiman Tegalan Pemukiman Sawah Industri Industri Pemukiman Pemukiman Industri
Tingkat Kekritisan Agak Kritis Sangat Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis
Korelasi antara variabel fisik lahan dengan tingkat kekritisan lahan disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa koefisien korelasi antara tingkat kekritisan dengan tutupan vegetasi, kedalam efektif, dan drainase tanah bertanda negatif. Tanda negatif menunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang rendah, kedalaman efektif yang dangkal, dan buruknya drainase tanah maka tingkat kekritisan lahan akan semakin tinggi, begitu sebaliknya. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang dengan tingkat kekritisan lahan, dan drainase berkorelasi sangat lemah. Drainase memiliki tingkat kepercayaan kurang dari 95% yang menunjukkan bahwa, drainase kurang signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Sedangkan tutupan vegetasi dan kedalaman efektif tingkat kepercayaan lebih dari 95% yang menunjukkan bahwa, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Tutupan vegetasi sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran permukaan sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Kedalaman efektif merupakan
40
salah satu sifat lahan yang berperan terhadap kekritisan lahan. Semakin dangkal kedalaman efektif suatu lahan maka memiliki kemungkinan yang besar terhadap terjadinya lahan kritis. Sebaliknya kedalaman efektif tanah yang dalam, memiliki kemungkinan yang kecil terhadap munculnya lahan kritis
Tabel 17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan Variabel TutupanVegetasi Lereng Kedalaman Efektif Batuan Permukaan Singkapan Batuan Drainase Tindakan Konservasi Erosi
Koefisien Korelasi -0.526 0.472 -0.410 0.647 0.122 -0.013 0.107 0.368
Signifikansi 0.000 0.000 0.001 0.000 0.354 0.921 0.417 0.004
Koefisien korelasi antara tingkat kekritisan lahan dengan lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, curah hujan, tindakan konservasi, dan erosi bertanda positif. Tanda positif tersebut menunjukkan bahwa batuan permukaan, singkapan batuan, dan curah hujan yang semakin tinggi, lereng yg semakin curam, terdapat erosi, serta tidak terdapat tindakan konservasi maka tingkat kekritisan lahan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Namun, singkapan batuan dan tindakan konservasi memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah yaitu kurang dari 95%, sedangkan lereng, batuan permukaan, curah hujan dan erosi memiliki tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka batuan permukaan berkorelasi kuat dengan tingkat kekritisan lahan, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang, erosi dan curah hujan berkorelasi lemah. Tingkat erosi dapat menjadi indikator kekritisan lahan, dimana semakin tinggi tingkat erosi maka mengakibatkan lahan semakin kritis. Hasil penelitian Idjudin (2003), tanah inceptisol pada kemiringan lahan 14% di Citayam Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi, menjadi kritis dan mengalami penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun karena terjadi erosi atau kehilangan tanah setebal 2.5cm/tahun.
41
Kecuraman lereng juga merupakan salah satu penentu terjadinya lahan kritis, karena semakin curam lereng maka aliran permukaan semakin meningkat, dengan meningkatnya aliran permukaan maka sedimen yang tererosi bersama aliran permukaan juga semakin meningkat. Terlebih jika tidak ada tindakan konservasi yang di terapkan, maka hal tersebut akan semakin mempercepat terjadinya kekritisan lahan. Batuan di permukaan dan singkapan batuan akan mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan lahan. Semakin banyak batuan menyebabkan semakin berkurangnya areal-areal yang bisa ditanami. Selain itu, semakin banyak batuan maka semakin menyulitkan dalam pengolahan
tanahnya, sehingga
semakin banyak persentase dan singkapan batuan menunjukkan kondisi lahan semakin kritis.
.
42
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang : 0.57% di kawasan hutan lindung, 27.41% di kawasan hutan produksi, 100% di kawasan perkebunan, 24.33% di kawasan pertanian lahan kering, dan 23.38% di kawasan peruntukan industri. 2. Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal : 12.23% di kawasan hutan produksi, 5.19% di kawasan pertanian lahan basah, 40.97% di kawasan pertanian lahan kering, 24.88%di kawasan peruntukan industri, dan 3.64% di kawasan pemukiman perdesaan. 3. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan dengan kritieria modifikasi DRLKT dan Puslittanak ketepatannya sebesar 66.67%. 4. Karakteristik fisik lahan yang mencirikan tingkat kekritisan lahan dari hasil uji diskriminan adalah erosi, batuan permukaan, kedalaman efektif, dan singkapan batuan pada p-level <0.05. 5. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang meningkatkan kekritisan lahan yaitu penyimpangan pada kawasan hutan produksi menjadi pemukiman, tegalan, dan galian C. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan yang lain tidak meningkatkan kekritisan lahan.
6.2. Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan pemantauan pemanfaatan ruang khususnya di kawasan hutan produksi di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Karena penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk pemukiman, tegalan, dan galian C menyebabkan peningkatan kekritisan lahan.
43
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Bappeda. 2000. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Bogor. BMG. 2007. Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor. Skala 1 : 250.000. Bogor. BMG. http://iklim.bmg.go.id (18 Juli 2012). BPS. 2009. Kecamatan Babakan Madang dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bogor. BPS. 2008. Kecamatan Klapanunggal dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bogor. Dardak, A.H. 2006. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Lokakarya Ditjen Penataan Ruang Dep. PU dan Badan Kejuruan Sipil PII. [Jakarta 7 Maret 2006]. Darmawijaya, Isa. 1992. Klasifikasi tanah dasar: Teori bagi peneliti dan pelaksana pertanian di Indonesia. UGM Press, Yogyakarta. Desman, M.R. 2007. Tuntunan, Strategi, dan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertanian di Era Globalisasi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian Bogor, 7-8 November 2007. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Petanian. Bogor. Hlm 39-45. Dirjen Penataan Ruang–Depkimpraswil. 2003. Penataan Ruang Dalam Pencegahan Banjir : Kasus Pulau Jawa dan Kawasan Jabodetabek – Bopunjur. Makalah pada Workshop Persiapan 3rd World Water Forum, Bali, 31 januari – 1 februari 2003. Direktorat Jendral Penataan Ruang. 2003. Kajian Ulang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur Dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya. Jakarta. Dirjen RLPS (Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial). 2004a. No: SK.167/V-SET/2004 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta: Dinas Kehutanan Dirjen RLPS (Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial). 2004b. Kebijakan Pembangunan Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial presentasi disampaikan pada Ekspose MP-RHL Daerah, 8-9 Maret 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dirjen RLPS (Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial). 2000. Luas Lahan Kritis Akhir Pelita VI dan Realisasi Rehabilitasi Tahun 1999/2000 s/d 2001. Departemen Kehutanan. Jakarta. Idjudin AA, Soelaeman Y, Abdurachman A. 2003. Keragaman dan dampak penerapan system usahatani konservasi terhadap tingkat produktivitas lahan perbukitan Yogyakarta. J Litbang Pertanian. 22(2): 49-56.
44
Jensen, J.R. 1996. Introductory Digital Image Processing: a Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Johnson, R.A and Wichern D.W, 2002, Applied Multivariate Statistical Analysis, Fifth Edition, Prentice Hall, New Jersey. Karmelia R. 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Pendekatan Ekobisnis di Kabupaten Bogor. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lillesand, T. M., dan R. W. Kiefer. 1997. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Listiawan, T. 2010. Hubungan Antara Kelas Jalan dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Notohadiprawiro, T. 2006. Lahan kritis dan pelestarian lingkungan hidup. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Panuju, D. R. dan E. Rustiadi. 2010. Penuntun Praktikum Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. 1990. peta geologi lembar Bogor skala 1:100.000. Bandung. Puslitbangtanak. 1966. Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor. Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Bogor. Restina, N. 2009. Evaluasi Penggunaan Lahan Eksisting dan Arahan Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. [Thesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sitorus SRP. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Departemen Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor:IPB.
Berkelanjutan.
Sitorus, S.R.P. 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Laboratorium Perencanaan Sumberdaya Lahan Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soil Survey Staff, 2006. Key Soil Taxonomy 10th Edition For International Development, Soil Management Support Sevice USDA, USA. Suntoro, W. 2006. Dampak Kegiatan Pembangunan Terhadap Degradasi Lahan Pertanian. PPLH.UNS. Suparmoko, M., 1995, Ek. Sumber Daya Alam & Lingkungan, Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
45
Suwardjo, H., N.L. Nurida, dan Irawan. 1995. Langkah-langkah pengembangan usaha tani konservasi di wilayah perbukitan kritis DI Yogyakarta. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis DI Yogyakarta. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Badan Litbang Pertanian. hlm. 47-58. Suwardi dan H Wiranegara. 2000. Penuntun Pratikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tim Balai Penelitian Tanah. 2004. Inventarisasi dan penelitian pengelolaan tanah. Laporan tahun 2003. Balai Penelitian Tanah. Departemen Pertanian, Bogor. Usman H, Akbar RPS. 2006. Pengantar Statistik. Yogyakarta: Bumi Aksara. WINPLUS Capital. Financial and Investment Consultan http://www.winpluscapital.com/winplus/profil%20Industri%20Semen.pdf (10 Desember 2011). Wiranto, T atag. 2001. Perspektif Pemberdayaan Masyarakat dalam Penataan Ruang. Prosiding Seminar Penataan R uang dalam R angka Mendorong Pengembangan E konomi Wilayah (Studi K asus: Provinsi B anten). A vailable from http://www.bktrn.org; INT E R NE T .
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang Kawasan Hutan Lindung
Hutan Lindung – Potensial Kritis
Sawah– Potensial Kritis
Kawasan Hutan Produksi
Hutan Produksi – Potensial Kritis
Tegalan – Agak Kritis
Pemukiman – Agak Kritis
Sawah – Potensial Kritis
48
Kawasan Perkebunan
Kebun Campuran – Potensial Kritis
Tegalan – Agak Kritis
Kawasan Pertanian Lahan Kering
Tegalan – Kritis
Sawah – Kritis
Pemukiman – Kritis
49
Kawasan Peruntukan Industri
Industri – Potensial Kritis
Pemukiman – Potensial Kritis
Lampiran 2. Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Klapanunggal Kawasan Peruntukan Industri
Industri – Agak Kritis
Pemukiman – Agak Kritis
Kawasan Pemukiman Perdesaan
Pemukiman – Agak Kritis
Industri – Agak Kritis
50
Kawasan Hutan Produksi
Hutan Produksi – Agak Kritis
Sawah – Potensial Kritis
Galian C – Sangat Kritis
Tegalan – Agak Kritis
Pemukiman – Agak Kritis
Kebun Campuran – Agak Kritis
51
Kawasan Pertanian Lahan Kering
Tegalan – Agak Kritis
Pemukiman – Agak Kritis
Industri – Agak Kritis
Sawah – Potensial Kritis
Sawah – Potensial Kritis
Pemukiman – Potensial Kritis
59
Lampiran 3. Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan Lahan RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010
Hutan
Kawasan Lindung Kawasan Hutan Produksi Kawasan Perkebunan Kawasan Pertanian Lahan Basah Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Pengembangan Perkotaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Permukiman Perdesaan Kawasan Pariwisata Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pertambangan
V V V V V V V V V V V
Keterangan :
V = Konsisten
Kebun Campuran X X X X V V V V V V V
Penggunaan Lahan Tahun 2009 Jalan dan Sawah Tegalan Semak Rumput Pemukiman Emplasmen X X X X X X X X V X X X X X V X X X V X V X X X X V V X X X V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V X V V V V V X
Lahan Industri Terbuka X X X X X X X X X X V X V X V X V X V V V V
Galian C X X X X X X X X X X V
X = Inkonsisten
52
53
Lampiran 4. Luas dan Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap Desa di Kecamatan Babakan Madang No 1
Jenis Penyimpangan
Kawasan Lindung-->Tegalan
3
Kawasan Hutan Produksi-->Pemukiman
5
Luas
%
Bojong Koneng
8.69
84.93
Karang Tengah
1.54
15.07
Bojong Koneng
0.11
100.00
Bojong Koneng
2.88
22.00
Karang Tengah
10.19
78.00
Bojong Koneng
30.55
38.03
Karang Tengah
49.78
61.97
Bojong Koneng
69.65
20.45
Karang Tengah
270.89
79.55
Kawasan Lindung-->Sawah
2
4
Desa
Kawasan Hutan Produksi-->Sawah
Kawasan Hutan Produksi-->Tegalan
6
Kawasan Perkebunan-->Tegalan
Karang Tengah
4.07
100.00
7
Kawasan Pertanian Lahan Kering-->Pemukiman
Karang Tengah
37.71
100.00
Karang Tengah
110.94
99.93
8
Kawasan Pertanian Lahan Kering-->Sawah 0.07
0.07
42.10
100.00
Sumur Batu 9
Kawasan Peruntukan Industri-->Pemukiman
Sentul
54
Lampiran 5. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap Desa di Kecamatan Klapanunggal No
Jenis Penyimpangan
1
Kawasan Hutan Produksi-->Galian C
2
Kawasan Hutan Produksi-->Kebun Campuran
3
Kawasan Hutan Produksi-->Lahan Terbuka
4
Kawasan Hutan Produksi-->Pemukiman
5
Kawasan Hutan Produksi-->Sawah
6
Kawasan Hutan Produksi-->Tegalan
7
Kawasan Pemukiman Pedesaan-->Industri
8
Kawasan Pertanian Lahan Basah-->Pemukiman
9
Kawasan Pertanian Lahan Kering-->Industri
10
Kawasan Pertanian Lahan Kering-->Pemukiman
11
Kawasan Pertanian Lahan Kering-->Sawah
12
Kawasan Peruntukan Industri-->Pemukiman
Desa Kalapanunggal Leuwikaret Nambo Kalapanunggal Leuwikaret Lulut Nambo Kalapanunggal Lulut Nambo Kalapanunggal Ligar Mukti Lulut Nambo Kalapanunggal Leuwikaret Lulut Nambo Nambo Kembang Kuning Lulut Nambo Bantar Jati Bojong Cikahuripan Ligar Mukti Nambo Bantar Jati Nambo Bantar Jati Bojong Cikahuripan Kalapanunggal Ligar Mukti Nambo Bantar Jati Bojong Cikahuripan Ligar Mukti Nambo Bantar Jati Cikahuripan Kalapanunggal Kembang Kuning Lulut Nambo
Luas 51.36 62.88 2.69 2.78 41.99 1.28 119.23 0.36 0.09 3.72 0.30 13.56 0.06 19.58 0.38 15.55 13.35 21.37 89.10 7.86 6.37 22.48 9.13 24.85 5.93 6.47 6.39 13.10 11.54 39.75 33.08 7.33 8.55 144.06 39.41 3.04 20.94 1.00 2.80 1.71 5.16 3.16 172.41 122.70 0.46 7.14
% 43.92 53.78 2.30 1.68 25.41 0.78 72.14 8.70 2.12 89.18 0.89 40.48 0.19 58.44 0.74 30.71 26.35 42.20 100.00 21.40 17.36 61.23 17.31 47.09 11.23 12.27 12.10 53.18 46.82 14.61 12.15 2.69 3.14 52.93 14.48 10.30 71.02 3.38 9.49 5.81 1.66 1.02 55.43 39.45 0.15 2.30
55
Lampiran 6. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Babakan Madang Hutan
Sawah
Potensial Kritis alur 5 35 110 10 baik 90 teras tradisional 3500 - 4000
Potensial Kritis lembar 5 3 110 10 lambat 70 teras bangku 3500 - 4000
Karakteristik Fisik Lahan Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi Curah Hujan (mm/th)
Lampiran 7. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Babakan Madang Lokasi 1
Karakteristik Fisik Lahan
Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi Curah Hujan (mm/th)
2
Hutan
Sawah
Tegalan
Kritis
Kritis
Kritis
alur 5 45 110 0 baik 90 teras tradisional 3500-4000
alur 15 22 50 40 lambat 60 teras bangku 3500-4000
alur 50 45 40 30 baik 40 teras tradisional 3500-4000
Hutan
Sawah
Tegalan
Potensial Kritis alur 5 40 110 0 baik 90 teras tradisional 3500-4000
Potensial Kritis lembar 5 22 110 0 lambat 70 teras bangku 3500-4000
Agak Kritis alur 30 20 80 10 baik 70 teras tradisional 3500-4000
Lampiran 8. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Klapanunggal Hutan
Kebun Campuran
Agak Kritis
Agak Kritis
alur 50 45 60 20 baik 70
alur 20 30 70 0 baik 75 teras tradisional 4000 - 4500
Karakteristik Fisik Lahan Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi
teras tradisional
Curah Hujan (mm/th)
3500 - 4000
Sawah Potensial Kritis lembar 5 5 100 0 lambat 80 teras bangku 3500 - 4000
Tegalan Agak Kritis alur 20 30 60 5 baik 60 teras tradisional 3500 - 4000
56
Lampiran 9. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Perkebunan di Kecamatan Babakan Madang Karakteristik Fisik Lahan Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi Curah Hujan (mm/th)
Kebun Campuran
Tegalan
Potensial Kritis alur 15 40 110 5 baik 85 teras tradisional 3500 - 4000
Agak Kritis alur 50 35 60 30 baik 60 teras tradisional 3500 - 4000
Lampiran 10. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Babakan Madang Karakteristik Fisik Lahan Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi Curah Hujan (mm/th)
Lampiran
Tegalan
Sawah
Kritis alur 70 50 40 20 baik 50 teras tradisional 3500 - 4000
Kritis alur 50 20 80 10 lambat 50 teras bangku 3500 - 4000
11. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Klapanunggal
Karakteristik Fisik Lahan Jenis Erosi Batuan Permukaan (%) Lereng (%) Kedalaman Efektif (cm) Singkapan Batuan Drainase Tutupan Vegetasi (%) Tindakan Konservasi Curah Hujan (mm/th)
Tegalan Agak Kritis alur 10 10 100 0 Baik 70 teras tradisional 4000 - 4500
Sawah Potensial Kritis lembar 5 1 110 0 lambat 80 teras bangku 3500 - 4000
37
Lampiran 12. Data Karakteristik Fisik Lingkungan di Lokasi Penelitian
Karang Tengah Bojong Koneng Karang Tengah Bojong Koneng Karang Tengah Karang Tengah Bojong Koneng Bojong Koneng Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Sentul Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Karang Tengah Bojong Koneng Bojong Koneng Karang Tengah Bojong Koneng Karang Tengah Sentul Karangtengah Cijayanti Cijayanti Karangtengah Karangtengah Bojongkoneng Cijayanti Bojongkoneng Bojongkoneng Karangtengah Sumurbatu Citaringgul Babakanmadang Citaringgul Citaringgul
Koordinat X 713171 710852 712723 711177 714235 712769 710528 711044 708915 711704 713940 709698 704445 713245 711392 711923 714399 711563 708937 710435 710370 714693 711289 712957 705029 710314 707677 708639 706548 714944 708408 707429 709895 710223 711521 708077 704612 706394 705779 704329
Y 9272179 9267434 9272650 9269425 9272189 9270844 9267650 9270004 9273490 9272788 9271109 9273296 9279155 9273429 9271767 9270113 9270627 9270905 9273384 9271367 9270999 9271398 9267962 9272872 9278711 9272487 9268041 9271203 9268657 9271299 9270440 9271894 9267580 9268964 9271212 9273136 9274227 9274183 9274101 9273318
Type
Penyimpangan
Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang
Desa
Penggunaan Lahan
RTRW
Tingkat Kekritisan
Simbol
Pemukiman Pemukiman Sawah Sawah Tegalan Sawah Tegalan Sawah Tegalan Pemukiman Sawah Sawah Pemukiman Tegalan Sawah Hutan Hutan Hutan Kebun Campuran Tegalan Tegalan Tegalan Hutan Hutan Industri Tegalan Rumput Kebun Campuran Tegalan Tegalan Tegalan Kebun Campuran Kebun Campuran Tegalan Hutan Sawah Tegalan Tegalan Tegalan Rumput
Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Lindung Kawasan Perkebunan Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Industri Kawasan Hutan Produksi Kawasan Lahan Kering Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Lindung Kawasan Perkebunan Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Pariwisata Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Pariwisata Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Lindung Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Pengembangan Perkotaan Kawasan Pengembangan Perkotaan Kawasan Pengembangan Perkotaan Kawasan Pengembangan Perkotaan
Kritis Agak Kritis Kritis Agak Kritis Agak Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Kritis Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Sangat Kritis Agak Kritis Kritis Potensial Kritis Kritis Potensial Kritis Sangat Kritis Sangat Kritis Sangat Kritis Kritis Kritis Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tidak Kritis Tidak Kritis
HP.PM2 HP.PM3 HP.SW2.1 HP.SW3 HP.TG3.1 HP.SW2.2 HP.TG3.2 HL.SW4.1 PB.TG3 LK.PM2 LK.SW2 LK.SW4.1 IN.PM4 HP.TG2.1 LK.SW4.2 HP.H4.1 HP.H2.1 HL.H41 PB.KC4 LK.TG1 LK.TG3 LK.TG21 HP.H4.2 HP.H2.2 IN.IN4 Pp.TG1 Prw.RP1 Pp.KC1 Prw.TG2 LK.TG2.2 Pp.TG2 Pp.KC3.1 Pp.KC3.2 Pp.TG3 HL.H4.2 Pp.SW4 PP.TG4 PP.TG5.1 PP.TG5.2 PP.RP5
Tutupan Vegetasi (%)
Elevasi
Lereng (%)
70 70 70 60 75 70 60
390 440 386 432 621 277 253
10 22 20 22 30 1 35
50 60
519 485
20 20
40 50 90 70 90 85 40 60 50 90 90
385 519 505 523 580 259 430 480 489 630 405
45 20 32 50 35 40 55 30 50 40 45
30 50 90 50 50 60 80 90 30 80 80 80 80 80 75
367 487 343 260 484 405 322 606 651 607 244 287 223 206 236
45 22 4 38 44 18 13 31 42 25 0 2 4 7 9
57
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kecamatan
Kontrol
NO.
38
Lampiran 12 (lanjutan) NO.
Curah Hujan
Batuan Permukaan (%)
Singkapan Batuan (%)
Jenis Erosi
Tingkat Erosi
Tindakan Konservasi
110 110 80 50 90 110 60
lambat lambat baik lambat baik lambat baik
3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000
5 5 30 15 35 5 50
0 0 10 40 10 10 30
lembar lembar alur alur alur lembar alur
ringan ringan sedang ringan rngan ringan sedang
teras bangku teras bangku teras tradisional teras bangku teras tradisional teras bangku teras tradisional
80 70
baik lambat
3500 - 4000 3500 - 4000
50 15
10 40
alur lembar
ringan sedang
teras bangku teras bangku
40 80 110 60 110 110 10 60 40 110 110
baik lambat baik baik baik baik sedang baik baik baik baik
3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000
50 50 5 50 5 15 80 40 70 5 5
30 10 0 20 10 5 10 6 20 0 0
alur alur alur parit alur alur parit alur alur alur alur
berat ringan ringan sedang ringan ringan berat sedang sedang ringan ringan
teras tradisional teras bangku teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional
30 80 110 70 40 80 110 110 30 90 100 110 110 110 110
Cepat Baik Baik Baik Cepat Baik Baik Baik Cepat Baik Lambat Baik Baik Baik Baik
3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3500-4000
60 30 10 50 60 35 5 30 60 15 0 0 0 0 0
5 10 5 10 5 40 0 10 5 20 0 0 0 0 7
Parit Alur Lembar Alur Alur Alur Alur Alur Parit Alur Lembar Lembar Lembar Lembar Lembar
Berat Sedang Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Sedang Berat Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan
teras tradisional teras tradisional teras bangku teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras bangku teras bangku teras bangku teras bangku teras tradisional
72
Drainase
58
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kedalaman Efektif (cm)
39
Lampiran 12 (lanjutan)
Klapanunggal Nambo Klapanunggal Nambo Lulut Leuwikaret Nambo Klapanunggal Kembang Kuning Klapanunggal Bantar Jati Nambo Ligarmukti Nambo Bojong Nambo Klapanunggal Leuwikaret Bojong Nambo Nambo Kembang Kuning Nambo Leuwikaret Kalapanunggal Kembangkuning Kalapanunggal Cikahuripan Nambo Kalapanunggal Leuwikaret Bojong Nambo Lulut Bojong Kembangkuning Kembangkuning Kembangkuning
Koordinat X 715873 712763 716424 712579 712714 712930 713559 715976 713949 717458 711136 711934 719908 711680 719679 713509 718188 713972 718281 711069 713485 715458 712962 713025 715731 714963 716779 718473 711313 718407 712778 717943 712236 711832 719895 714445 714584 714790
Y 9285374 9283033 9284700 9282461 9282130 9278637 9282432 9286646 9286720 9286882 9285792 9284623 9282369 9285018 9283519 9285524 9283287 9278510 9284395 9285581 9283264 9287949 9285152 9280716 9286148 9286973 9286669 9285632 9284363 9283455 9279306 9285019 9285363 9281462 9286678 9288274 9288609 9288348
Type
Penyimpangan
Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal
Desa
Penggunaan Lahan
RTRW
Galian C Kebun Campuran Galian C Pemukiman Sawah Sawah Tegalan Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Iindustri Pemukiman Pemukiman Sawah Industri Hutan Hutan Tegalan Sawah Hutan Industri Pemukiman Galian C Lahan Terbuka Lahan Terbuka Lahan Terbuka Sawah Semak Hutan Kebun Campuran Semak Sawah Kebun Campuran Sawah Kebun Campuran Semak Semak
Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Lahan Basah Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Kering Kawasan Pemukiman Pedesaan Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Kawasan Lahan Kering Kawasan Lahan Basah Kawasan Hutan Produksi Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pemukiman Pedesaan Kawasan Pertambangan Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Permukiman Perdesaan Kawasan Permukiman Perkotaan Kawasan Pertanian Lahan Basah Kawasan Permukiman Perdesaan Kawasan Pertanian Lahan Basah Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Peruntukan Industri
Tingkat Kekritisan Sangat Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Sangat Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Sangat Kritis Sangat Kritis Sangat Kritis Kritis Kritis Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tidak Kritis Tidak Kritis
Simbol HP.GC1 HP.KC3 HP.GC3 HP.PM3 HP.SW4 HP.SW3 HP.TG3 IN.PM3 IN.PM1 IN.PM4 LB.PM4 LK.IN4 LK.PM3 LK.PM4 LK.SW3 PD.IN3 HP.H3 HP.H4 LK.TG3 LB.SW4 HP.H31 IN.IN3 PD.PM3 ZT.GC1 IN.LT11 IN.LT12 IN.LT2 Pp.SW2 IN.SE2 LK.H3 PD.KC3 Pp.SE3 LB.SW41 PD.KC4 LB.SW42 IN.KC5 IN.SE51 IN.SE52
Tutupan Vegetasi (%)
Elevasi
Lereng (%)
75
133
30
80 80 60
126 171 131
5 1 30
80
124
1
70 85 70 80 75
166 188 111 83 141
45 30 10 1 40
0 10 40 30 80 25 50 90 70 80 90 80 80 45 45
304 118 120 121 112 124 208 239 118 102 191 103 89 105 103
60 47 30 10 0 35 45 13 4 0 11 0 30 2 2
59
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Kecamatan
Kontrol
NO.
40
Lampiran 12 (lanjutan) NO.
Kedalaman Efektif (cm)
Drainase
Curah Hujan
Batuan Permukaan (%)
Singkapan Batuan (%)
Jenis Erosi
Tingkat Erosi
Tindakan Konservasi
70
baik
4000 - 4500
20
0
alur
ringan
teras tradisional
110 110 60
lambat lambat baik
3500 - 4000 3500 - 4000 3500 - 4000
5 5 20
0 0 5
lembar lembar alur
ringan ringan sedang
teras bangku teras bangku teras tradisional
110
lambat
3500 - 4000
5
0
lembar
ringan
teras bangku
60 100 100 110 80
baik baik baik lambat baik
3500 - 4000 3500 - 4000 4000 - 4500 4000 - 4500 4000 - 4500
50 10 10 5 40
20 20 0 0 5
alur alur alur lembar alur
sedang ringan ringan ringan sedang
teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras bangku teras tradisional
0 15 30 40 110 10 35 110 40 110 110 110 30 20 25
Cepat Cepat Cepat Baik Lambat Cepat Cepat Baik Baik Lambat Baik Lambat Baik Baik Baik
3500-4000 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3500-4000 3500-4000 3500-4000 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3000-3500 3000-3500
90 80 60 50 5 90 35 30 20 5 5 0 15 15 20
0 10 5 5 0 5 20 10 5 0 5 0 40 50 40
Parit Parit Parit Alur Lembar Parit Parit Alur Alur Lembar Lembar Lembar Alur Alur Alur
Berat Berat Berat Sedang Ringan Berat Berat Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang
teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras bangku teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras tradisional teras bangku teras tradisional teras bangku teras tradisional teras tradisional teras tradisional
41
60
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78