939
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo)
KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR DENGAN PERTIMBANGAN KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN Utojo, Andi Marsambuana Pirzan, dan Akhmad Mustafa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Lamongan memiliki lahan pertambakan yang sangat luas, namun belum ditentukan kesesuaian lahannya. Umumnya lahan tambak yang disurvai terdapat di areal ekosistem laut dan daratan. Karakteristik lahan seperti topografi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan iklim penting dalam menentukan lokasi terbaik, komoditas yang sesuai, tingkat teknologi budidaya, dan musim tanam yang tepat, serta kelestarian lingkungan, sedangkan pengelolaan lahan untuk meningkatkan produktivitas tambak. Data yang diperlukan untuk analisis kesesuaian lahan tambak yaitu data sekunder berupa peta jenis tanah dan peta curah hujan tahunan Provinsi Jawa Timur, peta kelerengan, dan peta Rupabumi Indonesia kawasan Lamongan skala 1:50.000, dan peta citra ALOS AVNIR-2 tahun 2009. Data primer atau data lapangan berupa topografi, kualitas air, kualitas tanah, dan pasang surut. Stasiun pengamatan dan pengambilan contoh ditentukan secara acak dan sistematik, yang setiap stasiunnya ditentukan posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data primer dan sekunder dikumpulkan di dalam software dan dianalisis secara spasial menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang diintegrasikan dengan data penginderaan jauh (data citra satelit ALOS). Berdasarkan hasil survai dan analisis menunjukkan bahwa lahan tambak udang vaname sebagai komoditas unggulan Kabupaten Lamongan seluas 27.126,35 ha. Tidak ada yang tergolong sangat sesuai (Kelas S3), yang tergolong cukup sesuai (Kelas S2) seluas 24.550 ha, tersebar di Kecamatan Paciran, Brondong, Glagah, Karangbinangun, Karanggeneng, Babat, Kalitengah, Turi, Deket, dan Sukodadi, yang tergolong kurang sesuai seluas 2.576,35 ha; terdapat di Kecamatan Sekaran, Maduran, dan Lamongan. Tambak di Kabupaten Lamongan umumnya lama tergenang, tidak memiliki saluran irigasi dan adanya unsur-unsur toksik di dasar tanah tambak sehingga tanah dan airnya perlu diremediasi melalui pengeringan, perendaman, pencucian dan pengapuran. KATA KUNCI:
kesesuaian lahan, tambak udang vaname, SIG, Lamongan
PENDAHULUAN Pengembangan kawasan pesisir untuk kegiatan budidaya tambak yang berkelanjutan di suatu daerah seperti di Kabupaten Lamongan, kondisi lahannya berbeda dengan daerah lain, umumnya memiliki karakteristik sumberdaya alam yang spesifik, hal ini harus dilakukan dengan pendekatan keterpaduan dan keseimbangan ekologis antara ekosistem kawasan pesisir dengan perairan di sekitarnya. Sedangkan aspek budidaya secara keseluruhan meliputi lahan, sistem budidaya, permasalahan budidaya, komoditas yang sesuai untuk dikembangkan, dan kebutuhan sarana/ prasarana pendukung budidaya dengan kaidah pengelolaan budidaya tambak berwawasan lingkungan, serta ditunjang dengan perencanaan tata ruang wilayah yang sesuai dengan peruntukannya (Anonim, 2010). Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produktivitas tambak dan tidak berlanjut yaitu kesalahan dalam pemilihan lokasi dan komoditas yang dibudidayakan. Tahapan awal dari pemilihan lokasi berdasarkan atas karakteristik lahan tambak itu sendiri. Data dan informasi mengenai karakteristik lahan dan iklim dapat menjadi dasar bagi pembudidaya untuk menentukan lokasi yang terbaik, komoditas yang sesuai, pola, teknologi, dan musim tanam yang tepat. Pemanfaatan sumberdaya alam pesisir yang melebihi daya dukung alaminya, selain akan merusak lingkungan juga aktivitas budidaya itu sendiri. Untuk mengantisipasi kerusakan dan menjaga kelestarian
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
940
sumberdaya lahan, serta meningkatkan produktivitas tambak, maka pemberdayaan sumberdaya lahan tersebut harus dikelola dan direncanakan sebaik mungkin (Mustafa et al., 2004). Pemanfaatan dan pengelolaan di kawasan pesisir yang tidak terkendali dengan penataan ruang wilayah yang belum ada batasan dan peruntukannya secara jelas menyebabkan terjadinya degradasi biofisik lingkungan pesisir, konflik pemanfaatan dan kewenangan penggunaan wilayah pesisir sehingga dapat merusak sumberdaya lahan dan ekosistem pesisir serta mengurangi efektivitas pengelolaan. Oleh karena itu, dalam pengembangan usaha budidaya tambak harus berhati-hati, terkendali, efektif, ekonomis, dan ramah lingkungan. Kajian tentang kesesuaian lahan tambak melalui survai, diharapkan dalam pengembangan budidayanya dapat diketahui karakteristik biofisika kimia tanah dan air sebagai unsur utama daya dukung lahan sehingga diharapkan mampu meminimasi degradasi mutu lingkungan tambak dan kerusakan ekosistem pesisir. Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan harus dikelola secara bijaksana agar kemampuan daya dukung lahan untuk berproduksi dapat meningkat dari waktu ke waktu, dengan pertimbangan asas pelestarian dan konservasi harus setara dengan asas pemanfaatannya (Sugandhy & Hakim, 2007). Pada umumnya kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, yang penting didasarkan pada faktor-faktor meteorologi, tanah, topografi, dan ketersediaan air, di mana kategori penting dari informasi lingkungan tersebut dibutuhkan untuk penilaian kesesuaian lahan budidaya tambak (Dennis et al., 2004). Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam rangka pembangunan sentra pengembangan budidaya tambak berkelanjutan secara ekologis sesuai tata ruang dan harus dilandasi dengan perencanaan yang tepat, menyeluruh, dan terpadu dengan sektor lain (Dahuri et al., 1996). Penggunaan teknologi sistem informasi geografis (SIG) yang diintegrasikan dengan data citra satelit ALOS AVNIR-2, untuk mendapatkan data dan informasi secara cepat, akurat dan terkini tentang potensi dan kesesuaian lahan budidaya tambak, disajikan dalam bentuk peta tematik. Upaya peningkatan produktivitas tambak, sangat diperlukan informasi mengenai kesesuaian, karakteristik dan pengelolaan lahan budidaya tambak. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah daerah di Kabupaten Lamongan sebagai bahan penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir mengenai batasan dan peruntukan yang jelas untuk lokasi pengembangan budidaya tambak. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir Kabupaten Lamongan pada bulan April dan Mei 2011. Lokasi penelitian antara lain di Kecamatan Glagah, Karangbinangun, Paciran, Brondong, Lamongan, Turi, Sukodadi, Babat, Karanggeneng, Kalitengah, Deket, Sekaran, dan Maduran. Survai di lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan memperhatikan morfologi pantai dan keragaman kawasan lokasi budidaya serta vegetasi mangrove sebagai zonasi penyangga. Informasi spasial kesesuaian lahan budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Lamongan dengan klasifikasi sampai pada tingkat kategori kelas, di peroleh dari hasil pengolahan data menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu mengintegrasikan data hasil klasifikasi citra ALOS AVNIR 2 tahun 2009 dengan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung di lokasi survai yaitu topografi pesisir dan peubah kualitas tanah (pHF, pHFOX, dan potensial redoks) yang diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm. Peubah kualitas tanah hasil analisis laboratorium meliputi tekstur tanah, bahan organik, PO4, N total, Fe, dan Al. Pengukuran pasang surut selama 39 jam dengan interval waktu setiap jam. Pengukuran kualitas air dan pengambilan contoh air dilakukan di laut, muara sungai, sungai dan tambak. Peubah kualitas air yang diukur langsung di lokasi survai yaitu suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut. Peubah kualitas air hasil analisis laboratorium meliputi NH 4, NO2, NO3, PO4, bahan organik total, kekeruhan, dan padatan tersuspensi total mengikuti petunjuk APHA (2005).
941
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo)
Jenis-jenis vegetasi mangrove diidentifikasi di lokasi survai yaitu di pinggir laut, tambak, daerah aliran Sungai Bengawan Solo, dan Sungai Kali Lamong, serta diklasifikasi sampai pada tingkat suku dengan buku petunjuk Bengen (2004). Setiap titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survai ditentukan posisinya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Jumlah titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survai ditentukan berdasarkan luas lokasi, kondisi lokasi, dan tingkat keragaman lokasi. Sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survai disajikan pada Gambar 1. Data sekunder didapatkan dari penelusuran laporan tahunan, pustaka hasil penelitian dan pengamatan, data meteorologi dari berbagai instansi terkait, peta jenis tanah skala 1:250.000, dan peta curah hujan tahunan Provinsi Jawa Timur, peta kelerengan, peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 dan peta administrasi Kabupaten Lamongan. Menggunakan data citra ALOS AVNIR-2, 2009 yang terkoreksi secara radiometrik, geometrik, dan teregistrasi. Penajaman citra untuk mendapatkan
Gambar 1. Peta sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh untuk kesesuaian lahan budidaya tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
942
gambar lokasi penelitian yang baik. Klasifikasi citra satelit dengan menggunakan software SIG. Hasil klasifikasi citra tersebut telah divalidasi melalui survai lapangan yang dilakukan pada bulan April dan Mei 2011, kemudian diintegrasikan dengan peta dasar dari peta Rupabumi Indonesia hasil skan dan dijitasi menggunakan program Er Mapper 7.1 serta mengklasifikasi secara terbimbing untuk mendapatkan data/informasi tentang tutupan lahan di lokasi penelitian (Lillesand & Kiefer, 2000). Informasi spasial lain yang didapatkan dari data primer dan sekunder juga diintegrasikan dengan peta penutup/penggunaan lahan. Data primer, sekunder dan peta penutup/penggunaan lahan yang sudah dikumpulkan, dianalisis secara spasial menggunakan teknologi SIG. Kemudian menginterpolasi pada setiap parameter dalam bentuk layer-layer peta tematik. Mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak udang vaname (Litopenaeus vannamei), peta-peta tematik tersebut dioverlay (tumpang susun) pada software dan image analysis dalam ArcView 3.3. Hasil analisis spasial yang didapatkan berupa peta tematik kesesuaian lahan budidaya tambak udang vaname yang akurat dan terkini di Kabupaten Lamongan. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Umum Lahan Topografi lahan pesisir Kabupaten Lamongan sebagian besar relatif datar dan elevasinya rendah. Wilayah dataran rendah tersebut membentang dari Utara ke Selatan, sebagian di wilayah tengahutara terdapat lahan rawa, dan di bagian Selatan serta Utara terdapat sebagian lahan pegunungan batu kapur. Kabupaten Lamongan memiliki wilayah dataran rendah tengah Utara sampai tengah Selatan berupa lahan pertambakan yang sangat luas, airnya tawar (0,12-0,46 ppt) dan sebagian besar berasal dari konversi sawah serta tersebar di 25 kecamatan, sedangkan di wilayah dataran rendah utara berupa lahan pertambakan air payau yaitu di Kecamatan Paciran (18,89-18,98 ppt) dan Brondong (20,02-26,11 ppt). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 tahun 2009 yang menetapkan lokasi minapolitan di Kabupaten Lamongan dengan merevitalisasi tambak yaitu mulai dari dataran rendah bagian tengah Selatan termasuk di Kecamatan Kedungpring, Babat, Sugio, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung, Sarirejo, dan Kembangbahu hingga bagian tengah Utara berupa dataran berawa, termasuk di Kecamatan Sekaran, Maduran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinangun, dan Glagah, sesuai untuk peruntukan budidaya tambak air tawar yaitu sawah tambak. Di Kecamatan Paciran dan Brondong, sesuai untuk peruntukan budidaya tambak air payau. Kawasan minapolitannya dipusatkan di Kecamatan Glagah dengan kecamatan penyangganya (hinterland) di Kecamatan Karangbinangun, Kalitengah, Karanggeneng, Deket, Lamongan, dan Kecamatan Turi serta komoditas unggulannya udang vaname. Sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tambak air tawar yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Kali Lamong, yang saat musim kemarau untuk kegiatan budidaya sawah dan saat musim hujan untuk budidaya tambak. Sumber air utama untuk kegiatan budidaya tambak air payau yaitu menggunakan air laut dan air tanah (Anonim, 2009). Saat ini lahan pertambakan air payau di Kabupaten Lamongan dikelola secara tradisional dan tradisional plus dengan komoditas budidayanya yaitu bandeng, udang windu, udang vaname, kerapu dan rumput laut, kecuali udang vaname sebagian besar dikelola secara intensif. Lahan pertambakan air tawar untuk komoditas budidaya bandeng, udang vaname, nila, tombro, dan lele yang dikelola secara tradisional dan tradisonal plus dengan pola monokultur atau polikultur serta produktivitasnya relatif rendah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan budidaya tambak air payau dan air tawar di Kabupaten Lamongan, terdapat 40 unit perbenihan udang vaname dan udang windu skala rumah tangga yaitu di Kecamatan Paciran dan Brondong serta terdapat 3 unit perbenihan rakyat dengan komoditas lele, tombro, bandeng, dan nila yaitu di Kecamatan Babat, Deket, dan Karanggeneng. Sampai dengan tahun 2010, kegiatan pertambakan air payau di Kabupaten Lamongan seluas 1.745,40 ha dengan produksi sebesar 3.606,022 ton, sedangkan kegiatan pertambakan air tawar seluas 23.454,73 ha dengan produksi sebesar 30.516,871 ton (Anonim, 2010). Tanah pertambakan di Kabupaten Lamongan tergolong tanah aluvial non sulfat masam dengan sumber air utama untuk pertambakan berasal dari laut, Sungai Bengawan Solo, Sungai Kali Lamong dan percabangannya, serta air tanah.
943
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo)
Di lahan pesisir Kecamatan Paciran dan Brondong sering terjadi abrasi akibat dari tingginya intensitas pengembangan pemukiman, industri, dan pelabuhan perikanan nusantara sehingga peluang untuk reboisasi hutan mangrove sangat sempit dan rawan terjadinya intrusi air laut, siltasi, dan berbagai jenis limbah yang masuk ke wilayah daratan termasuk pertambakan. Pentingnya fungsi vegetasi mangrove dan daratan sebagai pelindung kawasan pertambakan, pencegah intrusi air laut, filter alami berbagai jenis limbah, resapan, dan penyimpan air, habitat sumberdaya perikanan dan satwa. Dengan demikian diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan untuk merekomendasikan ke pengguna melalui rencana tata ruang wilayah pesisir tentang penetapan pengelolaan kawasan lindung atau zonasi jalur hijau vegetasi mangrove di sepanjang pesisir dan kanan kiri sungai dalam kawasan sentra pertambakan sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1990. Karakteristik Lahan Kabupaten Lamongan memiliki 27 kecamatan, yang dilakukan karakterisasi di lahan budidaya tambak 13 kecamatan, terdiri atas 2 kecamatan memiliki lahan budidaya tambak air payau yaitu di Kecamatan Paciran dan Brondong serta 11 kecamatan memiliki lahan budidaya tambak air tawar (sawah tambak) yaitu di Kecamatan Glagah, Karangbinangun, Lamongan, Turi, Sukodadi, Babad, Karanggeneng, Kalitengah, Deket, Sekaran, dan Maduran. Apabila dilihat kembali sebelumnya bahwa lahan merupakan suatu ekosistem biofisik yang penyusunnya terdiri atas topografi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan iklim. Kemampuan lahan dapat menurun, apabila terjadi kegiatan budidaya tambak atau aktivitas yang lain secara berlebihan dan dapat ditingkatkan kemampuannya melalui pengelolaan lahan secara tepat, meminimalkan limbah dari aktivitas budidaya tambak dan lainnya, diikuti dengan kegiatan pelestarian ekosistem hutan. Oleh karena itu, setiap penyusun dari lahan tersebut akan dibahas pada bagian berikut. Topografi Pada umumnya kawasan pesisir Kabupaten Lamongan memiliki topografi yang relatif rendah dan datar serta lahannya membentang dari wilayah Utara dekat laut sampai ke daratan wilayah Selatan. Lahan di wilayah Utara terdapat pertambakan air payau yang letaknya berhadapan langsung dengan Laut Jawa, perairan lautnya terbuka dan relatif dangkal. Tambak yang dibangun di lahan dekat laut hasil konversi lahan mangrove, airnya payau hingga asin, sumber air utama tambak berasal dari laut dan air tanah, sebagian besar untuk budidaya tambak udang vaname intensif. Tambak yang dibangun di lahan jauh dari laut hasil konversi lahan sawah dan rawa, airnya tawar, sumber air utama tambak berasal dari Sungai Bengawan Solo dan Sungai Kali Lamong. Lahan pesisir yang baik untuk budidaya tambak yaitu memiliki topografi relatif rendah dan datar serta elevasinya landai, apabila areal tersebut dibangun tambak yang meliputi desain, tata letak dan konstruksi, serta dalam pengelolaan tambaknya memerlukan biaya yang relatif murah (Poernomo, 1992). Tanah Tekstur tanah dan kualitas tanah di kawasan pesisir Kabupaten Lamongan dapat dilihat pada (Tabel 1). Hasil analisis tekstur tanah pada kedalaman 0-40 cm cukup bervariasi mulai dari liat, lempung, lempung berliat, lempung berdebu, lempung liat berpasir sampai liat berpasir. Tekstur tanah tersebut didominasi oleh fraksi liat, lempung, dan debu yang berasal dari hulu sungai, sedangkan fraksi pasir berasal dari laut. Tekstur tanah sangat menentukan tingkat porositas tambak dan sebagai tempat tumbuhnya pakan alami ikan dan udang. Tekstur tanah tambak yang baik untuk budidaya ikan dan udang yaitu liat, lempung, lempung berliat, lempung liat berdebu, lempung berdebu, dan lempung liat berpasir (Ilyas et al., 1987). Pada umumnya tanah tambak di Kabupaten Lamongan memiliki kandungan liat dan lempung yang sangat tinggi serta debu dan pasir yang relatif sedikit. Material tanah yang ideal untuk konstruksi tambak terdiri atas campuran partikel yang berbeda ukurannya dengan kandungan minimum 30% liat (Boyd, 1995). Pada usaha budidaya tambak ikan dan udang yang dikelola secara tradisional dan tradisional plus, kandungan liat tanah ini masih baik dan diperlukan bagi perlekatan dan pertumbuhan klekap dan lumut sebagai pakan alaminya.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
944
Selisih nilai pHF dan pHFOX tanah tambak sampai kedalaman 40 cm sangat kecil dan relatif sama. Jenis tanah tambak yang demikian adalah ciri tanah aluvial non sulfat masam. Selisih nilai pH F dan pHFOX digunakan untuk menentukan potensi kemasaman tanah. Semakin besar nilai selisihnya, semakin tinggi nilai potensi kemasamannya. Rendahnya potensi kemasaman tanah sangat ditentukan oleh rendahnya kandungan bahan organik yang didapatkan. Pada kawasan tambak yang memiliki tanah sulfat masam, selisih nilai pH F dan pH FOX dapat mencapai > 5. Potensi kemasaman tanah tambak yang didapatkan pada kawasan tambak dekat laut dan muara sungai agak tinggi, berasal dari hasil akumulasi bahan organik dari sisa-sisa vegetasi mangrove seperti di Kecamatan Paciran dan Brondong. Untuk kawasan tambak di semua kecamatan yang jauh dari laut dan muara sungai, Tabel 1. Kisaran nilai setiap peubah kualitas tanah dan tekstur tanah tambak pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur
Peubah kualitas tanah
Kedalaman (cm)
Kisaran nilai (n = 57)
Tekstur - Pasir (%) - Liat (%) - Debu (%)
0-20 36-46 0-48 12-54
Lempung berdebu, lempung liat berpasir, lempung berliat dan liat
Tekstur - Pasir (%) - Liat (%) - Debu (%)
20-40 36-52 0-54 8-50
Lempung liat berpasir, liat berpasir, lempung berliat, liat dan lempung
Lempung berpasir : tambak intensif
pH F
0-20 20-40
6,48-7,51 6,31-7,54
6,5-7,0
pH FOX
0-20 20-40
5,20-7,81 5,14-8,30
Potensial redoks (mV)
0-20 20-40
(-273)-(+74) (-249)-(+264)
Minimal + 50 mV
PO4 (mg/L)
0-20 20-40
10,89-214,16 10,35 –1.780,64
> 60 mg/L: tambak tradisional,
Bahan organik (%)
0-20 20-40
0,00-4,02 0,31-4,31
Fe (mg/L)
0-20
0,0-395,5
20-40
0,0-806,5
0-20
0,0-171,0
20-40
0,0-215,0
0-20
0,06-0,35
20-40
0,06-0,30
Al (mg/L)
N total (%)
Nilai ideal Lempung liat berpasir : tambak tradisional semi-intensif
*)
*)
*)
**)
tambak intensif kurang diperlukan
***)
1,7%-5,2% baik untuk tambak ****) Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering
*)
Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering
*)
Rasio C:N yang ideal untuk tambak berkisar 8:1-12:1 *****)
Sumber: *) = Poernomo (1992); **) = Boyd dalam Widigdo (2003); ***) = Karthik et al. (2005); ****)= Boyd (2002); *****) = Boyd (2008)
945
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo)
lahannya berasal dari hasil konversi lahan sawah dan sebagian dari lahan rawa yang memiliki jenis tanah aluvial non sulfat masam. Potensial redoks tanah merupakan gambaran kondisi tanah tambak saat tereduksi atau teroksidasi. Data potensial redoks tanah tambak di Kabupaten Lamongan pada lapisan atas tanah dasar tambak sampai kedalaman 20 cm bermuatan negatif (tereduksi) artinya di lapisan tanah dasar tambak sampai kedalaman 20 cm terjadi pembusukan akibat dari air tambak jarang dikeringkan, kondisinya anaerob, berlumpur hitam, dan adanya senyawa beracun yang dapat mematikan udang. Kondisi tanah tambak yang baik, saat persiapan, lumpur hitam dibuang, tanah dasar tambak dikeringkan atau teroksidasi selanjutnya dikapur dengan kapur dolomit untuk memperbaiki sifat biofisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik dan menghilangkan senyawa-senyawa beracun berupa hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), nitrit (NO2), dan metan (CH4). Untuk mengembalikan kondisi tanah dasar tambak yang baik diperlukan nilai potensial redoks minimal + 50 mV dengan nilai pH 6,5-8,5 (Boyd dalam Widigdo, 2003). Konsentrasi fosfat tanah tambak yang didapatkan sampai kedalaman 40 cm bervariasi mulai dari tergolong rendah hingga tinggi. Di tambak, fosfat sebagai unsur esensial bagi tanaman, alga akuatik dan produktivitas primer yang dapat meningkatkan produksi ikan herbivor di tambak (Effendi, 2003). Ketersediaan fosfat > 60 mg/L dalam tanah tambak, tergolong baik untuk peningkatan kesuburan perairan tambak (Karthik et al., 2005). Tanah tambak yang memiliki konsentrasi fosfat tinggi (1.780,643 mg/L), didapatkan di Desa Kentong Kecamatan Glagah dan tanah tambak di Desa Kanugrahan Kecamatan Maduran memiliki konsentrasi fosfat tinggi (214,16 mg/L). Letak tambaknya jauh dari laut dan saluran air tambaknya melalui sawah dan pemukiman. Tingginya konsentrasi fosfat tanah tambak lebih banyak dipengaruhi oleh limbah pupuk pertanian (SP36) dan limbah rumah tangga yang terbuang ke tambak melalui saluran. Kandungan bahan organik tanah tambak di Kabupaten Lamongan sampai kedalaman 40 cm sangat rendah yaitu berkisar 0,00%-4,31%. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi (4,31%), didapatkan di tambak Desa Labuhan Kecamatan Brondong. Tanah tambak di desa tersebut bukan merupakan tanah gambut karena kandungan bahan organiknya jauh lebih rendah dari 20% dan apabila kandungan bahan organik tanah lebih dari 20% tergolong tanah gambut. Menurut Boyd (2002), kandungan bahan organik tanah yang baik untuk tambak berkisar 1,7%-5,2%. Kandungan bahan organik tanah yang rendah disertai dengan kandungan N-total yang sangat rendah berdampak pada sangat tingginya rasio C:N tanah tambak di Kabupaten Lamongan. Rasio C:N yang ideal untuk tambak berkisar 8:112:1 (Boyd, 2008). Pada tanah tambak dengan rasio C:N tinggi, dapat menghambat aktivitas mikrobiologi tanah dalam proses transformasi nitrogen untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya. Kandungan Fe dan Al tanah yang didapatkan di kawasan tambak sepanjang daerah aliran sungai yang letaknya jauh dari laut dan muara sungai relatif kecil, tingginya kandungan Fe tanah sampai pada kedalaman 40 cm yaitu 806,5 mg/L; didapatkan di tambak yang menggunakan sumber air dari air tanah letaknya di Desa Tlogo Sadang Kecamatan Paciran. Tambak yang dibangun dari hasil konversi lahan mangrove, tanahnya mengandung pirit (FeS2). Saat tanah dasar tambak kering, ion besi fero (Fe2+) teroksidasi menjadi ion besi feri (Fe3+) dalam bentuk ferihidroksida Fe(OH) 3 yang banyak mengendap di dasar tanah tambak berwarna karat besi kemerahan. Banyaknya ion besi feri bersumber dari banyaknya pirit dalam tanah tambak yang teroksidasi dan terikut air tanah keluar pada saat dipompa. Hidrologi Keberadaan laut, Sungai Bengawan Solo, Sungai Kali Lamong, dan beberapa cabang sungainya, serta air tanah sebagai sumber air utama untuk pertambakan di Kabupaten Lamongan dapat memberikan salinitas air tambak cukup bervariasi seperti terlihat pada Tabel 2. Salinitas air di kawasan budidaya tambak air tawar berkisar 0,12-0,46 ppt dan di kawasan budidaya tambak air payau berkisar 18,89-26,11 ppt serta di kawasan tambak yang menggunakan air tanah dengan kedalaman 15 m dan 20 m, masing-masing salinitasnya 25,73 ppt dan 26,52 ppt. Komoditas yang dibudidayakan di tambak sebaiknya sesuai dengan kisaran salinitas optimumnya agar sintasannya tinggi dan laju pertumbuhannya cepat. Udang windu, udang vaname, ikan bandeng, rumput laut, dan organisme
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
946
lain yang bersifat eurihalin sebaiknya dibudidayakan di tambak air payau yaitu di Kecamatan Paciran dan Brondong, sedangkan ikan gurami, tombro, nila, tawes, lele, dan organisme air tawar lainnya yang bernilai ekonomis sebaiknya dibudidayakan di tambak air tawar yaitu di wilayah tengah Utara dan tengah Selatan Kabupaten Lamongan. Kisaran salinitas yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum udang windu, udang vaname dan rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yaitu 15-25 ppt (Poernomo, 1988; Menz & Blake, 1980; Angadiredja, 2006) dan ikan bandeng dapat tumbuh dengan baik pada salinitas 18-30 ppt (Ismail et al., 1993). Suhu air tambak di Kabupaten Lamongan berkisar 29,03°C-35,13°C. Suhu air yang tinggi, didapatkan di tambak dekat sawah dan pemukiman yang airnya sangat dangkal sekitar 8 cm serta saat pengukuran pada sore hari yaitu di Desa Dukuh Kecamatan Glagah. Batas kelayakan suhu air untuk budidaya udang windu berkisar 26°C-32°C dengan suhu optimumnya berkisar 29°C-30°C (Poernomo, 1988). Suhu air yang optimum untuk budidaya rumput laut berkisar 26°C-30°C (Anggadiredja, 2006). Untuk budidaya bandeng memiliki kisaran suhu air yang baik antara 25°C dan 32°C (Ismail et al., 1993). Suhu air yang optimum untuk pertumbuhan udang vaname berkisar 25°C35°C (Ponce-Palatox et al., 1997). Nilai pH air tambak yang didapatkan di Kabupaten Lamongan berkisar 8,30-10,49 relatif agak tinggi, namun masih dalam batas baik untuk budidaya tambak. Rata-rata tingginya pH air tambak karena jenis tanahnya yang aluvial non sulfat masam dan kandungan bahan organik tanah relatif rendah. Kisaran pH air yang baik untuk budidaya udang windu 7,5-8,5 dengan optimum 8,0-8,5 (Poernomo, 1988). Menurut Effendi (2003), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Kisaran nilai pH air tambak yang didapatkan alkalis dan masih dalam batas baik sebagai media budidaya tambak udang. Pada tambak yang sudah lama beroperasi umumnya pH air alkalis 7,5-8,5; sedangkan tambak baru di kawasan mangrove yang belum diremediasi, pH air sangat rendah yaitu di bawah 5 dan pengaruh langsung pH rendah yaitu udang menjadi kropos dan selalu lembek. Konsentrasi oksigen terlarut di pertambakan Kabupaten Lamongan berkisar 5,54-8,32 mg/L. Kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut tersebut masih baik dan sesuai untuk kegiatan budidaya tambak tradisional dan tradisional plus yang saat ini diaplikasikan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Lamongan, walaupun terdapat konsentrasi oksigen terlarut yang rendah masih belum menjadi masalah. Menurut Poernomo (1992), kecepatan dan besarnya konsumsi oksigen meningkat seiring dengan meningkatnya suhu air serta udang tumbuh pesat pada suhu 30°C-31°C dan batas oksigen terlarut untuk udang windu berkisar 3-10 mg/L dan optimumnya 4-7 mg/L. Kandungan oksigen terlarut yang mematikan udang vaname adalah 1 mg/L (Hopkins et al., 1991). Menurut Effendi (2003), konsentrasi oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L dan berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Konsentrasi oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/ L dapat mematikan udang. Konsentrasi oksigen terlarut terlalu rendah atau tinggi menyebabkan laju pertumbuhan udang lambat (Poernomo, 1988). Kandungan molekul amonia (NH3) di tambak Kabupaten Lamongan berkisar 0,2281-12,352 mg/L; relatif tinggi untuk budidaya tambak. Tingginya kandungan amonia akibat limbah pupuk pertanian (urea) dan limbah domestik karena sebagian besar tambak letaknya berbatasan dengan sawah dan pemukiman. Sumber kandungan amonia di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (urea) dan reduksi gas nitrogen yang berasal dari limbah domestik. Batas kelayakan kandungan amonia untuk budidaya tambak udang 0,25 mg/L dengan optimumnya 0 mg/L (Poernomo, 1992). Menurut Effendi (2003), amonia jarang didapatkan di perairan yang cukup pasokan oksigen dan kandungan amonia yang tinggi terdapat di dasar perairan tanpa oksigen. Amonia bebas (NH 3) tidak dapat terionisasi dan bersifat toksik terhadap organisme akuatik, sedangkan amonium (NH 4+) dapat terionisasi dan tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Kandungan nitrit di kawasan pertambakan Kabupaten Lamongan berkisar 0,0125-0,1145 mg/L. Nitrit bersifat toksik terhadap ikan atau udang, karena mengoksidasikan besi (Fe) di dalam hemoglobin atau hemocyanin sehingga kemampuan darah ikan atau udang untuk mengikat oksigen sangat lemah (Poernomo, 1988). Kisaran nilai kandungan nitrit tersebut masih dalam batas baik sebagai
947
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo) Tabel 2. Kisaran nilai setiap peubah kualitas air tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur
Kisaran nilai (n = 57)
Nilai ideal
Salinitas - Laut (ppt)
29,88-30,66
30-35
*)
- Muara sungai (ppt)
25,92-30,03
25-30
*)
- Sungai (ppt)
0,27-2,87
10-25
*)
- Tambak
0,12-26,11
15-25
*)
29,03-35,13
29-31
*)
8,30-10,49
7,0-8,5
5,54-8,32
4-7
NH 3 (mg/L)
0,2281-12,352
0,30
NO2 (mg/L)
0,0125-0,1145
0,25
NO3 (mg/L)
0,0324-2,2999
0,008
PO4 (mg/L) Kekeruhan (NTU) Padatan tersuspensi total (mg/L)
0,0020-1,1161 1,91-78,0 12-155
0,015 20-30*)
3,29-27,25
29,50
Peubah
o
Suhu ( C) pH Oksigen terlarut (mg/L)
Bahan organik total (mg/L)
**)
*) **) *) **) **)
< 25
***) *)
Sumber: *) = Poernomo (1992); **) = Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (2004); ***) = Alabaster & Lioyd (1982) dalam Effendi (2003)
media budidaya tambak. Kandungan nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Batas kandungan nitrit sebagai media budidaya tambak udang 0,25 mg/L dengan optimumnya 0 mg/L (Poernomo, 1992). Kandungan nitrat (NO3) di perairan tambak di Kabupten Lamongan berkisar 0,0324-2,2999 mg/L; masih baik sebagai media budidaya tambak. Banyak sedikitnya kandungan nitrat di perairan, tergantung dari kecepatan proses nitrifikasi yang berperan di dalamnya seperti bakteri nitrifikasi, nilai pH, kandungan oksigen terlarut dan suhu. Kandungan oksigen terlarut < 2 mg/L, reaksi nitrifikasi akan berjalan lambat. Nilai pH yang optimum untuk proses nitrifikasi berkisar 8-9 dan pada pH < 6, reaksi nitrifikasi akan berhenti. Suhu optimum untuk proses nitrifikasi berkisar 20°C-25°C dan kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat dari pada bakteri heterotrof. Apabila di perairan banyak terdapat bahan organik, maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri nitrifikasi (Effendi, 2003). Kandungan nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/ L. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik dan kandungan nitrat lebih dari 0,2 mg/L di perairan, dapat mengakibatkan eutrofikasi (Effendi, 2003). Kandungan fosfat (PO4) di kawasan tambak Kabupaten Lamongan berkisar 0,0020-1,1161 mg/L; masih tergolong baik sebagai media budidaya tambak. Tingginya kandungan fosfat, didapatkan di tambak Desa Dibee Kecamatan Kali Tengah yang berbatasan dengan persawahan dan pemukiman, diduga limbah pupuk pertanian dan limbah domestik terikut masuk ke dalam tambak melalui saluran. Menurut Effendi (2003), terdapat 3 tingkat kesuburan perairan yaitu tingkat kesuburan rendah dengan kandungan fosfat total 0-0,02 mg/L; tingkat kesuburan sedang dengan kandungan fosfat total 0,0210,05 mg/L; dan tingkat kesuburan tinggi dengan kandungan fosfat total 0,051-0,1 mg/L. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tambak di Kabupaten Lamongan tergolong memiliki tingkat kesuburan rendah sampai tinggi. Kandungan fosfat air tambak sangat diperlukan bagi kegiatan tambak tradisional sebagai sumber utama pakan alami bagi ikan dan udang.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
948
Kandungan bahan organik total di kawasan tambak Kabupaten Lamongan berkisar 3,29-27,25 mg/L dengan padatan tersuspensi total 12-155 mg/L dan kekeruhan 1,91-78,0 NTU. Kisaran nilai kandungan bahan organik total dan padatan tersuspensi total yang didapatkan masih baik sebagai media budidaya tambak. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Tingginya nilai padatan tersuspensi total dan kekeruhan akibat lumpur halus, didapatkan di kawasan tambak Desa Gendong Kulon Kecamatan Babat yang berbatasan dengan persawahan dan air tambaknya agak keruh berwarna putih kehijauan karena baru dipupuk. Berdasarkan Alabaster & Lioyd (1982) dalam Effendi (2003), nilai padatan tersuspensi < 25 mg/L, baik untuk budidaya perikanan; 25-80 mg/L, sedikit berpengaruh untuk budidaya perikanan; 81-400 mg/L, kurang baik untuk budidaya perikanan dan > 400 mg/L, tidak baik untuk budidaya perikanan. Kandungan bahan organik total di perairan, di atas 26 mg/L, tergolong subur (Reid, 1961). Tunggang pasang surut di kawasan pesisir Kabupaten Lamongan 110 cm. Secara gravitasi, kondisi pasang surut tersebut cukup baik pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas air sebagai media budidaya tambak terutama dari pengeringan dan pergantian air. Laju kecepatan aliran air selama pasang tinggi untuk mengairi tambak dipengaruhi oleh frekuensi amplitudo pasang, kontur tanah, dan elevasi. Menurut Poernomo (1992), pelaksanaan budidaya ekstensif dan semi-intensif di kawasan intertidal dengan pergantian air secara gravitasi saat pasang, lokasi dengan elevasi sedang dan dapat diairi saat pasang tinggi serta dapat dikeringkan saat surut terendah merupakan lokasi yang ideal untuk pembangunan unit tambak. Vegetasi Jenis vegetasi mangrove yang didapatkan di Kabupaten Lamongan berjumlah 11 jenis, 6 marga, dan 4 suku, sedangkan vegetasi daratannya berjumlah 12 jenis, 12 marga, dan 8 suku (Tabel 3). Dari 12 jenis vegetasi daratan, terdapat 6 jenis vegetasi daratan yang mampu beradaptasi dan tumbuh di lahan dekat laut seperti Hibiscus sp., Pluchea sp., Leucaena sp., Sesbania sp., Ricinus sp., dan Jatiopha sp. Menurut Bengen (2004), karakteristik habitat hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, menerima pasokan air tawar yang cukup atau mendapatkan air bersalinitas payau (2-22 ppt) hingga asin (mencapai 38 ppt), dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Jenis vegetasi mangrove di tepi laut didominasi oleh Rhizophora sp. dan Sonneratia sp., sedangkan jenis vegetasi mangrove di kawasan lahan tambak didominasi oleh Avicennia sp., Aegiceras sp., Ceriops sp., dan Bruguiera sp. Terdapat 6 marga vegetasi mangrove di Kabupaten Lamongan yang halopitik yaitu memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam tanah dasar perairan yang asin dan termasuk dalam vegetasi berbunga yaitu Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., dan Aegiceras sp., serta didapatkan 3 marga vegetasi mangrove yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam tanah dasar perairan yang berkadar oksigen rendah bahkan anaerob yaitu Avicennia sp., Sonneratia sp., dan Rhizophora sp. Kelompok vegetasi ini merupakan vegetasi tetap pada habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni, secara morfologi memiliki bentuk akar dan viviparitas (biji yang dapat berkecambah di pohon) untuk beradaptasi khusus terhadap lingkungan mangrove dan memiliki mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam sehingga kelompok vegetasi tersebut yang menentukan ciri penyusun komunitas mangrove (Supriharyono, 2009). Frekuensi penggenangan pasang surut dan sebaran salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan sintasan serta zonasi mangrove. Formasi jenis vegetasi penyusun komunitas mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, dan mineralogi (Idawaty, 1999). Untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan mangrove yang telah rusak akibat alih fungsi lahan yaitu merehabilitasi dan melindungi hutan mangrove agar tetap lestari. Pemanfaatan hutan mangrove yang lestari yaitu menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove (Bengen, 2004).
949
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo) Tabel 3. Jenis vegetasi mangrove dan daratan yang didapatkan di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur
Suku Anacardiaceae Asteraceae
Marga
Jenis
Komunitas vegetasi mangrove dan daratan
Mangifera
Mangifera indica
Sedang
Pluchea
Pluchea indica
Melimpah
Avicenniaceae
Avicennia
Avicennia alba Avicennia marina
Sedang
Euphorbiaceae
Excoecaria Ricinus Jatiopha
Excoecaria agallocha Ricinus communis Jatiopha curcas
Terbatas Sedang Sedang
Fabaceae
Tamarindus Tamarindus indica Sesbania Sesbania grandiflora Leucaena Leucaena leucocephala
Terbatas Sedang Sedang
Malvaceae
Hibiscus
Hibiscus tiliaceus
Terbatas
Musaceae
Musa
Musa paradisiaca
Sedang
Myrsinaceae
Aegiceras
Aegiceras corniculatum
Sedang
Pontederiaceae
Euchornia
Euchornia crasipes
Melimpah
Poaceae
Bambusa
Bambusa glancesce
Sedang
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
Sedang
Bruguiera
Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorrhiza
Sedang
Ceriops
Ceriops tagal Ceriops decandra
Sedang
Sonneratia
Sonneratia alba Sonneratia caseolaris
Sedang
Rhizophoraceae Rhizophora
Sonneratiaceae
Iklim Unsur iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap kegiatan budidaya tambak yaitu curah hujan. Curah hujan di Kabupaten Lamongan 1.403 mm/tahun atau rata-rata 116,92 mm/bulan. Curah hujan bulanan yang rendah terjadi pada Mei-Oktober, curah hujan yang tinggi terjadi pada NovemberApril. Curah hujan di Kabupaten Lamongan 1.403 mm/tahun atau rata-rata 116,92 mm/bulan. Curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun dengan bulan kering 2-3 bulan cukup baik digunakan untuk kegiatan budidaya tambak. Dengan demikian curah hujan di Kabupaten Lamongan masih cukup baik dalam menunjang kegiatan budidaya tambak. Kesesuaian dan Pengelolaan Lahan Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa luas tambak udang vaname yang ada di Kabupaten Lamongan saat ini seluas 27.126,35 ha; tidak ada tambak udang vaname yang tergolong sangat sesuai (kelas S1), cukup sesuai (kelas S2) seluas 24.550 ha dan yang kurang sesuai atau sesuai marjinal (kelas S3) seluas 2.576,35 ha (Gambar 2). Lahan tambak yang cukup sesuai artinya sebelum
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
950
Gambar 2. Peta kesesuaian lahan budidaya udang vaname di tambak Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur atau saat lahan dikelola sudah terdapat kendala atau faktor pembatas yang diatasi dan apabila akan meningkatkan produksi, disarankan dilakukan pengelolaan lahan. Lahan tambak yang kurang sesuai artinya sebelum atau saat lahan dikelola banyak kendala atau faktor pembatas yang harus diatasi dan apabila akan meningkatkan produksi, harus dilakukan pengelolaan lahan. Lahan yang cukup sesuai diperuntukan bagi kegiatan budidaya udang tradisional plus dan semi-intensif, lahan yang kurang sesuai diperuntukan bagi kegiatan monokultur udang dan bandeng tradisional atau polikultur udang dan bandeng, udang dan rumput laut, bandeng dan rumput laut. Faktor utama pembatas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di Kabupaten Lamongan yaitu kandungan bahan organik dan unsur nitrogen total tanah tambak yang relatif rendah hampir di semua kecamatan. Pengelolaan lahannya dengan mengaplikasikan pupuk yang mengandung nitrogen seperti urea diharapkan dapat menurunkan rasio C:N tanah yang dapat mempercepat proses dekomposisi atau penguraian bahan organik. Pada tanah tambak yang mengandung liat lebih besar 60% dan kandungan bahan organiknya lebih rendah 8% tergolong baik, faktor pembatasnya mudah diatasi (Boyd, 1995) dan disarankan memberikan pupuk kandang untuk menambah bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah tambak, diharapkan pertumbuhan pakan alami ikan dan udang menjadi lebih baik. Kedua faktor tersebut penting dalam pelaksanaan kegiatan budidaya tambak di Kabupaten Lamongan yang dikelola secara tradisional dan tradisional plus. Tambak di Kabupaten Lamongan umumnya lama tergenang dan jarang dikeringkan serta adanya lumpur H 2S, amonia dan metan yang beracun di dasar tambak, berwarna hitam dan berbau busuk dalam kondisi anaerob
951
Kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Lamongan ... (Utoyo)
dapat mematikan udang dan ikan. Hanya sebagian tambak di Desa Tlogo Sadang Kecamatan Paciran menggunakan sumber air tambak dari air tanah dan memiliki kandungan besi feri (Fe3+) tanah yang tinggi (806,5 mg/L) sebagai hasil oksidasi pirit penyebab kemasaman tanah. Cara mengurangi potensi kemasaman, kandungan besi dan unsur-unsur beracun di dasar tambak saat persiapan dengan remediasi melalui pengeringan, perendaman, pembilasan, dan pengapuran. Pengeringan tanah dasar tambak dilakukan selama 2 minggu saat cuaca cerah untuk mengoksidasi pirit, tambak diisi air setinggi 0,5 m dan direndam selama 1-2 hari saat air surut terendah dan air rendaman dibuang. Perendaman untuk melarutkan dan menetralisir kemasaman serta pembilasan untuk membuang hasil oksidasi dan meminimalkan cadangan unsur-unsur beracun dalam tanah. Perendaman dan pembilasan tambak dilakukan sebanyak 3 kali dalam satu minggu saat air pasang tinggi. Proses remediasi dapat dilakukan 2 sampai 3 kali hingga kondisi tanah dasar tambak menjadi lebih baik. Tahap terakhir remediasi berupa pengapuran saat tambak dalam kondisi kering untuk menghilangkan unsur-unsur beracun dan unsur-unsur penyebab kemasaman tanah yang masih tersisa dalam tanah. Kegiatan budidaya tambak yang menggunakan sumber air tanah yang memiliki kandungan besi feri (Fe3+) yang cukup tinggi. Cara mengatasinya yaitu sebelum air tanah dipompa dan dimasukkan ke dalam petakan tambak, terlebih dahulu airnya ditampung dalam petakan tandon dan di aerasi untuk mengurangi kandungan besi tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis kesesuaian lahan tambak udang vaname yang ada di Kabupaten Lamongan saat ini seluas 27.126,35 ha; tidak ada tambak udang vaname yang tergolong sangat sesuai (kelas 1), cukup sesuai (kelas S2) seluas 24.550 ha dan yang kurang sesuai atau sesuai marjinal (kelas S3) seluas 2.576,35 ha. Tanah dasar tambak di Kabupaten Lamongan terdapat unsur atau senyawa beracun, disarankan meremediasi tanah melalui pengeringan, perendaman, pembilasan, dan pengapuran. Tambak yang mengandung bahan organik tanah dan N total tanah yang relatif rendah, disarankan memberikan pupuk yang mengandung nitrogen seperti urea pada areal yang memiliki rasio C:N tanah yang tinggi serta pemberian pupuk kandang pada tanah yang mengandung liat lebih besar 60% dan bahan organik kurang dari 8%. Kondisi jaringan irigasi tambak saat ini sangat dangkal sehingga memerlukan upaya pengerukan untuk memperlancar penyediaan air tambak yang cukup dan berkualitas baik. DAFTAR ACUAN Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H., & Istini, S. 2006. Rumput Laut. Pembudidaya, pengelolaan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Seri Agribisnis, cetakan 2. Penerbit Swadaya. Jakarta, hlm. 105-108. Anonim. 2010. Lamongan Dalam Angka 2010. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 371 hlm. Anonim. 2009. Executive Summary Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lamongan Tahun 2008-2028. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Lamongan, I-1 – X3. APHA (American Public Health Association). 2005. Standart Methods for Examinition of Water and Wastewater. APHA-AWWA-WEF. Washington D.C., 1,185 pp. Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 59 hlm. Boyd, C.E. 1995. Bottom Soils, Sediment and Pond Aquaculture. Chapman and Hall. New York, 348 pp. Boyd, C.E., Wood, C.W., & Thunjai, T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Oregon State University. Corvallis. Oregon, 41 pp. Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analysis. Global Aquaculture Advocate September/October, p. 9192. Dahuri, R., Rais, J.R., Ginting, S.P., & Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
952
Dennis, M., Tammy, T., Baldwin, K., & Kevin, F. 2004. Aquaculture development potential in Arizona: a GIS-based approach. World Aquaculture, 34(4): 32-35. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta, 258 hlm. Hopkins, J.S., Stokes, A.D., Bowdy, C.L., & Sandifer, P.A. 1991. The relationship between feeding rate, paddle wheel rate and expected dawn dissolved oxygen in intensive shrimp ponds. Aquacultural Engineering, 10: 281-290. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, 128 hlm. Ismail, A., Poernomo, A., Sunyoto, P., Wedjatmiko, Dharmadi, & Budiman, R.A.I. 1993. Pedoman Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta, 679 hlm. Ilyas, S., Cholik, F., Poernomo, A., Ismail, W., Arifudin, R., Daulay, T., Ismail, A., Koesoemadinata, S., Rabegnatar, I.N.S., Soepriyadi, H., Suharto, H.H., Azwar, Z.I., & Wardoyo, S.E. 1987. Petunjuk Teknis bagi Pengoperasian Unit Usaha Pembesaran Udang Windu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta, 100 hlm. Karthik, M., Suri, J., Saharan, N., & Biradar, R.S. 2005. Brackhiswater aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane District of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and Geographical Information System. Aquacultural Engineering, 32: 285-302. KLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No. 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta, 11 hlm. Lillesand, T.M. & Kiefer, R.W. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. Fourth Edition. John Wiley & Sons. New York, USA, 736 pp. Menz, A. & Blake, B.F. 1980. Experiments on the growth of Penaeus vannamei Boone, Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 48: 99-111. Mustafa, A., Tarunamulia, & Hanafi, A. 2004. Karakteristik dan kesesuaian lahan budi daya tambak di Kecamatan Sampara Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. J. Pen. Perik. Indonesia, 10(2): 1-13. Poernomo, A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 30 hlm. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta, 40 hlm. Ponce-Palatox, J., Martinez-Palacios, C.A., & Ross, L.G. 1997. The effect of salinity and temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp, Penaeus vannamei, Boone, 1931. Aquaculture, 157: 107-115. Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaries. Rein Hald Published Co. New York, 37 pp. Sugandhy, A. & Hakim, R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Diterbitkan PT Bumi Aksara, Edisi 1 Cetakan 1, Juli 2007, Jakarta, 157 hlm. Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Edisi II Cetakan I Maret 2009. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 470 hlm. Widigdo, B. 2003. Permasalahan dalam budidaya udang dan solusinya. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 10(1): 18-23.