509
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK SECARA SPASIAL DI KABUPATEN TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Utojo, Rezki Antoni Suhaimi, dan Andi Indra Jaya Asaad Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini memanfaatkan teknologi SIG untuk menentukan lahan yang sesuai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Data sekunder yang diperoleh berupa data iklim, peta Rupa Bumi Indonesia kawasan Tuban skala 1 : 50.000 dan citra satelit Worldview-2 tahun 2011 dan 2012. Data primer diperoleh dengan metode survei di lokasi penelitian meliputi pasang surut, kualitas air, dan tanah tambak. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dan sistematik. Setiap lokasi pengambilan contoh ditentukan posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data lapangan (pasang surut, fisiko-kimia air, dan tanah), data citra satelit Worldview-2 tahun 2011 dan 2012 serta data sekunder yang lain, dianalisis secara spasial dengan menggunakan SIG. Berdasarkan hasil analisis spasial, kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Tuban, didapatkan seluas 994 ha. Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya tambak 69 ha terdapat di Kecamatan Palang, Jenu dan Bancar, sedangkan lahan yang sesuai 376 ha dan cukup sesuai 373 ha tersebar di Kecamatan Palang, Jenu, Tambakboyo, dan Bancar. Lahan yang tidak sesuai untuk budidaya tambak 176 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Palang dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Jenu. KATA KUNCI:
kesesuaian lahan, tambak, Tuban, SIG
PENDAHULUAN Usaha budidaya tambak merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir yang dalam pengembangan budidayanya dimasa mendatang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir atau petambak dan pendapatan daerah serta perolehan devisa negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan program industrialisasi budidaya air payau atau tambak untuk udang dan ikan bandeng di beberapa kabupaten di Pulau Jawa yang menunjang program minapolitan dengan merevitalisasi tambak, termasuk di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Kawasan tambak di kabupaten ini dipusatkan di Kecamatan Bancar dan Palang dengan penyangganya di Kecamatan Tambakboyo dan Jenu serta komoditas unggulannya yaitu udang vaname. Sebagian besar kawasan tambaknya berupa tambak udang vaname intensif baik yang aktif maupun tambak idle, sedangkan tambak tradisional saat musim kemarau digunakan untuk usaha tambak garam. Sumber air utama tambak berasal dari air tanah, sedangkan saluran, sungai dan laut hanya sebagai saluran pembuangan. Kajian untuk menentukan kesesuaian lahan budidaya tambak dapat didasarkan atas karakteristik lahan seperti topografi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan iklim serta apabila dikelola secara berlebihan akan berpengaruh terhadap kemampuan penggunaan lahan. Kemampuan lahan untuk menerima beban akibat kegiatan budidaya tambak tidak bersifat statis, dapat menurun akibat akumulasi limbah hasil kegiatan budidaya, dan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan lahan secara tepat (Clark, 1992). Eksploitasi lahan tambak yang tidak terkendali dan melebihi daya dukung alaminya mengakibatkan rusaknya lingkungan yang berujung pada penurunan produktivitasnya. Evaluasi kesesuaian lahan adalah langkah perencanaan penggunaan lahan yang strategis dalam memprediksi keragaan lahan yaitu keuntungan dan kendala yang didapatkan dari penggunaan lahan serta degradasi lingkungan yang akan terjadi karena penggunaan lahan (Hasnawi dan Mustafa, 2010). Kesesuaian lahan
Page 525 of 1000
Page 1 of 11
Penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak secara spasial ... (Utojo)
510
merupakan suatu kunci sukses dalam kegiatan akuakultur yang mempengaruhi keberhasilan dan keberlanjutannya (Perez et al., 2003). Usaha budidaya tambak di Kabupaten Tuban saat ini mencapai luasan 745 ha yang didominasi tambak udang vaname intensif dan tersebar di empat kecamatan (Anonim, 2012). Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan tambak yang tidak terkendali menyebabkan terjadinya degradasi biofisik lingkungan, konflik pemanfaatan, dan kewenangan sehingga dapat mengurangi efektivitas pengelolaan. Oleh karena itu dalam pengembangan usaha budidaya tambak harus berhati-hati, terkendali, efektif, ekonomis, dan ramah lingkungan. Untuk mendapatkan data dan informasi dengan mudah, cepat, dan akurat tentang kesesuaian lahan budidaya tambak, dapat dilakukan melalui analisis spasial dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) yang diintegrasikan dengan citra satelit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesesuaian lahan budidaya udang di tambak secara berkelanjutan di Kabupaten Tuban, Jawa Timur dengan memanfaatkan teknologi SIG. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Tuban sebagai bahan penyusunan rencana tata ruang wilayah dalam mengalokasikan pengembangan budidaya tambak. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada tanggal 19 hingga 29 September 2013 di Kabupaten Tuban yang meliputi Kecamatan Palang, Jenu, Tambakboyo dan Bancar. Metode Survei lapangan dilakukan dengan memperhatikan morfologi pantai dan keragaman kawasan lokasi budidaya serta vegetasi mangrove sebagai zonasi penyangga. Informasi spasial kesesuaian lahan budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Tuban dengan klasifikasi sampai pada tingkat kategori kelas, di peroleh dari hasil pengolahan data menggunakan teknologi SIG yaitu mengintegrasikan data hasil klasifikasi citra Worldview-2 tahun 2011 dan 2012 dengan data primer dan data sekunder. Tahapan Kegiatan Data Primer Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung di lokasi survei yang meliputi topografi pesisir dan peubah kualitas tanah (pHF, pHFOX, dan potensial redoks) yang diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm. Peubah kualitas tanah hasil analisis laboratorium meliputi tekstur tanah, bahan organik, PO4, N total, Fe, dan Al. Pengukuran pasang surut selama 39 jam dengan interval waktu setiap jam. Pengukuran kualitas air dan pengambilan contoh air (sampling) dilakukan di laut, saluran/sungai, air tanah, dan tambak. Peubah kualitas air yang diukur di lokasi survei yaitu suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut serta yang dianalisis di laboratorium yaitu NH4, NO2, NO3, PO4, bahan organik total, kekeruhan, dan padatan tersuspensi total (Menon, 1973; Parson et al.,1989; APHA, 2005). Identifikasi jenis vegetasi mangrove dilakukan di pinggir laut dan tambak, yang mengacu pada Bengen (2004). Setiap titik sampling di lokasi survei ditentukan posisinya dengan Global Positioning System (GPS). Jumlah titik sampling di lokasi survei ditentukan berdasarkan luas lokasi, kondisi lokasi, dan tingkat keragaman lokasi. Sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survei disajikan pada Gambar 1. Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari penelusuran hasil penelitian dan pengamatan meteorologi, peta jenis tanah skala :250.000, dan peta curah hujan tahunan Provinsi Jawa Timur, peta kelerengan, peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 2007 dengan nomor indeks 1509-214 (Tuban), 1509-223 (Bulu), 1509-224 (Bancar), dan 1509-311 (Jenu) serta peta administrasi Kabupaten Tuban. Data citra Worldview-2 tahun 2011 dan 2012 yang terkoreksi secara radiometrik, geometrik, dan teregistrasi
Page 526 of 1000
Page 2 of 11
511
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
juga digunakan dalam penelitian ini. Penajaman citra dilakukan untuk mendapatkan gambar lokasi penelitian yang baik. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan teknologi SIG. Hasil klasifikasi citra diintegrasikan dengan peta dasar dari peta Rupabumi Indonesia hasil skan dan dijitasi menggunakan program Er Mapper 7.1 serta mengklasifikasi secara terbimbing untuk mendapatkan data/informasi tentang tutupan lahan di lokasi penelitian (Lillesand & Kiefer, 2000). Informasi spasial lain yang didapatkan dari data primer dan sekunder juga diintegrasikan dengan peta penutup/ penggunaan lahan.
Gambar 1. Peta sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh untuk analisis kesesuaian lahan budidaya tambak di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Pengolahan Data Data primer dan sekunder yang sudah dikumpulkan, dianalisis secara spasial menggunakan teknologi SIG. Kemudian menginterpolasi pada setiap parameter dalambentuk spasial. Mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak, peta-peta tematik tersebut dioverlay (tumpang susun) dengan program ArcView 3.3. Hasil analisis spasial yang didapatkan berupa peta tematik kesesuaian lahan budidaya tambakyang akurat dan terkini di Kabupaten Tuban dengan klasifikasi sampai pada tingkat kategori kelas. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Umum Wilayah Pesisir Secara administrasi, Kabupaten Tuban merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang letaknya berkoordinat pada 111,30°- 112,35° Bujur Timur dan 6,40° – 7,18° Lintang Selatan. Batas daerahnya, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kabupaten Lamongan, sebelah selatan dengan Kabupaten Bojonegoro, dan sebelah barat dengan Kabupaten Rembang dan Blora Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah daratan Kabupaten Tuban adalah 1.839,94 km2 dengan panjang pantai 65 km dan luas wilayah lautan adalah 22.608 km2. Kabupaten Tuban memiliki 20 wilayah kecamatan,311 desa, 17 kelurahan dan 876 dusun serta jumlah
Page 527 of 1000
Page 3 of 11
Penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak secara spasial ... (Utojo)
512
penduduknya pada tahun 2012 sebanyak 1.290.394 jiwa dengan kepadatan rata-rata 701 jiwa/km 2. Terdapat lima kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Palang, Tuban, Tambakboyo, Jenu dan Bancar. Hanya Kecamatan Tuban yang tidak memiliki lahan tambak, letaknya di Kota Tuban dan paling padat penduduknya yaitu 4.406 jiwa/km2 (Anonim, 2013). Kabupaten Tuban memiliki lahan perairan tawar (sawah tambak) seluas 3.319 ha dan perairan payau (tambak) 708,93 ha dengan membudidayakan udang windu tradisional 319,73 ha dan udang vaname semi intensif 127,13 ha dan intensif 229,77 ha serta terdapat tambak idle 33,30 ha. Produksi yang dicapai 2.287,23 ton per tahun.Lahan mangrove di Kabupaten Tuban seluas 125,98 ha, tersebar di setiap kecamatan pesisir seperti di Kecamatan Palang seluas 21,04 ha, Jenu 71,80 ha, Tambakboyo 26,92 ha, dan Kecamatan Bancar 6,22 ha (Anonim, 2012). Berdasarkan hasil survei lokasi tambak di Kabupaten Tuban, saat ini terdapat sekitar 90% kegiatan tambak udang vaname intensif (menggunakan mulsa dan tanpa mulsa) yang sumber air utamanya berasal dari air tanah (air asin dan tawar) dan saluran pembuangannya ke sungai dan laut serta hanya 10% berupa lahan tambak idle. Kemungkinan pengusaha tambak tidak menggunakan air sungai dan laut sebagai sumber air utama tambak dikhawatirkan karena adanya cemaran limbah solar dari banyaknya kapal nelayan yang berpangkalan di Muara Sungai Karang Agung Kecamatan Palang dan di pinggir laut Kecamatan Tambakboyo, padatnya pemukiman, adanya beberapa industri seperti semen Gresik, Holcim, wisata bahari, pertamina, baja, pelabuhan perikanan, PLTU, dan Petrokimia yang letaknya di sepanjang pinggir laut Kecamatan Jenu, Tambakboyo, dan Palang. Kawasan tambak tradisional yang letaknya dekat laut, saat musim kemarau digunakan untuk usaha tambak garam dan yang jauh dari laut digunakan untuk menanam padi. Dampak negatif usaha tambak yang menggunakan air tanah sebagai sumber air utama tambak dimasa mendatang yaitu banyaknya akumulasi kandungan besi yang berdampak menurunnya produksi tambak, menurunnya permukaan tanah, intrusi air asin dapat menurunkan produksi padi terutama tambak yang letaknya dekat dengan sawah dan jauh dari laut. Menurut Effendi (2003), karateristik air tanah yaitu memiliki salinitas yang relatif stabil, namun kandungan besinya relatif tinggi sehingga untuk mengurangi kandungan besi, diperlukan penanganan khusus melalui aerasi. Lahan pertanian yang terintrusi air asin, baik di lahan kering maupun di lahan beririgasi, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup tanaman dan produksi pertanian (Metternicht dan Zinck, 2003). Kawasan mangrove di Kabupaten Tuban tersebar di wilayah pesisir Kecamatan Palang, Tuban,Tambakboyo, Jenu, dan Bancar yang kondisinya kritis, bahkan dipinggir laut tidak ada mangrovenya,sedangkan di tambak, vegetasi mangrovenya didominasi oleh jenis tinjang (Rhizophora sp.), api-api (Avicennia sp.), dan bogem (Sonneratia sp.). Adanya upaya dari Dinas Kehutanan Kabupaten Tuban dan petambak untuk menanam cemara laut di sekitar wisata bahari dan tambak. Musim hujan di Kabupaten Tuban terjadi pada bulan Oktober – Maret dan musim kemarau pada bulan April - September, sedangkan musim peralihan yaitu pada bulan Maret/April dan September/ Oktober. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yaitu 435 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan April, Juli, Agustus dan September yaitu 0 mm, dimana pada bulan tersebut tidak ada hujan sama sekali, sedangkan Mei dan Juni masih terjadi hujan dengan curah hujan 123 mm dan 61 mm (Anonim, 2013). Infrastruktur Di setiap kawasan tambak terdapat akses jalan kendaraan roda dua dan empat yang langsung ke jalan poros utama menghubungkan Kota Tuban dengan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur sehingga memudahkan dalam transportasi sarana produksi tambak saat pelaksanaan budidaya dan transportasi udang hasil budidaya saat panen hingga ke pasar. Saat panen udang, biasanya pengumpul datang ke lokasi tambak langsung membeli ke pembudidayanya, pengumpul tersebut menjual udang ke eksportir yang berada di Surabaya dan Semarang, kemudian siap untuk diekspor. Di lokasi survei relatif aman dan terdapat kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja baik kuantitas maupun kualitasnya dalam bidang pertambakan.
Page 528 of 1000
Page 4 of 11
513
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Lahan Tekstur Tanah Hasil data analisis tekstur tanah tambak di Kabupaten Tuban dengan kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm cukup bervariasi, didominasi oleh lempung liat berpasir, lempung berpasir, dan pasir (Tabel 1). Fraksi lempung dan liatberasal dari tambak bekas lahan kosong, tegalan atau sawah, dan fraksi pasir berasal dari laut dan tambak bekas mangrove. Tekstur tanah tambak di Kabupaten Tuban yang dominan pasir umumnya dimanfaatkan untuk pengelolaan tambak udang vaname intensif menggunakan mulsa (tambak yang dasarnya hingga pematang berlapis plastik). Menurut Poernomo (1992), tekstur tanah tambak yang baik untuk budidaya udang tradisional yaitu lempung liat berpasir, sedangkan tambak semiintensif dan intensif yaitu lempung liat berpasir dan lempung berpasir. Kualitas Tanah Kisaran nilai pHF tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 6,75 – 7,63, dan 20 - 40 cm yaitu 6,70 – 7,59 relatif sama (Tabel 1). Kondisi pH tanah tersebut didapatkan pada lahan tambak yang sudah lama dikeloladengan kisaran kemasaman netral mendekati basa. Kisaran nilai pH FOX tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 4,93 – 7,41 dan 20 – 40 cm yaitu 5,72 – 7,37. Rendahnya pHFOX tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm yaitu 4,93 dan 5,72, disebabkan terdekomposisinya bahan organik yang berasal dari sisa-sisa vegetasi mangrove. Selisih nilai pHF dan pHFOX tanah tambak sangat kecil yang berarti lahan tambak di Kabupaten Tuban tidak memiliki potensi kemasaman. Menurut Tarunamulia dan Mustafa (2009), lahan pesisir yang selisih nilai pHF dan pHFOX tanah > 3,5, sebaiknya tidak dibuka dan dikelola untuk tambak, sedangkan lahan pesisir yang selisih nilai pH F dan pHFOX tanah antara 0,5 – 3,5, bisa dibuka dan dikelola untuk tambak dengan syarat lahan tersebut harus diremediasi melalui pengeringan, perendaman, pembilasan, dan pengapuran. Lahan peisisr yang selisih nilai pHF dan pHFOX tanah < 0,5, baik dikelola untuk tambak. Nilai oksidasi dan reduksi potensial tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu (-306) – (+99) mV dan 20 - 40 cm yaitu (-309) – (+180) mV. Tanda positif (+) artinya tanah tambak dalam kondisi kering (teroksidasi) dan tanda negatif (-) yaitu tanah tambak dalam kondisi tergenang (tereduksi). Secara alami proses remediasi tanah di lokasi survei masih layak untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Noor (2004), kondisi tanah di tambak yang kering (aerob), laju oksidasi dan proses perombakan bahan organik berlangsung cepat dan laju pereduksi sulfur dan besinya lambat, sedangkan kondisi tanah tambak yang tergenang (anaerob), laju oksidasi dan perombakan bahan organik berlangsung lambat dan laju pereduksi sulfur dan besinya cepat. Untuk mempercepat proses oksidasi bahan organik di tambak secara umum diperlukan kapur bakar berkisar 1 – 5 ton per hektar (Atmomarsono et al., 2011). Redoks potensial tanah dasar tambak pada saat kering sebaiknya minimal + 50 mV (Poernomo, 2004). Kandungan Fe dan Al tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 11,3 – 150,3 mg/L dan 0,0 – 47,8 mg/L, dan 20 - 40 cm yaitu 11,3 – 199,0 mg/L dan 0,0 – 91,0 mg/L. Nilai kandungan Fe dan Al tanah tersebut masih layak untuk kegiatan budidaya tambak. Kandungan Fe dan Al di kedalaman tanah 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm yang tinggi, didapatkan di lahan tambak bekas areal mangrove. Kandungan fosfat tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 0,00 – 175,39 mg/L dan 20 - 40 cm yaitu 0,00 – 92,41 mg/L, tergolong sedang hingga tinggi dan layak untuk budidaya tambak tradisional. Fosfat termasuk unsur esensial untuk pertumbuhanfitoplankton, kelekap dan lumut serta dapat meningkatkan produksi ikan herbivor (Boyd, 1995). Ketersediaan fosfat tanah tambak > 60 mg/L dinilai baik untuk budidaya udang tradisional (Karthik et al., 2005). Kandungan bahan organik dan N total tanah di kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm, masingmasing yaitu 0,12 – 4,51% dan 0,00 – 8,64% serta 0,02 – 0,17 mg/L dan 0,02 – 0,12 mg/L, dinilai layak untuk budidaya tambak. Menurut Boyd et al. (2002), kandungan bahan organik tanah 1,7-5,2%, baik untuk budidaya tambak. Umumnya sampel tanah yang diambil di lokasi survei, memiliki kandungan bahan organik dan N total yang relatif rendah. Untuk mengatasinya yaitu dengan pemberian pupuk organik dan urea di tambak tradisional, masing-masing 400 – 1.000 kg/ha dan 200 – 400 kg/ ha tergantung kondisi tanah dan musim penebaran. Pada musim hujan penggunaan urea dapat
Page 529 of 1000
Page 5 of 11
Penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak secara spasial ... (Utojo)
514
Tabel 1. Kisaran nilai parameter tekstur dan kualitas tanah di lokasi budidaya tambak KabupatenTuban, Provinsi Jawa Timur Parameter tekstur dan kualitas tanah
Kisaran nilai (n = 37)
Nilai optimal
– Pasir (%)
40 – 100
– Liat (%)
0 – 56
Lempung liat berpasir: tambak tradisional–semiintensif *) Lempung berpasir: tambak intensif *)
Tekstur:
Kedalaman 0 – 20
– Debu (%)
0 – 48 Lempung liat berpasir, liat, liat berpasir,pasir, lempung berpasir,pasir berlempung
Tekstur:
20 – 40
– Pasir (%)
40 – 100
– Liat (%)
0 – 60
– Debu (%)
0 – 30
pHF pHFOX Redoks potensial (mV) PO4–P (mg/L)
0 – 20
Lempung liat berpasir, liat, liat berpasir, pasir, lempung berpasir, pasir berlempung 6,75 – 7,63
20 – 40
6,70 – 7,59
0 – 20
4,93 – 7,41
20 – 40
5,72 – 7,37
0 – 20
(–306) – (+99)
20 – 40
(–309) – (+180)
0 – 20
0,00 – 175,39
20 – 40 Bahan organik (%) Fe (mg/L) (mg/L) N Total (mg/L)
0,00 – 92,41
6.5 – 7.0*)
Minimal plus (+) 50 mV**) > 60 mg/L: tambak tradisional , tambak intensif kurang diperlukan ***)
0 – 20
0,12 – 4,51
20 – 40
0,00 – 8,64
1,7–5,2% baik untuk tambak****)
0 – 20
11,3 – 150,3
20 – 40
11,3 – 199,0
Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering*)
0 – 20
0,0 – 47,8
Sda
20 – 40
0,0 – 91,0
0 – 20
0,02 – 0,17
20 – 40
0,02 – 0,12
Rasio C:N yang ideal untuk tambak berkisar 8:1–12:1*****)
Sumber: *)Poernomo (1992) **)Boyd dalam Widigdo (2003) ***)Karthik et al.(2005) ****)Boydet al. (2002) *****) Boyd (2008)
dikurangi karena sudah ada masukan nitrogen dari air hujan. Tambak yang relatif dekat dengan laut biasanya memerlukan urea lebih banyak dari pada yang jauh dari laut (Atmomarsono et al., 2011). Rasio C:N yang ideal untuk tambak berkisar 8:1-12:1 (Boyd, 2008). Hidrologi Sumber Air Sumber air utama untuk kegiatan unit pertambakan di Kabupaten Tuban bukan berasal dari laut dan sungai melainkanberasal dari air tanah yang dikeluarkan melalui sumur bor dan dialirkan ke tandon kemudian dimasukkan ke dalam petakan tambak. Variasi salinitas air dan debet air sumber yang didapatkan tergantung dari keperluan petambak. Dalam mencari lokasi sumber air tawar atau
Page 530 of 1000
Page 6 of 11
515
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
asin, didasarkan pada perbedaan kedalaman tanah yang dibor dengan kisaran 25 – 115 m.Air asin dan tawar yang didapatkan dari sumur bor, dimasukkan dalam tandon secara terpisah umumnya untuk keperluan pengelolaan budidaya tambak udang vaname intensif. Lokasi unit tambak yang letaknya di pinggir laut, limbah aktivitasnya langsung dibuang ke laut dan unit tambak yang jauh dari laut, terlebih dulu dialirkan melalui sungai. Hasil analisis kualitas air tanah sebanyak 12 sampel, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis kualitas air tanah untuk pengelolaan budidaya tambak udang vaname intensif di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur
Parameter kualitas air Salinitas NO3 NO2 NH3 PO4 Fe
Satuan ppt mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Kisaran nilai 0 – 27 0,1179 – 2,1920 0,0004 – 0,0248 0,2104 – 2,2938 ttd - 0,3366 ttd - 0,0025
ttd: tidak terdeteksi
Pasang Surut Hasil pengukuran langsung dan analisis pasang surut di pesisir Kabupaten Tuban terjadi perbedaan yang relatif kecil dengan kisaran 130 – 185 cm dan tunggang pasang 55 cm. Kondisi pasang surut yang demikian kurang meningkatkan mutu lingkungan perairan budidaya tambak. Sumber air utama di kabupaten tersebut menggunakan air tanah sehingga pengaruh pasang surut kurang diperlukan. Data pasang surut hanya diperlukan untuk menghitung lebar jalur hijau di sepanjang pantai Kabupaten Tuban. Menurut Poernomo (1992), lokasi di kawasan intertidal (air pasang dan surutnya bergantung pada gravitasi bumi) dengan elevasi sedang dan dapat diairi oleh rataan pasang tinggi dan dikeringkan pada saat rataan surut rendah merupakan lahan yang ideal bagi pembangunan unit tambak. Kualitas Air Nilai salinitas air tambak yang didapatkan di lokasi survei yaitu2 – 25 ppt (Tabel 3). Variasi salinitas tambak yang didapatkan, dinilai masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Komoditas yang dibudidayakan memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi salinitas tambak yaitu bersifat eurihalin seperti udang windu, udang vaname dan ikan bandeng. Udang vaname dapat bertahan hidup di air pada salinitas 1 – 40 ppt (Menz & Blake, 1980). Salinitas optimum udang vaname 15 – 20 ppt (Bray et al., 1994), sedangkan menurut Hernandez et al. (2006), pertumbuhan dan sintasan terbaik udang vaname pada salinitas 33 – 40 ppt. Udang windu dapat bertahan hidup pada salinitas 3 – 45 ppt (Cholik dan Poernomo, 1987). Salinitas optimum udang windu 15 – 25 ppt (Poernomo, 1988) dan salinitas optimum ikan bandeng 15 – 25 ppt (Ismail et al., 1993). Nilai suhu yang didapatkan di lokasi survei yaitu 27,8 – 34,50 oC. Tingginya nilai suhu tersebut didapatkan di tambak tradisional bandeng Desa Subondoro Kecamatan Tambakboyo yang relatif dangkal terdapat banyak lumut, namun demikian kisaran nilai suhu tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Poernomo (1992), suhu optimum tambak udang 29 – 31oC danmeningkatnya konsumsi oksigen seiring dengan meningkatnya suhu serta udang tumbuh cepat pada suhu 30 – 31oC. Suhu optimum udang vaname 25 – 35oC (Ponce-Palatox et al., 1997). Nilai pH yang didapatkan di lokasi survei yaitu 7,15 – 9,48. Kisaran nilai pH tambak tersebut umumnya netral hingga alkalis dan masih layak sebagai media budidaya tambak udang. Tingginya nilai pH tersebut didapatkan di tambak tradisional ikan bandeng Desa Subondoro Kecamatan Tambakboyo yang relatif dangkal terdapat banyak lumut. Nilai pH optimum sebagai persyaratan mutu air bagi tambak udang berkisar 8,0 – 8,5 (Poernomo, 1992).
Page 531 of 1000
Page 7 of 11
Penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak secara spasial ... (Utojo)
516
Kandungan oksigen yang terlarut di lokasi survei yaitu 2,37 – 9,60 mg/L dan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya nilai tersebut, didapatkan di tambak udang vaname intensif Desa Cepokorejo Kecamatan Palang. Tingginya oksigen tersebut disebabkan aktivitas kincir air. Udang windu dapat tumbuh normal dengan kandungan oksigen terlarut 3 – 10 mg/L dan batas optimumnya 4 – 7 mg/L. Menurut Hopkins et al. (1991), kandungan oksigen terlarut yang mematikan udang vaname adalah 1 mg/L. Kandungan oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L dan berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Kandungan amoniak (NH3-N) yang didapatkan di lokasi survei yaitu 0,2781 – 2,4523 mg/L dan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Kandungan amoniak total yang diperbolehkan sebagai syarat mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Tingginya kandungan amoniak (2,4523 mg/L), didapatkan di tambak udang vaname intensif Desa Mangkar Kecamatan Widang yang letaknya jauh dari laut dan diduga berasal dari limbah pakan dan kotoran udang. Amoniak dalam bentuk molekul (NH 3) lebih beracun dari pada yang berbentuk ion (NH 4+), daya racun amoniak semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH, suhu, dan salinitas, serta kesadahan air tambak yang rendah. Kandungan amoniak menurun akibat aktivitas aerasi, pengenceran, nitrifikasi, dan penyerapan oleh plankton yang terdapat di dalam air tambak (Poernomo, 1988). Kandungan nitrit (NO2-N) merupakan produk dari proses nitrifikasi yang beracun terhadap ikan dan udang. Nilai kandungan nitrit di lokasi survei yaitu 0,0024 – 0,3187 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Kandungan nitrit yang diperbolehkan sebagai syarat mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Tingginya nilai kandungan nitrit 0,3187 mg/L, didapatkan di tambak udang vaname intensif Desa Margosuko Kecamatan Bancar. Kandungan nitrat (NO3-N) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N esensial untuk pertumbuhan alga dan tanaman air. Nilai kandungan nitrat di lokasi survai yaitu0,0921 – 3,4875 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya kandungan nitrat 3,4875 mg/L, didapatkan di tambak ikan bandeng tradisional Desa Cepokorejo Kecamatan Palang yang banyak lumut. Nitrat anorganik sangat diperlukan untuk penerapan tambak Tabel 3. Kisaran nilai parameter kualitas air di lokasi tambak Kabupaten Tuban, Provinsi JawaTimur
Parameter kualitas air Salinitas: – laut – sungai – tambak Suhu air pH Oksigen terlarut NH3–N NO2–N NO3–N PO4–P Padatan tersuspensi total Bahan Organik Total Fe
Satuan ppt ppt ppt o
C
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Kisaran nilai
Nilai ideal
30 – 34 5 – 19 Feb-25 27,8 – 34,50 7,18 – 9,48 2,37 – 9,60 0,2781 – 2,4523 0,0024 – 0,3187 0,0921 – 3,4875 0,0133 – 2,0816 5 – 121 5,06 – 73,31 0,0003 – 0,0459
30 – 35*) 10 – 20 *) 15 – 25*) 29 – 31*) 7,0 – 8,5**) 4 – 7*) 0,30**) 0.25*) 0,008**) 0,015**) < 25***) 29,50*) 0,01****)
Sumber: *) Poernomo (1992)**) Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (2004) ***) Alabaster dan Lioyd (1982) dalam Effendi (2003) ****) Poernomo (1988)
Page 532 of 1000
Page 8 of 11
517
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
tradisional, tetapi dalam penerapan tambak intensif, kandungan nitrat kurang diperlukan karena adanya eutrofikasi, akan menurunkan kualitas air tambak. Kandungan fosfat (PO4-P) ini umumnya dalam bentuk anorganik sebagai sumber unsur P esensial untuk pertumbuhan tanaman air, kelekap, plankton, dan lumut di tambak. Kandungan fosfat di lokasi survai yaitu 0,0133 – 2,0816mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya nilai tersebut (2,0816 mg/L), juga didapatkan di tambak udang vaname intensif Desa Margosuko Kecamatan Bancar. Kandungan fosfat di perairan alami yaitu 0,005 – 0,020 mg/L, sedangkan di air tanah biasanya sekitar 0,02 mg/L (Effendi, 2003). Kandungan fosfat di perairan alami jarang yang melebihi dari 1 mg/L (Boyd, 1988). Kandungan bahan organik total di lokasi survei yaitu 5,06 – 73,31mg/L dan padatan tersuspensi total yaitu 5 – 121 mg/L. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi seiring dengan meningkatnya kekeruhan. Padatan tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang mengganggu proses fotosintesis dan pernafasan organisme akuatik (Effendi, 2003). Kisaran nilai kandungan bahan organik dan padatan tersuspensi total yang didapatkan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Reid (1961), kandungan bahan organik total air di atas 26 mg/L, tergolong subur. Kondisi tersebut baik untuk penerapan kegiatan tambak tradisional, sedangkan untuk kegiatan tambak intensif dapat menurunkan kualitas air. Kandungan besi (Fe) yang didapatkan di lokasi survai yaitu0,0003 – 0,0459 mg/L dan relatif kecil serta larut dalam air berbentuk ion besi fero (Fe2+). Kisaran nilai ion tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Effendi (2003), kandungan besi fero berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil serta berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron pada proses fotosintesis tanaman akuatik. Kandungan besi fero dalam air yang berlebihan dapat menghambat fiksasi unsur lainnya. Unit tambak di Kabupaten Tuban menggunakan sumber air dari air tanah yang memiliki kandungan besi fero relatif rendah yaitu ttd – 0,0025 mg/L. Kandungan besi fero di perairan alami berkisar 0,05 – 0,20 mg/L. Batas nilai kandungan besi fero yang aman sebagai media budidaya tambak udang yaitu 0,03 mg/L dengan optimumnya 0,01 mg/L (Poernomo, 1988). Lahan Pengembangan Budidaya Tambak Hasil analisis spasial kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Tuban menggunakan SIG, disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil tersebut, didapatkan lahan tambak seluas 994 ha. Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya tambak 69 ha terdapat di Kecamatan Palang, Jenu dan Bancar, sedangkan lahan yang sesuai 376 ha dan cukup sesuai 373 ha tersebar di Kecamatan Palang, Jenu, Tambakboyo, dan Bancar. Lahan yang tidak sesuai untuk budidaya tambak seluas 176 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Palang dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Jenu. Lahan yang sangat sesuai, dialokasikan untuk kegiatan budidaya udang semi intensif dan intensif, lahan yang sesuai untuk kegiatan budidaya udang (monokultur) atau udang bersama bandeng (polikultur) secara tradisional plus, dan lahan yang cukup sesuai, untuk kegiatan budidaya bandeng (monokultur) atau bandeng bersama rumput laut (polikultur) secara tradisional. Lahan yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya, dialokasikan sebagai kawasan penyangga. Lebar jalur hijau di sepanjang pantai Kabupaten Tuban yang harus diaplikasikan minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah setempat (0,55 m) yang diukur dari garis pantai saat air surut terendah yaitu 71,5 m dan lebar jalur hijau di tepi sungai minimal berjarak 100 m dari kiri dan kanan sungai besar serta 50 m dari kiri dan kanan sungai kecil yang berada di luar pemukiman sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1990. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis spasial, kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Tuban, didapatkan seluas 994 ha. Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya tambak 69 ha terdapat di Kecamatan Palang, Jenu dan Bancar, sedangkan lahan yang sesuai 376 ha dan cukup sesuai 373 ha tersebar di Kecamatan Palang, Jenu, Tambakboyo, dan Bancar. Lahan yang tidak sesuai untuk budidaya tambak 176 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Palang dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Jenu.
Page 533 of 1000
Page 9 of 11
Penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak secara spasial ... (Utojo)
518
Gambar 2. Peta kesesuaian lahan budidaya tambak di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur DAFTAR ACUAN Anonim. 2012. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tuban Tahun 2012. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tuban, 71 hlm. Anonim. 2013. KabupatenTuban Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tuban, 282hlm. APHA (American Public Health Association). 2005. Standart Methods for Examinition of Water and Wastewater. APHA-AWWA-WEF, Washington, DC. 1,185 pp. Atmomarsono, Muliani, Nurbaya, E. Susianingsih, Nurhidayah, dan Rachmansyah. 2011. Petunjuk Teknis Aplikasi Bakteri Probiotik RICA pada Budidaya Udang Windu di Tambak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, 20 hlm. Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 59 hlm. Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA, 359 pp. Boyd, C.E. 1995. Bottom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 46 pp. Boyd, C.E., Wood, C.W., and Thunjai, T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Oregon State University. Corvallis, Oregon, 41 pp. Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analysis. Global Aquaculture Advocate September/October, p. 91-92. Bray, W.A., A.L. Lawrence, and J.R. Leung-Trujillo. 1994. The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei with observations on the interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture. 122: 133-146. Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No. 327. United Nations-FAO, Rome, 167 pp. Cholik, F. dan A. Poernomo. 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya udang intensif. Seminar “Aeration” di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang, 45 hlm.
Page 534 of 1000
Page 10 of 11
519
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 258 hlm. Hasnawi & Mustafa, A. 2010. Karakteristik, kesesuaian, dan pengelolaan lahan untuk tambak budidaya di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 3(5):449-463. Hernandez, M.R., L.F.R. Buckle, E. Palacios, and B.S. Baron. 2006. Preferential behavior of white shrimp Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) by progressive temperature- salinity simultaneous interaction. Journal of Thermal Biology, 31: 565-572. Hopkins, J.S., A.D. Stokes, C.L. Browdy, and P.A. Sandifer. 1991. The relationship between feeding rate, padlle wheel rate and expected dawn dissolved oxygen in intensive shrimp ponds. Aquacultural Engineering, 10:281-290. Ismail, A., A. Poernomo, P. Sunyoto, Wedjatmiko, Dharmadi, dan R.A.I. Budiman. 1993. Pedoman Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Puslitbang Perikanan, Jakarta. Karthik, M., J. Suri, N. Saharan, and R.S. Biradar. 2005. Brackhiswater aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane District of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and Geographical Information System. Aquacultural Engineering, 32:285-302. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No. 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 11 hlm. Lillesand, T.M. & Kiefer, R.W. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. Fourth Edition. John Wiley & Sons. New York, USA, 736 pp. Menon, R.G. 1973. Soil and Water Analysis: A Laboratory Manual for the Analysis of Soil and Water. Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang, 190 pp. Menz, A. and B.F. Blake. 1980. Experiments on the growth of Penaeus vannamei Boone. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 48: 99-111. Metternicht, G. I. and Zinck, J. A. 2003. Remote sensing of soil salinity: potentials and constraints. Remote Sensing of Environment 85, 1-20. Noor, M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Edisi ke-1, cetakan 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 229 hlm. Parsons, T.R., Maita, Y., and Lalli, C.M. 1989. A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press, Oxford, 173 pp. Perez, O.M., Ross, L.G., Telfer, T.C., and Del Campo Barquin, L.M. 2003. Water quality requirements for marine fish cage site selection in Tenerife (Canary Islands): predictive modelling and analysis using GIS. Aquaculture, 224: 51-68. Poernomo, A. 1988. Pembuatan Tambak di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7, 1988. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros, 30 hlm. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, CRIFI Pub., 40 hlm. Poernomo, A. 2004. Technology of probiotics to solve the problems in shrimp pond culture and the culture environment. Paper presented in The National Symposium on Development and Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, January 27-29, 2005, Patrajasa Hotel, Semarang, 25 pp. Ponce-Palatox, J., C.A. Martinez-Palacios, and L.G. Ross. 1997. The effect of salinity and temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp, Penaeus vannamei, Boone, 1931. Aquaculture, 157:107-115. Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaries. Rein Hald Published Co. New York, 37 pp. Tarunamulia dan A. Mustafa. 2009. Evaluasi rinci karakteristik dan tingkat kesesuaian lahan tambak di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 3(4):425-438. Widigdo, B. 2003. Permasalahan dalam budidaya udang dan solusinya. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 10(1):18-23.
Page 535 of 1000
Page 11 of 11