KERTAS POSISI KOALISI ADVOKASI UNTUK RUU INTELIJEN NEGARA
KOALISI ADVOKASI UNTUK RUU INTELIJEN NEGARA (Imparsial, KontraS, IDSPS, Elsam, Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPPi, MediaLink) 1
BAB I PENDAHULUAN
Berubahnya sistem keamanan sebuah negara merupakan sesuatu hal yang niscaya terjadi. Sistem keamanan bukanlah sesuatu hal yang statis melainkan bersifat dinamis dimana perubahan sistem keamanan sangat dipengaruhi dari dinamika lingkungan strategis yang terus berkembang dan terus berubah. Derasnya arus gelombang demokratisasi, kecenderungan konflik dari inter-state menjadi intra-state, laju arus globalisasi yang tak terelakkan, kemajuan teknologi dan arus informasi yang begitu cepat, pengakuan universalitas HAM serta kompleksitas ancaman yang berkembang pascaperang dingin tentulah menjadi faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung memaksa banyak negara untuk kembali menata ulang sistem keamanannya. Melalui program reformasi sektor keamanan banyak negara telah melakukan penataan kembali lembaga-lembaga keamanannya dengan memperhatikan dinamika lingkungan strategis yang telah berubah. Tujuan utama dari proses reformasi sektor keamanan itu adalah menciptakan good governance di sektor keamanan dan menciptakan lingkungan yang aman dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Tidak hanya itu, sistem keamanan di masa kini tidak lagi sebatas menjadikan “negara” sebagai obyek yang harus dijaga tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian keamanan harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap warga, baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan menempatkan kewajiban negara untuk mengatur dan mengelolanya. Di Indonesia, berbagai perubahan dan capaian positif dalam reformasi sektor keamanan telah dihasilkan di masa reformasi. Perubahan-perubahan itu diantaranya meliputi perubahan di level regulasi dengan menetapkan beberapa aturan baru di bidang keamanan yakni UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004 tentang TNI. Namun demikian, perubahan-perubahan itu belumlah cukup apalagi memadai di dalam membangun sistem keamanan nasional yang terintegrasi. Apalagi untuk aktor intelijen hingga kini belum ada aturan hukum setingkat undang-undang yang mengatur tugas dan fungsi intelijen di dalam sistem negara demokrasi. Atas dasar itulah usaha untuk melakukan reformasi intelijen melalui pembentukan undang-undang intelijen yang sesuai dengan tata sistem negara yang demokratik menjadi penting untuk diwujudkan.
2
BAB II INTELIJEN DALAM NEGARA DEMOKRASI
2.1 Hakikat Intelijen Terminologi mata-mata (spies) dan operasi rahasia telah ada dalam berbagai literatur sejak masa Yunani, namun keberadaan organisasi intelijen secara formal oleh negara baru muncul pada akhir abad-19. Kemunculan organisasi intelijen ini dipicu pertimbangan real-politics untuk mengantisipasi pergeseran perimbangan kekuasaan di Eropa.1 Pergeseran tersebut diawali dengan melemahnya sistem Concert of Europe pada awal abad-19 yang ditandai dengan perang antara Austria dan Naples (1820-1821). Selanjutnya, perang ini diikuti dengan 31 rangkaian perang antar negara yang dikenal sebagai Perang Dunia I (1914-1919). Perubahan sistem internasional ini diantisipasi oleh Jerman, Prancis, Inggris dan Amerika Serikat dengan membentuk organisasi khusus yang diberi tugas spesifik untuk mengumpulkan informasi mengenai dinamika kekuatan militer negara lain.2 Berdasarkan kondisi yang dihadapi negara-negara tersebut dalam pencariannya untuk mendapatkan keseimbangan kekuatan (balance of power), maka hakekat intelijen sangat dipengaruhi perspektif realis dalam hubungan internasional. Dengan demikian, intelijen negara selalu mengacu pada seluruh dinas serta anggota intelijen yang terlibat dalam kegiatan dan operasi untuk menjamin keamanan nasional.3 Secara harfiah kata ‘intelijen’ dapat diartikan sebagai ‘kecerdasan’. Sementara kata ’intelijensi’ pada Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai daya membuat reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalamanpengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi-kondisi baru; kecerdasan.4 Apabila kita masukan kata ’intelijen’ ke dalam konteks militer, maka intelijen merupakan tindakan lanjut dari ’spionase’. Pada dasarnya, ’spionase’ mengacu kepada pengumpulan informasi secara rahasia, dimana sumber-sumber informasi berupaya mempertahankan dan melindunginya dari rongrongan pihak lain. Sementara ’intelijen’ mengacu pada proses mengevaluasi dan memproses informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.5 Lebih lanjut, Allen Dulles menyatakan bahwa intelijen berkaitan langsung dengan segala sesuatu yang harus diketahui sesegera mungkin untuk menunjang setiap inisiatif tindakan. Ladislas Farago menyatakan bahwa intelijen adalah suatu kegiatan yang terorganisasi untuk mengumpulkan informasi, dinilai sedikit demi sedikit dan dibentuk sampai terbentuknya pola-pola yang lebih jelas yang pada saatnya akan memberikan suatu gambaran yang lebih
1
Lihat Andi W., Cornelis L., Makmur K., Intelijen:Velox et Exactus, Pacivis, Jakarta, 2006, hlm.35-36 dan juga lihat Allan Dulles, The Craft of Intelligence, Signet Book, New York, 1965, hlm 21-23 2 Andi W., Cornelis L., Makmur K., op. cit, hlm.35-36 dan lihat juga Kalevi J. Holsti, Peace and War: Armed Conflict and International Order 1648-1989, CUP, Cambridge, 1991, hlm 138-169. 3 Ibid. hlm.41. 4 Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.335 dan juga lihat I. Kurnarto, Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999 5 I. Kurnarto, Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999, hlm.25 3
tajam atau komprehensif.6 Selanjutnya, Department of Army in United States mendefinisikan intelijen sebagai suatu produk yang dihasilkan dari proses pengumpulan, pengolahan, integrasi, evaluasi, analisis, dan interpretasi informasi yang tersedia mengenai negara-negara asing, pihak-pihak yang mengancam atau berpotensi untuk memberikan ancaman potensial maupun aktual. Istilah ini juga mengacu pada produk dan organisasi yang terlibat di dalam kegiatan tersebut.7 Dalam konteks itu, setidaknya pengertian intelijen meliputi:8 1. Intelijen sebagai produk, merupakan hasil penilaian dan pengolahan dari fakta dan data serta keterangan/informasi yang diperlukan pimpinan sebagai bahan pengambilan keputusan. 2. Intelijen sebagai organisasi, merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan menggerakkan kegiatan sesuai dengan fungsi dan peranannya serta memberikan informasi sesuai dengan tuntutan otoritas yang berwenang dan bertanggungjawab. 3. Intelijen sebagai kegiatan, merupakan upaya mengumpulkan, mengolah dan menggunakan bahan informasi melalui kegiatan intelijen. Seperti yang sudah dijelaskan, maka kata ’intelijen’ memiliki beberapa pengertian yang pada akhirnya mengacu pada suatu hasil pemikiran/perkiraan yang berbentuk informasi untuk digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pada otoritas tertentu. Apabila perkiraan tersebut tepat, maka dapat dikatakan ’intelijen’ bekerja dengan baik. Lebih jauh lagi, hal ini hanya akan terjadi apabila ditangani oleh pihak-pihak yang memiliki intelijensia yang tinggi atau kecerdasan, seperti definisi dasar kata ’intelijen’ itu sendiri. Berdasarkan pengertian intelijen tersebut, maka fungsi utama intelijen adalah sebagai sistem peringatan dini (early warning system) terhadap pengambil kebijakan (otoritas) di dalam konteks keamanan nasional.9 Sementara tugas intelijen adalah mengumpulkan informasi rahasia yang sifatnya terkini dan akurat, yang kemudian disampaikan kepada pembuat kebijakan (otoritas) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dengan tujuan untuk menghindari pendadakan (strategic surprises) yang dapat mengganggu keamanan nasional. Dengan kata lain, intelijen hanya berfungsi pada tataran taktik untuk mengimplementasikan suatu strategi tanpa memiliki otoritas untuk menggantikan strategi tersebut.10 Aktivitas intelijen yang utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi, mengevaluasi informasi, mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan 11 memperkirakan dinamika keamanan nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah.
2.2 Intelijen dalam Negara Demokrasi Keberadaan pelayanan keamanan pada negara demokratis pada dasarnya menimbulkan political paradox. Pada satu sisi, layanan keamanan didirikan untuk melindungi segenap warga negara dan tatanan negara. Atas dasar fungsi tersebut, maka mereka diberikan 6
Ibid dan lihat juga H. Emon Rivai Arganata, Intelijen Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.21-24 7 Headquarters Department of Army, United States: Inteliigence, dalam http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf 8 I. Kurnanto, Op.Cit. hlm.48-49 9 Andi Widjajanto, Artanti Wardhani, Hubungan Intelijen-Negara 1945-2004, Pacivis, Jakarta, 2008, hlm 1-2. 10 Andi W., Cornelis L., Makmur K, Op.Cit, hlm. 42 11 David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11. 4
kewenangan dan kemampuan khusus untuk melaksanakan tugas utamanya. Namun di sisi lain, kewenangan dan kemampuan khusus yang diberikan tersebut memiliki potensi untuk mengancam keamanan warga negara, tatanan negara bahkan proses demokrasi suatu negara.12 Hal ini seiring dengan badan-badan intelijen yang memberikan sebuah tantangan khusus karena sifat, peran, fungsi, kewenangan dan karakteristiknya yang sangat kental dengan unsur kerahasiaan. Mengingat bahaya ini, maka tantangan bagi negara-negara demokrasi adalah membangun sebuah peraturan yang komprehensif mengenai pengawasan, perlindungan hak asasi manusia, pencegahan penyalahgunaan kewenangan intelijen dan memastikan bahwa intelijen bekerja di bawah peraturan dan sistem yang sah dan demokratis. Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen yang profesional dan efektif di dalam negara demokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri:13 a. Institusi sipil, b. Netral secara politik, c. Tidak otonom, d. Dibentuk berdasarkan undang-undang, e. Tunduk kepada hukum dan kendali demokratis, f. Memiliki anggaran yang sepenuhnya berasal dari negara, g. Bersifat akuntabel dan waspada. Sedangkan ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakekat dirinya adalah intelijen yang memiliki ciri-ciri:14 a. Institusi militeristik, b. Menjadi alat politik rezim, c. Bersifat otonom, d. Ekstra konstitusional, e. Kebal hukum, f. Tidak tunduk pada kendali demokratis, g. Dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara, h. Tanpa pengawasan yang efektif. Dalam rangka untuk menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional dan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power), maka intelijen pada sebuah negara demokratis harus tunduk kepada kode etik intelijen yang menegaskan prinsip-prinsip etis, antara lain: 15 1. Kesetiaan pada negara dan konstitusi 2. Kepatuhan pada hukum dan tunduk pada aturan main 3. Menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi 4. Penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) khususnya pada non-derogable rights, 5. Sumpah untuk menjaga kerahasiaan 6. Integritas yang tinggi kepada publik dalam melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien 12
Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence Services MR Ronnie Kasrils MP- South Africa. Diakses dari http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf 13 David L, Carter Op.Cit, hlm 13-14 dan juga lihat laporan penelitian Imparsial, Perebutan Kuasa intelijen, Imparsial, 2010. 14 Ibid 15 Andi W., Cornelis L. Makmur K, Op.Cit, hlm 99-102 5
7. Memiliki objektivitas dan tidak bias dalam mengevaluasi informasi 8. Memiliki komitmen untuk mempromosikan terbangunnya rasa saling percaya antara pengambil kebijakan dan intelijen 9. Tidak melakukan tindakan represif dan tidak melaksanakan fungsi polisi ataupun tindakan pemeriksaan 10. Netral secara politik; tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh partai politik, aparat negara, individu, kelompok, media, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembagalembaga perekonomian untuk tujuan di luar kewenangannya 11. Tidak bekerja atas dasar sentimen ras, agama, ideologi kelompok atau karena keanggotaannya di dalam suatu organisasi 12. Tidak menyalahgunakan kewenangannya dan menghindarkan penggunaan dana publik secara semena-mena Dengan kata lain, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, yang dilaksanakan secara cepat dan akurat (velox et exactus) berdasarkan kewenangan yang telah diatur secara jelas dan tegas secara hukum, serta didasarkan pada mekanisme otorisasi di dalam pelaksanaannya. Lebih jauh lagi ke dalam tataran operasional, maka terdapat beberapa prinsip di dalam pengaturan intelijen yang harus mendasari kegiatan intelijen pada sebuah negara demokratis yang meliputi:16 Pertama, prinsip transparansi vs. kerahasiaan. Transparansi di dalam segala administrasi dan kegiatan suatu lembaga di negara demokrasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Namun, dalam rangka keefektifan kegiatan intelijen maka akan ada beberapa bagian dan aktivitas yang sensitif yang harus dirahasiakan. Secara umum, terdapat beberapa bagian yang disepakati untuk dirahasiakan antara lain: 1. Seluruh informasi yang terkait dengan tindakan operasional, sumber, metodologi, prosedur dan sarana 2. Personel yang terkait (anggota) dan pengamanan terhadap pengetahuan dan informasi yang dimilikinya 3. Sumber dan rincian informasi bagi intelijen yang diberikan oleh pemerintah ataupun sumber asing lainnya. Kedua, prinsip pemisahan intelijen domestik dan asing. Pemisahan ini didasarkan pada perbedaan misi dan payung hukum di antara keduanya. Intelijen domestik umumnya memiliki misi untuk memperoleh, menghubungkan dan mengevaluasi informasi yang berkaitan dengan keamanan internal suatu negara. Sementara intelijen asing pada umumnya berkaitan dengan keamanan eksternal untuk tujuan peringatan terhadap pengambil kebijakan. Payung hukum yang digunakan untuk intelijen domestik adalah peraturan perundangundangan yang dibuat oleh negara tersebut. Sementara untuk intelijen asing, mereka mengikuti peraturan perundangan yang dimiliki oleh negara dimana mereka ditempatkan, walaupun terdapat peraturan negara asal mereka khusus mengenai aturan main intelijen asing mengenai apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan. Ketiga, prinsip pemisahan intelijen domestik dengan penegakan hukum. Secara fundamental tujuan penegakan hukum dan intelijen berbeda, penegakan hukum adalah melakukan eksekusi dan pembuktian ke dalam suatu kasus kriminal yang spesifik. Sementara intelijen bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Selain itu, pada dasarnya 16
Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services and Democracy. Diakses dari http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf 6
intelijen tidak turut melakukan eksekusi terhadap suatu tindak kriminal, karena hal ini akan berdampak kepada melemahnya kapabilitas intelijen untuk mengumpulkan informasi lebih jauh, dimana hal ini merupakan tugas utama intelijen. Keempat, prinsip Civil or Military Lead? Hasil terbaik dari kinerja intelijen adalah yang berdasarkan perspektif dan analisis oleh sipil dan militer. Namun di dalam negara demokrasi pemegang kekuasaan secara politis pada bidang intelijen adalah tugas sipil. Selain prinsip-prinsip dari pengaturan kegiatan intelijen itu sendiri, intelijen juga terkait dengan lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam mengawasi aktivitas intelijen, sebagai berikut:17 Eksekutif - Menetapkan persyaratan dan prioritas intelijen - Meninjau program intelijen, proposal anggaran dan alokasi - Melakukan pemeriksaan berkala atas produk intelijen - Mengevaluasi kualitas produk intelijen - Mengembangkan pedoman kebijakan untuk memastikan kualitas intelijen - Memenuhi perubahan kebutuhan intelijen - Membuat laporan tahunan - Membuat rekomendasi mengenai kendala dalam intelijen
Legislatif - Pengawasan anggaran intelijen - Di beberapa negara, terdapat badan khusus yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan intelijen apabila terdapat kejanggalan atau pelanggaran, yang disertai mekanisme yang demokratis dengan tetap menjamin prinsip kerahasiaan kegiatan intelijen itu sendiri.18
17
-
-
-
Yudikatif Menerima dan mempertimbangkan laporan dari lembaga intelijen. Memberikan laporan kepada pihak yang bertanggungjawab (Menteri, Presiden, Perdana Menteri, dll) mengenai tanggapan terhadap laporan intelijen dan apabila kegiatan intelijen menimbulkan pertanyaan legalitas Menginformasikan terhadap pihak yang bertanggung jawab mengenai keputusan-keputusan hukum yang mempengaruhi operasional badan intelijen. Membuat dan menyetujui 19 prosedur dalam pelaksanaan kegiatan intelijen untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum, perlindungan hak-hak konstitusional dan privasi
Ibid. Parlemen harus dapat dipercaya oleh intelijen dan masyarakat untuk melaksanakan pengawasan ini. Selain itu pihak oposisi yang berada di dalam parlemen juga harus dilibatkan di dalam badan/lembaga pengawasan intelijen yang berada di bawah parlemen. 19 Prosedur ini juga harus memastikan bahwa prinsip penggunaan, penyebaran dan penyimpanan informasi yang diperoleh melalui kegiatan intelijen terbatas pada yang diperlukan untuk mencapai tujuan pemerintah. 18
7
BAB III SEKILAS SEJARAH PENGATURAN INTELIJEN DI INDONESIA
Keberadaan intelijen di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, intelijen dilakukan secara sederhana oleh kekuatan perjuangan kemerdekaan yang pada umumnya memanfaatkan masyarakat umum untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pada masa penjajahan Belanda, telah dibentuk Dinas Reserse Umum terpisah dari Dinas Polisi Umum. Tugas utama Dinas Reserse Umum bukan mengumpulkan informasi kriminal, tetapi memata-matai kegiatan politik organisasi pergerakan nasional. Dari sisi keorganisasian, cikal-bakal intelijen dibentuk pada masa pendudukan Jepang tahun 1943. Pada masa itu Jepang mendirikan versi lokal lembaga intelijen yang terkenal dengan sebutan Sekolah Intelijen Militer Nakano. Fungsi intelijen diemban oleh Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial).20 Awal memasuki masa kemerdekaan, keberadaan intelijen di Indonesia dibutuhkan untuk menghadapi ancaman penjajahan kembali dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa tersebut yang berperan besar adalah tokoh-tokoh intelijen yang pernah dididik Jepang di Kempetai dan Tokko-koto, antara lain Zulkifli Lubis dan R. Moch. Oemargatab. Dalam perkembangannya, intelijen sering mengalami perubahan baik dari sisi nama maupun kelembagaan. Namun dari awal kemerdekaan hingga saat ini, intelijen belum pernah memiliki legalitas perundang-undangan yang demokratis. Setiap lembaga intelijen memang dibentuk secara legal, namun dasar pembentukannya hanya berupa keputusan, surat penugasan, atau peraturan setingkat Peraturan Presiden. Dasar pembentukan itupun hanya berisi ketentuan tentang tugas pokok dan fungsi yang bersifat umum. Dengan demikian intelijen yang merupakan salah satu institusi yang menjalankan fungsi keamanan sebagai barang publik, belum pernah melibatkan publik dalam pembentukan dan pengaturannya. Institusi intelijen hingga saat ini belum memenuhi asas profesionalisme dan pengorganisasian kelembagaan yang demokratis.21 Di awal kemerdekaan bangsa Indonesia orientasi segenap kekuatan nasional adalah untuk mempertahankan kemerdekaan, baik dari upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia maupun untuk mendapatkan pengakuan internasional. Upaya Belanda menjajah kembali dilakukan secara fisik dengan agresi militer yang dihadapi dengan perlawanan bersenjata. Dalam kondisi tersebut diperlukan adanya badan intelijen sehingga pada bulan September 1945 dibentuk Badan Istimewa (BI)22 atas inisiatif Zulkifli Lubis. Dengan kondisi serba terbatas serta ancaman penjajahan kembali, BI menjalankan fungsi baik sebagai intelijen nasional maupun intelijen tempur. Dalam pelaksanaan tugas intelijen, BI lebih merupakan intelijen militer karena memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di berbagai wilayah.
20
Muradi, Intelijen Negara dan Intelijen Keamanan: Perspektif Kepemimpinan Politik dan Efektifitas Organisasi, dalam Andi Widjajanto (ed), Negara, Intel, dan Ketakutan, (Jakarta: Pacivis UI, 2006), hlm. 70-71. 21 Ibid, hlm. 68. 22 Beberapa sumber menyebut dengan istilah Dewan Istimewa. Lihat John Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah Dinas Intelijen Indonesia, http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M, (Diakses 1 Juni 2010). 8
Dalam keterbatasannya, BI telah dimanfaatkan oleh negara sebagai penyuplai informasi untuk mengambil keputusan, khususnya oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Namun karena ketiadaan legalitas organisasi dan koordinasi, BI dalam perkembangannya tidak dapat dikontrol oleh Presiden Soekarno, bahkan menjadi bagian dari konflik elit antara Soekarno dan Sjahrir. Kondisi intelijen sebagai bagian dari konflik elit kekuasaan ini menjadi warna dominan sepanjang Orde Lama. Konflik inilah yang menjadi dasar utama dalam perubahanperubahan institusi intelijen pada masa Orde Lama. Pada 7 Mei 1946 dibentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) tetap di bawah kepemimpinan Zulkifli Lubis yang diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi berbagai organisasi intelijen. Namun demikian, Zulkifli Lubis tetap menghendaki BRANI sebagai organisasi di bawah kontrol militer, apalagi untuk menghadapi agresi militer Belanda pasca-kekalahan Jepang. Pembentukan BRANI ternyata tidak menghilangkan konflik, justru memperkuat konflik antara Sjahrir yang mengutamakan diplomasi dengan kelompok militer.23 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga intelijen baru yang murni sipil, yaitu Lembaga Pertahanan B. Militer yang masih menginginkan dominasi di dalam intelijen mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan BRANI dan menggantinya dengan Bagian V yang menjadi koordinator operasi intelijen nasional. Soekarno memberikan persetujuan pembentukan Bagian V yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Pertahanan No. A/126/1947 tanggal 30 April 1947 sekaligus menjadi dasar dari fusi berbagai institusi intelijen. Namun perubahan ini tetap tidak mampu mewujudkan organisasi intelijen yang profesional. Sebaliknya, organisasi intelijen tetap merupakan kepanjangan dari konflik para elit politik. Di lingkungan kepolisian, pada awal 1946 dibentuk kekuatan intelijen untuk mengatasi gangguan keamanan karena dinamika politik masyarakat saat itu, sehingga dibentuk satuan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang dipimpin oleh R. Moch. Oemargatab. Tugas Pokok PAM adalah mengawasi semua aliran dan kegiatan atau tujuan seseorang maupun golongan di Indonesia atau yang datang dari luar yang dianggap dapat membahayakan negara, serta membantu kegiatan yang menyentausakan negara dan keamanan Indonesia, dan tugas riset analisis lainnya.24 Bersamaan dengan perubahan kedudukan Djawatan Kepolisian Nasional (DKN) pada 1949, terjadi pula perubahan fungsi PAM yang lebih spesifik. Berdasarkan Surat Kepala Kepolisian Negara No. Pol.68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, tugas pokok PAM adalah: 1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lain; 2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya; 3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat); 4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusastraan; 5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karena kurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan 23 24
Muradi, Op. Cit., hlm. 74. Kunarto, Intelijen Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 2001), hlm. 7, dalam Ibid., hlm. 77. 9
minuman keras, pemeliharaan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari sisi politik polisionil teknis; 6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi; 7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia; 8. Mengawasi gerak-gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah. Dalam perkembangannya, Bagian PAM berubah menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) berdasarkan Keputusan No.: Pol.4/2/28/UM tanggal 13 Maret 1951. Di samping tugas yang telah diemban sejak bernama PAM, DPKN juga mendapatkan tugas untuk: a. Melakukan penjagaan terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat tinggi negara; dan b. Melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan negara lain. Sementara itu, intelijen tempur menegaskan keberadaannya pada awal tahun 1952 dengan dibentuknya Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) oleh Kepala Staf Angkatan Perang T.B. Simatupang. Namun demikian BISAP ternyata juga dilatarbelakangi oleh keinginan militer untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan politik nasional. Keberadaan berbagai institusi intelijen yang tidak terkoordinasi dengan baik menyebabkan konflik antar elit semakin memuncak. Presiden Soekarno yang tetap tidak memiliki kontrol atas institusi intelijen mendorong upaya pembentukan lembaga intelijen baru yang mampu mengkoordinasikan lembaga intelijen yang lain. Dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pada 5 Desember 1958. Namun dalam pelaksanaannya lembaga ini juga sulit melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen yang ada, terutama dengan lembaga intelijen militer yang saat itu memang sedang berkonflik dengan Soekarno. BKI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1958. Fungsi utama BKI adalah mengolah, menyaring, dan mengadakan verifikasi atas semua keterangan-keterangan yang akan disampaikan kepada pemerintah. Tugas pokok BKI adalah sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan koordinasi antara badan-badan sipil dan militer yang mempunyai fungsi dan tugas intelijen; 2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas keterangan dan laporan-laporan dalam laporan intelijen; 3. Menyampaikan kepada Dewan Menteri melalui Perdana Menteri hasil-hasil intelijen yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan negara. Pada saat kekuasaan Presiden Soekarno menguat pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuk Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959. BPI dipimpin oleh Soebandrio dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. BPI menjadi lembaga yang diharapkan dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lain, serta dapat menjadi alat Soekarno untuk menandingi kekuatan TNI, khususnya Angkatan Darat. BPI dibentuk melalui PP Nomor 8 Tahun 1959 menggantikan BKI. Fungsi utama BPI ditentukan adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri, pemeliharaan kelangsungan kewibawaan kekuasaan pemerintah, pemeliharaan rahasia negara, dan 10
pengamanan keselamatan negara dari bahaya-bahaya yang mengancam dari luar. Sedangkan tugas BPI adalah sebagai berikut; 1. Memberikan laporan kepada pimpinan dan menyelenggarakan koordinasi antara badan-badan sipil dan militer yang mempunyai tugas intelijen; 2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas, dan menilai keterangan-keterangan dan laporan dalam laporan intelijen; 3. Menyampaikan kepada Perdana Menteri/Presiden/Panglima Tertinggi angkatan Perang, hasil-hasil intelijen yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan negara. BPI ternyata kemudian banyak terlibat dalam konflik antara Soekarno dengan TNI. BPI melakukan berbagai upaya penggalangan massa bekerjasama dengan kekuatan politik kiri, berhadapan dengan intelijen militer yang memanfaatkan jaringan CIA. Konflik ini ikut meruncingkan konflik hingga jatuhnya Soekarno pada tahun 1965.25 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, intelijen kepolisian juga mengalami perubahan menjadi Korps Polisi Dinas Security berdasarkan Order Kepala Kepolisian Negara No. 37/4/1960 tanggal 4 Juni 1960. Adapun tugas Korps Polisi Dinas Security adalah: 1. Mengatur pelaksanaan security intelijen; 2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahanbahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional; 3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam poin 2 di atas, yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat; 4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerjasama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu Kepolisian Komisariat. Pada tahun 1964, Korps Polisi Dinas Security berubah menjadi Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964 tanggal 14 Februari 1964 tugas Direktorat Intelijen dan Security adalah sebagai berikut: 1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan batin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan amanat penderitaan rakyat, sesuai dengan kerangka tujuan revolusi nasional. 2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security. Terjadinya pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto tidak membawa perubahan yang berarti terhadap institusi intelijen yang ada. Perbedaan utama antara kedua periode tersebut adalah jika pada masa Soekarno institusi-institusi intelijen menjadi bagian dari konflik elit yang tidak dapat dikoordinasikan, pada masa Soeharto intelijen mutlak berada sepenuhnya di bawah Soeharto dan sangat dimanfaatkan untuk kepentingan Presiden Soeharto. Kekuasaan mutlak tersebut menjadikan Soeharto sebagai titik sentral lingkaran komunitas intelijen. Namun demikian, keberadaan intelijen tetap bersifat ekstra konstitusional dan ekstra yudisial, 25
Ibid., hlm. 83. 11
demikian pula kekuasaan yang dimiliki sehingga merupakan cermin dunia “hitam” intelijen di negara-negara otoriter. Di awal masa kekuasaannya, Soeharto segera menyatukan kekuatan bersenjata dengan memasukkan Polri sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan maksud untuk mengukuhkan kontrolnya serta menjaga agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok anti pemerintah. BPI sebagai lembaga koordinasi antar institusi intelijen pun dibubarkan dan diganti menjadi lembaga yang lebih berwatak militer, yaitu Komando Intelijen Negara (KIN). KIN dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1966, tanggal 22 Agustus 1966 dipimpin oleh Brigjen. Yoga Sugomo sebagai kepala yang langsung bertanggung jawab kepadanya. KIN juga memiliki Operasi Khusus (Opsus) di bawah Letkol. Ali Moertopo dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto Tugas pokok KIN adalah melaksanakan segala kegiatan intelijen negara RI demi keselamatan dan keamanan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia. Sedang fungsi utamanya adalah mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan intelijen politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi, militer keamanan dalam negeri dan luar negeri, menyelenggarakan riset dan analisis masalah dan pengalaman secara ilmiah, menyelenggarakan dokumentasi dan filing intelijen, dan menyelenggarakan koordinasi dan integrasi kegiatan dan operasi intelijen dari badan-badan intelijen departemen dan lembaga-lembaga serta melakukan fungsi-fungsi pengawasan. Pada tahun 1967 KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), tepatnya pada 22 Mei 1967 Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1967. Kepala BAKIN yang pertama adalah Soedirgo yang menjabat 1966-1968. Tugas pokok BAKIN adalah membantu presiden dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah negara dibidang intelijen, dan membantu presiden mengamankan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah negara. Sedang fungsi utamanya: 1. Menyelenggarakan operasi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen dalam dan luar negeri; 2. Menyelenggarakan koordinasi intelijen dan pembinaan teknis terhadap kegiatan dan operasi intelijen yang dilakukan oleh badan-badan intelijen di luar BAKIN; 3. Pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas intelijen; dan merumuskan kebijakan intelijen. BAKIN menjadi lembaga koordinasi intelijen yang sangat hegemonik serta menjadi kepanjangan tangan penguasa untuk melakukan operasi-operasi ekstra konstitusional dan ekstra yudisial. Operasi tersebut dilakukan dengan menggunakan jaringan militer yang ada di daerah-daerah.26 Pada masa Mayjen. Sutopo Juwono, Bakin memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany Soedardjo, perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS. Sebenarnya di awal 1965 Nicklany menciptakan unit intel PM, yaitu Detasemen Pelaksana Intelijen (Den Pintel) POM. Secara resmi, Den Pintel POM menjadi Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel), tahun 1976 menjadi Satuan Pelaksana (Satlak) Bakin dan di era 1980-an kelak menjadi Unit Pelaksana (UP) 01. 26
Ibid., hlm. 89. 12
Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III pos Opsus di bawah Brigjen. Ali Moertopo. Sebagai inner circle Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di BAKIN, mulai dari urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar) sampai masalah Indocina. Tahun 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan intelijen dengan menegaskan keberadaan intelijen militer, yaitu Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya Bakin tinggal menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru. BAIS memainkan peran sentral intelijen dengan jaringan lengkap dari Kodam hingga Koramil dan perwakilan di luar negeri. BAKIN dan BAIS memainkan peran utama komunitas intelijen dan meminggirkan intelijen Polri sepanjang Orde Baru. Polri dan Intelijen Polri menjadi subordinat terhadap institusi militer. Pada saat institusi sektor keamanan lain telah melakukan perubahan di era reformasi, institusi intelijen baru mengalami perubahan pada tahun 2000. BAKIN berubah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). BIN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Keppres Nomor 166 Tahun 2000 menyatakan bahwa BIN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang intelijen. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BIN menyelenggarakan fungsi: a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen; b. Penyampaian produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan Pemerintah; c. Perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen di bidangnya; d. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BIN; e. Pelancaran dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang intelijen; f. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Dalam menyelenggarakan fungsi dimaksud BIN mempunyai kewenangan: a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c. Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang intelijen; dan 2. Pengaturan Sistem Intelijen Nasional dan sistem pengamanan pimpinan nasional di bidang intelijen. Pada masa reformasi perubahan-perubahan organisasi BIN dilakukan berdasarkan instruksi atau keputusan Presiden. Perubahan antara lain dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 dan diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Tugas utama BIN adalah untuk mengkoordinasikan komunitas intelijen lainnya. Namun perubahan nama ini hanya bersifat penegasan dari peran dan fungsi BAKIN.
13
Selain itu juga terdapat pengaturan organisasi BIN yang lain. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2003, menentukan bahwa BIN terdiri dari 7 Deputi dan Staf Ahli. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004, BIN dimungkinkan membentuk pos wilayah dan kelompok kerja. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002, BIN berwenang mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan intelijen instansi pemerintah. Penetapan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, BIN terdiri dari 5 Deputi, Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, dan 5 Staf Ahli. Kedudukan kepala BIN berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan BIN mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan intelijen instansi pemerintah. Persoalan mengenai payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan intelijen ternyata dapat berdampak pada persoalan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Konflik komunal yang terjadi pada masa awal reformasi dan kegiatan terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh BIN. Pada saat itu, BIN dihadapkan pada dua tantangan utama yaitu melakukan tugas intelijen dalam memberi informasi yang tepat pada aparat penegak hukum Indonesia tanpa mengabaikan kaidah-kaidah hak asasi manusia. Dengan kedudukan tersebut BIN mempunyai beberapa kewenangan: a) Mengumpulkan, menganalisa serta menyajikan informasi intelijen baik dalam maupun luar negeri; b) Menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi negara; c) Memberikan saran kepada Presiden berkaitan dengan aspek keamanan; d) Mengkoordinasi operasional intelijen seluruh instansi intelijen yang ada. Dalam menjalankan kewenangan itu, organisasi BIN dibagi dalam lima (5) sektor yang dipimpin oleh seorang deputi dengan rincian (Gambar 1): a. Deputi I membidangi luar negeri dan organisasi internasional b. Deputi II membidangi politik dalam negeri dalam bentuk pengumpulan data dan pengamanan c. Deputi III menangani dan memproduksi data-data yang dikumpulkan oleh Deputi I, II, dan IV d. Deputi IV membidangi pengamanan dan kontra intelijen e. Deputi V membidangi penggalangan dan propaganda
Kepala BIN & waka BIN
Sekretaris Utama
DEPUTI I
DEPUTI II
Staf Ahli
DEPUTI III
DEPUTI IV
Gambar 1. Struktur Badan Intelijen Negara (BIN)
14
DEPUTI V
Intelijen kepolisian juga mengalami perubahan di masa Reformasi dan bernama Badan Intelijen Keamanan Polri. Orientasi utama badan intelijen ini adalah pada intelijen keamanan. Ketentuan yang mengatur Intelkam Polri adalah Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 21 Keppres Nomor 70 Tahun 2002 menentukan: a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri. b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri. Pada umumnya fungsi dan tugas Baintelkam sama seperti badan intelijen pada umumnya yaitu sebagai pengumpul informasi dalam usaha pencegahan dari ancaman terhadap kepentingan nasional yang ada dibawah Kapolri. Mengenai wilayah operasional dari Baintelkam, lembaga ini memiliki tugas untuk menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri (struktur Baintelkam lihat Gambar 2). Secara spesifik fungsi Baintelkam antara lain adalah; pertama, penyelenggaraan kegiatan operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early protection) dan peringatan dini (early warning). Kedua, penyelenggaraan dan pembinaan fungsi pelayanan administrasi, persandian, dan intelijen teknologi termasuk pelaksanaannya dalam mendukung fungsi-fungsi operasional intelijen lainnya. Ketiga, penyelenggaraan dokumentasi dan penganalisaan terhadap perkembangan lingkungan strategis serta penyusunan produk intelijen baik untuk kepentingan pimpinan maupun untuk mendukung kegiatan operasional intelijen. Keempat, penyelenggaraan kegiatan intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki dampak politis dan strategis melalui satuan tugas khusus.
KABAINTELKAM WAKA Unsur Pimpinan ROANALIS
RORENMIN
Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf BID YANMIN
BID SANDI
Unsur Pelaksana Staf Khusus/Teknis SATGASUS
DIT Unsur Pelaksana Utama
Gambar 2. Struktur Organisasi Baintelkam
15
BID INTELTEK
Lebih lanjut, lembaga intelijen yang dimiliki oleh militer Indonesia adalah BAIS. Terbentuknya BAIS tidak akan pernah terlepas dari peran L.B Moerdani yang pada tahun 1980-an diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh Soeharto. Ketika menjadi panglima ABRI, Moerdani mulai membangun BAIS yang memiliki jaringan internasional dengan penempatan atase pertahanan di berbagai negara. Dengan dukungan anggaran yang besar serta jaringan kerja di dalam dan luar negeri, BAIS menjadi lembaga intelijen yang menonjol dan mengungguli badan intelijen lainnya di Indonesia. Walaupun BAIS bukan merupakan satu-satunya organisasi intelijen di dalam organisasi TNI, namun BAIS adalah organisasi intelijen yang paling menonjol karena diberi tanggung jawab oleh Mabes (Markas Besar) TNI untuk untuk menjalankan fungsi intelijen di dalam tubuh militer. Pada tahun 1980, Pusinteltrat dan Satgas Inte Kopkamtib dilebur menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA). Namun pada tahun 1986 keadaan BIA diubah menjadi BAIS untuk menjawab segala tantangan strategis di Indonesia. BAIS dalam mengumpulkan informasi serta melakukan tugas intelijen dapat dikatakan efektif secara operasional, antara lain karena didukung oleh ruang lingkup kerja dari BAIS yang cukup luas baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, pasokan informasi BAIS diperoleh dari atase pertahanan atau militer, yang penunjukkannya atas dasar dari BAIS. Dari lingkup domestik, informasi yang didapat BAIS berasal dari jalur struktur teritorial atau Komando Daerah Militer (Kodam). BAIS sebagai badan intelijen militer pada tingkat operasional bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI atau Mabes TNI. Struktur organisasi yang dimiliki BAIS pun memiliki perbedaan dengan dua lembaga intelijen yang disebutkan di atas (Gambar 3). BAIS membagi ruang kerja intelijen dalam 7 direktorat yang dijabat oleh perwira tinggi bintang satu, yakni: Direktorat A : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang lingkungan strategis dalam negeri Direktorat B: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang lingkungan strategi luar negeri Direktorat C: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang militer dan pertahanan Direktorat D: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang pengamanan Direktorat E : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang penggalangan Direktorat F : direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab di bidang administrasi dan personel Direktorat G: direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab menyajikan produkproduk intelijen kepada kepala BAIS dan Panglima TNI.27 Komandan Satuan Intelijen dijabat Pati bintang satu yang bertanggung jawab tentang perencanaan dan kegiatan intelijen \
27
Angel Rabasa – John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges, Politics, and Power, RAND, Santa Monica, 2002, hlm.32. dan sumber-sumber lainnya. 16
Kepala Wakil Kepala
DIR A
DIR B
DIR C
DIR D
Dansat intel
DIR E
Dansat intel tek
Kadis Sandi
DIR F
Dansat induk
Kaset
Gambar 3. Struktur Organisasi BAIS
17
DIR G
BAB IV EVALUASI KINERJA INTELIJEN DI INDONESIA
4.1 Masa Orde Baru Ruwetnya akuntabilitas intelijen di Indonesia dapat dimulai dari praktik-praktik kebijakan intelijen di masa lampau. Meski secara organisasional, eksistensi BIN baru terbentuk pada medio 2000, namun cikal bakal dari kerja-kerja intelijen sudah tersisip pada organisasi kemiliteran (saat itu ABRI), khususnya melalui keberadaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Meski badan negara ini (baca: Kopkamtib) memiliki Tugas, Pokok dan Fungsi (Tupoksi) pada politik keamanan domestik Indonesia, namun di bawah Kopkamtib telah banyak dilakukan serangkaian operasi-militer dan non-militer yang memiliki corak ke-intelijen-an. Pengembangan operasi-operasi intelijen dalam ranah militer juga banyak diterapkan pada operasi-operasi Satuan Gabungan Intelijen (SGI) di masa Orde Baru dan masa transisi Reformasi 1998. Biasanya kategori operasi SGI banyak diterapkan di wilayah-wilayah konflik, seperti pada masa DOM Aceh, Darurat Militer-Sipil Aceh, konflik Ambon, konflik Poso, konflik Papua dan masa Jajak Pendapat Timor Timur 1999. Lalu, mengapa praktik-praktik intelijen begitu identik dengan kegiatan militer Indonesia di masa Orde Baru dan diteruskan hingga kini? Perekrutan aparat intelijen dari unsur militer bukan sesuatu hal baru. Relasi ini bahkan dipercaya mampu memperkuat karakter intelijen militer Orde Baru, khususnya untuk menopang kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan keamanan Indonesia saat itu.
4.1.1 Kopkamtib Badan ini dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965, pasca peristiwa September 1965. Kedaruratan dan kekacauan situasi politik Indonesia saat itu, menyebabkan negara mengambil respon cepat dengan membentuk badan yang memang semata ditujukan untuk menumpas PKI. Meski badan ini berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden serta hanya memiliki tugas pokok untuk mengawasi kegiatan eks-PKI, kelak, Kopkamtib berkembang menjadi badan yang memiliki kewenangan besar dan meluas. Badan ini diberi kewenangan untuk menangkal berbagai gerakan ekstrem, memberantas korupsi dan pungli, ikut membredel pers, menertibkan sertifikat tanah, sampai mengamankan calo di terminal bus.28 Tupoksi Kopkamtib kemudian dirumuskan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Kopkamtib.
28
Secara umum, Kopkamtib memang memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dalam menjaga keamanan, stabilitas dan ketertiban nasional, (2) Mencegah dan menghancurkan kegiatan subversif sisa-sisa G30S/PKI dan kelompok ekstrem lain yang mengancam keamanan dan ketertiban sosial serta yang membahayakan kesejahteraan dan integritas negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (3) Menghalangi pengaruh moral dan mental yang muncul dari G30S/PKI dan bentuk budaya lain yang menentang Pancasila secara moral, mental dan budaya, (4) Membina masyarakat ke arah partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban. 18
Kopkamtib adalah inti kekuasaan politik keamanan Orba. Kopkamtib membangun sistem koordinasi mulai dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) sampai dengan badan intelijen di setiap matra ABRI. Dalam kondisi tertentu, Kopkamtib memiliki kewenangan untuk menggunakan para personel ABRI untuk melakukan tugas-tugas intelijen.29 Namun, pada tahun 1988, Soeharto membubarkan badan ini, menggantikannya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Sesungguhnya, Bakorstanas juga memiliki tujuan nyaris serupa dengan Kopkamtib. Bahkan, hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh fungsi, peran serta tugas yang diperankan oleh Kopkamtib juga tetap dilanjutkan oleh Bakorstanas. Berikut ini adalah catatan keterlibatan peran intelijen negara, khususnya peran Kopkamtib pada serangkaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kasus Penembakan Misterius (1983-1985)
Penembakan misterius (Petrus) merebak pada medio 1983. Kebijakan ini digunakan pemerintah untuk “mengamankan” orang-orang yang dituduh telah meresahkan keamanan dan ketertiban umum. Terma “mengamankan” merujuk pada serangkaian tindakan mengeksekusi mati, dengan cara menembak di tempat. Sering kali mayatnya dibiarkan tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Operasi ini terjadi nyaris di seluruh Indonesia. Biasanya mereka yang melawan langsung ditembak di tempat. Orang banyak menemukan mayat dengan luka tembak. Biasanya penemuan mayat ini terjadi pada pagi hari. Dari identifikasi korban, sebagian besar bertato. Praktik teror ini menyebar dan bertahan hingga tahun 1985. Bahkan secara terbuka, pemerintah membenarkan adanya rangkaian operasi yang berujung pada eksekusi tersebut. Istilah shock therapy digunakan sebagai pembenaran atas praktik kebijakan Petrus, dengan alasan, kebijakan ini mampu mengurangi angka tindak kriminalitas di tengah masyarakat. Meski kebijakan ini tidak mendapatkan prosedur pengawasan dan kontrol efektif dari badan legislatif dan yudisial. Perluasan kewenangan memang semata-mata dilakukan demi stabilitas politik rezim. Perluasan kewenangan ini secara siginifikan mengurangi proses penegakan hukum. Akibatnya, hadir operasi tertutup yang mengandalkan metode-metode represif. Peran Kopkamtib dalam kasus ini amatlah jelas. Panglima Kopkamtib yang saat itu dijabat Sudomo (1973-1983) mengawasi langsung jalannya Operasi Clurit. Mayjen Try Soetrisno ditunjuk sebagai Pelaksana Khusus (Laksus) Pangkopkamtib dan untuk membasmi tindak kejahatan, langsung diikuti oleh Pelaksana Khusus Daerah/Laksusda sebagai strata komando terbawah dari Pangkopkamtib di daerah-daerah untuk menggelar operasi serupa. Operasi ini dibentuk pada tanggal 19 Januari 1983. Sejatinya, operasi ini dilakukan selama sebulan, melibatkan unsur-unsur kepolisian, Laksusda dan masyarakat. Namun akhirnya ABRI juga ikut terlibat di dalam operasi tersebut. Selain bertujuan untuk memberantas tindak kriminal yang dianggap meresahkan masyarakat, operasi ini juga bertujuan untuk menciptakan rasa aman menjelang penyelenggaraan Sidang Umum MPR 1983. Mulanya operasi ini hanya diberlakukan di DKI Jakarta, namun operasi ini akhirnya dilakukan serentak di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Kopkamtib. Terhadap para pelaku tindak kejahatan, Pangkopkamtib memberikan instruksi untuk dilakukan tindakan tembak di 29
Biasanya kasus-kasus yang dikategorikan dapat menganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam artian luas dan luar biasa, Kopkamtib mampu menggunakan kewenangan dan memerintahkan para personel ABRI terlibat dalam operasi intelijen. 19
tempat. Instruksi tembak di tempat ini mendapat respon positif dari para petinggi jenderal pada jajaran Polri dan ABRI. PKI masih dijadikan ancaman laten atas stabilitas keamanan nasional. Ketakutan kepada paham komunisme ini dijadikan akar dari ketakutan terhadap tindak kriminalitas. Legitimasi keterlibatan PKI dalam peningkatan angka kriminalitas dijadikan alasan pembenar untuk dijalankannya Operasi Clurit.30 Sebagai operasi yang direstui negara, Operasi Clurit digunakan untuk melumpuhkan: (1) Penjahat yang diklasifikasikan sebagai bagian dari kekuatan politik yang dilarang (PKI, DI/TII dan atau NII) dan memiliki potensi untuk melakukan tindak kriminal, (2) Para penjahat menggunakan metode kekerasan untuk melemahkan korbannya, (3) Tindakan para penjahat termasuk tindakan pelanggaran hukum sehingga harus dilumpuhkan. Petrus dapat dikategorikan sebagai operasi intelijen, karena operasi ini diselenggarakan secara instruktif dan fungsionil di bawah pengendalian Kopkamtib. Laksusda sebagai pelaksana operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di daerah-daerah bertanggung jawab penuh kepada Kopkamtib. Meski operasi ini memang dibenarkan oleh pemerintah dan terjadi serempak di banyak wilayah di Indonesia, namun pelaksanaannya tetap bersifat tertutup. Hingga kini, para pelaku Petrus tidak pernah terungkap jati dirinya. Begitu pula, aparat kepolisian tidak pernah melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus-kasus Petrus. Hingga kini, kita masih menunggu keluarnya hasil penyelidikan adhoc peristiwa Petrus oleh tim Komnas HAM. Penyelidikan sudah dilakukan sejak Juli 2008.
Peristiwa Tanjung Priok (1984)
Laporan lengkap hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KP3T) Tanjung Priok resmi dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2000. Namun, laporan penyelidikan tersebut tidak berhasil menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab pada peristiwa Tanjung Priok, peristiwa yang menewaskan 24 orang dan melukai 55 orang pada tanggal 12 September 1984. Dalam kesimpulannya, KP3T menerangkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat, terutama tetapi tidak terbatas pada pembunuhan kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Seluruh rangkaian di atas merupakan tanggung jawab pelaku di lapangan, penanggung jawab komando operasional dan pemegang komando.31 Masih dalam laporan tersebut, latar belakang kejadian yang muncul sebelum peristiwa 12 September 1984 adalah adanya kebijakan politik nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor 14 Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini kemudian mendapat respon dari sebagian umat Islam yang melihat adanya indikasi untuk mengkerdilkan Islam dan “mengagamakan” Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, 30
Pernyataan Pangdam VII/Diponogoro Mayjen TNI Ismail,”Meningkatnya kriminalitas dimungkinkan masih aktifnya golongan ekstrem generasi kedua atau ketiga dari bekas PKI atau DII-TII”. Lihat Sinar Harapan, 11 Januari 1982; Mendagri Amir Mahmud,“Terjadinya berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini serta gejala politik menjelang pemilu yang lalu, Karena eks PKI ikut bermain.” Lihat Merdeka, 12 Agustus 1982; Ketua MPR/DPR Amir Mahmud,”Kalau ada kejahatan yang nekat, luar biasa dan sadis, itu menurut feeling saya merupakan usaha ingin come backnya PKI. “Lihat Sinar Harapan, 22 Juli 1983. 31 Lihat Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, 13 Oktober 2003. 20
berbangsa dan bernegara. Ketegangan ini memperuncing hubungan antara sebagian umat Islam dengan aparat keamanan, khususnya dalam mempraktikkan kebijakan politik nasional dengan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Masih dalam laporan tersebut, KP3T merekomendasikan 23 nama yang seharusnya menjadi terdakwa. Namun hanya 14 nama yang diajukan ke pengadilan HAM adhoc. Nama-nama tersebut rata-rata merupakan personel tingkat rendah pada saat peristiwa terjadi. Jaksa sengaja mengabaikan fakta keterlibatan para petinggi keamanan dan pengambil keputusan tertinggi. Penanggungjawab hanya dibebankan kepada Komandan Kodim, Letkol Inf. RA. Butar-Butar. Kemudian muncul pertanyaan, sejauh mana Kopkamtib terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok 1984. Saat itu Kopkamtib dipimpin oleh Jenderal LB. Moerdani. Jabatan ini ia rangkap dengan posisi Pangab. Pada saat peristiwa terjadi Mayjen Try Soetrisno menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya. Struktur tertinggi pengamanan berada pada Pangkopkamtib. Di bawahnya berturut-turut, Panglima Komando Wilayah Pertahanan II Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (dipegang langsung Panglima Kodam Jaya). Operasional lapangan langsung berada di bawah komando Komandan Distrik Militer Jakarta Utara. Kedatangan Jenderal LB. Moerdani dan Mayjen Try Soetrisno saat peristiwa terjadi juga tercantum pada laporan KP3T Komnas HAM.32 Di dalam laporan diterangkan bahwa Mayjen Try Soetrisno, Jenderal LB Moerdani dan Letkol Inf RA Butar-Butar dan Walikota Jakarta Utara datang ke TKP menggunakan kendaraan jip yang dikendarai sendiri oleh Mayjen Try Soetrisno. Duduk di sebelah kirinya Jenderal LB. Moerdani, sementara di belakang duduk Dandim dan Walikota. Bahkan, Mayjen Try Soetrisno pada saat itu memberikan perintah untuk segera mengamankan PT Berikat Nusantara. Rombongan juga mengunjungi RS. Koja dan RSPAD Gatot Subroto, di mana banyak korban dilarikan di sana.33 Mayjen Try Soetrisno diiindikasikan mengetahui, membiarkan dan memerintahkan penguburan (secara diam-diam) para korban tewas, serta penangkapan terhadap aktivis masjid lainnya. Selain itu, korban luka dan tewas dikumpulkan di RSPAD Gatot Subroto dan setelah sehat kemudian mereka ditahan di Kodim, Balak Intel Laksusda Jaya, Markas Pomdam Jaya Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis tanpa ada surat perintah penangkapan dan penahanan. Tindakan ini dilakukan atas perintah Pangdam V Jaya, Mayjen Try Soetrisno. Keberadaan Kopkamtib dan Laksusda di sini dapat menggambarkan bagaimana organisasi negara terlibat secara langsung dalam pada proses penanganan peristiwa Tanjung Priok. Bahkan, dalam laporan terakhir Komnas HAM pasca KP3T Tanjung Priok dibentuk, disebutkan bahwa Komnas HAM merekomendasikan Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal LB. Moerdani dan Pandam V Jaya Mayjen Try Soetrisno sebagai pihak dianggap paling bertanggung jawab pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Mengingat Pangab/Pangkopkamtib dan Pangdam V Jaya adalah dua dari sekian banyak nama yang menjustifikasi peristiwa itu kepada publik. Pembenaran atas peristiwa itupun dilakukan oleh Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB. Moerdani pada rapat dengar pendapat bersama DPR RI yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 1984.34 Selain itu, aksi penangkapan dan penahanan 32
Lihat Halaman 13 Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung priok (KP3T), Komnas HAM: 2000. 33 Ibid. 34 Lihat Dokumen Lampiran Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T), Komnas HAM: 2000. 21
kepada sejumlah aktivis masjid pasca peristiwa Tanjung Priok di sejumlah daerah seperti di Garut, Tasikmalaya dan Ujung Pandang, juga dilakukan atas perintah Pangab/Pangkopkamtib. Penangkapan dan penahanan ini tentu saja terkait dengan aksi kritik sosial tajam yang dilontarkan kepada Orde Baru. Meski Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus Tanjung Priok 1984 telah digelar pada 15 September 2003 hingga Agustus 2004, namun pengadilan itu tidak bisa menyeret pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab pada rantai komando yang paling tinggi. Pengadilan itu juga tidak mampu membuktikan adanya keterkaitan Kopkamtib dan mekanisme pertanggung jawaban komando yang lebih tinggi.
Peristiwa Talangsari (1989)
Meski Kopkamtib telah dibubarkan pada tahun 1988 digantikan dengan Bakorstanas, namun inter-relasi keterkaitan antara peristiwa Talangsari dengan kebijakan politik keamanan Orde Baru melalui Bakorstanas tetap memiliki relasi yang kuat. Peristiwa Talangsari merupakan serangan yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 terhadap penduduk sipil Jamaah Pondok Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya 130 orang meninggal dunia. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa Talangsari adalah sebagai berikut: pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, dan penyiksaan. Berangkat dari laporan resmi yang dikeluarkan oleh Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989 – Komnas HAM, ada kemiripan latar belakang peristiwa dengan kasus yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Penerapan asas tunggal Pancasila melatarbelakangi ketidakpuasan sebagian umat Islam. Salah satu kelompok masyarakat adalah Jamaah Warsidi, Talangsari Lampung. Ketidakpuasan ini direspon dengan pendekatan sekuritisasi berlebihan dalam menangani kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berseberangan dengan kebijakan politik nasional pemerintah Orde Baru. Serangan di lapangan dilakukan di bawah komando resor Militer Garuda Hitam 043 Lampung, yang saat itu dipimpin oleh Kolonel Hendropriyono. Pasca-peristiwa, ada upaya dari pihak ABRI untuk menutup-nutupi jumlah korban tewas. Hal ini setidaknya dilakukan melalui dua cara, penguburan mayat secara tertutup –dilakukan dengan tidak layak dan melakukan tindak intimidasi saksi-saksi peristiwa untuk tidak memberitahukan jumlah korban yang sebenarnya.35 Kembali merujuk laporan Komnas HAM, dugaan keterlibatan institusi keamanan dilihat dari kesiapan sarana dan prasarana serta tindakan aparat keamanan pada saat peristiwa terjadi.36 Institusi-institusi keamanan yang terlibat atau setidaknya mengetahui adalah Komando Rayon Militer Way Jepara, Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando Distrik Militer Metro, Kodim 0411 Lampung Tengah, Kodim Painan Padang dan Komanda Resort Militer 034 Garuda Hitam Lampung. Laksusda Jaya juga mengetahui operasi ini. Semua institusi di atas berada di bawah naungan Bakorstanas, yang nyaris memiliki kewenangan serupa dengan badan pendahulunya, Kopkamtib. 35
Lihat Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989, Komnas HAM 2008, hlm 14. 36 Ibid. Hlm 20. 22
Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis Pro-Demokrasi (1997/1998)
Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998 dapat dikategorikan sebagai operasi intelijen yang digelar dengan tujuan untuk mengamankan jalannya pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR pengukuhan Soeharto menjabat sebagai presiden kembali pada tahun 1998. Satu persatu aktivis pro-demokrasi hilang sejak medio 1997. Beberapa aktivis yang diculik kemudian dibebaskan secara bergelombang. Mereka, sebanyak 9 orang tersebut kemudian memberikan kesaksian kepada publik atas peristiwa penculikan yang mereka alami. Akibat mendapatkan desakan publik nasional dan internasional, Pangab Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Jenderal Subagyo HS (saat itu menjabat KSAD).37 Tidak lama dari pembentukan DKP, Letjen Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad diberhentikan dari dinas kemiliteran. Jenderal Wiranto memutuskan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan internal yang dilakukan oleh Puspom ABRI. Penyelidikan itu membawa nama 11 anggota Kopassus yang diketahui bergabung dalam Tim Mawar terlibat dalam aksi penculikan 23 orang aktivis. Kesebelas orang ini diadili melalui mekanisme Peradilan Militer, Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta. Namun pengadilan itu sarat dengan rekayasa kasus, mengingat pertanggungjawaban komando tidak melibatkan nama-nama petinggi ABRI yang saat itu seharusnya bertanggung jawab, seperti Letjen Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi Purwopranjono yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus. Hingga laporan ini dikeluarkan, nasib ke-13 orang hilang tersebut belum diketahui keberadaannya. Meski DPR RI telah mengeluarkan rekomendasi khusus pada akhir tahun 2009, yang isinya antara lain, mendorong Pemerintah untuk segera membentuk pengadilan HAM adhoc kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998, termasuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa, namun hingga sekarang pemerintah masih belum menindaklanjutinya.38
4.1.2 Satuan Gabungan Intelijen (SGI) Satuan Gabungan Intelijen (SGI) biasanya diturunkan di wilayah-wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah konflik, di mana operasi militer banyak diterapkan di sana. Kita bisa merujuk pada penanganan konflik Aceh (melalui DOM Aceh), konflik Papua (DOM Papua), konflik Ambon, konflik Poso dan masa referendum Timor Timur 1999. Meski satuan ini lintas dirancang untuk lintas institusi keamanan, namun satuan ini didominasi oleh TNI, khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
37
DKP terdiri dari wakil ketua Letjen Fachrul Razi (Kasum ABRI) dan Letjen Yusuf Kertanegara (Irjen Dephankam). Anggota terdiri dari Letjen Susilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI), Letjen Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Letjen Djamari Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen Akabri). Dibentuk pada tanggal 3 Agustus 1998. 38 Meski Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menandatangani Konvensi itu di New York pada tanggal 27 September 2010. 23
Timor Timur
Dalam laporan resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Penyelidikan PBB Khusus dan Independen untuk Timor Leste (Laporan OHCHR), diterangkan bahwa hadir peran penting (baik yang datang dari Kopassus maupun SGI) dalam menopang dan mengorganisasi kelompok-kelompok kekerasan milisi sipil.39 Bahkan temuan OHCHR tersebut dipertegas dalam laporan resmi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Timor Leste dan Indonesia. SGI tersebar di seluruh distrik Timor Timur. Meski secara resmi SGI berada di bawah otoritas Korem, satuan ini sesungguhnya dikendalikan secara langsung oleh perwira-perwira Kopassus di lapangan. Dalam laporan KKP, ditegaskan operasi intelijen yang dilakukan oleh Kopassus dan SGI amat berperan dalam menciptakan kecurigaan dan perpecahan di antara masyarakat Timor. Ini tentu saja dilakukan melalui operasi-operasi militer yang didominasi dengan pendekatan intelijen.40
Nangroe Aceh Darussalam
Operasi intelijen di Aceh mulai intensif dilakukan pada medio 1990-an. Soeharto memerintahkan untuk mengerahkan 6.000 pasukan tambahan, termasuk dua batalyon dari Kopassus dan unit-unit tentara lainnya, seperti Kujang Siliwangi, Kodam VII Brawijaya, Arhanud Medan, Linud Medan dan Brimob.41 Daerah operasi yang mulai efektif sejak tahun 1990, terbagi dalam 3 sektor, Sektor A (Pidie), Sektor B (Aceh Utara) dan Sektor C (Aceh Timur). Operasi ini memiliki 3 satuan tugas. Satuan tugas intelijen, satuan tugas marinir (mengamankan daerah pantai) dan satuan tugas taktis (mengisolasi posisi satuan gerakan pengacau keamanan Aceh Merdeka pada lokasi-lokasi strategis). Khusus Satuan Tugas Taktis dibentuk tim-tim yang lebih khusus, yakni tim Pase-1, tim Pase-2, tim Pase-3, tim Pase-4, tim Pase-5, tim Pase-6 dan seterusnya yang berasal dari unit Kopassus.42 Tim Pase ini merupakan satuan intelijen taktis di lapangan yang menjalankan operasi intelijen. Untuk tim Pase-4 (November 1994-November 1995), memiliki tugas pokok untuk mencari dan menghancurkan tokoh-tokoh dan anggota GAM, baik dalam kondisi hidup atau mati, serta merebut senjatanya, membongkar jaringan klandestin GAM di kampung dan di kota, serta membongkar jaringan sindikat ganja, yang disinyalir sebagai sumber dana GAM.43 Dalam laporan khusus, Nomor R/13/LAPSUS/I/1995, Komandan Tim Pase-4 Eko Margino, melaporkan Satgas Rencong-94 regu Pos Tdr-01/Geumpang dan Dansattis-A Tdr/Kota Bakti melakukan penumpasan terhadap GPK wilayah Pidie pimpinan Pawang Rasyid. Dari hasil penyergapan dilaporkan sebagai “keuntungan” tewasnya 6 orang anggota GAM, antara lain 39
Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada website OHCHR: http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E diakses pada tanggal 3 April. 2011. Catatan ini juga diambil dari Kebenaran yang belum berakhir: Kajian terhadap Laporan Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun 1999, ICTJ: 2009. 40 Lihat Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, 2008. 41 Lihat KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: 2006, hlm: 28-29. 42 Ibid, hlm 29. 43 Pemerintah beranggapan bahwa Gerakan Aceh Merdeka terlibat dalam perdagangan ganja keluar Aceh. Tim Pase-4 didukung oleh 38 personil dengan komandannya adalah Kapten Inf. A Rahman Siregar dengan NRP 30786. Tim Pase-4 ini diberikan mandat atau perintah oleh Brigjen TNI Subagyo Hadi Siswoyo pada 24 November 1994. “Laporan Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (Jakarta: Yappika, 2003), hlm 81. 24
Cut Fauziah, Nasrul (anak Cut Fauziah berusia 5 tahun) dan anak berumur 3 tahun yang tidak diketahui namanya. Hasil laporan itu merekomendasikan 12 prajurit yang melakukan operasi untuk mendapatkan kenaikan Pangkat Luar Biasa. Berangkat dari laporan itu, kita bisa melihat bahwa TNI menjadikan kematian anggota keluarga GAM, baik perempuan maupun anak-anak adalah bagian dari prestasi operasi yang wajib dibanggakan.44 SGI juga melakukan praktik penculikan di Aceh pada saat kesepakatan demiliterisasi, maupun kesepakatan Perjanjian Penghentian Permusuhan dilakukan di tahun 2003. Aksi penculikan dua orang aktivis HAM Aceh, Mukhlis dan Zulfikar terjadi pada tanggal 25 Maret 2003. Aksi ini dilakukan oleh aparat SGI Pos Bireun. Kedua aktivis tersebut bekerja menjadi pendamping masyarakat dari LSM Link for Community Development. Kedua aktivis ini diculik karena aktivitasnya melakukan pendampingan persiapan pengungsian warga Keude Dua, pasca beredarnya informasi rencana didirikannya Pos Brimob BKO di Keude Dua. Sebelum pengungsian dilakukan, kedua aktivis ini mengorganisir warga untuk melakukan aksi demonstrasi di depan Pendopo Bupati Bireun. Kedua aktivis tersebut diculik di lokasi aksi demonstrasi. Hingga kini nasib mereka belum diketahui keberadaannya.
Poso
Pemerintah telah berkali-kali melakukan operasi intelijen pasca-meledaknya konflik Poso. Meski operasi ini tidak melibatkan SGI, operasi intelijen tetap dilakukan.45 Menkopolhukam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk segera menggelar operasi intelijen pasca-deklarasi Malino (2001), di mana Desa Beteleme dan beberapa desa lainnya mendapatkan penyerangan brutal. Instruksi operasi intelijen juga dilakukan pascameledaknya bom Tentena. Terakhir, operasi intelijen digelar melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, yang menekankan upaya pengungkapan dan perusakan jaringan pelaku teror, termasuk pelaku kerusuhan.46 Namun, operasi intelijen itu tidak terlalu banyak memberikan dampak kepada pemulihan keamanan di Poso. Setiap menjelang masa operasi, angka kekerasan cenderung meningkat. Di lapangan, aparat TNI/Polri selalu membangun opini dengan menyatakan bahwa tidak akan ada rekonsiliasi tanpa kehadiran aparat. Artinya, kekerasan yang terjadi di Poso menjelang masa berakhirnya operasi hanya merupakan pembenaran untuk memperpanjang proyek operasi keamanan.47 Kegagalan operasi intelijen ini terlihat dari maraknya kasus penembakan misterius (36 kasus) dan kasus pengeboman (32 kasus). Dalam beberapa kasus, aparat TNI/Polri menjadi pelaku tindak kekerasan, seperti kasus pemukulan, penembakan, pencurian penjarahan dan kasus kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga.
44
Op.Cit Hlm. 49-50. Operasi intelijen di Poso, didahului dengan operasi pemulihan keamanan yang dinamakan Operasi Sintuwu Maroso (2001). Operasi ini merupakan operasi pemulihan keamanan terpusat dan terpadu, di bawah Menkopolhukam. Selanjutnya operasi ini dikembangkan menjadi operasi kemandirian wilayah, diberi nama Operasi Sintuwu Maroso I, yang dikomandoi Kapolda Sulawesi Tengah. 46 Lihat Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso, Wilayah yang Dikonflikkan, Jakarta/Palu: 2005 47 Lihat Laporan KontraS, Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara, Jakarta 2005. 45
25
Papua
Operasi keamanan di Papua semakin meningkat pasca terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan dan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Indikatornya terlihat dari diturunkannya aparat keamanan dalam bentuk bantuan operasi di sejumlah kabupaten, khususnya di Jayawijaya dan Manokwari. Termasuk juga pembukaan sejumlah Kodim dan Kodam di Jayawijaya. Pengiriman SGI disejumlah wilayah di Papua tidak sebanding dengan bentuk perlawanan bersenjata yang tidak signifikan dari OPM/TPN. Bahkan, beberapa operasi intelijen yang dilakukan di Papua sebelum tahun 1998, selama kurun waktu di bawah rezim Orde Baru, setidaknya 100 ribu lebih warga asli Papua terbunuh. Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai aktor OPM, namun juga terhadap warga Papua yang dianggap terlibat dan atau masuk dalam basis kekuatan OPM.48 Praktik operasi intelijen paling nyata terlihat pada operasi pembebasan Tim Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera selama 130 hari oleh OPM di desa Mapenduma.49 Operasi ini dilakukan oleh Kopassus, dipimpin Brigjen Prabowo Subianto. Dalam operasi itu, satu unit tim pemukul Kopassus memang berhasil membebaskan sembilan sandera. Namun operasi ini menewaskan delapan anggota OPM dalam pertempuran jarak dekat. Dua orang sandera dan lima anggota Kopassus tewas.
4.2. Masa Reformasi 4.3. 4.2.1 Kegagalan Deteksi Dini dalam Penanggulangan Aksi Terorisme Peran intelijen di Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Kuningan, Jakarta, pada 17 Juli 2009. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa kemampuan intelijen untuk melakukan penanggulangan dan juga pengawasan kegiatan terorisme belum berjalan baik. Hal ini bisa terjadi karena koordinasi antara institusi intelijen juga tidak berjalan baik, bahkan disinyalir terdapat persaingan di antara mereka. Pasca terjadinya peledakan bom tersebut, intelijen kembali memperlihatkan kelemahannya dalam membuat laporan kepada Presiden. Hal ini ditunjukkan ketika Presiden mengadakan siaran pers menanggapi peristiwa peledakan dua hotel tersebut. Dalam siaran pers tersebut Presiden menyatakan bahwa peledakan bom tersebut terkait dengan hasil pemilu presiden yang belum lama berlangsung ketika itu dan pelakunya bisa saja masih terkait dengan kasus penculikan dan penghilangan paksa di masa lalu.50 Pernyataan tersebut secara tidak langsung merujuk pada salah satu kandidat calon wakil presiden yang ikut bersaing dalam Pilpres 2009, yaitu Prabowo Subianto yang menjadi pasangan calon presiden Megawati Soekarnoputri. Menanggapi pernyataan Presiden, Prabowo menyatakan bahwa tuduhan tersebut berlebihan dan tanpa pertimbangan matang
48
Lihat Sampari, edisi 02 Februari 2006, Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua. Lihat Majalah Tempo, Membebaskan Sandera Cara Mapenduma, 12 Januari 2004. Dapat dilihat pada: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/01/12/NAS/mbm.20040112.NAS87780.id.html diakses pada tanggal 3 April 2011. 50 Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat dari transkrip jumpa pers Presiden SBY di Istana Negara, 17 Juli 2009. 49
26
serta terlampau buru-buru membuat kesimpulan. Padahal, proses penyelidikan terhadap peristiwa pemboman oleh aparat kemanan sedang berjalan.51 Dalam jumpa pers tersebut Presiden juga menyebutkan bahwa ada upaya untuk menjadikan Presiden sebagai sasaran teroris selanjutnya. Ketika menyebutkan hal ini, Presiden menunjukkan foto-foto yang memperlihatkan sekelompok orang yang memakai penutup muka sedang berlatih menembak dan sasaran tembakannya adalah foto Presiden. Menurut Permadi, anggota DPR dari PDI-P waktu itu, sebenarnya foto itu adalah foto lama yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Fotofoto tersebut pernah ditunjukkan Kepala BIN AM Hendropriyono 4 tahun yang lalu ketika mengikuti rapat dengan Komisi I DPR. Foto tersebut merupakan gambar latihan perang dalam kasus Poso.52 Jika dicermati, di era kepemimpinan SBY-JK memang tidak terlalu banyak peristiwa peledakan bom, dibanding masa pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, di mana aksi teror dan peledakan bom meningkat tajam. Berbagai peristiwa teror melalui peledakan bom, mulai dari penggunaan bahan peledak yang berdaya kekuatan rendah (low explosive) sampai penggunaan bahan peledak dengan daya ledak tinggi (high explosive) telah mengakibatkan kurang lebih 298 korban tewas dan 572 korban luka (1998September 2005).53 Hasil catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) sejak 1998-2002, kurang lebih telah terjadi 128 peristiwa peledakan bom, di mana peristiwa peledakan bom paling tinggi terjadi pada 2000 dengan jumlah 32 kasus dan 2001 dengan jumlah 81 kasus.54 Lebih lanjut, berdasarkan hasil catatan Imparsial, kurang lebih telah terjadi 21 kasus peristiwa peledakan bom pada 2003-2005 (2003, 6 kasus; 2004, 8 kasus; dan 2005, 7 kasus). Aksi-aksi teror tersebut berulangkali terjadi di beberapa daerah, baik di daerah konflik seperti Poso, Ambon ataupun di daerah yang tidak sedang mengalami konflik, seperti di Jakarta. Dari berbagai aksi teror yang terjadi, sebagian peristiwa peledakan bom dapat diketahui kelompok dan pelaku yang melakukan, namun sebagian besar lagi tidak diketahui. Untuk kelompok dan pelaku yang hingga kini belum diketahui dan belum terungkap kasusnya, paling banyak terlihat pada kasus peledakan bom pada 2000 dan 2001, yang jumlahnya mencapai 113 kasus. Dalam beberapa kasus khusus peristiwa peledakan bom yang terjadi di rumah ibadah pada Natal 2000, yang berbarengan dengan upaya pemeriksaan dan pengusutan terhadap Tommy Soeharto dan persidangan mantan Presiden Soeharto. Sementara dalam beberapa kasus besar yang menggunakan bahan peledak dengan daya ledak tinggi (high explosive) terlihat bahwa para pelaku peledakan bom adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengakses, mengoperasikan dan menjalankan operasi teror secara profesional. Salah satu indikasinya terlihat dari penggunaan jenis bahan peledak, pemilihan lokasi, dan sasaran korban. 51
http://politik.vivanews.com/news/read/76053, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak Terima Pernyataan SBY”, 17 Juli 2009. 52 www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto Latihan Perang Kasus Poso”, 21 Juli 2009. 53 Dalam peristiwa bom Bali II, Sabtu, 1 Oktober 2005, setidaknya 30 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka pada 3 lokasi ledakan: Jimbaran, Kuta, dan Nusa Penida. 54 Lihat riset KontraS, “Analisis Kasus Peledakan Bom di Bali: Mengapa Teror Terjadi?” dalam Al Araf, dkk (eds.), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hlm 37. 27
4.2.2 Kasus BAIS Gugatan ini bermula setelah adanya seminar yang digelar oleh Departemen Pertahanan pada 29 Agustus 2006. Dalam seminar itu Kepala BAIS, Mayjen. TNI Syafril Armen, S.IP, S.H., M.Sc, memaparkan dalam makalahnya bahwa ada beberapa kelompok radikal di Indonesia yang mengancam eksistensi Pancasila. BAIS membaginya dalam tiga kelompok besar: kelompok radikal kiri, kelompok radikal kanan, dan kelompok radikal lain-lain. Imparsial bersama KontraS dan Elsham Papua ditempatkan sebagai bagian dari kelompok radikal lainlain yang anti-Pancasila dan tidak puas serta kecewa dengan Pemerintah. Perkembangan selanjutnya, pada 4 Oktober 2006 Imparsial meminta BAIS mengoreksi pernyataannya. Permintaan itu ditanggapi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Markas Besar TNI Laksamana Muda Mohamad Sunarto melalui surat pembaca di Koran Tempo, 20 November 2006, berjudul “Tanggapan untuk Imparsial”. Isi dari tanggapan itu adalah: a. Persepsi ancaman internal dan transnasional sebagaimana dimaksud dalam makalah yang dipaparkan dalam seminar di Departemen Pertahanan adalah hasil analisa dari analisis intelijen yang telah dianalisis dengan baik dengan fakta dan data yang akurat guna mendukung tugas pokok TNI dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan TNI dalam rangka mengantisipasi situasi yang berubah dengan cepat, b. Lebih lanjut bahwa perhatian TNI terhadap ideologi Pancasila bukanlah berarti TNI telah masuk ke wilayah politik, melainkan terkait dengan kode etik terhadap negara, yaitu tentara adalah pembela ideologi negara, c. Dalam tanggapan yang sama, Kepala Puspen TNI menyatakan bahwa seminar yang dilaksanakan di Departemen Pertahanan pada 29 Agustus 2006 tersebut bersifat tertutup. Identitas pemapar tidak boleh dipublikasikan dan naskah tidak boleh diperbanyak kecuali seizin Departemen Pertahanan. Seminar tersebut, katanya, adalah forum ilmiah dalam suatu academic floor, di mana setiap panelisnya dapat mengeluarkan pendapat secara faktual dan ilmiah. Karena tanggapan tersebut tidak mengklarifikasi, bahkan malah menjustifikasi tulisan dalam makalah tersebut adalah berdasar dari analisis intelijen dari data dan fakta menurut BAIS adalah valid, akhirnya Imparsial pada 14 Februari 2007 mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap BAIS, dengan pertimbangan bahwa BAIS telah melampaui batas kewenangan yang seharusnya sebagai intelijen pertahanan dan intelijen militer. Pernyataan yang menuding kelompok-kelompok kritis sebagai kelompok ancaman menunjukkan bahwa TNI, khususnya BAIS telah memasuki wilayah politik yang bukan kewenangannya. Setelah menjalani proses persidangan, akhirnya pada 12 Desember 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan yang diajukan Imparsial. Dalam putusannya Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena pernyataan dari BAIS tersebut disampaikan dalam forum seminar yang sifatnya tertutup maka pernyataannya tersebut merupakan kebebasan berekspresi akademik dan informasi yang disampaikan hanya berlaku di ruang tersebut saja. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh BAIS tidak bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, dan UU TNI. Keputusan Majelis Hakim tersebut terlihat aneh, karena apa yang dinyatakan oleh KaBAIS adalah dalam kapasitasnya bukan sebagai individu dari institusi yang seharusnya melakukan kegiatan intelijen yang mendukung pertahanan. Munculnya analisis atas kerja-kerja dari masyarakat sipil menunjukkan bahwa mental serta institusi militer Indonesia belum 28
mengalami perubahan menuju tentara yang profesional, begitu pula dengan lembaga intelijen yang berada di dalamnya.
4.2.3 Politisasi dan Tabiat Orde Baru dalam Menyikapi Pemilu Di tengah kegagalan Lembaga Intelijen Negara dalam melakukan deteksi dini terhadap aksiaksi terorisme dan di masa ramainya proses pertarungan politik kekuasaan melalui pemilu 2004, BIN tiba-tiba membeberkan pernyataan yang menyatakan adanya indikasi 20 organisasi non-pemerintah (NGO) lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan sepanjang pemilu Presiden 5 Juli 2004. Pernyataan seorang anggota DPR yang dilansir dalam dengar pendapat DPR secara langsung menyebut International Crisis Group (ICG) dan Elsam sebagai dua di antara LSM yang dimaksud. Identifikasi BIN terhadap ICG berakhir dengan pengusiran Sidney Jones, selaku Direktur ICG Indonesia.55 Sikap lembaga intelijen tersebut memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok aktivis yang kritis terhadap negara masih diidentifikasikan sebagai kelompok yang mengancam keamanan nasional. Dalam konteks itu, intelijen masih memusuhi penggunaan hak dan kebebasan politik warga negara yang dilakukan secara demokratik dan bersandar pada hak-hak asasi manusia yang saat ini telah dijamin konstitusi. Di tengah era keterbukaan seperti saat ini, arus deras keterbukaan informasi merupakan hal yang tidak dapat dibendung. Informasi tentang perkembangan di Indonesia dapat diperoleh dari sumber manapun, sehingga ada atau tidaknya laporan yang dilakukan kelompok masyarakat sipil, dunia internasional tetap bisa menilai baik atau buruknya kinerja aparat negara. Oleh karenanya, tuduhan bahwa biasnya laporan-laporan yang dikeluarkan kelompok-kelompok masyarakat sipil sehingga mempengaruhi opini internasional tentang Indonesia adalah sangat tak berdasar, kalau tak bisa disebut naif. Sikap lembaga intelijen tersebut adalah cermin sikap lembaga intelijen pada rezim pemerintahan yang otoritarian –sebagaimana pernah dialami di masa Orde Baru. Bagi lembaga seperti ini, sikap dan ekspresi politik warga negara yang kritis terhadap negara dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan. Tabiat Orde Baru juga tidak hanya diperlihatkan oleh kelembagaan intelijen (BIN), tapi juga dilakukan oleh salah satu partai politik peserta pemilu 2004. Sebelum rilis BIN mengenai 20 NGO lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan sepanjang pemilu Presiden 5 Juli 2004, di hadapan publik muncul situasi dimana Ketua BIN, A.M Hendropriyono, didaftarkan menjadi salah satu juru kampanye Calon Presiden Megawati Soekarnoputri oleh PDIP ke KPU.56 Kemunculan nama Hendropriyono ini sempat merebak di publik dan memicu protes dari berbagai pihak, khususnya kalangan politisi,57 karena sebagai Kepala BIN jika ia berkampanye dianggap berbahaya dan berafiliasi dengan salah satu partai politik.
55
Indopos, 8 Juni 2004. Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, Sebaiknya Mundur, 5 Maret 2004; Forum Keadilan, “Jurkam di Pentas Nasional”, edisi 14 Maret 2004, hlm 87 57 Di antaranya disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie, yang berasal dari PKB yang menyatakan jika memang Hendropriyono menerima ajakan sebagai jurkam, sebaiknya dia mengundurkan diri dari jabatannya. Ini penting untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat, untuk menghindari penggunaan fasilitas dan rahasia negara dalam kampanye. Lihat Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, 5 Maret 2004. 56
29
Gugatan terhadap Hendropriyono ini diawali ketika KPU melansir jajaran juru kampanye nasional partai-partai politik. Nama purnawirawan TNI AD ini terselip di antara sejumlah nama menteri yang juga kader PDIP. Bahkan menurut Ketua DPP PDIP, Roy B.B. Janis, Hendro berkelayakan sebagai juru kampanye: paham visi dan misi organisasi, sehat dan cakap berpidato. Bukan hanya sebagai kader, Hendro juga merupakan anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP).58 Namun karena ramai dibicarakan, saat rapat internal partai pekan kedua Maret 2004, Megawati akhirnya meminta pengurus partai banteng menarik nama Hendropriyono dari juru kampanye PDIP yang telah disetor ke KPU.59
4.2.4 Sikap Tidak Kooperatif dalam Pengungkapan Kasus Kematian Munir TPF (Tim Pencari Fakta) kasus terbunuhnya Munir –yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004– dimandatkan untuk melakukan penyelidikan terhadap individu dan lembaga guna penuntasan kasus tersebut. Dalam upaya mengungkap kasus tersebut, TPF telah diberikan izin oleh Presiden SBY untuk memeriksa BIN karena adanya dugaan TPF yang mengindikasikan keterlibatan lembaga ini dalam kasus kematian Munir. Upaya TPF secara langsung mendapatkan respon dari BIN, yang menyatakan bahwa TPF perlu bukti indikasi kuat keterlibatan BIN. Sikap BIN tersebut sangat bertentangan dan bertolakbelakang dengan sikap BIN dalam penanggulangan aksi terorisme. Pada kasus pemberantasan tindak terorisme –dimana BIN menjadi koodinator seluruh kegiatan intelijen– BIN sangat kooperatif dengan melakukan sharing data kepada instansi lainnya. Akan tetapi dalam kasus Munir, BIN sangat tidak kooperatif dengan sikapnya yang menolak pemeriksaan sebelum TPF mengajukan indikasi keterlibatan lembaganya. Sebagai lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden, tidak ada alasan BIN untuk melontarkan masalah berkaitan dengan bukti-bukti. Izin yang diberikan kepada TPF oleh Presiden SBY harus ditafsirkan BIN sebagai perintah Presiden kepada BIN, untuk bertindak kooperatif. Sikap tidak kooperatif BIN tersebut dapat dipandang sebagai insubordinasi kepada Presiden. Apalagi dalam perkembangan terakhir pembunuhan terhadap Munir ditemukan bukti baru yang menunjukkan adanya dugaan keterlibatan pejabat BIN. Adanya kontak telepon antara Pollycarpus (salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan Munir) dengan pejabat BIN melalui ruang Deputi V Bidang Penggalangan Opini dan Propaganda BIN, 60 menjadi satu bukti awal yang tidak bisa ditolak oleh BIN untuk bersikap tertutup dalam penyelesaian kasus Munir.
58
Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai PDI-P, juga menyatakan ketidaksetujuannya Hendropriyono menjadi jurkam PDIP. Ibid. 59 Majalah Tempo, “Batal: Intel Merangkap Jurkam”, edisi 21 Maret 2004, hlm. 18-19; Baca juga Gatra, ”Intel di Panggung Kampanye”, hlm 18. 60 Media Indonesia, 21 Mei 2005. 30
4.2.5 Penyimpangan Fungsi Intelijen dalam Kasus Uang Palsu dan Cukai Palsu Dengan dalih untuk mengetahui pelaku pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN mencetak uang palsu dan cukai rokok palsu. Dalam perjalanannya, situasi tersebut bagai senjata makan tuan, posisi BIN selaku Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 jo Surat Keputusan Kepala BIN selaku Ketua Botasupal Nomor 046/2002) dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen intelijen negara (BIN) untuk mencetak dan mengedarkan uang palsu secara otonom. Proses pencetakan uang palsu dan cukai rokok palsu tersebut dilakukan di sebuah ruangan “terkunci” di kantor Botasupal, Jl. Madiun No. 34 Menteng, Jakarta Pusat.61 Dalam kasus uang palsu dan cukai rokok palsu tersebut, terdapat tujuh orang aparat Badan Intelijen Negara (BIN) yang terlibat dalam kasus pemalsuan uang dan cukai rokok palsu pada awal 2005 ini. Mereka adalah Brigjen Pol (Purn) H Zyaeri (57), Kepala Staf Harian Badan Koordinasi Penanggulangan Uang Palsu (Botasupal) BIN. Ia ditangkap pada 13 Januari 2005; Haryanto (31), Jaelani (38), Waronakus Saptoro (31), M Iskandar alias Muis (43). Keempatnya dari TNI dan PNS di Botasupal; Dadang Ruhiyat (46), Tatan Rustana alias Tedy (50). Kedua nama terakhir adalah anggota (agen) BIN dari sipil.62 Pemalsuan uang dan pita cukai itu bermula ketika Zyaeri dan Muhammad Iskandar menemui Dadang Ruhiyat yang saat di penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang pada pertengahan 2003, untuk membicarakan pembuatan uang palsu.63 Zyaeri dan Iskandar membesuk terdakwa Dadang sebanyak dua kali. Sebelum pulang sehabis membesuk Dadang, terdakwa Zyaeri dan Iskandar memberi uang sebesar Rp 7,2 juta kepada Dadang secara bertahap. Uang itu diduga sebagai imbalan supaya Dadang membantu rencana pembuatan uang palsu. Menindaklanjuti pembicaraan tersebut, setelah keluar dari LP Cipinang (5 September 2003), Dadang lalu mendatangi kantor Zyaeri di Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) BIN di Jl. Madiun, Jakarta Pusat, pada 7 September 2003. Saat itu Zyaeri memberi Dadang sebuah ruangan di kantornya untuk mencetak uang palsu. Sesaat setelah itu, Dadang lalu mengenalkan Tatan Rustana kepada Zyaeri. Zyaeri kemudian juga meminta Tatan membuat pita cukai palsu. Setelah mengadakan persiapan secukupnya, atas permintaan Zyaeri dan Muhammad Iskandar, Dadang mencetak uang palsu pecahan Rp 100 ribu di kantor Zyaeri pada Mei 2004 sampai Oktober 2004. Pada saat yang hampir bersamaan, Tatan juga mencetak pita cukai palsu di Bandung. Terdakwa Zyaeri kemudian membeli sejumlah peralatan untuk proses pembuatan uang palsu. Dengan peralatan itu, para terdakwa mulai membuat uang palsu pecahan Rp 100 ribu. Caranya, antara lain pertama-tama menyablon huruf BI, burung garuda, dan tanda tangan pejabat BI. Pembuatan uang palsu tersebut diawasi oleh Zyaeri. Para terdakwa berhasil
61
www.suarakarya-online.com/news.html?id=110653 Media Indonesia, 15 Januari 2005. 63 Dadang Ruhiyat dan Tatang pernah ditahan di LP Cipinang karena tindak kriminal. Dadang adalah ahli pembuat uang palsu dan Tatang ahli pembuat cukai palsu. Keduanya sengaja direkrut dan diperbantukan di Botasupal BIN oleh Zyaeri, dengan tujuan untuk mengetahui cara kerja para penjahat di bidang pemalsuan uang dan pita cukai. Media Indonesia, 14 Februari 2005. 62
31
membuat uang palsu pecahan Rp100 ribu sebanyak 2.267 lembar antara Mei hingga Oktober 2004. Aksi ini akhirnya diketahui sejumlah anggota Botasupal BIN pada Desember 2004. Saat penggerebekan, dari komplotan Zyaeri disita 2.267 lembar uang palsu pecahan Rp 100 ribu dan puluhan banderol pita cukai rokok. Selain itu, polisi juga menyita 40 lembar klise film untuk pembuatan uang palsu, tiga kaleng cat merah, tiga kaleng minyak pelicin merek Cyclon. Lainnya, dua kaleng pernis, lima liter minyak cat, obat afdruk, satu set unit komputer dan printer, satu set pengering uang palsu dan lima lembar cukai rokok.64 Kasus uang palsu yang melibatkan agen BIN tersebut telah memasuki tahap persidangan di pengadilan negeri. Perkara pemalsuan uang dan cukai rokok yang melibatkan tujuh orang pejabat BIN tersebut untuk pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Juni 2005.65 Selanjutnya pada 25 Juli 2005 ketujuh terdakwa divonis majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan 4-5 tahun penjara. Lima orang di antaranya, mantan Kepala Staf Harian Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) BIN Brigadir Jenderal (Purn) HM Zyaeri, Haryanto, Jailani, Woro Narus Saptoro, dan Muhamad Iskandar divonis 4 tahun penjara, sementara dua lainnya, yakni Tatan Rustana dan Dadang Ruhiyat divonis 5 tahun penjara.66 Mereka dijerat Pasal 250 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan Pasal 55 huruf a UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
4.2.6 Meluasnya Kewenangan-Struktur BIN atas Nama Terorisme 4.2.6.1 Penebalan Kewenangan BIN Terjadinya tragedi 11 September 2001 di New York boleh dikatakan menjadi babak baru bagi banyak negara khususnya Amerika Serikat untuk melakukan perang melawan terorisme. Respon atas persoalan ini melahirkan peta baru pertarungan politik global dan mengubah model dan watak kekuasaan baru di banyak negara. Berbagai langkah politik dilakukan untuk mengejar semua pelaku terorisme, bahkan juga memunculkan agenda menumbangkan rezim-rezim kekuasaan yang dianggap melindungi ataupun bekerjasama dengan pelaku terorisme. Langkah-langkah politik ini telah menempatkan pendekatan keamanan yang berlebihan sebagai pilihan dalam melakukan perang melawan terorisme dan mengorbankan HAM ke atas altar anti-terorisme –termasuk hak-hak yang digolongkan ke dalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. 67 Di beberapa negara (Australia, Kanada, Denmark, India, Nepal dan Amerika Serikat), undang-undang anti-terorisme yang digunakan sebagai salah satu instrumen dalam perang melawan terorisme, mensahkan penangkapan sewenang-wenang (arbitary detention), pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial, tindakan-tindakan berlebihan kepada warga 64
Bahkan sesuai pengakuan salah seorang tersangka beberapa cukai rokok palsu sudah pernah dikirimkan ke Malang, Jawa Timur. Lihat Media Indonesia, 14 Februari 2005; dan Kompas, “Perkara Pemalsuan Uang Segera Disidangkan”, 5 Maret 2005. 65 Kompas, “Uang Palsu: Jaksa Tuntut Tujuh Terdawa dengan Hukuman Penjara 6-8 Tahun”, 29 Juni 2005. 66 Kompas, “Vonis Sidang: Mencetak Uang Palsu Divonis 4-5 Tahun”, 26 Juli 2005; dan Media Indonesia, 26 Juli 2005. 67 Todung Mulya Lubis, Masyarakat sipil dan Kebijakan Negara (Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana terorisme), Kompas, 3 Februari 2003. 32
negara asing dengan alasan keadaan yang genting dan tekanan terhadap fundamental freedoms, khususnya hak untuk bebas berkumpul dan menyatakan pendapat.68 Di Indonesia sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Pasca peledakan bom Bali 2002 yang diikuti dengan terbentuknya Perpu Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lembaga intelijen non-judicial dilibatkan dalam proses penegakan hukum melalui dijadikannya laporan intelijen sebagai bukti permulaan dalam penanganan tindak pidana terorisme (lihat: Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2003). Lebih lanjut, keinginan lembaga intelijen non-judicial untuk terlibat dalam proses penegakan hukum diakomodasi dalam RUU Intelijen. Kendati tidak diakui keberadaannya oleh BIN, draf tersebut memberikan kewenangan bagi BIN untuk menangkap selama 30 hari dan juga memberikan kewenangan untuk melakukan pengadaan senjata secara mandiri.69 Sebelumnya, perluasan kewenangan BIN juga dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, yang di dalamnya menempatkan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002), hingga menjadi Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti –pita cukai, perangko, materai tempel, kertas bermaterai, sertifikat tanah, pasport, STTB dan Danem, ijazah perguruan tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku uji kendaraan bermotor, surat/buku izin menangkap ikan, stiker visa, encoding, kartu telepon (termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line ticket OPTAT, sertifikat ekspor, paper seale barang ekspor– (Surat Keputusan Kepala BIN Nomor 046/2002 dan lampirannya tertanggal 18 Februari 2002 jo Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya Lembaga Intelijen Negara [dulu Kabakin] sebagai Koordinator Pemberantasan Uang Palsu di Indonesia). Niatan untuk melakukan restorasi intelijen tersebut sejalan dengan pemikiran pejabat intelijen negara Prof. Dr. Bijah Subijanto, M.SiE, yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Restorasi Intelijen: Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional.70 Dalam Bab tentang “Reposisi dan Refungsionalisasi Intelijen”, terungkap bila BIN hendak menjadi entitas independen yang lepas dari pengawasan pemerintahan sipil dalam hal ini presiden.71 Di sisi lain, adanya keinginan BIN untuk memiliki kewenangan menangkap dan memiliki kantor di daerah didasarkan pada alasan bahwa FBI saja sebagai salah satu lembaga intelijen di Amerika Serikat juga memiliki kewenangan menangkap dan memiliki kantor di setiap negara bagian.
68
Ibid. Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 23 ayat (1) Draft RUU Pokok-pokok Intelijen, 5 September 2003. 70 Saat buku itu ditulis Prof. Dr. Bijah menjabat sebagai Deputi Bidang Penyelidikan Dalam Negeri dan kemudian menjadi Deputi VII Bidang Teknologi. 71 Prof. Dr. Bijah Subijanto, Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional, (Jakarta: Penerbit Jati Diri, 2003), hlm. 92. Dalam catatan kakinya, “Kekuasaan Badan Intelijen Negara yang hanya diatur dalam Keppres dan menjalankan pengawasan yang sepenuhnya oleh presiden berpotensi mengancam tingkat independensi intelijen.” 69
33
4.2.6.2 Penguatan Struktur BIN Melalui Kominda Terbentuknya Kominda, yang beranjak dari keputusan Menteri Dalam Negeri tentu tidak lepas dari adanya keinginan BIN untuk memperluas dan memiliki kantor dari pusat sampai ke daerah. Sebelumnya, gagasan memperluas kantor sampai ke daerah ini didorong oleh BIN kepada Presiden Megawati Soekarnoputri agar menyetujui pembentukan Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda). Bahkan di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Keinginan memperkuat lembaga intelijen negara dilakukan dengan merekrut Lurah dan perangkatnya menjadi aparat intelijen.72 Dalam kelanjutannya, keinginan membentuk kantor-kantor wilayah BIN disetujui oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dalam rencananya akan segera dituangkan dalam Keppres. Namun karena banyak tentangan berbagai kalangan, keinginan untuk menerbitkan Keppres tersebut tidak terealisasi hingga akhir masa kepemimpinan Megawati. Tetapi yang muncul kemudian adalah suatu keputusan Mendagri untuk membentuk Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) (lihat: Surat Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Febuari 2003).73 Kepentingan BIN terhadap kebutuhan adanya Kominda ditegaskan dan dijelaskan oleh seorang pejabat BIN yang mengatakan, konsep di BIN secara formal adalah membentuk Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) sebagai wadah untuk melakukan koordinasi antar aparat intelijen.74 Landasan hukum pembentukan komunitas tersebut didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 tentang penetapan BIN selaku koordinator kegiatan intelijen dan Surat Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Februari 2003,75 tentang Pembentukan Panitia Penyelenggara Rapat Konsultasi Penguatan Sistem Jaringan Komunitas Intelijen Daerah. Kominda terdiri dari berbagai unsur intelijen, pejabat daerah serta staf dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten/Kota. Di beberapa tempat peranan dan fungsi Kominda bermacam-macam. Bahkan dalam sebuah kasus, Kepala BIN Syamsir Siregar saat rapat dengan Komunitas Intelijen Daerah yang dihadiri Gubernur Sulawesi Tengah dan para Bupati serta Kejaksaan Tinggi Wilayah, meminta agar Departemen Dalam Negeri mencopot Bupati Morowali Sulawesi Tengah.76
72
Ihwal perekrutan Kepala Desa dan Lurah oleh BIN diungkapkan Brigjen (Pol) Wenny Warow, yang memimpin lembaga itu. Koran Tempo, 20 Desember 2003. 73 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k 74 Kompas, ”Teror Itu Terus Mengancam”, 10 Agustus 2003. 75 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k 76 Tempo Interaktif, ”Syt! Ada Calon Intel!”, 14 Juli 2005. 34
BAB V REFORMASI INTELIJEN DAN TARIK ULUR PEMBENTUKAN UU INTELIJEN
5.1 Mengapa Perlu Reformasi Intelijen? Proses perubahan politik di Indonesia pada 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru, membawa konsekuensi dipilihnya sistem demokrasi sebagai satu sistem poltik di Indonesia. Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi institusi, praktik dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Kontrol publik terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain, meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum sepenuhnya terkikis. Atas dasar tujuan dibangunnya sistem kenegaraan yang demokratis, proses demokrasi yang sedang berjalan menuntut adanya perubahan di dalam lembaga-lembaga negara, termasuk di dalamnya badan-badan intelijen. Dengan berubahnya sistem politik negara, maka perubahan itu diharapkan akan memberikan dampak pada perubahan paradigma, peran, fungsi, kultur, dan struktur badan intelijen itu sendiri. Namun demikian, setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, perubahan yang terjadi di dalam lembaga intelijen masih belum maksimal. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan/ perubahan yang hanya mencakup perubahan nama, lambang, slogan dan dasar hukum pembentukan lembaga intelijen hanya bersandar pada Inpres dan Keppres. Padahal, salah satu cara untuk mencapai reformasi intelijen di Indonesia yaitu dengan merumuskan kaidahkaidah normatif intelijen yang tertuang di dalam undang-undang intelijen negara agar arah dan tujuannya dari intelijen tersebut tidak terus berganti seiring dengan pergantian otoritas politik. Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen dengan peran yang besar sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban. Pada masa pemerintahan Orde Baru, intelijen di masa itu kerap dikenal sebagai ’intelijen hitam’ yang secara eksplisit dijalankan untuk menghadapi ancaman terhadap penguasa politik saat itu dimana pada awalnya fokus dari kegiatan intelijen pada periode ini ditujukan untuk menghancurkan komunisme di Indonesia. Selanjutnya terdapat beberapa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa periode ini yang menunjukkan bahwa intelijen digunakan oleh penguasa sebagai ’pelindung’ kekuasaannya, seperti operasi militer di Aceh, Timor-Timur, Papua, peristiwa Malari 1974, Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari di Lampung, kasus Penembakan Misterius (Petrus) di era 1980-an, yang terakhir ditutup dengan kasus penghilangan aktivis sepanjang tahun 1997-1998. Pada periode ini dinas-dinas intelijen mengalami politisasi dan militerisasi sehingga secara efektif dapat melaksanakan intervensi politik yang secara sistematik masuk ke setiap lini lain:77 77
Andi W. dan Artanti W., Op.Cit., hlm 4-7 35
Praktik penyimpangan intelijen itu ternyata tidak berhenti di masa Orde Baru. Dalam kelanjutannya, beberapa kasus penyimpangan intelijen terus terjadi di masa reformsi ini dan kasus penyimpangan intelijen yang paling mendapat perhatian publik adalah kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dimana dalam pembunuhan itu diduga pejabat tinggi intelijen terlibat di dalamnya. Selain kasus itu, penyimpangan intelijen juga terjadi dalam kasus percetakan uang palsu dan cukai palsu. Dengan dalih untuk mengetahui pelaku pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN mencetak uang palsu dan cukai rokok. Di dalam prosesnya, Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamananpengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen BIN untuk mencetak dan mengedarkan uang palsu secara otonom. Selanjutnya pada awal tahun 2005, terungkap terdapat tujuh orang aparat BIN yang terlibat di dalam kasus ini.78 Di sisi lain, kompleksitas ancaman yang berkembang tentunya telah memaksa lembaga intelijen untuk dapat bekerja secara lebih profesional. Pandangan publik yang menilai intelijen tidak cukup maksimal di dalam melakukan deteksi dini dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan dan berakibat pada terjadinya tindakan kejahatan tentunya menjadi salah satu alasan penting di dalam melakukan reformasi intelijen. Di masa kini, ancaman terhadap keamanan nasional tidak hanya ancaman yang bersifat Tradisional tetapi juga meliputi ancaman yang bersifat non-tradisional. Bahkan di Indonesia maupun di kawasan Asia khususnya ASEAN, ancaman non-tradisional dianggap sebagai isu utama yang mengancam keamanan kawasan. Ancaman ini terdiri dari persoalan terorisme, penyelundupan senjata ringan, separatisme bersenjata, penjualan wanita dan anak-anak, kebakaran hutan, piracy, money laundering, drugs trafficking. Meski ancaman nontradisional menjadi isu utama di kawasan Asia namun ancaman tradisional masih juga potensial menimbulkan konflik di kawasan Asia secara umum antara lain border disputesisu-isu perbatasan seperti Indonesia-Malaysia tentang masalah Ambalat, Indonesia dan Filipina tentang masalah Kepulauan Miangas, masalah batas landas kontingen antara Malaysia dan Singapura dan Malaysia-Thailand; konflik di Korea Peninsula; konflik ChinaTaiwan; maupun konflik India-Pakistan tentang masalah Kasmir.79 Terkait dengan itu, lembaga intelijen yang ada di Indonesia diharapkan dapat bekerja secara lebih profesional untuk mencegah kompleksitas ancaman-ancaman itu. Namun demikian, penting untuk dihindari terjadinya sekuritisasi di dalam menilai ancaman yang ada dimana salah satu persoalan yang akan ditimbulkan adalah bias pendekatan militer di dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reformasi intelijen menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan di Indonesia mengingat; pertama, reformasi intelijen merupakan bagian dari usaha untuk mengoreksi kesalahan sejarah kelam intelijen di masa lalu maupun mengoreksi serta memperbaiki praktik penyimpangan intelijen yang terjadi di masa kini. Kedua, untuk memperkuat landasan hukum yang mengatur tentang keseluruhan intelijen yang ada di Indonesia.Ketiga, untuk memperkuat sistem peringatan dini dan memperkuat sistem analisa informasi strategis, dimana intelijen memiliki peran utama di dalamnya. Keempat, sebagai 78
Tim Imparsial, Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi, Imparsial, Jakarta, 2005, hlm 1, hlm 21-22 79 Untuk lebih jelas melihat isu-isu dan ancaman di kawasan Asia lihat Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, (Jakarta: Obor, 2007), hlm 64 36
bagian penting dari proses reformasi sektor keamanan maka kelembagan intelijen harus menyesuaikan diri dengan tata nilai baru di dalam negara demokrasi yang menghormati hak HAM dan prinsip negara hukum. Adapun tujuan untuk melakukan reformasi intelijen itu adalah untuk mewujudkan terciptanya intelijen yang profesional dan efektif, yang patuh pada tata nilai demokrasi dalam kerangka mewujudkan keamanan nasional.
5.2 Tarik Ulur Pembentukan RUU Intelijen Negara Di masa Orde Baru, intelijen negara sering digunakan sebagai ”alat” untuk membungkam gerakan-gerakan yang dapat mengancam keberlangsungan kekuasaan Soeharto. Berbagai peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada masa tersebut ditengarai dilakukan oleh aktor intelijen negara.80 Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya gerakan reformasi mahasiswa 1998 yang menuntut dilakukannya perubahan di segala bidang, tak terkecuali terhadap aktor-aktor keamanan negara. Reformasi terhadap aktor-aktor keamanan negara telah menghasilkan TNI dan Polri yang sudah terpisah secara struktural dari sebelumnya berada di bawah ABRI dan bekerja dalam kerangka peraturan perundang-undangannya masing-masing. Namun demikian, satu-satunya aktor keamanan negara yang nyaris belum tersentuh reformasi adalah intelijen. Padahal, penyalahgunaan fungsi intelijen pada masa lalu adalah fakta yang seharusnya menjadi pembelajaran untuk mereformasi institusi Intelijen. Penataan dan pembenahan institusi intelijen juga menjadi agenda penting untuk menjawab kebutuhan akan keamanan nasional yang kian mendesak, selain reformasi intelijen itu sendiri merupakan salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan. Intelijen negara yang berfungsi sebagai pendukung penyelenggaraan fungsi keamanan nasional, tentunya harus mendapatkan legitimasi publik pada mandat, tugas, dan wewenang intelijen yang legal dan akuntabel. Selama ini aktivitas intelijen hanya diatur melalui keputusan-keputusan Presiden yang tidak memiliki legitimasi yang kuat. Cara mendapatkan legitimasi tersebut adalah dengan mendasarkan seluruh sistem operasi intelijen pada sebuah aturan hukum yang secara hierarkis dapat diawasi oleh wakil rakyat di parlemen. Tidak dilibatkannya DPR sebagai badan legislatif yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi politik membuat aktivitas intelijen cenderung menjadi tidak terawasi.81 Maka dari itu, dibutuhkan sebuah undangundang yang mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif tentang tugas, fungsi, dan wewenang intelijen negara.
5.2.1 Draf RUU Intelijen pada Masa DPR Periode 1999-2004 Draf RUU tentang Intelijen Negara pertama kali muncul pada 2002, kemudian baru diajukan resmi ke DPR-RI September 2003.82 Draf RUU tentang Intelijen Negara yang bertanggal 25 Januari 2002 diajukan bersamaan dengan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) dan RUU Rahasia Negara.83 Pengajuan tersebut memancing kritikan dari 80
www.tempo.co.id/ang/min/03/21/nas10.htm, “Intelijen Terlibat Penculikan”, Edisi 21/03-25/Juli/1998. Buletin TELIK SANDI, Tajuk, “Saatnya mereformasi Intelijen”, volume I, No. 1 Juni 2006, hlm 3. 82 Ibid., hlm 2. 83 Kompas, “DPR Didesak Dahulukan RUU Kebebasan Informasi”, 20 Februari 2003. 81
37
masyarakat, karena kedua RUU tersebut dinilai mempunyai perbedaan dan paradigma yang mendasar. RUU KMIP menjadi tolok ukur transisi demokrasi di Indonesia, sedangkan RUU Intelijen Negara dan RUU Rahasia Negara yang diajukan pemerintah mempunyai paradigma tertutup dan cenderung membatasi kebebasan bahkan hak warga negara. Karena mendapat tentangan yang keras dari masyarakat, RUU Intelijen Negara dikembalikan DPR kepada pemerintah untuk diperbaiki. Dalam draf RUU Intelijen Negara tahun 2002, diatur tentang kewenangan BIN untuk melakukan penangkapan dan penahanan terharap orang yang diduga dapat mengancam keamanan nasional. Pemberian kewenangan tersebut tentu lebih menempatkan BIN sebagai polisi rahasia dibandingkan tugas yang sebenarnya: pemasok informasi bagi pengambil kebijakan. Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, BIN juga telah memperoleh perluasan kewenangan yang dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, seperti yang memposisikan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002).84 Hingga menjadi Ketua Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamanan-pengawasan Dokumen Sekuriti.85 Terlalu luasnya kewenangan yang diberikan RUU tersebut terhadap BIN kembali mendapat kritikan yang keras dari masyarakat, tak terkecuali anggota DPR-RI. Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional menilai draf RUU Intelijen Negara harus ditolak karena dapat memperkosa demokrasi dan membunuh HAM. Bahkan, kewenangan intelijen yang diberikan RUU ini terlalu luas karena siapapun bisa ditangkap, kapanpun dan dimanapun tanpa menghormati asas praduga tak bersalah dan tanpa boleh didampingi oleh pengacara serta keluarga selama masa penahanan maksimal 3 kali 30 hari. Bahkan menurutnya, sebisa mungkin draf RUU tersebut harus ”dibunuh” sebelum lahir menjadi undang-undang.86 Masih terkait dengan kewenangan penangkapan, perbedaan pendapat tidak hanya terjadi sesama anggota parlemen ataupun masyarakat, tetapi juga di dalam institusi yang mewakili pemerintah di Parlemen. Kapolri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar pada saat itu mengatakan pandangan yang berbeda dengan Kepala BIN, bahwa kewenangan penangkapan hanya ada di tangan kepolisian, bukan pada BIN.87 Sebelumnya, Kepala BIN AM Hendropriyono mengatakan bahwa pekerjaan intelijen itu ibarat mencari sarang tikus dan kemudian menangkapi tikus-tikus tersebut. Selanjutnya tugas kepolisian dan pengadilan lah yang membuktikan apakah pihak intelijen salah tangkap atau tidak. Hendropriyono menambahkan, prinsip tugas intelijen adalah preventif alias mencegah sebelum terjadi. Jadi RUU Intelijen tidak akan digunakan untuk menangkapi orang-orang yang tidak bersalah.88
84
Tim Imparsial, “Evaluasi Kinerja BIN di Masa Transisi dan Catatan Untuk Reformasi BIN”, (Jakarta: Imparsial, 2005). 85 Keputusan Kepala BIN No. 046/2002 dan lampirannya tertanggal 18 Februari 2002 jo Insruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya Lembaga Intelijen Negara (dulu Kabakin) sebagai Koordinator Pemberantasan Uang Palsu di Indonesia, serta dokumen securiti (pita cukai, perangko, materai tempel, kertas bermaterai, sertifikat tanah, paspor, STTB dan Danem, ijazah perguruan tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku uji kendaraan bermotor, surat/ izin menangkap ikan, stiker visa, encoding, kartu telepon (termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line OPTAT, sertifikat ekspor, paper sale barang ekspor). 86 Pelita, ”RUU Intelijen Beri Kewenangan BIN Luar Biasa”, 10 Maret 2004. 87 www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=33645, ”LSM Khawatir BIN Jadi Polisi Rahasia”, 16 Oktober 2004. 88 Ibid. 38
Akhirnya, RUU Intelijen Negara tidak jadi disahkan oleh DPR periode 1999-2004. RUU tersebut dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki, dengan catatan memasukkan HAM sebagai nilai-nilai yang harus diadopsi dalam RUU tersebut. Adalah sebuah keharusan untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam setiap peraturan perundang-undangan agar ada jaminan tertulis dalam upaya perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
5.2.2 Draf RUU Intelijen pada Masa DPR Periode 2004-2009 Perdebatan tentang RUU Intelijen Negara sejenak terhenti dengan pelaksanaan pemilu 2004. RUU ini baru kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) periode 20052009, dan menjadi salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas di DPR.89 Pembahasannya ditargetkan dapat dilakukan pada 2007, sehingga pada 2008 pemerintah diharapkan sudah mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Pada 2006, pemerintah secara resmi kembali mengajukan draf RUU Intelijen Negara kepada DPR-RI. Draft RUU yang bertanggal 10 Maret 2006 tersebut terdiri dari 7 bab dan 48 pasal.90 Di dalam bab I draft RUU tentang Intelijen Negara mengatur tentang hakekat, asas, dan fungsi intelijen negara; bab II memaparkan tentang tugas, kewenangan, serta organisasi dinas-dinas Intelijen yang tergabung dalam komunitas intelijen negara. Dinas-dinas intelijen tersebut antara lain adalah BIN, BAIS, BIK POLRI, Intelijen Kejaksaan, dan dinas-dinas intelijen di departemen atau instansi pemerintahan lainnya; bab III mengatur tentang personel intelijen; dalam bab IV mengatur tentang sumber pembiayaan aktivitas intelijen; kemudian bab V menawarkan pembentukan Sub Komisi Intelijen Negara di DPR yang akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas terhadap dinas-dinas intelijen; dan terakhir bab VII draf RUU Intelijen Negara tersebut mengatur tentang ketentuan pidana, peralihan organisasi dan regulasi tentang intelijen negara.91 Penempatan dinas-dinas intelijen dalam sistem keamanan nasional telah diatur dalam draf RUU tentang intelijen negara tahun 2006. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa ”intelijen negara adalah lembaga pemerintahan yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional”. Hal tersebut diharapkan dapat mencegah politisasi dan militerisasi intelijen. Intelijen harus dipisahkan dari kegitan politik praktis dan lepas dari pertarungan kekuasaan politik rezim. Intelijen harus menjadi institusi sipil yang tidak boleh dipandang dan dijalankan sebagaimana menjalankan organisasi militer. Upaya untuk mencegah politisasi intelijen juga tampak dari draf RUU Intelijen Negara tahun 2006 tersebut, yang diatur di Pasal 4 yang menyatakan bahwa ”personel intelijen bersifat non-partisasan, netral dalam kehidupan politik, dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis”. Personel intelijen harus dituntut untuk bersifat obyektif, tidak menjadi alat kekuasaan suatu partai politik yang sedang berkuasa dalam pemerintahan. Namun, jika dianalisis lebih dalam draf RUU Intelijen Negara tahun 2006 sebenarnya hanya menitikberatkan pada perumusan pengaturan tentang komunitas intelijen nasional dan belum menjabarkan keterkaitan antara dinas-dinas intelijen dengan dimensi keamanan nasional. Hal 89
Buletin TELIK SANDI, Op. Cit. T. Hari Prihatono (ed.), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, (Jakarta: Propatria Institute, 2006), hlm 99. 91 Ibid., hlm 99-100. 90
39
itu terbukti dengan adanya tumpang-tindih fungsi dan kewenangan antara intelijen negara dengan kepolisian sebagai aparat penegak hukum di Indonesia yang diatur dalam draft RUU tersebut. Selain itu, perumusan RUU Intelijen Negara harus berkaitan erat dengan RUU tentang Keamanan Nasional. Intelijen negara yang berfungsi sebagai bagian dari sistem keamanan nasional dalam aktivitasnya harus mendukung kinerja lembaga-lembaga yang selama ini bertanggungjawab terhadap keamanan nasional, tentunya melalui aliran informasi dan sistem koordinasi yang kuat. Satu lagi kelemahan yang terdapat dalam draf RUU Intelijen Negara tahun 2006 ini, yaitu godaan untuk menjadikan intelijen sebagai aparat penegak hukum. Hal itu tampak dalam Pasal 12 yang menyatakan bahwa BIN memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan dalam rangka interogasi, penyadapan, pemeriksaan rekening, dan pembukaan surat setiap orang yang dianggap dapat membahayakan keselamatan warga negara. Draf RUU Intelijen Negara harus secara tegas memisahkan fungsi intelijen dari fungsi penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh Kepolisian dan Kejaksaan dan tidak dapat dipindah-tangankan kepada aparat intelijen. Agar intelijen berfungsi secara efektif, yang harus dipertegas adalah mekanisme koordinasi antara aparat penegak hukum dan aparat intelijen, bukan melalui perluasan fungsi atau kewenangan intelijen yang merusak tatanan dan mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Dalam pembahasannya di DPR, draf RUU Intelijen Negara usulan pemerintah tersebut banyak menuai kritik dari masyarakat sipil. Hingga akhirnya, kemudian muncul draf RUU Intelijen Negara tandingan versi masyarakat sipil yang dimotori oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara.92 Draf RUU tersebut terdiri dari 9 bab dan 54 pasal, yang pada prinsipnya menawarkan suatu bentuk pengaturan baru terhadap Intelijen Negara secara efektif dan profesional dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Namun, dalam pembahasan di DPR, RUU Intelijen Negara kembali mengalami kebuntuan, terutama soal kewenangan menangkap yang dimiliki intelijen yang nantinya dinilai akan sangat membahayakan masyarakat sipil. Ditambah lagi, intelijen memiliki masa penahanan yang terlalu lama terhadap orang yang diduga mengancam keamanan negara. Perkembangan selanjutnya, RUU Intelijen Negara dan beberapa RUU lainnya termasuk RUU Rahasia Negara tidak jadi disahkan oleh DPR periode 2004 2009.
5.2.3 Draf RUU Intelijen pada Masa DPR Periode 2009-2014 Usai pelaksanaan pemilu 2009, dan setelah terpilihnya anggota DPR-RI yang baru periode 2009-2014, RUU Intelijen kembali menjadi salah satu RUU yang akan dibahas di parlemen. Terbukti, RUU Intelijen masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Kali ini draf RUU tersebut diajukan atas inisiatif DPR. Draft RUU tersebut diajukan bersamaan dengan draf RUU Rahasia Negara, dimana keduanya pernah sama-sama ditolak oleh wakil rakyat di DPR. 92
Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara menyelesaikan draft RUU Intelijen tandingan pada 23 Agustus 2005 yang dimotori oleh Pacivis UI dan beranggotakan dari beberapa organisasi (ELSAM, IMPARSIAL, HRWG, ICW, ISAI, KontraS, Pro Patria, Ridep Institute, YLBHI, dan Pacivis UI). 40
Rencananya, RUU tentang Intelijen Negara akan mulai dibahas secara tersendiri pada 2010.93 Sehingga pada akhir 2011, Indonesia diharapkan sudah mempunyai regulasi yang lebih komprehensif yang mengatur tentang intelijen negara. Namun, hingga tulisan ini dibuat DPR belum mengumumkan atau mempublikasikan secara resmi draf RUU Intelijen yang akan dibahas. Bahkan beberapa kalangan mencurigai bahwa tidak akan terjadi banyak perubahan terhadap draf RUU Intelijen Negara versi 2010 ini. Persoalannya disinyalir masih seputar perdebatan lama yang telah dibahas sebelumnya, khususnya mengenai kewenangan penangkapan yang dimiliki oleh intelijen. Hal ini pun kemudian kembali mengundang reaksi dan tanggapan dari masyarakat sipil. Makmur Keliat, dosen FISIP Universitas Indonesia, mengatakan lembaga intelijen bukanlah lembaga penegak hukum yang bisa menangkap orang. Peran lembaga intelijen hanya sebatas penyuplai informasi secara cepat dan akurat seuai dengan doktrin intelijen, velox et exactus.94 Senada dengan itu, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Tubagus Hasanudin, mengatakan selama ini intelijen dicitrakan sebagai institusi bengis yang dapat menangkap dan menahan orang kapan saja, terutama bila orang itu dinilai dapat merugikan kepentingan penguasa. Hasanudin menambahkan, agar hal tersebut tidak terulang kembali, kewenangan dan peran intelijen harus dibatasi. Intelijen tidak boleh diberi kewenangan menangkap dan kinerja intelijen harus pula didasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan terhadap masyarakat sipil serta penghormatan terhadap HAM.95 RUU Intelijen harus menempatkan intelijen pada fungsi yang sebenarnya, agar terhindar dari penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan penguasa. Intelijen negara haruslah dilihat sebagai pelengkap dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Untuk itu, draf RUU Intelijen Negara harus mengatur secara rinci dan detail tentang fungsi, tugas, dan wewenangan intelijen. Regulasi yang mengatur secara detail tentang kewenangan operasional bagi setiap dinas intelijen merupakan tuntutan dasar negara demokratis.96 Di tengah masa transisi demokrasi di Indonesia, adalah wajar bila pengaturan tentang intelijen menjadi barometer untuk mengukur kemajuan demokrasi di Indonesia.
93
Republika Online, “DPR Harap RUU Intelijen Lolos Uji Publik”, 27 Mei 2010. Kompas, “Merancang Aturan Intelijen yang Profesional”, 28 April 2010. 95 Ibid. 96 T. Hari Prihatono (Ed.), Op. Cit., hlm. 98. 94
41
BAB VI KRITIK RUU INTELIJEN NEGARA
6.1 Kritik RUU Intelijen 2010-2011 Intelijen negara diperlukan untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja ancaman yang ditujukan kepada eksistensi, keutuhan, dan kedaulatan negara, melainkan juga ancaman terhadap keamanan warga negara. Fungsi intelijen pada hakikatnya adalah menyediakan informasi yang mutakhir dan akurat sebagai dasar pengambilan keputusan di bidang keamanan, terutama untuk mencegah terjadinya kejutan yang mengganggu keamanan nasional. Fungsi intelijen diperlukan tidak hanya dalam konteks hubungan antar negara sebelum dan pada saat perang, melainkan spektrumnya telah meluas menjangkau ancaman keamanan nasional domestik dan warga negara sehingga tidak pada tempatnya jika intelijen negara justru mengganggu keamanan warga negara. Berkembangnya spektrum ancaman keamanan nasional menuntut diselenggarakannya fungsi intelijen negara yang profesional. Di sisi lain, keberadaan intelijen negara juga harus sesuai dengan karakter masyarakat demokratis yang menuntut partisipasi dan pertanggungjawaban dari semua penyelenggara fungsi negara guna menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengaturan intelijen negara diperlukan sebagai manifestasi pelaksanaan negara hukum, baik dalam konsepsi rule of law maupun rechtstaats, di mana salah satu unsur utamanya adalah pemerintahan berdasarkan hukum dan perlindungan terhadap HAM. Oleh karena itu pengaturan intelijen negara dimaksudkan sebagai landasan hukum sekaligus batasan hukum bagi pelaksanaan dan kelembagaan intelijen negara. Landasan dan batasan hukum tersebut diperlukan untuk mencapai terwujudnya intelijen negara yang profesional, akuntabel, dan tidak berpotensi melakukan atau menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM. Pengaturan intelijen yang ideal diperlukan mengingat karakter dasar kerja intelijen yang secara umum tertutup dan lentur, dengan mengandalkan pada kecepatan dan kerahasiaan. Karakter dasar tersebut memiliki potensi yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM. Apalagi banyak catatan menunjukkan hal itu terjadi, baik di Indonesia (misalnya kasus pembunuhan Munir) maupun di negara-negara lain. Guna mewujudkan intelijen yang profesional dan meminimalisasi potensi penyalahgunaan kekuasaan, dapat dilakukan dengan menentukan bahwa fungsi intelijen negara dilakukan oleh beberapa lembaga intelijen negara secara terdiferensiasi namun terkoordinasikan dengan baik. Setiap penyelenggara intelijen harus ditentukan memiliki fungsi yang khusus dan spesifik (lex stricta dan lex scripta) sehingga di satu sisi tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan, dan di sisi lain menutup kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan intelijen yang melampaui kewenangan. Melalui sistem diferensiasi fungsi intelijen dapat terwujud mekanisme checks and balances di internal komunitas intelijen. Untuk menunjang hal ini, diperlukan mekanisme koordinasi oleh suatu institusi terdiri atas jabatan majemuk sehingga tidak ada sub-ordinasi atau pemanfaatan intelijen tertentu oleh penyelenggara intelijen yang lain.
42
Intelijen negara juga harus dibedakan dengan fungsi penegakan hukum. Fungsi intelijen harus dibatasi pada fungsi yang berkaitan dengan informasi, bukan penanganan hukum atas suatu perkara. Oleh karena itu intelijen negara tidak dapat melakukan tindakan-tindakan hukum serta tidak pula dapat melakukan tindakan yang melanggar hukum. Pada bab ini akan diketengahkan kajian kritis terhadap draf RUU Intelijen Negara versi 2010 yang menganalisis dan mereview RUU Intelijen Negara yang diagendakan pembahasannya di tahun 2010 ini. Kajian kritis ini tentunya mengacu kepada ideal pengaturan intelijen negara. Review dibagi menjadi dua bagian, yaitu review secara umum terhadap paradigma atau kecenderungan keseluruhan RUU Intelijen negara, dan review terhadap pasal-pasal dalam RUU Intelijen Negara. 1. Kritik Paradigma Lemahnya landasan filosofis, terkait dengan: a.
b.
c. d. e. f.
Kurang lengkap karena tidak ada prinsip landasan-landasan filosofis pembentukan negara di dalam konstitusi, seperti halnya prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum, Penggunaan terminologi “Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” sangat multitafsir. Membahayakan warga negara dan seharusnya tidak perlu diatur, Perlindungan terhadap warga negara tidak terlihat sebagai dasar paradigma dari RUU ini, justru yang ada hanya perlindungan terhadap keadulatan negara, Demokrasi, hukum dan HAM hanya menjadi komplemen dalam RUU Intelijen. Namun tidak menjadi pondasi yang mendasar, Penggunaan terminologi “Mendukung tegaknya hukum” ada kecenderungan untuk memasukkan lembaga ini menjadi penegak hukum, Paradigma yang dianut dalam RUU Intelijen Negara adalah paradigma pembatasan dan pelanggaran HAM. Kecenderungan paradigma pembatasan dan pelanggaran HAM terlihat dari dimuatnya Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur tentang pembatasan HAM dalam konsideran mengingat dan tanpa mencantumkan bahkan justru mengesampingkan Pasal 28 I di dalam dasar mengingatnya yang sejatinya Pasal 28 I itu merupakan jiwa dalam konstitusi yang mengatur tentang HAM yang bersifat nonderogable rights yang artinya hak-hak itu tidak dapat dikurangi dalam situasi dan kondisi apa pun. Adapun hak-hak itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian paradigma RUU ini memang lebih bersifat pembatasan terhadap HAM dan pembatasan itu juga meliputi pembatasan terhadap hak-hak yang bersifa non-derogable rights itu. Dalam konteks itu RUU ini jelas-jelas tidak secara penuh menjadikan tata nilai HAM sebagai dasar pijakan paradigmanya. Selain itu, RUU ini juga tidak menegaskan jaminan konstitusional lainnya terkait dengan perlindungan HAM, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28G, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. RUU ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, namun demikian tidak merujuk pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 tentang jaminan atas kepastian hukum. Sejumlah peraturan perundang-undangan terkait, yang seharusnya menjadi landasan pembentukan RUU ini juga tidak dicantumkan dalam konsideran, seperti halnya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan 43
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Kovenan Menentang Penyiksaan dan Penghukuman Kejam. 2. Ketentuan Umum Penjabaran dan penjelasan di dalam ketentuan umum RUU ini belum secara lengkap dan mendetail menjelaskan definisi-definisi yang seharusnya dijelaskan di dalam RUU ini. Seperti tidak dijelaskannya definisi mengenai ’keamanan nasional, ’ancaman keamanan nasional’, dan ’kebebasan sipil’, dan beberapa poin penting lainnya. Dalam rumusan RUU ini, seharusnya definisi mengenai keamanan nasional sepenuhnya merujuk pada definisi di dalam UU Keamanan Nasional. Dengan demikian seharusnya pemerintah dan DPR terlebih dahulu membentuk UU Keamanan Nasional, sebelum pembentukan UU Intelijen. Sejumlah definisi lainnya yang ada di dalam RUU, misalnya terkait dengan definisi pihak lawan, juga sifatnya sangat multitafsir, sehingga dikhawatirkan menjadi pasal karet, yang justru memberikan ancaman nyata bagi kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, definisi mengenai pihak lawan seharusnya dihapus dari RUU ini. Selain itu, Usulan pemerintah terkait penambahan penyelidikan dan penggalangan seharusnya juga dihapus, diganti dengan penggunaan istilah operasi tertutup (covert action). Penggunaan istilah penyelidikan akan merancaukan tugas dan kewenangan intelijen dengan lembaga penegak hukum. Yang dimaksud dengan ‘Operasi Tertutup’ itu sendiri, adalah operasi yang dilakukan di luar negeri dan tidak terhadap warga negara Republik Indonesia. Pengertian ini dicantumkan di dalam bagian penjelasan UU Intelijen. Sementara ‘Sasaran’ adalah target atau kondisi yang ingin dicapai melalui operasi tertutup dan/atau kontra intelijen. Ketentuan umum seharusnya mengakomodasi beberapa definisi berikut ini: a. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) adalah lembaga yang dibentuk dan bertanggung-jawab kepada Presiden yang berfungsi untuk melakukan koordinasi antar dinas intelijen yang menjadi bagian dari komunitas intelijen negara, membuat perumusan kebijakan nasional dan kode etik, memberi laporan kepada Presiden dan tidak memiliki kewenangan khusus. b. Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen Negara adalah pimpinan LKIN yang merupakan pejabat setingkat menteri yang diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan berkedudukan sebagai penasihat utama Presiden di bidang intelijen negara. c. Kode etik intelijen adalah seperangkat norma yang mengikat anggota intelijen yang meliputi: kesetiaan kepada negara dan konstitusi, setia dan tunduk di bawah hukum yang berlaku, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM, setia pada janji menjaga kerahasiaan profesi, netralitas politik, memiliki integritas, obyektivitas dan ketidakberpihakan dalam mengevaluasi informasi, dan saling menjaga kepercayaan antara pembuat kebijakan dengan pejabat intelijen. d. Pengawasan berlapis terhadap intelijen negara adalah mekanisme pengawasan konsentrik yang menempatkan pengawasan internal intelijen negara di titik pusat lingkaran pengawasan yang kemudian secara konsentrik diperkuat oleh pengawasan eksekutif, DPR, yudisial dan masyarakat sipil dengan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas politik, hukum dan keuangan intelijen negara. 44
e. Dinas-dinas intelijen negara adalah seluruh organisasi intelijen negara yang menjadi bagian dari empat tipe organisasi intelijen, yaitu intelijen nasional, intelijen strategis, intelijen militer dan intelijen instansional. f. Komunitas intelijen nasional adalah kumpulan dari seluruh dinas intelijen negara yang bekerja dalam suatu sistem jaringan kerja dan struktur koordinasi melingkar yang menempatkan LKIN di titik pusat lingkaran dan berfungsi sebagai koordinator kerja sama lintas dinas intelijen yang terkait dengan masalah keamanan nasional. g. Badan Intelijen Negara (BIN) adalah satu-satunya organisasi intelijen yang bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri. h. Badan Intelijen Strategis adalah satu-satunya organisasi intelijen yang bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi intelijen pertahanan dan luar negeri untuk mengantisipasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal. i. Intelijen Militer adalah satuan-satuan intelijen yang menjalankan fungsi intelijen tempur dan melekat pada organisasi Tentara Nasional Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan operasi militer. j. Intelijen instansional adalah intelijen yang melekat pada instansi-instansi pemerintah yang menjalankan fungsi intelijen kriminal dan yustisia. k. Lembaga-lembaga penunjang intelijen adalah lembaga-lembaga pemerintah yang fungsinya terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional yang dapat digunakan untuk membantu pencapaian fungsi intelijen. l. Anggota intelijen adalah warga negara Indonesia yang direkrut menjadi aparat negara dalam dinas keintelijenan. m. Kerja sama intelijen internasional adalah kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain dan atau organisasi internasional dalam bidang intelijen. n. Sub-komisi khusus intelijen adalah sub-komisi khusus DPR yang mengawasi dinas intelijen, yang anggota-anggotanya berasal dari komisi-komisi yang relevan dengan masalah keamanan nasional. o. Komisi-komisi independen adalah lembaga sampiran negara yang antara lain meliputi Ombudsman, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. p. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindakan operasi intelijen yang melanggar peraturan perundang-undangan atau objek salah sasaran.
3. Definisi Definisi intelijen di dalam RUU ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat pemerintah (penguasa), bukan alat negara. Hal ini tentu akan membuka ruang bagi penguasa untuk melakukan politisasi intelijen sebagi alat kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara dan rakyat pada umumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai definisi intelijen, dapat dilihat di DIM usulan Koalisi Pasal 3 dan Pasal 4.
4. Asas-Asas Di dalam RUU ini asas-asas belum lengkap dan belum jelas, seharusnya di dalamnya juga mencantumkan asas taat kepada hukum, menghormati HAM, tidak berpolitik, tidak berbisnis, tidak menjadi anggota organisasi apapun di luar intelijen, tidak bekerja atas dasar 45
sentimen ras, agama, ideologi, atau kelompok, tidak melakukan tindakan represif. Lebih lanjut lihat DIM Nomor 24 usulan Koalisi.
5. Organisasi, Struktur dan Kedudukan Dari sisi organisasi, RUU Intelijen Negara tidak menganut diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. RUU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas. Pemerintah dan DPR, yang membagi intelijen negara menjadi intelijen TNI, intelijen Polri, dan intelijen kejaksaan, dan intelijen departemen, justru akan berakibat pada ketidakjelasan otoritas, antara intelijen strategis dan intelijen penegakan hukum. Oleh karenanya Koalisi mengusulkan, membagi intelijen menjadi empat, yakni: Badan Intelijen Strategis, Badan Intelijen Negara, Intelijen Militer, dan Intelijen Instasional. RUU Intelijen negara juga belum dapat memisahkan akuntabilitas antara struktur yang bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dengan struktur yang bertanggungjawab secara operasional yang melaksanakan kebijakan. Sudah semestinya kedepan seluruh aktor-aktor keamanan yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, tidak terkecuali lembaga-lembaga, intelijen berada dibawah atau menjadi bagian dari struktur negara setingkat kementerian.
6. Peran, Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Bab ini seharusnya diganti dengan kegiatan, tujuan, fungsi, dan produk intelijen. Lebih lanjut mengenai kegiatan, tujuan dan fungsi intelijen, dapat dilihat dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 11 dalam DIM Usulan Koalisi.
7. Kewenangan Khusus a. Penyadapan Membaca RUU Intelijen yang tengah dibahas di DPR, memperlihatkan betapa kurang memperhatikannya mereka, para pembentuk undang-undang—pemerintah dan DPR, terhadap dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kesimpulan ini salah satunya dapat dilihat dari usulan mengenai kewenangan penyadapan—intersepsi komunikasi bagi lembaga intelijen negara, yang muncul di dalam rancangan undang-undang. Di dalam RUU tersebut, pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan, “... lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi”. Selanjutnya di ayat (2) disebutkan, “Intersepsi komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi Intelijen”. Pengaturan mengenai intersepsi komunikasi di dalam RUU Intelijen, makin terlihat merisaukan bilamana membaca penjelasan dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) RUU, yang menyebutkan: “Dalam Undang-Undang ini wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Yang dimaksud dengan melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan telepon dan faksimile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket”. 46
Mencermati pengaturan di atas, meski secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan kewenangannya, lembaga intelijen negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi—penyadapan, namun aturan yang muncul di dalam RUU, justru memiliki potensi pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktik internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut:97 (1) tindakan intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan melakukan intersepsi, (3) kategorisasi objek— individu yang dapat dilakukan intersepsi,98 (4) ambang kecurigaan—bukti permulaan, yang diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi—perizinan, dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan. Pengaturan ketat harus diberlakukan bagi aktivitas intersepsi komunikasi, sebab aktivitas ini merupakan salah satu tindakan yang membatasi hak asasi manusia seseorang, khususnya terkait dengan hak privasi seseorang. Hal itu sebagaimana tertera di dalam pelbagai instrumen internasional hak asasi manusia, yang diantaranya menegaskan bahwa menjadi hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap orang untuk tidak dikenakan tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Bahkan Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa: “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.” Penegasan tersebut selanjutnya diperkuat kembali melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dimana pada Pasal 17 Kovenan disebutkan, “Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumahtangganya atau surat-menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah”. Ketentuan ini menekankan pada pembatasan kewenangan negara untuk melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu individu. Dalam pasal tersebut dikatakan: (1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy,
family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation. (2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. Kemudian dalam Komentar Umum No. 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada persidangan ke-23, tahun 1988, yang memberikan 97
98
Martin Scheinin, Compilation of Good Practices on Legal and Institutional Frameworks and Measures that Ensure Respect for Human Rights by Intelligence Agencies while Countering Terrorism, including on their Oversight, (UN Human Rights Council, 2010), hlm 19. Sejumlah negara memberikan jaminan khusus terhadap individu-individu pertentu, khususnya mereka para jurnalis dan advokat, dari tindakan pengumpulan informasi intelijen—khususnya terkait dengan kerja-kerja intersepsi komunikasi. Lihat German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a 47
komentar terhadap materi Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada poin 8 dinyatakan, “…bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang”. Sejalan dengan sejumlah instrumen internasional di atas, UUD 1945 juga memberikan penegasan serupa, ketentuan Pasal 28 G UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam ranah hukum nasional, ketentuan senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Selain ketentuan–ketentuan hak asasi manusia nasional tersebut, sesungguhnya terdapat ketentuan lain yang dapat menjadi rujukan dalam hal perlindungan pribadi khususnya komunikasi pribadi yaitu dalam Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Kemudian di dalam penjelasan Pasal 40 UU tersebut juga telah ditegaskan: “yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Dari beragam ketentuan–ketentuan hukum internasional dan nasional di atas, maka dapat ditarik beberapa kesamaan, yakni mengenai larangan bagi negara untuk secara sewenang– wenang melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi dan juga hubungan komunikasi warganya. Dan hal yang paling penting adalah adanya katup pengaman (safeguards clause) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari suatu undang–undang untuk melawan intervensi sewenang–wenang tersebut dan berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran privasi yang dilakukan secara melawan hukum. Kendati demikian, mengacu pada pada Komentar Umum No. 16 ICCPR, meski hak privasi adalah bagian dari fundamental rights, namun demi kepentingan publik yang lebih luas, pelaksanaan dari hak tersebut dapat dibatasi oleh negara, melalui peraturan perundangundangan. Dinyatakan pada point 7 komentar umum, “Karena semua orang hidup dalam masyarakat, perlindungan terhadap pribadi (privacy) pada dasarnya bersifat relatif. Namun, pihak berwenang publik yang kompeten hanya dapat meminta informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi individual sejauh diperlukan untuk kepentingan masyarakat sebagaimana dipahami berdasarkan Kovenan”. Kemudian dalam poin 8 dinyatakan, “Bahkan dalam hal campur tangan yang sesuai dengan Kovenan, peraturan yang relevan 48
harus memuat secara detil dan tepat kondisi-kondisi di mana campur tangan tersebut dapat diijinkan. Suatu keputusan untuk melaksanakan kewenangan campur tangan semacam itu hanya dapat dibuat oleh pihak berwenang yang ditugaskan oleh hukum, dan berdasarkan kasus-per-kasus. Artinya, hak privasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), dengan sejumlah pra-syarat tertentu, yang diatur menggunakan undang-undang. Dalam konteks Indonesia, penegasan serupa juga diberikan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan nasional, seperti halnya ketentuan Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Ketentuan ini makin diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusannya. Sedikitnya terdapat tiga putusan MK yang secara khusus memberikan penegasan mengenai jaminan hak privasi serta relasinya dengan keperluan intersepesi komunikasi oleh aparat negara, dalam kerangka penegakan hukum. Pertama, dapat kita lihat dalam pertimbangan hukum putusan MK pada Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dan sejumlah perorangan Warga Negara Indonesia. Dalam putusan tersebut MK menyatakan, bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah konstitusional. MK menjelaskan hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut MK menyatakan, “untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud”.99 Kedua, adalah pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUUIV/2006, lagi-lagi pada pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diajukan oleh Drs. Mulyana Wirakusumah, dan sejumlah perorangan Warga Negara Indonesia. Dalam putusan tersebut MK menyatakan: ”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat
99
Lihat Putusan MK No. 006/PUU-I/2003. 49
(2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”.100 Ketiga, MK kembali menegaskan putusannya dalam perkara No. 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, yang diajukan oleh Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar. Dalam pertimbangan putusan (ratio decidendy) tersebut, MK menyatakan bahwa penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan intersepsi merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya harus dilakukan dengan undang-undang. Menurut MK, pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu sendiri.101 Dengan merujuk keterangan ahli yang disampaikan oleh Ifdhal Kasim, MK mengatakan bahwa penyadapan hanya dibolehkan bilamana memenuhi beberapa pra-syarat: (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh undang-undang untuk memberikan izin penyadapan (biasanya Ketua Pengadilan), (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.102 Lebih jauh MK menekankan tentang perlunya sebuah undang-undang khusus yang mengatur penyadapan secara umum, serta tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Menurut MK, undang-undang ini dibutuhkan, karena hingga saat ini di Indonesia belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan. Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbedabeda. Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII WvS tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain sembilan undang-undang tersebut, juga terdapat setidaknya dua Peraturan Pemerintah dan dua Peraturan Menteri, yang materi muatannya mengatur tentang penyadapan, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (ii) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, (iii) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, (iv) Peraturan Menteri No. 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan 100 101 102
Lihat Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Lihat Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010. Selengkapnya lihat Ifdhal Kasim Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga Steve Tsang (ed.), Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism, (London: Praeger Security International, 2007). 50
dan Keamanan Negara, yang mengatur mengenai ketentuan teknis dari penyadapan, tata cara penyadapan yang bertujuan untuk kepentingan negara tanpa mengabaikan etika dan kerahasiaan informasi. Menurut MK, akibat ketiadaan aturan tunggal tentang hukum acara dan/atau tata cara penyadapan telah menyebabkan terancamnya hak atas privasi warga negara dalam negara-negara hukum modern. Mengenai undang-undang yang mengatur tentang tata cara penyadapan, seperti pada instrumen dan praktik di negara lain, dengan mengutip pendapat ahli yang disampaikan Fajrul Falaakh, MK menyatakan bahwa undang-undang mengenai penyadapan harus mengatur: (i) Wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) Tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) Kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) Adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, (v) Tata cara penyadapan, (vii) Pengawasan terhadap penyadapan, (viii) Penggunaan hasil penyadapan.103 Dalam praktik intelijen, terkait dengan pelaksanaan kewenangan intersepsi komunikasi, selain harus patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur di dalam undang-undang mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan, karena tindakannya yang melanggar hak asasi manusia, makan dalam tindakkannya harus diawasi oleh setidaknya satu institusi eksternal dan independen dari intervensi badan intelijen. Lembaga ini memiliki kekuasaan untuk revisi perintah/order, penangguhan atau penghentian tindakan intersepsi, serta pengumpulan data intelijen lainnya. Untuk memastikan tindakan yang dilakukan badan intelijen, tidak menabrak prinsip dan jaminan HAM, terhadapnya harus dikenakan proses otorisasi bertingkat. Memerhatikan materi muatan RUU Intelijen, khususnya terkait dengan pemberian kewenangan khusus intersepsi komunikasi bagi lembaga intelijen (Pasal 31), serta tiadanya otorisasi bagi lembaga intelijen, dalam melaksanakan aktivitas intersepsi komunikasi (Penjelasan Pasal 31 (1)), tentu materi tersebut mengingkari keharusan bagi perlindungan hak atas privasi seseorang. Tanpa adanya otorisasi dari hakim/pengadilan dalam melakukan aktivitas intersepsi komunikasi, meski diatur di dalam undang-undang, akan tetapi tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan unlawful interception, sebab berseberangan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Pengalaman di beberapa negara seperti Belanda, Amerika Serikat, dan Canada, pengaturan mengenai penyadapan diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Bila melihat Canadian Security and Intelligence Service Act, seluruh ketentuan mengenai intersepsi, termasuk pengertian, tata cara penyadapan, serta otoritasinya haruslah tunduk dan mengacu pada Canadian Criminal Code.104 Sementara di Indonesia pengaturan mengenai penyadapan diatur secara menyebar di dalam sejumlah peraturan perundangundangan, untuk itu guna menindaklanjuti amar dari putusan MK, terkait dengan pengujian UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebaiknya pengaturan mengenai penyadapan diatur di dalam satu undang-undang khusus. Adanya undang-undang khusus mengenai penyadapan setidaknya menjadikan adanya satu kesatuan hukum penyadapan, sehingga bisa meminimalisir tindakan intersepsi illegal, yang berpotensi mengancam perlindungan hak asasi manusia warga negara.
103
104
Selengkapnya lihat M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat ELSAM, Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft RUU TNI, Draft RUU Intelijen, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Briefing Paper #1, Maret 2003. 51
Oleh karena itu, sejalan dengan praktik-praktik internasional dan hukum HAM internasional, pengaturan mengenai pemberian kewenangan khusus intersepsi komunikasi—penyadapan bagi lembaga intelijen, di dalam RUU Intelijen, cukuplah disebutkan: a. Perihal pemberian kewenangan untuk melakukan intersepsi (penyadapan) kepada lembaga intelijen b.Adanya penegasan bahwa penyadapan oleh intelijen harus melalui otorisasi ketua pengadilan terkecuali intelejen yang berfungsi mendeteksi ancaman luar negeri (BIS). c. Penyadapan yang dilakukan oleh intelejien dalam negeri (BIN) hanya untuk ancaman keamanan nasional yang bersifat kejahatan transnasional. d. Adanya penegasan masa waktu penyadapan e. Mengenai tata cara, pengawasan, dan penggunaan hasil penyadapan, serta mekanisme komplain bagi korbannya, haruslah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lain (undang-undang mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan).105
b. Penangkapan (DIM Pemerintah) dan pengamanan serta penyelidikan dalam RUU Intelijen Secara prinsip, lembaga intelijen tidak diizinkan untuk menggunakan kekuatan penangkapan dan penahanan, jika mereka tidak memiliki mandat untuk melakukan fungsi penegakan hukum (kepolisian). Lembaga intelijen tidak perlu diberikan kewenangan penangkapan dan penahanan, jikalau kewenangan serupa telah dimiliki oleh institusi lain yang melakukan fungsi yang sama, dalam konteks penegakan hukum, sebagaimana dimandatkan oleh undangundang.106 Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen di dalam undangundang akan merusak mekanisme criminal justice system. Sikap pemerintah yang tetap bersikukuh memberikan pemeriksaan intensif alias penangkapan di dalam Undang-Undang Intelijen kepada lembaga intelijen bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakan hukum itu sendiri. Sebagai lembaga yang bekerja secara rahasia dan tertutup, pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam Undang-Undang Intelijen. Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum lainnya. Dalam konteks itu, badan intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap. Lebih dari itu, pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen adalah langkah mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa Orde Baru, dimana lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM. 105
106
Lihat, ELSAM, Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian Atas Draft RUU Intelijen, Briefing Paper #2, April 2011. Martin Scheinin, Op.Cit., hlm 24. 52
Pemberian kewenangan menangkap (pemeriksaan intensif) itu tak lepas dari kepentingan politik militer ataupun badan intelijen negara untuk kembali menempatkan posisinya seperti pada masa order baru dimana mereka memiliki peran untuk melakukan upaya paksa dalam kerangka penegakan hukum yang sejak masa Reformasi telah hilang akibat dari pemisahan peran dan struktur antara TNI dan Polri. Selain itu, terdapatnya Pasal dalam RUU Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan tanpa adanya penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang istilah itu jelas-jelas bersifat karet dan multitasfir. Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen bahwa kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh pemerintah untuk dimasukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum. Karenanya istilah pengamanan dan penyelidikan dalam RUU ini seharusnya dihapus.
8. Personel dan Rekruitmen Istilah ”personel” dalam RUU Intelijen sebaiknya diganti dengan ”anggota”. Mengenai definisi tentang anggota intelijen dapat dilihat dalam DIM Usulan Koalisi Pasal 27-28. Sedangkan mengenai ketentuan hak anggota intelijen yang tercantum dalam RUU Intelijen masih kurang lengkap karena tidak mengatur secara tegas mengenai hak anggota untuk menolak perintah, jaminan penghidupan layak dan perlindungan identitas. Hak menolak perintah atasan yang melanggar hukum, baik secara tertulis maupun lisan digunakan melalui Subkomisi Intelijen secara tertutup dan dilindungi sebelum perintah dilakukan. Atas laporan tersebut Subkomisi Intelijen harus melakukan penyelidikan. Lebih lanjut dapat melihat pada Pasal 29-36 DIM Usulan Koalisi. Selain itu, RUU Intelijen juga tidak mengatur bagaimana mekanisme rekruitmen secara lebih jelas dan rinci. Menurut usulan dari DPR dan pemerintah, pengaturan rekruitmen lebih menyerahkan pada pengaturan perundang-undangan. Sudah semestinya, pengaturan mengenai mekanisme rekrutmen diatur jelas dalam RUU ini. Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 37-38 DIM Usulan Koalisi.
9. Kode Etik Intelijen Dalam RUU Intelijen, pembentukan kode etik intelijen diserahkan kepada Dewan Kehormatan dan pengawasan dilakukan oleh Dewan Kehormatan. Sementara pemerintah mengusulkan kode etik dibentuk oleh masing-masing lembaga intelijen dan bila ada pelanggaran maka akan dibentuk Dewan Kehormatan yang bersifat adhoc. Semestinya kode intelijen dibentuk oleh Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga yang mengkoordinasikan seluruh lembaga intelijen. Isi kode etik merujuk pada hak dan kewajiban anggota serta asas profesionalitas penyelenggaraan intelijen 53
(pasal 2 DIM Usulan Koalisi). Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kepala LKIN dan untuk penegakan kode etik dilakukan oleh Dewan Kode Etik yang dibentuk oleh Kepala LKIN. Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 39 DIM Usulan Koalisi.
10. Kerahasiaan Informasi Intelijen Pengaturan kerahasiaan informasi intelijen di dalam RUU Intelijen masih membuka ruang tafsir yang luas dari penguasa untuk menentukan informasi-informasi yang bersifat rahasia. Pengaturan rahasia intelijen dalam RUU itu belum rigid dan belum secara spesifik mengatur tentang kategori rahasia informasi intelijen. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan serius terhadap hak publik untuk memperoleh informasi sebagaimana diatur dalam undang-undang kebebasan informasi publik dan dapat pula mengancam kebebasan pers. Pasal 24 UU Intelijen menyebutkan bahwa : (1) Informasi Intelijen bersifat rahasia. (2) Informasi Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Sistem intelijen negara; b. Akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatannya; c. Data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; d. Rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; e. Dokumen tentang Intelijen berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional; dan f. Personel Intelijen negara berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional. Lebih dari itu, dengan kategori informasi intelijen yang multitafsir dalam RUU Intelijen yang diikuti dengan adanya sanksi pidana bagi warganegara yang lalai membocorkan rahasia negara tentu akan mengancam kebebasan informasi, pers dan kehidupan demokrasi itu sendiri. Pasal 39 RUU Intelijen menyebutkan bahwa: Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi Intelijen yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Di sisi lain, klasifikasi rahasia informasi intelijen dalam RUU Intelijen berbeda dengan klasifikasi rahasia informasi intelijen yang diatur dalam UU KIP di mana rahasia informasi intelijen di dalam Pasal 17 UU KIP meliputi: Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu: 1. Informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; 2. Dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi; 3.. Sistem persandian negara; dan/atau 4. Sistem intelijen negara. 54
Apabila pengaturan tentang kerahasiaan yang terkait dengan intelijen akan diatur dalam ruang lingkup tersendiri dalam undang-undang intelijen, maka secara spesifik pengaturan informasi tentang intelijen yang bersifat rahasia itu dapat berbentuk Pasal berikut ini: Informasi yang merupakan rahasia negara di bidang Intelijen meliputi: a. Sistem intelijen strategis; b. Sistem komunikasi strategis; c. Kriptologi; d. Perintah operasi rahasia; e. Strategi dan taktik intelijen (metode); f. Personil kecuali kepala intelijen dan beberapa jabatan strategis lain di dalam struktur intelijen; g. Aktivitas intelijen (termasuk aktivitas spesial); h. Sumber intelijen; Terkait masa retensi, maka perlu ditolak gagasan dalam undang-undang intelijen yang ingin mencantumkan bahwa rahasia informasi intelijen terdapat rahasia yang bersifat permanen dan tidak bisa dibuka kepada publik. Penting untuk diingat bahwa rahasia negara adalah informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan sendirinya rahasia negara merupakan perkecualian dan pembatasan dari hak atas informasi yang telah diakui sebagai HAM. Karena sifatnya sebagai perkecualian dan pembatasan, maka rahasia negara harus dirumuskan secara limitatif sehingga tidak menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara dan merugikan proses demokratisasi. Penentuan ruang lingkup rahasia dibatasi semaksimal mungkin dengan benar-benar mempertimbangkan argumentasi filosofis, normatif, dan sosiologis, baik dalam lingkup nasional maupun perkembangan internasional. Ruang lingkup rahasia negara dibatasi pada informasi tertentu dari aktivitas intelijen strategis dan pertahanan keamanan dengan mempertimbangkan instrumen hukum internasional dan diarahkan untuk menanggulangi masalah keamanan nasional dari ancaman kejahatan terorganisasi. Keterbatasan atau keterbukaan informasi yang terkait dengan intelijen terkait erat dengan konsep keamanan nasional itu sendiri. Permasalahan yang mendasar pada perihal tersebut adalah seberapa jauh batasan-batasan antara keterbukaan informasi dan perlindungan informasi. Di beberapa negara, batasan-batasan secara umum ditetapkan oleh undang-undang. Sementara itu, untuk akuntabilitas dan transparansi diserahkan kepada parlemen terkait dan ‘melakukan perjanjian’ untuk tidak membuka kepada publik sampai masa retensi kerahasiaan informasi tersebut berakhir. Seiring dengan perkembangan dunia, maka batasan-batasan tersebut juga turut bergeser. Pada poin ini, persepsi pemegang otoritas menjadi faktor yang sangat penting untuk menyesuaikan kerahasiaan informasi dengan ancaman dunia yang terus berkembang. Sementara di sisi lain, persepsi segelintir otoritas ini juga dapat memiliki kekurangan apabila tidak mendapatkan gambaran komprehensif mengenai ancaman ke depan, terlebih apabila ditunggangi oleh kepentingan politik kelompok ataupun individu. Dengan demikian, konsep keamanan nasional, objek (informasi), otoritas yang terkait dan batasan-batasan yang menjadi acuan bagi otoritas dibutuhkan sedetail mungkin, termasuk 55
penyampaian protes, proses di dalam sidang, batasan kerahasiaan sidang, dll. Dengan demikian, mekanisme pertanggungjawaban lembaga-lembaga intelijen, parlemen dan eksekutif akan lebih jelas dalam mencapai keamanan nasional di dalam sebuah negara yang demokratis yang menjunjung tinggi keterbukaan sebagai HAM maupun warga negara, karena pada dasarnya segala informasi harus dibuka kepada publik. Kerahasiaan negara adalah instrumen yang digunakan untuk menunda ‘dibuka’ kepada publik. Terkait dengan itu, maka tidak ada rahasia informasi intelijen yang bersifat permanen mengingat rahasia negara merupakan informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Tidak hanya itu, informasi intelijen baik itu yang bersifat rahasia maupun sangat rahasia dengan sendirinya dapat dibuka demi semata-mata untuk kepentingan penegakan hukum, khususnya demi kepentingan membantu upaya penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh institusi penegak hukum apabila terdapat kasus hukum yang upaya penyelidikannya hanya dapat terbantu apabila terdapat informasi dari informasi intelijen yang bersifat rahasia dan sangat rahasia yang dikelola lembaga intelijen atau kasus yang terkait dengan lembaga intelijen itu sendiri, sehingga dibutuhkan informasi dari lembaga intelijen untuk mengungkap kasus tersebut. Selain itu, lebih baik pengaturan rahasia informasi intelijen dalam undang-undang intelijen juga perlu ditegaskan mengenai mekanisme keberatan publik, yakni dicantumkan satu pasal tambahan yang berisi mekanisme keberatan publik atas informasi intelijen yang dirahasiakan oleh negara merujuk kepada mekanisme keberatan yang telah diatur dalam undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik. Mengenai kategori kerahasiaan informasi intelijen dapat dilihat pada Pasal 40 DIM Usulan Koalisi.
11. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kewenangan sangat luas. Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana, dan lain-lain. Pelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembagalembaga intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional. Sementara pemerintah mengusulkan agar BIN memiliki kewenangan operasi dan koordinasi. Penggabungan dua kewenangan ini dalam satu institusi adalah kekeliruan. Seharusnya, BIN hanya memiliki kewenangan operasional, karena institusi ini menjalankan fungsi intelijen dalam negeri, sehingga tidak perlu memiliki kewenangan mengkoordinasikan semua lembaga intelijen yang ada (Pasal 13-17 DIM Usulan Koalisi) . Khusus untuk masalah LKIN, Koalisi mengusulkan lembaga ini adalah satu-satunya lembaga yang mengkoordinasi seluruh institusi intelijen, memiliki beberapa peran lainnya dan tidak memiliki kewenangan operasional apalagi kewenangan khusus seperti penyadapan. Lebih lanjut mengenai ketentuan LKIN dapat dilihat pada Pasal 41-43 DIM Usulan Koalisi.
56
12. Pembiayaan, Pengawasan dan Pertanggungjawaban a. Pembiayaan Dalam RUU Intelijen, pembiayaan intelijen ditanggung oleh APBN. Namun pengaturan masalah pembiayaan penyelenggaraan intelijen kurang mendapat elaborasi lebih lanjut. Koalisi mengusulkan agar RUU Intelijen juga memuat penegasan larangan penggunaan sumber pendanaan selain APBN dan mencakup prinsip transparansi serta akuntabilitas publik. Lebih lanjut pembiayaan intelijen menurut Koalisi, lihat Pasal 44-45 DIM Usulan Koalisi. b. Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen Negara hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen oleh DPR, yang dilaksanakan perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen. Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum. Di titik ini, pengawasan yang dilaksanakan parlemen, sebaiknya dilakukan oleh komisi intelijen tersendiri di dalam parlemen, yakni dengan membentuk komisi baru yang khusus mengawasi intelijen. Koalisi mengusulkan pengawasan berlapis melalui suatu mekanisme pengawasan konsentrik, yang dilakukan oleh internal lembaga atau dinas intelijen, Presiden, Menteri dan Kepala LKIN, DPR, yudisial serta masyarakat sipil. Lebih detail mengenai pengawasan dan pertanggungjawaban lihat Pasal 46-47 dan Pasal 49-50 DIM usulan Koalisi. Demikian juga pengawasan terhadap LKIN dilakukan oleh Presiden dan parlemen. Untuk pengawasan LKIN dapat dilihat dalam Pasal 48 DIM usulan Koalisi. Dalam pengawasan yudisial dapat dilihat dalam Pasal 50 DIM usulan Koalisi. 13. Hak-Hak Korban Apabila terjadi praktik penyimpangan kewenangan –khususnya jika terjadi bentuk pelanggaran HAM- maka korban dapat mengajukan mekanisme keluhan untuk mendapatkan pemulihan efektif (effective remedy) kepada badan-badan negara independen terkait, seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Koalisi memandang Kedua badan ini dinilai memenuhi prinsip-prinsip independensi (independency), ketahanan integritas (robustness) dan keadilan (fairness). Pemenuhan hak-hak korban harus sejalan dengan produk kebijakan dan regulasi perundangundangan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pada Pasal 5 hingga Pasal 10 –yang secara eksplisit mengatur pemberian hak-hak reparasi (rehabilitasi, restitusi, kompensasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan) kepada korban yang terkait. Reparasi dapat diberikan baik dalam bentuk material (pemenuhan kebutuhan finansial, medis, pemulihan psiko-sosial) maupun bentuk immaterial (pengakuan dan permintaan maaf serta pemulihan status sosial politik dan lain sebagainya). Koalisi mendorong mekanisme keluhan harus ditindaklanjuti dalam ruang mekanisme koreksi, jika terbukti adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan anggota intelijen. Mekanisme koreksi ini dihadirkan melalui upaya hukum. Lebih lanjut, jika dalam praktik penyalahgunaan kewenangan terselip adanya unsur pidana (penyiksaan, perampasan hak atas hidup dan lain sebagainya), maka wajib hukumnya untuk membawa anggota 57
intelijen ke meja pengadilan. Lebih lanjut lihat Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 51 DIM usulan Koalisi. 14. Ketentuan Pidana Bagi publik non-intelijen mengikuti KUHP, UU KIP dan UU Rahasia Negara. Sementara ketentuan pidana di dalam UU Intelijen Negara seharusnya dikhususkan bagi anggota intelijen. Lihat DIM usulan Koalisi Pasal 52-54.
58
BAB VII PRINSIP UMUM PENGATURAN INTELIJEN
Dari lintasan sejarah keberadaan institusi intelijen di Indonesia, belum terdapat satupun pengaturan yang memberikan rambu-rambu jelas, baik dari sisi bangunan organisasi, mekanisme kerja, koordinasi, pertanggungjawaban, maupun pengawasan. Intelijen menjadi dunia gelap yang tidak tersentuh oleh aturan hukum. Kalaupun terdapat aturan yang mendasari keberadaannya, hanyalah berupa keputusan penguasa pada tingkat Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau bahkan hanya tingkat keputusan instansi di mana intelijen itu bernaung. Hal ini sangat tidak sesuai dengan mandat yang diberikan kepada institusi intelijen sebagai pengumpul dan penganalisis informasi keamanan nasional yang tidak saja menentukan kebijakan nasional keamanan nasional, juga menentukan pemenuhan hak hidup, serta HAM yang lain. Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen, dengan peran besar, sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah asas legalitas atau pemerintahan dijalankan berdasarkan aturan hukum. Oleh karena itu setiap tindakan negara dan setiap lembaga yang menjalankan tindakan tersebut harus memiliki dasar hukum. Pengaturan sebagai dasar hukum tidak hanya berfungsi memberikan legitimasi atas keberadaan lembaga dan tindakan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliki, melainkan memberikan jaminan bahwa kelembagaan dan wewenang yang diberikan akan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Pengaturan juga berfungsi sebagai batasan agar lembaga dan wewenang yang dimiliki tidak mudah disalahgunakan selain dari untuk tujuan yang ditetapkan. Sebagai negara hukum, prinsip penting lain adalah perlindungan HAM. Oleh karena itu tujuan sesungguhnya dari keberadaan intelijen negara adalah agar negara dapat membuat keputusan keamanan nasional yang cepat dan tepat, sehingga eksistensi dan kemampuannya dalam menjalankan pemerintahan untuk memenuhi HAM tidak terganggu, maupun untuk melindungi keamanan warga negara secara langsung. Dengan tujuan tersebut, tentu saja intelijen tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap HAM. Apalagi kebal terhadap pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan. Dari perpektif demokratis, adanya pengaturan intelijen pada level undang-undang mutlak diperlukan. Fungsi yang dijalankan oleh intelijen menentukan pemenuhan HAM, terutama hak atas rasa aman dari segala bentuk ancaman. Keamanan adalah barang publik sehingga adalah hak publik untuk ikut menentukan bagaimana hak atas keamanan harus dipenuhi dan menjaga agar tidak terjadi pelanggaran atas hak tersebut. Partisipasi publik hanya mungkin ada apabila terdapat pengaturan yang pembentukannya bersifat demokratis, baik melalui wakil rakyat maupun aspirasi dan diskursus publik. Oleh karena itu, pengaturan tentang intelijen harus dalam bentuk undang-undang. 59
Namun demikian, argumentasi tentang perlunya pengaturan intelijen dalam undang-undang tidak boleh menjadikan kecerobohan, sehingga undang-undang yang terbentuk menjadi undang-undang yang asal jadi, hanya memberikan legitimasi keberadaan intelijen dengan mengesampingkan prinsip-prinsip penting yang menentukan tercapai/tidaknya fungsi intelijen yang mampu mendukung keamanan nasional dan pemenuhan HAM. Oleh karena itu, pengaturan tentang intelijen harus merupakan pengaturan yang bersifat ideal, memperbaiki kekeliruan dan kelemahan institusi intelijen masa lalu. Adanya pengaturan baru harus mampu menjadi kekuatan pengubah dunia “hitam” intelijen di Indonesia. Dunia intelijen bukan merupakan hak eksklusif dari komunitas intelijen. Untuk mengembangkan intelijen yang profesional dalam masyarakat demokratis dan menghormati HAM berbagai kajian akademis telah dilakukan. Berdasarkan hasil kajian teoritik yang dilakukan oleh Pacivis-UI, terdapat paling tidak 6 (enam) aspek intelijen yang harus dirumuskan di dalam pengaturan intelijen melalui undang-undang, yaitu hakekat, kegiatan, organisasi, anggota, produk, dan pengawasan .107 7.1 Hakekat Intelijen Intelijen pada hakekatnya adalah hal yang berkaitan dengan informasi yang diperlukan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai bahan atau instrumen untuk pengambilan keputusan. Intelijen dapat dilihat sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi, informasi sebagai produk, dan organisasi yang menanganinya. Oleh karena itu aktivitas intelijen yang utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi, mengevaluasi informasi, mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan memperkirakan dinamika keamanan nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah.108 Intelijen adalah bagian dari sistem keamanan nasional yang merupakan unsur pelaksana pemberi input, dan bukan pengambil keputusan kebijakan keamanan nasional. Bahkan untuk dapat memberikan informasi yang obyektif, harus terdapat jarak proporsional antara intelijen dan pengambil keputusan kebijakan nasional agar informasi yang diberikan tidak hanya menuruti keinginan dari pembuat kebijakan tersebut. Agar dapat bekerja secara cepat dan tepat, salah satu karakter intelijen adalah kerahasiaan dalam bekerja. Hal ini merupakan keharusan karena hakikat intelijen sebagai penyuplai informasi keamanan nasional. Kerahasiaan diperlukan agar kebijakan keamanan nasional atau tindakan pencegahan berdasarkan informasi deteksi dini intelijen tetap mutakhir sesuai dengan ancaman yang akan terjadi dan mampu mencegah terjadinya pendadakan ancaman keamanan nasional. Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen memiliki ciri sebagai institusi sipil, netral secara politik, tidak otonom, dibentuk berdasarkan undang-undang, tunduk kepada hukum dan kendali demokratis, memiliki anggaran yang sepenuhnya berasal dari negara, bersifat akuntabel dan waspada. Hanya intelijen yang memiliki ciri-ciri inilah yang akan mampu menjadi intelijen yang profesional. Sedangkan ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakikat dirinya adalah intelijen 107
Andi Widjajanto (ed.), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, (Jakarta: Pacivis-UI, 2006), hlm. 9-64. David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11. 108
60
yang memiliki ciri institusi militeristik, menjadi alat politik rezim, bersifat otonom, ekstra konstitusional, kebal hukum, tidak tunduk pada kendali demokratis, dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara, serta tanpa pengawasan yang efektif.109 7.2 Kegiatan Sesuai dengan hakikat intelijen sebagai hal sesuatu yang terkait dengan informasi, maka kegiatan utama intelijen adalah mulai dari pengumpulan informasi hingga memproduksi informasi. Informasi merupakan produk intelijen yang akan disampaikan kepada pengguna, yaitu Presiden yang memiliki otoritas memutuskan kebijakan dan tindakan keamanan nasional. Dalam perkembangannya, kegiatan intelijen dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pengumpulan informasi (collection), analisis informasi (analysis), operasi rahasia (covert operation), dan kontra-intelijen (counterinteligence). Pengumpulan informasi adalah kegiatan memperoleh informasi dari berbagai sumber dengan berbagai cara. Informasi dapat diperoleh dari sumber yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat umum, maupun melalui caracara tertentu seperti spionase, penyadapan komunikasi, maupun cara lain yang melibatkan instrumen tertentu. Informasi yang dikumpulkan tentu saja bukan informasi yang diperlukan untuk keperluan intelijen itu sendiri, melainkan informasi yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan pemegang kebijakan keamanan nasional. Informasi yang dikumpulkan pada prinsipnya merupakan data mentah dari berbagai sumber. Kegiatan intelijen selanjutnya adalah melakukan analisis agar data dan informasi yang diperoleh menjadi produk informasi yang berguna bagi pembuat kebijakan. Kegiatan analisis dapat meliputi verifikasi dan validasi, klasifikasi, evaluasi, serta menyatukan dan menghubungkan berbagai informasi parsial. Hasil analisis menjadi dasar penilaian terhadap suatu peristiwa, perkiraan, serta penilaian atas maksud, kapasitas, dan tindakan yang akan dilakukan pihak lawan. Analisis informasi dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah berbasis data yang obyektif, secara komprehensif, preskriptif-analitis yang original sehingga mampu menyajikan informasi terkini dan perkiraan skenario yang validitas dan reliabilitasnya teruji. Kegiatan intelijen selanjutnya yang masih terkait dengan informasi adalah kontra intelijen. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengimbangi atau menanggapi kegiatan intelijen atau kekuatan luar yang mengancam keamanan negara berdasarkan informasi yang telah diperoleh. Tujuan utama kontra intelijen adalah untuk melindungi keamanan nasional dari aktivitas intelijen lain dalam berbagai bentuk. Bentuk kontra intelijen yang pada umumnya dilakukan antara lain adalah upaya untuk mencegah kemampuan musuh dalam mengumpulkan informasi misalnya menutup sumber informasi atau memberikan informasi yang keliru, mencegah dinas-dinas intelijen asing melakukan infiltrasi atau melakukan aktivitas spionase, subversi, terorisme, dan sabotase. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kegiatan kontra intelijen hanya dapat dilakukan terhadap kekuatan intelijen asing atau kekuatan asing lainnya, bukan ditujukan terhadap warga negara atau kekuatan nasional lainnya. Kontra intelijen dapat bersifat pasif maupun aktif. Kontra intelijen pasif meliputi aktivitas mengidentifikasi orang dan membatasi akses 109
Ibid., hlm 13-14. 61
mereka terhadap materi informasi yang terklasifikasi. Kontra intelijen aktif adalah tindakan balasan (counter-measure) untuk menetralkan musuh dan aktivitasnya. Kegiatan intelijen yang keempat merupakan kegiatan yang bersifat terbatas dan sedikit berbeda dengan ketiga kegiatan sebelumnya. Kegiatan ini adalah kegiatan operasi rahasia sebagai tindakan aktif yang tidak hanya terkait dengan informasi, tetapi ditujukan untuk mempengaruhi suatu peristiwa secara langsung. Dalam operasi rahasia ini, intelijen menjadi alat kebijakan nasional, khusus dan terbatas pada kebijakan luar negeri, yang ditujukan kepada pemerintahan negara lain, masyarakat tertentu di negara lain, ataupun kepada kelompok tertentu di luar negara sendiri. Operasi rahasia dapat dilakukan dalam berbagai bentuk mulai dari propaganda hingga tindakan paramiliter, namun disertai kemampuan mengaburkan pemerintah dengan alasan yang rasional (plausible denial). Dalam melakukan kegiatan, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, serta dilakukan secara cepat dan akurat (velox et exactus). Untuk memenuhi hal tersebut, intelijen harus memiliki standart operating procedures (SOP) yang melibatkan penggunaan technical inteligence dan human inteligence, memiliki sistem validasi dan pengujian reliabilitas, dan memiliki sistem penyimpanan informasi. Selain itu kegiatan tersebut harus dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur secara jelas dan tegas secara hukum, dan dalam pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme otorisasi. Sebaliknya intelijen yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM ditandai dengan metode menangkap dan menyadap, melakukan pelanggaran HAM, memanipulasi atau merekayasa informasi, tidak memiliki mekanisme validasi dan penyimpanan informasi sehingga bersifat subyektif, serta tidak memiliki legalitas hukum dan mekanisme otorisasi sehingga dapat melakukan cara-cara yang melanggar HAM dalam menjalankan fungsinya.110 7.3 Organisasi Penyusunan kerangka organisasi intelijen tentu harus didasarkan pada hakikat intelijen dan kegiatan yang dilakukan. Hal penting dalam hakekat intelijen adalah sebagai institusi negara yang menyediakan informasi untuk pengambilan kebijakan keamanan nasional yang tunduk kepada supremasi sipil, prinsip demokrasi, dan penghormatan HAM. Sedangkan hal penting yang harus diperhatikan dari sisi kegiatan intelijen adalah sifatnya sebagai unsur pelaksana dan bukan pengambil kebijakan, aktivitas yang harus dijalankan dengan keahlian tertentu sesuai dengan wilayah kegiatan. Berdasarkan pertimbangan hakekat dan kegiatan yang dilakukan, terdapat lima konsep yang menentukan pembentukan organisasi intelijen berdasarkan hasil kajian Pacivis UI, yaitu (1) diferensiasi struktrur dan spesialisasi fungsi; (2) koordinasi dan interdependensi; (3) akuntabilitas anggaran dan kegiatan; (4) institusionalisasi berupa standarisasi dan code of conduct; dan (5) mekanisme proteksi informasi.111 Di dalam organisasi intelijen harus terdapat diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. Diferensiasi struktur dimaksudkan untuk menguatkan rentang kendali dan membagi wewenang secara berimbang dalam organisasi intelijen untuk mencegah terjadinya akumulasi kekuasaan atas intelijen yang sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan. Sedangkan spesialisasi fungsi dimaksudkan agar intelijen dapat menjalankan tugas secara efektif dan 110 111
Ibid., hlm 20. Ibid., hlm 30. 62
profesional sesuai dengan wilayah kerja. Profesionalisme hanya mungkin dibangun jika intelijen memiliki satu fungsi yang tegas dan jelas serta tidak melakukan kegiatan lain yang tidak relevan dengan hakekatnya sebagai intelijen. Diferensiasi struktur dan spesialisasi ditandai dengan lima karakter organisasi.112 Pertama, komunitas intelijen terbagi menjadi dinas-dinas intelijen yang secara organisasi terpisah sesuai dengan ruang lingkup atau wilayah kegiatan yang dimiliki. Pembagian ini diperlukan karena setiap ruang lingkup memiliki karakter informasi serta aturan hukum yang berbeda. Antara intelijen luar negeri dengan intelijen dalam negeri dan intelijen militer memiliki perbedaan dari sisi jenis informasi yang harus dikumpulkan dan dianalisis, karakter ancaman keamanan yang dihadapi, maupun batasan kegiatan yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, Pacivis merekomendasikan komunitas intelijen terbagi menjadi emapat dinas intelijen berdasarkan area kerja, yaitu intelijen dalam negeri, intelijen luar negeri, intelijen militer, dan intelijen yustisia/instansional. Diferensiasi dan spesialisasi fungsi juga harus dijalankan dalam setiap dinas intelijen itu sendiri. Hal ini sangat diperlukan agar intelijen dapat menghasilkan informasi yang benarbenar cepat dan tepat. Aktivitas pengumpulan, analisis, hingga kegiatan kontra intelijen dan operasi rahasia tidak dapat disatukan. Di samping tidak efektif, penyatuan dapat mengakibatkan produk informasi yang disajikan tidak tepat. Oleh karena itu karakter kedua diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi adalah di dalam setiap dinas intelijen terdapat pemisahan fungsi pengumpulan informasi, analisis, kontra intelijen dan operasi rahasia. Untuk membangun intelijen yang efektif dan menjaga sifat kerahasiaan intelijen, harus terdapat kompartementasi vertikal dan horisontal wilayah kerja baik di dalam maupun luar negeri. Namun kompartemen ini tidak dibentuk secara baku apalagi mengikuti struktur pemerintahan. Kompartemen dibentuk berdasarkan dinamika lingkungan strategis dan analisis ancaman. Inilah yang menjadi karakter kelima dari deferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. Konsep kedua organisasi intelijen ideal adalah koordinasi dan interdependensi.113 Koordinasi dan interdepensi meliputi koordinasi dan interdepensi produk, koordinasi dan interdependensi lembaga, serta koordinasi dan interdepensi kegiatan. Koordinasi dan interdependensi produk diperlukan karena untuk menyajikan informasi yang tepat dan lengkap di satu sisi memerlukan sumber dan data informasi yang banyak dan bervariasi yang mungkin diperoleh dari beberapa dinas intelijen yang berbeda, dan di sisi lain informasi tersebut harus diuji validitasnya sehingga tidak akan menghasilkan penilaian yang salah. Oleh karena itu diperlukan standar yang sama antar dinas intelijen terkait dengan sistem pelaporan dan analisis informasi. Koordinasi dan interdependensi produk tentu membutuhkan adanya koordinasi dan interdependensi lembaga, yang juga diperlukan untuk memastikan berjalannya fungsi intelijen yang lain, serta menjamin pengembangan kapasitas dan akuntabilitas organisasi intelijen. Koordinasi dipegang oleh lembaga atau badan tertentu yang memiliki akses langsung terhadap pengambil kebijakan nasional, namun terpisah dari struktur organisasi intelijen itu sendiri.
112 113
Ibid. Ibid., hlm 32-34. 63
Koordinasi dan interdependensi juga harus dilakukan antar dinas intelijen dalam guna mendukung dan menjalankan kegiatan. Hal ini membutuhkan adanya saluran komunikasi yang tidak saling menegasikan, koordinasi dan verifikasi, serta mekanisme pelaksanaan operasi bersama. Konsep organisasi intelijen ideal yang ketiga adalah akuntabilitas anggaran dan kegiatan.114 Akuntabilitas merupakan ciri dari institusi di negara-negara demokrasi berdasarkan pemahaman bahwa semua kekuasaan yang dimiliki oleh negara berasal dari rakyat sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Tentu saja akuntabilitas dimaksud sesuai dengan karakter intelijen sehingga perlu mekanisme khusus yang menjamin akuntabilitas dengan tetap tidak mengganggu hakikat dan kegiatan intelijen. Sebagai alat negara, seluruh anggaran intelijen harus berasal dari anggaran negara. Tidak boleh ada anggaran yang didapat di luar anggaran negara dan intelijen tidak boleh mencari maupun menerima anggaran di luar anggaran negara karena akan mengganggu bahkan merusak tujuan dan kegiatan intelijen. Untuk menjamin akuntabilitas kegiatan, terdapat enam hal yang diperlukan, yaitu; (1) prosedur penugasan yang baku dan bukan personal; (2) mekanisme deklasifikasi karena waktu dan apabila ada penyalahgunaan kekuasaan; (3) prosedur otorisasi kewenangan khusus disertai dengan mekanisme penyampaian keberatan; (4) mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan kewenangan khusus; (5) mekansme pelaporan secara tertulis; dan (6) sistem dokumentasi dan pengarsipan.115 Untuk memenuhi ideal organisasi yang keempat, yaitu institusionalisasi, komunitas intelijen harus disusun menurut standarisasi tertentu dan memiliki code of conduct bersama yang dapat ditegakkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Standarisasi meliputi standarisasi prosedur kerja, pelaporan, operasi, produk, penyaluran produk, dan dokumentasi atau pengarsipan. Standarisasi diperlukan agar informasi dari berbagai sumber intelijen dapat saling diverifikasi dan saling mendukung. Sedangkan code of conduct diperlukan agar dinas intelijen dan apartanya dalam menjalankan tugas tidak menyalahgunakan wewenang dan melanggar aturan hukum. Code of conduct meliputi ketaatan kepada konstitusi dan hukum; penghormatan terhadap prinsip demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil; netralitas, imparsialitas dan non-partisan; serta profesional, efektif, dan efisien.116 Konsep kelima, organisasi intelijen yang ideal harus memiliki mekanisme proteksi, akses, diseminasi, serta deklasifikasi dan terminasi informasi. Apabila mekanisme ini tidak dimiliki akan terjadi penyebaran informasi yang merusak kerahasiaan informasi intelijen. Mekanisme ini juga dimaksudkan untuk memproteksi informasi agar dapat menjalin kerjasama dengan intelijen negara lain.117 7.4 Anggota Pacivis UI mengidentifikasi enam hal terkait dengan konsepsi keanggotaan intelijen, yaitu klasifikasi anggota, proses rekruitmen, pembinaan, perlindungan, hak dan kewajiban, serta
114
Ibid., hlm 34-36. Ibid., hlm 35. 116 Ibid., hlm 36. 117 Ibid., hlm 37. 115
64
sanksi.118 Keanggotaan dapat diklasifikasikan menjadi analis dan pelaksana, yang masingmasing juga disusun secara berjenjang dan berpuncak pada pimpinan tertinggi intelijen. Untuk pelaksanaan operasi khusus dibentuk tim ad hoc dengan pejabat tertentu sebagai penanggungjawab operasi. Anggota intelijen terdiri dari beberapa klasifikasi yang cara perekrutannya dibedakan, antara lain melalui perekrutan terbuka, talent scouting, lolos butuh, dan rekruitmen tertutup. Untuk menghasilkan anggota yang profesional dan berstandar, pembinaan dilakukan secara terpusat oleh lembaga intelijen tertentu sebagai koordinator dengan sistem akreditasi kualitas pembinaan. Anggota intelijen mendapatkan perlindungan institusi baik terkait dengan identitas maupun tugas yang dijalankan. Negara juga memiliki kewajiban menemukan atau mengembalikan agen yang tewas atau dinyatakan hilang, serta memberikan kompensasi kepada agen yang luka dalam menjalankan tugas. Namun perlindungan identitas dan kegiatan dapat dibuka jika diperlukan untuk proses penegakan hukum yang terjadi dengan cara penyalahgunaan wewenang intelijen. Anggota intelijen juga memiliki hak mengajukan nota keberatan terhadap perintah atasan yang dipandang melebihi wewenang atau melanggar hukum dan HAM. Setiap anggota intelijen harus dijamin haknya, terutama hak atas kesejahteraan sehingga secara penuh dapat menjalani profesinya, hak pengembangan karier, dan hak atas perlindungan. Sebaliknya, anggota intelijen juga memiliki kewajiban, terutama mematuhi kode etik dan larangan profesi, baik terkait dengan status maupun aktivitas yang dilakukan. Untuk mewujudkan anggota intelijen yang profesional, aturan harus ditegakkan dengan memberikan sanksi. Anggota intelijen bukan manusia yang kebal hukum, bahkan profesionalisme intelijen menuntut penegakan aturan dengan mengenakan sanksi atas pelanggaran, baik sanksi profesi maupun sanksi hukum. Impunitas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat intelijen pada akhirnya hanya akan menyebabkan tidak profesionalnya aparat intelijen dan mendorong terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan yang lain. 7.5 Produk Seluruh informasi intelijen harus melalui mekanisme sistematis yang menjamin pihak-pihak yang menjadi konsumen produk intelijen dapat menerima informasi itu. Studi Pacivis UI merumuskan siklus sebagai berikut.119 1. Perencanaan: meliputi masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi pembuat kebijakan, serta arahan mengenai bagaimana menjalankan intelijen. Kebutuhan informasi sesuai dengan kondisi keamanan nasional dibuat oleh pengguna. Hal ini akan ditindaklanjuti oleh pimpinan intelijen untuk melaksanakannya. 2. Pengumpulan informasi: dari sumber-sumber terbuka, tertutup, elektronik, satelit maupun terklasifikasi. 3. Pengolahan: pengurangan data dalam berbagai format menjadi potongan-potongan data yang berguna, membuat informasi intelijen ke dalam bentuk yang mudah dimengerti. 4. Analisis: penyatuan dan penilaian data, mencakup peer review dan supervisory review.
118 119
Ibid., hlm 40-47. Ibid., hlm 49-58. 65
5. Diseminasi: memberikan produk yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pengguna yaitu pembuat kebijakan yang dapat berupa (1) current intelligence, yang menganalisa kejadian aktual; (2) estimative intelligence, yang menganalisa dan memprediksi kejadian yang akan datang; (3) warning intelligence, yang memberikan peringatan tentang sesuatu yang akan terjadi; (4) research intelligence, yang memberikan kajian mendalam tentang suatu isu; (5) scientific and technical intelligence, yang memberikan informasi tentang teknologi asing. Untuk menjalankan siklus ini, jarak antara komunitas intelijen dengan pimpinan negara harus fungsional, yaitu cukup jauh untuk menjaga agar komunitas intelijen tidak menjadi alat kekuasaan pembuat kebijakan, dan cukup dekat untuk memungkinkan komunikasi dua arah sehingga komunitas intelijen dapat mengetahui apa yang dibutuhkan dan pembuat kebijakan dapat memperoleh informasi yang cukup. Karakter ini akan membuat dinas intelijen bertindak sepenuhnya berdasarkan data, tanpa harus khawatir bagaimana produknya nanti akan mempengaruhi proses kebijakan. Selain itu juga membantu menghilangkan kecenderungan untuk menyalahkan atau menolak analis-analis intelijen yang memberikan informasi tidak diinginkan atau tidak mendukung kebijakan. 7.6 Pengawasan Sebagai lembaga dalam negara demokrasi, intelijen harus tunduk pada pengawasan yang dibutuhkan untuk memastikan intelijen menjalankan fungsinya dengan baik dan mencegah terjadinya penyimpangan. Pengawasan intelijen menjadi suatu permasalahan tersendiri mengingat karakter rahasia yang dimiliki intelijen serta pada umumnya mendapatkan resistensi dari komunitas intelijen, terutama di negara-negara yang baru mengalami demokratisasi. Pacivis UI merumuskan beberapa bentuk pengawasan terhadap intelijen. Pertama, di dalam intelijen yang ‘ideal’ harus memiliki pejabat setingkat menteri yang mengkoordinir dinasdinas intelijen dan bertanggungjawab secara politik. Kedua, adanya mekanisme pengawasan berlapis dari sisi internal, eksekutif, parlemen, dan publik. Ketiga, pengawasan internal dilakukan melalui mekanisme pengawasan melekat dan penetapan standard operating procedures. Keempat, pengawasan eksekutif dilakukan melalui mekanisme penugasan dan pelaporan. Kelima, pengawasan parlemen dilakukan melalui mekanisme anggaran dan adanya subkomisi (select committee) di parlemen. Keenam, pengawasan publik dilakukan melalui mekanisme penampungan keluhan warga melalui lembaga-lembaga sampiran negara serta organisasi-organisasi masyarakat sipil.120 Intelijen juga harus tunduk pada pengawasan dan memiliki akuntabilitas hukum. Hal ini berupa (1) kegiatan intelijen ‘ideal’ bersumber pada wewenang yang dimandatkan oleh undang-undang; (2) memiliki otorisasi tertulis dari koordinator seluruh dinas intelijen dalam menjalankan kewenangan khusus; (3) memiliki saluran tunggal dalam menyampaikan produk intelijen kepada pengguna akhir; (4) menggunakan kewenangan khusus berdasarkan otorisasi tertulis yang dikeluarkan oleh penegak hukum. Dari sisi anggaran mekanisme pengawasan anggaran intelijen dilakukan melalui penetapan anggaran dan pengawasan oleh parlemen atas penggunaan anggaran, serta mekanisme audit oleh lembaga pemeriksa keuangan.
120
Ibid., hlm 59-63. 66
BAB VII KESIMPULAN
1. Reformasi intelijen harus diletakkan dalam sistem politik kenegaraan yang demokratis. Dimana di dalamnya mengharuskan adanya pengakuan intelijen untuk tunduk dan patuh terhadap otoritas politik (prinsip supremasi sipil), adanya pertanggungjawaban yang jelas dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (prinsip akuntabilitas), keterbukaan (transparansi) dan pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan HAM, khususnya pengakuan terhadap hak-hak mendasar yang tergolong dalam rumpun hak yang sifatnya tidak dapat ditunda (nonderogable rights). 2. Reformasi intelijen pertama-tama dan utama dilakukan melalui pembentukan undangundang intelijen sebagai payung hukum bagi Intelijen yang mencakup tentang hakekat dan tujuan intelijen; ruang lingkup intelijen; tugas, fungsi serta wewenang intelijen; organisasi dan prinsip-prinsip pengaturan kedinasan, termasuk hubungan antar dinas; pembiayaan kegiatan dan dinas intelijen; mekanisme pengawasan terhadap kegiatan, operasi dan dinas intelijen. 3. Pembentukan undang-undang intelijen itu harus dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan hak asasi manusia di satu sisi dan menjaga serta melindungi keamanan nasional disisi lain. 4. RUU Intelijen yang saat ini di bahas di parlemen memiliki banyak permasalahan yang dapat mengganggu kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia maupun penegakan hukum itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari identifikasi masalah-masalah dalam RUU Intelijen sebagaimana dijelaskan dalam Bab VI di atas. 5. Kami meminta dan mendesak agar parlemen menunda pengesahan RUU Intelijen dalam waktu dekat ini mengingat masih banyaknya permasalahan yang terdapat dalam RUU Intelijen. Adalah sangat bijak apabila parlemen dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat secara lebih luas tentang RUU Intelijen sambil secara bersamaan menyempurnakan draft RUU Intelijen yang didasarkan pada masukan dan pandangan masyarakat itu.
67
SUMBER BACAAN
Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian Arganata, H. Emon Rivai (1998), Intelijen Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Araf, Al, dkk (eds.) (2003), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial. Azhar, Haris dan Syamsul Alam Agus (2005), Poso, Wilayah yang Dikonflikkan, Jakarta/Palu: KontraS. Carter, David L. (2004) Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement Agencies, Michigan State University Dulles, Allan (1965), The Craft of Intelligence, New York: Signet Book ELSAM (2003), Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft RUU TNI, Draft RUU Intelijen, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta: ELSAM ELSAM (2011), Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian Atas Draft RUU Intelijen, Jakarta: ELSAM Holsti, Kalevi J., Peace and War: Armed Conflict and International Order 1648-1989, Cambridge: CUP. ICTJ, Kajian terhadap Laporan Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun 1999, (2009), Jakarta: ICTJ. KKP (2008), Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, Jakarta: KKP Komnas HAM, Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) (2000), Jakarta: Komnas HAM. Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989, (2008), Jakarta: Komnas HAM. KontraS (2005), Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara, Jakarta: KontraS. KontraS (2006), Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: KontraS Kurnarto (1999), Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, Jakarta: PT.Cipta Manunggal Kunarto (2001), Intelijen Polri, Jakarta: Cipta Manunggal Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (2003), Jakarta: Yappika Prihatono, T. Hari (ed.) (2006), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, Jakarta: Propatria Institute Rabasa, Angel dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges, Politics, and Power (2002), Santa Monica: RAND Scheinin, Martin (2010), Compilation of Good Practices on Legal and Institutional Frameworks and Measures that Ensure Respect for Human Rights by Intelligence Agencies while Countering Terrorism, including on their Oversight, UN Human Rights Council 68
Subijanto, Prof. Dr. Bijah (2003), Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional, Jakarta: Penerbit Jati Diri Tim Imparsial (2005), Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi, Jakarta: Imparsial. Tim Imparsial, (2010), Perebutan Kuasa Intelijen, Jakarta:Imparsial Tim Penyusun Kamus (1990), Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Tsang, Steve (ed.) (2007), Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism, London: Praeger Security International Widjajanto, Andi (ed.) (2006), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, Jakarta: PacivisUI Widjajanto, Andi (ed), Negara, Intel, dan Ketakutan, (2006), Jakarta: Pacivis UI Widjajanto, Andi, Cornelis L., Makmur K. (2006), Intelijen:Velox et Exactus, Jakarta:Pacivis Widjajanto, Andi dan Artanti Wardhani (2008), Hubungan Intelijen-Negara 1945-2004, Jakarta: Pacivis
Perundangan, Draf Perundangan dan Catatan Peradilan Draft RUU Pokok-pokok Intelijen, 5 September 2003 German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a Ifdhal Kasim, Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 006/PUU-I/2003 Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010
Surat Kabar dan Majalah Forum Keadilan, edisi 14 Maret 2004 Gatra, 12 Maret 2004 Indopos, 8 Juni 2004 Kompas, 3 Februari 2003 Kompas, 20 Februari 2003 Kompas, 10 Agustus 2003 Kompas, 5 Maret 2005 Kompas, 29 Juni 2005 Kompas, 26 Juli 2005 Kompas, 28 April 2010 Koran Tempo, 20 Desember 2003 Majalah Tempo, edisi 12 Januari 2004 Merdeka, 12 Agustus 1982 Majalah Tempo, 25 Juli 1998 Majalah Tempo, 21 Maret 2004 Media Indonesia, 15 Januari 2005 69
Media Indonesia, 14 Februari 2005 Media Indonesia, 21 Mei 2005 Pelita, 10 Maret 2004 Radar Sulteng, 16 Oktober 2004 Republika, 27 Mei 2010 Sampari, edisi 2 Februari 2006 Sinar Harapan, 11 Januari 1982 Sinar Harapan, 22 Juli 1983 Telik Sandi, volume I, No. 1 Juni 2006 Tempo Interaktif, 14 Juli 2005
Internet Detik, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto Latihan Perang Kasus Poso” www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/ Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services and Democracy, dalam http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf Headquarters Department of Army, United http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf
States:
Inteliigence,
dalam
Human Rights Watch: Indonesia’s Draft Law on Intelligence: A Threat To the nation?, dalam http://ejp.icj.org/IMG/HRWIndonesiaBINbill.pdf Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence Services MR Ronnie Kasrils MPSouth Africa, dalam http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf John
Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah Dinas Intelijen Indonesia, http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada website OHCHR: http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E Vivanews, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak Terima Pernyataan SBY”, http://politik.vivanews.com/news/read/76053
70