www.parlemen.net
ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU
1. Sistem Pemilu Rumusan naskah RUU: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka” Pendapat fraksi-fraksi : Proporsional Terbuka Terbatas
Proporsional Terbuka
Pendukung: Golkar dan PDIP
Pendukung: PPP, PAN, PKB, PKS, BPD, PBR, PDS
Jumlah suara: 238
Jumlah suara: 321
Pesan Advokasi: 1. Sistem proporsional terbuka dan terbuka terbatas memiliki konsekuensi yang berbeda bagi keterwakilan perempuan. Sebagaimana diketahui, dalam sistem proporsional terbuka, penentuan calon terpilih dilakukan dengan suara terbanyak. Artinya penempatan calon dalam daftar calon (nomor urut) menjadi tidak relevan karena yang dipentingkan adalah kemampuan calon dalam menggalang dukungan. Dalam kerangka mendorong akuntabilitas wakil rakyat dan lembaga perwakilan, maka pilihan terbuka dengan suara terbanyak adalah yang ideal. Selama ini wakil rakyat memang kerap diposisikan sebagai wakil partai karena dominannya peran partai. Aturan inilah yang akan dipotong dengan meminimalkan peran partai, dan di sisi lain memberdayakan konstituen dalam memberikan suaranya. 2. Tetapi dalam kerangka peningkatan keterwakilan perempuan, disadari berdasarkan kondisi saat ini adalah sangat sulit ‘melepas’ kader/caleg perempuan dalam persaingan bebas dengan caleg laki-laki. Harus diakui bahwa perempuan memiliki banyak keterbatasan dalam menggalang suara – walaupun ada yang berhasil memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 2004 tetapi jumlahnya tidak banyak. Hambatan yang utama adalah kemampuan bersaing dengan laki-laki di daerah pemilihan. Aturan suara terbanyak dapat diterapkan secara fair jika aturan internal partai sudah demokratis dan terbuka dalam segala aspeknya. Artinya proporsional terbuka murni tidak berada dalam ruang vakum, tetapi sangat bergantung pada mekanisme internal partai dalam hal pencalonan dan aturan lainnya. Sehingga baik kader laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama-sama fair dalam internal partai. Kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kisah yang dialami para mantan caleg perempuan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk bersaing, bahkan tidak jarang harus menghadapi sikap pimpinan partai yang bias gender. Kondisi Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
itulah yang mesti menjadi pertimbangan untuk menerapkan proporsional terbuka murni dalam kaitannya dengan tindakan afirmatif bagi perempuan. 3. Berdasarkan kondisi tersebut, maka advokasi dan lobby harus diarahkan untuk mendukung proporsional terbuka terbatas karena dengan sistem pemilu inilah, harapan jumlah perempuan dapat bertambah di parlemen dapat terwujud. Agenda perjuangan perempuan memang berada pada situasi dillematis, antara mendukung jumlah perempuan atau kualitasnya. Dua hal yang mestinya tidak bisa dipisahkan karena keinginannya tentu saja kuantitas dan kualitas bertambah. Keunggulan sistem proporsional sebenarnya dapat direkayasa untuk memasukkan kelompok minoritas – baik dalam hal jumlah maupun ide/gagasan --dalam lembaga perwakilan. Unsur keterwakilan kelompok minoritas dapat diatur melalui penerapan proporsional terbatas. Keberpihakan itulah yang sementara ini harus kita ambil demi tujuan meningkatkan keterwakilan perempuan. Tanpa adanya keberpihakan dalam tindakan afirmatif, maka sulit mengharapkan keterwakilan yang signifikan perempuan dalam proses politik di parlemen. 4. Berdasarkan posisi itulah, maka proporsional terbuka terbatas harus menjadi pilihan kebijakan sebagai tindakan afirmatif yang bersifat sementara. Soal akuntabilitas wakil rakyat dapat dibangun secara simultan melalui kontrol publik dan rekrutmen caleg yang demokratis di internal partai. Untuk pilihan ini, maka gerakan perempuan memang harus berhadapan dengan koalisi masyarakat sipil yang mendukung proporsional terbuka. Pilihan yang dapat dijelaskan secara rasional mengingat kasus atau kondisi perempuan dan politik di Indonesia saat ini.
2. Pencalonan Anggota Legislatif Rumusan naskah RUU: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30%” Pendapat fraksi-fraksi: Pesan Advokasi: Tetap RUU)
(sama
dengan
.... “memuat paling mengupayakan / harus sedikit 30% perempuan” memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% atau 35%
Pendukung: PDIP, PPP, Pendukung: Golkar PD, PKS, BPD, PDS
Pendukung: PAN, PBR
Jumlah suara: 302
Jumlah suara: 67
Jumlah suara: 129
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pesan Advokasi: 1. Ini adalah pasal penting untuk menunjukkan tindakan afirmatif dalam pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif. Pasal ini dimaksudkan sebagai revisi dari pasal 65 UU No.12/2003. Artinya pasal ini harus dijadikan tawaran maksimal (high call) dalam proses lobby dan advokasi. 2. Tawaran tertinggi itu adalah: Pasal ini harus diubah menjadi imperatif (tegas) dan ada sanksi bagi partai politik. 3. Melihat pendapat fraksi-fraksi tentang hal ini, tampaknya dua tawaran tertinggi tersebut tidak tercakup. Semua fraksi cenderung menganggap aturan pencalonan perempuan tidak perlu diubah, hanya diganti dengan memasukkan tambahan kata “dengan sungguh-sungguh” dan kata “harus” memperhatikan. Sementara dari segi dampak penerapannya sama sekali tidak ada, karena hanya bersifat himbauan saja. Secara legal tidak ada rumusan yang mengandung ketegasan. Tampaknya partai-partai menghindari betul sanksi yang dapat memberatkan mereka. Partaipartai tidak menghendaki urusan pencalonan perempuan ini menghambat mereka bahkan bisa membuat partai tidak dapat mengikuti pemilu di satu daerah pemilihan. 4. Celah dalam advokasi sebenarnya bisa dilakukan melalui rumusan Golkar yang bersifat agak imperatif melalui rumusan “memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan….”. Secara legal, kata memuat bisa memiliki makna harus atau wajib. Sangat berbeda dengan kata “mengupayakan” atau “memperhatikan”. Maka hal ini bisa digunakan untuk mendorong agar sikap fraksi-fraksi lain mendukung usulan Golkar. 5. Tetapi persoalan selanjutnya adalah sanksi. Golkar tidak menawarkan sanksi. DIM semua fraksi tidak memasukkan sanksi sehingga ini menjadi substansi lobby yang alot. Efektivitas pasal 65 UU No.12/2003 terbukti gagal memaksa partaipartai peserta pemilu untuk mencalonkan 30% perempuan. Bahkan Golkar dan PDIP tidak mencalonkan 30% perempuan pada pemilu lalu, padahal kader perempuan kedua partai besar ini lebih banyak dari partai-partai lain. Hal itu disebabkan tidak ada sanksi. 6. Rumusan sanksi yang dipikirkan adalah bersifat administratif. Ada dua alternatif tawaran: (1) Sanksi berupa kewenangan KPU menolak daftar calon yang tidak memuat paling sedikit 30% perempuan. Konsekuensi sanksi ini adalah partai tidak dapat ikut pemilu di satu daerah pemilihan. Keberhasilan diterimanya sanksi ini kecil karena partai bersikap tidak mau tersandera oleh urusan pencalonan perempuan sehingga tidak bisa ikut pemilu. Baik partai besar maupun kecil akan sama sikapnya dalam hal ini. (2) Sanksi berupa kewenangan KPU mengembalikan daftar calon kepada partai yang belum mencalonkan 30% perempuan. Aturan pengembalian diatur oleh KPU. Jika sampai batas waktu perbaikan ternyata partai tidak dapat mencalonkan 30% perempuan, maka KPU harus mengumumkan ke masyarakat secara terbuka – bisa melalui iklan di media
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
massa – partai-partai yang tidak dapat mencalonkan paling sedikit 30% perempuan. Dampak legalnya memang rendah, tetapi sebagai langkah awal sanksi ini memberi semacam ‘hukuman’ pada partai dan peringatan pada pemilih dalam menentukan pilihan. Sanksi yang kedua ini tampaknya memiliki kans yang tinggi untuk diterima partai karena tidak mengganggu keikutsertaan mereka dalam pemilu. Aturan kewenangan KPU ini harus diatur dalam pasal UU Pemilu, dan jangan dimasukkan dalam klausul ketetapan KPU. 7. Berdasarkan hal itu maka lobby dan advokasi diarahkan untuk mendorong perumusan pasal pencalonan yang imperative (seperti usulan Golkar), dan dua alternatif sanksi sebagaimana diuraikan pada poin 6. 3. Penempatan Calon Perempuan dalam Daftar Calon Rumusan RUU: Tidak ada Pendapat fraksi-fraksi Mengusulkan tambahan ayat
Tidak mengusulkan
Pengusul: Golkar mengajukan usulan PDIP, PPP, PD, PAN, PKB, PKS, BPD, tambahan ayat baru: “daftar calon disusun PBR, PDS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun denan cara selang-seling 2:1” Jumlah suara: 129
Jumlah suara: 421
Pesan advokasi: 1. Hanya Golkar yang mengusulkan tambahan ayat tentang penempatan calon dalam daftar calon sebagai penjelasan pasal pencalonan perempuan. Usulan Golkar cukup maju dengan mengajukan cara selang-seling 2:1. Walau harus dimintakan penjelasan lebih lanjut, namun dibukanya celah selang-seling dalam DIM adalah kesempatan untuk melakukan lobby dan advokasi. Bandingkan dengan usulan sanksi yang sama sekali tidak menjadi usulan fraksi-fraksi. 2. Situasi internal Golkar sendiri dalam mendukung selang-seling tersebut masih belum solid. Artinya jika dilakukan voting semua anggota fraksi Golkar tentang hal ini tampaknya belum cukup berhasil mendukung selang-seling. Ada yang masih meragukan teknis selang-seling ini. Selain belum populernya mekanisme ini dalam pemilu di Indonesia. Artinya masih diperlukan tenaga ekstra untuk mengawal usulan selang-seling ini di internal Golkar. Arahan DPP tetap sangat diperlukan agar usulan ini tetap masuk dalam pembahasan Panja dan Timus nantinya. 3. Perlu dilakukan dorongan ke fraksi-fraksi lainnya tentang tambahan ayat ini. Perlu ada pemetaan seberapa penerimaan fraksi lain tentang hal sehingga jika Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dilakukan voting dapat diduga faktor keberhasilannya. Jika dilihat sikap partaipartai sejauh ini, tampaknya cukup sulit meyakinkan partai untuk menerima selang-seling daftar calon. Alasan mereka akan menimbulkan konflik dan tidak adanya kader perempuan yang dicalonkan harus diterima sebagai kenyataan. Apa sikap yang dapat kita berikan sebagai jaminan jika kita mendukung selang-seling ini? Dalam waktu yang amat terbatas ini, agak mustahil memperjuangkan selangseling sebagaimana usulan Golkar. 4. Sebagai alternatif tetap perlu diperjuangkan adanya tambahan ayat baru tentang penempatan calon perempuan dalam daftar calon. Hal ini sebagai jaminan yang diberikan UU akan tindakan afirmatif. Jika ini dikombinasikan dengan sistem proporsional terbuka terbatas, maka asumsi peningkatan jumlah perempuan dapat menjadi kenyataan. Substansi tambahan ayat baru dapat dikembalikan pada usulan rekomendasi yaitu “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menempatkan paling sedikit 30% perempuan pada posisi yang peluang terpilihnya besar”. Dengan demikian substansi penempatan calon perempuan dapat dikunci dalam UU pemilu, sedang penerapannya didorong untuk tindakan afirmatif internal partai. Seperti PAN yang menetapkan 30% perempuan akan ditempatkan di nomor urut 1 di 30% dapil. 5. Maka untuk lobby dan advokasi, substansinya adalah: (1) mendukung tambahan ayat tentang penempatan calon perempuan seperti diusulkan Golkar, harus dijaga agar ayat ini tidak hilang dan dapat didukung oleh fraksi lainnya; (2) menawarkan bentuk lain dari selang-seling yang tingkat resistensinya tinggi di internal partai dengan menawarkan rumusan menempatkan perempuan pada posisi yang peluang terpilihnya besar (lihat poin 4). 4. Besaran Daerah Pemilihan Rumusan RUU: “Setiap daerah pemilihan anggota DPR mendapatkan alokasi antara 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) kursi” Pendapat fraksi-fraksi: Tetap (3-12 kursi)
3-6 kursi
3-10 kursi
Pendukung: PD, PAN, PKS, BPD, PBR, Pendukung: Golkar, Pendukung: PKB PDS PDIP Jumlah suara: 202
Jumlah suara: 238
Jumlah suara: 52
*) PPP belum memberikan pendapat Pesan advokasi: 1. Rumusan RUU yang menetapkan alokasi kursi 3-12 kursi layak didukung untuk menjamin jumlah perempuan yang cukup dalam pencalonan (paling sedikit 30%). Dilihat dari pendapat fraksi-fraksi, dukungan terhadap 3-12 kursi relatif Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
besar, apalagi jika PKB memberikan dukungannya pada rumusan RUU. Di sisi lain, Golkar dan PDIP dengan 3-6 kursi akan bertahan karena terkait dengan jumlah daerah pemilihan yang akan ditambah. Untuk alasan kemudahan pemilih menentukan pilihan memang lebih terjamin dengan 3-6 kursi. Tetapi untuk jumlah perempuan yang dicalonkan, besaran 3-12 kursi lebih akomodatif terhadap hal itu. 2. Maka lobby dan advokasi harus diarahkan untuk mendukung rumusan RUU yang menetapkan 3-12 kursi. Tetapi masalah alokasi kursi ini menjadi relatif dalam lobby dan bisa menjadi bagian yang diturunkan dalam proses negosiasi. Tentu saja untuk ditawarkan dengan pencalonan, sanksi, penempatan dan sistem pemilu. 5. Penetapan Calon Terpilih Rumusan RUU: “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu partai politik pada satu daerah pemilihan”. Pendapat fraksi-fraksi: Tetap (RUU) Pendukung: PAN, PKB, PDS
BPP 25%-50% PD, Pendukung: Golkar PKS, (belum tetap karena menunggu arahan DPP)
Jumlah suara: 220
Jumlah suara: 129
BPP bertingkat BPP tertentu (pusat -kab/kota) Pendukung: PDIP dengan ketentuan 25% DPR, 50% DPRD provinsi, 75% DPRD kab/kota
Pendukung: BPD (jika tidak ada yang memenuhi 100% BPP, maka calon terpilih yang mencapai min 15% dari BPP). PBR (calon terpilih yang mencapai angka BPP. Jika tidak ada, kembali ke nomor urut)
Jumlah suara: 109
Jumlah suara: 34
Suara terbanyak = BPP tertentu dan nomor urut = 272 220 *) PPP belum memberikan pendapat Pesan advokasi: 1. Menarik mengamati pendapat fraksi-fraksi tentang penetapan calon terpilih. Ada ketidak-konsistenan dengan pendapat fraksi tentang sistem pemilu. Dari Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
para pendukung proporsional terbuka murni, ada dua fraksi dalam penetapan calon terpilih yang menggunakan BPP, dan jika tidak memenuhi BPP maka digunakan nomor urut. Yaitu fraksi PBR dan BPD. BPD bahkan mengusulkan angka 15% dari BPP jika tidak ada yang dapat mencapai BPP 100%. Jika tidak ada juga, penetapannya dikembalikan ke nomor urut. Hal ini menarik karena tidak konsisten dan bisa menjadi celah lobby untuk mendukung proporsional terbuka terbatas. Sementara Golkar dan PDIP menetapkan BPP tertentu – antara 25% sampai 75% --untuk menetapkan calon terpilih. Jika tidak ada, maka kembali ke nomor urut. Dalam konfigurasi ini menarik bahwa yang mendukung BPP menjadi lebih banyak dari yang mendukung suara terbanyak, yaitu 272 berbanding 220 suara 2. Berdasarkan pemetaan ini, maka ada celah untuk mendorong sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. Karena ada kaitan antara sistem pemilu yang dipilih dengan penetapan calon terpilih. Jika BPD dan PBR mendukung BPP dalam penetapan calon terpilih, logikanya kedua fraksi ini mendukung proporsional terbatas seperti Pemilu 2004. Dengan demikian proses lobby juga penting dilakukan kepada fraksi-fraksi seperti PBR dan BPD yang suaranya menjadi signifikan untuk menambah dukungan. 3. Berapa angka BPP yang didukung menjadi tidak relevan, asal tidak menerapkan 100% dari BPP seperti Pemilu 2004 lalu. Ini merupakan kompromi dengan pendukung suara terbanyak karena angka BPP-nya diturunkan sehingga hampir dapat disamakan dengan suara terbanyak. Berdasarkan simulasi hasil perolehan saura untuk DPR pada Pemilu 2004, rata-rata caleg bisa memenuhi BPP kurang dari 15%. Artinya relatif sama dengan suara terbanyak yang diperoleh calon. Bedanya adalah masih membuka ruang untuk nomor urut sebagai bentuk peran partai. Dalam hal inilah pentingnya tindakan afirmatif dalam pencalonan dan penempatan caleg perempuan. Selamat berjuang!
Depok, 19 September 2007 SBEW
PUSKAPOL FISIP UI
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net