KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK MENURUT IBN KHALDUN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Jurusan Pemikiran Politik Islam Pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
Oleh MUHLIADI NIM. 30200108002
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2013
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan penuh kesadaran penyusun yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skipsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, Senin 22 Juli 2013 M Penyusun,
MUHLIADI NIM:30200108002
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT karena dengan rahmat dan karunianyalah sehingga penulis memiliki kesempatan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK MENURUT IBN KHALDUN. Dan tidak lupa pula mengirimkan salam dan salawat atas juru selamat nabi muhammad SAW yang telah mewariskan ilmu pengetahuan kepada umatnya sehingga kita bisa menikmati kehidupan kita sekarang ini dan salam dan salawat kepada para sahabat nabi serta kepada seluruh muslimin dan muslimat semoga Allah SWT selalu mengampuni segala kesahan dan kekhilafan kita semua. Amin…. Selain itu penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk mengarahkan penulis. Serta kepada seluruh pihak yang telah memberikan sumbangan pemikiran, materi dan support kepada penulis sehingga hambatan dalam penyusunan skripsi ini bisa dilalui. Kemudian penulis mengucapkan banyak terima kasih yang teristimewa kepada kedua orang tua yang senantiasa memberikan segalanya, mendoakan dan memberikan bantuan biaya selama proses study dijalani. kiranya tulisan ini mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan keilmuan ditingkatan universitas. Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini segala kekuatan dan kerja keras telah dilalui. olehnya itu, arti dari kegigihan itu penulis serahkan sepenuhnya kepada isi dan kemanfaatan skripsi ini kedepannya. Penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan namun tentunya tidak hanya untuk memenuhi formalitas semata sehingga penulis berharap banyak agar kiranya skripsi ini dapat menjadi awal yang baik dalam perkembangan
iv
ilmu pengetahuan
terutama yang berkaitan dengan pemikiran politik Islam dan
pengembangan kepenulisan bagi diri punulis sendiri maupun generasi berikutnya dalam kerangka yang sama. Sekali lagi penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada pimpinan Universitas beserta jajarannya, para tim dosen, dan juga ucapan terima kasih kepada pimpinan fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik beserta jajaran, serta kepada kedua dosen pembimbing penulisan skripsi ini yang telah memberikan bimbingan yang maksimal sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Wassalam…
Makassar 06 Februari 2013 Penulis
Muhliadi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
tidak
tidak dilambangkan
ب
ba
dilambangkan b
be
ت
ta
t
te
ث
s\a
s\
es (dengan titik di atas)
ج
jim
j
je
ح
h}a
h}
ha (dengan titik di
خ
kha
kh
bawah) ka dan ha
د
dal
d
de
ذ
z\al
z\
zet (dengan titik di atas)
ر
ra
r
er
ز
zai
z
zet
س
sin
s
es
ش
syin
sy
es dan ye
ص
s}ad
s}
es (dengan titik di
ض
d}ad
d}
bawah) de (dengan titik di
ط
t}a
t}
bawah) te (dengan titik di
ظ
z}a
z}
bawah) zet (dengan titik di
ع
‘ain
‘
bawah) apostrof terbalik
غ
gain
g
ge
ف
fa
f
ef
ق
qaf
q
qi
ك
kaf
k
ka
ل
lam
l
el
م
mim
m
em
ن
nun
n
en
و
wau
w
we
هـ
ha
h
ha
ء
hamzah
’
apostrof
ى
ya
y
ye
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..............................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................
ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................
iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................
v
ABSTRAKSI.........................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................
1
B. RumusanMasalah.......................................................................................
6
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup penelitian.................................
6
D. Tinjauan Pustaka........................................................................................
8
E. Metodologi Penelitian................................................................................
14
F. Tujuan dan Kegunaan................................................................................
15
G. Garis-garis Besar Isi Penelitian..................................................................
17
BAB II KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK A. Pengertian Kekuasaan................................................................................
18
B. Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya..........................................................
20
C. Tipe-tipe Kekuasaan................................................................................... 25
vi
D. Pengertian Legitmasi Politik......................................................................
27
E. Bentu-bentuk Legitimasi............................................................................
29
BAB III IBN KHALDUN : BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN TENTANG KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK A. Biografi......................................................................................................
33
B. Latar Belakang Pemikiran Ibn Khaldun tentang kekuasaan dan legitimasi politik.........................................................................................................
36
BAB IV KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK MENURUT IBN KHALDUN A. Kekuasaan Politik....................................................................................... 42 1. Interpretasi kekuasaan politik Ibn Khaldun...................................
42
2. Implementasi kekuasaan politik dalam Islam................................
48
B. Legitimasi Politik.......................................................................................
52
1. Legitimasi ‘ashabiyah....................................................................
52
2. Legitimasi politik Islam dalam suksesi politik di Indonesia........
57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................................
63
B. Implikasi Penelitian.................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT PENULIS
vii
ABSTRAK
Nama Penyusun NIM Judul Skripsi
: Muhliadi : 30200108002 : Kekuasaan dan Legitimasi Politik menurut Ibn Khaldun
Penelitian ini adalah studi tentang pemikiran Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun (Ibn Khaldun) pada bukunya Muqaddimah yang dispesifikasikan dalam ruang lingkup kajian tentang kekuasaan dan legitimasi politik. Latar belakang Ibn Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi dan ahli sejarah serta pengalaman yang mapan dalam dunia politik dan pemerintahan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka dengan beberapa pendekataan metode yaitu metode historis, metode deskripsi, komparasi, dan metode analisis filosofis. Dalam kajian ini dijawab tiga pokok permasalahan yaitu, latar belakang pemikiran Ibn Khaldun tentang kekuasaan dan legitimasi politik, kemudian bagaimana legitimasi politik lahir, berkembang dan sirna menurut Ibn Khaldun, serta implementasi kekuasaan dan legitimasi politik dalam Islam. Kemudian skripsi ini ditutup dengan satu sub pembahasan tentang implementasi politik Islam Indonesia sebagai hasil implikasi dari penelitian ini. Ibn Khaldun dalam menyajikan kajian tentang politik berangkat dari suatu kajian sosiologi sehingga kekuasaan serta legitimasi memiliki entitas dalam ruang publik dengan tetap menjadikan agama sebagai basis dalam pemikirannya. Kekuasaan politik manusia merupakan fitrah baginya yang membedakanya dengan binatang sebab manusia adalah makhluk yang berpikir dan karenanyalah kebaikan itu ada pada manusia sehingga kekuasaan menurut beliau bukan hanya sebagai tanggungjawab di dunia tetapi lebih kepada kehidupan akhirat sebab pemegang kekuasaan tunggal hanyalah milik Allah SWT. Lahir, berkembang, dan sirnanya sebuah kekuasaan dan legitimasi politik tergantung dari solidaritas sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibn Khaldun menulis sejarah pada karya Muqaddimah. Namun demikian, teori-teori politik justru muncul dominan karena sejarah yang ditulis pada masa lalu hampir selalu membahas sejarah politik. Pada masa sebelum Ibn Khaldun, biasanya buku politik ditulis dalam bentuk buku fikih, misalnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi. Di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk praktis mengenai bagaimana seharusnya politik dijalankan. Di sisi lain, ada kelompok filsuf yang menulis politik dengan cita-cita negara ideal utopis. Ibn Khaldun menawarkan cara baca baru yang lebih realis. Pilihan teori politik Ibn Khaldun yang lebih realis tampak konsisten dengan komitmen di awal buku Muqaddimah bahwa sejarah harus ditulis seriil mungkin. Sejarah harus dibedakan dari imajinasi dan harapan-harapan politik. Sejarah harus dibedakan dari dongeng dan keinginan sejarahwan mengklarifikasi sosok-sosok pelaku sejarah. Sejarah harus logis. Sejarah akan meyadarkan kita pada realitas kekinian dan yang akan datang. Sebagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang mengungkap berbagai displin ilmu dan melontarkan berbagai bidang kajian dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tentu hal yang menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa untuk mengkaji disiplin ilmu yang dinaunginya dalam upaya peningkatan kualitas ilmu dan kepribadiannya. Dalam perkembangan ilmu politik dewasa ini banyak tokoh menyandarkan kekuasaan pada struktural kenegaraan. Demikian juga dengan legitimasi politik yang disandarkan pada sistem politik formal dalam proses suksesi
2
politik, artinya legitimasi politik berasal dari undang-undang yang dibentuk dengan tujuan supaya suksesi politik berlangsung dalam mekanisme formalistik. Kajian yang penulis bahas adalah bagaimana kekuasaan dan legitimasi politik menurut Ibn Khaldun yang kebanyakan pemikirannya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqaddimah. Karya inilah yang menobatkan dia sebagai seorang sejarawan dan sosiolog karena wawasan yang dituangkan menjadi dasar lahirnya konsep sosiologi berikutnya hingga sampai pada perkembangan sosiologi modern. Ibn Khaldun adalah seorang pemikir politik dan juga sebagai ahli sejarah dan sosiologi. Ibn Khaldun hidup berpindah-pindah dikarenakan oleh jatuh bangunnya rezim yang ditempatinya tinggal, sebagaimana yang diungkapkan oleh Fuad Baali dan Ali Wardi.1
Hal inilah yang menjadikan seorang Ibn Khaldun sulit untuk
dipahami namun kesesuaian pemikiran-pemikirannya dengan perkembangan ilmu pengetahuannya dibidang politik, pengetehuan tentang sejarah dan sosiologinya membuat Dia memahami gerak politik kedepan, yang menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran Beliau dibidang politik. Ibn Khaldun adalah seorang politisi yang menghasilkan karya pemikiran teori politik tentang bagaimana terbentuknya suatu kekuasaan serta menjadi legitimasi atas kekuasaan tersebut. Kemampuannya dibidang politik sehingga Ibn Khaldun mampu meraih jabatan politik pada berbagai proses tertentu. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dalam teori sosialnya melahirkan persepsinya tentang kekuasaan dan legitimasi politik.
1
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic thougt-style A social perspective. Terj. Mansuruddin dan Ahmadie Thaha, (cet II; Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), halaman pengantar. Baca juga Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat :2010, h 269
3
Banyak para pemikir yang telah menggagas tentang kekuasaan dan legitimasi politik namun masih terjadi perbedaan dalam penafsirannya. Adanya perbedaan dikalangan para ahli dalam mendefinisikan kekuasaan sehingga mengaburkan makna kekuasaan itu sendiri, begitu juga terhadap legitimasi politik, belum lagi kekuasaan itu dipahami sebagai kekuatan otoritas yang bisa menindas masyarakat sehingga kekuasaan itu hanya menjadi milik para pejabat, milik para politisi dan milik para organisasi struktural. Beberapa definisi yang sering dipakai sekarang ini : “ Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku ” Miriam Budiardjo atau “ Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi” Ramlan Surbakti.2
Firman Allah Q.S An- Nisa/4: 58, tentang kekuasaan :
Terjemahan :
2
Eman Hermawan. Politik Membela yang Benar : teori,kritik, dan nalar, (Yogyakarta, Klik dan DKN Garda Bangsa, 2001), h 5
4
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah allah dan rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.3
Perihal gagasan Ibn Khaldun tentang kekuasaan dan legitimasi politik merupakan suatu bentuk perkembangan pemikiran dibidang politik yang banyak dipelajari saat sekarang ini ketika seseorang akan terjun kedalam dunia politik praktis. Ibn Khaldun telah menyajikan konsep yang luas dalam menafsirkan, megelolah, dan pengaplikasikan kekuasaan itu dalam realitas sosial. Bagaimana kekuasaan itu lahir, berkembang dan sirna? Namun sebagaimana yang telah diungkapakan diatas bahawa terjadi perbedaan pandangan tentang kekuasaan itu dikalangan para ahli sebagaimana Michel Foucault menjelaskan hubungan relasi kuasa dan ilmu pengetahuan. Foucault menganggap bahwa kekuasaan menjadi domain utama dalam proses perubahan pola pikirnya sebagaimana yang dijelaskan oleh George Ritzer bahwa pergeseran pemikiran foucault dalam arkeologi dan genealoginya yang mempertimbangkan faktor kekuasaan, yang dianggapnya bahwa sebelumnya karyanya bungkam terhadap kekuasaan.4
Dalam hal ini Foucault
menjadikan kekuasaan itu sebagai suatu domain yang sangat berpengaruh terhadap pola tingkah laku dan interaksi sosial. Selain Foucault juga terdapat pakar sosiolog yang melontarkan kajian dalam bidang kekuasaan seperti J.J. Rousseau, Thomas Hobbes, dan John Locke, yang masing-masing berbeda dalam menguraikan kontrak sosialnya sehingga terjadi perbedaan dalam menafsirkan kekuasaan.
3 4
Al-quran dan terjemahanya. Departemen agama RI, Mekar Surabaya, 2004. h 113
George Ritzer, The postmodern social theory, Terj. Muhammad Taufik; teori sosial postmodern,(cet IV. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), h. 78.
5
Adanya perbedaan pandangan tersebut oleh para ahli sehingga penulis menginginkan tampilnya Ibn Khaldun dalam pembahasan kekuasaan sehingga dapat ditarik sebuah khasana pemikiran yang lebih mendalam. Keselarasan pemikiran dengan para tokoh lainnya mungkin ada, namun hal ini seiring dengan adanya juga perbedaan pemikiran sekalipun Rousseau, Hobbes, dan John Locke juga mendasarkan pemikirannya pada realitas sosial, sama halnya dengan Ibn Khaldun. Asumsi penulis bahwa Ibn Khaldun dalam memaparkan kajiannya tentang kekuasaan dan legitimasi politik bermakna deskriptif dan masih membutuhkan analisa serta pendekatan sosiologi politik untuk memahaminya dengan merujuk pada karyanya yaitu AlMuqaddimah serta karya-karya para penulis pemikiran Ibn Khaldun lainnya. Implementasi konsep atas kekuasaan dan legitimasi politik sebagai sebuah konstruksi sosiologis dalam pandangan Ibn Khaldun sehingga Ia mampu menunjukkan sikap politik yang lebih relistis. Terjadinya perbedaan pandangan dikalangan pemikir politik modern tentang kekuasaan dan legitmasi politik dikarenakan adanya pengaruh konstruksi sosiologis yang melatar belakanginya. Didalam Islam sendiri terjadi perbedaan pandangan mengenai hubungan antara politik dengan agama sebab dalam al-Quran tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana seharusnya politik dijalankan. Beberapa pemikir Islam hanya mendasari perlunya politik pada sejarah pemerintahan yang telah ada pada masa sebelum Rasulullah dan dimasa kepemimpinan Rasulullah, itupun ada yang beranggapan bahwa Rasulullah sebenarnya tidak berpolitik akan tetapi menjalankan misi kenabian. Oleh karena itu dalam mengungkap beberapa teori-teori politik harus melalui telaah kritis sebagaimana yang saya kutip :
6
“ pemakaian teori-teori dan asumsi-asumsi masa lampau yang tidak kritis cenderung mempersempit bidang masalah-masalah itu dianggap berkaitan dengan pengartikulasian pemikiran-pemikiran politik dan sosial yang koheren. Yang dibutuhkan adalah suatu penilaian kembali yang menyeluruh terhadap anggapan-anggapan dan konseptualisasi terdahulu mengenai fenomena terdahulu. Alasan utamanya bukan karena pemikiranpemikiran semacam itu salah pada masa perumusannya, melainkan karena jauh tertinggal dibelakang perubahan yang telah terjadi, dan karena itu tidak mampu memberikan pemecahan yang relevan, realistis dan praktis terhadap masalah-masalah yang tidak ada pada waktu dirumuskannya pemikiranpemikiran itu.” 5 Kekuasaan dan legitimasi politik merupakan kajian yang membahas tentang fiqih siyasah yang berlandaskan pada hukum Islam. Secara prinsip hukum Islam dibagi dua. Pertama, yang bersifat syari’ah atau qat’iy dan yang kedua, bersifat dzanni atau fiqh. Karena sifatnya dzanni atau dugaan maka fiqih menerima perubahan sesuai tuntutan situasi, kondisi dan zaman. Dalam kaitan inilah fiqih siyasah mempunyai dimensi yang luas, dimana berbagai aspek kehidupan bernegara seperti kemaslahatan umum, keadilan, kestabilan turut menentukan sejauhmana keabsahan implementasi fiqih siyasah.6 Dzanni disini tidak bersifat sesuatu yang diduga-duga akan tetapi sesuatu yang berasal dari hasil telaah yang mendalam tentang realitas dan agama itu sendiri olehnya itu tidak semua orang bisa mengklaim dan menetapkan sendiri nilai fiqih.
5
Drs. Muhammad Azhar, MA. Filsafat Politik :Perbandingan antara Islam dan Barat (Rajagrafindo Persada, Jakarta : 1997), h 2. 6
Ibid, h 15
7
B. Rumusan Masalah Berdasarakan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka pertanyaan mendasar yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuasaan menurut Ibn Khaldun serta implementasinya dalam kerangka politik Islam? 2. Bagaimana
legitimasi
politik
menurut
Ibn
Khaldun
serta
implementasinya dalam kerangka politik Islam?
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Definisi Operasional Adapun definisi operasional dari “kekuasaan dan legitimasi politik menurut Ibn Khaldun” adalah sebagai berikut: a.
Secara etimologi kekuasaan berasal dari bahasa Inggris yang berarti power yang memiliki makna kemampuan berbuat dan bertindak. Menurut Dahl power identik dengan influence, authority, and rule.7 Kekuasaan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan, dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompoklain sedemikian rupa
7
M. Alfan Alfian, Menjadi pemimpin politik : perbincangan kepemimpinan dan kekuasaan, (Jakarta. Gramedia pustaka utama, 2009), hal [lembar transliterasi]
8
sehingga tingkah laku seorang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan orang yang mempunyai kekuasaan itu. b. Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti hukum. Secara istilah legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan.8
Legitmasi adalah
penerimaan dan pengakuan yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap kewenangan dan kekuasaan orang lain secara sah. c. Politik adalah kelihaian seseorang dalam megelolah kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah karya Ibn Khaldun yang berjudul AlMuqaddimah serta karya-karya orang lain yang tetap ada relevansinya terkait dengan rumusan masalah.
D. Tinjauan Pustaka Buku yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah : Muqaddimah Ibn Khaldun yang diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha merupakan terjemahan lengkap tentang buku asli dari Ibn Khaldun, karya yang merupakan pokok pikiran sehingga dinobatkan sebagai ahli sejarah dan sosiolog. Karya terbesar Ibn Khaldun yang menulis sejarah dan sosiologi, sehingga menjadi buku utama dalam kajian pustaka tentang materi kajian yang membahas tentang
8
Eman Hermawan, Op. cit. h 6.
9
pemikiran Ibn Khaldun. Sebab karya yang berjudul Al-Muqaddimah merupakan rangkum
an pemikiran yang mengungkap tentang karier politik Ibn Khaldun selain
karya sejarah dan sosiologinya. Pandangan-pandanga tentang kekuasaan dan legitimasi juga tersirat dalam Muqaddimahnya. Ibnu Khaldun menghimpun aliran sosiologi dalam karyanya Muqaddimah. Keunggulan Muqaddimah ditemukan dalam: 1. Falsafah sejarah, penemuan ini telah memberi pengertian tentang pemahaman yang baru tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu yang memiliki filsafat. 2. Metodologi sejarah, Ibn Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak benda-benda empirik, oleh karena epistimologinya adalah observasi. Prinsip ini merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan pemikirannya kepada eksperimen-eksperimen dan tidak menganggap cukup eksperimen yang sifatnya individual tetapi mereka hendaknya mengambil sejumlah eksperimen. 3. Dialah penggagas ilmu pengetahuan atau falsafah sosial. Menurut pendapatnya ilmu ini adalah kaidah-kaidah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian yang mungkin dan yang mustahil. Ibn Khaldun membagi topik ke dalam 5 pasal besar, yaitu : a. Tentang masyarakat manusia secara keseluruhan dan jenis-jenisnya dan perimbangannya dengan bumi, “Ilmu sosiologi umum”. b. Tentang masyarakat pengembara dengan menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab; “sosiologi pedesaan”. c. Tentang negara khilafat dan pergantian sultan-sultan; “sosiologi politik”.
10
d. Tentang pertukaran, kehidupan, penghasilan, dan aspek-aspeknya; “sosiologi industri”. e. Tentang ilmu pengetahuan, cara memperolehnya dan mengajarkannya; “sosiologi pendidikan”. Muqaddimah bukanlah kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang berhasil dalam memperbarui ilmu sosial. Oleh karena itu Ibn Khaldun mengajak menjadikan ilmu sosial ilmu yang berdiri sendiri, karena itu Prof. Sati al-Hasri berpendapat bahwa : “Ibn Khaldun berhak dengan gerak pendiri ilmu sosial lebih dari pada Comte, oleh karena Ibn Khaldun telah berbuat yang demikian jauh sebelum Comte lebih dari 460 tahun”. Selain dari Al-Muqaddimah juga karya Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terjemahan Mansuruddin dan Ahmadie Thoha. Buku ini mengkaji Ibn Khaldun sesuai pola budaya dimana Ibn Khaldun hidup dan menuangkan pikiran-pikirannya, melihat Ibn Khaldun berdasarkan tiga kerangka konsentris yang mempengaruhi pandangan dunia manusia yaitu, pandangan kulturalnya, kedudukan sosialnya, dan kecenderungan personalnya. 9
Buku ini
memiliki keterkaitan dengan judul yang ingin diteliti terutama pembahasan dalam buku ini yang membahas Ibn Khaldun yaitu kehidupan dan Muqaddimahnya. Akan tetapi dalam buku ini menspesifikasikan pada kajian tentang filsafat realis Ibn Khaldun. Sementara skripsi ini memfokuskan pada kajian tentang politik dan sejarah perkembangan politik Islam kontemporer.
9
Fuad Baali dan Ali Wardi, op. cit. h 8
11
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, yang disadur dari An Nashariyat As Siyasiyah Al Islamiah (Islamic political theories), karya prof. Dr. Dhiyauddin Ar Rayis, buku ini membahas tentang pertumbuhan politik dalam masyarakat Islam, pertumbuhan partai dan mazhab, perkembangnan masalah Imamah dan khalifah, hukum, bentuk Negaraa, pembaiatan atau pengangkatan kepala Negara, kedaulatan Negara, serta hubungan antara rakyat dan penguasa.10 Karya ini memfokuskan pada etika politik Islam berdasarka legitimasi quran dan hadis. Sementara dalam skripsi ini menggunakan alanlisis perbandingan dengan pendapat para pakar politik sehingga dapat menambah khasana etika politik Islam. Buku Politik Membela Yang Benar karangan Eman Hermawan yang memberikan devinisi mendasar tentang politik, kekuasaan dan legitimasi. Sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding antara definisi dari beberapa ahli dengan pemikiran Ibn Khaldun. Buku ini memaparkan definisi secara umum tanpa menampilkan literatur kajian Islam tentang bagaimanakekuasaan itu berkembang dalam kehidupan umat manusia. Membahas tentang pemikiran para tokoh pemikir yang salah satunya adalah Michel Foucault yang juga berbicara tentang relasi kuasa dan ilmu pengetahuan. Buku yang berjudul Teori Social Postmodern karya George Ritzer. Sebagai rujukan dalam memahami pengertian kekuasaan dari para pemikir postmodernisme. Buku ini
10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Beregara, (Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2001) h
12
berbicara pemikiran barat sementara penulis menggabungkan antara barat dan timur dalam menampilkan hasil pemikiran. Buku yang menyajikan pemikiran dan biografi Ibn Khaldun secara mendalam yaitu Drs. Ayi Sofyan, M.si yang berjudul Kapita Selekta Filsafat dalam bab V yang mengungkap pemikiran tokoh politik Islam dan salah satu pemikir sosiologi terkemuka islam adalah Ibn Khaldun. Buku ini menjelaskan tentang fenomena alamiah menurut Ibn Khaldun, kondisi sosial politik pada masa kehidupan Ibn Khaldun, corak pemikiran dan karya-karya beliau, konsep keadilan sosial menurut Ibn Khaldun.11 Buku ini memberikan pemahaman tentang bagaimana pemikiran Ibn Khaldun hadir sebagai respon terhadap kehidupan politik yang sedang terjadi pada saat itu dan yang baru dari buku ini adalah konsep Ibn khaldun tentang fenomena alamiah, serta keadilan sosial yang dipaparkan dengan sangat mendalam dalam buku ini. Sementara dalam skripsi ini memfokuskan pada pembentukan kekuasaan dan legitimasi politik sebagai kelanjutan dari fenomena alamiah Ibn Khaldun. Buku yang memberikan penjelasan tentang kekuasaan serta tiga pilar kekuasaan. Memberikan penjelasan tentang pengertian kekuasaan menurut Max Weber, Bertrand Russel, dan Charles F Andrian yang ketiganya merupakan tokoh yang banyak berbicara tentang kekuasaan. Buku ini juga adalah merupakan literature pemikiran barat yang tentunya sangat berbeda dengan skripsi ini sebagai kajian pemikiran tokoh Islam.
11
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h 269
13
Buku karangan S.P Varma yang berjudul Teori Politik Modern membahas tentang beberapa teori politik dari para tokoh-tokoh serta perkembangan pemikiran mulai dari klasik hingga modern. Menjelasakan perkembangan pemikiran berdasarkan mazhab atau aliran pemikiran yang ada sehingga kita dapat mengelompokkan atau mencari persamaan pemikiran dari beberapa tokoh. Buku ini sangat berbeda dengan penelitian skripsi terutama kekuasaan dan legitimasi yang dikembangkan Ibn Khaldun dengan pendekatan ilmu sosiologi dan sejarah pemerintahan Islam. Karangan Inu Kencana syafiie yang membahas tentang Negara, kekuasaan, dan legitimasi, serta melakukan penjelasan secara filsafat mengenai kekuasaan itu. Buku ini juga memberikan pembagian kekuasaan didalam pemerintahan Islam Madinah yang dijalankan rujukan oleh parasahabat nabi (khulafaur rasyidin). Sementara perbedaanya dengan skripsi ini adalah melakukan pendekatan sosiologi dan sejarah pada perkembangan pemikiran Islam. Islam dan tata Negara karangan Munawir Sjazali. Memberikan gambaran praktik sejarah politik Islam mulai dari periode pertama (periode rasulullah SAW) sampai pada perkembangannya pasca Rasulullah (periode Khulafaur Rasyidin) dan perkembangan pemikiran dinegara-negara Islam serta para tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam dari masa klasik hingga memasuku era modern. Selain itu juga membahas mengenai perkembangan sektesekte umat Islam seperti syiah, sunni, dll. Namun buku ini lepas dari kajian atas politik Islam Indonesia. Sementara skripsi ini mempertimbangkan relitas lokal kedaerahan pada perkembangan kekuasaan.
14
Pengantar studi Islam yang disusun oleh Rosihon Anwar dkk. Yang membahas Islam secara mendasar mulai dari pengertian hingga studi-studi kajian dalam Islam dan pertumbuhannya. Buku ini juga memberikan cara atau metode yang digunakan dalam mengkaji Islam baik secara politik maupun sebagai agama. Sementara kripsi ini memahami pilitik tidak hanya sebatas kajian Islam akan tetapi politik sebagai salah satu kekuatan dalam mencapai kekuasaan apakah sesuai dengan kaidah Islam atau tidak. Fiqih politik karya Ridwan HR yang membahas tentang gagasan politik Islam, tawaran politik serta memaparkan kenyataan politi yang terjadi sepanjang sejarah politik Islam. Namun sama sekali buku ini tidak membahas tentang pemikiranpemikiran yang muncul terutama diabad pertengahan dimana pada saat itulah Ibn Khaldun menuangkan pikirn-pikirannya dalam Muqaddimah. Pembaharuan dalam Islam karangan Harun Nasution yang juga membahas tentang sejarah dan gerakan politik Islam termasuk tokoh-tokoh serta Negara-negara yang menjadi pusat perkembangan Islam namun buku ini juga lepas dari kajian politik Islam Indonesia. M Alfan Alfian dalam bukunya menjadi pemimpin politik yang membahas tentang konsep kepemimpinan serta bagaimana seharusnya kekuasaan itu dijalankan dan menawarkan menajemen kepemimpinan politik. Kaitannya dengan karangan ini adalah bagaimana kekuasaan itu lahir, berkembang dan sirna. Fiqih siyasah karangan Beni Ahmad Soebani yang membahas tentang ilmu politik Islam, mulai metode-metode mempelajari politik Islam serta memparkan
15
manfaat dan nilai-nilai dalam mempelajari fiqih siyasah. Dan juga memaparkan sejarah fiqih siyasah pada masa Rasulullah SAW. Serta para sahabatnya. Islam karangan Fazlur Rahman, yang membahas secara panjang lebar tentang sejarah politik Islam serta perkembangan pemikiran Islam mulai dari masa Rasulullah hingga pasca modern. Buku ini menyajikan Islam secara politik dan gambaran mengenai bagaimana konflik politik itu muncul dikalangan Islam itu sendiri. Dan juga mengungkap beberapa gerakan-gerakan pembaharuan yang muncul beserta perbedaan pandangan mengenai politik dikalangan para ahli agama. Buku dengan judul “Islam dan pembaharuan (ensiklopedi masalah-masalah)” yang diterjemahkan dari buku aslinya “Islam in transition : Muslim perspective” karangan John J donohue dan John L. Esposito. Yang berbicara beberapa dasar dari sejarah yang membentuk pemikiran masa kini yang sangat beragam dalam perkembangan pemikiran di dunia Islam. Memuat beberapa catatan para pemikir Islam dengan pembahasan yang beragam. Buku ini sangat membantu dalam penelitian ini karena menyediakan beragam khasanah pemikiran dari beberapa tokoh pemikir Islam yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya. Buku ini menyajikan pembahasan berdasarkan perspektif pembaharuan dalam pemahaman pemikiran Islam dengan mengangkat beberapa tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Ahmad Khan,
Muhammad Iqbal, serta beberapa tokok yang lainnya.
Sementara skripsi ini mengkaji pembaharuan Ibn Khaldun tentang politik dengan pendekatan sosiologinya.
16
Buku yang berjudul Awal Mula Sosiologi Modern (kerangka epistemologi, metodologi, dan perubahan sosial perspektif Ibn Khaldun) karangan Dr. Syarifuddin Jurdi yang membahas pemikiran Ibn Khaldun secara mendasar serta menobatkannya sebagai bapak sosiologi dalam Islam. Membahas pemikiran Ibn Khaldun tentang keuasaan, legitimasi dan politik pada bab V namun dalam skripsi ini dilakukan pendekatan secara filsafat dan politik serta tidak merujuk pada sejarah pemerintahan kemajuan Islam dan menghindari pengambilan kesimpulan tentang kekuasaan dalam Islam pada satu aliran tertentu dalam Islam. E. Metodologi Peneleitian Untuk mencapai hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan agar penelitian yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai prosedur keilmuan, maka metodologi merupakan kebutuhan yang sangat urgen dan sangat membantu penulis dalam memahami hasil-hasil penelitian secara objektif. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian skripsi ini bersifat kepustakaan (library research) murni yaitu suatu jenis penelitian yang menggunakan bahan-bahan tertulis dalam pengumpulan datanya, seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, serta karangan-karangan lainnya yang bersifat ilmiah baik yang dipublikasikan maupun yang menjadi dokumen khusus.12 Dalam proses penelitian penulis menggunakan beberapa metode pendekatan guna mendalami isi atau kandungan yang terdapat pada bahan rujukan. Dalam proses
12
A. Kadir Ahmad, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif, (Makassar, Indobis Media Centre, 2003), h 106.
17
pemaparan hasil bacaan penulis meneggunakan dua jenis kutipan yakni kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung adalah kutipan yang diambil dari bahan rujukan dengan tanpa mengubah dan mengurangi atau melebih-lebihkan isi kutipan tersebut. Sedangkan kutipan tidak langsung adalah kutipan yang diambil dari bahan rujukan dengan menggunakan bahasa penulis tanpa mengurangi maksud dan tujuan yang terkandung dari tulisan tersebut. Setelah data terkumpul, selanjutnya disusun secara sistematis dan diolah secara kualitatif yang diinterpretasikan dan dianalisis dalam konsep pemikiran terhadap objek permaslahan yang dibahas.13 Dengan demikian data yang dihasilkan adalah data yang bersifat deskriptif. 2. Metode Pendekatan Penulisan skripsi ini menggunakan beberapa metode diantaranya adalah Metode Kepustakaan dalam rangka mengumpulkan data untuk keperluan penelitian, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan membagi sumber data dalam dua kategori yaitu sumber primer khususnya terhadap karya Ibn Khaldun yang berjudul Muqaddiamah dan sumber data tang bersifat sekunder yaitu karya orang lain yang membahas tentang pemikiran Ibn Khaldun terutama yang berhubungan dengan kekuasaan dan legitimasi politik.
13
2003), h 73.
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Cet. Xiv; Jakarta : Rajagrafindo Persada,
18
3. Tekhnik Analisis Data Setelah memperoleh data yang tersedia mengenai pembahasan, penulis menggunakan beberapa metode yaitu historys, metode deskripsi, metode komparasi, dan metode analisis filosofis. Hal ini adalah sebagai berikut : a. Metode Historis guna memperoleh gambaran mengenai latar belakang sosial tokoh yang sedang dikaji. Metode ini mempelajari kehidupan sosial dimana dan kapan serta bagaimana pola tingkah laku tokoh, dalam artian memaparkan biografi serta jenjang karier yang dicapai sang tokoh. b. Metode deskripsi guna menggambarkan keadaan objek atau materi dari peristiwa tanpa maksud mengambil keputusan atau kesimpulan yang berlaku umum. Metode ini bukan untuk membahas, tetapi digunakan untuk menyajikan data atau informasi materi terhadap sejumlah permasalahan dalam bentuk apa adanya. Dengan kata lain semua data dan informasi yang berkaitan dengan kekuasaan dan legitimasi politik yang dikutip dari berbagai sumber akan disajikan dalam bentuk deskriptif. c. Metode komparasi untuk membandingkan informasi yang satu dengan yang lainnya, yang tetap ada relevansinya. Hal ini diungkap agar penulis dapat menggambarkan tentang kekuasaan dan legitimasi politik dari para ahli berdasarkan literatur yang ada. Membandingkan konsep dan teori yang telah muncul dari beberapa ahli yang terkait dengan judul penelitian serta memberikan gambaran tentang kesamaan teori atau bertentangan dengan teori tokoh yang sedang dikaji.
19
d. Metode analisis. Metode ini guna memilih dan mempertajam pokok permasalahan kemudian diproyeksikan dalam bentuk konsepsional dan menyelidiki kandungannya menjadi satu rangkaian pengertian yang bersifat terbatas. Disamping itu analisis ini juga menggunakan cara pandang yang bernilai deduktif dan induktif. e. Metode filosifis. Metode ini digunakan untuk mengkaji pemikiran para tokoh yang diangkat nanti dalam skripsi ini sehingga diperoleh pendalaman yang lebih komprehensif, radikal, dan kritis. Mempertimbangkan ide atau issu-issu dari semua perspektif dengan eksplorasi ekstensif atas literatur. F. Tujuan dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Mengkaji kedalaman konsep tentang kekuasaan dan legitimasi politik dalam Muqaddimah. b. Memperkenalkan pemikiran politik Ibn Khaldun terutama menyangkut kekuasaan dan legitimasi secara luas demi pengembangan masyarakat, bangsa, dan Negara, serta agama c. Menyusun satu skripsi lengkap. 2. Kegunaan Penelitian. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
20
a. Keilmuan 1) Memberikan kontribusi pemikiran terhadap upaya peningkatan taraf pendidikan pada jurusan Pemikiran Politik Islam. 2) Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya mengenai pola pemikiran politik Ibn Khaldun.
b. Kegunaan Secara Praktis Secara praktis penelitian ini merupakan : 1) Sebagaia salah satu syarat dalam menyelesaikan tingkat pendidikan strata 1 pada jurusan pemikiran politik islam. 2) Sebagai proses belajar, mengajar yang dapat diperkenalkan secara luas demi pengembangan masyarakat, bangsa, dan Negara, serta agama. G. Garis-Garis Besar Isi Penelitian Secara garis besar, isi penelitian ini bermaksud untuk mencari tahu tentang latar belakang pemikiran Ibn Khaldun mengenai kekuasaan dan legitimasi serta bagaiman kekuasaan itu lahir, berkembang dan sirana. Dan untuk memahami secara mendalam tentang kekuasaan serta legitiasi itu sehingga dalam satu bab dibahas mengenai pengertian kekuasaan dan legitimasi baik secara etimologi maupun secara terminologi. Dan pembahasan dikajian ini ditutup dengan salah satu sub bab yang membahas tentang legitimasi politik islam dalam proses suksesi politik di Indonesia. Pembahasan yang terakhir inilah yang mampu memberikan implikasi terhadap politik di Indonesia terutama bagi kalangan Islam untuk melihat kembali pemikiran politik yang dipaparkan Ibn Khaldun serta kesesuaiannya dengan perkembangan politik modern dan juga kesesuaiannya dengan realitas politik di Indonesia.
21
BAB II KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK A. Pengertian Kekuasaan Dalam mempelajari politik tentu tidak terlepas dari pembahasan tentang kekuasaan sebab pondasi awal dalam menjalankan politik adalah kekuasaan. Adanya kekuasaan merupakan suatu pengaruh yang nyata atau potensial. Kekuasaan memiliki akar genealoginya yang dapat dilihat mulai dari pemkir di masa lampau sampai di era mutakhir, mulai dari pemikir yunani kuno, para penyusun epos Mahabharata, Bharata Yudha dan Ramayana di India, sampai Ibn Khaldun. Di era modern, muncul para pemikir barat, seperti Hobbes (1588-1672), locke (1632-1704), Machiavelli (14691527). Ketiga pemikir terakhir memposisikan manusia sebagai rational aktor, maka konsepsi kekuasaan rasionallah yang mengemuka. 1
Selain dari para pemikir yang
telah disebutkan diatas, masih banyak lagi yang memberikan pendefinisian tentang kekuasaan itu sendiri seperti Karl Max, Foucault, Habermas, Giddens, al-Ghazali. Secara etimologi kekuasaan berasal dari bahasa Inggris yang berarti power yang memiliki makna kemampuan berbuat dan bertindak. Menurut Dahl power identik dengan influence, authority, and rule.2
Kekuasaan adalah konsep yang
berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuai pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan, dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok lain sehingga menyebabkan orang lain bertindak sesuai dengan 1
M. Alfan Alfian, Menjadi pemimpin politik : perbincangan kepemimpinan dan kekuasaan, (Jakarta. Gramedia pustaka utama, 2009), h 223 2 Ibid, h 223
22
keinginan orang yang memiliki kekuasaan itu.3
Pengertian disini harus meliputi
untuk membuat keputusan mempengaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. Kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami situasi serta keterampilan dalam menentukan macam kekuasaan untuk merespon tuntutan situasi. Menurut Gary A Yukl, kekuasaan merupakan potensi agen untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person). Sementara David dan Newsroom membedakan kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sedangkan wewenang merupakan pendelegasian dari menajemen yang lebih tinggi. Jadi dapat disimpulkan, kekuasaan atau power berarti suatu kemapuan untuk mempengaruhi orang atau merubah orang dan situasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa konsep tentang kekuasaan telah banyak diperbincangkan oleh para ahli. Olehnya itu kekuasaan memiliki beberapa varian dalam penafsirannya. Sallie Westwood dari beberapa hasil bacaanya mencatat beberapa hal penting terkait kekuasaan, antara lain : 1. Kekuasaan dipandang sebagai zero sum (tumpas kelor) dengan penekanan pada dua kata kunci, yakni repression (represi) dan coersion. Konsep kekuasaan zero sum game ini mempertentangkan antara yang powerful dan yang pawerlesss. 2. Kekuasaan dipandang sebagai konsekwensi dari gagasan hegemoni dan kontra hegemoni. 3
Eman Hermawan, Op. cit. h 5.
23
3. Sebagai konsekwensi atas pandangan zero sum, kekuasaan dipandang sebagai manipulasi dan strategi. 4. Kekuasaan terkait dengan pengetahuan (knowledge), disiplin dan governance. 5. Kekuasaan performatif merupakan produk dari pelanggaran (transgression) dan gangguan (disruption).4 Sementara menurut Steven Lukes menekankan bahwa kekuasaan terkait dengan mempengaruhi orang lain dalam hal apa yang Ia pikirkan, yang Ia mau, yang Ia butuhkan.5
Hal ini sejalan dengan pandangan Miriam Budiardjo tentang
kekuasaan. Selain itu kekuasaan memiliki karakteristik yang menurut Wirawan, kekuasaan merupakan sesuatu yang abstrak, milik interkasi sosial, dan pemegang
kekuasaan yang egois cenderug menyalah gunakannya. 6 Sementara menutur AlGhazali kekuasaan hanya milik allah, (sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an surah Al-Imran (3) ayat 26)
Terjemahan :
4 5 6
Ibid, hal 219. Ibid h 223. Ibid h 230.
24
Katakanlah (Muhammad), wahai tuhan pemilik kekuasaan, engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang engkau kehendaki, dan engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa pun yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebajikan , sengguh, engkau maha kuasa atas segala sesuatu. sementara kekuasaan manusia tak lebih dari pada fatamorgana dunia. Namun dunia harus dipandang secara benar agar kekuasaan mampu menumbuhkan keadilan. B. Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antara manusia maupun antara kelompok mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu: Rasa takut, Rasa cinta, Kepercayaan, dan Pemujaan. Apabila dilihat dalam masyarakat, maka kekuasaan di dalam pelaksanaannya melalui saluran-saluran, sebagai berikut: Saluran Militer, Saluran Ekonomi, Saluran Politik, Saluran Tradisional, dan Saluran Ideologi. Sumber-sumber kekuasaan dapat dilihat berdasarkan sumber pada kedudukan, dan sumber pada politik yaitu sebagai berikut: 1. Kekuasaan yang Bersumber pada Kedudukan Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu : a. Kekuasaan Formal atau Legal Termasuk dalam jenis ini adalah komandan tentara, kepala dinas, presiden atau perdana menteri, dan sebagainya yang nendapat kekuasaannya karena ditunjuk dan/atau diperkuat dengan peraturan atau perundangan yang resmi.
25
b. Kendali atas Sumber dan Ganjaran Majikan yang menggaji karyawannya, pemilik sawah yang mengupah buruhnya, kepalasuku atau kepala kantor yang dapat memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya, dan sebagainya, memimpin berdasarkan sumber kekuasaan jenis ini. c. Kendali atas Hukuman Ganjaran Biasanya terkait dengan hukuman sehingga kendali atas ganjaran biasanya juga terkait dengan kendali atas hukuman . Walaupun demikian, ada kepemimpinan yang sumbernya hanya kendali atas hukuman saja. Kepemimpinan jenis ini adalah kepemimpinan yang berdasarkan atas rasa takut. Contohnya, preman-preman yang memunguti pajak dari pemilik-pemilik toko. Para pemilik toko mau saja menuruti kehendak para preman itu karena takut mendapat perlakuan kasar. Demikian pula anak kelas 1 SMP takut kepada seniornya murid kelas 3 yang galak dan suka memukul sehingga kehendak senior itu selalu dituruti. d. Kendali atas Informasi Informasi adalah ganjaran positif juga bagi yang memerlukannya. Oleh karena itu,siapa yang menguasai informasi dapat menjadi pemimpin. Orang yang paling tahu jalan di antara serombongan pendaki gunung yang tersesat akan menjadi pemimpin rombongan itu. Ulama akan menjadi pemimpin dalam agama. Ilmuwan menjadi pemimpin dalam ilmu pengetahuan. e. Kendali Ekologik
26
Sumber kekuasaan ini juga dinamakan perekayasaan situasi (situational engineering). Cotohnya, kendali atau penempatan jabatan. Seorang atasan, manajer atau kepala bagian personalia, misalnya mempunyai kekuasaan atas bawahannya kerana ia boleh menentukan posisi anggota-anggotanya. Demikian pula komandan atau kepala suku yang berhak menentukan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh bawahan dan anggotanya. Orang-orang ini akan dianggap sebagai pemimpin. Contoh lain adalah kendali atas tata lingkungan. Kepala dinas tata kota berhak memberi izin bangunan. Kepala asrama menentukan seorang siswa harus tidur di kamar mana dan dengan siapa. f. Kekuasaan Kepribadian Kekuasaan yang Bersumber pada Kepribadian berbeda dari kepemimpinan yang bersumber pada kekuasaan karena kedudukan, kepemimpinan yang bersumber pada kekuasaan karena kepribadian berawal dari sifat-sifat pribadi, yaitu sebagai berikut; 1) Keahlian atau Keterampilan. Sholat berjamaah dalam agama Islam, yang dijadikan pemimpin sholat (imam) adalah yang paling fasih membaca ayat Alquran. Disebuah kapal atau pesawat udara, mualim atau penerbang yang paling terampillah yang dijadikan nahkoda atau kapten. Pasien-pasien di rumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah yang dianggap paling ahli untuk menyembuhkan penyakitnya. 2) Persahabatan atau kesetiaan. Sifat dapat bergaul, setia kawan atau setia kepada kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang
27
dianggap sebagai pemimpin. Ibu-ibu ketua kelompok arisan, misalnya, dipilh karena sifat-sifat pribadi jenis ini. 3) Karisma. Ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin juga merupakan salah satu sumber kekuasaan dalam proses kepemimpinan.
2. Kekuasaan yang Bersumber pada Politik Kekuasaan yang bersumber pada politik terdiri dari beberapa jenis yaitu sebagai berikut : a. Kendali atas proses pembuatan keputusan. Dalam organisasi, ketua menentukan apakah suatu keputusan akan dibuat dan dilaksanakan atau tidak. Hakim memimpin sidang pengadilan karena ia mempunyai kendaliatas jalannya sidang dan putusan atau vonis yang akan dijatuhkan. Kepemimpinan seorang presiden juga bersumber pada kekuasaan politik karena sebuah undang-undang yang sudah disetujui parlemen baru berlaku jika sudah mendapat tanda tangannya. b. Koalisi Kepemimpinan atas dasar sumber kekuasaan politik ditentukan juga atas hak atau kewenangan untuk membuat kerja sama dengan kelompok lain. Pemilik perusahaan berhak melakukan merger dengan perusahaan lain. Kepala suku Indian mengisap pipa perdamaian dengan kepala suku lainnya. Presiden menyatakan perang atau damai dengan negara lain.
28
c. Partisipasi Pemimpin mengatur partisipasi anggotanya, siapa yang boleh berpartisipasi, dalam bentuk apa tiap anggota itu berpartisipasi, dan sebagainya. d. Institusionalisasi. Pemimpin agama menikahkan pasangan suami-istri, menentukan terbentuknya keluarga baru. Notaris atau hakim menetapkan berdirinya suatu yayasan atau perusahaan baru. Lurah mengesahkan berdirinya LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Menurut sumber dan basis kekuasaan Wirawan mencatat beberapa sumber kekuasaan, yaitu : posisi, sifat personal, keahlian, peluang untuk mengontrol informasi. Sementara para ahli lain membagi sumber kekuasaan dalam lima hal yaitu: 1) Legitimasi (otoritas, peraturan dan undang-undang). 2) Kontrol atas sumber keuangan dan informasi. 3) Keahlian : Kritikalitas. 4) Hubungan sosial : kontak, pertemanan, kekuasaan dalam angka. 5) Karakteristik personal : kharismatik, menarik. Menurut basisnya atau sumber hubungan kekuasaan antara pihak yang mempengaruhi (agen) dengan pihak yang dipengaruhi (target). Basisi kekuasaannya berupa : paksaan, imbalan, persuasi, dan pengetahuan.7 C. Tipe-Tipe Kekuasaan French dan Raven (Gary A Yukl, 1994) mengidentifikasi ada lima bentuk kekuasaan yang dirasakan mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
7
Ibid, h 237.
29
1) Kekuasaan ganjaran (Reward Power) Merupakan suatu kekuasan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargan atau pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya 2) Kekuasaan paksaan (Coercive Power) Yaitu suatu kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang pengikut merasa bahwa kegagalan memenuhi permintaan seorang pemimpin dapat menyebabkan dijatuhkannya sesuatu bentuk hukuman. 3) Kekuasaan legal (Legitimate Power) Yaitu suatu kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam kelompok atau hirarki keorganisasian. 4) Kekuasaan keahlian (Expert Power)Yaitu kekuasasan yang didasarkan atas ketrampilan khusus, keahlian atau pengetahuan yang dimiliki oleh pemimpin dimana para pengikutnya menganggap bahwa orang itu mempunyai keahlian yang relevan dan yakin keahliannya itu melebihi keahlian mereka sendiri. 5) Kekuasaan acuan (Referent Power)Yaitu suatu kekuasaan yang diasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpindikagumi oleh pra pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas, bentuk kekuasaan ini secara populer dinamakan kharisma. Pemimpin yang memiliki daya kharisma yang tinggi dapat meningkatkan semangat dan menarik pengikutnya untuk melakukan sesuatu, pemimpin yang demikian tidak hanya diterima secara mutlak namun diikuti sepenuhnya.
30
Boulding mengatakan ada 3 jenis kekuasaan dalam mempertahankan organisasi, yaitu: a.
Kekuasaan
destruktif
adalah
kekuasaan
yang
berpotensi
untuk
menghancurkan dan mengancam. b. Kekuasaan produktif atau menghasilkan bersifat ekonomik dan meliputi kekuasaan untuk menghasilkan dan menjual. c. Kekuasaan integrative berarti mendorong kesetiaan, menyatukan orang bersama dan mampu menggerakkan orang ke arah tujuan bersama. Menurut Boulding, kekuasaan integratif adalah bentuk kekuasaan yang paling dominan. Pandangan ini melihat secara praktek memang benar dan secara konsep lebih meyakinkan untuk menciptakan loyalitas kenggotaan agar kekuasaan dapat dimaksimalakan
atas
dasar
kerjasama
untuk
mencapai
tujuan
yang
berkesinambungan. D. Pengertian Legitimasi Politik Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti hukum. Secara istilah legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan.8
Legitimasi berarti suatu aturan yang
menyangkut keabsahan atau mengandung pengakuan secara formal dan merupakan kualitas otoritas yang yang dianggap benar atau sah. Ada kode hukum tersendiri yang diciptakan untuk membuat suatu tindakan dianggap sah atau menyimpan. Kata
8
Eman Hermawan, Op. cit. h 6.
31
legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Sementara politik adalah persoalan siapa mendapat apa dan dengan cara apa. Pendapat lain mengenai politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama (negara) dan melaksanakan tujuan itu.9 Suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Menurut Easton, terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan. 10
9 10
93
Ibid. h 7
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik ( Jakarta. Grasindo : 2009), h,
32
Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan.
E. Bentuk-Bentuk Legitimasi Menurut Zippelius dalam Franz Magnis—Suseno, bentuk legitimasi dilihat dari segi obyek dapat dibagi atas dua bentuk yakni : 1.
Legitimasi materi wewenang Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dengan sah? Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma dalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik: yakni dalam hukum sebagai lembaga
penataan masyarakat yang normatif dan dalam
kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif dalam arti mampu mengambil tindakan. 2.
Legitimasi subyek kekuasaan Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi
33
masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat 2 macam legitimasi subyek kekuasaan: a. Legitimasi religius Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.
b. Legitimasi Eliter Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni (1) legitimasi aristoktratis : secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis. (2) legtimasi ideologis modern : legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilese kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukkannya. (3)
34
legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli:
berdasarkan
argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih dan kompleks sehingga hanya dapat dijalankan secara bertanggungjawab oleh mereka yang betul-betul ahli. (4) legitimasi pragmatis: orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menanganinya inilah yang dianggap berhak untuk berkuasa. Calah satu contoh adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang dapat menjaga kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan segara secara teratur. Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu : 1.
Legitimasi tradisional; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2.
Legitimasi ideologi;
masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin
pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila. 3.
Legitimasi kualitas pribadi; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa
35
kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu. 4.
Legitimasi prosedural;
masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan
kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 5.
Legitimasi instrumental; masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat. 11 Sementara menurut Eman Hermawan ada tiga cara untuk mendapatkan
legitimasi yaitu sebagai berikut : a) Simbolis, dengan memanipulasi kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai kebudayaan pada umumnya dalam bentuk simbol. b) Prosedural, dengan menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil rakyat, presiden, dan anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan kebijakan umum. c) Material, dengan menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material pada masyarakat, seperti menjamin ketersediaanya kebutuhan dasar, fasilitas kesehatan, pendidikan, dll.12
11 12
Ramlan Subakti, op.cit. h, 97 Eman Hermawan, op. cit. h 6-7
36
BAB III IBN KHALDUN : BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN POLITIK ISLAM A. Biografi Nama lengkap Ibn Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H bertepatan tanggal 27 Mei 1333 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari golongan Arab Yaman di Hadramaut. Baru setelah Islam mengalami kehilangan kekuasaan di Andalusia, seluruh keluarganya pindah ke Tunisia.1 Secara garis besar kehidupan Ibnu Khaldun dibagai menjadi empat fase: 1. Pertumbuhan dan studi yang dimulai dari tahun 732 H hingga akhir tahun 751 H. Seperti kebiasaan pada waktu itu, sang ayah adalah guru pertamanya. Setelah itu, ia belajar di luar dengan beberapa guru. Dalam ilmu bahasa, ia belajar dengan Abu Abdillah Muhammad Ibn Al-Arabi dan Abu Abdillah Muhammad Ibnu Bahr. Ilmu fiqh ia pelajari dari Abu Abdillah Al-Jiyani dan Abu Al-Qasim Muhammad Al-Qashir. Selain mempelajari ilmu agama, ia juga belajar ilmu lainya seperti ilmu filsafat, teologi, ilmu alam, matematika, dan astronomi.2 2. Keterlibatan dalam dunia politik. Kondisi politik pada masa itu ditandai oleh kemajemukan kerajaan-kerajaan Islam yang menyebabkan dunia politik
1
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h 269 Zainab, Perkembangan Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h 10. 2
37
penuh dengan intrik politik. Khaldun tidak mengelak dalam berbagai intrik politik tersebut. Latar belakang pendidikannya telah membedakan Khaldun dengan tokoh politik kala itu. Disamping terlibat penuh dalam dinamika intrik politik, Ia juga menyempatkan diri sebagai pengamat perilaku-perilaku politik kaum elit.3
Karier politik Khaldun dimulai sebagai tukang stempel surat
dalam pemerintahan Ibnu Tafrakin. Ketika Ibn Tafrakin ditaklukkan Abu Zaid, dalam sebuah intrik dan perebutan kekuasaan, Khaldun melarikan diri dan bekerjasama dengan sultan Abu Inan di Tlemeen sebagai sekretaris. Selanjutnya Khaldun melibatkan diri ke dalam sebuah intrik politik dimana ia bekerjasama dengan rival Sultan Abu Inan,
Amir Abu Abdullah
Muhammad , untuk merebut kekuasaan sang sultan. Intrik ini melahirkan malapetaka bigi Khaldun. Ia dipenjara Sultan Abu Inan selama dua tahun begitu persekongkolan politik dan kekuasaan tersebut ditumpas. Selanjutnya Khaldun mengabdi pada Abu Salim penguasa Maroko. Khaldun diangkat sebagai sekretaris dan penasehatnya. Setelah Abu Salim wafat pada tahun 1362, Khaldun bergabung dengan pemerintahan Muhamamad V dari Granada. Sang raja menjadikannya duta besar. Tugas yang pernah diembannya adalah sebagai utusan Sultan Muhammad V untuk menemui Pedro dari Castilla, Spanyol. Khaldn bahkan dipercaya sebagai wakil penuh sang raja karena ia bertindak sebagai penandatangan perjanjian perdamaiaan antara kedua Negara. Karena tidak sepaham dengan sebagain pembesar Granada, Khaldun menerima tawaran Abdullah Muhammad Al-hafsi sebagai perdana menteri.
3
Dr. Ahmad Syafei Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis barat dan Timur (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h 12.
38
Di tengah jalan, intrik dan pergolakan politik yang tidak kenal henti yang melanda kerajaan-kerajaan Islam menjadikannya beralih loyalitasnya kepada Abu Abbas, sepupu Muhammad Al-Hafsi, yang merebut kekuasaan.4 3. Khaldun mengembangkan pemikiran dan kontemplasi yang berlangsung dari tahun 776 H sampai akhir tahun 780 H. Ini dilakukan setelah fase pengabdiannya kepada kekuasaan dalam berbagai pemerintahan. Nampaknya Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya dan memutuskan untuk hidup menyendiri guna menyusun karya-karyanya di benteng Banu Salamah. Dalam masa kontemplasi yang relatif singkat inilah Khaldun berhasil menyelesaikan salah satu karya monumentalnya, Al-Ibar beserta Muqaddimah-nya. 4. Babak akhir kehidupannya. Khaldun mulai mengundurkan diri dari dunia politik. Khaldun dengan serius membenamkan diri pada tugas intelektualnya, menyelesaikan karya monumental yang dianggap masih tersisa. Seluruh karya yang dihasilkan diberikan kepada penguasa. Intrik politik tidak selesai melandanya. Ia menjadi sasaran tembak para elit dalam lingkaran kekuasan. Pembesar negeri tersebut telah merusak persahabatannya dengan sultan Abu Al-Abbas. Kenyataan inilah yang mendorongnya meninggalkan wilayah kekuasaan itu. Khaldun membuat kamuflase dengan meminta izin kepada sultan untuk pergi haji. Dalam kenyataannya, Ibnu Khaldun tidak mengarahkan kakinya ke Mekkah. Ia ke Iskandaria. 5 Khaldun diterima oleh
4
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic thougt-style A social perspective. Terj. Mansuruddin dan Ahmadie Thaha, cet II; Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. h 10-11 5
Zainab, Op. Cit. h 15-16.
39
Sultan Al-Malik Al-Zahir Barquq. Sultan mengagumi pemikiran Khaldun dan menjadikannnya sebagai hakim agung. Khaldun bertemu Timur Lenk sang penakluk dan penguasa baru yang sangat terkenal dalam sejarah kekuasan dan peradaban Islam di Timur Tengah di Syiria. Seperti sultan lainnya, Timur Lenk mengagumi pemikiran Khaldun hingga ia menawari Khaldun untuk bekerja di istananya. Tampaknya fase kontemplasi Khaldun tidak menyisakan nafsu politik dan kekuasaan lagi. Akhirnya Khaldun menolak tawaran yang menggiurkan itu. Khaldun pada akhirnya tak lagi menghiraukan godaan-godaan kekuasan di akhir fase kehidupannya. Bahkan ia tak lagi bergeming untuk memberikan reaksi terhadap pancingan lawan-lawan politiknya. Khaldun tetap menjadi ilmuwan dan hakim agung sampai akhir hayat. B. Latar Belakang Pemikiran Politik Islam Ibn Khaldun Kitab Muqaddimah, merupakan karya terbesarnya dan pedoman utama dalam membahas pemikiran Ibn Khaldun, kajian yang dikandungnya begitu meluas dan mendalam tentang kesejarahan dan sosiologi, politik pemerintahan dan ilmu keIslaman yang mendalam. Para pengikut Ibn Khaldun cenderung menganggapnya sebagai ensiklopedia. Kitab At-ta’rif Ibn Khaldun wa rihlatuhu Garban wa syarqan adalah kitab otobiografi Ibn Khaldun secara lengkap yang memandangnya sebagai orang besar abad pertengahan yang paling sempurnah. 6
Karya Ibn Khaldun yang
lain adalah Burdha Al-Bushairi, tentang logika dan aritmetika dan beberapa resume
6
Ayi sofyan, Op, Cit, h 273.
40
ilmu fiqih. Dua karya Ibn Khaldun yang masih sempat dilestarikan, yaitu sebuah ikhtisar yang masih ditulis beliau dengan tangan sendiri dengan judul Lubab AlMuhashal fi Ushul Ad-din dan kitab Syifa As-Sailfitahdzib Al-Masatt yang ditulisnya ketika berada di Fez. Tentang lubab al-muhashal fi ushul ad-din berbicara tentang teologi skolastik, dan karya syifa as-sailfitahdzib al-masatt berbicara tentang sufisme konvensional.7
Penulis melihat bahwa dalam karya ini Ibn Khaldun menyandarkan
diri pada pengetahuan agama dari arkeologi pemahaman kaum agamawan yang mendahuluinya. Beranjak dari sejarah dan menafsirkan sejarah itu secara reel. Sebagaimana dalam diri seorang pemikir politik berkembang ilmu sejarah rezim penguasa serta masalah-masalah kekuasaan lainnya yang hadir dalam tubuh kerajaankerajaan Islam pada masa itu. Tentang pemikiran dalam karya Muqaddimah Ibn Khaldun mengenai kekuasaan dan legitimasi politik dibahas mulai dari bab I mengenai solidaritas sosial sebagai awal terbentuknya kekuasaan namun belum menunjukkan kekuatan yang mengikat sebelum lahirnya seorang pemimpin yang mampu menggerakkan kekuatankekuatan itu. Penulis tidak hendak menjelaskan secara rinci dari karya Muqaddimah namun adalah untuk memperoleh kajian tentang kekuasaan dan legitimasi politik yang didalam karya tersebut dijelaskan dalam pasal-pasal dan sub-subnya terutama mengenai solidaritas sosial sebagaimana yang telah disebutkan diatas hingga pada lahirnya lembaga-lembaga kekuasaan serta dasar pembentukan kelembagaan tersebut sebagai bukti legitimasi formal.
7
Ibid, h 273-274.
41
Corak pemikiran Ibn Khaldun secara umum adalah sebagai seorang pemikir yang berangkat dari produk sejarah, untuk membaca pemikirannya aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepaskan begitu saja. Akan tetapi jelas, pemikiran Ibn Khaldun tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibn Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya dan yang diungkapannya, baik secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.8 Sebagaiman yang telah dideskripsikan oleh Ayi Sofyan mengenai sekilas corak pemikiran Ibn Khaldun tentang fenomena alamiah yang juga menjelaskan tentang konsep keadilan sosial. Konsep keadilan sosial merupakan keadilan yang didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai agama, terlepas dari nilai yang mengejawantahkan dalam hukum dan politik dipersiapkan untuk menerima melalui adat kebiasaan, sikap positif atau lainnya. Bagi para Teolog dan filsuf muslim, keadilan adalah suatu konsep yang abstrak dan idealis, diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna. Mereka tidak berusaha serius melihat keadilan sebagai suatu konsep yang positif serta menganalisisnya dari sudut kondisi-kondisi sosial yang ada.9
Sementara Ibn
Khaldun memiliki konsep keadilan yang dikaji secara realis. Dalam Muqaddimahnya keadilan didiskusikan sebagai suatu konsep sosial dalam konteks suatu teori tentang masyarakat yang prosesnya ditentukan oleh faktor-faktor sosial yang melampaui kontrol seorang manusia. Ibn Khaldun sangat menekankan arti keadilan yang berangkat dari aspek kekuatan sosial dengan konsep umran.
8 9
Ibid. h 171 Ibid. h 280
42
Dalam agama pada hakikatnya, prinsip-prinsip ajaran agama Islam tidak terbatas pada ajakan agar manusia mengikuti kebenaran atau memperhatikan jiwa hanya dalam kaitanya dengan siyak spiritual (spiritual context) yang menyangkut hubungan antara dunia ini dengan dunia lain yang akan datang. Prinsip-prinsip ajaran Islam menyangkut masalah hubungan sesama mukmin, menjelaskan hukum secara umum dan juga secara terperinci, merumuskan makna penguasa eksekutif yang melaksanakan hukum, menentukan sanksi-sanksi hukum beriku persyaratan-persyaratan yang membaasi pelaksanaannya, juga mengemukakan tujuan yang unik bahwa pemegang kekuasaan itu harus lah orang-orang yang paling taat kepada aturan-aturan tentang kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran pewarisan ataupun karena kehebatan ras, suku, kekuatan material, dan kekayaannya. Ia memperoleh kekuasaan itu hanya jika dia menaati ketentuan-ketentuan hukum suci itu, mempunyai kekuatan untuk melaksanaknnya, dan jika dia disepakati oleh masyarakat. Jadi sebenarnya, penguasa kaum muslimin adalah hukum agama mereka yang suci dari tuhan yang tidak membedabedakan rakyatnya. Ini juga bisa merupakan rangkuman dari gagasan Islam tentang bangsa itu. Penguasa muslim tidak memiliki kelebihan apapun selain daripada kenyataan bahwa dialah yang paling bersemangat diantara yang lain dalam mengamankan dan mempertahankan hukum tuhan itu.10 Dalam kutipan diatas kita mencoba memahami konsep kekuasaan politik yang menjadi tafsir Ibn Khaldun selanjutnya. Dalam ilmu sosiologi Ibn Khaldun banyak berbicara tentang transformasi sosial dan perubahan sosial dalam masyarakat. Sebagaimana kekuasaan diperoleh, direbut dan dipertahankan oleh masyarakat nomaden yang berbeda dengan masyarakat menetap juga memiliki nilai-nilai yang berbeda dalam mengelolah kekuasaan yang dimilikinya. 11
Konsep yang dibangun
dalam ilmu sosiologi Ibn Khaldun menawarkan konsep ashobiyah yang kemudian
10
Sayid Jamaluddin Al-Afghani, solidaritas Islam, dalam John J Donohue dan John L. Esposito. Islam in Transition : muslim perspectives (terj. Drs. Machnun Husein. Kata pengantar, M. Amien Rais (Islam dan pembaharuan : ensiklopedi masalah-masalah), Jakarta, RajaGrafindo Persada. 1995, hal 24-25. 11
Dr. Syarifuddin Jurdi, Awal Mula Sosiologi Modern (Kerangka Epistemologi, Metodologi, Dan Perubahan Sosial Perspektif Ibn Khaldun), Jakarta : Kreasi Wacana, 2012, hal 103
43
menjadi suatu metode baca yang digunakannya dalam mengamati transformasi dan proses perubahan sosial dalam masyarakat. Ashobiyah dalam pemikiran Ibn Khaldun memiliki konotasi positif yakni sebagai piranti solidaritas sosial ataupun kesetiakawanan sosil kelompok dan suku. Ibn Khaldun sendiri sebenarnya menyadari makna negatif dari konsepnya tentang ashobiyah dan banyak pihak menuduh konsep itu sebagai pemicu konflik atau kekerasan antar suku. Namun demikian, ashobiyah dimaknai sebagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat menuju pada perubahan dalam struktur sosial dan politik serta perubahan pada level kultur dan kebudayaan. Dengan ashobiyah tersebut, masyarakat menuju pada kemajuan, menurut Ibn Khaldun semakin kuat ashobiyah dalam suatu komunitas akan meningkatkan komitmen suatu masyarakat, sebaliknya semakin rendah dan longgarnya ashobiyah akan membawa pada konflik dan dis-integrasi sosial.12 Konsep solidaritas alamiah inilah yang menjadi dasar perilaku politik masayarakat dalam kaca mata Ibn Khaldun. Tentang kekuasaan politik dan legitimasi politik hingga sampai pada lahirnya sebuah negara politik. Ashobiyah menjadi penopang dalam membentuk kekuasaan untuk mencapai tujuan yang telah dicitacitakan secara berkesinambungan atau dalam artian lahir menjadi sebuah ideologi perjuangan suatu kelompok atau suku tertentu. Selain latar belakang konsep sosiologi yang bangun Ibn Kaldun, beliau juga memiliki pengetahuan sejarah yang menopang pemikirannya tentang politik Islam. Sejarah merupakan hal yang bisa mengantar seseorang ada realitas yang sesungguhnya olehnya itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa sejarah harus ditulis seriil mungkin tanpa ada kepentingan yang melatarbelakanginnya. Dalam sejarah pemerintahan Islam, Ibn Khaldun menyaksikan masa transisi pemerintahan Islam dan jatuh bangunnya pemerintahan Islam dibeberapa daerah baik yang dipicu permasalahan internal pemerintahan sendiri maupun sebab eksternal. Biografi perjalanan Ibn Khaldun dalam dunia politik dapat dilihat pada latarbelakang tempat dimana Ibn Khaldun meniti kariernya. Ibn Kaldun
12
Dr. Syarifuddin Jurdi, op, cit. h 79
44
menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya dikawasan Afrika Barat Laut yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair, dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan spanyol. Pada zaman Ibn Khaldun, kawasan ini tidak pernah menikmati stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti kedinasti lainnya... dalam rentang waktu itulah Ibn Khaldun meniti karier dan lebih dari sepuluh kali diaberpindah jabatan dan sering kali bergeser loyalitas...13 hal inilah yang diamati Ibn Khaldun dan dituangkan dalam karyanya Muqaddimah. Seiring dengan perkembangan konsep sosiologi, sejarah dan agama diintegrasikan dalam pemikiran politik Ibn Khaldun. Dalam hal legitimasi politik, hukum, pemerintahan dan kepemimpinan Ibn Khaldun selalu berangkat dari realitas sosial politik dalam sejarah pemerintahan Islam. Ibn Khaldun ketika berbicara mengenai khalifah ini tidakmelepaskan diri dari peristiwa sejarah dimana ke empat Khulafaur Rasyidin telah berhasil menciptakan suatu tatanan sosial politik yang lebih modern.14
Artinya sandaran kajian Ibn
Khaldun merujuk pada implikasi sosial dalam proses perubahan menuju konsep Islam yang lebih matang. Terkait dengan konsep-konsep umum tentang kekuasaan dan negara dengan pendekatan sosiologi politik Ibn Khaldun dengan sandarannya adalah masyarakat dan negara. Namun harus dipahami bahwa konsep masyarakat dan negara itu tidak lepas dari standar nilai yang dibangun dari kehidupan kemasyarakatan sebelumnya, olehnya itu peradaban adalah cita-cita tertinggi masyarakat bernegara. Maksudnya adalah negara bukan hanya sekedar mengatur hubungan masyarakatnya akan tetapi
13
H. Munawir Sjadzali, M.A Islam Dan Tatanegara : ajaran, sejarah, dan pemikiran, (Jakarta UI Press, ed V 1993), h 93. Buku ini memuat sejarah pemerintahan tempat Ibn Khaldun ada didalamnya untuk lebih memahaminya baca hal 91-99 14
Syrifuddin Jurdi, Awal Mula Sosiologi Modern. Op, cit. Hal 164
45
bagaimana nilai perjuangan dapat dipahami sebagai ideologi sehingga disini kita tidak bisa melepaskan tentang pola pikir yang menyertai perkembangan masyarakat itu sehingga selain dari pendekatan sosiologi politik kita juga tidak bisa melepaskan tentang kajian filosofisnya.
46
BAB IV KEKUASAAN DAN LEGITIMASI POLITIK MENURUT IBNU KHALDUN A. Kekuasaan Politik 1. Interpretasi Kekuasaan Politik Ibn Khaldun Sebelum kita membahas mengenai konsepsi kekuasaan politik menurut Ibn Khaldun terlebih dahulu kita melihat pengertian kekuasaan politik sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya. Istilah kekuasaan politik sering digunakan untuk menunjukan kewenangan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik sebagai aktifitas mengatur masyarakat, dalam pengertian ini terkandung unsur kewenangan membuat aturan-aturan hukum (kekuasaan legislatif), kewenangan melaksanakan hukum (kekuasaan eksekutif) dan kekuasaan melaksanakan peradilan untuk mempertahankan hukum (kekuasaan yudikatif), demikian pula kewenangan menyelenggarakan aktifitas politik lainnya. Sedangkan Istilah AlQur’an adalah merujuk pada kitab suci umat Islam yaitu firman Allah SWT yang diturunkan dengan perantaraan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai peringatan, tuntunan dan hukum bagi umat manusia. Tulisan ini bertujuan menemukan konsepsi kekuasaan politik yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan objek ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kekuasaan politik di harapkan dapat mengetahui konsep dan pemikiran politik yang Qurani, yang bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam. Menurut Abdul Muis Salim ada beberapa kata dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan keyword yang relevan dengan konsep kekuasaan. Kata-kata tersebut antara lain adalah al-hukm, assulthan, dan al-mulk. Adapun penjelasannnya sebagai berikut:
47
a. konsep al-Hukm, Secara etimologi al-hukm artinya membuat keputusan, berasal dari kata dengan huruf-huruf ha, kaf dan mim. Istilah hukm bereferensi konsep politik sebagai aktifitas yang bertumpu pada hukum-hukum Tuhan dengan tujuan memelihara eksistensi manusia sebagai khalifah. Namun apabila makna hukm tersebut di kaitkan dengan kehidupan masyarakat, maka kata tersebut mengandung makna pembuatan kebijakan atau melaksanakannya sebagai pengaturan masyarakat, pengertian ini dapat dilihat dalam.1 Dengan demikian bahwa kata al hukm tidak hanya disandarkan pada hukum Tuhan semata, tetapi juga disandarkan kepada hukum manusia. Ini berarti adanya dua hukum, yakni hukum Tuhan dan hukum manusia. Dari pengertian diatas kiranya ditemukan hubungan kata hukm dengan konsep politik seperti telah dikemukakan dan dengan demikian kata tersebut relevan pula dengan kekuasaan politik. b. As-Sulthan, kata ini mempunyai akar kata yang berasal dari huruf sin, lam dan tha dan mempunya makna pokok ”kekuatan dan paksaan”. Kata sulthan yang bermakna kekuasaan di temukan dalam Q.S. Al Isra’ : 80 yaitu : ”Dan barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sungguh kami telah memberikan kepada walinya kekuasaan...”(Q.S Al-Isra : 33) Juga dalam ayat 80 surat ini : ”... dan jadikanlah untukku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong"(Q.S Al-Isra : 80) Dari penggunaan kata sulthan di atas maka dapat diketahui bahwa kata tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan dengan kemampuan untuk mengatasi orang lain, sehingga kalau dikaitkan dengan konsep kekuasaan politik, jelas istilah tersebut relevan dengan konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas). c. Al Mulk, kata ini berakar pada huruf huruf; mim, lam dan kaf, yang mengandung makna pokok keabsahan dan kemampuan. Dari makna pertama terbentuk kata kerja malaka-yamliku-milkan yang artinya memiliki, dan dari makna kedua terbentuk kata kerja malaka-yamlikumulkan yang artinya menguasai, dari sini diperoleh kata malik ”raja”
1
Al-Qur’anulkarim dan terjemahan : surah al-qalam ayat 36-39 : 36. Atau Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? 37. Atau Adakah kamu mempunyai sebuah Kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, 38. Bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. 39. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat; Sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil Keputusan (sekehendakmu)?
48
dan mulk ”kekuasaan” hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah (247).2 Dalam istilah politik al-mulk adalah seseorang kepala negara yang memperoleh kekuasaan dengan jalan mewarisi dari kepala negara sebelumnya, maksud dari penjelasan diatas adalah bahwa konsep yang terkandung dalam kata almulk adalah konsep dengan sifat yang umum dan berdimensi kepemilikan. Dengan demikian Kesimpulannya adalah kekuasaan politik merupakan kekuasaan yang dimiliki manusia disamping kekuasaan lainya sebagai pemberian Tuhan kepadanya.
Untuk memahami pemikiran politik Ibn Khaldun yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara, dengan latar belakang kajian Ibn Khaldun yang cenderung luas sebab kajian menyangkut tentang konsep manusia secara umum (perilaku dan peradaban manusia sebagai suatu proses perubahan sosial) yang dikenal dengan sosiologi Ibn Khaldun. Konsep tentang kekuasaan dan negara Ibn Khaldun sebagaimana yang dipaparkan Syarifuddin Jurdi bahwa masalah kekuasaan merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat, dan kekuasaan merupakan derajat yang lebih tinggi dari pencapaian kehidupan bernegara.3 Konsepsi dasar inilah yang mesti harus ditelusuri agar mampu memahami tentang lahir
2
Al-quran, surah al-baqarah ayat 247. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah (Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an). Jakarta : Raja Grafindo Persada, Edisi ketiga, 2002. 3
Dr. Syarifuddin Jurdi, op, cit. h 104.
49
berkembang
dan
sirnanya
sebuah
kekuasaan
dalam
dinamika
kehidupan
kemasyarakatan dalam sebuah negara. Ibn Khaldun menggambarkan dalam buku Muqaddimah bahwa dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa yang menghantarkan seorang manusia sampai pada apa yang menjadi sifat khas yang melekat pada dirinya yaitu mencari kehidupan dan sifat alamiah dasar manusia adalah agar tidak menjadi punah sehingga membutuhkan makanan, menghindari binatang buas agar bisa melanjutkan kehidupan dan menetap untuk hidup yang lebih layak, serta bekerjasama dengan manusia lainnya sebab tanpa bantuan orang lain manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Setelah tercipta sebuah peradaban maka manusia butuh seseorang yang akan mengatur dan memimpin mereka dan harus memiliki kekuatan dan wibawah untuk mereka patuhi. dari sinilah kekuasaan (mulk) itu lahir serta legitimasi formal dibutuhkan agar memudahkan kontrol atas tujuan yang dicita-citakan. Ibn Khaldun selalu berangkat dari hal-hal yang alamiah dan melihat manusia dari fitrahnya. Kehidupan dipadang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi golongan-golongan liar lebih berani dibanding golongan lainnya. Oleh Karena itulah mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Bahkan situasi dan kondisi satu golongan berbeda-beda dalam hal ini sesuai dengan perubahan dan perbedaan waktu. Begitu mereka tinggal didaerah yang ditumbuhi tanaman-tanaman subur dan berubah dari hidup melarat kepada hidup mewah, keberanian merekapun berkurang sesuai denga berkurangnya kadar keliaran dan kebuasan mereka.
50
Bandingkan dengan binatang seperti kijang, banteng dan keledai semuanya jinak kalau tidak liar lagi karena bergaul dengan manusia, dan jika semuanya sudah hidup melimpah ruah maka keliaran dan kebuasannya berubah. Hal yang demikian juga terjadi pada manusia-manusia liar yang kemudian menjadi suka bergaul dan berteman. Sebabnya ialah karena kebiasaan hidup akrab merupakan tabiat dan watak manusia. Kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila diantara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup dipadang pasir dan lebih liar, dan hidup dipadang pasir maka dia akan lebih muda memiliki kekuasaan dari pada golongan lain, meskipun jumlah kedua golongan tersebut hampir sama dan samasama memiliki solidaritas sosial.4 Ibn khaldun beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpolitik karena manusia adalah makhluk yang berfikir dan karena berfikir maka manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat kebajikan dan bukan keburukan sebagaimana binatang yang tidak berfikir. Jadi kekuasaan politik adalah fitrah manusia yang diberikan khusus kepada manusia dan tidak diberikan kepada makhluk ciptaanya yang lain. Kedaulatan dan kekuasaan politik datang kepada manusia karena keduanya merupakan salah satu ciri yang bembedakannya dari binatang. Berarti sifat-sifat baik yang ada pada manusia, itulah yang sesuai dengan kedaulatan dan kekuasaan politik, sedangkan kebijakan itulah yang sesuai untuk kekuasaan politik.5 Dalam hal ini kekuasaan identik dengan hal-hal yang baik sebab keburukan tidak akan pernah menciptakan kekuasaan selain untuk kejahatan itu sendiri. Keburukan hanya menjadi
4 5
Ibn Khaldun, Muqaddimah. (Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Hal 165 Ibid. hal, 171
51
penghancur bagi kekuasaan sementara kekuasaan merupakan jaminan tuhan untuk umat manusia dan merupakan perwakilan tuhan untuk melaksanakan hukum-hukumNya. Sebagai gambaran atas pemikiran Ibn Khaldun terhadap kekuasaan maka yang perlu untuk kita pahami adalah solidaritas sosial yang lahir secara alamiah sebagai wujud kemanusiaan yang dianugerahkan oleh allah SWT. Fenomena alamiah yang merupakan corak pemikiran Ibn Khaldun nampaknya mendominasi sebagai epistemologi dalam memaparkan tentang kekuasaan. Kekuasaan
menurut
Ibn
Khaldun
terbentuk
(nampak
dalam
perkembangan) dari kemenangan atas kelompok tertentu atas lainya. Kekuasaan itu merupakan kedudukan yang menyenangkan, meliputi maddi maupun maknawi, material maupun spiritual sehingga untuk mendapatkannya harus melalui kompetensi dengan prestise yang dimilikinya. Jadi kekuasaan merupakan sesuatu yang bebas diperebutkan baik secara kelompok maupun perorangan. Dalam hubungannya antara penguasa dan kekuasaan, Ibn Khaldun berpendapat bahwa kehidupan bersama dalam suatu Negara memerlukan penguasa yang ditaati. Tanpa penguasa masyarakat berada dalam situsi yang kacau, penuh anarki, dan pada akhirnya akan mengancam eksistensi manusia. Ibn Khaldun menyatakan, kepentingan rakyat pada penguasa bukan pada diri dan tubuhnya, seperti bentuk badanya, luas ilmunya, indah tulisannya dan ketajaman otankya. Keperluan mereka terletak pada hubungan dia dengan mereka. Karena itu kekusaan dan penguasa bersifat relasional (minal umur alidhafiyah) yang seimbang antara kedua belah pihak, penguasa memiliki rakyat
52
dan rakyat memiliki penguasa.6
Penguasa disini adalah seseorang yang dipercaya
oleh rakyat untuk mengarahkan dan mengurus mereka didalam kehidupa bersama. Relasi hubungan antara masyarakat dan pemimpin sekarang dikenal relasi yang demokrasi. Menurut Ibn Khaldun, baik buruknya penguasa banyak tergantung bagamana cara memimpinya. Cara keras, penuh hukuman atau dengan cara lebih lembut. Seorang penguasa adalah yang memiliki prestise dari kelompoknya akan tetapi tidak untuk digunakan berbuat yang berlebihan dan merasa sombong. Tampaknya Ibn Khaldun berpegang pada hadist yang mengatakan “ berjalanlah sesuai dengan orang yang terlemah diantaramu.”7 Sementara itu menurut Ibn Khaldun ada beberapa tipe kekuasaan yaitu siyaasahthaabi’iyyah (kedaulatan alami yang muncul didalam komunitas), siyasah aqliyyah (kekuasaan yang dirancang oleh para cerdik pandai), madinah alfadilah, siyaasah diniyyah (Negara] yang berdasarkan pada hukum). 2. Implementasi Kekuasaan Politik dalam Islam Maju mundurnya Islam dalam sejarah memberikan gambaran tentang bagaimana sejarah Islam sebagai gerakan politik dunia. Sejarah Islam dapat dibagi kedalam tiga periode besar yaitu periode klasik, pertengahan dan modern. Pada periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman kemajuan yang dapat dibagi kedalam dua fase yaitu fase ekspansi, integrasi dan fase puncak kejayaan (650-1000 M) dizaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol dibarat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kedalam kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di 6 7
Muhammad Azhar. Op. cit. H 102 Ibid, h 103
53
Damsyik, dan terakhir di Bagdad. Zaman ini muncul beberapa ahli-ahli dibidang ilmu pengetahuan dalam dunia Islam seperti munculnya ke 4 imam Mashab. Serta para filosof seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dll. Fase berikutnya dalam zaman ini ialah fase disintegrasi (1000-1250 M) dimasa ini keutuhan Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu ditahun 1258 M. Khalifah, sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang. Periode pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi kedalam dua fase yaitu : fase kemunduran (1250-1500 M) dizaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia, dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Fase kedua tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan dan zaman kemunduran. Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani (ottoman Empire) di Turki, kerajaan fawi di Persia da kerajaan Mugal di India. Ketiga kerajaan besar Islam yang mengalami keruntuhan ini menandakan kemunduran islam yang luar biasa. Islam menjadi beku dan tak bisa berbuat apa-apa. Hingga sampai pada periode ketiga yaitu periode modern (1800- seterusnya).8 Islam kemudian mencoba bangkit
8
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam (sejarah pemikiran dan gerakan). Jakarta : bulan bintang, 1992. H 13-14
54
dengan beberapa pembaharuan-pembaharuan dan pemikir-pemikir kebangkitan dari kerajaan Usmani. Implementasi kekuasaan politik dalam Islam dapat dikaji berdasarkan sejarah dari ketiga fase tersebut dan mencari bentuk penerapan kekuasaan politik itu di abad kontemporer. Praktek-praktek kekuasaan sepanjang sejarah umat Islam pasca Rasulullah sarat dengan perdebatan mengenai bagaimana politik itu dijalankan. Hal ini mengakibatkan adanya pemikiran pada abad modern untuk merujuk pada Islam periode Rasulullah dalam hal politik dan pemerintahan. Umat Islam telah melihat dalam sejarah mereka beberapa pemerintahan dinasti yang besar tetapi tidak luput dari pergolakan dan perebutan kekuasaan politik. Akibatnya, konsekuwensi logis dari hal tersebut, sejarah mencatat umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka menghadirkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang digunakan, bahkan ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memerlukan sistem politik seperti apa yang dikenal umat Islam itu sendiri. Salah satu pendapat mengatakan bahwa ...Muhammad hanyalah utusan (rasul). Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk agama dalam artimurni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus kepada kekuasaan yang bersifat sementara (temporal sovereignty), sebab beliau tidak pernah mengemukakan himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintah tertentu... 9
9
Ali Abdul Rasiq. Khilafah Dan Dasar-Dasar Kekuasaan dalam John J Donohue dan John L. Esposito. Islam in Transition : muslim perspectives (terj. Drs. Machnun Husein. Kata pengantar, M. Amien Rais (Islam dan pembaharuan : ensiklopedi masalah-masalah), Jakarta, RajaGrafindo Persada. 1995, hal 41-42.
55
Dalam Islam, kekuasaan mutlak hanya milik Allah semata-mata sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an QS, 67 (1) :
Terjemahan: Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan. Dan dia mahakuasa, maha pengampun. Keyakinan terhadap allah, sebagai sumber segala sesuatu termasuk kekuasaan, dan kekuasaan merupakan fundamen utama yang diperlukan dalam membangun masyarakat Islam, bangunan Negara dan pemerintahan. 10 Dari sinilah kemudian lahirnya sistem politik dalam Islam. Islam dapat menciptakan kerjasama yang kemudian bisa melahirkan pemimpin dikalangan orang Islam yang berpedoman terhadap sumber-sumber ajaran Islam. Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama mampu mengarahkan seseorang (penguasa) agar tidak berlaku zalim. Inilah kekuasaan yang diharapkan oleh Ibn Khaldun yaitu kekuasaan yang digunakan untuk melindungi
kelompok, memberikan kesejahteraan, rasa
aman, serta
membangun agama. Selain agama sebagai landasan nilai dalam mengarahkan seorang pemimpin agama menjadi sebuah pengikat dalam membentuk solidaritas kelompok diatas nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam Islam konsep kepemimpinan atau penguasa terdapat tiga hal besar istilah atau penyebutan yang diberikan kepala Negara yang
10
2007
Ridwan HR. fiqih politik (gagasan, harapan dan kenyataan). Yogyakarta : FH UII Press,
56
mengendalikan Imamah (yang bertindak sebagai kepala negara), yaitu imam, khalifah, dan amirul mu’minin. Yang masing-masing gelar ini memiliki perkembangannya masing-masing dan menunjukkan kepada makna tertentu. a. Imam, menurut Al Fairuz Zabady merupakan sesuatu yang diikuti, baik yang sebagai kepala maupun selainnya yang mengurus pekerjaan, al-Qu’ran, nabi, khalifah, komandan laskar, dan sesuatu yang dipelajari anak-anak pada setiap hari, yang menjadi perumpamaan, dalil dan penunjuk jalan. Dalam al-quran imam tidak hanya dipakai untuk menunjukkan kepada bimbingan kearah kebajikan. Seperti tercantum dalam surah al Qashash ayat 41 11 dan surah at taubah ayat 12.12 b. Khalifah, merupakan legitimasi terhadap kepemimpinan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah. Khalifah menjadi gelar resmi gabi pemegang khilafah (pemerintahan), pada masa-masa khulafaur Rasyidin namun kemudian akibat terlalu banyaknya permasalahan yang muncul dalam fase tersebut sehingga khalifah menjadi hilang dalam istilah dunia pemerintahan Islam seiring dengan kemuduran yang terjadi didunia islam itu sendiri. c. Amirul mu’minin, gelar yang diberikan atas kepemimpinan Umar bin Khathab, yang kemudian Ibn Khaldun berkata : Amirul mu’minin adalah gelar khalifah. Gelar baru yang diadakan semenjak zaman kulafah yang dulunya dinamakan komandan-komandan pasukan dengan gelar Amir.13 Para sosiolog sepakat bahwa esensi dari penggunaan kekuasaan menjadi fokus, bukan simbol-simbol yang melekat dengan kekuasaan itu. Sekalipun misalnya, kekuasaan itu berbentuk khilafah, imamah, ataupun sultan akan tetapi tidak menjalankan prinsip umum mengaapa kekuasaan itu dibentuk, tidak amanah, dan tidak adil maka tidak ada artinya sombol-simbol agama itu dilekatkan.14 Namun
11
Qs. Surah 28 (al qasas) ayat 41. Terjemahan : “dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat pula mereka tidak akan ditolong”. 12
Qs. Surah at-taubah ayat 12. Terjemahan : “ dan jika mereka melanggar sumpah setelah perjanjian, dan mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti ”. 13
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Islam Dan Politik Bernegara (disadur dari An Nazhariyat As Siyasiyah Al Islamiah karya prof. Dr. Dhiyahuddin Ar Rayis). Semarang : Pustaka Riski Putra, 2002. h 36-40 14
Dr. Syarifuddin Jurdi. Awal Mula Sosiologi Modern (kerangka epistemologi, metodologi, dan perubahan sosial perspektif Ibn Khaldun). Kreasi wacana, yogyakarta : 2012. Hal 159.
57
dalam politik keagamaan memang istilah ini tidak dapat dipisahkan akan tetapi sejalan dengan konsep pemikiran Ibn Khaldun yang memiliki kecenderungan sosioligis membawa kita pada implikasi sosial tentang penggunaan simbol-simbol keagamaan itu. Nampaknya memang Ibn Khaldun mengajak kita untuk keluar dari perdebatan simbol-simbol agama yang justru hanya menciptakan perpecahan dan meluluh lantahkan solidaritas sosial umat Islam. Kemudian tawaran politik yang lebih relias tentang kepemimpinan Ibn Khaldun adalah kepiawaian seseorang dalam menggunakan kekuasaan yang terintegrasi dalam nilai-nilai agama. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Sad/38: 26
Terjemahan :
Wahai Daud, Sesungguhnya engkau jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilahlah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah Engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan allah. Sungguh, orang yang sesat dari jalan allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.15
15
Q.S. Sad/38 :26, al-qur’anulqarim. Al qur’an dan terjemahan dilengkapi dengan kajian ushul fiqih. Kementrian agama RI : Pt sigma publishing. 2001, h 454
58
Di abad modern Islam secara politik masih belum bisa meraih kejayaannya kembali sebagaimana pada fase perkembangan Islam dahulu, namun kekuatan dalam Islam bisa bangkit sewktu-waktu dan dapat mengancam kekuasaan yang telah mapan. Berbagai cara untuk tetap menekan kebangkitan Islam secara politik dari pihak lawan terus terjadi sehingga para pemikir Islam modern seperti al-afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, Husain Haikal, Al Maududi hingga kontemporer telah muncul berbagai gerakan kebangkitan didunia Islam baik dibidang pendidikan dan berbagai dimensi keilmuan lainnya. Kontribusi pemikiran Ibn Khaldun dalam upaya menyikapi perkembangan dunia Islam yang menjadi realis diabad kontemporer ini sekalipun Ia hidup diabad pertengahan dunia Eropa namun kajian sejarah dan sosiologinya sangat sesuai untuk menciptakan suatu sistem sosial dalam kehidupan politik dan pembentukan lembagalembaga sosial Islam. Konsep ashobiyah Ibn Khaldun yang mengharuskan pembentukan lembaga-lembaga kekuasaan secara formal serta legitimasi politik yang menyertai pembentukan itu.
B. Legitimasi Politik 1. Legitmasi Ashabiyah Firman allah dalam Q.S alhujura/49 : 13.
59
Terjemahan : “ Hai manusia, Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian kami jadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguh orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui, lagi Maha telitil”16 Menurut Ibn Khaldun semua orang memiliki kebanggaan akan keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru diantara mereka yang mempunyai hubungan darah dan keluarga merupakan watak alami yang ditempatkan oleh allah pada tiap hati manusia. Itulah yang melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu, serta rasa ikut malu dan tiadak rela kalau diantara mereka yang mempunyai ikatan darah, satu keturunan atau keluarga dapat perlakuan yang tidak adil, atau hendak dihancurkan, dan adanya hasrat untuk berbuat sesuatu untuk melindungi pihak yang terancam. Itulah yang dinamakan ashabiyah. 17
Dalam bab
pertama pembicaraan peradaban manusia secara umum Ibn Khaldun menerangkan bagaimana pentingnya organisasi kemasyarakatan dalam membangun peradaban manusia. Dalam hal ini ashabiyah sebagai suatu pondasi dasar terbentuknya orgsnisasi didalam keluarga yang lahir dari perasaan sedarah yang berkembang luas sehingga terbentuklah peradaban manusia.
16
Q.S alhujurat/49: 13. sygma publishing, 2001. h 517
17
Munawir Sjadzali. Op. cit. h 104
60
Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan bagi bangunnya suatu dinasti atau Negara besar. Oleh karenanya jarang ada dinasti dapat berdiri disuatu wilayah yang terdapat berbagai macam suku. Sebab dalam keadaan yang demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda dan tiap kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh ashobiyah suku. Atau dengan perkataan lain dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok yang kuat.18 Selain dari ikatan keluarga dan ras serta suku, agama juga merupakan salah satu pembangkit solidaritas sosial. Selain sebagai pembangkit solidaritas sosial, peran agama juga sebagai pengontrol terhadap hubungan yang terjadi diantara kelompok baik inhern maupun yang ekstern. Agamalah yang menjadi teropong bagi kemulian manusia diatas muka bumi. Menghidarkan pemimpin dari sifat-sifat yang tercelah sehingga menghantarkanya pada tingkat kekuasaan yang lebih luas. Sebab seseorang yang memiliki sifat amoral tidak mungkin akan sampai pada kekuasaan Negara. Jadi jelas, agama dengan solidariats sosial memiliki korelasi yang amat kuat demi tercapainya cita-cita islami yang diharapkan oleh seluruh umat muslim serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimanapun, agama dan ashabiyah tidak selalu bekerja serempak. Dalam masyarakat Islam, kesatuan antara agama dan ashabiyah berkhir hanya tiga dekade setelah bangkitnya Islam. Islam sebagai agama harus bangkit sebagai suatu kekuatan sosial yang tidak melihat batasan wilayah dalam membangun masyarakat yang
18
Ibid. h 105
61
berperadaban. Olehnya itu ashabiyah merupakan hal yang sangat urgen dalam membangun sebuah agama. Legitimasi ashabiyah merupakan pengakuan yang diberikan atas dasar solidaritas terhadap sebuah kedaulatan. Sebagaiman Ibn Khaldun mengatakan dalam Muqaddimah bahwa tujuan terakhir solidaritas sosial adalah kedaulatan sebabnya karena solidaritas sosial itulah yang menyatukan usaha untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri, menolak, atau mengalahkan musuh. Juga kita telah ketahui bahwa tiap-tiap masyarakat umat manusia memerlukan kekuatan yang berfungi untuk mencegah, juga seorang pimpinan yang bisa mencegah manusia untuk tidak saling menyakiti.19 Dari hal diatas dapat dilihat bagaimana solidaritas sosial melahirkan kekuasaan dan pemimpin sehingga terbentuklah kedaulatan. Kedaulatan (al-mulk) adalah lembaga yang serupa dengan watak manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya kesatuan sosial dan saling membantu sebagaimana telah diterangkan dahulu. Jika mereka telah terorganisasi, situasi memaksa mereka supaya saling memperhatikan, dan dengan demikian dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kedaulatan juga merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, sebab didalamnya terdapat implikasi-implikasi kehidupan sosial. Melihat disposisi natural dan kekuatan pikir logisnya, manusia lebih cenderung pada sifat-sifat yang baik. Olehnya itu setiap anggota dalam suatu kedaulatan harus bisa menciptakan kebaikankebaikan serta menekan sifat-sifat kebinatangan yang terdapat dalam dirinya. Sebagaimana Ibn Khaldun mengatakan bahwa runtuhnya kedaulatan dalam
19
Ibn Khaldun. op, cit. h 166
62
sebuah dinasti disebabkan salah satunya karena sifat kekerasan yang ditanamkan oleh penguasa.20
Lebih jauh lagi Ibn Khaldun melihat bahwa hukum merupakan
instrument untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat.21 Jadi dapat dilihat bahwa setelah terbentuknya kedaulatan maka dibutuhkan sebuah hukum untuk mengatur hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin serta mengatur hubungan dengan solidaritas sosial yang lain. Dalam proses pemilihan seorang kepala Negara atau pemimpin solidaritas sosial merupakan salah satu syarat bagi Ibn Khaldun yaitu harus dari bangsa Quraisy. Bangsa Quraisy disini adalah salah satu kelompok sosial yang memiliki dominasi lebih terhadap kelompok yang lain pada masa itu. Jadi bukan pada etnisnya akan tetapi kemampuannya untuk memimpin.22
Dalam istilah kemampuan berarti merupakan sebuah pencapaian
individu tertentu dalam kehidupan kemasyarakatan yang dijalaninya. Adanya keterpautan antara hukum dengan penguasa sehingga terbentuklah daulah. Dengan demikian hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana yang dikatakan Ayi Sofyan bahwa rumusan Ibn Khaldun mengenai hukum, pemimpin dan masyarakat merupakan model dinamika yang terdiri atas delapan prinsip kebijaksanaan politik, yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran, sehingga awal dan akhir dari lingkaran tersebut dapat dibedakan, yaitu terdiri atas :
20
Ibid, h 230
21
Ayi sofyan. op.cit, h 274
22
Muhammad Azhar. Op.cit, h 103
63
a. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan, kecuali dengan implementasi hukum. b. Hukum tidak dapat dilaksanakan, kecuali dengan pemerintahan. c. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan, kecuali dari rakyat. d. Masyarakat tidak dapat ditopang, kecuali oleh kekayaan. e. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan. f. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. g. Keadilan merupakan starndar yang akan dievaluasi allah kepada umatnya. h. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadailan.23 Jadi jelas, dalam proses terbentuknya suatu Negara dan hukum diperlukan suatu legitimasi solidaritas (ashabiyah) untuk mendukung ketercapaian cita-cita secara bersama serta mewujudkan keadilan dan mampu memelihara serta membangun agama. Ashabiyah lebih baik dibanding rekayasa otak manusia dalam menentukan seorang pemimpin. Hal ini karena ashabiyah lebih dekat dengan pemimpin secara emosional dan moral sehingga untuk mengontrolnya tidak terlalu sulit. Di dalam perjalanan sejarah umat Islam ashabiyah ini muncul dari ketegangan politik pasca rasulullah. Umat Islam terdiri dari beberapa golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, sunni, syiah, yang memudian dari sekte-sekte itu melahirkan partai politik. Seperti halnya di Indonesia partai politik Islam lahir sebagai respon terhadap perhatian umat untuk melalukan perbaikan sekalipun dalam praktenya masih
23
Ayi sofyan. Op.cit, h 278-279
64
belum bisa dimaksimalkan. Oraganisasi kelompok keagamaan Islam serta partai politik yang ada di Indonesia seperti sunni (NU, Muhammadiyah), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah suatu bentuh ashabiyah yang lahir dari semangat keagamaan artinya bentuk perjuangan yang dilakukan adalah ketercapain hidup yang Islami secara politik sesuai dengan ideologi masing-masing. Di Indonesia sistem politik demokrasi mengharuskan adanya pengakuan kekuasaan atas Rakyat sama seperti konsep ashabiyah yang dipaparkan oleh Ibn Khaldun namun ashabiyah menekankan pada konsep kepemimpinan sementara demokrasi menekankan pada legitimasi kuantitas terhadap suatu kekuasaan. Partaipartai politik Islam yang ada di Indonesia sebagai suatu gerakan mestinya diformulasikan untuk membangun aqidah bukan malah terlibat dalam usaha perebutan kedudukan politik. Kekuasaan politik harus dapat membangun agama demi ketercapaian hidup yang diilhami allah SWT. Sebagamana Fazlur Rahman dalam bukunya ISLAM, mengatakan bahwa dokma politik yaitu prinsip-prinsip moral dan cita-sita spiritual adalah sesuatu yang harus diperjuangan dalam politik Islam. 2. Legitimasi Politik Islam dalam Suksesi Politik di Indonesia Islam Indonesia memiliki akar sejarah yang berbeda dari beberapa Negara Islam lainnya seperti Timur Tengah , Maroko, Afrika dan beberapa Negara Islam lainya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultur yang membentuk keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya. Ajid Thohir melihat kelompok masyarakat Indonesia dalam tiga jenis yaitu masyarakat daerah-daerah pedalaman dan kawasan-kawasan pegunungan yang terpencil yang memiliki kepercayaan animisme dan komitmen kesukuan yang kuat. Yang kedua : adalah kelompok
65
masyarakat yang hidup disepanjang garis pesisir, dimana jalur-jalur perdagangan laut telah memudahkan mereka untuk dapat mengenal dan bertukar kebudayaan dengan dunia luar. Sedangkan kelompok yang ke tiga adalah kelompok masyarakat elit yang memiliki tingkat kebudataan yang tinggi. 24 Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan berkembang akibat adanya perkawinan antara para pedagang dengan masyarakat pribumi sehingga terjadilah proses asimilasi antara Islam dan kebudayaan yang ada di Indonesia dan hingga masyarakat mengenal Islam sebagai agama kultural yang disebarkan dengan jalan damai, tanpa ada tendensi kekuasaan ataupun politik tertentu. Masuknya Islam di Indonesia selain dilakukan dengan kompromi terhadap kebudayaan masyarakat pribumi, Islam juga mampu membangun komunikasi terhadap kerajaan-kerajaan hindu-budha yang datang sebelum Islam. Kemajuan perkembangan Islam dalam penyebaran agama di Indonesia tidak lepas dari toleransi yang diberikan terhadap kebudayaan masyarakat setempat tanpa banyak memperkenalkan kebudayaan Arab sebagai tempat pertama kali Islam lahir. Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia tanpa menggeser kebudayaan yang telah mapan dimasyarakat karena karakter masyarakat Indonesia yang cenderung komitmen terhadap nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Pada hakikatnya, corak keberagaman masyarakat Islam Indonesia yang lebih mempertahankan praktik budaya aslinya. Ajid Thohir menilai bahwa pengaruh ini akibat dari nilai-nilai universal yang terkandung didalam Islam. Maksudnya, Islam pada tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya 24
Ajid Thohir. Studi kawasan dunia Islam (perspektif etno-linguistik dan geo-politik), Jakarta : rajawali pers. 2009, h 384
66
lain. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sejarah Jazirah Arab pada awal kemunculan Islam dimana terjadi perubahan secara besar-besaran baik dilihat dari sudut pandang keagamaan, budaya, dan politik masyarakat Arab. Ini merupakan bentuk transformasi sosial dari adanya akomodasi Islam era pertama.25 Indonesia adalah sebuah Negara bangsa yang memiliki keragaman suku, budaya, dan agama, dan juga bukanlah Negara agama serta tidak satupun agama yang menjadi agama Negara. Dengan kata lain bahwa agama dan Negara tidak memiliki hubungan struktural sehingga lahirlah pancasila sebagai landasan ideologis untuk meraih cita-cita Negara secara berkesinambungan. Meskipun secara struktural, Negara tidak mengatur agama namun bukan berarti tidak ada hubungan antara Negara dan agama. Antara keduannya terdapat hubungan kultural bahwa Negara Indonesia dibangun oleh masyarakat yang beragama. Karena itu dalam banyak aspek kehidupan bernegara tentu saja tidak lepas dari nilai-nilai religious yang dianut masyarakat.26 Islam dalam posisi ini sebagai agama mayoritas yang memiliki kekuatan dalam rangka menumbuhkan solidaritas sosial dikalangan masyarakat jauh sebelum Indonesia resmi menjadi siatu Negara. Kekuatan itu dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pra kemerdekaan. Dinamika politik Islam pasca kemerdekaan melahirkan piagam Jakarta namun kemudian founding father bahwa piagam itu kurang mengkafer segala semua golongan sehingga lahirlah pancasila sebagai payung atas segala kepentingan yang muncul dari masyarakat Indonesia yaitu dari Sabang sampai Merauke. Pancasila
25 26
Ibid, h 400 Hamka Haq. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta : RMBOOKS, 2011. H 174
67
sebagai spirit dan etos yang mempersatukan sebagai suatu bangsa, kemudian dikristalisasi sebagai dalam satu rumusan ideologis yang disebit pancasila. Jadi, di Indonesia perwujudan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa lahir dari rahim pancasila dan bukan pada agama Islam. Sementara perjuangan didalam merebut pengaruh dalam Negara muncul partai-partai politik yang mencoba berjuang melalui jalur diplomasi sehingga yang muncul adalah persaingan antara aliran nasionalis dengaan aliran agama. Dari kalangan agama misalnya Masyumi dan NU, PSI. Sementara kesatuan sikap orang-orang Islam terfragmentasi dalam beberapa varian yang kadang kala bersaing bahkan bertentangan. Sementara gerakan Islam dalam upaya pembentukan Negara Islam seperti yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzaqar.27 Hal ini merupakan ciri dari politik Islam pasca kemerdekaan. Perjuanga Islam politik di Indonesia menempuh jalur birokrasi, angkatan bersenjata dan partai politik. Hubungan antara agama dan Negara diawal dapat dilihat dalam pancasila yang memberikan legitimasi terhadap perjuangan agama begitupun kehidupan keagamaam mejadi dasar sikap dan pola interaksi didalam masyarakat. Perjuangan Islam secara struktural dan kultur untuk menjadikan Islam sebagai landasan hidup bernegara terjadi sepanjang sejarah politik di Indonesia. Dalam pemahaman Islam, bahwa kemerdekaan yang hakiki adalah terbebasnya manusia dari segala penghambaan atau ketergantungan kepada selain allah dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Salah satunya tempat untuk bergantung dan berlindung hanya kepada allah SWT dengan menyegerakan syari’at Islam yang
27
2008), h
Dhurorudin Mashad. Akar konflik politik Islam di Indonesia. (Jakarta, pustaka al-kautsar.
68
terlembagakan atau syari’at yang dilaksanakan atas kesadaran personal umat Islam. Perjuangan untuk melegal formalkan syaria’at Islam oleh sebagian umat Islam Indonesia baik pada waktu permulaan pergerakan Islam muncul maupun dalam khasanah politik belakangan. Ini bukanlah sesuatu yang dipersoalkan, tapi mungkin akan jauh lebih bijak, apabila perjuangan itu dikompromikan dengan konteks politik yang ada.28 Menurut saya Islam secara politik masih memiliki kekuatan dan tetap menjadi landasan politik masyarakat terutama dalam proses pemilihan kepala Negara (presiden). Sepanjang sejarah kepemimpinan di Indonesia belum ada presiden yang terpilih diluar dari orang Islam. Hal ini menujukkan kemampuan agama dalam membentuk solidaritas sosial. Secara moral masyarakat Indonesia dan legitimasi politik Islam dalam suksesi politik di Indonesia memiliki relasi yang sangat kuat sebagaimana yang dikatakan prof. Hamka Haq bahwa pancasila adalah penjiwaan terhadap syariat Islam.
28
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia : pertautan negara, khilafah, masyarakat madani, dan demokrasi, (yogyakarta, pustaka pelajar, 2008), h 155.
68
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Nama lengkap Ibn Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H bertepatan tanggal 27 Mei 1333 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari golongan Arab Yaman di Hadramaut. Baru setelah Islam mengalami kehilangan kekuasaan di Andalusia, seluruh keluarganya pindah ke Tunisia. Ibn Khaldun adalah seorang sejarawan dan seorang muslim yang aktif dalam bidang politik dan hukum. Ia hidup berpindah-pindah dikarenaka konstalasi politik yang terjadi pada masa itu sehingga Ia harus diasingkan dan kadang melarikan diri. Kitab Muqaddimah, merupakan karya terbesarnya dan pedoman utama dalam membahas pemikiran Ibn Khaldun, kajian yang dikandungnya begitu meluas dan mendalam tentang kesejarahan dan sosiologi, politik pemerintahan dan ilmu keislaman yang mendalam. Para pengikut Ibn Khaldun cenderung menganggapnya sebagai ensiklopedia. Kitab At-ta’rif Ibn Khaldun wa rihlatuhu Garban wa syarqan adalah kitab otobiografi Ibn Khaldun secara lengkap yang memandangnya sebagai orang besar abad pertengahan yang paling sempurnah. 1
Karya Ibn Khaldun yang
lain adalah Burdha Al-Bushairi, tentang logika dan aritmetika dan beberpa resume ilmu fiqih. Dua karya Ibn Khaldun yang masih sempat dilestarikan, yaitu sebuah ikhtisar yang masih ditulis beliau dengan tangan sendiri dengan judul Lubab Al-
1
Ayi sofyan, Op, Cit, h 273.
69
Muhashal fi Ushul Ad-din dan kitab Syifa As-Sailfitahdzib Al-Masatt yang ditulisnya ketika berada di Fez. Pemikiran Ibn Khaldun tentang kekuasaan dan legitimasi berangkat dari suatu proses yang alamiah dalam diri seorang manusia yang diperkuat dengan ayat-ayat alqur’an. Konsep dasar atas kekuasaan selain karena sang pemilik kekuasaan mutlak hanya ada di tangan Alla SWT.
juga di karena adanya solidaritas sosial yang
memberikan dorongan serta lahirnya cita-cita untuk bekerja sama dalam memenuhi segala kebutuhan manusia termasuk hasrat kekuasaan yang ada dalam diri manusia itu. Adanya kekuatan yang dilahirkan oleh ashabiyah maka kedaulatan itu bisa dicapai, sehingga lahirlah pemerintahan dan Negara. Setelah lahirnya kekuasaan serta legitimasi yang menyertainya maka lahirlah upaya untuk menjaga dan memperluas daerah kekuasaannya. Namun setiap kedaulatan itu memiliki jangka waktu sebab ada proses alamiah yang terjadi yaitu lahir, berkembang, menjadi tua, dan hancur (direbut). Adapun hal-hal yang mempercepat kehancuran sebuah kedaulatan adalah lemahnya solidaritas sosial, penggunaan cara-cara kekerasan dalam memegang kekuasaan, kemewahan harta benda dan hidup yang berfoya-foya, serta lahirnya solidarotas sosial (ashabiyah) yang lebih kuat dikalangan kedaulatan. Di Indonesia, ketika pancasila tidak lagi mampu menjaga solidaritas sosial (nasionalisme) masyarakatnya maka Indonesia akan diperhadapkan pada keutuhannya sebagai sebuah Negara bangsa yang beraneka ragam. Indonesia bukanlah Negara agama akan tetapi Negara yang mayoritas adalah orang Islam olehnya itu pancasila merupakan citra perilaku orang Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
70
B. IMPLIKASI PENELITIAN Merupakan suatu proses belajar dalam mengejar tingkatan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada setiap mahasiswa untuk berkembang dan berkreasi. Penelitian ini bisa menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait dengan masalah pemikiran Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah terutama menyangkut kekuasaan dan legitimasi politik. Selain itu kajian ini menambah khasana keilmuan dalam mempelajari politik Islam secara umum demi kemajuan Indonesia sebagai Negara Islam (Mayoritas Islam). Dalam bidang pendidikan formal, Universitas Islam Negeri merupakan wadah dalam pengembangan keagamaan baik itu aqidah, syari’at, dan ijtihad. Perkembangan pemikiran dibidang politik adalah merupakan aqidah serta proses ijtihad bagi seorang peneliti. Kesungguhan dalam meneliti adalah sesuatu yang wajib dalam menyelesaikan studi tingkat strata satu dan adanya pengembangan keilmuan Islam dalam berbagai dimensi mampu membangun sumberdaya manusia yang handal dan bertanggung jawab terhadap pribadi, agama, bangsa dan negara.
Daftar Pustaka Agger, Ben. Teori Social Kritis (Kritik, Penerapan, dan Aplikasinya), Terj. Nurhadi, Cet IV. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007. Alfan Alfian, M. Menjadi pemimpin politik (perbincangan kepemimpinan dan kekuasaan), Jakarta. Gramedia pustaka utama, 2009. Azhar, Muhammad. Filsafat Politik (Perbandingan Antara Islam Dan Barat), Jakarta : rajagrafindo persada, 1997. Baali, Fuad dan Ali wardi. Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Mansuruddin dan Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. Cangara, Hafied. Komunikasi Politik (Konsep, Teori, Dan Strategi) Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Damsar. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana, 2010. Eriyanto. .Analisis Wacana(Pengantar Analisis Media),Yogyakarta: Lkis, 2006. Fink, Hans. Filsafat social (dari Feodalisme hingga Pasar Bebas), terj.Sigit Jatmiko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam (Tradisonalisme, Rasionalisme, dan Empirisme dalam Teologi, Filsafat, dan Ushul Fiqih), Makassar: yayasan ahkam,1995. Hermawan, Eman. Politik Membela yang Benar (teori, kritik, dan nalar), Yogyakarta, Klik dan DKN Garda Bangsa, 2001. HR, Ridwan. fiqih politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan). Yogyakarta : FH UII Press, 2007. Iqbal, Muhammad. Dan Huseian Nasution. Pemikiran Politik Islam (dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer), Jakarta: Kencana, 2010. Jurdi, syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indoneia (Pertautan Negarra, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008. Jurdi, Syarifuddin. Awal Mula Sosiologi Modern (Kerangka Epistemologi, Metodologi, Dan Perubahan Sosial Perspektif Ibn Khaldun), Jakarta : Kreasi Wacana, 2012. Khaldun, Ibn. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha (Muqaddimah Ibn Khaldun), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. Kencana, Syafiie Inu. Ilmu Pemerintahan, Bandung: Mandar Maju, 2007. Ma’arif, Ahmad Syafei. Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis barat dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. Islam dan Politik Bernegara, Semarang : Pustaka Rezki Putra. 2002. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (sejarah pemikiran dan gerakan). Jakarta : bulan bintang, 1992. Philipus, Ng. dan Nurrul Aini, Sosiologi Dan Politik, Jakarta: rajawali pers, 2009. Ritzer, George. Teori Social Postmodern, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan, ed. VI, Jakarta: Kencana, 2007. Salim, Abdul Muin, Fiqih Siyasah (Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an), Jakarta : Raja Grafindo Persada, Edisi ketiga, 2002. Sjadzali, Munawir. Islam dan tata Negara (sejarah, ajaran, dan pemikiran), Jakarta : UI Press, edisi 5, 1993. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik Jakarta. Grasindo, 2009. Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2010. Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Press, 2010. Zainab, Perkembangan Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama lengkap penyusun : Muhliadi, tempat dan tanggal lahir : Selayar 1 juli 1989. Tamatan SMA Negeri 1 Pasimasunggu Timur Kabupaten Kepulauan Selayar. Masuk kuliah di Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN Alauddin) Makassar di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik. Jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan tahun 2008. anak dari pasangan suami istri Bustan-Rajapati. pengalaman organisasi : Gerakan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia Tanadoang (gempita-selayar), mantan ketua bidan penalaran dan keilmuan di himpunan pelajar dan mahasiswa kepulauan selayar periode 2010-2012, pernah dikader di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Gowa Raya, Komisariat Ushuluddin dan Filsafat.