Karakterisasi Nanoenkapsulan Buah Kecombrang (Nicolaia speciosa) Oleh: Rifda Naufalin, Tobari, Herastuti Sri Rukmini
ABSTRAK Buah kecombrang merupakan bagian bunga yang mengalami pendewasaan lebih lanjut, berwarna merah, terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar (kulit) dan bagian dalam (biji). Bagian buah belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Pemanfaatan ekstrak buah kecombrang dalam bentuk nanoenkapsulan dapat membuka peluang dihasilkannya bahan tambahan pangan yang praktis dan stabil oleh panas, cahaya dan oksigen. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikaji karakterisasi nanoenkapsulan buah kecombrang. Nanoenkapsulan dibuat dengan menambahkan enkapsulan gelatin dan maltodekstrin dengan perbandingan (1:2 ; 1:1 dan 2:1) pada ekstrak buah kecombrang. Key words : buah kecombrang, nanoenkapsulasi, bahan pengisi. Gelatin dan maltodekstrin
PENDAHULUAN
Buah kecombrang merupakan bagian bunga yang mengalami pendewasaan lebih lanjut dan kandungan senyawa bioaktif yang terdapat dalam buah sama dengan bunga, namun memiliki kandungan fenolik dan triterpenoid yang lebih banyak, dan aromanya segar dan lebih dapat diterima oleh konsumen (Naufalin et al., 2010).
Buah kecombrang mirip nanas
besar, berwarna merah dan erdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar (kulit) dan bagian dalam (biji).
Bagian buah belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Pemanfaatan ekstrak buah kecombrang dalam bentuk nanoenkapsulan dapat membuka peluang dihasilkannya bahan tambahan pangan yang praktis dan stabil oleh panas, cahaya dan oksigen. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikaji karakterisasi nanoenkapsulan buah kecombrang. Nanoenkapsulasi dilakukan melalui pembentukan partikel berukuran 1 – 1000 nm dengan muatan bahan aktif di dalamnya (Reis et al., 2006). Partikel dengan ukuran nano memungkinkan terjadinya distribusi yang lebih baik pada produk serta dapat memperluas permukaan kontak partikel dengan bahan. Selain itu, nanoenkapsulasi memungkinkan bahan aktif untuk lepas secara berkala melalui lapisan enkapsulan, sehingga hal ini juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif (Won et al., 2008). mengkaji karakteristik nanoenkapsulan buah kecombrang,
Penelitian ini bertujuan
METODE PENELITIAN
Persiapan sampel bubuk buah kecombrang Bahan buah kecombrang diseleksi.
Bahan
hasil seleksi dibersihkan dengan air,
kemudian dikeringkan dalam dryer pada suhu 500C hingga kadar air 8-10%. Selanjutnya simplisia kering digiling sampai diperoleh bubuk yang homogen. Ekstraksi dengan pelarut organik Jenis pelarut yaitu etil asetat untuk mengekstrak bubuk buah kecombrang. Bubuk buah kecombrang diekstrak dua kali dengan etanol (1:4 b/v). Proses ekstraksi dilakukan secara maserasi pada suhu 37°C, dengan kecepatan rotasi 150 rpm selama 24 jam setiap tingkat. Ffiltrat dipisahkan dari pelarut dengan cara penguapan dalam rotavapor sampai tidak ada pelarut yang menetes lagi. Pelarut pertama diuapkan pada suhu 40oC, pelarut kedua diuapkan pada suhu 50oC. Sisa pelarut dihilangkan dengan gas nitrogen sehingga dihasilkan suatu ekstrak (Houghton dan Raman 1998 dan Apriyantono et al., 1998). Pembuatan nanoenkapsulasi ekstrak Satu unit percobaan menggunakan 1 bagian konsentrat ekstrak buah kecombrang dan 3 bagian enkapsulan.
Enkapsulan dibuat dari komposisi gelatin : maltodekstrin
dengan
perbandingan (1:2 ; 1:1 dan 2:1). Ditambah dengan air bebas ion dan dicampur merata dengan cara pengadukan pada suhu 50oC selama 30 menit. Konsentrat ekstrak ditambahkan pada enkapsulan, campuran dihomogenisasi pada suhu 40oC selama 30 menit, sehingga terbentuk suatu emulsi.
Selanjutnya dilakukan pengecilan partikel emulsi menjadi
nanopartikel dengan menggunakan dispersing machine (Ultra-Turrax) 22.000 rpm selama 30 menit. Analisis fisikokimia Analisis ini meliputi analisis kandungan bioaktif, kadar air dengan metode oven vakum (Apriyantono et al., 1989), analisis tingkat kelarutan, analisis densitas kamba nanokapsulan, efisiensi nanoenkapsulan (Won et al., 2008), dan rendemen
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Senyawa Bioaktif Data senyawa bioaktif (fitokimia) buah kecombrang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data fitokimia bagian-bagian tanaman kecombrang --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Jenis Pengujian Buah kecombrang -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Alkaloid +++ Saponin Tanin Fenol +++ Flavonoid ++ Triterpenoid ++ Steroid + Glikosida ++++ --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Keterangan: -: negatif; +: positif lemah; ++: positif; +++: positif kuat; ++++: positif kuat sekali.
Komponen bioaktif
yang terdapat dalam buah kecombrang yaitu alkaloid, fenol,
flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida.
Komponen
yang dominan pada buah
kecombrang adalah fenol, flavonoid dan saponin. Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon (Hahlbrock, 1981). Flavonoid merupakan salah satu golongan
fenol alam yang
terbesar. Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil, umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, aseton dan lainnya. Adanya gula yang terikat pada flavonoid, cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air (Markham, 1998). Antosianin adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu, dan biru. Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar (Salisbury, 1995). Sebagian besar tumbuhan memiliki kandungan antosianin terbesar pada bagian buahnya (Houghton dan Hendry, 1995).
Pigmen ini telah banyak digunakan sebagai pewarna alami pada berbagai produk pangan dan berbagai aplikasi lainnya (Gould et al., 2008). Berbagai macam pigmen antosianin yang diekstrak dari buah-buahan tertentu telah banyak dimanfaatkan sebagai pewarna pada produk minuman ringan, susu, bubuk minuman, minuman beralkohol, produk beku dan lainnya ( Houghton dan Hendry, 1995). Rendemen bubuk buah kecombrang Rendemen diperoleh dari perbandingan berat awal buah kecombrang segar terhadap berat bubuk buah kecombrang yang dihasilkan. Nilai rendemen bubuk kering buah kecombrang sebesar 16,54% dibandingkan nilai rendemen bagian-bagian lain dari tanaman kecombrang menurut Istianto (2008) yakni bunga (10,89%), daun (20,51%), batang (13,86%), dan rimpang (18,00%). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air buah kecombrang tidak lebih tinggi dibandingkan kadar air bagian bunga dan batang tanaman kecombrang. Nilai rendemen bubuk kering buah kecombrang digunakan untuk mengetahui seberapa besar bagian buah yang dapat dimanfaatkan dalam proses ekstraksi untuk selanjutnya mengalami perubahan menjadi konsentrat. Rendemen nanoenkapsulan buah kecombrang
Nilai rata-rata rendemen dari proporsi enkapsulan 1:1, 1:2, dan 2:1 berturut-turut 44,29 %; 46,15 % dan 44,69 % (Gambar 1). Hal ini diduga karena enkapsulan proporsi 1:2 dengan jumlah maltodekstrin yang lebih banyak akan lebih mampu berinteraksi dengan fraksi yang dikapsulkan. Maltodekstrin memiliki berat molekul yang lebih rendah daripada gelatin. Menurut Llod dan Nelson (1984) maltodekstrin (C6H12O5)n H2O merupakan polisakarida yang terdiri dari ikatan (1-4) D glukosa dengan berat molekul kurang dari 4000. Gelatin memiliki berat molekul bentuk alfa antara 80.000-125.000, BM bentuk beta antara l60.000- 250.000 dan BM untuk Gama antara 240.000-375.000 (Poppe, 1999). Menurut Fennema (1996), maltodekstrin merupakan produk yang mempunyai nilai DE kurang dari 20. Maltodekstrin tidak berasa, tidak manis dan sangat bagus kontribusinya sebagai pelindung dalam sistem makanan. Maltodekstrin dipakai dalam industri makanan sebagai pengental, pemantap serta
memiliki kemampuan untuk membentuk film stabil, selain itu juga dapat digunakan untuk
Rendemen Mikrokapsul (%)
enkapsulasi senyawa volatil (DeMan, 1997).
48 46,15b 46
44,69a
44,29a 44 42 40 1:1
1:2
2:1
Proporsi gelatin - maltodekstrin
Gambar 1. Nilai rata-rata rendemen nanokapsul. pada berbagai proporsi gelatin – maltodekstrin (b/b) Densitas kamba nanokapsul buah kecombrang Densitas kamba mikrokapsul merupakan perbandingan antara berat nanokapsul terhadap volume mikrokapsul tersebut. Semakin tinggi nilai densitas kamba nanokapsul berarti semakin kecil volume kemasan yang diperlukannya.
Nanoenkapsulan buah
kecombrang dengan beberapa perbandingan tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata densitas kamba nanokapsul buah kecombrang yaitu antara 0,47 sampai 0,51 g/ml.
Kelarutan nanokapsul buah kecombrang dalam air
Pengukuran kelarutan ini bertujuan agar mikrokapsul yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada pangan. Pada umumnya bahan pangan banyak mengandung air, sehingga produk yang akan diaplikasikan pada bahan pangan seharusnya larut dalam air. Nanokapsul dari proporsi gelatin : maltodekstrin 2:1(b/b) berbeda nyata dengan proporsi 1:1 (b/b) dan 1:2 (b/b), sedangkan proporsi 1:1 dan 1:2 (b/b) tidak berbeda nyata. Proporsi gelatin yang lebih tinggi menyebabkan kelarutan dalam air semakin tinggi. Gelatin merupakan golongan protein yang memiliki gugus hidrofilik. Gugus hidrofilik sangat mudah
berinteraksi dengan air, sehingga sangat larut dalam air. Menurut Poppe (1999), gelatin merupakan hidrokoloid dan polimer larut air yang digunakan sebagai agen pengental atau penstabil yang larut dalam air pada suhu 710C. 68,61 a
Kelarutan dalam air (%)
70 68 66
64,75 b
65,51 b
64 62 60 1:1
1:2
2:1
Proporsi gelatin : maltodekstrin (b/b)
Gambar 2. Nilai rata-rata kelarutan nanokapsul dalam air pada berbagai proporsi enkapsulan gelatin : maltodekstrin terhadap
Kelarutan mikrokapsul dalam etanol Nanokapsul dari proporsi gelatin : maltodekstrin 2:1(b/b) berbeda nyata dengan proporsi 1:1 (b/b) dan 1:2 (b/b), sedangkan proporsi 1:1 dan 1:2 (b/b) tidak berbeda nyata terhadap kelarutan nanokapsul dalam etanol (Gambar 3). Proporsi gelatin-maltodekstrin 2:1 (b/b) menghasilkan kelarutan nanokapsul dalam etanol paling rendah (20,69 %). Hal ini diduga karena interaksi antara gelatin dengan proporsi tinggi dengan fraksi terekstrak sangat kuat sehingga tidak mudah larut dalam etanol. Dinding yang dihasilkan oleh gelatin lebih mampu menahan bahan inti dibandingkan dengan maltodekstrin sehingga kelarutan dalam etanol rendah. Ini juga dipengaruhi oleh sifat gelatin yang sukar larut dalam pelarut polar. Menurut Poppe (1999) gelatin larut dalam air pada suhu 710C dan tidak larut dalam pelarut polar.
Kelarutan dalam alkohol (%)
24,35 b
25 24 22,83 b 23 22
20,69 a
21 20 1:1
1:2
2:1
Proporsi gelatin : maltodekstrin (b/b)
Gambar 3. Nilai rata-rata kelarutan nanokapsul dalam etanol pada berbagai proporsi enkapsulan gelatin : maltodekstrin terhadap. Kadar fraksi tidak terkapsulkan Proporsi enkapsulan gelatin : maltodekstrin (E), menunjukkan rata-rata kadar fraksi tidak terkapsulkan pada proporsi enkapsulan 1:2 (b/b) lebih rendah (22,41%)
daripada
Kadar fraksi tak terkapsulkan (%)
perlakuan yang lain (Gambar 4).
30
27,99 b
28
25,80 b
26 24
22,41 a
22 20 1:1
1:2
2:1
Proporsi gelatin : maltodekstrin (b/b)
Gambar 4. Nilai rata-rata kadar fraksi tidak terkapsulkan pada nanoenkapsulasi pada berbagai proporsi enkapsulan gelatin-maltodekstrin terhadap. Hal ini diduga karena proporsi maltodekstrin yang tinggi menyebabkan molekulmolekul maltodekstrin yang berinteraksi dengan gelatin dan fraksi kecombrang juga semakin banyak sehingga fraksi dapat terlindungi dengan baik. Mikrokapsul yang terbentuk dari gelatin
(protein) dan maltodekstrin (karbohidrat) mempunyai struktur dinding mikrokapsul yang berlapis. Fungsi protein sebagai emulsifier dan pembentuk film sedangkan karbohidrat berfungsi sebagai filler (pengisi) dan pembentuk matriks (Sheu dan Rosenberg, 1998). Efisiensi mikroenkapsulasi Efisiensi nanoenkapsulasi dihitung berdasarkan perbandingan jumlah fraksi yang berada di dalam nanokapsul dengan fraksi yang digunakan dalam proses. Efisiensi yang tinggi menunjukkan tingginya jumlah fraksi yang terkapsulkan (Mustikawati, 1998). Nilai rata-rata efisiensi nanoenkapsulasi pada perlakuan E1, E2 dan E3 berturut-turut 58,77 %, 66,35 % dan 56,56 % (Gambar 5). Perlakuan proporsi gelatin : maltodekstrin memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap efisiensi mikrokapsul. Hal ini diperkirakan karena penambahan gelatin maupun maltodekstrin memberikan tingkat hidrofilisitas yang tidak sama pada setiap perlakuan. Kekuatan hidrofilisitas yang berbeda menyebabkan kekuatan pengikatan fraksi juga berbeda sehingga
Efisiensi mikrokapsul (%)
efisiensi dari setiap perlakuan proporsi enkapsulan gelatin : maltodekstrin berbeda sangat nyata. 70
66,35 a 65
60
58,77 b 56,56 c
55 1:1
1:2
2:1
Proporsi gelatin : maltodekstrin
Gambar 5. Nilai rata-rata efisiensi nanokapsul pada berbagai proporsi enkapsulan gelatin : maltodekstrin. Menurut Lin et al. (1995) efisiensi yang optimal dapat dihasilkan dari matriks protein dan karbohidrat sebagai dinding mikrokapsul. Dinding mikrokapsul yang terdiri dari dua bahan enkapsulan mampu memberikan perlindungan yang baik terhadap mikrokapsul. Penggunaan dua bahan enkapsulan menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan satu enkapsulan sebagai bahan pengisi sebab kemampuan enkapsulan untuk berinteraksi membentuk granula yang dapat menyalut komponen yang dienkapsulasi lebih baik (Afeli, 1998).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Nanokapsul buah kecombrang dengan menggunakan proporsi enkapsulan gelatin – maltodekstrin 1:2
b/b (E2) memiliki sifat fisikokimia (rendemen, densitas kamba,
kelarutan dalam air, kelarutan dalam etanol, dan efisiensi mikroenkapsulasi) lebih tinggi daripada proporsi 1:1 dan 2:1 (b/b). 2. Efisiensi nanoenkapsulasi buah kecombrang bagian dalam paling tinggi (45,85 %) diperoleh dari enkapsulan gelatin - maltodekstrin 1:2 b/b.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai stabilitas nanokapsul terhadap berbagai kondisi proses diantaranya pemanasan dan oksidasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas antibakteri buah kecombrang dibandingkan aktivitasnya dari bunga kecombrang. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan Unsoed melalui dana penelitian Riset Unggulan 2012 sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Afeli, R. 1998. Studi Mikroenkapsulasi dan Stabilitas Minyak Kaya Asam Lemak Omega-3 dari Limbah Pengalengan Ikan Tuna (tuna precook oil). Skripsi. IPB, Bogor. 44 hal. (tidak dipublikasikan) Fessenden, R. J. 1991. Kimia Organik 1. Erlangga, Jakarta. Hadioetomo, R.S., T.I.S.S. Tjitrosomo, dan S.L. Agka. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Terjemahan. UI Press, Jakarta. 234 hal. Jay, J. M. 1986. Modern Food Microbiology. Wayne State University. Van Nostrand Reinhold, New York. 467 pp. Ketaren, S. 1990. Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor. 112 hal.
Koswara, S. 2007. Teknologi Enkapsulasi Flavor Rempah-Rempah (On-line) http://www. ebookpangan.com diakses 20 desember 2007. Lin, C.C, Lin S.Y. and Hwang L.S. 1995. microencapsulation of Squid Oil with Hydrophilic Macromolecules for Oxidative and Thermal Stabilization. J of Food Sci.60 1) : 36-39
Lyod, N. E. and W.I. Nelson. 1984. Glucose and Fructose Containing Sweeteners from Starch In Whistler and BeMiller (eds). Starch, Chemistry and Technology. Academy Inc, Florida. 618 p. Mustikawati, L. 1998. Mikroenkapsulasi Konsentrat Asam Lemak Omega-3 dai Minyak Limbah Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dengan Konservasi Komplek. Skripsi. IPB, Bogor. 48 hal. (Tidak dipublikasikan) Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 181 hal (Tidak dipublikasikan) Permadi, A. 2003. Analisis pengembangan industri pengolahan mikroenkapsulasi minyak ikan. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. E-mail:
[email protected] Poppe, J. 1999. Gelatin. In. Alan Imeson (eds). Pp 145-167: Thickening and gelling agents for food. 2nd edition. Aspen publisher, Inc. Maryland. 320 p. Tampubolon, O.T., S. Suhatsyah, dan S. Sastrapradja. 1983. Penelitian Pendahuluan Kimia Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan). Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III. Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta. Valianty K. 2002. Potensi Antibakteri Minyak Bunga Kecombrang. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 38 hal (Tidak dipublikasikan). Wikipedia. 2008. Etil asetat (on line). http://en.wikipedia.org/wiki/ diakses 9 Agustus 2008