KECACINGAN ANCYLOSTOMA Sp. PADA ANJING RAS
TOGU PERMADI SAMOSIR
FAKULTAS KEDOKTE HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK TOGU PERMADI SAMOSIR. Keeaeingan Ancylostonra Sp. pada Anjing Ras. Dibawah bimbingan RISA TIURIA. Pengamatan kesehatan anjing ini dilakukan dengan cara identifikasi telur cacing pada tinja. Metode yang dipakai adalah metode kuantitatif dengan menggunakan kamar hitung McMaster dan kualitatif dengan melihat bentuk dan ukurannya, kemudian dibandingkan dengan bentuk standar, sehingga, dapat diketahui cacing parasitik yang menginfeksi anjing ras. Dari pengarnatan sampel tinja anjing pada pembesaran 10 X lensa objektif, didapatkan rataan ukuran tipe telur cacing Strongyloid berdasarkan ras adalah 65,l pn x 37,3 pm, berdasarkan interval umur adalah 62,7 pm x 36 pn sedangkan berdasarkan jenis kelamin adalah 64,7 pm x 37,4 pn. Rataan ukuran telur cacing ini masih masuk dalam x 34-47 pm. Setelah dilakukan kisaran telur Ancylostoma caninum yaitu 56-75 pemupukkan maka didapatkan morfologi cacing dengan kisaran panjang larva cacing Ancylostoma sp. adalah 261,3 pm. Berdasarkan analisis deskriptif, didapatkan adanya hubungan antara ras anjing dengan kasus kecacingan Ancylostoma sp. Berdasarkan interval umur maka anjing muda lebih rentan terkena kasus kecacingan dibandingkan anjing dewasa, sedangkan pada jenis kelamin didapatkan anjing jantan lebih rentan dari pada anjing betina.
ABSTRACTION TOGU PERMADI SAMOSIR Ancylostomiasis at Rustling Dog. Under tuition RISA TIURIA.
Dog health observation was done identification of worm egg atfaeces. The method of examination was used quantitative method by using calculate McMaster chamber and qualitative by seeing the form and measztred the egg. After that, then is compared to standard form and knowable of paracytic worm is infection of race dog. Observation the faeces sample at magni$cation of 10 X objective lens, it was got average worm egg type measure Stronn/2oid Eggs type of Strongvloid based on race observation was 65,1 micron x 37,3 micron, age interval was 62,7 micron x 36 micron while based on gender was 64,7 micron x 37,4 micron. Average this worm egg measure still entering in the range of egg Ancvlostoma caninum that is 56-75 micron x 34-47 micron. Ajier done by manuring hence got by worm morphology with the range of worm larva length Ancvlostoma sp is 261,3 micron. Based on descriptive analysis, got existence of relation between dog race with wormy case of Ancvlostoma sp. Based on interval of age showing thats puppies is more susceptibly Ancylostomiasis compared to adult dog, while at gender is got by male dog is more susceptibly~omat bitch.
KECACINGAN ANCYLOSTOMA Sp. PADA ANJING RAS
TOGU PERMADI SAMOSIR B04103052
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERT BOGOR 2008
LEMBARAN PENGESAHAN Kecacingan Altcylostoma sp pada Anjing Ras
Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP
:
Togu Permadi Samosir B04103052
Disetujui, Pembimbing
Disetujui tanggal:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 15 September 1985 di Muara Bungo Jambi. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Aliaster Samosir dan Ibu Dumaya Rajaguguk, SPd. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1990 di SDN 289 Muara Bungo, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTPN 4 Muara Bungo dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun tahun 2003 di SMUN 2 Muara Bungo. Penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB OJSMI) pada tahun 2003. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor periode 2005-2006 dan sebagai anggota himpro Ruminansia. Penulis pemah menjadi asisten dosen untuk matakuliah Parasitologi Veteriner 2005-2006. Penulis juga pemah menerima Beasiswa Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi dan Beasiswa Penyelesaian Tugas Akhir FKH-IPB.
PRAKATA Terima kasih buat TUHAN YESUS KRISTUS untuk kasih yang luar biasa dan "keajaiban" yang indah, serta kemenangan yang diberikan setiap waktu, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Kecacingan Ancylostoma Sp. pada Anjing Ras. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besamya kepada: 1. Kedua orang tua, Aliaster Samosir selaku ayah dan Ibunda Dumaya
Rajagukguk, SPd, Eka M. Astriani Samosir, SPd sebagai kakak dan Gapri Bona Tua Samosir, SE sebagai abang buat segala doa dan semangat yang baru. 2. Dr. drh. Risa Tiuria, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan doa, semangat, saran serta canda selama penelitian dan penulisan skripsi.
3. drh.M.Iskandar,MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan masukkan dan dorongan kepada penulis selama melakukan studi di FKH-IPB. 4. Bapak Krisno yang telah menyediakan tempat penelitian, serta mas Anis
yang telah banyak membantu penulis selama bekerja di lapangan. Pak Eman dan Bibi yang telah banyak membantu selama penulis bekeja di Laboratotium. 5. Keluarga besar Samosir dianapun berada, Bou Bel, Bou Nora, Otet, Bou
Kevin, Ompung Jambi, Uda Jerry, Nanguda, Bou Lusi. Keluarga besar Rajagukguk dimanapun berada, Tante Hana, Tante Jani, Tante Cia dan Tulang Tongam.
6. Para penghuni setia Momy (B'Tito, Aconk, Brutus, Alchairi, Pesonk, Icho, Isenk, Gede, Anggit, Anggun, Hem, Hotman, Sarndut dan Pak COY) 7. MBV Tour 2007, Rahma,Hernita, Intan, Rani, Indah, Indra, Metha, Tri, Umamy, Puji, Yasmilia, Zulfa, Nisa, Chenty, Dewi, Nandito, Irao, Devio, Silvi, Theo, Gymnoleamata 40', Achi, Angga, Boy, Liza, Mei, Rikky,
8. Hana Rosaline,SE, Susan, K'Siska Na70, 171187, Chika (monrnon), Vincencia, Nova, Chika Evaria, Li, Kristina Dwi Astuti, Emi Evi Larntiur, Evi Ginting, Dame Natalia, Brando, drg.Rotua Magdalena (Tx ya Ro?) serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9. PMK-IPB, KPA, PA Chandranaya, FKH41, 42, 43, Himpro Rurninansia, HKSA, SATLI serta Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi dan FKHIPB yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tugas akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala saran yang membangun yang diberikan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin Bogor, Januari 2008
DAFTAR IS1
Halaman DAFTAR IS1 ............................................................
1
DAFTAR TABEL .....................................................
11
DAFTAR GAMBAR ....................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................
iv
PENDAHULUAN A . Latar Belakang ................................................. .. B . Tujuan Penelltlan............................................. C. Hipotesis ...................................................... D . Manfaat Penelitian............................................ TINJAUAN PUSTAKA A . Klasifikasi Anjing ............................................... B. Nematoda Parasitik ............................................ Daur Hidup Nematoda .................................. METODOLOGI PENELITIAN A . Waktu dan Tempat .............................................. B. Bahan dan Alat ................................................. C . Rancangan Penelitian.......................................... D. Metode ........................................................... . . Kualltatlf................................................... . . Kuantltatlf................................................... .. F. Anahsls Data .......................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN A . Hasil ............................................................. B . Jenis Cacing yang Ditemukan pada Anjing Ras ........... C. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Ras Anjing .............. D. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Umur Anjing.......... E. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Jenis Kelamin Anjing KESIMPULAN DAN SARAN A .Kesimvulan ...................................................... B. Saran .............................................................. DAFTAR PUSTAKA......................................................
..
.
No
Halaman
1. Karakteristik Umurn dari Cacing Tambang pada Anjing................ 10 2. Telur Cacing dm Nilai TTGT pada Anjing Ras ........................... 21
3. Telur Cacing dm Nilai TTGT Berdasarkan Interval Umur............. 21 4 . Telur Cacing dm Nilai TTGT Berdasarkan Jenis Kelamin............. 22
DAFTAR TABEL
.
No
Halaman
1. Karakteristik Umum dari Cacing Tambang pada Anjing................ 10 2. Telur Cacing d m Nilai TTGT pada Anjing Ras ........................... 21
3 . Telur Cacing dan Nilai TTGT Berdasarkan Interval Umur............. 21 4. Telur Cacing d m Nilai TTGT Berdasarkan Jenis Kelamin............. 22
DAFTAR GAMBAR
..
Halaman
Jenis Anjing Beagle ......................................................
..
4
..................................................... Jenis Anjing Golden Retriever ......................................... Jenis Anjing Chow Chow................................................ .. A q i g Weimaraner ..................................................... Jenis Anjing Chihuahua ................................................ Cacing Nematoda ........................................................ Bentuk Gigi Cacing Ancylostoma Sp................................... Perbedaan Cacing A . caninum dan A . brazilliensi........................
4
Perbedaan Cacing Ancylostoma Jantan dan Betina.......................
11
Hasil Pengamatan Telur Ancylostoma Sp............................
12
Jenis Anjing Pit Bull
5 5
6 7
9 9 10
Berbagai Jenis Telur Cacing Nematoda ................................. 12 Daur Hidup Cacing Tambang......................................................... 14 Lokasi Pengambilan Sample Tinja Anjing Ras di Kabupaten Cibinong......................................................................................
19
Gambaran T i j a Normal Anjing Ras................................................ 20 Telur Cacing Nematoda Parasitik Ancylostoma sp ..................
23
Perbandingan Telur Nematoda Parasitik Ancylostoma sp............
24
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Anjing (Canis familiaris) merupakan hewan sosial yang sama halnya seperti manusia. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia ini menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bemain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia ataupun dengan anjing yang lainnya. Menurut Rachmatdi (2003) anjing me~pakatIhewan kesayangan yang cukup banyak dipelihara di Indonesia. Anjing memiliki keunikan dalam hubungan antar spesies, keunikan ini ditandai dengan banyaknya peran anjing terhadap manusia, diantaranya sebagai anjing pekerja, anjing penggembala, anjing pelacak, anjing penuntun tunanetra, anjing pelayan, bahkan ada olahraga anjing yang memamerkan kemampuan alami mereka. Di banyak negara, peran anjing yang paling urnurn dan paling penting adalah sebagai binatang peliharaan. Anjing juga bekerja dan tinggal bersama manusia dengan banyak peran, sehingga mereka digelari "teman terbaik manusia". Di beherapa negara, anjing juga ditemakkan sebagai hewan temak yang dapat menghasilkan daging. Sebagian besar kebudayaan di dtmia mengkonsumsi daging anjing dianggap tabu (Panton 2004). Karena kedekatan antara anjing dan manusia, tanpa disadari hanyak penyakit yang menyerang anjing, bahkan dapat pula membahayakan pemeliharaanya (zoonosis). Zoonosis adalah penyakit-penyakit yang berasal dari hewan yang dapat ditularkan kepada manusia atau sebaliknya. Kontak manusia dengan hewan ini sudah berjalan baik pada zarnan purba maupun ketika peradaban sudah dimulai. Ratusan tahun kemudian pola perpindahan penyakit ini semakin komplek d m efek yang ditimbukannya pun semakin mematikan (Panton 2004). Parasitosis pada anjing merupakan istilah keadaan dimana adanya peningkatan parasit patogenik pada tubuh anjing, serta batas toleransi hospes yang terlanlpaui. Kejadian parasitosis ini sering diikuti dengan adanya gejala Minis. Dalam jumlah banyak, kadang-kadang kejadian ini menyebabkan obstruksi pada usus serta menyebabkan reaksi tubuh. Gangguan ini tidak langsung berakibat fatal pada anjing (kematian). Pada umumnya, anjing muda hanya menunjukkan p e n m a n berat badan dikarenakan infeksi cacing parasitik yang berjalan kronis. Disamping
itu ketahanan tubuh anjing yang menurun memungkinkan timbulnya infeksi sekunder, infeksi bakteri, virus, ataupun parasit lain (Anonim 1977). Beda halnya dengan anjing dewasa yang mengalami kasus kecacingan, selain p e n m a n berat badan anjing dewasa juga lebih cendemg terlihat mudah lelah. Kasus kejadian parasitik pada beberapa anjing ras lebih rentan terhadap serangan parasit cacing. Faktor lain yang sering menjadi bahan perbandingan kasus kecacingan adalah jenis kelarnin. Beberapa faktor tadi dapat menurunkan daya jual anjing ras bagi kenel. Oleh karena itu, diiarapkan dalam pemeliharaan anjing khususnya masalah kesehatan anjing ras harus selalu mendapat perhatian yang lebih. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecacingan terhadap ras, umur, dan jenis kelamin anjing ras. C. Hipotesis Dalam penelitian yang dilakukan ini, diharapkan jenis-jenis cacing pada anjing berbagai ras, jenis kelamin dan interval umur dapat diketahui sehingga penanganan dan pencegahan pada kasus kecacingan pada anjing ras dapat dilakukan dengan lebih baik.
HO
: Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kecacingan pada
anjing
H1
: Ras, umur dan jenis kelamin mempengaruhi kecacingan pada anjing
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bennanfaat untuk mengetahui informasi bam tentang tingkat prevalensi kecacingan pada anjing terhadap ras, umur dan jenis kelamin, yang dapat digunakan untuk pencegahan kasus kecacingan yang tepat diiasa mendatang.
TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifkasi Anjing
Anjing merupakan hewan yang paling banyak dipelihara orang dan yang pertama kali didomestifikasi atau disosialisasi ke dalam kehidupan manusia. Anjing dapat dijadikan sahabat setia dan dapat membantu memudahkan cara hidup manusia sejak zaman purbakala (Dharmojono 2003). Suatu kecacingan parasitosis pada anjing merupakan istilah keadaan dimana adanya peningkatan parasit patogenik dalam tub& anjing dengan
batas toleransi hospes yang
terlampaui, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada anjing. Telah dikenal lebih dmi empat ratus jenis anjing, data ini dihimpun oleh (Federation
Cynologique Internationale) FCI yang bermarkas di Brussel. Penggolongan anjing yang dilakukan oleh para ahli ini telah dilakukan pada abad ke-17, dengan mengklasifikasikan tiga puluh jenis anjing berdasarkan bentuk dan posisi telinga (Untung 1993). Jenis-Jenis Anjing Menurut (Federation Cynologique Internationale) FCI, jenis anjing diklasifkasikan menurut penampilan fisik, sifat, dan kegunaannya. Berdasarkan pengklasifikasian ini, anjing dapat dibagi menjadi enam kelompok besar, yaitu
Hound, Terrier, Gzmdog, Utility, Working, dan Toy (Rachmatdi 2003). 1. Hound
Anjing kelompok ini mempunyai kemampuan sebagai penjaga dan pemburu yang handal dengan penciuman dan penglihatan yang tajam. Di Indonesia, kelompok anjing ini banyak dipelihara karena bentuknya yang lucu dan unik (Budiana 2006). Ciri khas anjing ras ini adalah berbulu pendek dengan ukuran tub& sedang. Hound merupakan tipe anjing ras pemburu dan penjaga yang dapat diandalkan. Anjing ras ini ada yang mempunyai ketajaman pada penciuman dan penglihatannya, contohnya
Beagle, Basenji, Miniature Dachsund, Basset Hound, Saluki, dun Greyhpound.
Keunikan lain yang dimiliki oleh anjing ras ini ialah M i t keriput, bagian kepala yang besar dengan moncong yang memanjang, serta adanya kerutan di sekitar kelopak mata. Kuping yang panjang dan berlipat-lipat tak jarang sampai menyentuh lantai.
Gambar 1 Jenis Anjing Beagle ~:llwww.aniinpkita.com) 2. Terrier
Anjing ras tipe ini mempunyai bentuk kepala yang ramping. Jenis anjing ras Terrier sering dipakai sebagai anjing pemburu binatang kecil, namun anjing ini lebih dikenal sebagai anjing yang sangat pemberani. Umumnya, penamaan jenis anjing ras tipe ini selalu diihti dengan kata Terrier, seperti Bull Terrier
Gambar 2 Jenis Anjing Pit Bull (htt~:llww.eukmeone.com) Terrier sering dipelihara untuk dilatih sebagai teman berburu. Dibeberapa tempat di Indonesia, sebagian anjing jenis ini digunakan sebagai anjing aduan, seperti Bull Terrier atau Pit Bull. Kelompok anjing ini banyak dipelihara sebagai anjing pemburu, karena mempunyai kelebihan dengan daya gigitan yang sangat h a t (Rachmatdi 2003). 3. Gundog
Jenis anjing Gzrndog mempunyai stamina, daya tahan dan kehatan yang sangat luar biasa. Meski begitu, anjing tipe ini tidak cocok digunakan sebagai anjing penjaga. Kelompok anjing ini semula kerap digunakan
sebagai teman berburu. Contoh anjing Gundog ini adalah Pointer, Weimaraner, Cocker Spaniel, Labrador Retriever, American Cocker Spaniel, clan Golden Retriever. Jenis-jenis kelompok anjing ini banyak dipelihara di Indonesia sebagai anjing yang bersahabat bagi semua anggota keluarga. Di negara Jepang, jenis anjing Golden Retriever banyak digunakan sebagai penuntun orang buta.
Garnbar 3 4. Utility
Gambar 4 Jenis Anjing Chow C ~ O M J (1itt~://www.aniin.kita.co1ii-brave/vo1i/texan-clio~vcl~o~v.ht1n)
Kelompok anjing ras ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Tipe anjing utility memiliki karakter yang patuh terhadap tuannya. Oleh karena itu, sesuai dengan nama tipenya anjing ini paling mudah dibiakkan untuk berbagai macam penggunaan. Contoh kelompok anjing ini adalah Bulldog, French Bulldog, Shih Tzu, Boston Terrier,
Chow Chow, dan Dalmatian. Salah satu jenisnya adalah Chow Chow yang bertampang seperti singa, dengan rambut yang benvama coklat keemasan dan
lebat
sehingga
membuat
beberapa
orang
tertarik
untuk
mengkoleksinya.
5. Working
Gan~bar5 Anjing Wein~araner (http://ww.fistonistablo~so~ne.com~)
Anggota kelompok ini sangat cocok dijadikan sebagai anjing penjaga dan mempunyai tanggung jawab yang yang tinggi bila diberikan tugas (Budiana 2006). Kelompok anjing ini memiliki kelebihan dari semua kelompok anjing yang ada. Umumnya bertubuh besar, cendemng bersifat ganas dan berani mati. Anjing tipe ini juga sangat cerdas, setia dan patuh terhadap tuannya. Selain itu, stamina, kecepatan lari, kemampuan indera penglihatan dan penciumannya sangat luar biasa. Oleh karena itu, tipe anjing ini sangat cocok digunakan sebagai anjing penjaga. Beberapa contoh kelompok anjing ini adalah Siberian Husky, Doberman, Great Dane, Rottweiler,
Mast18 St Bernard, Boxer, dan German Sheperd (Rachmatdi 2003). 5. Toy Kelompok anjing Toy umumnya memiliki bentuk fisik yang kecil. Meskipun demikian, anjing ini bisa dilatih sebagai anjing keluarga dan penjaga. Tubuhnya yang kecil sangat cocok dipelihara oleh pemilik yang memiliki rumah sempit seperti apartemen.
Chihuahua termasuk kelompok anjing ras yang mempunyai tubuh terkecil di dunia. Bobotnya hanya 2,6 kg, sehingga dijuluki anjing kantung karena dapat ditenteng kemana saja. Tampang anjing asal Mexico ini cukup innocent, sehingga menjadi pilihan sebagai anjing 'mainan'. Postur tubuh yang mini, selain itu bulu Chihuahtta juga menjadi daya tarik tersendiri. Ada dua jenis bulu, yaitu: short hair dan long hair. Wama bulunya pun banyak pilihan, seperti putih, coklat, dan abu-abu ataupun multicolour (Rachmatdi 2003). Bentuk fisik anjing tipe ini umumnya kecil, unik, lucu dan patuh. Selain itu juga mudah bersahabat dengan manusia, Contoh Pomeranian, Chihuahua, Pekingese, Pug, Maltese, dan
Miniature Pinscher.
Gambar 6 Jenis anjing Chihuahua (http:llwww.Ani ingKita.Com-PH/GRDICWHamlets/Emperor NapoleonIChihuahua.htm)
B. Nematoda Parasitik Cacing Nematoda Nematoda merupakan anggota dari filum Nemathelminthes (Levine 2003). Jenis cacing ini mempunyai saluran usus dan rongga tubuh yang dilapisi oleh selaput seluler yang disebut denganpsudosel atau psudoseloma. Cacing nematoda berbentuk bulat pada potongan melintang, tak bersegmen, dan ditutupi oleh kutikula yang disekresikan oleh lapisan sel hipodermis (Levine 2003). Cacing ini juga lebih senang hidup di cairan tubuh, seperti darah dan cairan limfe (Cheng
1973).
Tubuh cacing nematoda mempunyai rongga yang semu, sehingga tubuh cacing ini terlihat transparan (Gambar 7). Cacing nematoda memiliki sistem organ tubuh lengkap, berupa sistem pencernaan (memanjang dengan bentuk esofagus yang bervariasi), sistem ekskresi, sistem syaraf, sistem pengeluaran, dan sistem reproduksi serta tidak memiliki sistem peredaran darah. Nematoda memiliki peran penting sebagai parasit yang merupakan agen terhadap manusia dan satwa. Salah satu genus cacing ini adalah Ancylostoma sp. Soulsby (1982) menyebutkan Ancylostoma dibagi menjadi empat spesies, yaitu A. brazilliensi, A. caninum, A. ceylanicum, dan A. tubaeforme. Diantara keempat jenis cacing Ancylostoma tersebut, A. caninum merupakan spesies yang paling banyak menginfeksi anjing. Berdasarkan penelitian Margono (1998) pemeriksaan cacing di Jakarta pada sejurnlah kucing ditemukan 75% A. brazilliensi, sedangkan pada anjing terdapat 18% A. brazilliensi dan 68% A. caninum. Secara ilmiah cacing nematoda diklasifikasikan menurut Soulsby (1982), sebagai berikut: Kingdom
:
Animalia
Filum
Nemathelminthes, Levine 2003
Kelas
Secementea
Ordo
Strongyloidae
Familia
Ancylostomatidae, Loos 1905
Genus
Ancylostoma, Dubinil843
Spesies
Ancylostoma brazilliensi, Gomes Defaria 1910 Ancylostoma caninum, Levine 1990 Ancylostoma ceylanicum, Loos 1911 Ancylostoma tubaeforme, Zeder 1800
Cacing nematoda mempunyai tubuh yang berbentuk silindris memanjang. Jenis cacing ini memiliki tiga lapisan (triploblastik) atau terdiri dari tiga lapis blastula (lapisan ini terbentuk dan berkembang di dalam telur). Cacing nematoda ini merupakan cacing yang mempunyai bukhalis di bagian anterior tubuhnya. Di dalam buchalis ini terdapat gigi-gigi ventral atau yang disebut juga lempeng pemotong terdiri dari 3 pasang gigi ventral di tepi anterior dan 1 pasang gigi dorsal berbentuk triangular di dalam rongga yang lebih dalam (Kelly 1977).
Gambar 8. Bentuk Gigi Cacing Arzcylostorna sp. C]ittp:/lww.neniatode.net/i~nages/duodenale.~pg)
Ancvlostoma caninun~(A) dan Ancvlosto?nabrazilliensi CB) , , s-ber souisb; (1982) Gambar 9 Perbedaan A. caniizurn dan A. brazilliensi Berdasarkan Kait Gigi
I
2
Kait atau gigi cacing ini membengkok ke dalam pada ujung posteriornya (Noble 1989). Panjang oesofagus cacing Ancylostoma sp. hampir sepertiga dari panjang tubuh cacing tersebut. Bentuk gigi dan panjang oesofagus inilah yang sering di pakai sebagai perbandingan dengan cacing genus Uncinaria sp.
Tabel 1 Karakteristik Umum dari Cacing Tambang pada Anjing Spesies
Kisaran Rata-rata (mm)
Spikula
A. caninum
Jantan 1 0- 12 Betina 15-18
0.9 mm
Jantan 6-8 Betina 7-10
0.7 mm
Jantan 5-8 Betina 7-12
0.7 mm
A. braziliei7si
U. stenocephala
Sumber : Kelly (1977)
Buccal Capsule 3 pasang- gigi - - ventral di tepi anterior; di dorsal 1 pasang gigi berbentuk triangular; gigi tertanam di dalam rongga buccal. 2 pasang gigi ventral; sepasang gigi lateral lebih besar dan beberapa gigi utama yang sangat kecil Tidak ada gigi; 1 pasang pemotong di ventral
Ukuran Telur
Telur tiap gram tinja.
56-75 844 34-47
75-95 x
4 1-45
Not available
63-76 x
32-38
468
Telur Cacing Nematoda
Telur cacing ordo Strong~loidae pada familia Ancylostomatidae mempunyai bentuk elips yang ditunjukkan pada (gambar 12) no 7. Pada spesies Ancylostoma caninum telur terlihat adanya blastomer yang berupa bentuk larva.
Telur akan menetas dan kemudian akan mengeluarkan larva (Cheng 1973). Karakteristik-karakteristik telur cacing Ancylostoma sp. yang terlihat pada
Gambar 11 mempunyai kesamaan dengan literatur yang ditunjukkan pada (Gambar 12) no 7. Hal ini didukung oleh penyataan Charles & Robinson (1998) yang mengatakan bahwa telur dari spesies cacing Ancylostoma sp. berbentuk oval atau elipsoidal, dengan dinding yang tipis dan terdiri dari 6-8 morula pada waktu berada di tinja.
Gambar 11 Hasil Pengamatan Telur Ancylostoma sp.
Gambar 12 Berbagai Jenis Telur Cacing Nematoda
B.I. Daur Hidup Nematoda Daur hidup nematoda tanpa inang antara adalah telur menetas (di luar tubuh hospes) menjadi larva stadium 1 (Ll). Kemudian dengan melewati dua kali ekdisis (ganti selubung) menjadi larva stadium 2 (L2) dan larva stadium 3 (L3). Stadium larva 3 (L3) ini disebut juga stadium larva infektif, karena jika L3 termakan ole11 inang definitif maka larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa, misalnya Strongylidae dan Trichostrongylidae. Selain itu, ada pula larva infektif yang masuk dengan menembus M i t , misalnya Ancylostoma dan Bunostomum (Kusumamihardja 1995). Daur hidup nematoda biasanya melalui dua fase, yakni fase di luar tubuh inang dan fase di dalam tubuh inang (Suweta 1993). Fase di luar tub& inang d i u l a i saat keluarnya telur cacing dari tubuh inang bersama tinja. Telur ini akan menjadi infektif dan larva didalam telur berkembang menjadi larva stadium 1 (Ll) (Levine 1990). Larva stadium 1 (Ll) ini akan turnbuh dan melepaskan selubung tubuh (molting) yang kemudian berubah menjadi larva stadium 2 (L2). Larva ini akan berkembang dan molting kembali membentuk larva stadium 3 (L3). Larva stadium 3 merupakan larva yang bersifat infektif. Larva infektif ini mempunyai selubung kutikula ganda yang berfhngsi sebagai perlindungan tub& dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti kekeringan. Fase parasitik dimulai pada saat hewan memakan pakan dan minum air yang mengandung larva stadium 3 atau pada anak hewan yang menelan telur infektif pada puting induknya. Larva stadium 3 akan bergerak (migrasi) menuju paru-paru melalui arteri pulmonari dalam waktu 9 hari. Proses migrasi ini diteruskan dari p a - p a r u ke saluran pernapasan atas, melalui percabangan bronchial lalu ke faring kemudian ke trakhea. Di dalam paru-paru, larva infektif akan melepaskan selubung (molting). Pada organ inilah larva stadium 3 (L3) melakukan pertukaran kulit pertama (Urquhart et al. 1987). Pada hewan sering ada reaksi batuk, sehingga menyebabkan larva tersebut tertelan dan masuk kembali kedalam usus halus. Di mukosa usus ini, larva stadium 3 (L3) akan melakukan pelepasan selubung yang kedua dan kemudian berkembang menjadi larva stadium 4 (L4). L4 yang menempel pada mukosa usus akan mulai memakan jaringan sehingga menyebabkan pendarahan. Darah yang keluar dari luka invasi
tersebut akan membeku dan menyelimuti larva L4. larva ini akan membebaskan diri dari bekuan darah dan kembali melakukan molting yang terakhir untuk berkembang menjadi larva stadium 5 (L5). Larva stadium ini akan menyusup ke dalam mukosa usus dan kemudian berkembang menjadi cacing dewasa. Diperlukan 15 hari untuk menyelesaikan siklus tersebut (Stray 1991). Cacing dewasa akan bertelur kembali dan telur cacing ini dapat ditemukan di tinja setelah
60-62 hari masa infektif.
Anak Anjing
Telur
I* Stager
(Eggs)
Larva
Larva in Milk (In Utero)
larva
Anjing bewasa
Skin penetration Larva Per Oral I n f ektif
Garnbar 13 Daur Hidup Cacing Tambang
Hal lain Georgi (1969) berpendapat bahwa derajat keparahan kasus kecacingan Ancylostoma sp dipengaruhi oleh tingkat patogenitas cacing yang menginfeksi terutarna oleh jumlah larva infektif (L3). Makin banyakjumlah larva yang menginfeksi anjing maka tingkat patogenitas akan semakin meninggi. Demikian halnya jika jumlah larva yang menginfeksi anjing sedikit maka tingkat patogenitas akan semakin menurun. Cacing Ancylostoma sp merupakan jenis cacing cutaneus larva migran yang penyebarannya dilakukan secara aktif. Larva infektif (L3) mampu masuk dengan menembus kulit telapak kaki sebagai salah satu aksi untuk mempertahankan hidupnya (Kusumamihardja 1995). Sifat ini yang membuat cacing spesies Ancylostoma caninum lebih berbahaya dibandingkan dengan cacing Ancylostoma yang lain. Pada dasarnya cacing Ancylostoma sp hanya menginfeksi inang dalam bentuk larva stadium infektif (L3), sehingga peluang banyaknya kasus kecacingan pada anjing oleh Ancylostoma sp yang muncul berbanding lun~sdengan banyaknya jumlah larva stadium infektif (L3) di lingkungan tempat tinggal inang tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung selama satu bulan, pada bulan Maret 2007. Pengambilan sampel dilaksanakan di petemakan anjing yang berada di Kabupaten Cibinong dan diperiksa di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesebatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
(FKH-IPB). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu tinja anjing, larutan pengapung (yang terbuat dari campuran 1 liter air, 400 g NaCl, dan 500 g gula), larutan fisiologis,
vermiculite. Alat yang digunakan adalah kantong plastik transparan, spidol permanen, sendok, kamera digital, timbangan digital, gelas plastik, penyemprot, saringan, bak plastik, tabung Baermann, mikroskop cahaya, mikroskop video mikrometer, pipet Pasteur, cawau petri hitung, tissue, object glass, cover glass, lemari es, karnar hitung Mc Master, dan gelas pemupukan. C. Rancangan Penelitian Pengambilan Sampel Anjing yang diambil tinjanya adalah anjing yang dikelompokkan berdasarkan ras, umur dan jenis kelamin. Pengambilan sampel tinja anjing ini dilakukan satu kali dalam seminggu selama satu bulan sehingga, masing-masing sampel tinja didapatkan empat kali pengulangan. Sampel yang diambil adalah tinja yang jatuh ke tanah sampai dengan umur 48 jam. Bagian tinja yang diambil merupakan bagian ujung atas sampai bagian dalam dan diiasukkan kedalam kantong plastik transparan dengan diberikan identitas. Selama di laboratorium
*
sampel tinja akan dimasukkan ke dalam lemari es dengan suhu 4°C.
D. Metode I. Kualitatif Perneriksaan Natif Metode ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya telur dalam tinja. Tinja diletakkan di atas object glass kemudian ditambahkan satu tetes air dan dicampurkan hingga homogen. Tutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lOX dan 40X (Kusumamihardja 1995). Metode Apung Metode ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing nematoda yang terdapat dalam tinja anjing. Sebanyak 2 g tinja dilarutkan ke dalam 58 mi larutan pengapung. Selanjutnya tinja dihomogenkan lalu disaring, setelah itu dihomogenkan kembali. Larutan yang telah dihomogenkan ini kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi diisi dengan larutan pengapung sarnpai larutan tersebut berbentuk cembung dan ditutup dengan cover glass. Lalu didiamkan selama 5 menit agar telur cacing nematoda
mengapung ke atas. Selanjutnya cover glass diambil dan diletakkan di atas object glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10X (fhsumamihardja 1995). Pernupukan Larva Infektif Tinja dipupuk dalam gelas plastik yang berisi vermiculite dengan perbandingan tinja dan vermiculite 1:3. Vermiculite merupakan bahan tambahan yang dapat menjaga kelembaban telur cacing selama masa penyimpanan. Pupukan tinja dibungkus dengan kain kasa kemudian digantung pada tabung Baemann sehingga, terlihat seperti endapan putih. Larva pupukan diperiksa dengan menggunakan mikroskop video mikrometer.
11. Kuantitatif
Penghitungan Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) Sebanyak 2 g tinja dilarutkan dalam 58 ml larutan pengapung. Tinja dan larutan pengapung dihomogenkan, disaring dan kemudian dihomogenkan kembali. Filtrat yang telah dihomogenkan kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung Mc Master dengan menggunakan pipet Pasteur. Kamar hitung diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10X. Untuk mengetahui jumlah TTGT digunakan rumus: n x Vt TTGT = ------------Vk x Bf Keterangan : n
:jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Vk
: volume kamar hitung (0.3 ml)
Vt
: volume sampel total (60 ml)
Bf
: berat tinja (2 gram)
E. Aualisis data Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif berdasarkan telur parasitik yang ditemukan, kemudian dibandingkan dengan bentuk morfologi dan gambaran dari literatur.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Lokasi pengambilan sampel tinja anjing ras dilakukan di Kabupaten Cibinong. Tinja anjing diambil secara acak sehingga pengambilan tinja anjing ras ini tidak dibedakan berdasarkan tempat. Secara m u m , kandang anjing di lokasi ini dibagi menjadi dua (Gambar 14), yaitu kandang anjing yang berlantaikan semen dan kandang anjing yang berlantaikan tanah. Keadaan lokasi yang ditcllnbuhi oleh pohon-pohon besar sehingga menutupi permukaan tanah dan adanya rawa disamping lokasi tersebut memungkinkan daur hidup cacing Ancylostoma sp dapat terjadi. Sampai saat ini, anjing-anjing di peternakan ini belum pemah dilakukan pemeriksaan tinja sebagai tindakan pencegahan kasus kecacingan pada anjing. Lokasi pengambilan sampel tinja anjing ras ini secara umurn ditunjukkan pada Gambarl4.
Gambar 14 Lokasi Pengambilan Sampel Tinja Anjing Ras di Kabupaten Cibinong Keterangan
: (A) & (B) : Lokasi Pengambilan Sampel Tinja Anjing Ras : Kandang Anjing yang Berlantaikan Semen (c) :Kandang Anjing yang Berlantaikan Tanah (D)
Tinja-tinja yang ditemukan mempunyai konsistensi dan bentuk yang bemariasi (Gambar 15). Tinja yang diambil merupakan tinja yang berumur kurang dari 12 jam. Ini menandakan umur
tinja yang diambil adalah lebih muda.
Whitlock (1960) membuktikan bahwa tinja dapat diperiksa maksimum 24 jam setelah didefekasi oleh hewan. Kelly (1977) juga berpendapat bahwa jika tinja sudah mencapai 72 jam setelah defekasi, maka tinja tersebut hams dipreservasi baik dengan penyimpanan pada suhu 4°C ataupun dengan formalin 10% untuk mendapatkan jumlah telur atau larva yang dapat dipertimbangkan sebagai hasil diagnosis. Secara umum telur cacing juga tidak akan berkembang jika tidak cukup tersedia oksigen dan suhu yang tidak sesuai maupun kelembabannya. Pernyataan tersebut serupa dengan yang diungkapkan Kelly (1977) bahwa kondisi lingkungan yang beku maupun kering akan menghambat perkembangan telur cacing dan bahkan dapat mematikan larva cacing.
Tinja anjing di lantai semen
Tinja anjing di lantai tanah
(Berumur 4 2 jam)
(Berumur 4 2 jam)
I
Gambar 15 Gambaran Tinja Normal Anjing Ras
Dari hasil pengamatan dan penghitungan derajat infektif tiga belas sampel tinja anjing yang diambil berdasarkan ras, interval umur, dan jenis kelamin, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan data sebagai berikut:
Pengamatan tinja yang ke-I1 dilakukan berdasarkan interval umur, sehingga didapatkan hasil (Tabel 3) sebagai berikut:
Tab 13 Telur Cacing dan Nilai ITGT Berdasarkan Interval Umur I Ukuran Umur Tipe Telur Jenis Ras Telur Genus NO Cacing Aujing (thn)
1
/
1
1
Ancylostoma sp
2 100
<4
Strongyloid
63,2 x 38,l
1
>4
Strongyloid
72,O
x
3 1,3 Ancylostoma sp
1
>4
Strongyloid
70,l
x
42,l
Ancylostoma sp
1000
Eskimo
Strongyloid
64,6 x 35,O Ancylosto~nasp
3200
Pincher
Strongyloid
57,6 x 41,6 Ancylostoma sp
1200
Strongyloid
54,9 x 3 1,l
Ancyloston~asp
1200
Tekel
Strongyloid
61,2 x 34,8 Ancylostoma sp
2200
Yorshire
Strongyloid
61,9 x 36,l
Ancylostoma sp
2900
Basenji Boston Terrier
200
I
Chihuahua
Rata-rata panjang dan lebar telur cacing genus Ancylostoma sp yang di ditemukan dari pengamatan tinja anjing berdasarkan ras anjing adalah 65,2 pm x
37,3 pm. Charles dan Robinson (1998) mengatakan bahwa ukuran telur dari Ancylostoma caninum berkisar antara 56-75 pm x 34-47 pm. Pada pengamatan
yang ke-I11 berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil (Tabel 4) sebagai berikut. Tabel 4 Telur Cacing dan Niiai TTGT Berdasarkan Jenis Kelamin Ras Anjing
NO
Basenji
1
I
I
2
1
Beagle
3
Boston Terrier
4
Dalmatian
5
Doberman
6
Eskimo
7
Fox Terrier
8
Pincher
1
10
Pug Tekel
11
Yorshire
9
Jeuis Kelamiu
? 6 6
Ukurau Telur (Irm) 5 1,3 x 38,2
Tipe Telur Strongyloid I
I
1 Strongyloid 1
Genus Ancylostorna sp I
52,l x 37,6
Strorzgyloid
62,9 x 36,2
6 9 6 9 6
StrongyIoid
64,4 x 4 1,4
Strongyloid
84,6 x 40,s
Strongyloid
60,X x 38,9
Strongyloid
67,4 x 34,7
Strongyloid
62,O x 40,s
?
Strongvloid
59,5 x 36,6
700 I
1 Ancylostonza sp 1
Strot~gyloid 56,9 x 35,2
a
TTGT
100 3100
Ancylosfoina sp
1700 100
A~zcylostomasp
100 200
Ancylosto7na sp
100 100
Ancylostonta sp
2100
3200 66,4 x 35,8 Ancylosto~nasp
Stroizgvloid
9 6
Strongyloid
?
Strongyloid
0
I Strongyloid 1
9 6
Stroizgyloid Strongyloid
Strongyloid
2100
64,2 x 35,7 49,4
x
37,l
57,4 x 34,7 I
I
2600
Ancylostoma sp
800 I
1 Ancylostoma sp 1
400
59,9 x 40,7
Aizcylostorna sp
300
61,4 x 36,Y
Ancylostoma sp
1000
61,O
x
35,7
Pembahasan
A. Jenis Cacing yang Ditemukan pada Anjing Ras
Dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan dengan menggunakan rnetode
kuantitatif didapatkan telur cacing tipe Strongyloid. Metoda kuantitatif yang dilakukan ddam pemeriksaan ini sering dipakai dalam diagnosa kasus kecacingan. Pemeriksaan yang cepat dan rnurah terliadap adanya telur-telur cacing di tinja dilakukan secara natif (Soulsby 1982). Menurut Kusumamihardja (1 992) bahwa diagnosa terhadap kasus kecacingan Ancylostoma sp. dilakukan dengan melihat gejala klinis, serta dengan mendeteksi telur-telur cacing di tinja. Hasil dari
pemeriksaan tinja ditemukan adanya tipe telur cacing Strongyloid. Ukuran telur yang didapat dari pemeriksaan kuantitatif adalah 65,2 pm
x
37,3 pm. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Kusumamihardja (1985), bahwa telur cacing tipe
Strongyloid mempunyai panjang dan lebar masing-masing 56-75
x
34-47 pm
dan ha1 serupa juga diungkapkan oleh Kelly (1977). Telur yang ditemukan tersebut mempunyai ukuran yang berbeda-beda, namun perbedaan ukuran ini masih dalam kisaran ukuran telur cacing tipe Strongyloid. Pada dasarnya telur-telur nematoda yang ditemukan terwakili pada Gambar
16. Telur ini memiliki karakteristik yaitu berkulit licin, terlihat lapisan albumin yang tipis, kerabang telur telihat kompak, berwarna bening hingga keemasan, dan berbentuk oval. Semua karakteristik tersebut cocok dengan karakteristik telur nematoda famili Ancylostomatidae sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kelly (1977). Dari pengamatan ini maka karakteristik telur nematoda yang ditemukan hams disesuaikan dengan kisaran ukuran telur nematoda pada hewan yang satu ordo dengan masing-masing anjing ras. Bentuk dan gambaran morfologi dari telur genus cacing tersebut terlihat seperti dalam Gambar 16. Dengan kisaran ukuran telur Ancylostoma sp yang ditemukan 65,2 pm
x
37,3 p,dapat dikatakan bahwa telur yang ditemukan tersebut merupakan telur dari Ancylostorna caninum dari genus Ancylostoma sp. Hal ini terbukti setelah dilakukan pemupukan larva infektif. Hasil dari pemupukan larva infektif yang dilakukan ini, didapatkan larva cacing genus Ancylostoma sp. Larva Ancylostoma sp. yang didapatkan mempunyai panjang rata-rata adalah 2,692 mrn. Telur Ancylostoma sp.
Gambar 16 Telur Cacing Nematoda Parasitik Ancylosto?nasp. (hasil pengamatan 1OX objektif).
Dengan perbandingan telur nematoda parasitik Ancylostoma (Gambar 17), serta perbandingan ukuran yang ditemukan 65,2 pm
x
37,3 pm, sehingga dapat
dikatakan bahwa telur yang ditemukan mempakan telur nematoda parasitik Ancylostorna dari famili Ancylostomatidae. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kelly (1977) yang mengatakan bahwa kisaran telur Ancylostoma caninum adalah 56-75 pm x 34-47 pm.
Gambar 17 Perbandingan Telur Nematoda Parasitik Ancylostoma sp.
Menurut Kelly (1977) genus Aneylostoma jantan yang sudah dewasa mempunyai ukuran panjang 10-12 mrn, sedangkan genus Ancylostoma betina dewasa mempunyai panjang 15-18 mm. Ada tiga jenis Ancylostoma yang menyerang anjing yaitu A. brazilliensi, A. caninum, dan A. ceylanicum. Namun menurut Levine (1990) spesies A. caninum mempakan parasit cacing yang paling penting pada anjing, sedangkan jenis A. brazilliensi mempakan parasit yang dapat menginfeksi kucing dan anjing (Margono 1998). Spesies A. caninum dan A. brazilliensi mempunyai kesamaan penyebaran. Margono (1998) mengatakan kedua parasit ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Spesies A. ceylanicum mempunyai daerah penyebaran yang berbeda. Penyebaran cacing ini meliputi, Afiika, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Reiclecke 1983). Cacing Ancylostoma sp. mempunyai beberapa jalur perkembangan menuju dewasa. Jalur ini dapat melalui mulut (termakan), atau menembus mukosa M i t . Menurut Soulsby (1982) cacing Ancylostoma sp menuju dewasa mempunyai beberapa jalur perkembangan. Pertama adalah infeksi melalui mulut,
pada infeksi ini cacing dapat menjadi dewasa di usus. Larva yang
tertinggal di dalam mulut akan menembus epitel mulut dan faring. Soulsby (1982) berpendapat, bahwa larva cacing yang menembus epitel mulut ini akan mengalami migrasi mengikuti aliran damh, sama halnya dengan larva yang menembus kulit. Sebagian dari larva akan menyebar ke seluruh tubuh dan menetap, tanpa berkembang dalam jaringan somatik. Jalur yang kedua adalah larva yang menembus kulit. Larva yang menembus kulit ini dapat menyebabkan creeping eruption pada manusia. Larva ini akan mengikuti aliran jantung, kemudian melalui arteri pulmonum ke p m paru. Larva ini akan menjadi dewasa di usus. Ketiga adalah infeksi prenatal pada fetus melalui uterus dan plasenta. Kejadian infeksi ini terjadi dalam jumlah sedikit. Jalur penularan ini hanya terjadi karena infeksi cacing melalui proses reproduksi. Menurut Miller (1970) dalam Soulsby (1992) infeksi prenatal melalui uterus hanya sekitar 2% saja. Infeksi melalui air susu induk (infeksi laktogenik) diiana larva mengalami migrasi sampai ke dalam ambing. Migrasi cacing ini dikarenakan cacing tersebut terbawa dalam pembuluh darah mamaria. B. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Anjing Ras Dari penghitungan TTGT berdasarkan anjing ras, didapatkan nilai yang berbeda-beda pada masing-masing anjing. Pada anjing ras jenis Eskimo, Yorshire, Pug, Doberman, dan Basenji mempunyai nilai TTGT yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras anjing lainnya. Perbedaan nilai TTGT (Tabel 2) ini dimunglunkan karena adanya perbedaan kerentanan terhadap infeksi kecacingan. Kerentanan infeksi kecacingan tersebut juga dipengaruhi oleh perbedaan genetik pada hewan. Pernyataan ini diperkuat pula oleh pendapat Tjokronegoro (1976), yang mengungkapkan adanya perbedaan genetik dalarn suatu spesies yang mempengaruhi kerentanan dalam infeksi penyakit. Temuan jumlah telur Ancylostoma sp pada beberapa jenis anjing ras tertentu ini mengidentifikasikan
adanya pengaruh kasus kecacingan terhadap perbedaan genetik. Perbedaan genetik ini juga yang akan mempengaruhi sistem kekebalan masing-masing jenis anjing. Sprent (1979) dalam Soulsby (1982) berpendapat, bahwa makin jauh perbedaan taksonomi antara hospes dengan parasit, yang berarti makin tinggi derajat keasingannya, maka makin kuat pula reaksi penolakan yang diberikan oleh
hospes terhadap parasit tersebut. Reaksi penolakan yang diberikan oleh hospes berkaitan erat dengan reaksi antibodi pada jenis spesies yang berbeda. Ini dikarenakan bahwa masing-masing spesies hewan mempunyai runutan asam nukleat yang berbeda, sehingga reaksi antibodi pada jenis spesies berbeda pula. Menurut Kimball (1998) bahwa antibodi adalah protein dan semua bukti yang menunjukkan bahwa bahan itu disintesis oleh mekanisme yang sama, yaitu DNA, RNA dan polipeptida yang juga digunakan untuk semua protein lainnya. Hal ini berarti dapat menjelaskan bahwa pengaruh infeksi cacing terhadap ras anjing mempunyai hubungan yang erat, walaupun prevalensi kasus kecacingan berdasarkan perbedaan genetik sulit diuraikan secara pasti. Pengamh infeksi cacing terhadap ras anjing dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Penyebab lain yang menjadi pertimbangan adalah manajemen pemeliharaan. Kondisi kandang yang terbuat dari semen ataupun yang beralaskan tanah hams menjadi pertimbangan bagi kennel-kennel anjing yang lebih sehat. Tinggi rendahnya tingkat prevalensi infeksi cacing dipengaruhi oleh jenis lantai kandang, program pembersihan kandang, manajemen petemakan dan program pengobatan infeksi cacing (Wiemeyer 1996). Hal ini disebabkan tingkat kekebalan masing-masing anjing tidaklah sama. Kekebalan terhadap infeksi cacing juga dipengaruhi oleh tempat tinggal anjing. Suweta (1993) berpendapat, bahwa keadaan tanah yang basah serta becek merupakan tempat yang baik bagi telur cacing. Kondisi ini saling keterkaitan antara kemampuan kekebalan setiap anjing terhadap parasit sehingga pengertian kebal terhadap parasit tidak identik dengan populasi parasit yang nol, melainkan kehadiran parasit itu yang tidak menimbulkan gangguan. Kekebalan ini oleh Gordon (1948) disebut kebal terhadap akibat buruk dari kehaduan parasit. C. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Umur Anjing Dari hasil pengamatan (Tabel 3), didapatkan bahwa anjing yang berumur
>4 tahun mempunyai nilai TTGT yang lebih rendah daripada anjing yang berumur
4.Pada penelitian ini teramati bahwa anjing muda lebih rentan terhadap infeksi kecacingan daripada anjing yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan pemyataan Levine (1990) bahwa hewan tua lebih tahan terhadap cacing dari pada hewan
yang masih muda. Urquhart et al. (1987) mengatakan bahwa tingkat prevalensi kecacingan tertinggi tercatat pada anjing adalah pada usia dibawah enam bulan. Hal ini bisa disebabkan karena anjing yang berurnur <4 tahun atau yang tergolong masih muda mempunyai tingkat kekebalan yang rendah. Penularan pada anjing muda terutama pada anak anjing mungkin dikarenakan susu yang mengandung larva Ancylostoma sp. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Colville (1991) bahwa jalur infeksi secara transmamary merupakan jalur utama kejadian infeksi Ancylostoma caninum pada anak anjing. J i a diiaji ada beberapa faktor yang mempengamhi hubungan antara Ancylostoma sp dengan interval umw. Faktor tersebut meliputi agen, lingkungan dan anjing itu sendiri yang berfungsi sebagai inang definitif. Faktor lain yang mendukung adalah anjing sebagai inang definitif mempunyai kemampuan daya tahan tubuh untuk mengurangi jumlah cacing dewasa. Daya tahan tubuh inang terhadap infeksi kecacingan berhubungan dengan dua kemampuan (Georgi 1985). Pertama adalah kemampuan yang d i p e n g d oleh faktor umur, premunitas, dan imunitas dapatan. Kemampuan lain adalah pada saat anjing kehilangan darah akibat infeksi cacing. Kemampuan ini d i p e n g d i oleh kualitas hematopoetik, status nutrisi tubuh, dan stress. Spesies Ancylostoma caninum dianggap parasit yang paling penting pada anjing karena cacing ini merupakan cacing penghisap darah yang sangat bemafsu (Levine 1990). Kelly (1977) menambahkan bahwa satu cacing Ancylostoma caninum mampu menghisap darah 0.005-0.20 ml darah, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan cacing Ancylostoma sp yang lainnya, yaitu hanya 0.001 ml darah. Sifat ini yang membuat cacing spesies Ancylostoma caninum lebih berbahaya di bandingkan dengan cacing Ancylostoma yang lain. Pendapat lain dari Reiclecke (1983) yang mengatakan bahwa Ancylostoma sp. merupakan cacing yang virulen pada anak anjing yang masih menyusui. Oleh karena itu, dapat diungkapkan bahwa adanya p e n g d infeksi kecacingan dengan interval umur pada ras anjing. Infeksi kecacingan Ancylostonza sp. dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah larva infektif, sehingga infeksi Ancylostoma sp dibagi 3, yakni infeksi rendah dengan jumlah larva infektif 4 0 0 , infeksi sedang dengan jumlah larva
infeksi 100-500, dan infeksi berat dengan jurnlah larva infektif 500-1000. Pada infeksi berat seekor anjing akan menunjukkan gejala anemia'
D. Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Jenis Kelamin Anjing Pada hasil pengamatan (Tabel 4) didapatkan jumlah TTGT yang bervariasi. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa anjing jantan diketahui lebih banyak terinfeksi oleli cacing Ancy2ostoma sp dibandingkan dengan anjing betina. Pada anjing ras jantan jenis Boston Terrier, Fox Terrier dan Pincher nilai TTGT adalah diatas 2600. Nilai TTGT ini lebih tinggi dari anjing ras betina yaitu 2100. Kejadian kecacingan pada hewan anjing akan menunjukkan gejala klinis jika pada pemeriksaan kuantitatif ditemukan 1000 atau lebih telur cacing dalam tiap gram tinja (Sousby 1982). Hal ini menandakan bahwa jenis anjing ras diatas dapat dikatakan sebagai infeksi berat ditandai dengan j u d a h TTGT yang lebih dari 1000, yakni 2600. Perbedaan kecacingan terhadap anjing jantan dengan anjing betina diungkinkan karena anjing jantan lebih mudah terinfeksi melalui intrauterine. Pada anjing betina infeksi cacing Ancylostoma sp lebih memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai menginfeksi uterus. Pada saat musim kawin, anjing betina akan membutuhkan anjing jantan lebih dari satu. Hal ini bisa terjadi karena larva yang telah berada pada alat kelamin betina berpindah pada proses perkawinan ke alat kelamin jantan melalui penetrasi kulit sehingga, penyebaran kasus kecacingan pada anjing jantan akan jauh lebih tinggi daripada anjing betina. Faktor lain yang mempengaruhi hubungan kecacingan tehadap jenis kelamin adalah sistem kekebalan hormonal. Pada saat birahi anjing betina dewasa mempunyai sistem liormonal yang lebih kompleks. Suweta (1993) menyatakan bahwa pada hewan betina terdapat hormon estradiol, hormon ini akan memacu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap parasit sedangkan pada hewan jantan tidak. Dengan adanya sistem hormonal pada hewan anjing betina maka &an terjadi peningkatan sistem kekebalan. Keadaan ini akan memaksa tubuh untuk meningkatkan sistem kebal (basofil, netrofil dan eosinofil). Sistem kekebalan pada 1
http:/lwww.ernedicine.htm r9 November 20071
saat itu akan menekan tingkat populasi cacing di dalam tubuh anjing. Karena adanya pengaruh hormon estradiol ini maka anjing jantan lebih rentan jika dibandingkan dengan anjing betina.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulau 1
Jenis cacing yang ditemukan pada anjing berdasarkan ras, interval umur dan jenis kelamin adalah jenis cacing nematoda Ancylostoma caninum.
2
Adanya hubungan antara perbedaan genetik anjing ras terhadap infeksi kecacingan Ancylostoma.
3
Pada hubungan interval umur dengan kasus kecacingan Ancylostoma, anjng muda lebih mudah terinfeksi dibandingkan dengan anjing yang tua atau dewasa.
4
Pada hubungan jenis kelamin dengan kasus kecacingan Ancylostoma, anjing jantan lebih rentan terhadap anjing betina.
Saran 1
Perlu dilakukan pemeriksaan telur cacing parasitik secara rutin pada tinja anjing ras terutama pada kennel sebagai tindakan monitoring kesehatan anjing.
2
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang perkembangan obat cacing yang lebih spesifik, mengingat masih adanya hubungan kecacingan terhadap ras anjing, interval umur dan jenis kelamin anjing.
3
Perlakuan dengan manajemen pemeliharaan meliputi pakan, lantai kandang, dan penggunaan obat cacing yang tepat diharapkan dapat mengurangi kasus kecacingan pada peternakan-peternakan anjing ras
DAFTAR PUSTAKA Bowman DD. Lynn RC. Eberhad ML. Alcaraz A. 1999. Georgi's Parasitologyfor Veterinary. Philadelphia: Saunders. Charles HM dan Robinson ED. 1998. Diagnostic Parasitology for Veterinary Tecniciand Third Edition. Philadelphia. USA. Dharmawan, NS, Suratman NA, Damriyasa M, Merdana IM. 2003. Infeeksi Cacing Pita Pada Anjing dun Gambaran Morfologinya. Jurnal Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar. httu://www.ivetunud.codp=45115 maret 20071 Dharmojono. 2003. Anjing Permasalahan dun Pemecahan. Jakarta. Penebar Swadaya. FAO.
2006. Guide to Veterinery Diagnostic Parasitology. http://www.fao.org/AG/AGAinfo/resourse/doc~i nant.htm [3 apri120071
Kelly JD, et al. 1997. Canine Parasitology. Department of Veterinary Pathology. University of Sidney. Sidney Kimball JW. 1998. Biologi. Edisi ke-5. Tjitrosomo SS, sugiri N, penerjemah; Penerbit Erlangga: Jakarta. Terjemahan dari: Biology, Fifth Edition. Kusumanihardja S. 1991. Laporan akhir, Pengaruh Musim pada Hipobiose H. Contortus dun Fluktuasi Populasi Nematoda Saluran Pencernaan Domba Di Indramayu JawaBarat. Institut Pertanian Bogor. Lapage G. 1956. Manning's Veterinary and Helminthology and Entomology 4" Edition. London: Bailliere, Tindall and Cox Ltd. Levine ND. 2003. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah, Terjemahan dari: Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ministry of Agriculture, Fishieres and Food. 1997. Manual of Veterinary Parasitology Laboratory Techniques. Technical Bulletin No. 18. London: Her Majesty's Stasionary Office. Margono. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru. Noble ER. Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Edisi Kelima. Wardiarto, penerjemah, Soeripto N, editor. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari : Parasitology :The Biology of Animal Parasites. Fifth Edition.
Panton
AA. 2004. Waspada Penyakit www.waspada.co.id [3 April 20071.
Zoonosis.
Waspada
Online.
Pappas PW. 1997. Toxocara Canis (Intestinal Roundworm of Dog). I-Ittp:l/~ww.biosci.ochiostates.edu/-ht [6 Februari 20071 Soulsby EJL. 1982. Helminfks, Arthropods, and Protozoa of Do?nesticated Animals. New York and London: Academic Press. Soulsby EJL. 1972. Immunity to Animal Parasites. New York and London: Academic Press. Straw
Parasite in Swine. BE. 1997. htt~:llwww.anr.ces.purdue.edu/a1~~/anr/~wine/l~ea1thlk~11~~trueh.htnl [25 maret 20071
Suweta IGP. 1993. Prevalensi Infeekri Cacing Ascaris Suum Pada Babi di Bali Dampaknya Terkadap Babi Penderita dun Upaya Penanggulangannya. Bali: Udayana. Untung 0. 1999. Merawat dun Melatih Anjing. Jakarta :Penebar Swadaya. Urquha.rt GM, J Amour, JL Duncan, AM Dunn and FW Jeming. 1987. VeterinaryParasitology. London: Longman Scientific and Technical. Whitlock JH. 1960. Diagnostic of Veterinary Parasitism. Philadelphia: Lea & Febiger.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Cacing yang Menginfeksi Anjing Ras Tempat Predileksi Normal
Nama Spesies
A. Sistem Peneernaan 1. Esofagus
Spirocerca lupi
2. Lambung
Cyathospirirra dasyuridis Gnathosnia spinigerum Spirocerca lupi Ancylostoma braziliensi Ancylostoma caninurn Anoplotaenia dasyure Diploplydilrm sp Dipylidizrm caninuni Echinococcus granzrlos~rs Spiromeha erinacei Strongyloides stercoralis Taenia Hydatigena Taeniapisifon~is Taenia serialis Taenia ovis Toxocara leonina Toxocara canis Uncinariastenocephala Trichirris vulvis
3. Usus Halus
4. Sekurn
1
Capillaria hepatica
B. Sistem Pernapasan 1. Paru-paru
Angiostrongylus vasorum Caipllaria aerophila Filaroides osleri
2. Trakhea
C. Sistem Kardiovaskular 1. Jantung dan Arteri Pulrnonari 2. Darah
3. Aorta Susunan Saraf Pusat
Angiostrongylus vasortrn~ Dirofillaria iminitis Mikrofilaria dipetalonema reconditum Mikrofilaria ifninitis Spirocerca ltqi Mikrofilaria iminitis An~iostronml~rs cantonensis
Lampiran 2.Aktivitas Spektrum Anthelmintik
Anthelmintic
Keterangan : * : Dapat digunakan pada taenia yang mengandung Spirometraand Dipylidium. ** : Ohat lain dapat dipakai bersmaan dengan aktivitas hydatid sehingga tidak bertentangan tetapi penggunaannya h m s ditetapkan sehingga 100% lebih efesien of(praziquante1).
Sumber: Kelly (1977)
Lampiran 3. Informasi Produk dan Dosis Anthelmintik Anthelmintik Arecoline Acertarsol Arecoline Hydrobromide Bunamidine
Nama Produk
Ukuran Pemakaian dosis
Cestarsol
Anjing b e m u r lebih dari 3 bulan: 18 mg
Tenoban 1 7 kg (max.72 mg). Hydarex
p Pemakaian normal: 25 mglkg Hydatid: 50 mgikg, dengan pengulangan
Scolaban
.snmpai 2 bualan sesudah musim
Piperazine tablets
I Kg).
I Pyrantel Pamoate and Oxantel Pamoate
I
Sodium Thiacetarsamide
I 5 mg (base)kg (100 mg tab. 1 tab./ 7 kg). Canex plus Caparsolate
II
20 mg (basejkg of oxantel (I00 mg mental and 380 mn- oxantel, in I tab./ ?kg) 2.2 mg k g , 2 x sehai, untuk 2 h a i (poss.
, A. h a .d,. I I ml/ 3 5 4 . 5 kg. I Pndo anal, anjing: 150 nlg4.g 1.1
Ncmn Thinhcnd;volc
I I
p:rhnri dnri ke-5 sampai ke-25 setelah beranak (congdon and kmes, 1973). Penceeahan umum: 0.025% di dalam pakan-sama seperti pengobatan (Yakstis
I bari
I Thiabenzole
I
Keterangan :
*
: Dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 2 kali pada treatment Spirometrn and Hydatid.
Surnber: Kelly (1977)