TESIS
SEROPREVALENSI LEPTOSPIROSIS PADA ANJING KINTAMANI DI BALI
MUTAWADIAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
TESIS
SEROPREVALENSI LEPTOSPIROSIS PADA ANJING KINTAMANI DI BALI
MUTAWADIAH 1392361005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
SEROPREVALENSI LEPTOSPIROSIS PADA ANJING KINTAMANI DI BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister,Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana
MUTAWADIAH 1392361005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 APRIL 2015
Pembimbing I,
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes NIP 19621231 198903 1 315
Pembimbing II
Prof. Dr. Nyoman Sadra Dharmawan, MS NIP 19581005 198403 1 002
Mengetahui
Ketua Program Kedokteran Hewan
Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M. Kes. NIP 19621231 198903 1 315
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis ini telah diuji Pada tanggal : 20 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. 1161a/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 17 April 2015
Ketua : Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes
Anggota : 1. Prof. Dr. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. 2. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si 3. Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si 4. Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MP
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Mutawadiah
NIM
: 1392361005
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Judul Tesis
: Seroprevalensi Leptospirosis Pada Anjing Kintamani di
Bali Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 17 April 2015 Yang membuat pernyataan,
Mutawadiah
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis Mutawadiah dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1987 di Camba Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan suami-istri H. Firdaus Amien dan Hj Hamida Wahid. Penulis memulai jenjang pendidikan dasar di TK Al-Amin Camba Kabupaten Maros pada tahun 1992-1993 dan di SD Inpres No 17 Matajang pada tahun 1993-1999. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Pondok Pesantren Putri Ummul Mukminin pada tahun 19992002. Setelah itu, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) di Pondok Pesantren Putri Ummul Mukminin pada tahun 2002-2004 dan ke SMU N 1 Camba pada tahun 2004-2005. Pada tahun 2005, penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2010, lalu melanjutkan pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis menempuh Pendidikan Program Magister Program Studi Kedokteran Hewan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Serorevalensi Leptospirosis Pada Anjing Kintamani di Bali“ yang disusun berdasarkan hasil penelitian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah membimbing, memberikan dorongan, semangat, serta saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku Pembimbing II yang senantiasa dengan sabar membimbing dan memberikan saran pada saat penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis hanturkan kepada Rektor Univeritas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika SpPD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magisr di Univeitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Univeritas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K). Terima kasih kembali penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. yang di samping selaku Pembimbing I dalam penulisan tesis ini, juga selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program
viii
Pascasarjana Univsitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, M.Kes, Selaku pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis yaitu Bapak Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si, Bapak Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si, Ibu Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MP yang telah memberikan masukan, saran dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di institusinya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis hanturkan kepada Kelompok Peneliti Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, khususnya drh. Kusmiyati yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium Bakteriologi. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis yaitu Bapak H. Firdaus, Amien dan Ibu Hj. Hamida, Wahid yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan buat saudara penulis yaitu Ruaidah, Hafsa, M. Ikbal, Ishak, Khadjah dan Ichsan yang senantiasa memberikan dukungan dalam penulisan tesis ini. ix
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Kapala Balai Besar Veteriner Denpasar selaku pimpinan di tempat kerja penulis yang senantiasa memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan di Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayan, serta rekan-rekan kerja di Balai Besar Veteriner Denpasar atas dukungan semangat, saran dan bantuan dalam penulisan tesis ini, dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga.
x
RINGKASAN Leptospirosis dikenal sebagai penyakit zoonosis akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis penting yang ditemukan hampir di seluruh dunia dan dikenal sebagai penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat global karena angka kejadiannya yang meningkat, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Penelitian ini merupakan penelitian observasional untuk mengetahui seroprevalensi leptospirosis pada anjing Kintamani di Bali. Sebanyak 55 sampel serum anjing kintamani dengan variasi umur ≤ 1 tahun dan > 1 tahun diambil dari wilayah Denpasar, Tabanan, Gianyar dan Bangli. Serum diperiksa dengan mengunakan Uji MAT di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dari 55 sampel serum yang diperiksa, prevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Bali sebesar 18,18% (10/55). Dari 10 sampel serum yang positif tersebut, diketahui bahwa 2 sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap tiga serovar; 5 sampel (9,09%) bereaksi positif terhadap dua serovar; dan 3 sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap satu serovar. Hasil penelitian ini merupakan laporan pertama seroprvalensi leptospirosis pada anjing kintamani yang ada di Bali. Jika dibandingkan dengan seroprevalensi leptospirosis pada anjing di negara-negara lain, seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Indonesia khususnya di Bali masih terbilang rendah. Dari hasil penelitian ini, terdeteksi 4 serovar dari 14 serovar standar yang digunakan untuk pengujian leptospirosis pada hewan di Indonesia.
Keempat
serovar tersebut berasal dari Leptospira interrorgans serovar Celledoni, Leptospira interrorgans serovar Canicola, Leptospira interrorgans serovar Cynopteri dan Leptospira interrorgans serovar Ichterohemorrhagiae. terbanyak ditemukan pada Leptospira interrorgans serovar Celledoni.
Jumlah Dari
sepuluh sampel serum yang bereaksi positif terhadap leptospira, sembilan di antaranya adalah Leptospira interrorgans serovar Celledoni. Dengan dianalisis uji Mann Whiney diketahui bahwa hubungan antara umur dan jenis kelamin xi
terhadap prevalensi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian leptospirosis pada jenis anjing lain dan dengan memperhatikan aspek ekologinya, terutama di daerah kawasan wisata di Bali.
xii
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ……………………………………………………….
i
PERSYARAT GELAR …………………………………………………..
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………..
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………..
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………….
vi
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………
vii
ABSTRAK ………………………………………………………………..
x
RINGKASAN …………………………………………………………….
xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xiv
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
xvi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
xviii
Bab I
PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
1.1
Latar Belakang …………………………………………..
1
1.2
Rumusan Masalah ……………………………………….
4
1.3
Tujuan Penelitian ………………………………………... 4
1.4
Manfaat Penelitian ………………………………………. 4
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….
5
2.1
Anjing Kintamani ………………………………………...
5
2.2
Leptospirosis ……………………………………………... 8
2.3
Bakteri Leptospira ………………………………………..
10
2.4
Siklus Hidup, Cara penularan dan Patogenesa Leptospira..
12
2.5
Gejala Klinis ……………………………………………...
14
xiii
Bab III
Bab IV
2.6
Teknik Diagnosa …………………………………………. 15
2.7
Pencegahan, dan Pengobatan …………………………….. 16
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN……
18
3.1
Kerangka Berpikir ……………………………………… 18
3.2
Hipoesis Penelitian ……………………………………..
20
3.3
Konsep Penelitian ………………………………………
21
METODE PENELITIAN ……………………………………..
22
4.1
Rencana Penelitian …………………………………….
22
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………….. 22
4.3
Ruang Lingkup Penelitian ……………………………..
22
4.4
Sampel Penelitian ……………………………………...
22
4.5
Penentuan Sumber Data ……………………………….
24
4.6
Variabel Penelitian …………………………………….
24
4.7
Bahan Penelitian ………………………………………. 24
4.8
Instrumen Penelitian …………………………………... 24
4.9
Prosedur Penelitian ……………………………………. 25
4.10
Analisis Data …………………………………………..
26
Bab V
HASIL PENELITIAN ……………………………………….
27
Bab VI
PEMBAHASAN .……………………………………………..
30
Bab VII
PENUTUP ……………...……………………………………..
34
7.1
Simpulan …………..…………………………………..
34
7.2
Saran ………...………………………………………… 34
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
35
LAMPIRAN ………..……………………………………………………...
40
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1
Hasil uji serologi MAT terhadap leptospirosis pada anjing kintamani di Bali ………………………………………………
Tabel 5.2
Kejadian Leptospirosis Pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Umur……………………………………………..
Tabel 5.3
29
Kejadian Leptospirosis Pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Jenis Kelamin ……………………………………
Tabel 5.4
27
29
Kejadian Leptospirosis Pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Wilayah …………………………………………
xv
29
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Karakteristik Leptospira ……………………………………. 11
Gambar 2.2
Siklus Hidup Leptospirosis …………………………………
12
Gambar 5.1
Grafik Jumlah Serovar …………………………………….
28
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Pemeriksaan/Pengujian di Balivet Unit: Bakteriolog Lab: Leptospira ……………………………………………. 41
Lampiran 2
Pembuatan Media Ellinghausen MacCullough Jonson Harris (EMJH) ………………………………………….......
Lampiran 3
46
Hasil analisis Mann Whitney ………………………………. 49
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing kintamani adalah ras anjing yang berasal dari daerah pegunungan Kintamani tepatnya di Desa Sukawana, Bangli, Bali. Sejak dulu anjing kintamani diperdagangkan di sekitar daerah wisata Kintamani, karena penampilannya yang indah dan gagah. Anjing ini memiliki karakter pemberani, tangkas, waspada, pandai dan mudah dilatih. Anjing kintamani juga diketahui hidup dekat dan setia dengan pemiliknya.
Anjing kintamani dikatagorikan sebagai plasma nutfah Indonesia yang sangat berpotensi dikembangkan untuk tujuan komersial.
Anjing kintamani
merupakan satu-satunya anjing asli Indonesia yang mempunyai penampilan yang menarik. Karena keistimewaannya, anjing kintamani digunakan sebagai maskot fauna Kabupaten Bangli, Bali (Puja, 2007; Gunawan et al., 2012). Pada tahun 2014, Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertanian menetapkan anjing kintamani sebagai rumpun ternak. Hal ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap nilai ekonomis anjing kintamani. Peningkatan nilai ekonomis akan berdampak pada peningkatan minat masyarakat untuk memelihara anjing kintamani. Peningkatan popularitas anjing kintamani menyebabkan peningkatan minat pecinta anjing pada anjing tersebut (Gunawan et al., 2012). Seiring dengan popularitasnya, usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan perlu 1
dilakukan, diantaranya untuk mengantisipasi gangguan kesehatan yang dapat dialami oleh anjing kintamani. Ada beberapa penyakit yang sering menyerang anjing, salah satunya adalah leptospirosis. Leptospirosis dikenal sebagai penyakit zoonosis akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2009). Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis penting (Etish et al., 2014), ditemukan hampir di seluruh dunia dan dikenal sebagai penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat global karena angka kejadiannya yang meningkat, baik di negara berkembang maupun di negara maju (Vijayachari et al., 2008). Leptospirosis pada ternak dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada industri peternakan akibat gangguan reproduksi yang ditimbulkannya. Gangguan reproduksi yang ditimbulkan leptospirosis seperti abortus, anak lahir mati atau lemah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi ternak di dalam suatu peternakan. Kasus leptospirosis di Indonesia tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada manusia angka kematian akibat leptospirosis termasuk tinggi mencapai 2,5-16,45% per tahun. Hal ini membuat Indonesia masuk dalam urutan ketiga dengan angka kematian tinggi akibat leptospirosis setelah China dan India (Ramadhani dan Yunianto, 2010).
2
Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi merupakan kondisi ideal untuk kelangsungan hidup leptospira, akibatnya angka kejadian leptospira pada lingkungan tropis tinggi (Major et al.,2014). Lee et al.(2014) menyatakan bahwa tingkat kejadian leptospira berhubungan dengan suhu lokal dan curah hujan. Jenis kelamin
anjing dikatakan berpengaruh terhadap angka kejadian
leptospirosis. Risiko anjing jantan lebih tinggi terjangkit leptospira dibandingkan dengan anjing betina (Major et al.,2014). Demikian pula, umur anjing mempengaruhi kejadian leptopsirosis. Anak anjing lebih rentan terjangkit dibandingkan anjing dewasa. Seroprevalensi leptospirosis pada anjing yang tampak sehat bervariasi di beberapa negara. Kisaran seroprevalensi leptospirosis berkisar antara 4,9% sampai 35,2% (Jimenez-Coello et al.,2008; Gautam et al.,2010). Di Amerika Serikat, pada tahun 2002-2004 pernah dilakukan penelitian kasus leptospirosis pada anjing dengan tingkat kejadian > 20%. Di Indonesia belum ada data tentang prevalensi leptospirosis pada anjing, khusunya pada anjing kintamani. Menariknya bahwa Bali sebagai daerah tropis, sangat memungkinkan tempat yang bagus untuk hidupnya lepstopira. Karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kejadian leptospirosis pada anjing kintamani yang sehat. Penelitian dilakukan, di antaranya dalam upaya memperbaiki dan menciptakan sistem dan manajemen pemeliharaan yang tepat dalam rangka meningkatkan populasi anjing kintamani, khususnya di Bali serta antisipasi terhadap penyebaran penyakit tersebut ke manusia.
3
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut. 1. Apakah dengan uji serologi ditemukan titer antibodi positif leptospirosis pada anjing kintamani? 2. Berapa seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Bali? 3. Apakah umur dan jenis kelamin berhubungan dengan prevalensi leptospirosis?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kejadian leptospirosis pada anjing kintamani di Bali. Secara khusus bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
dalam
memperbaiki
manajemen pemeliharaan anjing kintamani yang berkualitas. Disamping itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk antisipasi penularan leptospirosis ke manusia.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anjing Kintamani Anjing adalah mamalia yang telah mengalami domestikasi dari serigala
sejak 15.000 tahun yang lalu, atau mungkin sudah sejak 100.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA (Savitri et al., 2013; Wikipedia, 2014). Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam variasi, mulai dari anjing yang tinggi badannya beberapa puluh cm seperti chihuahua hingga irish wolfhound yang tingginya lebih dari satu meter. Anjing sebagai hewan kesayangan disukai dan banyak dipelihara masyarakat. Salah satu jenis anjing yang banyak dipelihara saat ini terutama di Bali adalah anjing kintamani. Anjing kintamani adalah sebutan kelompok anjing lokal jenis pegunungan yang hidup di sekitar Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali (Gunawan et al., 2012). Anjing lokal jenis pegunungan ini memiliki penampilan yang sangat indah dan cantik yang berbeda dengan anjing gladak yang ada di Bali (Puja, 2007). Diperkirakan anjing kintamani adalah hasil persilangan antara samoyed dan malamute putih. Ada juga yang mengatakan bahwa anjing kintamani lahir dari perkawinan antara anjing “kampung” bali dengan anjing chow-chow yang dibawa oleh invasi dari Majapahit Jawa ke Singaraja Bali Utara (Hartaningsih et al., 1999). Namun, Puja et al. (2005) melaporkan bahwa dari analisis secara molekuler yang menekankan pada kuntinuitas genetik anjing kintamani, 5
menunjukkan ada kedekatan anjing kintamani dengan anjing dingo dan anjing gladak bali. Hal ini membuktikan bahwa anjing kintamani berasal dari anjing gladak bali yang mengalami evolusi yang mengakibatkan hilangnya keragaman genetik (Puja et al. 2005; Puja, 2009). Menurut Puja (2009) dari hasil analisis genetik yang telah dilakukan adalah tepat menyatakan bahwa anjing kintamani sebagai anjing kuno atau anjing primitif dan sesuai dengan penempatan anjing tersebut pada Grup 5, seperti pengelompokan berdasarkan Federation Cynologique Internationale (FCI). Pada pengelompokan dalam sistem FCI, anjing kintamani termasuk dalam Grup 5 karena memiliki ciri-ciri anjing spitz dan tipe primitif seperti chow-chow, basenji, samoyed, dan lainnya (Dharmawan, 2009). Ciri-ciri umum ini telah diungkap oleh Dharma et al. (1993) yang menyebutkan anjing kintamani termasuk jenis pekerja (working dog) dengan ukuran sedang, memiliki keseimbangan dan proporsi tubuh yang baik dengan pertulangan kuat dibungkus otot yang kuat. Sebagai anjing pegunungan, anjing kintamani memiliki bulu panjang dengan warna putih spesifik, cokelat dengan moncong hitam, poleng dan hitam (Dharmawan, 2009). Menurut Dharma et al. (1993) dan Hartaningsih et al. (1999) anjing kintamani memiliki ciri-ciri spesifik lainnya sebagaimana diuraikan berikut. Tinggi badan anjing kintamani jantan berkisar antara 45 sampai 55 cm, sedangkan pada yang betina tingginya antara 40 sampai 50 cm. Warna bulu anjing kintamani adalah putih (sedikit kemerah-merahan) dengan warna merah atau krem pada ujung telinga, ujung ekor, dan bulu di belakang paha. Warna lainnya adalah hitam 6
mulus dan cokelat. Anjing kintamani yang berbulu kemerahan dan memiliki moncong berwarna hitam disebut anjing bang bungkem. Anjing jenis ini sering dimanfaatkan untuk upacara keagamaan umat Hindu di Bali (Dharmawan, 2009). Ciri-ciri spesifik lainnya pigmen kulit anjing kintamani berwarna hitam atau cokelat gelap.
Pigmen hidung, bibir, kelopak mata, skrotum, anus, dan
telapak kaki berwarna hitam atau cokelat gelap.
Kepala anjing kintamani
termasuk tipe head clean dengan kepala bagian atas lebar, dahi dan pipi datar, moncong besar dan kuat, proporsional terhadap ukuran kepala, dan rahangnya kuat. Bibirnya berwarna hitam atau cokelat gelap dan gigi geliginya kuat dengan gerakan seperti menggunting.
Telinga anjing kintamani tebal, kuat, berdiri
berbentuk huruf V terbalik dengan ujung agak membulat. Jarak antara dasar kedua telinga cukup lebar. Panjang telinga kurang lebih sama dengan jarak antara dasar telinga dalam dengan sudut mata luar (Dharma et al. 1993; Hartaningsih et al., 1999). Lebih lanjut diungkapkan bahwa anjing kintamani memiliki mata yang bersinar tajam, berbentuk lonjong, dan bertipe almond.
Bola mata berwarna
cokelat gelap dan bulu mata berwarna hitam. Hidung anjing kintamani berwarna hitam atau cokelat tua, tetapi warna hidung sering berubah dengan pertambahan umur dan musim. Panjang leher anjing kintamani sedang, tetapi kuat karena sistem perototannya yang kuat, sehingga anjing tampak anggun.
Anjing
kintamani memiliki dada yang dalam dan lebar sehingga memberi ruang yang cukup luas bagi jantung dan paru-paru. Punggungnya datar panjangnya sedang sistem perototan yang baik. Badan anjing betina relatif lebih panjang dari pada 7
anjing jantan.
Memiliki bulu krah (badong) yang panjang berbentuk kipas.
Makin panjang bulu badong makin tampak indah (Dharma et al. 1993; Hartaningsih et al., 1999). Kaki anjing kintamani agak panjang, kuat, dan lurus jika dilihat dari depan atau dari belakang. Tumitnya tanpa kuku tajir dan gerakan kakinya ringan. Ekor tegak atau sedikit agak melengkung antara tipe flag (panjang dan naik) dan sickle (naik dan sedikit melingkar), tetapi tidak jatuh atau melingkar di atas pinggang atau jatuh ke samping. Makin panjang bulu ekor makin berkibar sehingga tampak indah (Dharma et al. 1993; Hartaningsih et al., 1999). Puja (2007) menambahkan bahwa bentuk ekor anjing kintamani bervariasi. Variasi bentuk ekor tersebut adalah bulan sabit, ekor tupai (squirrel), melingkar, dan berbentuk tegak (erect). Namun, diantara bentuk yang disebut itu, tampaknya bentuk bulan sabit paling banyak ditemukan pada anjing kintamani (Puja, 2007).
2.2 Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh patogen Leptospira spp. (Etish et al., 2014). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit bersumber binatang (zoonosis) yang memerlukan upaya penanggulangan serius (Ramadhani dan Yunianto, 2010). Leptospirosis dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada empat penderita yang mengalami penyakit kuning yang
8
berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada (Inada, et al., 1916) mengidentifikasikan penyakit ini di Jepang pada tahun 1916. Kejadian leptospirosis pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil, seorang Profesor Kedokteran di Heidelberg, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama penyakit tersebut, yaitu Weil’s disease (Sambasiva et al., 2003). Penyakit ini ditandai dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Kejadian leptospirosis dijumpai sepanjang tahun di negara tropis yang memiliki udara hangat, tanah lembab, dan pH alkalis. Pada tahun 1916, Inada dan kerabat kerjanya berhasil membuktikan bahwa Weil’s disease disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae (Inada et al., 1916). Leptospirosis berasal dari nama bakteri penimbul penyakitnya yaitu leptospira. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus leptospira. Leptospirosis tersebar luas di seluruh dunia terutama pada daerah tropis (Hickey dan Deemeks, 2003; Vijayachari et al.,2008). Leptospirosis adalah penyakit yang dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati dan kematian pada ternak. Leptospirosis yang juga dikenal dengan nama penyakit weil adalah penyakit zoonosis yang ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh genus leptospira, famili leptospiraceae, ordo spirochaetales (Yersin et al., 1999; Mishima et al., 2013). Rodensia, terutama tikus merupakan hospes utama dari
9
leptospira yang dapat menginfeksi manusia. Selain tikus, mamalia lain juga dapat bertindak sebagai hospes leptospira (Mishima et al., 2013). 2.3 Bakteri Leptospira Bakteri
leptospira
termasuk
dalam
Ordo
spirochaetales,
Family
leptospiraceae, Genus leptospira. Genus leptospira terdiri atas 2 spesies yaitu L. interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofit (non patogen). Setiap spesies leptospira terbagi menjadi pilihan serogrup dan terbagi lagi menjadi puluhan bahkan ratusan varian serologi (serovar). Saat ini L. interogans yang bersifat patogen telah dikenal memiliki lebih dari 200 serovar. Bakteri
leptospira
merupakan
bakteri
aerob
(termasuk
golongan
spirochaeta), gram negatif, bergerak aktif (motil), bentuknya dapat berkerut-kerut dan terpilin dengan ketat. Kedua ujungnya mempunyai kait berupa flagellum periplasmik. Bakteri leptospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm, memiliki dua lapis membran, ukuran bakteri yang relatif kecil dan panjang ini, sulit terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, sehingga diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam air, khususnya pada pH basa (Brooks, 2001).
10
Gambar 2.1. Karakteristik Leptospira (Quinn., 2007).
Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur dengan gerakan memutar sepanjang sumbunya. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal hospes dan dikeluarkan melalui air kencing (urin) saat berkemih. Hospes tersebut antara lain tikus, anjing, babi, kambing, kuda, domba, kucing, kelelawar, tupai, dan landak. Beberapa penelitian terakhir berdasarkan temuan DNA diidentifikasi 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 serovar. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling beresiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan beresiko terjangkit leptospira yang berbeda-beda. Resevoar paling utama adalah binatang pengerat dan tikus adalah yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. 11
Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, binatang buas, dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa binatang, misalnya L. pomona dan L. interrogans terdapat pada lembu dan babi, L. grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L. ballum dan L. icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L. canicola dikaitkan dengan anjing, beberapa serotipe yang penting lainnya adalah L. autumnalis, L. hebdomidis dan L. australis.
2.4 Siklus Hidup, Cara Penularan dan Patogenesa Leptospira
Gambar 2.2. Siklus Leptospirosis (Faine et al., 1999) Leptospirosis pada anjing dapat disebabkan oleh infeksi dari berbagai serovar leptospira interrogans antara lain L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. bataviae, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. pomona, L. tarassovi, L. icterohaemorrhagica. Perpindahan leptospira ke hewan atau individu lainnya dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung. Penularan dapat melalui kontak langsung terhadap urin, material abortus, cairan sperma penderita. Sedangkan secara tidak langsung dapat melalui paparan terhadap lingkungan yang terkontaminasi seperti tanaman, tanah, air. Penularan 12
secara tidak langsung biasanya terjadi pada para petani, pekerja selokan, tentara yang sering berhubungan dengan lingkungan yang basah (WHO, 2003). Kondisi iklim di Indonesia dengan intensitas hujan yang cukup tinggi memiliki potensi terjadinya penularan leptospirosis. Lingkungan yang optimal untuk hidup dan perkembangbiakan leptospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 25oC, serta pH mendekati netral. Kondisi yang demikian merupakan keadaan yang selalu dijumpai di negeri-negeri tropik sepanjang tahun. Leptospira pada situasi tersebut dapat tahan hidup sampai berminggu-minggu (Vijayachari et al., 2008). Leptospira tersebut dapat berasal dari penderita ataupun hewan reservoir seperti tikus. Pada hewan yang telah beradaptasi (hospes), infeksi hanya akan menyebabkan gejala subklinis dan akan menjadi reservoir yang akan menyebarkan leptospira secara perlahan-lahan. Patogenesa leptospira yang berhasil menembus kulit dan mukosa akan masuk dengan cepat ke pembuluh darah (4-7 hari) dan menyebar ke seluruh bagian tubuh (2-4 hari) terutama ginjal dan hati. Invasi leptospira tersebut akan menyebabkan demam, leukositosis, anemia hemolitika, hemoglubinuria ringan, dan albuminuria. Selain itu, akan terjadi petechie (bintik-bintik merah di kulit) akibat rusaknya sel endotel kapiler pembuluh darah. Hati akan mengalami nekrosis sehingga terjadi jaundice (kekuningan). Leptospira akan berkoloni dan replikasi di dalam epitel tubuli ginjal sehingga menyebabkan nefritis interstisialis. Kematian dapat terjadi akibat nefritis interstisialis, kerusakan pembuluh darah dan kegagalan ginjal.
13
2.5 Gejala Klinis Pada hewan ternak ruminansia dan babi yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Pada sapi, muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi. Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis, iridocyclitis, jaundice sampai abortus (Swan et al., 1981). Sedangkan pada anjing, gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice (Hartman et al., 1986). Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi mulai dari demam, ikterus, hemoglobinuria, pada hewan bunting dapat terjadi abortus dan janin lahir mati, bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya. Tingkat keganasan serangan leptospirosis tergantung dari serovar leptospira dan spesies hewan yang terinfeksi pada daerah tertentu (Rocha, 1998; Ebrahimi et al. 2004; Rad et al. 2004). Kerapkali dilaporkan kejadian leptospirosis tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik dan sulit didiagnosa tanpa pengujian sampel di laboratorium (Hartman et al., 1986). Pada anjing gejala klinis akan muncul setelah masa inkubasi yang berlangsung selama 5-15 hari (rata-rata 1 minggu). Hewan yang menderita perakut akan menunjukkan gejala berupa anoreksia (hilangnya nafsu makan), lesu, hiperestesi otot-otot perifer, pernafasan yang dangkal, muntah, demam, mukosa pucat dan detak jantung cepat. Kerusakan sel-sel trombosit akan mengakibatkan koagulasi perivaskuler yang luas sehingga terjadi ptechie dan acchymoses di kulit,
14
epistaksis dan melena. Gejala klinis lain yang cukup khas adalah jaundice (kekuningan) pada membran mukosa.
2.6 Teknik Diagnosa Diagnosa terhadap leptospirosis tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis, hematologi maupun kimiawi darah. Pemeriksaan-pemeriksaan hanya akan memperoleh gambaran adanya gangguan di hati dan ginjal bukan agen penyebab. Gambaran pemeriksaan darah terdapat adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi, leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), BUN dan kreatinin yang tinggi (indikasi gangguan ginjal), peningkatan enzim hati, proteinuria, dan isothenuria. Adanya leptospira di organ genital, ginjal atau urin dari pasien yang memperlihatkan gejala klinis dapat digunakan untuk mendiagnosa leptospirosis. Mengisolasi leptospira dengan cara membiakkan bakteri adalah metode yang sangat sensitif. Namun sering sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama. Polymerase chain reaction (PCR) juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan leptospira di jaringan tubuh atau cairan tubuh. Teknik deteksi ini cukup sensitif tetapi tidak dapat mengidentifikasi sampai serovar (Woodward et al., 1991). Metode biakan, PCR dan immunofluorescence merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi leptospira serovar hardjo pada urine sapi, tetapi kurang sensitif apabila hanya menggunakan salah satu metode tersebut (Wagenaar et al., 2000). Uji serologi di laboratorium sering digunakan untuk komfirmasi diagnosa klinik, menentukan prevalensi kelompok dan melakukan studi epidemiologi. Ada 15
dua uji serologi yang biasa digunakan yaitu Microscopic Aglutination Test (MAT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). MAT merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan pada anjing (Sykes et al., 2011; Senthil et al., 2013). Uji MAT dianggap sebagai gold standart untuk mendiagnosis leptospirosis (Dutta et al., 2005). Uji ini juga digunakan pada seroinvestigasi leptospirosis pada sapi (Rocha, 1998; Ebrahimi et al, 2004) dan pengujian sera manusia (Darodjat dan Ronohardjo, 1989) serta menentukan seroprevalensi sera manusia dan hewan (Ratnam et al, 1994). Pada uji MAT digunakan antigen hidup dan diperlukan banyak serogrup sebagai antigen untuk hasil yang optimum.
2.7 Pencegahan, dan Pengobatan Pencegahan dapat dilakukan melaui vaksinasi. Vaksinasi merupakan tindakan terbaik yang dapat dilakukan walaupun perlindungan yang berasal dari vaksinasi tersebut dinilai sangat kurang. Hal tersebut dikarenakan vaksin yang sering digunakan hanya menggunakan 2 tipe serovar yaitu serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica. Vaksinasi pada anjing juga dapat menurunkan jumlah leptospira yang dikeluarkan melalui urin (Bey dan Johnson, 1982). Tindakan pencegahan lainnya yang tidak kalah penting yaitu sanitasi kandang yang baik untuk mencegah kontak dengan urin penderita, pengendalian terhadap hewan pengerat, monitoring anjing karier sampai terapi selesai, mengisolasi hewan penderita selama pengobatan. Selain itu, perlu adanya pembatasan aktifitas ke area yang basah, dataran rendah dengan air yang menggenang serta ke alam liar. 16
Pengobatan atau terapi yang dapat dilakukan terhadap penderita leptospira yaitu terapi cairan untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam, anoreksia. Jika tidak terjadi urinasi atau urin sedikit dapat diterapi menggunakan diuresis yang tidak memberatkan ginjal. Sebelum dilakukan terapi diuresis, harus dilakukan rehidrasi terlebih dahulu. Terapi antibiotik yang tepat yaitu menggunakan amphicilin setiap 8 jam secara intravena. Untuk mengeliminasi leptospira dari jaringan interstisial ginjal menggunakan antibiotik doxycycline selama 3 minggu. Pada hewan yang terinfeksi leptospira pemberian antibiotik efisien untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan, dan menurunkan kerusakan hati dan ginjal (Davol, 2004).
17
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kejadian penyakit hewan menular strategis semakin meningkat di Indonesia. Menurut SK. Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/3/2013, Tahun 2013, terdapat 22 penyakit hewan menular. Salah satu dari 22 penyakit hewan menular tersebut adalah leptospirosis.
Penyakit zoonosis ini tidak hanya
ditemukan di Indonesia, melainkan telah tersebar diseluruh dunia, kecuali di Antartika. Kejadian leptospirosis di Indonesia yang banyak dilaporkan terjadi pada manusia dan hewan ternak. Menurut Scott-Orr dan Darodja (1978) paling sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif leptospira serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara positif terhadap serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa propinsi di Jawa dan luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak serovar pomona. Kerugian ekonomi akibat leptospirosis pada anjing mungkin tidak terlihat jelas. Tingginya biaya untuk mendiagnosis leptospirosis menjadi kendala dalam penanganan leptospirosis di sektor peternakan. Akhir-akhir ini perkembangan kejadian leptospirosis pada manusia terutama di negara-negara maju sering dikaitkan karena pasien pernah melakukan perjalanan (travel) ke daerah endemis atau karena adanya migrasi penduduk dari daerah tertular (van de Werve et al., 2013; Bandara et al., 2014). 18
Menurut
Bandara et al. (2014) kontribusi penyebab penyebaran penyakit leptospirosis di beberapa negara akibat perjalanan (cases of travel-releted leptospirosis) cukup tinggi, mencapai 41,7%. Sementara, van de Werve et al., (2013) melaporkan dari 15 kasus leptospirosis yang dievaluasi di Paris, diketahui pasien terpapar penyakit setelah melakukan perjalanan wisata ke Asia (47%), Afrika (20%), dan ke Karibia (20%). Sakamoto et al. (2005) pernah melaporkan pasien leptospirosis di Jepang, setelah pasien melakukan perjalanan wisata ke Bali. Pasien laki-laki berumur 33 tahun diketahui terserang leptospirosis karena L. borgpetersenii serovar Sejroe yang diperoleh di Bali. Selama di Bali, pasien dilaporkan tinggal di sebuah hotel sering berenang di kolam, berjalan-jalan tanpa alas kaki dan berbaring/berjemur di rerumputan. Penderita mengalami demam tinggi dan sakit kepala seusai berlibur ke Bali dan dari hasil pemeriksan laboratorium dengan MAT ditemukan antibodi yang tinggi terhadap L. borgpetersenii serovar Sejroe (Sakamoto et al., 2005). Selama ini laporan kejadian leptospirosis pada anjing di Bali dan di Indonesia masih langka, meskipun masyarakat Indonesia banyak yang memelihara anjing. Tidak adanya data tentang kejadian leptospirosis pada anjing menjadi sulit untuk melakukan pencegahan leptospirosis pada anjing.
Anjing kintamani
merupakan salah satu dari anjing asli yang ada di Bali dan memiliki kemungkinan mengalami leptospirosis. Saat ini, belum tersedia laporan mengenai kejadian leptosprirosis pada anjing tersebut. Dari uraian di atas, kiranya perlu ada penelitian untuk mengetahui kejadian leptospirosis pada anjing kintamani.
Informasi ini dibutuhkan dalam rangka 19
meningkatkan
manajemen
pemeliharaan
anjing
kintamani
serta
untuk
merumuskan strtaegi pencegahan dan penanggulangan penyakit tersebut. Penyakit leptospirosis dapat ditentukan dengan pemeriksaan agen penyebab dan uji serologis. Uji yang paling umum digunakan untuk mendiagnosa leptospirosis adalah uji serologi MAT (Sykes et al., 2011).
3.2 Hipotesis Peneitian Ada hubungan antara umur dan jenis kelamin terhadap prevalensi leptospirosis pada anjing Kintamani di Bali.
20
3.3 Konsep Penelitian anjing kintamani
pengambilan sampel darah serum
pemisahan sampel darah dan serum
penyimpanan pada suhu -20ºc (sebelum digunakan)
Uji MAT (mikroskopic agglutination test)
Hasil (prevalensi leptospirosis pada anjing kintamani)
21
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional untuk mengetahui seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015. Pengambilan sampel darah anjing kintamani dilakukan di Bali yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Bangli. Serum dipisahkan dari darah yang sebelumnya diambil. Selanjutnya pengujian serologi MAT (Microscopic Agglutination Test) dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menentukan seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani menggunakan uji MAT dari serum yang diambil pada anjing di Bali.
4.4 Sampel penelitian Target populasi dalam penelitian ini adalah anjing kintamani yang ada di Bali. Sampel yang diambil berasal dari 55 ekor anjing kintamani berupa darah, 22
selanjutnya darah disentrifus untuk memperoleh serum. sebelum digunakan disimpan pada suhu -20ºC.
Serum yang didapat
Penentuan jumlah sampel
dihitung menggunakan rumus (Thrusfield, 2007) seperti berikut.
1,922 Pexp (1- Pexp) n= d2 Keterangan n
: Jumlah sampel
Pexp
: Prevalensi yang diperkirakan
d
: Selang kepercayaan
Diketahui: Pexp
= 3%
d
= 0,05
1,922 . 0,03 (1- 0,03) n= 0,052 n = 0,1071 / 0,0025 n = 43 sampel
23
4.5 Penentuan Sumber Data Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Penarikan sampel yang dilakukan secara purposive dengan memilih subjek berdasarkan kriteria spesifik dari penelitian ini adalah anjing kintamani yang belum divaksin dengan vaksin yang mengandung bakteri leptospira, baik jantan maupun betina dari segala umur yang dikelompokkan menurut perkinologian menjadi umur kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan dan secara fisik sehat.
4.6 Variabel Penelitian a. Variabel bebas
: Umur, Jenis Kelamin
b. Variabel tergantung
: Titer Antibodi
c. Variabel kendali
: Anjing kintamani yang belum divaksin leptospira
4.7 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: antigen leptospiral, serum anjing kintamani.
4.8 Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian ini: spuit, tabung sntrifus, sentrifus, pipet mikro, tabung eppendrop, kertas stiker, microplate, Mikroskop medan gelap, ose, incubator, objek glas, diluter.
24
4.9 Prosedur Penelitian Deteksi leptospirosis pada anjing kintamani dilakukan dengan uji Microscopic Aglutintion Test (MAT) menggunakan antigen leptospira. Sebagai antigen digunakan biakan-biakan serovar-serovar icterohaemorrhagigae (RGA), javanica (veldrat batavia 46), celledoni (celledoni), canicola (hond utrecht IV), ballum (mus 127), pyrogenes (salinem), cynopteri (3522 C), rachamati (rachmat), australis (ballico), pomona (pomona), grippotyphosa (moskva V), hardjo (hardjoprajitno), bataviae (van tienen), dan tarassovi (perepelicin), dalam media Ellinghausen MacCullough Jonson Harris (EMJH) cair yang telah diinkubasi pada suhu 28-30ºC selama 5 sampai 9 hari. Konsentrasi leptospira dalam biakan tersebut dijadikan 2 x 108/ml, dan biakan harus murni, dan homogen (tidak terdapat gumpalan/breeding nest leptospira). Serum yang telah dibekukan pada suhu -20ºC disesuaikan suhunya dengan suhu kamar selanjutnya diencerkan dengan PBS pH 7,5. Pemeriksaan pendahuluan sebanyak 0,05 ml enceran serum 1:50 diisikan pada lubang microtiter plate, kemudian tambahkan 0,05 ml antigen, dan diinkubasi pada suhu 30ºC selama 2 jam. Dengan menggunakan diluter campuran serum dan antigen dipindahkan ke kaca objek (tidak ditutup dengan kaca penutup) dibaca dengan mikroskop medan gelap pada pembesaran 100x. Serum yang menunjukkan reaksi 50% aglutinasi atau lebih dilakukan titrasi. Titrasi sebanyak 0,05 ml enceran serum 1:100, 1:200, 1:400 dan 1:1600
masing-masing diteteskan dalam lubang-lubang microtiter
plate, dan kemudian masing-masing enceran tersebut ditambahkan 0,05 ml antigen yang menunjukkan reaksi positif pada pemeriksaan pendahuluan, dan 25
diinkubasi pada suhu 30ºC selama 2 jam. Pembacaan dilakukan seperti pada pemeriksaan pendahuluan. Titik akhir pembacaan adalah 50% aglutinasi (atau 50% leptospira yang tidak teraglutinasi) dan titer didefinisikan sebagai “enceran akhir tertinggi serum dalam campuran serum dan antigen yang menunjukkan 50% aglutinasi atau lebih” Penafsiran titer 1:100 atau lebih adalah positif, pada setiap pemeriksaan disertakan kontrol positif yaitu antigen direaksikan dengan antisera homolog dan kontrol negatif yaitu antigen diencerkan 1:2 dengan PBS pH 7,5 sebagai kontrol pembaca (-) (tidak terjadi aglutinasi), dan diencerkan 1:4 sebagai kontrol pembaca (+2) atau 50% aglutinasi (prosedur kerja mengacu kepada prosedur kerja dari OIE (World Organisation For Animal Health) dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor)
4.10 Analisis Data Data pemeriksaan serologi MAT berupa nilai titer antibodi. Serum dengan titer 1:100 atau lebih terhadap salah satu serovar atau lebih dinyatakan positif. Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Hubungan antara umur dan jenis kelamin, dengan prevalensi dianalisis dengan uji Mann Whitney.
26
BAB V HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan serologi MAT terhadap 55 sempel serum anjing kintamani yang berasal dari Bali. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa 10 dari 55 sempel serum (18,18%) bereaksi positif terhadap satu atau lebih serovar (Tabel 5.1). Dari 10 sampel serum yang positif tersebut, diketahui bahwa 2 sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap tiga serovar; 5 sampel (9,09%) bereaksi positif terhadap dua serovar; dan 3 sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap satu serovar. Tabel 5.1 Hasil Uji Serologi MAT Terhadap Leptospirosis pada Anjing Kintamani Asal Bali. Hasil Pemeriksaan
Jumlah sampel
%
Positif terinfeksi
10
18,18
1 serovar
3
5,45
2 (cel) dan 1 (can)
2 serovar
5
9,09
4 (cel + can) dan 1 (cel + ict)
3 serovar
2
3,64
1 (cel + can + ict) dan 1 (cel + can + cyn)
Negatif
45
81,82
-
Total
55
100
Serovar
Keterangan: cel = serovar celledoni; can = serovar canicola; cyn = serovar cynopteri; ict = serovar ichterohemorrhagiae
Dari hasil penelitian ini terdeteksi 4 serovar dari 14 serovar standar yang digunakan untuk pengujian leptospirosis di Indonesia. Keempat serovar tersebut berasal dari Leptospira interrorgans serovar Celledoni, Leptospira interrorgans serovar Canicola, Leptospira interrorgans serovar Cynopteri dan Leptospira 27
interrorgans serovar Ichterohemorrhagiae.
Jumlah terbanyak ditemukan pada
Leptospira interrorgans serovar Celledoni. Dari sepuluh sampel serum yang bereaksi positif terhadap leptospira, sembilan di antaranya adalah Leptospira interrorgans serovar Celledoni (Gambar 5.1, Lampiran 1).
Gambar 5.1 Jumlah Serovar Pengujian Serologi MAT Terhadap Leptospirosis pada Anjing Kintamani Asal Bali. (ict = serovar ichterohemorrhagiae; cel = serovar celledoni; can = serovar canicola; cyn = serovar cynopteri;).
Bila dilihat dari umur anjing asal sampel yang diperiksa, ternyata 6 sampel positif berasal dari anjing yang berumur kurang dari satu tahun dan 4 berumur diatas satu tahun. Secara detil hasil pemeriksaan kejadian leptospirosis pada anjing kintamani berdasarkan umur anjing ≤ satu tahun dan > satu tahun, dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut. 28
Tabel 5.2 Kejadian Leptospirosis pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Umur Umur Anjing
Positif (%)
Negatif (%)
Total (%)
≤ 1 tahun
6 (10,9%)
24 (43,63%)
30 (54,55%)
> 1 tahun
4 (7,27%)
21 (38,18%)
25 (45,45%)
10 (18,18%)
45 (81,81%)
55 (100%)
Jumlah
Tabel 5.3 Kejadian Leptospirosis pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Anjing
Positif (%)
Negatif (%)
Total (%)
Jantan
4 (7,27 %)
24 (43,63%)
28 (50,9%)
Betina
6 (10,9%)
21 (38,18%)
27 (49,1%)
10 (18,18%)
45 (81,81%)
55 (100%)
Jumlah
Hasil analisis statistik mengenai hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan prevalensi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata ( P > 0,05 ). (lampiran 3.) Tabel 5.4 Kejadian Leptospirosis pada Anjing Kintamani di Bali Berdasarkan Wilayah Daerah pengambilan sampel
Positif (%)
Negatif (%)
Total (%)
Denpasar
2 (3,64%)
8 (14,54%)
10 (18,18%)
Tabanan
1 (1,82%)
8 (14,54%)
9 (16,36%)
Gianyar
1 (1,82%)
7 (12,73%)
8 (14,55%)
Bangli
6 (10,9%)
22 (40%)
28 (50,91%)
Jumlah
10 (18,18%)
45 (81,81%)
55 (100%)
29
BAB VI PEMBAHASAN Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel serum anjing kintamani sebanyak 55 sampel serum, baik jantan maupun betina, dengan variasi umur ≤ 1 tahun dan > 1 tahun yang berasal dari Bali. Hasil pemeriksaan serologi MAT terhadap 55 serum anjing kintamani menunjukkan bahwa 10 serum bereaksi positif terhadap satu atau lebih serovar. Hasil ini memberikan gambaran bahwa seroprevalensi kasus leptospirosis pada anjing kintamani di Bali yaitu 18,18%. Hasil penelitian ini merupakan laporan pertama seroprvalensi leptospirosis pada anjing kintamani yang ada di Bali. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa di antara kejadian leptospirosis pada hewan di Indonesia, ternyata seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani cukup rendah. Jika dibandingkan dengan seroprevalensi leptospirosis pada anjing di negara-negara lain, seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Indonesia, khususnya di Bali, tergolong rendah. Seroprevalensi leptospirosis pada anjing di Kerala India adalah 36,36% (Soman et al., 2014). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa seroprevalensi leptospirosis pada anjing di United States pada tahun 2002-2004 adalah lebih dari 20% (George et al., 2006). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan karena pada penelitian ini hanya mengkhusus mengamati kejadian leptospirosis hanya pada anjing kintamani. Semenatara jenis dan jumlah anjing yang lain (lokal, ras/bangsa lain 30
selain kintamani) yang ada di Bali, belum dilakukan pemeriksaan. Di samping itu, kondisi cuaca dan lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap prevalensi leptospirosis. Curah hujan di beberapa wilayah di Bali terbilang rendah. Curah hujan diketahui berkorelasi positif terhadap tingkat prevalensi leptospirosis. Darodjat dan Ronohardjo (1989) melaporkan bahwa pada musim hujan, kejadian leptospirosis tinggi, sebaliknya pada musim kering kejadiannya rendah. Rendahnya prevalensi leptospirosis pada anjing kintamani kemungkinan disebabkan karena faktor pemeliharaan anjing kintamani sudah baik atau mungkin juga secara genetik tahan terhadap leptospirosis. Hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa 10 dari 55 sampel serum bereaksi positif terhadap satu atau lebih serovar. Dua sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap tiga serovar; 5 sampel (9,09%) bereaksi positif terhadap dua serovar; dan 3 sampel (3,64%) bereaksi positif terhadap satu serovar. Serovar yang terdeteksi paling banyak bereaksi positif terhadap serovar Celledoni. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Gillespie dan Timoney (1981), yang mengatakan bahwa serovar yang dominan di suatu daerah tertentu dapat berbeda dengan daerah lain, atau bahkan daerah yang lebih besar yang mencakup daerah tertentu tersebut. Dari penelitian yang dilakukannya, juga dilaporkan bahwa beberapa sampel yang positif lebih dari satu serovar (Gillespie dan Timoney, 1981). Sementara itu, menurut Seltzer dan Jones (1980), dua atau lebih serovar leptospira dapat menunjukkan adanya hubungan antigenik yang sangat mirip.
31
Menurut Levett (2001), dari beberapa laporan penelitian, diketahui bahwa prevalensi beberapa serovar sangat tinggi di suatu tempat dan rendah di tempat lainnya; dan dalam perkembangannya leptospira mempunyai beberapa macam inang sesuai serovarnya. Dalam hal ini, hewan penyebar leptospira berperan penting. Umumnya di Pulau Jawa, leptospirosis yang terdeteksi adalah serovar Hardjo. Dari Tabel 5.2 diketahui bahwa 6 (10,9%) sampel yang bereaksi positif leptospira berasal dari anjing yang berumur ≤ 1 tahun. Dari penelitian ini diketahui bahwa 4 (7,27%) sampel yang bereaksi positif dari anjing yang berjenis kelamin jantan dan yang berjenis kelamin betina ada 6 (10,9%). Namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata ( P > 0,05 ) antara umur dan jenis kelamin terhadap seroprevalensi. Hasil ini berbeda dengan pendapat Major et al.(2014) yang menyatakan bahwa anak anjing umur muda lebih rentan terhadap leptospira karena pada anak anjing kemungkinan mendapatkan pemaparan saat sosialisasi, serta daya tahan tubuh yang masih rendah. Jenis kelamin juga dikatakan berpengaruh yaitu pada yang jantan lebih rentan. Hal ini disebabkan karena anjing jantan berkaitan dengan aktivitasnya yang banyak berkeliaran. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena pemeliharan anak anjing kintamani sudah cukup baik serta tidak dibiarkan berkeliaran di luar. Dari sebaran wilayah pengambilan sampel, 10 (18,81%) sampel diambil dari Kota Denpasar 2 (3.63%) sampel yang bereaksi positif, 9 (16,36%) sampel diambil dari Kabupaten Tabanan 1 (1,81%) sampel bereaksi positif, 8 (14,55%) sampel diambil dari Kabupaten Gianyar 1 (1,81%) sampel bereaksi positif, dan 28 32
(50,91%) sampel diambil dari Kabupaten Bangli 6 (10,90%) sampel bereaksi positif. Hasil penelitian seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani asal Bali ini didominasi oleh Leptospira interrorgans serovar Celledoni, dimana serovar ini banyak ditemukan di Australia. Di Australia, serovar yang pertama kali diisolasi adalah Leptospira weili serovar Celledoni yang diisolasi di Ingham pada tahun 1952 dan di Queensland yang diisolasi pada tahun 1995, menggunakan Random Ampilified Polymorphic DNA (RAPD) (Henry et al., 2002). Selanjutnya dilaporkan bahwa ada sekitar 22 serovar yang sudah diisolasi di Australia, di antaranya adalah L. Hardjo, L. Pomona, L. Tarrassovi, L. Grippotyphosa, L. Coenhageni, L. Icterohaemorrhagiae. Serovar yang endemik di Austrlia yaitu L. Celledoni, L. Australis, L. Zanoni, L. Robinsoni, L. Kremasios, L. Szwajizak, L. Ballum, L. Broomi, L. Valbuzzi, L. Bidjei (Henry et al., 2002). Dengan demikian tingginya kejadian Leptospira interrorgans serovar Celledoni yang ditemukan dari hasil penelitian ini kemungkinan berkaitkan dengan ramainya wisatawan mancanegara yang datang berlibur ke Bali, khususnya yang berasal dari Australia.
Menurut National Leptospirosis
Surveillance Report Australia, pada tahun 2007 sampai 2011 kejadian leptospirosis yang disebabkan serovar Celledoni masih ditemukan di negara Australia.
33
BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Serovar yang terdeteksi dalam penelitian ini adalah Leptospira interrorgans serovar Celledoni, Leptospira interrorgans serovar Canicola, Leptospira interrorgans serovar Cynopteri dan Leptospira interrorgans serovar Ichterohemorrhagiae. 2. Seroprevalensi leptospirosis pada anjing kintamani di Bali adalah 18,18% 3. Umur dan jenis kelamin tidak berhubungan dengan prevalensi leptospirosis.
7.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aspek genetik leptospirosis pada anjing kintamani serta memperhatikan aspek ekoepidemiologi leptospira pada anjing di Bali.
34
DAFTAR PUSTAKA
Bandara, M., Ananda, M, K. Wickarmage, E. Berger, S. Agampodi. 2014. Globalization of leptospirosis through travel and migration. Globalization and Health 2014, 10:61. Bey, R.F. and R.C. Johnson, 1982. Leptospiral vaccines in dogs: Immunogenicity of whole cell and outer envelope vaccines prepared in protein-free medium. Am. J. Vet Res. 43(5): 831-834. Brooks., F. Geo, S. Janet, Butel, A. Stephen, Morse. 2001. Mikrobiologi kedokteran Jakarta: Penerbit salemba medika. Chaudhry, R., A. Das, M.M. Premlatha, A. Chaudhry, B.K. Chourasia, D.S. Chanel, A.B. Dey. 2013. Serological and molecular approach for diagnosis of leptospirosis in a Tertiary Care Hospital in Nort India: A 1year Study. Indian J Med Res 137: 785-790. Darodjat, M, dan P. Ronohardjo. 1989. Diagnosa serologic microscopic agglutination test (MAT) untuk leptospirosis pada serum manusia. Penyakit Hewan XXI (37). Semester I: 1-8. Davol,
P.A. 2004. Current issues http//www.rabbies.com/lepto.htm.
on
infection
and
vaccination.
Dharma, D.M.N., P. Rahardjo, IG. Kertayadnya. 1993. Deskripsi dan Standar Anjing Bali. Bidang Penelitian dan Pengembangan Perkumpulan Penggemar Anjing Trah Bali. Dharmawan, N.S. 2009. Anjing Bali dan Rabies. Buku Arti. Arti Foundation. Dutta TK, M. Chistopher. 2005. Leptospirosis – An overview. J Assoc Physicians India 2005;53:545-51. Ebrahimi, A., Z. Nasr and GH.A. Kojouri. 2004. Seroinvestigation of bovine leptospirosis in shahrekord district, central Iran. Iranian J. Vet. Res. University of Shiraz. 5 (2) Ser. (10). 1383: 110-113. Etish, J.L., P.S. Chapman, A.R. Klag. 2014. Acquired nephrogenic diabetes insipidus in a dog with leptospirosis. Irish Vet J. 67:7. Faine, S., B. Adler, C. Bolin and P. Perolat. 1999. Leptospira and leptospirosis, 2nd Ed. Med. Sci. Melbourne, Australia. 35
Gautam, R., C.C. Wu., L.F. Guptill, A . Potter, G.E. Moore. 2010. Detection of antibodies against Leptospira serovars via microscopic agglutination tests in dogs in the united states, 2000–2007. J. Am. Vet. Med. Assoc. 237, 293–298.
George, E.M., F.G. Lynn, W.G Nita, J.C. Richard. 2006. Canine Leptospirosis, United States, 2002-2004. Emerging Infectious Diseases. Gillespie, J.H and J.F. Timoney. 1981. The Genus Leptospira in: Hagan and Bruner’s Infectious Disease of Domestic Animals. Ithaca and London: Cornell University Press, PP: 64 – 66. Gunawan, IW.F.N., IM. Sukada, IK. Puja. 2012. Perilaku Bermasalah Pada Anjing Kintamani. Bul Vet Udayana. 4 (2): 95-100. Hartaningsih, N., D.M.N. Dharma, dan M.D. Rudyanto. 1999. Anjing Bali Pemuliabiakan dan Pelestarian. Kanisius. Yogyakarta. Hartman, E.G., T.S.G.A.M. Van Den INGH, J. Rothuizen. 1986. Clinical, pathological and serological features of spontaneous canine leptospirosis. An evaluation of the IgM- and IgG- specific ELISA. Vet. Immunol and Immunopathol. 13: 261-271. Henry, R., L. Barnett, M. Dohnt, L. Smythe, T. Greene. 2002. Proffered Papper 18. Molecular Analysis of Veterinari Pathogens. School of Biomolecular and Biomedical Science, Griffith University Logan, Queensland, Australia. Hickey, P.W. and D. Deemeks. 2003. Leptospirosis. Emedicine. Pp. 1-9. Inada R., Y. Ido, R. Hoki, R. Kaneko, H. Ito. 2016. Etiology, mode of infection and specific therapy of weil’s disease (Spirochaeteosis Icterohemaorrhagica). J Exp Med. 23: 377-402. Jimenez-Coello, M., Vado-Solis, I. Cardenas-Marrufo, M.F. Rodriguez-Buenfil, J.C. Ortega-Pacheco. 2008. A. Serological survey of canine leptospirosis in the tropics of Yucatan Mexico using two different tests. Acta Trop. 106, 22–26.
Lavett, N.P. 2001. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev.14 (2) : 296 – 326. Major A., A. Schweighauser and T. Francey.2014. Increasing Incidence of Canine Leptospirosis in Switzerland. Int. J. Environ. Res. Public Health , 11, 7242-7260 36
Mishima, N., K. Tabuchi, T. Kuroda, I. Nakatani, P. Lamaningo, M. Miyake, S. Kanda, N.Koizumi, T. Nishiyama. 2013. The first case in Japan of severe human leptospirosis imported from Vietnam. Trop Med Health. 41 (4): 171-176. Puja, IK., D.N. Irion, A.L. Schaffer, N.C. Pedersen. 2005. The kintamani dog: genetic profile of an emerging breed from Bali, Indonesia. J. Heredity. 96 (7): 854-859. Puja I K. 2007. Anjing Kintamani Maskot Fauna Kabupaten Bangli Profil Biologi, Standarisasi dan Pemeliharaannya. Penerbit Universitas Udayana. Bali. Puja, I K. 2009. Strategi Peningkatan Mutu Genetik Anjing Kintamani Menuju Ras Dunia. Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Genetika dan Reproduksi Veteriner pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. 10 Oktober 2009. halaman 31. Quinn, P.J. 2007. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science.
Singapore.
Rad, M.A., A. Zeinali, J. Vand Yousofi, A.H. Tabatabayi and S. Bokaie. 2004. Seroprevalence and bacteriological study of canine leptospirosis in Tehran and suburban areas. Iranian J. Vet. Res. University of Shiraz 5 (2) Ser. (10), 1383: 73-80. Ramadhani, T dan B. Yunianto. 2010. Kondisi lingkungan pemukiman yang tidak sehat berisiko terhadap kejadian leptospirosis (studi kasus di Kota Semarang). Supl Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 20: S46-S54. Ratnam, S., C.O.R. Everard and C. Alex. 1994. A pilot study on the prevalence of leptospirosis in Tamilmadu state. Indian Vet. J. 71: 1059-1063. Rocha, T. 1998. A review of leptospirosis in farm animals in Portugal. Rev. Sci. Tech. Off. In. Epiz. 17(3): 699-712. Safitri, N.A., M.K. Budiasa, W. Bebas. 2013. Penyimpanan spermatozoa anjing kintamani dengan kuning telur dan bovine serum albumin 1% terhadap motilitas dan daya tahan. Indonesia Med Vet. 2 (3): 310-321. Sakamoto, M., T. Kato, F. Sato, K. Yoshikawa, M. Yoshida, K. Shiba, S. Onodera, S. Hoshina, N. Koizumi, H. Watanabe. 2005. A case of leptospirosis caused by Leptospira borgpetersenii serovar sejroe infected in Bali island, Indonesia. Kansenshoaku Zasshi. 79 (4): 194-298. 37
Sambasiva, R.R., N. Gupta, P. Bhalla, S.K. Agarwal. 2003. Leptospirosis in India and the rest of the world. Brazilian J Inf Dis. 7 (3): 178-193. Scott-Orr, H., M. Darodjat dan J. Achdijati. 1980. Kejadian leptospirosis dan brucellosis pada ternak di Indonesia. Risalah (Proc) Seminar penyakit reproduksi dan unggas. Tugu, Bogor, 13-15 Maret 1980. LPPHPuslitbangnak, Deptan: 31-57. Scott-Orr, H. dan M. Darodjat. 1978. Leptospirosis: kerja pendahuluan di LPPH Bull. Lembaga Penelitian Penyakit Hewan (16): 35-44. Senthil, N.R., K.M. Palanivel, R. Rishikesavan. 2013. Sereoprevalence of leptospiral antibodies in canine population in and around Namakkal. J Vet Med. Article ID 971810, 4 pages. Soman, M., V. Jayaprakasan and M. Mini. 2014. Epidemiological Study on Human and Canine Leptospirosis in Central and North Kerala, India. Seltzer, C. R., and W.L. Jones. 1980. Leptospirosis: Methods in Laboratory Diagnosis. H.E.W Publication No. (CDC) 80-8275. Atlanta, Ga: Center for Disease Control. Swan. R.A., E.S. William and R.G. Taylor. 1981. Clinical and serological observations on horses with suspected leptospirosis. Aus. Vet. J. 57: 528529. Sykes, J.E., K. Hartmann, K.F. Lunn, G.E. Moore, R.A. Stoddard, R.E. Goldstein. 2011. ACVIM small animal consensus statement on leptospirosis: diagnosis, epidemiology, treatment, and prevention. J Vet Intern Med. 25: 1-13. Thrusfield, M. 2007. Veterinary Epidemiology. 3rd Ed. Blackwell Publishing. van de Werve, C., A. Perignon, S. Jaureguiberry, F. Bricaire, P. Bourhy, E. Caumes. 2013. Travel-releted leptospirosis: a series of 15 imported cases. J Trop Med. 20 (4): 228-231. Vijayachari P, A.P., A.N. Sugunan., Shriram. 2008. Leptospirosis: an emerging global public health problems, J Biosci 33(4): 557-569. Wagenaar, J., R.L. Zuener, David ALT and C.A. Bolin. 2000. Comparison of polymerase chain reaction assays with bacteriologic culture. Immunofuorescence, and nucleic acid hybridization for detection of leptospira borgpetersenii serovar hardjo in urin of cattle. AJVR 61(3): 316-320. 38
Wikipedia, 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Anjing_Kintamani. tanggal 1 november 2014).
(diakses
Woodward M.J., A.G. Sullivan, N.M.A. Palmer. J.C. Wooley and J.S. Redstone. 1991. Development of a PCR test specific for Leptospira hardjo genotype bovis. Vet. Rec. 128: 282 – 283. WHO. 2009. Leptospirosis Worldwide. Wkly. Epidemiology WHO. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and control. WHO Library Catalouing-in-Publication Data, Malta. 51. Yersin C, P. Bovet, F. Merien, T. Wong, J. Panawsky, P. Perolat. 1999. Human leptospirosis in Seychelles (Indiana Ocean) a population-based study. Am J Trop Med Htg 59: 933-940.
39
LAMPIRAN
40
LAMPIRAN 1 Hasil Pemeriksaan/Pengujian di Balivet Unit: Bakteriologi Lab:Leptospira
41
42
43
44
45
LAMPIRAN 2 Pembuatan Media Ellinghausen MacCullough Jonson Harris (EMJH) Bahan Penyubur No Nama Bahan 1 Bovine Serum Albumin (BSA) Fraksi V 2 Deionized Water Steril
1 Liter 10 gr 25 ml
2 Liter 20 gr 50 ml
3 Liter 30 gr 75 ml
Tambahkan deionized water kepada BSA kering kemudian disimpan dalam refrigerator selama semalem agar larut.
Membuat Media Dasar EMJH No 1 2 3 4
Nama Bahan Leptospira Medium Base EMJH (Difco) Sodium Pyruvate 10% Gliserol 10% Deionized water hingga volume akhir
1 Liter 2,3 gr 1 ml 1 ml 900 ml
2 Liter 4,6 gr 2 ml 2 ml 1800 ml
3 Liter 6,9 gr 3 ml 3 ml 2700 ml
Tetapkan pada PH 7,4 lalu disteril dengan autoklaf selama 15 menit. Setelah sterilisasi, media dasar EMJH disimpan.
Bahan Tambahan (supplement) Bahan berikut ini setelah dilarutkan kemudian ditambahkan kepada larutan BSA fraksi V yang telah dicairkan. No
Nama Bahan
Tambahkan
Kepada BSA
cair
100 ml
200 ml
300 ml
1
1% CaCl2.2H2O (0,5 gr dilarutkan dalam 50 ml dH2O)
1 ml
2 ml
3 ml
2
1% MgCl2.6H2O (0,5 gr dilarutkan dalam 50 ml dH2O)
1 ml
2 ml
3 ml
3
0,4% ZnSO4.7H2O (0,2 gr dilarutkan dalam 50 ml dH2O)
1 ml
2 ml
3 ml
4
0,3%
0,1 ml
0,2 ml
0,3 ml
CuSO4.5H2O
(0,3
gr 46
dilarutkan dalam 100ml dH2O) 5
0,5% FeSO4.7H2O (0,5 gr dilarutkan dalam 100 ml dH2O)
10 ml
20 ml
30 ml
6
0,02% Cyanocobalamin (0,02 gr dilarutkan dalam 100 ml dH2O)
1 ml
2 ml
3 ml
7
10% Tween 80 (5 gr dilarutkan dalam 50 ml dH2O
12,5 ml
25 ml
37,5 ml
8
10 mg/ml 5-Fluorouracil (0,2 gr dilarutkan dalam 20 ml PBS)
20 ml
40 ml
60 ml
9
Serum kelinci normal yang telah diinaktif pada 56oC, 30 menit
20 ml
40 ml
60 ml
Setelah semua bahan larut dalam BSA, dijadikan pH 7,4 kemudian disteril dengan filter ukuran 0,45 µm.
Medium EMJH cair No
Nama Bahan
1 liter
2 liter
3 liter
1
Media dasar EMJH
900 ml
1800 ml
2700 ml
2
Bahan enyubur + supplement
100 ml
200 ml
300 ml
Medium EMJH semisolid Agar Noble (Difco) sebanyak 2 gram ditambahkan kedalam 900 ml medium dasar EMJH lalu dipanaskan untuk melarutkan agar. Selanjutnya disteril dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah suhu medium dasar mencapai 50oC lalu tambahkan 100 ml bahan penyubur kemudian dikemas kedalam beberapa botol. No
Nama Bahan
1 Liter
2 Liter
3 Liter
1
Media dasar EMJH + Agar Nobel
900 ml
1800 ml
2700 ml
2
Bahan penyubur supplement
100 ml
200 ml
300 ml
+
47
Kontrol Kualitas Media Media EMJH cair atau semisolid yang dikemas dalam beberapa botol kemudian dimasukkan kedalam inkubator suhu 37oC selama semalam (16 jam). Setelah diinkubasi masukkan media kedalam waterbath suhu 56oC selama 1 jam kemudian masukkan kembali kedalam inkubator diamkan selama semalam. Setelah inkubasi kondisi media EMJH dilihat, jika berubah dari bening menjadi keruh berarti media tercemar dan tidak dapat digunakan.
Phosphate Buffer Saline. A. Sorensen’s
B. Saline
Larutan A. Sorensen’s sebanyak 80 ml.Larutan B. Saline sebanyak 920 ml.
Na2HPO4 8,33 gr
NaCl 8,5 gr
KH2PO4 1,09 gr
Aquadest 1000 ml
Campurkan kedua larutan hingga merata lalu tetapkan pada pH 7,5 kemudian disteril dengan autoklaf selama 15 menit.
Aquadest 1000 ml
48
LAMPIRAN 3
Hasil analisis terhadap umur Mann-Whitney Test Ranks
Serum
Umur
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Dibawah setahun
30
27.50
825.00
Diatas setahun
25
28.60
715.00
Total
55
Test Statisticsa Serum Mann-Whitney U
360.000
Wilcoxon W
825.000
Z
-.379
Asymp. Sig. (2-tailed)
.704
a. Grouping Variable: Umur
Hasil Analisis Terhadap Jenis Kelamin. Ranks
Serum
Kelamin
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Betina
27
26.89
726.00
Jantan
28
29.07
814.00
Total
55
Test Statisticsa Serum Mann-Whitney U
348.000
Wilcoxon W
726.000
Z
-.756
Asymp. Sig. (2-tailed)
.450
a. Grouping Variable: Kelamin
49