ISSN : 1978-4333, Vol. 04, No. 03
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI KAMPUNG KUTA Local Wisdom of Water Resource Management in Kampung Kuta *)
Tia Oktaviani Sumarna Aulia dan Arya Hadi Dharmawan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB *) Email :
[email protected]
Diterima 8 November 2010 / Disetujui 25 November 2010
ABSTRACT Water is important resources to fulfill human needs. So, water resources must managed properly in order to maintain the sustainability of resources. Water resources management should adapt to each area’s characteristic because it has different local wisdom. Local wisdom not only as the features of a community, but also as the effort for ecological environment sustainability. The purpose of this research is to identify the form of local wisdom that existed in Kampung Kuta and identify local wisdom implementation in taking care of water resources sustainability. The method of this research is qualitative approach with descriptive research type. Researcher uses methodologies triangulation that is deep interview, limited of perception shares, and observation. This research is conduct in the countryside of Karangpaningal, District of Tambaksari, Sub-Province of Ciamis, Province of West Java. The result of this research shows existence of Pamali as the form of local wisdom that defended society in by generations. The form of pamali that become obligatory tradition norm of society that is continuity of tradition house, enjoinment of dead body obsequies, enjoinment of well making, and continuity Hutan Keramat. Pamali has given positive impact of water resources sustainability in Kampung Kuta. This condition are proved with the of appreciation Kalpataru in the case of environment sustainability in 2002. Keyword: Local Wisdom, Water Resources, Kampung Kuta, Pamali PENDAHULUAN Latar Belakang Kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan diarahkan untuk kepentingan jangka panjang. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi lahan pertanian, relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan ekonomi. Maka diperlukan adanya suatu pengelolaan terhadap sumberdaya air agar keberadaannya tetap bermanfaat dan
berkelanjutan untuk kepentingan jangka panjang. Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat. Salah satu kampung adat yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah Kampung Kuta yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini dikenal sangat menghormati warisan leluhurnya. Adat dan tradisi menjadi salah satu peninggalan leluhur yang tidak boleh dilanggar. Kampung ini dikategorikan sebagai kampung adat karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan
5Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | Desember 2010, hlm. 345-355
bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya (Mustafid, 2009). Seperti halnya kampung-kampung adat yang masih mempunyai undang-undang atau aturan main, Kampung Kuta memiliki aturan main dalam pengelolaan sumberdaya agar dapat menciptakan kelestarian bagi lingkungan. Rumusan Masalah Pengelolaan sumberdaya air di hulu sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya air tersebut. Melalui pengelolaan daerah hulu yang baik maka masyarakat akan mendapatkan manfaat penghidupan yang lebih baik dan lebih pasti dari keberadaan air bersih. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu semakin sulit dilakukan, air semakin mengalami kelangkaan. Pengelolaan yang buruk di hulu akan berakibat pada kehancuran di hilir. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengelola sumberdaya air melalui kearifan lokal. Hanya sebagian kecil masyarakat pada daerah-daerah khusus yang mampu melakukan pelestarian sumberdaya air di daerah hulu, salah satunya Kampung Kuta yang memiliki kearifan lokal melalui budaya pamali dalam pelestarian lingkungan. Maka perumusan masalah yang dapat diambil untuk penelitian ke depan yaitu: 1.
Bagaimana bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta?
2.
Bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumberdaya air?
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas tersusunlah tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.
Mengetahui bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta.
2.
Menganalisa implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumberdaya air.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya air, khususnya kepada: 1.
Bagi peneliti, dapat menganalisis kearifan lokal yang terdapat di Kampung Kuta terkait dengan pengelolaan sumberdaya air.
2.
Bagi akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau referensi untuk penelitian selanjutnya.
3.
Bagi masyarakat khususnya komunitas Kampung Kuta, penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang kearifan lokal yang mereka miliki sehingga mereka senantiasa menjaga dan selalu melestarikan kearifan lokal tersebut.
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Komunitas Adat Menurut Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010), pemahaman lebih luas mengenai komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas. Komunitas adat menurut Siregar (2002) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur, di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik. Kearifan Lokal Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999 sebagaimana dikutip oleh Arafah, 2002). Sedangkan menurut Zakaria (1994) sebagaimana dikutip oleh Arafah (2002), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan modelmodel pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang
346 | Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. et. al. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta
terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah: 1.
Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2.
Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3.
Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4.
Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
modernisasi, dan kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan. Soekanto (2002), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti: 1.
bertambah/berkurangnya penduduk,
2.
penemuan-penemuan baru,
3.
pertentangan/konflik masyarakat, dan
4.
terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya adalah: 1.
sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,
Pengelolaan Sumberdaya Air
2.
peperangan, dan
Pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan air dan pengendalian daya rusak air (Kodoatie dan Sjarief, 2005). Menurut Grigg (1996) dalam Kodoatie dan Sjarief (2005), pengelolaan sumberdaya air didefinisikan sebagai aplikasi dan cara struktural dan non-struktural untuk mengendalikan sistem sumberdaya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Tindakan struktur (structural measures) untuk pengelolaan air adalah fasilitas-fasilitas terbangun (constructed facilities) yang digunakan untuk mengendalikan aliran dan kualitas air. Tindakan-tindakan non-struktural (non-structural measures) untuk pengelolaan air adalah program-program atau aktifitasaktifitas yang tidak membutuhkan fasilitas-fasilitas terbangun.
3.
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Beberapa aspek yang terkait pengelolaan sumberdaya air yaitu: pembekalan air minum dan industri, irigasi, PLTA, pelayaran, perikanan, rekreasi, drainase (pengelolaan limpasan hujan), pengendalian banjir, pengendalian kekeringan, pengendalian kualitas air, pengendalian dalinitas, pertahanan nasional, hubungan internasional dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
Kerangka Pemikiran Kearifan lokal di Kampung Kuta dalam pengelolaan sumberdaya air melalui Hutan Kerama bermanfaat dalam menjaga keseimbanga alam, keberlanjutan sumberdaya air, dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Mengacu pada Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), kearifan lokal mencakup bentuk-bentuk tentang sumberdaya air tersebut. Bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, sanski dan aturanaturan khusus. Bentuk kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya air. Kearifan lokal ini akan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dalam proses pelaksanaannya. Kedua faktor ini sangat memungkinkan akan menyebabkan terjadinya perubahan kearifan lokal. Gambar 1 menjelaskan gambaran mengenai kerangka pemikiran yang akan dikaji dalam penelitian.
Perubahan Sosial Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No. 3 2011 | 347
Definisi Konseptual 1.
Pengelolaan Sumberdaya Air adalah upaya pemanfaatan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya.
2.
Kearifan lokal adalah suatu kebijaksanaan, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan/etika masyarakat lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, diwariskan, penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil dari timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya.
3.
Bentuk-bentuk kearifan lokal adalah suatu ciri yang membangun kearifan lokal tersebut sehingga kearifan lokal tersebut memiliki wujud. a.
Nilai adalah suatu perbuatan atau tindakan yang oleh masyarakat dianggap baik. Nilai dalam setiap masyarakat tidak selalu sama, karena nilai di masyarakat tertentu dianggap baik tapi dapat dianggap tidak baik di masyarakat lain.
b.
Norma adalah suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam suatu masyarakat.
c.
Kepercayaan adalah sesuatu diyakini kebenarannya.
d.
Sanksi adalah suatu tindakan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar suatu peraturan.
e.
Aturan-aturan khusus adalah aturanaturan yang sengaja dibuat untuk suatu kepentingan tertentu.
yang
penelitian. Kerangka konseptual yang telah dibangun peneliti menjadi pengarah agar hasil penelitian dapat memenuhi tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan dalam memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskrptif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang karakteristik dari fenomena yang sedang diteliti dan hubungan antar fenomena yang sedang diteliti tersebut (Silaen, 2004). Fenomena yang diteliti tersebut adalah fenomena kearifan lokal masyarakat di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas dari kearifan lokal dan aplikasinya dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu sumberdaya air dan hutan. Selanjutnya akan di peroleh juga gambaran atau uraian tentang karakteristik serta faktor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi perubahan kearifan lokal di Kampung Kuta. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Proses penentuan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena Kampung Kuta ini dikategorikan sebagai salah satu kampung adat yang memiliki dan masih mengaplikasikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai upaya menjaga kelestaraian lingkungan. Selain itu, pada tahun 2002, Kampung Kuta mendapatkan penghargaan secara nasional dari pemerintah sebagai penerima penghargaan Kalpataru dalam hal upaya menjaga dan ramah lingkungan. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2010. Teknik Pengumpulan Data
4.
Implementasi kearifan lokal adalah suatu penerapan/aplikasi bentuk kearifan lokal yang dilakukan komunitas adat yang sesuai dengan aturan adat yang memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai, dan sikap dari komunitas adat tersebut (Susilo, 2007 dalam Mawardi, 2009).
Informasi harus dikumpulkan dari berbagai sumber, karena tidak ada satu pun sumber informasi tunggal yang dapat memberikan perspektif yang menyeluruh atas suatu permasalahan. Peneliti menggunakan triangulasi metodologi untuk menggali data mengenai gambaran kearifan lokal. Triangulasi metodologi yang digunakan adalah
5.
Faktor internal adalah faktor berasal dari dalam masyarakat yang akan mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.
6.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat yang akan mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.
kombinasi dari teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan berperanserta terbatas dan penelusuan (analisis) data sekunder. Triangulasi metodologi tersebut yaitu:
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengambil fakta berdasarkan pemahaman subyek penelitian, mengetengahkan hasil pengamatan itu secara sangat rinci (Agusta, 1998). Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk mengidentifikasi dari keberadaan kearifan lokal di Kampung Kuta dan menggambarkan kearifan lokal berdasarkan pemahaman subyek
1.
Wawancara Mendalam Untuk memilih informan, peneliti akan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu peneliti harus mengenal beberapa informan kunci terlebih dahulu dan kemudian meminta mereka untuk memperkenalkan informan lain yang dapat peneliti wawancarai. Informan kunci yang akan dipilih secara purposive yaitu kepala adat, kuncen, dan kepala dusun. Ketiga informan kunci ini dipilih karena mereka merupakan pemimpin informal dan pemimpin formal di Kampung Kuta.
348 | Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. et. al. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta
2.
Pengamatan Berperanserta Terbatas Pengamatan berperanserta menunjuk pada proses penelitian yang mempersyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti sendiri. Peneliti akan menggunakan pengamatan berperanserta-terbatas, yaitu dengan tidak merahasiakan identitas peneliti. Pengamatan akan dilakukan dengan cara wawancara informal untuk mengidentifikasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air berdasarkan persepsi tineliti.
3.
Penelusuran (analisis) Data Sekunder Penelusuran dokumen dilakukan sebagai penguatan terhadap data-data yang tidak bisa dilengkapi dari pengamatan berperanserta dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan kajian pustaka terhadap berbagai literatur, yakni jurnal, buku, makalah dan informasi dari internet yang terkait dengan topik penelitian.
yaitu Dusun Kuta yang terdiri dari satu RW dengan empat RT. Secara geografis wilayah Kampung Kuta berbatasan dengan beberapa wilayah sebagai berikut: a.
Sebelah Utara, Cibodas.
berbatasan
dengan
Dusun
b.
Sebelah Barat, Margamulya.
berbatasan
dengan
Dusun
c.
Sebelah Timur dan Selatan, berbatasan dengan Sungai Cijolang, yang sekaligus berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah.
Topografi tanah berada pada ketinggian ± 500 meter di atas permukaan air laut. Dengan demikian kondisi udara Kampung Kuta cukup sejuk. Luas wilayah Kampung Kuta sekitar 97 hektar. Tabel 1. Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010
Teknik Analisis Data Data kualitatif hadir dalam wujud catatan harian. Isi catatan harian tersebut adalah hasil-hasil pengamatan, hasil-hasil wawancara, dan kutipan dari berbagai dokumen (Sitorus, 1998). Miles dan Huberman (1992) sebagaimana dikutip oleh Sitorus (1998) mendefinisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut: 1.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menjamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil.
2.
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dapat mengambil berbagai bentuk yaitu teks naratif dan matriks, grafik, jaringan, dan bagan.
3.
Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas kesimpulan itu dengan cara: memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat untuk
Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 yaitu sebanyak 298 jiwa terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 145 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 153 jiwa dengan kepala keluarga sebanyak 127 Kepala Keluarga (KK). Seluruh masyarakat di Kampung Kuta berkewarganegaraan Indonesia dan beragama Islam. Tabel 2. Sumber Penghidupan di Kampung Kuta Tahun 2010
Masyarakat memiliki akses terbatas terhadap pendidikan, sebagian besar hanya dapat mengenyam pendidikan sampai dengan setingkat SLTA. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang tidak tamat SD atau tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah.
KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN Keadaan Umum Kampung Kuta terletak di bagian Timur Laut Kabupaten Ciamis, berada di bagian Lembah, dikelilingi oleh tebing yang curam setinggi 30-60 meter. Kampung Kuta secara administratif berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, wilayah Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta dan di tetapkan sebagai sebuah Dusun Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No. 3 2011 | 349
Tabel 3. Tingkat Pendidikan di Kampung Kuta Tahun 2010
Kondisi Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Kuta diantaranya sarana transportasi, komunikasi, dan peribadatan. Sarana transportasi yang sudah cukup baik, jalan utama dapat dilalui oleh kendaraan darat apa saja meskipun kondisi jalan belum di aspal seluruhnya, beberapa jalan kondisinya masih berbatu.Jarak tempuh dari Kampung Kuta ke Desa, Kecamatan dan Kabupaten yaitu:
Kampung Kuta ke Desa Karangpaningal : 1 km
Kampung Kuta ke Kantor Camat Tambaksari : 4 km
Kampung Kuta ke Ibukota Kabupaten Ciamis : 45 km
kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebingtebing/perbukitan. Nama kuta sendiri dalam bahasa Sunda berbarti pagar tembok. Asal- usul Kampung Kuta terdiri atas dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu Kampung Kuta pada masa kerajaan Galuh dan pada masa Kerajaan Cirebon. Versi Kampung Kuta pada masa Kerajaan Galuh ini dimulai pada awal pendirian Kerajaan Galuh. Seorang Raja Galuh bernama Prabu Ajar Sukaresi sedang mengembara bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman. Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan kerajaan. Versi asal- usul Kampung Kuta pada masa Kerajaan Cirebon diawali oleh dua kerajaan yang menaruh perhatian besar terhadap Kampung Kuta, yaitu Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram Solo. Akhirnya Raksabumi menjadi pemimpin di Kampung Kuta atau penunggu dan penjaga daerah Kuta (kuncen) hingga akhir hayatnya. Setelah meningga Raksabumi dimakamkan di Cibodas dan dikenal dengan nama Ki Bumi. Beliau dianggap sebagai cikal bakal dan leluhur yang menurunkan masyarakat Kuta. Raksabumi adalah pemimpin pertama dan sampai sekarang Kampung Kuta tetap dipimpin oleh keturunan Ki Bumi. Kepercayaan Masyarakat
Sarana komunikasi yang berkerkembang di Kampung Kuta yaitu handphone (telepon genggam) dan televisi (menggunakan parabola). Terdapat Pasanggrahan dan Bale Sawala yang biasanya digunakan untuk keperluan acara adat. Daerah I Masyarakat Adat Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 2010. Pemenuhan kebutuhan rohani terutama dalam hal peribadatan, di Kampung Kuta sudah terdapat satu mesjid dan satu mushola. Terdapat enam warga yang membuka warung kecil di depan rumahnya. Sarana pemandian umum atau jamban dimanfaatkan oleh mayoritas masyarakat Kampung Kuta. Organisasi Kemasyarakatan Kehidupan masyarakat Kampung Kuta tampaknya banyak mengalami kemajuan dibidang material dan spiritual. Kemajuan-kemajuan ini disadari oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai hasil usaha yang mereka lakukan sendiri. Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat Kampung Kuta mengakibatkan kebutuhan di segala bidang terus meningkat. Keberhasilan masyarakat Kampung Kuta tidak terlepas dari kearifan pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal masyarakat adalah kepala dusun yang dibantu oleh seorang ketua RW dan empat ketua RT. Pemimpin informal adalah kuncen yang memiliki pengaruh besar dalam penataan kehidupan bermasyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari kuncen dibantu oleh seorang ketua adat, seorang wakil ketua adat, seorang sekretaris adat, dan seorang bendahara adat.
Masyarakat Kampung Kuta memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan keyakinan terhadap makhluk gaib. Mereka meyakini di dalam Hutan Keramat tinggal makhluk-makhluk gaib yang menguasai serta mengendalikan seluruh wilayah Kuta. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa makhluk-makhluk gaib itulah yang menetapkan aturan-aturan yang secara turuntemurun ditaati oleh semua orang termasuk kuncen. Ketaatan terhadap tabu yang berlaku tersebut, didasarkan oleh rasa takut akan akibat yang harus ditanggung apabila melanggarnya. Upacara Adat Masyarakat Kampung Kuta hingga kini masih melaksanakan berbagai upacara/ritual adat yaitu diantaranya: 1.
Upacara ini merupakan upaca wajib yang selalu dilakukan pada tanggal 25 Safar (Kalender Hijriah). Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki dan terhindarnya malapetaka yang menimpa masyarakat Kampung Kuta. 2.
Upacara Hajat Bumi Upacara ini merupakan bagian dari upacara Nyuguh, sebelum dilakukan Nyuguh, masyarakat akan memulai upacara Hajat Bumi di bale dusun. Upacara ini pun melibatkan seluruh masyarakat Kampung Kuta. Tujuannya adalah untuk mensyukuri keberhasilan dalam bercocok tanam terutama padi dan juga memohon perlindungan pada masa tanam yang akan datang.
SEJARAH KAMPUNG KUTA Cerita Rakyat Nama Kampung Kuta diberikan karena sesuai dengan lokasinya yang berada di lembah curam sedalam
Upacara Nyuguh
3.
Upacara Babarit
350 | Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. et. al. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta
Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi gejalagejala alam seperti gempa bumi, kemarau panjang, banjir atau kejadian alam lainnya. Upacara ini dipimpin oleh ajengan dan kuncen dengan membaca doa untuk memohon kepada penguasa alam dan para karuhun agar masyarakat terhindar dari bencana. Upacara ini dilengkapi dengan sesajian dan makanan sebagai persembahan kepada para leluhur. Selain masih mempertahankan berbagai upacara adat, masyarakat Kampung Kuta mengenal berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern, diantaranya: calung, reog, sandiwara (drama sunda), tagoni, keliningan, jaipongan, qasidah, ronggeng, dan kesenian dangdut. Kesenian tersebut dipertunjukkan pada saat hajatan perkawinan atau pada saat penerimaan tamu kampung. Kelompok kesenian yang terdapat di Kuta, yaitu: Degung, terbang, gondang, dan tayuh/tayuban. BUDAYA PAMALI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG KUTA Masyarakat Kampung Kuta memiliki kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh leluhur. Kearifan lokal masih tetap dijalankan sampai saat ini karena sifatnya amanah sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta. Bentuk kearifan lokal yang sudah dijalankan masyarakat Kuta tersebut yaitu budaya pamali. Pamali (tabu) adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat. Tabu atau pamali terungkap dalam prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Prinsip-prinsip yang disebutkan pada Tabel 4. dianggap sebagai kearifan tradisional/kearifan lokal karena berasal dari warisan leluhur yang telah berlaku secara turun temurun. Di Kampung Kuta, prinsip tradisional tersebut masih berlaku sebagai pranata sosial yang dapat mengandalikan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam atau dengan sesamanya.
Prinsip-prinsip utama di atas dibedakan menjadi dua bagian yaitu prinsip utama yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (1 - 5) dan prinsip yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (6 - 21). Kelima prinsip yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan norma adat yang sangat mengikat masyarakat karena sudah dilakukan secara turun-temurun dan diketahui oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta. Jadi, yang ditekankan dalam budaya pamali adalah pelestarian bentuk rumah, larangan penguburan mayat, larangan membuat sumur, dan peraturan mengenai Hutan Keramat. Tabel 5. Bentuk Kearifan Lokal yang Ditekankan di Kampung Kuta
Tabel 4. Prinsip-prinsip Utama dalam Budaya Pamali
Budaya pamali memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh masyarakat Kampung Kuta. Setiap orang yang melanggarnya selalu mendapatkan balasan yang diyakini berasal dari karuhun mereka yang murka. Pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh penduduk kampung. Bentukbentuk musibah yang datang dapat bermacam-macam seperti penyakit, serangan hama tanaman, gempa bumi berupa tanah longsor, angin topan atau banjir, dan bahkan kematian. Kampung Kuta memiliki ciri khas yaitu mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No. 3 2011 | 351
Keaslian turun temurun tetap dapat dipertahankan karena mereka masih patuh dan taat pada aturan yang berlaku dari leluhurnya dan merupakan salah satu bagian dari budaya pamali. Bentuk rumah di Kampung Kuta terikat oleh suatu aturan dalam bentuk dan bahan bangunan yang digunakan, kriteria dari rumah adat tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Rumah Adat Kampung Kuta Tahun 2010
Untuk memasuki Hutan Keramat harus ditemani dan meminta bantuan kuncen sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di Hutan Keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga Hutan Keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu Hutan Keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Dalam memasuki Hutan Keramat diwajibkan untuk mentaati aturan-aturan berikut: 1.
Tidak boleh memasuki Hutan Keramat, kecuali hari Jum’at dan Senin.
2.
Tidak boleh menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal).
3.
Tidak boleh mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas.
4.
Tidak boleh meludah, buang air kecil dan besar di areal Hutan Keramat.
5.
Tidak boleh membawa alat-alat yang terbuat dari besi seperti golok dan sabit.
6.
Tidak boleh mengenakan pakaian serba hitam.
7.
Tidak boleh mengenakan pakaian dinas.
8.
Tidak boleh menangkap apalagi membunuh binatang yang ada di Hutan Keramat.
9.
Tidak boleh mematahkan ranting apalagi menebang pohon-pohon yang ada di Hutan Keramat.
10. Tidak boleh membuang sampah yang mengandung api. 11.
Tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (sompral).
12. Tidak boleh memasuki Hutan Keramat tanpa didampingi oleh kuncen. IMPLEMENTASI DAN DINAMIKA KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Implementasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan salah satu budaya pamali yang sangat ditekankan di Kampung Kuta. Untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat pemandian umum, menggunakan selang plastik/paralon dan bambu ke tempat penampungan atau pemandian umum. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Pemasanganan selang/paralon harus dilakukan dari hulu ke hilir sehingga air dapat mengalir dengan baik. Berdasarkan pernyataan Bapak Krmn diatas, tahap pemasangan selang/paralon yaitu: 1.
Melakukan penggalian tanah sekitar lima puluh sentimeter.
2.
Memasukkan selang/paralon pada galian tersebut.
3.
Menimbun selang/paralon tersebut menggunakan batu atau ijuk. Batu atau ijuk digunakan agar selang tertahan dan tidak keluar dari galian tersebut.
4.
Untuk mengalirkan air, selang/paralon yang digunakan sekitar lima sampai sepuluh lente (satu lente sama dengan empat meter).
Terdapat empat orang yang sudah menggunakan jet pump (Sanyo) untuk menarik air. Mata air yang ditarik menggunakan Sanyo adalah mata air Cibungur, salah satunya dimanfaatkan oleh Bapak Krmn (Ketua Adat) untuk menarik air ke samping rumahnya dan pemandian umum untuk tamu di dekat Pasanggrahan. Mayoritas masyarakat Kampung Kuta lebih memilih untuk memanfaatkan air yang ada di pemandian umum. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar sudah terbiasa untuk pergi ke pemandian umum meskipun letaknya jauh dari rumah. Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang terdapat di dalam Hutan Keramat. Selain digunakan untuk membasuh diri, air dari kawah dan
352 | Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. et. al. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta
Ciasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol. Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengahnya lagi untuk dipenuhi dengan air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan. Harus terus diminum. Sumberdaya air yang terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh yang ditemani oleh kuncen.Pengelolaan Hutan Keramat merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya air yang ada di dalamnya. Sumberdaya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebuthan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebebkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam Hutan Keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya Budaya pamali dalam pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelstarian ekosistem di dalamnya maka, sumberdaya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik. Dinamika Kearifan Lokal Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan. Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
2.
Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya.
3.
Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman tahunan sekitar mata air.
4.
Melestarikan kesenian setempat seperti Ronggeng Tayub, Terbang, dan Gondang Buhun.
5.
Melestarikan upacara adat setempat Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.
yaitu
Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur, dan pelarangan menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian sumberdaya alam. Hubungan kearifan lokal dan implikasi pelestarian sumberdaya alam dijelaskan pada Tabel 7. Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyakat Kampung Kuta memberikan hasil dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah membawa masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional tahun 2002 yang penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali. Manfaat yang dapat dirasakan dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu: 1.
Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.
2.
Menumbuhkan pola hidup sederhana.
3.
Kerusakan lingkungan ditekan/dikendalikan.
4.
Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau airnya tetap tersedia.
5.
Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.
6.
Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.
7.
Memiliki potensi Kampung Kuta.
hiburan
tradisional
dapat
khas
Tabel 7. Pamali dan Implikasinya terhadap Pelestarian Sumberdaya Alam
Implikasi Kearifan Lokal Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian hutan dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Masyarakat secara sadar melakukan pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan secara turun-temurun. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali yaitu: 1.
Melestarikan rumah adat dusun Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No. 3 2011 | 353
Proses pelanggengan kearifan lokal budaya Pamali dilakukan dengan penurunan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali. PENUTUP Kesimpulan Kampung Kuta adalah salah satu kampung adat yang diakui keberadaannya yang terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat Kampung Kuta adalah dalam bentuk budaya pamali yang sudah dikenal dan merupakan amanah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka dan berkembang menjadi norma yang mengatur perilaku masyarakat lokal. Tabu atau pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan prinsip- prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal yang ada, terdapat empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Keempat hal tersebut adalah pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta, pelarangan pembuatan sumur, dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-aturan pamali tersebut. Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat karena bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung Kuta. Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal secara nyata. Sekalipun demikian terdapat indikasi awal adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang masuk, seperti penggunaan teknologi mesim pompa air, modifikasi bentuk rumah dan gaya modern, dan penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata. Namun, hingga saat ini masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali.
Kearifan lokal budaya pamali berdampak bagi kelestarian sumberdaya alam di Kampung Kuta. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian lingkungan pada tahun 2002. Kearifan lokal pamali ini diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air demi terciptanya kelestarian sumberdaya alam. Dengan adanya pelarangan pembuatan sumur di Kampung Kuta maka sumberdaya air termanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat nyipuh di dalam Hutan Keramat. Sumberdaya air ini diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Sementara untuk ritual adat, digunakan sumber air dari Ciasihan dan Pamarakan yang ada di dalam Hutan Keramat. Saran Perlu diadakan penelitian lanjutan yang berkaitan kearifan lokal masyarakat Kampung Kuta. Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti, memungkinkan masih banyak hal-hal lain yang masih belum tergali. Dengan diketahuinya kearifan lokal masyarakat yang lebih mendalam, maka diharapkan akan menjadi modal dalam menentukan bentuk pembangunan yang ideal dijalankan di lokasi penelitian. Masyarakat Kampung Kuta sudah berhasil dalam mempertahankan kearifan lokal yang terangkum dalam budaya pamali. Namun, dengan dipeolehnya penghargaan Kalpataru dalam kategori masyarakat pelestari alam dan lingkungan dari Pemerintah Pusat, ada kecenderungan Kampung Kuta seperti dijadikan daerah tujuan wisata budaya dan alam. Oleh karena itu, masyarakat dengan dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Daerah lebih selektif dalam menerima tamu atau pihak-pihak yang ingin mengunjungi Kampung Kuta.
DAFTAR PUSTAKA Agusta, I. 1998. Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor.
354 | Aulia, Tia Oktaviani Sumarna. et. al. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta
Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta. Mawardi, 2009. Implementasi Kurikulum: Sebuah Prinsip Dasar. http://mawardiumm.blogspot.com/2009/08/implem entasi-kurikulum-sebuah- prinsip.html. diakses 18 April 2010, pukul 02.23. Mitchell, Bruce, B Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Mustafid. 2009. Kampung Kuta; Dusun Adat Yang Tersisa Di Ciamis. http://artikelindonesia.com/kampung-kuta-dusunadat-yang-tersisa-di-ciamis.html. diakses 7 April 2010, pukul 11:30.
Ridwan, N. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. diakses 22 Maret 2010, diakses 7 April 2010, pukul 11:20. Saleh, T. dan Rasul, R. 2008. Pengenalan Pengelolaan Sumberdaya Air. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/db203 26d7baed0dca1bebc8428f6f2ee4fbd2e0b.pdf. diakses 20 November 2009, pukul 12:48. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat: Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Silaen, Sofar. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Remaja Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta:BPI-LIPI dan PT. Tugu Pratama Indonesia. Siregar, B. 2002. Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Jakarta. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Grafindo Persada. Tishaeni, H. 2010. Keberlanjutan Komunitas Adat Kampung Cireundeu Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 4, No. 3 2011 | 355