mikian juga pukulan Halayudha terasa sangat keras menerpa. "Kita maju," bisik Gendhuk Tri berani. "Ayo...." Singanada menjawab tanggap. Seolah mengerti bahwa tujuan utama Gendhuk Tri sekarang ini adalah maju ke arah Baginda atau setidaknya Putra Mahkota. Hanya dengan menawan tokoh paling berpengaruh ini, pertarungan bisa segera diakhiri. Akan tetapi keliru kalau menyangka bisa dilakukan dengan mudah. Karena sejak awal justru Baginda, Putra Mahkota, serta Permaisuri Indreswari dijaga sangat ketat. Upasara menggeserkan kakinya, kebutan kainnya menyebabkan Cebol Jinalaya terpental ke atas, dan segera diamankan dengan tarikan kain. Seakan mengapung di atas permadani yang nyaman. "Enak...! "Enak sekali."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Pegang setagen!" Peringatan Upasara begitu cepat. Begitu Cebol Jinalaya memegangi setagen seperti halnya Permaisuri Rajapatni, tubuhnya kembali melayang. Ikut terbawa tubuh Upasara Wulung yang melayang ke atap Keraton. Permaisuri Rajapatni menutup matanya, mengikuti arah angin yang membawanya. Bagian atap juga bukan bagian yang kosong, karena serangan sudah menunggu di sana. Puluhan tombak menyambut Upasara yang menggerung keras sambil mengebutkan kainnya. Lima prajurit terpental jatuh ke bawah, yang lainnya tersingkir. Sehingga Upasara bisa melayang turun. Menginjak atap dengan tenang. Dengan gagah. Begitu juga tubuh Permaisuri Rajapatni dan Cebol Jinalaya. Empuk, lembut. Gerakan Upasara bukan sekadar memamerkan tenaga dalam yang diatur secara sempurna. Tersalur lembut sehingga Permaisuri Rajapatni dan Cebol Jinalaya tidak merasakan guncangan yang berarti, sementara tangan kiri memutar menahan serangan dan tangan kanan mengedut keras merampas serangan. Dengan menempatkan diri di atas, Upasara bisa melihat suasana sekitar lebih jelas. Dan makin yakin bahwa kepungan sudah temu gelang bagai sabuk tebal mengelilingi seluruh Keraton. Sampai ke alun-alun, prajurit siap siaga. Itu tak terlalu merisaukan.
Yang menjadi pikirannya justru ketika Barisan Padatala bergerak bersama-an. Meluncur ke atas dan menyebabkan angin serangan berbeda arahnya. Resres, Wacak, Taletekan bergerak secara bersamaan, dengan gerak yang sama, akan tetapi hasil pukulannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sama-sama memukul ke depan, akan tetapi tenaga pukulan Resres, seperti namanya, mengapung, dan tenaga dalam Wacak menyentuh keras, sementara Taletekan mengisi sela-selanya. Kedutan keras kain Upasara jadi terpatah-patah. Tiga kali Upasara berusaha memapak serangan, hasilnya kainnya mulai menggelendong. Menjadi kaku di satu bagian, dan lembut di bagian lain. Satu totolan keras, membuat Upasara melayang turun kembali.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Bagus, Kakang...." "Pemandangan yang bagus," tambah Singanada memberi komentar. Bukan hanya bagus dipandang. Tapi juga mengagumkan. Itulah yang terpikirkan oleh Halayudha yang lebih memusatkan perhatian kepada pertarungan Upasara daripada menggempur Gendhuk Tri-Singanada. Karena justru di tengah jalan, Upasara memutar tubuhnya. Mengedut ke atas. Kainnya terbuka lebar, menggulung Barisan Padatala yang melayang turun. Luar biasa hebat! Di saat tubuhnya diganduli dua tubuh lain, yang satu putri jelita dan satunya manusia cebol hitam yang masih meluncur turun, Upasara bisa membalikkan tubuh. Menyerang tanpa mengganggu yang mengikuti. Tenaga kedutannya begitu keras, sehingga Barisan Padatala mengeluarkan seruan yang tak bisa dimengerti. Tubuhnya tertahan di angkasa, sementara prajurit lain yang ikut menyergap terpental jauh. Upasara sedikit heran. Karena Barisan Padatala yang diduga memberi perlawanan keras ternyata bisa ditahan begitu saja. Bahkan menunjukkan kemampuan mereka bertiga tak terlalu istimewa dari segi pengaturan tenaga dalam. Keistimewaan sebagai barisan hanyalah arah serangan yang berbeda-beda, dan berbeda-beda pula daya gempurnya. Akan tetapi Upasara justru lebih waspada. Kalau tokoh yang diunggulkan di barisan terdepan kemampuannya tak lebih istimewa seperti yang sekarang terlihat, pasti masih ada yang disembunyikan.
Itu yang perlu diwaspadai. Maka Upasara bergerak cepat. Lipatan setagen dirapatkan, sehingga Cebol Jinalaya dan Permaisuri Rajapatni seakan melengket di punggungnya. Barisan Padatala turun dengan berjungkir-balik. Saling menjaga. Mengepung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Gelang di kakinya mengeluarkan suara berdering. "Pagebluk!" Perintah Putra Mahkota membuat Halayudha mengerutkan keningnya. Bukan karena pagebluk berarti kematian serentak dan berturut-turut, akan tetapi dengan abaaba seperti itu lawan sempat mempersiapkan diri. Kalau jurus kunci yang merupakan jurus maut dikeluarkan pada babak-babak awal, masih bukan hal yang luar biasa. Akan tetapi kalau orang luar ikutan memberi perintah, padahal tidak cukup menguasai, akibatnya bisa mengurangi daya serang. Apalagi yang dihadapi adalah ksatria lelananging jagat! "Adik manis, awas...!" Teriakan Upasara bagai guntur keras. Tubuhnya tergulung bagai kitiran, bagai baling-baling yang pesat sekali. Putaran Bumi SlNGANADA mengeluarkan pujian kagum. Akan tetapi segera merasakan tubuhnya sempoyongan. Hanya karena Gendhuk Tri mendampingi rapat, Singanada masih bisa bertahan. Akan tetapi perlahan pandangannya mengabur, kakinya lemas, dan kedua tangannya seperti melayanglayang. Baginda menggaruk rambut kepalanya. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan di depan prajuritnya, di dekat abdinya. Ada sesuatu yang tak bisa dimengerti. Sejak tadi bisa mengkuti jalannya pertarungan, dengan jelas. Sejak Upasara seolah rajawali terbang yang dengan gagah turun dan naik, menyambar dan menyapu kiri-kanan sampai ketika mendadak tubuhnya bergulung. Baginda boleh dikata mengetahui ilmu dasar Upasara Wulung, yang bisa bergulung. Ditambah dengan latihan tenaga dalam dan pemecahan dari Kitab Bumi, pastilah kemampuannya luar biasa. Namun bahwa dengan menggulung diri, semua prajurit dan senopati di sekitarnya jadi ambruk bersamaan, itu di luar dugaan sama sekali.
Bahkan dalam jarak yang cukup jauh, Mahapatih Nambi pun jatuh! Juga tubuh Halayudha, karena penggendongnya telungkup tak bangun lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Barisan depan yang terdiri atas puluhan prajurit rebah ke tanah seketika! Ilmu ajaib macam apa lagi yang dipamerkan Upasara? Dari sekian banyak kidungan dalam Tumbal Bantala Parwa, boleh dikatakan hanya beberapa yang membuat Baginda seperti mengenali jurus-jurus baru, karena dasarnya cukup diketahui. Jurus baru yang baru saja diperlihatkan Upasara adalah jurus Satebah Lemah, Sanyari Bumi, yang ternyata bisa mengecoh Halayudha. Lalu gerakan yang baru saja dilakukan. Dari sumbernya, Baginda bisa mengenali bahwa putaran tubuh Upasara adalah Putaran Bumi, atau dikenal dalam kidungan sebagai Putaran Dhomas Bumi. Yang mengambil kekuatan bumi, berputar seperti bumi dengan kecepatan delapan ratus kali, dhomas! Itu memang luar biasa. Delapan ratus kali lebih cepat. Akan tetapi Baginda juga menyadari bahwa sebutan dalam kidungan atau dalam ilmu silat tidak berlaku mutlak. Sebutan dhomas tidaklah bisa diartikan sebagai apa adanya kata tersebut. Meskipun memang luar biasa. Hanya saja, kalaupun demikian hebat, bagaimana mungkin puluhan prajuritnya, senopati yang paling kuat, termasuk Mahapatih Nambi, terpengaruh dan jatuh? Ilmu setan yang paling ganas pun rasanya belum pernah seperti yang disaksikan sekarang ini. Atau dirinya salah lihat? Baginda merasa dirinya tercekam dengan kehebatan Upasara, sehingga jalan pikirannya terlalu mengagungkan setiap gerakan yang ada. Perasaan ini disadari ketika terdengar suara dingin Putra Mahkota. "Perang telah selesai." Suara penuh kebanggaan. Baginda menahan napas. Putra Mahkota bersujud di kaki Baginda. "Mohon ampun kalau jatuh korban begitu banyak. Hamba tak ingin lebih banyak lagi." "Apa yang terjadi?" Putra Mahkota tersenyum bangga dalam hatinya ketika menyembah dan tetap menunduk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Para pendeta dari Syangka menggunakan bubuk pagebluk. Semacam racun dalam bubuk lembut. Siapa yang mengisap udara akan terpengaruh karenanya. "Hamba telah melihat latihan mereka, Baginda. "Hasilnya tak mengecewakan. "Memang ketiga Barisan Padatala ikut tumbang, akan tetapi mereka telah meminum penangkal sebelumnya. Sehingga sebentar lagi akan siuman kembali." Apa yang dikatakan Putra Mahkota terjadi. Dari puluhan orang yang rebah tak bergerak, nampak ketiga orang yang kakinya bergelang bangkit perlahan. Jalannya masih bergoyang-goyang akan tetapi sudah bisa berdiri. "Yang lainnya tak tertolong. "Mohon ampun, Baginda." Sejauh Baginda memandang, tak ada yang bergerak. Benar luar biasa. Dalam jarak yang cukup jauh yang mengisap bubuk pagebluk seketika itu roboh dan tak bangun lagi. Bahkan tokoh yang cukup tangguh pun ikut terbantai. Hanya Halayudha yang masih sepenuhnya sadar. Namun ia tak bisa bergerak. Karena kebekuan kakinya yang dimatikan sarafnya, belum bisa dipulihkan. Akan tetapi bisa menyaksikan bahwa yang berada di sekitarnya ambruk tak bergerak. Termasuk Gendhuk Tri dan Maha Singanada, yang baru saja tampil sebagai pasangan pendekar yang gagah perkasa. Bubuk pagebluk, bubuk yang paling menjijikkan! Halayudha yang mengaku sering merencanakan tipu muslihat yang paling busuk pun tak menyangka bahwa Putra Mahkota akan memerintahkan pemakaian bubuk pagebluk. Karena menghancurkan sekian puluh prajurit utama. Para senopati. Termasuk dirinya dan Mahapatih Nambi. Betul-betul kelewat ganas. Untuk pertama kalinya Halayudha bergidik. Kalau semasa masih menjadi putra mahkota sudah begini kejam dan memerintahkan pembantaian, bisa dibayangkan apa yang terjadi di kelak kemudian hari.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha bergidik, justru karena ia yang memerintah menyusun Barisan Saharsa Bala. Seribu prajurit yang siap mati dalam pertarungan. Namun itu masih ada alasannya. Mati karena menyerang musuh. Atau diserang. Bukan mati dikorbankan sebagaimana terkena bubuk pagebluk. Sementara Halayudha masih tertegun dan terguncang, Putra Mahkota segera memerintah agar diadakan pembersihan. "Singkirkan mayat-mayat. "Bersihkan halaman Keraton seperti semula. "Para perusuh kumpulkan jadi satu. Para prajurit yang gugur akan mendapat anugerah dariku. "Cukup!" Di akhir kalimatnya, terdengar bunyi genderang bertalu-talu dan trompet penghormatan dengan nada tinggi. Halayudha tertunduk. Makin jelas kini bahwa Putra Mahkota telah menyiapkan segala sesuatu dengan rinci. Termasuk upacara mengeluarkan sabda yang diakhiri dengan bunyi genderang dan terompet tanduk, yang biasanya hanya mengiringi raja. Sempat terlintas dalam benak Halayudha, bahwa kini keadaannya pun bisa terancam. Bisa tiba-tiba terkena bubuk pagebluk atau yang sejenis dengan itu. Dada Halayudha terasa sakit. Sakit sekali. Ia merasa dirinya tidak gentar dengan ilmu yang paling sakti. Ia maju dengan gagah menghadapi Upasara Wulung yang menyandang gelar ksatria lelananging jagat. Ia tak akan gentar menghadapi ilmu hitam atau ilmu sesat seperti yang terlihat pada diri Nyai Demang. Tapi sungguh tak terbayangkan bahwa ia akan menghadapi bubuk pagebluk! Sesuatu yang tak bisa dilawan dengan ilmu silat yang sakti sekalipun. Karena berbeda tata aturannya. Halayudha merasa pedih. Pedih sekali. Ia merasa dirinya orang yang paling tidak berbudi. Mencelakakan gurunya. Menyiasati semua orang tanpa pandang bulu, tanpa peduli.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Tapi dalam batas-batas tertentu, ia tak mungkin menggunakan racun bubuk pemusnah seperti yang digunakan Barisan Padatala.
Di bawah kelicikan, tersembunyi kelicikan yang lebih keji. Tiba-tiba saja membersit perasaan eman, perasaan sayang akan nasib yang dialami oleh Upasara. Bukan karena apa, tapi semata-mata pertimbangan seorang ksatria yang begitu gagah perkasa, yang begitu tinggi ilmu silatnya, ambruk karena bubuk racun. Betapa sia-sia. Betapa tak adilnya dunia. Kalau gugatan itu lebih bergema pada diri Halayudha, sebenarnya bisa dimengerti. Kekerasan hatinya, keculasan siasatnya selama ini, diakui sendiri tak mengenal perikemanusiaan. Halayudha mengakui, dan menjadi lebih sadar ketika mempelajari Kidungan Para Raja. Tapi peristiwa sekejap yang baru saja dilihat, lebih menampar kesadarannya. Merobek dan menjungkirbalikkan pengertian-pengertian tentang kelicikan dan ketelengasan. Bibir Halayudha tergetar.
Sanggar Pamujan BAGINDA meninggalkan tempat. Tanpa memberi tanda pada para prajurit kawal pribadi. Atau para senopati. Meskipun demikian langkahnya tidak kelihatan tergesa. Melewati bagian dalam Keraton, Baginda tidak menuju kamar peraduan. Meneruskan langkah ke sisi kiri ruang utama, melewati samping luar. Kakinya menginjak kerikil-kerikil kecil yang ditata apik, sehingga menimbulkan suara kerisik berirama. Para prajurit yang mengantar bersimpuh di kejauhan. Baginda mencuci tangan, kaki, dan wajah dari air mancur kecil. Tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Sekilas wajahnya seperti tak mencerminkan apa-apa. Sunyi. Para prajurit tak ada yang berani mendongak atau melirik. Mereka hanya mendengar langkah kaki yang sangat ringan, perlahan, mendaki tangga kayu. Baginda sedang menuju sanggar pamujan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Masuk ke dalam bangunan dari kayu yang dibuat sangat sederhana. Tanpa hiasan ukiran atau tanda-tanda kebesaran. Tak ada petunjuk sebagai tempat
yang istimewa. Tak ada umbul-umbul, tak ada janur atau daun kelapa yang masih muda. Tak ada apa-apa. Selain bangunan sederhana. Juga di dalamnya. Baginda terus mendaki. Melewati 55 anak tangga, lalu masuk ke bagian luar bilik. Di sini semua pakaian kebesaran yang masih melekat dilepaskan. Baik sumping di telinga, gelang di pergelangan tangan, cincin permata, cunduk kepala, bahkan rambutnya dibiarkan tergerai. Semua tanda kehormatan dan kebesaran dibiarkan tergeletak begitu saja. Bahkan pakaiannya, kain kebesaran yang coraknya tak mungkin disamai oleh yang lain, dibiarkan tergeletak, nglumbruk di lantai kayu. Baginda hanya mengenakan kerudung kain putih yang membalut sekenanya. Memasuki bilik kecil sempit. Dalam keadaan seperti ini, Baginda merasa dirinya manusia kecil yang menghadapi alam semesta yang besar. Menjadi manusia biasa yang telanjang, juga dalam artian sebenarnya. Bersila, dengan tangan menyembah ke arah depan. Memusatkan perhatian sepenuhnya. Kalau kemudian membakar dupa, tangannya sendiri yang melakukan. Mengumpulkan dupa, menyalakan api, meniup agar dupa terbakar dan bau harum menyebar. Sendiri. Sendirian. Berhadapan dengan Dewa Yang Mahakuasa, Baginda menempatkan diri sebagaimana umat yang lain. Tak ada perbedaan derajat atau pangkat, tak ada perbedaan warna darah. Tak ada perbedaan seorang raja yang bayangan tubuhnya mampu menentukan nasib seseorang. Adalah suatu tradisi utama bagi para raja untuk bersemadi di sanggar pamujan, sanggar tempat memuja. Yang bangunannya dibuat demikian sederhana. Dari kayu, seluruhnya, tanpa pernikpernik. Tanpa dihias, tanpa penutup pintu yang istimewa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Sanggar pamujan adalah tempat yang istimewa bagi kehidupan seorang raja. Karena begitu melangkah masuk ke dalamnya, ia menjadi manusia biasa, menanggalkan semua tanda yang membedakannya dari manusia yang lain. Sendiri. Sendirian.
Memusatkan perhatian sepenuhnya kepada suara-suara gaib, kepada suara hatinya yang bertanya, dan berusaha menangkap jawaban-jawaban. Baik berupa isyarat atau perlambang. Impian atau desir angin atau suara daun jatuh. Para prajurit pengawal yang berada di kejauhan hanya bisa menunggu. Sambil melirik sesekali ke dupa yang asapnya meliuk dari dalam sanggar. Jika asap itu lurus ke atas, tanda doa Baginda diterima. Jika asapnya masih melenggok, tanda persembahan dan percakapan batin Baginda belum diterima. Sederhana. Baginda sendiri tidak mengetahui bagaimana keadaan asap di luar sanggar pamujan. Karena seluruh kemampuan lahir dan batin sedang dipusatkan kepada satu hal. Kekuasaan yang lebih tinggi. Dewa yang lebih menentukan. Keinginan Baginda untuk masuk dan bersemadi di sanggar pamujan bukan muncul begitu saja. Sejak beberapa hari terakhir, ada semacam kegelisahan yang tak bisa diusir atau ditenggelamkan dalam perintah-perintah besar. Sendiri. Sendirian. Baginda menghadapi dirinya. Menatap apa yang selama ini dilakukan, melihat dirinya sebagai raja yang memerintah, yang memutuskan segala persoalan. Menatap kembali apa yang diputuskan. Dan mempertanyakan. Serta menunggu jawaban. "Tunjukkan jalan yang seharusnya hamba tempuh, duh Dewa segala Dewa. "Di mana salah di mana keliru.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Di mana doa, di mana dusta. "Hamba menunggu dawuh, menunggu perintah." Sunyi. Sendiri. Percakapan batin yang tak terdengar selain yang mengucapkan dan yang diajak bicara. Pada saat-saat yang khusyuk seperti sekarang ini, kepakan sayap burung bisa menjadi pertanda. Angin, ujung daun, atau seekor cicak menjadi perlambang. Baginda menunggu.
Bergeming. Tak bergerak. Bersila dengan kerudung kain putih. Sesekali tangannya menaburkan dupa. Sendiri. Sanggar pamujan yang dibangun di tempat yang lebih tinggi, yang selalu kosong tanpa pernah ada yang menyentuh sejak selesai dibuat, memang diperuntukkan khusus bagi Baginda. Kalau ada debu, Baginda yang membersihkan sendiri. Kalau ada daun kering yang jatuh ke dalam, tangan Baginda sendiri yang membersihkan. Tak ada siapa-siapa. Hanya percakapan batin. Yang berlangsung dalam diam. Sendiri. Sendirian. Pertanyaan dan jawaban hanya bisa didengarkan sendiri. Pada saat semacam itu Baginda melupakan semua kebesaran dan keleluasaan yang dimiliki. Menyisihkan Keraton yang gemerlap, melupakan para permaisuri, para gundik, dan abdi, menanggalkan masalah tentang peperangan, para senopati, tentang Putra Mahkota, atau bahkan dirinya sendiri. Di sanggar pamujan semua lepas. Tanggal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Di luar, para pengawal menunggu. Sampai kapan pun akan menunggu. Dengan menjaga sebaik mungkin, agar suasana sekitar sanggar pamujan ikut menjaga ketenangan. Tak ada suara kaki berjalan. Tak ada dengusan napas dalam jarak lima puluh tombak. Bahkan semuanya, tanpa diperintah ikut bersemadi. Ikut membantu semadi Baginda. Juga di rumah kediaman para kerabat Keraton, para sentana. Baik di biliknya yang kosong, atau di tempat yang biasa digunakan untuk memuja. Bagi para sentana dalem, kehadiran Baginda ke sanggar pamujan mempunyai nilai batin yang tinggi. Sebelum memutuskan sesuatu yang penting, yang wigati, Baginda akan memasuki sanggar pamujan. Dan akan terus berada di dalamnya, sampai merasa mendapat jawaban.
Sunyi. Sendiri. Sendirian. Hanya asap dupa yang menjadi pertanda dari kejauhan. Selebihnya tak ada apa-apa. Bangunan kayu yang mati, yang tak menentukan apa-apa, tapi menjadi begitu penting. Karena justru dari bangunan kayu sederhana ini ditentukan nasib kelanjutan bangunan-bangunan utama yang megah dalam Keraton. Tiang-tiang yang sepemeluk tiga orang, seakan ditentukan dari lantai kayu di sanggar pamujan. Juga gerbang utama yang perlu delapan orang untuk membuka dan menutup. Juga takhta. Semuanya. Dari kesunyian. Kesendirian. Bersih Desa SEMENTARA itu di halaman Keraton, terjadi pembersihan. Semua korban yang terkena bubuk pagebluk dikumpulkan. Dirawat dengan percikan bunga tujuh rupa. Darah dicuci hingga meninggalkan bau harum, senjata dibersihkan dan disarungkan kembali. Putra Mahkota Bagus Kala Gemet menyaksikan dari kejauhan, sebelum akhirnya masuk ke dalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Menemui Permaisuri Indreswari yang berada dalam kamar peraduannya. Menyembah dengan hormat. "Putramu lelaki sowan, Ibu...." "Duduklah yang tenang, anakku. "Baginda sedang berada di sanggar pamujan." Putra Mahkota menyembah dan mengangguk hormat. "Semua berjalan sesuai dengan rencana. "Berhati-hatilah, anakku. Kini saatnya dirimu memerintah. Tunjukkan bahwa dirimu pantas mengendalikan Keraton. Pantas duduk di singgasana. "Semua keluarga prajurit yang menjadi korban, beri imbalan yang pantas. Beri hadiah yang menggembirakan. "Rakyat kecil selalu mengharapkan.
"Kamu bisa memberikan tanpa pernah kehilangan apa-apa." "Sudah diperintahkan, Ibu." "Mulai sekarang ini juga, kamu harus tampil. "Kejadian di halaman Keraton harus menjadi titik tolak. Seumpama kata ini bersih desa, pembersihan segala benalu dan penghalang. Mencabut semua rumput dan tumbuhan yang mengganggu. "Di saat Baginda berada di sanggar pamujan, kamu melanjutkan tata pemerintahan. "Jangan sia-siakan kesempatan yang baik ini. "Jalan sudah rata di depanmu. "Restu Ibu akan selalu menyertaimu. "Ibu hanya bisa berdoa memohon Dewa Yang Maha Mengetahui." Putra Mahkota menghaturkan sembah. "Yang sudah tunduk, tak boleh mendongak lagi. "Pada saat kecemasan sedang mengembang, siapa yang berdiri paling tegak yang didengarkan. "Sekarang ini, Mahapatih Nambi pun tak mempunyai kekuatan batin apa-apa. Halayudha juga tidak. Para sentana tak akan melihat Rajapatni sebagai putri utama. "Anakku, jalan begitu rata. "Kakimu tak akan tersandung lagi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Putra Mahkota menyembah dan berjalan jongkok ketika keluar dari kamar peraduan. Merasa bahwa segalanya telah berada dalam genggaman kekuasaan tangannya. Hanya saja hatinya sedikit tergetar ketika Wacak memberikan laporan yang mengejutkan. "Tak ada mayatnya?" "Sampai sekarang belum ditemukan, Baginda Muda." "Cari sampai ketemu! "Bongkar semua tanah!" Ini termasuk mengherankan. Dari sekian banyak prajurit yang meninggal atau terpengaruh bubuk pagebluk, ternyata tak ditemukan mayat Upasara Wulung. Juga Permaisuri Rajapatni. Yang jelas ditemukan dalam keadaan hancur adalah Cebol Jinalaya. Sementara Gendhuk Tri dan Maha Singanada bisa ditawan.
Satu demi satu dari puluhan mayat diperiksa. Sebagian sudah hancur tubuhnya karena hujan senjata, sebagian masih dikenali. Akan tetapi, sepertinya tetap tak ada mayat yang bisa diduga sebagai Upasara atau Permaisuri Rajapatni. "Rahasiakan hal ini. "Usahakan menemukan mayatnya sampai dapat." Keheranan dan pertanyaan juga terbersit dalam diri Resres. Mereka bertiga boleh dikatakan melepaskan bubuk beracun secara bersamaan. Hanya karena telah menelan obat penangkal, mereka bertiga tidak ambruk untuk selamanya. Hanya sementara. Maka akan sangat mengherankan sekali kalau Upasara Wulung bisa lolos. Selama ini, belum pernah ada yang bisa luput dari serbuan bubuk beracun. Apalagi dalam pertarungan jarak pendek, di mana angin berkesiuran sehingga bubuk menyebar ke segala jurusan. Ketiga pendeta Syangka yang khusus datang untuk memperlihatkan ramuan bubuk beracun, tak akan percaya kalau ada yang kebal. Mereka yang menciptakan pun tak bisa sepenuhnya bebas dari pengaruh. Bagaimana mungkin manusia yang menghirup udara bisa terbebas?
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Sedikit sekali yang mengetahui bahwa Upasara dan Permaisuri Rajapatni tak ditemukan mayatnya. Dalam pengumuman resmi Keraton, dinyatakan bahwa semua pemberontak telah berhasil diamankan. Halayudha mengendus ada sesuatu yang tak beres. Namun tak bisa merasa yakin. Apakah Upasara bisa lolos ataukah sekarang ini tertawan. Ia tak bisa bergerak secara leluasa. Karena kakinya tak bisa bergerak, dan sekarang seluruh keamanan Keraton di bawah pengawasan Barisan Padatala. Perhitungan Halayudha lebih kepada ilmu silat Upasara Wulung. Dalam tingkatnya sekarang ini, Upasara telah menguasai Kitab Bumi secara sempurna. Bahkan telah mampu mengembangkan secara luar biasa. Jurus Sanyari Bumi atau Sejari Bumi menjadi sangat luar biasa. Ditambah dengan jurus terakhir yang dimainkan, di mana tubuhnya bergerak sangat cepat, lebih cepat dari putaran bumi, membuktikan kelebihan yang luar biasa. Bukan tidak mungkin Upasara lolos dari kepungan. Bersama Permaisuri Rajapatni. Kalau Cebol Jinalaya tak bisa ikut lenyap, karena dua kemungkinan. Tidak memegang setagen secara baik. Atau... secara sengaja melepaskan diri.
Selama ini Cebol Jinalaya selalu mencari jalan kematian yang terbaik. Agar bisa sowan dan melayani roh Sri Baginda Raja di alam abadi. Sekarang, menurut perhitungan Halayudha, ke arah mana Upasara meloloskan diri? Dalam kemelut yang terjadi, segalanya serba samar. Akan tetapi Halayudha berada di medan pertarungan. Bahkan bisa melihat lebih jelas karena posisi tubuhnya lebih tinggi dari yang lain. Di samping itu, ia sengaja lebih memperhatikan pertarungan Upasara, dibandingkan menggempur Gendhuk Tri dan Maha Singanada. Masih terbayang di saat terakhir, ketika Putra Mahkota memerintahkan penyebaran bubuk pagebluk. Ketika itu ada bubuk yang menyebar. Dan seketika semuanya menjadi lunglai. Roboh. Tetapi Upasara, beberapa kejap sebelumnya telah menggulung diri. Bisa jadi tidak terpengaruh langsung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Masalahnya kalau kemudian bisa lolos, ke arah mana? Halayudha mendesis. Terseret jalan pikirannya. Kalau Upasara meleset ke luar, agak tidak mungkin tidak diketahui prajurit yang lain. Saat itu seluruh Keraton sampai alun-alun penuh dengan prajurit yang bersiaga. Bahkan ia sendiri yang memerintahkan untuk mengatur strategi begitu. Dengan harapan Upasara tidak bisa meloloskan diri ke luar. Berarti kemungkinan utama ialah masuk ke dalam Keraton. Dengan kata lain, sekarang ini masih berada dalam Keraton. Berada di salah satu bagian Keraton. Ini menarik. Karena menegangkan. Dengan berada di dalam Keraton, masalahnya bukan hanya belum selesai, akan tetapi justru seperti baru mulai. Kalau berada di dalam Keraton, kira-kira bersembunyi di mana? Tak terlalu sulit bagi Halayudha untuk menebak. Mereka berdua akan memilih kaputren. Atau lebih tepatnya di mana Tunggadewi dan Rajadewi berada. Tak ada tempat lain yang ingin dilindungi oleh Upasara maupun Permaisuri Rajapatni selain dua putrinya.
Halayudha berusaha mencari sisik melik, mencari kabar dari kaputren. Akan tetapi tanpa hasil. Tak ada kesan bahwa Upasara berada di sekitar. Lagi pula tempat itu dijaga sangat ketat. Ataukah Upasara sedang terluka parah? Tak berbeda dari Gendhuk Tri dan Maha Singanada yang terkena pengaruh bubuk beracun? Kalaupun begitu, di mana kira-kira Upasara menyembunyikan diri? Bagi Halayudha hal ini jauh lebih menarik ditelusuri. Keberadaan Upasara. Mendadak Halayudha menggerung keras. Hanya ada satu tempat di mana Upasara bisa bersembunyi tanpa diketahui, tanpa diusik oleh siapa pun. Yaitu di sanggar pamujan!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Pustaka Asmara PERHTTUNGAN-PERHITUNGAN Halayudha tak meleset sedikit pun. Kecuali perhitungan yang terakhir. Sejak Barisan Padatala muncul, Upasara bersiaga penuh. Kewaspadaannya berlipat. Sebelum perintah Putra Mahkota untuk menyebarkan bubuk pagebluk, Upasara telah menggulung diri dalam Putaran bumi. Sehingga praktis seluruh tubuhnya tertutup dari kemungkinan serangan dalam bentuk apa pun. Akan tetapi dengan demikian, Upasara terpaksa melepaskan kain dan bajunya. Hanya saja sewaktu merapatkan tubuh Permaisuri Rajapatni dan Cebol Jinalaya, yang terakhir ini menatap Upasara. "Terima kasih, Ksatria...." Ucapan itu tak selesai. Cebol Jinalaya melepaskan pegangannya. Seperti yang diperhitungkan Halayudha. Sebenarnya bagi Upasara masih ada kesempatan untuk menyentakkan tenaga lewat setagen. Sehingga tubuh Cebol Jinalaya masuk ke dalam rangkulan. Lengket dengan tubuhnya. Itu yang akan dilakukan. Ia sama sekali tidak mengenal si cebol hitam yang nampak aneh. Akan tetapi mengingat persahabatan yang begitu dekat dengan Gendhuk Tri dan melihat kegagahannya sewaktu menghadapi masa-masa kritis, hati Upasara
tersentuh. Kegagahan yang hanya dimiliki ksatria. Akan tetapi sorot mata Cebol Jinalaya yang berharap dan berterima kasih sesaat melepaskan pegangan, menyebabkan Upasara ragu dengan niatnya. Semuanya berjalan sangat cepat. Kelewat cepat. Sebab tenaga Putaran Bumi adalah tenaga dhomas yang mampu melipat ganda sebanyak delapan ratus kali. Sehingga sebelum mata berkejap, tubuh Upasara sudah bergulung. Bagai angin beliung melesat. Perhitungan Halayudha bahwa Upasara tidak menuju ke bagian luar Keraton sejalan dengan jalan pikiran Upasara. Sewaktu meloncat ke
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ atap Keraton, Upasara melihat bahwa lautan prajurit menyemut rapat sampai ke alun-alun. Sehingga tak mungkin menerobos tanpa meninggalkan korban yang banyak sekali. Detik itu Upasara melesat ke arah dalam. Di tengah hiruk-pikuk dan tebaran bubuk, tubuhnya yang melesat dengan kecepatan tinggi memang tak bisa diikuti dengan pandangan mata biasa. Maka sebelum semua yang mengepung sadar, Upasara sudah melewati dinding bagian dalam, melesat terus. Perhitungan Halayudha yang keliru hanya di bagian akhir. Upasara tidak menuju ke sanggar pamujan. Melainkan ke ruang pustaka raja. Tempat yang sama sunyinya, sama tak mungkin didatangi orang lain kecuali Baginda. Bahkan penjaga yang termangu di depan pintu tertutup tak menyadari bahwa Upasara menerobos masuk dengan berputar. Menyebabkan pintu terbuka lebar dan kemudian tertutup kembali. Sampai di dalam, Upasara mengembalikan tenaga Putaran Bumi menjadi sediakala. Tubuhnya berhenti berputar. Berdiri gagah di antara kitab-kitab yang diasapi dengan dupa. Upasara mencari tempat di sudut, di mana Baginda biasa duduk sambil membaca, atau menuliskan sesuatu. Tubuh Permaisuri Rajapatni dibaringkan perlahan. Tak bergerak. Cepat Upasara memeriksa nadinya.
Giginya gemeretak karena detak jantung dan jalan darah Permaisuri Rajapatni tak menentu. "Yayi..." Suara Upasara benar-benar sarat dengan kecemasan. Ksatria gagah yang sanggup melayang bagai rajawali sakti, mengaum bagai singa, mendadak berubah seperti orang bingung. Tangan Permaisuri Rajapatni diurut. Pundaknya disentuh. Juga diperiksa nadi di bagian punggung. "Yayi..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Senyum Permaisuri Rajapatni terkembang. "Kakang..." "Yayi tak apa-apa?" "Apakah kita telah sampai ke surga, Kakang?" Upasara menghela napas. Dadanya seakan mau meledak. Dirasakan ketololannya karena menguatirkan detak nadi Permaisuri Rajapatni yang tak menentu. Padahal bukan karena apa. Ketidakaturan detak itu sama dengan yang dialaminya. Sekarang ini. Berada dalam ruang yang sunyi. Berdua. Dan Upasara merangkul, dengan dada terbuka. Upasara memalingkan wajah ke arah lain. "Kenapa, Kakang?" "Tak apa, Yayi?" "Kakang malu? "Apakah di surga masih perlu sungkan?" Upasara menggeleng lemah. Meletakkan kepala Permaisuri Rajapatni ke kayu kecil sebagai bantalan. "Kita berada dalam ruang pustaka Raja. Bukan di surga. "Kita masih hidup, Yayi...."
Sekilas justru Permaisuri Rajapatni tampak kecewa. "Kenapa, Yayi?" "Alangkah bahagianya, damainya, agungnya, jika inilah akhir segalanya. Di surga kita bisa bersama-sama. "Apa yang terjadi, Kakang?" "Tiga pendeta dari Syangka menebarkan bubuk racun yang sangat berbahaya. Aku segera meninggalkan gelanggang. Membawa Yayi...." "Gendhuk Tri?" Upasara menggeleng. "Bisa kutengok sebentar lagi." Permaisuri Rajapatni menggenggam tangan Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Tinggallah di tempat ini agak sekejap. "Kepada Kakang aku tak ragu-ragu, tak sungkan-sungkan. Dewa telah mempertemukan kita. Aku keliru kalau masih malu-malu kepada Kakang. "Kakang, kenapa tanganmu dingin? "Kakang terkena racun?" Upasara menggeleng. "Tidak, Yayi." "Tanganmu dingin sekali, Kakang." "Tangan Yayi juga sama dinginnya." Permaisuri Rajapatni bangun perlahan. Punggungnya menyandar di dinding. Bersila. Upasara tepekur di dekatnya. "Pandanglah aku, Kakang! "Pandanglah aku dan katakan bahwa Kakang juga kangen padaku." Upasara tak bergerak. Melirik pun tak berani. "Sejak ada guritan di dinding Keraton, sejak sanjak itu terbaca, aku yakin sekali Kakang merindukanku. Kangen padaku. Seperti yang kurasakan selalu. "Meskipun Kakang tak pernah mengucapkan...." "Yayi..."
"Aku tahu. "Aku tahu apa yang akan Kakang katakan. Di luar masih ada pertarungan, masih banyak korban. Masih ada yang harus diselesaikan. Masih banyak tugas menunggu. "Aku tahu, Kakang. "Aku tahu panggilan seorang ksatria. "Tetapi tidakkah kita mempunyai waktu, sejenak sekalipun, untuk diri kita sendiri? Berapa puluh tahun kita saling memendam kangen, saling mengalahkan keinginan sendiri, saling sungkan, dan saling tak mau mengganggu? "Sejak semula aku memberanikan diri. Melangkah dengan langkah lebar. Mendatangi Kakang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Sejak ke Keraton Singasari yang dulu, aku sudah mengisyaratkan menerima Kakang. Tetapi Kakang tak mau menerima uluran tangan. Juga sewaktu aku datang ke Perguruan Awan sebagai utusan Baginda. "Kakang sama sekali tak mau menemuiku. "Sekarang Kakang datang. Menjemput dengan gagah. Sebagaimana sikap lelaki. "Apakah harus ditinggal pergi begitu saja? "Apa yang sebenarnya Kakang cari?" Dada Upasara panas. Kalimat yang tenang, lembut, itu bagai membanting tubuhnya berkeping-keping. "Apa yang Kakang cari?" Upasara menunduk. Memegang tangan Permaisuri Rajapatni dengan gemetar. Mencium lembut. Kidungan Asmara Sejati ANGIN tak bergerak. Tak ada bau dupa. Tak ada siapa-siapa. Selain dengus napas tertahan. Rintihan kerinduan. Pertemuan rasa kangen yang panjang tak bertepi. Gulungan ombak dari tengah lautan bergolak yang akhirnya mencium pantai berlumut.
Permaisuri Rajapatni membiarkan tangannya tersentuh bibir hangat Upasara. Hangat oleh bibir dan air mata. "Kakang menangis?" Upasara menggeleng. Air matanya makin membasah. "Menangislah, Kakang! "Aku pun akan menguras air mata, andai masih ada yang tersisa. Menangislah, Kakang, untuk pertemuan ini!" Dua tangan Permaisuri Rajapatni mengelus lembut. Mengelap air mata Upasara. "Tak ada permaisuri. Tak ada putri Sri Baginda Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Yang ada di sini adalah Gayatri. Gayatri Kakang." Upasara mengangguk-angguk. "Katakanlah sesuatu, Kakang...." Upasara menatap Permaisuri Rajapatni. "Yayi masih Gayatri yang pernah menjadi milik Kakang. "Hanya milik Kakang seorang. "Kakang percaya?" Mata Upasara memandang tak berkedip. "Lihatlah, Kakang! "Rabalah! Peganglah! Temukan hati Gayatri yang kosong, yang telah diberikan kepada Kakang. "Kakang akan bisa merasakan semua. "Membuktikan semua perasaanku." "Aku percaya, Yayi." Permaisuri menghela napas. Berat. Dalam. "Aku bertanya-tanya, sejak perpisahan kita. "Apa yang sebenarnya Kakang cari? Pertarungan demi pertarungan, ilmu demi ilmu, jurus demi jurus, sehingga Kakang seperti jatuh-bangun. Seperti mengisi kekosongan yang tak bisa diisi.
"Hatiku sedih. "Kenapa Kakang tidak mau menyadari apa yang sebenarnya Kakang cari? Kenapa Kakang tak mau melihat, menatap, dan merenggut apa yang ada di hadapan Kakang sekarang ini?" Upasara mendongak ke atas. Wajahnya mengeras. "Yayi... "Kakang mau menyadari sekarang ini. Menghimpun tenaga dalam, memusnahkan, membiarkan keracunan, mempelajari lagi, sungsang-sumbel mencari mati, karena jiwa yang kosong. "Karena Kakang..." "...kesepian." "Barangkali, Yayi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Seperti yang kurasakan sepenuhnya, Kakang. "Karena aku masih selalu menunggu Kakang. "Karena Dewa menunjukku memberi keturunan yang kelak akan menjadi raja terbesar di tanah Jawa yang belum pernah ada, aku jalani kewajibanku. "Tapi jiwaku bersama Kakang. "Bahkan aku berdoa siang dan malam, agar Kakang segera datang menjemput. Mengambilku. Karena tugas muliaku sudah selesai. "Tapi Kakang tak pernah datang. "Sampai anak-anak besar. "Kakang... katakan terus terang, apakah aku tak pantas menyanding Kakang?" Upasara menggeleng cepat. "Kakang tak pernah mempunyai bayangan itu." "Kakang masih mau menerima pengabdian Yayi-mu ini?" Genggaman tangan Upasara mengeras. Menggenggam kencang. "Aneh sekali...." Permaisuri Rajapatni memandang Upasara lekat sekali. Seakan menghitung bulu alis dan bulu hidung satu demi satu secara perlahan. "Aneh sekali. "Kamu sama sekali tidak tampan, Kakang. Tidak bogus. Tidak gagah. Tak bisa disandingkan dengan Baginda, bahkan dengan kukunya yang terawat
sempurna. "Rambut Kakang kasar sekali..." Upasara merasakan getaran tangan Permaisuri Rajapatni di rambutnya yang membuat tergetar. Membuat kulitnya merinding. Peka. "Hidungmu bagai arca bersila... "Ah, Pak Toikromo pun menyesal mengambil menantu." "Yayi tahu tentang Pak Toikromo?" Cepat-cepat Upasara mengalihkan pembicaraan. "Aku tahu semua yang terjadi dengan Kakang." "Semua?
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Juga pernikahan Kakang dengan Ratu Ayu Bawah Langit?" Upasara menjilat bibirnya yang mendadak kering. "Aneh. "Kenapa aku bisa kangen pada Kakang? "Kenapa aku merindukan Kakang? "Jampi apa yang Kakang pakai?" Wajah Upasara nampak lugu ketika menjawab bahwa ia tidak memakai jampi apa-apa, dan tak mengetahui hal semacam itu. Permaisuri Rajapatni tersenyum lebar. "Aku tahu soal itu, Kakang. "Kakang... Kakang! "Jagat Dewa Batara, siapa yang dulu menciptakan daya asmara itu? "Alangkah indahnya. Alangkah agungnya." "Yayi..." Tangan Permaisuri Rajapatni menutup bibir Upasara. Jemarinya menelusuri dari sudut ke sudut. "Bibirmu sangat lebar, Kakang.... "Jangan bicara yang lain. Jangan singgung Ratu Ayu Azeri Baijani, jangan singgung Baginda, atau membicarakan Tunggadewi. "Atau apa saja.
"Kita bicara mengenai diri kita. Ruangan ini menjadi pustaka asmara, kidungan kerinduan yang akan terus menggeletar sepanjang jagat masih berputar. "Bibirmu lebar. "Tetapi aku mengagumi. "Aku merindukan." Upasara menangkap tangan Permaisuri Rajapatni. "Kenapa? "Kakang tidak suka?" Upasara menggeleng. "Kakang malu?" "Mungkin." Tangan yang lembut itu mencowel pipi. "Kakang tak perlu malu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Inilah perasaan yang sesungguhnya. "Tak ada siapa-siapa di sini. Dewa pun menyingkir memberi kesempatan kepada kita berdua. Jagat berhenti berputar sekarang ini. "Katakan apa yang ingin Kakang katakan! "Teriakkan apa yang ingin Kakang teriakkan! "Cekik leherku kalau Kakang menganggap jijik! Tampar bibirku kalau Kakang anggap lancang! "Rangkul tubuhku kalau Kakang mau! "Jagat Dewa Batara, kenapa Kakang malah terdiam?" Upasara menutup matanya. Kepalanya menggeleng berkali-kali. "Yayi..." Tak ada jawaban. Hanya sorot mata saling pandang. "Yayi..." Dagu Permaisuri Rajapatni bergerak turun sedikit. Mengangguk. Menyilakan Upasara meneruskan kalimatnya.
"Apakah yang kita lakukan ini benar?" "Maksud Kakang...?" "Kita berdua di sini. "Yayi adalah permaisuri Keraton. Aku sendiri..." "Benar atau tidak, apa bedanya? "Kita saling menyimpan kerinduan. Kita saling menginginkan, mengharapkan, mendoakan pertemuan ini. "Kakang takut berdosa?" "Mungkin tidak. "Tapi apakah kita tidak berdosa berada berdua di sini?" Permaisuri Rajapatni menarik tangannya. Duduk tepekur. Sejenak. "Apa Kakang menghendaki saya pergi dari ruang ini?" Guritan Katresnan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ UPASARA terperangah. Ia tak menduga bahwa Permaisuri Rajapatni benar-benar berniat melangkah ke luar. "Yayi akan keluar?" "Kalau Kakang tidak menghendaki ditemani." "Tidak." Kaki Permaisuri Rajapatni turun ke lantai. "Yayi Gayatri, maksudku, maksudku jangan pergi...." Sehabis mengucapkan "Yayi Gayatri", wajah Upasara bersemu merah. Diam-diam Gayatri geli sendiri. Upasara yang ditemui sekarang ini sama sekali tak ada bedanya dengan belasan tahun yang lalu. Ketika masih muda. Mudah kikuk, tak menentu geraknya, canggung dan serbasalah. Gayatri tahu, jika ia menanyakan kenapa Upasara memanggil dengan sebutan Yayi Gayatri, Upasara akan merasa salah dan minta maaf. Dan serba keliru lagi sikapnya. "Kenapa Kakang memikirkan dosa?"
"Entahlah, Yayi." "Kakang tidak merasa bahagia sekarang ini?" "Bahagia sekali. "Tapi..." "Tapi kenapa?" "Tapi kenapa kita bisa bersama-sama? Kenapa kita dibebani pertanyaan dan rasa bersalah?" Suara Upasara terdengar mengharukan di telinga Gayatri. "Kakang, marilah kita mensyukuri pertemuan ini. "Tanpa beban pikiran yang merisaukan. "Bagaimana kalau Kakang menuliskan guritan...." Kepala Upasara tertarik ke belakang karena herannya. Seumur-umur rasanya Upasara tak pernah menuliskan sanjak. Kecuali... "Seperti yang terukir di dinding Keraton itu." "Apa itu bisa disebut guritan?" "Kenapa tidak?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kakang asal mencoret saja. Tidak tahu bagaimana tata aturannya yang benar. "Yayi yang pintar tata aksara. "Jangan membuat Kakang sungkan. Kalau sekarang Yayi minta Kakang maju ke medan pertarungan, Kakang akan berangkat. Tapi menulis guritan..." "Tuliskan, Kakang! "Apa Kakang menolak satu-satunya permintaanku?" Upasara memandang kiri-kanan. Ke arah susunan kitab-kitab pusaka. "Di sini banyak kidungan yang luhur dan apik. "Kita ambil salah satu pasti sudah bagus sekali. Diciptakan para empu yang sakti." "Aku menginginkan ciptaan Kakang. "Untuk diriku." "Baik.
"Kapan-kapan, Yayi." "Sekarang." "Sekarang?" "Sekarang. "Kapan lagi?" Upasara menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. "Kakang Upasara Wulung. "Selama menunggu Kakang, aku belajar menanak nasi, belajar membuat sajian makanan. Aku mencoba mengerti bagaimana menanam padi satu per satu, menanam bunga, memelihara ayam, ikan. "Aku selalu membayangkan suatu ketika nanti kita akan hidup bersama-sama. Kakang pergi ke sawah, dan aku membantu sedikit-sedikit, lalu memasak buat Kakang. "Di tengah malam, saat gerimis atau panas, saat ada rembulan atau gelap, Kakang bercerita tentang sawah, burung, dan menuliskan guritan katresnan. "Hanya sesekali bercerita tentang ilmu silat. "Kalau kebetulan ada penjahat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kakang menuliskan dan menembangkan keras-keras sehingga anak-anak kita terbangun, menertawakan ayahnya yang tersipu-sipu membacakan sanjak cinta." Mata Upasara berkejap-kejap. Kata demi kata diucapkan Gayatri seperti hidup. Membayang jelas. Di suatu desa, mirip desa yang didiami Pak Toikromo, dirinya berkeringat, dan Gayatri membuatkan sambal serta menyiapkan nasi. Mungkin ada ayam, tikus, burung yang lewat. Tapi bayangan itu pupus tatkala teringat mengenai guritan katresnan. "Kakang tahu berapa jumlah anak kita?" "Tidak." "Tebak." "Berapa?" "Kakang yang menebak." "Tujuh." "Kenapa tujuh?"
"Mana aku tahu, Yayi. "Aku hanya menebak." "Salah." "Tadinya aku mau menebak delapan." "Salah." "Yang benar berapa?" "Satu." "Kenapa satu?" "Satu sudah cukup. "Karena begitu lahir perangainya seperti Kakang. Mudah kikuk. Tak bisa mengutarakan perasaannya." Upasara tertawa lebar. "Dan suatu hari ketika kita sudah tua, kita saling bercerita. "Bahwa Kakang sebenarnya paling suka kerak nasi." Upasara memandang heran. "Begini ceritanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kakang mau mendengarkan? "Ketika kita hidup di desa, aku yang menanak nasi. Karena tak becus menanak nasi, jadi yang tersisa lebih banyak kerak nasi. Karena takut mengecewakan Kakang, kerak nasi itu aku buang setiap kali. "Yang selalu kuhidangkan adalah nasi putih yang bagus. "Begitu selalu setiap kali, sampai kita tua. "Baru saat itu, kita saling mengetahui bahwa Kakang sebenarnya suka kerak nasi. "Hanya karena kita saling coba memperhatikan, kita jadi kehilangan kesempatan yang baik. Karena Kakang terlalu sungkan mengatakan apa yang sebenarnya Kakang inginkan." Upasara tersenyum lebar. "Sekarang Kakang ganti cerita." "Aku tak punya cerita." "Aku juga mendengarkan para emban yang menanak nasi." "Lain kali aku akan mendengarkan." "Kalau begitu buatkan guritan katresnan? Upasara menunduk.
Jarinya tergetar. Bangku kayu yang dipakai duduk tergetar, karena jari-jari Upasara menoreh tajam. Gayatri menunggu. Guritan katresnan ini bukan ditulis tangan tapi dengan hati guritan katresnan ini hanya bisa dibaca oleh rasa Dewa keliru ketika memisahkan kita keliru ketika menggambarkan Yayi, inilah guritan katresnan dari Kakang yang menyukai kerak nasi Yayi, inilah kerinduan bumi... Upasara menggelengkan kepalanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Rasanya malah tak bisa, Yayi." Wajah Gayatri berubah. "Yayi tak suka?" Jawabannya hanya helaan napas. "Kalau begitu Kakang hapus saja." Gayatri mengangguk. "Hapus saja. "Nadanya begitu sedih, begitu pasrah." Dengan sekali menggerakkan tangan, cukilan huruf lenyap seketika. Angin Palguna GAYATRI terisak. "Kenapa, Yayi?" "Tak apa-apa, Kakang.
"Tapi kenapa guritan Kakang begitu menyedihkan?" "Aku malah tak mengerti. "Sudahlah, Yayi, aku memang tak bisa. Tak becus." Keduanya terdiam. Bungkam. "Kakang, bagaimana kalau Kakang bercerita tentang istri Kakang? Ratu Ayu Azeri Baijani?" "Kakang tak tahu harus bercerita bagaimana...." "Di mana ia berada?" "Kakang juga tidak tahu." "Kakang mencintainya?" Upasara memandang tajam ke arah Gayatri. Lalu mengangguk. "Rasanya iya. "Aku mengawininya." "Syukur kepada Dewa. "Kakang harus menyayanginya." "Ya, aku akan mencarinya. "Pasti terjadi sesuatu yang besar sehingga ia tidak muncul lagi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Gendhuk Tri?" Upasara tak segera menangkap maksud Gayatri. "Bagaimana dengan Gendhuk Tri?" "Ia baik-baik saja. "Barangkali tertawan, atau... ah, rasanya tak mungkin terkena racun bubuk hingga meninggal." "Kekasihnya mirip Kakang." "Ya. "Tapi lebih gagah." "Tahukah Kakang, bahwa Gendhuk Tri mencintai Kakang?"
Upasara menggeleng. "Kalau tidak, ia tak akan memilih Singanada yang mirip Kakang." "Aku tak mengerti." "Nyai Demang?" "Kasihan, ia menjadi korban Eyang Berune...." "Bukan itu. "Aku menanyakan perasaan Kakang pada Nyai Demang." Upasara tak menjawab. "Kakang pernah merasakan daya asmara Nyai Demang?" Upasara mengangguk. "Siapa lagi wanita yang Kakang kenal?" "Kenapa Yayi bertanya yang aneh-aneh?" "Ini bukan Palguna...." Upasara mengerti bahwa Palguna adalah bulan hitungan kedelapan. Seperti setiap bulan ada sebutannya sendiri. Akan tetapi tak bisa menangkap maksud Gayatri. "Pada bulan Palguna, angin meniupkan getaran asmara. "Sehingga banyak perbuatan yang aneh, janggal, lucu, mengecutkan hati tapi menggetarkan, bisa terjadi." "Yayi percaya hal itu?" "Bintang pun menemukan jodohnya pada Palguna." "Yayi percaya hal itu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Sejak kecil aku diajari mempercayai hal-hal semacam itu. Alam telah memberi firasat jauh sebelum kita lahir...." Di ujung kalimatnya, suara Gayatri menjadi sember. "Itulah nasib yang dituliskan Dewa. "Nasib kita, Kakang. "Nasibku. Nasib Kakang. "Para pendeta menemukan ramalan, menemukan firasat dari alam bahwa dari kandunganku akan lahir seorang raja terbesar yang belum ada di tanah Jawa. "Bukankah itu nasib, Kakang? "Bukankah setelah melahirkan anak-anak pun Kakang tak mau datang?
"Apakah dengan begitu, aku tak mempercayai nasib?" Upasara mengangguk. Tangannya menggenggam tangan Gayatri dengan berani. "Kakang juga percaya, Yayi. "Percaya bahwa Dewa itu Maha welas Asih. Maha asmara. "Kalau tidak, kita tak akan dipertemukan. Kalau tidak, hati kita tak tergetar oleh daya asmara. "Begitu banyak ksatria, begitu banyak pangeran yang menghendaki Yayi. Yang mulutnya tidak lebar, yang rambutnya tidak kasar...." "Kakang..." "Tapi bukankah Yayi memilih Kakang? "Bukankah itu nasib Kakang yang baik?" "Tapi bukan akhir yang bahagia?" Upasara termenung. Matanya menerawang jauh. "Apa iya, Yayi? "Aku ragu. "Pertemuan seperti sekarang ini pun tak terbayangkan sebelumnya. Kalau Dewa Mahaasih mengetahui, mendengar suara hati dan keinginan kita, apa mungkin kita tidak dipersatukan?" "Nyatanya tidak." Upasara menggeleng. "Kakang, kenapa Kakang begitu baik?
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kenapa nasib yang mengenaskan begini malah Kakang syukuri? Kenapa Kakang menuliskan guritan yang menyedihkan sebagai tanda katresnan?' Tak ada jawaban. Sejak tadi Upasara hanya bisa mengangguk, menggeleng, dan tidak menjawab. "Kenapa Kakang tidak mengubah nasib yang digariskan Dewa? "Kita lari dari tempat ini. Ke ujung gunung atau ke tengah lembah. Atau mengangkat pedang sebagai ksatria.
"Mengumandangkan sebagai pasangan bersama. "Kenapa, Kakang?" "Karena Yayi sendiri ragu. "Karena Yayi mempertanyakan apa yang Kakang risaukan. Apakah Dewa merestui hubungan kita sekarang ini? "Pertanyaan itu saja menandakan keraguan pada apa yang kita lakukan." Gayatri menelan ludahnya. Upasara, Upasara-nya yang kikuk, yang merah padam wajahnya jika bertatapan, yang tangannya dingin dan bibirnya gemetar, adalah Upasara yang bisa mengatakan secara terus terang. Yang tidak ragu mengatakan secara jujur apa yang dirasakan. "Nasib kita buruk sekali, Kakang. "Kalau kita tak pernah tergetar asmara sebelumnya, perjalanan kita masing-masing pastilah bahagia. Aku menjadi permaisuri yang bakal menurunkan raja terbesar yang belum ada, dan Kakang bisa tenang bersama Ratu Ayu Bawah Langit." "Nasib kita bahagia sekali, Yayi. Tanpa bertemu Yayi, aku tak bisa mengetahui apa arti sawah, apa arti kerak nasi, apa arti guritan, apa arti asmara, apa arti mensyukuri nasib. "Tanpa Yayi, aku tak mengerti apa yang kucari." Gayatri merebahkan kepalanya di dada Upasara yang telanjang. Menarik tangan Upasara hingga memeluk tubuhnya. "Rengkuhlah aku, Kakang! "Masukkan aku ke dalam tubuhmu!" Upasara memeluk kencang. "Angin Palguna, jangan cepat berlalu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Biarkan aku dan Kakang Upasara menikmati selalu." Akan tetapi justru saat itu Gayatri melihat bahwa cahaya dari luar telah lenyap. Alam telah berubah. Tak ada lagi matahari. Angin malam terasakan. "Sudah malam, Kakang...." "Perutmu berbunyi, Yayi. "Pasti tidak biasanya Yayi belum makan...."
Gayatri tertawa. "Kenapa Kakang bicara soal makan?" "Karena Yayi bercerita tentang kerak nasi." "Ah! "Sebenarnya banyak cerita yang lain. Para emban mempunyai cerita yang banyak sekali. Yang ingin kuceritakan kembali. Sengaja kucatat dan kuingat-ingat untuk kuceritakan kembali kepada Kakang. "Ah! "Sebenarnya banyak guritan yang kutulis. Sengaja kusimpan rapat-rapat, agar suatu kali Kakang membacanya. Mengetahui bagaimana perasaanku yang sebenarnya. "Tapi justru semuanya terlupa." "Kalau kita bersama, apa semua itu perlu?" Gayatri merangkul, memeluk, merengkuh erat sekali. "Kakang, kalau suatu ketika kita berpisah lagi, pertemuan ini akan menjadi kenangan yang paling berharga." "Pun andai kita tak berpisah, kenangan ini masih tetap berharga." "Kakang... benarkah kamu Kakang-ku?" Kawruh Kodrat KEDUANYA masih berangkulan. Tenggelam dalam lamunan. "Apa yang Kakang pikirkan?" "Banyak sekali. "Gendhuk Tri yang sudah menjadi perawan ayu. Singanada yang bahagia. Barisan Padatala yang mengganas. Nyai Demang yang dikuasai Eyang Berune. Putra Mahkota yang kini memegang tata pemerintahan...." "Apakah Kakang selalu memikirkan itu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Entahlah, Yayi. "Akan tetapi kadang tak bisa melepaskan begitu saja." "Apakah itu yang disebut sebagai dharma ksatria?" "Ya, Yayi. "Dan aku dibesarkan dalam tata nilai begitu. Tradisi yang kuterima sejak kecil, sejak belajar berjalan, adalah tradisi berbuat kebaikan demi Keraton." "Nasib Kakang lebih menarik. "Dilahirkan sebagai ksatria lebih jelas apa yang dilakukan. Apa yang harus
dilakukan. Sedangkan aku? Kodratku sebagai sekar kedaton, sebagai bunga keraton, tak memungkinkan berbuat yang lain. "Seperti juga kedua putriku. "Hanya bisa menunggu. Sampai suatu hari kelak, ada lelaki yang datang meminang. "Pertarungan atau perdamaian, tak akan pernah mengguncang diriku. "Ah, andai aku dilahirkan sebagai ksatria, mau tak mau aku harus belajar ilmu silat. Dan barangkali ada gunanya untuk penduduk. "Kakang, apakah sulit belajar ilmu silat?" "Rasanya tidak. "Siapa saja yang mempelajari bisa melakukan." "Kalau aku belajar sekarang ini?" "Kenapa tidak? "Di ruangan ini tersedia semua kitab ilmu silat yang ada. Tinggal membaca, memahami, dan melatih." "Aku tak pernah mengetahui. "Bagaimana mungkin Kakang bisa menguasai semuanya?" Upasara merasa dadanya mekar. Untuk pertama kalinya terasa kebanggaan yang membengkak. "Bukan semuanya. "Dasar ilmu silat sebenarnya sama sumbernya. Yaitu cara pengerahan tenaga, cara mengatur keluar atau tertahannya tenaga. Pengendaliannya dengan melatih pernapasan. Gerakan-gerakan yang ada disesuaikan dengan apa yang dilatih selama ini. Yang kemudian ada kembangan yang beraneka warna." "Kalau semua belajar dari Kitab Bumi, kenapa Kakang lebih unggul?" "Dalam ilmu silat, keunggulan hanya bersifat sementara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Di atas langit masih ada langit. Di atas atas langit masih ada matahari. Di atas matahari masih ada langit yang lain. "Tak bisa dikatakan Kakang ini yang paling jago. Kakang malah merisaukan gelaran lelananging jagat yang Kakang sandang. "Semua mempelajari Kitab Bumi, akan tetapi kitab utama yang menjadi babon semua ilmu silat itu hanya membuat kidungan dasar. Terutama delapan kidungan atau delapan jurus yang dinamakan Tumbal Bantala Parwa. "Isinya pekat, padat, dan harus ditafsirkan kembali. "Barangkali penafsiran kembali ini yang membedakan satu sama lainnya. Persiapan
batin kita yang membedakan pada akhirnya. Seperti yang Kakang mainkan dengan Putaran Bumi. "Jauh sebelum ini Kakang telah mencoba, telah menguasai. Akan tetapi dengan pengaturan napas yang tepat, hasilnya juga berbeda." "Kalau kita sama-sama mempelajari, apakah tetap berbeda hasilnya?" "Mungkin saja, Yayi. "Kenapa Yayi bertanya soal ilmu silat?" "Aku hanya ingin membandingkan, bahkan dalam mempelajari ilmu silat pun, kodrat turut menentukan nasib seseorang. Sejak awal sudah ada pembedaan. "Jadi, apa artinya kawruh, apa artinya ngelmu, apa artinya pengetahuan dan segala usaha kalau pada akhirnya bermuara kepada kodrat?" "Terus terang aku tak bisa menjawab, Yayi. "Aku menjalani tanpa risau. Tanpa mempertanyakan." Gayatri melepaskan diri dari rangkulan. Duduk bersila. Upasara juga bersila. "Berarti sejak semula sudah digariskan oleh kodrat. Oleh nasib. Kemenangan dan kekalahan, mati dan hidup. Kita tinggal pasrah saja." "Pasrah yang tidak menyerah." "Itu hanya untuk menghibur diri saja, Kakang. Pasrah dalam artian yang sesungguhnya. Pasrah karena kita dikuasai kodrat. Dikuasai nasib sejak masih kecil. Pengaruh itu telah mendarah daging, dan membuat kita ketakutan. "Kita terbelenggu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Sehingga kalau kita akan keluar bersama dari tempat ini, berlari ke lembah atau puncak gunung, kita tak berani melakukan. Karena kita disadarkan akan kodrat sejak awal. "Karena kita dikodratkan menerima nasib. Yang satu putri keraton dan satunya ksatria tanpa ketahuan siapa orangtua nya. "Kodrat sebagai permaisuri. "Sehingga merasa tercela melepaskan diri dari Baginda. Sehingga Kakang perlu bertanya, apa benar yang kita lakukan saat ini? Apakah kita tak berdosa berdua sekarang ini?" "Ya." "Padahal kenyataannya bisa kita balik. "Apakah justru bukan melakukan suatu dosa jika aku menjalani hidup seperti
sekarang ini? Apakah justru kehidupanku sebagai permaisuri ini bisa dibenarkan? "Siapa yang bisa membenarkan atau menyalahkan, Kakang? "Dewa? "Adakah Dewa yang memberikan kodrat tertentu? "Dewa? "Kenapa kita selalu lari kepada Dewa sebagai kata akhir? Sebagai penentu nasib?" "Yayi, kata-katamu membuatku gelisah. "Aku tak pernah mempertanyakan itu." "Kakang... Kakang menderita. "Tetapi aku juga lebih menderita karena kerinduan ini. Sehingga dalam doa dan semadi aku sering menggugat, sering bertanya. "Tapi Dewa tak pernah menjawab. "Tak pernah memberi isyarat. "Tak ada perlambang. "Tak ada tanda-tanda. "Tak ada, Kakang. "Tak ada apa-apa." "Hati kita yang menjawab, Yayi." "Benarkah? "Apakah hati kita sendiri, atau hati kita rasa yang percaya kepada kodrat? Yang telah tunduk mengikuti aturan nasib?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Upasara terdiam. Gayatri menghela napas. "Aku bisa letih, Kakang. "Letih memikirkan ini semua. "Tapi tak apa. "Tak apa. "Malam ini aku begitu bahagia. "Bertemu dengan Kakang. Berbincang dengan Kakang. "Aku sudah bahagia bisa merasa memiliki Kakang. Dan mengetahui bahwa Kakang masih menyimpan kerinduan yang sama.
"Tak apa." Gayatri menutup matanya. "Aku haus, Kakang...." Upasara mengangguk. Beringsut. "Tapi Kakang tak usah pergi. "Biarlah setiap kejap kurasakan, Kakang." Kaki Upasara menjejak ke lantai. Keras. Sehingga terbelah. Tangan kanannya mencaruk tanah. Amblas sampai siku. Disusul tangan kiri dengan sama kerasnya. Setiap kali amblas ditarik ke atas bersama gumpalan tanah. Hingga menggunduk. Belasan kali Upasara melakukan dengan cepat sekali. "Ada..." Upasara mengulurkan setagen Gayatri ke bawah lubang yang dibuatnya, dan dengan sekali sentak, setagen itu tertarik ke atas. Basah. Gayatri tertawa sambil menutupi bibirnya. Air dari sumbernya terasa segar. "Terima kasih, Kakang...." Gayatri memeras untuk Upasara. Yang segera meminum dengan lahap. "Kalau begini caranya, kita bisa meloloskan diri lewat lubang bawah tanah." Upasara mengangguk. "Lewat pintu depan pun bisa."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Rembulan Tak Bersisa GAYATRI memegang tangan Upasara. Membersihkan tangannya yang kotor. "Lewat mana pun bisa, Kakang. "Tapi pertanyaannya, apakah kita mau keluar bersama atau tidak." "Ya," jawab Upasara pendek seperti kehabisan kata-kata. "Itulah kodrat. "Itulah nasib kita. "Tapi sekali lagi, Kakang, aku tak ingin menangis untuk selamanya.
Biarlah malam ini saja, kita bisa berdua-dua. Hanya untuk kita berdua." Upasara mengikuti pandangan Gayatri yang menembus ke arah luar. "Aku yakin sekali, di luar purnama bersinar sempurna. "Selama masih ada sisa-sisa rembulan, selama itu kita masih bisa berdua di sini. "Malam ini milik kita berdua. "Atau Kakang ingin pergi sekarang?" "Kalau Yayi menghendaki kita pergi bersama, sekarang ini pun kita bisa berangkat." "Kakang, aku senang mendengar kata-kata Kakang. "Lebih dari air yang diambil dari sumbernya, menyebabkan jiwaku segar kembali. "Lebih baik kujawab tidak, walau aku merindukan. "Karena aku tahu, Kakang akan repot dan dibebani perasaan bersalah kalau kita pergi sekarang ini. Pergi meninggalkan urusan Keraton, pergi meninggalkan semua urusan yang ada. "Tidak, Kakang tak bisa mengabaikan semuanya. "Seperti juga diriku. "Kita telah dicencang kodrat dan nasib. "Perlu keberanian dan waktu untuk mengalahkannya. Mungkin kita bisa mengalami, mungkin juga tidak. "Tak apa, Kakang. "Tak apa. "Malam ini aku bahagia." Upasara tepekur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Semua kalimat Gayatri bergema jelas dalam hatinya. Upasara menyadari bahwa jika Gayatri mengajaknya pergi ke puncak gunung atau ke lembah dan hidup berdua seperti Pak Toikromo, dirinya tak sanggup menolak. Akan menerima dengan senang hati. Meskipun tetap ada kerisauan. Ada beban yang masih terbawa. Itu yang tak dikehendaki. Upasara mencium punggung tangan Gayatri. "Di luar masih ada purnama, Kakang...."
"Ya, Yayi...." "Selama itu pula Kakang menjadi milikku. Dan aku milik Kakang." "Ya, dan setiap kali ada purnama." "Tapi sekali ini purnama milik kita. "Aku tak tahu, apakah setelah ini aku masih bisa melihat purnama lagi. "Kehormatanku sebagai permaisuri, harga diriku sebagai wanita, telah rata dengan tanah. Tak ada yang tidak menyesali perbuatanku. Saudara-saudaraku, atau bahkan arwah Baginda Raja mungkin menyesali apa yang kulakukan sekarang ini. "Barangkali saja, ini harga yang harus kutebus seumur hidup. "Tapi aku tak pernah menyesali." "Yayi, apakah aku yang menyebabkan ini semua?" "Kakang tak perlu menyesali. "Sebab aku merasa bahagia." Air mata Gayatri menetes. Dalam gelap, Upasara tak bisa melihat. Tapi bisa merasakan. Perlahan tangannya mengusap sudut mata Gayatri. Dengan cepat Gayatri menggenggam tangan itu dan memegang erat-erat. Darah menggeliat. Udara menjadi padat. Napas tertarik ketat. Seakan susah menerobos lubang hidung. Sesaat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Gayatri melepaskan cekalannya. Darah Upasara mengendur kembali. Hawa panas di ujung hidungnya mendingin. "Ah, aneh sekali. "Tahu apa yang aku bayangkan, Kakang?" Upasara menggeleng dalam gelap. "Kalau saja malam ini kita berada di kamar peraduanku, kamar yang selalu ditata untuk menunggu kedatangan Kakang. Lalu kita bicara panjang-lebar. Tentang ilmu
silat, tentang kidungan, tentang Keraton, hingga fajar yang berikutnya. "Aneh sekali. "Kenapa aku berpikir begitu? "Apakah Kakang pernah membayangkan begitu?" "Mestinya iya. "Tapi aku tak tahu." "Kakang, apakah waktu kecil dulu kita pernah bertemu?" "Mungkin saja, Yayi." "Kenapa Kakang selalu ragu menjawab iya atau tidak?" "Sebab memang tidak tahu. "Aku tak bisa mengingat. "Tapi bukan tidak mungkin. Karena sejak bayi aku berada di Keraton. Yayi berada di Keraton. Dalam masa dua puluh tahun, besar kemungkinannya kita telah saling melihat." "Tapi kalau sudah, harusnya ingat." "Ya." "Kakang ingat?" "Tidak." "Yayi ingat?" "Tidak. "Lalu kenapa kita bisa saling tergetar oleh daya asmara?" "Kodrat." "Ah, Kakang! "Sejak kapan Kakang bisa mengucap itu dengan enteng?" "Aku tak mengerti jawaban yang sebenarnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Aku juga tidak. "Tapi apakah bukan karena kita dalam titisan sebelumnya adalah pasangan yang selalu bersama-sama? Pada titisan sebelumnya kita selalu bahagia? "Hanya pada sekali ini tidak dipertemukan. "Bukan Dewa Wisnu dan Dewi Sri yang selalu berjodohan, pada suatu ketika menjadi kakak dan adik? Hanya satu kali.
"Kakang percaya hal itu?" Upasara mendengar napas Gayatri yang teratur. Tanpa menyentuh, Upasara mengetahui bahwa Gayatri kini terbaring. Mungkin setengah tertidur. Kejadian yang berlangsung sejak siang sangat menegangkan dan melelahkan untuk seorang permaisuri. Kini dalam kegelapan, dalam amukan rasa yang mulai mereda, kelelahan yang pasrah merayapi dan menguasai. Hanya karena keinginan untuk bercakap-cakap yang besar, yang membuat Gayatri masih bisa bertahan. "Kakang..." "Aku di sini, Yayi..." "Kakang jangan pergi selama masih ada bulan." "Kakang masih di sini." Tangan Gayatri memegang tangan Upasara. "Kurasakan dengus napas Kakang. "Kurasakan tangan Kakang yang kasar. Berceritalah, Kakang, agar aku yakin Kakang masih terus menemani." "Cerita apa?" "Apa saja. "Aku tak mau tidur. Waktu hanya beberapa kejap. Sebentar lagi bulan lenyap. "Berceritalah, Kakang...." "Seumur hidup, rasanya aku tak pernah bercerita. "Aneh, tak ada yang mendongengiku. Para emban yang menanak nasi juga tidak. Ngabehi Pandu, guruku yang mulia, juga tidak. Aku tak tahu indahnya rembulan, sebelum Yayi katakan. "Aku tak pernah cemas rembulan bakal lenyap atau tidak, sampai saat ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Tak ada yang bisa kuceritakan. "Kujalani hidup, meluncur sebagaimana adanya. Mungkin Yayi benar sekali, aku bergerak, mencari-cari yang tak kuketahui. "Sampai sekarang ini. "Tiba-tiba timbul keinginanku bercerita, keinginanku menulis guritan, merasakan setiap tarikan napas mempercepat jalannya rembulan. "Perasaan yang menjadi bermakna. Yayi..."
Upasara tidak melanjutkan lagi. Suara napas Gayatri makin lama makin teratur. Pegangannya mengendur. Tapi begitu Upasara berhenti, Gayatri bersuara lirih. "Lalu, bagaimana lanjutannya, Kakang?" Sisa Angin Pagebluk UPASARA kembali menggenggam erat. "Istirahatlah, Yayi. "Jangan memaksa diri." Gayatri membalas genggaman Upasara dengan keras. Tapi kemudian mengendur. Napasnya teratur. "Kakang, berbaringlah di sisiku! "Sesekali tengoklah ke luar. Kalau-kalau bulan tak bersisa lagi. Itulah saat kita berpisah. "Malam ini milik kita sepenuhnya. "Kakang, kamu masih di sisiku?" "Masih, Yayi." Suara Gayatri melemah. Seperti berbisik, terputus-putus. "Ah, inilah kebiasaan buruk di kaputren. "Seumur hidup tak pernah melihat rembulan. Seumur hidup harus masuk ranjang peraduan, menutup mata bersama gelapnya malam. Padahal rembulan bisa indah sekali. "Indah sekali. "Sinarnya samar tapi terbaca. "Getarnya samar tapi terasa. "Bayangnya samar tapi tereja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Mataku mengantuk sekali. Mengantuk sekali." Dalam gelap Upasara merasakan makin lama wajah Gayatri makin mengendur. Seakan terseret oleh kekuatan yang tak bisa ditahan. Kelelahan yang tak bisa dilawan. "Yayi..."
"Hmmm...." "Yayi tak apa-apa?" "Tidak. "Aku bisa merasakan semuanya, Kakang. Aku bisa mendengar, merasa, tapi rasanya mengantuk sekali. Tubuhku terasa melayang." Upasara hanya memperkirakan satu hal. Bahwa rasa kantuk yang menguasai Gayatri bukan kantuk sebagaimana biasanya. Reaksinya sesekali keras untuk menahan, akan tetapi beberapa kali mengendur. Membiarkan larut. Satu dan lain hal, Upasara menguatirkan pengaruh bubuk beracun! Kalau ini yang terjadi, Upasara akan melakukan apa saja. Saat ini juga pun bisa saja ia menggebrak ke luar. "Yayi..." "...Hmmmmm." Disusul suara yang tak begitu jelas. Upasara menunduk. Dengus napasnya dekat sekali dengan napas Gayatri. Terasakan udara panas dari lubang hidung Gayatri. Pernapasan yang wajar. Normal. Upasara berpikir keras. Bubuk beracun yang disebut bubuk pagebluk bukan hanya sangat luar biasa pengaruhnya, tetapi juga tak begitu dikenal. Sebagai tokoh yang menguasai ilmu silat dan melatih dengan keras, Upasara sudah sampai pada tingkat mengetahui pengaruh segala macam racun. Walau belum mengenali jenis-jenisnya, akan tetapi bisa memperkirakan kekuatannya. Ketika Gendhuk Tri dikuasai darah beracun yang dahsyat, tanpa mengenali jenis racunnya, Upasara bisa memperkirakan bagaimana melawannya. Akan tetapi sekali ini menjadi gamang. Napas Gayatri teratur, normal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Tidak menunjukkan kelainan. Juga peredaran darahnya. Akan tetapi seperti tak bisa menguasai diri. Jelas sekali ini berbeda keadaannya dari yang dialami Nyai Demang. Ketidakmampuan menguasai dirinya karena pengaruh tenaga lain. Dalam diri Gayatri jelas tak terasakan pengaruh lain sama sekali.
"Yayi..." Erangan kecil sebagai jawaban. "Yayi..." "Kakang tahu, aku melakukan ini semua demi kamu, Kakang. Kakang-ku Upasara." Makin tak terbantah bahwa Gayatri turun kesadarannya. Seperti seorang yang mabuk. Kata-katanya meluncur begitu saja. Bukan tidak mungkin sejak pertama tadi, dengan berbicara tak keruan juntrungannya. Menanyakan ini dan itu, merangkul, mengelus bibir Upasara. Bahwa itu juga merupakan dorongan batinnya tak bisa ditolak. Akan tetapi bahwa keberanian untuk berbuat itu karena dorongan pengaruh bubuk beracun, sangat mungkin sekali. Betapapun besar kerinduannya, Gayatri adalah putri Baginda Raja yang ketat oleh tata krama dan kemudian menjadi permaisuri, tak nanti berbuat begitu berani dan terbuka. Upasara bisa mengerti kalau Gayatri terkena pengaruh. Angin yang menyebarkan bubuk itu meluas. Meskipun sebelumnya ia telah menutup diri bukan tidak mungkin sepersekian isapan masuk ke dalam tubuh Gayatri. Untuk seorang yang tidak pernah melatih tenaga dalam, bubuk yang sangat sedikit pun bisa mempengaruhi. Hanya karena dorongan untuk bersama Upasara demikian besar, sampai waktu tertentu Gayatri masih bisa memaksa menguasai dirinya. Meskipun makin lama makin lemah. Upasara benar-benar gegetun. Benar-benar menyesali apa yang terjadi. Malam purnama Palguna yang dinikmati berdua, barangkali akan hilang separuhnya. Lebih daripada itu, Gayatri seperti tak bisa menikmati secara sempurna. Karena batas kesadarannya menipis. Sehingga tak bisa membedakan apakah ini mimpi atau kenyataan. Inilah yang membuat Upasara gegetun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Di samping itu, kini perhatiannya terpecah. Kalau Gayatri yang bisa terlindungi nyaris sempurna menderita seperti ini, bagaimana halnya dengan Gendhuk Tri dan Singanada? Bagaimana nasib mereka? Apakah tidak mungkin justru sekarang ini saat-saat yang menentukan untuk menyelamatkan? "Yayi..." "Awasi bulan itu, Kakang! "Jangan-jangan Dewi yang menjaga rembulan iri pada kita dan mempercepat
jalannya. "Awasi, Kakang!" Upasara memandang ke arah luar. Telunjuknya menuding dan tenaga dalam yang disalurkan menggeser jendela. Tanpa suara. "Awasi, Kakang...." "Ya, Yayi...." "Apa yang kelihatan?" "Dupa dari sanggar pamujan." Lidah Upasara terjulur pendek. Selintas terbersit keinginan untuk masuk ke sanggar pamujan. Barangkali tak memerlukan waktu lama untuk bisa menerobos masuk. Dan memaksa Baginda memintakan obat penangkal bubuk beracun. Jalan yang singkat. Tapi Upasara ragu. Hati kecilnya tak ingin meninggalkan Gayatri barang sesaat. Kalau ia setengah tersadar dan mengetahui dirinya ditinggal, bisa jadi lain masalahnya. Penjaga akan mengetahuinya. Kalau ini terjadi, sisa rembulan yang bersinar dengan sendirinya habis. "Aku melakukan semua ini demi Kakang...." "Ya, Yayi." "Demi katresnan-ku pada Kakang...." "Aku merasakan sepenuhnya, Yayi...." "Tidak, Kakang tidak merasakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ "Kakang malah menjadi ksatria tanpa tanding. Menjadi ksatria lelananging jagat. Apa kelebihannya, kalau itu hanya menempatkan Kakang menjadi ksatria yang tak bisa dilawan siapa pun juga? "Kalau sudah menjadi yang paling menang, apa lagi yang Kakang cari? "Tidak, Kakang tidak merasakan. "Kakang malah menjadi pengantin tanpa tanding. Menjadi mempelai ratu yang paling ayu di seluruh kolong langit. Apa kelebihannya, kalau itu hanya menghapus katresnan Kakang padaku? Bukankah lebih baik Kakang berkawan dengan Nyai Demang atau Gendhuk Tri? "Tidak, Kakang tidak merasakan. "Kakang malah sengaja menghapus hubungan kita. Ratu Ayu Azeri Baijani adalah
wanita yang sempurna kecantikannya, luhur budi, dan mempunyai kecintaan luar biasa pada tanah airnya. "Aku tak bisa dibandingkan dengannya. "Aku tak bisa ilmu silat, aku tak bisa membuktikan dharma bakti pada tanah kelahiran, aku tidak seayu dia. "Tidak, Kakang tidak merasakan betapa hatiku menjadi sakit sekali." "Yayi Gayatri..." "Air dari sumbernya itu sangat segar, Kakang. "Awasi rembulan itu. Bukan dupa dari sanggar pamujan. Baginda sering menipu diri. Pura-pura membakar dupa, tapi sembunyi entah di mana...." Asap Dupa Pamujan UPASARA justru memandang ke asap dupa yang mengepul dari sanggar pamujan. Seperti para prajurit jaga yang lain, melirik secara diam-diam. Dan menemukan jawaban yang sama. Sejak tadi asap itu tak pernah bisa lurus. Selalu buyar. Padahal angin tak terasa meniup. Kebetulan atau tidak, kegelisahan itu juga melanda Baginda. Sejak pertama membakar dupa dan mencoba bersemadi, pemusatan pikirannya beberapa kali buyar kembali. Bukan keheningan yang dirasakan. Melainkan justru gambaran-gambaran yang kian lama kian jelas, muncul bergantiganti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/ Gambaran ketika dirinya masih bertelanjang dada, mengendarai kuda, dan memimpin langsung pertarungan yang menentukan. Bersama para senopati menggempur prajurit Singasari yang dipimpin Raja Muda Jayakatwang. Gagah, muda, bersemangat, seolah memancarkan cahaya. Gambaran ketika menggempur mundur pasukan Tartar. Menyerang terus hingga mereka terbirit-