1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
yang harus dijaga, dipelihara serta dididik karena didalamnya melekat harkat, martabat, dan hak- hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan generasi serta harapan bagi orang tua, bangsa dan negara. Kondisi sosial ekonomi keluarga dan keberadaan anak serta berbagai faktor lain pada saat ini membawa sebagian anak berada dalam situasi sulit dan rawan. Keadaan tersebut menjadikan anak kehilangan masa kanak- kanak dan bahkan menjerumuskan mereka ke dalam tindakan- tindakan kenakalan, pelanggaran hukum hingga kriminalitas. Bambang Waluyo mengungkapkan bahwa ‘sebagai pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan budaya dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, tetapi anak- anak juga terjebak melanggar norma terutama norma hukum. Anak- anak terjebak dalam pola konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ke tindakan kriminal, seperti narkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya’.1 Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang tidak disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. “Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan 1
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3.
2
gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas tuntas.”2 Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Gatot Supramono lebih lanjut mengatakan, ‘anak yang kurang atau tidak memperoleh
kasih
sayang,
asuhan,
bimbingan
dan
pembinaan
dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian, diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya’.3 Perhatian terhadap masalah kenakalan anak ini telah banyak menuangkan berbagai pemikiran, baik dalam bentuk diskusi, maupun di dalam seminar yang telah diadakan oleh organisasi atau instasi pemerintah yang erat hubungan dengan masalah ini. Indonesia dikenal sebagai negara hukum yang demokratis, dalam 2
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1. (selanjutnya disebut Bambang Waluyo II) 3
Gatot Supramono, 1998, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jambatam, Jakarta, h. 159.
3
negara hukum, negara berada sederajat dengan individu, dan kekuasaan negara dibatasi oleh Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia menjadi suatu isu yang penting diakhir keruntuhan pemerintahan orde baru dan akhirnya dikatakan telah lahir orde reformasi. Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah memiliki perhatian yang begitu besar terhadap hak asasi manusia, yang secara konstitusional terlihat dan telah ada sejak para pendiri negara ini menyusun suatu konstitusi negara yaitu Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hak asasi anak merupakan bagian dari HAM yang termuat dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak- Hak Anak yaitu Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Chlid 1989) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak- Hak Anak. Konvensi Hak Anak Tahun 1989 memuat 4 (empat) prinsip dasar hak- hak anak, yaitu : 1. Hak hidup. Hak untuk hidup akan menjamin anak untuk terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh negara maupun orang dewasa sekitarnya; 2. Hak kelangsungan hidup/ tumbuh berkembang. Hak tumbuh kembang mencangkup perkembangan fisik, perkembangan mental, perkembangan sosial, perkembangan moral dan spiritual, serta perkembangan secara budaya; 3. Kepentingan terbaik anak. Kepentingan terbaik anak menyangkut prioritas, misalnya dalam proses adopsi dan orang tua mengalami perceraian;
4
4. Hak partisipasi/ mengemukakan pendapat. Hak berpartisipasi adalah hak anak untuk didengar dan ikut mengambil keputusan. Melihat pada kenyataannya, pemenuhan hak- hak anak yang berkonflik dengan hukum sering terabaikan, mengalami diskriminasi, dan kekerasan. Persoalan ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat berbagai keterbatasan dan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan. Apalagi sering terdapat kecenderungan dalam produk kebijakan legislasi bahwa hukum pidana hampir selalu digunakan untuk menakut- nakuti atau mengamankan bermacam- macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang. Fenomena semacam ini memberi kesan seolah- olah dirasakan kurang sempurna atau hambar bila suatu produk perundang- undangan tidak ada ketentuan pidananya (sanksi).4 Pasal 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan dan berlandaskan diperlukan dalam upaya perlindungan anak dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak konsepsi perlindungan anak utuh, menyeluruh, dan komprehensip, undang- undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas- asas sebagai berikut : a.
4
Non diskriminasi;
Barda Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40.
5
b.
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Sejalan dengan fenomena di atas, menurut pendapat Agung Wahyono dan Siti Rahayu, ‘pembinaan generasi muda merupakan masalah yang integral dari masalah pembangunan, oleh sebab itu perlu adanya pembinaan terhadap generasi muda khususnya anak- anak’.5 Namun dalam prakteknya perlindungan terhadap anak- anak yang berkonflik dengan hukum masih belum memadai, karena pemberian hak- hak anak yang dilakukan aparat penegak hukum masih sangat terbatas. Sanksi hukum yang dapat dijatuhkan pada anak yang bermasalah dengan hukum adalah berupa pidana atau tindakan. Berdasarkan sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum adalah Pasal 82 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak : a. Pengembalian kepada orang tua/ wali; b. Penyerahan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa; d. Perawatan di LPKS; e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atas pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. Pencabutan surat ijin mengemudi; dan/ atau 5
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.
6
g. Perbaikan akibat tindak pidana. Pertimbangan terhadap hak- hak anak sebenarnya merupakan pertimbangan moral yang telah diadopsi dalam Undang- undang Sistem Peradilan Anak. Tujuan utama peradilan anak yang digolongkan sebagai pertimbangan moral tersebut adalah mewujudkan kesejahteraan anak. Konsekuensi untuk mewujudkan tujuan dasar tersebut dilakukan dengan mendahulukan atau mengutamakan kepentingan anak. Pemeriksaan terhadap seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana harus menjunjung tinggi hak- hak anak. Muncul berbagai konsep alternatif dalam penanganan masalah anak yang bermasalah dengan hukum antara lain adalah yang dikenal dengan konsep Diversi dan Restorative Justice. ‘Konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia, konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses nonformal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.’6 Menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan 6
Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Badung, h.168.
7
tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip- prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaiakan permasalahan anak karena justru didalamnya rawan terjadi pelanggaran- pelanggaan terhadap hak anak. Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur didalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang- undang semata tetapi juga memodifikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang dikehendaki oleh hukum pun tercapai. “Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang ada dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan musyawarah untuk mufakat. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaiakan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.”7 Restorative Jutice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat, serta pihak- pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. “Konsep Restorative Justice mempunyai
7
Ridwan Mansyur, 2014, Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak, URL : https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 , diakses tanggal 27 Pebruari 2015
8
pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau
masyarakat
dan
berhubungan
dengan
pelanggaran
sebagai
suatu
pengerusakan norma hukum”.8 Konsep Keadilan Restoratif diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia jika dilakukan tidak berdasarkan pada konsep yang murni. Artinya tetap berada dalam koridor sistem peradilan pidana anak yang berlaku saat ini, yaitu anak pelaku tindak pidana wajib dihadapkan pada proses peradilan dengan kemungkinan dijatuhi hukuman pidana penjara atau pidana kurungan dan menjalani pidananya di Rumah Tahanan/ Lembaga Pemasyarakatan, dijatuhi pidana bersyarat, dijatuhi tindakan sebagaimana terdapat dalam Pasal 71 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang tersurat : 1. Pidana Pokok bagi anak terdiri atas : a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1) Pembinaan di luar lembaga; 2) Pelayan masyarakat; atau 3) Pengawasan. c. Pelatihan kerja; d. Pembinaan dalam lembaga; atau e. Penjara. 2. Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan b. Pemenuhan kewajiban adat. 3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda dan diganti dengan pelatihan kerja. 4. Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8
Marlina, Op.Cit, h.23.
9
‘Secara
umum
hukum
pidana
mempunyai
fungsi
mengatur
dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban’.9 ‘Umumnya pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan Narapidana atau anak pidana agar dapat menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai’.10 Untuk anak, Jerome Stumpauzer menyatakan bahwa ‘penempatan anak pada institusi (lembaga) justru menyelamatkan mereka pada lebel anak delinkuen dan mendekatkan mereka pada anak yang benar-benar nakal yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Lingkungan penjara justru menyebabkan anak menjadi lebih nakal ketika lepas dari lembaga’.11 “Perubahan mendasar penanganan perkara anak dalam Undang -Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi penguatan terhadap peran pemasyarakatan berada dalam keseluruhan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dalam kaitan dengan pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/ atau pendampingan. Disinilah maka, peran Balai Pemasyaraklatan (BAPAS), Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang akan dibentuk menjadi Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara (LPAN) yang nanti akan berubah menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan menjadi sangat penting dalam mendorong penanganan perkara anak melalui pendekatan restorative justice dan diversi. Perlindungan anak melalui perlakuan khusus tersebut diperlukan dengan mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak, dimana anak adalah subyek dengan kebutuhan khusus dan berhak atas masa depannya”.12 9
Adami Chazawi, 1999, Stelsel Pidana Indonesia, Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.15 10 Ibid. 11
I Dewa Made Suartha, 2013, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Lembaga Penempatan Anak Sementara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, h. 2. 12 Ibid.
10
Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas klien pemasyarakatan. Payung hukum yang menopang sistem pemasyarakatan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut menguatkan usaha- usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Ini berarti bahwa tujuan akhir
dari
sistem
pemasyarakatan
adalah
bersatunya
kembali
klien
Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan warga binaan pemasyarakatan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menghambat dalam pembangunan. “Sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”.13 Untuk melaksanakan pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) diperlukan adanya suatu program agar proses pembinaan dapat tercapai. Sedangkan pembinaan yang ada diluar LAPAS di laksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS), yang dalam Pasal 1 ayat 4 Undang- Undang Nomor 12 13
Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Department Hukum dan HAM RI, Jakarta, h.21.
11
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa BAPAS adalah suatu pranata untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan. Bentuk dari bimbingan yang diberikan macam-macam, mulai dari pemberian pembinaan tentang agama, keterampilan, sampai pada pembinaan kepribadian. Bimbingan ini diberikan dengan tujuan agar klien dapat hidup dengan baik didalam masyarakat sebagai warga negara serta bertanggungjawab, untuk memberikan motivasi, agar dapat memperbaiki diri sendiri, dan tidak mengulangi kejahatan (residive). “Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih lanjut kita lihat pendapat lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum secara penuh.”14 Dalam hal ini, Balai Pemasyakaratan (BAPAS) juga mempunyai peran yang penting dalam memberikan bimbingan terhadap para narapidana yang telah memperoleh pelepasan bersyarat, yaitu dengan pemberian pengawasan yang khusus. Dalam Pasal 14 huruf d KUHP juga menyebutkan bahwa pengawasan terhadap narapidana yang mendapatkan pelepasan bersyarat diserahkan kepada yang berhak yang telah ditunjuk oleh hakim, salah satunya adalah Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Apabila dilihat data empiris BAPAS Klas I Denpasar ternyata dalam kurun waktu 3 tahun (tahun 2012, 2013, 2014) jumlah anak yang berkonflik dengan hukum yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar sebanyak 113 (seratus tigabelas) anak sebagaimana terlihat pada tabel berikut: 14
Anonim, http://digilib.unila.ac.id/85/8/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 04 Juli 2015
12
Pembinaan Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Kurun Waktu 3 Tahun (2012-2014) Nomor
Tahun
Jumlah
Keterangan
1
2012
32
28,3%
2
2013
32
28,3%
3
2014
49
43,4%
113
100%
Sumber : Registrasi BAPAS Klas I Denpasar Dari data tersebut ternyata bahwa jumlah anak yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar relatif banyak yaitu 113 anak, seharusnya anak tidak atau sedikit melakukan tindak pidana, oleh karena anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita- cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis yang mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul : Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Perlindungan Dan Pembinaan Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Kasus Di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar.
13
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah bentuk- bentuk perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar ?
2.
Hambatan apa yang dihadapi dalam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari penyimpangan yang tidak diperlukan karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang lingkup bahasan dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan dan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar dan yang menjadi hambatan dalam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum dan dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar. Sehingga dalam skripsi ini akan mengedepankan peraturan-peraturan yang berkaitan dan relevan terhadap permasalahan yang dikemukakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
14
Undang- undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak yang terkait dengan penerapannya di Balai Pemasyaakatan Klas I Denpasar. 1.4. Orisinalitas Berdasarkan penelusuran atas judul penelitian kali ini, penulis akan menampilkan dua skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Peranan Balai Pemasyarakatan dalam Perlindungan dan Pembinaan terhadap Anak yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Kasus di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar)”. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi terdahulu sebagai pembanding. No 1
Judul
Penulis
Upaya Penanganan Gede Perlindungan Terhadap
Yudha Anak Wedantara
Rumusan Masalah 1. Bagaimana
penanganan
perlindungan sebagai
terhadap
anak
tindak
pidana
korban
Sebagai
Korban (Mahasiswa
perdagangan orang di wilayah
Tindak
Pidana Fakultas
hukum Polda Bali?
Perdagangan Orang Hukum (Penelitian Wilayah Polda Bali)
di Universitas Hukum Udayana) Denpasar,
2. Apa saja kendala- kendala yang dihadapi oleh Kepolisian didalam memberikan terhadap
perlindungan anak
sebagai
15
Tahun 2013
korbantindak pidana perdagangan orang
serta
bagaimana
upaya
penanggulangannya? 2
Perlindungan Hukum
Ni Nyoman 1. Apakah
Terhadap Anom Sari
Anak
yang Dewi
Melakukan
Tindak (Fakultas
peraturan
perundang-
undangan Nomor 23 Tahun 2002 tentang anak yang berlaku saat ini telah memberikan perlindungan
Pidana Berdasarkan Hukum
hukum
Undang-
melakukan tindak pidana?
Nomor
Undang Universitas 23
Tahun Udayana)
2002
terhadap
anak
2. Bagaimanakah
Denpasar,
perlindungan
Tahun 2007
anak
yang
pidana
yang
bentuk hukum
melakukan
dalam
terhadap tindak
perlindungan
pidana?
1.5. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya penelitian untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di dalam perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dikaitkan dengan keadilan
16
Restoratif, sebagai sarana dalam upaya perlindungan terhadap anak, khususnya anak yang berhadapan dengan hukum. Selama ini apabila keadilan Restoratif tidak bisa ditempuh maka anak yang berhadapan dengan hukum kemungkinan bisa dipidana maka dengan penelitian ini dimaksudkan untuk bisa melindungi dan membina anak yang berkonflik dengan hukum di Balai Pemasyarakatan. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus (het doel in het onderzoek) adalah mendalami permasalahan hukum secara khusus yaitu : a. Untuk melihat bentuk- bentuk perlindungan hukum yang telah diberikan pada anak yang berkonflik dengan hukum sesuai Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak dan penerapan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana Anak serta implementasi Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. b. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisa secara mendalam tentang kebijakan hukum pidana dimasa mendatang mengenai terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan bisa memberi perlindungan terhadap anak yang dijatuhi pidana dan dibina di Balai Pemasyarakatan.
17
1.6. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam pembaharuan hukum pidana khususnya di bidang peradilan anak serta sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peratuan- peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pidana, terutama hukum pidana, khususnya terhadap perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang dijatuhi hukuman pidana dan dibina di Balai Pemasyarakatan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini sebaiknya diharapkan dapat memberikan manfaat dan dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan proses peradilan pidana terhadap anak khususnya anak pidana untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak. 1.7. Landasan Teoritis Dalam rangka memberikan landasan terhadap pembahasan terkait dengan perlindungan dan pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum dan dibina di balai pemasyarakatan, agar pembahasan tersebut lebih terfokus pada tujuan yang hendak dicapai dalam rumusan masalah maka perlu dirumuskan teori, konsepkonsep, asas- asas hukum maupun pendapat sarjana yang dan pada akhirnya
18
dijadikan dasar acuan dalam penelitian ini yaitu : Teori Pemidanaan, Perlindungan dan Rehabilitasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan Teori Negara Hukum. 1. Teori Pemidanaan a. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut Tirtamidjaja menjelaskan bahwa hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagai berikut : a. Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat- syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang- orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan hakim. Dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materiil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil
19
adalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materiil. Pemidanaan sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. b. Jenis- jenis Pemidanaan
Hukum Pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni : 1.
Pidana Pokok - Pidana mati - Pidana penjara - Pidana kurungan - Pidana denda
2.
Pidana Tambahan - Pencabutan hak- hak tertentu - Perampasan barang- barang tertentu - Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai kualifikasi urutan- urutan dari jenis- jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana- pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatankejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
20
c. Teori Pemidanaan P.A.F. Lamintang menyatakan, pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan c. Untuk membuat penjahat- penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan- kejahatan yang lain, yakni penjahat dengan caracara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.15 Bertitik tolak pada kerangka pemikiran diatas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Pada umumnya teori- teori pemidanaan terbagi atas tiga, yaitu: a. Teori imbalan (absolute/ vergeldingstheorie) Teori absolute memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sediri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata- mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori absolute atau mutlak ini dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa ‘teori ini merupakan teori pembalasan yang bertujuan untuk memuaskan pihak yang
15
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, h.11.
21
dendam baik masyarakat maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan’.16 Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa ‘kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi’.17 b. Teori maksud atau tujuan (relative doeltheorie) Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman itu harus dipandang secara ideal. ‘Teori relative atau teori tujuan menyatakan bahwa pidana bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat’.18 Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).
16
Tolib Setiady, 2010, Pokok- Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h.53.
17
Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensir Di Indonesia, Armico, Bandung, hal. 20.
18
Tolib Setiady, Loc.Cit, h.56.
22
b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).19 c. Teori gabungan (verenigingstheorie) Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan kedua teori di atas. ‘Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat’.20 ‘Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Pelligrino Rossi yang menganggap bahwa pembalasan sebagai asas dari pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil namun juga harus tetap mempunyai pengaruh yakni perbaikan pelaku tindak pidana di masyarakat’.21 2. Perlindungan dan Rehabilitasi Anak a. Perlindungan terhadap Anak Yang Berkonflik dengan Hukum Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Grosita mengemukakan bahwa ‘kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak’.22 Mengenai Hak Asasi Manusia utamanya tentang perlindungan anak, lebih lanjut diatur pada Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas 19
Ruslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 26.
20
Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan VI, Sinar Grafika, Jakarta, h. 105. 21
Tolib Setiady, Op.Cit, h. 58.
22
Arif Grosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, Jakarta, h. 19.
23
Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ‘Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak yang melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat’.23 b. Rehabilitasi terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Rehabilitasi adalah proses perbaikan yang ditujukan pada anak didik pemasyarakatan agar mereka cakap berbuat untuk memiliki seoptimal mungkin kegunaan jasmani, rohani, sosial, pekerjaan, dan ekonomi. Arah tujuan rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan. Refungsionalisasi dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan pada pengembalian fungsi dari anak didik pemasyarakatan, sedangkan pengembangan diarahkan untuk menggali atau menemukan dan memanfaatkan kemampuan anak didik pemasyarakatan yang masih ada serta potensi yang dimiliki untuk memenuhi fungsi diri dan fungsi sosial dimana berada.
23
Arif Grosita, 1984, Masalah Perlindungan Anak (kumpulan karangan), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 18. (selanjutnya disebut Arif Gosita II)
24
‘Sasaran rehabilitasi cukup luas, karena tidak hanya terfokus pada anak didik pemasyarakatan saja, tetapi juga pada petugas pemasyarakatan (Lapas Anak dan Bapas), orang tua dan keluarga, masyarakat, lembaga- lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi sosial yang terkait’.24 3. Teori Negara Hukum Negara Indonesia sebagai negara hukum, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat- alat kelengkapan negara atau penguasa semata- mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Disamping suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut Burkens apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut25: a. Asas Legalitas, artinya setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
peraturan perundang- undangan (Wettelijke Grondslag). Dengan landasan ini, undang- undang dalam arti formal, dan undang- undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan- tindakan pemerintah dalam hubungan ini pembentukan undang- undang merupakan bagian penting negara hukum. b. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu kekuasaan. c. Hak- hak dasar (grondrechten) dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentuk undang- undang. d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.
24
URL : http://rian-plbuns2012.blogspot.com/2012/10/pengertian-rehabilitasi.html (diakses pada tanggal 10 Pebruari 2015) 25
Burkens, M.,at.al., 1990 Begenselen can de Democratiche Rechtstaat, Dalam Yohanes Usfunan, Kebebasan berpendapat Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya, h. 111.
25
Konsep negara hukum yang khusus bagi Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila. Konsep Negara Hukum ini menurut Padmo Wahjono ‘kebangsaan yang bebas dan merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur, yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban dan kesejahteraan dengan fungsi pengayoman dalam arti penegakan demokrasi, perikemanusiaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.26 Selanjutnya disebutkan juga bahwa Negara Hukum Pancasila mengandung lima unsur yaitu : 1.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
2.
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah merupakan Lembaga Tertinggi Negara, yang berwenang merubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar yang melandasi segala peraturan perundangan- undangan lainnya.
3.
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusi.
4.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
5.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya lepas dari kekuasaan pemerintah.27
1.8. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Hukum Empiris. Dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata. Dalam penelitian 26
Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind Hill, Jakarta, h. 153- 155
27
Ibid h.156.
26
ini, peneliti mengamati bagaimana peranan dari balai pemasyarakatan dalam perlindungan dan pembinaan terhadap anak yang dijatuhi hukuman di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Denpasar. Penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan dengan mode empiris karena ketentuan mengenai perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ditinjau dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan serta penerapannya di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar. 2. Jenis Pendekatan Mengacu dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka jenis pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach) dengan inventarisasi peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan Restorative Justice serta perlindungan hukum terhadap anak yang diproses peradilan pidana, Pendekatan Fakta (The Fact Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conceptual Approach). 3. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang diterapkan dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan secara umum, termasuk pula penelitian ilmu hukum, yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat- sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat.
27
4. Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, serta bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi : hasil wawancara yang dilakukan di Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar. Sedangkan bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu rancangan undang- undang, seperti Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP, KUHAP, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36 tahun 1990), hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.28 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan dengan wawancara. Dan ditunjang dengan studi dokumen dimana merupakan pelengkap penggunaan metode wawancara dalam penelitian kualitatif. Studi dokumen dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui jumlah perkara tindak pidana anak yang ditangani oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Denpasar dan untuk mengetahui bagaimana peranan BAPAS dalam
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1.
28
menangani tindak pidana tersebut. Hal ini untuk memperkuat hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap BAPAS. 6. Pengolahan dan Analisis Data Guna memperoleh gambaran tentang peranan dari balai pemasyarakatan dalam perlindungan dan pembinaan terhadap anak yang dijatuhi hukuman di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Denpasar analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisa kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan yaitu : pertama, menyesuaikan metode dan sifat deskriptif dalam penelitian ini sehingga lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden.