Eka Rezeki Amalia 06320004
A. Artikel Sumber: http://www.spirit_ntt.com Didownload tanggal 6 April 2008
KAPAN ORANG PINTAR JADI BODOH?
Oleh Dr. Frans Salesman, S.E, M.Kes
Pertanyaan ini dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional. Saya piker pertanyaan ini masih relevan untuk ditelaah karena hal ini sering menjadi fenomena yang dialami setiap zaman sepanjang evolusi kehidupan dan peradaban manusia. Pertanyaan ini ada di dalam fakta kehidupan kita. Dan, menjadi lebih banyak turunan pertanyaannya saat ini ketika manusia sudah larut berbagai jenis kehidupan seperti sains dan teknologi, liberalisme ekonomi, hinga bingarnya kesibukan politik, dan rendahnya kecerdasan moral manusia. Walaupun di awal tulisannya Daniel Golemen mengisahkan tentang perubahan perilaku seorang bernama Jasson H, siswa kelas dua di SMU Coral Spring-Florida, yang tiba-tiba mengamuk dan menusuk sebilah pisau tajam ke tulang selangka guru fisikanya di ruang laboratorium. Merasa sangat tersinggung oleh keputusan gurunya memberikan nilai 80 (setara B), padahal setiap ujian mata pelajaran fisika dia selalu memperoleh nilai A. Menurut Jasson H, nilai B yang diterimanya, menjadi kendala untuk melanjutkan citacitanya ke Fakultas Kedokteran sebagai obsesi untuk pengembangan intelektual di kemudian hari. Dalam putusan pengadilan, hakim memutuskan bahwa Jasson H tidak bersalah karena pada saat itu dia sedang gila sementara. Setelah vonis bebas dia pindah sekolah, dan pada ujian akhir mata pelajaran yang sama dia mendapatkan nilai A+ karena Jasson dinyatakan selain memiliki pengetahuan akademis yang diukur dengan kemampuannya menjawab soal-soal ujian, dia juga
memiliki
keterampilan
keterampilan
fisika
yang
sangat
berguna
bagi
pengembangan ilmunya di masa depan. Di tengah-tengah kegembiraan yang dirasakan siswa Jasson, sang guru fisika di sekolahnya yang lama tetap mengeluh bahwa Jasson H tidak pernah menyadari kesalahannya terhadap sang guru yang telah ditikamnya dan meminta maaf kepadanya.
Cerita di atas baru sebagian kecil contoh perilaku dari sekian miliar orang yang hidup di jagad ini yang memiliki Intelegensi Quosent (IQ) relatif tinggi, tetapi tidak memiliki keseimbangan dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial yang layaknya dimiliki oleh setiap orang yang berkategori cerdas. Agar tidak bias, didefinisikan konsep kecerdasan mengandung arti seperangkat kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memotivasi dirinya untuk mengubah keadaan hidupnya hari ini dengan keadaan yang dipersepsikannya akan terjadi di masa depan, sehingga dia melakukan penyesuaian-penyesuaian diri sejak awal. Ketika masa depan yang diharapkan tiba, dia sudah mampu mengelolanya sesuai konsep diri yang telah dipersiapkannya. Berikut ini beberapa catatan sebagai bahan refleksi bagi kita yang berkenan membaca artikel ini.
Mendayagunakan otak Kepintaran sebenarnya hasil dari pendayagunaan otak. Jika orang kurang kreatif mengatasi berbagai tantangan hidup, serta merta masyarakat menilai bahwa orang tersebut bodoh. Realita kehidupan manusia hanya ada dua dimensi intelek antagonistis; pintar atau bodoh. Kalau bukan pintar pasti bodoh, demikian sebaliknya. Tapi apakah seseorang seratus persen pintar, dan seratus persen bodoh? Tentu tidak, bergantung upaya manusia meningkatkan kemampuan otaknya yang telah terstruktur sejak dia lahir. Agar tidak menimbulkan kontroversi menginterpretasi konsep, kami mendefinisikan ‘pintar’ diartikan sebagai orang yang sudah memiliki ijazah formal melalui sistem pendidikan terstruktur dan berjenjang, sedangkan bodoh adalah orang pintar yang berperilaku menyimpang dari norma-norma akademik dan norma sosial. Meningkatkan intelektualitas dan emosional manusia intinya adalah mendayagunakan otak yang
beratnya rata-rata satu setengah kilogram dan terdiri dari sel-sel neuron yang jumlahnya byliunan sel dan cairan saraf yang diatur menurut fungsinya masingmasing. Setiap orang diberikan talenta untuk mendayagunakan sel-sel yang ada di dalam otaknya sebagai sentral menggerakkan seluruh anggota tubuhnya menurut rangsangan yang ditangkap oleh indera manusia. Reaksi emosional, misalnya cinta adalah produksi dari limbic dalam otak yang menghasilkan perasaan nikmat dan hasrat birahi yang mendorong nafsu seksual. Ketika struktur limbic tersambung oleh jaringan neo korteks timbulah kasih sayang seperti yang ditunjukkan oleh seorang ibu ketika membelai-belai anaknya. Perilaku kasih sayang sang ibu tadi tidak dimiliki induk reptilia. Pada reptilia tidak mempunyai sambungan neo korteks, sehingga ketika telur menetas bayi-bayi reptilia harus bersembunyi agar tidak dimakan induknya. Otak menjadi pemicu perilaku manusia. Sedangkan jaringan syaraf neo korteks memberikan rangsangan untuk menyusun logika abtraksi suatu fenomena, mengekstrapolasi keadaan masa kini ke masa depan, dan meningkatkan kemampuan mental, dan jika dilakukan secara sistematis melalui pendidikan seseorang menjadi pandai dan bijak.
Orang pintar dan bijak Orang pintar selalu dianalogi dengan separangkat gelar yang diperoleh seseorang melalui jenjang pendidikan tertentu. Diharapkan dengan gelar yang diperoleh melalui proses pendidikan dia melakukan kegiatan-kegiatan akademis baik formal maupun informal membantu menyelesaikan masalah kemasyarakatan. Misalnya, dibidang kedokteran, para dokter dengan kompetensi yang dimilikinya dia melakukan diagnosa berdasarkan sign dan symptom penyakit yang dilaporkan pasien, lalu memberikan terapi berupa obat-obat dan nasihat tertentu sehingga pasiennya sembuh. Demikian pula ketika sang dokter mendiagnosa bahwa seorang ibu yang mengalami partus lama mengetahui bahwa bayi dalam kandungan tidak mungkin lahir hidup, dia memuntuskan tindakan operasi, sehingga ibunya tidak kehilangan banyak darah dan energi untuk mendorong sang bayi yang telah mati dalam kandungan keluar melalui jalar lahir yang tersedia. Para apoteker melakukan pengujian berulang-ulang setiap penemuan obat baru,
agar para konsumen tidak teler ketika mengonsumsi obat yang diberikan dokter atau membeli di apotek-apotek. Di bidang rancang bangun dan perekayasaan, seorang ahli perancang bangunan pencakar langit menghitung kedalaman pondasi bangunan dengan mempertimbangkan jenis dan struktur tanah, ketahanan terhadap gempa dengan berbagai intensitas dan frekuensi gempa, sehingga para penghuni bangunan merasa nyaman ketika menghuni bangunan tersebut. Para parancang mode membuat mode-mode pakaian yang trendy (mengikuti perkembangan zaman) agar para user percaya diri ketika menggunakan pakaian hasil rancangannya. Di bidang ekonomi, para ekonom menganalisis hubungan tingkat suku bunga danjumlah uang beredar terhadap laju inflasi lalu membuat kebijakan uang ketat agar melindungi daya beli orang miskin. Tetapi ketika mereka menjerit karena kebijakan menaikkan harga BBM, mereka cukup diberikan permen berupa Subsidi Langsung Tunai (SLT) agar mereka berhenti mengamuk sementara.
B. Komentar Saya setuju dengan artikel tersebut. Tidak semua orang dengan IQ cerdas mempunyai emosional dan sosial yang cerdas pula. Ada orang yang cerdas dalam akademik namun tidak bisa memposisikan dirinya di lingkungan masyarakat. Kecerdasannya hanya tergantung dari aspek kognitif pribadinya. Sehingga, dalam menyimpulkan sesuatu ia hanya terpaku oleh satu pemikiran intelek tanpa memikirkan intelegensia yang dimilikinya. Menurut tokoh psikologi kognitif yang bernama Jean Piaget, terdapat perbadaan antara intelek dan intelegensia. Intelek adalah akal budi yang berdasarkan oleh aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses berpikir lebih tinggi. Sedangkan intelegensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru. Kedua hal ini berbeda namun berada pada suatu wadah yang sama. Intelek dan intelegensi seseorang berkembang pada masa remaja. Intelegensia berhubungan dengan cara penempatan diri seseorang di dalam lingkup sosial kemasyarakatan.
Perkembangan remaja menunjukkan adanya perubahan sifat dan moral dari seorang anak. Para remaja sudah dapat memiliki pola pikir sendiri dalam usaha untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dan abstrak. Karena kemampuan berpikir remaja berkembang sehingga mereka dengan mudah membayangkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah individu mereka. Mereka juga sudah dapat memproses semua informasi yang datang dari luar atau lingkungan dan akan diadaptasikan oleh pemikiran mereka masingmasing. Proses pemikiran dari setiap individu berbeda, tergantung sejauh mana ia dapat mencerna intelek dan integensi yang dimilikinya. Selain sudah dapat berpikir secara logis, aspek perasaan dan moralnyapun juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya. Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Hal inilah yang tidak sejalan dengan Jasson H, seorang murid yang menusuk gurunya. Ia hanya berfikir dengan intelek tanpa intelegensia. Sehingga tingkah lakunya sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru tidak terkontrol dengan baik. Meskipun ia memiliki kecerdasan IQ di atas rata-rata, namun ia belum berhasil dalam mengembangkan aspek intelegensia yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, IQ seseorang tidak menjamin kecerdasannya. C. Glossary Relevan
: kait mengait, bersangkut paut
Fenomena
: hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah
Evolusi
: perubahan secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan
Liberalisme
: aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga
Moral
: ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb
Obsesi
: gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan
Intelektual
: daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dgn pengetahuan, kecerdasan berpikir.
Emosional
: luapan perasaan yg berkermbang dan surut dalam waktu singkat
Motivasi
: dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu
Persepsi
: tanggapan langsung dari sesuatu
Refleksi
: gerakan di luar kemauan atau kesadara sebagai jawaban suatu hal atua kegiatan yang datang dari luar
Antagonistis : bersifat menentang Struktur
: cara sesuatu disusun atau di bangun
Kontroversi
: pertentangan
Interpretasi
: pemberian kesan, pemdapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu
Talenta
: pembawaan seseorang sejak lahir
Sentral
: ditengah-tengah
Abstraksi
: proses atau perbuatan mengisahkan
Ekstrapolasi
: perluasan data diluar data yang tersedia tetapi tetap mengikuti pola kecenderungan data yang tersedia itu
Intensitas
: keadaan tingkatan
Frekuensi
: kekerapan
Sistematis
: teratur menurut sikon