KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan)
Oleh: MUNGKI EKA PRATIWI E34101066
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan)
Oleh:
MUNGKI EKA PRATIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
Mungki Eka Pratiwi. E 34101066. Kajian Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Dibawah bimbingan: Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. Pencemaran udara yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari kegiatan transportasi dan industri, hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara. Udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan termasuk lumut kerak secara fisiologis. Beberapa jenis lumut kerak dilaporkan dapat menjadi bioindikator yang peka terhadap pencemaran udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, dengan ruang lingkup mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan). Penelitian dilakukan pada kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Lokasi-lokasi tersebut diduga sebagai memiliki kualitas udara relatif tercemar (kawasan industri Pulo Gadung dan arboretum Cibubur) dan relatif tidak tercemar (tegakan mahoni Cikabayan). Pengamatan talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan terhadap tiap unit contoh pohon. Ciri-ciri makroskopik talus yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan data pertumbuhan lumut kerak juga diamati pada kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan Dirinaria cf. picta). Pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp., Graphidaceae, Heterodermia sp. dan Parmelia cf.austrosinensis). Pada tegakan mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.). Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan rendah). Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak tidak teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena dalam jarak yang diambil terlalu dekat. Rata-rata luas talus D. cf.picta pada jarak pengamatan 5 meter dari titik pengukuran kualitas udara dengan titik pengamatan membelakangi titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2, memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2). Hal tersebut diduga karena pengaruh polutan yang ada. Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur ukuran keliling batang tanaman yang lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan lebih bervariasi.
2 Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%, dengan suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan bila dibanding dengan tipe morfologi foliose. Strigula sp. dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang berada di tegakan mahoni. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri Pulo Gadung, D. cf picta ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak lainnya dan sebelumnya telah dilaporkan bahwa jenis ini sebagai bioindikator udara kotor. Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, dimana telah dilaporkan sebelumnya bahwa jenis lumut kerak ini sebagai bioindikator udara bersih.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1984
dari
pasangan
Prakoso
dan
St.Rukiyah.
Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 54 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Selama
mengikuti
perkuliahan,
penulis
pernah
menjadi
anggota
HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Prenjak”. Pada bulan JuniAgustus 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur serta praktek pengelolaan hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul “Lumut kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan)” dibawah bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana M.Si.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Lumut kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan)”. Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ibu Ir. Elis Nina Herliyana M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan pengarahannya selama penulis menyelesaikan skripsi. Selama penyusunan skripsi ini tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang penulis hadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat
penulis
selesaikan.
Untuk
itu,
dengan
segala
hormat,
penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna. Akhirnya,
semoga
karya
ilmiah
ini
bermanfaat
bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Bogor, Juni 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat izinNya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat penulis selesaikan. Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan kearifan serta memotivasi penyelesaian skripsi ini. 2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen HasiL Hutan dan Dr. Ir. Nurhaeni Wijayanto, MS, selaku dosen penguji Departemen Silvikultur. 3. Bapak dan Mama yang senantiasa penuh kasih sayang dan doa agar penulis tetap tegar sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini serta adik tercinta, yang selalu menghibur penulis dalam suka dan duka. 4. Bapak Ir. Ali Hambali dan Ibu Ir. Fida yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di kawasan industri Pulo Gadung. 5. Bapak Agus Syafii yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di arboretum Cibubur. 6. Pihak Herbarium Bogorensis, khususnya Ibu Ida Haerida, S.Si atas bantuan dan informasinya. 7. Insan Kurnia, S.Hut yang telah memberikan bantuan, dukungan dan arahannya selama penyusunan skripsi. 8. Monic, Wisye, Ernest, Boni dan Tommy atas dukungan dan bantuan selama penyusunan skripsi. I can’t made it with out u guys. 9. Mbak Eka, Mbak Rita, Berny, Mba Eko, Purie, Mirna, Catur (untuk kamera) dan Mas Ajie atas semangat, bantuan dan dukungannya selama penyusunan skripsi. Maaf sudah merepotkan kalian. 10. Bapak dan Ibu di KPAP DKSHE, Ibu Evan, Ibu Titin, Ibu Eti, Ibu Tuti, Bapak Acu dan Teh Sri yang telah membantu penulis dalam administrasinya. 11. Seluruh mahasiswa DKSHE angkatan 38 terimakasih atas kebersamaannya dalam suka dan duka selama ini. 12. Semua pihak lainnya yang telah banyak membantu penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................
ii
DAFTAR TABEL..............................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang.........................................................................
1
B. Tujuan Penelitian ....................................................................
2
C. Manfaat Penelitian ...................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Lumut Kerak ...........................................................
3
B. Morfologi Lumut Kerak ............................................................
4
1. Talus Crustose ...................................................................
5
2. Talus Foliose ......................................................................
5
3. Talus Fruticose...................................................................
5
4. Talus Squamulose..............................................................
5
C. Anatomi Lumut Kerak ..............................................................
6
1. Korteks atas .......................................................................
6
2. Lapisan Alga ......................................................................
6
3. Medulla ..............................................................................
7
4. Korteks Bawah ..................................................................
7
D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak .....................................
7
E. Pengaruh Lingkungan terhadap Lumut Kerak..........................
9
1. Faktor Lingkungan..............................................................
9
2. Bioindikator Kualitas Udara ................................................
10
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................
13
B. Bahan dan Alat Penelitian ......................................................
13
C. Metode..................................................................................
13
1. Pemilihan Lokasi Contoh ....................................................
13
2. Jenis Data ..........................................................................
14
3. Prosedur Pengambilan Data...............................................
14
Halaman 3. Analisis Data ...................................................................... 15 D. Kerangka Pemikiran ................................................................
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak a. Kawasan Industri Pulo Gadung ......................................
18
b. Arboretum Cibubur .........................................................
19
c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga ......
21
2. Karakteristik abiotik a. Kualitas Udara Ambien ...................................................
21
b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................
23
3. Jenis-jenis Lumut Kerak a. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ......................
23
b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak ..................................
24
c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat Lumut Kerak ...................................................................
26
4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak a. Bentuk Talus secara Umum ............................................
28
b. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum.......................
30
5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak ..............................................
32
6. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak ........
33
a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak ....................
33
b. Luas Talus Lumut Kerak ................................................
34
B. Pembahasan 1. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ...........................
36
a. Morfologi Talus Lumut Kerak ..........................................
36
b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum .....................
36
c. Warna Talus secara Umum ............................................
37
d. Ciri Mikroskopik Talus Lumut Kerak ...............................
39
e. Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat ........................
42
f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak.....
42
3 Halaman 2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak ..............................................................................
45
a. Kualitas Udara Ambien ...................................................
45
b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................
47
c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara ..........
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
51
A. Kesimpulan ............................................................................
51
B. Saran .....................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
53
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian ...........................
13
2. Kandungan Udara Ambien................................................................
22
3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan di Tiga Lokasi Pengamatan .....
23
4. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Pulo Gadung ............
25
5. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ...
25
6. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan .........................................................................................
25
7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung.....................................................................................
26
8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ......
27
9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum ........................................
28
10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum .........................................
30
2
11. Luas Talus Lumut Kerak (cm ) pada Ketinggian Batang Tanaman hingga 150 cm dari Permukaan Tanah ............................................ 2
12. Luas Talus Rata-rata (Cm ) per Jarak Pengamatan .........................
34 35
13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan ........................................................................................
49
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Bentuk Lobus pada Tipe Morfologi Talus .........................................
5
2. Morfologi Talus Lumut Kerak ...........................................................
6
3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran........................................................
17
4. jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung.....................................................................................
18
5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung ..........
19
6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur .................
20
7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ..............................
20
8. Kondisi Lokasi Pengamatan di Tegakan Mahoni Cikabayan ...........
21
9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata ..........................................
23
10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus .................................................................................
24
11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III ..........
26
12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum .....................
32
13. Warna Talus Spesies II ....................................................................
38
14. Warna Talus Spesies IV ...................................................................
39
15. Struktur Talus pada Tipe Talus Foliose ............................................
40
16. Rizoid pada Tipe Talus Foliose ........................................................
41
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan ........................................
57
2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien ...........................
58
3. Rekapitulasi Data Iklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Udara) .........
59
4. Struktur Makroskopis dan Mikroskopis Talus Lumut Kerak...............
60
2
5. Rekapitulasi Luas Talus Lumut Kerak (Cm ).....................................
69
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 ..................................
81
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan pusat-pusat industri juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara, polusi air, tanah dan suara. Dalam aktivitas produksinya, industri tersebut menyebabkan timbulnya
polutan-polutan
yang
dibebaskan
dalam
udara
yang
dapat
menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia (Ryadi, 1982; Soedomo, 2001). Aktivitas manusia tersebut dapat berupa meningkatnya kendaraan bermotor. Menurut Ryadi (1982), udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga menyebabkan adanya tingkatan kepekaan, yaitu sangat peka, peka dan kurang peka (resisten). Oleh karena itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan (Kovacs, 1992).
Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka
terhadap pencemaran udara, dengan pertumbuhan kerak tidak hanya mengalami kemunduran di daerah yang terkena polusi berat tetapi menjadi langka atau menghilang (Alexopoulos & Mims, 1979; Treshow ,1989). Lumut kerak adalah hasil simbiosis antara fungi dan alga. Simbiosis tersebut menghasilkan keadaan fisiologi dan morfologi yang berbeda dengan keadaan
semula
sesuai
dengan
keadaan
masing-masing
komponen
pembentuknya (Ahmadjian, 1967). Lumut kerak dapat mempengaruhi komponen ekosistem lain dan juga keberadaannya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, seperti mempunyai kemampuan dalam menyerap bahan-bahan beracun di udara dan menampilkan gejala yang khas untuk bahan beracun tertentu. Hampir sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitif terhadap
2 gas belerang dioksida (SO2) dan gas buang lainnya yang berasal dari industri maupun dari kendaraan bermotor (Suwarso, 2004). Penelitian terhadap jenis-jenis lumut kerak yang dapat menjadi bioindikator pencemaran
udara
masih
kurang,
diantaranya
adalah
hasil
penelitian
Soedaryanto et al. (1992) yang menemukan 3 jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada daerah kontrol di Denpasar, Bali. Pada penelitian ini akan dikaji tentang jenis-jenis lumut kerak pada kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Bogor, sebagai daerah yang diduga relatif tercemar dan relatif tidak tercemar. B. Tujuan Penelitian Mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, yaitu kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni. Adapun ruang lingkup penelitian adalah mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan). C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenisjenis lumut kerak yang tumbuh dengan kondisi kualitas udara tertentu yang dapat dijadikan biondikator kualitas udara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Lumut Kerak Menurut Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Noer (2004); Tjitrosoepomo (1981), lumut kerak merupakan tumbuhan rendah yang temasuk dalam divisi Thallophyta yang merupakan tumbuhan komposit dan perpaduan fisiologik dari dua makhluk, yakni antara fungi dan alga. Menurut Dharmaputra et al. (1989), fungi merupakan salah satu organisme heterotrof yang tidak termasuk tumbuhan maupun hewan, yaitu termasuk dalam regnum fungi. Fungi dapat hidup sebagai saprob atau parasit. Saprob merupakan organisme yang hidup dari bahan organik mati, sedangkan parasit adalah organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan mengambil makanan darinya. Keberadaan simbiosis antara dua organisme ini masih diperdebatkan. Lumut kerak seharusnya termasuk dan diklasifikasikan dengan fungi sejati (Bessey, 1950; Martin, 1950; Alexopoulos, 1956 diacu dalam Pandey & Trivendi, 1977). Namun, menurut Smith (1955) diacu dalam Pandey & Trivendi (1977) menerangkan bahwa lumut kerak harus berada pada kelompok yang terpisah dari alga dan fungi. Dua organisme tersebut hidup berasosiasi satu sama lain, sehingga muncul sebagai satu organisme. Penyusun komponen fungi disebut mycobiont yang pada umumnya berasal dari kelas Ascomycetes dan dua atau tiga genus termasuk kelas Basidiomycetes, sedangkan penyusun komponen alga disebut phycobiont, berasal dari divisi alga biru-hijau (Chyanophyceae) atau alga hijau (Chlorophyta). Tercatat bahwa terdapat 12 genus dari divisi alga biru-hijau (Chyanophyceae) dan 21 dari alga hijau (Chlorophyta). Pada umumnya genus yang termasuk dalam Cyanobacteria adalah Nostoc, Gloeocapsa dan Rivularia, sedangkan yang termasuk alga hijau diantaranya Protococcus, Trentepohlia dan Cladophora (Pandey & Trivendi, 1977). Menurut Misra & Agrawal (1978), menyatakan bahwa klasifikasi lumut kerak berdasarkan komponen fungi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu: 1) Ascolichens Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak berasal dari kelas Ascomycetes. Tipe ini terbagi dalam dua bagian yaitu Gymnocarpae
4 yang memiliki tubuh buah berupa apotesium dengan struktur terbuka, contohnya Parmelia. Sedangkan pada bagian Pyrenocarpae, memiliki tubuh buah berupa peritesium dengan struktur tertutup, contohnya Dermatocarpon. Komponen alga dari Ascolichen termasuk dalam Myxophyceae di antaranya Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa. Pada Chlorophyceae di antaranya adalah Protococcus, Trentepohlia, Cladophora. 2) Basidiolichens Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas Basidiomycetes. Basidioliches memiliki komponen alga yang termasuk dalam kelas
Myxophyceae,
berupa
filamen
(Scytonema)
atau
non-filamen
(Chroococcus). 3) Lichen Imperfecti Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas Deuteromycetous
dengan
contoh
antara
lain
Cystocoleus,
Lepraria,
Leprocanlon, Normandia. Fink (1961), menambahkan bahwa golongan ini tidak dapat membentuk spora fungi dan talus tersusun dari hifa atau massa padat yang seringkali terlihat menyerupai serbuk atau bubuk pada substrat yang ditumbuhinya. Menurut Pandey & Trivendi (1977), simbiosis antara alga dan fungi, memberikan dua penafsiran yang berbeda, yaitu : 1) Disebut simbiosis mutualisme, bila dipandang ke dua simbion dapat memperoleh keuntungan dari hidup bersama. Pada simbiosis tersebut alga memberikan hasil fotosintesisnya, terutama yang berupa karbohidrat kepada fungi, dan sebaliknya fungi memberikan air dan garam-garam kepada alga. 2) Disebut helotisme, bila keuntungan yang timbal balik itu hanya sementara, yaitu pada permulaannya saja, tetapi pada akhirnya alga akan diperalat oleh fungi. B. Morfologi Lumut Kerak Menurut Fink (1961), bagian utama lumut kerak adalah talus yang merupakan jaringan vegetatif. Keberadaan talus dapat terangkat atau tegak lurus dari substratnya, terjumbai, tergantung atau talus juga dapat terlihat tubuh secara rapat atau jarang pada substrat. Menurut
Dharmaputra et al. (1989), talus
adalah merupakan istilah umum untuk bagian vegetatif tumbuh-tumbuhan tak berpembuluh (non-vascular).
5 Lumut kerak dapat dikelompokkan dalam tiga tipe berdasarkan morfologi talusnya yaitu crustose, foliose, dan fruticose. Pengelompokan itu berdasarkan pada organisasi jaringan tubuh dan perlekatan talus pada substratnya, yaitu: 1. Talus Crustose Ukuran talus crustose bermacam-macam dengan bentuk talus rata, tipis, dan pada umumnya memiliki bentuk tubuh buah yang hampir sama. Talus berupa lembaran tipis atau seperti kerak yang permukaan bawahnya melekat pada substrat. Permukaan talus biasanya terbagi menjadi areal-areal yang agak heksagonal yang disebut areole (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).
2. Talus Foliose Talus foliose bertingkat, lebar, besar, kasar dan menyerupai daun yang mengkerut dan melipat. Permukaan talus foliose bagian bawah dan atas berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang atau gelap dan pada bagian tepi talus biasanya menggulung ke atas (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).
Gambar 1. Bentuk Lobus Tipe Talus Foliose (Hale, 1989) 3. Talus Fruticose Talus fruticose merupakan tipe talus kompleks dengan cabang-cabang yang tidak teratur. Talus ini memiliki bentuk cabang silinder atau pita. Talus hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak fruticose ini memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-batuan, daun, dan cabang pohon (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972).
6 4. Talus Squamulose Talus ini memiliki bentuk seperti talus crustose dengan pingiran yang terangkat ke atas di atas tempat hidupnya. Talus ini memiliki bentuk seperti sisik yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi tidak memiliki rizin (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979; Noer, 2004).
Gambar 2. Morfologi Talus (www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens) C. Anatomi Talus Lumut Kerak Secara umum anatomi jaringan talus lumut kerak tersusun atas beberapa lapisan diantaranya sebagai berikut : 1. Korteks Atas Lapisan teratas disebut sebagai lapisan hifa fungi. Lapisan ini tidak memiliki ruang antar sel dan jika ada maka ruang antar sel biasanya diisi oleh gelatin. Pada beberapa jenis lumut kerak yang bergelatin, kulit atas juga kekurangan satu atau beberapa sel tipis. Namun, permukaan tersebut dapat ditutupi oleh epidermis (Misra & Agrawal, 1978). Alga sangat penting bagi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lumut kerak, karena alga dapat melakukan fotosintesis (Moore, 1972). Secara umum, lapisan atas alga diketahui dapat menerima cahaya sinar matahari. Simbiosis yang terjadi mengakibatkan kedua komponen tersebut saling tergantung satu sama lain. Lumut kerak dapat mengabsorbsi air dari hujan, aliran permukaan, dan embun. 2. Lapisan Alga Lapisan ini berada di bawah lapisan cortex atas yang terdiri atas lapisan gonidial. Lapisan ini merupakan jalinan hifa fungi yang bercampur dengan alga. Berdasarkan penyebaran lapisan alga pada talusnya, lumut kerak telah diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu homoiomerus dan heteromerous.
7 Pada homoimerus, sel alga tersebar merata pada jaringan longgar hifa fungi sedangkan pada heteromerus sel-sel alga terbatas pada lapisan atas talus (Misra & Agrawal, 1978).
3. Medulla Menurut Misra & Agrawal (1978), lapisan medulla terdiri dari jalinan longgar hifa-hifa. Lapisan ini akan memberikan kekuatan dan penghubung antara lapisan bawah dan atas atau bagian luar dan dalam talus. Menurut Fink (1961), lapisan ini menyerupai parenkim bunga karang seperti pada jaringan daun. Pembagian atau pemisahan antara lapisan alga dan lapisan medula tidak selalu terjadi secara sempurna. Pada lapisan ini hanya sedikit terdapat sel-sel alga, dan pada umumnya lapisan ini relatif tebal dan tidak berwarna atau transparan. 4. Korteks Bawah Menurut Fink (1961), lapisan korteks bagian bawah sangat mirip dengan lapisan cortex bagian atas. Pada lapisan ini akan terbentuk rizoid yang berkembang masuk ke substrat. Jika rizoid tidak ada, maka fungsinya akan digantikan oleh hifa-hifa fungi yang merupakan perpanjangan hifa dari lapisan medulla. Menurut Meler & Chapman (1983) diacu dalam Ronoprawiro (1989) menyatakan bahwa hubungan fungi dan alga merupakan simbiosis dan hubungan ini terjadi melalui houstoria, yaitu terjadi pelekatan yang erat benang fungi pada alga. Pada lumut kerak, terdapat dua tipe houstoria, yaitu houstoria intramembran yang hanya masuk ke dalam dinding sel alga dan tidak banyak yang melewatinya dan houstoria intrasel, masuk jauh ke dalam sel alga (Pevelling, 1973; Fitting et al., 1954 diacu dalam Ronoprawiro, 1989). Lumut kerak yang memiliki struktur talus yang jelas pada umumnya hanya mempunyai houstoria intramembran (Tschermak, Geitler, Plessl, cit Pevelling, 1973 diacu dalam Ronoprawiro, 1989). D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak Lumut kerak hidup sebagai tidak hanya menjadi tumbuh pada pohonpohonan, tetapi juga di atas tanah, terutama pada daerah tundra di sekitar kutub utara. Lokasi tumbuhnya dapat di atas maupun di dalam batu dan tidak terikat pada tingginya tempat di atas permukaan laut. Lumut kerak dapat ditemukan dari tepi pantai sampai di atas gunung-gunung yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong dalam tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah.
8 Beberapa jenis dapat masuk pada bagian pinggir batu-batu, yang biasa disebut sebagai bersifat endolitik (Tjitrosoepomo, 1981). Lumut kerak juga dapat hidup dan tumbuh pada habitat yang agak kering (Polunin, 1990). Menurut Fink (1981), lumut kerak yang ada pada pohon umumnya tumbuh pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey & Trivendi (1977); Misra & Agrawal (1978), habitat lumut kerak dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu : 1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada substrat yang padat dan di daerah dingin. 2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar kondisi lingkungannya lembab. 3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada permukaan tanah. Menurut Pandey & Trivendi (1977); Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Misra & Agriwal (1978), penyebaran koloni lumut kerak dapat terjadi secara vegetatif yaitu dengan cara fragmentasi, soredia, dan isidia serta secara seksual. Penyebaran secara vegetatif secara tidak langsung dapat dibawa oleh air, angin, serangga atau satwa (Moore, 1972). Air hujan sangat penting dalam penyebaran soredia, meskipun dengan angin juga dapat terjadi penyebaran. Menurut Pandey & Trivendi (1977), fragmentasi merupakan salah satu cara penyebaran secara vegetatif yang paling umum dijumpai. Lumut kerak yang kering dengan kondisi yang sangat rapuh, bila terpisah dari talus utamanya maka potongan talus tersebut akan terbawa oleh angin atau air sehingga akan jatuh pada tempat yang baru. Pada tempat yang baru, potongan talus tersebut akan tumbuh menjadi talus yang baru. Soredia merupakan struktur berbentuk bubuk yang berwarna putih keabuan atau hijau keabuan, yang biasanya terletak pada permukaan talus atau pinggiran talus. Soredia akan disebarkan oleh angin atau air hujan dalam mencari substrat yang sesuai sehingga dapat berkembang menjadi talus baru. Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti karang yang terdapat pada permukaan atau pinggiran talus. Untuk reproduksi seksual terbatas untuk pasangan fungi yang terdapat pada lumut kerak, sebab sebagian besar komponen fungi pada lumut kerak termasuk dalam golongan Ascomycetes. Reproduksi ini meliputi pembentukan
9 askokarp dalam struktur khusus yang disebut dengan asci, tumbuh pada apotesium atau peritesium. Banyak jenis fungi pada lumut kerak membentuk askokarp, tergantung pada golongannya. Menurut Vashishta (1982) diacu dalam Januardania (1995), menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang membantu penyebaran lumut kerak. Penyebaran secara vegetatif merupakan cara efisien membantu penyebarannya, hal tersebut juga didukung oleh sifat lumut kerak yang memiliki ketahanan terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim. E. Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lumut Kerak 1. Faktor Lingkungan a. Suhu udara Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain suhu udara, kelembaban udara dan kualitas udara. Lumut kerak memiliki kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lumut kerak dapat hidup baik pada suhu yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lumut kerak akan segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Salah satu contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik pada kisaran suhu 12-24°C, dan fungi penyusun lumut kerak pada umumnya tumbuh baik pada suhu 18-21°C (Ahmadjian, 1967). b. Kelembaban udara Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka waktu yang cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan optimal pada lingkungan yang lembab (Ronoprawiro, 1989). c. Kualitas Udara Menurut Kristanto (2002), udara adalah suatu campuran gas yang berada pada lapisan yang mengelilingi bumi, dengan komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999; Soedirman (1975) diacu dalam Ryadi (1982); Kozak & Sudarmo (1992) diacu dalam Purnomohadi (1995), pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain berupa debu, uap air, bau, asap, dan berbagai jenis gas lainnya yang dalam jumlah konsentrasi, sifat dan lama waktu keberadaannya di atmosfer, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
10 memenuhi fungsinya dan dapat menyebabkan gangguan terhadap lingkungan disekitarnya baik terhadap gangguan kesehatan, kerusakan pada kualitas barang/benda tertentu atau kenyamanan makluk disekitarnya. Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan menyebabkan lumut kerak dapat dipakai sebagai bioindikator untuk pencemaran udara (Galun, 1988 diacu dalam Noer, 2004). Hal tersebut dijelaskan oleh Woodruff (1996) diacu dalam Simonson (1996) yang menyatakan bahwa berdasarkan objek penelitian yang telah dilakukan beberapa jenis lumut kerak dapat menjadi indikator dalam waktu pendek karena pertumbuhannya yang lambat dan di dalam sel terdapat bahan campuran dari polusi yang telah telah ada. 2. Biondikator Kualitas Udara. Alexopolous & Mims (1979) menyatakan bahwa pusat kota dengan polusi industri beratnya tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut kerak. Populasi lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak semakin jauh dari pusat kota tersebut. Dengan demikian lumut kerak dapat digunakan sebagai petunjuk didalam program mengukur kualitas lingkungan, dimana bahwa tidak ada organisme lain yang lebih peka terhadap sulfur dioksida (SO2) daripada lumut kerak. Sulfur dioksida (SO2) merupakan hasil samping pembakaran batubara (dan juga minyak bumi pada batas-batas tertentu) dan bentuk sulfur lainnya, dimana hasil-hasil tersebut akan mempengaruhi banyak tumbuh-tumbuhan khususnya lumut kerak (Lubis, 1996). Menurut Noer (2004), jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh di daerah tercemar berat antara lain adalah Desmococcus viridis, L. conizoides, Lepraria incana, B. punctata, Diploicia canescens, L. expallens, Xanthoria parietina, Cladonia coniocraea, C. macilenta, dan L. dispersa. Untuk jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh pada daerah yang tercemar sedang antara lain Hypogymnia physodes, Ramalina farinacea, Evernia prunastri, Physia adscendens, Physia tenella, Lecanora chlarotera, Foraminella ambigua, Platismatia glauca, Lecidella elaeochroma, P. sulcata, P.saxatilis, P. glabratula. Jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh di daerah tercemar ringan adalah Pseudevernia furfuracea, Bryria fuscescens,
Physconia
distorta,
Physconia
enteoxantha,
Phaeophysia
orbicularis, Physia aipolia, Opegrapha varia, P. cerperta, P.a acetabulum, G.
11 scripta, G. elegans, dan Anaptychia ciliaris. Jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh di daerah yang bersih adalah Usnea rubicunda, U. subfloridana, U. florida, U. articulata, Teloschistes flavicans, Lobaria pulmonaria, P. perlata, Lobaria scrobiculata, R. fastigiata, R. fraxinea, R. calicaris, Pannaria rubiginosa, dan Degelia plumbea. Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa sifat lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain : 1)
Secara geografis penyebarannya luas
2)
Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
3) Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta mineral diserap oleh lumut kerak 4)
Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
5)
Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi pencemar
bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan fisiologis dan morfologi, yaitu :
1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang terbatas. 2) Tidak adanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke dalam talus. 3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien langsung dari udara. 4) Keseimbangan air di dalam lumut kerak hampir sepenuhnya untuk menjaga kelembaban atau presepitasi, sehingga menyebabkan kesempatan untuk asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas. 5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa melakukan seleksi. 6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak dieksresikan. 7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar. Kadar
tertentu
zat
pencemar
udara
akan
mampu
menghambat
pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Lumut kerak dan Bryophyta akan mampu menimbun
12 logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat daripada tanaman tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto et al., 1992). Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar; pengganti merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak yang asli rusak karena pencemaran udara. Menurut Noer (2004), terdapat beberapa parameter yang dapat dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya pencemaran udara : 1) Keanekaan ; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati. Pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. 2) Pertumbuhan ; diamati dengan melihat keadaan morflogi dan warna talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang baik, warnanya pucat atau berubah. 3) Kesuburan ; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia, isidia, lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut kerak yang ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada. 4) Frekuensi ; penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut kerak pada setiap pohon contoh di masing-masing stasiun pengamatan. 5) Persentase penutupan (density) ; diukur dengan menghitung luas penutupan lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Pengambilan data di lapangan, dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2005. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian No
Nama
Fungsi
Bahan 1 2 3 4 Alat 5 6 7 8 9 10 11 12
Peta lokasi Plastik transparan Amplop Akuades, laktofenol-analin tissue
Melihat lokasi penelitian Menggambar lumut kerak Menyimpan sampel lumut kerak blue, Membuat preparat
Pita meteran Kape, pahat, dan martil Termometer bola basah dan bola kering Planimeter Imvinger dan dust sampler Alat tulis dan tally sheet Kamera Object glass, cover glass, pinset, pipet, pisau silet, dan mikroskop
Mengukur keliling batang pohon Mengambil sampel lumut kerak Mengukur suhu (ºC) dan kelembaban udara (%) Mengukur luas lumut kerak Mengukur kualitas udara Mencatat hasil Dokumentasi Melihat ciri-ciri mikroskopik
C. Metode 1. Pemilihan Lokasi Contoh Lokasi contoh pengamatan pada masing-masing lokasi ditentukan secara purposive/sengaja yaitu dengan kriteria lokasi merupakan habitat tumbuhnya lumut kerak dengan dugaan memiliki kondisi kualitas udara yang berbeda. Pemilihan lokasi pengamatan yaitu di kawasan industri Pulo Gadung (A) dan arboretum Cibubur (B) dan tegakan mahoni Cikabayan (C) merupakan daerah relatif tidak tercemar.
14 2. Jenis Data Talus lumut kerak yang diamati terbagi secara makroskopik dan mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik mencakup bentuk, keadaan serta warna talus lumut kerak, luas talus lumut kerak serta frekuensi perjumpaan serta melakukan komposisi jenis (melalui pendekatan tipe morfologi talus lumut kerak). Pengamatan secara mikroskopik dilakukan untuk melihat struktur jaringan penyusun talus lumut kerak. Jenis data faktor biotik yang diperoleh adalah jenis tanaman sebagai substrat bagi lumut kerak dan keliling batang atas tanaman, sedangkan jenis data faktor abiotik yang diperoleh adalah iklim mikro, terdiri dari suhu dan kelembaban udara rata-rata serta kandungan udara ambien. 3. Prosedur Pengambilan Data a. Data Lumut Kerak Membuat lokasi contoh pengamatan berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha, kemudian melakukan pengamatan secara makroskopik terhadap tiap unit contoh pohon. Ciri-ciri yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan titik pengamatan data lumut kerak yang tumbuh pada kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien). Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengukur luas lumut kerak sebagai berikut : 1) Mengukur lingkar batang bawah pohon pada ketinggian 150 cm dari permukaan tanah dan lingkar batang pohon pada tepat di atas permukaan tanah. 2) Menggambar luas lumut kerak tersebut pada batang pohon bagian bawah pada plastik transparan. 3) Menghitung luas lumut kerak pada setiap pohon dengan menggunakan planimeter. Contoh talus yang diambil adalah yang tumbuh pada batang tanaman pada ketinggian 0-150 cm di atas permukaan tanah. Contoh talus disimpan dalam amplop, kemudian diberi label/keterangan. Contoh talus tersebut akan di identifikasi di Herbarium Bogorensis dan dilakukan pengamatan secara mikroskopik.
15 Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada beberapa jenis lumut kerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui struktur internal jaringan talus lumut kerak. Lumut kerak diiris setipis mungkin dengan menggunakan silet. Irisan diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi beberapa tetes air dan diberi gelas penutup lalu diamati strukturnya dengan menggunakan mikroskop. Setelah mendapatkan struktur lumut kerak yang jelas, baru ditambahkan laktofenol-analin blue dengan cara meneteskannya disamping gelas penutup dan kelebihan larutan diserap dengan menggunakan tissue (Trisusanti, 2003). b. Faktor Abiotik Melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara dengan digantungkan pada ketinggian sekitar 120 cm di atas permukaan tanah (Pukul 07.30; 13.30; dan 17.30 WIB). Pengukuran dilakukan dalam kurun waktu satu bulan dan kemudian melakukan pengukuran kandungan polutan (NO2, CO2, SO2, dan debu) di udara dengan menggunakan satu set alat pengukur kualitas udara (impvinger dan dust sampler). 4. Analisis Data a. Luas Talus Lumut Kerak Menentukan
luas
suatu
jenis
lumut
kerak
dengan
menggunakan
planimeter. Luas areal yang diamati sampai setinggi 150 cm pada setiap pohon contoh dihitung berdasarkan rumus trapesium sebagai berikut (Noer, 2004): Luas areal yang diamati = ½ x (A+B) x C Keterangan : A = Keliling batang atas pohon B = Keliling batang bawah pohon C = Tinggi batang pohon sampai setinggi 150 cm b. Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak Perjumpaan lumut kerak digunakan untuk melihat penyebaran jenis lumut kerak pada tiap lokasi. Rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah : Jumlah titik pengamatan ditemukan suatu jenis lumut kerak Perjumpaan jenis
= Jumlah seluruh titik pengamatan
c. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak Analisis ciri talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut kerak pada masing-masing lokasi.
16 d. Ciri Mikroskopis Lumut Kerak Analisis ciri-ciri mikroskopis terhadap lumut kerak dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat jaringan-jaringan yang menyusun talus lumut kerak tersebut. e. Suhu Udara Harian Rata-rata Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 WIB, dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (2 x T pagi) + ( T siang) + (T sore) Suhu Udara (T)
=
4
f. Kelembaban Udara Harian Rata-rata Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan pengukuran 3 kali sehari. Rumus yang digunakan untuk menghitung kelembaban udara harian adalah: (2 x KU pagi) + ( KU siang) + (KU sore) Kelembaban udara (KU)
=
4
g. Kandungan Udara Ambien Analisis hasil kandungan udara ambien dilakukan secara deskriptif kualitatif, kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintahan yang ada yaitu Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999. D. Kerangka Pemikiran Udara merupakan penunjang utama kehidupan. Pada saat kondisi normal, udara yang terdiri atas campuran berbagai gas dan debu memiliki komposisi yang relatif konstan dan udara normal ini berkualitas baik. Namun, bila terjadi kontaminan pada konsentrasi yang sudah melebihi ambang batas maka komposisi udara tersebut dapat berubah dan kualitasnya pun akan turun. Menurut Noer (2004), apabila batas tersebut dilampaui akan timbul berbagai kerugian karena terjadi perubahan keseimbangan ekosistem. Batas toleransi tersebut sulit untuk diketahui, akan tetapi beberapa tumbuhan dan hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat
17 dipakai sebagai petunjuk secara dini untuk mengetahui adanya pencemaran udara. Tumbuhan yang peka tersebut dapat digunakan sebagai indikator biologi. Adapun pengetahuan tentang jenis-jenis lumut kerak dalam hal ini pada batang pohon (corticolous) dan respon tumbuhnya, hubungannya dengan tingkat pencemaran udara merupakan hal dasar untuk mempelajari kepekaan suatu jenis lumut kerak dan peranannya sebagai indikator biologi. Kualitas udara
Polutan
Lumut kerak corticolous
Luas koloni lumut kerak pada batang pohon
Jumlah jenis lumut kerak pada batang pohon
Bioindikator
Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak a. Kawasan Industri Pulo Gadung Kawasan industri Pulo Gadung ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur No. 1b.3/2/35/69 pada tanggal 20 Mei 1969 dengan luas 415 ha serta Surat Keputusan No. 424 tanggal 29 April 1988 dan revisi Surat Keputusan No. 519 tanggal 14 Maret 1988 dengan tambahan luas 183 ha. Pada saat ini terdapat ± 420 unit perusahaan, yang dalam komponen kegiatannya dapat berpotensi menimbulkan perubahan lingkungan (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi, 2005). Kawasan industri Pulo Gadung merupakan daerah yang datar dengan curah hujan sedang (2000-2300 mm) per tahun dan dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 7-14 m (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi, 2005). Tanaman yang ada pada lokasi pengamatan terdiri atas 5 jenis yaitu mahoni (Swietenia sp.), johar (Cassia siamea), angsana (Pterocarpus indicus), tanjung (Mimosops sp.) dan saga (Adenanthera pavonina) dengan keliling batang bagian atas berkisar antara 13-58 cm. Pada lokasi pengamatan, persentase jenis tumbuhan berturut-turut dari yang terbesar johar (51%), mahoni (24%), tanjung (16%), saga (7%), dan angsana (2%) (Gambar 4; Gambar 5; Lampiran 1a).
24%
2%
7%
16%
Adenanthera pavonina Mimosops sp. Cassia siamea Swietenia sp. Pterocarpus indicus
51%
Gambar 4. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung
19
(a)
(b)
(c) Gambar 5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung. (a) Lokasi Pengamatan (b) Aktivitas Transportasi (c) Kondisi Tanaman b. Arboretum Cibubur Arboretum wanawisata pramuka Cibubur dibangun oleh Departemen Kehutanan dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka berdasarkan surat No. 229/OA/K/KM/1981 pada tanggal 24 Februari 1981 dan Departemen Pertanian berdasarkan
surat
perjanjian
No.
1/Mentan/KS/VI/8/089/1981.
Secara
administratif bumi perkemahan Cibubur berada di daerah Cibubur Jakarta Timur (Departemen Kehutanan, 1991). Area ini memiliki arboretum seluas 20 ha dengan topografi datar sampai landai serta bagian tengah yang cekung pada ketinggian ± 30 meter dari permukaan laut. Daerah ini memiliki jenis tanah latosol warna merah coklat, serta memiliki pengaruh curah hujan mencapai 2.800 mm per tahun, dengan 147 hari yang hampir merata setiap tahunnya, serta suhu berkisar 22-32°C (Departemen Kehutanan, 1991).
20 Pengamatan di arboretum Cibubur mencakup 0,2 ha. Jenis tanaman yang terdapat pada lokasi pengamatan terdiri atas angsana, mahoni, krey Payung (Filicium desipiens), saga, tanjung, karet (Hevea sp.), ki putri (Podocarpus
sapu
nerifolii),
tangan
(Maniltoa
grandiflora),
kayu
manis
(Cinnamomum sp.) dan jamuju (Podocarpus imbricata). Jenis tanaman yang berada pada lokasi pengamatan memiliki keliling batang bagian atas (pada ketinggian 150 cm dari atas permukaan tanah) berkisar antara 22-227 cm. Pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur, persentase jenis tumbuhan berturutturut dari yang terbesar mahoni (26%), karet (19%), krey payung (15%), angsana (11 %), tanjung (11%), ki putri (11%), saga (9%), jamuju (2%), sapu tangan (2%) dan kayu manis (2%) (Gambar 6; Gambar 7; Lampiran 1b).
2% 2% 2% 17%
11% 13% ..
11% 11%
22%
9%
Pterocarpus indicus Filicium desipiens Adenanthera pavonina Swietenia sp. Podocapus nerifolii Mimosops elingi Hevea sp. Podocapus imbricata Cinnamomum sp. Maniltoa grandiflora
Gambar 6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur
(a)
(b)
Gambar 7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur. (a) dan (b) Kondisi Lokasi Pengamatan
21 c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga Kampus IPB Darmaga terletak di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor, yang berjarak kurang lebih 10 km ke arah Barat dari Kota Bogor. Secara geografis terletak antara 6°30’-6°45’ LS dan 106°45’-106°50’ BT. Tipe curah hujan di areal ini termasuk tipe A menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3500 mm per tahun dan dengan jumlah hari hujan 187 per tahun. Kelembaban nisbi rata-rata per tahun 88% dan suhu rata-rata sepanjang tahun sebesar 20-30°C. Taman Hutan blok Cikabayan terletak di sebelah barat laut kampus IPB Darmaga, berjarak kurang lebih 1 km dari Kampus Fakultas Kehutanan. Areal ini berada di dekat dua pertemuan sungai, perbatasan antara kampus dan daerah persawahan dan permukiman penduduk, jauh dari keramaian dan dekat dengan suasana alami, dengan batas-batasnya yaitu di sebelah Utara dibatasi oleh areal pusat studi Biofarmaka dan Sungai Cisadane, sebelah Timur Sungai Ciapus, sebelah Selatan Perumahan Dosen IPB (Jl. Lengkeng 2) dan sebelah Barat areal praktek Fakultas Pertanian. Jenis tanaman dominan yang ada di lokasi pengamatan adalah jenis Swietenia sp. dengan keliling batang atas tanaman yang diamati berkisar antara 28–53 cm (Gambar 8).
Gambar 8. Lokasi Pengamatan Tegakan mahoni Cikabayan 2. Karakteristik abiotik a. Kualitas Udara Ambien Pengambilan sampel udara dilakukan pada saat musim hujan yaitu sekitar tanggal 19 Desember 2005. Pada kawasan industri Pulo Gadung, pengambilan sampel udara ambien dilakukan pada pukul 08.52-09.52 WIB dengan suhu udara berkisar 29,5-31,8°C dan kelembaban udara berkisar 64,2-74,9%. Pada kawasan
22 industri Pulo Gadung terdapat beberapa pabrik yang dalam kegiatan produksinya dan kegiatan transportasi diduga akan memberikan kontribusi pada udara ambien pada lingkungan sekitarnya. Pada arboretum Cibubur, pengambilan sampel udara ambien dilakukan pada pukul 11.13-12.13 WIB dengan suhu udara berkisar 32,6–34,2°C dan kelembaban udara berkisar 53,4-68,2%. Pada tegakan mahoni Cikabayan dilakukan pengambilan sampel udara ambien pada pukul 14.04-15.04 WIB dengan suhu udara berkisar 28,2-30,0°C dan kelembaban udara berkisar 69,376,7%. Pengukuran nilai kandungan sampel udara ambien dengan parameter debu, karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) masih jauh berada di bawah ambang batas baku mutu udara menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999. Berdasarkan hasil pengukuran, lokasi yang memiliki kandungan udara ambien berturut-turut dari yang tertinggi adalah kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Dengan rincian, pada kawasan industri Pulo Gadung didapatkan kandungan CO2 sebesar 342 ppmv, debu sebesar 61 μg/Nm3, NO2 sebesar 21 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 12 μg/Nm3/Jam. Pada arboretum Cibubur didapatkan kandungan CO2 sebesar 336 ppmv, debu sebesar 45 μg/Nm3, NO2 sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 8 μg/Nm3/Jam. Kemudian, pada tegakan mahoni Cikabayan didapatkan kandungan CO2 sebesar 325 ppmv, debu sebesar 22 μg/Nm3, NO2 sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 6 μg/Nm3/Jam (Tabel 2; Lampiran 2). Tabel 2. Kandungan Udara Ambien Parameter
Debu (μg/Nm3) Karbon dioksida (CO2) (ppmv) Nitrogen dioksida (NO2) (μg/Nm3/Jam) Sulfur dioksida (SO2) (μg/Nm3/Jam)
Lokasi
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999
Kawasan Industri Pulo Gadung 61 342
Arboretum Cibubur
Tegakan Mahoni Cikabayan
45 336
22 325
230 (μg/Nm3) -
21
15
10
400 (μg/Nm3/Jam)
12
8
6
900 (μg/Nm )
3
23 b. Suhu dan Kelembaban Udara Kondisi iklim mikro pada lokasi pengamatan kawasan industri yang terdiri atas suhu udara rata–rata berkisar antara 29,4-31,8ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 69-75%. Pada arboretum Cibubur Jakarta memiliki suhu udara rata–rata berkisar antara 25,8–30,0ºC dengan kelembaban udara rata–rata berkisar antara 78-95%, sedangkan pada tegakan mahoni Cikabayan memiliki suhu udara rata–rata berkisar antara 25,3–27,8ºC dengan kelembaban udara rata–rata berkisar antara 84–95% (Gambar 9; Lampiran 3). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
90
86 72
Kelembaban udara (%) Suhu udara (°C)
30,46
27,4
A
B
26,1
C
Keterangan: A = Kawasan industri Pulo Gadung B = Arboretum Cibubur C = Tegakan mahoni Cikabayan
Gambar 9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata
3. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan a. Jenis Lumut Kerak yang ditemukan pada tiga lokasi pengamatan Jenis lumut kerak yang ditemukan selama penelitian sebanyak 12 jenis. Lumut kerak yang tidak teridentifikasi terdiri atas 3 jenis lumut kerak, terdiri atas 2 jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose dan 1 jenis lumut kerak dengan tipe morfologi foliose (Tabel 6).
24 Tabel 3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan pada Tiga Lokasi Pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kode
Jenis lumut kerak
Spesies I Spesies II Spesies III Spesies IV Spesies V Spesies VI Spesies VII Spesies VIII Spesies IX Spesies X Spesies XI Spesies XII
Lokasi A v v v -
Phaeographis sp. Strigula sp. Dirinaria cf. picta Heterodermia sp. Parmelia cf autrosinensis Verrucaria sp. Parmelia sp. Grapidaceae Grapidaceae
B v v v v v v
C v v v
v v v v v v v
Keterangan: A : Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B : Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C : Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v : hadir/ditemui
b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak Jenis lumut kerak berdasarkan tipe morfologi talus, pada masing-masing lokasi pengamatan terdiri atas tipe talus crustose dan foliose. Jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose lebih banyak ditemukan dibanding dengan tipe morfologi foliose (Gambar 10).
8
7
6 4 2
3
3
2
2
Crustose Foliose
1
0 A
B
C
Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan
Gambar 10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus
25 Pada lokasi pengamatan kawasan industri ditemukan 3 jenis lumut kerak yaitu Spesies I, Spesies II dan Spesies III (Tabel 4). Dengan tipe morfologi talus terdiri atas 2 tipe crustose dan 1 tipe foliose. Jumlah yang ditemukan pada jalur pengamatan 5 meter dari sumber polutan ditemukan sebanyak 1 jenis, 10 meter dari sumber polutan sebanyak 2 jenis dan jarak 25 meter dari sumber polutan sebanyak 2 jenis. Tabel 4. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung No
Suku
Jenis
Tipe morfologi talus
1
Graphidaceae
Spesies I (Phaeographis sp.)
Crutose
2 3
Strigulaceae Physiceace
Spesies II (Strigula sp.) Spesies III (Dirinaria cf. picta)
Crutose Foliose
Pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur ditemukan sebanyak 6 jenis lumut kerak, terdiri atas 4 tipe talus crustose dan 2 tipe talus foliose (Tabel 5). Pada lokasi pengamatan jarak 5 meter ditemukan 6 jenis lumut kerak, pada jarak 10 meter dari titik pengukuran dapat ditemukan 5 jenis lumut kerak dan pada jarak 25 meter dapat ditemukan 3 jenis lumut kerak. Tabel 5. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur No
Suku
Jenis
Tipe morfologi talus
1
Parmeliaceae
Spesies IV (Heterodermia sp.)
Foliose
2
Parmeliaceae
Spesies V (Parmelia cf austrosinensis)
Foliose
3
Strigulaceae
Spesies II (Strigula sp.)
Crustose
Spesies VI (Tidak teridentifikasi)
Crustose
4
-
5
Verrucariacae
Spesies VII (Verrucaria sp.)
Crustose
6
Graphidaceae
Spesies XII (Graphidaceae)
Crustose
Pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis lumut kerak yang ditemui cukup banyak dengan warna yang bervariasi. Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan, yaitu terdiri atas 10 jenis lumut kerak, dengan rincian 7 jenis merupakan tipe talus crustose dan 3 jenis lumut kerak merupakan tipe talus foliose (Tabel 6).
26 Tabel 6. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan No
Suku
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Graphidaceae Strigulaceae Parmeliaceae Graphidaceae Verrucariaceae Parmeliaceae Graphidaceae Graphidaceae
Jenis
Tipe morfologi talus
Spesies I (Phaeographis sp.) Spesies II (Strigula sp.) Spesies IV (Heterodermia sp.) Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Spesies VII (Verrucaria sp.) Spesies VIII (Parmelia sp.) Spesies IX (tidak teridentifikasi) Spesies X (tidak teridentifikasi) Spesies XI (Graphidaceae) Spesies XII (Graphidaceae)
Crustose Crustose Crustose Foliose Crustose Foliose Foliose Crustose Crustose Crustose
c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat Lumut Kerak Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, tercatat bahwa jenis Spesies III cenderung untuk menggunakan kulit batang jenis tanaman tanjung sebagai substrat (Tabel 7). Tabel 7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung No 1 2 3 4
Jenis tanaman Tanjung (Mimosops sp. ) Angsana (Pterocarpus indicus) Johar (Cassia siamea) Mahoni (Swietenia sp.)
Jenis lumut kerak Spesies I v v v
Spesies II v v
Spesies III v -
Keterangan: v = hadir/ditemui
Gambar 11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III
27 ada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, jenis tanaman yang diamati diantaranya adalah angsana dan mahoni. Dengan jenis lumut kerak yang ditemukan antara lain jenis Spesies II, Spesies IV, Spesies V dan Spesies VII. Jenis lumut kerak yang ditemukan pada substrat kulit batang tanaman (Tabel 8). Tabel 8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur No
1
2 3
4 5 6
7
8
9
Jenis tanaman
Angsana (Pterocarpus indicus) Mahoni (Swietenia sp.) Saga (Adenanthera pavonina) Tanjung (Mimosops elingi) Karet (Hevea sp.) Kiputri (Podocarpus nerifolii) Jamuju (Podocarpus imbricata) Kayu Manis (Cinnamomum sp.) Krey Payung (Filicium desipiens)
Jenis lumut kerak Spesies IV
Spesies V
Spesies VI
Spesies VII
Spesies XII
v
v
v
v
-
v
v
-
v
v
-
v
v
-
v
v
-
v
-
-
-
v
v
v
-
-
-
v
-
v
-
-
-
v
-
v
-
-
v
v
-
-
v
v
-
v
V
-
v
v
-
Spesies II v
-
Keterangan: v = hadir/ditemui
Dari hasil pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa terdapat beberapa spesies yang hanya menggunakan jenis pohon tertentu sebagai substratnya, yaitu Spesies V hanya menggunakan kulit batang pohon angsana sebagai substratnya dan Spesies XII dengan jenis kulit tanaman tanjung sebagai substratnya.
28 Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Darmaga, jenis lumut kerak yang menggunakan batang kulit jenis tanaman mahoni sebagai substrat terdiri atas Spesies I, Spesies II, Spesies IV, Spesies VI, Spesies VII, Spesies VIII, Spesies IX, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII. 4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak. a. Bentuk Talus secara Umum Pengamatan dilakukan secara makroskopik dengan melihat bentuk dan warna talus. Berdasarkan morfologi talus lumut kerak, lumut kerak yang ditemukan
tergolong ke dalam kelompok crustose dan foliose. Menurut
Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus lumut kerak dapat dianalisis secara deskriptif. Talus lumut kerak secara makroskopik disajikan pada Lampiran 4. Bentuk talus secara umum ditemukan beragam, ada yang memiliki bentuk lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur (Tabel 9; Gambar 12). Tabel 9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis lumut kerak
Spesies I Spesies II Spesies III Spesies IV Spesies V Spesies VI Spesies VII Spesies VIII Spesies IX Spesies X Spesies XI Spesies XII
Bentuk Talus Cenderung membulat A B C v v v v v v v v v v v -
Memanjang vertikal A B C v v -
Memanjang horisontal A B C v -
Keterangan: A = Lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan di arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Darmaga v = hadir/ditemui
Tidak beraturan A B C v v v v v v v
29 Spesies I ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu lokasi kawasan industri dan tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri, sebagian besar bentuk talus Spesies I dengan mahoni sebagai substrat memiliki bentuk memanjang horisontal. Namun, dengan angsana sebagai substrat memiliki bentuk yang cenderung membulat. Pada tegakan mahoni, beberapa koloni spesies I ditemukan dalam bentuk memanjang horisontal. Menurut Wolsely & Hudson (1994), apotesia merupakan tubuh buah yang biasa terdapat pada permukaan atas talus, dapat dalam bentuk memanjang (elongated)
dan
lirella
(lip-like).
Berdasarkan
hal
tersebut,
spesies
I
(Phaeographis sp.) memiliki apotesia dalam bentuk lirella. Spesies II dapat ditemukan pada tiga lokasi pengamatan. Jenis ini memiliki koloni dengan batas talus yang cukup jelas, sehingga mudah untuk dilakukan pengukuran luas koloni talus. Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella. Pada kawasan industri, bentuk talus cenderung membulat dengan ukuran yang relatif kecil. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, kehadiran lumut kerak ini cenderung untuk bergerombol atau berkelompok. Pada tegakan mahoni Cikabayan, memiliki kondisi bentuk talus hampir sama dengan lokasi pengamatan di kawasan industri yaitu dalam memiliki kondisi yang tidak bergerombol atau mengelompok. Spesies III ditemukan dengan bentuk talus yang cenderung membulat dengan batas koloni talus yang kurang tegas. Namun, memiliki keadaan yang cenderung menggerombol atau mengelompok. Pada spesies ini dapat terlihat soredia berupa serbuk halus pada permukaan talus. Spesies IV ditemukan pada dua lokasi yaitu, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki ukuran lobus atau cuping yang relatif kecil bila dibanding Spesies IV dan Spesies V. Pada arboretum Cibubur, spesies ini berkembang pada tanaman angsana dan saga dalam bentuk talus yang relatif tidak beraturan dan pecah-pecah. Pada tegakan mahoni Cikabayan dengan tanaman mahoni sebagai substrat koloni lumut kerak ini, memiliki bentuk yang relatif cenderung membulat, meskipun tidak teratur. Jenis lumut kerak Spesies V, pada penelitian ini hanya ditemukan pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur. Jenis ini cenderung ditemukan dalam bentuk membulat dengan ukuran lobus atau cuping yang relatif lebih besar dari jenis Spesies IV. Jenis lumut kerak ini ditemukan pada batang tanaman angsana.
30 Jenis lumut kerak Spesies VI ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu pada arboretum cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Bentuk talus Spesies VI pada arboretum Cibubur, cenderung memiliki bentuk talus yang memanjang (lonjong) secara vertikal dan dengan kondisi pecah-pecah, khususnya pada tanaman mahoni. Bentuk talus cenderung dalam bentuk yang tidak teratur dan pecah-pecah (pada kulit tanaman angsana, saga dan krey payung). Pada tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk yang tidak teratur. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, warna talus pada bagian batang 0-50 cm dari permukaan tanah terlihat lebih tebal dan pada beberapa pohon dapat terlihat jelas apotesianya. Jenis Spesies VII ditemukan pada dua lokasi pengamatan, yaitu pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Jenis ini memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Bentuk talus spesies ini memiliki bentuk yang relatif mirip dengan spesies II dengan warna talus yang relatif sama, yaitu memiliki warna hijau kebiruan. Jenis Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi foliose. Spesies VIII ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan dengan bentuk talus cenderung menyerupai lingkaran (membulat). Spesies IX ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki bentuk talus yang cenderung membulat dengan batas talus jelas. Jenis spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella. Pada lokasi pengamatan yaitu pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis ini memiliki bentuk yang relatif mirip dengan spesies II dan VII. Jenis spesies XI dan XII ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan dan arboretum Cibubur. Jenis lumut kerak ini memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella, dengan apotesia pada permukaan talus. Bentuk talus ini cenderung dalam bentuk yang tidak beraturan, namun sering ditemukan memanjang secara horisontal pada batang tanaman. b. Warna talus lumut kerak secara umum Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar (Tabel 10; Gambar 12).
31 Tabel 10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis lumut kerak
Spesies I Spesies II Spesies III Spesies IV Spesies V Spesies VI Spesies VII Spesies VIII Spesies IX Spesies X Spesies XI Spesies XII
Warna Talus Hijau tua A v v -
B v v -
C v v v -
A v -
Hijau muda B C v v v v v -
Hijau keabuan/kusam
A v -
B v v -
C -
Putih A -
B v -
C v -
Putih keabuan A B C v v - - - - - - v - - - - - v* - - v*
Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v* = Permukaan talus tidak terlihat jelas
Spesies I memiliki warna talus putih kusam atau abu-abu. Perbedaan warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut di duga karena tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat. Spesies II mempunyai talus berwarna hijau tua dengan warna putih perak melingkar pada bagian pinggir talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni ditemukan bulatan kecil berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia). Spesies III memiliki kisaran warna talus hijau tua hingga hijau kusam. Spesies IV memiliki warna lebih tua pada lokasi tegakan mahoni Cikabayan dibanding dengan spesies yang berkembang pada arboretum Cibubur. Sedangkan, Spesies V memiliki warna talus hijau keabuan hingga hijau muda. Spesies VI, spesies VII, dan spesies X memiliki tipe morfologi talus yang sama namun memiliki warna talus yang berbeda. Spesies VI memiliki warna putih pada semua bagian talusnya, Spesies VII memiliki warna talus hijau muda, dan Spesies X memiliki warna talus hijau. Adapun, persamaan antara spesies II dan Spesies VII adalah memiliki batas berwarna keperakan yang melingkar pada pinggir koloni talus. melingkari koloni talus.
Namun, pada Spesies X tidak ditemukan batas yang
32 Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose, akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus berwarna hijau tua hingga hijau muda, sedangkan Spesies IX memiliki warna talus hijau tua hingga hijau muda keputihan dengan keadaan tengah talus terdapat bulatan berwarna putih. Spesies XI dan XII merupakan tipe morfologi crustose lirella dengan warna talus yang kurang jelas sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus. Adapun perbedaan antar dua spesies ini adalah pada warna apotesia, pada spesies XI memiliki warna hitam dan spesies XII memiliki warna putih tipis.
(a)
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum. (a) Bentuk Cenderung Membulat serta Talus Berwarna Hijau Tua pada Talus Tipe Morfologi Foliose (b) Bentuk Tidak Beraturan serta Talus Berwarna Hijau Keabuan pada Tipe Morfologi Talus Foliose (c) Bentuk Cenderung Membulat serta Warna Talus Hijau Muda pada Talus Tipe Morfologi Crustose (d) Bentuk Memanjang Horisontal serta Warna Putih Keabuan pada Talus Tipe Morfologi Crustose 5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak Spesies I memiliki tipe morfologi crustose lirella, dengan struktur mikroskopis yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus sederhana. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada talus. Lapisan sederhana ini biasa disebut dengan homomerous, yaitu struktur yang menyusun talus sederhana, jaringan hifa dan sel-sel alga menyebar secara merata.
33 Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur talus homomerous. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni ditemukan apotesia berbentuk bulatan kecil berwarna kuning kemerahan. Secara mikroskopis dapat dilihat hymenium dan askus. Pada Spesies III terdapat lapisan yang menyusun talus, namun tidak dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi, pada jenis ini ditemukan rizoid yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan fungi yang berfungsi untuk melekatkan talus pada substrat. Pada Spesies IV memiliki ciri mikroskopis talus adanya lapisan yang menyusun talus, diantaranya terlihat korteks lapisan atas, lapisan medulla, serta ditemukannya rizoid. Spesies VII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Pada pengamatan secara mikroskopik pada irisan penampang melintang apotesia dapat terlihat askokarp dan ascospora. Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi talus foliose. Hasil pengamatan secara mikroskopis terlihat lapisan-lapisan yang menyusun talus yaitu terlihatnya lapisan korteks bagian atas dan lapisan medula dan terlihat rizoid, sehingga jenis ini memiliki struktur talus heteromerous. Namun, pada ciri mikroskopis Spesies IX ditemukan bagian yang menyerupai klostesium Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII memiliki tipe morfologi crustose. Spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur mikroskopis yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus sederhana. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada talus. Spesies XI dan XII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Struktur mikroskopis talus ini, tidak terlalu terlihat jelas, namun pada irisan penampang melintang apotesium terlihat ascocarp, hymenium dan askospora. 6. Luas Talus Lumut Kerak dan Frekuensi Perjumpaan a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung dengan 90 titik pengamatan didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I (24,4 %), Spesies II (8,89 %) dan Spesies III (6,67%). Pada
lokasi
pengamatan
arboretum
Cibubur
diantara
86
titik
pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies II (73.25%), Spesies VI (63,95%), Spesies VII (60,46%), Spesies IV (19,77%), Spesies V (10,46%) dan spesies XII (1,16%).
34 Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan diantara 56 titik pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar yaitu: Spesies IV (73,21%), Spesies VI (73,21%), Spesies IX (58,93%), Spesies VII (57,14%), Spesies XI (44,64%), Spesies XII (39,28%), Spesies II (32,14%), Spesies I (28,57%), Spesies X (28,57%) dan Spesies VIII (16,67%). b. Luas Talus Lumut Kerak Pengetahuan pencemaran
udara
tentang
talus
merupakan
dalam hal
hubungannya
dasar
dalam
dengan
tingkat
mengetahui
respon
perkembangan talus lumut kerak (Tabel 11). Tabel 11. Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) pada Ketinggian Batang Tanaman hingga 150 Cm dari Permukaan Tanah No
Luas talus lumut kerak (cm2)
Jenis
1 Spesies I 2 Spesies II 3 Spesies III 4 Spesies IV 5 Spesies V 6 Spesies VI 7 Spesies VII 8 Spesies VIII 9 Spesies IX 10 Spesies X 11 Spesies XI 12 Spesies XII Jumlah rata-rata
Kawasan industri Pulo Gadung
Arboretum Cibubur
6,4891 0,39 1,8367 8,7158
189,9012 8,4732 1,6709 100,8860 40,1105 0,1814 341,2232
Tegakan mahoni Cikabayan 3,12321 7,750 12,09 19,9232 29,0786 11,275 22,7125 12,57 20,0589 16,0686 154,65
Keterangan: 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh
Secara rinci, rekapitulasi luas talus lumut kerak disajikan pada Lampiran 5 dan Tabel 16.
35
Tabel 12. Luas Talus Rata-rata (cm2) per Jarak Pengamatan Lokasi
Kawasan industri Pulo Gadung1)
Arboretum Cibubur2)
Tegakan mahoni Cikabayan3)
Jarak
luas batang tanaman (cm2)
Bagian
5
3727,5
10
1823,33
25
3104,17
5
6623,86
10
7068,75
25
6030,86
5
2970,83
10
3183,33
25
4016,25
D B D B D B D B D B D B D B D B D B
Luas Talus (cm2) SP I
SP II
SP III
SP IV
SP V
SP VI
SP VII
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
0,00 0,00 11,10 10,65 5,48 5,84 4,93 1,53 4,23 8,73 0,00 0,00
0,00 0,00 0,79 0,44 0,54 0,22 20,26 252,16 359,24 198,76 185,83 344,30 0,67 7,71 13,31 19,90 2,68 2,93
0,01 16,52 0,00 0,00 0,00 0,00 -
395,25 6,24 330,45 0,62 0 0 7,83 17,17 3,44 9,92 5,06 28,13
9,74 4,63 0 0 0 0 -
236,72 144,15 56,83 103,86 52,53 30,95 13,11 8,53 9,1 76,32 7,17 29,96
31,81 75,14 44,50 90,85 28,52 33,72 10,66 8,53 42,32 76,32 8,83 29,96
39,96 9,28 4,24 8,70 1,23 5,95
19,26 51,46 5,96 19,56 14,3 26,29
19,17 12,83 21,92 24,16 0 0,1
70,19 34,10 6,39 3,00 3,27 2,14
34,21 29,64 28,94 10,09 0,83 1,45
Keterangan : D: Pengamatan pada bagian kulit batang menghadap titik pengukuran kualitas udara B: Pengamatan pada bagian kulit batang membelakangi titik pengukuran kualitas udara 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh
35
B. Pembahasan 1. Jenis lumut Kerak yang ditemukan a. Morfologi Talus Lumut Kerak Berdasarkan morfologi talus, pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak yang terdiri atas 2 jenis memiliki morfologi talus crustose (Spesies I dan Spesies II) dan 1 jenis lumut kerak talus foliose (Spesies III). Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur ditemukan 2 jenis lumut kerak yang memiliki tipe morfologi talus foliose (Spesies IV dan Spesies V) dan 4 jenis lumut kerak tipe crustose (Spesies II, Spesies VI, Spesies VII dan Spesies XII). Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan, ditemukan 10 jenis lumut kerak dengan 3 jenis lumut kerak yang tergolong kelompok foliose (Spesies IV, Spesies VIII dan Spesies IX) dan 7 jenis tipe morfologi talus crustose (Spesies I, Spesies II, Spesies VI, Spesies VII, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII). Beberapa jenis lumut kerak belum semua dapat teridentifikasi, karena lumut kerak tersebut belum memiliki struktur alat reproduksi yaitu tubuh buah. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Purvis (2000) bahwa lumut kerak mempunyai rata-rata pertumbuhan yang lambat pada masing-masing habitatnya sehingga kebanyakan lumut kerak yang ditemukan belum memiliki alat reproduksi (tubuh buah). Menurut Baron (1999),
tipe talus crustose memiliki ciri-ciri bentuk seperti
kerak yang yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri dengan talus mudah terkelupas dari substratnya. Perbedaan tipe morfologi talus lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis. b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum Bentuk talus yang
ditemukan
beragam, terdiri atas bentuk lonjong
(memanjang), melingkar/membulat serta bentuk yang tidak teratur. Bentuk talus lumut kerak dengan jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang sama dapat berbeda.
Hal tersebut ditentukan oleh faktor tempat tumbuh seperti keadaan
permukaan tempat tumbuh. Pada kulit permukaan batang tanaman yang tidak pecah-pecah, pertumbuhan talus lumut kerak dapat utuh dan batas antar koloni terlihat dengan jelas. Secara umum perkembangan talus lumut kerak akan cenderung membulat. Pada kulit batang pohon yang pecah-pecah, perkembangan bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan permukaan kulit batang pohon tersebut.
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, permukaan kulit batang angsana relatif tidak pecah-pecah sehingga memungkinkan untuk talus berkembang ke segala arah, sedangkan pada tanaman mahoni di lokasi arboretum Cibubur memiliki kulit batang yang pecah–pecah. Hal tersebut akan mempengaruhi bentuk talus lumut kerak, sehingga bentuk dan keadaan talus ditentukan oleh keadaan tempat tumbuh yaitu umur dan sifat tanaman itu sendiri sebagai faktor substrat. Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, bentuk talus yang ditemukan cenderung memiliki bentuk yang relatif membulat (untuk tipe talus foliose) dan pada tipe talus crustose juga cenderung membulat, akan tetapi terkadang memiliki bentuk yang tidak beraturan. Fink (1961) menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe talus crustose, akan ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap serta beberapa jenis lumut kerak memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai lingkaran tetapi juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Keadaan yang tidak beraturan dapat tumbuh pada permukaan batang kayu, kayu yang sudah lapuk dan batu. Keadaan talus terlihat dalam berbagai macam keadaan, diantaranya ditemukan utuh, pecah-pecah dan saling tumpang tindih antar satu jenis talus dengan jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada lokasi arboretum Cibubur dan tegakan mahoni beberapa koloni Spesies VI ditemukan tertindih oleh jenis Spesies IV, akan tetapi keadaan sebaliknya tidak ditemukan. Dari keadaan tersebut, terlihat kemungkinan kolonisasi pada permukaan kulit batang tanaman dimulai dari jenis Spesies VI, kemudian jenis Spesies IV. Namun tidak harus selalu demikian, karena jenis Spesies IV juga dapat ditemukan langsung tumbuh pada permukaan kulit batang. c. Warna talus secara Umum Warna talus tidak hanya dapat terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda, namun dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang berbeda. Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar. Spesies II di lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki warna lebih muda bila dibanding dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut selain diduga pertumbuhannya kurang baik akibat faktor lingkungan juga dikarenakan umur tanaman di kawasan industri Pulo Gadung lebih muda dibanding dengan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan lainnya. Warna talus
dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya (Fink, 1961) (Gambar 13).
(a)
(b)
(c) Gambar 13. Warna Talus Spesies II. (a) Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung (b) Arboretum Cibubur (c) Tegakan Mahoni Cikabayan Berbeda halnya dengan Spesies IV (tipe morfologi foliose), spesies ini pada arboretum Cibubur memiliki warna talus yang lebih muda dibanding dengan di lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Hal tersebut diduga karena pengaruh faktor kualitas udara. Umur tanaman sebagai substrat Spesies IV lebih tua dibanding dengan umur tanaman di lokasi tegakan mahoni Cikabayan, sehingga hal tersebut diduga disebabkan pengaruh faktor kualitas udara. Noer (2004) menyatakan bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah (Gambar 14). Perubahan warna dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada talus lumut kerak, yang disebabkan gas-gas yang bersifat racun/pencemar (Kovaks, 1992; Hawksworth & Rose, 1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Wijaya (2004), bahwa jenis P. wallichiana (tipe morfologi foliose) di wilayah Alun-alun, Jamika, Mohamad Toha dan Antapani yang
memiliki talus berwarna hijau pucat keabuan sampai putih dan abu-abu keputihan nampaknya sudah terpengaruh oleh pencemar yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri kecil maupun besar.
(b)
(a)
(c ) Gambar 14. Warna Talus Spesies IV. (a) Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur (b) dan (c) Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan d. Ciri mikroskopik talus lumut kerak Menurut Baron (1999), sebagian besar elemen fungi menyusun jaringan talus lumut kerak dengan sel-sel alga menyusun sekitar 5-15% dari talus. Pada lumut kerak, penyatuan cabang hifa fungi membentuk hubungan benang seperti rambut yang merupakan bagian terbesar dalam menyusun talus. Benang-benang hifa akan terbagi dalam bentuk sekat atau dinding pemisah, namun dapat menyalurkan substansi sel dari satu sel ke sel lainnya. Menurut Dharmaputra et al. (1989), hifa adalah satuan struktur pada fungi (Gambar 15).
Gambar 15. Jalinan Hifa pada Tipe Talus Foliose Aspek
mikroskopik
dilakukan
untuk
mengetahui lapisan-lapisan
yang
menyusun talus lumut kerak. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis yang dilakukan, sebagian besar tipe morfologi talus lumut kerak yang ditemukan termasuk ke dalam jenis talus crustose dan 3 jenis diantaranya termasuk crustose lirella. Pengamatan secara mikroskopis pada tipe morfologi talus crustose sulit untuk dilakukan, karena talusnya yang tipis dan melekat pada substrat. Ahmadjian & Hale (1973) menyatakan pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula; tidak pernah memiliki lapisan korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan medula; bersifat homoiomerous, artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisanlapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut yang menyelubungi alga. Adapun ciri-ciri struktur mikroskopis pada masing-masing jenis lumut kerak yang ditemukan disajikan pada Lampiran 3. Salah satu jenis lumut kerak yang ditemukan saat pengamatan diantaranya adalah dari marga Graphidaceae (Spesies I, Spesies XI dan Spesies XII) dan dari suku Pyrenorales (Spesies II dan Spesies VII). Menurut Trisusanti (2003), Fissurina, Graphis, Phaeographis, Graphina, dan Phaeographina memiliki apotesium tunggal dengan memiliki ukuran yang pendek sampai panjang. Apotesia pada kelompok crustose lirella dapat berada dalam bentuk tunggal atau berkelompok (mesokarp). Pada pengamatan terhadap jenis lumut kerak crustose lirela yang ada termasuk ke dalam bentuk apotesium tunggal. Menurut Dharmaputra et al. (1989); Misra & Agriwal (1978), apotesia merupakan badan buah yang berbentuk seperti mangkuk yang menonjol di permukaan atas talus, terdapat askokarp dengan hymenium terbuka pada waktu askospora menjadi matang.
Menurut Trisusanti (2003); Fink (1961), spesies I memiliki apotesium tunggal dengan ukuran pendek sampai panjang; askospora berwarna kecokelatan dengan tipe askospora berupa fragmospora (askospora dengan sekat melintang); dan menurut spesies ini memiliki phycobiont Trentepohlia yang termasuk kedalam kelompok alga hijau (Chlorophyta), phycobiont ini banyak ditemukan di daerah tropis. Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun, sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan tidak terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat dibedakan dengan lapisan atasnya. Namun, pada tipe talus ini terlihat adanya rizoid, yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan hifa fungi yang berfungsi untuk memperkuat kedudukan talus sehingga dapat melekat pada substrat. Meskipun struktur ini mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan mineral seperti fungsi akar (Fink, 1961; Baron, 1999). Menurut Baron (1999), pada tipe talus foliose terbentuk rizoid yang terdiri dari kumpulan hifa yang dapat berbentuk bercabang maupun sederhana. Akan tetapi tidak semua jenis lumut kerak pada tipe talus foliose memiliki rizoid (Gambar 16).
Rizoid
Gambar 16. Rizoid pada tipe talus foliose Hasil identifikasi terhadap jenis–jenis lumut kerak yang ditemukan yaitu menurut Fink (1961), untuk jenis P. cf austrosinensis Zahllar, Parmelia sp. dan Heterodermia sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens, subkelas Gymnocarpeae, marga Parmeliaceae, sedangkan Graphidaceae dan Pheographis sp. termasuk ke dalam
kelas
Ascolichens
subkelas
Gymnocarpeae,
marga
Graphidaceae.
Sedangkan Strigula sp. termasuk ke dalam bangsa Pyrenocarpaceae, suku Strigulaceae.
Menurut Baron (1999), untuk mengidentifikasi jenis alga pada lumut kerak, khususnya sampai tingkat jenis cukup sulit. Menurut Fink (1960), ciri-ciri mikroskopis beberapa golongan lumut kerak adalah sebagai berikut : 1. Kelas Ascolichens ; memiliki ciri–ciri yang membedakan dari kelas lainnya yaitu spora yang dihasilkan dalam askus. 2. Bangsa Lecanorales ; ciri utama adalah hymenium yang dihasilkan dalam struktur yang terbuka, yang menyerupai bentuk cawan. 3. Suku Parmeliaceae (Lecanorales) ; ciri yang paling membedakan dari suku lain yang ada pada bangsa Lecanorales adalah bahwa suku Parmeliaceae merupakan lumut kerak bertalus foliose dan inang alga termasuk golongan Chlorophyceae. Ciri lain yaitu struktur talus berlapis, pada permukaan bawah terdapat rizoid, yang berfungsi untuk melekatkan pada substrat, cyphella atau penutup padat yang merupakan jalinan hifa fungi padat yang berwarna gelap serta spora tidak bersepta. e. Kulit batang tanaman sebagai substrat Pada penelitian ini lumut kerak yang diamati adalah lumut kerak yang menempel
pada kulit
pohon (corticolous), sehingga kulit pohon tersebut akan
menjadi substrat bagi lumut kerak. Sifat dan kondisi dari kulit batang tanaman secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan keadaan talus yang berkembang. Menurut Boiret (1921) diacu dalam Tophan (1977) diacu dalam Januardania (1995), menyatakan bahwa perbandingan antara garis tengah mendatar dan tegak pada bentuk talus dipengaruhi oleh jenis tempat tumbuh dalam hal ini adalah permukaan kulit pohon. Dari hasil penelitian ditemukan, Spesies V (Parmeliaceae) dan Spesies IV (Parmeliaceae) dapat tumbuh pada kulit batang tanaman angsana. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wijaya (2004) yang menggunakan jenis lumut kerak P. wallichiana (Parmeliaceae) yang menjadikan tanaman jenis rasamala dan angsana sebagai substrat. f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak Luas talus dihitung berdasarkan luas koloni talus yang menempel pada batang tanaman dengan ketinggian sampai 150 cm dari permukaan tanah. Pada Tabel 12, terlihat bahwa lokasi pengamatan arboretum Cibubur memiliki rata-rata luas talus lumut kerak yang relatif lebih besar. Hal tersebut dikarenakan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan yang akan mempengaruhi ukuran talus lumut kerak. Menurut
Fitting et al. (1954) & Ryan (1986) diacu dalam
Ronoprawiro (1989), bahwa talus lumut kerak memiliki pertumbuhan yang pada umumnya sangat lambat, hanya kurang dari 1 cm dalam setahun dan tubuh buah fungi baru dapat terbentuk setelah bertahun-tahun. Adanya perbedaan antara luas talus lumut kerak pada batang pohon dengan letak dan jarak tempat tumbuh yang berbeda selain karena adanya pengaruh sumber polutan pada kawasan industri dan arboretum Cibubur diduga juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tingkat kelembaban udara, umur pohon, dan jenis tanaman sebagai substrat. Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies I merupakan spesies yang memliki penyebaran talus yang relatif lebih sering dijumpai dibanding dengan jenis lainnya yang berada pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut dapat dilihat pada frekuensi perjumpaan talus dan rata-rata luas talus berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I sebesar 24,4 % dengan rata-rata luas talus 6,489 cm2. Spesies II memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 8,89 % dengan rata-rata luas talus 0,39 cm2 dan Spesies III memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 6,67 % dengan rata-rata luas talus 1,8367 cm2. Pada 5 meter dari titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) jenis lumut kerak yang ditemukan adalah Spesies III, akan tetapi pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa rata-rata luas talus Spesies III pada titik pengamatan membelakangi titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2 , memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2 (Tabel 12). Hal tersebut diduga tejadi karena pengaruh zat pencemar. Pada jarak 10 meter hanya ditemukan 2 jenis lumut kerak. Spesies I tidak memiliki perbedaan nilai rata-rata talus talus yang berbeda jauh antara membelakangi dan menghadap titik pengukuran kualitas udara. Demikian pula dengan jenis Spesies II memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya meskipun tidak terlalu berbeda jauh. Pada jarak 25 meter, Spesies I memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar pada titik pengamatan yang membelakangi jalan raya yaitu sebesar 5,8412 cm2. Sedangkan Spesies II, memiliki nilai rata-rata luas talus pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya sebesar 0,5412 cm2 dan yang titik membelakangi jalan raya 0,2235 cm2.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu berbeda jauh. Hal tersebut diduga karena dalam kawasan industri yang memiliki sumber polutan titik dan bergerak (transportasi) akan memberi pengaruh pada lingkungan sekitar dan tidak hanya memberikan pengaruh pada tanaman yang berada pada jarak 5 m, 10 m dan 25 m. Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur tanaman yang akan mempengaruhi ukuran keliling batang tanaman sehingga diduga akan meningkatkan luasan talus lumut kerak. Frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas koloni talus lumut kerak berturutturut dari yang tertinggi: Spesies II (73,25%) dengan rata-rata luas talus 189,9012 cm2, Spesies VI (63,95%) dengan rata-rata luas talus 100,8860 cm2 dan Spesies VII (60,46%) dengan rata-rata luas talus 40,1105 cm2. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, Spesies IV dan Spesies V memiliki nilai luas talus yang lebih tinggi pada bagian atau letak batang pohon yang menghadap jalan. Rata-rata luas koloni talus berturut-turut pada Spesies IV dan Spesies V, yaitu Spesies IV (395,25 cm2); Spesies V (330,45 cm2) pada bagian batang yang menghadap titik pengukuran kandungan udara ambien dan Spesies IV (6,24 cm2); Spesies V (0,62 cm2) pada bagian batang yang membelakangi titik pengukuran kandungan udara. Nilai luas talus yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak dari jalan. Hal tersebut terjadi diduga karena faktor substrat, yaitu kulit tanaman angsana. Kulit batang tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap air lebih besar bila dibanding dengan jenis tanaman lainnya yang berada pada jarak 10 meter dan 25 meter. Terlihat pada keadaan batang tanaman yang basah dan dengan kulit yang cukup lunak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai jenis pohon memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda (LeBlanc & De Sloover, 1970 diacu dalam Lubis, 1996), sebagaimana juga diungkapkan oleh Hale (1983) diacu dalam Lubis (1996) yang menyatakan bahwa tiap jenis pohon memiliki kemampuan menyimpan air yang berbeda-beda, sangat tergantung pada porositas dan tekstur batang. Pada pohon yang memiliki kulit lunak, kapasitas penyimpanan air lebih dan laju penguapan lebih lambat, bila dibandingkan dengan pohon yang berkulit keras. Akibat faktor-faktor tersebut, setiap jenis lumut kerak lebih menyukai jenis-jenis pohon yang kondisinya sesuai untuk pertumbuhannya.
Pada tegakan mahoni Cikabayan, nilai luas talus pada tiap jenis tidak terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena tempat tumbuh pada tiap letak dan jarak yang dipilih untuk pengamatan memiliki keadaan yang relatif sama untuk perkembangan talus. Meskipun rata-rata luas talus pada batang kulit tanaman tidak sebesar di arboretum Cibubur, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan lebih bervariasi. 2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak a. Kualitas Udara Ambien Menurut Soedomo (2001), pengukuran udara ambien dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran udara di suatu daerah, dengan mengacu kepada ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara yang berlaku dan baku mutu udara yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, terlihat bahwa semua parameter masih berada di bawah ambang batas baku mutu (Lampiran 8). Akan tetapi, pada hasil analisis tiga lokasi tersebut terlihat bahwa kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran yang relatif lebih tinggi pada semua parameter. Pencemaran udara tersebut baik berupa gas maupun partikel dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan secara fisiologik, termasuk lumut kerak. Menurut Chamberlain (1986) diacu dalam Karliansyah (1997), masuknya pencemar tersebut kedalam jaringan tumbuhan sangat tergantung pada karakteristik tumbuhan tersebut dan sifat pencemar secara alami yang kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor cuaca. Lumut kerak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi udara yang bersih. Faktor-faktor tersebut diduga akan mempengaruhi fotosintesis lumut kerak, yang akan dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil. Hale (1983) diacu dalam Lubis (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan lumut kerak ditentukan oleh faktor iklim (40%) dan substrat (60%). Serta didukung oleh pernyataan Seaward (1977) diacu dalam Noer (2004) bahwa distribusi lumut kerak dipengaruhi oleh morfologi dan respon fisiologi lumut kerak terhadap pengaruh kondisi ekstrim, iklim, substrat dan pencemaran udara. Menurut Treshow (1989); Jeran et al. (2000) diacu dalam Wijaya (2004), lumut kerak dapat menyerap seluruh nutrien dalam bentuk berupa endapan basah ataupun kering dari atmosfer. Fungi dapat menyediakan kebutuhan utama dari lumut kerak, termasuk tempat jaringan alga berada, menerima air dan melindungi
dari pengaruh lingkungan yang buruk. Hal tersebut didukung oleh keadaan lumut kerak yang tidak memiliki kutikula atau pelindung, sehingga lumut kerak akan menyerap semua unsur-unsur termasuk polutan yang berbahaya tanpa adanya penyeleksian melalui permukaan talus dan diakumulasikan dalam talusnya. Akumulasi logam-logam tersebut tidak pernah diseksresikan sehingga terus ditimbun oleh talus lumut kerak. Hal tersebut yang memungkinkan pemakaian lumut kerak untuk pemantauan pencemaran udara akibat logam-logam yang diemisikan oleh sumber-sumber pencemar (Kovacs, 1992). Lumut kerak merupakan simbiosis dari dua organisme. Untuk kelangsungan hidupnya, salah satu organisme melakukan fotosintesis yaitu alga. Menurut Soedaryanto et al. (1992), lumut kerak sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan CO2 sampai batas tertentu. Jika kadar CO2
telah melampaui batas yang
dibutuhkan, justru akan menurunkan laju fotosintesis. Fotosintesis lumut kerak dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil dan proses tersebut dipengaruhi oleh kelembaban udara, sinar matahari, temperatur udara dan karbon dioksida. Jika faktor-faktor tersebut tidak optimal bagi masing-masing spesies maka fotosintesis tidak maksimal. Pada hasil pengukuran kualitas udara ambien, lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai kandungan SO2 yang relatif lebih tinggi dibanding lokasi pengamatan lainnya, meskipun relatif tidak terlalu jauh. SO2 dapat bereaksi dalam tubuh lumut kerak yaitu dapat membuat talus menjadi asam dan merusak klorofil menjadi phaeophytin, sehingga lumut kerak tidak dapat melanjutkan proses fotosintesis. Klorofil dapat kembali normal hanya bila pengaruh SO2 tidak terlalu lama dan lingkungan memungkinkan untuk kembali normal (Cooke, 1977; Hale, 1963). Menurut Connel & Miller (1995) bahwa SO2 dan hujan asam mempunyai bermacam-macam hubungan timbal balik dengan fisiologi dan biokimia tanaman (Varshney & Garg, 1979 diacu dalam Connel & Miller, 1995). Menurut Fardiaz (1992), pengaruh partikel terhadap tanaman antara lain, dalam bentuk debunya dan jika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak tebal pada permukaan. Lumut kerak corticolous merupakan lumut kerak yang menjadikan kulit batang pohon sebagai substratnya. Lapisan kerak tersebut diduga dapat mengganggu proses fotosintesis karena akan menghambat masuknya sinar matahari dan dapat mencegah pertukaran CO2 dengan atmosfer.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Pencemaran udara sebagai salah satu faktor lingkungan diduga dapat mempengaruhi iklim mikro suatu tempat. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Soedaryanto et al. (1992), yang menyatakan dengan meningkatnya SO2 dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara di sekitar lingkungan dan dengan suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, akan menyebabkan kematian pada lumut kerak (Soedaryanto et al., 1992). b. Suhu dan Kelembaban Udara Kondisi iklim mikro yang diukur adalah kelembaban dan suhu udara. Hal tersebut diharapkan menggambarkan kondisi lingkungan sekitar. Pada kawasan industri memiliki suhu udara rata-rata yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas industri dan kurangnya vegetasi penghijauan. Menurut Dahlan (2004), tumbuhan yang tinggi dan luasan yang cukup akan dapat mengurangi efek pemanasan. Namun, dengan semakin berkurangnya lahan yang tertutup pepohonan sebagai akibat dari pembangunan, maka lingkungan kota menjadi semakin panas. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%, sedangkan menurut Noer (2004), menyatakan bahwa lumut kerak menyukai tempat yang kering dengan kelembaban 40% sampai 69 %. Hal tersebut, menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak pada suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kelembaban udara. Pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak diduga juga dipengaruhi oleh tingkat pencemaran udara. Pengukuran suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,830,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Menurut Lubis (1996); Baron (1999), suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan
laju
fotosintesis.
Jika
hal
tersebut
terus
berlangsung
akan
menyebabkan kematian pada lumut kerak. Pengambilan, penahanan, dan pengeluaran air merupakan hal yang sangat penting dalam lumut kerak, karena lumut kerak dapat mengabsorbsi air hujan, air larian, dan air embun sehingga mampu menciptakan kelembaban yang diperlukan (Landecker, 1996 diacu dalam Rahmatia, 2003).
c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara Menurut Noer (2004), pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Soedaryanto et al., (1992) yang menemukan 3 jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada daerah kontrol di Denpasar, Bali. Cahyono (1987) diacu dalam Herlinda (1990), menyatakan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana dengan adanya pencemaran udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan jumlah jenis dengan beberapa marga yang dapat dijadikan indikator polusi yaitu Parmelia, Hypogymnia dan Strigula. Menurut Boonpragob (2003) di Thailand, dengan memilih 20 pohon pada masing-masing lokasi didapatkan pada daerah yang terpolusi ditemukan 7 jenis lumut kerak yaitu: Buelia punctata,
Laurera
bengaulensis, Lecanora paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta, Cryptothecia sp. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung hanya ditemukan 3 jenis lumut kerak, pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak dan pada tegakan mahoni Cikabayan sebagai daerah yang diduga memiliki tingkat pencemaran yang rendah, ditemui 10 jenis lumut kerak (Tabel 13). Tabel 13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan Parameter
Debu (μg/Nm3) Karbon dioksida (CO2) (ppmv) Nitrogen dioksida (NO2) (μg/Nm3/Jam) Sulfur dioksida (SO2) (μg/Nm3/Jam) Jumlah lumut kerak yang ditemukan
Lokasi Pengamatan Kawasan industri Pulo Gadung 61 342
Arboretum Cibubur 45 336
Tegakan mahoni Cikabayan 22 325
21
15
10
12
8
6
3
6
10
Daerah kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran kandungan udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi bila dibanding dengan lokasi lainnya (Tabel 2; Tabel 13). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan industri telah mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi berupa CO2, SO2, NO2, dan debu. Pada kawasan industri, unsur-unsur tersebut
secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan maupun keberadaan lumut kerak. Daerah arboretum Cibubur memiliki kadar kandungan udara ambien yang sedang pada semua parameter, hal ini dikarenakan lokasi pengamatan merupakan daerah luas yang cukup untuk konservasi dan menyerap pencemar udara. Keadaan ini yang memungkinkan terjadinya penurunan kadar kandungan udara ambien sehingga terukur rendah, walaupun daerah ini terdapat aktivitas transportasi. Tegakan mahoni Cikabayan memiliki kadar pencemaran yang sangat rendah, karena daerah ini merupakan daearah dengan pencemaran yang ada hanya dihasilkan oleh sepeda motor yang tidak terlalu banyak. Pengaruh kadar masing-masing zat pencemar terhadap talus lumut kerak secara khusus belum dapat diketahui, akan tetapi diharapkan respon dari kondisi lingkungan tersebut dapat terlihat dari morfologi talus yang dapat dilihat secara makroskopik. Pertumbuhan lumut kerak di kawasan industri dan Cibubur tidak memiliki pertumbuhan sebaik di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB. Pertumbuhan lumut kerak diduga akan kurang baik salah satunya apabila daerahnya telah tercemar. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, Spesies II dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien. Berdasarkan atas nilai frekuensi perjumpaan Spesies II, berturut-turut mulai dari yang terbesar adalah lokasi pengamatan arboretum Cibubur, tegakan mahoni Cikabayan dan kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut diduga dapat terjadi karena adanya pengaruh umur tanaman, pada arboretum umur tanaman lebih tua dibanding dengan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies IV ditemukan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Dengan nilai frekuensi perjumpaan Spesies IV di arboretum Cibubur tidak sebesar pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan yaitu sebesar 73,21 %.
Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari
kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan mahoni Cikabayan.
Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies III ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak lainnya. Menurut Boonpragob (2003), Dirinaria picta dapat ditemukan di daerah yang tercemar di Thailand. Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose memiliki frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas talus yang relatif lebih tinggi dibanding dengan tipe foliose. Hal tersebut mengambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont
(alga) berada di sekitar hifa
(Baron, 1999). Tipe talus foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang dilakukan pada lapisan medula. Menurut Baron (1999), meskipun lumut kerak tidak dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies lumut kerak yang berbeda dalam mengabsorbsi dan melepaskan air. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang berbeda.
Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Prasetyo & Hastuti
(1992), yang menunjukan hasil penelitiannya terhadap lumut kerak dengan tipe morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa kimia yang berbeda. Menurut Ahmadjian (1967) diacu dalam Soedaryanto et al. (1992), mengatakan bahwa pada umumnya lumut kerak tahan terhadap perubahan temperatur dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan serta terdapat beberapa jenis lumut kerak yang mampu hidup di daerah industri serta kota besar. Sehingga jenis lumut kerak yang ada pada kawasan industri Pulo Gadung dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang merupakan jenis yang mampu hidup dengan kondisi kandungan polutan relatif memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut dapat dilihat pada hasil pengukuran kualitas udara ambien pada masing-masing lokasi pengamatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan D. cf picta). Pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp., Graphidaceae, Heterodermia sp dan P. cf austrosinensis). Pada tegakan mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.). 2. Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak belum teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose). 3. Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan rendah). 4. Tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan dibanding dengan tipe morfologi foliose.
Strigula sp. diduga mampu bertahan hidup pada kondisi
kualitas udara ambien yang ada. 5. D. cf picta hanya ditemukan pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung dan Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. 6. Pada kawasan industri Pulo Gadung, lumut kerak yang ditemukan hanya terdiri atas satu tipe morfologi talus dalam batang tanaman. Pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni, tipe morfologi talus yang ditemukan dapat lebih dari satu tipe morfologi talus. Bentuk talus lumut kerak dipengaruhi oleh faktor substrat yaitu umur dan jenis tanaman. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang berada di tegakan mahoni.
B. Saran Hal–hal yang harus diperhatian pada penelitian selanjutnya, adalah : 1. Penelitian ini hanya membahas lumut kerak sebagai bioindikator dengan melihat bentuk fisiknya saja, sehingga salah satunya perlu dilakukan penelitian dengan melihat kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut kerak. 2. Pengelompokan berdasarkan marga masih sangat terbatas terhadap spesies yang ditemukan, sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melakukan identifikasi pada beberapa sampel lumut kerak yang belum diketahui. 3. Memperhatikan lokasi penelitian dengan kondisi yang relatif sama, diantaranya adalah jenis tanaman/substrat, umur tanaman dan kondisi iklim mikro. 4. Kajian lumut kerak sebagai bioindikator perlu diteliti lebih lanjut dengan memperluas daerah penelitian dan stasiun pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos, C.J & C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology, Third Edition. John Wiley and sons, Inc. New York. Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company Waltham, Massachusetts.Toronto-London. Ahmadjian, V & Hale, M.E. 1973. The Lichens. Academic Press, A Subsidiary of Harcourt Brace Javanovich. New York. Baron, G. 1999. Understanding Lichens. The Richmond Publishing Co.ltd. England. Boonpragob, K. 2003. Using Lichens as Bioindicator of air pollution. http://www.nfofile.pcd.go.thair31_LichenAcidDep.pdf. [11 Mei 2006].
Cook, R. 1977. The Biology of Simbiotic Fungi. John Wiley and Sons. Chichecter. New York Connel & Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer,Y (terj). Universitas Indonesia. Jakarta . Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City), Bernuasa Hutan Kota. IPB Press. Bogor. Departemen Kehutanan. 1991. Arboretum Wanawisata Pramuka, Cibubur Jakarta. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta. Dharmaputra, O.S; Wydia, A & Nampiah, G. 1989. Penuntun Praktikum Mikologi Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dobson, F.S. Lichens: An Illustrated Guide to British and Irish Species, Morphology. Agustus http://www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens/lichenmm.html [30 2005] Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fink, B. 1961. The Lichen Flora of The United States. Ann Harbor, The University of Michigan. United State of America. Hale, M.E. 1979. How to Know The Lichens, Second Edition. WCB McGraw-Hill. Boston. Herlinda, M. 1990. Identifikasi Lumut Kerak dari Gunung Tangkuban Perahu sebagai Studi Pendahuluan. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Karliansyah, N.S.W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus : Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemaran Udara NOX dan SO2). Tesis. PascaSarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta. Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood. New York. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI. Yogyakarta. Lubis, H. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Medan, Analisa Lumut Kerak. Laporan Penelitian. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas Teknik Industri. Institut Teknologi Medan. Medan. Misra, A & Agrawal, R.P. 1978. Lichens (A Preliminary Text).Oxford & IBH Publishing. India. Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall International Inc. Noer, I.S. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Bandung. Pandey, S.N & Trivendi, P.S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria, Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Pengendalian Pencemaran Udara.
No
41
Tahun
1999
Tentang
PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. 2005. Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL di Kawasan Industri Pulo Gadung. Laporan akhir. PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. Jakarta. Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan beberapa Ilmu Serumpun. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Prasetyo, T.I & Hastuti , U.S. 1992. Lichens sebagai salah satu alternatif dalam penanggulangan polusi logam berat. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.Bandung. Purnomohadi, S. 1995. Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas Udara di DKI Jakarta. Disertasi. PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purvis, W. 2000. Lichens. Smithsonian Institution Press. Washington. D.C. Rahmatia, D. 2003. Hubungan Mikroklimat dan pH Substrat di Hutan Pinus, Hutan Transisi dan Hutan Campuran Gunung Tangkuban Perahu terhadap Kadar Asam Usnat Lumut kerak Usnea. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Ryadi, S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya. Ronoprawiro, S. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap Pertumbuhan dan Hasil Teh (Camellia sinensis.L). Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogjakarta. Simonson, S. 1996.Lichen and Lichen-Feeding Moths (Arctiidae: Lithosiinae) as Bioindicators of Air Pollution in the Rocky Mountain Front Range. http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_199 6/simonson.html. [05 Agustus 2005]. Soedaryanto; Hardini, Y; Proborini, M.W & Yusuf, D.S. 1992. Lichens Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara di Jalan Pb. Sudirman, Denpasar. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali. Soedomo, M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB. Bandung. Suwarso, W.P. 2004. Lichens, Tanaman Suku Rendah yang Berkhasiat sebagai Obat. http://www.Sinar Harapan.co.id. [30 Agustus 2005]. Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Bryophyta, Pteridopyta. Bhantara Karya Aksara. Jakarta.
Thallophyta,
Treshow, M. 1989. Plant Stess From Air Pollution. John Wiley & Sons Ltd. Britain. Inggris. Trisusanti, D. 2003. Inventarisasi Liken Krustos Lirela Asal Jawa Barat dan Pengenalan Bentuk Kristalnya. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung.
Lampiran 1a. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung No
Nama Imiah
Nama lokal
Famili
Jumlah
1 2 3 4
Mimosops sp. Cassia siamea Adenanthera pavonina Swietenia sp.
Tanjung Johar Saga Mahoni
Fabaceae Fabaceae Fabaceae Meliaceae
7 23 3 11
5
Pterocarpus indicus
Angsana
Fabaceae
1
Lampiran 1b. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Imiah
Nama lokal
Famili
Jumlah
Pterocarpus indicus Filicium desipiens Adenanthera pavonina Swietenia sp. Podocapus nerifolii Mimosops elingi Hevea sp. Podocapus imbricata Cinnamomum sp.
Angsana Krey payung Saga Mahoni Ki putri Tanjung Karet Jamuju Kayu manis
Fabaceae Sapindaceae Fabaceae Meliaceae Podocarpaceae Fabaceae Euphorbiaceae Podocarpaceae Lauraceae
5 6 4 10 5 5 8 1 1
Maniltoa grandiflora
Sapu tangan
Fabaceae
1
Lampiran 2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien
Lampiran 3a. Rekapitulasi Suhu Udara Rata-Rata (°C) No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Rata - Rata
Suhu Udara Rata B 31.8 31.0 31.3 29.8 31.0 29.4 29.8 31.3 29.8 29.8
30.5
- Rata (ºC) C 27.8 28.8 27.0 28.3 27.3 26.0 25.8 27.8 28.3 26.5 26.5 26.3 30.0 27.0 27.0 28.8 26.5 27.4
25.5 25.5 26.6 25.8 25.5 26.0 27.8 26.5 25.4 26.9 24.8 25.7 25.3 27.6 26.5
26.1
Lampiran 3b. Rekapitulasi Kelembaban Udara Rata-Rata (%) No A
Kelembaban Udara B 70 71 74 74 72 69 74 70 75 73
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Rata - Rata 72 Keterangan : A : Kawasan industri Pulo Gadung B : Arboretum Cibubur C: Tegakan m ahoni Cikabayan
Rata - Rata (% ) C 83 80 79 84 85 92 88 85 85 87 83 89 85 95 90 78 86 86
87 92 86 93 89 91 89 92 89 95 86 92 91 92 84
90
Lampiran 4. Struktur Makroskopik dan Mikroskopik Talus Lumut Kerak
Gambar 17. Koloni Spesies I (Phaeographis sp.)
Gambar 18. Jaringan Talus Spesies I (Phaeographis sp.) (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 19. Koloni Spesies II (Strigula sp.)
Gambar 20. Penampang Melintang Apotesia Strigula sp. (perbesaran 100x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 21. Koloni Spesies III (Dirinaria cf. picta)
Gambar 22. Jaringan Talus Dirinaria cf. picta (perbesaran 100x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 23. Koloni Spesies IV (Heterodermia sp.)
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 24. Jaringan Talus Heterodermia sp. (perbesaran 100x) (a) dan (b)Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 25. Koloni Talus Spesies VI (Tipe Talus Crustose)
Gambar 26. Struktur Mikroskopis Spesies VI (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 27. Koloni Spesies VII (Verrucaria sp.)(tipe talus crustose)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 28. Lapisan Talus Verrucaria sp. (perbesaran 400x) (a) Bentuk Apotesium (perbesaran 100x) (b) Askospora (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 29. Koloni Spesies VIII (Parmelia sp.)
(a)
(b)
(c) Gambar 30. Jaringan Talus Parmelia sp. (perbesaran 100x) (a) Jaringan Talus (perbesaran 400x) (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 31. Jenis Spesies IX (tipe talus foliose)
Gambar 32. Jaringan Spesies IX (tipe talus foliose)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Gambar 33. Koloni Spesies XII (Graphidaceae) (Crustose lirella)
(a)
(b) (c) Gambar 34. Penampang Melintang Apotesia Graphidaceae (pembesaran 100x). (a) dan (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 5a. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Menghadap Titik Pengukuran Lokasi Jarak Pohon ke 5 A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jumlah Rata-rata
JT Saga Saga Saga Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung
SP I
SP II
SP III
SP IV
SP V
SP VI
SP VII
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0
Johar Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni Angsana Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Johar
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14,6 120,4 0 0 30,2 0 24,4 10,2 199,8 11,1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10,2 0 0 0 0 4 0 0 14,2 0,78889
0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0 0,1 0,01 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,8 120,4 0 0 30,2 4 24,4 10,2
69
Lanjutan Lokasi Jarak Pohon ke 25 A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah Rata-rata
JT Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni Johar Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni
SP I
SP II
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 34,6 0 0 7,7 3,5 0 1,6 0 0 1,5 9,4 0 7,7 0 0,12 0 36,2 0 93,12 9,2 5,4776 0,54118
SP IV
SP III
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VI
SP V
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VIII
SP VII
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP IX
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP X
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP XI
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah
SP XII
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 34,6 7,7 3,5 1,6 1,5 9,4 7,7 0,12 36,2
70
Lanjutan Lokasi Jarak Pohon ke 5 B1 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JT Angsana Angsana Angsana Angsana Angsana
SP I
SP II
0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Rata-rata
0 0 0 0 0
SP VI
SP V
20,3 4,4 4,7 4,5 33,9 6,78
56,1 7,2 6,3 6,4 21,4 97,4 19,48
229,1 164 22,7 12,8 98,4 527 105,4
34,1 56,5 26,2 20,9 0 137,7 27,54
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Jumlah 339,6 238,4 61,9 50,4 119,8
SP VII
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
Krey Payung Krey Payung Krey Payung Krey Payung Krey Payung Krey Payung Mahoni Mahoni Mahoni Saga Mahoni
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2530,2 592,8 1244,5 2507,7 0 53,5 336,5 67,8 89,9 61,9 33,2 7518 683,455
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 32,3 0 0 37,1 0 3,3 0 0 72,7 6,60909
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 99,6 0 0 0 2,5 0 0 3,5 4,1 54,3 46 128,3 48,5 113,1 553,5 0 0 699 53,5 998,2 807,7 90,7455 73,4273
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2530,2 692,4 1244,5 2542,5 0 61,1 473,9 244,6 759,8 61,9 785,7
Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Kyu manis Sapu tangan Sapu tangan
0 0 0 0 0 0 0 0 0
3,1 22,1 8,3 81,7 17,7 69,7 16,8 0 0 219,4 24,3778
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
85,7 55,7 0,6 19,4 0 26,1 23,8 51,1 47,2 8,1 0 14,3 87,5 107,2 0 0 0 0 244,8 281,9 27,2 31,3222
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
144,5 42,1 34,4 156,6 73 84 211,5 0 0
Jumlah Rata-rata 25
SP IV
SP III
0 6,3 2 5,8 0 14,1 2,82
71
Lanjutan Lokasi Jarak Pohon ke 5 B2 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah Rata-rata
JT Saga Ki putri Ki putri Ki putri Saga Tanjung Tanjung
1 2 3 4 5
Karet Ki putri Ki putri Tanjung Tanjung
0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6 7
Tanjung Saga Ki putri Ki putri Ki putri jamuju Karet
0 0 0 0 0 0 0
10
SP I
SP II
0 0 0 0 0 0 0
Jumlah Rata-rata
25
Jumlah Rata-rata
SP IV
SP III
61,2
301,4 0 0 0 247,2 0 0 548,6 78,3714
0 0 0 0 0 0 0
0 114 0 12,7 48,4 175,1 35,02
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
300,9 0 122,5 57,6 189 225,2
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 68,7 41,4 92,6 263,9 37,7
895,2 127,886
780 99,9 132,7 2576,3 368,043
138 73,3 0 13,3 25,2 0 2,8 252,6 36,0857
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 2064,3 73,3 0 13,3 1121,1 141,3 228,1
0 111,3 0 1,3 2 114,6 22,92
0 20,8 0 47,2 9,9 77,9 15,58
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 246,1 0 61,2 60,3
18,8 0 0 0 0 0 0 18 0 0 35,7 0 0 54,5 18 7,78571 2,57143
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
319,7 0 122,5 75,6 189 260,9 0
SP VI
SP V
0 0 0 0 0 0 0
SP VII
1563,7 0
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
72
Lanjutan Lokasi Jarak Pohon ke 5 C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Rata-rata
JT Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni
10
Jumlah Rata-rata
SP I
SP II
SP IV
SP III
SP VI
SP V
SP VII
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
7,1 0 0,8 0 0 0 0 0 36,5 0 0 0 0 0 0 0 0 6 44,4 6 4,9333 0,66667
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 36,4 0 6,1 12,7 0 0 0 6,3 70,5 7,83333
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0 344,5 19,8 0 0 0 0 0 19,4 75,7 0 17,7 6,4 15,1 28,8 0 0 3,3 0 0 0 0 0 0 13,8 0 118 95,9 359,6 13,1111 10,6556 39,95556
69,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5,5 0 0 3,4 85,4 0 177,5 77,4 0 121,3 344,9 211,8 13 51,2 109,3 4,7 0 0 0 0 0 0 0 10,6 173,3 172,5 631,7 307,9 19,2556 19,16667 70,18889 34,21111
13,6 0 0 0 0 14,6 0 23,8 0 78,4 5,2 3 10,9 0 8,4 0 0 0 38,1 119,8 4,2333 13,3111
0 13,8 0 10,9 0 0 0 0 0 3,6 0 1,1 0 1,6 0 0 0 0 0 31 0 3,44444
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22,8 0 0 0 0 38,2 3,4 141,9 0 16,3 64,4 0 20,3 130,9 0 1,6 26,4 0 17,5 0 0 0 0 0 0 17,3 0 81,9 380,9 38,2 9,1 42,3222 4,244444
0 0 1,1 3,9 11,2 0 0 0 13,9 83,4 18,8 226,8 0 44,7 11,6 2,8 4,1 24,2 15,2 22,4 15,6 3,1 10,8 4,6 8,8 0 0 0 0 41,9 0 0 0 0 0 0 53,6 197,3 57,5 260,5 5,95556 21,92222 6,388889 28,94444
Jumlah 459 57 0 110,1 428,7 706,8 181,5 0 36,7
55,2 60,3 502,8 163,6 299,1 71,4 38,8 50,3 17,3
73
Lanjutan Lokasi Jarak Pohon ke 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
JT Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni
SP I
SP II
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP IV
SP III
0 0 0 11,9 13,2 0 1,7 0 0 0 26,8 2,68
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 5,8 2,3 1,4 27,8 1,4 0,2 2,1 3,6 0 50,6 5,06
SP VI
SP V
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 13,3 0 4,5 8,4 3,7 8,2 3,2 12,4 0 71,7 7,17
SP VII
2,1 9,7 11,1 0 25 21,5 3,5 0 15,4 0 88,3 8,83
SP VIII
0 0 0 0 12,3 0 0 0 0 0 12,3 1,23
SP IX
SP X
0 0 0 0 52,4 36,3 4,5 44,9 4,9 0 143 14,3
SP XI
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP XII
0 0 0 0 9,5 0 4,5 16,2 2,5 0 32,7 3,27
0 0 0 0 0 0 2,6 4,2 1,5 0 8,3 0,83
Jumlah 26,1 28,8 13,4 17,8 148,6 62,9 25,2 70,6 40,3 0
Keterangan : A : Kawasan industri Pulo Gadung B1 : Arboretum Cibubur I B2: Arboretum Cibubur 2 C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman
74
Lampiran 5b. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Membelakangi Titik Pengukuran LOKASJARAK Pohon keA 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jumlah Rata-rata
JT SP I Saga Saga Saga Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung
Johar Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni Angsana Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Johar
SP II 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP III 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 51,3 0 23 2,7 44,1 0 8 0 16 0 25 0 0 2,5 24,4 0 0 2,7 191,8 7,9 10,6556 0,43889
0 0 0 0 0 150,9 3 6,1 1,8 3,4 165,2 16,52 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP IV
SP V
SP VI
SP VII
SP VIII
SP IX
SP X
SP XI
SP XII
Jumlah
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 150,9 3 6,1 1,8 3,4
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 51,3 25,7 44,1 8 16 25 2,5 24,4 2,7
75
Lanjutan LOKASJARAK 25
Pohon ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah Rata-rata
JT Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni Johar Johar Johar Johar Johar Johar Mahoni Mahoni Mahoni
SP I
SP II SP III 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19,9 0 0 3,8 74,3 0 5,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 99,3 3,8 5,84118 0,22353
SP IV 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP V 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VI 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VII 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VIII 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP IX 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP X 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP XI 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP XII 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 19,9 3,8 74,3 5,1 0 0 0 0 0
76
Lanjutan Pohon keLOKASJARAK B1 5 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata 10
JT SP I Angsana Angsana Angsana Angsana Angsana
1Krey Payung 2Krey Payung 3Krey Payung 4Krey Payung 5Krey Payung 6Krey Payung 6 Mahoni 7 Mahoni 8 Mahoni 9 Saga 10 Mahoni
SP II
1 Mahoni 2 Mahoni 3 Mahoni 4 Mahoni 5 Mahoni 6 Mahoni 7 Kyu manis 8Sapu tangan 9Sapu tangan Jumlah Rata-rata
SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX 42,4 14,7 91,1 158,4 0 3,3 0 428,2 55,4 0 8,8 6,7 39,1 15 0 0 8,8 200,3 32,9 0 7,9 16,1 104,4 70,4 0 62,4 46,3 863,1 332,1 12,48 9,26 172,62 66,42
0 13,4 0 2,8 4,8 21 4,2
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1961 86,3 0 936,7 0 0 52,4 45,1 0 95,1 37,6 3214,2 321,42
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,5 0 0 2,1 0 0 0 7,2 0 0 0 9,8 0,98
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 14,3 169,7 26,5 38,2 95,1 2,9 0 0 387,7 43,0778
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah Rata-rata 25
SP III
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 810,1 367,5 270,1
0 0 0 0 0
SP X 0 0 0 0 0
SP XI 0 0 0 0 0
SP XII 0 0 0 0 0
Jumlah 306,6 500,3 69,6 244,8 203,6
350,3 1798 179,8
3,4 274,8 0 0 0 26,4 59,1 120,2 124,8 12,4 219,3 840,4 168,08
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1964,9 361,1 0 938,8 0 26,4 921,6 540 394,9 107,5 607,2
35,2 153,1 68,8 0 194,5 73,4 1,5 0 0 526,5 58,5
70,4 25,7 19,7 33,6 43,2 253,8 14,1 0 0 460,5 51,167
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
146,6 193,1 258,2 60,1 275,9 422,3 18,5 0 0
77
Lanjutan Pohon keJT SP I LOKASJARAK B2 5 1 Saga 2 Ki putri 3 Ki putri 4 Ki putri 5 Saga 6 Tanjung 7 Tanjung Jumlah Rata-rata 10
1 Karet 2 Ki putri 3 Ki putri 4 Tanjung 5 Tanjung
0 0 0 0 0 0 0
1 Tanjung 2 Saga 3 Ki putri 4 Ki putri 5 Ki putri 6 jamuju 7 Karet Jumlah Rata-rata
SP IV
SP V
SP VI SP VII SP VIII SP IX 323,4 0 0 0 51,2 0 0 0 0 0 5,9 0 454,8 0 0 28,2 1,6 0 3,4 0 0 809,8 58,7 115,69 8,3857
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 6 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1,3 0 1,3 0,26
0 0 0 0 0
0 133,6 0 6 0 139,6 27,92
0 68,1 0 0 0 68,1 13,62
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 14,3 0 9,5 0 23,8 3,4
1,6 0 0 0 31,4 77,6 3,3 113,9 16,271
0 0 0 0 0
0 173,8 0 147,5 59,2 380,5 76,1
0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
5,5 0 1190,4 36,2 321 219,2 32,4 1804,7 257,814
0 0 0 0 0 0 0
Jumlah Rata-rata 25
SP II SP III 1805,3 14 0 0 1612,3 13,6 55,7 3500,9 500,129
0
0 0 0 0 0 0 0
SP X 0 0 0 0 0 0 0
SP XI 0 0 0 0 0 0 0
SP XII 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 2128,7 65,2 0 5,9 2067,1 49,4 59,1
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 15,6 0 0 0
0 391,1 0 154,8 59,2
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
7,1 0 1190,4 50,5 352,4 306,3 35,7
78
Lanjutan LOKASJARAK Pohon keC 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Rata-rata 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Rata-rata
JT Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni
Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni Mahoni
SP I
SP II SP III 1,3 0 9,7 0 2,8 0 0 39,9 0 0 0 14,8 0 0 0 4,9 0 9,8 13,8 69,4 1,53333 7,71111 55 0 0 0 0 4,4 0 0 0 120,5 14,4 55 0,7 0 3,9 0 4,6 0 78,6 179,9 8,73333 19,9889
SP IV
SP V
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8,5 90,6 0 16 0 4,5 14,7 13,3 6,9 154,5 17,1667
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
69,3 6,5 3,9 0 0 0,7 3,3 0 5,6 89,3 9,92222
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah 63,5 7,7 0 0 0 7,2 0 88,2 47,3 25 0 65,9 0 0 0 238,5 6,8 0 0 0 0 0 7,5 17,1 101,9 12,3 83,5 169,6 1,9 0 8,7 433,8 0 0 0 0 0 0 0 0 0,7 5,1 0 0 22,5 114 0 161,6 68,4 23,2 0 25,3 5,2 16,6 1 154,4 173,3 3,5 0 120,1 78,5 153,1 222,5 769,2 51,3 0 0 82,2 7,4 16 27,1 200,7 513,2 76,8 83,5 463,1 115,5 306,9 266,8 57,022 8,5333 9,27778 51,4556 12,83333 34,1 29,64444 130,5 0 3,5 0 144 0 7,5 7,8 1,4 294,7 32,744
384,6 0 56,2 0 129 0 0 0 117,1 686,9 76,322
0 0 0 61,9 5,1 0 0 39,5 0 0 0 0 0 29 0 0 24,2 22,8 16,4 71,9 0 0 0,8 122,6 0 5,5 72 78,3 176 217,4 8,7 19,5556 24,15556
2,8 48,9 0 0 12 9,5 0 0 0 32,4 10,8 0 0 0 0 0 1,4 0 27 90,8 3 10,08889
691,1 73,5 129 0 454,9 127,9 99,8 135,1 207,6
79
Lanjutan Pohon keJT LOKASJARAK C 25 1 Mahoni 2 Mahoni 3 Mahoni 4 Mahoni 5 Mahoni 6 Mahoni 7 Mahoni 8 Mahoni 9 Mahoni 10 Mahoni Jumlah Rata-rata Keterangan : A : Kawasan industri Pulo Gadung B1 : Arboretum Cibubur I B2: Arboretum Cibubur 2 C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman
SP I
SP II 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 11 0 9,5 0 8,3 0,5 0 29,3 2,93
SP III
SP IV 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 37,7 4,6 3,9 190,6 12 3,8 6,8 6,9 0 281,3 28,13
SP V 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X 4,2 101,1 34,6 105,5 3,4 0 0 115,2 8,1 94,7 0 10,5 4,3 0 0 1,4 0 8,5 0 0 6 66,3 0 0 0 10,4 0 7,1 5,1 1,5 24,9 16,7 5,1 17,1 0 6,5 0 0 0 0 36,2 299,6 59,5 262,9 3,62 29,96 5,95 26,29
SP XI 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0,1
SP XII 0 0 0 0 0 2,7 1,7 4 13 0 21,4 2,14
0 0 0 0 0 0 1,6 11,3 1,6 0 14,5 1,45
Jumlah 260,4 156,3 117,9 20,6 199,1 96,5 25,6 78,6 50,7 0
80
81
81 Lampiran 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 TAHUN 1999 TANGGAL : 26 MEI 1999 BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL No. 1
2
3
4
5
Parameter
Waktu Pengukuran
Baku Mutu
Metode Analisis
Peralatan
SO2
1 Jam
900 ug/Nm3
Pararosanilin
Spektrofotometer
(Sulfur Dioksida)
24 Jam
365 ug/Nm
1 Thn
60 ug/Nm
CO
1 Jam
30.000 ug/Nm3
NDIR
NDIR Analyzer
(Karbon Monoksida)
24 Jam
10.000 ug/Nm
1 Thn
-
NO2
1 Jam
400 ug/Nm3
Saltzman
Spektrofotometer
(Nitrogen Dioksida)
24 Jam
150 ug/Nm
1 Thn
100 ug/Nm3
O3
1 Jam
235 ug/Nm
Chemiluminescent
Spektrofotometer
(Oksidan)
1 Thn
50 ug/Nm
HC
3 Jam
160 ug/Nm3
Flame Ionization
Gas
3
3
3
3
3
3
(Hidro Karbon) 6
PM10
Chromatogarfi 3
24 Jam
150 ug/Nm
Gravimetric
Hi - Vol
24 Jam
65 ug/Nm
3
Gravimetric
Hi - Vol
1 Thn
15 ug/Nm
3
Gravimetric
Hi - Vol
24 Jam
230 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
1 Thn
90 ug/Nm
(Partikel < 10 um ) PM2,5 (*) (Partikel < 2,5 um ) 7
TSP (Debu)
3
82 Lampiran 6 (Lanjutan) 8
Pb (Timah Hitam)
9.
Dustfall
3
24 Jam
2 ug/Nm
Gravimetric
1 Thn
1 ug/Nm3
Ekstraktif
Hi – Vol
Pengabuan
AAS
Gravimetric
Cannister
Spesific Ion
Impinger atau
30 hari
(Debu Jatuh )
10 Ton/km2/Bulan (Pemukiman) 20 2 Ton/km /Bulan (Industri)
10
11.
12.
Total Fluorides (as F)
Fluor Indeks
Khlorine &
24 Jam
3 ug/Nm3
90 hari
0,5 ug/Nm
Electrode
Countinous Analyzer
30 hari
40 u g/100 cm2 dari kertas limed filter
Colourimetric
Limed Filter
24 Jam
3
3
150 ug/Nm
Khlorine Dioksida 13.
Sulphat Indeks
30 hari
1 mg SO3/100 3 cm Dari Lead Peroksida
Paper Spesific Ion
Impinger atau
Electrode
Countinous Analyzer
Colourimetric
Lead Peroxida Candle
Catatan : Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : - Industri Petro Kimia - Industri Pembuatan Asam Sulfat. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBI