PROPOSAL OPERASIONAL TAHUN 2013
KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN (lanjutan : TA 2013)
Tim Penelitian Muchjidin Rachmat Tri Pranadji Mewa Ariani Chairul Muslim Cut Rabiatul Adawiyah
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
0
RINGKASAN Dalam pembangunan nasional pencapaian swasembada pangan selalu menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut, salah satu sumberdaya yang penting adalah ketersediaan lahan dan air untuk produksi pangan. Penyediaan lahan dan air untuk pangan saat ini menghadapi tekanan akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing-masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing-masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan dan air tersebut. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan dan air akan terjadi. Kondisi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap produksi pangan dan upaya swasembada pangan. Penelitian tahun 2012 ditekankan mengkaji aspek legislasi di bidang lahan dengan cakupan kegiatan: (a) Mengevaluasi konsistensi peraturan perundangan dibidang air terkait dengan sasaran swasembada pangan.(b) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada pangan, dan (c) Menganalisis dampak implementasi peraturan di bidang lahan dan air terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan. Hasil penelitian tahun anggaran 2012 dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan menghasilkan temuan sebagai berikut: (a) Terdapat ke tidak-sinkronan antara beberapa peraturan (UU, Kepres) di tingkat pusat berkaitan dengan kebijakan lahan, terutama dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan lahan pertanian pangan mendukung swasembada pangan, (b) ketidak sinkronan kebijakan pusat tersebut berakibat banyaknya benturan kepentingan dalam penyusunan implementasi (Perda) di daerah, (c) Perkembangan kegiatan ekonomi di luar pertanian telah berakibat permintaan lahan dan air. Sejalan dengan itu konflik kepentingan penggunaan air terus meningkat, yang berakibat terjadinya konversi lahan dan air dari pertanian untuk penggunaan non pertanian, (d) Berbagai kebijakan dan peraturan telah ditetapkan dalam rangka pencegahan konversi lahan produktif, antara lain dengan diundangkannya UU No.41/2009 tentang Perlindungan lahan Pertanian pangan berkelanjutan, (e) Namun demikian penerapan UU No.41/2009 akan memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini di samping masih perlunya disusun produk turunan UU tersebut (PP, Permen, Pedum), juga sangat tergantung kepada penyiapan produk hukum yang lebih operasional (Perda) di setiap daerah, (f) perlunya terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik, dan (g) lambatnya implementasi UU No.41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. Dalam tahun 2013 kegiatan lanjutan dengan difokuskan kepada legislasi bidang irigasi (pengairan) dalam kaitannya dengan ketersediaan lahan dan usaha pertanian dalam rangka swasembada pangan. Kegiatan penelitian dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dalam pembangunan nasional peningkatan ketahanan pangan selalu
merupakan menjadi prioritas. Sejalan dengan itu dalam dalam 2010 - 2014 target utama dari Kementerian Pertanian adalah pencapaian swasembada pangan
pokok yaitu padi, jagung, kedele, gula dan daging (Kementerian
Pertanian, 2010). Pencapaian ketahanan pangan tersebut terutama dilakukan melalui
pemenuhan
produksi
domestik,
melalui
pendayagunaan
sebesar
besarnya sumberdaya domestik. Salah satu sumberdaya penting dalam memproduksi pangan adalah lahan dan air untuk produksi pangan. Penyediaan lahan dan air
untuk pangan saat ini menghadapi tekanan
akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan ekonomi
di
semua
sektor
permintaan akan lahan lahan
dan
telah
menyebabkan
meningkatnya
dan air, sehingga lahan pertanian pangan yang ada
dihadapkan kepada ancaman kualitas
pertanian
konversi lahan ke non pertanian, degradasi
lingkungan.
Konflik
kepentingan
dalam
rangka
memperebutkan penggunaan lahan dan air terjadi, pada awalnya lahan dan air diprioritaskan untuk mendukung produksi pertanian terutama pangan. Dengan berkembangnya tuntutan sektor lain akan lahan dengan air diikuti oleh peningkatan nilai ekonomi lahan dan air terjadi realokasi pemanfaatan air sesuai dengan nilainya. Penyediaan lahan dan air untuk pangan berada pada kondisi kritis karena terjadi penurunan luas lahan produktif, degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Keberadaan luas panen komoditas pangan berkaitan dengan ketersediaam air. Luas lahan sawah cenderung menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi 2
dan penurunan layanan jaringan irigasi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mempunyai dampak negatif terhadap pembangunan pertanian, yaitu (a) secara langsung konversi lahan pertanian produktif ke non pertanian telah menurunkan kapasitas produksi pertanian, (b) rusaknya sistem pengairan di daerah produksi yang terbangun, dan (c) kondisi ini berarti kerugian investasi yang telah ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigari dan pencetakan sawah (Sumaryanto, Hermanto dan Pasandaran, 1996). Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing-masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan dan air tersebut. Di bidang lahan, telah diterbitkan beberapa UU dan turunannya, seperti UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang; UU No 12 /1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; UU No 28/2009 Perumahan dan Kawasan Permukiman; UU No 18/2004 tentang Perkebunan; UU No 13/ 2010 tentang Hortikultura dan lainnya. Di bidang air, ada dua UU penting yang berkaitan dengan pengairan, yaitu UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No 11 /1974 tentang Pengairan. Di tingkat daerah sesuai dengan kepentingannya akan membangun peraturan daerahnya yang dituangkan dalam Renstra dan atau Perda masing masing. Aturan yang tercantum dalam produk hukum tersebut berpotensi terjadi tumpang tindih dan berebut dalam pemanfaatan lahan sesuai kepentingannya. Kondisi ini berpotensi terjadinya konversi pemanfaatan lahan pertanian dan dengan sendirinya secara langsung akan mengurangi penggunaan lahan untuk tanaman pangan sehingga berpotensi mengganggu peningkatan produksi dan upaya swasembada pangan. Kajian legislasi tentang lahan dan air telah dilakukan pada tahun 2012 dan dilanjutkan pada tahun 2013. Pada tahun 2012 kegiatan penelitian ditekankan mengkaji aspek legislasi di bidang lahan dengan cakupan kegiatan: (a) 3
Mengevaluasi konsistensi peraturan perundangan di bidang lahan terkait dengan sasaran swasembada pangan, (b) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada pangan, dan (c) Menganalisis dampak implementasi peraturan dibidang lahan dan air terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan.
Keberadaan luas
panen terutama tanaman pangan sangat berkaitan dengan ketersediaan air, untuk itu dalam tahun 2013 kegiatan penelitian dilanjutan dengan memfokuskan kepada kajian legislasi bidang air-irigasi dalam kaitannya dengan ketersediaan lahan, usaha pertanian pangan dan produksi pertanian tanaman pangan. 1.2.
Dasar Pertimbangan Penyediaan pangan merupakan isu paling strategis dalam pembangunan
nasional, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk besar. Dalam membangun ketahanan pangan perhatian lebih besar diberikan kepada penyediaan pangan pokok yaitu beras. Sejalan dengan itu dalam program pembangunan pertanian tahun 2010-2014 Kementerian Pertanian memberikan prioritas kepada upaya swasembada beberapa komoditas pangan utama yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi (Kementerian Pertanian, 2010). Secara umum pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan melalui produksi domestik dan impor. Namun demikian, sebagai negara kepulauan berpenduduk besar dengan wilayah yang sangat luas tentunya Indonesia menghadapi kendala penyediaan pangan dan distribusi untuk menjangkau setiap pelosok wilayah. Untuk itu Indonesia harus dapat membangun sistem ketahanan pangan menuju ke kemandirian pangan dalam negeri yang mampu menjamin ketersediaan dan akses setiap masyarakat di setiap wilayah. Kemandirian pangan yang dibangun harus didasarkan kepada kemampuan produksi pangan dari dalam negeri melalui optimalisasi seluruh potensi yang ada di dalam negeri.
4
Salah satu unsur penting dalam memproduksi pangan adalah ketersediaan lahan dan air untuk produksi pangan. Penyediaan lahan dan air untuk pangan saat ini menghadapi tekanan akibat persaingannya penggunaannya dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kondisi demikian menyebabkan lahan pertanian pangan dihadapkan kepada masalah penurunan areal lahan pangan akibat konversi lahan ke non pertanian, degradasi lahan dan lingkungan. Penyediaan lahan bagi pangan berada pada kondisi kritis karena terjadi penurunan luas lahan produktif, degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Luas lahan sawah cenderung menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan jaringan irigasi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mempunyai
dampak
negatip
terhadap
pembangunan
pertanian,
yaitu
penurunan: (a) Kapasitas luas panen produksi pertanian, (b) Produktifitas pertanian, (c) Produksi pertanian. Upaya mengimbangi penurunan luas areal produksi pangan dan juga berarti meningkatkan kapasitas produksi dapat dilakukan melalui peningkatan luas panen yaitu melalui perluasan areal tanam/pembukaan baru lahan yang berpotensi untuk produksi pangan dan peningkatan intensitas tanam. Upaya kearah itu terus dilakukan melalui program pencetakan areal tanam baru dan peningkatan intensifikasi lahan yang ada. Sejalan dengan itu, diperlukan kebijakan penyediaan air irigasi untuk produksi pangan, dalam bentuk pembangunan
infrastruktur
ketersediaan
air
(waduk,
embung,
pompa);
pendayagunaan sumber sumber air yang ada, pemeliharaan infrastruktur irigasi, dan kebijakan keberpihakan kepada priotitas penyediaan air untuk pertanian. Berbagai kebijakan dan aturan yang dituangkan dalam produk hukum telah disusun oleh berbagai pihak yang pada hakekatnya ditujukan dalam rangka pemenuhan dan akses secara legal dari masing masing pihak dalam 5
memanfaatkan lahan dan air. Kebijakan tersebut dapat selaras atau berbenturan dalam pengelolaan air bagi kebutuhan setiap saat yang dituangkan dalam kebijakan alokasi sumberdaya air. 1.3.
Tujuan Secara lebih rinci tujuan dari kajian adalah:
1)
Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan di bidang air dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan.
2)
Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang air dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan.
3)
Menganalisis dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka sasaran swasembada pangan berkelanjutan.
1.4. Keluaran yang Diharapkan Berdasarkan tujuan tersebut, keluaran kajian adalah : 1)
Hasil evaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan
di
bidang air berkaitan dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan. 2)
Hasil evaluasi implementasi peraturan perundangan
di bidang air dalam
rangka swasembada pangan berkelanjutan. 3)
Dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan.
1.5.
Perkiraan Manfaat dan Dampak Secara garis besar kajian ini merupakan kajian kebijakan di bidang air
dalam rangka pencapaian tujuan swasembada pangan. Kajian yang dimaksud dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundangan yang ada berkaitan dengan air. Sesuai dengan tujuan, maka dari kajian ini akan dihasilkan informasi tentang: (a) Keterkaitan peraturan perundangan air berkaitan dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan, (b) Evaluasi implementasi peraturan 6
perundangan di bidang dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan, dan (c) Analisis dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan. Dengan diketahuinya aspek tersebut, akan dapat dihasilkan perbaikan dalam kebijakan dan rekomendasi untuk pencapaian efektifitas pelaksanaan peraturan perundangan tersebut. II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis Upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan selalu menjadi fokus utama pembangunan pertanian nasional dari sejak penjajahan belanda sampai saat ini. Swasembada pangan berkelanjutan merupakan masalah kebijakan politik negara, sehingga pemecahan masalah ini harus menjadi komitmen negara dan masyarakat, dan tidak dapat begitu saja diserahkan menjadi urusan privat atau melalui mekanisme pasar secara konvensional. Swasembada pangan berkelanjutan akan sangat sulit diwujudkan jika sistem pertanian hanya dijadikan urusan pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan politik tentang “swasembada pangan berkelanjutan” bukan produk yang dihasilkan dari transaksi pelaku ekonomi di pasar bebas, melainkan amanat konstitusi (UUD 1945). Kajian legislasi tentang lahan dan air untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan harus dilihat dari perspektif multi dimensi yaitu dimensi ideologi, konstitusi, sosio-kulutral-historis, dan eko-geostrategis. Hingga menginjak umur ke 68 tahun, bangsa Indonesia belum berhasil menata sistem legislasi di bidang lahan dan air yang memungkinkan tercapainya swasembada pangan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dapat dikatakan suatu negara bangsa (nation state) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alamnya, terutama lahan dan air secara baik (untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya), maka bangsa atau negara tersebut dapat disebut sebagai negara gagal (fail state). 7
Secara historis-peradaban dapat dikatakan bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa atau negara sangat ditentukan seberapa hebat dan komprehensif dapat menyusun sistem legislasi (dan penerapannya) untuk menjamin kemakmuran dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan untuk seluruh rakyatnya. Tanpa sistem legislasi di bidang lahan dan air yang baik, hampir dipastikan akan terjadi ekskalasi konflik agraria yang sangat serius akibat terabaikannya kepentingan rakyat. Konflik yang terkandung dalam pengelolaan lahan dan air bukan saja menjadi fakta sosio-politik-historis, melainkan juga telah disadari sebagai masalah yang harus dikelola negara. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan bumi (lahan) dan air (termasuk untuk pertanian mendukung swasembada pangan berkelanjutan) merupakan kegiatan strategis yang harus dikendalikan lembaga setingkat negara. Semacam ada asumsi bahwa jika kedua sumberdaya strategis ini tidak dikendalikan melalui sistem legislasi yang baik hampir dapat dipastikan akan terjadi eskalasi konflik yang melibatkan banyak pihak, karena pemanfaatan secara sepihak oleh kalangan kuat ekonomi, sosial, politik, dan yang dekat dengan kekuasaan yang berjumlah sedikit akan kalangan lain (“mayoritas rakyat”) terpinggirkan. Program pertanian, khususnya swasembada pangan berkelanjutan, sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lahan dan air. Dengan kata lain, kegagalan penyelenggaraan pembangunan pertanian, termasuk swasembada pangan, umumnya terkait dengan kegagalan dalam pengelolaan konflik lahan dan air. Substansi “konflik” dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air telah menjadi masalah historis dan konstitusional yang hingga saat ini belum terpecahkan. Amanat UUD 1945 (Pasal 33 ayat (3)) telah sangat jelas bahwa pengelolaan lahan dan air, termasuk dalam mendukung swasembada pangan berkelanjutan, merupakan hal sangat serius bagi penyelenggara negara. Kementerian Pertanian, 8
karena diberi tugas dalam pencapaian swasembada pangan berkelanjutan, berada di tengah pusaran konflik lahan dan air. Konflik antar lembaga negara, termasuk antar kementerian dan lembaga, dalam pengelolaan lahan dan air masih memposisikan kementerian pertanian pada posisi yang lemah. Dalam pandangan kaum psiokrat (abad pertengahan di Eropa), penguasaan terhadap lahan (termasuk komplemennya, yaitu: air) merupakan bagian yang harus diatur negara secara adil. Siapa yang mampu menguasai atau mengakses sumberdaya lahan dan air untuk kepentingan ekonomi dan pangan mereka lah yang akan mampu menguasai kepentingan orang banyak, dan hal ini sangat berbahaya bagi pencapaian keadilan sosial. Jika saja negara tidak membuat sistem legislasi yang baik, dan cenderung menganut “ekonomi pasar” atau liberal, hampir dipastikan akan terjadi eskalasi konflik yang menjelma dalam bentuk kekacauan sosial politik pada setiap 20-30 tahun sistem pemerintahan. Secara historis eskalasi konflik ini telah dialami oleh Bangsa Indonesia, yang ditunjukkan pada akhir abad 19 (kasus di Sumatera Utara bagian timur) tahun 1945, 1965, dan 1998. Tatanan
legislasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
sangat
berpengaruh besar terhadap pencapaian swasembada pangan berkelanjutan. Sebagai gambaran, dalam perspektif otonomi daerah (UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), sektor pertanian tidak diposisikan sebagai urusan yang penting dan strategis. Merujuk PP No. 37 Tahun 2008 (PP 37/2008) ada tiga prasa yang satu sama lain menimbulkan tafsir ganda tentang pengelolaan sumberdaya lahan dan air, urusan pertanian, dan (ketahanan) pangan
(berkelanjutan).
Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah,
sumberdaya alam mecakup lahan dan air, dikategorikan sebagai urusan wajib, demikian pula urusan ketahanan pangan. Namun dilihat secara sektoral, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pertanian merupakan urusan pilihan. Untuk negara agraris dan kepulauan seperti Indonesia, penempatan urusan pertanian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai urusan pilihan 9
perlu mendapat pengkritisan secara serius. Kesenjangan atau konflik antara gagasan (yang menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan) dan kenyataan (bahwa
sebagian
besar
mata
pencaharian
dan
kehidupan
masyarakat
menyandarkan pada sektor pertanian) seharusnya dilihat sebagai hal yang sangat serius. Mashab pemikiran yang melatar-belakangi pengaturan (PP No 37/2008) pertanian diposisikan sebagai urusan pilihan, mungkin sangat cocok untuk masyarakat yang mata pencahariannya didominasi oleh sektor industri atau jasa. Substansi materi PP No 37/2008 ini menjadi “tidak nyambung” jika disasarkan untuk masyarakat agraris pedesaan seperti umumnya di Indonesia. Dilihat dari pembagian kewenangan antara Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah, muatan legislasi (UU No.32/2004) yang hanya menempatkan enam urusan (kebijakan politik luar negeri, fiskal dan moneter, yustisia, agama, pertahanan, dan keamanan) sebagai kewenangan pemerintah juga harus dikritisi. Konflik pengelolaan lahan dan air juga sangat diwarnai tidak adanya sinergi antar wilayah administrasi yang berdekatan, baik secara lintas provinsi maupun kabupaten/kota. Ada baiknya untuk dilakukan pemikiran ulang tentang pembagian kewenangan yang sesuai dengan fakta dan dinamika yang berkembang di lapangan, bahwa pengelolaan lahan dan air merupakan urusan pemerintah. 2.2.
Hasil-hasil Penelitian Terkait
2.2.1. Hasil Kajian Tahun 2012 Salah satu perspektif tumpuan pembangunan Pertanian adalah pencapaian swasembada pangan yang menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut, diperlukan adanya faktor pendukung utama ketersediaan sumberdaya lahan pertanian. Saat ini, dengan total luas lahan sawah sekitar 8 juta ha, kemampuan lahan untuk menyediakan pangan yang layak bagi penduduk berada pada batas kritis. Hal ini karena kondisi teknologi yang status quo, misalnya keinginan untuk swasembada beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 hanya akan tercapai apabila tersedianya lahan sawah seluas 10 juta ha. Untuk itu pencegahan 10
konversi lahan haruslah disertakan pencetakan sawah baru yang diupayakan secara serius. Dalam rangka pengamanan produksi pangan (padi) untuk jangka panjang dengan adanya pengendalian konversi lahan telah disusun UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Secara garis besar UU No. 41/2009 berisi aturan atau ketetapan tentang: (a) Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, (b) Pengaturan alih fungsi lahan, (c) Keterkaitan dengan peraturan Lain, (d) Sistem informasi lahan berkelanjutan, (e) Pemberdayaan masyarakat, dan (f) Sistem insentif dan sangsi. Dengan adanya UU No. 41/2009, kemajuan di segala bidang/sektor pertanian berdampak pada permintaan terhadap lahan meningkat. Untuk mendapatkan hak atas lahan tersebut, masing-masing sektor/bidang telah mengeluarkan
peraturan
yang
memungkinkan
diperolehnya
hak
untuk
mendayagunakan lahan dan air yang tertuang dalam UU No. 5/1960 yaitu Hak-
Hak Atas Tanah, Air Dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah. (Bab II. Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2). Dalam implementasi UU No. 41/2009 terjadi ketidaksinkronan antara UU No.41/2009 dengan UU lain berkaitan penggunaan lahan, seperti dengan UU No.26 /2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU No. 1/2011 tentang
Perumahan dan kawasan Permukiman, serta dengan
sesama UU lingkup sektor pertanian seperti UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No.13/2010 tentang
Hortikultura, UU No. 28/2009 tentang
Peternakan dan kesehatan Hewan serta dengan Prepres No 54/2008 tentang penataan ruang kawasan JABODETABEKPUNJUR dan Perpres No.32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Ketidaksinkronan terjadi pula antara UU No. 41/2009 dengan UU No. 26 /2007 tentang Penataan Ruang berkaitan dengan cakupan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi 11
mencakup lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk didalamnya lahan yang di cadangkan untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau diluar kawasan pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan pedesaan dan atau perkotaan di wilayah kabupatan/kota. Sementara dalam UU No. 26/2007 dan diikuti oleh Perda RTRW Propinsi dan kabupaten/Kota, kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan hanya di kawasan perdesaan (Rachmat.M. et al 2012). Undang-undang lainnya yang berpotensi mengeliminir berlakunya UU No. 41/2009 adalah UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum, dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh Pemerintah. Tanah untuk kepentingan umum mencakup 18 jenis, yang hamper semuanya untuk kebutuhan sarana umum. Dengan dasar tersebut, atas nama kepentingan umum maka lahan pertanian yang berada dalam kawasan yang dilindungi dapat dikonversi. Pada sisi lain, keberadaan UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
juga
berpotensi besar menjadi dasar
untuk terjadinya konversi lahan pertanian. Dalam UU No. 1/2011 dikemukakan Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
sesuai
dengan
kewenangannya,
bertanggung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembagunan perumahan dan kawasan permukiman, ditetapkan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Implementasi UU No. 41/2009 di daerah sangat beragam, baik dalam pemahaman aparat daerah tentang materi UU No. 41/2009 dan implentasinya di masing-masing daerah yang tertuang dalam Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Penetapan jenis dan luas lahan pertanian pangan yang akan dilindungi dalam Perda RTRW yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan akan lahan dari sektor lain. Konflik kepentingan penggunaan sangat kompleks seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat sejalan dengan besarnya tuntutan 12
akan lahan dengan kemajuan di luar pertanian. Permasalahan menjadi semakin rumit dengan masuknya kepentingan politis penguasa daerah. Pada kondisi demikian maka konversi lahan manjadi tidak terkontrol. Dalam implementasi peraturan di daerah, di Propinsi Jawa Barat, dari penelusuran terhadap Perda RTRW kabupaten/kota di Jawa Barat diidentifikasi: (a) Hampir seluruh wilayah pemerintah kota tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan berkelanjutan, (b) Terdapat kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada, (c) Alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi seluruh lahan pertanian
sawah irigasi teknis dan sebagian
lahan sawah non teknis, (d) Alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah, dan (e) Hanya beberapa kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan non sawah. Di Propinsi Bali, menunjukan kondisi paling ideal
dimana
keberadaan
lembaga adat yang kuat mengakar dan didukung oleh kebijakan pemerintah menyebabkan perlidungan lahan lebih terkontrol. Lembaga adat tidak saja telah berperan dalam menjaga lahan pertanian sawah di Propinsi Bali tetapi bersifat
mengkonservasi lahan sawah, karena keberadaan lahan sawah juga didukung oleh terpeliharanya sumber air dan jaringan irigasi dengan baik. Kasus di Provinsi Sumatera Selatan, terdapat potensi besar untuk perluasan areal sawah (pencetakan sawah) dan berkembangnya kegiatan perekonomian serta perkembangan industri Kelapa Sawit dengan nilai ekonomi yang tinggi. Di satu sisi memberikan peluang adanya kegiatan pencetakan sawah dan di sisi lain alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit dan perumahan. Di Propinsi Sulawesi Selatan, potensi pertanian sawah lebih stabil karena permintaan konversi lahan relatif kecil (hanya sekitar kota propinsi), sementara permintaan untuk pencetakan sawah baru juga masih cukup besar baik dari lahan kering, bekas tambak dan bekas kebun kakao yang gagal. 13
Dalam penerapan UU No. 41/2009, aturan dalam UU tersebut dinilai kurang tegas dan terlalu longgar, karena cenderung menyerahkan kewenangan penetapan dan pengaturan lahan sawah yang dilindungi kepada Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dengan banyaknya kepentingan akan lahan di masing-masing daerah, maka dalam penyusunan Perda RTRW, penetapan penggunaan lahan cenderung terlebih dahulu memprioritaskan untuk kebutuhan sektor pembangunan lain. Sehingga lahan pertanian yang dilindungi cenderung hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan untuk non pertanian. Pada kondisi demikian, adanya UU No. 41/2009 dan selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW telah menjadi landasan/justifikasi kuat untuk terjadinya konversi lahan pertanian sesuai yang ditetapkan Perda. Dalam kaitan tersebut, secara legal lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi. Untuk itu, diperlukan pemantauan,
pendampingan/advokasi
pemerintah
kepada
daerah
(Dinas
pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota secara intensif, sehingga daerah lebih peduli dalam menjaga keberadaan lahan untuk pangan untuk produksi pangan masyarakat. Pada bagian lain, adanya ketentuan masa pemberlakuan Perda RTRW selama jangka waktu 20 tahun dan RTRW dapat ditinjau kembali dilakukan satu kali dalam 5 tahun memungkinkan dalam jangka waktu tersebut terjadinya perubahan komitmen dalam alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi. Hal ini berarti terjadi ketidakpastian hukum tentang keberadaan lahan sawah yang dilindungi dalam jangka panjang. Idealnya UU No. 41/2009 lebih tegas dalam menetapkan dan mengatur keberadaan lahan untuk pangan. UU No. 41/2009 juga seharusnya bukan hanya melindungi tetapi dapat mengarah kepada upaya
mengkonservasi lahan pertanian pangan selamanya, melalui penetapan aturan yang lebih tegas dan memberikan arahan jaminan agar lahan sawah
untuk
produksi pangan tersebut terlindungi selamanya. Dengan menyerahkan pengaturannya kepada Perda RTRW,
penerapan/
pelaksanaan UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang, karena 14
untuk pelaksanaan UU No. 41/2009 memerlukan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Propinsi dan Perda RTRW Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah disusun peraturan/Perda/PerBup tentang Rencana Detail Tata Ruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok, (d) perlunya terlebih
dahulu
dilakukan
sosialisasi
kepada
masyarakat
agar
dalam
implementasinya tidak terjadi konflik, dan (e) lambatnya implementasi UU No. 41/2009 juga berkaitan dengan
adanya aturan tentang sangsi dimana setiap
pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak sesuai dengan ketentuan
dapat
dipidana dengan pidana penjara sangat berat. 2.2.2. Perkembangan Peraturan Terkait Sumberdaya Air Air merupakan kebutuhan utama makhluk hidup. Air dibutuhkan oleh manusia tidak hanya sebagai air minum tetapi juga sebagai media produksi yaitu sebagai air irigasi untuk keperluan budidaya pertanian. Selain itu air juga digunakan sebagai media industri dan tenaga listrik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan berbagai peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung terkait pemanfaatan air terutama untuk irigasi. Kepentingan pengaturan air irigasi untuk pertanian berkembang sejalan dengan perkembangan pertanian itu sendiri. Masa Kerajaan Pada masa kerajaan Majapahit, salah satu sumber sejarah kuno yang mengungkapkan data pertanian adalah prasasti, yang sebagian terbesar ditemukan di Jawa. Dari sumber-sumber itu diketahui bahwa penduduk Jawa mengenal dua jenis pertanian, yaitu gaga (ladang) dan sawah (sawah). Pada zaman Raja Airlangga, kegiatan pertanian semakin maju dengan memerintahkan
15
pengendalian Sungai Brantas yang selalu meluap setiap tahunnya enggan membangun bendungan Kamalagyan (Purnama, 2012). Kegiatan pertanian mencapai puncak perkembangannya pada masa Kerajaan Majapahit. Perhatian penguasa terhadap pertanian sangat besar untuk melindungi petani dengan menetapkan aturan terkait pemanfaatan tanah dan air. Dalam Undang-Undang Agama disebutkan “Barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar atau kecil, si pelaku harus mengembalikan lima kali lipat kepada pemiliknya, ditambah lagi dengan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa. Pada masa itu bendungan-bendungan (dawuhan) untuk keperluan pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan rakyatnya. Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Air dialirkan ke
sawah-sawah
melalui
saluran-saluran
bertanggul
dan
pengaturannya
dilakukan oleh seorang penghulu bantu air (pada masa sekarang ulu-ulu). Pengaturan sistem irigasi yang dinilai terbaik dan masih berjalan saat ini adalah sistem subak di Bali. Sistem irigasi subak telah ada sebelum sistem pertanian berkembang di Bali sejak tahun 678, namun tercatat sejak tahun 1071. Peranserta pengaruh raja-raja di Bali sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi pada sistem irigasi subak. Subak merupakan sistem irigasi yang di dalamnya menyangkut masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, dan merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Latar belakang didirikannya organisasi ini beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas. Untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak. Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (Bahasa Bali: awig-awig) yang disusun secara egaliter (Septiarini, 2012). 16
Sistem irigasi subak adalah cerminan konsep Tri Hita Karana (THK) yang pada hakikatnya terdiri dari Parhyangan, Pawongan, dan Palemaha. Parhyangan ditunjukkan
adanya
pemujaan
terhadap
pura
pada
wilayah
subak. Pawongan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi subak, dan palemahan yang ditandai dengan kepemilikan lahan atau wilayah di setiap subak. Ketiga hal ini memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. Wujud Tri Hita Karana dalam sistem irigasi subak di Bali merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya sudah menyatu dengan sosiokultural masyarakat
setempat.
Adapun
perwujudan
konsep
THK
dalam
operasional sistem irigasi subak antara lain: 1) Subsistem budaya, yang dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan. 2) Subsistem sosial, yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan petani, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. 3) Subsistem artefak/kebendaan, yang dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak. Pendistribusian air dilaksanakan secara adil, sehingga konflik-konflik dapat dicegah. Organisasi subak berbentuk tim kerja yang berorientasi pada tercapainya tujuan yang diinginkan dalam organisasi subak. Struktur organisasi sistem subak sebagai berikut: ketua subak (pekaseh) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke luar dan ke dalam yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Peranan ketua subak sangat menentukan karena dia yang mengatur air irigasi pada saat kondisi air yang kritis, menetapkan hari baik untuk menanam tanaman tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada dasarnya, pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip THK. Kelian tempek (sub-subak) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke dalam (ke wilayah masing-masing subak), dan tidak memiliki kewenangan berhubungan 17
ke luar. Sementara peranan sedahan hanya berfungsi dalam pemungutan pajak (Pajak Bumi dan Bangunan). Pada saat ini, organisasi subak banyak berhubungan dengan Dinas Pekerjaan Umum terutama berkaitan dengan pembangunan fisik di subak yang bersangkutan. Sistem subak mengatur penyediaan air, dengan menunjuk seorang petilik (pengawas air) yang bertugas mengawasi pendistribusian dan alokasi air di kawasan tertentu secara rutin. Konflik yang umum terjadi dalam subak ialah adalah masalah air, pola tanam, pepohonan, hewan peliharaan yang merusak lahan pertanian dan lainnya. Konflik ini dapat terjadi pada antar anggota subak, antar anggota subak dengan subak, dan antar subak. Namun konflik-konflik tersebut dapat diatasi oleh subak itu sendiri dengan cara musyawarah, karena sistem subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang mengatur pembagian pengelolaan airnya berdasarkan pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama. Sebelum Kemerdekaan RI Pada awal “Tanam Paksa” sampai awal abad ke-20, untuk mendukung keberhasilan program tanam paksa di bidang tanaman tebu dan nila, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi Sampean di Situbondo, delta Brantas, Pekalen dan Pemali-Comal. Dalam kurun waktu tersebut, dibangun sungai besar untuk mengatur dan mengendalikan banjir sungai Brantas dan pembebasan banjir Kota Surabaya. Pada awal abad ke-20 sampai dengan 1920, pemerintah Kolonial menghapuskan sistem tanam paksa, dan berlaku politik budi baik atau politik etis yang dirumuskan dalam 3 usaha, yaitu industrialisasi, emigrasi (transmigrasi) dan irigasi. Pada kurun waktu ini, pengembangan proyek irigasi lebih cepat dan tidak tersendat seperti selesainya jaringan irigasi Ciujung, pembangunan jaringan irigasi besar di Pulau Jawa seperti Bedadung-Bondoyudo, Semarang dan Karawang-Walahar.
18
Setelah tahun 1920 sampai keruntuhan Kolonialisme, ada beberapa hal penting terkait pembangunan sarana irigasi yaitu: 1) Keterbatasan wilayah potensial untuk dikembangkan irigasi di Jawa. Wilayah potensial di luar Jawa seperti di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, mulai dikembangkan untuk padi; 2) Pengembangan irigasi di Pulau Jawa semakin bergeser pada wilayah yang kurang subur dan memerlukan biaya besar, seperti Citanduy, Tulungagung Selatan dan Bengawan Solo; 3) Berdirinya laboratorium pengairan di Mojokerto, Semarang, Bandung; dan 4)
Mulai dibangun waduk
skala kecil dan sedang di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Era Orde Lama Setelah
Proklamasi,
pemerintah
sudah
menyusun
rencana-rencana
pembangunan seperti rencana pertama adalah Rencana Pembangunan Jangka Pendek (1951-1953), kemudian disusul Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960), dan dilanjutkan dengan Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun (1961-1968). Selama periode ini, anggaran pembangunan untuk pengairan relatif kecil dibanding kebutuhannya, meskipun lebih baik dibanding sektor lainnya. Hampir seluruh pembiayaan di bidang pengairan berasal dari pemerintah dengan sasaran irigasi tanaman pangan, khususnya padi.
Usaha
komoditas padi bertujuan untuk menurunkan impor beras, karena Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Era Orde Baru Sejak tahun 1980-an, pengembangan pengairan dan pengelolaan wilayah sungai disebut sebagai pengembangan sumberdaya air, karena cakupannya lebih luas dibanding sebelumnya. Pada kurun ini dibangun waduk Cacaban di Jawa Tengah, waduk Darma di Jawa Barat, waduk Selorejo dan Karangkates di Jawa Timur, jaringan irigasi Lakbok Selatan di Jawa Barat, pengendalian banjir Tulungagung Selatan Tahap I di Jawa Timur. Selain itu, juga waduk terbesar Jatiluhur di Jawa Barat beserta jaringan pengairan multiguna yang mencakup komponen irigasi sekitar 240.000 hektar, penyediaan air domestik, perkotaan 19
dan industri (DMI), pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pariwisata dan olah raga air serta usaha perikanan. Setelah kemerdekaan, khususnya selama PJP I sampai sekarang, lingkup pengembangan sumberdaya air dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Pemanfaatan sumberdaya air, meliputi penyediaan air bersih untuk rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri, pembangkit listrik (termasuk pendingin), pemeliharaan sungai/lingkungan, perikanan, navigasi/transportasi, rekreasi dan olahraga air; (b) Pengendalian bencana karena air, meliputi pengendalian banjir, pengendalian lahar, erosi dan sedimentasi serta drainase/reklamasi, dan (c) Perlindungan/konservasi sumberdaya air, meliputi konservasi sumberdaya air serta pengendalian pencemaran dan mutu air. Dalam rencana induk (master plan), diupayakan mengembangkan seluruh potensi sumberdaya air dan lahan di wilayah sungai, guna mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air. Untuk itu, dibangun prasarana dan sarana pengairan yang bersifat multi-tujuan, multi-guna dan multi-unit, di antaranya untuk menangani pengembangan sumberdaya air dari sungai besar, terlihat bahwa kita lebih berorientasi pada pengembangan wilayah, di mana wilayah sungai
dianggap
sebagai
Satuan
Wilayah
Pengembangan
yang
cocok.
Implementasinya dikerjakan badan pelaksana proyek, yakni Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai (PIPWS) di bawah tahun 2001 menjadi Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah). Tugas pokok PIPWS adalah menyusun master plan (rencana induk) yang
mencakup
program
pendayagunaan/pemanfaatan
sumberdaya
air,
pengendalian bencana yang terkait dengan air, dan perlindungan/konservasi sumberdaya air. Perencanaan dilakukan terpadu dengan prinsip “one river, one
plan and one integrated management” (satu sungai, satu rencana dan satu pengelolaan terpadu). Pelaksanaannya, oleh sektor atau instansi masing-masing. Program sektoral dengan sasaran peningkatan produksi pangan dan menunjang program transmigrasi antara lain program pengembangan irigasi, jaringan 20
pengairan rawa, dan perbaikan sungai dan pengendalian banjir (Sjarief, 1976). Dalam PJP I, irigasi merupakan program prioritas dan bersifat tersebar di seluruh propinsi. Irigasi merupakan pra-kondisi untuk melaksanakan usaha peningkatan produksi pangan, guna mencapai swasembada yang merupakan salah satu tujuan utama PJP I. Untuk perluasan lahan beririgasi dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi agar berfungsi kembali dan mencapai produktivitas optimal, intensifikasi jaringan irigasi melalui optimalisasi fungsi jaringan irigasi dengan peningkatan intensitas tanam, dan perluasan jaringan irigasi untuk wilayah pertanian di luar Jawa guna menambah luas lahan berigasi terkaitkan dengan program transmigrasi. Selain itu, diupayakan ekstensifikasi lahan untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan (kelapa dan kelapa sawit) di wilayah rawa di luar Jawa. Pekerjaan dilaksanakan melalui pembangunan jaringan pengairan rawa pada rawa lebak (non pasang surut) dengan membangun konstruksi drainase dan irigasi. Selain itu, pembangunan jaringan pengairan rawa pasang-surut yang umumnya dikaitkan dengan lokasi program transmigrasi sebagai penggarap lahan yang telah direklamasi. Selanjutnya, program perbaikan sungai merupakan pekerjaan beragam, mulai dari pekerjaan yang mendesak dan harus dikerjakan secepatnya, misalnya memperbaiki kerusakan akibat bencana alam, pekerjaan untuk melindungi dan mengamankan objek tertentu dari ancaman banjir suatu sungai, sampai rangkaian pekerjaan untuk memperbaiki tingkah laku atau rejim suatu sungai. Wilayah sungai yang sudah ditangani adalah sungai yang melewati metropolitan dan kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi serta daerah sentra produksi. Dasar hukum penggunaan sumberdaya air adalah Undang-Undang No. 7 tahun 2004. Produk turunan tentang sumberdaya air, diatur dalam PP No. 42 tahun 2008 dan Permen PU No. 6/PRT/M/2011. Namun masih terdapat beberapa peraturan lainnya yang terkait dengan penggunaan sumberdaya air seperti PP. No. 38 tahun 2011 tentang sungai, PP No. 43 tahun 2008 tentang air tanah. 21
Beberapa peraturan lain masih dalam tahap rancangan (Lampiran 1 mengenai gambar sketsa sisilah UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Dalam peraturan perundangan tersebut diijelaskan berbagai pengertian macam sumber daya air
yaitu: 1) Pola pengelolaan sumberdaya air, daerah
aliran sungai, hak guna air, hak guna pakai air, hak guna usaha air, dan pendayaagunaan sumberdaya air; 2) Perlindungan dan pelestarian sumber air yang dilakukan beberapa tahap, diantaranya: a) pengendalian pemanfaatan sumber air, b) pengisian air pada sumber air, c) perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air, dan seterusnya; 3) Pengawetan air yang ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air sesuai dengan fungsi dan manfaatnya dan 4) Penyelesaian sengketa sumberdaya air yang diselesaikan berdasarkan
prinsip
musyawarah
untuk
mufakat.
Peraturan-peraturan
pemerintah tentang sumberdaya air pada masa orde baru dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel1. Peraturan Perundangan Terkait Sumberdaya Air (masa orde baru) Peraturan Perundangan isi Peraturan Pemerintah Republik Tata Pengaturan Air Indonesia No. 22 Tahun 1982 Keputusan Menteri Dalam Negeri Pedoman Organisasi dan Tata Kerja No. 179 Tahun 1996 Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Era Reformasi dan otonomi Daerah Dalam periode ini telah dan sedang dilaksanakan perubahan peraturan perundangan di bidang pengelolaan sumberdaya air, disesuaikan dengan tuntutan reformasi di bidang pemerintahan umum yang mencakup otonomi daerah/desentralisasi dan pelaksanaan prinsip good governance (demokratisasi, transparansi, partisipasi). Perubahan yang mendasar ditandai dengan perubahan UU No. 11/1974 tentang “Pengairan” serta peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri turunannya yang masih belum memberi peluang 22
kepada masyarakat dan daerah untuk berperan lebih besar dalam mengelola sumberdaya air. Oleh sebab itu, perlu aturan pengelolaan sumberdaya air yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta menampung aspirasi dan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat. Sementara proses perubahan peraturan perundang-undangan sedang berlangsung, kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air masih berdasarkan pada peraturan perundangan yang ada. Pembangunan fisiknya merupakan kelanjutan dari program yang dilaksanakan dalam PJP I dengan tambahan kegiatan bersifat perlindungan dan konservasi terhadap sumberdaya air. Dalam peraturan No. 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), walaupun dominan mengatur tentang penggunaan lahan namun juga secara implisit mengatur sumberdaya air. Seperti pada Pasal 28, disebutkan bahwa intensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pangan berkelanjutan dilaksanakan antara lain dengan pengembangan irigasi. Pada Pasal 33 ayat (1), pemanfaatan lahan pertanian berkelanjutan dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan air. Selanjutnya pada Pasal 33 ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konservasi tanah dan air yang meliputi: (a) Perlindungan sumberdaya lahan dan air, (b) Pelestarian sumberdaya lahan dan air, (c) Pengelolaan kualitas lahan dan air, dan (d) Pengendalian pencemaran. Peraturan-peraturan pemerintah tentang sumberdaya air pada masa reformasi dan otonomi daerah dapat dilihat pada Tabel 2. Pasal-pasal dalam undang-undang RI No. 7 tahun 2004 terkait air irigasi dapat dilihat pada Tabel 3.
23
Tabel 2. Peraturan Perundangan Tentang Sumberdaya Air (masa reformasi dan otonomi daerah) isi Peraturan Perundangan Undang-undang RI No. 7 tahun Sumberdaya air 2004 Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Teknis dan Tatacara Umum (No. 22/PRT/M/2009) Penyusunan Pola Pengelolaan Sumberdaya air Keputusan Presiden RI No. 6, Pembentukan Dewan Sumber Daya Air tahun 2009 Nasional Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Umum (No. 05/PRT/M/2010) Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut Peraturan Presiden RI (No. 33, Kebijakan Nasional Pengelolaan 2011) Sumberdaya Air Menko Perekonomian(PER-04/ Rencana Kerja Dewan Sumberdaya Air .EKON/07/2011) Nasional Peraturan Menteri Pekerjaan Pedoman Penetapan Garis Sempadan Umum (No. 17 /PRT/M/2011) Jaringan Irigasi Peraturan Menteri Pertanian (No. Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan 79/Permentan/OT.140/12/2012) Perkumpulan Petani Pemakai Air
24
Tabel 3. Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 7/ 2004 terkait Air Irigasi Pasal 1 Pasal 4 Pasal 6 ayat 1 Pasal 6 ayat 2
Pasal 6 ayat 4 Pasal 7 ayat 1 Pasal 8 ayat 1 Pasal 8 ayat 2
Pasal 9 ayat 1 Pasal 12 ayat 1 Pasal 12 ayat 2 Pasal 29 ayat 3
Pasal 29 ayat 4 Pasal 29 ayat 5
Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras Sumberdaya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untu sebesar besarnya kemakmuran rakyat Penguasaan sumberdaya air diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hal ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serua dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan prundangan Atas dasar penguasaa negara ditentukan hak guna air Hak guna air berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air Hak guna pakai air diperoleh tanpa ijin untuk mmenuhi kebutuhan pokok sehari hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada didalam sistem irigasi Hak guna pakai air memerlukan ijin apabila: (a) cara mengguanakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air, (b) ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar, (c) digunakan untuk pertnian rakyat diluar sistem irigasi yang sudah ada Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan ijin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya Pengelolaan air permukaan didasarkan kepada wiayah sungai Pengelolaan air tanah didasarkan kepada cekungan air tanah Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan priorotas utama penyediaan sumberdaya air diatas semua kebutuhan Urutan prioritas penyediaan sumberdaya air selain diatas ditetapkan pada setiap wiayah sungai oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumberdaya air menimbulkan kerugian bagi pemakai sumberdaya air pemerintah atau pemda wajb mengatur kompensasi kepada pemakainya 25
2.2.3. Konflik Kepentingan Pendayagunaan Air Lahan, air, dan pangan adalah bagian dari “kekayaan negara” yang harus dikelola
melalui
pembangunan
pertanian
yang
komprehensif
dengan
berpedoman pada pencapaian kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (UUD 1945). Posisi penyelenggaraan pembangunan pertanian tidak dapat begitu saja didesentralisasikan tanpa mengikutkan “sentralisasi” pengelolaan lahan dan air, karena lahan dan air merupakan bagian sumberdaya milik publik. Privatisasi dalam pengelolaan lahan dan air bukan tidak dimungkinkan, namun hal itu harus dibuat limitasi atau pengaturan yang cermat agar tidak terjadi pengambilan manfaat sepihak oleh kalangan terbatas, namun merugikan publik atau masyarakat luas. Potensi konflik dalam pengelolaan lahan dan air bukan aja dalam lintasan spasial, lintas golongan masyarakat, melainkan juga dalam lintas waktu atau generasi. Konflik antara pertanian pedesaan dan sektor industri perkotaan semakin hari
semakin menajam.
Dilihat dari
kebijakan politik
legislasi,
sebagai
kelanjutannya, konflik ini telah menempatkan pertanian pedesaan pada posisi dikalahkan. Kajian pragmatis sepertinya menekankan bahwa sektor indutri perkotaan harus dimenangkan (dalam jangka pendek) untuk pemacuan pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, hal ini berakibat mengurangi porsi tekanan kebijakan politik sistem legislasi lahan dan air untuk kepentingan pangan dan pertanian pedesaan. Kebijakan politik legislasi yang memberikan kewenangan terlalu besar pada pemerintah daerah yang berakibat mengecilkan urusan pertanian juga memberi kontribusi semakin mengecilkan pemerintah daerah dalam pengelolaan lahan dan air mendukung swasembada pangan berkelanjutan Konflik skala kecil di tingkat komunitas pertanian sangat dimungkinkan untuk terjadi di banyak tempat, terutama dalam pemanfaatannya untuk pertanian tanaman pangan. Walaupun skala kecil, seringkali konflik di tingkat komunitas pertanian di pedesaan menimbulkan banyak kurban harta-benda, 26
nyawa, dan modal sosial. Akumulasi konflik skala kecil ini diperkirakan telah menimbulkan kerugian nilai produksi, kemanusiaan, lingkungan, dan modal sosial yang tidak kecil. Ketika mesin “swasembada pangan berkelanjutan” masih mengandalkan komunitas pertanian pedesaan maka sistem legislasi yang menjamin hak-hak petani di pedesaan dalam mendapatkan lahan dan air untuk usaha pertanian tanaman pangan harus dijadikan bagian kajian yang penting. Legislasi tentang penguasaan lahan (sawah) masih belum memungkinkan petani pedesaan menguasai lahan sawah minimal 2,5 – 3,5 ha per KK. Rata-rata penguasaan lahan sawah untuk produksi padi sebagian besar masih < 0,5 ha per KK. Dari kajian Ilham et.al (2004), ukuran kesejahteraan petani untuk padi sawah setara dengan penguasaan lahan sawah 2,5 – 3,5 ha per KK. Dengan penguasaan <0,5 ha per KK, akan sangat sulit bagi petani padi sawah di pedesaan memfokuskan perhatiannya pada usahatani padi sawah. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar komunitas petani pedesaan padi sawah berada dalam “jebakan konflik abadi” antara mempertahankan pertanian padi sawah dan meningkatkan taraf hidup keluarganya. Hampir semua keluarga petani kecil (<0,5 ha/KK) menghendaki anak keturunannya meneruskan bekerja sebagai petani. III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Sesuai dengan istilahnya, swasembada pangan tercapai apabila kebutuhan konsumsi pangan masyarakat dapat dipenuhi oleh penyediaan (produksi) domestik. Dalam kasus pangan beras/padi, produksi domestik ditentukan oleh luas panen dan produktivitas padi. Ketersediaan luas panen dipengaruhi oleh luas lahan untuk pertanaman padi dan ketersediaan air irigasi. Produktivitas padi dipengaruhi oleh kesuburan lahan, ketersediaan air dan manajemen produksi usahatani. Perluasan luas areal tanam dan ketersediaan air irigasi dipengaruhi oleh kebijakan untuk penambahan luas lahan dan penambahan kapasitas air 27
irigasi yang ditentukan oleh kemampuan sumberdaya setempat. Dari kerangka tersebut terlihat adanya keterkaitan yang erat antara lahan dan air dalam produksi pangan terutama padi (Gambar 1). Ketersediaan lahan dan air merupakan prasarana pokok dalam produksi tanaman pangan terutama tanaman padi. Penggunaan lahan untuk tanaman pertanian membutuhkan persyaratan tertentu sesuai dengan sifat tanamannya. Persyaratan lahan yang diperlukan untuk pengembangan pertanian, khususnya tanaman pangan, jauh lebih “rigid” dari pada untuk non-pertanian. Untuk itu ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian yang sangat terbatas perlu dilindungi. Namun demikian kemajuan ekonomi di semua sektor pertanian telah menyebabkan meningkatnya permintaan akan lahan
dan air, sehingga lahan
pertanian pangan yang ada dihadapkan kepada ancaman konversi lahan ke non pertanian, degradasi kualitas lahan dan lingkungan. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan dan air terjadi, pada awalnya lahan dan air diprioritaskan untuk mendukung produksi pertanian terutama pangan. Dengan berkembangnya tuntutan sektor lain akan lahan dengan air diikuti oleh peningkatan nilai ekonomi lahan dan air terjadi realokasi pemanfaatan air sesuai dengan nilainya. Kebijakan untuk mencegah terjadinya konversi lahan dan prioritas alokasi air untuk irigasi telah lama diterbitkan. Namun dalam implementasinya peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Konversi lahan pertanian dan realokasi penggunaan air dari prioritas pertanian ke non pertanian secara langsung menurunkan kapasitas produksi pertanian.
28
Swasembada Beras Konsumsi /kapita Produksi Beras
Konsumsi Jumlah penduduk
Luas Panen
Luas Areal Lahan
Produktivitas
Teknologi Produksi, Manajemen
Ketersediaan air Irigasi
Sumber air Irigasi: Waduk, danau, sungai, dll
Penambahan Luas Areal Lahan Pangan
Penambahan Kapasitas Air Irigasi
Pengurangan Luas Areal Lahan Pangan
Pengurangan Kapasitas Air Irigasi
Konfik Kepentingan Penggunaan Lahan dan Air Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Daerah
Penegakan Hukum
Peraturan Daerah Dibidang lahan dan Air Perda, Pergub, Perbup.
DAMPAK
IMPLE MEN TASI
KONSIS TENSI, SINKRO
Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional
Peraturan / Perundangan Nasional dibidang Lahan dan Air : UU, PP,Permen, MP3EI
NISASI PERATURA N‐PERUN DANGAN
Gambar 1: Kerangka Pikir Keterkaitan Peraturan Perundangan Di Bidang Lahan dan Air Terhadap Swasembada Beras Kondisi ini
berarti pula kerugian investasi yang telah ditanamkan dalam
membangun waduk, jaringan irigasi dan pencetakan sawah. Kondisi ini terjadi 29
akibat kebijakan pembangunan yang tidak terintegrasi, sehingga kebijakan pembangunannya cenderung pragmatis. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan pengunaan lahan dan air sesuai dengan kapasitasnya agar semua sektor dapat berjalan
dan
diperolah
manfaat
maksimal
dari
keseluruhan
kawasan.
Sumberdaya air untuk irigasi dapat berasal dari air tanah, sungai secara langsung,
bendung/dam/embung yang dibuat, dan air danau/rawa/pasang
surut. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Sesuai dengan kerangka pikir diatas, maka lingkup kegiatan kajian tahun 2013 adalah: a) Evaluasi peraturan perundangan di bidang air terkait dengan swasembada pangan berkelanjutan. Kegiatan mencakup: keterkaitan mulai dari UU, produk turunan UU seperti PP, Perpres, Permen dan Perda (propinsi dan kabupaten/kota). b) Analisis implementasi peraturan perundangan di bidang air/irigasi . Kegiatan
mencakup:
peraturan
dan
kebijakan
daerah
(propinsi
dan
kabupaten/kota) dalam: (a) kebijakan alokasi air irigasi untuk produksi pangan, (b) peningkatan kapasitas/pembangunan sumberdaya air, (c) rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan (d) kelembagaan pengelolaan sumberdaya air. c) Analisis perkiraan dampak peraturan di bidang lahan dan air Kegiatan mencakup: (a) Analisis terhadap
dampak dari implementasi kebijakan air
luas areal, produktivitas dan produksi pangan dalam kaitannya
dengan swasembada pangan, (b) Kajian akan difokuskan kepada komoditas padi dan jagung dan kedele.
30
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Kajian ini akan mempelajari keterkaitan peraturan perundangan dibidang air dalam sawsembada pangan berkelanjutan. Kebijakan yang dimaksud adalah produk hukum peraturan perundangan yang ada. Penelusuran akan dilakukan mulai dari sumber produk hukum (Undang-Undang) tersebut disusun yaitu di pusat sampai dengan implementasinya di daerah. Penentuan lokasi kajian mempertimbangkan aspek: (a) keragaan jenis sumberdaya air untuk irigasi, (b) potensi produksi pangan dan (c) program pembangunan pertanian ke depan terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan pertanian dalam MP3EI. 3.3.2. Lokasi dan Responden Dengan pertimbangan tersebut diatas, penelitian akan dilaksanakan di enam propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara. DKI Jakarta dipilih sebagai lokasi institusi pusat yang mengeluarkan berbagai kebijakan/peraturan perundangan. Sebaran lokasi menurut jenis sumberdaya air
untuk irigasi sebagai
berikut. Di setiap propinsi akan diambil tiga kabupaten (wilayah Hulu, Tengah dan Hilir) untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk propinsi di luar Jawa akan diambil dua kabupaten. Dari setiap propinsi akan dilakukan pendalaman di beberapa kabupaten/Kota. Dasar pemilihan kabupaten/kota mengikuti kriteria seperti halnya pemilihan propinsi contoh. Tabel.3.1. Lokasi Penelitian No.
Propinsi
Jenis Sumberdaya Air
1
Jawa Barat
Waduk, Sungai
2
Jawa Timur
Waduk, Air Tanah
3
Bali
Sungai, Embung
5
Kalsel
Rawa, danau
6
Sultra
Sungai, waduk 31
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analisis kebijakan dengan fokus pada penerapan Undang-Undang di bidang air terutama air untuk irigasi. Berkaitan dengan hal tersebut, yang menjadi responden adalah instansi BAPPEDA, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pusat Statistik dan Balai Besar Sumberdaya Air (BBSDA) di setiap propinsi dan kabupaten. 3.4. Data Dan Metoda Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan mencakup data/informasi sekunder dan primer. Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional, propinsi dan kabupaten/kota tentang produksi, produktivitas, luas panen. Selain itu juga data terkait dengan bidang air, dan (2) berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan lahan dan air di tingkat pusat/propinsi/ kabupaten/kota. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan lahan dan air dari pusat/provinsi/ kabupaten/kota seperti Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian dan Ditjen. Sumberdaya Air untuk di Pusat (DKI. Jakarta). Data primer diperoleh dari wawancara dengan berbagai instansi tersebut diatas dan sumber informasi kunci lainnya yang relevan. 3.4.2. Metoda Analisis Sesuai dengan lingkup kegiatan, maka metoda analisis yang digunakan adalah:
a). Evaluasi Konsistensi dan Sinkronisasi Peraturan Perundangan di Bidang Air Dilakukan melalui analisis diskriptif komparasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan/perundangan kebijakan di bidang air b). Evaluasi Implementasi Peraturan Perundangan di Bidang Air Dilakukan melalui: (1) Analisis deskripsi kelengkapan peraturan perundangan menurut hierarki dari tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk Teknis/Juknis), (2) Analisis deskripsi kegiatan sosialisasi dari peraturan 32
perundangan, dan (3) Analisa deskripsi dari program-program penerapan dari peraturan perundangan. d) Analisis Perkiraan Dampak Peraturan di Bidang Lahan dan Air, Dilakukan melalui: (a) Analisa kualitatif seperti: dampak yang bersifat positip/netral/negatip; atau
dampak mempercepat/netral/memperlambat;
(b) Analisa kuantitatif dengan besaran kuantitas tertentu, dan (c) Analisis deskripsi tentang target group penerima dampak seperti petani/kelompok tani, konsumen, pemerintah, swasta atau lainnya. IV. ANALISIS RISIKO Tabel 4.1. Daftar Risiko No. 1 2
Risiko Dana Pengumpulan data dan informasi
Penyebab Keterlambatan pencairan dan pengurangan dana Responden tidak dapat ditemui karena sesuatu hal
Dampak Jadwal penelitian dan wilayah cakupan kajian tidak sesuai rencana Data dan informasi tidak terkumpul sesuai jadwal yang rencanakan
Tabel 4.2. Daftar Penanganan Risiko
No. 1 2
Risiko Dana
Penyebab Keterlambatan pencairan dan pengurangan dana Pengumpulan Responden tidak dapat ditemui data dan karena sesuatu hal informasi
Penanganan Resiko Melakukan pengumpulan data dan informasi dominan review dan melalui website Membuat janji kembali dengan responden tsb dan melakukan pengumpulan data/informasi dengan responden yang lain
33
V. 5.1.
TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
Susunan Tim Pelaksana Tim pelaksana kajian sebagai berikut: No.
Jabatan
Nama
Status
1
Muchjidin Rachmat
Peneliti Utama Ketua Tim
2
Tri Pranadji
Peneliti Utama
Anggota
3
Mewa Ariani
Peneliti Utama
Anggota
4
Chaerul Muslim
Peneliti Muda
Anggota
5
Cut Rabiatul Adawiyah
Calon Peneliti
Anggota
5.2. Jadwal Pelaksanaan
Jadwal pelaksanaan kegiatan terangkum dalam tabel berikut. Jenis Kegiatan Pembuatan Proposal operasional Seminar dan perbaikan proposal Studi literature Penyusunan Kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan Penggandaan laporan
Jan Feb
Mar
Apr
Mei Jun
Jul
Agt Sep Okt Nov
xxx
xxx
xx
Des
xxx xxx xxx
xxx
xx
xxx
xxx
xxx
x
xxx
x xxx
xxx
xxx xxx
xxx x
xxx x xx x
34
DAFTAR PUSTAKA Ilham N, Syaukat S, Friyanto. 2004. Pekembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Purnama, P. 2012. Mengenang Sejarah Irigasi Kerajaan Majapahit. sejarah. kompasiana.com/2012/02/25/mengenang-sejarah-irigasi-kerajaanmajapahit-442387.html. Rachmat, M., dan C. Muslim. 2012. Kajian Legislasi Lahan Dan Air Mendukung Swasembada Pangan: Aspek Legislasi Lahan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Septiarini, D.,E. 2012. Sistem irigasi Subak di Bali. sejarah. kompasiana.com/2012/02/25/mengenang-sejarah-irigasi-kerajaanmajapahit-442387.html. Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam Prosiding Lokakarya ”Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air serta Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 -112. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Ford Foundation. Bogor. Syarif, R. 1976. Tata Ruang Wilayah Sungai. Dalam Buku Sejarah Penataan Ruang Indonesia. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
35