1
LAPORAN TEKNIS
Kajian Hukum Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati
Tim Peneliti: Radityo Pramoda, SH., SE., MM Bayu Vita Indah Yanti, SH Hertria Maharani Putri, S.Sos., MBA Nurlaili, S.Sos. Akhmad Solihin, S.Pi., MH Muhibuddin
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
2
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Pejabat Penanggungjawab Output (PPO)
:
Kajian Hukum Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Baru / Lanjutan *) Rp.300.000.000,2016 APBN/APBNP *) DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 Radityo Pramoda, S.H., S.E., M.M. NIP. 19741103 200801 1 009
Penanggung Jawab Pelaksana Output (PJPO)
:
Bayu Vita Indah Yanti, S.H. NIP. 19790812 200901 2 002
Pejabat Penanggung Jawab Output
Jakarta, Desember 2016 Penanggung Jawab Pelaksana Output
Radityo Pramoda, S.H., S.E., M.M. NIP. 19741103 200801 1 009
Bayu Vita Indah Yanti, S.H. NIP. 19790812 200901 2 002
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
3
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1.
JUDUL KEGIATAN
:
2.
SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN STATUS PENELITIAN
:
Kajian Hukum Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati APBN / APBNP 2016 *)
:
Baru
3.
Lanjutan
Jika penelitian lanjutan, maka diuraikan hasil penelitian sebelumnya ..................................................................................................................................... .................................................................................................................................... 4.
PROGRAM
:
a. Komoditas
:
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Perikanan
b. Bidang/Masalah : Dimensi pembangunan sektor unggulan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Energi dan Kelistrikan Kemaritiman Pariwisata, Industri, IPTEK c. Penelitian Pengembangan : Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jenis Penelitian: Penelitian Dasar Penelitian Terapan Pengembangan Eksperimental d. Manajemen Penelitian
:
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 : Pemberantasan IUU Fishing Penciptaan Iklim Usaha Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan Penciptaan Iklim Usaha Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan Penguatan Pasca Panen dan Jaringan Pemasaran Hasil Kelautan dan Perikanan yang Bernilai Tambah Penguatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Rehabilitasi dan Konservasi Swasembada Garam Industri Penguatan Kapasitas SDM dan Inovasi IPTEK KP
4
f. DukunganTerhadap Agenda Pembangunan Nasional (NawaCita) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik g. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk Pengembangan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan Jumlah Rekomendasi penelitian sosial ekonomi KP yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan Jumlah Rekomendasi dan Masukan Kebijakan Sosial Ekonomi KP Jumlah Data dan/atau Informasi Ilmiah KP Jumlah Karya Tulis Ilmiah yang diterbitkan Model Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Proporsi fungsional PPSEKP dibandingkan total pegawai PPSEKP Jumlah sarana dan prasarana, serta kelembagaan litbang sosial eknomi KP yang ditingkatkan kapasitasnya Jumlah jejaring dan/ atau kerjasama litbang sosial eknomi KP yang terbentuk Proporsi kegiatan penelitian terapan dan pengembangan eksperimental dibandingkan total kegiatan penelitian sosial ekonomi KP Indeks kompetensi dan integritas PPSEKP Persentase unit kerja PPSEKP yang menerapkan sistem manajemen pengetahuan yang terstandar Nilai Kinerja Reformasi Birokrasi PPSEKP Nilai kinerja anggaran PPSEKP Persentase Kepatuhan terhadap SAP lingkup PPSEKP 5.
LOKASI KEGIATAN
:
Bali, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Riau
6.
SASARAN PENGGUNA/ USER
:
1. Setjen KKP (Perencanaan, BHO) 2. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut 3. Dirjen Perikanan Tangkap 4. Dirjen Pengawasan SDKP *mengacu PerMen KP 23/PERMENKP/2015 ttg Organisasi Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan
5
7.
No. 1.
PENELITI YANG TERLIBAT
:
Pendidikan/ Disiplin Jabatan Ilmu Fungsional Radityo Pramoda, S.H., S.E., S2/Peneliti Hukum, Ekonomi, M.M. Muda Nama
Manajemen SDM
2.
Bayu Vita Indah Yanti, S.H.
3.
Hertria Maharani Putri, S.Sos., MBA.
4.
Nurlaili, S.Sos.
5.
Akhmad Solihin, S.Pi., M.H.
Tugas (Institusi) PPO (PPSEKP)
Alokasi Waktu (OB) 6
S1/Peneliti Muda S2/Peneliti Muda
Ilmu Hukum
PJPO (PPSEKP) Ilmu Politik, Anggota Manajemen (PPSEKP)
8
S1/Peneliti Muda S2
Antropologi Anggota (PPSEKP) Sosek Anggota Perikanan, (IPB)
6
Anggota (PPSEKP)
6
6
Bisnis
6
Hukum Internasional
6.
Muhibuddin
8 LATAR BELAKANG : Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan potensi sumber daya alam.
Kekayaan
alam
ini
yang
menjadi
modal
Indonesia
untuk
pembangunan. Pemanfaatan sumber daya alam, pada saat ini, mengingat adanya ancaman kepunahan sumber daya alam jika dimanfaatkan secara berlebihan,
maka
negara-negara
pun
mengadakan
kesepakatan-
kesepakatan agar nantinya timbul kesadaran pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan keberlanjutan demi generasi mendatang. Selain dikenal sebagai negara yang kaya akan potensi sumber daya alamnya, Indonesia juga dikenal menjalankan kebijakan politik bebas aktif. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia menjadi salah satu pemberi pengaruh bagi Indonesia dalam bersikap dalam kesepakatankesepakatan internasional, tidak terkecuali dalam kesepakatan-kesepakatan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati. Konsep kebijakan bebas aktif ini pada saat implementasi lebih mengutamakan pada
6
kepentingan Indonesia pada saat bersikap dalam kesepakatan-kesepakatan internasional.
Kesepakatan-kesepakatan
internasional
yang
dilakukan
Indonesia akan membawa pengaruh pada kebijakan pemerintah Indonesia di dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dalam hukum internasional berlaku asas pacta sunt servanda1. Dimana jika asas pacta sunt servanda ini diterapkan, maka negara harus menerapkan dan mengimplementasikan ketentuan perjanjian internasional itu dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Pemerintah Indonesia berdasarkan hasil penelitian Tahar (2015) dalam membentuk peraturan perundang-undangan telah selaras/senafas dengan konvensi atau perjanjian internasional yang telah disepakati. Kebijakan pemerintah Republik Indonesia (Pemri) terkait keanggotaan Indonesia
pada
organisasi-organisasi
internasional
didasarkan
pada
Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, terutama dalam Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha meningkatkan peranan Indonesia
dalam
hubungan
internasional
dan
dalam
menciptakan
perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional. Prioritas politik luar negeri Indonesia dituangkan dalam 3 (tiga) program utama yaitu program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia, program peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional dan program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia. Lebih lanjut, berdasarkan Keputusan Presiden No. 64 tahun 1999, keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan 1 Pasal 26 Konvensi Wina 1969 “every treaty in force is binding upon the parties to it, and must be performed by them in good faith”
7
pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efisiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara. Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional (OI) diharapkan dapat memberikan manfaat politik, ekonomi dan keuangan, sosial budaya, serta kemanusiaan. Manfaat keanggotaan Indonesia yang dimaksud antara lain: 1.
secara Politik: dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mendukung terciptanya kohesi sosial, meningkatkan
pemahaman
dan
toleransi
terhadap
perbedaan,
mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik, mendorong penghormatan, perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia; 2.
secara ekonomi dan keuangan: mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kemampuan iptek, meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian
pembangunan
nasional,
mendorong
peningkatan
produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, grant dan bantuan lain yang tidak mengikat; 3.
secara Sosial Budaya: menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional, mendorong upaya perlindungan dan hakhak pekerja migran; menciptakan stabilitas nasional, regional dan internasional;
4.
segi kemanusiaan: mengembangkan early warning system di wilayah rawan bencana, meningkatkan capacity building di bidang penanganan bencana, membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana;
mewujudkan
citra
positif
Indonesia
di
masyarakat
internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan teknis terkait pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu Organisasi Internasional dalam pelaksanaannya lebih lanjut diatur
8
dalam Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK. 1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Kembali Keanggotaan Indonesia serta Pembayaran Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Menurut SK Menlu tersebut, dalam hal suatu instansi bermaksud mengusulkan keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional, usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan dibahas oleh Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional dengan memperhatikan: 1. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang bersangkutan; 2. Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula penghitungannya; 3. Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang mempunyai lingkup dan kegiatan sejenis; 4. Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah. Beberapa keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dapat dilihat dalam tabel berikut ini (Tabel 1). Pada tabel tersebut terlihat pada pelaksanaan
peran
sebagai
perwakilan
negara
dalam
organisasi
internasional, ada keterkaitan antar kementerian dan/atau lembaga teknis yang kemudian berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tusi) kementerian atau lembaga tersebut memiliki peran sebagai pumpunan kegiatan (focal point) pada saat mewakili Indonesia dalam organisasi internasional tersebut. Seperti
keanggotaan
Indonesia
dalam
CITES,
meskipun
pada
pelaksanaannya, terdapat jenis-jenis satwa maupun tumbuhan yang masuk dalam kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun
9
berdasarkan tusi kelembagaan awal pada saat menjadi anggota dalam CITES, maka focal point dalam CITES diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jadi pada saat implementasi pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia, diperlukan kerjasama antar kementerian dan lembaga terkait untuk penanganan kebijakan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Tabel 1. Daftar Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional yang terkait dengan Posisi Indonesia dalam memanfaatkan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Keanggotaan Status Dasar Hukum Hukum KEPPRES Anggota No.86 Th.1993
No
Nama Organisasi Internasional
1.
Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC)
2.
International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS)
Anggota
UU No.17 Th.1985
Kementerian Luar Negeri
3.
International Seabed Authority (ISA)
Anggota
UU No.17 Th.1985
Kementerian Luar Negeri
KEPPRES No.43 Th.1978
Kementerian Kehutanan *saat ini menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK)
4.
Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES)
Anggota 0107-1975
Focal Point
Keterangan
Kementerian Luar Negeri
5.
International Union for Conservation of Nature (IUCN)
Anggota
KLHK
6.
International Maritime Organization (IMO)
Anggota 07-05-1960
Kementerian Perhubungan
7.
Network of Aquaculture Centres in Asia-Pasific (NACA)
Anggota 2005
8.
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
Anggota 09-09-2007
9.
Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Anggota 08-04-2008
PERPRES No.72 Th.2005 PERPRES No.9 Th.2007
Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
PERPRES No.109 Th.2007
Kementerian Kelautan dan Perikanan
ITLOS berdiri 1 Oktober 1996 Bermarkas di Hamburg, Jerman ISA berdiri tahun 1982 Bermarkas di Kingston, Jamaica CITES dibentuk tahun 1963 untuk melindungi hewan dan tumbuhan yang terancan punah Berpusat di Jeneva, Swiss IUCN didirikan tahun 1948 Pada tahun 1956 menjadi International Union for Conservation of Nature and Natural Resources Bermarkas di Gland, Swiss Konvensi IMO diadopsi tahun 1948 Bermarkas di London, Inggris Bermarkas di Bangkok, Thailand Bermarkas di Victoria, Seychelles CCSBT dibentuk bulan Mei 1993 guna melindungi Tuna Sirip Biru
10
No
Nama Organisasi Internasional
Keanggotaan Status Dasar Hukum Hukum
Focal Point
Keterangan Bermarkas di Canberra, Australia
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC)
Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC)
Regional Trust Fund for The Implementation of the Action Plan for the Protection and Development of the Marine Environment and Coastal Areas of the East Asian Seas (COBSEA) FUND 810 INS Trust Fund for The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal (BC) FUND 3060 INS Trust Fund for Convention on Biological Diversity (CBD) FUND 5080 INS Trust Fund for The Core Programme Budget for the Biosafety Protocol (BG) FUND 9340 INS (Cartagena Protocol) Kyoto Protocol
Cooperating non member (2004)
Kementerian Kelautan dan Perikanan
WCPFC didirikan tahun 2004
Anggota
Kementerian Kelautan dan Perikanan
SEAFDEC dibentuk tahun 1967 Ditujukan untuk pengembangan perikanan yang berkesinambungan Sekretariat di Bangkok, Thailand
Anggota 1981
Kementerian Lingkungan Hidup *saat ini menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK)
COBSEA dibentuk tahun1981 Ditujukan untuk melindungi ekosistem laut di kawasan
KLHK
Basel Convention (BC) diadopsi tahun 1989 guna mengatur perpindahan lintas perbatasan sampah berbahaya
KLHK
CBD diadopsi tahun 1992 Sekretariat berada di Montreal, Kanada
Anggota 20-09-1993
KEPPRES No.61 Th.1993
Anggota 23-08-1994
UU No.5 Th.1994
Anggota 2000
Anggota
KLHK
UU No.17 Th.2004
KLHK
Kyoto Protocol diadopsi tahun 1997 di Kyoto, Jepang
Sumber : Kementerian Luar Negeri, 2016. Diunduh pada link: www.kemlu.go.id/id/kebijakan/Documents/Keanggotaan_Indonesia_pada _OI.pdf pada tanggal 1 Desember 2016
Kebijakan pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam suatu negara, secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan hubungan antarnegara, mengingat pentingnya sumber daya hayati tersebut bagi ketahanan pangan,
11
kesehatan masyarakat, konservasi keanekaragaman hayati, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dunia. Sumber daya hayati merupakan aset bagi suatu negara, meskipun pada tatanan hubungan internasional terdapat kesepakatan ketentuan dalam pemanfaatan sumber daya hayati di suatu negara, dan hak berdaulat (sovereignty right) negara atas sumber daya hayati tersebut tetap ada dan diakui dalam kesepakatan internasional pemanfaatan sumber daya hayati. Untuk kondisi Indonesia, sektor kelautan dan perikanan saat ini menjadi satu-satunya sektor yang dapat mendorong ketahanan pangan (food security) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Hal ini semakin menekankan pentingnya kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati berkelanjutan sejalan dengan materi dalam FAO CCRF.2 Lebih lanjut, terkait dengan fokus penelitian ini, pembahasan hanya terkait dengan sumber daya hayati yang menjadi bagian dari sumber daya kelautan dan perikanan. Pelaksanaan kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati kelautan dan perikanan yang harus selaras dengan visi kelautan dan perikanan pada era kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti yang didasarkan pada prinsip kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan masyarakat (prosperity) pada saat ini.3
2 Pasal 6.1 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries “states and users of living aquatic should conserve aquatic ecosystems. The right to fish carries with it the obligation to do so in a responsible manner so as to ensure effective conservation and management of living aquatic resources. 3 Visi dan misi pembangunan kelautan dan perikanan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019. Penjabaran tujuan pembangunan kelautan dan perikanan terkait dengan kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan (prosperity). Untuk menjaga kedaulatan (sovereignty) dilakukan dengan 1) meningkatkan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, 2) mengembangkan sistem perkarantinaan ikan, pengendalian mutu, keamanan hasil perikanan, dan keamanan hayati ikan; untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dilakukan dengan 1) mengoptimalkan pengelolaan ruang laut, konservasi dan keanekaragaman hayati laut, 2) meningkatkan keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan budidaya, 3) meningkatkan daya saing dan sistem logistik hasil kelautan dan perikanan; dan untuk mencapai kesejahteraan (Prosperity) dilakukan dengan 1) mengembangan kapasitas SDM dan pemberdayaan masyarakat dan 2) mengembangkan inovasi iptek kelautan dan perikanan.
12
Kemudian, jika melihat pada asas kebebasan yang melekat pada rezim laut lepas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 87 UNCLOS 1982 dimana prinsip freedom of the high seas yang meliputi kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan (freedom of overflight), kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut (freedom of lay submarine cables and pipelines), kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya (freedom of construct artificial islands and other installations permitted under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing), dan kebebasan riset ilmiah (freedom of scientific research) dengan tetap memperhatikan kepentingan negara lain yang dapat juga menjalankan hak yang sama dan ketentuan hukum internasional lain yang mengaturnya (Solihin, 2010). Implementasi prinsip ini juga menghadapi tantangan adanya ancaman environmental degradation.
Permasalahan Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, kemudian juga melihat pada kesepakatan internasional terkait dengan sumber daya hayati kelautan dan perikanan, maka pada kajian hukum kali ini akan membahas mengenai 1. bagaimana hasil identifikasi kewajiban Indonesia dan hasil analisis terkait
kewajiban
Indonesia
yang
lahir
sebagai
dampak
dilakukannya
kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut, serta 2. sejauhmana kewajiban tersebut diterapkan.
Kerangka Teoritis Kewajiban pokok dari suatu negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan perjanjian internasional tersebut. Dalam hukum internasional telah dikenal beberapa doktrin implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. Pasal 2 ayat (1) huruf b Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa ”ratification”, ”acceptance”, ”approval” and ”accession” mean in each case
13
the international act so named whereby a state establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty”. Artinya, ratifikasi merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya diikat dalam suatu perjanjian. Pasal 14 Konvensi Wina 1969 mempertegas, bahwa ratifikasi adalah salah satu cara untuk mengikatkan diri pada
suatu
perjanjian
dan
lazimnya
didahului
dengan
adanya
penandatanganan. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional juga dapat dibahas dengan doktrin transformasi dan doktrin inkorporasi, dimana pada konteks Indonesia, hukum nasional tidak menganut doktrin transformasi yang menyatakan bahwa untuk berlakunya hukum internasional dalam hukum nasional diperlukan upaya transformasi ke dalam hukum nasional melalui instrumen pengaturan dalam hukum nasional negara-negara, karena lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa yakni langsung menganggap terikat dalam kewajiban untuk melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi internasional yang telah disahkan tanpa
perlu
mengadakan
lagi
perundang-perundangan
pelaksanaan
(implementing legislation) (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).
Hasil Penelitian sebelumnya Jika melihat pada praktek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mengakui supremasi hukum internasional, tetapi tidak menerima apa saja yang diamanatkan hukum internasional; terbukti dengan masalah nasionalisasi tahun 1958, dan batas lebar laut territorial tahun 1930-19581960-1974, disebabkan karena kaidah-kaidah hukum internasional yang kurang jelas (kabur), dan tindakan sepihak negara dilakukan karena kepentingan nasional yang mendesak (Likadja dan Bessie, 1988). Jika melihat pada praktek yang telah dilakukan di Indonesia, Indonesia tetap tidak serta merta menerima supremasi hukum internasional ke dalam hukum nasional.
14
Aspek Strategis Penelitian ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap 9 (sembilan) agenda pembangunan nasional (nawa cita), yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk
dukungan
kemaritiman;
terhadap
dukungan
dimensi
iptek
bagi
pembangunan keberlanjutan
sektor dan
unggulan
pemanfaatan
sumberdaya hayati dan nonhayati; peningkatan tata kelola laut, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengembangan ekonomi kelautan berkelanjutan, kedaulatan. Link Kebutuhan Eselon I KKP Berdasarkan pada mandat Rapim untuk melakukan tinjauan yuridis terhadap ketentuan hukum internasional yang telah disepakati oleh Indonesia terutama terkait dengan kewajiban Indonesia yang lahir akibat dari adanya ketentuan hukum tersebut.
Hipotesis Penelitian Indonesia
telah
banyak
menyetujui
banyak
perjanjian
ataupun
konvensi, namun pada tatanan implementasi kesepakatan tersebut hingga saat ini belum semua diratifikasi oleh pemerintah. Konsekuensi hukum dari persetujuan dan ratifikasi yang dilakukan, juga akan menimbulkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai subyek hukum internasional yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Kewajiban inilah yang hingga saat ini diperkirakan belum semua dituangkan dalam aturan hukum nasional.
9. TUJUAN : Tujuan dari penelitian ini berdasarkan pada permasalahan yang dibahas, akan menghasilkan 2 (dua) tujuan, yaitu: 1. melakukan identifikasi dan analisis kewajiban Indonesia sebagai subyek
hukum
internasional
sebagai
dampak
dilakukannya
15
kesepakatan-kesepakatan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati 2. melihat sejauhmana penerapan kewajiban internasional tersebut di Indonesia
10. PERKIRAAN KELUARAN
:
Kegiatan kajian ini diperkirakan akan menghasilkan keluaran sebagai berikut: 1. Rekomendasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan: 1 (satu) buah 2. Data dan informasi :
1 (satu) paket
3. Karya Tulis Ilmiah
: 2 (dua) KTI
11. METODOLOGI PENELITIAN A.
:
Kerangka Penelitian
Kajian Hukum dan Politik Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati
Sustainable fisheries
Upaya penangkapan
Ketentuan Internasional
Menjaga keanekaragaman hayati (seperti ikan, terumbu karang, penyu)
Perlindungan perairan laut
Ketentuan Nasional
Kerangka penelitian ini diawali dengan melihat kewajiban Indonesia terhadap ketentuan internasional dalam pemanfaatan sumber daya hayati dilihat dari sisi kebijakan sustainable fisheries. Kebijakan pengelolaan
16
perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) pada kebijakan usaha penangkapan,
kemudian
juga
melihat
pada
kewajiban
menjaga
keanekaragaman hayati (seperti ikan, terumbu karang, penyu), serta melihat juga pada kebijakan terkait upaya perlindungan perairan laut. Materi kebijakan tersebut bisa jadi merupakan implementasi dari kewajiban internasional Indonesia sebagai konsekuensi kesepakatan internasional yang dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya hayati, untuk selanjutnya melihat penterjemahan materi tersebut pada materi kebijakan nasional.
B.
Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
hukum
normatif
(doctrinal
reasearch), dimana penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (peraturan) (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process) (Soekanto dan Mamudji (2010). Penelitian ini akan menjelaskan hasil temuan dalam bentuk deskriptifeksplanatoris, dimana akan memaparkan secara terperinci, lengkap, komprehensif, dan sistematis yang mudah dipahami.
C.
Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan
terkait;
dan
dengan
pendekatan
perbandingan (comparative approach) pada materi muatan dari peraturan terkait.
D.
Data dan Informasi yang Dikumpulkan Penelitian ini lebih banyak menggunakan data sekunder yang
merupakan bahan hukum primer (seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Menteri,
17
Peraturan Daerah), buku-buku, maupun bahan-bahan tulisan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, dan data primer terkait informasi yang diberikan oleh pejabat terkait ataupun petugas dari institusi terkait (seperti Dinas Kelautan Perikanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Biro Hukum dan Organisasi, Pelabuhan Perikanan, kelompok masyarakat, dll) di lokasi penelitian terkait implementasi kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati.
E.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan content analysis materi muatan dari
peraturan, setelah mempelajari data dan informasi yang dikumpulkan untuk kemudian diidentifikasi kewajiban yang menjadi konsekuensi hukum Indonesia setelah menyepakati ketentuan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati untuk kemudian dijabarkan secara deskriptif kualitatif, dalam bentuk bahasa hukum yang teratur, jelas, rasional, sistematis, sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan tersebut, kemudian diambil kesimpulan secara deduktif untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. F.
Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dalam kegiatan ini dilakukan selama 1 (satu) tahun
anggaran berjalan di 2016. Lokasi penelitian dalam kegiatan ini dipilih berdasarkan justifikasi lokasi yang menjadi pusat data dan informasi serta konsultasi dan koordinasi dengan stakeholder terkait dan narasumber kebijakan tingkat pusat; dan lokasi di daerah yang diperkirakan memiliki ragam temuan kebijakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya hayati, selain untuk mengamati juga untuk melakukan interview untuk melakukan cross check (validasi) hasil dari desk study yang telah dilakukan, terdapat 4 (empat) provinsi, yaitu Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bali, dan Nusa Tenggara
18
Barat, terkait justifikasi pemilihan lokasi dapat dilihat pada Tabel Justifikasi Pemilihan Lokasi. Tabel 2. Justifikasi Pemilihan Lokasi No Lokasi Justifikasi Pemilihan Lokasi 1. DKI Jakarta Selain menjadi lokasi Institusi Pemerintah Pusat Lokasi pelabuhan perikanan samudra yang akan menerapkan PSM Agreement pada tahun 2017 Tempat kegiatan seminar, konsultasi dan koordinasi dengan narasumber terkait topik kegiatan 2. Jawa Barat kegiatan seminar terkait topik kegiatan, konsultasi dan koordinasi dengan narasumber dari akademisi perguruan tinggi (UI dan IPB) 3. Sumatera Terkait dengan kegiatan IORA 2016 dan lokasi BPSPL Padang Barat yang membawahi salah satunya wilayah Kepulauan Riau 4. Kepulauan Provinsi yang berbatasan dengan beberapa negara, memiliki Riau 96% wilayah perairan 5. Bali lokasi dimana terdapat organisasi pengusaha perikanan yang aktif dalam organisasi perikanan tuna regional dan cukup banyaknya kawasan wisata yang menawarkan keindahan keanekaragaman hayati 6. Nusa lokasi dimana terdapat taman nasional serta alur laut Tenggara kepulauan Indonesia yang merupakan perlintasan kapal Barat antarnegara, dan juga terdapat lokasi pelelangan hiu dan pari terbuka yang menjadi perhatian dunia
12. FAKTOR RISIKO DAN KEBERHASILAN Faktor resiko dan keberhasilan dalam rencana kegiatan ini terkait dengan masalah waktu, lokasi, anggaran, sumber daya peneliti, dan kebijakan yang diuraikan dalam tabel berikut. Tabel 3. Faktor Risiko dan Keberhasilan Kegiatan No 1
Permasalahan Waktu
2
Lokasi
3
Anggaran
Faktor Resiko dan Keberhasilan keterbatasan waktu yang ada dalam penelitian, sebaiknya harus dibuat perencanaan manajemen waktu yang baik, karena adanya keterbatasan waktu pada saat di lokasi penelitian lokasi yang dipilih untuk penelitian ini merupakan propinsi yang memiliki wilayah perbatasan antar negara yang memiliki batas wilayah perairan, baik perairan darat maupun perairan laut, bukan merupakan wilayah yang mudah dijangkau, sehingga membutuhkan kerjasama antar institusi terkait lokasi penelitian yang tidak mudah dijangkau membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga membutuhkan kebijakan
19
Tabel 3. Faktor Risiko dan Keberhasilan Kegiatan No
4
5
Permasalahan
Faktor Resiko dan Keberhasilan pengelolaan anggaran yang baik, dengan memperhatikan perkembangan kebutuhan di lokasi penelitian, karena pada umumnya di lokasi yang sulit dijangkau harga-harga juga lebih mahal dari lokasi penelitian yang mudah dijangkau Sumber daya peneliti yang ditugaskan untuk penelitian ini harus fokus dan peneliti menyediakan waktu lebih lama dilapangan, karena kemungkinan besar hanya akan bisa satu kali mengunjungi lokasi penelitian (per lokasi dan tidak ada pengulangan) Kebijakan perubahan kebijakan terkait pelaksanaan kegiatan di institusi diperkirakan akan dapat juga berpengaruh terhadap anggaran penelitian, dan hal ini akan mempengaruhi keberhasilan dari penelitian ini
13. PEMBIAYAAN Mata Anggaran **
Jumlah (Rp)
Jumlah (%)
20.100.000 4.800.000
6,7 1,6
8.000.000
2,6
21.000.000 12.600.000 170.500.000
7,0 4,2 56,8
63.000.000
21,0
Jumlah 300.000.000 ** Mata anggaran disesuaikan dengan dokumen RKAKL
100
521211 521213
Rincian Komposisi Pembiayaan
522151 522141
Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Sewa
524111
Belanja Perjalanan Biasa
524114
Belanja Perjalanan Paket Meeting Dalam Kota
521811
20
14. JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Persiapan, sudi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan 1. Penyusunan ROKR 2.Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan/ROKR 3. Pemantapan Kuisioner 4. Perbaikan Kuisioner 5. Persiapan Survey Lapang Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan 1. Survey Lapang 2. Verifikasi dan input data 3. Pengolahan Data 2. Pembuatan Laporan Kemajuan Penyusunan laporan, rekomendasi, dan 1 naskah KTI 1. Penyusunan Laporan - Semester - Teknis 2. Penyusunan Policy Brief 3. Penyusunan Rekomendasi 4. Penyusunan paket data dan informasi 5. Penyusunan naskah KTI
Bulan Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
21
Mata Anggaran 521211 521213 521811 522151
Rincian Komposisi Pembiayaan Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa
Penyerapan Anggaran (Rp.000) Jumlah (Rp) 1 20.100
2 1.500
3 1.500
4 1.100
5 1.500
500
500
Bulan Ke6 7 1.500 1.500
4.800 1.000
8 2.750 2.400
9 2.750 2.400
750
750
1.800
1.800
10 1.500
11 1.500
12 3.000
1.000
8.000.000 21.000
1.800
1.800
1.800
1.800
15. RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PERBULAN DAN PERBELANJA)
3.400
5.100
1.700
22
522141 524111 524114 Jumlah
Profesi Belanja Sewa Belanja Perjalanan Biasa Belanja Perjalanan Paket Meeting Dalam Kota
12.600 170.500
8.000
9.500
11.500
8.000
9.500
12.000
3.600 47.000
3.600 45.000
10.000
10.000
10.000
63.000 63.000 300.000
12.300
12.800
14.900
10.000
12.800
13.500
58.300
56.300
14.900
80.100
14.700
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 23
16.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu). 2016. Daftar Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional. Diunduh pada link: www.kemlu.go.id/id/kebijakan/Documents/Keanggotaan_Indonesia_pada _OI.pdf pada tanggal 1 Januari 2016. Kusumaatmadja, M. dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni. Likadja, F.E. dan D.F. Bessie. 1988. Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. 153 hlm. ISBN 979-450240-9. Marzuki, P.M. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2005. Edisi Revisi. 260 hlm. ISBN 978-602-7985-16-2. Nugroho, R. 2014. National Security: Policy Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014. Cet.1. 134 hlm. ISBN 978-602-229-305-7. Soekanto, S. dan S. Mamudji. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Solihin, A. 2010. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan: Isu, Permasalahan, dan Telaah Kritis Kebijakan. Bandung: Nuansa Aulia, 2010. Cet.1. 150 hlm. ISBN 978-979-071-069-6. Tahar, A.M. 2015. Pengaruh Hukum Internasional terhadap Pembentukan Hukum Nasional. Diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Hukum Selat. Tanjung Pinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji. Vol.2 No.2. Edisi ke-4. Mei 2015. Hlm.227-237. ISSN 2354-8649. Wahyuni, S. 2011. Qualitative Research Method: Theory and Practice. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011. Vol.1. 246 hlm. ISBN 978-979-061-225-9.
Peraturan Perundang-undangan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Organisasi Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. PerMen KP No.23/PERMEN-KP/2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019. PerMen KP No.25/PERMENKP/2015. Keputusan Presiden RI No.64 Tahun 1999.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 24
Keputusan Menteri Luar Negeri RI No.SK 1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Keanggotaan Indonesia serta Pembayaran Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-organisasi Internasional. Konvensi Wina 1969 Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. UNCLOS 1982.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 25
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya kegiatan penelitian yang didanai dari APBN tahun 2016 dan dibawah pengelolaan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dengan judul “Kajian Hukum Kelautan Dan Perikanan Terkait Kewajiban Indonesia Terhadap Ketentuan Internasional Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati” sudah masuk masa akhir pelaksanaan kegiatan. Penelitian hukum ini membatasi ruang lingkup hanya pada ketentuan internasional dalam pemanfaatan sumber daya perikanan (sustainable fisheries), dimana dalam pembahasannya melihat pada kesepakatan internasional terkait dengan sumber daya hayati kelautan dan perikanan, mengingat luas dan banyak nya pengaturan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga kepada penyelesaian laporan ini. Di samping itu, kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada tataran konsep, pelaksanaan lapangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tim peneliti kegiatan penelitian ini mengharapkan kritik dan saran membangun dari berbagai pihak demi perbaikan ke depan. Semoga nantinya akan menjadi bahan masukan perbaikan sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Desember 2016 Penanggungjawab Pelaksana Output,
Bayu Vita Indah Yanti, SH
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 26
KAJIAN HUKUM KELAUTAN DAN PERIKANAN TERKAIT KEWAJIBAN INDONESIA TERHADAP KETENTUAN INTERNASIONAL DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI
Ringkasan Indonesia, selain dikenal sebagai negara yang memiliki potensi kekayaan alam dengan keragaman sumber daya, juga dikenal sebagai negara yang patuh terhadap ketentuan internasional, aktif berpartisipasi dalam beberapa organisasi internasional. Kepatuhan Indonesia dalam dunia internasional merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif Indonesia sebagai warga dunia. Salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia terhadap ketentuan internasional dapat dilihat dalam hal kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati. Apa saja kewajiban internasional yang harus dilaksanakan Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya hayati, sebagai konsekuensi persetujuan Indonesia dalam ketentuan internasional pemanfaatan sumber daya hayati dan sejauhmana implementasi ketentuan internasional tersebut dalam kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati di Indonesia, merupakan fokus permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Kajian ini merupakan penelitian hukum normatif, mengingat sumber data utama yang digunakan merupakan bahan hukum primer, dengan melakukan analisis terhadap materi muatan dalam bahan hukum primer tersebut (content analysis), serta melihat implementasi pada kebijakan yang terdapat di daerah pada lokasi di 4 (empat) provinsi, yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau. Kajian ini memiliki keterbatasan dalam kedalaman pembahasan permasalahan penelitian, mengingat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memang sudah diminta untuk dikaji, sehingga pada kajian ini justru tidak hanya fokus kepada pemanfaatan sumber daya hayati, tetapi disesuaikan juga dengan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan perikanan berkelanjutan dan perlindungan wilayah perairan dari pencemaran. Berdasarkan hasil analisis kajian ini, membuat dan melaksanakan kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan merupakan kewajiban utama yang lahir sebagai konsekuensi Indonesia melakukan kesepakatan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati, dan kewajiban tersebut meski tidak secara langsung disosialisasikan hingga pada pembuat kebijakan di daerah, namun materi terkait kewajiban internasional Indonesia sebagian besar telah diimplementasi dalam materi muatan peraturan nasional pemanfaatan sumber daya hayati. Kata kunci: kajian hukum, kewajiban internasional Indonesia, pemanfaatan, sumber daya hayati
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 27
DAFTAR ISI
Halaman Judul
1
Lembar Pengesahan
2
Copy ROKP Kajian Hukum Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati
3
Kata Pengantar
25
Ringkasan
26
Daftar Isi
27
BAB I
PENDAHULUAN
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
38
BAB III
METODE PENELITIAN
87
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
91
BAB V
IMPLIKASI KEBIJAKAN
BAB VI
HASIL
PENELITIAN
PEMBANGUNAN
DALAM
MENDUKUNG
KELAUTAN
DAN
PERIKANAN
125
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
125
DAFTAR PUSTAKA
127
LAMPIRAN
134
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 28
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan potensi sumber daya alam. Kekayaan alam ini yang menjadi modal Indonesia untuk pembangunan. Pemanfaatan sumber daya alam, pada saat ini, mengingat adanya ancaman kepunahan sumber daya alam jika dimanfaatkan secara berlebihan,
maka
negara-negara
pun
mengadakan
kesepakatan-
kesepakatan agar nantinya timbul kesadaran pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan keberlanjutan demi generasi mendatang. Selain itu, Indonesia juga dikenal menjalankan kebijakan politik bebas aktif. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia menjadi salah satu pemberi pengaruh bagi Indonesia dalam bersikap dalam kesepakatan-kesepakatan
internasional,
tidak
terkecuali
dalam
kesepakatan-kesepakatan internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati. Pada saat implementasi konsep kebijakan bebas aktif ini, pemerintah tetap mengutamakan pada kepentingan Indonesia pada saat bersikap dalam kesepakatan internasional, karena kesepakatan internasional yang dilakukan Indonesia akan membawa pengaruh pada kebijakan pemerintah Indonesia di dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Kesepakatan internasional yang dilakukan tersebut, jika dipandang dalam hukum internasional, maka berlaku asas pacta sunt servanda4. Jika asas pacta sunt servanda ini diterapkan, maka negara harus menerapkan dan mengimplementasikan ketentuan perjanjian internasional itu peraturan
perundang-undangan
nasionalnya.
Pemerintah
dalam
Indonesia
berdasarkan hasil penelitian Tahar (2015) dalam membentuk peraturan 4 Pasal 26 Konvensi Wina 1969 “every treaty in force is binding upon the parties to it, and must be performed by them in good faith”
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 29
perundang-undangan
telah
selaras/senafas
dengan
konvensi
atau
perjanjian internasional yang telah disepakati. Kebijakan
pemerintah
keanggotaan
Indonesia
Republik
pada
Indonesia
(Pemri)
organisasi-organisasi
terkait
internasional
didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, terutama dalam Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional. Prioritas politik luar negeri Indonesia dituangkan dalam 3 (tiga) program utama yaitu program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia, program peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional dan program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia. Lebih lanjut, berdasarkan Keputusan Presiden No. 64 tahun 1999, keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh
manfaat
didasarkan
pada
memperhatikan
yang
peraturan
efisiensi
maksimal
bagi
perundangan
penggunaan
kepentingan yang
anggaran
dan
nasional,
berlaku
dan
kemampuan
keuangan negara. Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional (OI) diharapkan dapat memberikan manfaat politik, ekonomi dan keuangan, sosial budaya, serta kemanusiaan. Manfaat keanggotaan Indonesia yang dimaksud antara lain: 1.
secara
Politik:
dapat
mendukung
proses
demokratisasi,
memperkokoh persatuan dan kesatuan, mendukung terciptanya kohesi sosial, meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan, mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik,
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 30
mendorong penghormatan, perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia; 2.
secara ekonomi dan keuangan: mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kemampuan iptek, meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendorong peningkatan produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, grant dan bantuan lain yang tidak mengikat;
3.
secara Sosial Budaya: menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional, mendorong upaya perlindungan dan hakhak pekerja migran; menciptakan stabilitas nasional, regional dan internasional;
4.
segi kemanusiaan: mengembangkan early warning system di wilayah rawan
bencana,
penanganan
meningkatkan
bencana,
capacity
membantu
building
proses
di
bidang
rekonstruksi
dan
rehabilitasi daerah bencana; mewujudkan citra positif Indonesia di masyarakat internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam usahausaha pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan teknis terkait pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu Organisasi Internasional dalam pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK. 1042/PO/VIII/99/28/01 Keanggotaan
Indonesia
tentang serta
Tata
Cara
Pembayaran
Pengajuan Kontribusi
Kembali
Pemerintah
Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Menurut SK Menlu tersebut, dalam hal suatu instansi bermaksud mengusulkan keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional, usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan dibahas oleh
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 31
Kelompok Kerja
Pengkaji
Keanggotaan
Indonesia
dan
Kontribusi
Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional dengan memperhatikan: 1. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang bersangkutan; 2. Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula penghitungannya; 3. Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang mempunyai lingkup dan kegiatan sejenis; 4. Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah. Beberapa keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dapat dilihat dalam tabel berikut ini (Tabel 1). Pada tabel tersebut terlihat pada pelaksanaan
peran
sebagai
perwakilan
negara
dalam
organisasi
internasional, ada keterkaitan antar kementerian dan/atau lembaga teknis yang kemudian berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tusi) kementerian atau lembaga tersebut memiliki peran sebagai pumpunan kegiatan (focal point) pada saat mewakili Indonesia dalam organisasi internasional tersebut. Seperti keanggotaan Indonesia dalam CITES, meskipun pada pelaksanaannya, terdapat jenis-jenis satwa maupun tumbuhan yang masuk dalam kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun berdasarkan tusi kelembagaan awal pada saat menjadi anggota dalam CITES, maka focal point dalam CITES diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jadi pada saat implementasi pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia, diperlukan kerjasama antar kementerian dan lembaga terkait untuk penanganan kebijakan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 32
Tabel 1. Daftar Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional yang terkait dengan Posisi Indonesia dalam memanfaatkan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Keanggotaan Nama No Organisasi Focal Point Keterangan Status Dasar Internasional Hukum Hukum 1. Indian Ocean Anggota KEPPRES Kementerian Marine Affairs No.86 Luar Negeri Cooperation Th.1993 (IOMAC) 2. International Anggota UU No.17 Kementerian ITLOS berdiri 1 Tribunal for Th.1985 Luar Negeri Oktober 1996 The Law of Bermarkas di The Sea Hamburg, Jerman (ITLOS) 3. International Anggota UU No.17 Kementerian ISA berdiri tahun Seabed Th.1985 Luar Negeri 1982 Authority (ISA) Bermarkas di Kingston, Jamaica 4. Convention on Anggota 01- KEPPRES Kementerian CITES dibentuk International 07-1975 No.43 Kehutanan tahun 1963 untuk Trade in Th.1978 *saat ini melindungi hewan Endangered menjadi dan tumbuhan Species of wild Kementerian yang terancan fauna and flora Kehutanan punah (CITES) dan Berpusat di Lingkungan Jeneva, Swiss Hidup (KLHK) 5. International Anggota KLHK IUCN didirikan Union for tahun 1948 Conservation Pada tahun 1956 of Nature menjadi (IUCN) International Union for Conservation of Nature and Natural Resources Bermarkas di Gland, Swiss 6. International Anggota Kementerian Konvensi IMO Maritime 07-05-1960 Perhubungan diadopsi tahun Organization 1948 (IMO) Bermarkas di London, Inggris 7. Network of Anggota PERPRES Kementerian Bermarkas di Aquaculture 2005 No.72 Kelautan dan Bangkok, Thailand Centres in Th.2005 Perikanan Asia-Pasific
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 33
No
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Nama Organisasi Internasional (NACA) Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Keanggotaan Status Dasar Hukum Hukum
Focal Point
Keterangan
Anggota 09-09-2007
PERPRES No.9 Th.2007
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Bermarkas di Victoria, Seychelles
Anggota 08-04-2008
PERPRES No.109 Th.2007
Kementerian Kelautan dan Perikanan
CCSBT dibentuk bulan Mei 1993 guna melindungi Tuna Sirip Biru Bermarkas di Canberra, Australia WCPFC didirikan tahun 2004
Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC) Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC)
Cooperating non member (2004)
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Anggota
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Regional Trust Fund for The Implementation of the Action Plan for the Protection and Development of the Marine Environment and Coastal Areas of the East Asian Seas (COBSEA) FUND 810 INS Trust Fund for The Basel Convention on the Control of
Anggota 1981
Kementerian Lingkungan Hidup *saat ini menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK)
Anggota 20-09-1993
KEPPRES No.61 Th.1993
KLHK
SEAFDEC dibentuk tahun 1967 Ditujukan untuk pengembangan perikanan yang berkesinambungan Sekretariat di Bangkok, Thailand COBSEA dibentuk tahun1981 Ditujukan untuk melindungi ekosistem laut di kawasan
Basel Convention (BC) diadopsi tahun 1989 guna mengatur
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 34
No
14.
15.
16.
Nama Organisasi Internasional Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal (BC) FUND 3060 INS Trust Fund for Convention on Biological Diversity (CBD) FUND 5080 INS Trust Fund for The Core Programme Budget for the Biosafety Protocol (BG) FUND 9340 INS (Cartagena Protocol) Kyoto Protocol
Keanggotaan Status Dasar Hukum Hukum
Focal Point
Keterangan perpindahan lintas perbatasan sampah berbahaya
Anggota 23-08-1994
UU No.5 Th.1994
KLHK
Anggota 2000
Anggota
CBD diadopsi tahun 1992 Sekretariat berada di Montreal, Kanada
KLHK
UU No.17 Th.2004
KLHK
Kyoto Protocol diadopsi tahun 1997 di Kyoto, Jepang
Sumber : Kementerian Luar Negeri, 2016. Diunduh pada link: www.kemlu.go.id/id/kebijakan/Documents/Keanggotaan_Indonesia_pada _OI.pdf pada tanggal 1 Januari 2016
Kebijakan pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam suatu negara, secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan hubungan antarnegara, mengingat pentingnya sumber daya hayati tersebut bagi ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, konservasi keanekaragaman hayati, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dunia. Sumber daya hayati merupakan aset bagi suatu negara, meskipun pada tatanan hubungan
internasional
terdapat
kesepakatan
ketentuan
dalam
pemanfaatan sumber daya hayati di suatu negara, dan hak berdaulat
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 35
(sovereignty right) negara atas sumber daya hayati tersebut tetap ada dan diakui dalam kesepakatan internasional pemanfaatan sumber daya hayati. Untuk kondisi Indonesia, sektor kelautan dan perikanan saat ini menjadi satu-satunya sektor yang dapat mendorong ketahanan pangan (food security) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Hal ini semakin menekankan pentingnya kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati berkelanjutan sejalan dengan materi dalam FAO CCRF.5 Lebih lanjut, terkait dengan fokus penelitian ini, pembahasan hanya terkait dengan sumber daya hayati yang menjadi bagian dari sumber daya kelautan dan perikanan. Pelaksanaan kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati kelautan dan perikanan yang harus selaras dengan visi kelautan dan perikanan pada era kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti yang didasarkan pada prinsip kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan masyarakat (prosperity) pada saat ini.6 Jika dianalisis lebih jauh, asas kebebasan melekat pada rezim laut lepas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 87 UNCLOS 1982 dimana prinsip freedom of the high seas yang meliputi kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan (freedom of overflight), kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut (freedom of lay submarine cables and pipelines), kebebasan untuk membangun pulau 5 Pasal 6.1 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries “states and users of living aquatic should conserve aquatic ecosystems. The right to fish carries with it the obligation to do so in a responsible manner so as to ensure effective conservation and management of living aquatic resources. 6 Visi dan misi pembangunan kelautan dan perikanan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019. Penjabaran tujuan pembangunan kelautan dan perikanan terkait dengan kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan (prosperity). Untuk menjaga kedaulatan (sovereignty) dilakukan dengan 1) meningkatkan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, 2) mengembangkan sistem perkarantinaan ikan, pengendalian mutu, keamanan hasil perikanan, dan keamanan hayati ikan; untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dilakukan dengan 1) mengoptimalkan pengelolaan ruang laut, konservasi dan keanekaragaman hayati laut, 2) meningkatkan keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan budidaya, 3) meningkatkan daya saing dan sistem logistik hasil kelautan dan perikanan; dan untuk mencapai kesejahteraan (Prosperity) dilakukan dengan 1) mengembangan kapasitas SDM dan pemberdayaan masyarakat dan 2) mengembangkan inovasi iptek kelautan dan perikanan.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 36
buatan dan instalasi lainnya (freedom of construct artificial islands and other
installations
permitted
under
international
law),
kebebasan
menangkap ikan (freedom of fishing), dan kebebasan riset ilmiah (freedom of scientific research) dengan tetap memperhatikan kepentingan negara lain yang dapat juga menjalankan hak yang sama dan ketentuan hukum internasional lain yang mengaturnya (Solihin, 2010). Implementasi prinsip ini
juga
menghadapi
tantangan
adanya
ancaman
environmental
degradation. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, kemudian juga melihat pada kesepakatan internasional terkait dengan sumber daya hayati kelautan dan perikanan, maka pada kajian hukum kali ini akan membahas mengenai bagaimana hasil identifikasi kewajiban Indonesia dan hasil analisis
terkait
kewajiban
Indonesia
yang
lahir
sebagai
dampak
dilakukannya kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut, serta sejauhmana kewajiban tersebut diterapkan. Pembahasan permasalahan tersebut penting dilakukan, mengingat Indonesia memiliki kewajiban untuk memutakhirkan materi muatan peraturan perundang-undangan terkait pemanfaatan sumber daya hayati dan
ekosistemnya,
disesuaikan
dengan
perkembangan
kebijakan
internasional dan pemahaman pemerintah daerah maupun masyarakat terkait penerapan kewajiban internasional dalam pemanfaatan sumber daya hayati. 1.2 Tujuan Penelitian 1. melakukan identifikasi dan analisis kewajiban Indonesia sebagai subyek hukum internasional sebagai dampak dilakukannya kesepakatan-kesepakatan
internasional
terkait
pemanfaatan
sumber daya hayati 2. melihat sejauhmana penerapan kewajiban internasional tersebut di beberapa provinsi di Indonesia
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 37
1.3 Keluaran Kegiatan kajian ini akan menghasilkan keluaran sebagai berikut: 1. Rekomendasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan buah 2. Data dan informasi
: 1 (satu) paket
3. Karya Tulis Ilmiah
: 2 (dua) KTI
: 1 (satu)
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya hayati,dan
keterbatasan
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatannya,
terutama dalam hal teknologi dan keterbatasan pengetahuan dalam memanfaatkan
sumber
daya
hayati
tersebut
untuk
kepentingan
pemerintah dan rakyatnya. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang cukup patuh dalam mematuhi kesepakatan internasional yang telah dilakukan. Pada bagian ini, akan dibahas terkait pengaruh perjanjian internasional dalam kebijakan nasional Indonesia terkait pemanfaatan sumber daya hayati; peran Indonesia dalam beberapa organisasi internasional; kebijakan Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya hayati; permasalahan kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati, dan pada saat mengkaji hukum internasional dalam pemanfaatan sumber daya hayati kelautan dan perikanan.
A.
Pengaruh Perjanjian Internasional dalam Kebijakan Nasional Indonesia terkait Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Keberadaan hukum internasional telah mendorong pemerintah
Indonesia membuat peraturan nasional yang dalam materi muatannya berasal dari ketentuan internasional (baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi) yang dianggap sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Beberapa diantaranya yang terkait dengan kebijakan nasional pemanfaatan sumber daya hayati akan diuraikan berikut ini. 1. Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 39
Pengaruh UNCLOS dalam beberapa aturan nasional, jika dipelajari lebih lanjut, Indonesia baru mengesahkan UNCLOS tersebut dalam UU No.17 Tahun 1985 setelah 3 (tiga) tahun UNCLOS disepakati pada tahun 1982. Kemudian, setelah 10 (sepuluh) tahun pengesahan UNCLOS, Indonesia mengundangkan UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Pengundangan peraturan tentang Perairan Indonesia merupakan upaya pemerintah untuk mengimplementasikan ketentuanketentuan dalam konvensi. Dilihat dari aspek substansi, UU No.6 Tahun 1996 sebagian menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS, antara lain mengenai lebar laut territorial Indonesia (12 mil), garis-garis pangkal yang digunakan untuk menetapkan lebar laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman, dan hak lintas kapalkapal asing (lintas damai, lintas transit, dan lintas alur kepulauan) (Lihat Gambar 1). UNCLOS 1982
UU No.17 Th.1985 UU No.6 Th.1996
UU No.4 Prp. Th.1960
UU No.5 Th.1983
PP No.19 Th.1999
UU No.1 Th.1973 UU No.32 Th.2014 Gambar 1.
Pengaruh UNCLOS dalam beberapa aturan nasional Sumber: Data Peraturan diolah, 2016.
Pengesahan UNCLOS 1982 juga menjadi salah satu dasar dari pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur dalam UU No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Zona Ekonomi Eksklusif merupakan rezim baru dalam hukum laut Perserikatan BangsaBangsa (PBB) (Pasal 2 selaras dengan UNCLOS Pasal 55). Pengaturan ZEEI ini yang melahirkan adanya hak berdaulat, yuridiksi, maupun kewajiban negara dalam memanfaatkan wilayahnya (Pasal 4 ayat (1) selaras dengan ketentuan UNCLOS Pasal 56). UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia juga merupakan dampak lanjut
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 40
setelah disahkannya UNCLOS. Diberlakukannya ketentuan ZEEI dan landas
kontinen
Indonesia
untuk
memberikan
dasar
hukum
mengeksplorasi kekayaan alam di dasar laut yang terletak di luar perairan Indonesia. Meskipun berdasarkan hasil kajian Bunga (2015) ditemukan bahwa Indonesia belum mengatur secara khusus terkait Zona Tambahan Indonesia. Pengaturan zona tambahan hanya ditemukan dalam UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang formulasi materinya sama dengan yang tercantum dalam UNCLOS. Padahal pengaturan zona tambahan penting bagi negara pantai seperti Indonesia untuk memperkuat dasar hukum
pengawasan
dalam
wilayah
lautnya
terkait
kewenangan
pengawasan pencegahan terjadinya pelanggaran peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter di wilayah atau laut teritorialnya dan melakukan penindakan hukum ketika pelanggaranpelanggaran tersebut terjadi (Pasal 24 UNCLOS 1982) serta kewenangan negara pantai yang memiliki yuridiksi terkait pengangkatan benda-benda purbakala dan bersejarah dari dasar laut (Pasal 302 ayat (2) UNCLOS 1982) (Gambar 2.).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 41
Gambar 2. Kondisi Kewenangan Negara berdasarkan kondisi wilayah perairan
Pengaruh dari materi muatan UNCLOS 1982 juga dapat dilihat dalam
Peraturan
Pemerintah
(PP)
No.19
Tahun
1999
tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Meskipun tidak secara langsung menyinggung UNCLOS, tapi materi dari PP ini melaksanakan ketentuan UNCLOS.
2. Undang-Undang No.11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 42
Pada lingkup internasional, pemanfaatan sumber daya genetik merupakan bagian dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) 1992 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Protokol Nagoya tentang Akses dan Pembagian Keuntungan Sumber Daya Genetik 2010. Konvensi keanekaragaman hayati ini memiliki 3 (tiga) tujuan, yaitu konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) dari komponenkomponen keanekaragaman hayati, dan pembagian keuntungan yang adil dan berimbang (fair and equitable sharing of benefit) dari pemanfaatan sumber daya genetik. Jika melihat pada tujuan konvensi tersebut, dapat dilihat
adanya
keterkaitan
yang
sangat
erat
antara
konservasi,
keanekaragaman hayati, dan sumber daya genetik. Indonesia sebagai salah satu negara peserta Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Protokol Nagoya, setelah meratifikasi Protokol Nagoya, maka pemerintah Indonesia memiliki kewajiban mengimplementasikan kedua instrumen tersebut dalam hukum nasional, dan merevisi UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memiliki nilai yang sangat strategis sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban tersebut.
Kewajiban
internasional
(international
obligation)
atas
keberadaan kawasan konservasi salah satunya dijamin dalam Undangundang No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Keberadaannya secara hukum adalah sah dan kuat. Pengelolaan kawasan konservasi seharusnya atau tidak terlepas dari aturan-aturan dan atau kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam konvensi-konvensi yang telah diratifisir, seperti CITES dan CBD. Hal ini disebabkan kedua konvensi tersebut legally binding atas Indonesia.
Revisi UU No.5 Tahun 1990 sangat diperlukan, keberadaan UU No.5 Tahun 1990 telah ada sebelum adanya konvensi sumber daya hayati, dan perkembangan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 43
hayati di mata dunia internasional juga harus menjadi bahan evaluasi dari keberlakuan materi-materi dalam UU ini. Hasil Konservasi
diskusi
pakar
tentang
Keanekaragaman
Rancangan
Hayati
dan
Undang-Undang
Ekosistem
yang
diselenggarakan oleh KEHATI pada tahun 2016, mengungkapkan, bahwa selama berlakunya UU No.5 Tahun 1990, hingga saat ini berlakunya UU tersebut dianggap belum efektif dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya konflik sosial terkait penunjukan
atau
penetapan
kawasan
konservasi,
kewenangan
pengelolaan dari kawasan tersebut, dan desakan masyarakat yang cukup kuat seiring terjadinya berbagai kasus perdagangan ilegal satwa-satwa yang dilindungi. Kebijakan terkait pengelolaan sumber daya hayati ini dalam implementasinya juga melibatkan antar kementerian dan lembaga di pemerintahan, antara lain Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pertanian
(Kementan),
Kementerian
Luar
Negeri
(Kemenlu),
dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lebih lanjut, permasalahan utama yang diangkat pada diskusi pakar
ini
terkait
pembagian
kewenangan
dan
koordinasi
dalam
perlindungan ekosistem, keterkaitannya dengan hal-hal relevan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; permasalahan terkait perlindungan spesies yang juga telah diatur dalam peraturan
spesifik
seperti
Convention
on
International
Trade
in
Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) 1973 yang telah diratifikasi oleh Indonesia; permasalahan sumber daya genetik terkait adanya “pembajakan hayati” (biopiracy), dimana terdapat pemanfaatan sumber daya genetik asal Indonesia yang tidak dilakukan melalui mekanisme perizinan yang berlaku dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan tersebut; permasalahan komersialisasi keanekaragaman hayati yang perlu diatur karena memiliki nilai ekonomi tinggi yang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 44
selayaknya dapat dinikmati secara optimal oleh masyarakat Indonesia; dan permasalahan kelembagaan yang sebaiknya dibentuk khusus untuk menangani pemanfaatan sumber daya genetik (Tabel 2). Tabel 2. Permasalahan Utama dalam RUU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya No Permasalahan Utama Keterangan 1.
pembagian kewenangan dan koordinasi dalam perlindungan ekosistem
keterkaitannya dengan hal-hal relevan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.
perlindungan spesies yang juga telah diatur dalam peraturan spesifik
Terkait dengan telah diratifikasinya Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) 1973 oleh Indonesia
3.
sumber daya genetik terkait adanya “pembajakan hayati” (biopiracy)
Terkait adanya pemanfaatan sumber daya genetik asal Indonesia yang tidak dilakukan melalui mekanisme perizinan yang berlaku dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan tersebut
4.
komersialisasi keanekaragaman hayati
Karena akan menjadi potensi pendapatan bagi negara, mengingat keanekaragaman hayati memiliki nilai ekonomi tinggi yang selayaknya dapat dinikmati secara optimal oleh masyarakat Indonesia
5.
kelembagaan yang Mengingat banyaknya pemangku kepentingan sebaiknya dibentuk khusus terkait dan diperlukannya koordinasi antar untuk menangani kementerian dan lembaga untuk penanganan pemanfaatan sumber daya pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. genetik Sumber: Diskusi Pakar Kehati diolah, 2016.
B.
Peran Indonesia dalam Beberapa Organisasi Internasional Peran Indonesia dalam keanggotaan organisasi internasional
beragam, berikut merupakan beberapa peran Indonesia dalam organisasi internasional yang terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 45
1. Indian Ocean Rim Association (IORA)7 Indian Ocean Rim Association (IORA) merupakan organisasi internasional pelopor dan satu-satunya organisasi regional di wilayah Samudera Hindia. Samudera Hindia memiliki peran strategis terutama untuk ekonomi dunia dimana terhubungnya perdagangan internasional dari Asia ke Eropa dan sebaliknya. IORA berdiri berdasarkan pada pilarpilar ekonomi, keamanan dan keselamatan maritim, dan pendidikan serta kebudayaan. Prioritas kerjasama dalam IORA terkait dengan (i) Keselamatan dan Keamanan Maritim; (ii) Fasilitasi Perdagangan; (iii) Manajemen Perikanan; (iv) Manajemen Risiko Bencana Alam; (v) Kerjasama Akademis dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (vi) Pertukaran Kebudayaan dan Pariwisata. Di luar prioritas tersebut, IORA juga mengangkat
2
(dua)
buah
cross
cutting
issues
yaitu Blue
Economy dan Women Empowerment (Gambar 3).
IORA
Prioritas Kerjasama
keselamatan & keamanan maritim fasilitasi perdagangan manajemen perikanan manajemen risiko bencana alam kerjasama akademis & IPTEK Pertukaran budaya & pariwisata
Cross cutting issues
Blue Economy
Women Empowerment
Gambar 3. Isu Kerjasama dalam IORA IORA dibentuk untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa forum ini adalah pemersatu negara-negara Samudera Hindia sebagai satu kawasan dengan tujuan utama pendiriannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang bagi seluruh 7
Sumber: http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasamaregional/Pages/IORA.aspx
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 46
negara anggota dan menciptakan landasan yang kuat bagi kerja sama ekonomi regional melalui upaya-upaya fasilitasi perdagangan dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan; dengan keanggotaan 21 negara yaitu Afrika Selatan, Australia, Bangladesh, Komoros, India, Indonesia, Iran, Kenya, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Mozambik, Oman, Persatuan Emirat Arab, Seychelles, Singapura, Somalia, Sri Lanka,
Tanzania,
Thailand
dan
Yaman.
Selain
itu,
IORA
juga
menggandeng 7 (tujuh) negara mitra dialog, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Mesir, Perancis dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan 2 (dua) organisasi peninjau di IORA yaitu Indian Ocean Tourism Organization (IOTO) dan Indian Ocean Research Group (IORG). IORA bertumbuh pesat pada beberapa tahun terakhir. Pencapaian yang diraih dapat dilihat pada perkembangan organisasi yang menjadi lebih luas dan dalam serta perluasan keanggotaan. Performa IORA makin aktif sejak keketuaan India pada 2011-2013 dan Australia pada 20132015. Realisasi komitmen kerjasama berbagai bidang terwujud dalam sejumlah platformnya, yaitu Council of Minister (COM), Committee of Senior Officials (CSO), Indian Ocean Rim Academic Group (IORAG), Indian Ocean Rim Business Forum (IORBF), Working Group on Trade and Investment (WGTI), TROIKA (fora dengan format Ketua IORA, Wakil Ketua IORA dan Ketua IORA sebelumnya) dan Working Group of Heads of Mission (WGHM). Program-program kerja IORA didanai dari kewajiban kontribusi finansial tahunan (annual contribution) setiap negara anggota dan dana khusus (special fund) berdasarkan komitmen suka rela negara anggota atau mitra dialog. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh IORA, antara lain Conference on the Political Economy of Maritime Africa in the Indian Ocean Region, Indian Ocean Dialogue (IOD), IORA Blue Economy Core Group on Promoting Fisheries and Aquaculture and Maritime Safety and
Security
Cooperation
in
the
Indian
Ocean
Regional,
dan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 47
Rangkaian 15th Council of Ministers and Its Related Meetings, pada 20-23 Oktober 2015, di Jakarta dan Padang. Peranan Indonesia di IORA Indonesia secara resmi memegang jabatan sebagai ketua IORA periode 2015-2017 dengan Afrika Selatan sebagai Wakil Ketua pada Pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-15 di Padang. Indonesia adalah satu-satunya ketua IORA yang menetapkan tema selama masa kepemimpinannya, yaitu "Strengthening Maritime Cooperation in a Peaceful and Stable Indian Ocean". Beberapa gagasan dan prakarsa strategis Indonesia pada masa kepemimpinannya yang telah disetujui yaitu membentuk IORA Concord sebagai outcome strategis 20 tahun IORA; dan penyelenggaraan KTT IORA (one-off) pada Maret 2017. Dalam kapasitasnya tersebut, Indonesia menetapkan prioritas untuk memperkuat regionalisme di kawasan Samudera Hindia melalui pembentukan IORA Concord, pengarusutamaan gagasan Poros Maritim Dunia, memajukan kerja sama IORA dan isu lintas sektoral dan melanjutkan penguatan institusi. Selama masa kepemimpinannya, Indonesia berkomitmen untuk mengadakan program kegiatan konkrit bekerja sama dengan Kementerian dan Lembaga RI terkait, yaitu: (i) The 3rd Indian Ocean Dialogue; (ii) International Symposium "IORA 20thAnniversary: Learning from Past and Charting the Future"; (iii) IORA Business Innovation Center (BIC); (iv) IORA Guide
for
Investment;
Conference; (vi) Regional
(v) The
Workshop:
2nd Blue
"Interseksi
Economy
Kebudayaan
dan
Peradaban di Samudera Hindia"; dan (vii) IORAG Cultural Expo.
2. Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah perairan lebih dari 70% dari total jumlah wilayah Indonesia, dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP), terutama untuk pemanfaatan spesies tertentu, di wilayah yang bersinggungan dengan
wilayah
pengelolaan
luar
Indonesia,
maka
secara
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 48
bertanggungjawab dengan memperhatikan faktor keberlanjutan, menjadi anggota dalam Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMOs) merupakan salah satu konsekuensi penting. RFMOs diselenggarakan berdasarkan perjanjian atau traktat internasional dan dapat diselenggarakan
dalam berbagai bentuk,
sebagian fokus pada pengaturan penangkapan spesies atau kelompok spesies tertentu, dan jika memiliki mandat yang lebih luas, dengan tanggung jawab untuk menjamin agar kegiatan penangkapan tersebut tidak berdampak negatif pada ekosistem laut secara lebih luas dan berbagai spesies di dalamnya. Keanggotaan RFMO terdiri dari NegaraNegara yang memiliki kesamaan kepentingan secara praktis dan/atau finansial di dalam pengelolaan dan pelestarian stok ikan di suatu wilayah tertentu. Kerjasama regional di dalam pengelolaan stok ikan telah dilaksanakan sejak tahun 1920-an pada saat Amerika serikat dan Kanada menyelenggarakan the International Pacific Halibut Commission. Namun, 11 dari 16 RFMO yang ada saat ini dan yang memiliki mandat untuk menetapkan
langkah-langkah
pengelolaan
secara
langsung
telah
diselenggarakan sejak 30 tahun yang lalu. Meskipun terdapat beberapa kesenjangan, mayoritas sumber daya perikanan laut dunia berada di bawah kendali setidaknya satu RFMO atau lebih. Seiring dengan berkembangnya lingkungan hukum dan kebijakan internasional di mana RFMO beroperasi semakin kompleks dan semakin banyak tuntutan. Peningkatan kepedulian terhadap stok perikanan laut dan lingkungan laut menyebabkan instrumen legislasi ini telah mengarah pada pengembangan serangkaian hukum internasional dan resolusi dan deklarasi yang disetujui secara internasional. Hal ini telah memberikan sejumlah besar kewajiban dan tanggung jawab bagi anggota-anggota RFMO. Meskipun anggota-anggota RFMO sering kali lamban untuk mengimplementasikan kewajiban dan tanggung jawab itu pada tingkat
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 49
nasional, dan hal ini yang menjadi kendala bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan pada tingkat regional. Saat ini, Indonesia telah menjadi anggota beberapa RFMOs, yaitu Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Indian Ocean Tuna Commission (IOTC); dan Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Keanggotaan dalam RFMOs penting karena diharapkan melalui keanggotaan dalam RFMOs tersebut Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan tuna untuk perekonomian Indonesia, meski pada sisi lain, ini juga merupakan tantangan bagi Indonesia untuk terus meningkatkan kapasitas
dan
tata
kelola
dalam
pengelolaan
perikanan
tuna
berkelanjutan. Berikut penjelasan terkait organisasi perikanan regional di dunia saat ini, baik yang diikuti oleh Indonesia maupun yang tidak menjadi anggota dalam organisasi tersebut. 1)
Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Keanggotaan Indonesia dalam CCSBT telah ditetapkan dalam
Perpres RI No.109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (Konvensi Tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan). Keikutsertaan Indonesia dalam CCSBT bertujuan untuk menjamin dan mendukung konservasi dan pengelolaan secara tepat sumberdaya perikanan tuna sirip biru selatan untuk pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, di Canberra, Australia, pada tanggal 10 Mei 1993 telah ditandatangani Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan).
2)
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Indonesia telah menjadi anggota dari Indian Ocean Tuna
Commission (IOTC) melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement on the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (Persetujuan tentang Pembentukan Komisi Tuna
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 50
Samudera
Hindia).
IOTC
disahkan
oleh
FAO
pada
sesi
ke-26
dipenghujung tahun 1994. Agreemen IOTC mulai berlaku efektif setelah ada aksesi ke-9 anggota pada tanggal Maret 1996. IOTC merupakan institusi regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Keanggotaan IOTC terdiri dari contracting parties dan non-contracting parties. Hingga Mei 2007, negara-negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC adalah Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang, Kenya, Korea Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan, Filipina, Seychelles, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania dan Indonesia. Sementara Negara yang termasuk negara noncontracting parties, yaitu Senegal, Afrika Selatan dan Uruguay (IOTC, 2007). Pada IOTC tidak ada pengaturan kuota sebagaimana RFMOs lainnya, seperti kuota di CCSBT. Hingga saat ini, status Indonesia sudah menjadi anggota atau contracting parties IOTC ke-27. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumberdaya ikan disana.
3)
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 resmi menjadi anggota
Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah (Western and Central Pacific
Fisheries
Commission/WCPFC).
Dengan
keanggotaan
ini,
Indonesia telah tercatat menjadi anggota dari tiga Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional yang melingkupi perairan Indonesia, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Setelah menjadi anggota WCPFC diharapkan Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan tuna untuk perekonomian Indonesia. Namun disisi lain, ini juga merupakan tantangan bagi Indonesia
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 51
untuk terus meningkatkan kapasitas dan tata kelola dalam pengelolaan perikanan. Status Indonesia sebagai anggota WCPFC sangat penting, mengingat kawasan perairan Indonesia merupakan lokasi kaya nutrien dan menjadi tujuan migrasi tuna mencari makanan dan bereproduksi. Indonesia dalam keanggotaan WCPFC dilakukan dalam pertemuan Dissemination Of Indonesia Membership Status in WCPFC yang diselenggarakan di Jakarta 22-24 Oktober 2013, dengan menjadi anggota komisi perikanan di WCPFC, Indonesia juga akan menerima dukungan informasi ilmiah untuk pengelolaan perikanan yang lebih baik.
4)
Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC) Pada tahun 2013, Indonesia diterima sebagai negara Cooperating
Non-Member (CNM) pada Organisasi Perikanan Tuna Regional Inter American Tropical Tuna Commission (IATTC). Indonesia masuk dalam IATTC ini bertujuan untuk memiliki kesempatan untuk memperluas wilayah penangkapan ikannya ke laut lepas dengan turut memanfaatkan sumber daya perikanan tuna di wilayah Samudera Pasifik Bagian Timur, setelah terlebih dahulu akan mendaftarkan armada penangkapan ikan ke organisasi tersebut.
5)
International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) ICCAT
merupakan
organisasi
perikanan
regional
terkait
konservasi tuna atlantik. Organisasi ini spesifik mengatur mengenai pemanfaatan komoditas tuna sirip biru atlantik yang merupakan ikan asli samudra atlantik. Sepanjang catatan sejarah, ikan ini dihargai bernilai tinggi sebagai ikan pangan. Di samping nilai komersialnya sebagai pangan, keistimewaanya dalam ukurannya yang besar, kecepatannya, dan
kekuatannya
sebagai
predator
puncak,
kekaguman para nelayan, penulis, dan ilmuwan.
telah
mengundang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 52
Tuna sirip biru Atlantik telah menjadi dasar bagi perikanan komersial paling menguntungkan. Ikan berukuran menengah dan besar menjadi incaran untuk diperdagangkan di pasar ikan Jepang, tempat di mana semua tuna sirip biru dihargai mahal untuk dijadikan hidangan sushi dan sashimi. Nilai komersial yang penting ini telah mengarah kepada penangkapan ikan berlebihan. Komisi Internasional untuk Pelestarian Tuna Atlantik (ICCAT) telah memastikan bahwa pada Oktober 2009, persediaan tuna sirip biru Atlantik telah merosot tajam sepanjang 40 tahun terakhir, sebesar 72% di Atlantik Timur, dan sebesar 82% di Atlantik Barat. Pada 16 Oktober 2009, Monako secara resmi merekomendasikan tuna sirip biru Atlantik agar masuk daftar Appendiks I CITES dan masuk daftar ikan yang terlarang diperdagangkan. Pada awal 2010, aparat Eropa yang dipimpin oleh menteri ekologi Perancis,
mendesak
pemberlakuan
pelarangan
perdagangan
internasional tuna sirip biru secara internasional. Uni Eropa, yang kebanyakan bertanggung jawab atas penangkapan ikan ini secara berlebihan, kemudian bersikap abstain dari voting untuk melindungi speses ini dari perdagangan internasional. C.
Kebijakan Indonesia dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,
memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang besar dan beragam. Menurut Dahuri (2005), terdapat sepuluh sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan guna memakmurkan Indonesia: perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, pulau-pulau kecil, serta sumber daya non konvensional. Sektor kelautan dan perikanan (KP) memiliki peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat terutama bagi yang memanfaatkannya, karena memiliki berbagai potensi yang dapat diandalkan. Potensi yang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 53
dimiliki tersebut adalah sumber daya hayati, pariwisata bahari, jasa dan barang, yang dapat dijadikan untuk meningkatkan perekonomian di sektor KP. Meskipun pada tatanan implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan perlu memperhatikan kearifan ekologi, dimana
perlu
diformulasikan
diperhatikan dari
pengembangan
pengalaman-pengalaman
aturan-aturan dan
yang
pemahaman-
pemahaman perilaku alam dengan kesadaran penuh agar dapat dihindari terjadinya eksploitasi berlebihan pada kehidupan lingkungan dan ekologi (Marfai, 2013). Jika melihat pada Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, konsep "pengelolaan perikanan" merupakan semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Gambar 4. UU Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 7).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 54
semua upaya dan tujuan yang telah disepakati
termasuk proses intergrasi
diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas SDH perairan
pengumpulan informasi
Pengelolaan Perikanan
penegakan hukum
analisis
implementasi
perencanaan
alokasi sumber daya ikan
konsultasi pembuatan keputusan
Gambar 4. UU Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 7
Pengelolaan perikanan bertujuan untuk: (a) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil; (b) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (c) mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (d) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (e) mengoptimalkan
pengelolaan
sumberdaya
ikan;
(f)
meningkatkan
produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; (g) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (h) mencapai pemanfaatan
sumberdaya
ikan,
lahan
pembudidayaan
ikan,
dan
lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan, (i) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang (Pasal 3). Berdasarkan rumusan-rumusan pasal 3 tersebut, dengan mengutip salah satu legislasi terkait kelautan dan perikanan, jelaslah bahwa hukum dibuat, diimplementasikan dan ditegakkan dalam rangka pengelolaan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 55
perikanan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. (Gambar
5. Tujuan
Pengelolaan Perikanan (Pasal 3).
menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaa n ikan dan tata ruang
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidayaikan kecil
mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal
meningkatkan penerimaan dan devisa negara
mendorong perluasan dan kesempatan kerja
Tujuan Pengelolaan Perikanan (Ps.3)
meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan
meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
Gambar 5. Tujuan Pengelolaan Perikanan (Pasal 3)
Hukum merupakan alat untuk mencapai sesuatu tujuan. Wahjono (1989), menjelaskan bahwa pencapaian tujuan itu dapat dilakukan secara; (i) pasif, yaitu mengukuhkan sesuatu keadaan atau perilaku yang dianggap baik oleh masyarakat sebagai hukum; maupun secara, (ii) aktif, yaitu dengan sengaja menetapkan menjadi hukum agar sesuatu keadaan menjadi kenyataan atau sesuatu perilaku dilaksanakan oleh masyarakat. Yang terakhir inilah yang kemudian dikenal dengan penggunaan hukum untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering). Hukum tidak saja merupakan alat untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban, tetapi juga
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 56
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, sebagaimana ungkapan lama “tata tentram kartaraharja”. Hukum tidak saja menjadi alat bagi bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan tertib hidup bersama sebagai homo politicus, tetapi juga alat untuk mengusahakan kesejahteraannya sebagai homo economicus. Pada saat ini kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dilaksanakan melalui proses yang bertahap, terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang terkait dengan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan adalah “Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasiskan Kepentingan Nasional”, dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah,
meningkatkan
berwawasan
kelautan,
kapasitas
mengelola
sumberdaya wilayah
laut
manusia nasional
yang untuk
mempertahankan kedaulatan dan meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Lebih lanjut, misi pembangunan kelautan dan perikanan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.25/PERMENKP/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019. Penjabaran tujuan pembangunan kelautan dan perikanan
terkait
dengan
kedaulatan
(sovereignty),
keberlanjutan
(sustainability), dan kesejahteraan (prosperity). Untuk menjaga kedaulatan (sovereignty)
dilakukan
dengan
1)
meningkatkan
pengawasan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, 2) mengembangkan sistem
perkarantinaan
ikan,
pengendalian
mutu,
keamanan
hasil
perikanan, dan keamanan hayati ikan; untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dilakukan dengan 1) mengoptimalkan pengelolaan ruang laut, konservasi dan keanekaragaman hayati laut, 2) meningkatkan keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan budidaya, 3) meningkatkan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 57
daya saing dan sistem logistik hasil kelautan dan perikanan; dan untuk mencapai
kesejahteraan
(Prosperity)
dilakukan
dengan
1)
mengembangan kapasitas SDM dan pemberdayaan masyarakat dan 2) mengembangkan inovasi iptek kelautan dan perikanan. D.
Permasalahan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Mas Achmad Santosa dalam buku “Alam pun Butuh Hukum dan
Keadilan”, menyatakan bahwa tantangan utama dalam penyelamatan sumber daya alam kelautan dan perikanan saat ini adalah memperkuat aksi pencegahan dan pemberantasan illegal unreported and unregulated fishing (IUUF) secara efektif (Santosa, 2016). Kerjasama internasional secara
bilateral
maupun
multilateral
perlu
dilakukan
mengingat
keterbatasan sarana dan prasarana termasuk teknologi pendeteksian yang dimiliki oleh Indonesia. Lebih lanjut, menurut Santosa (2016), sudah saatnya arsitektur hukum
perikanan
nasional
dibenahi.
Perbaikan
kerangka
hukum
perikanan nasional dalam Undang-Undang Perikanan yang baru perlu mempertimbangkan 6 (enam) hal: 1. Mampu mengkontekstualisasikan prinsip responsible dan sustainable use of the fisheries resources. 2. Memberikan solusi hukum atas permasalahan (governance) dalam pengusahaan perikanan tangkap sebagaimana ditemukan dalam analisis dan evaluasi (audit kepatuhan) KKP tahun 2015. 3. Mengkontekstualisasikan
prinsip-prinsip
transnational
organized
crime sebagaimana diatur dalam Palermo Convention, 2000. 4. Mengakui
dan
mengklarifikasikan
IUUF,
kejahatan
perikanan
(fisheries crime) yang mengandung unsur transnational organized crime dengan konsekuensi pemberatan ancaman hukuman. 5. Memperkuat posisi pengadilan perikanan sehingga terdiri atas hakim-hakim berintegritas dan memahami modus-modus terbaru dari IUUF, fisheries crime, dan fisheries related crime.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 58
6. Mampu mengakomodir karakter kejahatan perikanan yang lintas institusi dan lintas rezim hukum. Karena penting penerapan pendekatan multi-door (multi rezim hukum) dalam penanganan kejahatan perikanan dan kejahatan terkait perikanan.
E.
Hukum
Internasional
Kelautan
dan
Perikanan
dalam
Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut 1982 atau yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 merupakan bukti pengakuan dunia internasional terkait kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan. Konvensi ini dalam
pembukaannya
mengakui
kedaulatan
semua
negara
dan
menyatakan bahwa tujuan dari konvensi ini adalah menciptakan ketertiban hukum untuk laut dan samudera dalam memudahkan komunikasi internasional dan memajukan pemanfaatan sumber daya yang ada di laut maupun samudera secara adil dan efisien dengan memperhatikan juga permasalahan konservasi, perlindungan dan pelestarian lingkungan dan sumber daya yang ada di laut dan samudera. Materi muatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.17 Tahun 1985 dapat terlihat dalam Tabel 3. Tabel 3 . Materi Muatan dalam UNCLOS 1982 Part I II Section 1 Section 2 Section 3 III Section 1 Section 2 Section 3 IV V VI VII Section 1 Section 2
Material Introduction Territorial sea and contiguous zone General Provisions Limits of The Territorial Sea Innocent Passage in The Territorial Sea Straits Used For International Navigation General Provisions Transit Passage Innocent Passage Archipelagic States Exclusive Economic Zone Continental Shelf High Seas General Provisions Conservation and management of the living resources of the high seas
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 59
Part VIII IX X XI Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 XII Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Section 5 Section 6 Section 7 Section 8 Section 9 Section 10 Section 11 XIII Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Section 5 Section 6 XIV Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 XV Section 1 Section 2 Section 3 XVI XVII
Material Regime of Islands Enclosed or Semi-Enclosed Seas Right of Access of Land-Locked States to and from the sea and freedom of transit The Area General Provisions Principles Governing The Area Development of Resources of The Area The Authority Protection and Preservation of The Marine Environment General Provisions Global and Regional Co-Operation Technical Assistance Monitoring and Environmental Assesment International Rules and National Legislation to Prevent, Reduce, and Control Pollution of The Marine Environment Enforcement Safeguards Ice-Covered Areas Responsibility and Liability Sovereign Immunity Obligations Under Other Conventions On The Protection and Preservation of The Marine Environment Marine Scientific Research General Provisions International Co-operation Conduct and Promotion of Marine Scientific Research Scientific Research Installations or Equipment in the marine environment Responsibility and Liability Settlement of Disputes and Interim Measures Development and Transfer of Marine Technology General Provisions International Co-operation National and Regional Marine Scientific and Technological Centres Cooperation Among International Organizations Settlement of Disputes General Provisions Compulsary Procedures Entailing Binding Limitations and Exceptions to applicability of section 2 General Provisions Final Provisions
Sumber: UNCLOS 1982
Pasal 118 UNCLOS 1982 menjadi dasar kebijakan Indonesia untuk bergabung dalam RFMO, mengingat dalam pasal 118 disebutkan bahwa states shall cooperate with each other in the conservation and management of living resources in the areas of the high seas. Berdasarkan pasal ini juga yang menjadi dasar kebijakan Indonesia untuk
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 60
aktif
meratifikasi
ketentuan
internasional
terkait
pemanfaatan
berkelanjutan sumber daya yang terdapat di wilayah kedaulatannya. Artikel 118 ini yang menjadi dasar dari adanya kebijakan Indonesia dalam organisasi perikanan regional (RFMO), PSM Agreement, CITES, Marpol, CBD, dan Nagoya Protocol. Konsekuensi lain setelah adanya pengakuan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 adalah adanya hak dan kewajiban yang diatur dalam Pasal 47-53 UNLOS 1982 (DEKIN, 2008). Penjelasan singkat terkait hak dan kewajiban Indonesia menurut UNCLOS 1982 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Hak dan Kewajiban Indonesia Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang sudah diratifikasi dengan UU No.17 Th.1985
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia
1.
Pasal 1: (4) Pollution of the marine environment (5) dumping
Hak berdaulat eksploitasi lingkungan laut – Pasal 193
2.
Pasal 2-32: Tentang rejim laut territorial sejauh 12 mil dari garis pangkal (lebar laut territorial, garis pangkal normal/lurus, batas laut territorial, peta dan daftar koordinat geografis, hak lintas damai bagi kapal asing di laut territorial Pasal 33: Rejim Zona
Hak kedaulatan penuh
- Wajib membuat peta dan koordinat geografis dan menyampaikan salinannya kepada Sekjen PBB (Psl.16) - Wajib menghormati hak lintas damai kapal asing di laut territorial Indonesia
- Perlu ditetapkan batas wilayah perairan pedalaman - Ada PP No.19 Th.1999 - Dumping tunduk pada LDC 1972 - Rejim laut territorial diimplementasika n dengan UU No.6 Th.1996, PP No.36, PP No.37, PP No.38 Th.2002 - Pasal 16 belum dilakukan Indonesia - Meninjau kembali garis pangkal laut wilayah
Hak Jurisdiksi Pengawasan
Tidak adakewajiban,
- Perlu diatur mengenai Zona
3.
Kewajiban Indonesia Wajib melindungi dan melestarikan lingkungan laut – Pasal 192
Keterangan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 61
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia
Kewajiban Indonesia karena ini hak juridiksi kontrol dan menghukumnya, tapi kalau ada pelanggaran wajib di proses, karena untuk kepentingan Indonesia
Tambahan (contiguous zone) sejauh 24 mil dari garis pangkal
(control) untuk mencegah pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi, saniter, dan menghukum pelakunya
4.
Pasal 34-45: Hak lintas transit, alur laut, skema pemisah dalam selat internasional
- Hak kedaulatan penuh atas selat atau jurisdiksi bergantung pada status selat - Hak membangun keamanan yang andal
- Wajib menghormati hak lintas transit - Wajib memberitahu bahaya - Tidak boleh ada suspensi - Keselamatan pelayaran
5.
Pasal 46-53: Rejim negara kepulauan (garis pangkal kepulauan, hak lintas damai, hak ALKI)
Perairan kepulauan berada dalam kedaulatan penuh Indonesia
6.
Pasal 55-75: Rejim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal
Hak berdaulat dan jurisdiksi negara, bukan berada dalam kedaulatan Indonesia
- Wajib menghormati perairan internasional yang sudah ada dengan negara lain - Wajib menghormati hak tradisional penangkapan ikan negara lain - Wajib menghormati kabel bawah laut negara lain - Dapat memberikan hak akses pada negara lain untuk memanfaatkan sumber daya hayati - Wajib konservasi
Keterangan Tambahan - Sebaiknya diadopsi oleh UU terkait, meski saat ini baru disinggung dalam UU No.32 Th.2014 tentang Kelautan - Sudah diatur Psal 20 UU No.6 Th.1996 - Memanfaatkan peluang hak lintas damai dan transit dengan membangun pelabuhan tingkat internasional - UU No.17 Th.2008 tentang Pelayaran - Sudah diatur dalam UU No.6 Th.1996, PP No.36, PP No.37, PP No.38 Th.2002 - Indonesia bukan hanya negara kepulauan, tapi harus jadi negara kelautan (SDA dan pelayaran harus dioptimalkan)
- Sudah diatur dalam UU No.6 Th.1996, PP No.36, PP No.37, PP No.38 Th.2002 - Mengadakan perjanjian batas
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 62
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia
7.
Pasal 76-85: Pengaturan tentang landas kontinen
Hak berdaulat dan jurisdiksi negara
8.
Pasal 86-120: Nasional Indonesia high seas (laut lepas)
Rejim Internasional: - Tidak ada kedaulatan negara manapun - Ada 6
Kewajiban Indonesia atas sumber daya hayati dan nonhayati - Penegakan hukum atas pelanggaran di ZEE Indonesia - Menegakkan hukum karena banyak kapal asing beroperasi dan mengambil keuntungan - Penyelesaian batas-batas ZEE Indonesia dengan negara lain - Wajib membuat peta dan koordinat geografis dan menyampaikan salinannya ke Sekjen PBB - Wajib membuat UU karena UU sebelumnya masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 - Menetapkan batas-batas NKRI dengan negara lain - Membuat peta dan koordinat geografis - Wajib melaporkan salinannya ke Sekjen PBB Kewajiban negara bendera: - Melaksanakan jurisdiksi dan mengendalikan kapal yang
Keterangan
-
-
-
-
ZEE dengan negara tetangga Membuat peta dan koordinat geografis Sudah ada UU No.5 Th.1983 tentang ZEE Indonesia Wajib menyampaikan ke Sekjen PBB Mengumumkan pembangunan dan letak pulaupulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya
- Berdayakan SDM dan teknologi - Buat UU baru tentang Landas Kontinen, karena UU No.1 Th.1973 masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 - Melaporkan landas kontinen Indonesia pada Sekjen PBB
- Sudah cukup diatur dalam UU No.31 Th.2004 jo. UU No.45 Th.2009 tentang Perikanan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 63
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia kebebasan laut lepas untuk tujuan damai - Hak melakukan pengejaran terhadap kapal yang diduga melanggar hukum nasional Indonesia
Kewajiban Indonesia mengibarkan benderanya - Wajib membantu kecelakaan/bahay a di laut lepas - Wajib memberantas perompakan, perdagangan narkotika, perdagangan budak
9.
Pasal 121: Rejim pulau
Hak kedaulatan negara mempertahankan seluruh pulau Indonesia terutama pulau terluar
Wajib mengelola pulau-pulau terluar sebagai bagian wilayah Indonesia
10.
Pasal 133-191: Kawasan (Area)
Wajib berperan sebagai negara berkembang dan bekerjasama dengan perusahaan
11.
Pasal 192-237: Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
Rejim internasional: - Common heritage of mankind - Pengelolaan kekayaan di kawasan berada pada badan otorita intern (ISA) Hak berdaulat (Pasal 193) atas kekayaan sumber daya alam di laut
- Wajib melindungi dan melestarikan lingkungan laut - Mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut - Wajib bekerjasama regional dan global - Membuat UU tentang
Keterangan - Indonesia sebaiknya juga mengoptimalkan hukum nasional terkait perairan, ZEE Indonesia - Indonesia harus memperkuat armada kapal perikanan Indonesia dan berperan aktif dalam organisasi regional maupun internasional Inventarisasi dan toponomi (pemberian nama) semua pulau di Indonesia dan didepositkan di Sekjen PBB Ikut berperan aktif dan bekerjasama dengan lembagalembaga regional maupun internasional di bidang kelautan
Koordinasi dengan KLHK yang merupakan focal point terkait pembuatan peraturan perundangundangan tentang lingkungan hidup dan pengendalian pencemaran laut, karena perlu dibuat pengganti PP
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 64
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia
Kewajiban Indonesia pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran laut - Penegakan hukum oleh negara pantai, negara bendera, negara pelabuhan - Wajib bekerjasama dengan sesama negara dan organisasi internasional - Wajib membangun pusat-pusat nasional riset ilmiah kelautan
12.
Pasal 238-265: Riset Ilmiah Kelautan
- Hak berdaulat/eksklu sif untuk riset ilmiah kelautan untuk tujuan damai di landas kontinen dan ZEE - Hak negara tak berpantai dan tidak beruntung secara geografis untuk riset ilmiah kelautan
13.
Pasal 266-278: Pengembangan dan alih teknologi kelautan
- Hak mengembangkan teknologi kelautan - Hak kerjasama dengan pemilik teknologi kelautan
- Wajib kerjasama regional dan internasional - Wajib membangun pusat-pusat riset nasional untuk pengembangan teknologi kelautan
14.
Pasal 279-299: Penyelesaian sengketa bidang
Setiap negara mempunyai hak untuk
Setiap negara wajib menyelesaikan sengketa di bidang
Keterangan No.19 Th.1999
- Riset ilmiah kelautan mempunyai peranan penting bagi pembangunan nasional - Mengembangkan budaya riset ilmiah kelautan - Perlu pengaturan mengenai riset ilmiah kelautan di Indonesia - Berperan aktif dalam lembaga teknologi kelautan internasional - Indonesia harus mempunyai kebijakan yang mengatur tentang alih teknologi kelautan - Budayakan dan perkuat pengembangan dan alih teknologi kelautan karena Indonesia seharusnya menjadi negara mandiri dalam teknologi kelautan Indonesia harus bekerja keras menjaga dan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 65
No.
UNCLOS 1982
Hak-hak Indonesia
hukum laut: ITLOS, ICJ, Arbitrase, dan Arbitrase khusus
menyelesaikan sengketa bidang hukum laut secara bilateral maupun dalam ke-4 forum tersebut Hak pemilik bendabenda berharga tersebut dan negara pantai
15.
Pasal 303 dan 149: Benda-benda purbakala dan bersejarah yang ditemukan di laut
16.
Pasal 312: Amandemen Konvensi Hukum Laut 1982
Indonesia mempunyai hak untuk mengusulkan perubahan atas konvensi ini untuk kepentingan bangsa dan negara
Kewajiban Indonesia hukum laut secara damai dari mulai negosiasi sampai ICJ
Keterangan
Setiap negara wajib melindungi bendabenda tersebut dan bekerjasama dalam penyelesaiannya
Perlu koordinasi yang baik dalam persoalan penemuan bendabenda berharga tersebut, perlu dikaji lebih lanjut terkait pengaturan khusus tentang hal ini dengan memperhatikan Konvensi UNESCO 2001 Indonesia wajib melaksanakan semua ketentuan UNCLOS 1982 dalam konteks kepentingan bangsa dan negara
Indonesia wajib melaksanakan semua ketentuan UNCLOS 1982 dalam konteks kepentingan bangsa dan negara
melaksanakan kedaulatan dan jurisdiksi negara atas kekayaan di laut
Sumber: DEKIN diolah, 2008.
UN Fish Stock Agreement 1995 (UNIA 1995) Perkembangan
teknologi
penangkapan
ikan
di
laut
lepas
menyebabkan konflik dan menurunnya sumberdaya ikan. Untuk itu, masyarakat internasional
mengatasi permasalahan tersebut dengan
antara lain dengan menyepakati suatu
persetujuan internasional yang
disebut Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks pada tanggal 4 Desember 1995. Persetujuan ini dapat dianggap sebagai peraturan pelaksanaan dari beberapa ketentuan terkait dalam UNCLOS 1982.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 66
Persetujuan ini telah berlaku efektif pada tanggal 11 Desember 2001 setelah diratifikasi oleh 30 negara8 dimana Malta adalah negara peratifikasi ke 30 pada tanggal 11 November 2001. Sampai dengan 31 Desember 2008, negara yang telah meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995 berjumlah 74 negara9. Ketentuan-ketentuan UN Fish
Stock Agreement
1995 dapat
dikatakan hampir sama dengan FAO Compliance Agreement 1993. Perbedaannya adalah, UN Fish Stock Agreement 1995 khusus mengatur stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, sementara FAO Compliance Agreement 1995 mengatur semua kegiatan perikanan tangkap di laut lepas10. UN Fish Stock Agreement 1995 terdiri dari 12 bagian, 50 pasal, dan 2 lampiran. Tujuan yang ingin dicapai oleh Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas.11 Beberapa ketentuan penting dalam UN Fish Stock Agreement 1995 akan diuraikan di bawah ini. 1. Pendekatan kehati-hatian Pendekatan kehati-hatian dituangkan dalam ketentuan umum UN Fish Stock Agreement 1995,12 namun secara lebih rinci, pendekatan kehati-hatian diatur tersendiri pada Pasal 6 dan lampiran II.13 Penerapan
pendekatan
kehati-hatian
merupakan
bentuk
perlindungan sumberdaya hayati laut dan konservasi lingkungan lautnya. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 6 ayat (1), yaitu:
8
Menurut Pasal 40, Perjanjian ini berlaku 30 hari setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-30. 9 Lihat http://www.un.org/ dikunjungi pada tanggal 10 Februari 2009. 10 Blaise Kuemlangan, “Option for Implementation of Certain International and Regional Fisheries by Indonesia“, makalah disampaikan pada Indonesia National Conference on Fisheries Legislation, yang diselenggarakan oleh DKP, Jawa Barat, Indonesia, 25-27 September 2001, p. 2. 11 Pasal 2 UN Fish Stock Agreement 1995. 12 Pasal 5 butir c UN Fish Stock Agreement 1995. 13 Lampiran II berisi petunjuk bagi pelaksanaan titik-titik rujuk pencegahan dalam konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bermigrasi terbatas dan stok ikan yang bermigrasi jauh.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 67
“Negara-negara harus menerapkan pendekatan kehati-hatian secara luas untuk konservasi, pengelolaan, dan eksploitasi stok ikan yang bermigrasi terbatas dan stok ikan yang bermigrasi jauh dalam rangka melindungi sumberdaya hayati laut dan melestarikan lingkungan laut”. Persyaratan penerapan pendekatan kehati-hatian yang dituangkan pada UN Fish Stock Agreement 1995 ini merupakan alternatif lain dari ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yang mensyaratkan “best scientific evidence avalable” dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya
ikan14.
UN
Fish
Stock
Agreement
1995
juga
menetapkan panduan rinci untuk pelaksanaannya, yaitu panduan titik-titik referensi, status spesies stok target dan non-target, usahausaha eksplorasi perikanan (exploratory fisheries) baru, dan tindakan pengelolaan dalam kondisi darurat15. Dengan demikian, kewajiban negara-negara untuk mengadopsi pendekatan kehati-hatian pada kegiatan
penangkapan
pendekatan
ikan
kehati-hatian
serta
bagaimana
pelaksanaan
dilakukan
secara
komprehensif
sebagaimana yang dituangkan pada UN Fish Stock Agreement 1995 dapat dianggap sebagai kerangka kerja pelaksanaan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam pengelolaaan dan konservasi perikanan.
2. Kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan UN Fish Stock Agreement 1995 mensyaratkan kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan untuk stok ikan yang bermigrasi terbatas dan yang bermigrasi jauh yang berada dalam
daerah laut yang
berada di bawah yurisdiksi nasional maupun di laut lepas16. Untuk mencapai kesesuaian pengelolaan dan konservasi jenis-jenis ikan tersebut, negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas diwajibkan untuk melakukan 14
Gui Fang Xue, supra, no.73, p. 56. Pasal 6 ayat (4), (5), (6) dan (7) UN Fish Stock Agreement 1995. 16 Pasal 7 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995. 15
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 68
kerjasama. Kerjasama tersebut harus memperhatikan, langkahlangkah yang telah disepakati baik berdasarkan Pasal 61 UNCLOS 1982, untuk laut lepas dan kesepakatan dari RFMO; kesatuan biologi dan karakteristik stok; memperhatikan ketergantungan masingmasing negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas terhadap stok tersebut; dan jaminan untuk tidak menimbulkan dampak yang membahayakan terhadap sumberdaya ikan17. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan yang dituangkan dalam UN Fish Stock Agreement 1995, negara-negara disyaratkan berusaha keras untuk menyepakati kesesuaian langkah langkah pengelolaan dan konservasi stok ikan tersebut. Pasal 7 ayat (4), (5), (6), (7) dan (8)
menetapkan berbagai prosedur
apabila negara-
negara tidak dapat mencapai kesepakatan, antara lain melalui pengaturan sementara yang bersifat praktis. Baik negara pantai maupun negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas wajib melakukan pertukaran informasi, baik secara langsung maupun melalui
organisasi
pengelolaan
perikanan
regional
maupun
subregional yang tepat tentang langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang telah ditetapkannya. 3. Kerjasama konservasi Pasal 8 mengatur kerjasama untuk konservasi dan pengelolaan. Kerjasama antara negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan di laut lepas bisa dilakukan secara langsung atau melalui organisasi pengelolaan perikanan subregional atau regional, dengan mempertimbangkan karakter khusus dari subregion atau region tersebut untuk memastikan pengelolaan dan konservasi stok ikan secara effektif18. Dalam pelaksanaan kerjasama pengelolaan tersebut, apabila pada suatu region atau subregion 17
Secara lebih rinci, penentuan kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan tercantum pada Pasal 7 ayat (2) UN Fish Stock Agreement 1995. 18 Pasal 8 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 69
tertentu telah ada RFMO yang berwenang untuk mengatur, atau telah ada pengaturan tentang pengelolaan dan konservasi, negaranegara yang melakukan penangkapan di laut lepas maupun negaranegara pantai harus melaksanakan kewajiban untuk kerjasama dengan menjadi anggota RFMO atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut19. Hanya Negara-negara yang menjadi anggota dari RFMO, atau peserta dari pengaturan tersebut serta yang sepakat untuk menerapkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh RFMO atau pengaturan tersebut, yang memiliki akses terhadap sumberdaya ikan yang menjadi obyek pengelolaan dan konservasi tersebut.20 Namun demikian, apabila tidak ada RFMO maupun pengaturan regional maupun subregional yang menetapkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi untuk stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, negara-negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan stok ikan tersebut di laut lepas di subregion atau regiontersebut harus bekerja sama untuk membentuk suatu organisasi pengelolaan atau menetapkan pengaturan lain yang sesuai guna menjamin pengelolaan dan konservasi stok tersebut dan harus berpartisipasi dalam pengaturan dan organisasi tersebut21.
4. Kewajiban negara bendera Pasal 18 mengatur kewajiban negara bendera di laut lepas. Suatu negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan bahwa kapal-kapal yang mengibarkan benderanya mematuhi langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sub-regional dan regional dan kapal-kapal tersebut tidak melakukan kegiatan apapun yang dapat meremehkan efektivitas tindakan-tindakan 19
Pasal 8 ayat (3) UN Fish Stock Agreement 1995. Pasal 8 ayat (4) UN Fish Stock Agreement 1995. 21 Pasal 8 ayat (5) UN Fish Stock Agreement 1995. 20
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 70
tersebut22. Adapun tindakan-tindakan yang harus diambil oleh suatu negara yang berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan benderanya di laut lepas diatur secara rinci pada Pasal 18 ayat (3). 5. Penegakan hukum Pentaatan/pematuhan dan penegakan hukum oleh negara bendera diatur dalam bagian VI. Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa, suatu negara harus menjamin pentaatan/pematuhan oleh kapal-kapal yang mengibarkan benderanya terhadap langkah-langkah konservasi dan pengelolaan subregional dan regional untuk stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas. Untuk itu, negara-negara tersebut harus23: a. Memberlakukan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan dimanapun pelanggaran-pelanggaran terjadi; b. melakukan penyidikan dengan cepat dan menyeluruh setiap tuduhan pelanggaran, termasuk pemeriksaan fisik kapal yang diduga melakukan pelanggaran, dan melaporkannya kepada yang mengajukan tuduhan maupun RFMO terkait; c. Mengharuskan setiap kapal yang mengibarkan benderanya untuk memberikan informasi kepada penyidik mengenai posisi kapal, tangkapan, alat tangkap, operasi penangkapan ikan dan kegiatankegiatan terkait di wilayah dimana pelanggaran terjadi. d. Apabila
bukti-bukti
dianggap
cukup,
meneruskan
masalah
pelanggaran tersebut kepada yang berwajib, dengan tujuan untuk segera
mengadilinya
berdasarkan
praturan
perundang-
undangannya, dan dimana perlu menahan kapal tersebut. e. Memberi jaminan bahwa apabila terbukti bersalah kapal tersebut dikenakan sanksi dilarang melakukan penangkapan ikan di laut lepas hingga suatu waktu dimana seluruh sanksi yang dijatuhkan 22
Pasal 18 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995. Tindakan penegakan hokum oleh negara bendera diatur secara rinci pada Pasal 19 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995. 23
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 71
oleh negara bendera terhadap pelanggaran tersebut telah dipatuhinya.
Semua penyelidikan dan penuntutan hukum harus dilaksanakan secara tepat dan efisien. Sanksi-sanksi yang diterapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran harus cukup keras sehingga efektif dalam menjamin pentaatan dan mencegah pelanggaran24. Lebih dari itu, UN Fish Stock Agreement 1995
mewajibkan negara lain untuk
bekerjasama dengan negara bendera dalam membantu penegakan hukum25. Dalam pelaksanaan kerjasama penegakan hukum tersebut, negara pantai26: a. Dapat meminta bantuan dari negara lain dimana kerjasamanya akan berguna bagi penyelidikan. b. Dapat melakukan investigasi secara langsung dengan negara lain yang berkepentingan atau melalui RFMO terkait. c. Dapat menetapkan pengaturan
sejauh dipekenankan oleh
peraturan perundang-undangannya untuk menyediakan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran, bagi otoritas penuntut dari negara lain. d. Negara bendera
harus bekerjasama dengan negara
pantai
dalam mengambil tindakan penegakan hukum yang tepat dalam keadaan demikian
dan dapat memberikan wewenang kepada
otoritas yang terkait dari negara pantai untuk naik ke atas kapal dan memeriksa kapal di laut lepas. Pada wilayah laut lepas yang termasuk dalam wilayah pengelolaan RFMO atau pengaturan subregional atau regional, inspektur yang berwenang dari suatu negara pihak pada Perjanjian ini atau anggota dari RFMO tersebut dapat menaiki kapal dan memeriksa kapal-kapal 24
Pasal 19 ayat (2) UN Fish Stock Agreement 1995. Pasal 20 UN Fish Stock Agreement 1995. 26 Charlotte de Fontaubert and Indrani Lutchman, supra, no.7, p.49. 25
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 72
perikanan yang mengibarkan bendera Negara pihak lain pada Perjanjian ini, tanpa memperhatikan apakah negara tersebut juga menjadi anggota dari RFMO atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut27. UN Fish Stock Agreement 1995 mensyaratkan menaiki dan inspeksi kapal harus didasarkan pada prosedur yang ditetapkan oleh RFMO atau didasarkan pada pengaturan pengelolaan dan konservasi28. Apabila suatu kapal terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi, negara
pemeriksa
memberitahu negara
harus
mengamankan
bukti
dan
segera
bendera kapal mengenai pelanggaran yang
dituduhkan29. Adapun jenis-jenis pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dimuat dalam Pasal 1130. UN Fish Stock Agreement 1995 juga mengamanatkan tindakantindakan yang dapat diambil oleh suatu negara pelabuhan. Negara 27
Pasal 21 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995. Pasal 21 ayat (2) UN Fish Stock Agreement 1995. 29 Pasal 21 ayat (5) UN Fish Stock Agreement 1995. 28
30
Pelanggaran serius yang tercantum pada Pasal 21 ayat (11) UN Fish Stock Agreement 1995, yaitu: (a) Melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi yang sah, otorisasi atau ijin yang dikeluarkan oleh negara bendera berdasarkan Pasal 18 ayat 3 (a). (b) Gagal untuk memelihara catatan yang akurat mengenai hasil tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana disyaratkan oleh RFMO atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional yang terkait; atau memberi laporan tangkapan yang sangat tidak benar , bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut. (c) Melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, melakukan penangkapan ikan selama musim yang tertutup atau melakukan penangkapan ikan tanpa, atau setelah pencapaian dari suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional; (d) Mengarahkan penangkapan ikan untuk untuk suatu stok yang tunduk pada moratorium atau untuk mana kegiatan penangkapan ikan di larang. (e) Menggunakan alat tangkap yang dilarang. (f) Memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas atau pendaftaran dari kapal perikanan. (g) Menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan dengan suatu penyelidikan. (h) Melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan pengelolaan dan konservasi. (i) Pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional yang terkait.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 73
pelabuhan memiliki hak dan tugas untuk bertindak, menurut hukum internasional, yaitu untuk memajukan tindakan pengelolaan dan konservasi subregional, regional, dan global secara effektif 31. Pelabuhan suatu negara boleh memeriksa dokumen, alat tangkap, dan kegiatan penangkapan kapal, ketika kapal tersebut berlabuh di pelabuhannya. Hak yang dapat dilakukan negara pelabuhan yaitu memeriksa dokumen-dokumen, alat tangkap dan hasil tangkapan di atas kapal ikan32. Selain itu, negara-negara dapat membuat peraturan-peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas nasional yang terkait untuk melarang pendaratan dan pemindahan hasil tangkapan (transhipment) apabila telah ditentukan negara pelabuhan bahwa tangkapan telah diambil dengan cara yang tidak mengundahkan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi subregional, regional atau global di laut lepas33. FAO Compliance Agreement 1993 Setiap negara peserta FAO Compliance Agreement 1993 harus memiliki daftar kapal-kapal penangkap ikan yang didaftarkan di negaranya agar dapat mengibarkan benderanya, dan hanya yang memiliki izin yang dapat melakukan penangkapan ikan di laut lepas. Setiap negara harus memastikan bahwa armada kapal ikannya tidak terlibat atau mendukung usaha IUU Fishing. Informasi persyaratan kapal yang tertuang pada IPOA on IUU Fishing, mencakup:34 a) Nama-nama kapal sebelumnya, jika ada dan jika diketahui; b) Nama, alamat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum atas nama siapa kapal didaftarkan;
31
Pasal 23 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995. Pasal 23 ayat (2) UN Fish Stock Agreement 1995. 33 Pasal 23 ayat (3) UN Fish Stock Agreement 1995. 34 Paragraf 42 IPOA on IUU Fishing. 32
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 74
c) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang bertanggungjawab mengelola operasional kapal; d) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang merupakan pemilik kapal; e) Nama dan sejarah kepemilikan kapal, dan, apabila diketahui, sejarah ketidakpatuhan,pelanggaran oleh kapal tersebut, sesuai dengan dengan hukum nasional, dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi atau ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat di tingkat nasional, regional, atau global; dan f) Dimensi kapal, dan jika dimungkinkan, potret kapal, yang diambil pada waktu pendaftaran kapal, atau pada waktu penyelesaian perubahan struktural paling akhir, menunjukkan sisi profil kapal.
Selain itu, izin dari setiap negara harus termasuk, tapi tidak terbatas pada35: a) Nama kapal, dan, jika diperlukan, orang atau entitas hukum yang memiliki izin untuk menangkap ikan; b) daerah, lingkup dan durasi izin untuk menangkap ikan; dan c) spesies, alat tangkap yang diizinkan, dan jika diperlukan,
langkah-
langkah pengelolaan lainnya yang berlaku.
Pasal 3 ayat (2) FAO Compliance Agreement 1993 menyebutkan bahwa secara khusus, tidak ada satu negara pihak pun yang memperbolehkan kapal ikannya untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu oleh otoritas yang tepat dari negara tersebut. Selain itu, setiap negara pihak tidak boleh memberi izin kepada kapal ikan manapun untuk mengibarkan benderanya dalam rangka penangkapan ikan di laut lepas kecuali jika negara tersebut mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan FAO Compliance Agreement 1993 (Pasal 3 ayat 3). 35
Paragraf 46 IPOA on IUU Fishing
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 75
Protokol Nagoya Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk melaksanakan amanat tersebut,
perlu
dilakukan
berbagai
langkah,
seperti
melakukan
inventarisasi terhadap berbagai potensi sumber daya yang dapat dijadikan modal pembangunan. Sumber daya dimaksud salah satunya adalah sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis. Selanjutnya, sumber daya tersebut perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil toponimi atau inventarisasi dan penamaan pulau oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 (tiga belas ribu empat ratus delapan puluh tujuh) pulau. Pulau yang satu dan yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 (empat puluh tujuh) ekosistem yang sangat berbeda. Mengingat bahwa akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik harus diberikan berdasarkan persetujuan dari penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Mengingat bahwa pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik harus memberikan keuntungan yang adil dan seimbang kepada penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 76
Undang-Undang No.11 Tahun 2013 telah mengesahkan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas konvensi keanekaragaman hayati). Sedangkan berdasarkan Status Keanekaragaman Hayati Indonesia yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2011, keragaman spesies yang dimiliki Indonesia, terdiri atas: a. 707 (tujuh ratus tujuh) spesies mamalia; b. 1.602 (seribu enam ratus dua) spesies burung; c. 1.112 (seribu seratus dua belas) spesies amfibi dan reptil; d. 2.800 (dua ribu delapan ratus) spesies invertebrata; e. 1.400 (seribu empat ratus) spesies ikan; f. 35 (tiga puluh lima) spesies primata; dan g. 120 (seratus dua puluh) spesies kupu-kupu. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki 450 (empat ratus lima puluh) spesies terumbu karang dari 700 (tujuh ratus) spesies dunia. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia
merupakan
salah
satu
negara
yang
memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki keanekaragaman sumber daya genetik dan ekosistem dengan karakteristik tertentu. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
hidup
yang
semakin
beragam
dan
kompleks.
Upaya
perlindungan terhadap sumber daya genetik telah dilakukan melalui alokasi sejumlah kawasan, baik di darat, di pesisir, maupun di laut untuk dijadikan kawasan konservasi dalam berbagai bentuk seperti taman nasional, kawasan konservasi daratan dan perairan, dan suaka margasatwa darat dan laut. Selain bertujuan untuk melindungi sumber daya genetik, kawasan konservasi juga dimaksudkan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 77
lautan dengan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Upaya lain yang telah dilakukan termasuk membangun peta ekologi wilayah Indonesia. Selain itu, perlindungan tersebut dimaksudkan juga untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan datang. Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Untuk itu, dalam melestarikan dan memanfaatkan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, harus terpolakan dan tercermin dalam pengetahuan, inovasi, dan praktik yang terkait serta perlu dikembangkan pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamika dan aspirasi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal. Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini pemanfaatan sumber daya genetik tidak terbatas pada sumber daya genetiknya saja tetapi juga terhadap produk turunannya (derivatives) dari sumber daya genetik tersebut. Produk turunan merupakan suatu senyawa biokimia alami yang dihasilkan dari ekspresi genetik atau hasil metabolisme sumber daya hayati atau genetik. Produk turunannya tersebut dapat berupa: a. individu hasil persilangan/perkawinan/metode lainnya; b. bahan aktif dari hasil metabolisme sumber daya genetik; c. enzim; dan d. gen. Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya
atas Konvensi Keanekaragaman
Hayati (Nagoya
Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 78
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity) yang selanjutnya disebut Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengatur akses terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang antara pemanfaat dan penyedia sumber daya genetik berdasarkan persetujuan atas dasar informasi awal dan kesepakatan bersama serta bertujuan untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Perjanjian Protokol Nagoya merupakan perjanjian yang sangat penting bagi Negara Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang adil dan
seimbang
yang
timbul
dari
pemanfaatannya
atas
Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain: 1. Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. 2. Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati. 3. Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms). 4. Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama. 5. Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 79
adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. 7. Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi
dan
pemanfaatan
keanekaragaman
hayati
secara
berkelanjutan. Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu
negara
mempunyai
kedaulatan
dan
hak
berdaulat
untuk
mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara yang bersangkutan. Peraturan perundangundangan nasional yang berkaitan dengan Protokol Nagoya, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa
mengenai
Keanekaragaman
Hayati
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 80
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556); e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656); f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); g. Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2000
tentang
Perjanjian
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); h. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043); i. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219); j. Undang-Undang
Nomor
18
Tahun
2004
tentang
Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); k. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); l. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); m. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 81
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); n. Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
2006
tentang
Pengesahan
International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4612); o. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); r. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073). Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut: a. ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 82
genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik; b. pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap
pemanfaatan
sumber daya
genetik dan
pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms); c. akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik; d. penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan; e. mekanisme
pembagian
keuntungan
multilateral
global
(global
multilateral benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara; f. mekanisme kelembagaan diatur dengan: 1) penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama; dan 2) penunjukkan Pimpinan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pimpinan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA; g. pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik;
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 83
h. penaatan
terhadap
peraturan
perundang-undangan
nasional
mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik; i.
pemantauan
dilakukan
melalui
penunjukkan
pos
pemeriksaan
(checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional; j.
penaatan terhadap kesepakatan bersama penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa;
k.
model
klausul
kontrak
kesepakatan
bersama
Negara
Pihak
mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama; l.
kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik;
m. peningkatan kesadaran Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan; n. peningkatan
kapasitas
Negara
Pihak
bekerja
sama
dalam
pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan: 1) kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Protokol Nagoya; 2) kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 84
3) kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan menegakkan
langkah-langkah
legislatif,
administratif
atau
kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan 4) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik. o. transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama Negara Pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik; p. prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya. Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur
kerja
meningkatkan
sama
penaatan
dan
mekanisme
kelembagaan
dan
penanganan
kasus
untuk
ketidaktaatan
terhadap substansi Protokol Nagoya. Manfaat Protokol Nagoya dapat disimpulkan
adalah
Keanggotaan
negara
akan
menegaskan
penguasaan negara atas sumber daya genetika serta kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati. Protokol Nagoya
sangat
menguntungkan Indonesia mengingat
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya ketiga di dunia atas sumber daya genetik dan merupakan negara terkaya nomor satu di dunia apabila kekayaan keanekaragaman hayati laut diperhitungkan. Selain itu, makhluk hidup di sekeliling kita di Indonesia ini sangat berharga karena jenis tanaman, hewan, buah-buahan, bahkan virus dan bakteri yang tidak terlihat, mempunyai nilai komersial yang tinggi. Begitu pula dengan pengetahuan tradisional seperti jamu-jamuan, ramuan herbal atau cara pengobatan tradisional lainnya.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 85
Bagaimana Protokol Nagoya mengatur prinsip access and benefit sharing
(ABS)
dan
bagaimana
kesiapan
hukum
nasional
dalam
menerapkan prinsip tersebut sebagai akibat diratifikasinya Protokol Nagoya. Untuk mengimplementasikan Protokol Nagoya maka beberapa hal yang diperlukan : - Diperlukan sinergi institusi pengelola agar tercipta tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika di Indonesia yang holistik. - Sinergi antara negara dan masyarakat untuk mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di Indonesia. - Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah untuk membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel. - Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas
teknologi,
tetapi
juga
meningkatkan
kompensasi
perekonomian. - Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi di Indonesia dapat mendukung formulasi kerja sama dengan industri di negara maju dan juga menempatkan Indonesia untuk mengendalikan sendiri sumber daya alamnya.
Tantangan Indonesia setelah meratifikasi Protokol Nagoya adalah: a. Penyelesaian pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan dan perlindungan sumber daya genetik (SDG), yang saat ini masih dalam tahap pembahasan. Hal ini dibutuhkan karena ratifikasi harus dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan nasional yang memayungi pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. b. Pembentukan otoritas nasional pengelolaan dan perlindungan SDG di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini bersifat multi-sektor karena sifat SDG yang kosmopolit dan tidak khusus di satu bidang saja, yang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 86
mencakup
perairan
dan
kelautan,
pertanian,
kehutanan,
dan
penelitian/ilmu pengetahuan. c.
Pembentukan standar baku atau Standard Operational Procedure (SOP) pembuatan naskah akses dan pembagian keuntungan terhadap pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG, dan pembuatan naskah perjanjian transfer materi biologi (Material Transfer Agreement/MTA).
Setelah menjadi negara Pihak Protokol Nagoya, Pemerintah Indonesia diwajibkan untuk menyusun dan menerapkan peraturan perundang-undangan nasional mengenai pengelolaan sumber daya genetik maupun akses pembagian keuntungan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan untuk membentuk kelembagaan berupa: National Focal Point, National Competent Authority, check points, Balai Kliring. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ditunjuk sebagai National Focal Point yang berfungsi sebagai koordinator dan penghubung ke Sekretariat CBD di Montreal. Untuk National Competent Authority diusulkan dari kementerian terkait yang berfungsi sebagai pemberi izin akses. Sedangkan untuk check points yang berfungsi sebagai pengawas sedang diusulkan dari lembaga yang terkait dengan karantina, imigrasi, dan konservasi. Adapun untuk Balai Kliring yang berfungsi sebagai lembaga tempat pertukaran informasi dan database, sedang dalam pembahasan antar kementerian dan lembaga.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 87
BAB III METODE PENELITIAN
A. Kerangka Penelitian
Kajian Hukum dan Politik Kelautan dan Perikanan terkait Kewajiban Indonesia terhadap Ketentuan Internasional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati
Sustainable fisheries
Upaya penangkapan
Menjaga keanekaragaman hayati (seperti ikan, terumbu karang, penyu)
Perlindungan perairan laut
Ketentuan Internasional
Ketentuan Nasional
Gambar 6. Kerangka Penelitian Kerangka penelitian ini diawali dengan melihat kewajiban Indonesia terhadap ketentuan internasional dalam pemanfaatan sumber daya hayati dilihat dari sisi kebijakan sustainable fisheries. Kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) pada kebijakan usaha penangkapan,
kemudian
juga
melihat
pada
kewajiban
menjaga
keanekaragaman hayati (seperti ikan, terumbu karang, penyu), serta melihat juga pada kebijakan terkait upaya perlindungan perairan laut. Materi kebijakan tersebut bisa jadi merupakan implementasi dari kewajiban internasional Indonesia sebagai konsekuensi kesepakatan internasional yang dilakukan dalam pemanfaatan sumber daya hayati, untuk selanjutnya melihat penterjemahan materi tersebut pada materi kebijakan nasional (Gambar 6. Kerangka Penelitian).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 88
B.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (doctrinal
reasearch), dimana penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (peraturan) (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process) (Soekanto dan Mamudji; Amiruddin dan Asikin, 2006). Penelitian ini akan menjelaskan hasil temuan dalam bentuk deskriptif-eksplanatoris, dimana akan memaparkan secara terperinci, lengkap, komprehensif, dan sistematis yang mudah dipahami.
C.
Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
D.
Data dan Informasi yang Dikumpulkan Penelitian ini lebih banyak menggunakan data sekunder yang
merupakan bahan hukum primer (seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah), buku-buku, maupun bahan-bahan tulisan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, dan data primer terkait informasi yang diberikan oleh pejabat terkait ataupun petugas dari institusi terkait (seperti Dinas Kelautan Perikanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Biro Hukum dan Organisasi, Pelabuhan Perikanan, kelompok masyarakat, dll) di lokasi penelitian terkait implementasi kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 89
E.
Analisis Data Analisis data dilakukan setelah mempelajari data dan informasi yang
dikumpulkan untuk kemudian diidentifikasi kewajiban yang menjadi konsekuensi
hukum
Indonesia
setelah
menyepakati
ketentuan
internasional terkait pemanfaatan sumber daya hayati untuk kemudian dijabarkan secara deskriptif kualitatif, dalam bentuk bahasa hukum yang teratur, jelas, rasional, sistematis, sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan tersebut, kemudian diambil kesimpulan secara deduktif untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.
F.
Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dalam kegiatan ini dilakukan selama 1 (satu) tahun
anggaran berjalan di 2016. Lokasi penelitian dalam kegiatan ini dipilih berdasarkan justifikasi lokasi yang menjadi pusat data dan informasi serta konsultasi dan koordinasi dengan stakeholder terkait dan narasumber kebijakan tingkat pusat; dan lokasi di daerah yang diperkirakan memiliki ragam temuan kebijakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya hayati, selain untuk mengamati juga untuk melakukan interview untuk melakukan cross check (validasi) hasil dari desk study yang telah dilakukan, terdapat 4 (empat) provinsi, yaitu Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, terkait justifikasi pemilihan lokasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Justifikasi Pemilihan Lokasi No Lokasi Justifikasi Pemilihan Lokasi 1. DKI Jakarta Selain menjadi lokasi Institusi Pemerintah Pusat Lokasi pelabuhan perikanan samudra yang akan menerapkan PSM Agreement pada tahun 2017 Tempat kegiatan seminar, konsultasi dan koordinasi dengan narasumber terkait topik kegiatan 2. Jawa Barat kegiatan seminar terkait topik kegiatan, konsultasi dan koordinasi dengan narasumber dari akademisi perguruan tinggi (UI dan IPB)
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 90
No Lokasi 3. Sumatera Barat 4. 5.
6.
Kepulauan Riau Bali
Nusa Tenggara Barat
Justifikasi Pemilihan Lokasi Terkait dengan kegiatan IORA 2016 dan lokasi BPSPL Padang yang membawahi salah satunya wilayah Kepulauan Riau Provinsi yang berbatasan dengan beberapa negara, memiliki 96% wilayah perairan lokasi dimana terdapat organisasi pengusaha perikanan yang aktif dalam organisasi perikanan tuna regional dan cukup banyaknya kawasan wisata yang menawarkan keindahan keanekaragaman hayati lokasi dimana terdapat taman nasional serta alur laut kepulauan Indonesia yang merupakan perlintasan kapal antarnegara, dan juga terdapat lokasi pelelangan hiu dan pari terbuka yang menjadi perhatian dunia
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 91
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kewajiban Indonesia dalam Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati
1. Kewajiban
Indonesia
terkait
Implementasi
Convention
on
Biological Diversity (CBD), Cartagena Protocol (CP), dan Nagoya Protocol Sebelum adanya konvensi keanekaragaman hayati (CBD), kondisi pemahaman terkait sumber daya hayati dianggap sebagai common heritage mankind, belum ada implementasi pemanfaatan sumber daya hayati yang berkelanjutan, belum ada kesadaran akan pentingnya konservasi, dan belum ada pemikiran terkait pembagian keuntungan yang adil antara pemilik teknologi yang memanfaatkan sumber daya hayati dan pemilik sumber daya hayati yang dimanfaatkan sumber daya nya oleh pemilik teknologi. Indonesia
sendiri
mengadopsi
CBD
pada
tahun
1992
dan
meratifikasinya dalam UU No.5 Th.1994. Konvensi ini selanjutnya memiliki keterkaitan dengan Cartagena Protocol (CP) dan Nagoya Protocol, dimana CP terkait dengan permasalahan biosafety dari pemanfaatan sumber daya hayati, dan perlindungan sumber daya genetik. Materi dalam CBD hingga saat ini dianggap sebagai instrument paling komprehensif dan eksplisit terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati (lihat Boks 1).
Boks 1. Materi dalam Convention on Biological Diversity (CBD) Prinsip: - Setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri - Mempunyai tanggung jawab untuk menjamin kegiatan yang dilakukan dalam yuridiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional Instrument paling komprehensif dan eksplisit terkait dengan perlindungan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 92
Boks 1. Materi dalam Convention on Biological Diversity (CBD) keanekaragaman hayati Inisiatif paling penting, karena: 1. Menempatkan dunia menuju arah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan 2. Merupakan suatu instrumen global yang merupakan komitmen bersama para anggotanya untuk bekerja dalam arah yang sama 3. Mengakui kedaulatan nasional dan hak-hak negara untuk mengambil manfaat dari sumber daya hayati yang dimiliki negara tersebut 4. Mengakui hak-hak negara untuk mengakses teknologi termasuk bioteknologi baru yang dapat membantu upaya perlindungan atau eksploitasi sumber daya hayati 5. Merupakan langkah pertama dari suatu jalan panjang menuju programprogram perlindungan keanekaragaman hayati baik pada level nasional maupun internasional CBD ditandatangani oleh 156 negara dan Uni Eropa Kewajiban negara peserta dalam CBD: 1. Penggunaan strategi-strategi nasional, perencanan-perencanaan serta program-program bagi konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan 2. Identifikasi dan monitoring keanekaragaman hayati 3. Konservasi keanekaragaman hayati secara in situ dan ex situ 4. Penelitian, pelatihan, serta pendidikan masyarakat 5. Evaluasi dampak proyek-proyek pembangunan terhadap keanekaragaman hayati 6. Penghormatan terhadap hak-hak atas kekayaan intelektual, di negara manapun hak-hak tersebut didapatkan, yang sesuai dengan tujuan CBD 7. Pertukaran informasi tentang keanekaragaman hayati 8. Kerjasama teknis dan ilmu pengetahuan Tujuan CBD 1. Untuk perlindungan keanekaragaman hayati 2. Agar penggunaan keanekaragaman hayati di dalam dan diantara spesies dan ekosistem dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan (sustainable use) 3. Agar tercipta pembagian yang adil terhadap keuntungan-keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya hayati dan alih teknologi yang relevan Kelemahan CBD : 1. Kandungan normatif dari kewajiban-kewajiban yang digariskan CBD sangat lemah, ketentuan hanya bersifat himbauan, desakan atau peringatan saja yang ditujukan kepada para anggotanya dalam rangka perlindungan hayati 2. Pengelolaan keanekaragaman hayati lebih diposisikan sebagai urusan masing-masing negara yang memiliki sumber daya hayati sebagai aset-aset negara berdaulat (souvereign assets) sendiri, jadi efektifitas norma-norma CBD sangat tergantung dari itikad baik negara-negara anggotanya Sumber: CBD
Sementara materi dalam Cartagena Protocol (CP) bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 93
(transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG (organisme hasil modifikasi genetik) seiring dengan adanya perkembangan ilmu bioteknologi untuk kebutuhan manusia (lihat Boks 2).
Boks 2. Materi dalam Protokol Cartagena Latar belakang: Berkembangnya ilmu bioteknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia Tujuan: Menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG (organisme hasil modifikasi genetik) Manfaat Ratifikasi: 1. Mengakses informasi mengenai Produk Rekayasa Genetika (PRG) 2. Meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan 3. Memperoleh manfaat secara optimal dari penggunaan bioteknologi modern secara aman yang tidak merugikan keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia Sumber: Protokol Cartagena
Kemudian untuk materi dalam Nagoya Protocol merupakan kelanjutan dari pemanfaatan sumber daya hayati, dimana konvensi ini memberikan akses kepada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang dihasilkan dari pemanfaatannya (lihat Boks 3). Boks 3. Materi dalam Protokol Nagoya Latar belakang: Memberikan akses kepada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang dihasilkan dari pemanfaatannya Tujuan: 1. Menjamin pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Term/MTA) 2. Melindungi sumber daya genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional (PT) 3. Pemanfaatan yang berkelanjutan 4. Memfasilitasi akses dengan prasyarat prior inform consent (PIC)/persetujuan atas dasar informasi awal (PADIA) – mencegah Biopiracy (pencurian SDG) Sumber: Protokol Nagoya
Jika mempelajari lebih lanjut materi dalam Protokol Nagoya, maka substansi penting yang terdapat didalamnya kemudian persyaratan dalam memenuhi substansi Protokol Nagoya tersebut serta implementasi yang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 94
telah dilakukan dalam regulasi nasional berikut kesimpulan yang diperoleh setelah mengkaji substansi ada dalam Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Substansi Penting dalam Protokol Nagoya No
Substansi Protokol Nagoya
1.
Pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
Persyaratan dalam memenuhi substansi Protokol Nagoya Pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms). Mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara. Negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara
Regulasi Nasional
Kesimpulan
Pasal 18 dan 33 UUD 1945 UU No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on access to genetic resources and the fair and equitable sharing of benefits arising from their utilization to the convention on biological diversity (protokol nagoya tentang akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatann ya atas konvensi keanekaraga man hayati) UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Membutuhkan komitmen dari setiap negara untuk pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Perlu diatur tentang prosedur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang kepada penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Diperlukan lembaga yang memgawasi pelaksanaan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 95
yang bersangkutan. 2.
Akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik;
Penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan.
3.
Mekanisme kelembagaan
Penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama. Penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA. Pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang
UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman UU No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan UU No.5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa mengenai Keanekaraga man Hayati UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman UU No.18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembanga n dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
genetik. Perlu dilakukan inventarisir sumber daya genetik dan pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetik sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi akan kekayaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik yang dimiliki. Membutuhkan ketegasan dalam implementasin ya dan sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku Memberikan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragam an hayati secara berkelanjutan.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 96
berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik. 4.
5.
6.
Penaatan terhadap peraturan perundangundangan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik. Pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional. Peningkatan Kesadaran
Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya
dan Teknologi UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil UU No.4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 97
7.
Peningkatan Kapasitas
genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan. Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik. Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan: 1) kapasitas untuk mengimplementasik an dan untuk mematuhi kewajibankewajiban dalam Protokol Nagoya; 2) kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama; 3) kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasik an dan menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan 4) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan
UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan UU No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 98
8.
Kerjasama
penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik. Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama. Penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa. Transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama negara pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik. Prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 99
penaatan Protokol Nagoya. Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya.
2. Kewajiban
Indonesia
terkait
Implementasi
Convention
on
International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) Pada tahun 1975 Indonesia telah menyetujui Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan hewan yang terancam punah. Kesepakatan ini selanjutnya tertuang dalam KEPPRES No.43 Tahun 1978. CITES merupakan konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah. CITES ini juga merupakan
perjanjian
internasional
antarnegara
yang
disusun
berdasarkan resolusi disidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. CITES dibentuk pada tanggal 3 Maret 1973, pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1975, CITES berkantor di Jenewa, Swiss dengan menyediakan dokumen dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Tabel
7. Hasil Indentifikasi Materi dalam CITES
Ruang Lingkup Tujuan
Wilayah kewenangan
CITES untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis – jenis flora dan fauna yang dapat atau mungkin dapat di sebabkan oleh adanya kegiatan perdagangan internasional Spesies-spesies hewan dan tumbuhan yang berada dalam pengawasan CITES dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 100
Ruang Lingkup Spesies ikan dan alat tangkap Keanggotaan
CITES yang ditetapkan berdasarkan konferensi para pihak (COP) Appendiks I : 16 spp Appendiks II: 87 spp
Konvensi ini berlaku bagi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini, saat ini ada 182 anggota Hak 1. untuk menghukum perdagangan, atau kepemilikan, spesies yang dilindungi, atau keduanya 2. melakukan penyitaan atau pengembalian ke Negara pengekspor spesies yang dilindungi Kewajiban a. Menunjuk satu atau lebih National Management Authority (MA) dan scientific authority (SA). b. Melaksanakan berbagai ketentuan CITES dan melarang perdagangan yang melanggar ketentuan CITES, termasuk pemberian penalti (sanksi) terhadap pelaku pelangaran dan penyitaan terhadap perdagangan spesimen yang tidak sesuai ketentuan c. Memelihara catatan/record perdagangan specimen CITES listed species d. Menyiapkan regular report (annual report dan bienial report) Menetapkan nasional eksport quota spesies appendiks II Sumber: CITES diolah, 2016.
Berdasarkan pada hasil identifikasi dalam CITES, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan terkait ancaman adanya tindak pidana perdagangan spesies liar yang masuk dalam daftar Appendiks, juga melaksanakan berbagai ketentuan CITES dan melarang perdagangan yang melanggar ketentuan CITES, termasuk pemberian penalti (sanksi) terhadap pelaku pelangaran dan penyitaan terhadap perdagangan spesimen yang tidak sesuai ketentuan, memelihara catatan/record perdagangan specimen CITES listed species, menyiapkan regular report (annual report dan bienial report), dan menetapkan nasional eksport quota spesies appendiks II (lihat Tabel 7). Jika dipelajari lebih lanjut, ada 5 (lima) alasan pokok diadakannya konvensi tersebut yaitu: 1. Perlu perlindungan jangka panjang terhadap flora dan satwa liar. 2. Meningkatkannya nilai flora dan satwa liar bagi manusia. 3. Peran dari masyarakat dan Negara dalam usaha perlindungan flora dan fauna (satwa liar).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 101
4. Makin mendesaknya kebutuhan kerjasama internasional untuk melindungi
jenis-jenis
tersebut
dari
over
eksploitasi
melalui
perdagangan internasional. 5. Makin mendesaknya kebutuhan akan tindakan-tindakan mengenai hal-hal tersebut diatas.
Perlindungan jangka panjang terhadap flora dan satwa liar dilakukan dengan mengelompokkan atas dasar kelangkaannya yang ditentukan oleh Konferensi Anggota CITES. Jenis-jenis flora dan satwa liar tersebut digolongkan dalam 3 (tiga) kelompok (Appendices). Pengelompokkan tergantung pada tingkat perlindungan yang diperlukan. Negara anggota berhak untuk mengajukan kepada CITES agar suatu spesies yang berpotensi langka untuk dimasukkan kedalam salah satu dari tiga kategori yaitu Apendiks I,II, atau III.
Tabel
8. Dasar Pengelompokkan dalam CITES
Daftar Pengelompokan Apendiks I
Kebijakannya
Pengecualian
Keterangan
membuat seluruh jenis-jenis flora dan fauna yang sudah sangat terancam punah yang disebabkan atau mungkin disebabkan oleh kegiatan perdagangan, perdagangan spesimen (hidup atau mati atau bagian-bagian yang berasal dari padanya) jenisjenis ini dilarang dan harus di atur dengan peraturan yang sangat ketat agar tidak membahayakan kehidupan selanjutnya.
Pengecualian dari ketentuan tersebut di atas hanya dapat diberikan apabila dalam keadaan yang sangat khusus, misalnya untuk tukarmenukar antar kebun binatang, penelitian, hadiah kenegaraan, pendidikan dan hasil penangkaran yang sudah menghasilkan generasi kedua (F2).
Beberapa jenis ikan yang dilindungi dalam apendiks I : Ikan Arwana Super Red (Scleropages formosus), Pari Gergaji (Pristis microdon), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), Paus Biru (Balaenoptera musculus), Paus Sirip (Balaenoptera physalus), Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae), Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris), Paus Minke (Balaenoptera acutorostrata),
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 102
Daftar Pengelompokan
Kebijakannya
Apendiks II
memuat jenis yang walaupun yang saat ini tidak terancam punah apabila perdagangannya tidak di atur dengan ketat dan tidak menghindari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan daya dukung hidupnya. Oleh karena itu, perdagangan spesimen jenisjenis ini dilakukan dengan penetapan kuota (jumlah spesimen yang dapat di panen dari alam secara konservatif).
Apendiks III
memuat semua jenis-jenis yang dinyatakan dilindungi oleh peraturan negara anggota CITES tertentu untuk kepentingan mencegah atau membasmi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) dan memerlukan kerjasama dengan negara-negara anggota CITES lainnya untuk mengawasi perdagangan. Indonesia tidak memasukkan spesies yang ada
Pengecualian
Keterangan Paus sei (Balaenoptera borealis), Paus bryde kecil (Balaenoptera edeni). Beberapa jenis ikan di Indonesia yang dimasukkan kedalam apendiks II : Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus), Kuda laut (Hippocampus spp), Terubuk (Tenualosa macrura), Pari Manta (Manta spp), Hiu Koboy (Carcharhinus longimanus), Hiu Martil (Spyhrna spp), Kima Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunai (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna derasa), Kima raksasa (Tridacna gigas), Kima kecil (Tridacna maxima), Kima sisik (Tridacna squamosal)
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 103
Daftar Pengelompokan
Kebijakannya
Pengecualian
Keterangan
di Indonesia kedalam appendiks ini.
Sumber: CITES diolah, 2016
CITES melakukan pengelompokan jenis-jenis flora dan fauna kedalam 3 (tiga) daftar (Appendiks) sebagai berikut : (Tabel 8)
Apendiks I : membuat seluruh jenis-jenis flora dan fauna yang sudah sangat terancam punah yang disebabkan atau mungkin disebabkan oleh kegiatan perdagangan, perdagangan spesimen (hidup atau mati atau bagian-bagian yang berasal dari padanya) jenis-jenis ini dilarang dan harus di atur dengan peraturan yang sangat ketat agar tidak membahayakan kehidupan selanjutnya. Pengecualian dari ketentuan tersebut di atas hanya dapat diberikan apabila dalam keadaan yang sangat khusus, misalnya untuk tukarmenukar antar kebun binatang, penelitian, hadiah kenegaraan, pendidikan dan hasil penangkaran yang sudah menghasilkan generasi kedua (F2). Beberapa jenis ikan yang dilindungi dalam apendiks I adalah Ikan Arwana Super Red (Scleropages formosus), Pari Gergaji (Pristis microdon),
Penyu
Hijau
(Chelonia
mydas),
Penyu
Belimbing
(Dermochelys coriacea), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), Paus Biru (Balaenoptera musculus), Paus Sirip (Balaenoptera physalus), Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae), Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris), Paus Minke (Balaenoptera acutorostrata), Paus sei (Balaenoptera borealis), Paus bryde kecil (Balaenoptera edeni).
Apendiks II : memuat jenis yang walaupun yang saat ini tidak terancam punah apabila perdagangannya tidak di atur dengan ketat dan tidak menghindari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan daya dukung hidupnya. Oleh karena itu, perdagangan spesimen jenis-jenis ini dilakukan dengan penetapan kuota (jumlah spesimen yang dapat di panen dari alam secara konservatif).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 104
Beberapa jenis ikan di Indonesia yang dimasukkan kedalam apendiks II adalah Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus), Kuda laut (Hippocampus spp), Terubuk (Tenualosa macrura), Pari Manta (Manta spp), Hiu Koboy (Carcharhinus longimanus), Hiu Martil (Spyhrna spp), Kima Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunai (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna derasa), Kima raksasa (Tridacna gigas), Kima kecil (Tridacna maxima), Kima sisik (Tridacna squamosal).
Apendiks III : memuat semua jenis-jenis yang dinyatakan dilindungi oleh peraturan negara anggota CITES tertentu untuk kepentingan mencegah atau membasmi pemanfaatan yang berlebihan (eksploitasi) dan memerlukan kerjasama dengan negara-negara anggota CITES lainnya untuk mengawasi perdagangan. Indonesia tidak memasukkan spesies yang ada di Indonesia kedalam appendiks ini.
Peraturan terhadap spesies satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar ini memiliki beberapa pengecualian. Peraturan Apendiks CITES tidak berlaku untuk kasus-kasus sebagai berikut: 1. Pertunjukan keliling (sirkus). 2. Perdagangan non-komersial, misalnya untuk keperluan kegiatan ilmiah dan pertukaran antar kebun binatang. 3. Barang-barang pribadi. 4. Spesimen yang transit di negara lain (transit Spesimens). 5. Spesimen satwa dan tumbuhan yang diperdagangkan sebelum Konvensi berlaku. 6. Spesimen yang dihasilkan dari penangkaran. 7. Spesimen dari hasil ranching (pembesaran dari alam). Kewajiban-kewajiban bagi negara-negara yang telah meratifikasi CITES diuraikan berikut ini. a. Menunjuk satu atau lebih National Management Authority (MA) dan scientific
authority
(SA).
Kementerian
Lingkungan
Hidup
dan
Kehutanan (KLHK) bertindak sebagai National Management Authority (MA)
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 105
b. Melaksanakan berbagai ketentuan CITES dan melarang perdagangan yang melanggar ketentuan CITES, termasuk pemberian penalti (sanksi) terhadap pelaku pelanggaran dan penyitaan terhadap perdagangan spesimen yang tidak sesuai ketentuan c. Memelihara catatan/record perdagangan specimen CITES listed species d. Menyiapkan
regular report (annual report
dan
bienial report)
Menetapkan nasional eksport quota spesies appendiks II Tabel
9. Peraturan di Indonesia terkait CITES
No Peraturan 1. UU No.5 Th.1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem 2.
PP No.60 Th.2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
3.
PP No.8 Th.1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
4.
KEPMEN KP No.37 Th.2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (cheilinus undulatus). KEPMEN KP No.18 Th.2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon
5.
Penjelasan Undang-undang ini mempunyai tujuan untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Tujuan konservasi sumberdaya ikan dalam peraturan ini dilakukan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah; mempertahankan keanekaragaman jenis ikan; memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem; dan memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Peraturan ini merupakan peraturan yang mengatur pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar agar pemanfaatannya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar Kepmen ini bertujuan untuk rangka menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang telah mengalami penurunan populasi, perlu dilakukan perlindungan terhadap ikan Napoleon (Cheilinus undulatus)
Kepmen ini bertujuan untuk menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan Hiu Paus (Rhincodon typus), perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan Hiu Paus
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 106
No Peraturan typus) 6. KEPMEN KP No.59 Th.2011 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Terubuk 7. KEPMEN KP No.4 Th.2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Pari Manta
8.
Penjelasan Kepmen ini diterbitkan untuk menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di wilayah perairan Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Siak, perlu dilakukan perlindungan terhadap jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) Penerbitan Kepmen ini dalam rangka menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan Pari Manta yang populasinya semakin menurun, perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan Pari Manta. Umumnya Pari Manta ditemukan di perairan karang, gosong karang atau di dekat gunung-gunung karang. Di Indonesia sering ditemukan di perairan karang yang masih relatif baik dan belum banyak terganggu oleh aktivitas penangkapan, mulai dari perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, timur Kalimantan, Laut Cina Selatan,Laut Banda, perairan Sulawesi, Maluku dan Papua. Permen ini diterbitkan sebagai tindak lanjut kesepakatan Conference of Parties CITES ke 13 di Bangkok yang telah menyepakati dimasukkannya Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) kedalam daftar Appendik II CITES. Untuk menjaga dan menjamin keberadaan Hiu Koboi dan Hiu Martil yang telah mengalami penurunan populasi, maka perlu diatur tentang larangan pengeluaran hiu koboi dan hiu martil dari wilayah Republik Indonesia keluar wilayah Republik Indonesia
PERMEN KP No.59 Th.2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia 9. PP No.7 Th.1999 Peraturan ini diterbitkan untuk melestarikan tentang sumberdaya alam melalui pengawetan jenis. Dalam Pengawetan Jenis peraturan ini terlampir beberapa spesies ikan, mamalia Tumbuhan dan laut dan penyu yang dilindungi. Spesies-spesies Satwa tersebut terdapat dalam appendiks CITES I dan II. Sumber: Diolah dari berbagai sumber peraturan perundang-undangan, 2016.
Lebih lanjut, terdapat beberapa peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan implementasi materi CITES (Tabel 9) : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 107
Undang-undang
ini
mempunyai
tujuan
untuk
menjaga
agar
pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Tujuan konservasi sumberdaya ikan dalam peraturan ini dilakukan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah; mempertahankan keanekaragaman
jenis
ikan;
memelihara
keseimbangan
dan
kemantapan ekosistem; dan memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Peraturan ini merupakan peraturan yang mengatur pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar agar pemanfaatannya dipergunakan sebesarbesarnya
untuk
memperhatikan
kemakmuran kelangsungan
rakyat
dan
potensi,
dilakukan
daya
dengan
dukung
dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar 4. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (cheilinus undulatus). Kepmen
ini
bertujuan
untuk
rangka
menjaga
dan
menjamin
keberadaan dan ketersediaan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang
telah
mengalami
penurunan
populasi,
perlu
dilakukan
perlindungan terhadap ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) 5. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus)
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 108
Kepmen ini bertujuan untuk menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan Hiu Paus (Rhincodon typus), perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan Hiu Paus 6. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2011 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Terubuk Kepmen ini diterbitkan untuk menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) di wilayah perairan Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Siak, perlu dilakukan perlindungan terhadap jenis Ikan Terubuk (Tenualosa macrura) 7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Pari Manta Penerbitan Kepmen ini dalam rangka menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan Pari Manta yang populasinya semakin menurun, perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan Pari Manta. Umumnya Pari Manta ditemukan di perairan karang, gosong karang atau di dekat gunung-gunung karang. Di Indonesia sering ditemukan di perairan karang yang masih relatif baik dan belum banyak terganggu oleh aktivitas penangkapan, mulai dari perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, timur Kalimantan, Laut Cina Selatan,Laut Banda, perairan Sulawesi, Maluku dan Papua. 8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia Permen ini diterbitkan sebagai tindak lanjut kesepakatan Conference of Parties CITES ke 13 di Bangkok yang telah menyepakati dimasukkannya Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) kedalam daftar Appendik II CITES. Untuk menjaga dan menjamin keberadaan Hiu Koboi dan Hiu Martil yang
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 109
telah mengalami penurunan populasi, maka perlu diatur tentang larangan pengeluaran hiu koboi dan hiu martil dari wilayah Republik Indonesia keluar wilayah Republik Indonesia 9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Peraturan ini diterbitkan untuk melestarikan sumberdaya alam melalui pengawetan jenis. Dalam peraturan ini terlampir beberapa spesies ikan, mamalia laut dan penyu yang dilindungi. Spesies-spesies tersebut terdapat dalam appendiks CITES I dan II.
3. Kewajiban Indonesia terkait Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Tata laksana perikanan yang bertanggungjawab merupakan salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma. Tata laksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek yang bertanggungjawab dalam pengusahaan sumber daya perikanan, untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati
akuatik
keanekaragaman
berkenaan hayati.
dengan
Tata
pelestarian
laksana
ini
juga
ekosistem
dan
memperhatikan
karakteristik biologi sumber daya perikanan yang terkait dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya. Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela, meski pada beberapa bagian pola prilaku disusun dengan merujuk UNCLOS1982. Kewajiban mengikuti CCRF ditujukan pada semua negara yang memanfaatkan sumber daya ikan dan lingkungannya; semua pelaku perikanan
(baik
penangkap
dan
prosesing);
pelabuhan-pelabuhan
perikanan (konstruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan); industri perikanan yang harus menggunakan alat tangkap yang selektif; observer
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 110
program (pendataan di atas kapal); dan perikanan rakyat (perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan penggunaan energi yang
efisien).
Kewajiban-kewajiban
yang
harus
dipenuhi
dalam
implementasi CCRF dapat dilihat dalam Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka implementasi CCRF No Pelaksana 1. Negara
Kewajiban 1. Mengambil langkah precautionary (hati-hati) dalam rangka melindungi atau membatasi penangkapan ikan sesuai dengan daya dukung sumber daya 2. Menegakkan mekanisme yang efektif untuk monitoring, control, survaillance dan law enforcement 3. Mengambil langkah-langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya ikan yang lestari 2. Pengusaha 1. Berperan serta dalam upaya-upaya konservasi, ikut dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi pengelolaan perikanan 2. Ikut serta mensosialisasikan dan mempublikasikan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan serta menjamin pelaksanaan peraturan 3. Membantu mengembangkan kerjasama (lokal maupun regional) dan koordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan perikanan, seperti menyediakan kesempatan dan fasilitas di atas kapal untuk para peneliti 3. Nelayan 1. Memenuhi ketentuan pengelolaan sumber daya ikan secara benar 2. Ikut serta mendukung langkah-langkah konservasi dan pengelolaan 3. Membantu pengelola dalam mengembangkan kerjasama pengelolaan, dan berkoordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan perikanan Sumber : Mukhtar, A.Pi., M.Si., 2008. Diunduh dari http://www.goblue.or.id/wpcontent/uploads/kode-etik-perikanan-yang-bertanggung-jawab.pdf
Kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka implementasi Ketentuan Nasional Terkait IOTC Kewajiban Indonesia sebagai anggota IOTC, mengharuskan pemerintah untuk melaksanakan kegiatan yang sudah ditentukan di dalam konvensi. Pelaksanaan kewajiban ini secara tidak langsung juga terkait dengan kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati di Indonesia.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 111
Kewajiban yang harus dicermati oleh Indonesia dalam konvensi IOTC adalah: 1) Area Kewenangan; 2) Tujuan, Fungsi, dan Tanggung Jawab Komisi; 3) Prosedur Mengenai Langkah-Langkah Konservasi dan Pengelolaan; 4) Implementasi; 5) Kerja Sama dengan Organisasi dan Lembaga Lain. Kajian analisis kesenjangan (gap analysis) dan yuridis komperatif (Tabel 4.5) terhadap konvensi IOTC, menunjukkan bahwa Indonesia telah melaksanakan kewajiban sebagai negara peratifikasi dengan mengaplikasikan kewenangan dan aturan pelaksana konvensi ke dalam ketentuan nasional. Kewajiban yang berkenaan dengan area kewenangan IOTC telah diatur di dalam UU, Perpres, PP, Permen, dan Kepmen KP. Ketentuan nasional ini harus dibarengi dengan melakukan kajian terhadap potensi sumber daya dan batas wilayah kewenangan IOTC. Program kerja yang dilaksanakan pemerintah sebagai anggota IOTC melalui Perpres No. 9 Tahun
2007,
harus
lebih
ditingkatkan
(khususnya
dalam
sistem
pengumpulan data yang terintegrasi). Program tersebut dilaksanakan, karena terkait dengan langkah strategis terhadap tujuan, fungsi, dan tanggung jawab komisi dalam konvensi IOTC. Pengaturan mengenai konservasi sebagaimana diatur dalam konvensi IOTC (Pasal 9) telah diatur dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang merupakan pengganti UU No.8 Tahun 1985. Pada tahun 2009, UU No.31 Tahun 2004 dirubah dengan UU No.45 Tahun 2009. Salah satu perubahan materinya terkait dengan konvensi
IOTC,
adalah
masalah
pengelolaan
perikanan
tentang:
kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran. UU No.31 Tahun 2004 dan UU No.45 Tahun 2009, merupakan cerminan politik hukum Indonesia untuk menjadi anggota RFMOs (IOTC). Pengaturan ketentuan konservasi nasional yang terkait IOTC diatur dalam UU No.5 Tahun 1983 tentang Ekonomi Eksklusif Indonesia. Konservasi sumber daya alam menurut UU ini yaitu: segala upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 112
ZEEI, sedangkan terminologi perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah adalah segala upaya yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di ZEEI. Pengaturan tentang sumber daya hayati pada UU No.5 Tahun 1983, bersifat umum dan tidak merujuk pada jenis tertentu. UU yang berkaitan dengan komitmen Indonesia terhadap pengelolaan perikanan dan konservasi secara global adalah UU No.21 Tahun
2009 tentang Persetujuan
Pelaksanaan Ketentuan-
Ketentuan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982, yang Berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh. Lahirnya UU No.21 Tahun 2009, dilatarbelakangi upaya pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan memelihara ekosistem laut di ZEEI dan laut lepas, melalui konservasi dan pengelolaan sediaan ikan. Pengelolaan konservasi berdasarkan UU yang telah ada, ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan PP No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatn Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kedua PP ini mengatur tentang penyu, yang merupakan merupakan salah satu spesies yang diatur dalam konvensi IOTC. Derivasi terhadap UU pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan konservasi, dijembatani juga dengan diterbitkannya Permen KP Nomor
PER.03/MEN/2009,
tentang
Penangkapan
Ikan
dan/atau
Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Peraturan ini disusun dalam rangka melaksanakan kewajiban Indonesia menjadi anggota RFMOs (IOTC). Permen KP ini mengatur mengenai: (a) perizinan penangkapan ikan di laut lepas dan hak serta kewajiban bagi setiap orang atau badan hukum Indonesia; (b) kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan di laut lepas. Kewenangan Indonesia dalam melakukan kerja sama sudah diatur
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 113
pada ketentuan UU Perikanan. Operasionalisasi kerja sama yang dilakukan harus diupayakan secara selektif dan keterlibatan organisasi dan lembaga lain tersebut, harus sejalan dengan tujuan Indonesia sebagai anggota IOTC. Tabel 11 berikut ini merupakan ringkasan analisis yuridis komparatif konvensi IOTC dengan hukum nasional.
Tabel 11. Analisis Yuridis Komparatif Konvensi IOTC dengan Hukum Nasional Pasal
Pengaturan
Implikasi Hukum Nasional
Rencana Aksi
2
Area Kewenangan
UU 31/2004 (WPP-NRI) Perpres Nomor 9/2007 (Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia) Permen KP Nomor PER.01/MEN/2009 (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia)
Kajian batas wilayah penerapan IOTC
5
Tujuan, Fungsi, dan Tanggung Jawab Komisi
UU Nomor 21/2009 (pelaksanaan Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut) UU 31/2004 (Pengelolaan Perikanan) Perpres Nomor 9/2007 (Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia) Permen KP Nomor Per.12/Men/2012 (Tindakan Konservasi dan Pengelolaaan) Permen KP Nomor Per.18/Men/2010 (Log book Penangkapan Ikan) Permen KP Nomor Per.30/Men/2012 (Pengaturan Perizinan) Permen KP Nomor 5/2007 (Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan)
Peningkatan sistem pengumpulan data dan manajemen pengawasan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 114
Pasal
Pengaturan
Implikasi Hukum Nasional
Rencana Aksi
9
Prosedur Mengenai Langkah-Langkah Konservasi dan Pengelolaan
UU Nomor 5/1983 (ZEEI) UU Nomor 5/1990 (Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem) UU Nomor 31/2004 (Pengelolaan Perikanan) Permen KP Nomor Per.12/MEN/2012 (Tindakan Konservasi dan Pengelolaaan)
Prinsip ini harus dilaksanakan dengan baik dan benar oleh Indonesia
10
Implementasi
UU Nomor 21/2009 (Pengelolaan Konservasi) PP Nomor 7/1999 (Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa) PP Nomor 8/1999 (Pemanfaatn Jenis Tumbuhan dan Satwa) PP Nomor 60/2007 (Konservasi Sumber Daya Ikan) Kepmen Nomor 18/KEPMEN-KP/2013 (Perlindungan Hiu) Permen KP Nomor PER.03/MEN/2009 (Penangkapan ikan dan/atau pengangkutan Ikan di Laut Lepas)
Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum
15
Kerja sama dengan Organisasi dan Kelembagaan Lain
UU Nomor 31/2004 (Perikanan)
Meningkatkan kerja sama dalam mengelola perikanan secara selekstif di wilayah IOTC
Sumber: Koeshendrajana, et. al. (2013)
Manfaat keanggotaan Indonesia dalam IOTC Kepentingan Indonesia menjadi anggota IOTC, merupakan upaya untuk menjamin dan mendukung pengembangan sumber daya Tuna. Pada
konteks
tersebut
tindakan
yang
perlu
dilakukan,
adalah
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 115
melaksanakan pengelolaan yang tepat, konservasi, dan memanfaatkan sumber daya perikanan Tuna secara optimal. Optimal di sini merujuk kepada keuntungan negara ekonomi nasional dalam mengelola potensi sumber daya perikanan Tuna di Samudera Hindia, dengan azas pemerataan (tanpa mengecilkan arti keberlanjutan sumber daya Tuna tersebut).
B.
Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk (Padmo Wahjono dalam Sari Wiji Astuti, 2015). Penerapan implementasi hukum terkait dengan politik hukum yang telah direncanakan. Seperti halnya politik hukum pemanfaatan sumber daya hayati di Indonesia. Berbagai instrumen hukum dibentuk untuk mendukung pelaksanaan dari pemanfaatan sumber daya hayati agar dapat memberdayakan masyarakat dan mewujudkan tujuan kesejahteraan masyarakat. Penerapan Kebijakan di Daerah Pada lingkup pemerintahan daerah, saat ini mengacu pada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan terkait dasar penentuan urusan pengelolaan wilayah kelautan di daerah, mengacu pada Pasal 9 UU No.23 Tahun 2014. Pasal ini membagi dalam 3 (tiga) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren,
dan
urusan
pemerintahan
umum.
Untuk
pengelolaan wilayah kelautan mengacu pada Bab V Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi Berciri Kepulauan. Kewenangan pengelolaan wilayah kelautan dari UU No.23 Tahun 2014 memuat politik hukum tentang pengelolaan yang berada dalam kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan hal ini berubah drastis dengan politik hukum yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut pada daerah otonom yang merupakan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 116
pemerintah daerah kabupaten/kota. Perubahan ini pada akhirnya menyebabkan
masalah
tersendiri
bagi
pemerintah
daerah
dalam
menjalankan kebijakan pengelolaan wilayah (perairan) kelautan (lihat Tabel 12).
Tabel 12. Temuan Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Hayati di Beberapa Provinsi di Indonesia Provinsi Uraian Permasalahan Keterangan DKI - Ibukota Negara, Pusat - Pemerintah Daerah DKI Jakarta Pemerintahan Jakarta tetap mengambil kebijakan terkait - Implementasi kebijakan pemanfaatan sumber daya Pemerintahan Daerah hayati diwilayahnya lebih langsung bersinggungan berdasarkan pada UU No.29 dengan kebijakan Pemerintah Th.2007 tentang Pusat, seperti kasus kebijakan Pemerintahan Provinsi DKI reklamasi yang akan Jakarta sebagai Ibukota memberikan ancaman Negara Kesatuan Republik perubahan lingkungan dan Indonesia dan UU No.23 keberlanjutan pemanfaatan Th.2014 tentang sumber daya Pemerintahan Daerah, baru - Pelabuhan Perikanan kemudian mengacu pada Samudera Nizam Zachman UU yang lainnya. merupakan pelabuhan dibawah kewenangan pemerintah pusat yang akan menerapkan kebijakan terkait penerapan PSM Agreement pada tahun 2017 - Keberadaan institusi pembuat kebijakan tingkat pusat mengharuskan adanya koordinasi dan komunikasi dalam pembuatan kebijakan yang menerapkan materi muatan ketentuan internasional dalam hukum nasional Bali - Provinsi yang lebih banyak - Pemerintah Daerah Bali memanfaatkan sumber daya tetap mengambil kebijakan hayati sebagai sumber terkait pemanfaatan sumber pendapatan daya hayati diwilayahnya lebih berdasarkan pada UU - Meskipun tidak terdapat No.64 Th.1958 tentang pelabuhan perikanan Pembentukan Daerahsamudera, namun ada daerah Tingkat I Bali, Nusa pelabuhan umum Benoa yang Tenggara Barat, dan Nusa juga dimanfaatkan oleh Tenggara Timur; dan UU pengusaha perikanan tuna No.23 Th.2014 tentang yang aktif dalam organisasi
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 117
Provinsi
-
-
-
Nusa Tenggara Barat
-
-
-
-
Kepulauan Riau
-
-
Uraian Permasalahan perikanan regional dan terkena dampak dari adanya penerapan kebijakan terkait moratorium kapal perikanan dan transhipment yang secara tidak langsung mempengaruhi usaha perikanan tuna mereka Adanya polemik reklamasi Benoa yang dianggap merupakan kebijakan pemerintah pusat dan menyebabkan daerah enggan untuk terkena dampak konflik dengan masyarakat yang terkena dampak reklamasi tersebut Adanya perubahan politik hukum pengelolaan wilayah perairan menyebabkan adanya status ‘menunggu’ peraturan teknis dari UU No.23 Tahun 2014 tersebut Adanya kebijakan pembangunan antar pulau (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) Provinsi yang lebih banyak memanfaatkan sumber daya hayati sebagai sumber pendapatan Di provinsi ini terdapat lelang terbuka untuk komoditas hiu dan pari, dan ini memicu kontroversi bagi dunia, dikarenakan Indonesia telah meratifikasi CITES Adanya kebijakan Global Hub terkait posisi NTB yang dilalui oleh alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) Adanya kebijakan pembangunan antar pulau (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) Provinsi yang lebih banyak memanfaatkan sumber daya hayati sebagai sumber pendapatan Provinsi ini berbatasan lebih
Keterangan Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya.
- Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat tetap mengambil kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya lebih berdasarkan pada UU No.64 Th.1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya.
- Pemerintah Daerah Kepulauan Riau tetap mengambil kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya lebih
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 118
Provinsi
Uraian Permasalahan dari satu negara - Wilayah yang dimiliki lebih dari 90% merupakan wilayah perairan - Adanya komoditas tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi tapi termasuk dalam Apendiks (seperti Kima, Kuda Laut, Penyu Hijau, Penyu Sisik) yang dalam pemanfaatannya juga harus memperhatikan upaya konservasinya - Minimnya sarana dan prasarana Pos Lintas Batas (PLB) yang memadai di perbatasan sesuai dengan standar pelayanan publik yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan yang berbatasan dengan negara yang secara ekonomi masyarakatnya sudah lebih maju Sumber: Data dan informasi diolah, 2016.
Keterangan berdasarkan pada UU No.25 Th.2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya.
Hasil Pengumpulan Data Dan Informasi Terkait Implementasi Kewajiban Internasional Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati di Beberapa Provinsi di Indonesia sebagai berikut: 1. Provinsi DKI Jakarta Jakarta merupakan Ibukota Negara, Pusat Pemerintahan. Pada saat implementasi kebijakan Pemerintahan Daerah, terdapat kemungkinan untuk langsung bersinggungan dengan kebijakan Pemerintah Pusat, seperti kasus kebijakan reklamasi yang akan memberikan ancaman perubahan lingkungan dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya hayati pada kawasan teluk Jakarta. DKI Jakarta juga merupakan tempat dari pelabuhan perikanan samudera, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman merupakan pelabuhan dibawah kewenangan pemerintah pusat yang akan menerapkan kebijakan terkait penerapan PSM Agreement pada
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 119
tahun
2017.
Penyiapan
perangkat
aturan
pendukung
maupun
pembangunan infrastruktur pelabuhan telah disiapkan untuk hal tersebut. Sebagai pusat pemerintahan negara, Jakarta merupakan tempat institusi pembuat kebijakan tingkat pusat, dan terkait kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati, yang melibatkan antar institusi pemerintahan, maka sudah seharusnya adanya koordinasi dan komunikasi dalam pembuatan kebijakan yang menerapkan materi muatan ketentuan internasional dalam hukum nasional. Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
dari
Badan
Perencana
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dalam mengambil kebijakan, terutama terkait dengan pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya, lebih berdasarkan pada UU No.29 Th.2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya. 2. Provinsi Bali Provinsi Bali merupakan provinsi yang memiliki satu pulau utama dan beberapa pulau kecil. Secara administratif, Provinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota. Berdasarkan pada hasil pengamatan, pada umumnya masyarakat di Bali banyak yang memanfaatkan sumber daya hayati sebagai sumber pendapatan melalui sektor pariwisata. Meskipun tidak terdapat pelabuhan perikanan samudera, namun terdapat beberapa pelabuhan dengan fungsi khusus, seperti pelabuhan umum Benoa yang merupakan pelabuhan umum terbesar di Bali yang juga dimanfaatkan oleh pengusaha perikanan tuna yang aktif dalam organisasi perikanan regional dan terkena dampak dari adanya penerapan
kebijakan
terkait
moratorium
kapal
perikanan
dan
transhipment yang secara tidak langsung mempengaruhi usaha perikanan tuna mereka. Selain di Benoa, saat ini juga mulai dikembangkan
pelabuhan
Celukan
Bawang
untuk
menurunkan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 120
kepadatan dari pelabuhan Benoa. Sedangkan pelabuhan perikanan negara terdapat di Pengambengan. Adanya polemik reklamasi Benoa yang dianggap merupakan kebijakan pemerintah pusat dan menyebabkan daerah enggan untuk terkena dampak konflik dengan masyarakat yang terkena dampak reklamasi tersebut. Seiring dengan berlakunya UU No.23 Tahun 2014, maka terdapat perubahan
politik
menyebabkan
hukum
Bappeda
pengelolaan
menyatakan
wilayah
adanya
perairan,
status
yang
‘menunggu’
peraturan teknis dari UU No.23 Tahun 2014 tersebut, agar nantinya tidak terjadi lagi perubahan kebijakan pada tatanan teknis di kabupaten/kota. Sikap Pemerintah Daerah Bali tetap mengambil kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya lebih berdasarkan pada UU No.64 Th.1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya. 3. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai provinsi yang memiliki potensi sumber daya pengembangan pariwisata yang lebih banyak
memanfaatkan
sumber
daya
hayati
sebagai
sumber
pendapatan masyarakat. Provinsi ini terdiri dari 8 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah hampir 60% merupakan wilayah perairan. Di provinsi ini terdapat lelang terbuka untuk komoditas hiu dan pari (di kabupaten Lombok Timur), dan ini sempat memicu kontroversi bagi dunia, dikarenakan Indonesia telah meratifikasi CITES. Meskipun pada saat pengamatan di lokasi sudah tidak terdapat lagi jenis hiu dan pari yang dilarang masuk sebagai komoditas yang dilelang. Keunikan dari lelang terbuka hiu dan pari ini sebenarnya lebih memudahkan pemantauan jumlah hiu dan pari yang di lelang, dan di wilayah ini
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 121
semua bagian dari hiu dan pari merupakan komoditas bernilai ekonomi, sehingga tidak hanya sirip hiu saja yang dimanfaatkan. Adanya kebijakan Global Hub terkait posisi NTB yang dilalui oleh alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), mulai dibangun pelabuhan berstandar internasional, dengan tujuan agar NTB bisa mendapatkan nilai tambah dari adanya proses transit kapal-kapal asing yang melintasi ALKI untuk melakukan proses navigasi. Seiring dengan banyak nya peraturan terkait pemanfaatan sumber daya hayati, bagi Pemerintah Daerah NTB tetap mengambil kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya lebih berdasarkan pada UU No.64 Th.1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya. 4. Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura, memiliki hampir 96% wilayah perairan, dan hal ini yang menjadi salah satu penyebab banyaknya pemanfaatan sumber daya hayati sebagai obyek yang dijual dalam dunia pariwisata. Pada wilayah provinsi ini juga banyak memiliki komoditas tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi tapi termasuk dalam Apendiks (seperti Kima,
Kuda
Laut,
Penyu
Hijau,
Penyu
Sisik)
yang
dalam
pemanfaatannya juga harus memperhatikan upaya konservasinya. Selain kaya dengan sumber daya hayati, provinsi ini juga memiliki ancaman terhadap pertahanan dan keamanan wilayah dikarenakan minimnya sarana dan prasarana Pos Lintas Batas (PLB) yang memadai di perbatasan sesuai dengan standar pelayanan publik yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan yang berbatasan dengan negara yang secara ekonomi masyarakatnya sudah lebih maju.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 122
Pemerintah Daerah Kepulauan Riau tetap mengambil kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya hayati diwilayahnya lebih berdasarkan pada UU No.25 Th.2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan UU No.23 Th.2014 tentang Pemerintahan Daerah, baru kemudian mengacu pada UU yang lainnya.Pemerintah Kepri telah mengeluarkan.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 123
BAB V IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
William N. Dunn (2003) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi 5 (lima) bagian, yaitu masalah kebijakan (policy problem), alternatif kebijakan (policy alternatives), tindakan kebijakan (policy actions), hasil kebijakan
(policy
outcomes),
dan
hasil
guna
kebijakan.
Dalam
membicarakan perumusan kebijakan publik, penting untuk melihat aktoraktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut, seperti legislator, eksekutif, kelompok non govermental organization (NGO), kelompok swasta, maupun kelompok think thank (kelompok peneliti atau pengkaji). Konsekuensi diratifikasinya CBD, kemudian juga keanggotaan Indonesia dalam CITES, menimbulkan kewajiban bagi Kementerian Kelautan
dan
membidangi
Perikanan
kelautan
dan
(KKP)
selaku
perikanan,
kementerian harus
teknis
membuat
yang
kebijakan
perlindungan terhadap sumber daya hayati yang berada dalam lingkup kewenangan KKP, mengingat ada beberapa jenis satwa maupun tumbuhtumbuhan yang berada di air yang berada di kewenangan KKP, seperti kima, kuda laut, penyu sisik. Kebijakan tersebut harus dikomunikasikan dengan kementerian atau lembaga teknis yang merupakan focal point terkait peran Indonesia dalam CBD dan CITES (dalam hal ini KLHK). Konsekuensi lanjutan dari hasil kajian ini adalah perlu dilakukannya penelitian lanjutan terkait pemanfaatan sumber daya hayati terutama di wilayah perbatasan antar negara, mengingat pemanfaatan sumber daya di wilayah antar negara perlu juga dilakukan kerjasama antar negara untuk meminimalkan konflik pemanfaatan sumber daya pada wilayah-wilayah perbatasan. Kemudian juga perlu dilakukan identifikasi-identifikasi pada spesies-spesies satwa endemik agar dapat dipantau pemanfaatannya dan status keberadaan dari spesies tersebut. Kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati, berdasarkan hasil kajian tetap harus dijalankan untuk
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 124
kepentingan bersama semua pihak, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kehati-hatian (equitable and precautionary principle).
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 125
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
A.
Kesimpulan Keberadaan hukum internasional telah mendorong pemerintah
Indonesia membuat peraturan nasional yang dalam materi muatannya memuat materi yang berasal dari ketentuan internasional (baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi) yang dianggap sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Materi muatan dalam tataran hukum nasional yang mengacu juga pada ketentuan hukum internasional merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia pada ketentuan internasional yang sudah disepakati, dan merupakan salah satu bentuk Indonesia mengadopsi materi muatan internasional yang dianggap sesuai
dengan
kepentingan
nasional
meskipun
Indonesia
belum
meratifikasi ketentuan internasional tersebut. Berdasarkan pada hasil kajian ini, teridentifikasi kewajiban Indonesia yang lahir sebagai bentuk implementasi pelaksanaan materi muatan dalam CBD, Cartagena Protocol, Nagoya Protocol, CITES, CCRF, maupun keanggotaan dalam IOTC, antara lain melakukan konservasi, perlindungan terhadap satwa liar, memperbaiki manajemen pengumpulan data dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya hayati Indonesia. Berdasarkan pada hasil identifikasi terhadap kewajiban Indonesia terkait implementasi CBD, Cartagena Protocol, dan Nagoya Protocol, Indonesia wajib melakukan upaya perlindungan terhadap kekayaan sumber daya hayatinya, baik dalam bentuk kebijakan konservasi maupun mengoptimalkan manfaat yang diperoleh dari sumber daya hayati, menjalankan hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungan. Karena berdasarkan pada hasil identifikasi terhadap kewajiban Indonesia terkait implementasi CITES, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan pendukung untuk
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 126
melindungi spesies liar yang masuk dalam apendiks. Upaya perlindungan pada spesies liar yang masuk dalam apendiks tersebut tidak hanya melekat pada negara, tetapi juga membutuhkan peran dari masyarakat, serta kerjasama internasional sebagai upaya untuk pencegahan dari over eksploitasi permintaan pasar atas spesies tersebut. Kemudian berdasarkan pada hasil identifikasi terhadap kewajiban Indonesia terkait implementasi CCRF, pemerintah harus bekerjasama dengan pengusaha maupun nelayan, dalam rangka menjalankan kebijakan untuk melindungi atau membatasi penangkapan ikan yang disesuaikan dengan daya dukung sumber daya, juga dalam menjalankan kebijakan konservasi yang merupakan upaya pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan. Lebih lanjut, berdasarkan pada hasil identifikasi terhadap kewajiban Indonesia terkait implementasi peran keanggotaan Indonesia dalam IOTC, dimana Indonesia harus memperhatikan sistem pengumpulan data dan manajemen
pengawasan,
menetapkan
dan
menjalankan
prosedur
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan, serta meningkatkan
upaya
pengawasan
dan
penegakan
hukum
agar
memberikan efek jera bagi pelanggar hukum. Berdasarkan hasil kajian, pada tatanan implementasi kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati di daerah tetap dibutuhkan koordinasi dengan kementerian yang memberikan pembinaan langsung pada pemerintah daerah di provinsi maupun di kabupaten/kota. Hal ini mengingat sikap pemerintah daerah yang membuat kebijakan dengan berdasarkan pada UU pembentuk daerah-daerah tersebut dan UU tentang pemerintahan
daerah,
mengingat
pemerintah
daerah
melakukan
koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terlebih dahulu, baru kemudian mengacu pada peraturan perundang-undangan lainnya
yang
berkelanjutan.
terkait
dengan
pemanfaatan
sumber
daya
hayati
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 127
B.
Rekomendasi Kebijakan Konsekuensi dari adanya kesepakatan Indonesia pada hukum
internasional, menyebabkan pemerintah Indonesia harus membuat peraturan nasional yang dalam materi muatannya memuat materi yang berasal dari ketentuan internasional (baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi) yang dianggap sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia pada ketentuan internasional yang sudah disepakati, dan merupakan salah satu bentuk Indonesia mengadopsi materi muatan internasional yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional meskipun Indonesia belum meratifikasi ketentuan internasional tersebut. Kebijakan terkait pengelolaan konservasi, perlindungan terhadap satwa liar, memperbaiki manajemen pengumpulan data dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya hayati Indonesia perlu dilakukan sebagai bentuk implementasi pelaksanaan materi muatan dalam CBD, Cartagena
Protocol,
Nagoya
Protocol,
CITES,
CCRF,
maupun
keanggotaan dalam IOTC. Kebijakan tersebut nantinya juga merupakan wujud pelaksanaan hak berdaulat Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungan. Pembuatan standar operasional prosedur maupun pengaturan terhadap tata niaga komoditas spesies liar penting untuk dilakukan dan merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai anggota CITES. Pola kebijakan pengelolaan sumber daya hayati yang diharapkan
dengan
pola
ko-manajemen.
Hal
ini
sesuai
dengan
implementasi CCRF, dimana pemerintah harus bekerjasama dengan pengusaha maupun nelayan, dalam rangka menjalankan kebijakan untuk melindungi atau membatasi penangkapan ikan yang disesuaikan dengan daya dukung sumber daya, juga dalam menjalankan kebijakan konservasi yang merupakan upaya pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan. Perbaikan
pada
sistem
pengumpulan
data
dan
manajemen
pengawasan, menetapkan dan menjalankan prosedur konservasi dan
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 128
pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan, serta meningkatkan upaya pengawasan dan penegakan hukum agar memberikan efek jera bagi pelanggar
hukum
diperlukan
sebagai
bentuk
implementasi
peran
keanggotaan Indonesia dalam IOTC. Pembuatan standar operasional prosedur terkait koordinasi antar kementerian dan lembaga yang memberikan pembinaan langsung pada pemerintah daerah di provinsi maupun di kabupaten/kota. Hal ini mengingat sikap pemerintah daerah yang membuat kebijakan dengan berdasarkan pada UU pembentuk daerah-daerah tersebut dan UU tentang pemerintahan
daerah,
mengingat
pemerintah
daerah
melakukan
koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terlebih dahulu, baru kemudian mengacu pada peraturan perundang-undangan lainnya
yang
terkait
dengan
pemanfaatan
sumber
daya
hayati
berkelanjutan. Implementasi nyata yang dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diuraikan secara umum dapat dilakukan dalam melakukan revisi materi muatan peraturan perundang-undangan terkait kebijakan pemanfaatan sumber daya hayati. Revisi peraturan ini merupakan hal yang utama untuk dilakukan Indonesia pada saat ini. Karena berdasarkan pada hasil kajian, peraturan yang mengatur tentang konservasi dan keanekaragaman hayati belum disesuaikan dengan perkembangan terbaru dari kebijakan perlindungan sumber daya hayati dunia. Dalam materi perubahan peraturan tersebut, perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi sehingga
dengan
peraturan
peraturan
perundang-undangan
perundang-undangan
yang
yang
akan
terkait,
dihasilkan
diharapkan tidak tumpang tindih dengan peraturan lain, akan tetapi saling melengkapi
dalam
memberikan
perlindungan
pemanfaatan sumber daya hayati berkelanjutan.
maksimal
pada
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 129
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Astuti, S.W. 2015. Reorientasi Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Kelautan Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Mendukung Visi Negara Maritim di Daerah. Diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Hukum Selat Universitas Maritim Raja Ali Haji. Vol.2. No.2. Edisi ke-4. Mei 2015. Hlm.382-392. ISSN 2354-8649. Bunga, G.A. 2015. Pembentukan Undang-Undang tentang Zona Tambahan sebagai Langkah Perlindungan Wilayah Laut Indonesia. Diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Hukum Selat Universitas Maritim Raja Ali Haji. Vol.2. No.2. Edisi ke-4. Mei 2015. Hlm.262270. ISSN 2354-8649. Dahuri, R.. 2005. 4 Potensi Ekonomi Kelautan. https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=rtKzV9nfNsTlvASZ4K zoDg#. Tanggal akses: 4 Juni 2016. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia. Laporan Akhir. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 101 hlm. Unpublished. Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. KEHATI. 2016. Rumusan Diskusi Pakar tentang Rancangan UndangUndang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Bahan dapat diunduh di link: kehati.or.id/images/publikasi/lainlain/RUUkonservasi_final.pdf
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 130
Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu). 2016. Daftar Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional. Diunduh pada link: www.kemlu.go.id/id/kebijakan/Documents/Keanggotaan_Indonesia_p ada _OI.pdf pada tanggal 1 Januari 2016. Konvensi Wina 1969. Koeshendrajana, S., R. Pramoda, A.N. Hadi, B.V. Indahyanti, R. Triyanti, A. Solihin, et. al. 2013. Kajian Aspek Hukum dan Manfaat RFMO dalam Meningkatkan Produksi Tuna. Laporan Teknis (Tidak Dipublikasikan). Jakarta: Balai Besar Penelitian Sosial dan EkonomiKelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Marfai, M.A. 2013. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 94 hlm. ISBN 979-420789-6. Mukhtar. 2008. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggungjawab. Unpublished. Diunduh dari http://www.goblue.or.id/wp-content/uploads/kode-etik-perikananyang-bertanggung-jawab.pdf Soekanto, S. dan S. Mamudji. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Santosa, M.A. 2016. Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan. Jakarta: as@prima pustaka. Cet.1. 318 hlm. ISBN 978-602-14145-7-6. Solihin, A. 2010. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan: Isu, Permasalahan, dan Telaah Kritis Kebijakan. Bandung: Nuansa Aulia. Cet.1. 150 hlm. ISBN 978-979-071-069-6. Tahar, A.M. 2015. Pengaruh Hukum Internasional terhadap Pembentukan Hukum Nasional. Diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Hukum Selat Universitas Maritim Raja Ali Haji. Vol.2. No.2. Edisi ke-4. Mei 2015. Hlm.227-237. ISSN 2354-8649. Wahjono, P. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ind Hill Co.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 131
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pembentukan DaerahDaerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. UU RI No.64 Tahun 1958. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 No...... Tambahan Lembaran Negara Nomor ........ United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia. UU RI No.1 Tahun 1973. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 No...... Tambahan Lembaran Negara Nomor ........ Undang-Undang Republik Indonesia tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. UU RI Nomor 5 Tahun 1983. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44 Tambahan Lembaran Negara Nomor ....... Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. UU RI No.17 Tahun 1985. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 No.76 Tambahan Lembaran Negara Nomor ........ Undang-Undang Republik Indonesia tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU RI Nomor 5 Tahun 1990. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. UU RI Nomor 5 Tahun 1994. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perairan Indonesia. UU RI No.6 Tahun 1996. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1942.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 132
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perikanan. UU RI Nomor 31 Tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU RI No.29 Tahun 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor ......, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ......... Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah. UU RI No.23 Tahun 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor ......, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ......... Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kelautan. UU RI No.32 Tahun 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No.294 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. LN RI No.32 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (sphyrna spp.) dari Wilayah
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 133
Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2011 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Terubuk. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (cheilinus undulatus). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Pari Manta. Keputusan Menteri Luar Negeri RI No.SK 1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Keanggotaan Indonesia serta Pembayaran Kontribusi Pemerintah pada Organisasi-organisasi Internasional.
L a p o r a n T e k n i s K a j i a n H u k u m | 134
LAMPIRAN Dokumentasi Kegiatan