KAJIAN ESSENSIALISME ATAS PENGGUNAAN BANTEN BURATWANGI LENGEWANGI PADA UPACARA PURNAMATILEM I N. Suparman Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email:
[email protected]
ABSTRAK PurnamaTilem berganti tiap-tiap 15 hari sekali. Setelah Purnama disebut Pangelong. Dua hari sebelum Tilem disebut Tiga Welas dan sehari sebelum Tilem dinamai Prawani. Setelah Tilem disebut Pananggal, dua hari sebelum Purnama disebut Tiga Welas, dan sehari sebelum Purnama disebut Purwani. Pada hari Purnama mayoga Sang Hyang Wulan (Candra) dan pada hari Tilem mayoga Sang Hyang Surya, jadi pada hari PurnamaTilem adalah hari-hari pasucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Wulan dan Sang Hyang Surya, sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Makna dari perayaan PurnamaTilem itu adalah memberikan tuntunan kepada umat akan kebesaran Tuhan yang dapat memberikan penerangan pada saat manusia dan dunia dalam keadaan kegelapan sebagaimana halnya matahari dan bulan menerangi bumi memberikan pengetahuan peraturan-peraturan yang baik untuk dapat ditaati, memberikan penerangan pada tiga jagat dengan sempurna dan bagi generasi muda untuk dapat menjadi putra yang baik dan soleh sehingga dapat membahagiakan keluarga dan semua orang.Bentuk banten/canangBuratwangiLengewangi menyerupai Canang Genten yang alasnya dipergunakan Taledan atau ceper yang di buat dari janur yang berbentuk segi empat yang masingmasing berisi Kojong/tangkih.Kojong 1 (satu) berisi Kojong beras dan kunir yang dihaluskan diisi air cendana. Kojong yang ke 2 (dua) berisi menyan malem/madu di campur minyak kelapa. Kojong yang ke 3 (tiga) minyak kelapa dicampur dengan kacang komak, ubi keladi yang digoreng dihaluskan dan dicampur dengan minyak kelapa.Banten Buratwangi Lengewangi memiliki fungsi sebagai berikut 1) berfungsi sebagai Korban suci (Yadnya), 2) berfungsi sebagai pengampunan, 3) berfungsi sebagai peleburan dosa, 4) berfungsi sebagai Penyucian. Dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan Banten Buratwangi Lengewangi juga memiliki fungsi tersendiri yang merupakan perwujudan sembah bakti kepada Tuhan yang Maha Esa beserta manifestasiNya.Banten Buratwangi Lengewangi juga memiliki makna yang tertuang dalam nilai pendidikan Tatwa dan nilai pendidikan Etika Yadnya yang terdapat pada Banten Buratwangi Lengewangi.. Kata Kunci: Essensialisme, Banten, Buratwangi, Lengawangi, Purnama Tilem 1. Pendahuluan Berdasarkan bunyi sloka pada pustaka suci Bhagawad Gita III. 10 bahwa Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta beserta isinya adalah karena Yadnya beliau, sehingga kelihatan ada kehidupan. Dan beliau selalu melakukan Yadnya untuk kepentingan ciptaannya, sedetik beliau tidak melakukan Yadnya dunia akan hancur dan kiamat (Pudja, 1998:76). Sesungguhnya Yadnya itu adalah mengandung pengertian yang amat luas, bukan saja Yadnya itu diartikan Upakara saja. WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
Melainkan Yadnya tersebut juga berarti segala bentuk berbuatan manusia yang berdasarkan atas kebajikan itulah Yadnya sesungguhnya. Upakara biasa diartikan Yadnya karena atas dasar perbuatan baik dan tulus iklas yang dilakukan oleh manusia khususnya umat Hindu sebagai korban suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa serta manifestasinya. Yang merupakan pertanda bahwa manusia lahir harus berkarma yang baik. Dengan demikian kita sebagai salah satu mahkluk ciptaan-Nya harus selalu berYadnya, dengan berYadnya telah mengandung makna 1
dan pengertian yang tinggi bahwa Yadnya itu adalah kebajikan, dan kebajikan itu sesungguhnya Dharma. Dengan melaksanakan Yadnya itu berarti kita kembali kehadapan sang pencipta. Karena Yadnya itu adalah Dharma. Sedangkan Sang Hyang Widhi Wasa adalah sumber dari Dharma tersebut. Upakara adalah bagian dari Yadnya yang secara nyata dapat disaksikan oleh mata terbuka, dan merupakan manifestasi dari perbuatan kebajikan (Subhakarma). Di tinjau dari tiga kerangka dasar agama Hindu yaitu adanya tattwa, etika dan upacara, dimana kerangka ini adalah merupakan cerminan dari Tri Angga Sarira dari manusia antara lain adanya badan atma yang bermanifestasi sebagai bahan mahat dan terminan menjadi Tattwa. Yang kedua adanya badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi sebagai budhi dan tercermin menjadi jasad tubuh (Panca Maha Bhuta) bermanifestasi sebagai ahamkara dan tercermin menjadi upacara / upacara (bersifat material). Semua mahkluk di dunia yang telah diciptakan, satupun tidak ada yang tidak menggunakan jasad (material) hanya bentuk dan sifat materialnya saja yang berbeda-beda sesuai dengan hasil perbuatan pada kehidupan yang terdahulu, dengan pengertian dan makna inilah bagi umat Hindu tidak boleh menterlantarkan masalah Upakara. Besar kecilnya perbuatan suatu Upakara tergantung dari tujuan dan kemampuan masing-masing umat, dengan suatu penilaian bahwa dari sudut kuantitas Upakara boleh ada perbedaan tetapi dari segi kualitasnya adalah sama, asal persembahan Upakara harus dilandasi oleh rasa tulus iklas dari hati nurani yang terdalam. Dalam Bhagawad Gita III, 12 disebutkan: Istan bhogan hi wo dwa dasyate yajna bhawitah tair dattan apradaya bhyao yo bhunkte stena ewa sah Bhagawad Gita, III. 12
2
Terjemahan : Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena Yadnyamu, sedangkan ia yang telah memproleh kesenangan tanpa memberi Yadnya sesuai, sesungguhnya adalah pencuri (pudja, 1998:78). Menyemak isi sloka di atas, telah memberikan petunjuk, bahwa setiap melaksanakan Yadnya sesuaikanlah dengan kemampuan jangan memaksakan diri, buatlah apa adanya, agar pelaksanaan Yadnya mendapatkan pahala. Manusia yang lahir ke dunia, sesungguhnya telah membawa hasil Karma Wasana dari kehidupan yang terdahulu. Hal ini harus disadari sehingga akan merasa tertarik untuk selalu berbuat kebajikan, agar dosa-dosa terdahulu bisa dikurangi atau dihilangkan sesuai dengan tujuan agama yaitu Moksa dan Jagatdhita. Melihat kenyataan yang ada masih ada umat Hindu yang belum mengenal jati dirinya sehingga keadaan yang demikian akan dapat mempengaruhi prilaku seperti dominant mencari kebutuhan duniawi atau memiliki pikiran kikir pada saat melakukan korban suci. Malahan ada yang terlintas di dalam pikirannya bahwa membuat suatu upacara yang agak besar dikatakan terlalu boros. Pikiran yang beginilah dikhawatirkan, sehingga akan dapat mengurangi arti dan nilai dari sudut persembahan Yadnya kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Belakangan ini malahan mengenai perbuatan Upakara (banten) menjadi pergunjingan diantara pro dan kontra tentang penetapan perbuatan upacara yang memiliki bentuk serta fungsi yang beraneka ragam sesuai dengan pelaksanaan upacaranya. Di pihak lain ada yang mengiginkan mengenai pembuatan Upakara itu cukup secara simpel saja seperti yang dipergunakan mengandung unsur : buah, daun, bunga, air dan api saja, WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
karena itu sudah dianggap cukup, dan ada lagi yang menginginkan pembuatan banten ditetapkan seperti biasa wujudnya untuk di pulau Bali. Berbicara tentang Upakara (banten) tidak bisa lepas dari simbol-simbol agama Hindu. Apabila kita amati secara saksama, maka ditemukan berbagai bentuk simbolsimbol agama Hindu yang sesungguhnya bermanfaat sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai simbol-simbol keagamaan itu dari bentuk dan bahannya yang sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks dapat dijumpai penjelasan dan keterangannya dalam Kitab Suci Weda dan susastra Hindu termasuk pula dalam berbagai lontar yang kini di warisi. Bentuk Arca,Pratima. atau simbol-simbol Ketuhanan dalam Hindu, tidak terlepas dari konsepsi penggambaran Tuhan Yang Maha Esa menurut kitab suci dan susastra Hindu lainnya yakni gambaran seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya baik benda langit, huruf-huruf dan bahkan berbagai sarana persembahan seperti banten. Semua simbol-simbol dalam agama Hindu dengan berbagai bentuk, wujud, nama dan fungsinnya mengandung arti untuk mendekatkan umat kepada yang dipuja, yakni Tuhan Yang Maha esa, manifestasinya para dewa, roh-roh suci para Rsi dan roh suci leluhur yang telah disucikan sesuai ajaran agama Hindu (Titib, 2000:49). Apa yang telah dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Luar Bali dalam pelaksanaan agama barulah sebagian besar pada tahap pembuatan Upakara-Upakara (banten), sedangkan pemahaman tentang fungsi dan makna tentang Upakara/banten itu belum begitu banyak. Demikian halnya tentang Banten Buratwangi Lengewangi yang banyak dipergunakan dalam upacara-upacara keagamaan bagi umat Hindu baik dalam upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya maupun Bhuta Yadnya. WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
Sementara penulis dapat amati bahwa dalam upacara Purnama dan Tilem dimana banten Buratwangi Lengewangi merupakan salah satu banten yang dipergunakan dalam kegiatan upacara tersebut, namun belum banyak Umat Hindu dapat memahami makna dari banten Buratwangi Lengewangi. Dalam tulisan ini khusus mengangkat satu bentuk banten saja yaitu: banten Buratwangi Lengewangi dalam upacara Purnama dan Tilem. Hal ini disebabkan begitu banyak bentukbanten yang ada sehingga penulis tidak mungkin akan dapat meneliti seluruhnya, ini disebabkan keterbatasan waktu, dana, serta kemampuan yang ada pada penulis. Perlu penulis kemukakan bahwa hari Purnama dan Tilem adalah hari suci yang datangnya bergantian setiap 15 hari sebagai payogan Ida Sang Hyang WidhiWasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Rwa Bhineda (Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra), yang oleh umat Hindu sudah sering dilaksanakan pemujaan baik dilingkungan rumah tangga, pura, kantor maupun disekolah-sekolah. Namun hal ini tidak banyak orang yang dapat memahami arti simbolik tentang hari Purnama dan Tilem itu. Mereka melaksanakan karena terdorong oleh suatu tradisi dalam lingkungan itu. Selain kurang memahami arti simbolik hari Purnama dan Tilem itu, juga banyak kurang memahami sarana Upakara yang digunakan dalam upacara Purnama dan Tilem khususnya banten Buratwangi Lengewangi. Banten Buratwangi Lengewangi adalah salah satu banten yang digunakan dalam upacara PurnamaTilem. 2. Hasil dan Pembahasan a. Makna Filosofi Hari Raya Semua agama di dunia ini memiliki harhari besar keagamaan, hari-hari besar tiap-tiap agama memiliki latar belakang tersendiri, ada berkaitan dengan kelahiran pendiri agama tersebut, ada berkaitan dengan tempat dimana suatu peristiwa keagamaan terjadi, ada pula yang berkaitan dengan penuangan 3
filosofiagama yang sangat tinggi untuk lebih mudah dipahami oleh umat kebanyakan. Pelaksanaan hari raya Hindu baik di India maupun di Indonesia selalu berkaitan dengan penyebaran filosofi agama yang bersumber pada kitab suci weda. Hakekat weda itulah yang dikemas dengan budaya agama yang merupakan hasil kreativitas manusia dengan mengambalkan perintah-perintah kitab sucinya sebagai sabda Tuhan. Secara garis besar disebutkan, hari raya memiliki berbagai fungsi religius yaitu pertama sebagai media pendekatan dan pelayanan kepada tuhan dan ciptaannya, kedua sebagai media untuk meningkatkan penyucian diri. Untuk mempertahankan eksistensi hari raya Hindu sebagai ritual yang bersumber dari weda maka kita harus mencegah pelaksanaan hari raya Hindu bersifat menduniawi supaya tidak kehilangan intinya. Bentuk luar pelaksanaan hari raya Hindu jangan sampai mengorbankan nilai-nilai intinya nilai spiritual dan nilai kebudayaan material yang dikandung oleh hari raya harus dijaga keseimbangan eksistensinya. Kedua-duanya tidak boleh saling mendominasi. Hari raya harus diarahkan untuk melakukan pendekatan yang multidimensional. Dengan meningkatkan pemahaman nilai-nilai filosofinya, akan membawa umat merasa dekat dengan Tuhan. Rasa dekat dengan Tuhan atau Brahman akan dapat mempertebal keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan. Kalau keyakinan kepada Tuhan sudah merupakan bagian yang integral (Brahman Hrdaya) dalam diri manusia, maka segala prilaku baik pikiran, kata-kata dan perbuatan akan selalu merupakan pengejawantahan dari keyakinan pada Tuhan. Di antara banyak Rerahinan atau hari raya yang dimaksud ada beberapa hari raya yang terpenting dan menonjol yang perayaannya dilakukan oleh umat bersama dan serentak dengan bentuk upacara dan tata upacara yang lebih menonjol pula. Perayaan itu dilakukan dengan semeriah-meriahnya 4
namun tidak mengabaikan kenikmatan serta kesungguhan sikap bhatin sebagai landasan dari perwujudan sembah bhakti sekala, terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, boleh kita Angayu Bagia (bersyukur) bahwa dengan serba kekurangan itu, kita sebagai umat tetap taat dan patuh terus melakukan Dharma Agama, metirtha, maturan, berhari raya dan lain sebagainya Menurut ajaran Hindu dijelaskan bahwa secara gugon tuwon, mengikuti suruhan dan petunjuk orang-orang dan leluhur sekedar taat saja memang baik, tetapi belum cukup, dan perlu disempurnakan lagi dengan pengetahuan/pengeweruh terhadap apa yang dilakukan. Dalam hal ini dimaksudkan, tahu/weruh. Apa arti dan apa tujuan serta bagaimana cara melakukannya yang sebaikbaiknya. Sehingga ketaatan bisa menjadi kemantapan. Sedangkan maksud dari persembahyangan dan penghprmatan terhadap hari raya itu adalah dengan laksana skala dan niskala guna mencapai tujuan Ada beberapa hari raya atau Rerahinan yang dimiliki oleh umat Hindu antara lain: 1. Rerahinan/Yadnya yang dilakukan tiap hari 2. Rerahinan/ Yadnya yang berdasarkan Tri Wara dengan Panca Wara 3. Rerahinan/Yadnya yang berdasarkan Sapta Wara dengan Panca Wara 4. Rerahinan/Yadnya yang berdasarkan pawukon. 5. Rerahinan/Yadnya yang berdasarkan Pasasihan Dalam pembahasan ini khusus membahas Rerahinan/Yadnya yang berdasarkan pasasihan yaitu : hari Purnama dan Tilem. Purnama dan Tilem berganti tiaptiap 15 hari sekali. Setelah Purnama disebut Pangelong. Dua hari sebelum Tilem disebut Tiga Welas dan sehari sebelum Tilem dinamai Prawani. Setelah Tilem disebut Pananggal, dua hari sebelum Purnama disebut Tiga Welas, dan sehari sebelum Purnama disebut Purwani (Tim, tt:5)
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
Pada hari Purnama mayoga Sang Hyang Wulan (Candra) dan pada hari Tilem mayoga Sang Hyang Surya, jadi pada hari PurnamaTilem adalah hari-hari pasucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Wulan. Bagi orang-orang berilmu pada hari itu patut menyucikan diri (mahening-hening) dan mengadakan pemujaan kepada Dewa-dewa dan Bhatara, dilakukan di Sanggah Pamerajan dengan sarana bunga-bunga harum dengan tirta. Hari Purnama yang diistimewakan oleh Umat Hindu adalah 1. Purnama Kapat, 2. Purnama Kadasa. Pada Purnama kapat beryogya (turun) Sang Hyang Parameswara atau dewa Puru Sangkara, di iringi oleh para dewa-dewa widyadara-widyadari dan para Rsi Gana. Widhi widhananya (aturan) sesajen serba pawitra (suci) kehadapan sang Hyang Wulan (dewanya bulan). Dihaturkan penek kuning, prayascita, dan pesucian dengan lauk daging ayam putih siungan. Pada hari Purnama kedasa adalah turunnya Sang Hyang Sunya Mertha di Sad Kahyangan. Pada hari ini umat Hindu di Bali memuja/ngastitikawitannya di sanggah/kemulan di Sad Kahyangan. Wiceca atau kahyangan tiga. Widhi widhananya suci daksina, peras, pajegan perangkatan, awakya olah-olahan serba suci, ajengan, canang Buratwangi Lengewangi atau bunga-bunga, yang harum serta buah-buahan dan penyucian selengkapnya. Untuk di halaman/natah segehan agung. Nasi sasih 6 tempat/tanding miwahjae. Hari Tilem yang istimewa bagi umat Hindu adalah: 1. Tilem Kapat, 2. Tilem Kepitu, 3. Tilem Kesanga. Pada Tilem kapat, dilakukan penyucian batin (amupug raga wighna ring sarira). Kehadapan widhyadara-widhyadari di haturkan, sesayut widhadari. Pada Tilem kepitu berkaitan dengan Ciwa Ratri yaitu payogan Sang Hyang Siwa. 4. Tilem Kesanga adalah hari pesucian dewa-dewa yang berada dipusat samudra yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kaman Dalu) ini
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
berkaitan dengan tawur agung kesanga sebagai tutup tahun caka, (tun, tt:33-36). Dalam lontar Sundarigama diuraikan sebagai berikut: Mwang ana we utama, parisikanira Sang Hyang Rwa Bhinedha medadi sang Hyang surya Candra, atita tunggal weka pwang Purnama mwang Tilem, yan Purnama Sang Hyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sang Hyang Surya ayoga, ring samana ika, para purohita kabeh tekeng wong sahawenanganiya sayogya ahening-hening adnyana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa dewa, pelakunya ring sanggar, parhyangan, matirtha gocara, puspa wangi. Penjelasannya: Ada juga yang lebih utama, perwujudan Sang Hyang Rwa Bhinedha menjadi Sang Hyang Surya Candra, beliau tunggal, satu yang dipuja baik Purnama maupun Tilem, kalau PurnamaSang Hyang Wulan beryoga, dan Tilem Sang Hyang Surya beryoga. Pada saat hari Purnama dan Tilem semua pendeta maupun semua umat berkewajiban menyucikan diri dengan pikiran dan mempersembahkan banten/canangwangiwangian seperti canang/banten Buratwangi Lengewangi, canang biasa dipersembahkan kepada semua dewa, yang bertempat disanggah, parhyangan, memohon tirtha yang telah disucikan yang diisi dengan bunga yang harum. Sebagai telah kita maklumi bersama, bahwa Dewa Yadnya dan Yadnya lainnya yang tergolong di dalam Panca Yadnya, dalam rangkaian pemujaannya selalu diiringi dengan berbagai jenis peralatan atau perlengkapan yang dinamakan banten atau bebenten. Memuja dengan bebanten, hal ini mengandung maksud mencapai suatu tujuan dengan teratur dengan mempergunakan alat peraga. Jadi bebanten itu bagi Umat Hindu adalah alat peraga yang mengandung inti ajaran yang bernilai sangat tinggi, yang memegang peranan sangat penting dalam melakukan Yadnya.
5
Bagi umat Hindu yang mengerti dengan baik tentang arti dan makna banten pasti akan menaruh penghargaan yang sangat tinggi terhadap bebanten dan mengingat pentingnya persoalan yang menyangkut tentang bebanten ini, yang tidak dapat dipisahkan dengan pelaksanaan berbagai Yadnya. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa hari Purnama dn Tilem itu merupakan salah satu hari raya Umat Hindu yang dikeramatkan sebagai pemujaan Sang Hyang Widhi dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Candra yang memberikan penerangan dan kesejukan bagi umatnya sebagai disebutkan dalam Kakawin Nitisastra Sargah IV Sang hyang candrateranggana pinaka dipa mamadangi ri kala ning wengi Sang hyang surya sedeng prabasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala Widya sastra suDharma di panikanang tri bhuwana sumena prabhaswara yan ing putra suputra sadhu gunawan, mamadangi kula wadhu wandhawa. Artinya: Bulan dan bintang memberi penerangan diwaktu malam, matahari bersinar menerangi bumi pengetahuan, pelajaran dan peraturanperaturan yang baik menerangi tiga jagat dengan sempurna. Putra yang baik soleh dan pandai membahagiakan kaum sekeluarga. b. Bentuk Banten Buratwangi Lengewangi dalam Upacara PurnamaTilem Bentuk Banten Buratwangi Lengewangi seperti canang genten yang alasnya dipergunakan Taledan atau ceper, yang dibuat dari janur yang berbentuk segi empat, yang diatasnya diisi, Pelawa (daun-daunan) porosan yang terdiri dari satu/dua potong Sirih diisi kapur dan pinang lalu dijepit dengan sepotong janur dan isi dengan sampian uras sari di tambah dengan tiga Kojong atau tangkih. Ketiga Kojong/tangkih tersebut masingmasing berisi: Buratwangi satu Kojong /tangkih dan Lengewangi dua Kojong/tangkihBuratwangi 6
dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan di campur dengan air cendana atau majegau, ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lengewangi dibuat dua jenis: 1. Lengewangi yang berwarna keputih-putihan dibuat dari menyan malem (sejenis lemak pada sarang lebah) dicampur dengan minyak kelapa. 2. Lengewangi yang berwarna kehitamhitaman di buat dari minyak kelapa di campur dengan kacang putih (komak) yang digoreng sampai gosong lalu di haluskan, ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi keladi yang digoreng sampai gosong. (Mas Putra, 1982:19). Dalam buku Upakara Upacara Yadnya di jelaskanbanten/canangBuratwangiLengewangi lebih lengkap dari pada canangGenten karena ditambah lagi dengan tepung, biu emas, tebu. Banten ini disamping, menggambarkan Sang Hyang Tri Murti juga menggambarkan Sang Hyang Tri Purusa yaitu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menguasai Tri Bhuwana (Bhur, Bwah, Swah) dalam buku Burat Upakara, Upacara YadnyaBuratwangi merupakan campuran dari akar-akaran, dari kulit-kulit kayu yang harum seperti cendana, majegau, sedangkan Lengewangi yang terdiri dari dua jenis yang hitam dan yang putih. 1. Yang hitam adalah campuran dari minyak kelapa dan arang dari bunga-bungaan kering yang dibakar. 2. Yang putih adalah campuran dari minyak kelapa dan malem yang terdapat pada lebah dan menyan. Bentuk banten/canangBuratwangiLengewangi adalah sebagai berikut: alasnya dipergunakan Taledan di tambah dengan Tri Kona yang isinya (raka) tebu, pisang, tape dan mangka tadah sukla (pisang megoreng), ubi keladi, nyah-nyah geringsing (ketan menyah-nyah), berisi porosan daun kayu tubungan base tampel dan diatasnya berisi sampiyan uras. Buratwangi satu tangkih yang dibuat dari beras di campur kunir yang dihaluskan. Lengewangi yang putih WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
dibuat dari menyan minyak madu. Dan Lengewangi yang hitam di buat dari akarakaran yang harum dibakar sampai hangus, dan dihaluskan dicampur dengan minyak kelapa. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk banten/canangBuratwangiLengewangi menyerupai Canang Genten yang alasnya dipergunakan Taledan atau ceper yang di buat dari janur yang berbentuk segi empat yang masing-masing berisi Kojong/tangkih. Kojong 1 (satu) berisi Kojong beras dan kunir yang dihaluskan diisi air cendana. Kojong yang ke 2 (dua) berisi menyan malem/madu di campur minyak kelapa. Kojong yang ke 3 (tiga) minyak kelapa dicampur dengan kacang komak, ubi keladi yang digoreng dihaluskan dan dicampur dengan minyak kelapa sampai gosong di atas Taledan/ceper diisi porosan sampian uras dan bunga-bunga yang harum. Kojong yang ke empat berisi nyah-nyah gringsing yaitu beras ketan yang digoreng di isi gula merah. Kojong yang ke lima adalah berisi wadah sukla yaitu pisang mentah yang digoreng sampai kering. c. Fungsi Banten Buratwangi Lengewangi Dalam Upacara Purnama Dan Tilem. Disamping dalam bentuk banten yang telah Dijelaskan diatas dalam sub bab ini juga dibahas tentang fungsi banten khususnya banten/canangBuratwangiLengewangi.Sebelu m membicarakan fungsi banten Buratwanngi Lengewangi tersebut secara umum dapat penulis uraikan tentang fungsi Banten Buratwangi Lengewangi sesuai dengan tujuan dan persembahannya antara lain : 1.Banten Buratwangi Lengewangi sebagai bentuk korban suci, 2. Banten Buratwangi Lengewangi sebagai sarana pengampunan, 3 Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai penyupatan/pengeruat, 4. Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai sarana Penyucian.
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
1. Banten Buratwangi Lengewangi sebagai bentuk korban suci Banten Buratwangi Lengewangi sebagai bentuk korban suci dimaksudkan adalah mengandung pengertian yang bertitik tolak terhadap si pelaksanaannya (Sang Yajamana) tentang memiliki suatu tanggung jawab dan kewajiban atas diri pribadi terhadap pembinaan moral spritualnya, baik terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun terhadap alam lingkungannya. Oleh karena itu setiap pembuatan banten harus selalu dilandasi oleh ketulusan hati yang terdalam. Banten Buratwangi Lengewangi dapat dipersembahkan pada piodalan di Pamerajan, piodalan di Sad Kahyangan, Piodalan di purapura dan lain-lainnya. 2. Banten Buratwangi Lengewangi sebagai sarana Pengampunan Banten Buratwangi Lengewangi sebagai sarana Pengampunan maksudnya adalah menyangkut tentang kesalahan yang diperbuat sehubungan dengan spiritual baik secara sadar maupun tidak sadar. Disamping pandangan dari spiritual agar mampu meningkatkan diri, terhindar dari perbuatan tercela dalam berkama pada sudut yang lain untuk menghilangkan tekanan jiwa (stress) akibat dari perbuatan yang salah. Misalanya melaksanakan Upakara penebusan, Upakara pawetonan, Upakara guru piduka, termasuk Upakara pembayaran sesangi dan sebagainya. 3. Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai penyupatan/ pengeruat Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai penyupatan/pengeruat maksudnya adalah mempunyai fungsi menetralisir atau menormalisasikan kembali ketidak seimbangannya manusia terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, lingkungan serta antara manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Benten ini juga mengandung kemujizatan dalam hal mempercepat proses penyembuhan. Contohnya: Upakara pengadeg semaya, 7
Upakara Pale Labanan dan Upakara untuk melekat. 4. Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai sarana Penyucian. Banten Buratwangi Lengewangi berfungsi sebagai sarana Penyucian baik terhadap bhuwana agung maupun bhuwana alit yang memiliki fungsi tujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan serta keserasian dari ketiga hubungan seperti petunjuk dalam ajaran Tri Hita Karana, di samping itu mengembalikan kesuciannya secara evolosi baik terhadap alamnya maupun terhadap isinya diciptakan atas kesucian sang pencipta yang diharapkan kembalinya nanti juga menuju kealam yang maha suci (Nirwana). Dengan demikian semua umat manusia di dunia khususnya umat Hindu di tuntun oleh ajaran agama agar mampu meningkatkan kesucian selama di dunia ini yang mengakibatkan lunturnya kesucian semua, ia adalah hukum samsara. Hukum itu ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa sematamata hanya untuk menguji keimanan manusia, bahwa sampai dimana manusia mengetahui jati dirinya, untuk mencapai baik tentang kesucian dirinya maupun penyucian lingkungannya. Tidak ubahnya seperti sebuah berlian dalam lumpur, kalau berliannya diangkat maka berlian tetap bersih namun lumpur tidak pernah melekat pada berlian tersebut. Pasang putih tulianikang mala ngeiput luput sirang sadhu, Yaken pasang tuju tujung sukang ke, mamunuh taman mulih, Mulih sireng moksa, lepas rikang mulih. (Ramayana, 85,708) Artinya: Selama hidup di dunia perhatikan dan tingkatkan kesucian karena di dunia ini penuh dengan pengaruh yang memiliki kekuatan untuk menyeret kearah kekotoran (Sudarsana,2000:45). 8
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan Banten Buratwangi Lengewangi juga memiliki fungsi, antara lain:1) Taledan yang berbentuk segi empat memiliki fungsi sebagai simbol Catur Loka, 2) Tri Kona berfungsi sebagai simbul Tri Murti,3) Pelawa berfungsi sebagai simbul ketenangan hati, 4) Sirih berfungsi sebagai simbul dari Hyang Wisnu, 5) Kapur berfungsi sebagai simbul Hyang Siwa, 6) Buah/pinang berfungsi sebagai simbul Hyang Brahma, 7) Tali porosan dengan ujungnya runcing berfungsi sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa, 8) Sampiyan uras sari berfungsi sebagai simbul Kaligrafi (Aksara Dewa Negari), 9) Bunga menggambarkan hati yang tulus iklas dan suci, 10) Pandan harum/bau yang harum sebagai perangsang untuk memusatkan pikiran kearah kesucian. Menyan melambungkan Hyang Siwa Majegau, melambungkan Hyang Sada Siwa, cendana melambungkan Hyang Parama Siwa, beras merupakan sumber pokok kehidupan warna kuning melambungkan kemakmuran. d. Makna Banten Buratwangi Lengewangi Dalam Upacara Purnama Tilem Berdasarkan fungsi Banten Buratwangi Lengewangi diatas dapat dijelaskan makna dari isi Banten Buratwangi Lengewangi yang akan dipaparkan melalui nilai Pendidikan Tatwa yang terdapat dalam Banten Buratwangi Lengewangi dan nilai Pendidikan Etika Yadnya dalam Banten Buratwangi Lengewangi. 1. Nilai Pendidikan Tatwa dalam Banten Buratwangi Lengewangi Nilai Tatwa dalam Banten Buratwangi Lengewangi antara lain: a) Taledan berbentuk segi empat yang berfungsi sebagai simbol Catur Loka memiliki makna sebagai tempat kehidupan(sudarsana,2000:24) b) Porosan silih asih terdiri dari dua potong Sirihkapur parang yang dijepit dengan WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
janur berfungsi sebagai simbol Sang Hyang Semara Ratih, yang memiliki makna Rwabhineda, seperti siang malam, laki perempuan, baik dan buruk. c) Buratwangi yang terdiri atas beras, kunir dihaluskan dicampur dengan air cendana berfungsi sebagai bedak (kosmetika) yang memiliki makna sebagai alat kecantikan. Seseorang senang terhadap kecantikan baik cantik rohani maupun jasmani di katakan pula bahwa sebelum ada alat kosmetik modern pada jaman dahulu orang membuat alat kecantikan dengan menggunakan sarana seperti dalam Banten Buratwangi Lengewangi. d) Lengewangi yang putih (minyak wangi) yang dibuat dari menyan malem, sejenis minyak pada sarang lebah dicampur dengan minyak kelapa berfungsi sebagai Hyang Siwa, memiliki makna sebagai pembersih/pengharum badan yang seperti sekarang disebut dengan hand body. Menurut beberapa informan pada jaman dahulu umumnya pada kalangan wanita terutama gadis-gadis banyak menggunakan bahan-bahan seperti menyan malem dicampur minyak kelapa untuk menghaluskan badan dan kulitnya. e) Lengewangi yang hitam, yang terdiri dari minyak kelapa yang dicampur dengan kacang komak, ubi keladi yang digoreng dan dihaluskan, ini memiliki makna sebagai penghitam rambut. 2. Nilai Pendidikan Etika Yadnya Dalam Banten Buratwangi Lengewangi Di dalam slokantara di uraikan sebagai berikut: “Surasi twaramapi sarasi”. “Yasna Cata twaramapi Putrah”. “Putra ya Catam twaramapi Satyam”. Artinya: Kupa adalah nama sumur, sara nama telaga, orang-orang yang berjasa membuat seratus buah sumbur, kalah pahalanya dari pada orang WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
yang berjsa membuat sebuah telaga. Ada orang yang berjasa membuat sebuah telaga. Ada orang yang berjasa membuat telaga seratus, kalah pahalanya dengan jasa orang membuat Yadnya. Adapun orang yang mengadakan Yadnya seratus kali, kalah pahalanya dengan seorang putra yang baik, apalagi putra itu dapat membuat Acwamedha Yadnya (korban kuda) dan melaksanakan Tapa, Brata, Yoga Samadhi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara Yadnya sangat mengutamakan pendidikan. Yadnya merupakan alat untuk mendidik putraputri agar memiliki budi pekerti yang luhur. Yadnya banyak memberi jalan sehingga putraputri bisa menjadi orang baik-baik di masyarakat.Pelaksanaan upacara Yadnya memang sewajarnya harus dapat mengimbangi perkembangan jiwa generasi yang lebih muda, untuk tetap di didik diantarkan oleh Dharma. Pelaksanaan upacara Yadnya tetap memegang peranan utama untuk membawa jiwa kegotong royongan umat Hindu untuk mendidik masyarakat agar tetap menyadari tentang keagungan dan kemaha kuasaan Tuhan.Pelaksanaan upacara Yadnya yang baik, memungkinkan tumbuh berkembangnya putraputri yang budiman dan gunawan. Putra-putri yang budiman dan gunawan akan selalu berpegang pada prinsip-prinsip Dharma. Mereka akan berpegang teguh pada kebajikan (Dharma) dan kebenaran (Satya). Dharma dan Satya itu akan di junjungnya tinggi-tinggi, Dharma dan Satya itu akan di taruh pada garis hidupnya yang terpendam. Prinsip-prinsip Dharma dan Satya ini akan menjamin tetap berlangsungnya pelaksanaan upacara Yadnya yang baik. Demikian Yadnya dipandang dari segi pendidikan satu dengan yang lainnya saling bantu-membantu dan sama-sama berkepentingan. Di dalam buku Yadnya dan Bhakti Dijelaskan bahwa hari raya Hindu merupakan media pendekatan dan pelayanan yang Multidimensional yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa Pitara, sesama manusia 9
dalam berbagai peran dan fungsinya, alam dan Sarwa Prani (semua mahluk hidup) untuk pemahaman dan pelestarian (Wiana, 1995:5859). Untuk mempertahankan eksistensi hari raya Hindu termasuk di dalamnya PurnamaTilem sebagai hari raya ritual yang bersumber dari Weda, maka kita harus mencegah pelaksanaan hari raya Hindu yang bersifat menduniawi supaya tidak kehilangan intinya. Bentuk luar pelaksanaan hari raya Hindu jangan sampai mengorbankan nilai-nilai intinya. Nilai spiritual dan budaya material yang dikandung oleh hari raya harus dijaga keseimbangan eksistensinya dan kedua-duanya harus saling mendominasi. Inilah nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam pelaksanaan hari raya Hindu khususnya dan salah satunya yaitu Purnama dan Tilem. Perayaan PurnamaTilem sebagai salah satu hari raya suci Hindu dapat menggunakan banten di antaranya “BuratwangiLengewangi”. Sebelum melaksanakan persembahyangan, kita harus melaksanakan pembersihan (Sauca) baik jasmani (Angga Sarira) jiwa (Atma Sarira) dan segala peralatan sarana yang dipergunakan dalam persembahyangan. Sebagaimana Dijelaskan dalam buku Yadnya dan Bhakti manusia lahir kedunia sudah lengkap diberikan jasmani dengan lima unsur (Panca Maha Bhuta) dan rohani seperti Citta, Indria dan Tammatra. Pertemuan unsur jasmani (Predana) dan rohani (Purusa) menyebabkan adanya aktivitas dalam hidup. Aktivitas hidup ini menimbulkan dua akibat Subha Karma dan Asubha Karma. Subha Karma yaitu perbuatan baik dan merupakan untuk yang membawa manusia pada penyucian sedangkan Asubha Karma akan membawa manusia pada dosa atau kotornya kehidupan ini. Penyucian dengan harapannya juga di kandung dalam kegiatan upacara agama atau hari raya Hindu. Dalam ManawaDharma Sastra di sebutkan penyucian atau pembersihan itu yaitu: 10
Adbhur gatrani suddhyanti, manah satyena suddhyanti. Widya tapo bhyam bhutatma buddhir jnana suddyati. (Manawa Dharma Sastra V. 109) Artinya: Tubuh disucikan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kebenaran (Satya) atma disucikan dengan tapa brata, budhi di sucikan dengan ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan hari raya Hindu umat melakukan unsur penyucian tersebut secara fisik, penyucian diri dilakukan selain mandi dengan bersih, juga dengan berpakaian yang lebih bersih dan rapi. Kebersihan fisik merupakan suatu hal yang penting dalam merayakan hari raya agama. Selain untuk memelihara kesehatan kesegaran dan kenyamanan, juga membawa dampak positif bagi orang lain yang memandangnya(Wiana, 1995:66-67). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perayaan hari PurnamaTilem yang dilengkapi dengan sarana banten/canangBuratwangiLengewangi memiliki nilai-nilai pendidikan yang sangat luhur sebab di samping mendidik umat untuk dapat ingat dan patuh terhadap ajaran agama terutama ingat kepada Sang Pencipta atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa juga senantiasa untuk menjaga kesucian diri (Angga Sarira) dan juga jiwa (Stula Sarira). Dalam kegiatan PurnamaTilem itu banten/canangBuratwangiLengewangi merupakan sarana pembersihan diri/Angga sarira dan juga Stula Sarira termasuk juga sarana Upakara yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena itulah nilai-nilai yang terkandung dalam sarana upacara dalam harihari suci agama Hindu khususnya Purnama dan Tilem perlu ditaati dan dilestarikan. 3. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PurnamaTilem berganti tiap-tiap 15 hari sekali. Setelah Purnama WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
disebut Pangelong. Dua hari sebelum Tilem disebut Tiga Welas dan sehari sebelum Tilem dinamai Prawani. Setelah Tilem disebut Pananggal, dua hari sebelum Purnama disebut Tiga Welas, dan sehari sebelum Purnama disebut Purwani. Pada hari Purnama mayoga Sang Hyang Wulan (Candra) dan pada hari Tilem mayoga Sang Hyang Surya, jadi pada hari PurnamaTilem adalah hari-hari pasucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Wulan dan Sang Hyang Surya, sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Makna dari perayaan PurnamaTilem itu adalah memberikan tuntunan kepada umat akan kebesaran Tuhan yang dapat memberikan penerangan pada saat manusia dan dunia dalam keadaan kegelapan sebagaimana halnya matahari dan bulan menerangi bumi memberikan pengetahuan peraturan-peraturan yang baik untuk dapat ditaati, memberikan penerangan pada tiga jagat dengan sempurna dan bagi generasi muda untuk dapat menjadi putra yang baik dan soleh sehingga dapat membahagiakan keluarga dan semua orang. Bentuk banten/canang Buratwangi Lengewangi menyerupai Canang Genten yang alasnya dipergunakan Taledan atau ceper yang di buat dari janur yang berbentuk segi empat yang masing-masing berisi Kojong/tangkih.Kojong 1 (satu) berisi Kojong beras dan kunir yang dihaluskan diisi air cendana. Kojong yang ke 2 (dua) berisi menyan malem/madu di campur minyak kelapa. Kojong yang ke 3 (tiga) minyak kelapa dicampur dengan kacang komak, ubi keladi yang digoreng dihaluskan dan dicampur dengan minyak kelapa.Banten Buratwangi Lengewangi memiliki fungsi sebagai berikut 1) berfungsi sebagai Korban suci (Yadnya), 2) berfungsi sebagai pengampunan, 3) berfungsi sebagai peleburan dosa, 4) berfungsi sebagai Penyucian. Dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan banten Buratwangi Lengewangi juga memiliki fungsi tersendiri yang merupakan perwujudan sembah bakti WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
kepada Tuhan yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya.Banten Buratwangi Lengewangi juga memiliki makna yang tertuang dalam nilai pendidikan Tatwa dan nilai pendidikan Etika Yadnya yang terdapat pada Banten Buratwangi Lengewangi. DAFTAR PUSTAKA Badja Made. 1990. Manggala Upakara. Denpasar : BP Dinas Agama Hindu dan Budha. 1972. Daging Sundari Gama. Singaraja: TP Frans Vreede, 1993, Intisari Filsafat Hindu. Denpasar: Sidanta Geertz Clifford. 1999. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisisus. Hendropuspito,D. 1984. Sosiologi Agama. Malang: Kanisisus. Koentjaraninggrat. 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Rakyat -----------------, 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Netra Ida Bagus. Metodologi Penelitian. Biro Penerbitan Fakultas Pendidikan Universitas Udayana: Singaraja. Noeng, Muhadjir, 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit ; Rake Sarasin Pudja, Gede. 1997. Theologi Hindu. Jakarta: Maya Sari ----------------, 1998. Bhagawad Gita. Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Putra tt. Cundamani. Denpasar:TP ----------------, 1973. AUM Kitab Suci Kusuma Dewa. Denpasar: Morodadi. Sri Rashi Ananda Kusuma. 1979. Wariga Dewasa. Denpasar: Morodadi Sudarsana I Bali P. 2000. Ajaran Agama Hindu (Makna Upacara Pawetonan). Denpasar: Y.D.A ---------------, 2000. Ajaran Agama Hindu (Filsafat Yadnya). Denpasar: Y.D.A. Sujna I Made. Susila I Nyoman. 2000. Manggala Upakara. Jakarta: Dirjen Bimas Hindu dan Budha Suardana, I ketut, Gede Ngurah Sumpena. 1993. Metodelogi Penelitian. Denpasar: STAHN Tri Guna Yudha. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma Tjateng I Nyoman. 1969. Upacara Yadnya. Singaraja: Kadis Hindu Budha
11
Wiana Ketut. 1995. Yadnya dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: Manik Geni --------------, 1992. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Narada
12
Wiana, Krisnu, Tjok Raka, Sindhu BA I Made. 1985. Acara III. Jakarta: CPU Tight Mayasari
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015