KAJIAN DAMPAK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN JARINGAN TRANSMISI LISTRIK TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
ARIFIN MUHTAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalm teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015
Arifin Muhtar NIM PO52110324
RINGKASAN ARIFIN MUHTAR. Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan HARIYADI. Pembangunan jaringan transmisi diperlukan untuk meningkatkan distribusi ketersediaan tenaga listrik. Kegiatan ini membutuhkan lahan untuk pembangunan pondasi tower, oleh karena itu perlu dilakukan pembebasan lahan pada area terkena tower. Dalam pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak yang melintasi lima desa dan tujuh kelurahan di lima kecamatan dalam Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, lahan milik masyarakat yang dibebaskan adalah seluas 8.690 m2 dengan jumlah pemilik sebanyak 94 orang. Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi; mengkaji perubahan jenis mata pencaharian pemilik lahan dan tingkat penghasilan dengan beralihnya hak pemilikan lahan dari pemilik lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat, dan mengkaji alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan kegiatan pembebasan lahan. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei dan wawancara terhadap 60 responden pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan. Analisis data perubahan jenis mata pencaharian dan pengkajian alternatif solusi dampak pembebasan lahan dilakukan dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Kajian perubahan tingkat penghasilan dilakukan dengan loos of earnings, sedangkan kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga ganti rugi lahan menggunakan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pembebasan lahan sebagai bagian dari pembangunan jaringan transmisi menyebabkan munculnya berbagai masalah, yaitu: menyebabkan hilangnya tempat tinggal bagi 3,33 persen responden sehingga harus direlokasi ke daerah lain, menyebabkan hilangnya 16,63 persen lahan pertanian masyarakat yang terkena pembangunan tower jaringan transmisi, dan menyebabkan terjadinya konflik dalam internal keluarga sebesar 5,00 persen responden dalam hal pembagian uang ganti rugi yang diterima. Perubahan jenis mata pencaharian akibat pembebasan lahan dialami oleh responden yang menjadikan lahan sebagai modal utama usahannya, yaitu petani (6,67 persen), pemilik usaha warung kelontong dan warung makan minum (3,33 persen), serta pemilik usaha kontrakan rumah (3,33 persen). Perubahan jenis mata pencaharian ini menyebabkan kehilangan penghasilan terhadap 26,67 persen responden, dengan total kehilangan penghasilan sebesar Rp. 6.605.000,- per bulan
atau rata-rata sebesar Rp. 412.813 per bulan per responden. Model ganti rugi lahan yang terkena jaringan transmisi memiliki R-Square (adj) sebesar 73.9 persen, dengan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi adalah: NJOP tanah, harga pasar tanah, dan luas pemilikan tanah responden, dengan tingkat signifikansi masing-masing 0,000. Hasil uji asumsi klasik membuktikan bahwa model regresi yang dibangun sesuai dengan kaidah ekonometrika adalah baik tanpa ada autokorelasi, multikolinierisasi, heteroskedastisitas, juga data tersebar secara normal. Untuk meminimalkan dampak pembebasan lahan perlu diperhatikan tentang bagaimana kelanjutan usaha ekonomi masyarakat yang mengandalkan tanah sebagai modal utama usahanya dan bagaimana nilai ganti rugi yang ditetapkan harus memenuhi aspek ketaatan kepada perundang-undangan dan musyawarah dengan masyarakat pemilik lahan.
Kata kunci: pembebasan lahan, jaringan transmisi, perubahan mata pencaharian, kehilangan penghasilan
SUMMARY ARIFIN MUHTAR. Impact Assessment on Land Acquisition of Transmission Line Development toward Socio-economic Conditions of Society. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and HARIYADI. Development of transmission line are needed to improve the availability of electric power distribution. This development require land for the tower foundation construction, therefore it is necessary for land acquisition in the affected area tower. The 150 kV Depok-Kedung Badak Transmission Line crosses 12 villages in 5 districts in from Depok regency to and Bogor regency, and 8.690 m2 land area owned by 94 people. The objectives of study were to analyze: problems caused by land acquisition; the changes of livehood and income caused by land acquisition; factors affected price of land compensation; and to analyze alternatives solution to minimize impact of land acquisition. Data used in this study are primary and secondary data. Primary data was collected through survey and interview 60 respondents landowners affected by land acquisition. The data analysis of livelihood changes and alternative solutions to minimize land acquisition impact are using qualitative descriptive. The loss of income is used to analyze decreasing of income caused by land acquisitoned. The multiple linear regression is used to see factors that influenced the price of land compensation. The result of study showed that the transmission lines development the emergencing of various problems, namely: (a) land acquisition is causing the loss of home for 3,33 percent of respondents that had to be relocated to other areas, (b) land acquisition is causing the loss of 16,63 percent agricultural land owned by community that affected by the transmission line, (c) land acquisition is causing internal conflict within the family of 5.00 percent respondents in terms of the distribution of compensation money received. The land acquisition causes change of livelihood of farmers (6,67 percent), owners of grocery shop and drink stalls business (3.33 percent), and business owners of rental house (3,33 percent). This causes loss of earning for 26.67 percent respondent, with the total loss of earnings of IDR 6,605,000 per month or an average of IDR 412,813 per month per respondent. The regression model of land compensation price has R-Square (adj) 73,9 percent, with the factors that significantly affect the value of land compensation are: NJOP land, market price of the land, and the size area of respondents landholding, with a significance level of each respectively 0,000. The result of classical assumption test proves that the regression model is built in accordance with the rules of econometrics is good with no autocorrelation, no multicollinieraty, no heteroscedasticity, and the data is also distributed normally.
To minimize the land acquisitioned impact should be noted about how the continuation of economic enterprise communities that rely on land as the main capital of the business, and how the compensation value specified must meet the aspect of obedience to the law and agreement with the land owners. Key words: land acquisition, transmission line, change of livelihood, loss of earnings
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN DAMPAK PEMBEBASAN LAHAN PEMBANGUNAN JARINGAN TRANSMISI LISTRIK TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
ARIFIN MUHTAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Judul Tesis : Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Nama : Arifin Muhtar NIM : PO52110324
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi Ketua
Dr Ir Hariyadi, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 24 Oktober 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan mengucap syukur alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Tema tesis ini dilatarbelakangi dan dipilih setelah penulis ikut menjadi penyusun dalam beberapa studi analisis dampak lingkungan hidup dimana kegiatan pembebasan lahan hampir selalu menjadi dampak penting dalam setiap kajian dampak lingkungan kegiatan pembangunan baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta. Meski menyebutkan sebuah BUMN sebagai subyek pelaksana pembebasan lahan dalam tesis ini namun penulis tidak memiliki kaitan dan kerjasama dengan BUMN tersebut baik dalam proses penelitian hingga penulisan tesis ini. Penelitian ini murni dibiayai secara pribadi oleh penulis. Dalam penulisan tesis ini penulis sangat berterima kasih kepada komisi pembimbing yaitu: Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Hariyadi, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang selama ini dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis, juga terima kasih kepada Ketua Program Studi PSL IPB Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf Sekretariat PSL IPB Nur Sulianti dan Herlin yang banyak membantu, serta manajemen Arthayu Group yang telah memberikan dukungan penuh dalam penyelesaian tesis ini. Tidak lupa juga kepada yang tercinta Ayu, Amiral, Jeanan, Nayla dan Kareemah, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, kesabaran dan doanya dalam proses penelitian dan penyusun tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2015
Arifin Muhtar
DAFTAR ISI
Daftar Tabel .................................................................................................. Daftar Gambar ............................................................................................. Daftar Lampiran ..........................................................................................
xiii xiv xiv
1. Pendahuluan .............................................................................................. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Latar Belakang ...................................................................................... Kerangka Pemikiran ............................................................................ Perumusan Masalah .............. ........................................................ ....... Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. Hipotesis Penelitian ................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................
1 1 2 5 6 6 7 8
2. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Kedudukan dan Arti Penting Lahan ..................................................... Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Lahan ........................................... Faktor Penentu Nilai Harga Lahan .................................................... Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Petani ..................................... Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan ......................................... Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................................
9 9 12 15 16 18
3. Metode Penelitian .................................................................................... 21 3.1 3.2 3.3 3.4
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... Metode Pengambilan Data dan Sampel .............................................. Metoda Analisis Data .........................................................................
21 21 21 23
4. Gambaran Umum Lokasi ....................................................................... 25 4.1 Gambaran Lokasi Jaringan Transmisi ............................................... 25 4.2 Kondisi Umum Daerah Penelitian ...................................................... 27 4.3 Karakteristik Responden ...................................................................... 30
5. Hasil dan Pembahasan ............................................................................ 34 5.1 5.2 5.3 5.4
Permasalahan Pasca Pembebasan Lahan ............................................ Perubahan Jenis Mata Pencaharian dan Tingkat Penghasilan ............ Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Ganti Rugi Lahan ............. Alternatif Solusi Dampak Pembebasan Lahan ...................................
34 42 48 56
6. Kesimpulan dan Saran .............................................................................. 59 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 59 6.2 Saran .................................................................................................. 59 Daftar Pustaka ................................................................................................ 61 ................................................................................................... 65 Lampiran
DAFTAR TABEL Tabel 1
Matriks hasil penelitian terdahulu yang relevan .......................
19
Tabel 2
Matriks metode penelitian ........................................................
22
Tabel 3
Jumlah dan luas tapak tower serta luas pembebasan lahan ......
25
Tabel 4
Struktur kependudukan daerah penelitian .................................
28
Tabel 5
Tingkat pendidikan masyarakat daerah penelitian ....................
29
Tabel 6
Jenis mata pencaharian masyarakat daerah penelitian ..............
30
Tabel 7
Karakteristik responden terkena pembebasan lahan ................... 31
Tabel 8
Jenis mata pencaharian responden setelah pembebasan lahan ..
Tabel 9
Kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk jaringan transmisi ..... 34
Tabel 10
Data pemilik lahan sebelum dibebaskan (tahun 2011) ................. 35
Tabel 11
Jumlah responden menurut luas terkena pembebasan ................. 38
Tabel 12
Perubahan jenis mata pencaharian setelah pembebasan lahan ..
42
Tabel 13
Kehilangan penghasilan responden akibat pembebasan lahan ..
46
Tabel 14
Harga ganti rugi lahan yang diperoleh responden .....................
50
Tabel 15
Kisaran harga ganti rugi, NJOP dan harga pasar tanah .............
51
Tabel 16
Pengaruh variabel bebas terhadap variabel respon ...................
52
Tabel 17
ANOVA Regresi .......................................................................
52
Tabel 18
Hasil Uji Normalitas Kolmogorv-Smirnov ...............................
53
Tabel 19
Hasil Uji Multikolinieritas ........................................................
54
Tabel 20
ANOVA Uji Heteroskedastisitas ..............................................
55
32
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian .................................
3
Gambar 2 Peta lokasi daerah penelitian ...................................................... 26 Gambar 3 Luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan........... 37 Gambar 4 Perubahan mata pencaharian setelah pembebasan lahan ........... 43 Gambar 5 Skema proses pembebasan lahan jaringan transmisi ................. 49 Gambar 6 Normal Q-Q Plot of Unstandarized Residual ............................ 53
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Perubahan luas pemilikan lahan responden ............................
65
Lampiran 2 Jenis mata pencaharian responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan ...................................................................
67
Lampiran 3 Penghasilan responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan ........................................................................................
71
Lampiran 4 Data variabel bebas untuk analisis regresi ...............................
75
Lampiran 5 Hasil Uji Regresi Linear dan Uji Asumsi Klasik .....................
79
Lampiran 6 Daftar Kusioner ........................................................................
85
1
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Penyediaan energi listrik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat disamping pemenuhan prasarana kehidupan lainnya seperti air bersih, perumahan yang sehat, layanan kesehatan serta pendidikan dan lain-lain. Untuk itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur pembangkit tenaga listrik yang cukup beserta jaringan transmisi untuk mendistribusikannya. Pemerintah Republik Indonesia melalui program Nawa Cita akan membangun sumber tenaga listrik sebesar 35.000 MW selama periode 2014-2019. Dalam rangka mengimplementasikan program tersebut, PT. PLN (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang ditunjuk Pemerintah untuk menangani penyediaan energi listrik nasional telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero). Dalam rencana tersebut, selama periode 20142019 pembangkit listrik yang akan dibangun PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik Pulau Jawa dan Bali adalah 3.624 MW sedangkan jaringan transmisi adalah sepanjang 10.209 km (PT. PLN, 2013). Salah satu dari program tersebut adalah pembangunan jaringan transmisi listrik bertegangan 150 kV sepanjang 17,85 km yang melintas dari Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok hingga Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Jaringan transmisi ini melintasi lima desa, tujuh kelurahan, lima kecamatan, satu kabupaten dan dua kota. Dalam rangka pembangunan jaringan transmisi dibutuhkan lahan untuk penempatan pondasi tower. Pemenuhan kebutuhan lahan tersebut ditempuh melalui pembebasan lahan milik masyarakat. Luas areal yang diperlukan untuk pondasi tower tergantung kepada jumlah tower dan panjang jaringan transmisi yang dibangun. Luas ini menentukan luas pembebasan lahan yang dilakukan. Areal lahan yang akan dibebaskan untuk tapak tower tersebar dalam bentuk kavling-kavling pada jarak tertentu di sepanjang jalur jaringan transmisi. Pembebasan lahan ini berpotensi menimbulkan dampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat, dan besarnya dampak dipengaruhi oleh luas lahan yang dibebaskan dan seberapa penting lahan tersebut dalam kehidupan pemilik lahan. Beberapa jenis dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pembebasan lahan dan menjadi topik yang dikaji dalam tesis ini adalah: perubahan luas pemilikan lahan, perubahan jenis mata pencaharian, perubahan tingkat penghasilan, dan munculnya persepsi positif atau negatif masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan. Menurut Bahrin et al (2008), pada beberapa kasus pembebasan lahan di Pulau Jawa, beralihnya kepemilikan lahan akibat pembebasan telah menjadi salah satu sebab hilangnya mata pencaharian masyarakat. Hal ini selanjutnya
2
menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Di perdesaan, lahan merupakan modal utama dalam bekerja mencari nafkah, dengan ketiadaan lahan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan dapat menjadi awal mula terjadinya kemiskinan masyarakat. Pentingnya tanah bagi petani juga dinyatakan oleh Soekartawi (1990). Tanah merupakan modal hidup utama dalam mengusahakan pertanian untuk menjamin kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Tanpa tanah seseorang tidak dapat melakukan usahatani. Berkurangnya luas areal pertanian akan berdampak terhadap kehidupan petani terkait luas pemilikan tanah, jenis pekerjaan, pendapatan keluarga, dan aspek sosial lainnya. Pada kegiatan pembebasan lahan seringkali menyebabkan konflik antara masyarakat pemilik lahan dan pihak pengguna lahan, tidak terkecuali pada pembebasan lahan yang diperuntukkan untuk kegiatan pembangunan atau kepentingan umum. Jika kegiatan pembebasan lahan tidak tertangani dengan baik maka konflik lahan dapat berkepanjangan dan mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat. Hal ini akan membentuk persepsi yang buruk di mata masyarakat dan menjadi penghambat terhadap kegiatan pembebasan lahan di tempat lainnya. Oleh karena itu hak-hak rakyat atas lahan perlu mendapat perlindungan hukum terutama dalam menghadapi kesewenang-wenangan pemrakarsa yang berdalih pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan umum (Munif, 2011). Sampai saat ini PT. PLN (Persero) dalam kedudukannya sebagai salah satu badan usaha milik negara telah melakukan pembebasan lahan terhadap jutaan hektar lahan untuk keperluan pembangunan jaringan transmisi dalam rangka pendistribusian energi listrik. Dalam proses pembebasan lahan yang telah dilakukan badan usaha ini sadar akan adanya dampak sosial ekonomi yang timbul akibat pembebasan lahan tersebut. Oleh karena itu untuk mengantisipasi dan menangani dampak yang timbul mereka menerapkan pedoman prosedur dan mekanisme pembebasan lahan yang telah dimilikinya. Dalam rangka mengevaluasi prosedur tersebut, beberapa pihak telah melakukan kajian serta memberikan saran dan masukan dengan harapan prosedur pembebasan lahan menjadi semakin baik dalam mengantispasi dan menangani dampak yang timbul. 1.2
Kerangka Pemikiran
Pembangunan jaringan transmisi diperlukan untuk menyalurkan energi listrik dari sebuah pembangkit listrik ke pengguna listrik melalui serangkaian gardu induk dan jaringan distribusi lainnya. Pembangunan ini membutuhkan lahan untuk penempatan tapak tower jaringan transmisi. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini perlu dilakukan pembebasan lahan terhadap lokasi yang diplot sebagai areal tapak tower jaringan transmisi. Pembebasan lahan berpotensi menimbulkan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama terhadap pemilik lahan terkait mata pencaharian, tingkat penghasilan, dan persepsi
3
masyarakat terhadap dampak pembebasan tersebut. Hal ini dapat diilustrasikan dalam sebuah diagram alir kerangka pemikiran sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Pelayanan Kesehatan
Penyediaan Tenaga Listrik
Penyediaan Air Bersih
Pembangunan Jaringan Transmisi
Pembangunan Pembangkit Listrik
Memerlukan Lahan
Pembebasan Lahan Pemukiman
Dampak Positif
Faktor Berpengaruh Pada Nilai Ganti Rugi
Penerimaan Ganti Rugi Lahan
Dampak Negatif
Permasalahan Pasca Pembebasan Lahan
Perubahan Jenis Mata Pencaharian
Penurunan Tingkat Penghasilan
Alternatif Solusi Pembebasan Lahan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Dalam melakukan pembebasan lahan, PT. PLN (Persero) mengacu kepada prosedur dan mekanisme pembebasan lahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2013 tentang Kompensasi atas Tanah, Bangunan dan Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi dan Sularan Udara Tegangan Ekstra Tinggi. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa ganti rugi merupakan imbal balik pengguna (pembeli) lahan kepada pemilik lahan di tapak tower jaringan transmisi sebagai akibat lahannya terkena pembebasan. Setelah
4
pemberian ganti rugi terjadi pelepasan dan penyerahan hak atas tanah dari pemilik lahan kepada pengguna lahan. Berdasarkan hasil survei dan identifikasi lahan yang telah dilakukan PT. PLN (Persero) terhadap areal rencana tapak tower SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak diperoleh informasi jumlah pemilik lahan yang akan terkena pembebasan sebanyak 103 pemilik lahan, terdiri dari 94 orang pemilik masyarakat perorangan dan 9 pemilik lahan bukan masyarakat perorangan berupa instansi pemerintah, perusahaan milik negara, perusahaan swasta, dan pengembang perumahan. Legalitas kepemilikan lahan di jalur jaringan transmisi ini terdiri dari: Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Akte Jual Beli, dan Girik. Pembebasan lahan tentu akan mengubah luas kepemilikan lahan masyarakat karena hak pemilikan atas tanah beralih kepada pengguna yang membeli lahan, akibatnya terjadi kehilangan mata pencaharian dan sumber nafkah keluarga bagi masyarakat yang menjadikan tanah tersebut sebagai sumber mata pencaharian. Dengan demikian untuk dapat tetap mempertahankan hidupnya, petani harus beralih mencari jenis mata pencaharian yang lain (Soekartawi, 1990). Lahan pertanian yang terkena pembebasan tentu akan mengalami penyusutan luas yang selanjutnya dapat berakibat pada menurunnya produksi pertanian setempat. Menurut Suryaman (2005), luas konversi lahan pertanian sawah menjadi lahan non pertanian di Pulau Jawa selama periode tahun 1999 hingga 2002 adalah sekitar 150.000 hektar dengan tingkat konversi tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Barat. Akibat penyusutan lahan pertanian ini telah menyebabkan peningkatan jumlah petani gurem dan petani tanpa memiliki tanah dari tahun ke tahun. Kehilangan sumber mata pencaharian yang dialami masyarakat yang hidup mengandalkan tanah secara langsung akan mengurangi penghasilan rumah tangga pemilik lahan. Meskipun pemilik mendapatkan uang ganti rugi atas tanahnya, namun karena penerimaan tersebut berlangsung hanya sekali maka dampaknya terhadap peningkatan penghasilan pemilik lahan dianggap tidak begitu berarti, apalagi jika diketahui bahwa penggunaan uang ganti rugi umumnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif. Pada proses penetapan harga ganti rugi tanah berikut bangunan dan tanaman di atasnya, masalah yang paling sering muncul adalah ketidakcocokan harga, dimana harga yang diminta pemilik lahan lebih tinggi dari pada harga penawaran yang diajukan pembeli lahan. Ketidakcocokan ini seringkali menyisakan konflik yang tidak kunjung selesai, bahkan hingga setelah kepemilikan lahan sudah beralih ke pembeli. Konflik ini berpotensi membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap proses pembebasan lahan di tempat lainnya.
5
1.3
Perumusan Masalah
Ketersediaan energi listrik di Provinsi Jawa Barat khususnya di Kota Depok dan Kabupaten dan Kota Bogor masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan industri, perumahan, pariwisata dan keperluan lainnya. Oleh karena itu diperlukan pembangunan pembangkit tenaga listrik dan jaringan transmisi yang mendistribusikannya. Salah satu jaringan transmisi yang dibangun adalah saluran udara tegangan tinggi berkapasitas 150 kV sepanjang 17,85 km dari Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok hingga Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik itu bersifat positif maupun negatif tergantung jenis dan seberapa besar kegiatan pembangunan tersebut menggunakan sumberdaya alam yang tersedia (Soemarwoto, 2005). Pada pembangunan jaringan transmisi dibutuhkan sejumlah lahan untuk tapak tower sehingga perlu dilakukan pembebasan lahan. Mengingat lintasan jaringan transmisi ini sebagian besar melalui kawasan pemukiman penduduk dan merupakan milik masyarakat perorangan, maka kegiatan pembebasan lahan berdampak langsung kepada masyarakat pemilik lahan. Dampak pembebasan lahan akan mengubah luas dan pola penggunaan lahan pada lokasi tapak tower sepanjang jaringan transmisi. Karena pada areal lintasan jaringan transmisi yang dibangun masih terdapat lahan pertanian maka pembebasan ini akan mengurangi luas lahan pertanian dan tentu juga jumlah produksi pertanian. Hilangnya lahan pertanian sebagai modal utama petani selanjutnya akan mengubah jenis mata pencahariannya dan mendorong petani untuk mencari jenis pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Pada areal lintasan jaringan transmisi yang dibangun masih terdapat lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup beberapa orang petani yang menggantungkan hidup diri dan keluarganya dari pekarangan dan kebun yang diolahnya tersebut. Beberapa dari petani tersebut tidak memiliki keahlian lain selain bertani, bahkan tidak memiliki lahan selain yang dimilikinya saat ini. Akibatnya, petani yang kehilangan lahan dan tidak mampu mendapatkan pekerjaan selain bertani akan menganggur dan kehilangan sumber nafkah. Kehilangan sumber nafkah ini selanjutnya menyebabkan kehilangan penghasilan. Proses pembebasan lahan tidak hanya berpotensi menimbulkan kehilangan lahan usaha dan tempat tinggal, serta kehilangan mata pencaharian dan penghasilan bagi pemilik lahan, namun juga berpotensi menimbulkan konflik baik di antara masyarakat pemilik lahan sendiri maupun dengan pemrakarsa sebagai pengguna (pembeli) lahan. Konflik ini dapat dipicu oleh ketidaksesuaian nilai ganti rugi lahan, kehilangan lahan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian
6
dan penghasilan. Hal ini dapat menimbulkan persepsi negatif pada masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan. Timbulnya persepsi negatif masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan serta pembangunan jaringan transmisi dapat juga diakibatkan oleh penggunaan tenaga kerja dari daerah lain dalam pekerjaan konstruksi; kerusakan struktur tanah akibat gali-urug pondasi tower; adanya kerusakan tanaman akibat penarikan kabel jaringan dan pemeliharaan rutin jaringan transmisi; adanya dugaan medan listrik dan medan magnet kabel jaringan transmisi dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan merusak peralatan listrik di bawahnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. b.
c. d. 1.4
Permasalahan apa yang timbul pasca kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur jaringan transmisi yang dibangun. Bagaimana pengaruh pembebasan lahan terhadap perubahan jenis mata pencaharian dan tingkat penghasilan pemilik lahan di sepanjang wilayah jaringan transmisi yang dibangun Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai ganti rugi lahan milik masyarakat. Apa alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak kegiatan pembebasan lahan Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah mengkaji dampak pembebasan lahan yang diperlukan untuk pembangunan jaringan transmisi listrik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar jaringan transmisi tersebut. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: a. b.
c. d. 1.5
Mengkaji permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi. Mengkaji perubahan jenis mata pencaharian pemilik lahan dan tingkat penghasilan dengan beralihnya hak pemilikan lahan dari pemilik lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat. Mengkaji alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan kegiatan pembebasan lahan. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut:
7
a. b. 1.6
Memberikan informasi kepada pelaku pembebasan lahan terkait efektivitas proses pembebasan lahan yang diterapkan selama ini. Menjadi salah satu bahan untuk saran dan masukan dalam upaya perbaikan proses pembebasan lahan di masa yang akan datang. Hipotesis Penelitian
Beberapa hipotesis yang dibangun terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Apakah NJOP tanah responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden. H0: b1 = 0 H1: b1 ≠ 0
b.
Apakah harga pasar tanah berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden. H0: b2 = 0 H1: b2 ≠ 0
c.
H1: b3 ≠ 0
Luas pemilikan lahan responden tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima. Luas pemilikan lahan responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
Apakah mata pencaharian responden berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden. H0: b4 = 0 H1: b4 ≠ 0
e.
Harga pasar tanah tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima. Harga pasar tanah berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
Apakah luas pemilikan lahan responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden. H0: b3 = 0
d.
NJOP tanah responden tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima. NJOP tanah responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
Mata pencaharian responden tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima. Mata pencaharian responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
Apakah penghasilan responden sebelum pembebasan lahan berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden. H0: b5 = 0
Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
8
H1: b5 ≠ 0
1.7
Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup kegiatan pembebasan lahan di areal tapak tower jaringan transmisi yang berlangsung pada tahap perencanaan atau pra konstruksi dimana jaringan transmisi belum dibangun dan beroperasi. Penelitian ini berfokus kepada masyarakat perorangan pemilik lahan yang terkena dampak pembebasan lahan pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak dan beberapa masyarakat lainnya yang bertempat tinggal di lima desa dan tujuh kelurahan yang berada di bawah jaringan transmisi tersebut.
9
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kedudukan dan Arti Penting Lahan
Tanah memiliki kedudukan dan arti yang penting bagi pemiliknya. Menurut Munif (2011), ada dua hal pokok yang menyebabkan tanah menjadi sangat penting, yaitu karena sifatnya dan karena faktanya. Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan bagi pemiliknya yang bagaimanapun keadaannya masih bersifat tetap atau bahkan kadang-kadang menguntungkan. Karena faktanya, suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal kerabatnya, merupakan penghitungan bagi anggota kerabatnya, merupakan tempatnya dikebumikan, dan merupakan tempat tinggal para roh dan dayangdayang leluhur kerabatnya. Berdasarkan Soekartawi (1990), bagi seorang petani yang tidak memiliki pilihan sumber mata pencaharian lain, lahan merupakan modal hidup utama dalam mengusahakan pertanian dalam rangka menjamin kelangsungan hidup anak dan keluarganya, sehingga tanpa tanah seorang petani tidak dapat melakukan usahatani Umumnya petani tidak memiliki keahlian lain dalam mencari nafkah, sehingga ketika usaha bertaninya berhenti, sulit bagi petani untuk mendapatkan sumber mata pencaharian lainnya. Rendahnya kepemilikan lahan pertanian secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan rendahnya pendapatan rumah tangga petani. Menurut Santoso (1996), beralihnya kepemilikan lahan dari petani akibat pembebasan lahan menyebabkan hilang atau berkurangnya lahan garapan mereka, padahal luas lahan usahatani yang dimiliki sangat menentukan besar kecilnya tingkat pendapatan keluarga petani. Meskipun luas kepemilikan lahan tidak berbanding lurus dengan tingkat pendapatan petani, namun sempitnya kepemilikan lahan berakibat pada rendahnya investasi, dan selanjutnya akan menyebabkan rendahnya pendapatan rumah tangga petani. Selain luas lahan, salah satu faktor utama yang juga menentukan tingkat pendapatan rumah tangga petani adalah pengetahuan dan kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan lahan secara produktif. Bahrin et al (2008) dalam penelitiannya terhadap masyarakat petani di dataran tinggi Kabupaten Kapahiang Propinsi Bengkulu mendapatkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani miskin memiliki dan menguasai lahan pertanian yang cukup luas, namun pada kenyataannya memiliki tingkat pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pangan, perumahan, serta akses terhadap lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha pada kategori rendah. 2.2
Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Lahan
Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan
10
peningkatan kesejahteraan hidup. Setiap kegiatan pembangunan termasuk untuk kepentingan umum berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik positif maupun negatif (Soemarwoto, 2005). Tanah merupakan modal dasar pembangunan, hampir tak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kini pembangunan terus meningkat dan tiada henti tetapi persediaan tanah semakin sulit dan terbatas. Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan atau kelompok saling berbenturan. Salah satu jenis pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah adalah pembangunan jaringan transmisi listrik untuk pendistribusian energi listrik dari sumber pembangkit listrik. Untuk memenuhi kebutuhan tanah ini dilakukan pembebasan lahan yang umumnya merupakan milik masyarakat perorangan (private) dan sebagian kecil milik negara. Menurut Guerin (2003), dalam sistem hak milik (property right), hubungan tanah dan manusia akan mengatur tentang cara memiliki, mengelola, menggunakan dan memindahkan atas tanah. Hubungan formalnya disebut dengan pemilikan tanah (land tenure). Pada dasarnya ada dua cara pemilik tanah melepaskan hak kepemilikan yaitu melalui pelepasan secara sukarela dan melalui pembebasan tanah (Eggertsson, 1995). Pelepasan sukarela sangat dipengaruhi sikap dari pemilik tanah terhadap cara pandang secara sosial, pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah. Dalam pelepasan tanah melalui cara pembebasan, persoalan yang sering dihadapi dan menimbulkan konflik adalah nilai kompensasi. Dalam pemberian ganti rugi, pengertian harga pasar sering menjadi sumber perbedaan karena cara pandang pemilik tanah dengan pihak pemerintah atau pengguna lahan tidak selalu sama. Hal lain yang sering muncul dalam proses pembebasan lahan adalah penggunaan definisi kepentingan umum dalam proses tersebut yang sering tak definitip (Andrian, 2007). Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 telah ditetapkan kegiatan pembangunan yang tergolong kepentingan umum yaitu: jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; tempat pembuangan sampah; cagar alam dam cagar budaya; pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pihak yang berperan adalah pemerintah, pemilik tanah dan pihak swasta yang akan membeli dan menggunakan tanah (Fischer, 2005). Keterlibatan pemerintah adalah dengan memberlakukan aturan-aturan formal seperti hak kepemilikan. Pemilik tanah ada yang aktif dan ada yang pasif. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk
11
membangun tanah, mau bekerjasama dengan swasta untuk membangun atau menyerahkan tanah bila tidak mampu membangun, sedangkan pemilik pasif dicirikan tidak adanya langkah yang diambil untuk membangun atau membawa ke pasar tanah. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kendala dalam pembebasan tanah, yaitu harapan pemilik tanah untuk memperoleh harga ganti rugi yang tinggi, tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli, atau memang tak ada keinginan dari pemilik untuk melepaskan tanah miliknya (Adams, 1994). Alasan pemilik tanah menolak melepaskan tanahnya sangat terkait dengan adanya hubungan multidemensi antara manusia dengan tanah dimana tanah dianggap sebagai faktor produksi, unsur lingkungan, barang yang mempunyai nilai emosional (Djurdjani, 2009). Pembebasan lahan untuk sebuah kegiatan pembangunan berpotensi menimbulkan dampak sosial ekonomi masyarakat. Semakin luas sumberdaya lahan yang diperlukan semakin besar potensi dampak yang ditimbulkan, oleh karena itu penggunaan sumberdaya lahan perlu dilakukan secara efisien dan bijaksana. Dalam ilmu ekonomi dikenal ada dua jenis efisiensi, yakni: efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi mencerminkan kemampuan untuk menghasilkan produk yang bermutu dengan harga yang bersaing. Sedangkan efisiensi alokasi merujuk kepada tingkat dimana harga pasar yang dibebankan kepada pembeli, selaras dengan biaya pemasaran termasuk pengembalian suatu laba normal (normal profit) pada pemasok. Sementara itu, Posner mendefenisikan efisiensi sebagai kondisi dimana sumberdaya dialokasikan dimana nilainya dimaksimalkan. Menurut Pareto dalam Nicholson dan Snyder (2010), jika seandainya sumberdaya dialokasikan membuat paling tidak satu pihak merasa diuntungkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan maka kondisi ini disebut Pareto Superiority atau Efisiensi Pareto. Jika seandainya suatu kebijakan pembangunan membuat setidak-tidaknya satu pihak merasa untung dan tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan maka kondisi inilah yang disebut Superioritas Pareto. Dikenal juga kondisi Pareto Optimality yang merupakan suatu kondisi dimana sumberdaya didistribusikan dengan cara tertentu yang membuat paling tidak satu pihak yang merasa dirugikan. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan yang membuat paling tidak salah satu pihak merasa dirugikan maka memenuhi kriteria Optimalitas Pareto. Sebenarnya kondisi yang terakhir inilah yang sering terjadi dalam kehidupan nyata, dimana hampir tidak mungkin tidak ada pihak yang tidak dirugikan dalam suatu kebijakan. Nicholas Kaldor dan John Hicks dalam Nicholson dan Snyder (2010), memberikan tanggapan atas efisiensi yang disampaikan oleh Pareto. Menurut mereka berdua dalam teorinya Kaldor-Hicks Efficiency menyatakan bahwa apakah dengan perubahan tersebut maka mereka yang merasa diuntungkan dapat menyediakan kompensasi yang seimbang kepada mereka yang merasa dirugikan
12
akibat kebijakan tersebut. Metode Kaldor-Hicks biasanya digunakan sebagai tes terhadap efisiensi Pareto, bukan ditujukan sebagai suatu standar efisiensi sendiri. Mereka digunakan untuk menentukan apakah suatu kegiatan ekonomi bergerak ke arah Efisiensi Pareto. Setiap perubahan biasanya membuat beberapa orang merasa lebih baik sementara membuat orang lain lebih buruk, jadi tes ini menanyakan apa yang akan terjadi jika para pemenang memberikan kompensasi kepada yang kalah dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan. Dalam Efisiensi Pareto (kondisi superior), suatu hasil lebih efisien jika setidaknya satu orang dibuat lebih baik dan tidak ada yang dibuat lebih buruk, namun dalam prakteknya, hampir mustahil untuk mengambil sebuah kebijakan pembangunan tanpa membuat dari setidaknya satu orang lebih buruk, bahkan pertukaran sukarela (voluntary exchange) sekalipun. Namun, pertukaran sukarela tidak akan menciptakan Superioritas Pareto jika ada biaya eksternal seperti polusi yang merugikan pihak ketiga, sebagaimana sering terjadi saat ini. Menurut Kaldor-Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara para pelaku ekonomi dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi. Dengan demikian menurut Kaldor-Hicks, pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan. Selain itu, suatu perubahan dapat dikatakan sebagai kemajuan, jika pelaku ekonomi yang akan dirugikan dari perubahan tersebut harus mau menerima ganti rugi dari pelaku ekonomi yang diuntungkan. Ganti rugi pada kriteria Kaldor-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran kompensasi yang aktual kita perlu menggunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan. 2.3
Faktor Penentu Nilai Harga Lahan
Pembangunan jaringan transmisi sebagai salah satu infrastruktur kelistrikan merupakan bentuk pemenuhan kepentingan umum yang perlu didukung semua pihak, mulai dari aspek perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi hingga operasinya. Karena ditujukan untuk kepentingan umum maka proses pembebasan lahan untuk jaringan transmisi mendapat dukungan kebijakan peraturan perundangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006. Dalam proses pembebasan lahan untuk penempatan tapak tower jaringan transmisi, pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi lahan beserta bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Sebagai konsekwensinya, hak pemilikan tanah
13
beralih dari pemilik lahan kepada pembeli atau pengguna lahan. Besarnya nilai ganti rugi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan pemilik tanah serta berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penilaian harga tanah dilakukan berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan. Nilai nyata/ sebenarnya disebut juga sebagai nilai pasar tanah, dapat berpedoman pada variabel: lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, sarana dan prasarana yang tersedia, dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah (Pasal 28). Selanjutnya hasil penilaian harga tanah tersebut dipergunakan sebagai dasar musyawarah antara instansi yang memerlukan tanah dengan para pemilik (Pasal 30). Informasi harga NJOP tanah, bangunan dan tanaman yang berada di atas tanah tersebut dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah setempat. Pada penerapannya di lapangan, kebijakan jumlah harga ganti rugi lahan yang diterapkan PT. PLN adalah bahwa harga ganti rugi lahan (per m2) merupakan separuh dari penjumlahan harga NJOP dan harga pasar lahan, atau dengan rumus sebagai berikut: Harga Ganti Rugi = 0,5 x (NJOP + Harga Pasar) Berbeda dengan tanah yang dibebaskan di bawah tapak tower, tanah yang berada di bawah ruang bebas jaringan transmisi tidak dibebaskan namun pemilik lahan mendapat kompensasi yang mana dari segi hak kepemilikan dan harga, berbeda dengan ganti rugi. Pemilik lahan yang memperoleh kompensasi tidak perlu menyerahkan hak pemilikan lahannya kepada pengguna lahan, karena tidak terjadi peralihan hak kepemilikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumberdaya Mineral Nomor 38 Tahun 2013, pengertian kompensasi merujuk kepada pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/ atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Berdasarkan formulasi kompensasi dalam peraturan tersebut, besarnya nilai kompensasi tanah/ bangunan ditetapkan sebesar 15 persen dari luas tanah/ bangunan dan nilai pasar dari tanah/ bangunan tersebut. Adapun nilai kompensasi tanaman ditetapkan sebesar nilai pasar tanaman tersebut. Sebagai salah satu acuan dalam menetapkan nilai pasar bangunan atau tanaman tersebut, beberapa kabupaten/ kota telah memiliki daftar harga bangunan atau tanaman yang dikeluarkan sebagai peraturan daerah oleh instansi terkait di bidang pertanian atau pekerjaan umum di daerah tersebut.
14
Penilaian atas lahan didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Teori mengenai nilai lahan pertama kali dicetuskan oleh David Ricardo, kemudian selanjutnya dikembangkan oleh Von Thunen. Dalam teorinya, Ricardo merujuk pada sewa lahan (land rent) dimana perbedaan nilai lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah terutama di sektor pertanian. Dalam analisis David Ricardo, terdapat asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya tanah yang subur dan berlimpah. Menurutnya, sewa lahan ditentukan bedasarkan perbedaan dalam kualitas tanah hanya melihat faktor kemampuan tanah untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi tanah (Ricardo dalam Suparmoko, 1989) Dalam teori tentang sewa tanah Ricardo menjelaskan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Ada yang subur, kurang subur hingga tidak subur sama sekali. Tanah yang subur memiliki produktivitas yang lebih tinggi; dalam menghasilkan satu satuan unit produksi memerlukan biaya produksi yang lebih rendah pula. Makin rendah tingkat kesuburan tanah, makin tinggi pula biaya yang diperlukan untuk mengolah tanah tersebut. Makin tinggi biaya produksi dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah menjadi semakin kecil pula. Dengan memperhitungkan faktor biaya produksi, maka adalah wajar jika sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding tanah yang kurang subur apalagi yang tidak subur (Ricardo dalam Suparmoko, 1989). Menurut Ricardo, sewa tanah timbul karena keterbatasan (kekurangan) tanah. Teori sewa tanah Ricardo dikenal dengan Teori Sewa Tanah Diferensial. Teori ini menyatakan bahwa pada tahap awal orang akan menggunakan tanah yang subur, dan karena keterbatasannya maka selanjutnya akan menggunakan tanah yang kurang subur. Masing-masing memiliki sewa tanah yang berbeda-beda. Sewa tanah adalah ganti rugi yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian dan pemanfaatan tanah tersebut (Ricardo dalam Suparmoko, 1989). Berdasarkan teori nilai lahan yang dikembangkan oleh Von Thunen menyatakan bahwa selain faktor kemampuan tanah, pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian. Nilai sewa tanah berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar. Pengaruh biaya transport kaitannya dengan perpindahan produk dari berbagai lokasi ke pasar terhadap sewa tanah. Semakin jauh jarak lokasi tanah dari pasar, akan menyebabkan semakin tinggi biaya transportas (Von Thunen dalam Djojo, 1992). Penggunaan sumberdaya tanah pada umumnya ditentukan oleh kemampuan tanah, khususnya untuk pertanian dan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak sumberdaya tanah dari pusat pasar, misalnya untuk penggunaan daerah industri, pemukiman, perdagangan atau rekreasi. Penggunaan tanah yang paling besar adalah untuk aktivitas pertanian, yang meliputi penggunaan untuk pertanian tanaman pangan,
15
pertanian tanaman keras, untuk kehutanan maupun untuk ladang pengembalaan dan perikanan. Tanah memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Dalam teori ekonomi sumberdaya tanah, sewa tanah merupakan salah satu konsep penting, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: sewa tanah (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik melalui kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu; dan keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Sewa tanah (land rent) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Salah satu cara dalam menentukan nilai atau faktor produksi tanah adalah dengan menggunakan konsep economic rent, yaitu perbedaan nilai produk yang dihasilkan oleh tanah tersebut dikurangi dengan seluruh biaya produksi tidak termasuk pajak atau royalti, dan pungutan lainnya serta laba yang layak yang harus diterima oleh pengusaha. Faktor-faktor yang menentukan harga tanah dipengaruhi oleh: kegunaan dan kepuasan (utility), kelangkaan (scarcity), permintaan (demand), dan kemudahan untuk dipindahkan (transferability). 2.4
Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Petani
Menurut Suryana (2000), meningkatnya kelangkaan lahan pertanian yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan jumlah petani berlahan sempit, kurang subur dan petani tidak berlahan semakin banyak. Kelangkaan ini juga disebabkan oleh konversi lahan melalui pembebasan lahan yang ditujukan untuk keperluan non pertanian. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan penguasaan sumberdaya lahan dan pendapatan antar kelompok masyarakat khususnya petani. Dalam hasil penelitiannya, Suryana menemukan bahwa setelah pembebasan lahan yang menyebabkan pemilikan lahan menjadi lebih sempit, terjadi perubahan jenis mata pencaharian pada para pemilik lahan dimana jenis pekerjaan petani pemilik lahan menjadi lebih beragam dibanding sebelumnya. Dalam penelitian tersebut Suryana juga mendapatkan bahwa kegiatan pembebasan lahan tidak begitu berpengaruh terhadap aspek sosial masyarakat pada hubungan keluarga, hubungan kemasyarakatan dan harga diri petani yang terkena pembebasan. Hanya untuk aspek kebahagiaan hidup, tampaknya ada dampak positif terhadap petani yang terkena pembebasan tanah pertanian dimana petani merasa lebih berbahagia setelah tanahnya terkena pembebasan. Meskipun tidak sepenuhnya benar, luas penguasaan lahan mempunyai pengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani. Dalam penelitiannya Mudakir (2011) melihat bahwa petani yang mempunyai penguasaan lahan lebih luas cenderung mempunyai pendapatan yang lebih besar dibanding penguasaan lahan yang lebih sempit. Menurutnya, pendapatan rumah tangga petani yang
16
memiliki pendapatan lain dari luar pekerjaan bertani jauh lebih tinggi dibanding petani yang semata-mata hanya mengandalkan pendapatan dari bertani saja. Tingkat ketimpangan pendapatan petani tanpa pendapatan di luar pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan ketimpangan pendapatan petani yang telah memasukkan pendapatan dari luar pertanian. Dalam sebuah penelitian terhadap petani miskin di dataran tinggi Kabupaten Kapahiang Provinsi Bengkulu, Bahrin, et al. (2008) mendapatkan bahwa luas pemilikan lahan tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat pendapatan rumah tangga petani, demikian pula sebaliknya. Menurutnya lagi, rendahnya produktifitas lahan petani disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang belum optimal, harga jual produk usaha tani khususnya sektor tanaman pangan tidak sebanding dengan harga produk industri yang sudah menjadi kebutuhan rumah tangga petani, jebakan kemiskinan seringkali membuat kemampuan sumberdaya keluarga terpecah tidak terfokus secara penuh pada upaya pemanfaatan lahan milik sendiri melainkan harus dibagi untuk menjadi buruh tani harian guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan rendahnya kemampuan dalam melihat peluang dan potensi yang ada yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan produktiftas dan pendapatannya. Penelitian dampak pembebasan lahan terhadap aspek lainnya juga telah dilakukan oleh Sumaryanto (1994). Dalam hasil penelitiannya di Jawa Timur dan Jawa Barat, mereka mendapatkan bahwa alih fungsi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif terutama dalam memproduksi hasil pertanian yang terkonversi. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi dan nilainya, pendapatan usahatani dan kesempatan kerja usahatani. Namun demikian, diakui bahwa selain mengakibatkan kerugian, alih fungsi lahan juga memberikan beberapa manfaat berupa pertambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan pengembangan ekonomi wilayah. Adanya dampak positif alih fungsi lahan juga dinyatakan oleh Irawan et al. (2000). Menurutnya, petani yang mendapatkan uang ganti rugi lahan sawah yang dijualnya mampu membeli sawah baru yang lebih luas. Selain itu, terjadi perubahan kualitas hidup petani melalui penggunaan uang ganti rugi yang diperolehnya untuk melakukan perbaikan rumah tinggal. Terlihat juga adanya pertambahan aset non tanah atau tabungan serta peningkatan sumberdaya manusia berupa pengalokasian uang hasil penjualan tanah untuk biaya pendidikan anak. 2.5
Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan
Menurut Soimin (2001), pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat di antara pemegang hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik indonesia Nomor 38 tahun 2013, ganti rugi tanah yang diberikan pada saat pembebasan tanah untuk pembangunan ketenagalistrikan
17
menyebabkan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dari pemilik lahan kepada pengusaha ketenagalistrikan sebagai pembeli lahan. Dalam proses pembebasan lahan rakyat sering menjadi korban para penguasa. Rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan penetapan terutama menyangkut nilai ganti rugi tanah dan prosedur pembebasan lahan. Pada umumnya masyarakat hanya diberi pengarahan satu arah yang harus diterima dengan penuh kepatuhan. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan, rakyat seringkali dibodohi dan diberi janji menggiurkan sehingga pada akhirnya mereka merasa kecewa dan merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan semacam ini tidak ditangani dengan baik dan tidak mendapat perhatian yang serius pada gilirannya akan menimbulkan konflik lahan (Munif, 2011). Konflik lahan umumnya didahului oleh terjadinya sengketa lahan yang tidak terselesaikan dengan baik. Untuk menghindari sengketa, semua bagian dari prosedur pembebasan lahan harus dilakukan dengan benar. Beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa lahan disebutkan oleh Warokka et al (2006), yaitu berupa: pembentukan tim pembebasan tanah, pemberian sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah, inventarisasi kepemilikan hingga pembayaran ganti rugi. Banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi baik antara pribadi maupun kelompok semakin menguatkan arti betapa tingginya nilai ekonomis dari tanah sebagai salah satu sumberdaya alam dan faktor produksi. Disamping itu juga semakin menguatkan betapa potensialnya tanah sebagai pemicu munculnya konflik. Untuk menghindari sengketa tanah, proses pembebasan tanah harus melewati seluruh tahapan pembebasan yang ditempuh dengan cara musyawarah dan tidak manipulatif. Pembebasan tanah tidak hanya sebatas mengalihkan hak kepemilikan atas tanah, khususnya bagi proyek-proyek untuk kepentingan pemerintah, namun harus juga memikirkan nasib para pemilik lahan terkait kepastian tempat tinggal mereka setelah itu (Warokka et al, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Warokka et al (2006) terhadap proses pembebasan tanah untuk pembangunan Bandar Udara Kuala Namu di Deli Serdang ditemukan kasus sengketa lahan dimana beberapa warga menolak menjual dan menyerahkan lahannya kepada Pemerintah yang diwakili PT. Angkasa Pura. Belajar dari kasus tersebut, Warokka et al menyarankan diperketatnya pengawasan terhadap pendataan terhadap: masyarakat yang mengusahakan tanah (penggarap), pemilik hak guna usaha, dan pemukim liar sehingga apabila terjadi pembebasan tanah status tanah yang akan mendapat ganti rugi sudah jelas dan tidak tumpang tindih. Selain itu, instansi pertanahan terkait seperti Badan Pertanahan Nasional perlu memetakan dengan benar lokasi tanah yang bermasalah maupun tidak. Masyarakat perlu dipermudah dalam pengurusan
18
surat (sertifikat) tanah sehingga bukti kepemilikan lebih kuat secara hukum, dan masyarakat tidak dibebankan dengan biaya-biaya lain di luar biaya yang sudah ditetapkan oleh negara. Sering terjadi kepentingan umum dijadikan alasan untuk menekan pemilik lahan untuk membebaskan lahannya secara mudah dengan harga murah di bawah harga pasaran tanah. Tidak jarang terjadi perlakuan sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat pemilik lahan. Untuk menghindari hal ini, pemilik lahan perlu mendapatkan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanahnya. Jika di kemudian hari ternyata tanah yang dibebaskan terbukti bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan atau pihak lainnya maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah. Dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan hal tersebut (Munif, 2011). Akibat kegiatan pembebasan lahan yang berlangsung cukup masif saat ini terjadi perubahan pola penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Sebagai contoh di Pulau Jawa, pada periode 1999-2002 telah terjadi konversi lahan pertanian hingga lebih dari 150.000 hektar menjadi areal pemukiman, industri dan lahan non pertanian lainnya, dengan tingkat konversi tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Barat. Akibat konversi lahan tersebut menyebabkan jumlah petani gurem dan petani tidak memiliki tanah semakin meningkat dari tahun ke tahun (Suryaman, 2005). 2.6
Penelitian Terdahulu yang Relevan
Salah satu penelitian terdahulu yang terkait dengan pembebasan lahan dilakukan oleh Sudarto et al. (2007) yang mengkaji dampak pembebasan tanah pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Kabupaten Sidorajo. Dalam penelitian tersebut kajian terpusat pada dampak konversi lahan pertanian menjadi lahan untuk perumahan dan industri sehubungan dengan posisi Kabupaten Sidoarjo sebagai daerah penyangga Kota Surabaya. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa setelah pembebasan lahan, jenis pekerjaan pemilik lahan yang sebelumnya adalah petani menjadi lebih beragam. Selain itu terjadi penurunan tingkat pendapatan rumah tangga pemilik lahan yang berasal dari usahatani. Hal ini disebabkan oleh mengecilnya luas pemilikan lahan akibat pembebasan lahan. Penelitian lain terkait dengan dampak pembebasan lahan adalah Studi Kasus Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Bandar Udara Kuala Namu di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dilakukan oleh Warokka at al. (2006) dengan temuan beberapa konflik sengketa lahan antara masyarakat pemilik lahan dengan PT. Angkasa Pura II sebagai pelaksana pembangunan dan pengoperasian bandar udara tersebut. Dalam proses pembebasan lahan terjadi penolakan oleh
19
beberapa orang pemilik lahan dikarenakan nilai ganti rugi lahan yang tidak disepakati pemilik. Pembebasan lahan menimbulkan reaksi masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan nilai penerimaan ganti rugi oleh masyarakat berbeda satu sama lainnya. Selain itu, akibat status tanah yang berbeda antara tanah milik pribadi dan tanah milik perkebunan menyebabkan perbedaan nilai ganti rugi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah bahwa penggunaan lahan dalam penelitian ini sebelum dibebaskan sangat beragam tidak terbatas hanya untuk pertanian dan perkebunan. Pada penelitian ini luas lahan yang dibebaskan relative kecil dibanding penelitian terdahulu namun terdapat lahan di bawah jaringan transmisi yang tidak mendapat ganti rugi namun akan mengalami dampak pembatasan penggunaan. Meskipun masyarakat terkena dampak pembebasan lahan dalam penelitian ini tidak sebanyak penelitian terdahulu namun latar belakang mata pencaharian dan sosial budaya yang lebih beragam. Untuk melihat perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat diihat pada Tabel 1. Tabel 1 Matriks hasil penelitian terdahulu yang relevan No
Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1
Teguh Sudarto, Setyo Parsudi, dan Indra Tjahaya Amir (2007)
Kajian Dampak Pembebasan Tanah Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Kabupaten Sidorajo (2007)
Pembebasan tanah pertanian menyebabkan secara nyata berkurangnya luas pemilikan tanah petani, perubahan jenis pekerjaan petani, berkurangnya jam kerja keluarga petani, berkurangnya pendapatan keluarga petani dari usahatani, dan kebahagiaan hidup petani.
2
Tania Dora Warokka, Zulkifli, dan Muba Simanihuruk (2006)
Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan Atas Pembebasan Tanah Rakyat Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pembebasan tanah Untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)
Pembebasan lahan berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak pelaku pembebasan lahan akibat kurangnya sosialisasi, proses yang tidak demokratis, tidak jelasnya status kepemilikan lahan. Pada proses pembebasan tersebut potensi konflik juga timbul akibat perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat dan perusahaan perkebunan pemilik lahan.
Keunggulan penelitian ini dibandingkan penelitian terdahulu terletak pada keragaman karakter pemilik lahan disebabkan lokasi pembebasan lahan dekat bahkan berada dalam wilayah perkotaan Bogor dan Depok. Hal ini akan mempengaruhi keragaman persepsi masyarakat terhadap rencana pembebasan lahan khususnya dan rencana pembangunan jaringan transmisi pada umumnya.
20
Selain itu, dari segi waktu pelaksanaan pembebasan lahan, penelitian ini akan merepresentasikan permasalahan pembebasan lahan saat ini dimana masyarakat pemilik lahan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi sehubungan dengan meningkatnya semangat reformasi aspek hak-hak masyarakat.
21
3. METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di lima desa dan tujuh kelurahan yang dilintasi jaringan transmisi SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak yang membentang sepanjang kurang lebih 17,85 km yang terdapat dalam lima kecamatan di dua kota dan satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu: a. b.
c.
Kelurahan Kedung Badak, Sukaresmi, Sukadamai, dan Kencana Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor Desa Waringin Jaya, Kedung Waringin, Susukan, dan Pabuaran Kecamatan Bojong Gede; serta Desa Sukmajaya Kecamatan Tajur Halang Kabupaten Bogor Kelurahan Pondok Terong dan Ratu Jaya Kecamatan Cipayung; serta Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok
Pelaksanaan penelitian berlangsung selama lima bulan yaitu sejak bulan November 2014 hingga Maret 2015. 3.2
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara masyarakat dan dan pengamatan langsung di lapangan terhadap masyarakat pemilik lahan yang terkena dampak pembebasan lahan jaringan transmisi. Data sekunder berupa peta lokasi dan nama pemilik lahan bersumber dari PT. PLN (Persero), sedangkan data karakterisitik wilayah dan masyarakatnya diperoleh dari literatur dan publikasi yang dikeluarkan berbagai instansi pemerintah daerah di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok. 3.3
Metode Pengambilan Data dan Sampel
Pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode wawancara menggunakan kuisioner dan observasi langsung. Pengambilan sampel dilakukan secara tidak acak dengan menggunakan metode purposive sampling dimana sampel diambil secara tidak acak berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu disesuaikan dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian (Indriantoro dan Supomo, 1999). Matriks metode penelitan yang menunjukkan jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data disajikan pada Tabel 2.
22
Tabel 2 Matriks metode penelitian No
Tujuan penelitian
Jenis dan sumber data
Metode pengumpulan data
Metode analisis data
1
Mengkaji permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi
Data primer dari responden terkait permasalahan yang timbul akibat pembebasan lahan Data sekunder dari Dinas dan Instansi terkait
Wawancara dan kuisioner dengan responden Penelusuran data sekunder ke Dinas dan Instansi terkait
Analisis deskriptif kualitatif
2
Mengkaji perubahan jenis mata pencaharian dan tingkat penghasilan pemilik lahan dengan beralihnya hak pemilikan lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi
Data primer dari responden terkait jenis mata pencaharian dan tingkat penghasilan sebelum dan sesudah pembebasan lahan Data sekunder dari Dinas dan Instansi terkait
Wawancara dan kuisioner dengan responden Penelusuran data sekunder ke Dinas dan Instansi terkait
Analisis deskriptif kualitatif Analisis kehilangan penghasilan (loss of earnings)
3
Mengkaji faktorfaktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat
Data primer dari responden terkait faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan. Data sekunder dati Dinas dan Instansi terkait
Wawancara dan kuisioner dengan responden Data sekunder NJOP diperoleh dari desa/ kelurahan setempat
Analisis regresi linear berganda
4
Mengkaji alternatif solusi dampak pembebasan lahan
Data primer dari responden terkait faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan.
Wawancara dan kuisioner dengan responden
Analisis deskriptif kualitatif
Jumlah responden yang telah diwawancara adalah 60 orang pemilik lahan masyarakat perorangan yang terkena tapak tower sebagai pihak yang menerima ganti rugi pembebasan lahan dari PLN. Dalam kuisioner yang digunakan terdapat pertanyaan dengan pilihan beberapa alternative jawaban, dan pertanyaan yang harus dijawab secara bebas. Adapun observasi langsung diperlukan untuk mendapatkan data lingkungan di sekitar lokasi pembebasan lahan terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam pengumpulan data sekunder digunakan teknik inventarisasi data yang bersumber dari instansi pemerintah terkait. Data sekunder yang dikumpulkan terkait antara lain dengan: informasi kependudukan, jenis mata
23
pencaharian masyarakat, harga tanah yang terkena pembebasan dan sekitarnya, dan data lain yang terkait. 3.4
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk mengkaji perubahan jenis mata pencaharian, dan mengkaji alternatif solusi dampak pembebasan lahan adalah deskriptif kualitatif. Dalam mengkaji perubahan tingkat penghasilan digunakan analisis loss of earning, sedangkan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan menggunakan analisis regresi linear berganda. 3.4.1 Analisis Deskriptif Kualitatif Deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak pembebasan lahan terhadap perubahan jenis mata pencaharian masyarakat, dan mengkaji alternatif solusi pengendalian dampak pembebasan lahan. Data jenis mata pencaharian masyarakat terdiri dari jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan baik sebelum maupun sesudah pembebasan lahan berlangsung. Data tersebut di atas disajikan dalam bentuk tabel kemudian dilakukan interpretasi. 3.4.2 Analisis Loss of Earnings Penggunaan analisis loss of earnings diterapkan pada kajian dampak pembebasan lahan terhadap perubahan tingkat penghasilan responden. Formulasi loss of earnings disajikan sebagai berikut:
LoE = (Ea1 - Ea2) + (Eb1 - Eb2)
.................. (1)
Keterangan LoE = Loss of Earnings = Kehilangan Penghasilan (Rp/bulan) Ea1 = Penghasilan responden dari mata pencaharian utama sebelum pembebasan lahan (Rp/bulan) Ea2 = Penghasilan responden dari mata pencaharian utama setelah pembebasan lahan (Rp/bulan) Eb1 = Penghasilan responden dari mata pencaharian sampingan sebelum pembebasan lahan (Rp/bulan) Eb2 = Penghasilan responden dari mata pencaharian sampingan setelah pembebasan lahan (Rp/bulan) Dari hasil wawancara diperoleh data jumlah penghasilan responden yang bersumber dari mata pencaharian utama maupun sampingan responden terkena dampak pembebasan lahan. Untuk menggali informasi jumlah penghasilan yang lebih akurat digunakan juga data pengeluaran respoden beserta keluarganya. Data tersebut selanjutnya dihitung menggunakan formula di atas. Hasil perhitungan
24
yang bernilai positif mengindikasikan adanya penurunan tingkat penghasilan pasca pembebasan lahan. 3.4.3 Analisis Regresi Penggunaan analisis regresi diterapkan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden. Sebagai variabel respon adalah nilai ganti rugi lahan, sedangkan sebagai faktor bebas yang diduga berpengaruh terhadap variabel respon adalah: nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah, harga pasar tanah, luas pemilikan tanah, mata pencaharian responden, penghasilan responden sebelum pembebasan lahan, dan penghasilan responden setelah pembebasan lahan. Persamaan regresi disajikan sebagai berikut:
y = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 ..................(2) Keterangan Y b0 b1... b5 X1 X2 X3 X4 X5
= = = = = = = =
Nilai ganti rugi lahan (Rp/m2) Intersep Penduga parameter gradien model regresi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah responden (Rp/m2) Harga pasar tanah responden (Rp/m2) Luas pemilikan tanah responden (m2) Mata pencaharian responden; petani = 1 atau non petani = 0 Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan (Rp/bulan)
Untuk menguji kevalidan model yang dibuat perlu dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri dari: uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas.
25
4. GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1
Gambaran Lokasi Jaringan Transmisi
Pada pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak jumlah tower yang dibangun adalah 66 buah. Lokasi tower ini menyebar di lima desa dan tujuh kelurahan sebagaimana tercantum pada Tabel 3. Sebagian besar tower (28 buah) terdapat di Kabupaten Bogor, setelah itu Kota Bogor (21 buah) dan Kota Depok (18 buah). Dari lima kecamatan yang diteliti, tower terbanyak (26 buah) terdapat di Kecamatan Bojong Gede, setelah itu Kecamatan Tanah Sareal (21 buah), Kecamatan Cipayung (15 buah), Kecamatan Pancoran Mas (tiga buah), dan jumlah tower terendah (dua buah) terdapat di Kecamatan Tajur Halang. Lokasi pembangunan jaringan transmisi yang menjadi daerah penelitian dipetakan pada Gambar 2. Tabel 3 Jumlah dan luas tapak tower serta luas pembebasan lahan Wilayah administrasi
Jumlah Tower
Luas tapak tower
Luas pembebasan lahan
(buah)
(m2)
(m2)
1. Kota Bogor a. Kecamatan Tanah Sareal Kelurahan Kedung Badak Kelurahan Sukaresmi Kelurahan Sukadamai Kelurahan Kencana 2. Kabupaten Bogor a. Kecamatan Bojong Gede Desa Waringin Jaya Desa Kedung Waringin Desa Susukan Desa Pabuaran b. Kecamatan Tajur Halang Desa Sukmajaya 3. Kota Depok a. Kecamatan Cipayung Kelurahan Pondok Terong Kelurahan Ratu Jaya b. Kecamatan Pancoran Mas Kelurahan Depok
21 21 3 3 4 11 27 25 3 9 8 5 2 2 18 15 9 6 3 3
5.075 5.075 850 850 900 2.475 4.825 4.375 1.025 425 1.800 1.125 450 450 4.639 3.789 2.089 1.700 850 850
4.936 4.936 1.011 751 863 2.311 3.884 3.552 649 544 1.545 814 332 332 3.140 2.427 1.440 987 713 713
Total
66
14.539
11.960
Sumber: Laporan Pengadaan Tanah PT. PLN (Persero), 2011
26
KECAMATAN PANCORAN MAS
GI DE P OK III
KEL. DEPOK
KECAMATAN CIPAYUNG
KEL. RATUJAYA
KEL. PONDOK TERONG
KECAMATAN TAJUR HALANG
KEL. SUKMAJAYA
KECAMATAN BOJONGGEDE
KE L. PABUARAN
DESA SUSUKAN
KABUPATEN BOGOR
KEL. KEDUNG WARINGIN KECAMATAN BOJONGGEDE KEL. WARINGIN JAYA
KEL. KENCANA
KOTA BOGOR
LEGENDA :
KECAMATAN TANAH SEREAL KEL. SUKA DAMAI
KEL. SUKA RESMI
Gardu Induk Batas Desa Tower
KEL. KEDUNG BADAK
Jalur Lintasan SUTT GI KEDUNG BADAK BARU
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
27
Berdasarkan Laporan Pengadaan Tanah PT. PLN (Persero) tahun 2011, pemilik tanah tapak tower sebelum dibebaskan terdiri dari 94 orang dari masyarakat perorangan, satu instansi pemerintah, dua badan usaha milik negara, dan enam perusahaan swasta. Dalam penelitian ini responden yang diteliti semuanya berasal dari masyarakat perorangan, dengan jumlah responden 60 orang. Adapun pemilik lahan dari bukan masyarakat perorangan tidak diteliti karena dianggap kurang relevan dengan tujuan penelitian ini. Luas lahan yang diperlukan untuk pembangunan setiap tower berbeda berdasarkan tipe tower yang dibangun yaitu: 225 m2 (15 m x 15 m), 289 m2 (17 m x 17 m), dan 400 m2 (20 m x 20 m). Untuk memenuhi kebutuhan lahan 66 buah tapak tower diperlukan tanah seluas 14.539 m2. Dari luasan tersebut lahan yang menjadi milik masyarakat perorangan sehingga perlu dibebaskan adalah 8.691 m2 atau 59,78 persen dari luas total ketersediaan lahan. Adapun sisa keperluan lahan seluas 5.848 m2 (40,22 persen) bukan merupakan milik masyarakat perorangan yaitu: PT. PLN (persero), Dinas Pertanian, PT. Kereta Api Indonesia (Persero), perusahaan swasta non pemerintah, dan developer perumahan. Proses pembebasan lahan sudah selesai menjelang akhir tahun 2011 dan pada kondisi saat ini tahun 2015, SUTT tersebut telah selesai dibangun dan telah beroperasi menyalurkan tenaga listrik. Pada proses pembebasan lahan, seluruh pemilik lahan telah menerima uang ganti rugi lahan, dengan demikian hak pemilikan lahan beralih kepada PT. PLN (Persero). 4.2
Kondisi Umum Daerah Penelitian
Pada penelitian ini digunakan data sekunder mengenai kependudukan, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian masyarakat dari publikasi BPS tahun 2011 berupa Kota Bogor Dalam Angka 2011, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011, dan Kota Depok Dalam Angka 2011. Data ini dipilih untuk menggambarkan kondisi daerah penelitian pada saat sebelum pembebasan lahan berlangsung. Berdasarkan data tersebut, diketahui jumlah penduduk setiap desa dan kelurahan yang diteliti berkisar 7.703-46.502 jiwa, terendah di Desa Sukmajaya dan terpadat di Kelurahan Depok. Luas wilayah desa dan kelurahan studi berkisar antara 98 ha hingga 373 ha, terendah Kelurahan Sukaresmi dan terluas Kelurahan Depok. Tingkat kepadatan penduduk desa dan kelurahan berkisar antara 27 jiwa/ha hingga 155 jiwa/ha, terendah di Desa Sukmajaya dan tertinggi di Desa Pabuaran. Jumlah anggota keluarga di setiap rumah tangga berkisar antara 3 jiwa/KK hingga 5 jiwa/KK, terendah di Desa Sukmajaya dan tertinggi di Kelurahan Ratu Jaya. Rincian data kependudukan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.
28
Tabel 4 Struktur kependudukan daerah penelitian Daerah penelitian
Kedung Badak Sukaresmi Sukadamai Kencana Waringin Jaya Kedung Waringin Susukan Pabuaran Sukmajaya Pondok Terong Ratu Jaya Depok
Jumlah penduduk
Luas wilayah
Kepadatan penduduk
(jiwa)
(ha)
(jiwa/ha)
27.770 11.831 13.392 17.772 11.921 23.228 15.996 38.820 7.703 34.945 35.521 46.502
195 98 112 214 170 180 340 250 284 244 265 373
142 121 120 83 70 129 47 155 27 143 134 125
Jumlah rumah Jumlah anggota tangga keluarga (KK)
(jiwa/KK)
6.914 2.937 3.176 4.488 2.827 5.828 4.480 10.231 2705 6.532 7.022 13.389
4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 5 4
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011, dan Kota Depok Dalam Angka 2011
Berdasarkan data statistik tingkat pendidikan daerah penelitian, terlihat cukup tinggi prosentase jumlah masyarakat yang Tidak Tamat SD (TT-SD), yakni berkisar antara 1,92 persen hingga 32,78 persen, terendah di Waringin Jaya dan tertinggi di Sukadamai. Masyarakat tidak tamat SD adalah masyarakat usia sekolah yang tidak menyelesaikan pendidikan SD dan masyarakat yang belum tergolong usia sekolah. Pada setiap desa dan kelurahan terdapat masyarakat berpendidikan tinggi yang telah menyelesaikan pendidikan Diploma, Sarjana S1 atau S2 dengan prosentase berkisar antara 1,31 persen hingga 15,17 persen, terendah di Kedung Waringin dan tertinggi di Pondok Terong. Data tingkat pendidikan masyarakat daerah penelitian disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data sekunder tingkat pendidikan diketahui bahwa sebagian besar masyarakat (55,86 persen) telah menyelesaikan program pendidikan sembilan tahun yang dicanangkan Pemerintah, sisanya sebanyak 26,82 persen berpendidikan SD dan 17,33 persen tidak/ belum tamat SD. Rata-rata masyarakat daerah penelitian yang telah menyelesaikan pendidikan Perguruan Tinggi adalah sebanyak 6,38 persen, pendidikan SLTA sebanyak 27,65 persen, pendidikan SLTP sebanyak 21,83 persen, dan pendidikan SD atau sederajat sebanyak 26,82 persen. Tingkat pendidikan masyarakat daerah penelitian menjadi salah satu faktor yang diduga berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan.
29
Tabel 5 Tingkat pendidikan masyarakat daerah penelitian Daerah penelitian
TT-SD (%)
SD (%)
Kedung Badak Sukaresmi Sukadamai Kencana Waringin Jaya Kedung Waringin Susukan Pabuaran Sukmajaya Pondok Terong Ratu Jaya Depok
17,05 23,28 32,78 24,84 1,92 7,83 11,77 9,35 8,75 22,50 23,52 24,31
21,19 33,33 27,12 21,43 25,79 28,11 49,36 16,19 33,08 23,69 27,56 14,93
SLTP (%) 20,04 17,92 13,39 18,23 28,29 30,04 21,47 27,03 28,04 23,27 22,13 12,16
SLTA (%)
PT (%)
30,21 21,19 16,62 28,77 42,60 32,71 11,61 43,97 27,78 15,37 22,17 38,76
11,51 4,28 10,09 6,73 1,40 1,31 5,79 3,46 2,36 15,17 4,62 9,84
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011, dan Kota Depok Dalam Angka 2011 Keterangan: TT-SD: Tidak Tamat SD, SD: Sekolah Dasar, SLTP: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, SLTA: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, PT: Perguruan Tinggi.
Terdapat tiga kelompok jenis pekerjaan yang menjadi mata pencaharian masyarakat daerah penelitian yaitu: petani, wiraswasta, dan pegawai. Termasuk dalam kelompok petani adalah: petani pemilik lahan, petani penggarap, dan buruh tani, sedangkan yang tergolong kelompok wiraswasta adalah pengusaha kecil dan menengah, pemborong, dan pengrajin. Adapun yang termasuk dalam kelompok pegawai adalah: karyawan swasta, buruh, Pegawai Negeri Sipil, TNI/ Polri, pensiunan, guru sekolah, tenaga medis dan lain-lain. Data jenis pekerjaan masyarakat daerah penelitian disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data sekunder yang tersedia, sebagian besar masyarakat daerah penelitian (57,72 persen) memiliki mata pencaharian di kelompok pegawai yang bekerja sebagai karyawan swasta, buruh, Pegawai Negeri Sipil, TNI/ Polri, guru sekolah, tenaga medis, dan lain-lain. Adapun sisanya 23,16 persen bekerja sebagai wiraswasta dan 19,12 persen bekerja sebagai petani. Pada beberapa daerah, prosentase jumlah masyarakat yang bekerja sebagai petani masih dominan dibanding jenis pekerjaan lainnya, yaitu Kedung Waringin (54,76 persen), Susukan (38,54 persen), dan Sukmajaya (47,26 persen). Tiga daerah ini merupakan desa-desa yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor. Berbeda dengan tiga desa tersebut, masyarakat daerah studi di Kota Bogor dan Kota Depok umumnya bekerja sebagai karyawan dengan kisaran masing-masing antara 41,20 persen hingga 91,48 persen dan antara 71,54 persen hingga 83,44 persen.
30
Tabel 6 Jenis mata pencaharian masyarakat daerah penelitian Daerah penelitian
Petani (%)
Kedung Badak Sukaresmi Sukadamai Kencana Waringin Jaya Kedung Waringin Susukan Pabuaran Sukmajaya Pondok Terong Ratu Jaya Depok
0,28 29,90 7,57 7,30 26,90 54,76 38,54 5,39 47,26 9,75 1,73 0,10
Wiraswasta (%) 8,24 10,49 44,83 29,61 31,90 11,88 22,99 41,15 16,32 18,71 25,30 16,46
Pegawai (%) 91,48 59,61 47,60 63,09 41,20 33,36 38,47 53,46 36,42 71,54 72,97 83,44
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2011, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011, dan Kota Depok Dalam Angka 2011
Bertani merupakan jenis pekerjaan yang sangat tergantung dengan keberadaan lahan. Tanpa lahan, petani tidak akan dapat menjalankan usahanya. Dari data sekunder yang tersedia, daerah yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian masyarakatnya adalah: Sukaresmi, Waringin Jaya, Kedung Waringin, Susukan, Sukmajaya. Jumlah petani di lima daerah ini adalah berkisar antara 26,90 persen hingga 54,76 persen dari total masyarakat masing-masing desa dan kelurahan. 4.3
Karakteristik Responden
Pemilik lahan yang terkena pembebasan dari kalangan masyarakat perorangan seluruhnya berjumlah 94 orang namun karena beberapa di antara pemilik lahan tidak dapat ditelusuri domisilinya maka yang dapat dijadikan responden dalam penelitian ini hanya 60 orang (64,52 persen). Tidak semua pemilik lahan berdomisili di sekitar lahan yang terkena pembebasan. Para responden ini telah menerima uang ganti rugi pada tahun 2011 dan sebagai konsekuensinya menyerahkan hak pemilikan sebagian atau seluruh lahannya kepada PT. PLN (Persero). Karakteristik responden secara rinci disajikan pada Tabel 7.
31
Tabel 7 Karakteristik responden terkena pembebasan lahan Jumlah responden Profil responden Orang
%
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan Total
48 12 60
80,00 20,00 100,00
Umur responden (tahun)
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 Total
1 5 11 21 17 5 60
1,67 8,33 18,33 35,00 28,33 8,33 100,00
Pendidikan responden
Tidak Tamat SD SD/ Sederajat SLTP SLTA Perguruan Tinggi Total
7 21 6 21 5 60
11,67 35,00 10,00 35,00 8,33 100,00
Berdasarkan hasil survei, jenis kelamin responden pemilik lahan terbanyak adalah laki-laki sebanyak 48 orang (80,00 persen), sedangkan perempuan pemilik lahan sebanyak 12 orang (20,00 persen). Dari hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa lima orang perempuan pemilik lahan (8,33 persen) merupakan janda yang mewarisi tanah dari almarhum suaminya, sedangkan tujuh orang perempuan lainnya (11,67 persen) merupakan ahli waris tanah dari almarhum orang tuanya. Tingkat pendidikan 12 orang perempuan ini adalah tiga orang tidak tamat SD, empat orang tamat SD, satu orang tamat SLTP, dua orang tamat SLTA, dan satu orang Sarjana. Dalam proses pembebasan lahan, pemilik lahan perempuan terutama yang berpendidikan SD atau tidak sekolah mendapat perhatian khusus. Umur responden pemilik lahan umumnya berkisar antara 51 tahun hingga 60 tahun sebanyak 21 orang (34,43 persen), yang termuda berusia 24 tahun dan tertua berusia 74 tahun. Jumlah responden berusia di atas 60 tahun adalah 22 orang (36,67 persen). Usia di atas 60 tahun ini sering digolongkan sebagai usia tidak produktif sehingga perlu mendapatkan bantuan ekonomi dari anggota
32
keluarga lainnya. Kehilangan aset tanah akibat pembebasan lahan bagi kelompok umur tersebut dapat menyulitkan dalam mencari nafkah. Tingkat pendidikan yang dimiliki responden beragam dari yang Tidak Tamat SD hingga Perguruan Tinggi. Jumlah responden yang telah menyelesaikan pendidikan sembilan tahun atau telah menyelesaikan pendidikan SLTP adalah 32 orang (53,33 persen). Responden yang tidak sekolah atau tidak tamat SD memiliki keterbatasan keterampilan dalam mencari pekerjaan sehingga perlu mendapat perhatian khusus setelah lahannya terkena pembebasan. Sebanyak tujuh orang (11,67 persen) pemilik lahan Tidak Tamat SD, dan lima orang (8,33 persen) berpendidikan Sarjana, namun mayoritas responden telah memiliki pendidikan SD sebanyak 21 orang (35,00 persen) dan SLTA sebanyak 21 orang (35,00 persen). Tingkat pendidikan responden yang diteliti senada dengan tingkat pendidikan rata-rata daerah penelitian dimana mayoritas penduduk memiliki pendidikan SLTA sebesar 27,65 persen, kemudian SD sebesar 26,82 persen, SLTP 21,51 persen, tidak tamat SD 17,33 persen, dan terendah Perguruan Tinggi sebesar 5,55 persen. Berdasarkan hasil survei mengenai jenis mata pencaharian responden saat ini (tahun 2015), 59 orang responden (98,33 persen) memiliki pekerjaan dan satu orang (1,67 persen) masih menganggur akibat lahan miliknya yang sebelumnya digunakan untuk usaha warung kelontong terkena pembebasan lahan. Selain memiliki pekerjaan utama, 15 dari 59 responden (25,00 persen) tersebut juga memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. Jenis pekerjaan utama dan sampingan responden tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis mata pencaharian responden setelah pembebasan lahan (tahun 2015) Jenis Mata Pencaharian Pertanian Pegawai Perdagangan Jasa Tidak Bekerja Total
Pekerjaan Utama
Pekerjaan Sampingan
Orang
%
Orang
15 20 11 13 1 60
25,00 33,33 18,33 21,67 1,67 100,00
3 2 10 15
Jumlah responden yang mengandalkan sektor pertanian sebagai pekerjaan utama maupun sampingan masih cukup tinggi yaitu 18 responden (24,00 persen). Pada sektor ini responden bekerja sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap,
33
atau keduanya. Mayoritas responden terkena pembebasan lahan bekerja di sektor jasa 23 orang (30,67 persen) dan sektor perdagangan 13 orang (17,33 persen). Jenis pekerjaan di sektor pertanian terdiri dari petani pemilik lahan, petani penggarap, dan gabungan keduanya. Pada kelompok pegawai terdiri dari: pegawai negeri sipil, guru sekolah, karyawan, satuan pengamanan, honorer kelurahan, pensiunan PNS dan Polri, serta veteran. Responden yang bekerja di sektor perdagangan membuka berbagai usaha berupa: warung kelontong, warung makanan dan minuman ringan, toko buku dan fotokopi, jualan ikan. Adapun pekerjaan di sektor penyediaan jasa meliputi: pembantu rumah tangga, bengkel mobil, bengkel sepeda, supir, tukang ojek, serabutan, dan penyewaan rumah.
34
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Permasalahan Pasca Pembebasan Lahan
5.1.1 Sejarah Lahan Dalam rangka pembangunan jaringan transmisi SUTT 150 kV DepokKedung Badak sepanjang kurang lebih 17,85 km, jumlah tower yang dibangun adalah 66 buah. Lokasi tower-tower tersebut menyebar di empat kelurahan di Kota Bogor, lima desa di Kabupaten Bogor, dan tiga kelurahan di Kota Depok. Kebutuhan lahan masing-masing tower adalah bervariasi berdasarkan tipe pondasi yang dibangun yaitu: 25 m2, 225 m2, 289 m2, dan 400 m2. Total luas lahan yang diperlukan untuk penempatan seluruh tower tersebut adalah 14.539 m2, namun pada kenyataannya karena keterbatasan ketersediaan lahan maka luas total yang tersedia untuk pembangunan jaringan transmisi tersebut hanya 11.960 m2 (82,26 persen). Kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk pembangunan tower disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk jaringan transmisi
No 1 2 3 4
Jumlah Tower
Kebutuhan Lahan
Ketersediaan Lahan
Kekurangan Lahan
(buah)
(m2)
(m2)
(m2)
5mx5m 15 m x 15 m 17 m x 17 m 20 m x 20 m
8 50 1 7
200 11.250 289 2.800
276 9.560 186 1.938
1.690 103 862
Total
66
14.539
11.960
2.655
Tipe Ukuran Tower
Sumber: PT. PLN (Persero), 2011
Luas kekurangan lahan yang tidak terpenuhi untuk pembangunan tower jaringan transmisi adalah sekitar 2.655 m2 (18,52 persen). Adanya keterbatasan ketersediaan lahan ini menyebabkan PLN mengupayakan semaksimal mungkin penggunaan lahan-lahan yang tersedia. Menurut Tim Pembebasan Lahan, tidak terpenuhinya lahan secara maksimal disebabkan beberapa hal, yaitu: adanya masalah dalam keabsahan bukti pemilikan tanah, penolakan dari pemilik tanah, dan permintaan harga ganti rugi yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil identifikasi pemilik lahan, sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat perorangan. Sebanyak 8.690 m2 (72,66 persen) lahan yang tersedia untuk jaringan transmisi merupakan milik masyarakat perorangan. Pemilik lainnya adalah: PT. PLN (Persero) merupakan pemilik lahan di lokasi pembangunan gardu induk dan tower pertama, instansi pemerintah Dinas Pertanian, PT. Kereta Api Indonesia salah satu Badan Usaha Milik Negara,
35
beberapa perusahaan swasta, dan developer perumahan dari pihak swasta. Informasi pemilik lahan sebelum dibebaskan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Data pemilik lahan sebelum dibebaskan (tahun 2011) No 1 2 3 4 5 6
Pemilik Lahan
Jumlah Pemilik Lahan
Ketersediaan Lahan (m2)
(%)
PT. PLN (Persero) Instansi Pemerintah BUMN Perusahaan Swasta Developer Perumahan Masyarakat Perorangan
1 1 1 5 1 94
400 225 286 2.084 275 8.690
3,34 1,88 2,39 17,42 2,30 72,66
Total
103
11.960
100,00
Sumber: PT. PLN (Persero), 2011
Dalam proses pembebasan lahan, ketika berhadapan dengan pemilik lahan dari pihak Instansi Pemerintah, BUMN, perusahaan swasta, dan developer perumahan, Tim Pembebasan Lahan tidak begitu mengalami kesulitan dibanding ketika berhadapan dengan pemilik lahan dari masyarakat perorangan. Selain karena jumlah masyarakat pemilik perorangan yang banyak, hal tersebut juga dipengaruhi oleh adanya masalah pada legalitas pemilikan tanah, penolakan pemilik untuk menjual lahannya, dan permintaan harga ganti rugi yang sangat tinggi. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok, lokasi bentangan jaringan transmisi yang melintasi lima desa dan tujuh kelurahan tersebut tidak menyalahi rencana tata ruang setempat yang telah ditetapkan. Daerah lintasan jaringan transmisi merupakan kawasan pemukiman yang telah ada jauh sebelum rencana jaringan transmisi tersebut dibangun. Legalitas pemilikan tanah di lintasan jaringan transmisi oleh PT. PLN, BUMN, beberapa perusahaan swasta, dan developer pembangunan adalah berupa Hak Guna Bangunan, sedangkan legalitas pemilikan oleh beberapa perusahaan swasta dan beberapa masyarakat perorangan adalah berupa Hak Milik. Adapun legalitas pemilikan lahan sebagian besar masyarakat perorangan adalah berupa Akte Jual Beli atau Girik. Pembangunan jaringan transmisi merupakan pembangunan prasarana kepentingan umum yang sangat penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu Pemerintah sangat mendukung pembangunan ini dimulai sejak proses perencanaan, pembangunan hingga pengoperasiannya. Penyediaan lahan merupakan salah satu bagian dari proses perencanaan pembangunan ini, sehingga dalam rangka mendukung dan menjamin proses penyediaan lahan, Pemerintah telah membuat beberapa peraturan perundang-
36
undangan yang mengatur mekanisme dan pedoman prosedur penyediaan lahan untuk kepentingan umum. 5.1.2 Pembebasan Lahan Setiap kegiatan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun bukan, akan menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Dampak ini dapat bersifat positif dapat juga negatif. Salah satu jenis kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dikaji dalam penelitian ini adalah pembangunan jaringan transmisi. Bagian dari kegiatan pembangunan jaringan transmisi yang menjadi fokus kajian adalah dampak dari kegiatan penyediaan lahan yang memerlukan kegiatan pembebasan lahan. Pembangunan jaringan transmisi merupakan salah satu bagian dari kerangka kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah. Pembangunan ini ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat dalam hal penyediaan tenaga listrik, dan hingga saat ini manfaat tersebut telah terbukti dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Selain masyarakat yang memperoleh keuntungan dengan ketersediaan listrik yang memadai, terdapat juga beberapa masyarakat yang menderita kerugian akibat pembangunan jaringan transmisi tersebut. Hal ini terlihat jelas pada saat kegiatan pengadaan lahan untuk pembangunan tower transmisi, dimana sumberdaya lahan milik masyarakat diambil untuk kepentingan jaringan transmisi ini. 5.1.3 Permasalahan yang Timbul Realisasi pembebasan lahan di areal studi telah tuntas dilakukan pada tahun 2011 dimana seluruh responden pemilik lahan telah menerima uang ganti rugi tanah. Di atas lahan tersebut telah berdiri tower penyangga jaringan transmisi sebanyak 66 buah pada lintasan sepanjang 17,85 km yang membentang dari Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor hingga Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat beberapa masalah yang muncul pasca pembebasan lahan tersebut, yaitu: kehilangan lahan tempat tinggal, kehilangan lahan pertanian, kehilangan mata pencaharian, kehilangan pendapatan, dan munculnya konflik internal dalam keluarga pemilik lahan. Setelah pembebasan lahan, responden mengalami penurunan luas pemilikan lahan rata-rata 84 m2. Kehilangan lahan terbesar dialami seorang responden dimana seluruh tanah yang dimilikinya seluas 353 m2 terkena pembebasan lahan, sedangkan luas pembebasan lahan terkecil adalah 5 m2. Jika dibandingkan dengan luas pemilikan lahan sebelum pembebasan maka setelah pembebasan responden kehilangan lahan rata-rata seluas 27,72 persen, dengan kehilangan terendah 2,00 persen dan tertinggi 100,00 persen. Data luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan lahan serta perubahan luas pemilikan lahan setiap responden akibat pembebasan lahan disajikan pada Lampiran 1.
37
Dari hasil survei diperoleh rata-rata luas pemilikan awal 60 responden sebelum pembebasan lahan adalah 601 m2, dengan luas terendah 40 m2 dan tertinggi 9.600 m2. Setelah pembebasan lahan, luas sisa pemilikan lahan rata-rata menjadi 517 m2, dengan luas terendah 0 m2 dan tertinggi 9.387 m2. Jika dibandingkan dengan luas pemilikan lahan sebelum pembebasan, maka sisa lahan rata-rata setelah pembebasan adalah 72,28 persen, terendah 0,00 persen dan tertinggi 98,00 persen. Gambaran luas lahan maksimum, rata-rata, dan minimum antara sebelum dan sesudah pembebasan lahan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan Jika dilakukan pengelompokan responden berdasarkan luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan lahan serta luas lahan terkena pembebasan maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden terkena pembebasan lahan seluas 1-50 m2, yakni 30 responden (50,00 persen). Kehilangan lahan dengan ukuran demikian akan sangat berpengaruh terhadap pemilik lahan berukuran hingga 100 m2, bahkan hal ini menjadi penyebab pindahnya seorang responden yang memiliki lahan berukuran 40 m2. Kehilangan lahan terbesar dialami seorang responden yang terkena pembebasan berkisar antara 301 m2 hingga 400 m2. Responden ini juga akhirnya pindah ke daerah lain akibat seluruh lahannya (353 m2) terkena pembebasan. Pengelompokan responden berdasarkan luas lahan yang dibebaskan disajikan pada Tabel 11.
38
Tabel 11 Jumlah responden menurut luas terkena pembebasan
No
Luas lahan terkena pembebasan (m2)
Jumlah responden terkena pembebasan lahan (orang)
(%)
1
1-50
30
50,00
2
51-100
13
21,67
3
101-150
4
6,67
4
151-200
8
13,33
5
201-250
3
5,00
6
251-300
1
1,67
7
301-350
-
0,00
8
351-400
1
1,67
60
100,00
Total
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang, pangan dan kesehatan. Pentingnya rumah dapat dilihat dari fungsinya sebagai tempat tinggal, tempat beristirahat, tempat berlindung dari hujan dan panas dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi bagi semua anggota rumah tangga. Keberadaan rumah dan fasilitasnya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan anggota rumah tangga sekaligus menunjukkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Salah satu indikator yang dapat mencerminkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan penghuninya adalah luas lantai bangunan rumah. Berdasarkan publikasi Statistik Perumahan Hasil Sensus Penduduk 2012, ukuran luas lantai yang ideal digunakan per orang minimal adalah 9 m2. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat dua responden yang menempati rumah dengan ukuran luas lantai rumah yang tidak layak karena setelah pembebasan lahan, sisa lahan miliknya adalah masingmasing tinggal 39 m2 dan 54 m2 sementara jumlah anggota keluarga yang menempatinya adalah masing-masing sebanyak 5 dan 7 orang. Sebagai dampak lain dari pembebasan lahan adalah hilangnya seluruh lahan milik dua responden untuk pembebasan. Semula dua responden ini memiliki lahan seluas 40 m2 dan 353 m2, namun karena seluruh lahannya terkena pembebasan, dua responden tersebut harus pindah ke tempat lain. Menurut Munif (2011) tanah merupakan tempat tinggal masyarakat beserta keluarga dan kerabatnya kemudian di tanah itulah mereka akan menghabiskan hidupnya. Terdapat ikatan emosional antara masyarakat dengan tanah dimana mereka lahir dan tumbuh. Ketika masyarakat harus pindah ke daerah lain karena lahannya digunakan untuk kepentingan umum atau pihak lainnya maka hal ini akan memberikan dampak psikologis kepada pemiliknya. Hal ini dialami oleh dua orang responden tersebut di atas. Bagi responden pemilik lahan 353 m2 yang
39
mendapatkan nilai ganti rugi yang relative besar sekitar 176,5 juta rupiah dapat dengan mudah mendapatkan lahan pengganti di daerah lain, namun sebaliknya bagi responden pemilik lahan yang kecil berukuran 40 m2 dengan nilai ganti rugi 17,2 juta rupiah mendapatkan kesulitan mencari tanah pengganti kediamannya. Sebelum pembebasan lahan, mayoritas responden memanfaatkan lahannya sebagai pekarangan oleh 29 responden (48,33 persen), bangunan rumah oleh 19 responden (31,67 persen), dan kebun oleh 12 responden (20,00 persen). Pemanfataan lahan untuk kebun yang dilakukan oleh 12 responden tersebut digunakan untuk melakukan usaha pertanian dengan menanam tanaman singkong, pepaya, jambu, nangka, dan pepaya. Selain itu, salah seorang responden melakukan usaha ternak kambing di areal kebunnya. Setelah pembebasan lahan, pemanfaatan lahan untuk bangunan rumah dan pekarangan tidak berubah, namun pada areal kebun terjadi perubahan peruntukan. Setelah pembebasan lahan, 3 dari 12 responden tersebut tidak lagi dapat memanfaatkan lahan kebunnya untuk pertanian karena dibebaskan untuk tapak tower. Meskipun dari segi luas, penurunan absolut luas lahan pertanian akibat pembebasan lahan relative kecil yakni sekitar 1.989 m2 (16,63 persen) dari total keperluan lahan untuk jaringan transmisi (11.960 m2), namun hal ini dapat mengindikasikan bahwa secara perlahan kegiatan pembangunan jaringan transmisi menjadi salah satu kegiatan penyebab berkurangnya luas lahan pertanian di daerah Bogor dan Depok. Hal ini relevan dengan pernyataan Sumaryanto (1994) bahwa alih fungsi lahan pertanian di Jawa Barat menimbulkan dampak negatif dalam memproduksi hasil pertanian. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi dan nilainya, pendapatan usahatani dan kesempatan kerja usahatani. Pembebasan lahan menjadi salah satu penyebab hilangnya mata pencaharian masyarakat. Dalam penelitian ini, tiga responden kehilangan lahan miliknya untuk bertani. Namun karena tidak memiliki keahlian dan keterampilan lain selain bertani maka ketiga responden ini tetap menjadi petani penggarap pada lahan milik orang lain. Hal ini relevan dengan pernyataan Soekartawi (1990) bahwa umumnya petani tidak memiliki keahlian lain selain bertani, sehingga ketika usaha bertani mereka berhenti, sulit untuk mendapatkan sumber mata pencaharian lainnya. Kehilangan mata pencaharian utama juga dialami oleh satu responden pemilik usaha warung kelontong dan satu responden pemilik usaha warung makan minum. Akibat lahannya terkena pembebasan kedua responden ini kehilangan pekerjaan utama sehingga salah seorang menjadi pengangguran dan seorang lainnya bekerja serabutan. Hal ini kurang sejalan dengan pernyataan Suryana (2000) bahwa setelah pembebasan lahan jenis pekerjaan pemilik lahan menjadi lebih beragam dibanding sebelumnya dan lebih mudah mendapatkan pekerjaan baru. Selain kedua responden tersebut terdapat dua responden lain yang memiliki pekerjaan sampingan berupa usaha kontrakan rumah. Usaha tersebut hilang
40
setelah lahannya terkena pembebasan. Karena sifatnya sebagai usaha sampingan, kehilangan sumber mata pencaharian tersebut masih dapat teratasi dengan adanya pekerjaan utama sebagai karyawan swasta dan pensiunan. Hilangnya mata pencaharian beberapa responden akibat pembebasan lahan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan responden tersebut. Hal ini sangat terasa bagi responden yang mengandalkan tanahnya sebagai usaha utama mencari nafkah. Dalam penelitian ini, seorang responden terpaksa kehilangan penghasilan dari pekerjaan utamanya berupa usaha warung kelontong karena lahan tempatnya berusaha terkena pembebasan lahan. Beruntung responden ini masih memiliki penghasilan lain dari pekerjaan sampingan sebagai pekerja serabutan untuk menopang hidup keluarganya. Selain itu, terdapat seorang responden pensiunan PNS kehilangan penghasilan dari usaha kontrakan rumahnya akibat terkena pembebasan. Berdasarkan hasil penelitian pasca pembebasan lahan, tidak diperoleh informasi terkait adanya konflik antara pemilik lahan dan Tim Pembebasan Lahan ketika proses pembebasan berlangsung. Potensi konflik yang dikhawatirkan muncul pada proses pemberian uang ganti rugi adalah ketidakcocokan harga ganti rugi, dan penyerahan uang ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak. Pada kenyataannya dua faktor ini tidak terlihat menyebabkan konflik antara pemilik dan tim pembebasan lahan. Konflik yang terjadi justru dalam internal keluarga beberap reponden pemilik lahan. Konflik ini diakui oleh tiga responden yang mengalami konflik internal keluarga. Berdasarkan pengakuan responden, konflik terjadi ketika uang ganti rugi diterima dan dibagikan kepada anggota keluarga pemilik lahan, dimana terdapat anggota keluarga yang tidak menyetujui komposisi pembagian uang ganti rugi di antara merekea. Pada kasus ini, lahan yang dimiliki oleh tiga responden ini berstatus bukan milik pribadi akan tetapi masih merupakan milik orang tua atau mertua yang belum dibagikan kepada ahli waris. Seiring dengan berjalannya waktu, adanya komunikasi intensif dan tumbuhnya rasa saling pengertian di antara para anggota keluarga, konflik internal tersebut akhirnya reda. Saat ini, konflik internal tersebut sudah hilang menurut pengakuan tiga responden tersebut. Menurut Warokka et al (2006) konflik lahan umumnya didahului dengan sengketa lahan yang tidak terselesaikan dengan baik. Untuk menghindari sengketa, semua bagian dari prosedur pembebasan lahan harus dilakukan dengan benar. Beberapa tahapan penting yang harus dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa lahan adalah: pembentukan tim pembebasan tanah, pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah yang benar, inventarisasi pemilik dan status kepemilikan tanah, penetapan nilai ganti rugi yang disepakati pemilik lahan dan pembeli, dan penyerahan uang ganti rugi kepada pihak yang betul-betul berhak. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk pembangunan jaringan transmisi ini, nampaknya telah melakukan
41
mekanisme dan prosedur pembebasan yang benar sehingga tidak terjadi konflik antara pemilik dan pembeli lahan. 5.1.4 Dampak Sosial Pembebasan Lahan Salah satu dampak sosial yang muncul akibat pembebasan lahan adalah timbulnya konflik horizontal antara responden dengan anggota keluarga lainnya pada saat penerimaan uang ganti rugi lahan. Hal ini terjadi pada lahan yang masih berstatus milik keluarga. Menurut pengakuan tiga responden yang mengalami hal tersebut, konflik terjadi akibat tidak tegasnya pembagian hak waris di antara para ahli waris lahan yang terkena pembebasan. Anggota keluarga yang menempati dan menggunakan lahan saat itu merasa punya hak lebih besar dibanding ahli waris lainnya, mengingat telah melakukan pemeliharaan dan pengelolaan terhadap lahan. Sampai saat ini hubungan antara anggota keluarga yang konflik belum sepenuhnya cair. Sebelum jaringan transmisi hadir, masyarakat terutama kaum muda dapat bebas berkumpul atau bercengkerama di pekarangan, kebun tanpa merasa khawatir akan adanya pengaruh dampak radiasi medan listrik dan medan magnet yang timbul akibat penyaluran energi listrik melalui kabel jaringan. Namun setelah hadirnya tower listrik dan jaringan kabel listrik di atas lahan mereka, menimbulkan rasa kurang bebas dan kurang nyaman berada di bawah jaringan kabel transmisi. Hal ini dapat menjadi pemicu kekhawatiran yang berlebihan terhadap dampak medan listrik dan medan magnet terhadap kesehatan. Berdasarkan anjuran dan arahan yang diterima masyarakat, berkumpul atau berlama-lama tepat di bawah kabel jaringan transmisi dapat mengakibatkan atau mempengaruhi kesehatan akibat adanya medan listrik dan medan magnet yang ditimbulkan oleh kabel jaringan listrik. Kebanyakan masyarakat sudah mendapatkan informasi dan mengetahui bahwa jaringan transmisi dapat menyebabkan gangguan medan listrik dan medan magnet terhadap kesehatan. Pada saat uang ganti rugi akan diberikan, semua pemilik lahan yang terkena pembebasan diminta untuk membuka rekening tabungan, karena transaksi keuangan dari PT. PLN ke pemilik tanah dilakukan melalui bank. Namun hingga saat ini masyarakat tersebut merasakan manfaat menyimpan uang di bank. Mereka sudah menyadari bahwa dengan memiliki rekening bank, semua transaksi keuangan menjadi lebih mudah dan aman sehingga tidak perlu lagi menyimpan uang tunai di rumah. Hal ini juga memudahkan bagi pemilik rekening untuk menerima kiriman uang dari sanak saudaranya yang bekerja di luar daerah atau luar negeri. Sebaliknya hal ini juga memudahkan pengiriman uang kepada putraputri yang ersekolah di luar daerah.
42
5.2
Perubahan Jenis Mata Pencaharian dan Tingkat Penghasilan
5.2.1 Perubahan Jenis Mata Pencaharian Pada penelitian ini dilakukan pendataan jenis mata pencaharian responden baik sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Jenis pekerjaan responden dikelompokkan menjadi empat sektor yaitu: pertanian, pegawai, perdagangan dan jasa. Berdasarkan jenis pekerjaan utama, jumlah responden yang bekerja di sektor pertanian adalah 15 responden (25,00 persen), yang bekerja sebagai pegawai adalah 20 responden (33,33%), yang bekerja di sektor perdagangan adalah 13 responden (21,67 persen), dan yang bekerja di sektor jasa adalah 12 responden (20,00 persen). Akibat pembebasan lahan terjadi perubahan mata pencaharian sebagaimana digambarkan pada Gambar 4. Berdasarkan hasil penelitian, jenis pekerjaan responden yang terkena pengaruh langsung dampak pembebasan lahan adalah mata pencaharian yang menjadikan lahan sebagai modal dan tempat usaha, yaitu: pertanian, warung kelontong, warung makan-minum, dan kontrakan rumah. Selengkapnya Perubahan jenis mata pencaharian responden akibat pembebasan lahan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Perubahan jenis mata pencaharian setelah pembebasan lahan Mata Pencaharian Responden No
Sebelum Pembebasan (Tahun 2011)
Setelah Pembebasan (Tahun 2015)
Perubahan Jumlah Resp
%
1
U: Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
U: Petani Penggarap
2
3,33
2
U: Petani Pemilik Lahan
U: Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1
1,67
3
U: Warung Kelontong S: Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
U: Warung Kelontong S: Petani Penggarap
1
1,67
4
U: Warung Kelontong S: Serabutan
U: Serabutan
1
1,67
5
U: Warung Makan Minum
U: Serabutan
1
1,67
6
U: Karyawan S: Kontrakan Rumah
U: Karyawan
1
1,67
7
U: Pensiunan PNS S: Kontrakan Rumah
U: Pensiunan PNS
1
1,67
8
U: Pegawai Negeri Sipil
U: Pensiunan PNS
2
3,33
10
16,67
Total Keterangan: U: Pekerjaan Utama, S: Pekerjaan Sampingan
Gambar 4 Perubahan mata pencaharian setelah pembebasan lahan
43
44
Jumlah responden yang mengalami perubahan mata pencaharian setelah pembebasan lahan adalah 10 orang atau 16,67 persen dari keseluruhan responden. Dari sepuluh responden tersebut hanya ada delapan orang yang dianggap perubahan mata pencahariannya disebabkan oleh karena pembebasan lahan. Adapun dua responden lainnya yang perubahan mata pencahariannya dianggap bukan karena pembebasan lahan adalah merupakan pegawai negeri sipil yang pensiun seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan mata pencaharian yang terjadi pada delapan responden tersebut adalah: dari petani pemilik lahan menjadi petani penggarap, dari usaha warung kelontong, warung makan minum dan kontrakan rumah menjadi kehilangan usaha-usaha tersebut. Sebelum pembebasan lahan terdapat 12 responden petani yang memiliki lahan dengan luas di atas 100 m2 dan mengelolanya sendiri. Karena keterbatasan luas tanah, separuh (enam responden) dari responden tersebut merangkap menjadi petani penggarap pada lahan milik orang lain. Selain itu, terdapat lima responden petani yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri sehingga menjadi petani penggarap di lahan milik orang lain. Dalam penelitian ini petani dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan luas pemilikan tanahnya, yaitu: petani pemilik lahan, dengan luas pemilikan lahan di atas 1.000 m2; petani pemilik lahan merangkap petani penggarap, dengan luas pemilikan lahan 100-1.000 m2; dan petani penggarap, dengan pemilikan lahan di bawah 100 m2. Menurut Sayogyo (1986), luas lahan pertanian dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu: golongan petani kecil dengan luas lahan di bawah 0,5 hektar, golongan petani menengah dengan luas pemilikan lahan 0,5-1,0 hektar, serta golongan petani besar dengan luas lahan di atas 1,0 hektar. Berdasarkan penggolongan ini, dari 12 responden petani yang memiliki lahan untuk bertani hanya ada dua responden yang tergolong petani menengah, sisanya merupakan petani kecil. Pada sektor pertanian, enam responden petani pemilik lahan dengan luas lahan di atas 1.000 m2 tidak berubah mata pencahariannya pasca pembebasan lahan, artinya bahwa dampak kegiatan pembebasan tidak mengubah jenis pekerjaan para responden tersebut. Keenam responden ini tetap menjadi petani pemilik lahan pasca pembebasan lahan. Responden petani yang berubah jenis mata pencahariaanya akibat pembebasan lahan adalah tiga responden petani pemilik lahan merangkap petani penggarap. Pasca pembebasan lahan, ketiga responden ini berubah menjadi petani penggarap saja dikarenakan lahan miliknya tidak tersisa lagi untuk pertanian. Dengan beralihnya mata pencaharian ketiga responden ini, menambah jumlah petani penggarap menjadi delapan orang. Seorang responden memiliki peternakan kambing dengan jumlah ternak berkisar 10 ekor. Usaha ini merupakan usaha sampingan yang tidak terganggu kegiatan pembebasan lahan. Tidak adanya perubahan jenis mata pencaharian petani pasca pembebasan tanahnya dalam penelitian ini tidak relevan dengan pernyataan Suryana (2000)
45
bahwa pembebasan tanah milik petani mengakibatkan perubahan jenis pekerjaan pada pemilik lahan sebagai sumber mata pencaharian, serta jenis pekerjaan petani pemilik lahan menjadi lebih beragam dibanding sebelumnya. Pada kelompok pegawai terjadi perubahan jenis mata pencaharian pada responden PNS. Seiring waktu, setelah empat tahun pasca pembebasan lahan, dua dari tiga responden PNS memasuki masa pensiun sehingga menambah jumlah pensiunan dari empat reseponden sebelum pembebasan menjadi enam responden setelah pembebasan lahan. Dalam penelitian ini kegiatan pembebasan lahan tidak berdampak pada perubahan jenis mata pencaharian untuk kelompok pegawai karena tidak terlihat adanya perubahan jenis pekerjaan responden baik yang utama maupun sampingan pasca pembebasan lahan. Pada penelitian ini terdapat jenis usaha perdagangan yang sangat tergantung dengan adanya lahan untuk tempat usaha diantaranya warung, toko dan kios. Sebelum pembebasan lahan, terdapat 11 responden memiliki usaha warung kelontong dan warung makan minum sebagai mata pencaharian utama, namun setelah pembebasan, dua dari para responden tersebut kehilangan usaha warungnya akibat terkena pembebasan. Seorang responden yang kehilangan usaha warung kelontongnya hingga saat ini belum dapat mengembalikan usahanya tersebut karena uang ganti rugi yang diperolehnya tidak cukup untuk membeli lahan pengganti di tempat lain. Beruntung bahwa responden ini masih memiliki usaha sampingan sebagai pekerja serabutan sehingga dapat tetap menghidupi keluarganya. Kehilangan mata pencaharian juga dialami seorang responden yang sebelumnya memiliki usaha warung makan minum. Akibat lahan usahanya terkena lokasi tapak tower maka responden tersebut kehilangan sumber penghasilan utamanya. Setelah uang ganti rugi dibagikan kepada seluruh anggota keluarganya, responden ini kemudian beralih profesi menjadi pekerja serabutan. Ketidakmampuan responden mengembalikan usaha warungnya pasca pembebasan disebabkan oleh alokasi penggunaan uang ganti rugi tidak untuk membeli lahan pengganti akan tetapi digunakan untuk keperluan konsumtif dan sisanya dibagikan habis kepada seluruh anggota keluarga. Apa yang dilakukan oleh responden ini merupakan gambaran umum dari alokasi penggunaan uang ganti rugi oleh pemilik lahan. Sektor jasa merupakan sektor yang cenderung tidak terpengaruh oleh pembebasan lahan karena umumnya tidak menggunakan lahan sebagai modal. Pada sektor ini terjadi pengurangan pada jumlah responden yang mengusahakan rumah kontrakan. Sebelum pembebasan lahan terdapat tujuh responden yang memiliki usaha kontrakan rumah, namun setelah pembebasan berkurang menjadi lima responden. Beruntung bahwa dua usaha kontrakan yang hilang tersebut merupakan usaha sampingan sehingga responden masih memiliki sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Pada sektor ini terjadi peningkatan jumlah responden yang berprofesi sebagai pekerja serabutan, dari semula empat
46
responden menjadi lima responden pasca pembebasan. Tambahan responden pekerja serabutan ini berasal dari responden yang sebelumnya memiliki usaha warung makan-minum pada saat sebelum pembebasan. Dari hasil penelitian ini terlihat adanya perubahan mata pencaharian pada responden yang memiliki usaha kontrakan rumah dan pekerja serabutan yang diakibatkan oleh kegiatan pembebasan lahan. 5.2.2 Perubahan Tingkat Penghasilan Perubahan tingkat penghasilan akibat adanya pembebasan lahan diukur melalui pendekatan penghasilan yang hilang (loss of earnings). Berdasarkan hasil perhitungan loss of earnings tersebut diketahui beberapa responden yang mengalami kehilangan penghasilan akibat pembebasan lahan, baik yang bekerja di sektor pertanian, perdagangan maupun jasa. Kehilangan penghasilan (loss of earnings) dalam rupiah per bulan masing-masing responden akibat pembebasan lahan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Kode Resp R-03
Kehilangan penghasilan responden akibat pembebasan lahan
Pekerjaan Sebelum Pembebasan (Tahun 2011)
Pekerjaan Setelah Pembebasan (Tahun 2015)
Loss of Earnings (Rp/bln)
Petani Penggarap
179.000
Petani Penggarap
265.000
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap Petani Penggarap & Warung Kelontong Petani Penggarap
152.000
R-13
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap Petani Pemilik Lahan dan Penggarap Petani Pemilik Lahan dan Penggarap Petani Pemilik Lahan dan Penggarap & Warung Kelontong Petani Penggarap
R-21
Petani Penggarap
Petani Penggarap
136.000
R-29
Petani Penggarap
Petani Penggarap
36.000
R-31
Petani Penggarap
Petani Penggarap
86.000
R-32
Petani Penggarap
Petani Penggarap
201.000
R-49
Petani Pemilik Lahan
Petani Pemilik Lahan
R-01
Jualan Ikan
Jualan Ikan
R-30
Warung Kelontong & Serabutan
Serabutan
2.617.000
R-34
Kontrakan Rumah & Karyawan
Karyawan
794.000
R-60
Pensiunan PNS
737.000
R-17
Kontrakan Rumah & Pensiunan PNS Bengkel Mobil
Bengkel Mobil
746.000
R-40
Serabutan
Serabutan
R-06 R-07 R-08
Total Rata-rata
87.000
151.000
15.000 359.000
44.000 6.605.000 412.813
47
Berdasarkan hasil survei, dari 60 responden responden terdapat 16 responden (26,67 persen) yang mengalami kehilangan penghasilan akibat pembebasan lahan. Jenis pekerjaan para responden yang mengalami kehilangan penghasilan ini adalah: 10 responden yang bekerja sebagai petani, satu responden pemilik usaha jualan ikan, satu responden pemilik usaha warung kelontong, dua responden pemilik usaha jasa kontrakan rumah, satu responden pemilik usaha bengkel, dan satu responden yang bekerja serabutan. Secara keseluruhan, kehilangan penghasilan dari 16 responden akibat pembebasan adalah Rp 6.605.000,- per bulan atau rata-rata sebesar Rp. 412.813,- per responden per bulan. Kehilangan penghasilan terbesar dialami seorang responden pemilik usaha warung kelontong yang lahan usahanya terkena pembebasan lahan, dengan jumlah kehilangan penghasilan Rp. 2.617.000 per bulan, sedangkan kehilangan penghasilan terkecil dialami oleh seorang petani pemilik lahan dengan jumlah kehilangan penghasilan Rp. 15.000 per bulan. Petani tersebut memiliki lahan yang cukup luas sehingga lahan yang hilang terkena pembebasan tidak begitu mempengaruhi jumlah penghasilannya. Kehilangan penghasilan yang dialami petani berasal dari hilangnya sebagian lahan pertanian yang digarapnya baik itu dari lahan miliknya maupun lahan milik orang lain yang digarapnya. Total kehilangan penghasilan 10 orang petani tersebut adalah Rp. 1.308.000 per bulan atau Rp. 130.800 per orang per bulan. Pada sektor pertanian, kehilangan lahan mengakibatkan tiga orang petani yang sebelumnya memiliki lahan sendiri sambil menggarap lahan milik orang lain, beralih menjadi petani penggarap saja tanpa memiliki lahan sendiri dikarenakan lahannya terkena pembebasan lahan. Sepuluh dari 16 responden yang mengalami kehilangan penghasilan akibat pembebasan lahan bermata pencaharian sebagai petani. Berkurangnya luas tanah pertanian responden mengurangi populasi tanaman yang dibudidayakannya, sehingga produksinya juga berkurang. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kehilangan penghasilan responden petani pemilik lahan disebabkan oleh kegiatan pembebasan. Hilangnya penghasilan yang dialami responden petani tersebut disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi areal tapak tower. Hal ini relevan dengan pernyataan Sumaryanto (1994) dalam penelitianya di Jawa Barat dan Jawa Timur, bahwa alih fungsi lahan pertanian dapat menimbulkan penurunan pendapatan dan kesempatan kerja usahatani. Akibat pembebasan lahan, dua responden yang memiliki usaha kontrakan rumah sebagai pekerjaan sampingan mengalami kehilangan penghasilan masingmasing sebesar Rp. 737.000,- dan Rp. 794.000,- per bulan. Pekerjaan utama kedua responden ini adalah masing-masing sebagai karyawan dan pensiunan. Sebelum pembebasan, kedua responden masing-masing memiliki rumah kontrakan yang disewakan per bulan. Sejak rumah kontrakan tersebut terkena pembebasan, kedua responden ini kehilangan penghasilan tambahan dari usaha
48
tersebut. Berdasarkan pengakuan responden, uang ganti rugi lahan yang diterima tidak digunakan untuk membeli lahan baru pengganti lahan rumah kontrakan yang telah dibebaskan, namun digunakan untuk membeli peralatan rumah tangga dan sebagian dibagikan kepada para anggota keluarga. Hilangnya penghasilan tersebut tidak relevan dengan pernyataan Sumaryanto (1994) bahwa alih fungsi lahan memberikan manfaat berupa tambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan pengembangan ekonomi wilayah. 5.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Ganti Rugi Lahan
Dalam melakukan pembebasan lahan PLN telah memiliki pedoman yang baku yang diadopsi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 38 Nomor 2013 tentang Kompensasi Atas Tanah, Bangunan dan Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi dan Saluran Udara Tegangan Tinggi. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa penilaian harga tanah dilakukan berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variabel-variabel sebagai berikut: lokasi dan letak tanah; status tanah; peruntukan tanah; kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada; sarana dan prasarana yang tersedia; dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah (Pasal 28). Selanjutnya hasil penilaian harga tanah tersebut dipergunakan sebagai dasar musyawarah antara instansi yang memerlukan tanah dengan para pemilik (Pasal 30). Berdasarkan peraturan ini, penilaian harga ganti rugi tanah dilakukan berdasarkan musyawarah dengan memperhatikan NJOP dan harga pasaran tanah sekitarnya. Pada penerapannya di lapangan, kebijakan jumlah harga ganti rugi lahan yang diterapkan PT. PLN adalah bahwa harga ganti rugi lahan (per m2) merupakan separuh dari penjumlahan harga NJOP dan harga pasar tanah, dengan rumus sebagai berikut: Harga Ganti Rugi = 0,5 x (NJOP + Harga Pasar) .........(3) Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pengadaan tanah untuk pembangunan jaringan transmisi listrik termasuk pada kategori lahan untuk kepentingan umum sehingga pembebasan lahannya wajib dilakukan oleh Pemerintah. Proses pembebasan lahan untuk tapak tower dilakukan sebagaimana skema seperti Gambar 5.
49
Pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan jaringan transmisi dilakukan dua tahap. Pemrakarsa/ PLN bersama Pemerintah Kota/Kabupaten melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak. Sosialisasi tersebut menjelaskan antara lain: tujuan proyek, manfaat dan lokasi proyek, serta menjelaskan dampak yang akan terjadi. Jika masyarakat setuju lokasi proyek, dibuatlah berita acara persetujuan masyarakat tersebut. Tetapi jika masyarakat tidak setuju, dilakukan perubahan lokasi dan dilakukan sosialisasi kembali. Dalam hal masyarakat menyetujui, dibuatlah berita acara persetujuan masyarakat tersebut, dan berita acara ini menjadi dasar Pemerintah Kota/Kabupaten mengumumkan penetapan lokasi proyek. PLN/BUMN
Pemerintah Kota/Kab
Konsultasi Publik Rencana Pembangunan, dengan masyarakat terkena proyek TAHAP I Berita Acara Kesepakatan Lokasi Proyek
Walikota/ Bupati
Pengumuman Penetapan Lokasi Proyek
PLN
BPN Melaksanakan
Masyarakat Pemilik Lahan TAHAP II
Lembaga Penilai
1. Inventarisasi Lahan (Penggunaan, luas, pemilik, gambar) 2. Harga ganti rugi
1. Menetapkan bentuk ganti rugi 2. Besar ganti rugi
Pengadilan Negeri
Pelaksanaan Gantirugi
Gambar 5 Skema proses pembebasan lahan jaringan transmisi Berdasarkan pengumuman penetapan lokasi proyek tersebut, PLN meminta instasi yang berwenang dengan petanahan (BPN) untuk memproses pembebasan tanah. Berdasarkan permintaan PLN dimaksud, BPN menugaskan lembaga penilai/ apraisal independen untuk melakukan inventarisasi lahan serta memprakirakan besarnya harga ganti rugi lahan. Iventarisasi ini akan memberikan informasi: Pemilik lahan yang terkena, luasnya masing-masing lahan serta prakiraan besarnya harga tanah. Berbekal hasil inventarisasi tersebut, BPN akan mengundang pemilik lahan dan ditambah instansi terkait di desa sampai Kabupaten untuk negosiasi harga tanah, dan mendiskusikan bentuk ganti rugi,
50
apakah dengan lahan pengganti atau dengan uang. Jika negosiasi berhasil, maka akan dikeluarkan surat kesepakatan harga dan bentuk ganti rugi. Masyarakat pemilik lahan yang tidak setuju dari penetapan harga dan bentuk ganti rugi dapat menggugat ke Pengadilan Negeri. Jika tidak ada komplein, maka dilakukan proses pembebasan lahan oleh BPN. Setelah pembebasan lahan selesai dilakukan, BPN akan menyerahkan lahan tersebut berikut legalitas peralihan hak lahan tersebut kepada PLN. Setelah itu PLN dapat melakukan pembangunan proyek sesuai dengan kegiatan yang direncanakan. Semua responden terkena pembebasan mendapatkan uang ganti rugi dengan nilai yang telah disepakati antara pemilik lahan dan panitia pembebasan lahan. Rata-rata nilai ganti rugi yang diperoleh adalah Rp. 460.000 per m2, dengan nilai terendah Rp 230.000 per m2 dan tertinggi Rp 1.030.000 per m2. Rincian nilai harga ganti rugi lahan yang diterima responden disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Harga ganti rugi lahan yang diperoleh responden
Kode Responden R-01 R-02 R-03 R-04 R-05 R-06 R-07 R-08 R-09 R-10 R-11 R-12 R-13 R-14 R-15 R-16 R-17 R-18 R-19 R-20
Harga Ganti Rugi Lahan Rp/m2 520.000 520.000 520.000 370.000 370.000 260.000 230.000 230.000 280.000 400.000 400.000 400.000 400.000 260.000 340.000 340.000 400.000 590.000 340.000 340.000
Kode Responden R-21 R-22 R-23 R-24 R-25 R-26 R-27 R-28 R-29 R-30 R-31 R-32 R-33 R-34 R-35 R-36 R-37 R-38 R-39 R-40
Harga Ganti Rugi Lahan Rp/m2 400.000 410.000 500.000 260.000 300.000 300.000 410.000 260.000 260.000 260.000 260.000 260.000 1.030.000 1.030.000 1.030.000 660.000 660.000 1.030.000 370.000 450.000
Kode Responden R-41 R-42 R-43 R-44 R-45 R-46 R-47 R-48 R-49 R-50 R-51 R-52 R-53 R-54 R-55 R-56 R-57 R-58 R-59 R-60 Rata-rata Maksimum Minimum
Harga Ganti Rugi Lahan Rp/m2 460.000 430.000 430.000 460.000 460.000 430.000 430.000 450.000 430.000 430.000 570.000 570.000 475.000 475.000 570.000 650.000 650.000 650.000 400.000 500.000 459.517 1.030.000 230.000
51
Nilai harga ganti rugi lahan lebih tinggi dibanding NJOP tanah yang berlaku saat pembebasan lahan. Nilai ganti rugi yang diterima responden lebih tinggi dibanding NJOP namun lebih rendah dari harga pasar tanah. Kisaran nilai harga ganti rugi, NJOP dan harga pasar tanah disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan kebijakan PT. PLN (Persero), besaran harga ganti rugi diambil dari nilai tengah antara NJOP dan harga pasar tanah. Dengan kebijakan seperti ini nilai ganti rugi yang diterima seharusnya lebih tinggi dari yang sudah direalisasikan. Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh acuan harga pasar tanah yang berbeda antara responden dengan Panitia Pembebasan Lahan PT. PLN (Persero). Jauh sebelum dilakukan negoisasi lahan, Panitia Pembebasan Lahan telah melakukan survei harga pasar tanah yang dikumpulkan dari masyarakat sekitar maupun aparat pemerintahan desa, kelurahan dan kecamatan Tabel 15 Kisaran harga ganti rugi, NJOP dan harga pasar tanah Nilai
Rata-rata Maksimum Minimum
Harga ganti rugi lahan
NJOP lahan
Harga pasar tanah
Rp/m2
Rp/m2
Rp/m2
459.517
103.767
1.030.000
200.000
3.000.000
230.000
64.000
150.000
Dalam penelitian ini digunakan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh variabel bebas berupa: NJOP tanah, harga pasar tanah, luas pemilikan tanah responden, mata pencaharian responden, dan penghasilan responden sebelum pembebasan lahan terhadap variabel respon harga ganti rugi tanah. 5.3.1 Regresi Linear Berganda Dalam penelitian ini yang menjadi variabel respon (y) adalah harga ganti rugi tanah (Rp/m2), sedangkan variabel bebas (X) adalah: NJOP tanah (X1) dalam Rp/m2, harga pasar tanah (X2) dalam Rp/m2, luas pemilikan tanah (X3) dalam m2, mata pencaharian responden (X4) sebagai petani = 1 atau bukan petani = 0, penghasilan responden sebelum pembebasan lahan (X5) dalam Rp/m2. Seberapa besar variabel respon dapat dijelaskan oleh variabel bebas pada regresi linear berganda dapat dilihat pada nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan
(Adjusted R Square). Dari hasil uji regresi diperoleh nilai Adjusted R-Square sebesar 0,739 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas tersebut dapat menerangkan keragaman variabel respon (harga ganti rugi lahan) dengan kontribusi sebesar 73,9 persen, sedangkan sisanya sebesar 26,1 persen diterangkan
52
oleh variabel lain di luar variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini. Semakin koefisien determinasi yang sudah disesuaikan mendekati nilai satu, semakin akurat model regresi yang dibuat. Dalam penelitian ini nilai Adjusted RSquare tersebut tergolong baik, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Pengaruh variabel bebas terhadap variabel respon Variabel bebas Intersep NJOP Tanah (X1) Harga Pasar Tanah (X2) Luas Pemilikan Tanah (X3) D-Mata Pencaharian (X4) Penghasilan Sebelum Pembebasan (X5)
a
t-hitung
Sig.
172035,895 1,002a 0,077a 73,427a 20098,334 0,004
4,780 4,344 4,412 8,047 0,621 0,548
0,000 0,000 0,000 0,000 0,538 0,586
81773,309 0,763 0,739 1,645
Std Error of the Estimate R-Square R-Square (adj) Durbin-Watson Keterangan:
b
nyata pada taraf 1%
Uji F pada penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi pengaruh yang signifikan antara variabel bebas terhadap variabel respon secara keseluruhan. Uji F diketahui dengan melihat signifikan F hitung apakah lebih besar dari alpha yang ditetapkan (0,05) atau tidak. Dari hasil uji regresi linier berganda, diperoleh nilai F sebesar 32,147 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000, lebih rendah dari 0,05. Artinya adalah bahwa terdapat minimal satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel respon. Hasil Uji F selengkapnya dapat dilihat pada Tabel ANOVA pada Tabel 17. Tabel 17 ANOVA Regresia
a b
Source
df
Sum of Squares
Mean Square
F
Sig.
Regression
5
1074807276435,900
214961456287,181
32,147
0,000b
Residual
50
334343705706,954
6686874114,139
Total
55
1409150982142,860
Variabel respon: Harga ganti rugi lahan Variabel bebas: (Constant), NJOP tanah, harga pasar tanah, luas pemilikan tanah responden, mata pencaharian responden, dan penghasilan responden sebelum pembebasan lahan
.
53
Kevalidan model regresi linear yang dibuat diketahui melalui uji asumsi klasik berupa: uji normalitas, uji auotkorelasi, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas. Uji normalitas merupakan suatu bentuk pengujian tentang kenormalan distribusi data. Tujuan uji ini adalah untuk mengentahui apakah data yang diambil adalah data yang terdistribusi normal. Pada penelitian ini digunakan metode Kolmogorov Smirnov. Konsep dasar uji normalitas ini adalah dengan membandingkan distribusi data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk ZScore dan diasumsikan normal. Kriteria normal diperoleh jika hasil uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan nilai signifikansi di bawah 0,05. Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil Uji Normalitas Kolmogorv-Smirnov
Unstandarized Residual
Statistic
Sig.
Kriteria
0,094
0,200
>0,05
Kesimpulan Data berdistribusi normal
Pada saat dilakukan uji normalitas terdapat empat data pencilan yang mengganggu normalitas data sehingga perlu dibuang, oleh karena itu jumlah sampel (responden) yang digunakan dalam uji regresi linear berganda dalam penelitian ini adalah 56 responden. Dari hasil uji normalitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,200, lebih besar dari standar penyebaran normal 0,05 yang mana menunjukkan bahwa residual telah memenuhi asumsi distribusi normal. Normalitas data dapat juga ditunjukkan dengan Normal Q-Q Plot of Unstandarized Residual sebagaimana disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Normal Q-Q Plot of Unstandarized Residual
54
Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah antar data pengamatan memiliki korelasi. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi khususnya dalam model regresi linear berganda dilihat melalui nilai DurbinWatson. Pada uji autokorelasi dalam penelitian ini diperoleh nilai Durbin-Watson 1,549, berada di antara nilai dL = 1,3815 dan dU = 1,7678 pada Tabel DurbinWatson untuk jumlah sampel (n) = 56 dan jumlah variabel peubah (k) = 5. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Durbin-Watson yang diperoleh berada di luar areal tolak Ho (ada autokorelasi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara data pengamatan tidak saling berkorelasi. Uji multikolinieritas digunakan untuk melihat ada tidaknya korelasi yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam satu model regresi linear berganda. Jika terjadi korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel respon menjadi terganggu. Multikolinieritas dilihat dengan nilai tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) dari masing-masing variabel bebas. Multikolinearitas terjadi jika nilai tolerance < 0,1 yang tidak kurang dari 0,1 dan nilai VIF lebih dari 10. Nilai tolerance dan VIF masing-masing variabel bebas disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil Uji Multikolinearitas Variabel Bebas
Tolerance
VIF
Multikolinieritas
NJOP Tanah
0,677
1,476
tidak terjadi
Harga Pasar Tanah
0,718
1,392
tidak terjadi
Luas Pemilikan Tanah
0,716
1,397
tidak terjadi
D-Mata Pencaharian
0,580
1,723
tidak terjadi
Penghasilan Sebelum Pembebasan
0,787
1,271
tidak terjadi
Berdasarkan nilai tolerance dan multikolinieritas dari masing-masing variabel bebas terlihat nilai tolerance lebih besar dari 0,1, demikian juga dengan nilai variance inflation factor lebih rendah dari 10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model regresi yang dibuat tidak terjadi multikolinieritas di antara variabel-variabel bebas. Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan ragam dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Pengertian heteroskedatisitas adalah apabila kesalahan atau residual yang diamati tidak memiliki varian yang konstan. Kondisi heteroskedastisitas sering terjadi pada data cross section, atau data yang diambil dari beberapa responden pada suatu waktu tertentu. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah dimana terdapat kesamaan ragam dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas. Pada penelitian ini uji heteroskedastisitas
55
menggunakan Uji Glesjer. Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat pada hasil ANOVA antara absolut (error) dengan semua variabel bebas sebagaimana disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 ANOVA Uji Heteroskedastisitasa Model 1
b
df
Mean Squares
F
Sig.
1,701
0,152b
Regression
14963393979,255
5
2992678796,851
Residual
87981651286,658
50
1759633025,733
102945045265,912
55
Total a
Sum of Squares
Variabel respon: abserror Variabel bebas: (Constant), NJOP tanah, harga pasar tanah, luas pemilikan tanah responden, mata pencaharian responden, dan penghasilan responden sebelum pembebasan lahan
Berdasarkan ANOVA uji heteroskedastisitas diperoleh nilai signifikansi 0,152, lebih besar 0,05. Hal menunjukkan bahwa pada model regresi yang dihasilkan tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji t pada penelitian ini dilakukan untuk menguji secara parsial apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel respon atau tidak dengan melihat hubungannya satu persatu. Uji t dilakukan dengan melihat signifikansi t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan taraf nyata yang ditetapkan (0,01). Hasil uji t dan koefisien parameter variabel bebas disajikan pada Tabel 20. Dari hasil pengolahan data menggunakan software SPSS versi 16.0 dapat disusun persamaan regresi linear berganda sebagai berikut di bawah ini, dimana y adalah harga ganti rugi lahan per m2, X1 adalah NJOP lahan, X2 adalah harga pasar tanah, X3 luas pemilikan tanah responden, X4 adalah mata pencaharian responden, dan X5 adalah jumlah penghasilan responden sebelum pembebasan lahan. y = 172035,895 + 1,002 X1 + 0,077 X2 + 73,427 X3 + 20098,334 X4 + 0,004 X5
Pada penelitian ini variabel NJOP tanah berkorelasi positif dan nyata (pada taraf 1%) terhadap harga ganti rugi lahan. Setiap peningkatan NJOP tanah sebesar Rp. 1.000 per m2 meningkatkan harga ganti rugi lahan sebesar Rp. 1.002 per m2. Dalam penetapan nilai harga ganti rugi lahan, NJOP tanah menjadi salah satu dasar ketika berlangsung negoisasi antara pemilik lahan dan pihak pembeli atau pengguna lahan. Informasi mengenai besaran NJOP tercantum dalam resi Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dikeluarkan oleh Pemerintah setempat. PBB ditarik setiap tahun oleh lembaga kelurahan atau desa setempat. NJOP tanah
56
menggambarkan nilai jual sebuah obyek dimana secara berkala meningkat setiap tahunnya. Variabel harga pasar tanah berkorelasi positif dan nyata terhadap harga ganti rugi lahan. Peningkatan harga pasar tanah sebesar Rp. 1000 per m 2 meningkatkan harga ganti rugi lahan sebesar Rp. 77 per m2. Harga pasar tanah selalu lebih tinggi dibanding NJOP namun peningkatannya tidak selalu memiliki trend yang sama. Data harga pasar tanah cenderung subyektif, tidak ada angka pasti yang dapat dijadikan rujukan. Sebelum melakukan pembebasan lahan, Panitia Pembebasan Lahan melakukan survei terkait harga pasar. Dari hasil survei tersebut diperoleh kisaran harga terendah dan tertinggi. Harga pasar tanah ditentukan antara lain oleh kesuburan lahan, jarak lahan ke tempat-tempat strategis seperti pasar, kota dan lain-lain. Dalam pembebasan lahan PT. PLN juga mempertimbangkan nilai pasar tanah disamping NJOP. Berdasarkan kebijakan PT. PLN, nilai ganti rugi lahan yang disetujui adalah setengah dari NJOP ditambah harga pasar tanah. Dalam negoisasi harga ganti rugi lahan seringkali nilai pasar tanah yang telah dikumpulkan Panitia Pembebasan Lahan tidak sama dengan harga pasar yang disampaikan oleh pemilik lahan. Hal inilah yang menyebabkan proses negoisasi harga yang agak alot antara pemilik lahan dan pembeli. Pada beberapa kasus, PT. PLN terpaksa menitipkan uang ganti rugi lahan ke Pengadilan dikarenakan pemilik lahan belum setuju terhadap harga ganti rugi yang diberikan. Luas pemilikan tanah responden berkorelasi positif dan nyata terhadap harga ganti rugi lahan. Peningkatan luas pemilikan tanah responden meningkatkan harga ganti rugi lahan yang diperoleh sebesar Rp. 73.427 per m2. Semakin luas pemilikan tanah responden semakin tinggi pula posisi tawarnya dalam negoisasi penetapan harga ganti rugi, sehingga harga ganti rugi lahan yang diperolehnya cenderung lebih tinggi dibanding pemilik lahan berukuran lebih kecil. Dalam negoisasi harga ganti rugi lahan di daerah penelitian pihak PT. PLN menunjuk pemilik lahan yang lebih luas sebagai koordinator pemilik lahan lainnya. Berbeda dengan tiga variabel bebas di atas yang berkorelasi positif dan nyata, dua variabel bebas lainnya yaitu jenis mata pencaharian responden dan penghasilan responden sebelum pembebasan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan, meskipun sama-sama berkorelasi positif. Hal ini berarti bahwa jenis pekerjaan responden baik sebagai petani maupun bukan petani, tidak berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diperolehnya. Jika pemilik lahan adalah petani maka nilai ganti rugi yang diperoleh lebih tinggi Rp 20.098 per m2 dibanding responden bukan petani. 5.4
Alternatif Solusi Dampak Pembebasan Lahan
Beberapa permasalahan pasca pembebasan lahan dalam rangka pembangunan jaringan transmisi SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak telah
57
diuraikan pada sub bab awal. Permasalahan tersebut timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung oleh kegiatan pembebasan lahan tersebut, yaitu: kehilangan lahan tempat tinggal, kehilangan lahan pertanian, kehilangan mata pencaharian, kehilangan pendapatan, dan munculnya konflik internal dalam keluarga pemilik lahan. Dalam menyikapi persoalan pemilik lahan yang kehilangan tempat tinggal karena lahannya habis terkena pembebasan, PLN dapat membantu pemilik lahan untuk memperoleh lahan pengganti yang sesuai atau minimal seperti tanah miliknya yang terkena pembebasan. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan jaringan transmisi, pembangkit listrik dan lainnya, PLN telah mengadopsi mekanisme Land Acquisition and Resettlement Plan (LARP), terutama jika dana pembangunan diperoleh dari investor pembangunan berasal dari World Bank, Asian Development Bank. Salah satu prinsip dalam mekanisme tersebut adalah pemukiman kembali (resettlement) bagi masyarakat yang lahannya terkena habis pembebasan (PT. PLN, 2009). Dalam prinsip LARP pemilik lahan yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pengguna/ pembeli lahan adalah: pemilik yang lahannya habis terkena pembebasan, kelompok wanita dan yang rentan, dan pemilik yang menggunakan lahannya sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Hal penting yang perlu dilakukan agar pemilik lahan yang kehilangan seluruh lahannya dapat secara leluasa mencari lahan pengganti adalah memberikan uang ganti rugi dengan nilai sesuai harga pasaran, dan memberikan tenggang waktu yang cukup untuk mencari lahan pengganti. Hal ini sudah dilakukan oleh PLN dan dua responden yang lahannya habis dibebaskan mengakui bahwa uang ganti rugi yang diterima cukup untuk digunakan membeli lahan pengganti di daerah lain. Selain itu kedua responden ini juga mengakui telah mendapatkan tenggang waktu yang cukup sehingga dapat mencari tanah pengganti yang sesuai setelah serah terima uang ganti rugi dilakukan. Kegiatan pertanian yang berlangsung pada tapak tower dan di bawah ruang bebas umumnya adalah bertanam pisang, singkong, jagung, mangga, jambu, pepaya dan belimbing. Untuk keperluan pondasi tower SUTT 150 kV DepokKedung Badak, luas lahan yang dibutuhkan dan dibebaskan tergolong kecil yakni hanya sekitar 1,65 hektar. Hal ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi luas kehilangan lahan pertanian. Berbeda dengan lahan untuk pondasi tower, luas lahan di bawah ruang bebas cukup panjang dan luas yaitu sekitar 17,85 km x 20 m atau sekitar 35,7 hektar. Areal di bawah ruang bebas ini cukup banyak lahan yang digunakan untuk pertanian. Meskipun masih dapat digunakan untuk bercocok tanam, namun ketinggian tanaman dibatasi tidak boleh memasuki ruang bebas. Pada wilayah bertopografi datar, ketinggian tanaman yang diperkenankan adalah maksimum sekitar 7,5 meter. Dengan kondisi demikian maka jenis tanaman yang tepat ditanam di areal ini adalah sayuran, singkong, jagung, pepaya, dan bukan tanaman tahunan. Dengan demikian, menyarankan pemilik lahan yang bekerja
58
sebagai petani untuk tetap bertani dengan jenis tanaman tersebut di bawah ruang bebas jaringan transmisi adalah merupakan salah satu upaya untuk mencegah kehilangan lahan pertanian terutama di lintasan jaringan transmisi. Beberapa responden mengalami kehilangan mata pencaharian akibat lahan miliknya yang digunakan sebagai modal usaha terkena pembebasan. Kehilangan mata pencaharian utama dialami oleh dua responden yang masing-masing memiliki usaha warung kelontong dan usaha warung makan minum, sedangkan kehilangan mata pencaharian ssampingan dialami oleh dua responden yang memiliki usaha rumah kontrakan. Salah satu prinsip LARP dalam pelaksanaan pembebasan lahan adalah memberikan perhatian khusus kepada pemilik lahan yang menggunakan lahannya sebagai sumber penghasilan uatama. Kepada pemilik lahan demikian diberikan uang ganti rugi dengan nilai tidak saja sesuai dengan harga pasaran tetapi juga harus memperhatikan besarnya penghasilan yang hilang di masa mendatang sebagai akibat hilangnya lahan miliknya yang berfungsi sebagai sumber mata pencaharian. Dalam proses pembebasan lahan di jaringan transmisi ini tampaknya PLN belum menerapkan prinsip LARP ini. Hilangnya penghasilan responden terkena pembebasan lahan sangat berhubungan langsung dengan hilangnya mata pencaharian responden sebagai akibat pembebasan lahan. Dalam upaya mengantisipasi terjadinya kehilangan penghasilan tersebut, PLN perlu menerapkan prinsip LARP dimana responden yang kehilangan lahan sebagai sumber mata pencaharian utamanya mendapatkan nilai ganti rugi khusus. Hal ini dilakukan agar pemilik lahan dapat mencari lahan pengganti yang sesuai untuk kepentingan membangun kembali usaha sebelumnya. Konflik pasca pembebasan lahan yang dapat dikaitkan sebagai dampak pembebasan lahan terjadi dalam internal keluarga tiga responden. Lahan yang dimiliki ketiga responden ini merupakan tanah milik orang tua dan mertua yang belum dibagikan kepada ahli waris. Konflik internal tersebut timbul akibat ketidakpuasan para anggota keluarga atas pembagian uang ganti rugi di antara Untuk menghindari dampak konflik terhadap kelangsungan proses mereka. pembebasan lahan dan pembangunan jaringan transmisi, tahapan proses pembebasan lahan harus dilakukan sebaik-baiknya. Proses tersebut meliputi: sosialisasi rencana kegiatan; identifikasi lokasi tanah, pemilik tanah yang sebenarnya, status legalitas pemilikan tanah; musyawarah penetapan nilai ganti rugi; dan penyerahan uang ganti rugi disertai dokumentasi dan berita acara serah terima.
59
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1.
Pembangunan jaringan transmisi menyebabkan munculnya berbagai masalah, yaitu: (a) pembebasan lahan yang menyebabkan hilangnya tempat tinggal bagi 3,33 persen responden sehingga harus direlokasi ke daerah lain, (b) menyebabkan hilangnya 16,63 persen lahan pertanian masyarakat yang terkena pembangunan tower jaringan transmisi, dan (c) terjadi konflik dalam internal keluarga sebesar 5,00 persen responden dalam hal pembagian uang ganti rugi yang diterima.
2.
Perubahan jenis mata pencaharian akibat pembebasan lahan dialami oleh responden yang menjadikan lahan sebagai modal utama usahannya, yaitu petani (6,67 persen), pemilik usaha warung kelontong dan warung makan minum (3,33 persen), serta pemilik usaha kontrakan rumah (3,33 persen), yang membawa konsekuensi kehilangan penghasilan, yaitu 26,67 persen responden, dengan total kehilangan penghasilan sebesar Rp. 6.605.000,- per bulan atau rata-rata sebesar Rp. 412.813 per bulan per responden.
3.
Model ganti rugi lahan yang terkena jaringan transmisi memiliki R-Square (adj) sebesar 73.9 persen, dengan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi adalah: NJOP tanah, harga pasar tanah, dan luas pemilikan tanah responden, dengan tingkat signifikansi masing-masing 0,000. Hasil uji asumsi klasik membuktikan bahwa model regresi yang dibangun sesuai dengan kaidah ekonometrika adalah baik tanpa ada autokorelasi, multikolinierisasi, heteroskedastisitas, juga data tersebar secara normal.
4.
Untuk meminimalkan dampak pembebasan lahan perlu diperhatikan tentang bagaimana kelanjutan usaha ekonomi masyarakat yang mengandalkan tanah sebagai modal utama usahanya dan bagaimana nilai ganti rugi yang ditetapkan harus memenuhi aspek ketaatan kepada perundang-undangan dan musyawarah dengan masyarakat pemilik lahan.
6.2
Saran Dari hasil penelitian ini dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.
Untuk pembangunan jaringan transmisi membutuhkan area yang luas dan melibatkan pembebasan lahan oleh masyarakat. Untuk itu, PT. PLN harus memberikan nilai ganti rugi yang berkeadilan agar pembangunan dapat terus berjalan dan masyarakat tidak merasakan dampak negatif yang terlalu besar.
60
Perlu dibangun mekanisme penggantian nilai dengan berdasarkan luas lahan, status lahan dan harga pasar yang berlaku. 2.
Pemerintah perlu turut serta mengatasi persoalan kehilangan mata pencaharian dan kehilangan penghasilan yang disebabkan pembebasan lahan, misalnya melalui pembangunan perumahan vertikal sederhana yang dapat ditinggali oleh masyarakat yang terkena langsung pembebasan lahan tersebut. Jangan sampai dua dampak ini menjadi pemicu timbulnya dampak sekunder lain yang lebih besar di masyarakat
3.
Masyarakat yang terkena pembebasan lahan harus mau menerima ganti rugi yang sudah disepakati sejauh pemanfaatan lahan tersebut adalah untuk publik, sehingga menjauhkan dari aspek komersialisasi.
61
DAFTAR PUSTAKA Adams D. 1994. Urban Planning and the Development Process. London: UCL Press. Andrian S. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika. Bahrin, Sugihen BG, Susanto D, Asngari PS. 2008. Luas Lahan dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Kasus Rumahtangga Petani Miskin di Daerah Dataran Tinggi Kabupaten Kapahiang Propinsi Bengkulu). Jurnal Penyuluhan. 4:116-125 Daniel WW. 1989. Statistik Nonparametrik Terapan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Djojo M. 1992. Teori Lokasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Djurdjani. 2009. Suplai Tanah Untuk Pembangunan: Suatu Tinjauan Teoritis, Prosiding Seminar Nasional: Peran Informasial Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Semarang: FIT ISI. Eggertsson, T. 1995. Economic Perspective on Property Rights and the Economic of Institutions. In PalFoss (Ed) Economic Approaches to Organizations and Institutions. (pp.47-61). Aldershot: Dartmouth. Fisher P. 2005. The Property Development Process: Case Studies from Grainger Town. Property Management. Vol. 23 No. 3. 159-175. Guerin, K. 2003. Property Rights and Environmental Policy: A New Zealand Perspective. New Zealand Treasury Working Paper 03/02. New Zealand. Indriantoro N. dan Supomo B., 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta Irawan B, Friyatno S. 2000. Pengembangan Model Kelembagaan Reservasi Lahan Petani. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Mudakir B. 2011. Produktifitas Lahan dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pada Usahatani Padi (Kasus di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah). Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. 1:74-83. Munif A. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan (Kajian Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006). Jurnal Yustitia. 11:1-25
62
Nicholson W, Snyder C. 2010. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. 11th edn. Ohio: South-Western Rangkuti, Freddy. 2001. Riset Pemasaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama Dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII. Rangkuti, Freddy. 2002. The Power of Brands. Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek: Plus Analisis Kasus Dengan SPSS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Santoso B. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Ghalia Indonesia Santoso, Singgih. 2001. SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Siegel, 1990. Nonparametric Statistics for The Behavioral Sciences. Terjemahan oleh Zanzawi Suyuti dan Landung Simatupang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Soekartawi. 1990. Pembangunan Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soemarwoto O. 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Cetakan Kesebelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soimin S. 2001. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika Sudarto T, Parsudi S, Amir IT. 2007. Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pertanian Terhadap Petani di Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional. Sumaryanto. 1994. Analisa Kebijakan Konservasi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas - Universitas Gajah Mada. Suryaman. 2005. Penyusutan Lahan dan Kemiskinan. Bandung: Pikiran Rakyat SuryaPna. 2003. Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Tribuana, N. 2000. Pengukuran Medan Listrik dan Medan Magnet di bawah SUTET 500kV. http://www.elektroindonesia.com/elektro/ener32a.html. Dikunjungi pada 15 Agustus 2015. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
63
Warokka TD, Zulkifli, Simaniburuk M. 2006. Sengketa Tanah: Bentuk Pertentangan Atas Pembebasan Tanah Rakyat Untuk Pembangunan (Studi Kasus: Pembebasan Tanah Untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang. Jurnal Studi Pembangunan. 1:63-75.
Lampiran 1 Perubahan luas pemilikan lahan responden Luas Pemilikan Lahan Kode Responden
R-01 R-02 R-03 R-04 R-05 R-06 R-07 R-08 R-09 R-10 R-11 R-12 R-13 R-14 R-15 R-16 R-17 R-18 R-19 R-20 R-21 R-22 R-23 R-24 R-25 R-26 R-27 R-28 R-29 R-30 R-31 R-32 R-33
Sebelum Setelah Pembebasan Pembebasan m2 m2 130 600 400 5.298 9.600 300 800 500 500 1.200 120 200 180 1.550 250 1.800 240 135 500 267 200 350 140 800 600 650 200 340 210 160 220 120 170
123 579 247 5.073 9.387 142 581 201 381 1.000 82 142 69 1.350 225 1.762 170 99 460 100 150 189 39 757 585 637 140 269 180 67 210 52 165
Perubahan Luas Pemilikan Lahan Responden m2 7 21 153 225 213 158 219 299 119 200 38 58 111 200 25 38 70 36 40 167 50 161 101 43 15 13 60 71 30 93 10 68 5
% 5,38 3,50 38,25 4,25 2,22 52,67 27,38 59,80 23,80 16,67 31,67 29,00 61,67 12,90 10,00 2,11 29,17 26,67 8,00 62,55 25,00 46,00 72,14 5,38 2,50 2,00 30,00 20,88 14,29 58,13 4,55 56,67 2,94
Lampiran 1 Lanjutan Luas Pemilikan Lahan Kode Responden
Sebelum Setelah Pembebasan Pembebasan m2 m2
Perubahan Luas Pemilikan Lahan Responden m2
%
R-34 R-35 R-36 R-37 R-38 R-39 R-40 R-41 R-42 R-43 R-44 R-45 R-46 R-47 R-48 R-49 R-50 R-51 R-52 R-53 R-54 R-55 R-56 R-57 R-58 R-59 R-60
114 192 300 180 200 65 80 410 340 180 510 330 289 40 500 1.000 289 180 210 91 255 315 135 92 300 382 353
71 176 276 131 191 60 33 398 267 86 441 232 256 0 425 800 268 170 160 58 160 207 95 53 216 183 0
43 16 24 49 9 5 47 12 73 94 69 98 33 40 75 200 21 10 50 33 95 108 40 39 84 199 353
37,72 8,33 8,00 27,22 4,50 7,69 58,75 2,93 21,47 52,22 13,53 29,70 11,42 100,00 15,00 20,00 7,27 5,56 23,81 36,26 37,25 34,29 29,63 42,39 28,00 52,09 100,00
Rata-rata Maksimum Minimum
601 9.600 40
517 9.387 0
84 353 5
27,72 100,00 2,00
Lampiran 2 Jenis mata pencaharian responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan Kode resp
Sebelum pembebasan lahan Pekerjaan sampingan
Setelah pembebasan lahan
R-01
Pekerjaan utama Jualan Ikan
R-02
Guru SMA
R-03
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Petani Penggarap
ada
R-04
Petani Pemilik Lahan
Petani Pemilik Lahan
tidak ada
R-05
Petani Pemilik Lahan
R-06
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Petani Penggarap
ada
R-07
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
tidak ada
R-08
Warung Kelontong
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Warung Klontong
Petani Penggarap
ada
R-09
Warung Makan-Minum
Sewa Kios
Warung Makan-Minum
Sewa Kios
tidak ada
R-10
Petani Pemilik Lahan
R-11
Guru SMP
R-12
Bengkel Mobil
Bengkel Mobil
tidak ada
R-13
Petani Penggarap
Petani Penggarap
tidak ada
R-14
Karyawan
Sewa Tenda
Tukang Listrik
Pekerjaan utama Jualan Ikan Guru SMA
Petani Pemilik Lahan
Pekerjaan sampingan
Perubahan pencaharian tidak ada
Sewa Tenda
Tukang Listrik
Petani Pemilik Lahan Warung Kelontong
Petani Pemilik Lahan
Guru SMP
Karyawan
tidak ada
tidak ada
tidak ada Warung Kelontong
Petani Pemilik Lahan
tidak ada
tidak ada
Lampiran 2 Lanjutan Kode resp
Sebelum pembebasan lahan Pekerjaan sampingan
Setelah pembebasan lahan
R-15
Pekerjaan utama Warung Makan-Minum
R-16
Petani Pemilik Lahan
R-17
Bengkel Mobil
Bengkel Mobil
tidak ada
R-18
Warung Makan-Minum
Warung Makan-Minum
tidak ada
R-19
Pengojek
Pengojek
tidak ada
R-20
Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil
tidak ada
R-21
Petani Penggarap
Petani Penggarap
tidak ada
R-22
Satpam
R-23
Warung Makan-Minum
Serabutan
ada
R-24
Pembantu Rumah Tangga
Pembantu Rumah Tangga
tidak ada
R-25
Bengkel Sepeda
Bengkel Sepeda
tidak ada
R-26
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
R-27
Warung Kelontong
Warung Klontong
tidak ada
R-28
Pegawai Negeri Sipil
Pensiunan PNS
ada
R-29
Petani Penggarap
Petani Penggarap
tidak ada
R-30
Warung Kelontong
Serabutan
Warung Makan-Minum
Ternak Kambing
Serabutan
Pekerjaan utama Warung Makan-Minum Petani Pemilik Lahan
Satpam
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Tidak Ada
Pekerjaan sampingan
Perubahan pencaharian tidak ada
Serabutan
Warung Makan-Minum
Ternak Kambing
Serabutan
tidak ada
tidak ada
tidak ada
ada
Lampiran 2 Lanjutan Kode resp
Sebelum pembebasan lahan Pekerjaan sampingan
Setelah pembebasan lahan Pekerjaan utama Petani Penggarap
Pekerjaan sampingan
Perubahan pencaharian
R-31
Pekerjaan utama Petani Penggarap
R-32
Petani Penggarap
R-33
Toko ATK dan Fotokopi
Sewa Lahan
Toko ATK dan Fotokopi
Sewa Lahan
tidak ada
R-34
Karyawan
Sewa Rumah
Karyawan
Tidak Ada
ada
R-35
Warung Kelontong
R-36
Warung Kelontong
R-37
Karyawan
Karyawan
tidak ada
R-38
Sewa Rumah
Sewa Rumah
tidak ada
R-39
Satpam
Satpam
tidak ada
R-40
Serabutan
Serabutan
tidak ada
R-41
Karyawan
Karyawan
tidak ada
R-42
Pensiunan PNS
Pensiunan PNS
tidak ada
R-43
Warung Makan-Minum
Warung Makan-Minum
tidak ada
R-44
Sewa Rumah
Serabutan
Sewa Rumah
Serabutan
tidak ada
R-45
Honorer Kelurahan
Jualan Pulsa
Honorer Kelurahan
Jualan Pulsa
tidak ada
R-46
Pensiunan PNS
Pensiunan PNS
tidak ada
R-47
Sopir Kopaja
Sopir Kopaja
tidak ada
tidak ada
Petani Penggarap
tidak ada
Warung Klontong Sewa Kios
Warung Klontong
tidak ada Sewa Kios
tidak ada
Lampiran 2 Lanjutan Kode resp
Sebelum pembebasan lahan Pekerjaan sampingan Sewa Rumah
Setelah pembebasan lahan Pekerjaan utama Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Pekerjaan sampingan Sewa Rumah
Perubahan pencaharian
R-48
Pekerjaan utama Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
R-49
Petani Pemilik Lahan
R-50
Karyawan
R-51
Karyawan
Karyawan
tidak ada
R-52
Warung Kelontong
Warung Kelontong
tidak ada
R-53
Karyawan
R-54
Pengojek
R-55
Veteran
Sewa Rumah
Veteran
Sewa Rumah
tidak ada
R-56
Sopir Truk Rental
Warung Makan-Minum
Supir Truk Rental
Warung Makan-Minum
tidak ada
R-57
Pegawai Negeri Sipil
Pensiunan PNS
ada
R-58
Sewa Rumah
Sewa Rumah
tidak ada
R-59
Pensiunan Polri
Pensiunan Polri
tidak ada
R-60
Pensiunan PNS
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap Warung Makan-Minum
Kreditan Barang
Karyawan
Karyawan
ada Warung Makan-Minum
Kreditan Barang
Pengojek
Sewa Rumah
Pensiunan PNS
tidak ada
tidak ada
tidak ada tidak ada
Tidak Ada
ada
Lampiran 3 Penghasilan responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan (Rp 000 per bulan) Kode Resp
Sebelum Pembebasan Lahan Pekerjaan Utama Jualan Ikan Guru SMA Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Ea1 3.859 3.859
Ea2 3.500
Pekerjaan Sampingan
Guru SMA Petani Penggarap
3.950 1.300
Sewa Tenda
Petani Pemilik Lahan Petani Pemilik Lahan Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
3.280 6.111
Petani Pemilik Lahan
3.700
Petani Pemilik Lahan
6.950
1.415
Petani Penggarap
1.150
265
R-07
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.737
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.650
87
R-08
Warung Klontong
1.608
R-09
Warung Makan-Minum 4.503
R-10
Petani Pemilik Lahan
1.994
R-11 R-12 R-13
Guru SMP Bengkel Mobil Petani Penggarap
3.859 1.608 1.351
R-14
Karyawan 7.076 Warung Makan-Minum 4.503
R-03 R-04 R-05 R-06
R-15
Sewa Tenda
Eb1 3.859
1.479
Tukang Listrik
2.058
Eb2
LoE
Pekerjaan Utama Jualan Ikan
R-01 R-02
Pekerjaan Sampingan
Setelah Pembebasan Lahan
359 4.400
-631 179 -420
Tukang Listrik
2.000
-781
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.544
Warung Klontong
1.850
Petani Penggarap
1.150
152
Sewa Kios
1.930
Warung MakanMinum Petani Pemilik Lahan
5.000
Sewa Kios
2.250
-818
Guru SMP Bengkel Mobil Petani Penggarap
3.950 1.850 1.200
Warung Kelontong
Karyawan
7.200
Petani Pemilik Lahan
Warung MakanMinum
4.950
Warung Kelontong
Petani Pemilik Lahan
1.930
643
2.050
-56 2.200
-361 -242 151
550
-31 -447
Lampiran 3 Lanjutan Kode Resp
Sebelum Pembebasan Lahan
R-18 R-19 R-20
Pengojek Pegawai Negeri Sipil
1.608 4.503
Pengojek
1.500
108
Pegawai Negeri Sipil
4.600
-97
R-21 R-22
Petani Penggarap Satpam
1.286 2.766
Petani Penggarap
1.150
136
Satpam
2.800
R-23
Warung Makan-Minum 3.216
Serabutan
3.500
-284
R-24
Pembantu Rumah Tangga Bengkel Sepeda
Pembantu Rumah Tangga Bengkel Sepeda
1.000
-35
3.950
-91
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.700
R-25
Warung MakanMinum
Eb1 1.544
3.859
965 3.859 Ternak Kambing
Pekerjaan Sampingan Serabutan
Pekerjaan Utama Petani Pemilik Lahan
Ea2 1.650
Bengkel Mobil Warung MakanMinum
4.400 4.000
746 -141
Warung MakanMinum
4.400
-513
-575
R-26
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.608
R-27 R-28
Warung Klontong Pegawai Negeri Sipil
3.859 6.432
Warung Klontong Pensiunan PNS
4.000 2.650
-141 3.782
R-29
Petani Penggarap
1.286
Petani Penggarap
1.250
36
R-30 R-31
Warung Klontong Petani Penggarap
2.573 1.286
Tidak Ada Petani Penggarap
1.200
Serabutan
643
1.544
Ternak Kambing
Eb2 1.500
LoE
Pekerjaan Utama Ea1 Petani Pemilik Lahan 1.093 Bengkel Mobil 5.146 Warung Makan-Minum 3.859
R-16 R-17
Pekerjaan Sampingan Serabutan
Setelah Pembebasan Lahan
Serabutan
600
1.500
-49
2.617 86
Lampiran 3 Lanjutan Kode Resp
Sebelum Pembebasan Lahan
Setelah Pembebasan Lahan
Ea1 1.351 2.573
Pekerjaan Sampingan
R-32 R-33
Pekerjaan Utama Petani Penggarap Toko ATK dan Fotokopi
Sewa Lahan
643
Toko ATK dan Fotokopi
R-34
Karyawan
1.544
Sewa Rumah
901
R-35 R-36
Warung Klontong Warung Klontong
5.789 1.930
Sewa Kios
1.286
R-37 R-38 R-39
Karyawan Sewa Rumah Satpam
2.509 901 2.509
R-40
Serabutan
1.544
R-41 R-42 R-43
Karyawan 2.573 Pensiunan PNS 1.286 Warung Makan-Minum 4.503
R-44
Sewa Rumah
1.351
Serabutan
R-45 R-46 R-47
Honorer Kelurahan Pensiunan PNS Sopir Kopaja Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.608 2.573 1.608
Jualan Pulsa
1.544
Sewa Rumah
R-48
Eb1
1.544 643
1.544
Pekerjaan Utama Petani Penggarap
Eb2
LoE
Ea2 1.150 2.850
Pekerjaan Sampingan
Karyawan Warung Klontong
1.650 6.000
Warung Klontong
2.100
Karyawan
2.650
-141
Sewa Rumah
1.000
-99
Satpam Serabutan
2.750 1.500
-241 44
Karyawan Pensiunan PNS
3.000 1.200
-427 86
Warung MakanMinum
5.000
-497
Sewa Rumah
1.500
Serabutan
1.500
-105
Honorer Kelurahan Pensiunan PNS Sopir Kopaja
1.500 2.350 2.200
Jualan Pulsa
1.000
-249 223 -592
Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
1.500
Sewa Rumah
1.750
-162
201 Sewa Lahan
750
-384
Tidak Ada
-
794 -211
Sewa Kios
1.500
-384
Lampiran 3 Lanjutan Kode Resp
Sebelum Pembebasan Lahan Ea1 1.865
Pekerjaan Sampingan
R-49
Pekerjaan Utama Petani Pemilik Lahan
R-50
Karyawan
4.052
Warung MakanMinum
R-51
Karyawan
5.146
R-52
Warung Kelontong
4.503
R-53
Karyawan
7.333
R-54
Pengojek
1.672
R-55 R-56
Veteran Supir Truk Rental
1.286 3.859
R-57
Pegawai Negeri Sipil
R-58 R-59 R-60
Setelah Pembebasan Lahan
LoE
Pekerjaan Utama Petani Pemilik Lahan dan Penggarap
Ea2 1.850
Pekerjaan Sampingan
Karyawan
4.200
Warung MakanMinum
Karyawan Warung Kelontong
5.400 5.000
Karyawan Pengojek Veteran
8.350 1.600 1.200
Kreditan Barang
1.500
Sewa Rumah
1.000
-1.231 72 -13
Supir Truk Rental
4.000
Warung MakanMinum
3.000
-568
3.859
Pensiunan PNS
1.400
2.459
Sewa Rumah
1.801
Sewa Rumah
2.000
-199
Pensiunan Polri Pensiunan PNS
2.573 1.093
Pensiunan POLRI Pensiunan PNS
2.650 1.000
-77 737
Kreditan Barang
Eb1
3.859
1.286
Sewa Rumah Warung MakanMinum
901 2.573
Sewa Rumah
643
Eb2
15 4.500
-788 -254 -497
Tidak Ada
-
Keterangan: Ea1: Penghasilan dari pekerjaan utama sebelum pembebasan lahan
Ea2: Penghasilan dari pekerjaan utama setelah pembebasan lahan
Eb1: Penghasilan dari pekerjaan sampingan sebelum pembebasan lahan
Eb2: Penghasilan dari pekerjaan sampingan setelah pembebasan lahan
LoE: Kehilangan penghasilan responden setelah pembebasan lahan
Lampiran 4 Data variabel bebas untuk analisis regresi
Kode Responden
R-01 R-02 R-04 R-05 R-06 R-07 R-08 R-12 R-13 R-14 R-15 R-16 R-17 R-18 R-19 R-20 R-21 R-22 R-23 R-24
Harga NJOP Tanah (X1)
Harga Pasaran Tanah (X2)
Luas Pemilikan Tanah (X3)
(Rp/m2)
(Rp/m2)
(m2)
200.000 200.000 82.000 82.000 64.000 64.000 64.000 82.000 82.000 82.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000
200.000-800.000 200.000-800.000 250.000-1.500.000 250.000-1.500.000 750.000-3.000.000 750.000-3.000.000 750.000-3.000.000 250.000-750.000 200.000-800.000 200.000-800.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000
130 600 5.298 9.600 300 800 500 200 180 1.550 250 1.800 240 135 500 267 200 350 140 800
Mata Pencaharian Responden (X4)
0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0
Penghasilan Sebelum Pembebasan Lahan (X5)
Harga Ganti Rugi Lahan (Y)
(Rp/bulan)
(Rp/m2)
3.000.000 6.000.000 2.550.000 6.350.000 1.100.000 1.350.000 2.450.000 1.250.000 1.050.000 6.000.000 3.500.000 2.050.000 4.000.000 3.000.000 1.250.000 3.500.000 1.000.000 5.150.000 2.500.000 750.000
430.000 450.000 1.030.000 1.030.000 520.000 520.000 520.000 370.000 450.000 460.000 370.000 370.000 260.000 230.000 230.000 280.000 400.000 400.000 400.000 400.000
Lampiran 4 Lanjutan
Kode Responden
R-25 R-26 R-27 R-28 R-29 R-30 R-31 R-32 R-33 R-34 R-35 R-36 R-37 R-38 R-39 R-40 R-41 R-42 R-43 R-44
Harga NJOP Tanah (X1)
Harga Pasaran Tanah (X2)
Luas Pemilikan Tanah (X3)
(Rp/m2)
(Rp/m2)
(m2)
64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000
150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 150.000-500.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 200.000-800.000 200.000-800.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000
600 650 200 340 210 160 220 120 170 114 192 300 180 200 65 80 410 340 180 510
Mata Pencaharian Responden (X4)
0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Penghasilan Sebelum Pembebasan Lahan (X5)
Harga Ganti Rugi Lahan (Y)
(Rp/bulan)
(Rp/m2)
3.000.000 1.750.000 3.000.000 5.000.000 1.000.000 3.200.000 1.000.000 1.050.000 2.500.000 1.900.000 4.500.000 2.500.000 1.950.000 700.000 1.950.000 1.200.000 2.000.000 1.000.000 3.500.000 2.250.000
260.000 340.000 340.000 400.000 591.000 340.000 340.000 400.000 430.000 430.000 570.000 570.000 475.000 475.000 570.000 410.000 500.000 260.000 300.000 300.000
Lampiran 4 Lanjutan
Kode Responden
R-45 R-46 R-47 R-48 R-49 R-50 R-51 R-52 R-53 R-54 R-55 R-56 R-57 R-58 R-59 R-60
Harga NJOP Tanah (X1)
Harga Pasaran Tanah (X2)
Luas Pemilikan Tanah (X3)
(Rp/m2)
(Rp/m2)
(m2)
64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 64.000 128.000 128.000 128.000 128.000 128.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000
Keterangan: 1 = Petani
200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 200.000-800.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000 500.000-2.000.000
330 289 40 500 1.000 289 180 210 91 255 315 135 92 300 382 353
Mata Pencaharian Responden (X4)
0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Penghasilan Sebelum Pembebasan Lahan (X5)
Harga Ganti Rugi Lahan (Y)
(Rp/bulan)
(Rp/m2)
1.750.000 2.000.000 1.250.000 2.400.000 1.450.000 6.150.000 4.000.000 3.500.000 6.700.000 1.300.000 1.700.000 5.000.000 3.000.000 1.400.000 2.000.000 1.350.000
0 = Bukan Petani
Harga pasar tanah yang dimasukkan dalam analisis regresi adalah nilai tertinggi dari kisaran harga pasar
410.000 260.000 260.000 260.000 260.000 260.000 430.000 430.000 460.000 460.000 430.000 650.000 650.000 650.000 400.000 500.000
Lampiran 5. Hasil Uji Regresi Linear dan Uji Asumsi Klasik Model Summaryb
Model
R
R Square
,873a
1
,763
Adjusted R Std. Error of the R Square Square Estimate ,739
81773,309
Change Statistics
Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
,763
32,147
5
50
,000
DurbinWatson 1,645
a. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum Pembebasan Lahan, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian Sebelum Pembebasan b. Dependent Variable: Nilai Ganti Rugi Lahan
ANOVAa
Model Regression 1
Residual Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1074807276435,900
5
214961455287,181
32,147
,000b
334343705706,954
50
6686874114,139
1409150982142,860
55
a. Dependent Variable: Nilai Ganti Rugi Lahan b. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum Pembebasan, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients Model B
Std. Error
172035,895
35989,756
Harga NJOP Tanah
1,002
,231
Harga Pasar Tanah
,077
(Constant)
Standardized Coefficients
95,0% Confidence for B t
Interval
Collinearity Statistics
Sig.
Beta
Lower Bound Upper Bound
Tolerance
VIF
4,780
,000
99748,344
244323,447
,364
4,344
,000
,539
1,466
,677
1,476
,017
,359
4,412
,000
,042
,112
,718
1,392
73,427
9,125
,655
8,047
,000
55,100
91,755
,716
1,397
20098,334
32389,720
,056
,621
,538
-44958,334
85155,002
,580
1,723
,004
,008
,043
,548
,586
-,011
,020
,787
1,271
1 Luas Pemilikan Tanah Mata Pencaharian Penghasilan Sebelum a. Dependent Variable: Nilai Ganti Rugi Lahan
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Sig.
Statistic
df
Sig.
,094
56
,200*
,969
56
,157
Unstandardized Residual *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk
Model Summaryb
Model
R ,381a
1
R Square ,145
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
,060
41947,98000
Change Statistics R Square Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
,145
1,701
5
50
,152
a. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian Sebelum Pembebasan Lahan b. Dependent Variable: abserror
ANOVAa
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1,701
,152b
Regression
14963393979,255
5
2992678795,851
Residual
87981651286,658
50
1759633025,733
102945045265,912
55
Total a. Dependent Variable: abserror
b. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian
DurbinWatson
1,549
RIWAYAT HIDUP PENULIS Arifin Muhtar, lahir di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 September 1964 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Muhtar Adele dam Siti Suaebah. Pendidikan dasar hingga menengah atas ditempuh di SDN 5 kemudian SMPN5 dan SMAN 4, semuanya di Kota Makassar. Melalui penerimaan mahasiswa Program Perintis II penulis diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1982 hingga lulus dari Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian pada tahun 1987. Sambil kuliah penulis juga menjadi santri di Pesantren Al-Ihya Bogor hingga 1994. Pada periode tahun 19921993 penulis mengikuti pascasarjana dan mendapatkan gelar Master Business Administrastion di Colegio de San Juan de Letran, Calamba, Manila, Filipina. Semasa kuliah penulis aktif di Senat Fakultas Pertanian, Badan Kerohanian Islam, dan Himpunan Mahasiswa Islam. Setelah lulus kuliah ikut membidani lahirnya SMP dan SMA Insan Kamil Bogor dan menjadi pengajar dan Wakil Direktur di sekolah tersebut dari tahun 1989 hingga 1994. Pada tahun 1989 hingga 1993 menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Nusa BangsaBogor. Sejak tahun 2000 hingga saat ini penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta. Penulis pernah bekerja di sebuah konsultan lingkungan Woodward-Clyde International Ltd. dan Ansaldo Energia Ltd. selama periode 1994-1999. Sejak keluar dari dua perusahaan tersebut, penulis mendirikan sekaligus menjadi Direktur Utama PT. Busindo Polanusa pada tahun 1999-2001, kemudian mendirikan sekaligus menjadi Direktur Utama PT. Arthayu Rali Perdana sejak tahun 2002 hingga saat ini, dan PT. Arthayu Jeanan Lintasbuana sejak tahun 2008 hingga saat ini. Sambil bekerja penulis melanjutkan studi pascasarajana IPB program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan sejak 2011. Di bagian akhir studi penulis menyusun tesis berjudul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Dorongan untuk memilih tema tesis ini didapatkan pada saat penulis menjadi Ketua Tim Penyusun AMDAL SUTET 500 kV Mandirancan-Tx (Pedan-Ungaran) dengan lintasan sepanjang 250 km dan Ketua Tim Monitoring LARP SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak. Dari dua studi tersebut penulis melihat bahwa kegiatan pembebasan lahan jaringaan transmisi adalah sensitive dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu kegiatan pembebasan lahan perlu mendapat perhatian yang cermat dari pelaksana pembangunan yang memerlukan lahan.