Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (57 – 64)
64
Sintesis Bioetil Asetat Dari Bioetanol Jagung Terkatalisis Asam Sulfat .......... (Puri Restu Mardani, dkk)
SINTESIS BIOETIL ASETAT DARI BIOETANOL JAGUNG (Zea mays) TERKATALISIS ASAM SULFAT BIOETHYL-ACETATE SYNTHESIS FROM CORN BIOETHANOL (Zea mays) SULFURIC ACID CATALYZED
Puri Restu Mardani, Karna Wijaya dan Robby Nur Cahyono Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Yogyakarta 55281 E mail :
[email protected] Naskah diterima tanggal 18 Juli 2013, disetujui tanggal 10 Oktober 2013 ABSTRACT Research on the utilization of bioethanol from corn fermentation as a main material on bioethyl-acetate synthesis with sulfuric acid catalyst was conducted. The aim of this research was to investigate bioethanol production from corn and the esterification process of bioethyl-acetate synthesis. Research was conducted by 3 (three) main stages. First stage was fermentation process of corn into bioethanol by adding 3% yeast and 1% urea for 7 days. Second stage was bioethanol purification. Bioethanol, the product of fermentation, was purified by 2 process of distillation and adsorption with activated zeolit and then analyzed with GC and H-NMR. Third process is the esterification process of absolute ethanol and acetic acid into bioethyl-acetate. This process was conducted with varied reflux time; 1, 2, 3, and 4 hours to find out the optimum time. Then, synthesis of bioethyl-acetate from bioethanol of corn fermentation was conducted on optimum reflux time. The obtained bioethyl-acetate was analyzed on IR, GC, and GC-MS. Result of GC analysis showed that 67,02%, 87,59%, and 89,57% (nearly industrial grade) bioethanol were obtained from first distillation, second distillation, and adsorption with activated zeolit, respectively. The optimum reflux time of esterification process with absolute ethanol was 2 hours. Synthesis of bioethyl-acetate from corn bioethanol on optimum reflux time was conducted with result percentage of 70,74% and 68,32% purity. Keywords : bioethanol, corn, zeolit, and bioethyl-acetate. ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pemanfaatan bioetanol hasil fermentasi jagungsebagai bahan baku dalam sintesis bioetil asetat terkatalisis asam sulfat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pembuatan bioetanol dari jagung dan mempelajari proses esterifikasi pada sintesis bioetil asetat. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap utama. Tahap pertama adalah proses fermentasi jagung menjadi bioetanol dengan penambahan ragi 3% dan urea 1% selama 7 hari. Tahap kedua yaitu pemurnian bioetanol. Bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi dimurnikan dengan dua kali distilasi dan adsorpsi menggunakan zeolit teraktivasi.Bioetanol yang dihasilkan dianalisis 1 menggunakan GC dan H-NMR. Tahap ketiga adalahproses esterifikasi dari etanol absolut dan asam asetat menjadi bioetil asetat. Proses esterifikasi dilakukan menggunakan variasi waktu refluks, yaitu 1, 2, 3 dan 4 jam untuk mengetahui waktu refluks optimum. Selanjutnya dilakukan sintesis bioetil asetat dari bioetanol hasil fermentasi jagung pada waktu refluks optimum. Bioetil asetat yang dihasilkan dianalisis menggunakan IR, GC dan GC-MS. Hasil penelitian dengan menggunakan metode analisis GC menunjukkan bahwa bioetanol dengan kadar 67,02% dapat diperoleh dari hasil distilasi pertama, bioetanol 87,59% dari hasil distilasi kedua dan bioetanol 89,57% (mendekati industrial grade bioethanol) dari hasil adsorpsi menggunakan zeolit teraktivasi. Waktu refluks optimum pada esterifikasi menggunakan etanol absolut adalah 2 jam. Sintesis bioetil asetat dari bioetanol jagung pada waktu refluks optimum berhasil dilakukan dengan persentase hasil 70,74% dan kemurnian 68,32%. Kata kunci: bioetanol, jagung, zeolit dan bioetil asetat
65
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (65 – 74) PENDAHULUAN
asetat dimanfaatkan dalam industri pelapis (60%), farmasi dan sintesis organik (15%), kosmetik (10%), dan 15% dimanfaatkan di industri lainnya. Saat ini kapasitas produksi global dari etil asetat diperkirakan sekitar 1,3 1,5 juta ton/tahun dimana BP Chemlcals, UK; Showa Denka, Japan; Rhodia Brasil, dan Celanese, US merupakan produsen terbesar etil asetat. Di indonesia hanya ada dua perusahaan yang memproduksi etil asetat dengan kapasitas produksi total mencapai 67.500 ton per tahun. Dua perusahaan tersebut adalah PT. Indo Acidatama Tbk dengan kapasitas produksi 7.500 ton per tahun dan PT. Showa Esterindo Indonesia dengan kapasitas produksi 60.000 ton per tahun.Akan tetapi, kebutuhan etil asetat dalam negeri belum dapat dipenuhi oleh kedua perusahaan tersebut sehingga Indonesia masih mengimpor etil asetat dari luar negeri.Tingginya impor etil asetat ini dimungkinkan karena mahalnya bahan baku etanol sintetis yang dibutuhkan. Mahalnya harga etanol sintetis, karena adanya cukai alkohol yang tinggi, ini dapat disiasati dengan penggunaan bioetanol jagung sebagai alternatif bahan baku dalam sintesis etil asetat. Hal ini dikarenakan bioetanol jagung harganya murah dan berasal dari bahan baku yang melimpah di Indonesia, terbaharukan dan ramah lingkungan sehingga dapat menekan biaya produksi etil asetat dan mendorong tumbuhnya industri etil asetat di Indonesia (Prihandana, dkk, 2007, Subekti, dkk,1990, Suherman dkk., 2006, Sulastri, 2010, Tang, dkk, 2005, Tajdari, dkk, 2009, Wajge, fkk, 1999, Widayat., dkk, 2006, Wulansari, 2010). Dengan penelitian ini diharapkan jagung yang tidak layak dijual sebagai pangan dapat diolah menjadi bahan-bahan kimia, seperti bioetil asetat yang memiliki nilai jual tinggi.
Pada saat ini bioetanol telah dikenal secara meluas sebagai bahan bakar nabati yang ramah lingkungan dengan bahan baku yang sangat melimpah di Indonesia. Sumber bioetanol yang dapat dimanfaatkan di Indonesia berupa ubi kayu, ubi jalar, tebu, jagung, sorgum, sagu, aren, nipah, lontar, kelapa dan padi. Salah satu bahan berpati yang berpotensi untuk pembuatan bioetanol di Indonesia adalah jagung, sehingga pada penelitian ini digunakan jagung sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol (Choirunnisa, 2011, Endah, dkk, 2007, Fidyaningsih, 2011, Ariany, 2007, Goncalves, dkk, 2004, Hikmah, 2010, Jumari, dkk, 2009, Helminen, dkk, 2009). Jagung memiliki kadar pati yang tinggi (72-73%), lebih tinggi daripada tetes tebu (55%) dan singkong (33%) sehingga bioetanol yang dihasilkan lebih banyak. Berikut merupakan hasil konversi berbagai jenis bahan baku menjadi bioethanol. Selain kadar pati yang tinggi, melimpahnya hasil jagung juga merupakan suatu alasan dalam pemilihan bahan baku bioetanol dalam penelitian ini. Menurut Deptan (2009), produksi jagung total di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 17.659.067 ton. Dari total produksi jagung nasional, yang telah dimanfaatkan sebesar 15.680.459 ton, sehingga masih terdapat 1.978.608 ton jagung kering yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, jagung masih berpotensi sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol (Goncalves, dkk, 2004, Hikmah, , 2010, Jumari, dkk, 2009, Helminen, dkk, 2009, Konakom, dkk, 2010, Mujtaba and Macchietto, S, 1997) Saat ini pemanfaatan bioetanol di Indonesia masih sangat terbatas, yaitu sebagai campuran bensin (gasohol) dan dietil eter (DEE) yang keduanya merupakan bahan bakar. Terbatasnya pemanfaatan bioetanol tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan diversifikasi produk menjadi produk lain yang bernilai guna dan bernilai ekonomis tinggi, salah satunya etil asetat. Etil asetat merupakan suatu senyawa ester yang mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai pelapis, parfum, penguat rasa, dan digunakan pada produk intermediet pada industri obat-obatan. Etil asetat dibuat melalui reaksi esterifikasi etanol dan asam asetat dengan penambahan katalis asam (Hikmah, , 2010, Jumari, dkk, 2009, Helminen, dkk, 2009, Konakom, dkk, 2010, Mujtaba and Macchietto, S, 1997, Prihandana, dkk, 2007, Subekti, dkk,1990, Suherman dkk., 2006, Sulastri, 2010, Tang, dkk, 2005, Tajdari, dkk, 2009). Permintaan etil asetat meningkat sekitar 3-4% setiap tahunnya yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan indutri.Etil
METODE Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol absolut (Merck), H2SO4 (Merck), Na2CO3 30% (Merck), CaCl2 jenuh (Merck), jagung, urea, ragi tape merk Na Kok Liong (NKL), akuades dan zeolit alam. Alat penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat refluks, satu set alat distilasi, kolom fraksinasi, hot plate, penangas minyak, oven, sentrifus, alkoholmeter, termometer, alat-alat gelas laboratorium, Infrared Shimadzu FTIR Prestige 1 21, GC Packard 5890, GCMS QP-2010, HNMR JEOL JNM-ECA 500 dan Perlin Elmer 3110 Shimadzu XRD 6000.
66
Sintesis Bioetil Asetat Dari Bioetanol Jagung Terkatalisis Asam Sulfat .......... (Puri Restu Mardani, dkk) Prosedur Penelitian
digunakan adalah jagung yang telah digiling halus. Pembuatan bioetanol dimulai dengan proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pada penelitian ini, proses hidrolisis dilakukan secara fisik dengan merebus jagung hingga berubah menjadi bubur yang memerlukan waktu selama 3 jam. Hidrolisis dengan pemanasan ini memerlukan waktu lebih lama daripada menggunakan asam ataupun enzim, tapi prosesnya lebih mudah dan murah untuk dilakukan. Berikut ini adalah reaksi hidrolisis pati menggunakan perebusan:
Aktivasi zeolit Sebanyak 1 kg zeolit alam direndam dalam 1L H2SO4 1M selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pencucian menggunakan akuades hingga pH netral. Setelah netral, zeolit dioven pada suhu 120°C selama ±3 jam. Kemudian zeolit digerus dan disaring 100 mesh. Zeolit yang telah teraktivasi dianalisis menggunakan diffraktometer sinar-X (XRD) dan Spektrofotometer Infra Red.
(C6H12O6)n Polisakarida
Pembuatan bioetanol jagung Mula-mula 5 kg jagung yang telah dihaluskan direbus selama ± 2 jam hingga menjadi bubur. Bubur dibiarkan hingga dingin. Setelah dingin, ke dalam bubur jagung ditambahkan 3% (b/b) ragi tape dan 1% (b/b) urea,kemudian difermentasi selama 7 hari pada kondisi anaerob. Dari hasil fermentasi diambil cairannyadan didistilasi untuk memisahkan bioetanol dari air. Distilasi dilakukan dua kali dilanjutkan dengan adsorpsi menggunakan zeolit teraktivasi. Pada masing-masing pemurnian tersebut dianalisis kadar bioetanolnya menggunakan GC. Selain itu juga dilakukan analisis hasil bioetanol akhir dengan 1 H-NMR. Tahap selanjutnya adalah optimasi waktu refluks dengan etanol absolut. Sebanyak 30 mL etanol absolut dan 30 mL asam asetat direfluks dengan 5% (b/v) H2SO4 3 M pada berbagai variasi waktu refluks (1, 2, 3 dan 4 jam), diikuti dengan pemisahan hasil menggunakan metode distilasi. Tahap berikutnya adalah netralisasi terhadap distilat dengan menggunakan Na2CO3 30%, kemudian produk diekstraksi menggunakan CaCl2 jenuh dan dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Produk akhir yang dihasilkan dianalisis menggunakan GC.
+
nH2O air
n C6H12O6 glukosa
Tahap selanjutnya adalah fermentasi.Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Fermentasi alkohol merupakan proses pemecahan glukosa menjadi molekul etanol dengan bantuan ragi baik secara aerob maupun anaerob dan membebaskan karbondioksida.Reaksi fermentasi yang terjadi adalah sebagai berikut:
C6H12O6 + ragi glukosa
2C2H5OH + 2 CO2 +2 ATP etanol
Proses fermentasi ini dilakukan menggunakan ragi yang mengandung Saccharomyces cerevisiae.Proses fermentasi dilakukan selama 1 minggu. Pemilihan waktu fermentasi didasarkan pada penelitian Hikmah 6 (2010) yang melaporkan bahwa titik optimum fermentasi pada 7 hari, setelah 7 hari akan terjadi fase kematian sehingga jumlah mikroba menurun. Penurunan jumlah mikroba tersebut akan menyebabkan menurunnya produk fermentasi. Dari hasil fermentasi diperoleh campuran bir bioetanol jagung dan ampas jagung.Campuran tersebut disaring menggunakan kain yang memiliki pori-pori kecil agar ampasnya dapat terpisah dari bir.Setelah itu diendapkan selama 1 malam agar ampasnya benar-benar telah hilang dari birnya. Dari proses fermentasi dihasilkan 10 L bir.
Sintesis bioetil asetat menggunakan bioetanol jagung Sebanyak 30 mL bioetanol dan 30 mL asam asetat direfluks dengan waktu refluks optimum dengan 5% (b/v) H2SO4. Waktu refluks optimum ditentukan dengan merefluks etanol absolut dan asam asetat. Selanjutnya dilakukan distilasi untuk memisahkan produk dari reaktan. Setelah didistilasi, dilakukan netralisasi dengan Na2CO3 30%, diekstraksi menggunakan CaCl2 jenuh dan dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Produk yang dihasilkan dianalisis menggunakan Spektrofotometer FTIR, GC dan GC-MS.
Kadar bioetanol hasil fermentasi tidak dapat mencapai level diatas 12-14%, sebab bioetanol dengan kadar tersebut bersifat toxic terhadap ragi yang memproduksi bioetanol tersebut sehingga untuk memperoleh bioetanol dengan kadaryang lebih tinggi perlu dilakukan distilasi. Distilat yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan GC.Kromatogram GC bioetanol disajikan pada gambar 1. Karakterisasi bioetanol dengan kromatografi gas bertujuan untuk mengetahui kadar bioetanol. Analisis GC dilakukan dengan menambahkan propanol sebagai standar internal. Standar internal berfungsi untuk
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Bioetanol Pada penelitian ini bioetanol dibuat dari bahan baku berupa jagung. Jagung yang
67
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (65 – 74) mengeliminasi kesalahan pada proses injeksi dalam kromatografi gas sehingga hasil yang didapatkan lebih baik. Propanol dipilih sebagai standar internal karena propanol memiliki sifat yang hampir sama dengan bioetanol dan memiliki waktu retensi yang tidak jauh berbeda.
Dalam penelitian ini, dilakukan adsorpsi menggunakan zeolit alam teraktivasi. Zeolit alam dipilih karena zeolit alam mempunyai struktur berpori yang bisa digunakan sebagai adsorben. Selain itu, zeolit alam juga murah dan mudah didapat. Zeolit merupakan senyawa aluminosilikat terhidat yang terutama tersusun oleh kation-kation alkali dan alkali tanah. Senyawa ini berbentuk tiga dimensi dan mempunyai pori-pori atau ruang-ruang yang dapat diisi oleh kation lain atau molekul air tanpa merusak struktur zeolit. Untuk dapat digunakan sebagai adsorben, zeolit alam harus diaktivasi terlebih dahulu yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur pengotor dalam zeolit. Aktivasi zeolit dilakukan dengan perendaman H2SO4 1 M selama 24 jam. Aktivasi asam dilakukan untuk melarutkan pengotor yang berada dalam kristal zeolit sehingga pori zeolit akan lebih besar. Setelah direndam selama 24 jam, selanjutnya dilakukan penetralan pH dan pemanasan dengan oven pada suhu 120°C selama 3 jam. Air dalam bioetanol akan teradsorpsi karena gaya tarik dari permukaan zeolit lebih besar dari pada gaya tarik yang menahan air tersebut untuk tetap larut dalam etanol. Dengan memanfaatkan sifat fisik dan kimia zeolit tersebut yaitu sifat hidrofilik dan ukuran pori<0,44 nm sehingga air dalam bioetanol dapat diserap secara sempurna dan pada akhirnya kadarnya meningkat. Adsorpsi tersebut merupakan fenomena permukaan yang terjadi pada saat molekul adsorbat tertarik dan menempel pada permukaan adsorben. Bioetanol setelah adsorpsi diukur dengan menggunakan alkoholmeter menunjukkan kadar 94% sementara dengan menggunakan GC diperoleh hasil 89,57 %.
Gambar 1 Kromatogram bioetanol jagung hasil distilasi kedua danadsorpsi
Berdasarkan kromatogram GC bioetanol, dapat diketahui bahwa bioetanol berada pada waktu retensi yang lebih kecil (a).Bioetanol memiliki rantai yang lebih pendek dibandingkan dengan propanol, sehingga sifat propanol lebih non polar daripada bioetanol. Kolom yang digunakan dalam GC bersifat semi polar(cenderung non polar) akan lebih menahan propanol, dengan demikian propanol akan keluar pada waktu retensi yang lebih lama (b). Selain itu bioetanol yang lebih volatil dibandingkan propanol akan lebih cepat menjadi gas sehingga waktu retensinya lebih kecil. Perhitungan kadar bioetanol dilakukan dengan pembuatan kurva standar perbandingan luas area etanol absolut-propanol vs kadar etanol absolut, kemudian memasukkan hasil perhitungan perbandingan persentase area bioetanol dengan persentase area propanol pada kromatogram GC ke dalam persamaan garis yang diperoleh dari kurva standar. Bioetanol yang dihasilkan dari distilasi pertama mempunyai kadar yang rendah, yaitu 67,02%. Oleh karena kadar bioetanol yang dihasilkan masih rendah, selanjutnya dilakukan distilasi kedua dengan distilasi fraksinasi. Bioetanol yang diperoleh dari distilasi kedua, melalui analisis GC, memiliki kadar yang lebih tinggi dibanding distilasi kedua, yaitu 87,59% . Kenaikan kadar ini cenderung dipengaruhi oleh perbedaan sistem distilasi yang digunakan. Penggunaan kolom fraksinasi memudahkan dalam mengontrol suhu distilasi sehingga pemisahan menjadi lebih baik.Peningkatan kadar bioetanol dapat dilakukan proses adsorpsi oleh adsorben. Adsorben yang biasa digunakan antara lain zeolit, karbon aktif, CaO, Na2SO4 anhidrat, silika gel dan sebagainya.
1
Karakterisasi Bioetanol dengan H-NMR
Gambar 2. Spektra 1H-NMR bioetanol hasil adsorpsi 1
Spektra H-NMR dapat digunakan untuk mendeskripsikan produk yang dianalisis.Untuk memperoleh pengukuran yang
68
Sintesis Bioetil Asetat Dari Bioetanol Jagung Terkatalisis Asam Sulfat .......... (Puri Restu Mardani, dkk) kualitatif diperlukan suatu titik rujukan, yaitu tetrametilsilain (TMS).Proton-proton pada TMS menyerap pada ujung kanan dalam spektrum NMR.Selisih antara posisi absorpsi TMS dengan posisi absorpsi suatu proton tertentu disebut geseran kimia (chemical shift) yang 1 dinyatakan dalam ppm.Spektra HNMRbioetanol disajikan pada Gambar 2. 1 Dari spektra H-NMR bioetanol terlihat adanya 3 jenis puncak. Puncak a pada δ=1,96 dengan kenampakan triplet, merupakan puncak dari metil (-CH3). Puncak b pada δ=3,61 dengan kenampakan quartet, merupakan puncak dari metilen (-CH2). Puncak c pada δ=4,96 dengan kenampakan singlet, merupakan proton hidroksil (OH) yang letaknya paling jauh dari TMS.
H3C C
Kenampakan
4,96
Singlet
3,61
Quartet
1,96
Triplet
Jenis proton
Jumlah proton
OH alkohol H dari metilen (-CH2-) H dari metil (-CH3)
1
H3C
C
Asam asetat
OH
+
EtOH Etanol
H3C
C
HO
HO H3C C
H3C
OH
C
OH
OEt
-H2O
H3C
O
OEt C
H3C
OH2
+
C
H+
OEt
Setelah proses refluks, selanjutnya dilakukan proses distilasi. Distilasi bertujuan untuk memisahkan bioetil asetat dengan air, bioetanol dan asam asetat. Distilasi dilakukan pada suhu 77 °C agar diperoleh distilat bioetil asetat yang mempunyai titik didih di suhu tersebut. Sedangkan asam asetat yang titik didihnya 118 °C akan tertinggal di dalam campuran. Setelah didistilasi selanjutnya dinetralkan dengan Na2CO3 30%. Natrium karbonat dapat bereaksi dengan asam menghasilkan H2CO3 yang sifatnya tidak stabil dan pada suhu kamar akan terurai menjadi H 2O dan CO2. Karbon dioksida akan keluar dalam bentuk gas, sedangkan H2O akan dipisahkan melalui ektraksi cair-cair menggunakan CaCl2 jenuh.Reaksinya adalah:
2
3
Na2CO3 + H2SO4
H2CO3
H2CO3 + Na2SO4
CO2 + H2O
Penambahan CaCl2 jenuh dimaksudkan untuk memisahkan etil asetat dan air. Penambahan CaCl2 jenuh akan menurunkan kelarutan senyawa organik dalam air. Kalsium klorida jenuh dapat menyebabkan pengurangan aktivitas air dan konstanta dielektrik air. Gejala tersebut biasanya dinamakan salting out. Dari hasil ekstraksi diperoleh dua lapisan.Lapisan atas adalah etil asetat dan lapisan bawah adalah air. Etil asetat terletak diatas karena berat jenis etil asetat lebih kecil (0,9002 g/L) dibandingkan dengan air (1,00 g/L). Selanjutnya lapisan bioetil asetat dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan sisa air yang masih terdapat dalam campuran.Setelah itu, produk yang dihasilkan dianalisis menggunakan GC. Pada penelitian ini dikaji sintesis bioetil asetat dari bioetanol jagung.Sebelum dilakukan sintesis etil asetat dari bioetanol jagung, terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi esterifikasi menggunakan etanol absolut. Optimasi bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum untuk reaksi esterifikasi. Optimasi yang dilakukan adalah optimasi waktu
OEt' + H2O
Etil Asetat
C
3. Eliminasi molekul air
O
H+
H3C
2. Alkohol nukleofilik menyerang karbon positif H - H+ HO +H+ HO HO OEt OEt O H O Et H3C C H3C C H3C C + EtOH H3C C OH OH OH2 OH
Sintesis Bioetil Asetat Bioetil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi antara asam asetat dan bioetanol/etanol dengan penambahan katalis. Pada reaksi esterifikasi umumnya digunakan katalis asam untuk mempercepat reaksi. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut : O
H+
OH
Tabel 1 Data 1H-NMR bioetanol
Pergeseran Kimia (ppm)
OH
OH O
air
Pada penelitian ini bioetil asetat disintesis dengan cara mereaksikan asam asetat dan bioetanol dengan penambahan katalis H2SO4. Reaksi ini dilakukan dalam sistem refluks.Jumlah asam asetat yang digunakan dibuat berlebih agar bioetanol dapat bertindak sebagai pereaksi pembatas sehingga pada akhir reaksi reaktan yang bersisa adalah asam asetat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pemisahan karena bioetil asetat yang dihasilkan dengan reaktan sisa mempunyai titik didih yang berjauhan. Proses refluks dilakukan untuk mempercepat reaksi esterifikasi dan untuk mencegah menguapnya reaktan. Mekanisme reaksi esterifikasi dalam sintesis bioetil asetat adalah sebagai berikut: 1. Oksigen pada gugus karbonil diprotonasi oleh asam
69
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (65 – 74) refluks.Optimasi waktu refluks dilakukan dengan mereaksikan asam asetat dan etanol absolut dengan penambahan katalis asam sulfat 3 M. Larutan tersebut direfluks menggunakan empat variasi waktu (1, 2, 3 dan 4 jam).
mereaksikan bioetanol kadar 89,57% dengan asam asetat menggunakan waktu refluks optimum, yaitu 2 jam. Konsentrasi H2SO4 yang digunakan adalah 3 M. Pemilhan konsentrasi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh 3 Fidyaningsih (2011) yang mengatakan bahwa konsentrasi H2SO4 optimum dalam reaksi esterifikasi etanol adalah 3 M.
Tabel 2. Hasil optimasi waktu refluks menggunakan etanol absolut
Tabel 3. Hasil sintesis bioetil asetat dari bioetanol jagung
No
Waktu Refluks (jam)
Hasil Percobaan Berat Presentase Berat jenis etil asetat (g) (g/ml) (%)
1
1
29,94
0,9072
65,53
2
2
37,73
0,8984
84,66
3
3
33,77
0,8887
78,59
4
4
30,96
0,8846
71,83
KonsenWaktu trasi Refluks H2SO4 (jam) Berat (g) (M)
2
2
persentase hasil (%)
68,32
70,74
3
84,66
67,88
70,74
68,32
Karakterisasi Hasil Bioetil Asetat Karakterisasi hasil bioetil asetat dilakukan menggunakan berbagai instrumen, yaitu Spektrofometer Infra Merah, Kromatografi Gas, serta GC-MS. Analisis menggunakan Spektrofometer Infra Merah Analisis bioetil asetat menggunakan Spektrofometer Infra Red dilakukan untuk mengidentifikasi gugus-gugus yang terdapat dalam sampel. Hasil spektra IR disajikan pada Gambar 4. Spektra bioetil asetat hasil penelitian mempunyai kemiripan dengan spektra etil asetat standar. Pada spektra etil asetat standar 3 terdapat karakteristik dari CO sp ester pada -1 bilangan gelombang 1049 cm , yang terdapat . pula pada spektra etil asetat hasil. Pada spektra etil asetat standar terdapat karakteristik 2 dari CO sp ester pada bilangan gelombang -1 1242 cm , yang terdapat pula pada spektra etil asetat hasil pada bilangan gelombang yang
40 20 0 4
0,9001
Hasil Percobaan
60
3
Persentase bioetil asetat (%)
KonsenWaktu trasi PersenPersenRefluks H2SO4 tase Kemurnian tase Kemurnian (jam) (M) etil asetat (%) etil asetat (%) (%) (%)
80
2
Kemurnian (%)
Tabel 4. Hasil etil asetat dari bioetanol jagung dan etanol absolut
100
1
31,50
Berat jenis (g/mL)
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil yang didapatkan dari hasil esterifikasi dari bioetanol jagung lebih sedikit. Hal ini dikarenakan kadar bioetanol yang digunakan pada sintesis esterifikasi lebih rendah dibandingkan kadar etanol absolut yang digunakan dalam optimasi.Hasil perbandingan bioetil asetat dari bioetanol dan etil asetat dari etanol disajikan pada Tabel 4.
Dari Tabel 2 dibuat grafik pengaruh variasi waktu refluks terhadap presentase hasil etil asetat yang disajikan pada Gambar 3.Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa waktu refluks optimum adalah pada waktu 2 jam. Penentuan waktu optimum dengan menggunakan etanol absolut adalah dengan pertimbangan keterbatasan bioetanol yang diperoleh dari jagung, selain itu dengan penggunaan etanol absoult diharapkan diperoleh gambaran tentang waktu optimum yang lebih umum dan dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan waktu optimum bioetil asetat dengan berbagai jenis bahan baku. Pada waktu refluks 1-2 jam terlihat terjadi kenaikan persentase hasil dari 65,53% menjadi 84,66%. Kemudian pada waktu 3 jam terjadi penurunan prosentase hasil hingga pada waktu 4 jam.
0
3
Hasil Percobaan
5
Waktu Refluks (jam) Gambar 3 Grafik pengaruh waktu refluks terhadap persentase etil asetat dari etanol absolut dan asam asetat
Sintesis Bioetil Asetat menggunakan biotanol jagung Sintesis bioetil asetat menggunakan bioetanol jagung dilakukan dengan
70
Sintesis Bioetil Asetat Dari Bioetanol Jagung Terkatalisis Asam Sulfat .......... (Puri Restu Mardani, dkk) -1
sama. Pada bilangan gelombang 1743 cm merupakan karakteristik dari C=O karbonil, yang pada spektra bioetil asetat muncul pada -1 bilangan gelombang 1735 cm .
retensi 1,67 selanjutnya dilakukan analisis menggunakan MS.
a
b Gambar 5 Kromatogram bioetil asetat
Dari hasil kromatogram didapatkan hasil bahwa kadar bioetil asetat dari bioetanol jagung pada kondisi optimum adalah 68,32%. Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan bahwa persentase hasil bioetil asetat adalah 70,74%.
Gambar 4 Spektra etil asetat standar (a) danbioetil asetat (b) -1
Pada bilangan gelombang 2985 cm 3 merupakan C-H sp , yang muncul juga di spektra bioetil asetat pada bilangan gelombang yang sama. Selain itu muncul peak melebar -1 pada bilangan gelombang 3448 cm pada spektra bioetil asetat yang tidak terdapat di spektra etil asetat standar yang merupakan karakteristik dari OH yang mengindikasikan berasal dari bioetanol sisa.
Analisis menggunakan Mass Spektrometry Analisis menggunakan MS dilakukan untuk mengklarifikasi senyawa apa saja yang terdapat dalam hasil. Dari hasil analisis MS diperoleh pola fragmentasi dari kedua puncak yang teramati pada kromatogram GC.Pola fragmentasi tersebut kemudian dicocokkan dengan pola fragmentasi pada library.Berdasarkan hasil fragmentasi diperoleh bahwa puncak pada waktu retensi 1,67 adalah bioetanol dan puncak pada waktu retensi 2,14 adalah bioetil asetat. Hasil spektra MS ini menyempurnakan hasil analisis menggunakan IR dan GC bahwa hasil yang didapat dari reaksi esterifikasi bioetanol dan asam asetat adalah campuran bioetil asetat-etanol.bioetil asetatetanol merupakan suatu campuran azeotrop yang sulit dipisahkan karena mempunyai titik didih yang hampir sama, yaitu etil asetat pada 77 °C dan etanol pada 78 °C sehingga proses pemisahannya sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu pada produk masih terdapat bioetanol sisa.Hasil spektra etil asetat MS disajikan pada gambar 6.
Tabel 5. Data vibrasi Spektra FTIR etilasetat Bilangan gelombang -1 (cm ) BioEtil Asetat
Bilangan gelombang -1 (cm ) Etil Asetat standar
Gugus
1049 1242 1735 2985 3448
1049 1242 1743 2985 -
C-O sp 2 C-O sp C=O 3 C-H sp -OH
3
Jenis vibrasi
regang regang regang regang regang
Analisis menggunakan GC Analisis menggunakan GC dilakukan untuk mengetahui kadarbioetil asetat yang terdapat dalam produk. Dari hasil kromatogram terdapat 2 puncak. Untuk mengidentifikasi puncak manakah yang merupakan etil asetat, maka dilakukan spiking.Spiking merupakan suatu metode dengan cara menambahkan senyawa yang sama (etil asetat) kemudian diinjeksikan ke GC. Puncak yang merupakan bioetil asetat akan mengalami peningkatan kadar. Setelah mengalami spiking, terjadi kenaikan intensitas puncak pada waktu retensi 2,14 yang menandakan puncak dari bioetil asetat. Untuk mengetahui pola fragmentasi etil asetat dan mengidentifikasi puncak pada waktu
Gambar 6 Spektra MS bioetil asetat
71
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (65 – 74) Berdasarkan spektra fragmentasi yang mungkin, yaitu:
MS
O H2 C H3C
H2 C
CH3
O
CH3
Ucapan Terimakasih
m/z = 88
H2 C
O H2 C
C
H3C
BM = 88
H3C
H3C
C O
O C
CH3
CH3 m/z = 43 (base peak)
O
H3C
DAFTAR PUSTAKA
O rearrangement
H2 C
C O
Publikasi ini dapat terlaksana berkat bantuan finansial dari proyek Ipteks bagi Masyarakat (IbM) –Simlitabmas, DIKTI tahun 2013.
O
m/z = 88
H2 C
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang metode dan alat yang tepat dalam sintesis bioetil asetat, misalnya melalui teknik distilasi bertingkat agar bioetil asetat yang didapatkan mempunyai kadar yang tinggi.
O - e-
C O
pola
CH3
H3C
Choirunnisa, V., 2011, Pembuatan Bioetanol dari Sampah Buah Pepaya (Carica papaya, L) dengan Kombinasi Fermentasi, Distilasi, dan Pemurnian Menggunakan Na2SO4 anhidrat, Skripsi FMIPA UGM, Yogyakarta. Endah, R. D., Sperisa, D. dan Paryanto, A. N., 2007, Pengaruh Kondisi Fermentasi Terhadap Yield Etanol pada Pembuatan Bioetanol dari Pati Garut, Gama Teknik, No 2, hal 6. Fidyaningsih, R., 2011, Pemanfaatan Bioetanol Ubi Kayu sebagai Bahan Baku dalam Sintesis Etil Asetat Terkatalisis Asam Sulfat, FMIPA UGM, Yogyakarta. Ariany, N., 2007, Kajian Pengaruh Perlakuan Asam dan Termal Terhadap Kristalinitas Zeolit Alam dan Kapasitasnya dalam Menyerap Zat Warna Indigo Carmine, Skripsi FMIPA UGM, Yogyakarta. Goncalves, F.R ; Borges, L.E.P. dan Borges, C. P., 2004, Synthesis of Ethyl Acetate by Coupling a Heterogeneous Catalytic System with a Pervaporation Unit, Separation Science and Technology, Vol. 39, No. 7, hal 1485–1500. Hikmah, N., 2010, Pemanfaatan Bioetanol Melalui Fermentasi Sampah Buah Salak Pondoh (Salacca edulis) dan Menggunakan Karbon Aktif sebagai Pengering, Skripsi FMIPA UGM, Yogyakarta. Jumari, A., Wibowo, W.A., Handayani., dan Ariyani, I., 2009, Pembuatan Etanol dari Jambu Mete dengan Metode Fermentasi, Ekuilibrium, No.2, Vol.7, 48-54. Helminen, J., Leppamaki, M., Paatero, E. dan Minkkinen, P., 2009, Monitoring the Kinetics of the Ion-Exchange Resin Catalysed Esterification of Acetic Acid with Ethanol Using Near Infrared Spectroscopy with Partial Least Squares (PLS) Model, Chemom. Intell. Lab. Syst, vol. 44, hal 10.
C O
CH3
m/z = 88 m/z = 88 - C2H3 OH C HO
CH3
m/z = 61
Dari hasil analisis menggunakan IR, GC dan MS, terbentuknya bioetil asetat melalui esterifikasi bioetanol jagung dan asam asetat dengan katalis asam sulfat dapat dipastikan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diutarakan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembuatan bioetanol dari jagung dapat dilakukan dengan hasil kadar bioetanol 89,57% (analisis GC). Kadar ini belum memenuhi industrial grade (kadar etanol 90 – 96,5 %). 2. Zeolit teraktivasi asam dapat digunakan untuk meningkatkan kadar bioetanol 3. Waktu refluks yang digunakan dalam reaksi esterifikasi berpengaruh pada presentase bioetil asetat yang dihasilkan. Optimasi menunjukkan bahwa waktu refluks optimum adalah 2 jam dengan presentase hasil sebesar 70,74 % dan kemurnian 68,32 %. Saran 1. Hasil bioetanol yang dihasilkan masih rendah, belum memenuhi industrial grade (90 – 96,5 %) sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bioetanol dengan kadar yang tinggi misalnya melalui pengeringan bioetanol dengan logam magnesium yang dikenal memiliki kemampuan tinggi untuk bereaksi dengan air dalam bioetanol.
72
Sintesis Bioetil Asetat Dari Bioetanol Jagung Terkatalisis Asam Sulfat .......... (Puri Restu Mardani, dkk) Konakom, K., Saengchan, A., Kittisupakorn, P. Dan Mujtaba, I. M., 2010, High Purity Ethyl Acetate Production with a Batch Reactive Distillation Column using Dynamic Optimization Strategy, Proceedings of the World Congress on Engineering and Computer Science 2010, Vol II, USA. Mujtaba and Macchietto, S, 1997, Efficient Optimization of Batch Distillation with Chemical Reaction using Polynomial Curve Fitting Techniques, Ind. Eng. Chem. Res., vol. 36, hal 2287-2295. Prihandana, Rama, Noerwijan, Kartika, Adinurani, Praptiningsih, G., Setyaningsih, D., Setiadi, S., dan Rohmadi, Roy., 2007, Bioetanol Ubi Kayu, Bahan Bakar Masa Depan, Agromedia, Jakarta. Subekti, N.A., Syafruddin, Efendi, R. dan Sunarti, S., 1990, Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung, Balai Penelitian Tanaman Serealia Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Suherman dan Haryani, K., 2006, Optimasi Proses Adsorpsi Minyak Goreng Bekas dengan Adsoben Zeolit Alam, Jurnal Teknik Gelagar, Vol.17, No 01. Sulastri, 2010, Prarancangan Pabrik Etil Asetat Dari Asam Asetat Dan Etanol Kapasitas 20.000 ton/tahun, UMS, Surakarta. Tang, Y.T., Chen, Y.W., Huang, H. P. dan Yu, C. C., 2005, Design of Reactive Distillations for Acetic Acid Esterification, Dept. of Chemical Engineering, National Taiwan University, Taipei 106-17, Taiwan Tajdari, M., Ardjmand, M., Soltanieh. dan Safekordi, A.A., 2009, Shock-Control Study in Ethyl Acetate Production Process in a Reactive Distillation Column: Experimental and Simulation, World Applied Sciences Journal, Vol 7, Wajge, R. M dan Reklaitis, G. V., 1999, RBDOPT: A General-Purpose ObjectOriented Module for Distributed Campaign Optimization of Reactive Batch Distillation, Chem. Eng. J., vol. 75, hal 57-68. Widayat., Suherman., dan Haryani, K, 2006, Optimasi Proses Adsorpsi Minyak Goreng Bekas dengan Adsoben Zeolit Alam, Jurnal Teknik Gelagar, Vol.17, No 01, Hal 77-82. Wulansari, D., 2010, Pembuatan Bioetanol Melalui Proses Fermentasi Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L) dengan CaO sebagai Pengering, Skripsi FMIPA
73
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (65 – 74)
74
Pemanfaatan Limbah Padat Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku .................... (Subandriyo, dkk)
PEMANFAATAN LIMBAH PADAT INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL DENGAN PROSES DELIGNIFIKASI DAN HIDROLISIS SECARA ENZIMATIK THE UTILIZATION OF SOLID WASTE OF PALM OIL INDUSTRY AS MATERIAL ON BIOETHANOL PRODUCTION BY DELIGNIFICATION AND ENZIMATIC HYDROLISIS Subandriyo dan Muryati Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang e-mail :
[email protected] Naskah diterima tanggal 11 September 2013, disetujui tanggal 8 Oktober 2013
ABSTRACT Palm oil industrial solid waste ( TKKS ) is a major waste of the palm oil processing industry is around 10 million tons / year in Indonesia to date has not been used optimally . Therefore TKKS abundant potential use as a feedstock for ethanol production . Constraints faced by the low rate of hydrolysis due to the lignin content in the powder TKKS. Therefore, it needs to be done before the delignification process is hydrolyzed, enzymatic hydrolysis and fermentation to ethanol is carried out with the simultaneous method using Trichoderma sp and S. cerevisiae. The results of visual observations on the process of delignification showed physical changes of the dark into light brown color in addition to bleaching, TKKS incubation results become more brittle. Delignification results lignin content ( 15.29 % ) showed a decrease when compared with no delignification ( 16.74 % ). Delignification process using sp Omphalina resulting in a reduction of lignin ( 16.74 %) to ( 15.29 % ) decrease in hemicellulose ( 22.58 % to 19.79 % ) and an increase in cellulose ( 45.62 % to 47.51 % ). The maximum enzymatic hydrolysis was obtained on the use of Trichoderma sp and S. cerevisiae simultaneously . The fermentation process lasts for 30-72 hours and will stop after the ethanol content of 12%. The first 12% ethanol is distilled to produce ethanol with high levels of 29-30 % . Keywords: TKKS, delignification, white rot fungus, simultaneous fermentation, Trichoderma sp, Saccharomyces cerevisiae, ethanol.
ABSTRAK Limbah padat industri kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit yaitu sekitar 10 juta ton/tahun di Indonesia sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu TKKS yang berlimpah sangat potensial digunakan sebagai bahan baku untuk produksi etanol. Kendala yang dihadapi yaitu rendahnya laju hidrolisis karena adanya kandungan lignin dalam serbuk TKKS. Oleh karena itu perlu dilakukan proses delignifikasi sebelum dihidrolisis, untuk hidrolisis enzimatis dan fermentasi etanol dilakukan dengan metode simultan menggunakan Trichoderma sp dan S. cerevisiae. Hasil pengamatan secara visual pada proses delignifikasi menunjukkan perubahan fisik dari coklat gelap menjadi terang selain pemucatan warna, TKKS hasil inkubasi menjadi lebih rapuh. Kadar lignin hasil delignifikasi (15,29%) menunjukkan penurunan jika dibanding tanpa delignifikasi (16,74%). Proses delignifikasi menggunakan Omphalina sp menghasilkan penurunan lignin (16,74%) menjadi (15,29%) penurunan hemiselulosa (22,58% menjadi 19,79%) dan peningkatan selulosa ( 45,62 % menjadi 47,51% ). Hidrolisis enzimatis maksimum diperoleh pada penggunaan Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara simultan. Proses fermentasi berlangsung selama 30 – 72 jam dan akan terhenti setelah kadar etanol sebesar 12 %. Etanol 12 % didestilasi pertama menghasilkan etanol dengan kadar 29 – 30 %. Kata kunci: TKKS, delignifikasi, Jamur Pelapuk Putih, fermentasi simultan, Trichoderma sp, Saccharomyces cerevisiae, etanol.
75
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (75 – 82) PENDAHULUAN
gula (gula tebu, gula bit dan sorgum manis), pati (biji-bijian yaitu : jagung, gandum, beras, serta umbi-umbian : yaitu kentang, ketela pohon, ubi jalar) dan lignoselulosa (kayu, jerami, bagase dan sebagainya). Penggunaan bahan baku berbasis gula dan pati memang lebih mudah pada proses pembuatan etanol, akan tetapi penggunaan bahan baku tersebut bersaing dengan pemanfaatannya yang lebih utama yaitu sebagai sumber bahan makanan. Penggunaan bahan baku lignoselulosa, selain lebih murah, potensinya lebih besar dan tidak bersaing dengan pemanfaatan lain. TKKS mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sumber glukosa melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula yang dihasilkan selanjutnya dapat dikonversikan menjadi berbagai produk seperti alkohol, aseton butanol atau biopolimer yang mempunyai nilai ekonomis jauh lebih tinggi (Darnoko, 1992). Pemanfaatan limbah kelapa sawit dengan cara demikian diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang cukup besar (Darnoko, 1992). Pemanfaatan TKKS pada saat ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak karena melalui program langit biru yang dicanangkan pemerintah, pembakaran TKKS tidak diizinkan lagi, karena cara penanganan limbah tersebut dapat mengganggu lingkungan. Proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu hidrolisis menggunakan asam kuat atau dengan enzim. Penggunaan asam kuat pada proses hidrolisis mempunyai banyak persoalan teknis dan ekonomis misalnya penggunaan peralatan yang harus tahan terhadap asam, permasalahan pemilihan asam, selain menghasilkan rendemen yang kecil. Penggunaan bahan kimia juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sedangkan hidrolisis menggunakan enzim (kompleks selulase maupun xilanase), walaupun masih jauh dari penyelesaian karena laju hidrolisisnya rendah, tetapi lebih disukai karena lebih ramah lingkungan. Selain itu hidrolisis enzimatis dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah, yang artinya tidak memerlukan penggunaan energi, juga produk yang dihasilkan lebih spesifik (Irawati, 2006). Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk TKKS dengan cara enzimatik dan kimiawi menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk TKKS tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk TKKS sebelum perlakuan fermentasi untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim. Penghilangan lignin dapat dilakukan secara kimia maupun secara biologi. Cara
Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk kelapa sawit mentah (CPO), sedangkan di dalam negeri minyak sawit diolah menjadi produk pangan terutama minyak goreng. Diperkirakan pada tahun 2012 Indonesia akan menjadi produsen minyak terbesar di dunia dengan total produksi 15 juta ton/tahun (Guritno, 2003 dalam. Emilio 2005). Proses produksi CPO akan menghasilkan limbah padat berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) yaitu sekitar 10 juta ton/tahun di Indonesia yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan sering menimbulkan masalah antara lain bersifat kamba (bulky), sehingga diperlukan tempat yang luas dan biaya tambahan untuk menanganinya. Oleh karena itu perlu diupayakan pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi produk yang lebih berguna salah satu misalnya etanol (Darnoko et al. 2001). Tandan kosong kelapa sawit merupakam limbah padat terbesar pada industri kelapa sawit, yaitu mencapai 22 – 25% dari bobot tandan buah segar (Peni, 1995). Tandan kosong kelapa sawit mengandung lignoselulosa dengan komponen utama ialah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan fraksi yang terbesar diantara ketiga komponen tersebut yaitu 45,95% basis berat kering dan sangat potensial dipakai sebagai bahan baku untuk produksi etanol (Darnoko, 1992). Menurut Darnoko 1992 bahwa komponen-komponen tersebut merupakan sumber karbon bagi mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai substrat fermentasi dengan menjadikannya sebagai bahan dasar pembuatan asam organik, etanol, protein sel tunggal atau bahan kimia lainnya melalui biokonversi. Sejak bulan Oktober 2005 di Indonesia dilanda krisis bahan bakar minyak, harga berbagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi meningkat hingga 3 kali lipat. Ketergantungan akan bahan bakar minyak dapat merugikan, karena selain potensinya yang akan habis juga tidak terbarukan (non renewable) dan menyebabkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari bahan bakar alternatif yang salah satunya adalah bioetanol (Irawati, 2006). Menurut Bruce dan Palfreyman (1998) etanol dapat diproduksi dari sumber daya yang dapat diperbaharui seperti biomasa yang dikategorikan ke dalam bahan-bahan berbasis
76
Pemanfaatan Limbah Padat Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku .................... (Subandriyo, dkk) biologi (biodelignifikasi) selain lebih murah, juga ramah terhadap lingkungan, sering dilakukan dengan menggunakan jamur, yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin (Kirk dan Chang, 1990). Fermentasi gula pereduksi menjadi etanol dilakukan dengan menggunakan yeast yaitu Saccharomyces cerevisiae. Penggunaan yeast pada fermentasi etanol, lebih disukai jika dibandingkan penggunaan bakteri. Hal ini disebabkan karena yeast mempunyai sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih padat, sehingga lebih mudah pada saat pemanenan dan daur ulang yeast. Selain itu yeast tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri maupun virus lain (Jeffries, 2000).
kentang disaring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1 liter dicampur dengan 20 g sukrosa teknis dan diaduk hingga larut, kemudian dibagi ke dalam erlenmeyer 250 mL, lalu disteril, kemudian didinginkan. Media yang sudah dingin siap untuk ditanam (Fassatiova, 1986). Media YEDP Cair Dibuat dengan cara melarutkan komposisi bahan kimia media YEDP padat tetapi tanpa agar, lalu disterilisasi, kemudian didinginkan. Media yang sudah dingin siap untuk ditanam (Granot et al. 2003). Media Fermentasi untuk hidrolisis Enzimatis dibuat dengan cara melarutkan Media nutrient steril sebanyak 50 mL yang terdiri dari (NH4 )2HPO4 1 g/L, MgSO4.7H2O 0,05 g/L dan yeast ekstrak 2 g/L dengan pH Media 5, (Ito, et al.2003).
METODE Bahan Penelitian : Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk tandan kosong kelapa sawit yang diperoleh dari Perkebunan Kelapa Sawit PT. Hasil Sumber Lestari Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Sedangkan inokulum yang digunakan adalah Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp dari PAU Institut Pertanian Bogor, Trichoderma sp, dan ragi Saccharomyces cerevisiae dari PAU Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pemeliharaan Stock Kultur JPP Isolat A-1 (Omphalina) diinokulasikan dengan menggunakan jarum inkubasi ke dalam cawan petri yang berisi media PDA steril, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama satu minggu hingga dihasilkan miselium berwarna putih (Fassatiova, 1986). Pemeliharaan stok kultur untuk Trichoderma sp yaitu dengan cara menginokulasikan sebanyak satu ujung jarum spora jamur ke dalam media PDA steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai stok kultur. Fungi tumbuh dalam waktu tiga hari dengan ditandai adanya warna hijau pada PDA (Fassatiova, 1982). Sedang pada S. cerevisiae diinokulasikan sebanyak 1 ose isolat S. cerevisiae ke dalam media YEDP dan di inkubasi pada suhu kamar 1 sampai 2 hari sebagai stok kultur (Granot et al. 2003).
Peralatan Penelitian : Peralatan yang digunakan meliputi autoklaf, oven, refluks, penanggas, desikator, shaker inkubator, neraca halus, neraca kasar, pompa vacum, ayakan 50 mesh, pH-meter, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, pipet, gelas piala, cawan petri, jarum inkubasi, plastik tahan panas, kapas, lakmus, kertas saring, karet, dan lain-lain. Pembuatan Media Media PDA dibuat dengan cara melarutkan 39 g PDA (Difco) ke dalam 1 L akuades lalu disterisasi, kemudian dituang ke dalam cawan petri yang sudah steril. Media yang sudah dingin siap untuk ditanam inokulum (Fassatiova, 1986). Media YEDP dibuat dengan cara melarutkan 10 gram yeast ekstrak, 20 gram pepton, 20 gram glukosa, 18 gram agar ke dalam 1 L akuades lalu disterilisasi, kemudian dituang ke dalam cawan petri yang sudah steril. Media yang sudah dingin siap untuk ditanam inokulum (Granot et al. 2003). Media PDB dibuat dengan cara sebagai berikut. Kentang dikupas, dibersihkan, dicacah dan ditimbang sebanyak 200 g, dicampur dengan 1 L air direbus hingga mendidih. Setelah mendidih air rebusan
Pemeliahaan Kultur Kerja Kultur JPP Omphalina sp dari cawan petri (stok kultur) dipindahkan ke dalam botol jam yang berisi media PDB steril dan diinkubasikan dalam suhu kamar selama 3 hari sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok kerja untuk proses delignifikasi (Fassatiova, 1986). Untuk Trichoderma sp, isolat Trichoderma dari cawan petri (stok kultur) sebanyak satu ujung jarum dipindahkan ke dalam botol jam yang berisi media PDB steril dan diinkubasikan dalam suhu ruang selama 3 hari sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok kerja untuk proses hidrolisis secara enzimatis (Fassatiova, 1986). Sedang pada isolat Saccharomyces cerevisiae, sebanyak 2 ose isolat per 75 ml media YEDP cair steril diinokulasi ke dalam
77
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (75 – 82) botol jar di inkubasi pada suhu kamar selama 3 hari, sambil dikocok dengan kecepatan 120 rpm sebagai stok kerja untuk proses fermentasi (Granot et al. 2003).
Metode Simultan: Hidrolisis dan fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan 100 gr TKKS terdelignifikasi yang telah steril ke dalam media fermentasi (1000 ml). Setelah itu ditambahkan 5% isolat Trichoderma sp dan 10% inokulum cair Saccharomyces cerevisiae (v/v). Waktu inkubasi 5 hari (120 jam). Metode Terpisah: sebanyak 100 gr TKKS terdelignifikasi yang telah steril dimasukkan ke dalam 1000 ml media fermentasi, ditambahkan 5% isolat Trichoderma sp, kemudian diinkubasi selama 48 jam. Setelah 48 jam ditambahkan 10% inokulum cair Saccharomyces cerevisiae(v/v), inkubasi dilanjutkan hingga 120 jam.
Proses Delignifikasi Proses Delignifikasi dilakukan dengan bantuan Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp (Akhtar et al, 1997). TKKS yang telah dicacah direndam air satu malam, ditiriskan, kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas masing-masing sebanyak 240 gram per bungkus dan disterilisasi. Setelah dingin sebanyak 100 ml inokulum JPP Omphalina sp dari medium PDB (stok kerja) diinokulasikan ke dalam TKKS tersebut dan diinkubasikan o selama 20 hari dalam suhu ruang (27 C) sampai miselium JPP Isolat A-1 omphalina menyelimutinya, setelah itu dikeringkan dalam o oven suhu 60 C atau dijemur di bawah sinar matahari, setelah kering digiling dengan alat pen mill, dengan kehalusan 40 mesh. Sebelum dan sesudah delignifikasi dianalisis kadar air, lignin dan selulosa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp JPP Omphalina sp yang digunakan pada penelitian ini di inokulasikan dalam 20 ml 0 media PDA pada suhu 27 C. Setelah diinkubasikan selama satu minggu dihasilkan miselium berwarna putih yang memenuhi seluruh permukaan media. Sedangkan pada media PDB dihasilkan pula miselium berwarna putih dengan kultur jernih Hasil pengamatan pertumbuhan Omphalina sp selama inkubasi satu minggu menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan miselium pada media PDA dan PDB. Pada media PDA pertumbuhan miselium memenuhi seluruh permukaan media pada hari ke 7 inkubasi, sedangkan pada media PDB mencapai optimum pada hari ke 5 inkubasi. Menurut Eaton dan Hale ( 1993 ) kemampuan jamur untuk tumbuh pada suatu media dipengaruhi oleh jenis substrat yang sesuai dengan pertumbuhannya. JPP lebih cepat tumbuh dalam media PDB daripada media PDA. Hal ini mungkin disebabkan dalam media cair penyerapan nutrisi lebih cepat dari pada dalam media padat.
Hidrolisis Enzimatis dan Fermentasi Alkohol Hidrolisis secara enzimatis dan fermentasi etanol dilakukan dengan metode simultan dan terpisah. TKKS Pemotongan Pengeringan Penggilingan Penghilangan lignin
Lignin
Ampas Hidrolisis
Pertumbuhan Jamur Trichoderma sp Isolat Trichoderma sp yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan pada 20 ml media PDA dalam cawan petri selama satu minggu. Berdasarkan pengamatan setelah tiga hari, terjadi pertumbuhan spora Trichoderma pada media PDA ditandai dengan adanya warna putih dari miselium yang lama kelamaan akan berubah menjadi hijau dan membentuk lingkaran menyebar seperti permadani.
Glukosa Fermentasi Etanol encer Destilasi Etanol pekat Gambar 1.
Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae yang digunakan pada penelitian ini diinkubasikan
Diagram Proses Pembuatan Bioetanol dari TKKS
78
Pemanfaatan Limbah Padat Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku .................... (Subandriyo, dkk) dalam media YEDP dengan kondisi suhu kamar setelah diinkubasikan selama 1-3 hari dihasilkan koloni berwarna putih yang memenuhi media padat tersebut. Sedangkan pada media YEDP cair dihasilkan pula kultur keruh kecoklatan.
permukaan serbuk hingga bagian dalam (Gambar 3). Pertumbuhan miselium jamur paling banyak adalah pada bagian permukaan, sedang bagian dalam lebih sedikit dibanding pada bagian permukaan. Kemungkinan hal ini disebabkan pada bagian dalam tumpukan serbuk TKKS tidak terdapat cukup udara untuk proses respirasi jamur.
Proses Delignifikasi Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi TKKS menggunakan jamur pelapuk putih Omphalina sp dengan konsentrasi inokulum + 2,5% (b/v). Pada proses delignifikasi (penguraian lignin), komponen utama dinding sel yang terlibat adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Zabel dan Morrell, 1992) sedangkan kondisi delignifikasi yang diinginkan adalah penurunan kandungan lignin setinggi-tingginya dan selulosa serendah rendahnya (Kirk dan Chang, 1990).
Gambar 3. TKKS setelah delignifikasi Gambar 2. TKKS sebelum delignifikasi
Hasil pengamatan secara visual pada proses delignifikasi menunjukkan bahwa terjadi perubahan fisik berupa pemucatan warna dari coklat gelap menjadi lebih terang. Pemucatan warna TKKS diduga disebabkan karena selama pertumbuhan JPP menyerang holoselulosa dan lignin. Lignin merupakan komponen yang menyebabkan warna pada kayu, sehingga penyerangan/pernguraian lignin menjadi komponen yang lebih sederhana dapat menyebabkan warna kayu lebih muda dari normal (Onysho, 1993). Selain pemucatan warna, TKKS hasil inkubasi juga mengalami perubahan menjadi lebih rapuh dan seratnya mudah diuraikan. Enzim jamur akan melunakkan dan
Jamur pelapuk putih Omphalina sp yang digunakan untuk proses delignifikasi ditumbuhkan pada 100 ml media PDB. Isolat dengan pertumbuhan yang baik digunakan sebagai sumber inokulum. Isolat diinokulasikan ke serbuk TKKS (Gambar 2) dalam wadah kantung plastik yang telah disterilkan, kemudian di inkubasi pada suhu kamar selama ± 3 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, pertumbuhan miselium pada umur 7 hari baru tumbuh pada bagian atas TKKS dan pada umur 14 hari miselium tampak semakin melebar. Sedangkan setelah inkubasi 20 hari jumlah pertumbuhannya telah memenuhi
79
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (75 – 82) memecahkan dinding-dinding serat sehingga melepaskan pita-pita serat dari mikrofibrilnya dan mempermudah proses penggilingan yang tadinya sulit karena tinginya kadar lignin. Menurut Nishida et al. (1998) enzim yang terlibat dalam pemecahan lignin adalah enzim ligninolitik yang umumnya dihasilkan oleh jamur kelas Basidiomycetes. Senyawa tersebut selanjutnya digunakan oleh jamur sebagai nutrisinya dengan cara absorpsi melalui dinding selnya. Hasil analisis komposisi kimia TKKS sebelum dan setelah perlakuan delignifikasi berdasarkan persen rata-rata basis kering terlihat pada Gambar 4. 45.62 47.51
22.58
Kadar Selulosa Komponen kimia TKKS yang paling penting untuk pembuatan etanol adalah selulosa. Semakin tinggi kandungan selulosa bahan, akan semakin baik untuk bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan jamur sebagai pendegradasi lignin untuk delignifikasi diharapkan hanya mendegradasi lignin dan tidak secara simultan mendegradasi selulosa, sehingga residu hasil degradasi dapat mengandung selulosa setinggi mungkin dan lignin serendah mungkin. Berdasarkan Gambar 4 kadar selulosa TKKS setelah delignifikasi 20 hari (47,51%) mengalami kenaikan dibandingkan tanpa delignifikasi (45,62 %), kemungkinan disebabkan oleh penurunan kadar komponen lain dari TKKS selain selulosa akibat degradasi oleh kapang. Karena TKKS selain mengandung komponen dinding sel struktural (lignin, hemiselulosa dan selulosa), juga mengandung zat ekstraktif dan sedikit abu. Zat ekstraktif dalam kayu sekitar 3-10% dari bobot kering kayu. Menurut Rayner dan Boddy (1989) zat ekstraktif terdiri dari lilin, lemak, asam lemak, alkohol, steroid, komponen dengan kandungan karbon tinggi dan resin. Zat ekstraktif mungkin dapat digunakan oleh kapang selama pertumbuhannya, sehingga persentasenya dalam bahan yang mengalami degradasi diduga menurun. Jadi untuk satu gram contoh TKKS hasil inkubasi memiliki persentase komponen dinding sel struktural lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang zat ekstraktifnya diduga masih tinggi. Selain itu, penurunan salah satu komponen mengakibatkan perubahan pada kadar komponen lain (lignin, hemiselulosa dan selulosa), karena penghitungan kadar dilakukan berdasarkan basis persentase berat dengan menghitung kadar komponen. Akibatnya, apabila salah satu komponen turun, komponen lain akan naik, begitu pula sebaliknya. Komponen lignin dan hemiselulosa menurun setelah delignifikasi, sedang komponen selulosa memperlihatkan kenaikan. Lignin dan hemiselulosa pada penelitian ini mengalami penurunan yang relatif kecil, sehingga diharapkan selulosa yang terdapat pada bagian dalam dinding sel belum terdegradasi. Hal ini didukung oleh pendapat Zabel dan Morrell (1992), bahwa degradasi
50 40
16.74 15.29
yang lebih sederhana dibandingkan dengan lignin. Menurut Zabel dan Morell (1992), hemiselulosa adalah komponen dinding sel yang seringkali didegradasi terlebih dulu oleh JPP, dimungkinkan karena memiliki rantai yang lebih pendek dibanding selulosa, daya larut, dan lokasi yang terbuka di sekitar mikrofibril selulosa.
30 19.79 20
K a d a r
10 0 lignin
hemiselulosa
Tanpa delignifikasi
selulosa
delignifikasi
Gambar 4. Analisis Komposisi Kimia TKKS Sebelum dan Sesudah delignifikasi
Lignin Berdasarkan Gambar 4 terlihat kadar lignin hasil delignifiksai (15,29%), menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tanpa delignifikasi (16,74%). Hal ini berarti degradasi lignin pada penelitian ini relatif rendah, diduga disebabkan karena struktur lignin yang kompleks dengan berat molekul yang besar, sehingga sulit didegradasi oleh jamur (Hartoyo, 1989). Penelitian terdahulu (Away dan Goenadi, 1995) menunjukkan bahwa JPP dapat menurunkan kadar lignin TKKS secara drastis. Rendahnya lignolisis hasil penelitian ini kemungkinan karena kemampuan lignolisis enzim yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah. Kemungkinan hal ini menjadi salah satu penghambat proses lignolisis Kadar Hemiselulosa Dalam proses delignifikasi TKKS, kandungan hemiselulosa bahan ikut terdegradasi (Gambar 4). Hasil hemiselulosa setelah inkubasi 20 hari (19,79%) mengalami penurunan yang relatif besar dibanding hemiselulosa tanpa delignifikasi (22,58%). Degradasi hemiselulosa yang lebih cepat diduga karena hemiselulosa adalah komponen
80
Pemanfaatan Limbah Padat Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku .................... (Subandriyo, dkk) komponen oleh jamur pelapuk putih dimulai dari hemiselulosa, lignin dan akhirnya selulosa.
menjadi etanol sehingga mengurangi akumulasi selobiosa dan glukosa dan akibatnya mempercepat hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Wright et al. 1988). Selama fermentasi dilakukan pengadukan (aerasi) dan akan terjadi kenaikan suhu sehingga perlu dilakukan pendinginan. Pada awal fermentasi perlu ditambahkan nutrien dan kofaktor yang berperan penting bagi kehidupan khamir seperti karbon, oksigen, nitrogen, hidrogen, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium agar pertumbuhan khamir bisa optimal. Proses fermentasi berlangsung selama 30 – 72 jam dan akan terhenti setelah kadar etanol sebesar 12 % (Tabel 1).
Kadar Air Kadar air merupakan parameter kunci untuk proses delignifikasi dan air mampu mempengaruhi pertumbuhan kapang, substrat, aktivitas enzim, laju tansfer massa oksigen dan karbon dioksida. Kandungan air dari substrat yang kecil akan menghambat pertumbuhan miselium, mengurangi aktivitas enzim dan aksesibilitas nutrien (substrat). Berdasarkan Gambar 4 kadar air TKKS setelah delignifikasi 20 hari (3,56 %) mengalami penurunan dibandingkan tanpa delignifikasi ( 4,83 % ).
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Etanol pada Proses fermentasi dengan Alkoholmeter.
Hidrolisis secara Enzimatis dan Fermentasi etanol. Metode Simultan. Hubungan penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan gas CO2 dan produksi etanol oleh isolat trichoderma dan S. Cerevisiae dapat dilihat pada gambar 5 :
No.
Percobaan
Kadar etanol (%)
Kadar etanol (%)
1 2 3
I II III
12 12 12
30 29 30
Hal ini karena etanol 12 % dapat membunuh khamir itu sendiri sehingga menghambat fermentasi. Etanol yang dihasilkan kemudian didestilasi untuk meningkatkan kadarnya. Etanol 12 % didestilasi pertama menghasilkan etanol dengan kadar 29 – 30 % (Tabel 1). Untuk meningkatkan kadar etanol yang lebih tinggi perlu dilakukan destilasi kedua atau ketiga, dalam penelitian belum dilakukan destilasi berikutnya. Hasil produk etanol yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2
7 6 5 4 3 2 1
Tabel 2. Hasil Produk Etanol yang Diperoleh
0 0
1
2
3
4
5
pH
Gula pereduksi (gr/L)
CO2 (ml)
% Etanol
Gambar 5. Penurunan kadar gula pereduksi, pH, kenaikan gas CO2 dan produksi etanol oleh isolat trichoderma dan S. Cerevisiae secara simultan.
No.
Percobaan
TKKS (kg)
Volume etanol 12%
Rendemen (%)
1 2 3
I II III
1 1 1
120 ml 119 ml 121 ml
12 11,9 12,1
Jika dihitung rendemen yang diperoleh ± 12%, dari 1 kg TKKS dihasilkan 120 ml bioetanol 12 %.
Pada Gambar 5 terlihat penurunan kadar gula pereduksi selama fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimal pada 72 jam, pH menurun hingga hari ke 5 (dari 5,7 – 5,0), jumlah gas oksigen yang terbentuk optimum pada hari ke 4, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi yang optimum di hari ketiga dijadikan subtrat untuk pertumbuhan S. cerevisiae. Hidrolisis dan fermentasi dapat dilangsungkan secara simultan. Selama hidrolisis glukosa dapat langsung dikonversi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proses delignifikasi menggunakan Omphalina sp menghasilkan penurunan lignin (16,74%) menjadi (15,29%) penurunan hemiselulosa (22,58% menjadi 19,79%) dan peningkatan selulosa ( 45,62 % menjadi 47,51% ).
81
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (75 – 82) fermentation of beech wood by ethanolysis ethanolysis and white rot fungi. Jurnal Biotechnol. 103: 273–280. Jeffries. 1994. Biochemestry of Microbial Degradation. Ratlefge C, editor. Netherland: Kluwer Academic Publishers. Kirk TK, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper Manufacture. Butter Worth-Hernemann, USA. 232-235. Nishida et al. 1998. Mukozai Gakkaishi 74 (6) : 15 – 18. Onysho, 1993. Biologycal Bleaching of Chemical Pulp. A Review J.Biotech 11 : 197 – 198. Peni SP. 1995. Tandan Sawit untuk kertas kraft. Trubus. 311 : 52-54 Wright et al. 1988. MNRAS, 233, 1. Evolution In Mendelian Populations. University of Chicago. Chicago. Illinois. Zabel dan Morrell, 1992. Wood Microbiology, Decay and Its Preven,tion. Academic Press. San Diego, Inc. California.
2. Hidrolisis enzimatis maksimum diperoleh pada penggunaan Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara simultan. Proses fermentasi berlangsung selama 30 – 72 jam dan akan terhenti setelah kadar etanol sebesar 12 %. Etanol 12 % didestilasi pertama menghasil etanol dengan kadar 29 – 30 %. 3. Rendemen yang diperoleh ± 12%, dari 1 kg TKKS dihasilkan 120 ml kadar etanol 12 %. Saran Perlu penelitian dengan skala lebih besar untuk uji coba kelayakan sistem produksi etanol dengan hidrolisis secara enzimatis pada kondisi optimal hasil dari penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Akhtar et al, 1997. Fungal Delignification and Biomichanical Pulping of Wood. Advance in Biochemical Engineering/Biotechnology 57 : 159 – 195. Away dan Goenadi, 1995. Isolasi dan Seleksi Fungi Jamur Pelapuk Putih dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Menara Perkebunan 63 (3) : 88 – 101. Bruce A, Palfreyman W.1998. Forest Products Biotechnology. Salisburry International Ltd. Darnoko 2001. Teknologi Produksi Biodiesel dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Warta PPKS 9 (1) : 17-27. Dornoko 1992. Potensi Limbah Lignosellulosa Kelapa Sawit melalui biokonversi. Berita Penelitian Perkebunan. Medan, 2 : 85-95. Eaton, Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. London : Chapman and Hall. Fassatiova O,1986. Moulds and Filamentaous Fungi in Technical Microbiology, New York, Elsevier. Guritno, 2003 dalam. Emilio 2005. Decomposisi Tandan Kelapa Sawit menggunakan Jamur Pelapuk Putih, Skripsi FMIPA, UI, Depok. Granot et al. 2003. Sugar – Incluced apoptosis in Yeast Cell, Jurnal FEMS Yeast Research 4 : 7 – 11. Hartoyo, 1989. Pengetahuan Dasar Kayu sebagai sumber Serat, Makalah Seminar Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan Serat. Bogor. Irawati D. 2006. Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk produksi etanol, Tesis. FMIPA Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ito et al. 2003. Bioorganosolve pretreatments for simultaneous saccharification and
82
Pemanfaatan Ampas Tapioka Untuk Pembuatan Pemanis Buatan Sorbitol .......................(Muryati, dkk)
PEMANFAATAN AMPAS TAPIOKA UNTUK PEMBUATAN PEMANIS BUATAN SORBITOL DENGAN PROSES FERMENTASI MENGGUNAKAN BAKTERI Zymomonas morbilis THE UTILIZATION OF TAPIOCA SOLID REMNANT ON PRODUCTION OF ARTIFICIAL SWEETENER, SORBITOL, BY FERMENTATION PROCESS WITH Zymomonas morbilis Muryati, Sigit dan Nilawati Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang Email :
[email protected] Naskah diterima 15 Juli 2013, disetujui 4 Oktober 2013
ABSTRACT Research has been carried out with the manufacture of sorbitol sweetened tapioca of dreg dry ingredients. On sorbitol-making process is done in two stages The first stage of a process of enzyme activities transform tapioca into glucose residues process alphaamilase activity of enzym performed using enzymes and glucoamylase. The second phase of glucose that occurs then added sugars fructose in the ratio 1:1. The next ingredient are fermented using bacteria Zymomonas. From the experimental results using enzymes known to process enzymes alphaamilase and o glucoamylase with a 1:1 ratio of 0.1%. at 60 C, 400 rpm stirring speed and took 5 hours as much as 2.4% highest glucose. Results glucose solution subsequently evaporated to a thick Making of sorbitol fermentation process was carried out with the use of glucose and fructose materials with a ratio of 1:1 with bacteria Zymomomas morbillis. at room temperature and a 0 temperature of 35 C fermentation time of 48 hours. yield of 11.71% sorbitol. sorbitol results tested by the method of HPLC. Keywords : sorbitol ,fermentation ,dregs of tapioca , Zymomomas morbillis
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pembuatan pemanis sorbitol dengan bahan dasar ampas tapioka kering. Pada proses pembuatan sorbitol dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama kegiatan berupa proses ensimatis mengubah ampas tapioka menjadi glukosa, Proses ensimatis dilakukan menggunakan enzym alphaamilase dan glukoamilase. Tahap kedua Glukosa yang terjadi selanjutnya ditambahkan gula fruktosa dengan perbandingan 1:1, selanjutnya bahan tersebut difermentasikan menggunakan bakteri zymomonas Pembuatan sorbitol mengunakan Proses fermentasi dilakukan dengan bahan glukosa dan fruktosa dengan perbandingan 1:1 dengan bakteri Zymomomas morbillis dengan suhu kamar dan o suhu 35 C waktu fermentasi 48 jam. Randemen sorbitol 11,71%, hasil sorbitol diuji dengan methoda HPLC. Dari hasil percobaan diketahui proses enzymatis menggunakan enzym alphaamilase dan o glukoamilase dengan perbandingan 1:1 sebanyak 0,1% pada suhu 60 C, kecepatan pengadukan 400 rpm dan waktu 5 jam glukosa tertinggi sebanyak 2,4 %. Hasil larutan glukosa selanjutnya diuapkan sampai kental. Kata kunci : sorbitol, fermentasi, ampas tapioka, Zymomomasmorbillis
83
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (83 – 88) o
yang tinggi, yaitu pada suhu suhu 100 C – o 110 C pada tekanan 40 - 55 bar sehingga membutuhkan peralatan yang tahan korosi dan tingkat keamanan yang tinggi, sehingga membutuhkan investasi yang tinggi. Pembuatan sorbitol dengan dengan cara fermentasi dilakukan dengan menggunakan bakteri zymomonas, bahan subtrat yang digunakan berupa glukosa, adapun glukosa diperoleh dari ampas tapioka setelah diproses dengan cara enzimatis menggunakan enzim amilase. Sedangkan Proses fermentasi tidak membutuhkan peralatan yang mahal karena pada proses fermentasi hanya diperlukan suhu rendah yaitu o pada tahap proses enzimatis suhu hanya 50 C o – 60 C demikian pula pada proses fermentasi o o hanya perlu suhu 30 C – 40 C. serta tidak dibutuhkan peralatan dengan panas dan tekanan tinggi maka proses fermentasi sangat memungkinkan dilakukan oleh industri kecil. Proses fermentasi di Indonesia telah lama dilakukan oleh industri kecil yaitu pada industri pembuat tape atau alkohol. Walau pada porses fermentasi hanya dibutuhkan peralatan yang sederhana, namun karena bekerja menggunakan mikroba berupa bakteri zymomnas, maka proses fermentasi dibutuhkan tingkat kebersihan yang optimal yaitu berupa ruang steril dan tingkat kebersihan yang cukup. Untuk mengembangkan industri kecil / menengah maka pada penelitian ini akan dicoba meneliti pembuatan sorbitol dengan cara fermentasi Zymomonas mobilis merupakan bakteri gram negatif, bersifat anaerob fakultatif, berbentuk batang. Bakteri ini secara alami ditemukan pada tanaman yang mengandung gula-gula yang dapat terfermentasi seperti anggur. Zymomonas mobilis juga didapatkan melalui isolasi minuman beralkohol seperti pulque Meksiko, kontaminan bir dan sari buah apel Eropa. Sorbitol disentesa dengan cara mereduksi D-fruktosa dan D-glukosa dengan bantuan enzim L-iditol (iditol) dehidrogenase yang mengkatalisasi reaksi bolak balik dari sorbitol menjadi fruktosa. Enzim aldosa reduktase mengkatalisis reduksi glukosa menjadi sorbitol. Kedua enzim ini dihasilkan dari mikroba yang meliputi khamir da n bakteri. Khamir dan bakteri yang telah dikenal sebagai penghasil sorbitol adalah Candida boidinii dan Zymomonas mobilis. Khamir yang menghasilkan sorbitol ini dikenal dengan Nama khamir methanol penggunaan methanol oleh khamir ini sebagai induser untuk sintesa enzimenzim methanol oksidatif yang mereduksi NAD+ untuk menghasilkan NADH.
PENDAHULUAN Pemanis buatan sorbitol banyak digunakan oleh industri makanan dan industri kecantikan termasuk industri tapal pasta gigi .Indonesia termasuk, produsen sorbitol selain Amerika Serikat dan Australia juga India. Sorbitol merupakan pemanis buatan dengan rumus kimia C6H14O6 , dipasaran dengan dua bentuk serbuk dan cair. Kebutuhan industri dunia untuk sorbitol mencapai Sorbitol 800,000 MT. Indonesia sebagai negara produsen sorbitol dengan kapasitas 70.000 ton /tahun. Pabrik sorbitol Indonesia di Pasuruan Jawa Timur. Saat ini sorbitol dibuat dengan proses kimia dengan cara hidrogenasi dengan bahan baku patitapioka. Selain proses kimia sorbitol juga dapat dibuat dengan proses fermentasi menggunakan bakteri Zymomonas mobilis. Struktur kimia sorbitol C6H14O6 dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur sorbitol C6H14O6
Sorbitol dibuat dengan proses kimia dengan cara hidrogenasi. Hidrogenasi merupakan reaksi hidrogen dengan senyawa organik. Reaksi ini terjadi dengan penambahan hidrogen secara langsung pada ikatan rangkap dari molokul tak jenuh sehingga dihasilkan suatu produk yang jenuh. Proses hidrogenasi merupakan proses yang penting dan banyak digunakan dalam pembuatan bermacam macam senyawa organik salah satunya adalah sorbitol. Proses hidrogenisasi membutuhkan energi yang cukup besar yaitu beroperasi o o pada suhu 100 C - 110 C pada tekanan 40 55 bar, proses hidrogenasi adalah memasukan hidrogen pemecahan ikatan rangkap dan memasukan unsur hidrogen pada ikatan rangkap. Reaksi proses hidrogenasi sorbitol disajikan pada gambar 2. H2
glukosa
sorbitol
Gambar 2. Proses hidrogenasi sorbitol
Pada proses hidrogenisasi dibutuhkan energi yang tinggi berupa tekanan dan suhu
84
Pemanfaatan Ampas Tapioka Untuk Pembuatan Pemanis Buatan Sorbitol .......................(Muryati, dkk) NADH ini digunakan oleh khamir sebagai sumber energi untuk mereduksi glukosa menjadi sorbitol. Reaksi biosintesa sorbitol Oleh Candida boidinii / Zymomonas mobilis ditampilkan pada Gambar 3. Glukosa + NADH aldosa reduktase
Sorbitol + + NAD
Fruktosa + NADH iditol dehidrogenase
Sorbitol + + NAD
menjadi bahan baku industri pangan yang bernilai tinggi . Manfaat lain penelitian ini bila berhasil dapat membantu mengurangi cemaran industri juga mendorong tumbuhnya industri baru dipedesaan. METODE Bahan Ampas tapioka, dibeli di pabrik tapioka daerah Pati, Enzym alphaamilase dan glukoamilase dibeli di toko kimia di Bogor, Bacteri Zymomonas morbili dan media pertumbuhan (dari PAU Pangan, UGM,) Jogyakarta dan air bersih.
Gambar 3. Biosintesa Sorbitol oleh khamir
Mirojul Asyarati, (2010) telah meneliti pembuatan sorbitol menggunakan bakteri zymomonas mobillis A3, dengan bahan dasar sukrosa dan glukosa.. Sedangkan oleh Stephani Bringer (2006) dapat menghasilkan sorbitol dengan baham dasar glukosa dan fruktosa dengan fermentasi zymomonas pada o suhu 40 C Pada percobaan ini akan dicoba pembuatan sorbitol menggunakan bahan ampas tapioka dan fruktosa dengan fermentasi menggunakan zymomonas morbilis Ampas tapioka atau dikenal sebagai onggok, saat ini hanya digunakan sebagai pakan ternak dan bahan makanan lainnya, akan ditingkatkan nilai jualnya dengan diolah menjadi sorbitol. Pabrik tapioka banyak terdapat di Indonesia seperti Lampung, Tasikmalaya dan untuk Jawa Tengah pabrik tapioka terdapat di kabupaten Pati, Temanggung serta di Cilacap. Dikabupaten Pati industri tapioka banyak dijumpai sentra industri kecil tapioka dan, sentra industri tapioka terbesar didaerah Margoyoso. Pabrik tapioka di pedesaan selain menghasilkan produk utama pati tapioka, juga menghasilkan ampas tapioka. Ampas tapioka kurang berharga secara ekonomis. Ampas yang pada industri tapioka akan dicoba diolah menjadi sorbitol dengan cara fermentasi menggunakan bakteri Zymomonas morbilis. Dasar pemikiran penelitian ini adalah proses bioteknologi menggunakan enzim dan mikroba diharapkan dapat lebih murah dan aman dibandingkan proses kimia, peralatan sederhana sehingga dapat dilakukan oleh industri kecil di pedesaan Tujuan penelitian ini adalah membuat sorbitol menggunakan bahan ampas tapioka dengan cara enzymatis dan proses fermentasi menggunakan bakteri Zymomonas khususnya: mencari kondisi optimal fermentasi Zymomonas ( waktu dan suhu fermentasi ). Bila penelitian ini berhasil diharapkan ada proses baru pembuatan sorbitol berupa proses fermentasi, juga dapat untuk meningkatkan nilai ekonomi ampas tapioka untuk diolah
Peralatan Water bath, pengaduk, inkubator, HPLC, kain saring. botol gelas untuk fermentasi . Metoda fermentasi Zymomomas ini dilakukan untuk mengetahui waktu fermentasi yang optimal untuk menghasilkan sorbitol. Proses pembuatan sorbitol menggunakan bahan ampas tapioka dilakukan dalam 2(dua) tahap, yaitu : a. Tahap I : Proses pembuatan glukosa secara enzymatis. Percobaan Glukosa dilakukan dengan variable : Variable berubah : Waktu 2 dan 4 jam, kecepatan pengadukan 300 dan 400 o o o rpm dan suhu 35 C 50 C dan 60 C Variable tetap : pH, Jumlah ampas tapioka Tiap perlakuan 2 kali ulangan Uji kadar glukosa ( SNI 01-2892-1992 ) b. Tahap II : Percobaan sorbitol, secara fermentasi dengan bacteri zymomomonas. Variable berubah : Waktu fermentasi : 12 jam dan 48 jam o Variable tetap Suhu 35 C Identifikasi sorbitol Spektrum serapan inframerah zat yang terdispresikan dalam Kaalium bromida, menunjukkan maksimum hanya pada gelombang yang sama seperti pada sorbitol BPFI. Baku pembanding sorbitol BPFI tidak boleh dikeringkan sebelum digunakan Analisa kadar sorbitol (SNI 4258-1-2010). Glukosa hasil percobaan tahap I selanjutnya ditambah fruktosa dengan perbandingan 1:1. Untuk difermentasikan dengan Zymomomas. Fermentasi dilakukan o dengan variabel suhu, yaitu pada suhu 35 C .Lama waktu fermentasi kedua perlakuan selama 12 dan 48 jam. Hasil fermentasi berbentuk cairan untuk diuji kadar sorbitol di Laboratorium Pangan PT. Saraswanti Bogor. Diagram alir pembuatan sorbitol dengan bahan ampas tapioka pada gambar 4.
85
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (83 – 88) Tahap I Proses enzymatis ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, Ampas tapioka Giling saring
Alpha amlisae : glukoamilase = 1 : 1 0.1 %
g/100 ml. Percobaan oleh Dwi Retnowati dan Rini Sutanti ( 2009 ) dengan hidrolisa ampas tapioka dengan cara kimia kimia menggunakan HCl hasilnya juga tak jah berbeda dihasilkan glukosa sebesar 0,841gr Pada proses enzymatis digunakan 2 jenis enzym yaitu enzym alpha amilsase dan glukoamilase. Fungsi alpha enzymamilase memutus ikatan α 1,4 secara acak dibagian dalam molokul baik pada amilosa maupun amilopektin. Karena pengaruh aktifitasnya pati terputus putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6 - 10 unit glukosa. Jika waktu reaksi diperpanjang glukosa tersebut dipotong potong menjadi campuran antara glukosa isomaltosa, isomaltotriosa dan ikatan lain yang lebih panjang.
Proses enzymatis 0 0 40 C - 60 C 300 – 400 rpm
Saring Tahap II Uji glukosa Filtrat Proses fermentasi ( SNI 01-2892-1992 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, + frktosa 50 % + zymomonas Proses fermentasi 12 dan 48 Jam 0 Suhu 35 C
sorbitol
Uji sorbitol ( SNI 4258-1-2010 )
2.5 2 Kadar glukosa ( %)
Gambar 4 . Diagram alir pembuatan sorbitol berbahan ampas tapioka
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan pembuatan glukosa. Pada percobaan proses enzymatis ini digunakan 2 jenis enzym yaitu alpha amilsase dan glukoamilase. Kandungan enzym gabungan 2 jenis enzym yaitu enzym alpha amilsase dan glukoamilase pada percobaan ini sebanyak 0,1%. Dari hasil percobaan diketahui bahwa pengaruh suhu dan waktu sangat berperan dalam mendapatkan glukosa. Demikian pula pengaruh pengadukan juga akan menghasilkan glukosa lebih tinggi. Pengaruh kecepatan pengadukan pada larutan akan meperbanyak molokul berkontak langsung dengan larutan enzym sehingga proses enzymatis berlangsung lebih cepat.dari pada rpm rendah 300 rpm menghasilkan glukosa , dengan 1,1% sedangkan kecepatan pengadukan 400 rpm glukosa mencapai 1,6%.
Kadar glukosa ( % )
400 rpm
0.4 0.2
40
50 Suhu 0 C
50
60 2 jam 3 jam
Emzym alpha amilase mempunyai kelemahan yang mendasar karena alpha amilase tidak mampu memecah ikatan α 1,6 dengan demikian hasil proses enzymatis menggunakan alpha amilase selalu terbentuk produk ikutan yaitu isomaltosa ,isomaltotriosa dan manosa.Untuk memutus rantai α 1,6 saat ini telah ditemukan enzym baru yaitu digunakan enzym glukoamilase.(P. Soebianto Tjokroadikoesoemo 1985) Enzym glukoamilase bersifat eksoamilase,yaitu dapat merubah rantai pati mejadi molokul molokul glukosa pada bagian tak tereduksidari molokul tersebut,baik ikatan α 1,4 maupun α 1,6. Pengaruh kecepatan pengadukan pada proses enzymatis berkaitan dengan hasil glukosa yang diperoleh, makin cepat pengadukan glukosa yang dihasilkan makin besar. Hal tersebut diduga karena proses enzymatis berlangsung lebih cepat .karena molokul pati pada rantai ikatan ikatan α 1,4 maupun α 1,6 terpotong lebih besar akibatnya dihasilkan glukosa yang lebih banyak. (P. Soebianto Tjokroadikoesoemo1985) Pada percobaan pembuatan glukosa 0 0 0 dengan variabel suhu 40 C, 50 C dan 60 C dan lama pengadukan dapat diketahui makin tinggi suhu pada proses enzimatis dan makin
0.6
0
40
Gambar 6. Pengaruh suhu dan lama pengadukan pada hasil glukosa
1.2
300 rpm
0.5
Suhu ( %)
1.4
1
1
0
1.6
0.8
1.5
60
Gambar 5. Pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan pada hasil glukosa
Hasil glukosa tersebut tidak besar namun hampir sama dengan percobaan oleh Siti Juariah (2004) dengan fermentasi onggok /ampas tapioka menggunakan Aspergilus niger, menghasilkan gula reduksi /sebesar 1,1842
86
Pemanfaatan Ampas Tapioka Untuk Pembuatan Pemanis Buatan Sorbitol .......................(Muryati, dkk) lama pengadukan hasil glukosa semakin banyak. Hal ini dapat diduga makin lama proses enzymatis maka glukosa yang dihasilkan semakin banyak. Demikian pula untuk suhu semakin tinggi maka aktivitas enzym meningkat, namun aktivitas tersebut dengan cepat menurun demikian pula stabilitasnya. Kondisi optimun proses enzymatis o o dari berbagai literatur pada suhu 40 C - 65 C. Dari percobaan diketahui bahwa kondisi enzymatis yang optimal pada perlakuan ini o adalah pada suhu 60 C dengan waktu 4 jam.
dibandingkan penelitian yang kita lakukan dengan bahan subtrat glukosa dan fruktosa. Oleh Silveira MM (1992) dilakukan pembuatan sorbitol dengan mencoba 8 jenis bakteri zymomonas media yang digunakan fruktosa dan glukosa monohydrate dihasilkan sorbitol 12-13%, sedangkan ethanol yang dihasilkan 44-48%. Pada proses fermentasi zymomonas selain dihasilkan sorbitol juga dihasilkan produk ikutan berupa ethanol. Sedangkan oleh Mi'rojul Asyarati, menggunakan bibit Zymomonas mobilis A3, dengan media sukrosa dengan konsentrasi 300/L glukosa 0,45/ L kecepatan pengadukan
Percobaan pembuatan sorbitol. Telah dilakukan percobaan pembuatan sorbitol dengan bahan dasar glukosa. Bahan glukosa yang digunakan adalah hasil percobaan laboratorium dari ampas tapioka yang diolah secara enzymatis (hasil percobaan tahap 1). Fermentasi dilakukan dengan variable o suhu, yaitu pada suhu 35 C. Lama waktu fermentasi kedua perlakuan selama 12 dan 48 jam. Hasil fermentasi berbentuk cairan, selanjutnya dilakukan pengujian kadar sorbitol Uji mutu kadar sorbitol dilakukan di laboratorium pangan PT. Saraswanti, Bogor : dan 2 ,23 % dan 11,71 %.
o
120 rpm fermentasi pada suhu 30 C, fermentasi pada 48 jam dihasilkan sorbitol sebanyak 26,92%. Sedangkan tanpa penambahan glukosa, dapat dihasilkan sorbitol 45,49%. Percobaan oleh Boonyatas (1991 ) menggunakan bakteri 7 jenis bakteri, 1, Z .mobilis IPO 13756. 2. Z mobilis CM 141, 3, CL sp 7M9. 4, S cerevisiae begandy, 5, S cerevisiae Elipsodeus. 6. S cerevisiae carlbergensis dan 7. bakteri S cerevisiae sake. Dari ke tujuh baktrei maka bakteri, Z .mobilis IPO 13756 paling produktip menghasilkan sorbitol tertinggi 24,8$ dan ethanol sebesar 65.7 %. Peneliti U.H Chun Korea bersama P.L Rogres Australi, mencoba menghasilkan sorbitol dengan fermentasi menggunakan Zymomonas mobilis dengan media glkosa dan fruktosa oxidoreuctase fermentasi pada suhu 0 35 C pada pH 6,2 menghassilkan sorbitol 40,9g/L dan ethanol 71 g/l Márcio de Barros 2006 , mencoba dengan nedia sukrosa dengan konsentrasi 200 g/L dan 300/l hasilnya sorbitol terbaik sebesar 42,35 g/l sedangkan dengan media sukrosa 300 g/l sorbitol yang dipanen haya 38,42 g/l Proses pembuatan gula sorbitol belum optimal hal ini ditunjukan hasil sorbitol masih rendah, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mirojul Asyarati atau dibandingkan dengan patent US oleh Stephanti Bringer(2006). Juga bila dibandingkan dengan penelitian Márcio de Barros 2006 yang bisa menghasilkan sorbitol 38,42 - 42,35 g/l. Hasil sorbitol mungkin akan lebih optimal bila digunakan Zymomonas morbilis yang telah diseleksi terlebih dulu, juga untuk menggunakan sukrosa yang optimal, seperti percobaan Márcio de Barros 2006. Produk fermentasi oleh bakteri zymomonas selain sorbitol juga dihasilkan produk berharga berupa ethanol, Boonyatas (1991 ). , Silveira MM (1992) .,adanya ethanol yang sangat berharga sangat memungkinkan dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk
.
•. (%)
10
Kadar sorbitol
12
8 6 4 2 0
12 jam
48 jam
Lama fermentasi ( jam ) Gambar 7 . Pengaruh waktu fermentasi pada hasil sorbitol
Hasil sorbitol pada percobaan sebesar 11,71 % dapat dicapai dengan kondisi waktu o fermentasi 48 jam dan suhu 35 C, sedangkan fermentasi selama 12 jam hanya menghasilkan sorbitol sebesar 2,23 %. Marcos Roberto (2004) membuat sorbitol dengan cara fermentasi dengan bakteri zymomonas menggunakan sukrosa konsentarsi tinggi 100 sampai 300g /L dapat menghasilkan sorbitol 4,979 sampai 20,633 g. Hasil ini cukup tinggi
87
Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Vol. 4, No. 2, November 2013 (83 – 88) memanfaatkan ethanol sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, serta bisa diperbaruhi .
and sorbitol, Applied Microbiology & Biotechnology;Nov2001, Vol. 57 Issue 3, p323 Stephanie Bringer, 2006 . Patent, US 4742006, Fermentation process for the production of fructose from aqueous mixture of fructose and glucose and zymomonas morbilis mutants which can be used from such fermentation, United State Patent. Dwi Retnowati dan Rini Sutanti , 2009. Pemanfaatan limbah padat ampas singkong dan lindur sebagai bahan baku pembuatan etanol. Jurusan Teknik Kimia Fakkultas teknik, Universitas Diponegoro Semarang.
KESIMPULAN 1. Proses enzymatis pembuatan glukosa dengan bahan enzym alpha amilase dan glukoamilase ( 1 : 1 ) sebanyak 0,01 %. o Kondisi optimal pada suhu 60 C dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 4 jam dengan kadar glukosa 2,4 %. 2. Fermentasi menggunakan bakteri o zymomonas pada suhu 35 C selama 48 jam dengan media glukosa : fruktosa = 1 : 1 menghasilkan sorbitol 11,71%. UCAPAN TERIMAKASIH Kepada Fajar Ari Hidayat, Meyliza Fatmasari dan Waluyo yang sangat membantu menganalisa hasil percobaan dan mengoperasionalkan peralatan serta dalam perbanyakan mikrobra. DAFTAR PUSTAKA International Starch Institute , 2012. Sorbitol, Sweetener Search. Denmark Boonyatas (1991 Production sorbitol and ethamol from sucrose by zymomomnas mobolis : sugar fermentation ,Faculty of Science,Khrngyhep University, Bangkok , Thailand Marcos Roberto de Oliveira | Maria Antonia Pedrine , 2004. Studies Sorbitol production by Zymomonas mobilis at High Sucrose Concentration, Journal: Ciencias extract Tecnológicas Volume : 25 Márcio de Barros 2006 Synthesis of sorbitol by Zymomonas mobilis under high osmotic pressure , Braz. J. Microbiol. vol.37 no.3 São Paulo July/ Sept. 2006 Mi'rojul Asyarati 2010 . Analysis of sucrose fermentation to being sorbitol by zymomonas mobilis with glucose addition. ITS Surabaya Siti Juariah, Ari Ssilowati, Ratna setyaningsih, 2004 . Fermetasi etanol dari limbah pada tapioka(onggok) oleh Aspergillus niger dan zymoonas mobilis, Bioteknologi I (1) 7-12 Mei 2004. ISSN : 0216-6887 Silveira, M. M 1992 Arquivos de Biologia e Tecnologia Vol. 35 No. 3 pp. 591-594 Soebianto Tjokroadikoesoemp , 1985. I H S dan industri ubikayu lainnya. PT Gramedia. Jakarta. Shene, C.; Bravo, S. 2001 .Zymomonas mobilis CP4 fed-batch fermentations of glucose-fructose mixtures to ethanol
88
INDEKS PENULIS
Lisa Evana …………………………….………………………………………………………………
47
Eddy Hermawan………………………………………………………………………………………
47
Januar Arif Fatkhurrahman…………………………………………………………………………..
57
Adi Prasetio……………………………………..……………………………………………………..
57
Puri Restu Mardani……………………………………………………………………………………
65
Karna Wijaya…………………………………………………………………………………………..
65
Robby Nur Cahyono………………………………………………………………………………….
65
Subandriyo……………………………………………………………………………………………..
75
Muryati………………………………………………………………………………………………….
75
Sigit……………………………………………………………………………………………………..
83
Muryati………………………………………………………………………………………………….
83
Nilawati…………………………………………………………………………………………………
83
JUDUL BUKU : ENVIRONMENTAL ANAEROBIC TECHNOLOGY Application and New Developments PENGARANG
:
S. UEMURA DAN H. HARADA
EDITOR
:
HERBERT H.P. FANG
PENERBIT
:
IMPERIAL COLLEDGE PRESS
JUMLAH HALAMAN
:
404
TAHUN
:
2010
Buku ini memuat kumpulan teknologi anaerob yang terdiri dari 4 bagian yaitu; tinjauan umum, aplikasi teknologi, teknologi emergensi dan pengembangan teknologi baru. Salah satu judul yang menarik pada bagian 2 adalah “Application of UASB Teknology for Sewage Treatment with a Novel Post- treatment Process” yang ditulis oleh S. Uemura dan H. Harada. UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) sangat efektif untuk mengolah limbah organic yang bersifat biodegradable didaerah beriklim sedang atau hangat seperti Indonesia. . Kelebihan UASB adalah waktu tinggal pendek, tidak perlu lahan yang luas. Biaya operasi murah. Jika kondisi sudah stabil pengoperasian dan perawatannya menjadi lebih mudah. Kelemahannya adalah keluaran dari UASB belum bisa mencapai standar efluen. Sebenarnya efisiensi UASB bisa mencapai 99% sehingga memenuhi standar, Ditinjau dari segi biaya, penurunan COD mencapai 60-70% lebih menjadi pilihan karena biayanya lebih murah 1/10, kemudian diikuti dengan pengolahan lanjut sehingga keluaran memenuhi standar efluen. Pengolahan lanjut sistim FPU (Final Polishing Unit) cocok diterapkan di industri yang mempunyai lahan luas. Yap mendisain FPU sederhana yang dikonfigurasikan dengan UASB berupa kolam luas dilengkapi dengan 2 buah baffle sehingga membentuk 3 lajur. Sistim yang lebih baik lagi adalah DHS (Downflow hanging Sponge). Pada dasarnya sistim DHS sama dengan trickling filter, hanya sebagai media pada DHS digunakan sponge terbuat dari polyurethane dengan porositas sampai 95%. Sponge dibentuk kubus dengan ukuran 2,5 cm sebanyak 34 – 43 buah disusun menjadi bentuk rantai. Rantai- rantai sponge yang digantungkan didalam reaktor DHS ini berfungsi sebagai tempat tumbuh kembangnya mikroba yang melekat diseluruh permukan sponge. Air limbah dari UASB mengalir dari atas kebawah melewati rantai sponge. Mikroba akan mendegradasi bahan organic yang ada dalam air limbah. Kelebihan dari sistim DHS ini adalah adanya aerasi alamiah sehingga proses degradasi lebih sempurna.Kombinasi UASB– DHS dan UASB-FPU yang diaplikasikan di Kanal, India berturut-turut menurunkan kandungan BOD 96% dan 71%, kandungan COD 92% dan 67% serta kandungan SS 95% dan 65%. (Djarwanti)