VOLUME: 4 – NOMOR: 2 – November 2013
ISSN: 0852 - 9124
Jurnal EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri) Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh
PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 2013
Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar VOLOME: 4 – NOMOR: 2 – ISSN: 0852 – 9124: NOVMEBER 2013
Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar
[Bappeda Aceh] [ISSN: 0852-9124] [Vol. 4 No.2,Nov 2013] [0651-29713] | [0651-21440] | [
[email protected]]
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri) (Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank)) Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh (The Effect of Education Sector Government Expenditure on The Poverty in Aceh) Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh (Management of Rice Surplus and Deficit in the Province of Aceh) Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar (Local Government Policy in the Form of Legislation in Aceh Besar District) Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik (Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources: an Empirical Evidence) Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method (Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism with Travel Cost Method Approach) Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar (Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar)
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2013
TIM REDAKSI
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis di bidang Ekonomi Pembangunan : Pembina
: Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Pengarah
: Mahruzal, SE
Penanggung Jawab
: Ir. Alamsyah, MM
Dewan Redaksi
: Prof. Dr. Drh. Tongku Nizwan Siregar, MP Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, MP Dr. Ir. Ema Alemina, MP drh. T. Armansyah,TR, M.Kes
Pimpinan Redaksi
: Ramzi, M.Si
Staf Redaksi
: Bulman Rahmad Cut Soraya Iskandar Sri Hastuti Supriatna Zaiyadi
Alamat Redaksi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Subbidang Penelitian dan Pengembangan Jl. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh Telepon: (0651) 21440, 29713 Website: www.bappeda.acehprov.go.id Email:
[email protected]
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridha-Nya sehingga Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Volume 4 Nomor 2 Edisi November Tahun 2013 dapat diterbitkan. Salawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menanamkan risalah kepada ilmuwan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Penerbitan jurnal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder yang berkaitan dengan Ekonomi dan Pembangunan di berbagai sektor. Terbitan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2013 ini tim redaksi telah berupaya meningkatkan kualitasnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan yang lebih konsisten, judul jurnal yang lebih mudah dimengerti. Setiap Volume berisi tujuh artikel, dan pada edisi ini yang dimuat adalah: 1) Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri); 2) Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh; 3) Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh; 4) Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar; 5) Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik; 6) Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method; dan 7) FaktorFaktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Akhirnya ucapan terima kasih kepada para penyunting ahli dan reviewer yang telah bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan jurnal ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para penulis yang telah dimuat tulisannya. Harapan kami semoga tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan kepada semua pembaca. Selain itu, kami juga mengundang semua pihak untuk dapat mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak dalam upaya untuk meningkatkan kualitas jurnal ini.
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri) Akhmad Baihaqi, dkk .......................................................................................
72
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam ....................................................
79
Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh Romano dan T. Saiful Bahri ..............................................................................
100
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar Muhammad Insa Ansari ....................................................................................
111
Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik Zulkifli ................................................................................................................
119
Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method Suriani dan Yefrizal ..........................................................................................
142
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar Nur Aidar dan Eri Munandar ...........................................................................
152
iii
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124
Vol. 4, No.2, Nov 2013
EVALUASI PEMBIAYAAN MODAL KERJA KOPERASI DENGAN MEKANISME KEMITRAAN KOPERASI – BANK (STUDI KASUS KOPERASI PETANI KAKAO – BANK SYARIAH MANDIRI) Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank) Akhmad Baihaqi1, Ahmad Humam Hamid1, Yusya Abubakar1, dan Ashabul Anhar1 1
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan mengidentifikasi kendala yang timbul dalam pelaksanaan pembiayaan dan memberikan alternatif strategi untuk mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan modal kerja koperasi. Penelitian ini menggunakan metode survei, dengan sampel pengelola koperasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif yang dipaparkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas berdampak terhadap proses pembiayaan. Strategi untuk mengoptimalkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dilakukan dengan tahapan proses: (1) Forum Group Discussion (FGD) untuk memberikan peta sosial koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja, (2) Pelatihan simulasi operasi bisnis untuk meningkatkan kompetensi tata laksana usaha, (3) Pelatihan berbasis studi kasus untuk menjawab kendala yang timbul dari kegiatan usaha. Kata kunci: koperasi, modal kerja
ABSTRACT The research aims to identify constraints the implementation of financing and provide alternative strategies to optimize of working capital financing facilities. The study uses a survey method, sample are cooperative management. Data analysis using quantitative data and analyzed descriptively.The results showed are weak of transparency and accountability that impact to financing process. Strategies to optimize the human resources process conducted by: (1) FGD, to provide of cooperatives social maps in character, knowledge and work patterns, (2) business operation simulation training to improve the competence of business administration, (3) case study-based training to respond business activities issues of working capital. Keywords: cooperative, working capital
PENDAHULUAN Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan rakyat yang dapat diandalkan untuk dikembangkan selain kopi. Upaya pengembangan dan memperkuat ekonomi sektor pertanian subsektor perkebunan telah dilakukan Pemerintah Provinsi Aceh melalui program Economic Development Financing Facility (EDFF). 72
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Ahkmad Baihaqi, dkk
Progam yang bertujuan mengembangkan ekonomi petani dari perkebunan kakao ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Petani kakao di wilayah Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur umumnya masih tergolong miskin karena rendahnya pendapatan yang mereka peroleh dari tanaman kakao tersebut yaitu rata-rata 5,5 juta rupiah per ha per tahun (Actionaid Australia-Keumang, 2010 dan Actionaid Australia-Keumang, 2012). Beberapa kendala yang dihadapi dalam meningkatkan ekonomi petani adalah ketersediaan dan akses permodalan sehingga petani tidak dapat bersaing untuk mendapatkan nilai tambah harga dengan kuantitas produksi yang dimuliki. Salah satu upaya untuk memperkuat basis usaha kakao rakyat adalah dengan mengembangkan suatu pola pembiayaan modal kerja bagi organisasi (koperasi) petani kakao. Dengan dukungan dana dari Multi Donor Fund (MDF), Action Aid Australia bersama Yayasan Keumang mengembangkan suatu pola kerjasama antara koperasi primer dan koperasi sekunder dengan lembaga keuangan di 3 kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur untuk meningkatkan rantai nilai kakao bagi petani. Langkah untuk meningkatkan nilai tambah harga melalui kuantitas produksi, memperkuat kelembagaan koperasi dan modal kerja, dengan peranan kelembagaan dapat diciptakan daya tawar yang lebih baik dalam perdagangan komoditi kakao tersebut. Bantuan modal kerja diberikan kepada petani kakao melalui 9 unit koperasi primer, empat unit di Kabupaten Pidie, tiga unit di Kabupaten Aceh Utara, dan dua unit di Kabupaten Aceh Timur yang beranggotakan petani kakao di tiga kabupaten dengan jumlah anggota 4.500 petani. Untuk mendukung peningkatan rantai nilai pemasaran koperasi-koperasi primer membentuk 1 (satu) unit wadah bersama yaitu koperasi sekunder.Kucuran dana modal kerja diperuntukkan bagi unit usaha koperasi dalam tahap I ini untuk mendukung aktivitas jual beli biji kakao yaitu sebesar 3 milyar rupiah yang dimulai pada 14 Februari 2012-16 Agustus 2012 (6 bulan). Masing-masing pembagian dana yaitu 200 juta rupiah untuk koperasi primer dan 1,2 milyar bagi koperasi sekunder dan ditempatkan di bank sebagai jaminan usaha (Colateral). Besarnya dukungan modal kerja koperasi sekunder bertujuan mendukung likuiditas modal kerja koperasi sekunder. Tantangan yang dihadapi oleh usaha yang baru mulai berjalan adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola keungan dan bisnis kakao. Daya saing usaha koperasi dengan para pesaing adalah tersedianya modal, pengetahuan, tanggung jawab, dan karakter sosial masyarakat turut mendukung daya ungkit koperasi untuk mencapai kesuksesan. Untuk mencapai kemandirian koperasi perlu pula dilakukan peningkatan keahlian dan monitoring yang berbasiskan kebutuhan pengelola dan anggota. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei terhadap 9 sembilan unit koperasi primer dan 1 (Satu) unit koperasi sekunder yang tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner terhadap kinerja operasional koperasi dalam pengelolaan modal kerja, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai pihak yang terlibat di dalam program pembiayaan dan studi literatur lainnya. Sebaran koperasi dan lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. 73
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Tabel 1. Lokasi dan sebaran sampel penelitian. Lokasi Kabupaten Pidie Kecamatan Padang Tiji Kecamatan Mila, Keumala dan Sakti Kecamatan Tangse, Mane dan Geumpang Kecamatan Glumpang Tiga Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Langkahan Kecamatan Pirak Timur, Paya Bakong, dan Grudong Pase Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Timur Kecamatan Peunaron Kecamatan Peudawa dan Rantau Pereulak
Unit Kerja Koperasi Meuguna Beuratana TMG APKO Pusat Koperasi Kakao Aceh Ingin Maju Aneuk Ban Keumang Pertanian CocoA Aceh Berkat Aceh Mekar
Pengumpulan data primer pada survai ini dilaksanakan melalui kombinasi antara: 1) pengamatan lapangan (observation), diskusi terfokus (focus group discussion/FGD) dengan semua stakeholder, dan wawancara dengan responden (petani) dalam bentuk kuesioner. Analisis data diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah responden. Data yang diperoleh ditabulasi kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif yang dipaparkan secara deskriptif. Pendekatan kuantitatif deskriftif akan diperoleh hasil “pemaknaan dan penjelasan” terhadap berbagai kondisi dan fakta serta informasi yang diperoleh terkait petani kakao di lokasi penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Skema Pembiayaan Upaya untuk meminimalkan ketimpangan bagi petani kakao dilakukan dengan membentuk lembaga formal petani melalui pembentukan koperasi. ActionAid dan Yayasan Keumang sebagai pelaksana program membentuk tujuh koperasi primer dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dua koperasi primer, serta satu unit koperasi sekunder sebagai induk koperasi-koperasi primer. Koperasi ini merupakan salah satu langkah meningkatkan produktivitas kelembagaan sosial yang menunjang. Modal kerja yang disediakan oleh Multi Donor Fund (MDF) tersebut berfungsi sebagai jaminan atas pinjaman yang diambil oleh koperasi untuk membeli kakao dari petani anggotanya. Program ini MDF dalam pelaksanaannya menyediakan dana modal kerja, namun modal kerjanya tidak diberikan langsung kepada koperasi. Modal kerja ditempatkan di dalam rekening investasi terikat pada Bank Syariah Mandiri (BSM) dalam mekanisme pembiayaan syariah ini sebagai jaminan pinjaman koperasi, selanjutnya koperasi akan melakukan pinjaman ke BSM yang didukung oleh modal kerja (jaminan). Mekanisme pembiayaan Modal Kerja tersebut diatur oleh sistem perbankan syariah. Kerjasama pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi-koperasi dengan lembaga keuangan (Bank Syariah Mandiri) sebesar 3 milyar rupiah (Rp 200.000.00 untuk 9 koperasi primer dan Rp 1.200.000.000,- bagi koperasi sekunder) sebagai jaminan. Realisasi pembiayaan yang dijalankan kepada koperasi petani kakao pada tahap pertama adalah sebesar Rp 50.000.000,- untuk sembilan unit koperasi primer atau total Rp 74
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Ahkmad Baihaqi, dkk
450.000.000 dan Rp 600.000.000,- bagi satu unit koperasi sekunder. Alokasi kebutuhan modal kerja koperasi sekunder lebih besar sebagai upaya untuk menyokong aktivitas pembelian dari sembilan unit koperasi primer. Aktivitas operasional modal kerja koperasi tersebut dijelaskan pada Gambar 1.
Koperasi Primer
Koperasi Sekunder
Eksportir
Penjualan
Penjualan
Pembelian
Gudang/ Proses
Gudang/ Proses
Pembelian
Penbelian aktivitas
Petani
Modal wareh Kakao ousing
Gambar 1. Diagram aktivitas usaha koperasi primer dan koperasi sekunder apital Pelaksanaan dari kesepakatan pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri dengan jelas mengatur sistem bagi hasil bagi debitur dan kreditur tersebut, yaitu; (a) modal kerja dipergunakan koperasi untuk membiayai modal usaha jual-beli biji kakao yang dilaksanakan oleh koperasi primer dan koperasi sekunder; (b) nilai bagi-hasil atas penyaluran pembiayaan investasi terikat kepada Koperasi sebagai pemilik dana adalah 4% per tahun; (c) nilai bagi-hasil yang diperoleh BSM atas pengelolaan investasi terikat adalah 2% per-tahun, yakni biaya administrasi ditanggung oleh BSM; (d) Nilai bonus yang diperoleh Koperasi dari Rekening Giro Syariah Mandiri adalah 0,8% flat p.a.; (e) Nilai bagi-hasil yang diperoleh Koperasi dari Rekening Tabungan Syariah Mandiri adalah 3,4% flat p.a. (f) Nilai bagi-hasil yang diperoleh dari deposito Rekening Investasi Terikat Syariah Mandiri adalah 4% flat p.a., (g) Jangka waktu untuk peminjaman tahap pertama dibatasi sampai dengan 6 (enam) bulan (Baihaqi et al., 2012).
Implementasi Pembiayaan dan Tantangan Koperasi Kebersamaan koperasi didukung dengan tersedianya unit kerjasama yang akan mendorong usaha koperasi. Kerjasama yang dibentuk oleh koperasi-koperasi primer adalah membentuk “Pusat Koperasi Kakao Aceh” sebagai koperasi sekunder pemersatu kerjasama. (Meyer, 1994 dalam Krisnamurthi, 1998) menjelaskan “koperasi sekunder atau organisasi pemusatan bertujuan untuk mengembangkan bisnis koperasi primer, guna mewujudkan peran sebagai pengimbang dalam ekonomi pasar kapitalistik. Koperasi sekunder mengutamakan penerapan prinsip-prinsip bisnis sehubungan dengan lingkungan bisnis yang dihadapi, dan disisi lain tetap dikelola secara demokratis. Implementasi pembiayaan bagi koperasi-koperasi dilapangan menunjukkan adanya 75
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
kelemahan yang umum terjadi ketika suatu usaha kecil menengah mulai beraktivitas, yaitu transparansi dan akuntabilitas keuangan dari sisi internal koperasi dan penyediaan dana cicilan pengembalian kredit kepada bank disisi eksternal koperasi. Lemahnya transparansi dan akuntabilitas keuangan ini disebabkan lemahnya kemampuan sumber daya manusia, akibat yang ditimbulkan adalah kerugian pada kegiatan awal pembelian terutama oleh koperasi-koperasi primer. Aktualisasi kinerja keuangan koperasi dalam periode awal pembiayaan dijelaskan melalui keuntungan dan kerugian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Aktualisasi operasional pembelian dan penjualan koperasi primer dalam pembiayaan modal kerja
Dapat dijelaskan bahwa kegiatan jual beli yang dilakukan oleh sepuluh koperasi dalam masa pembiayaan yaitu, terdapat dua koperasi yang memperoleh keuntungan lebih dari 8 juta rupiah yaitu Pusat Koperasi Kakao Aceh dan Meuguna, dua koperasi memperoleh keuntungan lebih dari 1 juta rupiah yaitu APKO dan Ingin Maju, tiga koperasi membukukan keuntungan di bawah 1 juta rupiah yaitu TMG, Aceh Mekar dan Aceh Berkat, sementara itu tiga koperasi mengalami kerugian yaitu Beuratana, Cocoa dan Aneuk Ban Keumang. Untuk menanggulangi kelemahan koperasi tersebut langkah perbaikan yang dilakukan adalah melakukan monitoring dan pendampingan bagi koperasi-koperasi. Kegiatan monitoring di lapangan membantu koperasi dalam memperbaiki kinerja keuangan sekaligus manajerial para pengelola koperasi. Secara nyata kondisi yang dialami pengelola koperasi tersebut dapat dijelaskan bahwa, walaupun telah diberikan pelatihan dibidang manajemen dan keuangan mereka belum memiliki pengalaman dalam aktivitas usaha. Melalui pendampingan pengelola koperasi dibekali kembali pengetahuan keuangan dan manajemen yang sesuai dengan kondisi lapangan yang terjadi. Kondisi lapangan tersebut antra lain: (1) modal yang dicairkan dipegang tidak hanya oleh bendahara; (2) tidak taat dan jelas pencatatan pembukuan; (3) modal tunai terlalu lama dipegang bukan oleh bendahara; (4) pengelola meminjam modal kerja untuk kepentingan 76
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Ahkmad Baihaqi, dkk
pribadi; (5) penaksiran harga beli tidak sesuai dengan acuan harga yang disepakati dan; (6) fluktuasi harga pasar kakao. Setelah dilakukan monitoring dan pelatihan pendampingan bagi keporasi, perbaikan tata kelola manajerial pengelola koperasi mampu meningkatkan kinerja operasional terutama transparansi dan akuntabilitas keuangan. Capaian kondisi tersebut mampu mendorong kemandirian koperasi dalam pengelolaan pembiayaan perbankan. Hasil capaian penggunaan modal kerja walaupun tidak signifikan memberikan keuntungan maksimal, koperasi-koperasi telah mampu membukukan saldo bersih positif pada tahap pertama pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri. Kinerja keuangan koperasi dijelaskan berdasarkan jumlah saldo pada akhir tutup buku periode pertama pembiayaan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Kinerja operasional keuangan koperasi setelah monitoring dan pendampingan
Model pelatihan yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja operasional koperasi dilakukan dalam tiga tahapan, dan di lapangan berdasarkan spesisik kendala yaitu: (1) FGD kepada pengelola (pengurus, pengawas dan manager), hasil kegiatan akan memberikan peta sosial koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja. Kondisi tersebut untuk menyatukan keberagaman, “Keberagaman dan perbedaan terjadi karena fitrah manusia yang selalu ingin menunjukkan dan mempertahankan eksistensi dirinya (Sumadi T. dan Japar M., 1998 dalam Supardi, 2009); (2) Pelatihan simulasi operasi bisnis diberikan kepada manajer selaku pengelola unit usaha, selain untuk menigkatkan kompetensi tata laksana jual beli serta pengelola mampu menjalankan usaha sesuai dengan Prosedur Standar Operasional unit bisnis koperasi; (3) Pelatihan berbasis studi kasus untuk menjawab tantangan yang timbul dari kegiatan usaha, pelaksanaan pelatihan diberikan kepada pengelola keuangan untuk meningkatkan kompetensi bagi masingmasing koperasi sehingga dapat menguasai teknik pemecahan masalah yang diperlukan. Pelatihan berbasis kompetensi difokuskan pada kinerja aktual, dengan pendekatan kompetensi peserta pelatihan diharapkan tidak sekedar tahu, tetapi juga dapat melakukan sesuatu yang harus dikerjakan (Magkuprawira, 2009). Kendala ketepatan waktu dalam penyediaan dana cicilan pengembalian kredit kepada bank merupakan kelemahan bagi usaha bisnis yang baru berjalan, di samping masih minimnya pengalaman usaha. Mengacu kepada aspek-aspek tersebut, penerapan sistem cicilan kredit disesuaikan dengan kepentingan koperasi, kondisi ini didasari bahwa modal kerja yang terus berputar dalam aktivitas jual beli. Sehingga Model pembayaran cicilan 77
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
dilakukan dengan pola: (1) cicilan bagi hasil dibayarkan setiap bulan selama masa pembiayaan; (2) cicilan kredit dibayarkan sekaligus pada periode akhir pembiayaan. Untuk meningkatkan aktiva koperasi, dilakukan penerapan pengendalian biaya operasional. Pengendalian biaya merupakan masalah penting dalam mempertahankan dan meningkatkan profitabilitas bagi usaha, unsur tenaga kerja dan operasional merupakan sumber yang paling dominan dalam biaya. Untuk mengurangi biaya tersebut perlu dilakukan evaluasi biaya tenaga kerja dan overhead (Horne dan Wachowicz, 2009). KESIMPULAN Lemahnya kemampuan sumber daya manusia yang disebabkan beragamnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para pengurus koperasi, sehingga tidak terciptanya kesamaan misi organisasi dan lemahnya transparansi pengelolaan keuangan mengakibatkan tidak tertata dengan baiknya pengelolaan pembukuan. Rendahnya akuntabilitas berakibat tidak terlaksananya standar prosedur kerja yang telah ditetapkan. PUSTAKA ActionAid Australia dan Keumang, 2010. Baseline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh. ActionAid Australia dan Keumang, 2012. Enline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh. Baihaqi, A., A. Anhar. A., Y., P. Safrizal, dan. Rudy. 2012. Standar Prosedur Operasi Untuk Pembiayaan Bagi Modal Kerja Koperasi Kakao. ActionAid Australia-Keumang. Banda Aceh. Horne, J., C., Van and M., J, Jr. 2009. Fundamentals of Fiancial Manajemen, Buku 1 Ed 12. Salemba Empat. Jakarta. Supardi, 2009. Filsafat, Ilmu dan Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
78
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN TERHADAP JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI ACEH The Effect of Education Sector Government Expenditure on The Poverty in Aceh Diana Sapha A.H1 dan Edwin Faris Bassam1 1Staf
Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari tahun 2008 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel. Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan Fixed Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data series dan cross section. Hasil perhitungan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan jika pemerintah menambah pengeluaran pemerintah, maka tingkat kemiskinan akan meningkat, jadi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan belum mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Aceh. Hendaknya pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan efektivitas penggunaannya sampai pada sasaran terutama masyarakat yang kurang mampu. Kata kunci : pengeluaran pemerintah, pendidikan dan kemiskinan
ABSTRACT The purpose of this research was to determine the effect of the education sector government expenditureon poverty districts/cities in Aceh. The data was used in this study is a secondary data from 2008 to 2010. This study used quantitative research methods using panel data. To estimate the parameters of our model using Fixed Effect approach method (FEM). This method simply combines (pooled) the entire data series and cross section. Calculation results for the relationship between government spending on education sector to the poverty in Aceh if the government increases government spending, poverty levels will increase, so the government spending in the education sector has not been able to reduce the level of poverty in Aceh. Hopefully government spending must be ensured the efficiency and effectiveness of its use until the targeted specially the poor. Keywords : government expenditure, education and poverty
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup suatu negara. Menciptakan pembangunan yang berkesinambungan adalah hal penting yang harus dilakukan oleh sebuah negara dengan tujuan untuk menciptakan kondisi bagi masyarakat untuk dapat menikmati lingkungan yang menunjang bagi hidup sehat, umur panjang dan menjalankan kehidupan yang produktif. Dalam era globalisasi ini peranan pemerintah untuk 79
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol 4, No. 2, Nov 2013
melakukan pembangunan ekonomi merupakan kunci untuk menuju masyarakat yang lebih makmur, karena itu peranan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus benar-benar aktif dan positif. Suatu kegiatan ekonomi akan optimal jika terdapat aktifitas pemerintah di dalamnya. Pemerintah dapat menjadi pelaku kegiatan ekonomi yang memacu produksi dan konsumsi. Pihak swasta biasanya mengalokasikan sumber daya yang dimiliki melalui mekanisme pasar, jika sistem pasar benar-benar efisien di dalam mengalokasikan sumber daya, maka peranan pemerintah terbatas, salah satunya ketika terjadi kegagalan dalam private market (Samuelson dan Nordhaus, 2005). Pemerintah akan masuk dan menyelesaikan permasalahan kegagalan pasar jika pihak swasta dan individu-individu tidak bersedia memperbaiki keadaan dan mengeluarkan biaya. Pemerintah dapat melalukan dua jenis kebijakan yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar. Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah melalui pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melalui instrumen kebijakan dapat menyelamatkan keadaan ketika perekonomian mengalami kelesuan akibat adanya resesi ekonomi. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan SDM (Todaro, 2006). Disejumlah negara sedang berkembang pendidikan telah mengambil bagian terbesar dari anggaran pemerintahnya. Usaha-usaha untuk menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi pendidikan sekolah dasar telah menjadi prioritas dasar dari setiap pembangunan di negara-negara tersebut, namun kendati kerugian-kerugian yang secara kuantitatif mengesankan untuk tingkat pendaftaran sekolah dasar (SD), tingkat melek huruf tetap sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Tujuan pembangunan dibidang pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pendidikan maka diharapkan SDM di negara dan di daerah tersebut meningkat, namun pembangunan sangat dipengaruhi oleh aspek pengelolaan, baik di tingkat makro maupun mikro. Sistem pengelolaan yang efisien lebih menjamin terlaksananya program-program dan tercapainya pembangunan pendidikan secara efektif dan efisien maka sistem ini perlu terus diperbaiki dan disempurnakan. Faktor lain (Susanti dkk, 1995:111) yang juga tidak kalah pentingnya adalah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan pendidikan ini. Seiring dengan adanya pendapatan perkapita, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan menjadi lebih tinggi, sehingga permintaan akan jenjang pendidikan akan meningkat dan waktu sekolah pun akan menjadi lebih lama. Pendidikan bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas menurut Todaro (2006) tingkat pendidikan secara umum dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, yang hampir seluruh jasa dan fasilitas pendidikan disediakan oleh pemerintah yang berarti sisi penawaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan dapat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan.
80
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah Gambar 1.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Daerah per Kabupaten/Kota Tahun 2007 – 2010
Berdasarkan Gambar 1.1 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran pemerintah atas pendidikan berubah-ubah di setiap kabupaten/kota. Pada kabupaten/kota seperti Bener Meriah, Subusalam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil, dan Pidie data untuk tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/kota yang proporsi pengeluaran pemerintah terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu sebesar Rp. 27,9 milliar dan tertinggi adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar. Sementara untuk tahun 2008 untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 20092010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2 milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. Dan tahun 2009-2010 yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 288,8 milliar dapat dilihat pada gambar 1 pada tahun 20072010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh (DJPK, 2011). Sumber daya manusia sangatlah penting untuk negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia umumnya dan Aceh khususnya. Ini di karenakan negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas akan membangun bangsanya dan daerahnya untuk menjadi suatu negara dan daerah yang maju yang memiliki penduduk yang cerdas dan cakap dalam membangun daerahnya. Maka sumber daya manusia sangat perlu di tingkatkan untuk mendapatkan cita-cita daerah itu sendiri.
81
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Selain itu kemiskinan merupakan salah satu masalah penting yang dihadapi pemerintah yang mempengaruhi pembangunan manusia di Aceh. Tingkat kemiskinan yang tinggi membuat individu tidak mempunyai alokasi dana dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya salah satunya yang berhubungan dengan proses pembangunan manusia. Masalah kemiskinan merupakan hal penting yang perlu ditangani pemerintah daerah Aceh.
160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00
2008
40,00
2009
20,00
2010
0,00
Sumber: BPS 2011, Diolah Gambar 1.2. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota 2008-2010 (dalam ribuan jiwa)
Menurut Gambar 1.2 jumlah penduduk miskin Di Aceh yang terbesar adalah di daerah Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 135,7 ribu jiwa dan semakin menurun dengan jumlah penduduk 124,40 ribu jiwa tahun 2010. Lalu penduduk miskin terendah terdapat pada Kota Sabang jumlah penduduk miskin 7,14 ribu jiwa dan menurun pada tahun 2010 sebesar 6,60 ribu jiwa. Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai 2010 tingkat kemiskinan Aceh cenderung turun pada tahun berikutnya (BPS, 2011). Berdasarkan latar belakang di atas menarik untuk dibahas mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap pengaruh kemiskinan pada periode tahun 2008-2010. Perumusan Masalah Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi, terutama jenis pengeluaran pemerintah yang menyangkut pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran tersebut adalah pengeluaran atas pendidikan. Sektor tersebut merupakan sektor yang sangat penting bagi proses pembangunan. Pendidikan merupakan 82
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
upaya dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas dalam memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga dengan meningkatnya SDM maka akan mengurangi kemiskinan. Dengan demikian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh. Tujuan Penelitian Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Kemiskinan di Aceh. Kegunaan Penelitian: a) Melihat pengaruh pengeluaran pemerintah atas sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh sehingga bisa menjadi masukan dalam perumusan kebijakan penganggaran; b) Hasil penelitian ini diharapkan sebagai tambahan informasi bagi pembaca tentang kebijakan belanja publik oleh pemerintah.
Kerangka Teoritis dan Konsepsi Pengertian Pengeluaran Pemerintah Menurut kamus lengkap ekonomi (Pass dan Lowes, 1994:268-269) pengeluaran pemerintah (government expenditure) adalah pengeluaran dan investasi (investment) dari pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan barang-barang sosial (social goods) dan jasa-jasa (kesehatan, pendidikan, pertahanan/keamanan, jalan raya, dan lain sebagainya), memasarkan barang dan jasa (batu bara, jasa pos, dan lain sebagainya) dan biaya sosial untuk pengangguran, pensiunan, dan lain sebagainya (transfer payment) dalam model arus sirkulasi pendapatan (circular flow of income payment), transfer payment tidak dimasukkan dalam pengeluaran pemerintah karena pengeluaran ini tidak produktif yang hanya berupa pemindahan penerimaan pajak dari suatu rumah tangga ke rumah tangga lainnya. Dalam rangka mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera pemerintah menjalankan berbagai macam program pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah dalam melakukan pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar, pengeluaran pemerintah mencerminkan kombinasi produk yang dihasilkan untuk menyediakan barang publik dan pelayanan kepada masyarakat yang memuat pilihan atas keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus, dan anggaran defisit. Menurut Mangkoesoebroto (dalam Abdul Aziz, 2010) anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi. Sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka pengangguran maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya. Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Guritno, 1993). Dasar teori pengeluaran pemerintah adalah identitas keseimbangan pendapatan nasional (Y= C+I+G+(X-M)) dimana Y mengambarkan pendapatan nasional sekaligus penawaran agregat, permintaan agregat digambarkan pada persamaan C+I+G+(X-M) dimana G merupakan pengeluran pemerintah yang merupakan bentuk dari campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikkan atau menurunkan pendapatan nasional. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya, tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang 83
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
akan menikmati atau terkena kebijaksanaan tersebut. Pemerintah pun perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan kegiatan swasta (Dumairy, 1997). Pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam setiap hajat hidup masyarakat Indonesia perlu melakukan kajian yang mendalam dalam setiap kebijakannya agar setiap output yang dihasilkan dan diharapkan dapat tepat sasaran dan memberikan pengaruh nyata terhadap masyarakat. Kebijakan yang tidak tepat sasaran melalui kebijakan alokasi dana tiap sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas seharusnya perlu diberikan porsi lebih dalam alokasi anggaran pemerintah, kebijakan pemerintah menyangkut sektor pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial adalah beberapa contoh diantaranya yang perlu diberikan perhatian lebih, hal ini dikarenakan pada sector-sektor tersebutlah masyarakat dapat merasakan secara langsung dampak dari kebijakan pemerintah yang diambil. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa sector-sektor tersebut dapat menjadi acuan dan gambaran dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud disini bukanlah pertumbuhan ekonomi secara statistik saja, namun pertumbuhan ekonomi yang juga memberikan kontribusi langsung terhadap masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di Indonesia selama ini tidak menyentuh secara langsung ke lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah, karena pertumbuhan ekonomi yang secara statistik diungkapkan oleh pemerintah tidak mencerminkan gambaran secara langsung kondisi sosial dalam masyarakat. Ditengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu dalam angka positif terdapat tingkat pengangguran yang tidak berkurang secara signifikan demikian pula pada sektor yang menyangkut kebutuhan publik lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang masih belum memadai, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi hanya dipacu oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Menurut Suparmoko (1994) pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut: a) pengeluaran pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa yang akan datang; b) pengeluaran pemeritah langsung memberikan kesejahteraan bagi masyarakat; c) pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang; d) pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja yang lebih banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas. Oleh karena itu pengeluran pemerintah dapat dibedakan menjadi beberapa golongan yaitu sebagai berikut :a) pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya, artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk jasa negara pengeluaran untuk jasa-jasa perusahaan pemerintah atau untuk proyek–proyek produktif barang ekspor; b) pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungankeuntungan ekonomis bagi masyarakat, dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah. Misalnya, pemerintah menetapkan pajak progresif sehingga timbul redistribusi pendapatan untuk pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat; c) pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan 84
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, objek-objek pariwisata dan sebagainya. Sehingga hal ini dapat juga menaikkan penghasilan dalam kaitannya jasa-jasa tadi; d) pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik; e) pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang. Misalnya pengeluaran untuk anakanak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka di masa yang akan datang pasti akan lebih besar. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pengeluaran pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pada dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang); angsuran dan utang pemerintah; serta jumlah pengeluran lain. Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya adalah pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, yang dibedakan atas pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mempunyai batasan yang tidak jelas. Sebagai contoh, berbagai macam upah dan gaji tambahan yang menurut logika awam termasuk pengeluaran rutin oleh pemerintah digolongkan sebagai pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pemerintah juga dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sebagai berikut: (1) pembedaan antara Pengeluaran atau Belanja Rutin dan Pengeluaran atau Belanja Pembangunan: a) belanja rutin adalah belanja untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan pemrintah sehari-hari. Belanja rutin terdiri atas Belanja Pegawai, yaitu untuk pembayaran gaji atau upah pegawai termasuk gaji pokok dengan segala macam tunjangan. Belanja barang yaitu untuk pembelian barang-barang yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Belanja pemeliharaan yaitu pengeluaran untuk memelihara agar milik atau kekayaan pemerintah tetap terpelihara secara baik. Belanja perjalanan yaitu untuk perjalanan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan; b) belanja pembangunan adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik spiritual. (2) pembedaan antara current account atau current expenditure dengan capital expenditure atau capital account; a) Current expenditure atau current budget (anggaran rutin), yaitu anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, termasuk belanja pegawai dan belanja barang serta belanja pemeliharaan; b) Capital expenditure atau capital budget (belanja pembangunan), yaitu rencana untuk pembelian capital (tetap). (3) pembedaan Obligatory Expenditure dengan Optional Expenditure antara Real Expenditure dengan Transfer Expenditure dan antara Liquidated Expenditure dengan Cash Expenditure; a) Obligatory Expenditure atau pengeluaran wajib adalah pengeluaran yang bersifat wajib harus dilakukan agar efektifitas pelaksanaan pemerintah dapat terselenggara sebaik-baiknya; b) Optional Expenditure atau pengeluaran opsional adalah pengeluaran yang dilakukan pada saat tiba-tiba dibutuhkan; c) Real Expenditure atau pengeluaran nyata adalah pengeluaran untuk membeli barang dan jasa; d) Liquidated Expenditure adalah pengeluaran sebagaimana 85
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
yang sudah diajukan dan disetujui oleh DPR. Semula dalam RAPBN setelah mendapat pengesahan menjadi APBN; e) Transfer Expenditure adalah pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan mendapatkan barang dan jasa, jadi tidak ada direct quid pro quo; f) Cash Expenditure adalah pengeluaran yang telah sungguh-sungguh dilaksanakan berupa pembayaranpembayaran konkrit. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Secara filosofis pelayanan sektor pendidikan merupakan salah satu alasan dan tujuan dibentuknya negara, dengan demikian negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan rakyat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas pelayanan sektor pendidikan negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara, seperti membayar pajak (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam pengawasan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 negara ini menegaskan bahwa salah satu tujuan didirikan negara Indonesia adalah mencerdaskan seluruh rakyat. Cara yang digunakan untuk mencapainya dengan memanfaatkan institusi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Melalui institusi tersebut negara diberi kewajiban untuk membuka akses bagi semua anggota masyarakat agar memperoleh layanan pendidikan bermutu. Sadar akan kewajiban tersebut, negara menaruh perhatian khusus untuk bidang pendidikan. Hal ini terlihat dalam konstitusi negara RI pasal 31 UUD 1945; UU No 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas (pasal 49 ayat 4) yang menyatakan alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN/APBD. Bahkan, pada pasal 182 ayat 3 UU No 11 Tentang Pemerintahan Aceh, alokasi dana pendidikan paling sedikit 30 % dari APBA. Keterkaitan antara UUPA dengan Kebijakan-kebijakan lain sebagaiman tersebut tercermin dalam UUPA pasal 215, pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional serta disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Pada butir pertama dari Pasal 217 disebutkan pula bahwa penduduk Aceh yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Terkait dengan disahkannya UU-PA, kemudian memiliki konsekuensi hukum terhadap perubahan dan penyempurnaan qanun tentang penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Aceh yang sebelumnya telah dituangkan dalam Qanun No 23 Tahun 2002 Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa ada diskriminasi. Karenanya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Kedua aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa mutu dan bebas biaya dalam pelayanan pendidikan menjadi satu bagian. Artinya, selain harus membiayai seluruh kegiatan operasional pendidikan, pemerintahpun bertanggungjawab dalam peningkatan mutu guru, ketersediaan buku ajar, serta peralatan dan perlengkapan belajar mengajar. Upaya pemerintah dalam membangun dunia pendidikan tergambar pada program wajib belajar yang harus tuntas tahun 2008, program bantuan operasional sekolah (BOS), 86
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
program perbaikan saran sekolah yang rusak dan lain-lain. Namun usaha tersebut belum dapat memberi angin segar bagi dunia pendidikan. Ini terlihat dari informasi media tentang penyimpangan dana pendidikan. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan Teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang saat ini didasari kepada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan atau disebut juga investment in human capital. Hal ini berarti peningkatan kemampuan masyarakat menjadi suatu tumpuan yang paling efisien dalam melakukan pembangunan di suatu wilayah. Asumsi yang digunakan dalam teori human capital adalah bahwa pendidikan formal merupakan faktor yang dominan untuk menghasilkan masyarakat berproduktivitas tinggi. Teori human capital dapat diaplikasikan dengan syarat adanya sumber teknologi tinggi secara efisien dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Teori ini percaya bahwa investasi dalam hal pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat. Investasi dalam hal pendidikan mutlak dibutuhkan maka pemerintah harus dapat membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Pengeluaran pembangunan pada sektor pembangunan dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara merata. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen merupakan wujud realisasi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Menurut E.Setiawan (2006) implikasi dari pembangunan dalam pendidikan adalah kehidupan manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional) semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Semakin tinggi kualitas hidup/investasi sumber daya manusia yang kualitas tinggi akan berimplikasi juga terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Kemiskinan Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit (kemiskinan), perumahan yang kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut Todaro (2000), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah, yaitu kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen87
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Sedangkan kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Mengutip pendapat Nurske, Jhingan (2000) dan Mudrajad Kuncoro (2003) menyatakan bahwa negara/ daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi, umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut lingkaran kemiskinan (vicious circle). Nurske menjelaskan bahwa lingkaran kemiskinan mengandung arti deretan melingkar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain berinteraksi sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi tetap berada dalam keadaan terbelakang. Menurut Nurske kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat. Pengentasan kemiskinan yang terkenal di banyak negara berkembang sekarang secara eksplisit mengintegrasikan insentif untuk pengembangan modal manusia berupa kesehatan dan pendidikan di antara keluarga-keluarga berpendapatan rendah. Hubungan antara Pendidikan dan Kemiskinan Ada dua alasan ekonomi mendasar yang memaksa kita percaya bahwa sistem pendidikan di banyak negara berkembang pada dasar tidak memperhatikan aspek pemerataan (equality), dalam arti anak-anak dari keluarga miskin tidak dibantu sedikit pun untuk meningkatkan kesempatannya yang sangat terbatas itu dalam memperoleh dan menyelesaikan program pendidikan pada segala tingkatan, apalagi jika kesempatan mereka itu dibandingkan dengan kesempatan anak dari keluarga-keluarga kaya (Todaro): (1) biaya-biaya individual untuk menempuh sekolah dasar (terutama bila dipandang dari biaya oportunitis tenaga kerja seorang anak dari keluarga miskin) secara relatif jauh lebih tinggi bagi anak-anak orang miskin daripada biaya-biaya yang harus dipikul oleh anakanak dari keluarga kaya; (2) manfaat yang diharapkan dari pendidikan sekolah dasar bagi anak-anak dari keluarga miskin justru lebih rendah. Dengan demikian, adanya biaya yang lebih tinggi yang dibarengi dengan manfaat yang lebih rendah menunjukkan “tingkat pengembalian” (rate of returns) investasi pendidikan seorang anak dari keluarga miskin begitu terbatas, sehingga kemungkinan besar ia akan mengalami putus sekolah pada awal tahun pendidikannya. Selanjutnya, mari kita lihat lagi alasan-alasan yang menyebabkan biaya-biaya tersebut relatif tinggi, sedangkan manfaatnya justru lebih rendah bagi anak-anak dari keluarga miskin. Tingginya biaya oportunitas tenaga kerja yang harus ditanggung keluarga miskin jika anaknya bersekolah. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cumacuma memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma. Anak-anak yang telah mencapai usia sekolah dasar umumnya diperlukan tenaganya di lahan pertanian keluarga, atau sekedar membantu menjajakan dagangan. Jika waktu yang sediannya digunakan untuk bekerja (sehingga menghasilkan sejumlah pemasukan bagi keluarga digunakan untuk bersekolah, maka pihak keluarga tentu saja menanggung kerugian yang kita kenal dengan istilah biaya oportunitas (opportunity cost). Kerugian itu muncul karena keluarga yang bersangkutan harus kehilangan input tenaga kerja berharga yang sangat diperlukannya; jika fungsi yang sedianya dijalankan sang anak itu penting, maka keluarga tadi terpaksa mengeluarkan biaya ekstra untuk memperkerjakan orang lain guna mengantikan si anak. Biaya ini diluar biaya atau pengeluaran yang nyata seperti uang sekolah, ongkos transport, ongkos pembuatan baju seragam, dan sebagainya. Biaya oportunitas ini tidak masalah bagi keluarga yang berpendapatan lebih tinggi yang 88
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
kebanyakan tinggal di daerah perkotaan, Karena mereka memang sama sekali tidak mengharapkan bantuan tenaga si anak. Sebagai biaya oportunitas yang lebih tinggi, kehadiran dan prestasi sekolah cenderung lebih rendah bagi anak-anak keluarga miskin bila dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, walaupun di banyak negara berkembang mudah dijumpai adanya pendidikan sekolah dasar yang bebas biaya, namun anak-anak dari keluarga miskin, terutama anak-anak dari daerah pedesaan, jarang yang melanjutkan pendidikan mereka hingga tamat. Pada akhirnya, jika pembenahan nasib anak-anak miskin tersebut tidak segera dilakukan, akan tercipta suatu sistem pendidikan yang seleksi dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut hanya didasari pada tinggi-rendahnya tingkat pendapatan keluarga. Ketimpangan sistem pendidikan di negara-negara tersebut lebih mencolok pada pendidikan tingkat universitas, yang sebagian atau seluruh biayanya (termasuk uang saku para mahasiswa) disubsidi oleh pemerintah. Mengingat sebagian besar mahasiswa universitas berasal dari golongan berpendapatan tinggi (karena telah diseleksi sewaktu di tingkat sekolah lanjutan), pendidikan universitas yang biaya-biayanya seringkali disubsidi dengan menggunakan uang pajak yang bersumber dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga yang relatif makmur. Dengan demikian, akan tercipta suatu proses yang sangat ironis serta menyedihkan, yakni “transfer payment” dari golongan miskin kepada golongan kaya yang berlangsung melalui program pendidikan tinggi yang gratis. Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia (SDM) handal semakin bertambah. Meningkatnya pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerjaserta berkurangnya kemiskinan (Widodo dkk, 2011) Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun internasional telah banyak dilakukan, antara lain: Tabel 1. Penelitian Sebelumnya Nama dan Judul Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Analisis Pengaruh Sektor Publik di Kabupaten/Kota Pada Provinsi Jawa Tengah Terhadap Pengentasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia. Ari Widodo, 2010
Moderated Regression Analysis (MRA) dan analisis Jalur (Path Analysis) menganalisis IPM dalam kaitannya dengan hubungan antar pengeluaran sektor publik terhadap kemiskinan pada pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
IPM berperan sebagai variabel pure moderating dan juga sebagai variabel intervening dalam kaitannya dengan hubungan antara pengeluaran pemerintah sektor publik tidak berpengaruh langsung terhadap IPM maupun kemiskinan. Pengeluaran pemerintah sektor publik tidak bisa berdiri sendiri sebagai variabel independen dalam mempengaruhi kemiskinan.
89
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Nama dan Judul Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Peranan Pengeluaran Pemerintah Dalam Pertumbuhan Ekonomi di Era Orde Baru dan Era Reformasi. Budi Indrawati, 2007
Model Keynes yaitu persamaan identitas atau disebut identitas pos pendapatan nasional (national income accounts identity
Dengan naiknya PDB maka pertumbuhan ekonomi meningkat, mengindikasikan bahwa naiknya kegiatan ekonomi nasional berarti meningkatnya kegiatan programprogram pemerintah seperti dibidang tenaga kerja yaitu menambah lapangan pekerjaan, bidang kesehatan, pendidikan SDM dan lainnya.
Dampak Investasi Pendidikan Terhadap Perekonomian Dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah. Niken Sulistyowati, 2010
Model sistem persamaan simultan (simultaneous equaction model) dan metode pendugaan model menggunakan Two Stage Least Squares (2SLS).
Peningkatan investasi pendidikan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan penurunan ketimpangan pendapatan (tidak terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan). Implikasinya: Strategi pembangunan yang mengedepankan peningkatan kualitas SDM dapat dijadikan sebagai salah satu strategi dalam model pembangunan daerah di Indonesia.
Faktor-Faktor Penentu Tingkat Kemiskinan Regional Di Indonesia. Samsubar Saleh, 2002
model estimasi dengan menggunakan data cross section sedangkan model (2) merupakan model estimasi dengan menggunakan data panel
Dampak Investasi Sumberdaya Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium. Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2005
metode ad-hoc, yaitu solusi dari suatu pendekatan merupakan input bagi pendekatan lainnya, namun secara keseluruhan pendekatan ini menggunakan model CGE
Berdasarkan hasil-hasil empirik dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per propinsi di Indonesia adalah indeks pembangunan manusia (terdiri dari pendapatan perkapita, angka harapan hidup, rata-rata bersekolah), investasi fisik pemerintah daerah, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat partisipasi ekonomi dan politik perempuan, populasi penduduk tanpa akses terhadp fasilitas kesehatan, populasi penduduk tanpa akses terhadap air bersih, dan krisis ekonomi. Investasi sumberdaya manusia untuk pendidikan dapat menurunkan poverty incidence, poverty depth dan poverty severity kecuali untuk rumahtangga bukan pertanian golongan atas di desa, bukan angkatan kerja di kota dan bukan pertanian golongan atas di kota.
90
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
Kerangka Pemikiran Permasalahan besar yang dihadapi di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh terkait tingginya angka kemiskinan. Salah satu hal yang biasa dilakukan pemerintah saat ini dengan melakukan investasi pada sektor publik. Investasi sektor publik tersebut bisa diproxy dari pengeluaran pemerintah. Di antara sektor publik yang bermanfaat bagi pengurangan kemiskinan adalah sektor pendidikan. Pendidikan merupakan elemen terpenting dalam memberantas kemiskinan. Seseorang yang memperoleh pendidikan akan memperoleh kesempatan yang lebih baik dan bisa memperbaiki standar hidupnya. Pengaruh pendidikan tidak hanya mempengaruhi kemampuan individu untuk mendapatkan tingkat upah maupun pendapatan yang tinggi, tetapi juga terhadap perilaku dan pengambilan keputusan, yang akan meningkatkan kemungkinan sukses dalam menjangkau kebutuhan pokok, bahkan pendidikan akan membuat seseorang terhindar dari kondisi miskin (Zuluaga,1990). Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah: Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan
Kemiskinan Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan kerangka teoritis serta memperhatikan situasi dan kondisi pertumbuhan ekonomi yang mulai berkembang di Aceh maka penulis merumuskan hipotesis yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh. METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang ekonomi Sumber Daya Manusia di Aceh. Penelitian ini membahas tentang pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh. Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, literatur, internet, catatan-catatan, serta sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain:a) data pengeluaran pemerintah sektor pendidikan tahun 2008- 2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh; dan b) jumlah penduduk miskin tahun 2008-2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh. Data ini merupakan kumpulan informasi mengenai ke dua variabel penelitian di 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh dan dalam kurun waktu tiga tahunan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel mengingat ketersediaan data secara series yang pendek sehingga proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan 91
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
dengan persyaratan jumlah data yang minim. Selain itu untuk menghindari bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan perilaku yang hendak diteliti maka dapat diatasi dengan penggunaan data panel (pooled data) agar diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan selain itu hal ini juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengamatan. Kurun waktu tahun 2008-2010 serta data kerat lintang (cross section data) yang meliputi 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Model Analisis Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel. Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier sederhana. Analisis ini merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubangan antar variabel yang dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat menurut Gujarati (dalam Firmansyah, 2009). Dalam model data panel persamaan model dengan menggunakan data cross-section dapat ditulis sebagai berikut: Yi = β0 + β1 Xi + εi ; i = 1, 2, ..., N dimana N adalah banyaknya data cross-section Sedangkan persamaan model dengan time-series adalah: Yt = β0 + β1 Xt + εt; t = 1, 2, ..., T dimana T adalah banyaknya data time-series Mengingat data panel merupakan gabungan dari time-series dan cross-section, maka model dapat ditulis dengan : Yit = β0 + β1 Xit + εit i = 1, 2, ..., N ; t = 1, 2, ..., T dimana: N = banyaknya observasi T = banyaknya waktu N × T = banyaknya data panel Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan Fixed Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data series dan cross section. Metode ini mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar waktu, namun intersepnya berbeda antar perusahaan namun sama antar waktu (time invariant). Estimasi Model Regresi Dengan Panel Data Penelitian mengenai pengaruh tingkat kemiskinan, pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Aceh, menggunakan data time-series selama 3 (tiga) tahun terakhir yang diwakili data tahunan dari 2008-2010 dan data cross-section sebanyak 23 data mewakili kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Kombinasi atau pooling menghasilkan 69 observasi dengan fungsi persamaan data panelnya dapat dituliskan sebagai berikut: POVit= α0 + α1GOVSPNDit +μit dimana: POV = Penduduk miskin kabupaten/kota Provinsi Aceh 92
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan GOV α0 α1 μit i t
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
= Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan kabupaten/kota Provinsi Aceh = intercept = koefisien regresi variabel bebas = komponen error di waktu t untuk unit cross section i = 1,2,3,…..,23 (data cross-section kabupaten/kota di Provinsi Aceh) = 1,2,3 (data time-series, tahun 2008-2010)
Definisi Operasional Variabel Adapun definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:(1) pengeluaran pemerintah atas pendidikan merupakan besarnya pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh untuk sektor pendidikan yang mencerminkan pengeluaran pemerintah dari total anggaran pendapatan dan belanja yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah alokasi belanja pemerintah Provinsi Aceh sektor pendidikan tahun 2008-2010; (2) kemiskinan menurut BPS (2011) merupakan suatu kondisi ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah jumlah penduduk miskin (dalam ribuan jiwa) tahun 2008-2010. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Provinsi Aceh terletak antara 2’-6’ Lintang Utara dan antara 95’-98’ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2009 Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten dan 5 Kota, terdiri dari 276 Kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa. Luas Provinsi Aceh 57.948,94 km dengan hutan mempunyai lahan terluas yaitu mencapai 2.483.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 699.401 ha, sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Kondisi Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena berkaitan dengan pendapatan yang rendah, buta huruf, derajat kesehatan yang rendah dan ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin serta buruknya lingkungan hidup (World Bank, 2004). Selain itu kemiskinan juga merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah sangat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut sehingga pembangunan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam menentukan batas ukur untuk mengenali siapa si miskin tersebut. Tabel 1 menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota Provinsi Aceh dari tahun 2008-2010 relatif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin. Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 1.357.000 ribu jiwa dan semakin menurun dengan jumlah penduduk 1.244.0000 ribu jiwa tahun 2010. Lalu 93
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
penduduk miskin terendah terdapat pada kabupaten/kota Sabang jumlah penduduk miskin 714.000 ribu jiwa dan menurun pada tahun 2010 sebesar 660.000 ribu jiwa. Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai 2010 tingkat kemiskinan di nanggroe Aceh Darussalam cenderung turun pada tahun berikutnya. Tabel 2. Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh Tahun 2008-2010 (ribuan jiwa) KABUPATEN Aceh Barat Aceh Besar Aceh Selatan Aceh Tengah Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Utara Pidie Banda Aceh Sabang Simeuleu Bireuen Singkil Langsa Aceh Jaya Nagan Raya Lhokseumawe Gayo Lues Aceh Barat Daya Aceh Tamiang Bener Meriah Subulussalam Pidie Jaya Sumber: BPS 2011, Diolah
2008 43,69 63,46 38,82 40,64 30,89 76,22 135,70 101,77 19,91 7,14 20,57 79,09 22,24 23,96 17,24 33,21 23,94 18,89 17,43 50,82 31,28 17,73 37,70
Tahun 2009 40,39 58,97 35,41 38,17 27,87 68,30 126,59 93,80 17,27 6,54 19,11 72,94 20,29 21,34 17,13 30,86 22,53 17,09 25,00 45,29 28,58 16,73 35,60
2010 42,40 66,20 32,40 35,30 30,00 66,50 124,40 90,20 20,80 6,60 18,90 76,10 19,90 22,40 15,60 33,40 24,00 19,00 25,20 45,20 32,10 16,40 34,70
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan membutuhkan manusia yang berkualitas sebagai modal dasar bagi pembangunan. Manusia dalam peranannya merupakan subjek dan objek pembangunan yang berarti manusia selain sebagai pelaku dari pembangunan juga merupakan sasaran pembangunan. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana untuk mendorong peran manusia dalam pembangunan. Oleh karenanya dibutuhkan investasi untuk dapat menciptakan pembentukan sumber daya manusia yang produktif. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor fundamental bagi sebuah negara. Pendidikan menjadi faktor penentu kualitas sumberdaya manusia yang kemudian akan memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Sudah seharusnya pemerintah memprioritaskan sektor pendidikan. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk 94
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
membangun sektor pendidikan dapat terlihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan. Perkembangan pengeluaran pemerintah atas pendidikan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh Tahun 2008-2010 KABUPATEN
2008 Aceh Barat 140,006,430,367.00 Aceh Besar 208,853,583,688.00 Aceh Selatan 135,190,118,260.00 Aceh Tengah 124,403,080,895.00 Aceh Tenggara 117,088,075,146.00 Aceh Timur 126,229,103,303.00 Aceh Utara 373,488,040,264.00 Pidie 196,341,461,690.00 Banda Aceh 175,435,369,175.00 Sabang 82,998,459,809.00 Simeuleu 27,968,222,103.00 Bireuen 220,196,840,910.00 Singkil 63,461,355,764.00 Langsa 100,363,197,662.00 Aceh Jaya 85,725,939,172.00 Nagan Raya 108,234,562,741.00 Lhokseumawe 128,055,038,689.00 Gayo Lues 60,556,377,979.00 Aceh Barat Daya 114,986,853,379.00 Aceh Tamiang 148,028,066,843.00 Bener Meriah 68,804,065,784.00 Subulussalam 28,249,475,404.00 Pidie Jaya 66,196,433,876.00 Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah
Tahun 2009 157,788,929,270.00 208,839,626,646.00 156,362,870,032.00 159,057,554,716.00 218,003,271,341.00 159,832,381,154.00 344,073,853,347.00 230,409,815,430.00 220,440,703,853.00 57,074,255,734.00 73,229,876,920.00 250,668,602,124.00 80,323,970,890.00 110,485,695,361.00 89,994,981,339.00 136,630,392,081.00 135,825,530,840.00 74,949,878,741.00 125,255,882,154.00 145,053,990,827.00 86,172,676,161.00 47,253,804,247.00 71,386,885,845.00
2010 166,548,288,571.00 218,435,980,962.00 157,403,111,900.00 159,142,195,027.00 132,050,613,069.00 175,049,945,437.00 288,830,328,142.00 239,587,958,084.00 199,394,001,950.00 80,770,221,137.00 68,455,832,897.00 257,615,389,553.00 65,687,929,696.00 111,427,350,343.00 78,828,091,714.00 158,025,753,210.00 120,020,385,857.00 56,411,432,226.00 114,724,547,588.00 123,825,098,755.00 111,799,699,784.00 46,179,243,123.00 91,331,138,021.00
Berdasarkan Tabel 3 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran pemerintah atas pendidikan berubah-ubah setiap kabupaten/kota. Pada Kabupaten/Kota seperti Bener Meriah, Subusallam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil dan Pidie data untuk tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/Kota yang proporsi pengeluaran pemerintah terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan tertinggi adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar Sementara untuk tahun 2008 untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 20092010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2 milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. dan Tahun 2009-2010 yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 sebesar Rp 288,8 milliar Dapat dilihat pada Tabel IV.1 pada tahun 2007-2010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh. 95
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Hasil Uji Hipotesis Dan Analisis Penelitian Analisis pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara kedua variabel yakni variabel bebas dan variabel terikat untuk membuktikan kebenaran hipotesis dibuat. Penulis mengajukan dalam analisis matematika apakah kemiskinan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan. Seberapa jauh tingkat pencapaian data yang tersedia dalam pencapaian kebenaran akan dijelaskan pada perhitungan serta pengujian terhadap masing-masing koefisien regresi yang diperoleh dengan alat bantu komputer. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang digunakan dengan Shazam 10.0 untuk mengukur pengaruh pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh, maka model regresi OLS dengan metode panel data digunakan, dengan kontribusi pemikiran dan hasil sebagai berikut: POVit = β0,i + β1,i GOVSPND + εit Model panel yang digunakan mengikuti fixed effect yang mengamsumsikan bahwa setiap kabupaten/kota memiliki intersep yang sama, sehingga output regresi tidak lagi menunjukkan adanya intersep. Hasil ditunjukkan oleh Tabel 4. Tabel 4. Hasil Regresi Model OLS dengan Metode Fixed Effect – Panel Data Variabel
Estimasi Parameter
Standard Error
Uji-T
P-value
GOVSPND
0,34089E-04
0,2776E-05
12,28
0,000 ***
RSQUARE = 0,6993
LM TEST FOR CROSS-SECTION HETEROSKEDASTICITY= 0,74478 P-VALUE = 0,68908
F-test = 564,405 P-VALUE = 0,0000***
JARQUE-BERA NORMALITY TEST = 6,3367 P-VALUE= 0,042 *
BREUSCH-PAGAN LM TEST FOR DIAGONAL COVARIANCE MATRIX = 46,775 P-VALUE =0,00000 ***
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 Note: *** signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen, dan * Signifikan pada tingkat keyakinan 90 persen.
Hasil regresi di atas bertolak belakang dengan teorikan tetapi variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan signifikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian, yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Aceh. Jadi hasil penelitian tidak menunjukkan kesesuaian teori yaitu pengeluaran pemerintah atas pendidikan seharusnya berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan karena secara teori semakin tinggi pengeluaran pemerintah akan menyebabkan rendahnya tingkat kemiskinan. Koefisien estimasi dari variabel GOVSPND adalah 0,000034089, artinya jika pemerintah menambah pengeluaran pemerintah sebesar 1 juta rupiah tahun ini, maka tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan 96
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
asumsi faktor-faktor lain dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena signifikan pada tingkat keyakinan 99%.Jika dibandingkan koefisien estimasi dengan standar error, maka nilai koefisien estimasi lebih besar dari standar error, artinya data pengeluaran pemerintah sektor pendidikan heterogen di kabupaten/kota Aceh. Nilai F-test yang diestimasi adalah sebesar F-test = 564,405 dengan nilai P-value = 0,0000, nilai Ftest dan P-value menunjukan bahwa secara simultan, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan mempengaruhi kemiskinan dan variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan secara statistik signifikan dengan tingkat keyakinan 99%. R2 (koefisien determinasi) adalah 0,6993. Artinya adalah bahwa sebesar 69,93 persen perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam kemiskinan di Aceh dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi dalam variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh. Sedangkan sisanya sebesar 30,07 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model penelitian ini. Sesuai dengan Teori (Todaro) subsidi dengan menggunakan uang pajak yang bersumber dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga yang relatif makmur. Dengan demikian, akan tercipta suatu proses yang sangat ironis serta menyedihkan, yakni “transfer payment” dari golongan miskin kepada golongan kaya yang berlangsung melalui program pendidikan tinggi yang gratis. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cuma-cuma memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma. Penelitian USAID mengenai laporan anggaran daerah 2008-2011, cukup banyak kabupaten/kota yang mengalokasikan biaya langsung pendidikannya untuk programprogram yang tidak berkontribusi langsung terhadap peningkatan akses maupun kualitas pendidikan. Program-program seperti Administrasi Perkantoran dan Peningkatan Sarana Aparatur tentunya dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengelolaan layanan pendidikan yang lebih baik. Namun demikian, dengan alokasi dana BL yang reratanya hanya 25% saja, proporsi biaya langsung yang tinggi untuk program-program ini patut dipertanyakan. Di beberapa daerah seperti Simeulue, Kota Banda Aceh, dan Kota Probolinggo, alokasi dana untuk kedua program ini memakan sekitar, masing-masing 73%, 24% dan 18% biaya langsung pendidikannya. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo dkk. juga menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah sektor pendidikan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengurangan kemiskinan. Namun pengaruhnya dapat dirasakan jika pengeluaran tersebut berkaitan dengan peningkatan kualitas pembangunan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila pengeluaran pemerintah sektor pendidikan tidak ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka pengentasan kemiskinan tidak akan terwujud. Jika kebijakan pemerintah yang dijalankan bukan kebijakan pemerintah yang pro poor, maka selamanya penduduk miskin terjebak dalam lingkaran setan. Jadi menurut hasil penelitian, pengeluaran pemerintah sektor
97
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
pendidikan tidak bisa berdiri sendiri dalam mempengaruhi kemiskinan tapi ada variable lain yang mempengaruhi yaitu IPM. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis kuantitatif yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya dapat dilihat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Dari hasil pengujian dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu: (1) pemerintah menambah pengeluaran disektor pendidikan sebesar 1 juta rupiah, maka tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena hanya signifikan pada tingkat keyakinan 99%; (2) perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam kemiskinan di Aceh dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi dalam variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh sebesar 69,93 persen. Sedangkan sisanya sebesar 30,07 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model penelitian ini. Saran Pemerintah dalam rangka mengurangi kemiskinan hendaknya lebih memprioritaskan kebijakan pembangunan yang berpihak pada penduduk miskin, yakni dengan menajamkan alokasi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan yang lebih seimbang dengan pengeluaran pembangunan di sektor lain seperti sektor infrastruktur yang disertai dengan peningkatan efisiensi dalam pemanfaatanya. Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dalam hal pendidikan, karena dengan adanya kerjasama dengan pihak swasta ini otomatis akan membuka lapangan kerja yang berdampak pula terhadap peningkatan pendapatan penduduk yang memungkinkan mereka lepas dari kemiskinan dan juga investasi pendidikan lebih meningkat. Karena modal dari pihak swasta berbeda dengan pemerintah. Diperlukan konsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan amanat UU No. 20 tahun 2003, tentang pendidikan dasar gratis dan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja pemerintah. Setiap pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan efektivitas penggunaannya sampai pada sasaran (masyarakat yang kurang mampu). Untuk penelitian selanjutnya bisa menambah variabel-variabel lainnya seperti angka huruf melek, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat serta penelitian ini akan lebih bagus jika data yang diteliti mencapai 5-10 tahun, agar dapat terlihat efeknya dalam jangka panjang. Proporsi pengeluaran pemerintah atas pendidikan yang masih rendah menyebabkan kelambanan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi maka pemerintah perlu meningkatkan proporsi pengeluaran atas pendidikan dan juga pengawasan lebih ketat lagi.
98
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
DAFTAR PUSTAKA Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta Suparmoko, 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi keempat BPFE, Yogyakarta. Susanti, Hera: Moh. Ikhsan dan Wildiyati (1995). Indikator-Indikator Makro Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi 9. Jakarta: Erlanga. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar.
99
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
MENGELOLA DAERAH SURPLUS DAN DAERAH DEFISIT BERAS DI PROVINSI ACEH Management of Rice Surplus and Deficit in the Province of Aceh Romano1 dan T. Saiful Bahri1 1Staf
Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis daerah surplus dan defisit beras di Provinsi Aceh serta menentukan kebijakan di masa depan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei di daerah-daerah pusat produksi padi dan pusat pemasaran di provinsi Aceh dan dilanjutkan dengan Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku kunci. Hasil penelitian menunjukkan ada kesenjangan antara produksi pantai timur, wilayah barat, dan tengah. Sentra utama produksi padi terletak di sepanjang pantai timur Aceh, yang memiliki surplus sepanjang tahun. Namun, hanya tiga wilayah di daerah pantai barat yang memiliki surplus, sehingga pengadaan beras sangat tergantung pada sistem distribusi beras dari dan ke daerah ini. Sebagian besar wilayah di Aceh Tengah masih defisit beras, sehingga konsumsi beras di wilayah ini sangat tergantung pada sistem distribusi dari pantai timur. Daerah perbatasan menjadi pintu keluar gabah dan beras premium masuk dari Sumatera Utara dengan koefisien inflow dan outflow yang signifikan. Kata kunci: daerah surplus, daerah defisit, keseimbangan lahan sawah
ABSTRACT This study aims is to analyze the surplus and deficit areas of rice in the province of Aceh and police setting in the future. Research has been carried out by the method of survey across the central areas of rice production and marketing centers in Aceh province and continued with FGD with key informants. The results showed there were disparities between the east coast production, western and central regions. Major rice production centers located along the eastern coast of Aceh, the region had a surplus during the year. However, only 3 region of the west coast regional district that is surplus area, so that the procurement of rice is highly dependent on rice distribution system to and from this area. Most region in central Aceh is still a deficit of rice, so the rice consumption in the region is highly dependent on the distribution system of the eastern coast. Border area to the exit door of grain and rice masuh premium of North Sumatra with a coefficient of inflow and outflow is significant. Keywords: surplus area, deficit area, balance of rice area
PENDAHULUAN Aceh diharapkan sebagai salah satu daerah surplus beras dan menjadi pemasok beras bagi daerah defisit lainnya di pulau Sumatera. Pada tahun 1990 impor beras masih sekitar 30 ribu ton maka pada 1992 menjadi 634 ribu ton, pada 1994 menjadi 876 ribu ton, dan bahkan pada tahun 1995 menjadi lebih dari 3 juta ton. Pada 1998 volume impor beras Indonesia telah mencapai 7,1 juta ton dan 5 juta ton pada 1999, dimana telah mengambil bagian masing-masing sebesar 26 persen dan 21 persen dari volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia (Hartoyo, 2000; Wibowo, 2000).
100
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Romano dan T. Saiful Bahri
Setelah pasar beras di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar maka harga beras di Indonesia akan lebih fluktuatif. Bila sebelumnya faktor-faktor yang menyebabkan fluktuasi harga beras terutama berasal dari faktor-faktor dalam negeri yang memengaruhi penawaran dan permintaan beras domestik karena pemerintah atau Bulog mengisolasi harga domestik dari ketidakpastian harga internasional, maka dengan dihapuskannya monopoli impor beras oleh Bulog mengakibatkan semakin kompleksnya faktor-faktor yang memengaruhi harga beras domestik. Fluktuasi harga tersebut dapat bersumber dari fluktuasi produksi dalam negeri, fluktuasi harga pasar internasional, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap US$. Perubahan kebijakan tersebut juga memengaruhi kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, dimana faktorfaktor yang memengaruhi permintaan dan penawaran beras pada pasar yang terbuka lebih beragam dan kompleks. Kebijakan perberasan nasional ini juga berdampak pada kebijakan beras di Provinsi Aceh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengajian perberasan Aceh yang akan menjadi material penyusunan kebijakan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam pengajiannya didasarkan pada rencana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh pada periode berjalan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan pada perubahan tugas dan fungsinya sesuai dengan dinamika pembangunan di Aceh. Sesuai dengan spesifikasi daerah di Aceh juga terdapat daerah sentra produksi padi, dan daerah defisit beras. Oleh karena itu perlu dikaji kebijakan pengelolaan perberasan antar daerah surplus dan daerah defisit. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi masalah dan tantangan pengadaan beras kaitannya dengan Ketahanan Pangan berkelanjutan di Aceh (faktor penentu harga, konsumsi beras kaitannya dengan daya beli masyarakat di Aceh). Lebih lanjut menyusun prioritas program, kebijakan perberasan dan langkah strategis kaitannya dengan ketahanan pangan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan pembangunan di Aceh. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Pemerintah Aceh sebagai informasi yaitu; Gambaran produksi dan konsumsi antar wilayah di Aceh dan gambaran masalah dan tantangan yang dihadapi Pemerintah Aceh dalam pengadaan beras berkelanjutan di Aceh. Secara teori kebijakan perberasan terdiri atas serangkaian program yang berkaitan dengan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras, pengadaan stock pengamanan, pengaturan harga tertinggi dan harga terrendah (Sapuan, 2000; Dawe, 2001). Walaupun demikian pengadaan beras domestik tidak terlepas dari prilaku produsen beras, konsumsi masyarakat, dan kebijakan pemerintah. Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan melakukan kebijakan untuk melindungi produsen dan konsumen beras. Petani sebagai produsen memiliki prilaku spesifik untuk meningkatkan penghasilan dan keuntungan usaha. Oleh karena itu petani mengharapkan harga gabah di pasar setinggi mungkin. Di lain pihak konsumen beras menghendaki harga beras serendah mungkin agar dapat memenuhi nilai guna yang diharapkan dari pengeluaran konsumsinya. Pemerintah sebagai pengelola negara harus mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan, dan sekaligus mendorong produksi padi. Dengan 101
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
dasar ini pula lahir kebijakan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras, pengadaan stock pengamanan, pengaturan harga tertinggi, dan harga terendah (Sapuan, 1999; dan Sawit, 2000). Dalam analisis kebijakan harus dipahami bahwa penawaran beras pada periode waktu tertentu merupakan akumulasi dari jumlah produksi dan jumlah impor beras pada periode waktu tertentu. St = PRODt + Mt Dimana: St = Jumlah penawaran beras domestik; PRODt = Jumlah produksi beras; Mt = Jumlah impor beras. Produksi beras domestik dipengaruhi oleh harga beras, harga kedele (tanaman kedelai merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman padi di pantai timur Aceh), luas areal tanam, dan tingkat teknologi. Perilaku produksi beras di Aceh dapat digambarkan dalam bentuk fungsi sebagai berikut : PRODt = f ( PBt, PKt, LAt, TEKNt ) Dimana: PRODt = Jumlah produksi beras; PBt = Harga beras; PKt = Harga kedele; LAt = Luas areal tanam padi; TEKNt = Tingkat teknologi. Persamaan produksi dalam bentuk linier: PRODt = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et dimana : a0 = intersep; a1-4 = parameter; Ei = variabel pengganggu. Jumlah produksi beras merupakan jumlah produksi yang diharapkan pada tahun sebelumnya sehingga persamaan produksi beras yang diharapkan (PROD*): PRODt* = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et Untuk mendapatkan model dinamis dari produksi beras, digunakan model penyesuaian parsial Nerlove (Pindyck et all,1991;Gujarati,1999) dengan formulasi: PRODt - PRODt-1 = (PROD*t PRODt-1) PRODt = PROD*t + ( 1- ) PRODt-1. Dengan = koefisien penyesuaian dengan nilai 0 < < 1. Dengan mensubstitusikan (4) ke dalam (5) maka akan diperoleh persamaan dinamis produksi beras : PRODt= a0 + a1PBt + a2PKt+ a3 LAt + a4 TEKNt + (1- )PRODt-1+ Et Bila a0 = a0*, a1 = a1*, a2 = a2*, a3 = a3*, a4 = a4*, ( 1- ) = a5, E1 = e1, maka persamaan di atas menjadi : PRODt = a0*+a1*PBt+a2*PKt+ a3* LAt + a4*TEKNt+a5*PRODt-1 + et Jadi perilaku produksi beras dijelas kan oleh variabel harga beras, harga jagung, luas areal tanam, tingkat teknologi dan produksi beras tahun sebelumnya. Dalam model 102
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Romano dan T. Saiful Bahri
penyesuaian parsial perubahan gradual dalam periode waktu yang panjang ditunjukkan oleh nilai koefisien penyesuaian ( ). Apabila = 1, maka produksi yang diharapkan akan sama dengan jumlah produksi yang terjadi, dan apabila = 0, maka jumlah produksi yang diharapkan akan sama dengan jumlah produksi tahun sebelumnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di seluruh sentra produksi padi dan sentra konsumsi beras di Aceh. Metode kajian dengan langkah-langkah berikut: (a) melakukan konsultasi dengan Kepala Badan, Wakil/Sekretaris, Kabid, dan Stakeholder lain; (b) mengkaji kinerja pada periode tahun 2008 – 2011 baik dari segi capai program perberasan (c) melakukan Forum Group Discussion (FGD) dan sekaligus penetapan kebijakan perberasan. Konsultasi dengan Kasubdin antara lain data dan perencanaan; Kasubdin penyuluhan; Kasubdin Gizi Masyarakat; dan lembaga terkait. FGD yang diselenggarakan di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada kajian produksi konsumsi, harga, tingkat teknologi kilang padi, dan pengelolaan daerah surplus serta daerah defisit beras. Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan skunder. Data primer diambil sampel di 60 Kilang Padi di 18 Kabupaten/kota lokasi penelitian. Data primer juga dikumpulkan dengan cara konsultasi dengan pihak yang berkompeten di Kabupaten serta melakukan FGD di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Provinsi. Model Analisis Model analisis yang digunakan adalah analisis regresi dinamis berstruktur dari fungsi produksi beras: C = P – S + I – E Dimana: C = Beras yang tersedia untuk pemakaian di wilayah Provinsi Aceh P = Produksi padi di wilayah Provinsi Aceh S = Perubahan stok, selisih antara stok akhir dan stok awal I = Bahan makanan yang di impor atau masuk ke wilayah bersangkutan E = Bahan makanan yang di ekspor atau keluar wilayah Untuk melihat arus suplai produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: St = Prodt + (Mt - Et) Dimana: St = Jumlah penawaran beras domestik; PRODt = Jumlah produksi beras; Mt = Jumlah beras masuk ke wilayah Aceh. Et = Jumlah beras keluar wilayah Aceh.
103
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Aceh Pengelolaan daerah surplus dan daerah defisit beras menjadi sebuah tantangan bagi Pemerintahan Aceh saat ini dan masa yang akan datang. Daerah surplus dengan berbagai permasalahannya membutuhkan penanganan khusus agar petani produsen tetap bergairah mengelola tanaman padi sesuai dengan tingkat teknologi budidaya yang dibutuhkan. Untuk itu harus dipahami karakteristik daerah surplus dengan berbagai variabel penentunya. Berdasarkan teori variabel penentu daerah surplus adalah luas tanam, luas panen, pemanfaatan sarana produksi, dan produktivitasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah surplus yang sebagian besar berada di wilayah pantai timur Aceh. Untuk wilayah pantai timur secara umum merupakan wilayah surplus beras dengan total produksi pada tahun 2011 sebesar 599.619 ton setara beras. Sementara konsumsi untuk wilayah ini mencapai 340.382 ton beras. Semua kabupaten merupakan sentra produksi beras (mulai dari Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang), sehingga merupakan daerah surplus. Hanya empat kota yang menjadi daerah defisit beras (Kota Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Kota Langsa), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai timur Aceh tahun 2011 Produksi Konsumsi Surplu/Defisit Kabupaten (ton) (ton) (ton) Sabang 3.513 (3.513) Banda Aceh 243 25.881 (25.639) Aceh Besar 98.365 40.093 58.271 Pi d i e 94.592 43.319 51.274 Pidie Jaya 30.133 15.245 14.888 Bireuen 90.222 44.947 45.275 Lhokseumawe 3.553 19.721 (16.168) Aceh Utara 139.179 60.645 78.533 Langsa 3.563 17.103 (13.539) Aceh Timur 77.260 41.048 36.211 Aceh Tamiang 62.510 28.869 33.642 Jumlah 599.619 340.382 259.237 Secara keseluruhan terdapat kelebihan (surplus) beras di wilayah pantai timur Aceh sebanyak 259.237 ton setara beras. Produksi sebesar 318.095 ton setara beras di tujuh kabupaten sentra produksi dan kekurang konsumsi sebesar 58.858 ton setara beras dapat menutupi di empat kota sentra konsumsi. Dengan demikian aliran gabah dan beras dapat ditelaah berdasarkan kedekatan letak lokasi sentra produksi dan sentra konsumsi tersebut. Padi atau beras dari Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya dapat memenuhi defisit 104
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Romano dan T. Saiful Bahri
di Kota Sabang dan Banda Aceh, bahkan sebagian besar masih mengalir ke Provinsi Sumatera Utara. Demikian juga padi dan beras dari Kabupaten Biruen dan Aceh Utara dapat memenuhi defisit di Kota Lhokseumawe dan sebagian mengalir ke Provinsi Sumatera Utara. Padi dan beras dari Kabupaten aceh Timur dapat memenuhi defisit di Kota Langsa. Surplus padi di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur sebagian besar (62 % dari surplus) mengalir ke Provinsi Sumatera Utara. Dalam sistem tataniaga padi di wilayah pantai timur Aceh terdapat peran pedagang pengumpul di sentra produksi padi. Pada sebagian besar transaksi padi, pedagang pengumpul dibekali modal oleh pedagang besar dari masing-masing sentra pemasaran. Atau dengan kata lain pedagang pengumpul (kolektor) menjadi komponen jaringan pasok pedagang besar dari Sumatera Utara. Wilayah pantai barat Aceh juga masih menjadi daerah surplus, terutama di lima kabupaten sentra produksi (Kabupaten Aceh selatan, Aceh Barat Daya, Nagan raya, Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Pada tahun 2011, surplus padi di daerah ini mencapai 37.616 ton setara beras, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Surplus padi di enam kabupaten (Aceh Selatan, Aceh Barat daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Kabupaten Simeulue) sebanyak 51.280 ton setara beras; dapat menutupi defisit di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam sebesar 13.665 ton setara beras. Tabel 2. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai barat aceh tahun 2011 Kabupaten Subulussalam Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Barat Aceh Barat Daya Nagan Raya Aceh Jaya Jumlah
Produksi (ton) 3.120 11.084 2.726 27.193 25.948 43.863 22.361 12.474 148.769
Konsumsi (ton) 7.776 9.222 11.735 22.955 19.884 14.450 16.188 8.943 111.153
Surplu/Defisit (ton) (4.656) 1.862 (9.008) 4.238 6.064 29.413 6.173 3.530 37.616
Aliran beras ke Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, sebagian besar dari Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Sebagian kecil beras untuk Kota Subulussalam juga dipasok dari Sumatera Utara. Wilayah tengah juga masih menjadi daerah surplus padi atau beras, terutama Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Daerah defisit Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3. Kekurangan beras di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian besar dipasok dari Kabupaten Biruen, Aceh Utara, dan Pidie. Kelebihan padi atau beras di Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues sebagian besar mengalir ke wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kilang penggilingan padi di dua kabupaten ini mengolah padi hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, sehingga yang dijual kepada pedagang di Sumatera Utara sabagian besar dalam bentuk gabah 105
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
kering panen. Daerah-daerah sentra produksi yang menjual Gabah Kering Panen (GKP) antara lain, Kecamatan Lawe Sigala-gala dan Bambel. Tabel 3. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah tengah tahun 2011 Produksi Konsumsi Surplu/Defisit Kabupaten (ton) (ton) (ton) Aceh Tenggara 49.983 20.447 29.535 Gayo Lues 15.294 9.156 6.138 Aceh Tengah 15.914 20.111 (4.197) Bener Meriah 6.542 14.155 (7.613) Jumlah 87.732 63.869 23.863 Neraca Beras di Provinsi Aceh Neraca beras adalah keseimbanagn arus produksi dan konsumsi beras di suatu wilayah. Neraca beras ditentukan oleh produksi padi setara beras, konsumsi lokal, arus masuk (impor) dan arus keluar (ekspor). Neraca beras merupakan kondisi dimana terdapat keseimbangan antara produksi dan konsumsi beras di suatu daerah. Untuk menghitung jumlah beras yang tersedia untuk pemakaian di Provinsi Aceh digunakan rumus: C = P – S + I – E Dengan formula di atas maka neraca beras Provinsi Aceh dapat digambarkan berdasarkan berdasarkan wilayah dan periode musim panen. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat variasi stock beras pada masing-masing wilayah pada tiga kwartal menurut periode musim tanam, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Selama lima tahun terakhir penawaran beras di Aceh lebih didominasi peningkatan produksi lokal. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa produksi beras di Provinsi Aceh menunjukkan perkembangan yang linier, sehingga dengan fungsi: St = Prodt + (Mt - Et) Kinerja penawaran beras berdasarkan komponen di atas ditunjukkan pada Table 5. S = 92.292 + 2,426 Prod t + 0,298 (M-E) + ε1 Tabel 4. ANOVA untuk penawaran beras Aceh dari tahun 2007 s/d 2008 Model
Unstandardized Coefficients B
(Constant) 92,292 ArusKelua 2.426 ArusMasu 0.298 r a. Dependent Variable: Produksi k 1
Std. Error 56,550 .135 .15,6
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 1.093 .116
-1.632 17.93 19.10 7
.244 .003 .019
Ini berarti bahwa kebijakan suplai beras di Aceh masih bertumpu pada pengadaan domestik. Dengan kata lain penawaran beras di daerah ini tidak boleh mengandalkan beras dari luar wilayah. Hal ini dapat dimaklumi karena Provinsi Sumatera Utara masih mengandalkan pasokan dari Aceh untuk memenuhi konsumsi masyarakat dan untuk 106
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Romano dan T. Saiful Bahri
kebutuhan industri yang berbahan baku beras. Dari data tersebut maka koefisien produksi dan komponen arus masuk keluar ditunjukkan pada Tabel 3.5 berikut ini: Tabel 5. Penawaran beras Aceh selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011) Produksi Arus Keluar Arus Masuk Konsumsi Tahun (ton) (ton) (ton) (ton) 2007 797.352 362.212 44.181 479.321 2008 729.190 328.135 86.219 487.273 2009 809.567 364.305 49.905 495.167 2010 822.843 370.279 57.462 510.026 2011 836.120 376.254 55.539 515.405 Dapat juga dipahami bahwa Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau Sumatera harus mampu mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah ini akan menjadi daerah transit import beras ke provinsi lain di Sumatera. Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi beras domestik dipengaruhi oleh luas areal tanam, harga beras, harga kedele (tanaman kedele merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman padi di pantai timur Aceh). Dengan demikian perilaku produksi beras di Aceh yang telah digambarkan dalam bentuk fungsi pada Tabel 6. Tabel 6. Koefisien Kinerja Penawaran Padi Aceh Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model 1 (Constant)
B
Std. Error
Beta
t
Sig.
1.310
.207
22946.977
17511.937
HargaBeras
116.730
97.793
2.198
1.194
.248
HargaKedele
-289.987
249.349
-2.133
-1.163
.260
LuasTanam
4,089
146
986
28.027
.000
Tingkat Teknologi
0.108
0.037
0.108
2.939
.009
a. Dependent Variable: ProduksiBeras Secara matematis, model produksi beras ditunjukkan pada persamaan berikut ini: PRODt = 22.947 + 116,7 PBt - 290 PKt + 4.089 LAt + 0,108 TEKNt Dari persamaan di atas dapat dipahami bahwa jumlah produksi beras di Provinsi Aceh faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang digunakan. Harga beras terlihat tidak signifikan menentukan produksi beras di daerah ini. Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan harga. Demikian juga dengan harga kedelai yang dianggap sebagai komoditi yang mendesak areal pertanaman padi di daerah ini. Ternyata harga kedele tidak direspon oleh penanaman padi dan produksi padi. Biasanya tanaman kedelai ditanam pada MT2 dan MT3 pada lahan yang sesuai dengan keadaan lahan dan kondisi curah hujan. 107
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Bibit unggul, pupuk dan sarana produksi lainnya. Petani di Provinsi Aceh masih sangat tergantung pada bantuan sebagai ekses dari bantuan pasca tsunami tahun 2004. Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk mengelola usaha tani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal persawahan. Lebih jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap teknologi budidaya, seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan air irigasi yang lebih intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Aceh dua faktor di atas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi landasan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang. Kebijakan Penciptaan Nilai Produksi dan Revitalisis Kilang Padi Sejak tahun 2007 Gabah Kering Panen yang dibawa ke luar Aceh untuk diolah menjadi beras yang lebih berkualitas sebanyak 696.561 ton dan meningkat pada tahun 2011 telah mencapai 797.833. Selama lima tahun terakhir, terdapat perkembangan arus gabah yang mengalir ke luar Aceh rata-rata 3 persen per tahun. Selanjutnya arus masuk beras dari luar Aceh juga bertambah dalam bentuk beras kualitas premium, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Arus keluar gabah kering panen dan arus masuk beras premium dari tahun 2007 s/d 2011 Produksi GKP Produksi Stara Arus Masuk Arus Keluar Tahun Beras (ton) (ton) GKP (ton) (ton) 2007 1.533.369 797.352 44.181 696.561 2008 1.402.288 729.190 86.219 631.029 2009 1.556.858 809.567 49.905 700.586 2010 1.582.394 822.843 57.462 712.077 2011 1.772.962 836.120 55.539 797.833 Perkembangan (% per tahun)
0,05
0,03
Terdapat permasalahan yang sangat krusial pada neraca beras di Aceh yang antara lain: (1) Produksi Gabah Kering Panen Melimpah sehingga mengalami surplus; (2) Terdapat aliran beras yang jumlahnya meningkat setiap tahun rata-rata 5 persen per tahun; (3) Kilang padi yang beroperasi di Aceh tidak mampu berproduksi dengan kapasistas terpasang; (4) Sebagian besar kilang penggilingan padi di Aceh sudah tua dengan rendemen produksi yang sangat rendah. KESIMPULAN Kesimpulan Provinsi Aceh yang sangat potensial sebagai lumbung beras sering menghadapi permasalahan dalam ketersediaan beras, terutama wilayah terpencil dan daerah defisit beras. Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau Sumatera harus mampu
108
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Romano dan T. Saiful Bahri
mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah ini akan menjadi daerah transit import beras ke Provinsi lain di Pulau Sumatera. Faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang digunakan. Harga beras menjadi faktor yang tidak dominan yang menentukan produksi beras di daerah ini. Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan harga. Dengan demikian peningkatan program penyuluhan di wilayah sentra beras masih harus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Penambahan tenaga penyuluh dan peningkatan kualitas penyuluh sangat dibutuhkan untuk mendorong suplai beras di daerah ini. Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk mengelola usahatani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal persawahan. Lebih jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap teknologi budidaya, seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan air irigasi yang lebih intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Aceh dua faktor diatas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi landasan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang. Kebijakan Pemerintahan Aceh untuk menciptakan nilai tambah atas produksi gabah dapat dilakukan dengan peremajaan sebagian besar kilang padi dan revitalisasi usaha penggilingan dan pembinaan kemitraan pada dunia industry. Hal ini juga berkaitan dengan upaya mengatasi kerawanan beras di wilayah kerja penggilingan padi. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas maka perlu direkomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan: (a) Kebijakan perberasan Aceh. (b) Peranan BKP-Luh Aceh; (c) Inovasi perberas pada masa yang akan datang. Kebijakan perberasan aceh untuk masa yang akan datang disamping mendorong produksi padi, juga dibutuhkan pembenahan sistem distribusi beras. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh yang telah melakukan TUPOKSI dapat menyempurnakan beberapa program yang sedang berlangsung dan mencari inovasi lain untuk pengelolaan ketersediaan beras di Provinsi Aceh. Inovasi yang paling dibutuhkan pada subsistem off farm dengan menyertakan masyarakat dalam sistem jaring pasok, penciptaan nilai tambah pada industry gabah dan sistem distribusi beras di masing-masing sentra produksi. Kebijakan yang mungkin ditempuh pemerintah Aceh adalah dengan melakukan revitalisasi usaha kilang padi, menetapkan “RESI GUDANG” untuk cadangan beras pemerintah dan cadangan beras masyarakat. Resi gudang yang dimaksud dapat ditempuh dengan cara mengalokasikan anggaran kepada UPTD Pangan di masing-masing kabupaten yang mengharuskan membeli padi langsung dari petani (atau melalui GAPOKTAN).
109
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
DAFTAR PUSTAKA Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras. k_002_beras.html.
http://www.Bulog.go.id/ papers/
Sapuan. 2000. Arah Kebijakan Kelembagaan Produksi dan Distribusi Beras: Aspek Kelembagaan dan Distribusi. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sawit, M.H. 2000 Arah Kebijaksanaan Distribusi/perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan pangan: Perdagangan Dalam Negeri. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Ram-pai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sudaryanto, T., B. Rachman dan S. Bachri. 2000. Arah kebijakan distribusi/Perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan: Perdagangan Luar Negeri. Dalam Pertanian dan dan Pangan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
110
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Muhammad Insa Ansari
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BENTUK LEGISLASI DI KABUPATEN ACEH BESAR Local Government Policy in the Form of Legislation in Aceh Besar District Muhammad Insa Ansari Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Bertolak dari kedua ketentuan tersebut, tulisan ini mengkaji kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja. Berdasarkan kajian bahwa materi muatan qanun kabupaten tersebut dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan, sanitasi, dan pendidikan. Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 jumlah Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan mencapai 53 (lima puluh tiga), dimana qanun yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Sementara itu qanun yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten. Kata Kunci: kebijakan pemerintah daerah, materi muatan, legislasi
ABSTRACT Under the provisions of Article 14 of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation states that the substance of provincial regulations and local regulations regency / city contains material content in the context of regional autonomy enforcement and assistance as well as accommodate special local conditions and / or translation for further legislation and higher law. Similar provisions are also contained in Article 4 paragraph (2) Aceh Qanun No. 5 of 2011 on Procedures for the Establishment of Qanun. Starting from these two provisions, this paper examines government policy in Aceh Besar the form of legislation produced from 2007 to 2011. Research used in this study is the normative legal research or literature legal research. Which uses secondary data only. Based on the assessment that the district qanun substance within five (5) years of which related to approval, change and accountability of District Budget, permits and fees, organization and administration, transportation, health, sanitation, and education. From 2007 to 2011 the number of Qanun Aceh Besar generated at 53 (fifty three), in which the qanun produced in 2010 varied, covering county government budgets, asset management area, management and delivery of education, organizational structure and working procedures of the institution privileges, fees, permits, as well as organizational structure and working procedures of agencies and technical institutions. Meanwhile qanun produced in 2011 only deals with the District Budget. Keywords: local government policy, the substance, legislation
111
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol 4, No. 2, Nov 2013 PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi negara melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya (Ridwan HR, 2006: 129). Instrumen-instrumen yuridis tersebut dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing. Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal yang sangat prinsipil berdasarkan konsideran tersebut, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum yang sangat tinggi dan prinsip pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan konstitusi. Hal ini tentunya menarik kalau dikaitkan dengan pendapat Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, dimana disebutkan bahwa tata urutan atau susunan hierakhis dari tata hukum suatu negara dapat dikemukakan bahwa dengan mempostulasi norma dasar, konstitusi adalah urutan tertinggi di dalam hukum nasional (Somardi, 1995:126). Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, adalah sebagai berikut: a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c). UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d). Peraturan Pemerintah; e). Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan g). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hierarki dari peraturan-peraturan tersebut di atas sangatlah penting, mengingat peraturan hukum menjadi dasarnya dari pada peraturan hukum yang lebih rendah tingkatannya, dan yang terakhir ini menjadi dasar pula dari pada peraturan hukum yang lebih rendah lagi tingkatannya (Soehino, 1986:140). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan ini materi muatan dari setiap peraturan perundang-undangan sangat ditentukan oleh hirakhi peraturan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menjadi salah satu dasar penting tentunya dalam meninjau kebijakan daerah dalam bentuk legislasi. 112
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Muhammad Insa Ansari
Namun demikian, khusus untuk Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota yang ada dibawahnya, berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan ada pengaturan secara khusus dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Bab XXXV Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan kekhususan yang berlaku bagi pemerintah Aceh berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini sendiri harus dijadikan rujukan terutama oleh pihak legislatif dan pihak eksekutif dalam membentuk peraturan perundang-undangan, serta ketentuan tersebut menjadi referensi penting dalam pembuatan peraturan gubernur dan peraturan bupati/peraturan walikota. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada beberapa hal yang dianggap penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk legislasi pemerintah kabupaten adalah sebagai berikut: Pertama, berkaitan dengan pengesahan qanun kabupaten/kota. Dimana berdasarkan Pasal 232 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana disebutkan bahwa qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Kedua, berkaitan dengan alasan pembentukan qanun kabupaten/kota. Dimana ketentuan Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan bahwa qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas perbantuan. Ketiga, berkaitan dengan berlakunya qanun kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bahwa qanun kabupaten/kota berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah kabupaten/kota. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh maka dibentuklah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 03). Namun pada tanggal 30 Desember 2011 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun dicabut dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 38). Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun menyebutkan bahwa qanun kabupaten/kota dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, pengaturan hal yang berkaitan dengan kondisi khusus kabupaten/kota, penyelenggaraan tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan singkat ini akan mendeskripsikan dan menjelaskan kebijakan pemerintahan daerah dalam bentuk legislasi di Kabupaten Aceh Besar selama tahun 2007 sampai dengan 2011. 113
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
METODE PENELITIAN Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja (Soekanto dan Mahmudji, 2001:14). Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Ataupun juga bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Marzuki, 2008:12). Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Marzuki, 2008:12). Dimana bahan hukum sekunder tersebut memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Sementara yang dimaksud dengan bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, indek komulatif, dan sebagainya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil legislasi Kabupaten Aceh Besar selama tahun 2007 hingga tahun 2011 dapat dirincikan produk Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan setiap tahunnya adalah sebagai berikut: Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007 Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 38 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan tata Kerja Kecamatan Montasik; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan Ingin Jaya; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 43 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan Kuta Baro; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2007; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2007; dan f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2007. Produk legislasi yang dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2007 lebih memfokuskan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan susunan organisasi dan tata kerja kecamatan. Dimana pada tahun tersebut ada 3 (tiga) qanun yang materi muatannya berkaitan dengan APBD. Disamping itu terdapat juga 3 (tiga) qanun yang materi muatannya mengatur susunan organisasi dan tata kerja kecamatan.
114
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Muhammad Insa Ansari
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008 Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2008 adalah sebagai berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2008 tentang APBD Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRK Aceh Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan Dalam Kabupaten Aceh Besar; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pertanggungjawaban APBD Tahun 2007; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penghapusan Kelurahan dan Pembentukan Gampong dalam Kabupaten Aceh Besar; f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pendelegesian Kewenangan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; g) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemberian Izin Kepemilikan dan Pengguna Gergaji Rantai; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Tempat Usaha; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Sanitasi, Farmasi dan Pelayanan Kesehatan dalam Kabupaten Aceh Besar; j) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kebersihan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; k) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2008 tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan; l) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri; m) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan; n) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 15 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi; o) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kesehatan; p) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 17 Tahun 2008 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita; q) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang; r) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. Dari 18 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2008, dimana terdiri dari: 1) muatannya berkaitan dengan anggaran, yaitu APBD Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008, dan pertanggung jawaban APBD Tahun 2007; 2) muatannya berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja serta pelimpahan kewenangan, diantaranya susunan organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan sekretariat DPRK, dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah, dan susunan organisasi dan tata kerja pemerintah kecamatan, dan penghapusan kelurahan dan pembentukan gampong, serta pendelegesian kewenangan pemerintah Kabupaten Aceh Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; 3) materinya berkaitan dengan perizinan dan retribusi, diantaranya adalah pemberian izin kepemilikan dan pengguna gergaji rantai, retribusi izin tempat usaha, retribusi izin sanitasi, farmasi dan pelayanan kesehatan dalam Kabupaten Aceh Besar, pengelolaan kebersihan dan retribusi pelayanan kebersihan/persampahan, retribusi tanda daftar perusahaan, retribusi izin usaha, izin perluasan dan tanda daftar industri, retribusi izin usaha perdagangan, retribusi izin usaha jasa konstruksi, retribusi pengujian kendaraan bermotor; 3) materinya berkaitan dengan pelayanan kesehatan, yaitu kesehatan dan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak balita; dan 4) materinya berkaitan dengan perhubungan, yaitu penyelenggaraan angkutan orang. 115
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009 Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2009 adalah sebagai berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja MAA Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintah Mukim; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Retribusi Parkir di tepi Jalan Umum; j) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Kab. Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Terminal dan Pangkalan; dan k) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Gampong. Dari 11 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2009, dimana terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009, dan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008, serta Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; 2) materi muatannya berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja, diantaranya adalah pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Badan Penangulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar, dan susunan organisasi dan tata kerja MAA Kabupaten Aceh Besar, serta susunan organisasi tata kerja Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; 3) materi muatannya berkaitan dengan perizinan dan retribusi, diantaranya retribusi tempat rekreasi dan olahraga, dan retribusi parkir di tepi jalan umum; 4) materinya berkaitan dengan pemerintahan, diantaranya pemerintah mukim dan pemerintahan gampong; dan 5) materinya berkaitan dengan perhubungan, yaitu pengelolaan terminal dan pangkalan. Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010 Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2010 adalah sebagai berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2010 Tentang APBK Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Qanun BPHTB; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Qanun 116
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Muhammad Insa Ansari
tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Qanun tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA,MPD; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Barbasis Masyarakat; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar; k) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Tata/Tera Ulang; l) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; m) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan/Penyedotan Kakus; n) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Gangguan; o) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Izin Mendirikan Bangunan; dan p) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Besar. Dari 15 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010, dimana terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya APBK Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009, serta Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; 2) materi muatannya berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja, diantaranya susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA, MPD, dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah Kabupaten Aceh Besar; 3) materinya muatannya berkaitan dengan perizinan dan retribusi, diantaranya adalah BPHTB, retribusi pelayanan pasar, retribusi pelayanan tata/tera ulang, retribusi pengendalian menara telekomunikasi, retribusi penyediaan/penyedotan kakus, izin gangguan dan izin mendirikan bangunan; 4) materinya berkaitan dengan aset daerah, yaitu pengelolaan barang milik daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; 5) materinya berkaitan dengan pendidikan, yaitu pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan Kabupaten Aceh Besar; dan 6) materinya berkaitan dengan sanitasi, yaitu pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan barbasis masyarakat. Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif pengaturannya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011 Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Besar; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2010; dan c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2011 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011. 117
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2011 hanyalah qanun yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka ada sejumlah kesimpulan yang dapat diambil dari kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk legislasi di kabupaten Aceh Besar adalah: Pertama, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 berdasarkan jumlahnya mencapai 53 (lima puluh tiga) Qanun Kabupaten Aceh Besar dengan materi muatan diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban anggaran, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan, sanitasi dan pendidikan. Kedua, Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Ketiga, Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten. DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, 2012, Aceh Besar Dalam Angka 2012, BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho. Hans Kelsen, 1995. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum EmprikDeskriptif. [General Theory of Law and State], Diterjemahkan oleh Somadi, Rimdi Press, Jakarta Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta Soerjono Soekanto., dan Sri Mahmudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633). Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 38).
118
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Zulkifli
STRATEGI MENINGKATKAN PENDAPATAN ACEH DARI SUMBER ZAKAT: SUATU BUKTI EMPIRIK Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources: an Empirical Evidence Zulkifli Kepala Bidang P2EP Bappeda Aceh E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Provinsi Aceh telah diberikan otonomi oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek administrasi sejak tahun 1999. Dalam hal ini, pada tahun 2004 pemerintah Aceh mengesahkan diberlakukannya pembayaran zakat atas penghasilan melalui lembaga formal yang dikenal sebagai Baitulmal. Namun, pembuat kebijakan mempertimbangkan bahwa tingkat kepatuhan rendah. Untuk daerah yang dikenal sepanjang sejarah karena ketaatan kepada ajaran Islam, situasi seperti ini agak mengejutkan. Mengapa hal ini terjadi? Dan jika pemerintah bermaksud untuk menambah pendapatan dari zakat, maka strategi apa yang perlu diambil? Faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal dan pendapatannya? Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengusulkan dan memperkirakan model kepatuhan zakat. Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa jenis kelamin, usia, pendidikan, biaya bulanan, komitmen terhadap agama/iman, pelaksanaan hukum, akses mekanisme pembayaran, pemahaman/pengetahuan zakat, persepsi pajak, dan faktor-faktor lingkungan yang ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan pembayaran zakat. Temuan penelitian menyimpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan tingkat kepatuhan zakat pembayaran melalui Baitulmal, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum; meningkatkan kesadaran tentang kewajiban membayar zakat atas penghasilan, membangun kepercayaan dalam memastikan Baitulmal sebagai suatu institusi yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara jujur dan efisien, meningkatkan jumlah counter (kantor) zakat dan memperkenalkan sistem pembayaran online, reformasi undang-undang pajak yang ada seperti pengembalian zakat akan diberikan sebagai insentif bagi mereka yang membayar zakat melalui Baitul Mal. Kata kunci: model kepatatuhan zakat, prilaku kepatuhan, strategi
ABSTRACT The Aceh province has been given the autonomy by the central government of Indonesia in various aspects of administration since 1999. In this regards, in 2004 the government of Aceh has legislated an enactment requiring the payment of zakat on income through a formal institution known as the Baitulmal. However, policy makers are concerned that the compliance rate is found to be low. For a region that is known throughout history for its adherence to the Islamic teachings, such a situation is rather surprising. Why is this happening? And if the government intends to increase zakat collection, what are then the strategies that need to be taken? What are the likely factors affecting the compliance level of zakat payment via Baitulmal and its collection? Thus, the objective of this study is to propose and estimate a zakat compliance model. The results of the study documented that gender, age, education, monthly expenses, commitment to the religion/faith, implementation of laws, accessible payment mechanism, zakat understanding/knowledge, tax perception, and environmental factors are found to have significant relationships with the compliance level of zakat payment. The findings of the study imply that in order to increase the compliance level of zakat payment via Baitulmal, the government needs to strengthen the law enforcement; increase awareness on the obligation to pay zakat on income; build the trust in ensuring the Baitulmal as an able institution to execute her tasks honestly and efficiently; increase the number of zakat counters and to introduce online payment system; reform the existing tax law such that zakat rebates should be granted as an incentive to those who pay zakat through Baitulmal. Keywords: zakat compliance model, compliance behavior, strategy
119
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol 4, No. 2, Nov 2013 PENDAHULUAN
Zakat merupakan pembayaran yang diwajibkan oleh Islam kepada semua penganutnya yang mempunyai harta dalam berbagai bentuk sekiranya cukup syarat haul atau tempoh dan nisab atau satu jumlah minimum yang mencukupi untuk memenuhi keperluan asas selama tempoh yang dikenakan (Alhabshi, 2003). Kewajiban ini lahir karena zakat merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada individu muslim oleh Allah SWT dengan maksud untuk pembersihan dan penyucian harta bagi orang yang membayarnya (QS:At-Taubah, ayat 103) dan juga untuk menolong kaum dhu’afa atau orang yang memerlukan (QS:At-Taubah, ayat 60). Oleh itu, kedudukan zakat adalah sangat penting yaitu sama sebagaimana kedudukan shalat bagi setiap orang Mukmin. Ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Perintah pemaksaan kepada wajib zakat untuk membayarnya adalah jelas kepada jenis harta yang telah disepakati (‘iktifaq) seperti zakat ke atas hasil tanaman seperti gandum, kurma, zakat peternakan (unta, lembu dan kambing) serta zakat galian emas dan perak. Perintah zakat kepada harta yang belum disepakati (‘ikhtilaf) walaubagaimanapun terdapat sedikit perbedaan karena terdapat sebagian ulama yang mewajibkannya dan sebagian yang lain tidak sehingga kepatuhan untuk membayar zakat dari harta jenis ini masih berbeda di kalangan individu tergantung pada situasi, kefahaman individu dan lingkungannya termasuk adanya qanun dan fatwa (Hairunnizam, et al., 2007). Diantara harta dari kategori ini adalah harta yang diperoleh dari pendapatan gaji, upah, sewa, dan penghasilan profesi (jasa). Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Aceh tahun 1983, penghasilan jasa diartikan sebagai hasil atau bayaran yang diperoleh seseorang sebagai imbalan dari guna/manfaat sesuatu seperti gaji, upah, sewa, hasil profesi, tunjangan, bonus dari apa saja pekerjaan dan jasa profesional dan bukan profesional. Mengenai kewajiban zakat ini, Majelis Ulama Aceh telah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban pembayarannya sejak tahun 1983. Namun sampai saat ini hasil pungutan zakat melalui institusi formal pungutan zakat masih rendah dibandingkan dengan potensi yang ada. Salah satu penyebab rendahnya pungutan zakat adalah kurangnya kesadaran/kepatuhan individu pembayar zakat untuk menunaikan kewajibannya melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal). Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah individu yang tidak membayar zakat kepada Baitulmal tersebut bermakna mereka tidak mengeluarkan zakat atau mereka menyalurkan zakat secara langsung kepada asnaf yang ada dilingkungan tempat tinggalnya yang dapat diartikan bahwa tingkat kepatuhan mereka untuk membayar zakat melalui institusi formal seperti yang diamanatkan dalam Qanun masih rendah. Tentunya, ketidakpatuhan ini dapat dikatakan sebagai bocoran bagi penerimaan pendapatan daerah Aceh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang untuk bersedia membayar zakat melalui institusi formal. Permasalahanpermasalahan inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini, sehingga dengan demikian akan dapat ditentukan strategi apa yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Aceh untuk
120
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
meningkatkan pendapatan asli Aceh dari sumber zakat melalui Baitulmal dalam rangka mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh. PERKEMBANGAN DAN PERANAN INSTITUSI PUNGUTAN ZAKAT Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan secara individu dalam kehidupan bermasyarakat, namun demikian zakat juga sebenarnya sebagian dari ruang lingkup tanggung jawab pemerintahan negara. Oleh karena itu dalam penulisan-penulisan Islam, walaupun zakat sering dibahas di dalam bab ibadah di samping shalat, puasa dan haji, zakat juga dibahas dalam topik-topik mengenai kenegaraan dan pemerintahan. Ini berarti bahwa zakat sebenarnya bukanlah urusan pribadi yang hanya bisa diuruskan sendiri secara individu oleh ummat Islam. Sebaliknya zakat merupakan sebagian dari sistem sosial yang perlu diuruskan oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka pengurusan zakat adalah menjadi kewajiban pemerintah terutama dengan membentuk institusi yang teratur untuk melaksanakan tugas pemungutan dan pendistribusian zakat-zakat ini. Bila menilik berdasarkan dalil-dalil tentang kewajiban berzakat, dapatlah dimengerti bahwa sebetulnya masalah zakat ini diurus oleh satu institusi yang legal dan mempunyai wewenang untuk itu. Dan pada dasarnya yang berhak mengurusnya adalah pemerintah melalui institusi formal yang dibentuk. Hal ini dapat dilihat dari dalil dalam Al Qur’an di antaranya dengan menggunakan perkataan “Ambillah...” (At Taubah : 103) dan hadist nabi : “ Beritahu mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan ke atas mereka zakat dari harta-harta mereka, yang akan dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir “. Perkataan “ ambillah” dan “dipungut” bermakna bahwa ada pihak tertentu yang melaksanakan kerja-kerja tersebut. Sebagai sebuah wilayah yang mempunyai penduduk muslim mayoritas, Provinsi Aceh tentunya mempunyai potensi sumber dana zakat yang sangat besar dan strategis. Pelaksanaan zakat di Aceh telahpun dimulai sejak kedatangan Islam di nusantara ini. Zakat merupakan salah satu sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Sebagai contoh, Belanda terlibat dalam perang besar yang berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik, mereka kuat dalam melawan penjajah karena mereka memiliki sumber dana berupa hasil zakat (Yoesoef, 1985; Daud, 1991). Namun, pengelolaan zakat pada masa itu belum mempunyai mekanisme tertentu, kaum muslimin biasanya menyalurkan zakat itu secara langsung kepada mustahik, guru, teungku/kiayi, dan masjid-masjid. Hal ini disebabkan karena kaum muslimin melaksanakan zakat hanya atas keyakinan bahwa zakat merupakan kewajiban ke atas harta yang dimiliki. Kemudian setelah munculnya organisasi-organisasi Islam pada awal abad ke 20, zakat mulai diurus oleh organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadyah, Nahdatul Ulama dan lain-lain. Hal ini disebabkan pada masa itu belum didapatkan suatu badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (Somad, 1996). Selanjutnya pada pertengahan abad ke 20, mulai adanya upaya membentuk suatu badan yang berskala nasional untuk menguruskan zakat yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 tahun 1968 mengenai pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Dan dilanjutkan dengan Perintah Presiden Republik 121
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Indonesia dengan suratnya Nomor 07/PRIN/10/1968 mengenai penunjukan komite pelaksanaan seruan Presiden tentang pelaksanaan zakat. Berdasarkan peraturan inilah akhirnya didirikan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (Andy, 1997). Pembentukan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS) ini tidak mengurangi atau menghancurkan aktivitas badan zakat yang telah ada di organisasi-organisasi Islam sebelumnya. Mereka masih tetap melaksanakan urusan zakat itu sebagaimana biasa karena tiada peraturan resmi yang melarangnya. Sebelum organisasi BAZIS dibentuk, di Aceh sebenarnya pernah didirikan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) pada tahun 1973. BPHA memiliki tugas untuk memelihara harta-harta agama, seperti zakat, wakaf, harta Baitulmal dan harta-harta agama lainnya. Pada tahun 1976, institusi ini kemudian diubah dengan nama Badan Harta Agama (BHA) yang mempunyai cabang hingga ke tingkat pedesaan. Namun pada tahun 1993, peranan BHA ini akhirnya diganti Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS). Pada saat ini, keberadaan BAZIS secara nasional dikuatkan lagi dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan diikuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 tersebut. Berdasarkan Undang-Undang ini dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh, maka pada tahun 2000 Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Qanun) Nomor 5 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Pada pasal 14 ayat (3) peraturan ini diamanatkan bahwa pengelolaan harta-harta agama dikembalikan kepada prinsip Baitulmal dan Pemerintah Aceh berkewajiban untuk menertibkan, mengumpulkan, mengelola, mengawal, dan menggunakan kekayaan Baitulmal tersebut. Perubahan dan penyesuaian kembali BAZIS menjadi Baitulmal seperti yang dimaksud dalam Qanun tersebut mempunyai tujuan supaya institusi zakat dapat melakukan pengelolaan zakat sesuai dengan perkembangan prinsip-prinsip zakat modern. Oleh karena itu, diharapkan nantinya Baitulmal dapat menjadi institusi keuangan negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk membiayai seluruh kepentingan umat Islam. Gagasan ini pada dasarnya berkeinginan untuk mengambil prinsip-prinsip dengan fungsi-fungsi yang pernah dijalankan institusi Baitulmal pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Secara undang-undang, gagasan ini dikuatkan lagi dengan dikeluarkan Qanun Pemerintah Aceh Nomor 7 tahun 2004 mengenai pengelolaan zakat yang telah direvisi termasuk dengan Qanun Nomor 10 Tahun 2010. Qanun ini mengatur tentang zakat secara lebih komperehensif termasuk menentukan jenis-jenis harta yang dikenakan zakat diantaranya kewajiban membayar zakat pendapatan. Dari perkembangan institusi zakat seperti yang disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan harta agama di Indonesia telah mengalami kemajuan yang berarti yaitu dengan telah dimilikinya berbagai undang-undang dan peraturan tentang pengelolaan zakat. Dalam konteks Provinsi Aceh pula secara khusus telah memiliki beberapa undang-undang dan peraturan tersendiri berkenaan masalah zakat ini. Walaupun institusi zakat di Aceh telah memiliki sejumlah landasan yuridis legal tentang pengelolaan zakat tersebut, namun realitasnya bahwa institusi zakat belum mampu secara 122
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
optimal menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Dengan perkataan lain pemberlakuan undang-undang, qanun dan peraturan lainnya itu belum mampu memberdayakan (empowerment) potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, sejauh ini zakat yang dikumpulkan belum mampu menunjukkan peranan yang signifikan dalam memberantas kemiskinan ummat. Realitasnya sebagian besar masyarakat Aceh masih dibelenggu kemiskinan, sampai Maret 2013 tingkat kemiskinan di Aceh masih sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional yaitu sebanyak 17,60% dibanding nasional yang hanya 11,37%. Seharusnya dengan adanya undang-undang, qanun dan peraturan mengenai zakat tersebut telah dapat memacu institusi zakat untuk berperan lebih optimal dalam memberikan dampak yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat penerima zakat. Namun sehingga kini pengelolaan dan perberdayaan zakat di Aceh masih saja didapati masalah, hambatan, dan tantangan yang mempengaruhi kinerja institusi zakat. POTENSI DAN PERMASALAHAN Pembangunan yang dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara yaitu tercapainya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Demikian juga halnya di Aceh, saat ini pembangunan diarahkan dalam rangka pencapaian visi dan misi Pemerintah Aceh periode 2012-2017 di bawah kepemimpinan dr. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (ZIKIR) yaitu untuk mewujudkan Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki. Untuk mencapai tujuan baik secara nasional maupun daerah tersebut, berbagai program pembangunan baik yang bersifat fisik maupun yang berkaitan dengan peraturan perundangan telah dilaksanakan seperti terus menyempurnakan berbagai perundangan yang telah ada. Disisi lain, keberhasilan pembangunan sangatlah tergantung kepada berbagai faktor antaranya kemampuan keuangan daerah terlebih lagi pada era pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Pemerintah daerah perlu melakukan berbagai terobosan untuk mencari sumber keuangannya sendiri sesuai dengan peraturan-peraturan dan undang-undang yang ada supaya dapat memastikan bahwa pembangunan yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, Provinsi Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia pada saat ini telah diberikan wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk menjalankan roda pemerintahan secara khusus yang disebabkan oleh berbagai pertimbangan politik, ekonomi, dan sejarah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kesemua Undangundang tersebut telah memberikan wewenang yang lebih luas kepada Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya termasuk memperluas komponen sumber pendapatan daerah yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan perbelanjaan pemerintahan dan pembangunan. Diantara sumber baru sebagai komponen pendapatan daerah yang diperkenankan oleh undang-undang tersebut adalah hasil pungutan zakat. 123
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan wilayah dengan penduduk Islam yang hampir 100 persen telah menjadikan zakat sebagai salah satu komponen penerimaan daerah disamping hasil pungutan pajak. Sehingga upaya peningkatan pungutan zakat melalui efektifitas dan efesiensi pungutan serta perluasan sumber zakat baru telah menjadi tumpuan dalam melaksanakan pembangunan daerah akhir-akhir ini. Melihat kondisi daerah pada masa ini, sumber zakat yang sangat potensial dijadikan sebagai salah satu primadona untuk meningkatkan pungutan zakat oleh institusi formal pungutan zakat adalah bersumber dari zakat pendapatan. Hal ini disebabkan karena struktur perekonomian Aceh pada saat ini telah mulai menunjukkan peralihan dari sektor pertanian kepada sektor industri dan jasa. Peningkatan persentase kontribusi sektor industri dan jasa terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun kebelakangan ini lebih besar bila dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian. Secara persentase, kontribusi sektor industri dan jasa dari tahun 2003 sampai 2012 meningkat secara rata-rata lebih dari 16 persen pertahun, sedangkan kontribusi sektor pertanian dalam kurun waktu tersebut hanya meningkat sebesar lebih kurang 8-9 persen pertahun, walaupun secara keseluruhan jumlah sumbangan sektor pertanian masih dominan bila dibandingkan dengan sumbangan sektor lainnya terhadap PDRB Aceh. Peningkatan ini adalah sangat beralasan karena jumlah penduduk Aceh yang bekerja di sektor industri dan jasa telah naik secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Potensi yang besar tersebut ternyata masih sangat berbanding terbalik dengan jumlah pungutan yang dapat dikumpulkan oleh Baitulmal sebagai institusi formal pungutan zakat. Walaupun jumlah zakat yang dapat dikumpulkan secara keseluruhan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya seperti yang dipublikasi dalam laporan penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah yaitu jumlah zakat yang dapat dikumpulkan sebanyak Rp. 1,3 milyar pada tahun 2004, turun menjadi Rp. 1 milyar pada tahun 2005, dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya menjadi sebesar Rp. 1,7 milyar pada tahun 2006, Rp. 2,8 milyar pada tahun 2007, Rp. 3,7 milyar pada tahun 2008, Rp. 7 milyar pada tahun 2009 dan sebesar Rp. 9 milyar pada tahun 2010 dan terus meningkat pada tahun 2011 dan 2012. Namun kalau dilihat jumlah pungutan zakat yang disampaikan dalam laporan penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah, ternyata pembayaran zakat pendapatan sejauh ini hanya dominan diperoleh dari pegawai negeri sipil. Itupun tidak seluruh pegawai negeri yang dikategorikan wajib zakat pendapatan membayar melalui Baitulmal dengan berbagai alasan. Sedangkan zakat jasa dari hasil pendapatan lain seperti pegawai swasta, jasa pengangkutan, penghasilan profesi dan lain sebagainya masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan. Beberapa kategori penghasilan masyarakat yang termasuk ke dalam usaha-usaha di sektor jasa yang diwajibkan untuk membayar zakat pendapatan di Provinsi Aceh adalah antara lain: 1) penghasilan dari usaha profesi. Sektor profesi ini diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan kepakaran/keahlian dan menerima imbalan dari jasa yang diberikan; 2) penghasilan dari usaha yang berkaitan dengan institusi keuangan, baik perbankan maupun non perbankan. Sektor usaha ini akan menghasilkan pendapatan berupa penghasilan jasa dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi penyaluran pinjaman; 3) penghasilan dari usaha jasa pengangkutan. Sektor ini dimaksudkan sebagai usaha pemindahan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Imbalan yang diterima dari aktivitas ini baik berupa upah atau ongkos 124
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
dimasukkan ke dalam kategori penghasilan jasa; 4) penghasilan dari usaha jasa kontruksi dan pengadaan barang. Sektor ini akan menghasilkan keuntungan dari proyek yang dibina/dibangun atau barang yang disediakan kepada pemerintah, perusahaan atau orang perseorangan lainnya; 5) penghasilan dari usaha jasa sewa menyewa. Seseorang yang menjalankan aktivitasnya dengan menyewakan sesuatu dan mendapatkan penghasilan dari usaha tersebut; 6) penghasilan dari pendapatan gaji dan upah, baik pegawai negeri, pegawai perusahaan/swasta maupun buruh. Sebenarnya potensi zakat yang sangat besar tersebut bukan saja dalam konteks Aceh, namun secara nasional potensi zakat sebetulnya amatlah besar. Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dari segi kuantitaspun merupakan jumlah umat Muslim terbanyak di dunia, maka Indonesia tentunya mempunyai potensi dana zakat yang sangat besar dan strategis. Apabila dilihat secara kumulatif dari perolehan dana zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) di seluruh Indonesia pada awal tahun 1990-an, dana ZIS yang terkumpul hanya sebesar Rp. 11 milyar, namun pada tahun 2000 meningkat kepada lebih dari Rp. 250 milyar. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk melaksanakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Walaupun potensi zakat demikian besar, dalam realitas yang ada sekarang perolehan zakat dari sumber zakat pendapatan masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan. Padahal kewajiban terhadap zakat pendapatan telah diputuskan wajib melalui fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Aceh sejak tahun 1983. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang antaranya berhubungan dengan kesediaan dan kepatuhan masyarakat pembayar zakat untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal). Bagi Provinsi Aceh, ketidakpatuhan para muzakki untuk membayar zakat melalui Baitulmal merupakan bocoran dari penerimaan daerah karena sumber tersebut merupakan komponen dari pendapatan asli Aceh. Secara institusi pula, Baitulmal Aceh merupakan suatu institusi resmi yang didirikan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitulmal Provinsi Aceh dan selanjutnya dalam Qanun No. 7 tahun 2004 disebutkan dalam pasal 15 bahwa Baitulmal mempunyai tugas antaranya melakukan pendataan muzakki, pengumpulan zakat, pendataan mustahik, dan pengagihan zakat. Selanjutnya Qanun ini direvisi dengan Qanun No. 10 tahun 2007 tentang Baitulmal. Institusi-institusi pengelola harta agama di Provinsi Aceh memang telah berjalan selama beberapa dekade, dengan nama yang telah berganti-ganti pula, namun eksistensinya belum dapat diandalkan secara maksimal dalam mengelola harta agama (Damanhur, 2006). Oleh karena itu, Rusjdi (2003) mengatakan bahwa untuk mencapai institusi zakat yang ideal, perlu adanya penyelesaian terhadap berbagai kendala struktur, teknologi, dan psikologis supaya dapat terwujudnya tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, menurut Marzi (2004) terdapat beberapa kendala yang telah diidentifikasi dalam menjadikan zakat sebagai sumber pendapatan asli Aceh antaranya prestasi lembaga pengelola zakat yang rendah, pemahaman masyarakat yang sempit tentang zakat dan penegakan undang-undang zakat. Secara umum, beberapa kendala, hambatan, dan tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan perolehan zakat termasuklah kurangnya kesadaran wajib zakat untuk menunaikan kewajibannya dan masih sempitnya pandangan masyarakat terhadap konsepsi fiqh zakat. Konsepsi fiqh zakat sangat perlu dikaji ulang karena konsepsi fiqh 125
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
zakat yang ada belum merangkumi segala aspek yang terjadi pada zaman modern ini seperti memperhitungkan tentang dana yang berdaya maju (seperti sektor industri dan pelayanan jasa). Pemanfaatan sistem zakat yang berdaya maju atau al Mal al Mustafad termasuk di dalamnya zakat pendapatan yang berhasil akan berkisar pada tiga persoalan, yaitu; (1) kefahaman dan keyakinan terhadap konsep zakat al Mal al Mustafad ; (2) fatwa/peraturan zakat dan (3) pemerintah/baitulmal/institusi zakat (Mujaini, 2000). Bagi institusi zakat di Indonesia paling tidak ada dua permasalahan yang sampai kini masih dihadapi, yaitu krisis kepercayaan dan profesionalisme (Nirwan, 1999). Disamping itu, secara khusus dalam pengelolaan zakat di Aceh juga terdapat beberapa permasalahan lain yang dihadapi antaranya bahwa pemahaman masyarakat tentang zakat dapat dikatakan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan pemahaman mereka tentang shalat, puasa, dan kewajiban syariat lainnya, konsep fikih zakat yang dipahami dan dipelajari masyarakat pada saat ini dirasakan masih agak sempit sehingga perlu diperluas supaya sesuai dengan kondisi sosiokultural dan dinamika perkembangan perekonomian serta masih adanya kelemahan dalam aspek sumber daya manusia pengelola zakat. Permasalahan-permasalahan ini tentu pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja institusi zakat dalam upayanya untuk memaksimumkan hasil pungutan zakat berdasarkan potensi yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai langkah strategis dalam rangka meminimumkan permasalahan yang ada dan disisi lain akan mampu meningkatkan pungutan zakat sebagai penerimaan daerah yang nantinya akan dapat dipergunakan untuk percepatan pemberantasan kemiskinan di Aceh. BUKTI EMPIRIK Fenomena hasil pungutan zakat yang rendah bila dibandingkan dengan potensi yang ada diantaranya disebabkan karena rendahnya tahap kesediaan masyarakat untuk melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat. Masyarakat cenderung melakukan pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf penerima seperti kebiasaan yang telah mereka lakukan pada masa sebelum adanya peraturan atau qanun yang mewajibkan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Sesuai dengan Qanun Aceh, apabila masyarakat tidak membayar atau mengelak membayar zakat melalui Baitulmal maka hal ini dapat dikatakan sebagai bocoran penerimaan pendapatan daerah karena hasil pungutan zakat telah dijadikan sebagai salah satu komponen penerimaan pendapatan daerah. Oleh karena itu, seandainya pemerintah ingin meningkatkan jumlah perolehan pendapatan daerah melalui pungutan zakat, maka perlu dijalankan berbagai strategi yang efektif di masa yang akan datang. Agar dapat menentukan strategi apa yang sesuai untuk diimplementasikan maka perlu diteliti terlebih dahulu berkenaan dengan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi tingkat kesediaan atau perilaku kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Pembahasan mengenai perilaku kesediaan atau kepatuhan masyarakat sebetulnya merupakan hal yang sangat kompleks, karena ianya menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang penting dan logik apabila diandaikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dalam ilmu-ilmu tersebut mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kepada perilaku kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Sehubungan dengan itu, maka sebelum menentukan mengenai strategi pungutan zakat terlebih dahulu dalam tulisan ini akan dibahas tentang model perilaku kepatuhan 126
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
masyarakat. Model perilaku kepatuhan ini didasarkan pada teori-teori perilaku yang telah dipergunakan dalam mengkaji dan menentukan langkah-langkah pengelolaan perpajakan. Teori-teori ini tentunya perlu disesuaikan dengan prinsip dan kaedah-kaedah Islam, sehingga pengadopsian teori-teori tersebut tidak bertentangan atau akan selaras dengan filosofi mengapa zakat itu wajib. Hal ini penting, karena walaupun zakat dan pajak mempunyai persamaan karena berhubungan dengan kewajiban di bidang harta, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat besar. Berdasarkan falsafah, keduanya sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara kepatuhan zakat dan pajak. Kepatuhan pajak berkaitan dengan kepuasan jasmani (keduniawian) masyarakat sematamata, sedangkan kepatuhan zakat pula tidak saja berkaitan dengan kepuasan jasmani tetapi juga berkaitan dengan ibadah atau kerohanian. Oleh karena itu, model perilaku kepatuhan zakat perlu disesuaikan dengan memasukkan falsafah zakat yaitu sebagai suatu kewajiban yang ditetapkan dalam ajaran Islam. Pembentukan Model Perilaku Kepatuhan Zakat Dalam membentuk model perilaku kepatuhan zakat, akan dikembangkan suatu model berdasarkan kepada model kepatuhan yang telah ada dalam literatur pajak. Langkah pertama adalah melakukan pengembangan secara teoritis ke atas model perilaku kepatuhan pajak yaitu dengan memperhitungkan berbagai aspek dimensi ilmu yang berkaitan dengan perilaku. Hal ini adalah penting karena pembahasan mengenai perilaku kepatuhan masyarakat sebetulnya merupakan hal yang sangat komplek, ianya menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Selanjutnya model yang telah dikembangkan tersebut disesuaikan dengan memasukkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang akhirnya akan diperoleh suatu model kepatuhan masyarakat dalam membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat. Kerangka kerja pembentukan model kepatuhan zakat adalah seperti berikut: Model Perilaku Kepatuhan Pajak
Prinsip dan Nilai-nilai Islam
Model Perilaku Kepatuhan Zakat
(tax compliance (zakat compliance Gambar 1. Kerangka kerja pembentukan model perilaku kepatuhan zakat. model) (Islamic value) model) Model kepatuhan dan ketidakpatuhan (pengelakan) pajak didasari kepada teori ekonomi yang dikenal dengan teori masyarakat rasional (Hite, 1987). Model ini pertama sekali diperkenalkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), kemudian dikembangkan oleh Srinavasan (1973), Yitzhaki (1974), Watanabe (1987), Borck (2004), Hindriks dan Myles (2006), Chorvat (2007), Galbiati dan Zanella (2008) dan Tuzova, Y (2009). Berdasarkan teori masyarakat rasional, bahwa masyarakat pembayar pajak akan memaksimumkan kepuasannya dengan kendala kepada biaya yang perlu dikeluarkan dalam pembuatan sesuatu keputusan apakah dia patuh atau mengelak dalam membayar pajak. Biaya yang terlibat ditimbulkan oleh faktor denda dan kemungkinan ditangkap oleh pihak berwajib. Pembayar pajak akan melihat tindakan pengelakan pajak yang mereka lakukan dari sudut keuntungan atau kerugian yang bakal mereka peroleh yang bermakna bahwa keputusan yang diambil turut melibatkan resiko berupa hukuman atau denda (Allingham & Sandmo, 1972; Srinivasan, 1973). 127
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Untuk memaksimumkan kepuasannya, pembayar pajak akan melaporkan pendapatan mereka dalam jumlah serendah mungkin ataupun tidak melaporkan sama sekali, tindakan itu berhadapan dengan resiko kemungkinan dapat diketahui dan dihukum/didenda oleh pihak berwajib. Apabila tindakan pengelakan pajak yang dilakukan tidak diketahui dan ditangkap oleh pihak berkuasa maka pembayar pajak akan terus melakukan pengelakan pajak. Sebaliknya, apabila kelakuannya dapat dideteksi dan ditangkap maka pembayar pajak akan mengalami kerugian karena penalti atau denda yang terpaksa dibayar kepada pemerintah. Berdasarkan model yang dibentuk oleh Allingham dan Sandmo (1972), pembayar pajak akan memilih apakah membayar atau mengelak membayar pajak dengan prediksi kepuasan yang maksimumnya sebagai berikut: E(U) = ( 1 – p ( w – x )) U( Ync ) + p ( w – x ) U( Yc ) Di mana, U (Ync) adalah kepuasan yang diperoleh dari pendapatan Y dengan asumsi bahwa pengelakan pajak tidak dapat dideteksi atau ditangkap dan U (Yc) adalah kepuasan pembayar pajak apabila ianya dapat didekteksi dan ditangkap/dikenakan denda, dan p (w – x) adalah kemungkinan dapat diketahui oleh pihak berwajib. Apabila w adalah pendapatan aktual (actual income), x adalah pendapatan yang dinyatakan (declared income), t adalah kadar pajak yang dikenakan dan F adalah penalty/hukuman yang dikenakan, maka kendala untuk pemaksimuman kepuasan atau maksimum utiliti pembayar pajak akan dapat ditulis persamaan sebagai berikut: Ync = w – t(x) Yc = ( 1 – t ) w – F t ( w – x ) Dengan memasukkan persamaan (2) dan (3) sebagai kendala (constraint) ke dalam persamaan (1), maka diperoleh persamaan berikut : Max E(U) = [( 1–p(w–x) ) U ( w–t(x) )] + [p(w–x) U ( w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )] Max E(U) = [ (U (w–t(x) ) – p(w–x) U (w–t(x) ) ] + [ p(w–x) U (w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )] Di mana, F ( t(w)-t(x) ) adalah merupakan total penalti/denda yang akan dikenakan apabila perbuatan mengelak pajak dapat diketahui. Dengan demikian, dari persamaan (4) atau (5), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut:
E(U) = [- (1-p) U’ [w-t(x)] t’(x)] + [p U’ [(1-t)w-Ft(w-x)] (F) t’(x)] = 0 (X) atau dapat ditulis;
pU ' (Y c ) = (F) 1 pU ' (Y nc ) Dari persamaan (7) dapat didefinisikan bahwa kemungkinan masyarakat mengelak membayar pajak kepada pemerintah (
pU ' (Y c ) ) adalah tergantung kepada beban 1 pU ' (Y nc )
hukuman/penalti (F) yang akan dikenakan apabila perbuatan mengelak pajak yang dilakukan dapat diketahui dan diambil tindakan oleh pemerintah. Selanjutnya, Watanabe (1987) telah mengembangkan persamaan (7) ini dengan menambah beberapa variabel 128
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
yang relevan seperti memasukkan variabel biaya yang dikeluarkan dalam melakukan pengelakan pajak (r). Dengan demikian, persamaan (7) dapat ditulis menjadi:
pU ' (Y c ) = (F + r) 1 pU ' (Y nc ) Untuk memenuhi persyaratan fungsi yang maksimum, maka Second Order Conditions dari persamaan (6) dapat ditulis sebagai berikut :
2 E(U) (X) 2
= ( 1 – p ) { U”[Ync] ( t’(x) )2 - U’[Ync] t”(x) } + p { U”[Yc] ( (1-F) t’(x) )2 - U’[Yc] (F-1) t”(x) } < 0
Dari persamaan (6) hingga (8), diperoleh bahwa kepuasan maksimum bagi masyarakat yang melakukan pengelakan pajak dengan menyatakan pendapatan (declared income = x) yang lebih rendah daripada pendapatan aktual (actual income = w) atau [Ync = w – t(x)] adalah tergantung kepada seberapa besar total beban hukuman/penalti yang dikenakan {F(t(w)-t(x))} jika perbuatannya diketahui dan juga seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan bagi melakukan pengelakan pajak tersebut. Masyarakat dikatakan akan patuh membayar pajak apabila ia merasa beban penalti yang diterima adalah lebih berat sehingga menurunkan tingkat kepuasannya, demikian juga sebaliknya apabila total beban hukuman/penalti yang diterima lebih ringan maka masyarakat cenderung akan mengelak membayar pajak. Apabila hal ini dikaitkan dengan permasalahan kepatuhan dan ketidakpatuhan (pengelakan) zakat (baca = kepada institusi formal/baitulmal), maka sebetulnya pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada beban fisik atau materi seperti beban hukuman/penalti dalam model pengelakan pajak semata-mata, tetapi lebih menyeluruh/komperehensif yang mencakup materi atau fisik dan juga mental atau kerohanian. Hal ini disebabkan karena zakat merupakan perintah agama yang secara konseptual merupakan satu entitas yang berbeda dengan pajak. Oleh karena itu, adalah logik apabila kita menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pematuhan dan pengelakan zakat perlu dibahas secara luas yang mencakup serta memperhitungkan faktor fisik/materi, mental, spiritual atau prinsip-prinsip agama sekaligus. Justru itu, kita perlu mengembangkan pemikiran teoritis untuk membentuk suatu model konseptual kepatuhan zakat berlandaskan teori-teori perilaku baik dari aspek ekonomi, sosiologi maupun psikologi yang telah ada dengan menyesuaikan dan memasukkan prinsip-prinsip Islam yang lebih luas. Landasan Teori Model Perilaku Kepatuhan Zakat Model pengelakan pajak yang telah dibahas diatas berlandaskan kepada teori rasional dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan teori tersebut, bahwa prinsip rasional hanya diasaskan kepada kepuasan fisik/materi (keduniawian) saja. Rasionalisme didefinisikan sebagai suatu proses memaksimumkan sesuatu kehendak berdasarkan kepada satu set kendala (constraint). Definisi seperti ini menurut Kahf (1983) perlu ditafsirkan kembali jika istilah yang sama ingin dipergunakan dalam ilmu ekonomi Islam karena istilah tersebut masih agak kabur sebab sebarang masalah bisa dirasionalkan dengan merujuk kepada satu set aksiom atau prinsip tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip Islam maka asas kepada rasional sememangnya bukan saja kepuasan fisik tetapi juga kepuasan 129
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
rohani. Terlebih lagi yang berkaitan dengan zakat yang merupakan ibadah atau perintah agama. Untuk memahami konsep rasionalisme bagi masyarakat Muslim, maka ruang lingkup kehidupannya untuk menikmati kepuasan perlu diperluas kepada dua dimensi, yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Apapun tindakannya akan memberi pengaruh kepada kesejahteraan atau kebajikannya dalam kedua-dua alam kehidupan tersebut. Maka perilakunya dalam memilih suatu bentuk keputusan yang bisa mencapai satu tingkat tertinggi nilai kini kepuasan (present values of his satisfaction) melalui kebajikan kehidupan dunia dan akhirat (Kahf, 1995). Dengan demikian, masyarakat Muslim masih bertindak secara rasional apabila ia melepaskan sebagian penggunaan pribadi atau penggunaan ekonominya demi membelanjakan hartanya untuk kepentingan masyarakat dan agama Islam. Ia rela berbuat demikian untuk meningkatkan kepuasannya yang lebih menyeluruh yaitu kepuasan yang merangkumi kepuasan fisik (materi) dan kepuasan rohani. Bukti orang-orang Islam mencari jalan untuk memaksimumkan kepuasan fisik/materi dan juga kepuasan kerohanian telah difirmankan oleh Allah S.W.T di dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 201, yang bermaksud; “Dan di antara mereka pula ada yang (berdoa dengan) berkata : Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab Neraka”. Dengan demikian, dalam memaksimumkan kepuasannya, selain faktor eksternal seperti pemberlakuan undangundang (qanun) dengan mencantumkan denda dan penalti yang jelas dan tegas, seorang Muslim juga tidak terlepas dengan pengaruh faktor internal seperti keimanan dan moral (akhlak). Hal ini juga selaras dengan teori kognitif dalam ilmu psikologi dan perspektif normatif dalam ilmu sosiologi, kedua teori ini menyatakan bahwa faktor penentu kepatuhan adalah tergantung kepada keadilan dan moral pribadi seseorang. Selanjutnya dari aspek sosiologi, antara faktor yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat dikatakan karena pengaruh lingkungan. Teori ilmu sosiologi yang berkaitan dengan aspek perilaku dikenal dengan Reference Group Theory. Menurut Cartwright dan Zander (1968), Reference Group Theory didefinisikan sebagai suatu kelompok (group) yang dijadikan referensi atau rujukan oleh para anggotanya dalam berkelakuan terhadap sesuatu hal. Menurut teori ini, masyarakat yang menjadi anggota kelompok akan berusaha untuk mempertahankan keanggotaannya dengan mengikuti perilaku kelompok yang dijadikan rujukannya. Selanjutnya, Spicer dan Lundstedt (1976) menyatakan bahwa adalah logik untuk menganggap hubungan seseorang dengan masyarakat di lingkungannya atau masyarakat lain seperti sahabat, saudara, rekan sekerja, dan kenalan sebagai bagian dari kelompok rujukan pembayar pajak. Dalam konteks ini, pematuhan atau pengelakan pajak oleh seseorang akan terjadi apabila kelompok yang dijadikan referensi oleh masyarakat tersebut membenarkan berlakunya pematuhan atau pengelakan pajak (Vogel, 1974; Wallschutzky, 1984; Weigel, et al,. 1987). Bagi masyarakat Muslim, standar dalam kelompok rujukan perlu diperhitungkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam. Apabila standar dalam kelompok rujukan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam atau syariah maka sepatutnya standar tersebut tidak akan dijadikan rujukan oleh anggota kelompok tersebut. Justru itu, faktor kefahaman, kepercayaan dan keimanan akan menentukan perilaku kepatuhan seseorang apakah mengikuti kelompok maupun tidak. 130
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
Dari sisi ilmu psikologi pula, teori yang sering dipergunakan dalam menentukan perilaku pematuhan dan pengelakan pajak adalah Teori Pertukaran (Exchange Theory). Teori pertukaran berdasarkan kepada pertimbangan psikologi manusia yang terpengaruh oleh prediksi kompensasi yang akan diperoleh dari keputusan yang dibuat. Dikatakan perilaku pembayar pajak mempunyai hubungan yang erat dengan prediksi kompensasi yang akan diterima dari pemerintah sebagai bentuk pengorbanan atas sebagian dari pendapatan mereka untuk menjalankan tanggungjawab membayar pajak. Kompensasi ini berupa penyediaan fasilitas umum oleh pemerintah dari hasil pajak yang dipungut. Dalam hal ini, masyarakat pembayar pajak menginginkan pemerintah bertingkahlaku efektif, efesien, transparan, dan bijak dalam membelanjakan uang mereka, sedangkan pemerintah pula perlu menjaga tingkat kepuasan pembayar pajak sehingga mereka terus patuh kepada undang-undang perpajakan. Jika harapan pembayar pajak tidak terwujud, maka pembayar pajak tidak akan meneruskan hubungan pertukaran sehingga mereka akan mengelak dari membayar pajak. Apabila teori ini diperluas dengan memasukkan prinsip-prinsip agama sememangnya kompensasi atau ganjaran yang diharapkan sebagai balasan dari kesediaan masyarakat mengorbankan sebagian hartanya seperti untuk membayar zakat bukan saja berupa ganjaran fisik (material) keduniawian tetapi juga berupa ganjaran kerohanian (pahala) yaitu untuk mencapai al-falah. Hal semacam ini juga diakui oleh pemikir-pemikir konvensional yang menyatakan bahwa ciri utama kelakuan bermoral didorong oleh faktor internal yang tidak menghiraukan balasan material pada diri sendiri. Antara ciri kelakuan bermoral juga berupa pengorbanan dan kesanggupan mengetepikan kesenangan (denial of pleasure) demi mempertahankan prinsip moral berkenaan (Kamil, 2002). Dalam Islam, pengekangan kesenangan dan pengorbanan harta benda dan jiwa raga semata-mata hanya untuk mendapatkan ganjaran yang dijanjikan oleh Allah SWT. Firman Allah dalam surah Ash-Shaff, ayat 11-12 yang bermaksud “(iaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika Mengetahui (11). Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar (12)”. Dalam teori psikologi yang lain, perilaku pematuhan dan pengelakan pajak juga dikatakan dipengaruhi oleh kefahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap bidang berkenaan. Apabila masyarakat telah memahami dan mempunyai pengetahuan tentang pajak baik mengenai fungsi maupun kegunaan pajak yang dibayarkan, maka akan mempengaruhi psikologi masyarakat dalam meningkatkan kepatuhannya untuk membayar pajak. Hal seperti ini dikenal sebagai Teori Penyumbang (Attribution Theory). Menurut Hite (1987), asumsi yang digunakan dalam teori penyumbang adalah bahwa masyarakat biasanya akan menginterpretasi dan menganalisa sesuatu kejadian secara rasional untuk memahami struktur penyebab kejadian tersebut. Penyebab berlakunya sesuatu kejadian memainkan peranan penting dalam menentukan reaksi dan perilaku masyarakat terhadap sesuatu kejadian (Arrington dan Reckers, 1985). Dengan arti kata lain, sikap yang terbentuk dari pengetahuan dan pemahaman kepada faktor-faktor dilingkungannya akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak apakah mematuhi atau mengelak melakukan sesuatu. Berdasarkan beberapa teori perilaku seperti yang telah disebutkan di atas, maka apabila kita membahas mengenai perilaku kepatuhan niscaya kita tidak bisa hanya 131
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
mengedepankan satu aspek ilmu pengetahuan saja. Perilaku kepatuhan berkaitan erat antara beberapa disiplin ilmu seperti ekonomi, sosiologi, dan juga psikologi. Oleh yang demikian, maka perilaku kepatuhan zakat diyakini dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks. Justru itu, perlu dibentuk suatu model konseptual berpandukan permasalahan dan teori-teori perilaku dalam literatur di atas. Dari uraian mengenai teori perilaku yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada hukuman jika adanya pemberlakuan undang-undang (qanun) dengan adanya ancaman hukuman, tetapi juga tergantung kepada berbagai faktor lain seperti komitmen kepada agama/keimanan (Iman), kefahaman/pengetahuan tentang zakat, kemudahan mekanisme pembayaran yang disediakan oleh institusi formal pungutan zakat, kepercayaan kepada institusi formal pungutan zakat, persepsi sistem pajak (sistem pajak yang masih memberatkan pembayar zakat karena beban ganda), dan pengaruh lingkungan. Faktorfaktor tersebut diprediksi akan mempengaruhi perilaku masyarakat apakah membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), membayar zakat secara langsung kepada asnaf penerima ataupun tidak membayar kepada pihak manapun. Dengan demikian, apabila model pengelakan pajak dalam persamaan (1) dimodifikasi dengan menambah serta memasukkan beberapa variabel yang telah diidentifikasi tersebut, maka dapat dibentuk suatu model persamaan pematuhan dan pengelakan zakat kepada institusi formal pungutan zakat sebagai berikut: E(U) = [ 1 – ρ (α - z(α)) U(Ztb ) ] + [ ρ (α - z(α)) U(Zb) ] Dimana, U(Ztb) adalah kepuasan yang diperoleh apabila tidak membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat dan U(Zb) adalah kepuasan pembayar zakat apabila melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), ρ(αz(α)) adalah kemungkinan membayar zakat melalui Baitulmal, α adalah jumlah pendapatan wajib zakat, z adalah kadar zakat dan z(α) adalah jumlah zakat yang dikeluarkan kepada Baitulmal. Dengan demikian, apabila ρ(α-z(α))=0 berarti bahwa masyarakat tidak membayar zakat melalui Baitulmal tapi ada kemungkinan membayar zakat melalui saluran lainnya atau tidak membayar zakat sama sekali. Selanjutnya apabila faktor yang telah diidentifikasikan dalam model konseptual di atas yaitu faktor pemberlakuan undang-undang/qanun (β1); komitmen kepada agama/keimanan (β2); kefahaman/pengetahuan zakat (β3); kemudahan mekanisme pembayaran (β4); kepercayaan kepada institusi formal pungutan zakat (β5); persepsi sistem pajak (β6); dan pengaruh lingkungan (β7); dimasukkan ke dalam model, maka kendala dalam pemaksimuman kepuasan masyarakat pembayar zakat melalui institusi formal adalah seperti persamaan berikut: Zb = α – z (α) Ztb = ( 1 – z ) α – ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)( α – z (α))) Atau persamaan (10) dapat ditulis; Max E(U) = [1–ρ(α-z(α)) U [(α–z(α)) - ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z (α))) ] + [ ρ (α - z(α)) U(( 1 – z ) α ]
132
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
Di mana, β1 ; β2 ; β3 ; β4 ; β5 dan β6 merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk patuh atau mengelak membayar zakat melalui Baitalmal. Dengan demikian, dari persamaan (13), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut :
E(U) = {[ -( 1 – ρ ) U ’ ( α – z(α) ) – [ [((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z ( ) (α)))]. (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)]z’(α)} + {ρ U’(1-z)α – z’(α)} = 0 atau, { ρ U’ [Zb] z’(α) } = {( 1 – ρ ) U’ [Ztb] (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7) z’(α) } Dengan bentuk lain, persamaan (15) dapat ditulis sebagai berikut :
U ' (Zb ) 1 U ' ( Z tb ) Di mana,
= (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)
U ' (Z b ) 1 U ' (Z tb)
adalah kemungkinan masyarakat membayar zakat melalui
institusi formal pungutan zakat (Baitulmal) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya. Bentuk kemungkinan seperti ini, yaitu apakah seseorang membayar zakat melalui institusi formal atau Baitulmal (Zb) maupun tidak membayar melalui Baitulmal (Ztb) atau membayar melalui saluran lain seperti membayar secara langsung kepada asnaf penerima, melalui ulama ataupun melalui institusi non formal seperti melalui pengurus mesjid-mesjid, maka dapat dianalisis dengan menggunakan metode regresi logistik multinomial. Model logit dengan variabel bebas yang banyak seperti diatas telah pernah dipergunakan oleh Gaiha (1985) dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di India. Model dalam persamaan 16 juga dikembangkan dengan memasukkan beberapa variabel demografi yang dianggap mempengaruhi variabel terikat seperti jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan responden. Analisis Model Empiris Sebelum dilakukan analisis terhadap model kepatuhan dan pengelakan zakat, terlebih dulu dilakukan pilot test untuk menguji apakah konstruk yang dibuat telah reliabel dan valid. Hasil Uji reliability dan validity terhadap setiap konstruk yang dibuat dalam penelitian ini menunjukkan nilai Crombach Alpha berkisar antara 0,616 hingga 0,870. Nilai Crombach Alpha ini merupakan petunjuk bagi kaedah internal consistency yaitu nilai derajat interkorelasi antara satu item dengan item lain dalam mengukur variabel yang sama. Semakin tinggi nilai Crombach Alpha semakin tinggi tingkat korelasi antara satu item dengan item lainnya dalam suatu konstruk variabel berkenaan. Dengan demikian, hasil pilot test mengenai reliability tersebut yang diuji dapat disimpulkan pada tahap yang bisa diterima (≥ 0,60) hingga sangat baik (≥ 0,80). Selanjutnya, mengenai uji validity terhadap setiap variable dalam konstruk diperoleh nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) antara 0,554 hingga 0,818 dan semua konstruk melewati ujian Bartlett’s test of sphericity yang berarti bahwa matrik korelasi adalah bukan matrik identitas. Hal ini dapat dilihat pada nilai Chi-square yang tinggi antara 133
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
41,079 dan 1426,163 dengan tahap yang signifikan (sig=0,000). Nilai KMO yang demikian menandakan bahwa ukuran kecukupan persampelan berada pada kisaran bisa diterima/biasa (≥ 0,50) hingga membanggakan (≥ 0,80). Namun secara umum, nilai KMO berada pada tingkat lebih dari biasa (sekitar 0,70). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan analisis faktor untuk menguji validitas konstruk adalah sesuai dan ukuran kecukupan sampel adalah mencukupi. Dengan demikian, selanjutnya dilakukan analisis faktor dengan menggunakan prosedur Principal Component Analysis (PCA) dan varimax rotation. Dari analisis faktor diperoleh bahwa semua konstruk mempunyai dimensi/faktor komponen lebih dari satu, yaitu antara dua hingga tiga dimensi, kecuali variabel β2. Namun berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan kaedah analisis korelasi pair-wise diperoleh bahwa konstruk-konstruk tersebut mempunyai korelasi yang signifikan di antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Dengan demikian, walaupun semua variabel mempunyai lebih dari satu dimensi/komponen, namun konstruk tersebut masih berada dalam konsep dasar. Oleh karena itu, maka model yang dibuat (persamaan 16) dapat diuji dengan menggunakan regresi logistik multinomial. Sebelum uji penuh dengan analisis regresi logistic multinomial dilakukan terhadap model yang dibuat, maka terlebih dulu dilakukan uji klasifikasi untuk variabel terikat yang telah ditentukan dalam model tersebut. Hal ini penting untuk memastikan apakah pengklasifikasian tersebut telah sesuai ataupun tidak sehingga analisis regresi logistic multinomial dapat dilakukan terhadap model. Pengklasifikasian pembayaran zakat ditentukan berdasarkan kepada lima item yang biasa digunakan sebagai saluran pembayaran zakat oleh masyarakat Aceh dalam rangka menunaikan kewajiban zakatnya, yaitu angka 1 diberikan untuk masyarakat yang tidak membayar zakat, angka 2 diberikan untuk masyarakat yang membayar secara langsung kepada asnaf penerima, angka 3 diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui ulama atau pemuka agama setempat, angka 4 diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui pengurus mesjid atau organisasi non formal, angka 5 diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui Baitulmal. Hasil uji pengklasifikasian secara keseluruhan (overall classification result) terhadap konstruk variabel terikat menunjukkan pengklasifikasian item variabel terikat tersebut tidak sesuai. Dengan kata lain, hasil penelitian menunjukkan analisis regresi logistik multinomial tidak sesuai digunakan untuk menguji model yang telah dibuat. Persentase benar (percent correct) dari klasifikasi item pembayaran zakat di Aceh yang mempunyai persentase tertinggi hanyalah pada item pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf (83,7%) dan item pembayaran melalui Baitulmal (32,1%). Sedangkan item tidak membayar zakat, bayar melalui ulama atau pemuka agama dan bayar melalui institusi non formal mempunyai nilai percent correct yang kecil, yaitu masing-masing 5,7% dan 0,0%. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pengklasifikasian ulang terhadap item konstruk tersebut yaitu 3 item yang persentase betulnya kecil akan diklasifikasikan kembali dengan memasukkan ke dalam satu kategori jawaban yaitu tidak membayar melalui Baitulmal sehingga variabel terikat hanya terdapat 2 item jawaban yaitu 1 bagi 134
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
yang membayar melalui Baitalmal dan 0 bagi yang tidak membayar melalui Baitulmal. Oleh karena itu, regresi logistik yang sesuai digunakan untuk menganalisis model kepatuhan dan pengelakan zakat adalah regresi logistik binomial. Analisis Regresi Logistik Binomial Untuk menganilisis regresi logistik binomial digunakan data sebanyak 452 responden yaitu individu yang telah wajib zakat pendapatan berdasarkan qanun Aceh. Hasil uji terhadap model prilaku kepatuhan zakat dengan menggunakan skor tunggal untuk masing-masing variabel diperoleh bahwa model yang diuji mempunyai kebagusan padanan dengan data. Secara keseluruhan hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas diperoleh pada tingkat yang agak rendah, yaitu dengan nilai cox and snell (R2 = 0,202) dan nagelkerke (R2 = 0,278). Selanjutnya, nilai chi-square pada uji Hosmer and Lemeshow diperoleh sebesar 4,731 (df=8) yaitu dengan nilai signifikan (sig. 0,786). Adapun hipotesis yang dibentuk terhadap uji Hosmer and Lemeshow adalah; hipotesis null; bahwa tidak terdapatnya perbedaan di antara data empiris dengan model penelitian dan hipotesis alternatifnya adalah bahwa terdapatnya perbedaan di antara data empiris dengan model penelitian. Di samping itu, model yang diuji juga dapat menprediksi ramalan hasil pada tingkat yang agak tinggi yaitu lebih daripada 70 persen. Ini dapat dilihat pada tabel klasifikasi yang menunjukkan tingkat ramalan betul secara keseluruhan (Overall Percentage) mengenai kepatuhan adalah 73,90 persen. Setelah diuji model berkaitan dengan kebagusan padanan dan keterkaitan antara variabel terikat, selanjutnya dilakukan analisis regresi logistik terhadap model. Hasil analisis regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel. 1. Hasil analisis regresi logistik model perilaku kepatuhan zakat β
S.E.
Jenis Kelamin DU1 DU2 DU3 DU4 Pendidikan DP1 DP2 DP3 DP4 β1 β2 β3 β4 β5 β6 β7 Constant
Wald **)
-.491 1.215***) .497*) .268 -.754 -.193*) -.786**) -.481 -.307 -.849 .410**) .232*) -.903***) .312*) .057 -.904***) .599***) 1.295
df .236 .277 .284 .335 .664 .116 .392 .426 .511 .617 .205 .135 .250 .177 .195 .227 .186 1.397
Sig. 4.320 19.210 3.061 .641 1.292 2.777 4.025 1.276 .361 1.895 4.019 2.959 13.025 3.111 .086 15.859 10.371 .859
Exp(β) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
.038 .000 .080 .423 .256 .096 .045 .259 .548 .169 .045 .085 .000 .078 .769 .000 .001 .354
.612 3.371 1.644 1.307 .470 .824 .456 .618 .735 .428 1.508 1.261 .405 1.366 1.059 .405 1.821 3.650
*) signifikan pada α<10%; **) signifikan pada α<5% dan ***) signifikan pada α <1%. 135
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik terhadap model yang telah dibentuk diperoleh bahwa variabel demografi (jenis kelamin, dummy umur (DU), tingkat pendidikan dan tingkat pengeluaran/dummy perbelanjaan/DP responden), variabel keimanan, kemudahan fasilitas, persepsi sistem pajak, pengetahuan dan pengaruh lingkungan mempengaruhi perilaku pematuhan zakat dengan tingkat signifikansi antara α <1% hingga α <10%. Jenis kelamin responden memberi pengaruh yang berbeda kepada kepatuhan zakat. Tingkat kepatuhan perempuan adalah lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan signifikan pada aras 5%, yaitu dengan nilai koefisien jenis kelamin menunjukkan tanda negatif (0,491). Yang bermakna bahwa peningkatan nilai ke arah 1 (laki-laki) menyebabkan berkurangnya log nisbah “odds” kemungkinan kepatuhan zakat. Berkaitan dengan umur responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang lebih muda mempunyai tahap kesediaan dan kepatuhan yang agak baik untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Sepatutnya, peningkatan umur responden akan dapat meningkatkan kefahaman dan kesediaan membayar zakat. Namun, kenyataannya di Aceh, mereka yang lebih berumur lebih tinggi kecenderungannya membayar zakat secara langsung kepada asnaf. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak sebelum pemberlakuan qanun zakat. Sehingga pemahaman mereka cenderung menurut kelaziman atau kebiasaan yang telah mereka lakukan selama ini. Pemahaman ini perlu diperbetulkan dengan memberikan pendidikan secara kontinu terutama mengenai kelebihan-kelebihan apabila zakat dibayarkan dan diuruskan oleh institusi formal pungutan zakat. Demikian juga mengenai tingkat pendidikan, lazimnya semakin meningkatnya tahap pendidikan seseorang maka akan semakin meningkat pula pengetahuan atau kefahaman seseorang terhadap sesuatu. Dengan demikian akan berpengaruh kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu tindakan dan mengambil keputusan. Terlebih lagi tindakannya dalam mematuhi undang-undang. Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, hubungan antara tahap pendidikan responden dengan kepatuhan zakat pendapatan adalah negatif. Ini bermakna bahwa masyarakat yang berpendidikan lebih cenderung membayar zakat secara langsung kepada asnaf penerima ataupun melalui saluran lain dibandingkan dengan membayar melalui Baitulmal. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan dan juga disebabkan kebiasaan masyarakat Aceh yang membayar zakat secara langsung kepada asnaf. Variabel indeks nilai agama/keimanan dalam penelitian ini diukur berdasarkan formula yang dibentuk oleh Naziruddin dan Shabri (2002) kemudian dimodifikasi dengan mengklasifikasikan dalam bentuk skala likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat keimanan seseorang semakin cenderung seseorang membayar zakat baik melalui institusi formal maupun secara langsung kepada asnaf penerima zakat. Dengan keimanan yang tinggi, masyarakat sememangnya patuh untuk membayar zakat dan ianya dapat meningkatkan kesediaannya untuk membayar melalui Baitulmal. Hasil penelitian tentang variabel undang-undang (qanun) menunjukkan bahwa faktor qanun zakat berhubungan secara positif dan signifikan pada α<5% terhadap perilaku kepatuhan zakat. Dengan demikian, pemberlakuan undang-undang (qanun) zakat tersebut sangat perlu dalam menentukan kepatuhan membayar zakat, dengan adanya pemberlakuan qanun maka masyarakat akan menyadari bahwa zakat merupakan suatu kewajiban serta tanggungjawab terhadap agama dan sosial yang harus ditunaikan oleh warganegara dan ianya mesti dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan lagi pungutan zakat di Aceh perlu menjalankan qanun 136
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
zakat secara penuh, lebih tegas dan jelas serta konsisten karena qanun ini merupakan salah satu faktor penentu kepatuhan zakat di Aceh. Pengaruh faktor kefahaman atau pengetahuan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah signifikan dan bertanda negatif. Kedudukan koefisien yang negatif ini disebabkan oleh beberapa faktor antaranya bahwa sebagian besar responden yang memahami dan berpengetahuan tentang zakat baik dari segi konsep, pensyariatan, dan peranannya dan pada waktu yang sama juga menunaikan kewajiban pembayarannya melalui saluran lainnya seperti membayar secara langsung kepada asnaf penerima yang telah lazim dilakukan sebelum pemberlakuan qanun zakat. Hal ini juga disebabkan bahwa masyarakat wajib zakat di Aceh masih bebas memilih apakah membayar zakat melalui institusi formal ataupun membayar secara langsung kepada asnaf. Walaupun ini bertentangan dengan qanun, namun disebabkan tiadanya penegakan yang tegas dan jelas terhadap qanun zakat maka masyarakat muslim masih bebas untuk memilih saluran pembayaran zakat. Disamping itu, pembayaran zakat yang mereka lakukan pada masa ini lebih bergantung kepada faktor tanggungjawab mereka terhadap ajaran agama. Umumnya masyarakat Aceh memahami bahwa zakat adalah antara rukun Islam yang wajib ditunaikan tidak mesti melalui institusi formal tetapi juga bisa secara langsung kepada asnaf penerima. Terlebih lagi penegakan qanun zakat dengan adanya ancaman denda di Aceh masih banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya. Selanjutnya, dari analisis regresi logistik diperoleh hasil penelitian mengenai pengaruh faktor kepercayaan kepada Baitulmal terhadap kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui institusi tersebut adalah positif, namun tidak signifikan. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menganggap bahwa Baitulmal adalah sama seperti institusi non-formal lainnya yang telah dibentuk sebelumnya. Sehingga mereka umumnya tidak begitu melihat mengenai kepengurusan Baitulmal, sebaliknya mereka tetap melakukan pembayaran zakat seperti kebiasaan sebelum dibentuknya Baitulmal sebagai institusi formal pungutan zakat, yaitu kecenderungannya untuk membayar secara langsung kepada asnaf. Dengan demikian, tidak timbulnya persoalan kepercayaan kepada institusi formal yang mempengaruhi masyarakat untuk membayar zakat melalui institusi formal tersebut secara signifikan. Namun faktor kepercayaan ini tetap mempengaruhi secara positif. Oleh karena itu, pengurus Baitulmal diharapkan untuk selalu meyakinkan masyarakat bahwa pengelolaan zakat oleh institusi tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna melalui berbagai kebijakan yang transparan, jujur, adil, seksama, dan mematuhi rambu-rambu syariat Islam. Faktor kemudahan mekanisme pembayaran zakat yang disediakan oleh institusi formal pungutan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah positif dan signifikan pada α<10%. Ini berarti bahwa faktor kemudahan pembayaran zakat merupakan faktor penting bagi masyarakat dalam melakukan pembayaran zakat melalui Baitulmal. Kemudahan yang disediakan oleh Baitulmal seperti skim pemotongan gaji bagi pegawai negeri telah meningkatkan kesediaan mereka untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Rendahnya pungutan zakat melalui Baitulmal pada waktu ini antaranya disebabkan kemudahan pembayaran zakat seperti penggunaan sistem pembayaran zakat secara online yang belum tersedia dan juga konter-konter pungutan zakat yang masih sangat terbatas Dengan demikian, maka untuk meningkatkan pungutan zakat hal ini perlulah menjadi perhatian yang serius dan diharapkan pengurus Baitulmal dapat lebih proaktif lagi di masa mendatang. 137
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Faktor selanjutnya adalah persepsi terhadap sistem pajak. Hubungan faktor persepsi sistem pajak dengan kepatuhan zakat adalah bersifat negatif dan signifikan. Sistem pajak yang sekarang berlaku di Indonesia dikatakan masih membebankan para pembayar zakat, karena dapat menjadi beban ganda (double duty) ataupun bayaran ganda (double payment) bagi pembayar zakat. Apabila sistem rebate terhadap pajak bagi zakat yang telah dikeluarkan dapat dioptimalkan maka akan merubah persepsi beban ganda (double duty) ataupun bayaran ganda (double payment) sehingga akan lebih meningkatkan lagi kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal. Demikian juga pengaruh faktor lingkungan ternyata berhubungan secara positif dan signifikan terhadap kepatuhan pembayaran zakat pendapatan. Secara spesifik, faktor lingkungan belum pernah diteliti secara mendetail dalam penelitian-penelitian terdahulu berkaitan dengan kepatuhan zakat. Pembentukan variabel ini berdasarkan Reference Group Theory dalam bidang ilmu sosiologi. Ternyata, secara empiris di Aceh bahwa dalam membayar zakat melalui Baitulmal, pandangan kelompok referensi/rujukan seperti sahabat, saudara, rekan sekerja dan kenalan mengenai persepsi mereka terhadap pembayaran zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat mempengaruhi masyarakat wajib zakat untuk melaksanakan pembayaran melalui institusi berkenaan. Apabila pengaruh lingkungannya postif, maka kecenderungan kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat adalah meningkat, demikian juga sebaliknya. STRATEGI MENINGKATKAN PUNGUTAN ZAKAT Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka setidaknya ada beberapa langkah penting dan strategis yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan pendapatan daerah melalui pungutan zakat oleh institusi formal (Baitulmal) yang dapat dipergunakan untuk mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh, yaitu antara lain: 1) berkenaan dengan faktor demografi, maka perlu dilaksanakannya konsep-konsep tarbiyah dengan pendekatan yang lebih intensif untuk memberi pemahaman yang benar tentang kewajiban zakat. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kelebihan-kelebihan termasuk efektifitas apabila zakat yang mereka salurkan diurus oleh institusi formal pungutan zakat (Baitulmal). Dengan demikian akan mengakibatkan masyarakat akan bersedia dan patuh untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat; 2) berkenaan dengan faktor keimanan, maka perlu dilakukan berbagai langkah yang dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan individu wajib zakat. Peningkatan keimanan seseorang dapat dilakukan melalui pendidikan agama. Oleh yang demikian, maka sudah sewajarnya setiap individu terus memperdalam pengetahuan agamanya untuk memudahkan dalam menjalankan perintah Allah SWT termasuk dalam hal pembayaran zakat. Dalam hal peningkatan religiosity masyarakat, peran pemerintah juga tidak bisa diabaikan terutama dalam menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman bagi masyarakat dalam menjalankan ibadahnya. Pemerintah perlu memastikan dan mendukung secara kontinyu mengenai pendidikan agama baik yang dilakukan secara formal di lembaga pendidikan maupun pada lembagalembaga non formal seperti pondok-pondok pesantren. Peningkatan keimanan juga dapat dilakukan melalui ceramah-ceramah, diskusi-diskusi agama, dan pengajian-pengajian yang semestinya pemerintah juga turut terlibat dengan menyediakan fasilitas-fasilitas 138
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
yang diperlukan; 3) diharapkan pihak terlibat dalam urusan zakat dapat menjalankan qanun zakat secara konsisten, tegas, dan kontinyu kepada individu wajib zakat yang enggan membayar melalui Baitulmal. Namun, sebelum hal ini dilakukan sebaiknya pihak berkompeten perlu melakukan sosialisasi yang intensif, memberi pengertian dan pendekatan yang jitu untuk memastikan bahwa individu wajib zakat bersedia membayar melalui institusi formal pungutan zakat; 4) faktor kemudahan mekanisme pembayaraan zakat yang merupakan salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan pungutan zakat melalui institusi formal pungutan zakat, maka penyediaan kemudahan mekanisme pungutan zakat seperti membayar zakat secara online, skim pemotongan gaji dan memperbanyak konter-konter zakat adalah sangat diperlukan; 5) selanjutnya, masyarakat perlu memahami bahwa kewajiban zakat mesti ditunaikan dan ianya akan lebih efektif dan efesien apabila diurus oleh institusi pemerintah yang amanah. Hal ini juga selaras dengan perintah agama seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an yaitu zakat hendaklah “dipungut” yang bermakna bahwa harus ada suatu pengurusan dari penguasa. Dengan demikian, maka amatlah perlu diberi perhatian yang serius oleh berbagai pihak terutamanya pihak terkait bagi meningkatkan lagi tahap pemahaman masyarakat terhadap kewajiban zakat. Pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan dan diluruskan secara terus menerus serta diberi penerangan yang cukup dan efektif secara kontinyu supaya individu wajib zakat memahami secara menyeluruh mengenai konsep, pensyariatan dan peranan zakat dalam memajukan ekonomi ummah. Terlebih lagi apabila zakat dikelola oleh pemerintah melalui institusi formal. Di samping itu, individu wajib zakat juga perlu memahami peranan pemerintah dalam memberdayakan dana zakat untuk kemaslahatan ummah. Dengan demikian, menjadi tugas dan tanggungjawab semua pihak bagi memberi penjelasan yang memadai melalui berbagai sarana seperti ceramah, khutbah, pendidikan/tarbiyah yang pada saat ini porsinya masih dianggap sangat sedikit yang membicarakan mengenai zakat kecuali hanya di bulan ramadhan; 6) dalam hal hubungannya dengan pajak, mengingat persepsi masyarakat terhadap sistem pajak yang dianggap masih membebankan individu pembayar zakat sehingga memberi pengaruh kepada kepatuhan zakat, maka pihak berkuasa perlu mengambil langkah-langkah yang sesuai, efektif, dan jitu untuk menangani masalah ini. Oleh yang demikian, maka pemberlakuan zakat sebagai rebate kepada pajak perlu dijalankan segera secara efektif dan efesien karena hal ini merupakan suatu insentif bagi pembayar zakat untuk membayar melalui institusi formal pungutan zakat. Dengan demikian diharapkan pungutan zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat ditingkatkan. Walaupun secara ekonomi ianya tidak menambahkan pendapatan asli daerah secara riil, namun peningkatan kepatuhan zakat dapat menjadikan penerimaan zakat juga bertambah yang akhirnya akan dapat juga meningkatkan pendapatan daerah yang lebih besar seperti konsep dan analisis yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Di samping itu, ini juga merupakan suatu tugas dan tanggungjawab pemerintah yang menjalankan syariat Islam secara kaffah untuk menjamin masyarakatnya melaksanakan dan menunaikan kewajiban agama dengan aman dan nyaman; 7) mengenai pengaruh faktor lingkungan yang didapati bahwa pengaruh rekan sekerja, saudara dan kenalan memainkan peranan penting dalam meningkatkan kepatuhan zakat. Maka, suatu langkah pendidikan, penerangan dan penjelasan yang cukup perlu diadakan oleh institusi formal pungutan zakat untuk mendidik, menjelaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peranan dan kebaikan apabila zakat dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat. 139
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Dengan demikian, pola pikir (mindset) masyarakat akan berubah dengan lebih menyadari keutamaan pembayaran zakat melalui institusi formal. Sehingga akan membentuk faktor lingkungan yang memahami arti penting zakat apabila dikelola oleh pemerintah. Di samping itu, institusi zakat sendiri perlu memperbaiki diri secara berterusan/kontinyu demi meningkatkan pelayanan, efektifitas pengurusan, dan transparansi terutama dalam hal distribusi dana zakat supaya dapat meningkatkan image mereka di mata masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Alhabshi, S.O. 2003. Peranan Zakat dalam Membantu Pembangunan Ekonomi Negara Kuala Lumpur. Persatuan Ekonomi dan Pengurusan Islam Malaysia. Allingham, M.G dan A. Sandmo. 1972. Income tax evasion; a theoritical analysis. Jurnal of Public Economics 1:323-328. Andy, L.T. 1997. Beberapa pemikiran tentang mekanisme badan amil zakat. Dalam Wiwoho, B., et.al: Zakat dan Pajak. Jakarta. Penerbit Gema Insani Press. Arrington, C.E. dan P.M.J Reckers. 1985. A social-psykological investigation into perceptions of tax evasion. Accounting and Business Research: 163-176. Borck, R. 2004. Income tax evasion and the penalty structure. European Public Choice Society. Berlin. Cartwright, D. Dan A. Zander. 1968. Group Dynamics: Research and Theory. Ed. Ke-3. New York: Penerbit Harper and Row Publishers. Chorvat, T. 2007. Tax compliance and the Neuroeconomics of Intertemporal substitution, National Tax Journal. George Mason University. Damanhur. 2006. Kesan pelaksanaan cukai pendapatan dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan membayar zakat pendapatan di Aceh. Thesis sarjana pada Jabatan Syariah dan Ekonomi Bahagian Pengajian Syariah Akademi Pengajian Islam. Universiti Malaya. Daud, M. 1991. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta. Penerbit UI Press. Gaiha, R. 1985. Poverty, technologi and infrastructure in rural india. Cambridge Journal of Economics. Vol. 9. Galbiati, R. dan G. Zanella. 2008. The Tax Evasion Social Multiplier: Evidence from Italy. Bocconi University, Italy. Econpubblica. Wahid H., S. Ahmad, dan M. Ali. 2007. Kesedaran Membayar Zakat Pendapatan di Malaysia. Islamiyyat 29 : 53-70. Hindriks, J., and G. D Myles. 2006. Tax Compliance and Evasion. International Public Economics, The MIT Press. Hite, P.A. 1987. An aplication of attribution theory ini taxpayer non compliance research. Public Finance 42(1): 105-117. Kamil, M.I. 2002. Kesan persepsi undang-undang dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan zakat pendapatan gaji. Kertas kerja yang dibentangkan pada Muzakarah Pakar Zakat. Universiti Kebangsaan Malaysia. Marzi, A. 2004. Zakat dan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: suatu analisis terhadap pengelolaan zakat dan pajak di kota Banda Aceh. Thesis sarjana pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Kahf .M. 1983. Taxation policy in an Islamic economy. Dalam Ziauddin Ahmad, et.el. Fiscal Policy and Resource Allocation in Islam. Jeddah; International Centre for Research in Islamic Economics. King Abdul Aziz University. Kahf .M. 1995. Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta. Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar
140
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zulkifli
Mujaini Tarimin. 2000. Pelaksanaan zakat pendapatan dan permasalahannya. Dalam Zakat Menuju Pengurusan Profesional. Kuala Lumpur. Penerbit Utusan Publications & Distributors SDN BHD. Naziruddin, dan A.M Shabri. 2002. The influence of religiosity, income and consumption on saving behavior: the case of international Islamic university Malaysia. Dalam Proceedings Simposium Nasional I Sistem Ekopnomi Islami. 13-14 Mac 2002. Yogyakarta. Indonesia. Nirwan, N. 1999. Institusi zakat dan aplikasinya di Indonesia. Disertasi Sarjana Fakulti Pengajian Islam. Universiti Kebangsaan Malaysia. Rusjdi, A.M. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi (Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam). Banda Aceh. Logos-IAIN Ar-Raniry. Somad, A. 1996. Pelaksanaan Zakat di Indonesia: Pengelolaan, Problema dan Penyelesaiannya. Jakarta. Penerbit ICMI. Spicer, M.W. dan S.B Lunstedt. 1976. Understanding tax evasion. Public Finance 1: 295- 305. Srinavasan, T.N. (1973). Tax evasion: a model. Journal of Public Economics 2: 339-346. Tuzova,. 2009. A Model of Tax Evasion with Heterogeneous Firms. University of Minnesota. Vogel, J. 1974. Taxation and public opinion in Sweden. National Tax Journal 27: 499-513. Wallschutzky, I.G. 1984. Possible causes of tax evasion. Journal of Economics Psychology 5: 371-384. Watanabe, S., 1987. Income tax Evasion: A theoretical analysis. Public Choice Studies. No. 8. Weigel, R.H., D.J Hessing dan Elffers, H. 1987. Tax evasion research: a critical appraisal and theoritical model. Journal of Economics Psychology 8: 215-235. Yitzhaki, S. 1974. A Note on Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 3(2), 201-202. Yoesoef, M.D. 1985. Zakat dan sistem perpajakan di Indonesia, ditinjau menurut hukum Islam. Tesis pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
141
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Vol 4, No. 2, Nov 2013
ANALISIS VALUASI EKONOMI WISATA ALAM PANTAI LAMPUUK DENGAN PENDEKATAN TRAVEL COST METHOD Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism with Travel Cost Method Approach Suriani1 dan Yefrizal2 E-mail:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan memformulasikan strategi pengembangan yang tepat untuk diterapkan di objek wisata Pantai Lampuuk melalui pendekatan Travel Cost Method (TCM). Model analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan OLS (Ordinary Least Square). Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan objek wisata alam Pantai Lampuuk yaitu biaya perjalanan menuju lokasi Pantai Lampuuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan, Biaya perjalanan ke lokasi wisata lain berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan, biaya opportunity berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan wisata, dan biaya tiket masuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan. Posisi wisata alam Pantai Lampuuk menunjukkan bahwa objek wisata ini dapat menonjolkan kekuatan atau potensi yang dimiliki dan dapat menutupi atau meminimalkan kelemahan yang ada dengan keindahan alam yang dimilikinya sehingga pembangunan di bidang pariwisata di Aceh perlu ditingkatkan. Kata kunci: valuasi ekonomi, travel cost method (TCM)
ABSTRACT This study aims to formulate appropriate development strategy to be applied in Lampuuk Beach attractions approach Travel Cost Method (TCM). The analysis model used is multiple regression with OLS (Ordinary Least Square). The estimation results indicate that the factors that influence the development of the natural attractions that Lampuuk Beach travel costs to the location Lampuuk Beach negatively affect the number of visits, cost of travel to other tourist locations positive effect on the number of visits, the opportunity cost positive effect on the number of tourist visits and the cost of admission negatively affect the number of visits. Position Lampuuk beach nature suggests that this attraction can highlight strengths or potential and can cover up or minimize the weaknesses that exist with its natural beauty so that development in the field of tourism in Aceh needs to be improved. Keywords: economic valuation, travel cost method (TCM), tourism demand (number of visits)
PENDAHULUAN Pengembangan kegiatan pariwisata alam mempunyai dampak positif dan negatif, baik dari segi ekonomi, sosial, lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampak positif dalam pengembangan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah pendapatan dan devisa negara, membuka kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat sekitar serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting konservasi sumberdaya alam. Dampak negatif yang sering muncul dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan ini berupa tindakan perusakan (vandalisme) terhadap obyek wisata tersebut, baik bangunan maupun obyek alamnya. Manfaat ekonomi taman wisata alam selama ini belum banyak diketahui secara pasti karena sifatnya yang intangible (tidak terukur). Penilaian terhadap
142
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Suriani dan Yefrizal
taman wisata alam sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Tempat rekreasi tidak memiliki nilai pasar yang pasti, maka penilaian tempat rekreasi dilakukan dengan pendekatan biaya perjalanan. Metode biaya perjalanan ini dilakukan dengan menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mencapai tempat rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi (Yakkin,1997 dalam Sahlan, 2008). Secara prinsip metode biaya perjalanan ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Misalnya, untuk menyalurkan hobi memancing di pantai, seorang konsumen akan mengorbankan biaya untuk mendatangi tempat tersebut. Dengan mengetahui pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan Travel Cost Method adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat dapat dipisahkan (separable). Oleh karena itu, fungsi permintaan kegiatan rekreasi tersebut tidak dipengaruhi oleh permintaan kegiatan lainnya seperti menonton, berbelanja, dan lain-lain. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) ini dilakukan dengan menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan untuk mencapai tempat rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi. Aceh merupakan salah satu provinsi di ujung Indonesia paling barat. Aceh memiliki 18 kabupaten dan 5 kota. Kabupaten Aceh Besar merupakan kabupaten terpanjang di .Aceh memiliki berbagai destinasi wisata baik alam maupun budaya. Namun, pariwisata Aceh sempat mengalami keterpurukan akibat Tsunami yang menghantam beberapa tempat di Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004. Seiring dengan pembenahanpembenahan pada beberapa wilayah di Aceh. Aceh kembali bangkit dan menawarkan wisata tsunami, alam serta budaya yang mampu menarik kunjungan wisatawan. Kabupaten Aceh Besar adalah kabupaten yang memiliki 23 kecamatan. Salah satunya Kecamatan Lhoknga yang memiliki keindahan alam pantai yang sangat menarik untuk di kunjungi misalnya Pantai Lampuuk yang menjadi salah satu tempat liburan yang sangat dekat dengan Kota Banda Aceh dan menjadi salah satu lokasi favorit bagi masyarakat Kota Banda Aceh dan Aceh besar untuk berlibur bersama keluarga. Mengacu dengan diadakannya pogram pemerintah Aceh untuk mempromosikan pariwisata Aceh melalui Visit Banda Aceh Years 2013. Pembenahan dibidang sektor pariwisata terus dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan yang prima kepada wisatawan yang ingin beliburan ke Aceh, guna untuk menambah pendapatan masyarakat dan kesejahtraan masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana nilai ekonomi pantai lampuuk dengan cara menganalisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk (Pendekatan TCM) dengan merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan wisata alam pantai Lampuuk. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian diperlukan beberapa landasan teori yang berkaitan dengan permintaan pariwisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain Menurut McEarchen (2000) permintaan pasar suatu sumber daya adalah penjumlahan seluruh permintaan atas berbagai penggunaan sumber daya tersebut. Sedangkan menurut Nophirin (dalam Salma dan Indah, 2004) permintaan adalah berbagai kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu. 143
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Menurut Undang-Undang Nomor 90 Tahun 1990, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Penilaian (valuation) sumberdaya alam adalah alat ekonomi yang digunakan untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh sumberdaya alam melalui teknik penilaian tertentu. Barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti nilai rekreasi, nilai keindahan, dan sebagainya yang tidak dapat diperdagangkan dan sulit mendapatkan data mengenai harga dan kuantitas dari barang dan jasa tersebut. Nilai yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat dikategorikan dalam nilai guna ordinal, karena manfaat atau kenikmatan yang diperoleh dari mengkonsumsi barang-barang tidak dapat dikuantifikasikan (Sukirno, 2004). Pendekatan yang digunakan untuk menilai (valuation) terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dengan teknik pengukuran tidak langsung (indirect) menggunakan metode biaya perjalanan (TCM). Pendekatan biaya perjalanan merupakan metode valuasi dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi terutama rekreasi luar (outdoorrecreation). Pada mulanya pendekatan biaya perjalanan digunakan untuk menilai manfaat yang diterima masyarakat dari penggunaan barang dan jasa lingkungan. Pendekatan ini juga mencerminkan kesediaan masyarakat untuk membayar barang dan jasa yang diberikan lingkungan dibanding dengan jasa lingkungan dimana mereka berada pada saat tersebut. Banyak contoh sumber daya lingkungan yang dinilai dengan pendekatan ini berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan untuk rekreasi di luar rumah yang seringkali tidak diberikan nilai yang pasti. Untuk tempat wisata, pada umumnya hanya dipungut harga karcis yang tidak cukup untuk mencerminkan nilai jasa lingkungan dan juga tidak mencerminkan.kesediaan membayar oleh para wisatawan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Untuk lebih sempurnanya perlu diperhitungkan pula nilai kepuasan yang diperoleh para wisatawan yang bersangkutan (Suparmoko, 2000). Dalam memperkirakan nilai tempat wisata tersebut akan menyangkut waktu dan biaya yang dikorbankan oleh para wisatawan dalam menuju dan meninggalkan tempat wisata tersebut. Semakin jauh jarak wisatawan ke tempat wisata tersebut, akan semakin rendah permintaannya terhadap tempat wisata tersebut. Permintaan yang dimaksud adalah permintaan efektifnya yang disertai dengan kemampuan untuk membeli. Para wisatawan yang lebih dekat dengan lokasi wisata tentu akan lebih sering berkunjung ke tempat wisata tersebut dengan adanya biaya yang lebih murah yang tercermin pada biaya perjalanan yang dikeluarkannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa wisatawan mendapatkan surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan kelebihan kesediaan membayar atas harga yang telah ditentukan. Oleh karena itu surplus konsumen yang dimiliki oleh wisatawan yang jauh tempat tinggalnya dari tempat wisata akan lebih rendah dari pada mereka yang lebih dekat tempat tinggalnya dari tempat wisata tersebut (Suparmoko, 2000). Untuk menilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan ada dua teknik yang dapat digunakan yaitu: 1) Pendekatan sederhana melalui zonasi; dan 2) Pendekatan individual. Melalui metode biaya perjalanan dengan pendekatan zonasi, pengunjung dibagi dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung, dan jumlah kunjungan tiap minggu dalam penduduk di setiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk dan penelitiannya dengan menggunakan data sekunder. Sedangkan metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual, metode biaya perjalanan dengan menggunakan data 144
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Suriani dan Yefrizal
primer yang diperoleh melalui surve. Fungsi permintaan dari suatu kegiatan rekreasi dengan metode biaya perjalanan melalui pendekatan individual dapat diformulasikan sebagai berikut (Fauzi, 2004). Vij = f (Cij, Tij, Qij, Sij, Fij, Mi) Dimana: Vij : jumlah kunjungan oleh individu I ke tempat j Cij : biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j Tij : biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j Qij : persepsi responden terhadap kualitas lingkungan dari tempat yang dikunjungi Sij : karakteristik substitusi yang mungkin ada di daerah lain Fij : faktor fasilitas-fasilitas di daerah j Mi : pendapatan dari individu I Penelitian ini menggunakan metode biaya perjalanan individu (Individual Travel Cost) untuk menghitung atau mengestimasi nilai ekonomi wisata Pantai Lampuuk. Pada dasarnya semua metode dapat digunakan untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan. Seseorang yang melakukan kegiatan wisata atau rekreasi pasti melakukan mobilitas atau perjalanan dari rumah menuju obyek wisata, dan dalam melaksanakan kegiatan tersebut pelaku memerlukan biaya-biaya untuk mencapai tujuan rekreasi, sehingga biaya perjalanan dapat memberikan korelasi positif dalam menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata yang sudah berjalan dan berkembang. Penelitian mengenai valuasi ekonomi wisata alam telah banyak dilakukan seperti Bambang et al., (2007) dalam penelitiannya berjudul “Valuasi Ekonomi Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang” bertujuan memperoleh informasi tentang: (1) karakteristik pengunjung Taman Wisata Alam Punti Kayu; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kunjungan rekreasi; (3) persamaan permintaan manfaat rekreasi dari Taman Wisata Alam Punti Kayu; (4) valuasi ekonomi Taman Wisata Alam. Dari hasil penelitian diketahui, karakteristik pengunjung yang terdiri atas umur, jenis kelamin, penghasilan, jenis pekerjaan, biaya yang dikeluarkan selama kegiatan rekreasi, motivasi, dan jenis kendaraan yang digunakan sangat bervariasi. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan model analisis regresi berganda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan ke Taman Wisata Alam Punti Kayu meliputi biaya perjalanan, jumlah penduduk per kecamatan, dan jumlah waktu kerja per hari. Penelitian yang dilakukan oleh Djijono (2002) dengan judul Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung bertujuan menghitung nilai ekonomi yang diperoleh pengunjung dalam mengunjungi Taman Wan Abdul Rachman. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap permintaan produk dari jasa lingkungan wisata alam hutan raya menggunakan regresi linier berganda, sedangkan nilai ekonomi rekreasi diduga dengan menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel cost method). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kunjungan per 1000 penduduk (orang), sedangkan variabel bebas meliputi biaya perjalanan (transportasi, konsumsi, karcis, dan lain-lain), biaya transportasi (Rp), pendapatan/uang saku per bulan (Rp), jumlah penduduk kecamatan asal pengunjung (orang), pendidikan (tahun), waktu kerja per minggu (jam) dan waktu luang per minggu (jam). Dari hasil regresi diketahui bahwa yang berpengaruh pada jumlah kunjungan secara signifikan adalah biaya perjalanan, jumlah penduduk, pendidikan dan waktu kerja. 145
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan (2008) dengan judul Valuasi Ekonomi Wisata Alam Otak Kokok Gading dengan Pendekatan Travel cost bertujuan untuk melakukan valuasi ekonomi guna menilai manfaat yang dihasilkan oleh kawasan Wisata alam Otak Kokok Gading. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis regresi linier berganda dengan tujuh variabel utamanya yaitu variabel jumlah kunjungan (Y), biaya perjalanan (X1), biaya waktu (X2), persepsi responden (X3), karakteristik substitusi (X4), fasilitas-fasilitas (X5) dan pendapatan individu (X6). Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa dari enam variabel yang digunakan hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu variabel karakteristik substitusi dan pendapatan individu. Sedangkan hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa semua variabel bebas mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat (jumlah kunjungan). METODE PENELITIAN Ruang lingkup yang diteliti hanya terbatas pada jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi pantai Lampuuk dan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk menuju ke lokasi objek wisata dengan pendekatan biaya perjalanan untuk mengetahui bagaimana permintaan terhadap wisata alam pantai lampuuk dan nilai ekonomis wisata alam pantai lampuuk. Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung objek wisata Pantai Lampuuk yang melakukan wisata di tempat tersebut dengan jumlah yang tidak diketahui secara pasti. Dari populasi tersebut diambil sampel sebanyak 100 orang. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik ini dikenakan pada individu yang secara kebetulan dijumpai atau yang dapat dijumpai yang diteliti. Berdasarkan sumber data, maka data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi: data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yang dijadikan sampel dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisoner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil pengolahan pihak kedua atau data yang diperoleh dari hasil publikasi pihak lain. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari dinas ataupun instansi terkait, Pengelola Pantai Lampuuk, serta berbagai literatur baik buku maupun jurnal-jurnal yang relevan. Model Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Squares), (Gujarati, 2007). dan kemudian diformulasikan ke dalam penelitian ini sebagai berikut: Jk = β + β Bpl+β Bpwl+ β Bo+ β BTm+ e 0
1
2
3
di mana : Jk β 0
β β β β β β 1,
2,
Bpl Bpwl Bo BTm e
3,
4,
5,
6,
4
:
Jumlah Kunjungan
:
Konstanta
: : : : : :
Koefisien regresi Biaya Perjalanan menuju Pantai Lampuuk Biaya Perjalanan Ke Tempat Wisata Lain Biaya opertunity Biaya Tiket Masuk Error term 146
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Suriani dan Yefrizal
Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper dan Schindler, dalam Zulganef, 2006). Sedangkan uji reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian keperilakuan mempunyai keandalan sebagai alat ukur, diantaranya di ukur melalui konsistensi hasil pengukuran dari waktu ke waktu jika fenomena yang diukur tidak berubah (Harrison, dalam Zulganef, 2006). Penelitian memerlukan data yang valid dan reliabel. Dalam rangka urgensi ini, maka kuesioner sebelum digunakan sebagai data penelitian primer, terlebih dahulu di uji coba kan ke sampel uji coba penelitian. Uji coba ini dilakukan untuk memperoleh bukti sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Definisi Operasional Variabel Variabel penelitian ini terdiri dari: 1) Jumlah Kunjungan ke Wisata Pantai Lampuuk diukur melalui jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu selama satu bulan terakhir, variabel ini diukur secara kontinyu dalam satuan kekerapan (kali); 2) Biaya Perjalanan ke wisata Pantai Lampuuk merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk mengunjungi wisata Pantai Lampuuk. Biaya perjalanan ini menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengunjung termasuk biaya transportasi pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, serta biaya-biaya lain yang relevan. Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan rupiah (Rp/kunjungan); 3) Biaya Perjalanan ke wisata lain, Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung menuju objek wisata lain. Biaya perjalanan ini menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengujung termasuk biaya transportasi pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi. Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan rupiah (Rp/kunjungan); 4) Biaya Opertunity respondenyaitu biaya yang harus dikorbankan karena tidak bekerja selama berekreasi ke wisata alam Pantai Lampuuk. Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan (rupiah/jam); 5) Biaya tiket masuk menuju wisata alam Pantai Lampuuk merupakan biaya yang wajib dibayar oleh responden untuk menikmati alam Pantai Lampuuk biaya tiket masuk variabel ini dihitung dengan skala kontinyu dengan satuan (rupiah). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji Validitas Dan Reliabilitas Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik, yaitu dengan menggunakan uji person product-momentcoefficient of correlation dengan bantuan SPSS version 20. Berdasarkan output komputer seluruh pertanyaan dinyatakan valid karena memiliki tingkat signifikansi di bawah 5 persen. Selanjutnya untuk mengukur kehandalan kuisoner, digunakan uji reliabilitas dengan melihat Cronbachalpha uji ini dimaksudkan untuk mengukur bahwa instrumen yang digunakan benar-benar bebas dari kesalahan sehingga dapat dipakai dengan baik pada kondisi yang berbeda-beda.
147
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Tabel 2. Hasil uji validitas No Biaya Wisata LokasiLain Biaya Wisata Lain Kondisi Lingkungan Harga Tiket Masuk Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Biaya Wisata
Lokasi Lain
1
.090 .376 100 1
100 .090 .376 100 .352** .000 100 -.107 .290 100 .368** .000 100 .494** .000 100
100 .311** .002 100 .225* .024 100 .546** .000 100 .345** .000 100
Biaya Wisata Lain .352** .000 100 .311** .002 100 1 100 .002 .983 100 .326** .001 100 .369** .000 100
Kondisi Lingkunga n -.107 .290 100 .225* .024 100 .002 .983 100 1 100 -.067 .510 100 .070 .486 100
Harga Tiket .368** .000 100 .546** .000 100 .326** .001 100 -.067 .510 100 1 100 .352** .000 100
Penda patan .494** .000 100 .345** .000 100 .369** .000 100 .070 .486 100 .352** .000 100 1 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2013 (diolah)
Ukuran reliabilitas dianggap handal apabila nila cronbachAlpha lebih besar atau sama dengan 0.60. Dari hasil uji realibilitas yang dilakukan dengan bantuan SPSS diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3. Hasil uji reliabilitas ReliabilityStatistics Cronbach'sAlpha
Cronbach'sAlphaBased on StandardizedItems 671 661 Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.
N of Items 6
Dari hasil pengujian SPSS pada output validitas dengan tingkat signifikan sebesar 0.01 atau 99 persen. Ini dapat dilihat dari Tabel 2, hasil pengujian menunjukkan tiap-tiap variabel mempunyai bintang dua. Selanjutnya dalam pengujian realibilitas pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa cronbachalpha secara keseluruhan mempunyai nilai sebesar 0,671. Jadi kesimpulan untuk pengujian validitas dan realibilitas telah memenuhi syarat untuk dilanjutkan penelitian yang lebih mendalam. Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda Tabel 4. Hasil estimasi regresi linier berganda variabel Travel Cost Method Variabel Constant Biaya Perjalanan Lampuuk Biaya Perjalanan Ketempat Lain Biaya Opportunity Biaya Opportunity2 Tiket masuk Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.
Koefisien (B) 2,806 -1.318E-005 8.757E-006 7.287E-007 -5.635E-13 -1.465E005
Std. Error .205 000 000 000 000 000
thitung 13,692 -2,598 1,800 2,598 -0,202 -0,556
Sig. .000 .006 .075 .001 .841 .580
148
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Suriani dan Yefrizal
Dari hasil estimasi pada Tabel 4, digunakan sebagai interpretasi dasar bagi penelitian ini yaitu: 1) Rata-rata berkunjung sebanyak dua kali dalam satu bulan, hal ini sangat rasional mengingat posisi lokasi wisata ini tidak dekat dengan Kota Banda Aceh; 2) Biaya perjalanan ke Pantai Lampuuk sebesar -0,00001318 yang bermakna bahwa jika terjadi kenaikan biaya perjalanan sedangkan variabel lain tetap maka terjadi penurunan kunjungan ke Pantai Lampuuk. Sebagai ilustrasi, jika terjadi kenaikan biaya perjalanan sebesar Rp100.000 maka kunjungan ke Pantai Lampuuk berkurang sebesar 1,3kali dengan asumsi variabel lain dianggap tetap; 3) Biaya perjalanan ketempat wisata lain mempunyai tanda positif, ini bermakna adanya substitusi antara objek wisata lain dengan Pantai Lampuuk; 4) Biaya yang timbul akibat melakukan perjalanan ke Pantai Lampuuk (opportunitycost) berbentuk kematrik menggambarkan bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat masih relatif rendah sehingga biaya yang hilang akibat berkunjung masih sangat rendah, jika biaya ini terus meningkat akan terjadi penurunan kunjungan karena terlalu besar biaya yang dikeluarkan oleh konsumen; 5) Biaya tiket masuk mempunyai tanda negatif, ini bermakna bahwa jika terjadi kenaikan harga tiket masuk, caterisparibus, maka jumlah kunjungan akan berkurang. Keadaan ini sangat rasional jika terjadi kenaikan sebesar Rp100.000 maka jumlah kunjungan berkurang sebanyak 1,4 kali. Hasil Pengujian Secara Parsial (Uji-t) Uji-t dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel independen dapat mempengaruhi variabel dependen diperlukan pengujian statistik secara parsial. Dengan dilakukannya uji-t ini maka akan diketahui apakah variabel biaya Lampuuk, biaya wisata lain, waktu kerja dan biaya tiket masuk. Dari hasil pengujian yang dapat di lihat pada Tabel 4-18 maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Ttabel = 1,66105 pada tingkat signifikansi 5 persen (0,05) Variabel biaya ke wisata lampuuk
Hasil penelitian terhadap variabel biaya ke wisata Lampuuk diperoleh t hitung sebesar 2.815 (nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial variabel biaya ke wisata Lampuuk berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan. Variabel biaya wisata lain. Hasil penelitian terhadap variabel Biaya wisata lain diperoleh thitung sebesar 1,800 sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial biaya wisata lain berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan. Variabel biaya opportunity
Hasil penelitian terhadap variabel waktu kerja diperoleh thitung sebesar 2.598 sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial variabel biaya opportunity berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan. Dan apabila biaya opportunity dikuadratkan (untuk melihat tingkat signifikansi) maka hasil dari regresi adalah -0,202 (nilai absolut) sedangkan thitung sebesar 1,166105 hasil perhitungan menunjukkan thiung
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Variabel Biaya tiket masuk Hasil penelitian terhadap variabel biaya tiket masuk diperoleh thitung sebesar -0,556 (nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung
Df 4 95 99
Mean Square 1.893 0.455
F 4.164
Sig 0.004b
Dari Tabel di atas diperoleh nilai Fhitung sebesar 4.164 dengan nilai probabilitas Sig=0,004. Nilai Fhitung4.164 >Ftabel2,00 (dapat dilihat pada lampiran tabel f), dan nilai Sig lebih kecil dari nilai probabilitas 0,5 atau nilai 0,004 < 0,5, maka variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk analisis valuasi ekonomi wisata Alam Pantai Lampuuk dengan menggunakan metode travel cost method, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Biaya perjalanan menuju Pantai Lampuuk berpengaruh terhadap jumlah kunjungan secara signifikan sebesar -1,31 atau satu kali kunjungan, artinya semakin tinggi biaya perjalanan maka dapat mengurangi satu kali jumlah kunjungan; 2) Biaya perjalanan ke tempat lain berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan sebesar 8,75 atau dapat mengurangi jumlah kunjungan ke wisata alam Pantai Lampuuk sebesar 9 kali kunjungan, semakin murah biaya perjalanan ketempat wisata lain semakin berkurang minat wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Lampuuk; 3) Biaya opportunity berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan sebesar 7,28 atau 7 kali kunjungan, semakin tinggi biaya opportunity semakin berkurang minat wisatawan untuk berlibur; 4) Tiket masuk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan artinya berapapun harga tiket masuk tidak mempengaruhi pengunjung untuk datang ke lokasi wisata Alam Pantai Lampuuk. Saran Pemerintah daerah hendaknya bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam mengelola wisata alam Pantai Lampuuk guna untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan dapat memuaskan pengunjung yang berlibur ke lokasi wisata dan juga dapat 150
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Suriani dan Yefrizal
menambah pendapatan masyarakat sekitar dalam mengelola wisata alam tersebut. Dengan adanya pelayanan yang baik maka pengunjung merasa puas dan akan sering mengunjungi lokasi wisata dan akan memajukan lokasi dalam jangka panjang lokasi tersebut menjadi tempat favorit bagi masyarakat untuk berlibur dan dapat menambah pendapatan masyarakat setempat serta pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata. Penelitian ini dapat juga menggunakan beberapa variabel lain seperti harga barang yang diperjualbelikan di lokasi wisata dan variabel lainnya yang dapat mengukur nilai pasar Wisata Alam Pantai Lampuuk dan dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Djijono. 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wisata Wan AbdulRahman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). http://rudict.tripod.com/sem 023/ adnan_wantasem.htm. Gujarati, 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga: Jakarta. Terjemahan. Sumarno Zain. Mc.Eachern, 2001. Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta. Terjemahan. Sigit Triandaru. Suparmoko dan M. R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama. BPFE-Yogyakarta. Salma, I. A. dan S. Indah. 2004. AnalisisPermintaan Objek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal dengan Pendekatan Travel Cost. Jurnal Dinamika Pembangunan, Vol 1 No. 2/Des 2004. Tnunay, Tontje. 1996. Potensi Wisata Jawa Tengah Berwawasan Lingkungan. Klaten: Sahabat.
151
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124
Vol 4, No. 2, Nov 2013
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KECAMATAN DARUL IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar Nur Aidar1 dan Eri Munandar2 1Staf
pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala E-mail:
[email protected]
2Alumni
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi dan produktivitas tanah terhadap keputusan menjual lahan sawah oleh petani di kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini menggunakan data primeryang diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap pemilik lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah.Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi yang terkait dengan penelitian. Model regresi yang digunakan adalah metode regresi logistik menggunakan data primer dari 92 responden. Hasil penelitian menunjukkan harga penawaran lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Penetapan harga lahan yang lebih tinggi akan menambah peluang petani menjual lahan pertanian sebesar 3,324 kali.Sementara itu kebutuhan ekonomi dan produktivitas lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap upaya penjualan lahan sawah. Kata kunci: harga, kebutuhan ekonomi, produktivitas, keputusan menjual
ABSTRACT This studyaimed to determine the effect ofwet landprices, economic needsand land productivity to decisionto sell paddy field by farmersin the districtof Aceh Besarsub district Darul Imarah. This study uses primary data collected through direct observation an dinterviews withowners ofpaddy fields in sub distric Darul Imarah. Secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and thein stitutions associated with there search. Regression model use dislogistic regression method using primary data from 92 respondents. Results showed prices affect farmers'paddy field soffers to sell his farm. Determination of higher land prices will increase the opportunities for farmers to sell agricultural land 3,324 times. While the needs of the economy and productivity of the land does not significantly influence the paddy field sales efforts. Keywords: price, economic needs, productivity, decisionto sell
PENDAHULUAN Fenomena konversi lahan sawah terus terjadi sampai tingkat mencemaskan dan mengganggu. Secara umum, faktor eksternal dan internal mendorong konversi lahan sawah. Faktor eksternal merupakan dampak transformasi struktur ekonomi dan demografis. Lahan tidak berubah, tetapi permintaan meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser pada aktivitas non-sawah yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan konversi lahan adalah kemiskinan. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan sawahnya. Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usaha tani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelastarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian 152
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
teknologi baru untuk peningkatan produktivitas, yang terjadi kemudian bukan moderenisasi tapi penjualan lahan sawah untuk penggunaan lainnya (konversi lahan sawah). Sektor lain, pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan perumahan (real estate). Dengan kondisi demikian, diduga permintaan lahan untuk penggunaan berbagai sektor itu semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama yang berada di sekitar perkotaan, mengalami konversi ke penggunaan lain. Di samping itu, dalam sektor pertanian itu sendiri, kurangnya insentif pada usaha tani lahan sawah diduga akan menyebabkan terjadi konversi lahan ke tanaman pertanian lainnya. Permasalahan di atas diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras nasional. Karena beras merupakan bahan pangan utama, maka isu konversi lahan perlu mendapat perhatian. Jika tidak ketergantungan pada impor akan semakin meningkat. Bagi pemilik lahan, mengkonversi lahan sawah untuk kepentingan non-sawah saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, terutama lahan sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa beralih pekerjaan. Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan (real estate) menjadikan lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan petani yang semakin sempit semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan (real estate) dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan konversi lahan (Gunanto, 2007). Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang terus menghadapi masalah konversi lahan, khususnya lahan sawah. Konversi ini mengakibatkan luas lahan sawah di Aceh Besar terus menurun. Lahan yang paling banyak mengalami konversi adalah jenis lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian, seperti digunakan untuk bangunan, industri, perumahan, dan sebagainya. Berdasarkan data di Dinas Pertanian Aceh Besar tahun 2011, luas area persawahan mencapai 30.421 Ha dan tersebar di 23 kecamatan. Total penyusutan lahan pertanian sebesar 673. Adapun rincian penyusutan lahan pertanian di Aceh Besar disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyusutan lahan sawah pertanian di Aceh besar tahun 2007-2010 Kecamatan Lhong Lhoknga Leupung Indrapuri Kuta Cot Glie Seulimum Kota Jantho Lembah Seulawah Mesjid Raya Darussalam Baitussalam Kuta Baro Montasik Ingin Jaya Krueng Barona Jaya 153
PenyusutanLahan Sawah (Ha) 25 15 10 17 5 5 20 7 210 38 25 50 110
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013 PenyusutanLahan Sawah (Ha) 5 2 9 30 10 50 25 673
Kecamatan Sukamakmur Kuta Malaka Simpang Tiga Darul Imarah Darul Kamal Peukan Bada Pulo Aceh Blang Bintang Total Sumber: Dinas Pertanian Aceh Besar 2011
Alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran dapat merugikan pertumbuhan sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan pendapatan per kapita keluarga tani. Dalam upaya meningkatkan produksi padi, mulai tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai mencetak 500 hektare sawah baru di beberapa wilayah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatan luas sawah yang akan ditanami oleh petani. Perkembangan luas sawah yang ditanam dapat diperhatikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan luas sawah yang ditanam di Aceh Besar (dalam Ha) Tahun 2007-2010. Kecamatan 2007 Lhong 565 Lhoknga 340 Leupung Indrapuri 4.267 Kuta Cot Glie 2.663 Seulimum 4.724 Kota Jantho 182 Lembah Seulawah 1.033 Mesjid Raya 25 Darussalam 4.077 Baitussalam KutaBaro 4.416 Montasik 7.187 Ingin Jaya 5.150 Krueng Barona Jaya 414 Sukamakmur 3.613 Kuta Malaka 1.159 SimpangTiga 2.010 DarulImarah 726 Darul Kamal 715 Peukan Bada 227 Pulo Aceh Blang Bintang Na Total 43.214 Sumber: Aceh Besar Dalam Angka, 2011
2008 1.115 287 37 4.322 1.538 4.173 365 284 5 1.627 103 2.641 2.556 2.435 695 3.670 1.284 1.905 482 130 115 35 1.880 31.685
2009 1.250 435 112 3.787 2.498 1.943 171 421 50 2.678 55 1.642 3.166 3.827 105 3.448 1.102 1.796 763 1.080 222 35 3.551 34.137
2010 1.345 849 285 4.643 2.856 5.139 777 656 25 4.766 45 3.871 7.357 3.475 1.083 2.900 1.219 1.441 706 715 245 182 3.371 47.926
154
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
Sampai saat ini studi mengenai jual beli lahan pertanian masih sangat langka padahal pemahaman yang lengkap tentang persoalan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi kebijakan di bidang pertanahan, terutama dalam hubungannya dengan upaya meminimalkan laju konversi lahan pertanian maupun dalam rangka mengurangi laju fragmentasi lahan pertanian. Penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi, dan produktivitas tanah terhadap keputusan petani untuk menjual lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Ada 2 (dua) faktor utama yang memengaruhi konversi lahan yaitu 1) faktor pada arus makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi, 2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga. Dolan dan Simon (2001) menyatakan harga sebagai sejumlah uang atau jasa atau barang yang ditukar pembeli untuk beraneka produk atau jasa yang disediakan penjual. Harga merupakan pengorbanan ekonomis yang dilakukan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa. Selain itu, harga adalah salah satu faktor penting bagi konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak. Purwowidodo (1992:2) mengatakan produktivitas tanah (kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan suatu tanaman yang diusahakan dengan sistem pengelolaan tertentu) dan kesuburan tanah sebagai kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara merupakan penunjang dalam pertumbuhan tanaman. Menurut Schiffman dan Kanuk (2000), kebutuhan individu bersifat innate dan yang lainnya dirasakan karena acquired. Innate needs atau kebutuhan utama adalah kebutuhan secara fisiologis seperti sandang, pangan, papan, air, perlindungan dan sebagainya. Kebutuhan ini harus dipenuhi karena menyangkut kelangsungan hidup dari individu. Beberapa penelitian tentang alih fungsi lahan telah dilakukan seperti Sumaryanto (2010) menyimpulkan bahwa sebagian besar dari faktor-faktor sosial ekonomi yang memengaruhi keputusan petani menjual lahan terkait dengan tingkat pendidikan dan peranan pertanian dalam kehidupan rumah tangga petani. Terdapat kecenderungan yang nyata bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan anggota rumah tangga maka semakin besar peluang rumah tangga petani yang bersangkutan untuk menjual lahan. Di sisi lain, peluangnya menjadi semakin kecil jika pertanian dapat diandalkan sebagai sumber lapangan kerja dan sumber pendapatan rumah tangganya. Irawan dan Supena (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi persatuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil. Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas. Metode Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ekonomi Sumber Daya Alam khususnya mengenai Faktor-faktor yang memengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini mencoba mencari hubungan variabel harga tanah, kebutuhan ekonomi, dan produktifitas tanah terhadap keputusan menjual 155
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
tanah oleh petani. Variabel-variabel yang akan diuji pengaruhnya terhadap keputusan menjual lahan oleh petani di Aceh Besar adalah harga lahan (X1), kebutuhan ekonomi (X2), dan produktivitas tanah (X3). Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian Aceh Besar. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap petani pemilik lahan sawah di kecamatan Darul Imarah Aceh Besar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar dari 1189 orang petani yang memiliki lahan sawah sendiri diambil sampel dengan kriteria memiliki lahan pertanian sawah yang aktif berproduksi, baik yang berada di Kecamatan Darul Imarah maupun di kecamatan lain dan memiliki lahan dengan tujuan penggarapan bukan untuk investasi. Penetapan jumlah sampel dihitung dengan rumus Slovin dengan tingkat keyakinan 90 persen (α=0,10) (Riduwan, 2004:65), sebagai berikut:
n n N e2
N 1 N .e 2
= Sampel = Jumlah populasi = Nilai kritis
Berdasarkan data yang bersumber dari Kantor Camat Darul Imarah, jumlah petani pemilik lahan sawah sebanyak 1189 jiwa sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan dapat dihitung sebagai berikut:
1189 1 1189 (0,1) 2 1189 n 12,89 n
n 92,24 Total sampel digenapkan menjadi 92 sampel. Untuk memperoleh sampel yang baik maka dilakukan distribusi jumlah sampel berdasarkan distrubusi populasi per mukim.Adapun rincian perhitungan jumlah sampel per mukim disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi sampel penelitian per mukim
Mukim Daroy/Jempet Lam Ara Lamreung Ulee Susu Total
Jumlah Petani Pemilik Lahan 551 362 260 16 1189
Sampel 42,63 28,01 20,12 1,24 92
Pembulatan Sampel 43 28 20 1 92
Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)
Penggunaan Regresi Linear Logistik untuk menguji jika jawaban variabel Y berbetuk Ya atau Tidak, dengan syarat jika Ya nilainya 1 dan jika Tidak nilainya 0. 156
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
Dengan cara ini, model logistis dapat diperluas untuk kasus ketika pilihannya adalah antara lebih dari dua alternatif (Gujarati dan Dawn, 2009).
Dimana: Y X1 X2 X3 b0 b1, b2, b3 ei
= = = = = = =
Keputusan menjual lahan Harga tanah Kebutuhan ekonomi Produktifitas lahan Konstanta Koefisien regresi errorterm
Definisi Operasional Variabel Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) keputusan menjual lahan (Y) adalah keputusan petani untuk mau menjual lahan pertaniannya. Jawaban berbentuk ya bernilai 1 atau Tidak bernilai 0; 2) harga lahan (X1) adalah harga lahan yang ditawarkan oleh calon pembeli kepada petani. Perhitungan menggunakan Skala Likert; 3) kebutuhan ekonomi (X2) adalah kebutuhan yang harus dipenuhi petani baik rutin maupun kebutuhan mendesak. Perhitungan menggunakan Skala Likert; dan 4) produktivitas lahan (X3) adalah kemampuan lahan berproduksi yang dilihat dari hasil produksi. Perhitungan menggunakan Skala Likert. Hasil Penelitian dan Pembahasan Karakteristik wilayah penelitian Darul Imarah merupakan salah satu kecamatan di Aceh Besar yang berlokasi dekat dengan kota Banda Aceh. Darul Imarah beribu kota Lampeunerut. Jumlah penduduk lakilaki sebanyak 25.625 jiwa dan perempuan sebanyak 26.301 jiwa. Darul Imarah terdiri dari 4 mukim dan 32 desa. Adapun nama-nama permukim dapat diperhatikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nama pemukiman dan desa di Kecamatan Darul Imarah Mukim Mukim Daroy/Jeumpet
157
Desa Garot Gue Gajah Geundreng Jeumpet Ajun Lampasi Engking LeuUe / Mata Ie Pashie Beutong Punie Ulee Leung UleeTuy
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Mukim
Desa
Mukim Lam Ara
Daroy Kameu Kandang Lam Bheu Tingkeum
MukimLamreung
Bayu Lagang Lam Cot Lam Kawee Lamblang Manyang Lamblang Trieng Lampeuneurut Gampong Lampeuneurut Ujong Blang Lamreung Lamsiteh Lheu Blang
Mukim Ulee Susu
Denong Kuta Karang Lampeuneu-eun Lamsidaya Lamtheun Leugeu Paya Roeh
Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)
Karakteristik Responden Responden penelitian ini terdiri dari pria maupun wanita. Responden yang dipilih merupakan respoden yang memiliki lahan pertanian sawah di kecamatan Darul Imarah. Adapun distribusi responden dapat diperhatikan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Responden Uraian Responden (orang) Umur 31– 40 25 41– 50 38 51– 60 28 61> 1 Jenis Kelamin Laki-laki 72 Perempuan 20
Persentase (%) 27.17 41.30 30.43 1.08 78,3 21.74
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Berdasarkan Tabel 5 responden terbanyak berumur antara 41-50 tahun yang yaitu 38 respoden atau sebesar 41.30 persen. Sementara itu, responden yang berumur diatas 61-70 tahun adalah jumlah respoden paling sedikit yaitu hanya 1 respoden atau sebesar 1,1 158
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
persen. Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa di pada lokasi penelitian, umur 41 sampai 50 tahun merupakan umur yang paling banyak memiliki lahan sawah di kecamatan Darul Imarah dan masih dalam kategori usia produktif sehingga masih mampu menggarap lahan sawah untuk ditanami padi. Sementara itu petani di kecamatan Darul Imarah memiliki luas lahan sawah yang berbeda-beda. Luas lahan minimum yang dimiliki respoden yaitu 250 m2, sedangkan luas lahan terluas yang dimiliki berukuran 850 m2. Rata-rata luas lahan yang dimiliki hanya 500 m2. Untuk mengetahui luas lahan yang dimiliki oleh respoden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Respoden berdasarkan luas lahan LuasLahan (m2)
Respoden
250 300 350 400 450 500 550 600 700 750 800 830 850
17 7 1 8 1 35 1 5 2 9 3 1 2
Total
92
Persentase 18.5 7.6 1.1 8.7 1.1 38.0 1.1 5.4 2.2 9.8 3.3 1.1 2.2 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa luas lahan terbanyak yang dimiliki petani yaitu 500 m2 yaitu sebanyak 35 respoden. Luas lahan kedua yang terbanyak dimiliki petani adalah 250 m2 yaitu sebanyak 17 petani. Terdapat juga petani yang memiliki lahan sawah seluas 850 m2 yaitu sebanyak 2 orang. Kepemilikan lahan oleh respoden tidak hanya diperoleh dari proses jual beli melainkan juga dari proses warisan. Adapun sumbersumber perolehan kepemilikan lahan respoden disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sumber kepemilikan lahan Sumber
Respoden
Persentase
Warisan Beli Lain-lain
66 15 11
71.7 16.3 12.0
Total
92
100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah). 159
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Dari tabel di atas diketahui bahwa 66 respoden memiliki lahan pertanian dari hasil warisan keluarga, sedangkan 15 respoden dari membeli, sedangkan selebihnya dari upaya lainnya seperti hibah atau pemberian saudara atau kerabat. Sebanyak 71,7 persen memiliki lahan dari warisan keluarga karena rata-rata orang tua respoden merupakan petani dan pemilik lahan di Aceh Besar. Letak lahan yang dimiliki respoden ada yang terpisah dan ada yang terkumpul pada satu lokasi. Adapun jenis letak lahan responden disajikan dalam Tabel 8 di bawah ini: Tabel 8. Lokasi lahan Letak
Respoden
Persentase
Satulokasi Terpisah
49 43
53.3 46.7
Total Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
92
100.0
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa 49 respoden memiliki lahan yang berada pada satu lokasi/satu desa atau sebanyak 53,3 persen respoden memiliki lahan pertanian yang berada pada satu lokasi, sedangkan 43 respoden lainnya memiliki lahan yang terpisahpisah /berlainan desa. Hasil penelitian terhadap 92 responden menunjukkan bahwa tidak seluruh respoden pernah menjual lahan sawah miliknya. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebesar 84,8 persen atau sebanyak 78 respoden menyatakan bahwa tidak pernah menjual lahan sawah ke pada pihak lain, sedangkan 14 respoden menyatakan pernah menjual lahan sawah ke pihak lain. Tabel 9. Respoden berdasarkan kesediaan menjual lahan Menjual
Respoden
Persentase
Tidak
78
84.8
Ya
14
15.2
Total
92
100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi keputusan respoden dalam menjual lahan salah satunya adalah harga lahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65 responden (70,7 persen) menyatakan tidak setuju bahwa bahwa faktor harga memengaruhi keputusan dalam menjual lahan. Selain menjawab tidak setuju, terdapat juga 13 responden yang menjawab sangat tidak setuju. Adapun rincian jawaban responden mengenai faktor harga disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Tanggapan konsumen terhadap harga Jawaban
Respoden
Persentase
Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju
13 65 14
14.1 70.7 15.2
Total Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
92
100.0
160
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
Selain faktor harga, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan. Kebutuhan yang mendesak bisa saja menjadi penentu respoden menjual lahan jika sumber penghasilan lain tidik ada. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 84,8 persen atau sebanyak 78 responden menyatakan tidak setuju bahwa kebutuhan memengaruhi responden untuk menjual lahan sebanyak 12 responden menjawab setuju bahwa produktivitas akan memengaruhi responden dalam menjual lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai kebutuhan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Tanggapan Konsumen Terhadap Kebutuhan Ekonomi Jawaban Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Total
Respoden 2 78 12 92
Persentase 2,2 84,8 13,0 100,0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Selain faktor harga dan kebutuhan ekonomi, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor produktivitas. Sebanyak 74 responden menyatakan tidak setuju bahwa produktivitas lahan memengaruhi keputusan penjualan lahan. Bahkan terdapat 17 respoden yang menyatakan sangat tidak setuju jika faktor produktivitas menyebabkan penjualan lahan. Hanya satu 1 respoden yang setuju jika faktor produktivitas dinyatakan berpengaruh terhadap penjualan lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai produktivitas disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Tanggapan konsumen terhadap produktivitas Jawaban
Respoden 17 74 1 92
Sangat tidak setuju Tidak setuju Setuju Total
Persentase 18,5 80,4 1,1 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah). Untuk mengetahui pengaruh harga, kebutuhan ekonomi dan produktivitas terhadap keputusan penualan lahan pertanian di Aceh Besar maka dilakukan uji regresi logistik biner terhadap data-data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner. Pengolahan data menggunakan aplikasi SPSS. Hasil regresi disajikan pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Hasil regresi Model
Unstandardized Coefficients B
Std. Error
(Constant) -0,253 0,271 Harga 0,148 0,071 Kebutuhan 0,096 0,092 Produktifitas -0,032 0,104 a. Dependent Variable: Menjual Lahan ttabel = 1,290 Fhitung = 1,814 Ftabel = 2,700
Standardized Coefficients
1
Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah)
161
t
Sig.
Beta 0,223 0,109 -0,033 R2= 0,058
-0,936 2,077 1,045 -0,308
0,352 0,041 0,299 0,759
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nov 2013
Hasil estimasi Tabel 13 harus ditransformasikan agar dapat diinterpretasikan. Hasil transformasi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil estimasi parameter model logistik Variabel harga kebutuhan produktivitas
Koefisien
Anti Ln
(-1x100)
0,148
1,1590
15,90
0,096
1,10075
10,07
-0,032
0,9685
-3,14
Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah) Hasil uji di atas diintepretasikan sebagai berikut: 1) hasil p-value pada tingkat keyakinan 10 persen menunjukkan bahwa dari ketiga variabel yang diuji pengaruhnya terhadap keputusan menjual lahan hanya satu variabel yang menunjukkan pengaruh positif yaitu harga ketika nilai p-value sama dengan 0,041. Sedangkan variabel kebutuhan ekonomi dan produktivitas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan menjual lahan sawah di kecamatan Darul Imarah; 2) koefisien Harga (β1) sebesar 0,148 memiliki arti bahwa jika harga jual tanah ditetapkan lebih tinggi sebesar 1 persen maka akan menambah kecenderungan petani menjual lahan pertaniannya bertambah sebesar 15,90 dengan asumsi variabel lain dianggap tetap. Artinya jika harga lahan pertanian yang lebih mahal maka akan meningkatkan peluang penjualan lahan tersebut; dan 3) untuk koefisien kebutuhan ekonomi (β2) dan produktivitas (β3) tidak dapat diinterpretasikan karena hasil uji menunjukkan tidak terdapat pengaruh perubahan kebutuhan dan produktivitas terhadap peluang penjualan lahan pertanian oleh petani di kecamatan Darul Imarah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peluang penjualan lahan akibat adanya peningkatan atau penurunan kebutuhan ekonomi adalah sama, begitu juga dengan peluang akibat adanya peningkatan dan penurunan produktivitas Hipotesis lahan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Harga lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Peningkatan harga tanah mampu meningkatkan peluang petani yang memiliki lahan sawah untuk menjual lahannya. Oleh sebab itu, harga lahan sawah berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Kebutuhan ekonomi dan produktivitas lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap upaya penjualan lahan sawah. Oleh sebab itu, kebutuhan ekonomi dan produktivitas tidak berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Saran/Rekomendasi Pemilik lahan diharapkan dapat menjaga ketersedian lahan pertanian sawah di Aceh Besar tanpa harus tergiur oleh penawaran harga yang diberikan oleh pembeli. Pemerintah Aceh Besar harus lebih peduli dalam upaya menjaga ketersedian lahan sawah di Aceh Besar dalam upaya menjamin ketersedian produksi pertanian. 162
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nur Aidar dan Eri Munandar
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2008. Aceh Besar Dalam Angka 2007. BPS Aceh. ------------------------. 2009. Aceh Besar Dalam Angka 2008. BPS Aceh. ------------------------. 2010. Aceh Besar Dalam Angka 2009. BPS Aceh. ------------------------. 2011. Aceh Besar Dalam Angka 2010. BPS Aceh. Dolan, R.J and H. Simon. 2001. Power Pricing: How Managing Price Transform the Bottom Line. The Free Press. Gujarati, N. D and P.C. Dawton. 2009. Basic Econometrics 5th ed. Singapore : Mc. Graw Hill. Gunanto, E.S., 2007. Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan. http://www.tempointeraktif.com Irawan, Bambang dan Supena Friyatno.---- Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung Riduwan (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung Schiffman, L.G. and L.L. Kanuk. 2000. Consumer Behavior. 7th ed. Prentice Hall. New Jersey: Upper Saddle River Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria di Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Bogor Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
163
KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Artikel merupakan hasil penelitian atau review kajian analisis kritis bidang ekonomi dan pembangunan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dikirimkan untuk publikasi lainnya. 1. Artikel adalah hasil karya asli penulis atau tim penulis, bukan hasil plagiasi dalam bentuk apapun baik sebagian atau seluruhnya. Editor dan BAPPEDA Aceh tidak dapat dituntut secara hukum karena alasan plagiasi yang ditemukan dalam artikel yang dimuat. 2. Struktur artikel yang berupa hasil penelitian terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat tentang masalah penelitian, tujuan, metode, hasil penelitian, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan dan penelitian sebelumnya. METODE PENELITIAN memuat tentang metode penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi tentang hasil penelitian berdasarkan metode dan analisis yang digunakan dalam penelitian. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2) saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan dalam artikel tersebut. 3. Struktur artikel yang berupa hasil review terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat tentang masalah, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan. PEMBAHASAN berisi tentang uraian penyelesaian permasalahan. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2) saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan dalam artikel tersebut. 4. Identitas Penulis (nama, alamat, email, asal lembaga penulis). Identitas penulis adalah nama resmi penulis dan lembaga penulis, bukan nama samaran atau nama tidak resmi lainnya. 5. Artikel diketik dengan MS word, dua spasi, huruf times New Roman, ukuran 12 pt (karakter/inchi) dengan kertas ukuran kuarto. Panjang artikel minimal 15 halaman dan maksimal 20 halaman, dan margin kiri dan atas 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm. Semua halaman harus diberi nomor, termasuk lampiran. 6. Apabila terdapat kata/kalimat selain Bahasa Indonesia (bahasa asing) agar penulisannya di cetak miring (italic). 7. Pengutipan bahan rujukan mengikuti aturan catatan badan (body notes) seperti: a. Penulis tanggal (Green, 1997) b. Dua penulis: (Dornbusch dan Fischer, 1994) c. Penulis lebih dari dua orang: (Hoy et.al., 2001) d. Dua sumber kutipan dengan dua penulis yang berbeda: (Chiang, 1984; Dowling, 1995) e. Dua kutipan dengan penulis yang sama tapi tahunnya berbeda: (Friesman, 1972, 1978)
f. Dua kutipan dari seorang penulis tapi tahunnya sama: (Greene, 1995a, 1995b) g. Kutipan dari instansi sebaiknya dalam singkatan lembaga tersebut: (BPS, 2001) 8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad dari nama akhir penulis pertama dan bukan nomor urut. Daftar pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama diurutkan secara kronologis. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka: Jurnal: Salim, S. 2004. Reinventing jatidiri koperasi. Jurnal Ekonomi Kewirausahaan. III (2):1-8. Buku: Todaro, M.P. and S.C. Smith, 2003. Pembangunan Ekonomi di Negara Ketiga. 8th Edition. Pearson Education Limeted, United Kingdom. Skripsi/Tesis/Disertasi/Laporan penelitian: Sugiyanto, 2007, Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal. Disertasi. PPS Universitas Padjadjaran. Bandung. Prosiding: Hamdan, T. Armansyah, M. Hambal, dan Cut Nila Thasmi. 2008. Profil steroid kambing kacang lokal yang mengalami induksi superovulasi dengan antiingibin hasil isolasi dari sel granulose. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Antar Universitas “Sains dan Teknologi”. Banda Aceh: 527-533 Website: BPS, 2010 Luas Areal Perikanan Darat dan Perikanan Umum Menurut Kabupaten/Kota. Aceh. www.bps.go.id Artikel dikirim ke alamat redaksi: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Sub. Bidang Penelitian dan Pengembangan Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh Telp. (0651) 21440 – 29713 dan Facsimilie (0651) 33654 Email:
[email protected] Artikel yang sudah diterima dikategorikan menjadi (a) Diterima tanpa perbaikan, (b) Diterima dengan perbaikan editor, (c) Diterima dengan perbaikan penulis, dan (d) Ditolak karena kurang sesuai dengan persyaratan jurnal ini. Artikel yang sudah dimuat hak ciptanya adalah hak cipta bersama penulis dan BAPPEDA Aceh.