JENIS PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar tidaknya dapat ditentukan. Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. 2.1 Definisi Pengetahuan dan Kebenaran Dalam Encyclopedia of Philosophy, pengetahuan didefinisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Menurut Supratman (2006:134), pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat diketahui manusia dan hasil dari proses berpikir manusia yang melibatkan seluruh keyakinan berupa kesadaran tentang apa yang ingin diketahui.
1
Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses mengenal karena adanya hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang ingin dikenal. Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu (1) kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan (2) kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai, hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri. 2.2 Hakikat dan Sumber Pengetahuan Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita biasanya menggunakan kalimatkalimat seperti, saya mengetahuinya, saya memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang lainnya merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benarbenar tidak memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya. Pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan observasi. Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah. Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain: 1. Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya sebagai dasar pembahasan. 2. Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah dimana perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus perkara- perkara yang beragam, kemudian ia membandingkan perkara tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia menyiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih global. Pengetahuan memiliki sumber (source) diantaranya adalah : 1.Intuisi Ketika kita berbicara mengenai intuisi, yang terbangun dibenak kita adalah sebuah eksperimen, coba-coba, yang berawal dari sebuah pertanyaan dan keraguan maka lahirlah 2
insting. Kamus Politik karangan B.N. Marbun mengatakan bahwa Intuisi adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipelajari terlebih dahulu. 2.Rasional Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan “penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan spiritual. Pengetahuan rasional merupakan sejenis pengetahuan konsepsional atau hushuli, sementara pengetahuan intuisi atau hati adalah semacam pengetahuan dengan “kehadiran” langsung objek-objeknya atau hudhuri. 3.Emperikal(Indera) Tak diragukan bahwa indra-indra lahiriah manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara partikular. Atas dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi. Akan tetapi, filosof-filosof Islam beranggapan bahwa indra-indra lahiriah tetap bernilai sebagai sumber dan alat pengetahuan. Mereka memandang bahwa peran indra-indra itu hanyalah berkisar seputar konsep-konsep yang berhubungan dengan objek-objek fisik seperti manusia, pohon, warna, bentuk, dan kuantitas. Indra-indra tak berkaitan dengan semua konsep-konsep yang mungkin dimiliki dan diketahui oleh manusia, bahkan terdapat realitas-realitas yang sama sekali tidak terdeteksi dan terjangkau oleh indra-indra lahiriah dan hanya dapat dicapai oleh daya-daya pencerapan lain yang ada pada diri manusia. Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal dan material yang tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak langsung, berada di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan pikiran kita secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh pemahamanpemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali tidak mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang hanya memiliki potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan gambar. Dan aktivitas persepsi pikiran dimulai dari indraindra lahiriah. 4.Wahyu Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa.
3
2.3 Tingkatan dan Kriteria Kebenaran Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi : 1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia. 2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio. 3. Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya. 4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan. Kriteria Kebenaran : 1. Definisi Kebenaran Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu (1) kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan (2) kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai, hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri. 2.Teori-Teori Kebenaran Dalam perkembangan pemikiran filsafat, perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato, kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itu teori pengetahuan berkembang terus dengan mendapatkan penyempurnaan sampai sekarang. Hal itu seperti yang dikemukakan seorang filusuf abad XX Jaspers yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat plato dan filsafat Aristoteles.Teori kebenaran selalu parallel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. 3. Kebenaran Ilmiah Suatu kebenaran ilmiah lahir dari hasil penelitian ilmiah. Jadi agar kebenaran tersebut dapat muncul maka harus melalui proses-proses atau suatu prosedur. Prosedur baku yang harus dilalui adalah tahaan-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, yang pada hakikatnya berupa teori, melalui metodologi ilmiah yang baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya, adalah setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkrit atau abstrak. Selain itu ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang dihadapinya itu. 2.4 Teori Kebenaran Teori kebenaran selalu pararel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Berikut ini adalah teori-teori kebenaran yang telah terlembaga antara lain : 1. Teori kebenaran korespondensi Teori ini dikenal dengan teori kebenaran tradisional (white, 1978) atau teori yang paling tua yang berangkat dari pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek (Ackerman, 1965). Dengan kata lain teori ini adalah suatu pengetahuan 4
mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya atau sebagaimana dikemukakan oleh Randal dan Buchler dalam bukunya philosophyan Introdaction yang menyatakan bahwa “ A belief is called “true” if it “agrees” with a fact”. 2. Teori kebenaran Koherensi Koherensi juga diartikan sebagai teori kebenaran yang menjelaskan suatu proposisi akan diakui atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dari gagasan-gagasan dengan proporsi sebelumnya yang juga benar dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Teori ini menjelaskan bahwa semakin konsisten ide-ide yang ditangkap beberapa subjek tentang suatu objek yang sama, maka makin semakin benar ideide tersebut. 3. Teori Kebenaran Pragmatisme Menurut teori ini suatu proposisi berniali benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensikonsekuensi praktis. Karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal-hal yang bersipat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. 4. Teori kebenaran religiusme Menurut teori ini Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. 5. Teori kebenaran sintaksis Para penganut teori ini berpegang kepada gramatika yang melekat atau dipakai oleh suatu pernyataan. Dengan demikian suatu pernyataan yang memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengikutu sintaksis yang baku dengan kata lain apabila proposisi tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. 6. Teori kebenaran semantis Menurut teori ini suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Di dalam teori kebanaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan pakah proposisi itu mempunyai arti osetrik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari sunjek uang menggunakannya. Sikap-sikap yang terdapat dalan teori ini antara lain adalah pertama, sikap epistemologis skeptik, maksudnya adalah suatu sikap kebimbangan taktis atau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan ragu-rahu dalam memperoleh pengetahuan. Kedua, sikap epistemologik yakin dan ideologik, yakni sebuh proposisi itu memiliki arti, namun artinya itu bersifat arbiter dan tidak memiliki sipat pasti. Ketiga, sikap epistemilogik pragmatik, yakni makna dari proposisi tergantung pada nilai guna dan nilai prktis dari pemakaian proposisi. 7. Teori kebenaran Non-Deskripsi Teori ini mendasarkan pada penganut filsafat pungionalisme sebab pada dasarnya suatu pernyataan dikatakan benar tergantung dari peran dan fungsi pernyataan itu. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. 8. Teori kebenaran logik yang berlebihan
5
Pada dasarnya menurut teori kebanaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja, karena pada dasarnya sebuah pernyataan yang akan dibuktikan kebenaranya memiliki derajat logika yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Sesungguhnya hal yang demikian terjadi karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya, sebenarnya telah merupakan suatu objek pengetahun itu sendiri artinya pernyataan itu telah menunjukan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). 9. Teori Esensialisme Esensialime adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memikili kejelasan dan tahan lama yang memberikan kesetabilan dan niali-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. 10. Teori kontruksifisme Teori ini didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Teori ini dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memaam nilai. Kontruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alaamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, kontruktvisme tidak memaknai interaksi antar nilai sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan. 2.5 Hierarki Ilmu Secara umum basis yang sangat mendasar mengenai penyusunan hierarkis yaitu: 1. Metodologis 2. Ontologism 3. Etis Pengetahuan, menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala, dalam kitabnya Syarhu Ushul Ats Tsalatsah, memiliki enam tingkatan : 1. Al-Ilmu, yaitu pengetahuan secara pasti terhadap sesuatu sesuai dengan hakekatnya. 2. Al-Jahlul Basith, yaitu tidak diketahuinya sesuatu secara keseluruhan. 3. Al-Jahlul Murakkab, yaitu mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut murakkab karena pada orang tersebut ada 2 kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya tidak tahu. 4. Al-Waham, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih kuat. 5. Asy-Syak, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan adanya kemungkinan (lain) yang sama (kuatnya). 6. Adz-Dzan, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih lemah. Bagi kebanyakan kaum Muslimin seperti kita, tentu tidaklah dibebani harus memiliki pengetahuan sama seperti mereka, para Ulama’. Kita hanya diwajibkan memiliki pengetahuan pada hal-hal yang pokok seperti tauhid dan lawannya, syirik, kemudian hal-hal yang berkaitan dengan ibadah wajib keseharian kita seperti sholat, puasa serta hal-hal yang berkaitan dengan profesi kita secara umum. Selebihnya, fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun, bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui. 6
Permasalahannya, di zaman sedikitnya ahli ilmu seperti sekarang ini, di saat manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya, dan lalai dalam urusan agamanya, mereka menyerahkan urusan agama bukan kepada ahlinya. Walhasil yang mereka dapat bukan ilmu namun kejahilan, bahkan sampai pada tingkatan Jahil Murakkab. Kasus Mbah priok salah satu contohnya. Betapa kejahilan besar (terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi), pengagungan terhadap kuburan yang bisa membawa kepada kesyirikan dibela sedemikian rupa atas nama agama. Beberapa nyawa melayang, mobil terbakar, infrastruktur rusak disebabkan pengagungan kubur yang berlebihan yang dalam Islam sangat dilarang. Maka bagi kita, untuk aman dari kejahilan-kejahilan khususnya dalam masalah agama, sebagaimana perkataan Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala di kitab shahih-nya bab Ilmu Qoblal Qoul wal ‘Amal setelah membawakan surat Muhammad ayat 19, beliau berkata, “Maka mulailah dengan ilmu sebelum berkata dan beramal”, sepatutnyalah kita mulai membekali diri dan keluarga dengan ilmu yang diambil dari orang yang benar-benar berilmu, selebihnya kita diam (dari berkata dan beramal) sebelum berilmu. Kesimpulan Pengetahuan merupakan hasil dari proses mengenal karena adanya hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang ingin dikenal. Kebenaran merupakan sesuatu hal yang memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hakikat pengetahuan yaitu sebagai sarana untuk mengetahui realitas dari permasalahan-permasalahan yang terjadi. Pengetahuan memiliki sumber diantaranya adalah 1). Intuisi, yaitu daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipelajari terlebih dahulu. 2). Rasional, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. 3). Emperikal(Indera), merupakan sumber dan alat pengetahuan. 4). Wahyu, merupakan sumber ilmu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan scope potensi subjek, susunan tingkatan kebenaran yaitu tingkatan kebenaran indera, tingkatan ilmiah, tingkatan filosofis dan tingkatan religious. Kriteria kebenaran meliputi definisi kebenaran, teoriteori kebenaran dan kebenaran ilmiah. Teori-teori kebenaran yang telah terlembaga antara lain teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran religiusme, teori kebenaran sintaksis, teori kebenaran semantik, teori kebenaran nondeskripsi, teori kebenaran logik yang berlebihan, teori esensialisme dan teori kontruksifisme. Hierarki ilmu adalah tingkatan ilmu. Adapun tingkatan ilmu yaitu Al-Ilmu, Al-Jahlul Basith, AlJahlul Murakkab, Al-Waham, Asy-Syak dan Adz-Dzan.
7
• • • • •
DAFTAR PUSTAKA http://phianz1989.blogspot.com/2011/11/pengetahuan-dan-kebenaran-dalam.html, April 03, 2013 http://antiiekoo.blogspot.com/2011/03/hakikat-dan-sumber-pengetahuan.html, April 03, 2013 http://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/, April 03, 2013 http://spi2010b.wordpress.com/2012/11/11/konsep-kebenaran-dalam-filsafat/, April 03, 2013 http://infoterbaru013.blogspot.com/2013/01/makalah-pengetahuan-dan-ukuran_1230.html, April 15, 2013
________ Kusnul Khotimah (Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen Afid Burhanuddin, M.Pd.)
8