BAB IV PENGETAHUAN DAN KEBENARAN A. Metode Abstraksi. Pengalaman merupakan titik tolak dari pengetahuan ilmiah, sebab seluruh pengetahuan manusia itu pada akhirnya bertitik tolak dari dunia pengalaman (empiris). Demikian pula filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum ummat manusia (common experience of mankind). Setiap pengetahuan dimulai dari data indera yang kemudian diolah menjadi pengalaman indera. Dan pengalaman indera muncul kegiatan abstraksi yang dikerjakan oleh intelek atau akal. Abstraksi adalah proses, sedangkan abstrak adalah hasilnya atau sifatnya. Abstraksi berasal dari kata Latin abstrahere yang berarti “menjauhkan diri” atau “mengambil dari”. Asumsi yang digunakan metode ini adalah adanya sebuah substansi tunggal yang bersifat abstrak, tetap dan hakiki. Substansi yang hanya dapat ditangkap dengan akal itu dikelilingi atau ditempeli oleh berbagai aksidensi (sifat kebetulan) yang bersifat inderawi yang berubah-ubah. Asas (prinsip) Scholastik nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu yang berarti “tidak suatu pun ada dalam pikiran sebelum ada dalam indera”. Dengan demikian dapat dibedakan dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat indera yang disebut pengetahuan cerapan (percept) dan pengetahuan yang diperoleh lewat akal yang disebut pengetahuan akal (concept). Pengetahuan indera mengacu pada benda konkrit, tertentu, terbatas, yang ada dalam ruang dan waktu atau dapat ditangkap dengan indera misalnya sambil kita menunjuk “meja ini”, “orang itu” Sedangkan pengetahuan intelek mengacu pada benda secara umum, dan bersifat abstrak dan hanya dapat ditangkap dengan akal misalnya kita berbicara tentang ”meja”, “manusia”, “kebenaran”, “keindahan” tanpa mengacu pada benda atau hal tertentu. Kalau kita membicarakan hal yang abstrak berarti yang bekerja adalah akal. Kalau manusia mengetahui lewat akalnya berarti mengadakan mereka abstraksi terhadap materi yang dialami secara langsung. Pengetahuan akal atau pengetahuan intelek mesti termasuk dalam salah satu dari tiga bentuk abstraksi. Masing-masing bentuk abstnaksi tidak sama tingkatannya. Ada tingkatan-tingkatan pengetahuan, hal ini disebabkan karena ada tingkat-tingkat abstraksi. Jenis pengetahuan bersangkutan dengan tingkatan abstraksi. Menurut Aristoteles ada tiga jenis pengetahuan yaitu pengetahuan fisika, pengetahuan matematika dan
pengetahuan metafisika. Berdasar atas tiga jenis pengetahuan ini dapat dibedakan tiga tingkat abstraksi. Pertama, abstraksi fisik. Pada tingkat ini akal mengadakan abstraksi dengan memisahkan objek pembahasan ilmiah dari materi yang dapat dicerap (diindera). Abstraksi tingkat ini bersangkutan dengan bidang pembahasan tentang alam. Abstraksi ini juga disebut abstraksi keseluruhan (abstractio totius), karena sesuatu itu dibebaskan dari unsur-unsur individualnya. Abstraksi ini juga disebut abstraksi pertama, karena objek tidak dapat dipikirkan tanpa mengacu pada materi yang dapat diindera dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pikiran kita belum dapat dihapuskan unsur-unsur individual, artinya kita masih dapat membayangkan pohon tertentu, macam makanan tertentu, binatang tertentu atau air yang mendidih dalam tempat tertentu. Kedua, abstraksi matematis. Pada tingkat ini akal mengadakan abstraksi dengan memisahkan objek pembahasan dari bahan inderawi yang secara ilmiah cocok bagi matematika. Tingkat abstraksi ini juga disebut abstraksi bentuk (abstractio formae) karena yang dipentingkan di sini adalah bentuk, ukuran, kuantitas dan jumlah. Abstraksi tingkat kedua ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dari materi, akan tetapi sebaliknya tetap mengacu pada materi yang fisik. Abstraksi ini mengacu secara tidak langsung pada materi. Ditinjau dari pengetahuan, matematika lebih sempuma daripada ilmu pengetahuan alam, karena yang terdahulu bergerak lebih jauh daripada yang kemudian. Ketiga, abstraksi metafisik. Abstraksi tingkat ketiga ini terjadi karena dalam pembahasan yang dipentingkan adalah pemisahan dari semua materi dan tidak tergantung pada materi tertentu. Metafisika merupakan pengetahuan pada tingkat ketiga. Objek pengetahuan pada tingkat ketiga ini dapat ada tanpa materi dan dapat dipikirkan atau dibayangkan tanpa mengacu pada materi atau benda fisik. Dengan demikian pengetahuan tingkat ketiga disebut pengetahuan sesudah dan mengatasi fisika. Metode atau kegiatan abstraksi itu merupakan kegiatan akal yang melepaskan atau menanggalkan sifat-sifat yang kebetulan, sifat-sifat khusus (aksidensi) yang “menempel” pada sesuatu hal sehingga kalau semua aksidensi itu sudah dilepaskan maka dapat diperoleh substansinya. Sehubungan dengan kegiatan abstraksi ini terlebih dahulu perlu dipahami apa yang disebut kategori. Kategori merupakan pengertian pokok yang masing-masing menyatakan suatu cara berada atau cara mengada. Kategori memiliki dua arti. Dalam arti pertama,
kategori berarti jenis-jenis pengertian umum; dalam arti kedua kategori berarti jenisjenis ada. Menurut Aristoteles, semua yang ada dapat digolong-golongkan menjadi sepuluh kategori. Sepuluh kategori dapat dibedakan menjadi dua yaitu satu substansi dan sembilan aksidensi. Satu substansi dan sembilan aksedensi yang termasuk kategori itu adalah seperti yang di bawah ini. 1. Substansi (dzat). Substansi adalah sesuatu yang ada yang mampu berdiri berdiri sendiri. Keberadaan substansi tidak bergantung pada yang ada lainnya. Kedudukan substansi yang mampu berdiri sendiri ini menunjukkan bahwa substansi menjadi tempat beradanya hal-hal yang lain, misalnya kualitas kualitas. Kualitas dikatakan ada kalau “melelcat” pada suatu substansi. Dalam penggunaan secara khusus, istilah substansi searti dengan essensi. Istilah essensi dikaitkan dengan aksidensi, yaitu sifat-sifat yang tidak harus ada melekat pada sesuatu hal. Contoh-contoh substansi di antaranya manusia, kuda, pohon, meja. Benda-benda yang dibuat contoh itu dapat ada tanpa bergantung pada yang lain. Di lain pihak, warna putih, sifàt pandai, gemuk, cantik bukanlah substansi melainkan aksidensi. Disebut demikian karena halhal tersebut dikatakan ada kalau melekat pada sesuatu. Misalnya yang “berwarna putih” adalah tembok, langit, kapas, susu. Sedangkan yang gemuk adalah manusia, hewan, atau tanaman. 2. Kuantitas (jumlah, luas). Kuantitas adalah aksidensi yang menyebabkan suatu substansi fisik dapat dibagi secara terus menerus. Kuantitas itu ada pada suatu substansi sejauh substansi itu benda fisik. Kuantitas dibedakan menjadi dua: kuantitas kontinyu dan kuantitas diskontinyu. Hal-hal yang berupa garis atau
bidang
permukaan
suatu
benda
merupakan
kuantitas
kontinyu.
Sedangkan hal- hal yang berupa jumlah atau banyaknya sesuatu hal itu merupakan kuantitas diskontinyu. 3. Kualitas (sifat). Kualitas adalah aksidensi yang memberikan sifat pada substansi. Kualitas diperinci lebih lanjut menjadi empat macam yaitu keadaan (siffit batin), potensi (kemampuan yang belum muncul), fisik (sifat kebendaan) dan bentuk (bangun, susunan). (a) Keadaan atau sifat batin adalah kualitas yang mensifatkan suatu substansi dalam keadaan baik atau buruk, positif atau negatif. Misalnya seorang manusia itu sehat atau sakit, berduka atau bersuka, pandai atau bodoh.
(b) Potensi atau kemampuan adalah kualitas yang menyebabkan suatu substansi mampu melakukan kegiatan. Kemampuan ini bersifat batin, belum terwujud dalam kenyataan. (c) Fisik atau sifat kebendaan adalah kualitas yang dapat dicerap dengan indera. Misalnya sesuatu hal itu berwarna hitam atau putih, berat atau ringan, berasa manis atau pahit. (d) Bentuk atau susunan adalah kualitas yang membatasi substansi. Misalnya bengkok atau lurusnya sebuah garis. 4. Relasi (hubungan). Relasi adalah kategori yang menyatakan hubungan antara sesuatu hal yang satu terhadap yang lain. Sesuatu yang lain itu mesti berhubungan dengan yang lain. Misalnya Asep lebih tinggi daripada Andi; Alfan anak dari Pak Iwan. 5. Aksi (tindakan). Aksi adalah kategon yang menyatakan tindakan atau perbuatan yang mengenai pihak lain. Misalnya memukul, melempar. 6. Passi (penderitaan). Passi adalah kategori yang menyatakan bahwa suatu substansi menderita atau mengalami penderitaan karena tindakan pihak lain. Ini menunjukkan bahwa substansi menerima perubahan. Misalnya dipukul, dilempar. 7. Tempat (volume). Ini adalah kategori yang menunjukkan besar kecilnya suatu substansi. Besar kecilnya substansi akan memerlukan tempat. Dapat dikatakan bahwa “tempat” merupakan kategori yang menjawab pertanyaan “di mana”. Misalnya di rumah, dijalan, di Yogyakarta, di Indonesia. 8. Waktu. Ini adalah kategori yang menyatakan kapan atau berapa lama suatu substansi itu ada. Misalnya kemarin, hari ini, tanggal 20 bulan Agustus 1966, usia 35 tahun. 9. Sikap (kedudukan). Ini adalah kategori yang menunjukkan sikap atau kedudukan suatu substansi. Misalnya kalau substansinya seorang manusia, ia mungkin dalam kedudukan (posisi) berdiri, duduk, atau berbaring. 10. Lingkungan (keadaan) atau pemilikan. Ini adalah kategori yang menyatakan keadaan keseluruhan yang melingkupi atau yang dimiliki substansi. Misalnya kalau substansinya itu seorang manusia, maka hal-hal yang melingkupinya berupa benda-benda yang dimilikinya atau dipakainya. Misalnya bersepatu, berkaca mata, berbaju, berarloji. Sepuluh kategori yang dikemukakan di atas, dapat dibuat perincian sebagai berikut. Semua yang ada dibagi menjadi : yang dapat ada berdiri sendiri disebut
substansi (1); yang ada pada hal lain disebut aksidensi. Yang ada pada hal lain dibagi menjadi: Yang ada di dalam dan yang ada di luar. Yang ada di dalam terdiri dari kuantitas (2), kualitas (3) dan relasi (4). Yang ada di luar terdiri dari aksi (5), passi (6) dan yang ada jauh yaitu waktu (7), tempat (8), sikap (9) dan keadaan (10). B. Cara Memperoleh Pengetahuan (Sumber-Sumber Pengetahuan). Secara kodrati dalam diri manusia terkandung sikap curiosity atau keinginan untuk
mengetahui
sesuatu
atau
mengetahui
keadaan
di
sekelilingnya.
“Mengetahui” adalah kegiatan atau proses sedangkan “pengetahuan” adalah hasilnya. Berbagai macam cara telah dipilih manusia untuk memenuhi hasrat keingintahuan. Cara-cara mengetahui yang dipilih itu ada yang dilakukan secara kritis dan ada pula cara mengetahui yang secara tidak kritis. Dikatakan secara tidak kritis karena tidak menggunakan pemikiran atau mengabaikan bukti-bukti yang diajukan yang dapat memperkuat pengetahuan yang dimiliki. Beberapa cara mengetahui yang tidak kritis itu misalnya mengetahui dengan akal sehat (common sense), mengetahui lewat kepercayaan (faith) dan mengetahui lewat orang yang mempunyai keahlian (authority). Cara mengetahui secara tidak kritis biasanya dilakukan terutama menyangkut urusan-urusan praktis dalam kehidupan seharihari. Cara seperti memang perlu dilakukan sebab kalau tidak demikian urusan kehidupan malah bertambah lama untuk dapat diselesaikan. Tidak dapat diingkari, dalam kehidupan sehari-hari ada hal-hal tertentu yang diterima dengan begitu saja, tanpa sebelum dan sesudahnya dipikirkan secara mendalam seperti misalnya dalam kehidupan ilmiah. Cara atau metode untuk mengetahui kenyataan yang mengelilingi manusia akan menentukan jenis-jenis pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan tertentu. Pada umunya dibedakan beberapa jenis pengetahuan yaitu pengetahuan akalsehat (common sense), pengetahuan cerapan indera (sense perception), pengetahuan dari orang yang mempunyai keahlian atau lembaga yang berwenang (authority), pengetahuan yang diperoleh lewat akal (reason), pengetahuan yang diperoleh secara Iangsung (intuition), dan pengetahuan wahyu (revelation). Masing-masing pengetahuan itu tidak dapat dikatakan yang satu melebihi yang lain. Dalam penerapannya, masing-masing pengetahuan digunakan secara bergantian dan fungsional dengan berdasarkan dinamika sesuai dengan keadaan, ruang dan waktu. Masing-masing memiliki segi kekuatan dan kelemahannya dan
terbatas dalam penerapannya. Dengan demikian dalam penerapannya haruslah saling melengkapi (komplementer). (1)
Pengetahuan Akal Sehat. (common sense). Proses perkembangan
seorang manusia dari anak menjadi dewasa ditandai dengan bertambah luas pengalamannya,
baik
secara
sadar
ataupun
tidak
mereka
memperoleh
pengetahuan kebiasan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, berbuat sesuai dengan peraturan-peraturan yang sudah ada. Semua yang dilakukan itu seolaholah dengan begitu saja tanpa mempersoalkan kebenarannya. Pengetahuan yang diperoleh itu menyangkut kehidupan sehari-hari terutama dalam hal yang praktis. Dengan demikian pengetahuan itu mencakup bagaimana manusia itu berpikir atau juga berbuat dalam menghadapi urusan sehari-hari yang tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Cara berpikir dan berbuat yang dilakukan tanpa keraguan oleh kebanyakan anggota masyarakat dalam urusan sehari-hari disebut pengetahuan akal sehat. Ada kecenderungan orang akan menjauhi keadaan yang membahayakan. Misalnya yang kejadian yang berupa kebakaran, banjir, gunung meletus. Akal sehat merupakan istilah yang sangat luas, mencakup jenis-jenis pengetahuan yang diperkirakan dimiliki oleh sebagian besar anggota dari suatu kelompok masyarakat. Wujud pengetahuan semacam ini dapat berupa aturan berbuat, jenis perbuatan, ucapan, pendapat, serta kepercayaan yang dianut oleh anggotaanggota dan kelompok masyarakat. Misalnya (a) anak-anak taat pada orang tuanya, (b) orang tua sayang kepada anaknya; (c) air mengalir ke tempat yang lebih rendah;(d) benda-benda yang lebih berat dari udara akan jatuh. Ada beberapa ciri pengetahuan akal sehat. (a) Pengetahuan akal sehat cenderung merupakan kebiasaan dan merupakan peniruan yang sebagian besar diperoleh dari masa lampau. Pengetahuan semacam ini termuat dalam kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan tradisi, yang ada. Kebiasaan dan tradisi masyarakat cenderung menjadi kebiasaan dan kepercayaan bagi individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. (b) Pengetahuan akal sehat sering kabur dan mempunyai banyak arti (ambiguos). Akibatnya, pengetahuan semacam itu juga mempunyai arti yang berbeda di antara individu yang satu dengan lainnya, antara kelompok satu dengan lainnya. Perbedaan dalam mengartikan akal sehat ini dapat dilacak dari faktor terbentuknya pengetahuan ini. Pengetahuan akal sehat terbentuk dari
kumpulan fakta, prasangka dan emosi yang kesemuanya itu terbentuk tanpa perenungan dan kritik. (c) Pengetahuan akal sehat mencakup semua bidang kehidupan dari kelompok masyarakat. Pengetahuan akal sehat dapat menyesatkan dan dapat pula menunjukkan pada kebenaran. Dalam situasi yang rumit dan terjadi perubahan yang sangat cepat, akal sehat kurang memadahi untuk memahami situasi baru yang kurang begitu dikenal. (d) Pengetahuan akal sehat sebagian besar merupakan pengetahuan yang teoritis. Mereka yang memiliki pengetahuan tersebut mengira bahwa pengetahuan yang dimiliki itu sudah jelas dengan sendirinya (self-evident), pada hal berdasar pada asumsi-asumsi yang sering belum diperiksa kebenarannya (2)
Pengetahuan cerapan indera (sense perception). Manusia memiliki alat-
alat penginderaan yang dengan alat itu mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dihadapinya. Misalnya memperoleh pengetahuan secara konkrit bahwa air dapat menyegarkan tanaman yang layu, api dapat membakar kertas, menghirup udara pagi dapat menyegarkan badan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan alat-alat penginderaan dan berdasar pengalman yang dimiliki sebelumnya. Apa pun yang didengar (dengan telinga), dilihat (dengan mata), diraba (dengan kulit), dibau (dengan hidung) dan dirasa (dengan lidah) merupakan pengetahuan dan juga merupakan pengalaman bagi individu yang bersangkutan. Menurut empirisme pengetahuan sama dengan pengalaman. Aliran ini menekankan pada kemampuan manusia untuk mencerap atau mengindera (perceive), pengamatan atau apa saja yang diterima indera dari lingkungan sekeliling yang terdapat benda-benda konkrit. Pengetahuan diperoleh dengan membentuk gagasan-gagasan yang sesuai dengan fakta-fakta yang diamati. Pengetahuan dapat terjadi karena bertemunya rangsang indera (sensation) dengan ingatan (memory). Seseorang dapat mengatakan bahwa ia mendengar “suara petasan” kalau ada bunyi suara (rangsang indera) dan bertemu dengan pengalaman tentang suara itu pada masa lampau yang sudah tersimpan (memory). Tokoh-tokoh empirisme di antaranya Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, pengetahuan dibentuk oleh ide yang berasal dari sensation yaitu penginderaan dunia luar. Di samping itu ada pengetahuan yang dibentuk oleh ide yang berasal dan reflextion
yaitu pengalaman dari dalam jiwa karena pengolahan oleh sensasi. Jiwa itu kosong seperti kertas putih yang belum ditulisi atau tabula rasa. Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang dibawa manusia sejak lahir. Pengalamanlah yang membentuk jiwa. Penganut empirisme yang muncul kemudian telah meninggalkan teori pengetahuan yang dikemukakan di atas. Empirisme radikal yaitu pragmatisme memandang akal/jiwa manusia bersifat aktif yaitu memilih dan membentuk pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan kehidupan. Pragmatisme memberikan tekanan pada dunia pengalaman yang selalu berubah. (3)
Pengetahuan dani yang mempunyai keahlian (authority). Istilah lnggris
authority berasal dari bahasa Latin auctor = “yang mengawali”, “pemimpin”, “kepala”. Manusia dapat memperoleh pengetahuan tidak hanya lewat indera saja. Manusia dapat memperoleh pengetahuan baru melalui kesaksian dari yang dipercayai. Ini terutama pengetahuan yang menyangkut masa lampau, atau terhadap hal-hal yang
tidak
dapat secara langsung diketahui. Manusia
mengembangkan pengetahuan ilmiah yang dimiliki berdasarkan atas referensi, dokumentasi dan informasi. Hal-hal ini menimbulkan problem epistemologi yaitu sejauh mana kesaksian itu mempunyai bobot epistemologis sehingga dapat dipandang sebagai sumber pengetahuan. Problem kesaksian ini menyangkut apa atau siapa authority itu. Pengertian authoriti ini mencakup juga orang atau lembaga yang memiliki kewibawaan, keahlian atau kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan ilmiah, manusia sering mempunyai pengetahuan karena diberi tahu oleh orang lain, dalam arti pengetahuan itu tidak diperoleh sendiri. Manusia memperoleh pengetahuan dan membaca buku, mengikuti kuliah, mendengarkan ceramah dari radio, TV., atau mengikuti seminar. Bagaimanakah dapat diketahui bahwa Socrates, Plato, Aristoteles, Cleopatra, Napoleoan, Cut Nyak Din, Pattimura, dan Diponegoro merupakan tokoh-tokoh yang pernah ada? Apakah benar bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada hari Jum’at 17 Agustus 1945? Bagaimanakah dengan nama-nama fiksi seperti halnya nama-nama yang disebut dalam mitologi, dongeng atau ceritera yang dibuat untuk anak-anak. Misalnya Apollo, Ganesya, Dewi Sri, Aladin, Flash Gordon, Superman, Tarzan, Satria baja hitarn dan masih banyak yang lain. Nama-nama dan kejadian yang disebut pada kelompok pertama
memang nama orang yang pernah hidup dan peristiwa yang benar-benar terjadi karena bukti-bukti yang sekarang masih ada atau bukti yang dikemukakan oleh sejarawan. Kebanyakan cara memperoleh pengetahuan yang menyangkut masa lampau berdasarkan kesaksian yang dikemukakan oleh orang lain karena keahliannya. Dengan cara ini dapat diperoleh pengetahuan yang berasal dari pikiran-pikiran dan fakta-fakta yang dimiliki orang lain dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dasar dari authority ada dua. Pertama unsur pengetahuan, artinya saksi memang mempunyai kemungkinan untuk mengetahui hal yang dikemukakan. Kedua, veracitas, artinya saksi mempunyai kelayakan untuk tidak berdusta. Kalau kedua syarat itu sudah dipenuhi, maka kesaksian itu dapat dipandang sebagai sumber pengetahuan. Bila syarat-,syarat itu dipenuhi maka ada beberapa alasan mengapa kesaksian itu diterima. Pertama, kesaksian itu sendiri adalah sebagai fakta. Kedua, karena kesaksian itu memiliki auctoritas (kelayakan untuk dipercaya) didasarkan pada adanya pengetahuan dan adanya kesungguhan (veracitas). Ada beberapa sumber yang merupakan authority yang sah.. 1. Perseorangan. Dalam sejarah perkembangan filsafat dan ilmu ada beberapa individu yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Mereka dihargai dan dihormati oleh teman-temannya karena keahliannya, mereka mempunyai keahlian dan kemampuan dalam sesuatu bidang. Para filsuf atau ilmuwan yang ahli dalam bidang tertentu di antaranya: Niculaus Copernicus (1473-1543) ahli astronomi, Fancis Bacon (1561-1626) ahli metodologi ilmu, Isaac Newton (1642-1727) ahli fisika, astronomi dan matematika, Charles Darwin (18091882), ahli biologi, Albert Einstein (1879-1955), ahli fisika dan matematika. 2. Organisasi. Organisasi professional dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya dalam sesuatu bidang. Pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi juga dimiliki oleh semua anggotanya. Misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam bidang medis, Persatuan Insyinyur Indonesia (PH) dalam bidang teknik, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam bidang ekonomi. 3. Institusi. Banyak lembaga yang dipandang sebagai sumber kebenaran yang berwenang misalnya negara, perguruan tinggi (UGM, ITB, UI) lembaga keagamaan dan sebagainya. 4. Gagasan-gagasan (idea) yang memperoleh dukungan secara luas. Bilamana sejumlah besar orang menerima suatu idea itu benar, maka besar
kemungkinannya idea itu benar. Kepercayaan yang sudah tersebar secara luas adalah merupakan authority. 5. Gagasan-gagasan (idea) yang memiliki kaitan dengan masa lampau. Ada beberapa pengetahuan yang bertalian dengan masa lampau misalnya yang berupa
kebiasaan
yang
dipraktekkan
masyarakat.
Manusia
mewarisi
pengetahuan dan generasi sebelumnya. Misalnya air jeruk dicampur kecap sebagai obat mujarab penyakit batuk. Authority sebagai sumber pengetahuan di samping dapat memberikan manfaat tetapi juga mengandung kelemahan. Kesaksian yang terbuka untuk diselidiki validitasnya dapat merupakan sumber pengetahuan yang sah. Diperlukan sekali penerimaan pengetahuan dari authority dalam bidang yang bukan keahlian kita atau dapat juga kita tidak mungkin menyelidiki sendiri karena keterbatasan kemampuan atau keterbatasan usia. Penerimaan pengetahuan dari authority haruslah secara kritis. Perlu diketahui metode yang digunakan authority itu untuk memperoleh pengetahuan, apakah dengan pengalaman, akal, ataukah dengan cara lain. Apakah dapat diperiksa langkahlangkah yang dilakukan sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan. (4)
Pengetahuan
Akal
(rasio).
Misalnya
ada
dua
pernyataan
yang
bertentangan secara kontradiksi (pertentangan yang saling menyisihkan). Yang pertama dinyatakan bahwa “Samson hidup”, dan yang kedua dinyatakan bahwa “Samson mati”. Masalahnya adalah, bagaimana dapat diketahui bahwa dua pernyataan itu tidak dapat bersama-sama benar pada saat yang bersamaan? Kemudian dapat juga dikemukakan masalah lain yaitu bagaimana dapat diketahui kalau ada dua hal, yang masing-masing sama dengan yang ketiga, maka dengan sendirinya dua hal tersebut satu sama lain adalah sama. Problim yang kedua ini dapat dirumukan demikian. A = B ; B = C ; Jadi A = C;
Dapat dikatakan
bahwa A = C memang sudah jelas dengan sendirinya, atau sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident) dalam arti tidak perlu dibuktikan lagi. Kesimpulan itu memang sudah sesuai dengan akal, sudah sesuai dengan hukum-hukum berpikir. Para ahli pikir dan ilmuwan yang menekankan pada penalaran (reasoning) sebagai faktor pokok untuk memperoleh pengetahuan dan menentukan kebenaran termasuk dalam aliran filsafat rasionalisme. Rasionalisme adalah aliran flisafat yang
mempercayai
kemampuan
akal
untuk
memperoleh
pengetahuan.
Pengetahuan dapat diperoleh dengan membandingkan ide dengan ide. Aliran ini
menekankan pada kemampuan berpikir manusia dan menganggap bahwa indera tidak dapat memberi pengetahuan yang valid (sah) secara universal. Pengetahuan
merupakan
pemyataan-pemyataan
yang
valid
secara
universal satu dengan yang lain. Sensasi (rangsang indera) dari pengalaman yang diperoleh lewat indera hanya merupakan bahan mentah bagi terbentuknya pengetahuan. Sensasi dan pengalaman yang diperoleh lewat indera hanyalah sebagai bahan mentah Bahan mentah itu diatur dan disusun oleh akal sehingga berubah menjadi pengetahuan. Bagi rasionalisme pengetahuan yang sejati bukanlah sensasi yang masih mentah melainkan berupa konsep-konsep, prinsipprinsip dan kaidah-kaidah (laws). (5)
Pengetahuan Intuisi. lstilah intuisi berasal dari bahasa Latin intuere yang
berarti “melihat” atau “menonton”. Pada suatu kesempatan, manusia tanpa mengadakan pemikiran atau pengamatan dapat memperoleh pengetahuan secara Iangsung yang diperoleh bukan dari penyimpulan. Intuisi juga berarti suatu kemampuan dalam arti kemampuan untuk memperoleh pengetahuan secara langsung tanpa menggunakan akal. Pengetahuan semacam ini disebut intuisi. Pengetahuan intuisi bukan merupakan hasil dari pemikiran secara sadar atau hasil pengamatan terhadap sesuatu. Dalam buku-buku yang membicarakan intuisi, seringkali dijumpai istilah-istilah misalnya “perasaan langsung tentang kepastian”, “tanggapan
secara
menyeluruh”,
“pemahaman
secara
langsung
tentang
kebenaran” Immanuel Kant, mengartikan intuisi sebagai proses penginderaan atau kegiatan rangsang indera. Dibedakan dua jenis intuisi: pertama intuisi pengalaman (a posteriori) yaitu intuisi atas benda-benda dengan menggunakan indera, dan kedua, intuisi murni (pure;formal) yaitu intuisi yang struktur-struktur yang diberikan oleh intuisi empiris menjadi rangsang indera (sensation) yang mempunyai sifat ada dalam ruang dan waktu. Intuisi termuat dalam pengetahuan tentang diri sendini, pengetahuan tentang kehidupan manusia dan juga aksioma (dalil) matematika. Intuisi merupakan dasar pengenalan manusia tentang yang indah, patokan moral dan juga pengenalan terhadap nilai-nilai keagamaan. Meskipun pengetahuan intuisi tidak diperoleh lewat akal, pengetahuan ini diperlukan bagi pemikiran manusia. Yang disebut intuisi rasional (rational intuition) sasarannya adalah proposisi a prion yaitu suatu proposisi yang kebenarannya diperoleh secara jelas dan langsung dari makna yang dikandungnya.
Yang berikut adalah beberapa contoh proposisi yang benar secara intuitif. a. Sesuatu hal yang sama tidak dapat ada dan tidak ada pada waktu yang bersamaan. b. Sesuatu hal harus ada atau tidak ada pada saat tertentu. c. Kalau A lebih besar daripada B dan B lebih besar daripada C, maka A lebih besar daripada C. d. Kalau A lebih besar daripada B, maka B lebih kecil daripada A e. Kalau sesuatu hal memiliki warna, hal itu harus memiliki luas. f. Setiap gerak harus ada dalam kelangsungan waktu. Kalau saya berusaha meragukan keberadaan saya sendiri, berarti saya membuktikan bahwa saya ada dengan setiap fakta tentang keraguan saya. Terbentuknya intuisi merupakan hal yang unik bila dibandingkan dengan jenis-jenis pengetahuan yang lain. Dikatakan unik karena ternyata intuisi terkait dengan kumpulan pengalaman dan pemikiran seseorang pada masa lampau. Mereka
yang
mempunyai
banyak
pengalaman
dan
pemikiran,
besar
kemungkinannya memperoleh intuisi. Dalam karya-karya ilmiah dewasa ini digunakan istilah yang terkait dengan intuisi misalnya cerapan yang cepat (quick perception), pertimbangan yang sehat (sound judgment). Pemahaman ilmiah dapat diterima oleh mereka yang berkerja dengan sungguh-sungguh dalam menghadapi masalah ilmiah. Inspirasi-inspirasi puitis dapat diterima oleh mereka yang banyak menulis tentang puisi. Pencipta lagu sering menerima inspirasi yang bersangkutan dengan lagu. Demikian pula intuisi kefilsafatan dan keagamaan sering diterima oleh mereka yang menggunakan waktunya dan mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat dan agama. (6)
Pengetahuan Wahyu (revelation). Pengetahuan yang diperoleh dari wahyu
didasarkan pada kepercayaan dan keimanan yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bagi mereka yang percaya, pengetahuan wahyu diperoleh dan Tuhan atau sesuatu yang disembah. Pengetahuan semacam ini diberikan oleh Tuhan kepada manusia dengan perantaraan utusannya (nabi, rasul, orang-orang suci) yang termuat dalam kitab-kitab suci. Pengetahuan yang terkandung dalam wahyu jangkauannya melebihi jenis-jenis pengetahuan yang dikemukakan sebelumnya misalnya menyangkut pengetahuan tentang sorga, neraka, malaikat, setan, dan hidup sesudah mati. Pengertian wahyu dalam Bibel adalah bahwa Tuhan menunjukkan dirinya secara
aktif
dalam
sejarah
kemanusiaan
dan
sebagai
pencipta
dan
mengungkapkan dirinya melalui tindakan dan ucapan para rasul. Dalam kepercayaan Kristen, Jesus adalah wahyu yang terakhir dari Tuhan. Dalam Agama Islam, wahyu yang paling sempurna dan terakhir dari Tuhan diberikan kepada Nabi Muhammad dan tercatat dalam Qur’an. Dalam Islam, Tuhan bersabda kepada manusia dengan tiga cara. (1) Dengan wahyu, yaitu dengan isyarat yang cepat. Sabda yang diilhamkan yang masuk dalam kalbu para Nabi dan orang yang tulus merupakan isyarat yang cepat yang langsung diilhamkan dalam hati. (2) Tuhan bersabda kepada hambanya dari belakang tirai, seperti pemandangan yang memperlthatkan dalam mimpi yang mengandung arti yang dalam, atau sabda yang didengar oleh orang yang menerima ilham seakan-akan dari belakang tirai. (3) Seorang Rasul dipilih oleh Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya kepada orang yang Ia kehendaki untuk diberi sabda. C. Tahap-tahap atau Keadaan Akal terhadap Kebenaran. Ciri pokok kegiatan akal adalah berpikir. Berpikir adalah suatu proses yang bertujuan. Tujuan berpikir adalah untuk mencapai atau memperoleh kebenaran. Untuk mencapai kebenaran akal tidak dapat mencapainya secara langsung dan segera melainkan melalui beberapa tahap atau keadaan. Tahap pertama adalah kurang tahu, kedua keragu-raguan, ketiga pendapat dan keempat kepastian. 1. Tahap tidak tahu atau kurang-tahu. Pada tahap ini kebenaran itu bagi akal tidak-ada, akal tidak memiliki kebenaran. Situasi semacam ini bagi akal dapat merupakan
kurang-tahu.
Akal
dalam
keadaan
negatif,
artinya
setiap
pengetahuan tentang sesuatu hal tidak ada pada subjek yang berpikir. Keadaan kurang tahu ini dapat bersifat “dapat diatasi “tidak dapat diatasi” Kalau kurang tahu atau tidak tahu itu dapat diatasi berarti dari tidak tahu berubah menjadi tahu. 2. Tahap keragu-raguan. Pada tahap ini, kebenaran yang ingin dicapai akal itu bersifat kemungkinan, Keragu-raguan adalah keadaan seimbang antara penegasan (affirmasi) dan pengingkaran (negasi). Antara pro dan kontra samasama kuatnya. Pada tahap atau keadaan ini alasan penegasan dan pengingkarannya adalah sama. Keragu-raguan dapat dibedakan menjadi empat yaitu: keraguan secara spontan, keraguan secara reflek, keraguan secara metodis dan keraguan secara umum.
Keraguan spontan adalah keraguan yang terjadi di mana akal tidak mengadakan telaah. Dalam hal ini akal menjauhkan diri dari sikap setuju atau menolak. Secara mekanis akal menyangsikan sesuatu hal yang dihadapi. Keraguan reflek timbul setelah dilakukan penelaahan antara alasan yang setuju dan alasan yang menolak. Keraguan
metodis
adalah
keraguan
yang
bersifat
sementara
dikemukanan oleh Descartes. Prosesnya adalah meragukan segala sesuatu sehingga dicapai sesuatu yang tidak dapat diragukan. Skeptisisme Descartes didasarkan pada dua pernyataan yang fundamental. (1) Apa yang benar-benar saya ketahui dengan jelas dan terang sehingga kepastiannya mutlak dan berada di luar keraguan apa pun. (2) Pengetahuan selanjutnya yang mana yang mungkin dapat diturunkan (dijabarkan) dari kepastian ini? Descartes tidak pernah ragu tentang adanya sebuah kebenaran yang tidak dapat diragukan dan ia tidak ragu tentang adanya tata-cara (prosedur) tententu untuk mencapai pengetahuan deduktif lengkap berdasarkan kebenaran yang tidak terbantahkan ini. Menurut Descartes, pernyataan yang fundamental itu adalah cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Ini adalah pernyataan intuitif pasti dan tidak diragukan, yang di dalamnya ia mengenal dirinya dengan jelas dan terang sebagai res cogitans (pengada yang sadar). Dia tidak dapat meragukan bahwa dia berpikir, karena dalam tindakan meragukan itu sendini dia membuktikan bahwa tindakan berpikir itu benar. Cogito ergo sum menjadi kebenaran yang terbukti (jelas) dengan sendirinya (self-evident) atau merupakan aksioma yang darinya
Descartes
mengembangkan
system
penjelasan
atas
filsafat
rasionalismenya. Keraguan umum adalah keraguan yang dilakukan oleh aliran skeptis. Setiap penegasan atau persetujuan dianggap belum pasti. 3. Tahap pendapat. Pada tahap ini akal sudah dapat menegaskan tentang sesuatu hal, namun demikian masih ada sedikit kekhawatiran bahwa yang ditegaskan itu dapat salah. Berbeda dengan tahap keragu-raguan di mana pernilaiannya ditunda, maka pada tahap pendapat ditegaskan sedemikian rupa bahwa alasan-alasan pengingkarannya tidak dapat dikecualikan dengan kepastian yang mutlak. Dengan kata lain nilai dan pendapat terdapat dalam besar tidaknya kemungkinan alasan-alasan yang menjadi dasar penegasan. Kemungkinan dibedakan menjadi dua yaitu: kemungkinan besar di bidang matematis dan kemungkinan besar di bidang moral.
(a) Kemungkinan besar di bidang matematis artinya semua kemungkinan yang sejenis dalam jumlah tertentu dari yang terlebih dahulu diketahui, tingkatan kemungkinannya
dapat
dinyatakan
dalam
bentuk
pecahan.
Angka
pembilang menunjukkan jumlah keseluruhan kemungkinan dan angka penyebut menyatakan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Misalnya dalam satu kotak berisi 6 kelereng hitam dan 4 kelereng putih, maka kemungkinan matematis bahwa akan terambil satu kelereng putih adalah 4/10. (b) Kemungkinan besar di bidang moral menyangkut segala perbuatan atau tingkah laku manusia di dalam mana kebebasan atau kemerdekaan manusia untuk bertindak memegang peranan yang penting. Kehendak bebas manusia memberikan dorongan pada manusia untuk melakukan perbuatan. Perbuatan yang didorong oleh kehendak bebas menentukan nilai perbuatan itu. Misalnya kemungkinan besar (secara moral) “seorang ibu menyayangi anak yang baru saja dilahirkan.” 4. Tahap Kepastian. Kepastian adalah keadaan dari akal, di dalam mana ada persetujuan (penegasan) yang tetap atas kebenaran yang diketahui, tanpa adanya kekhawatiran bahwa penegasannya itu keliru. Evidensi adalah dasar kepastian yang dapat dirumuskan sebagai hal yang jelas dengan mana kebenaran menonjolkan dirinya di hadapan akal manusia. Evidensi berasal dari bahasa Latin e = keluar dan videre = melihat. Evidensi adalah bukti atau fakta. Sesuatu yang cenderung atau digunakan untuk membuktikan atau mendukung sesuatu. Evidensi juga dapat berarti sesuatu yang diterima sebagai kesimpulan yang jelas, nyata, dapat diterima dan disepakati yang mendukung sebuah pernyataan, hipotesa atau hukum. Kepastin dapat dibedakan menjadi dua yaitu kepastian tentang asasnya dan kepastian tentang caranya. (1) Kepastian tentang asasnya diperinci lebih lanjut menjadi kepastian yang bercorak metafisis, fisis dan moral. (a) Kepastian
metafisis
adalah
kepastian
yang
didasarkan
pada
pengetahuan yang tidak dapat ditolak. Kualitas kepastiannya adalah mutlak secara intelektual. Kepastiannya sedemikian sedemikian rupa sehingga penegasan yang sebaliknya dalam bentuknya sendiri bersifat mustahil (absurd) dan tidak dapat dimengerti. Misalnya: “keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya”. “Semua benda mempunyai
luas” atau kepastian matematik “tidak ada lingkaran yang berbentuk segi tiga” Kepastian-kepastian itu sifatnya langsung dan jelas. (b) Kepastian bercorak fisis didasarkan pada hukum-hukum alam fisik (kebendaan) atau dalil-dalil alamiah. Lingkungan kepastian ini ada di sekitar kodrat benda-benda fisik (physical nature) atau kepada pengalaman sedemikian rupa yang dapat diketahui manusia melalui proses deduksi atau induksi. Dasarnya adalah sifat konstan (tetap) dari kenyataan fisik alamiah . Contoh-contoh kepastian fisik: matahari terbit dari sebelah timur, api itu panas, benda yang lebih berat dan udara akan jatuh, unsur-unsur air adalah H2O (c) Kepastian bercorak moral didasarkan pada dalil psikologis atau dalil kesusilaan sedemikian rupa sehingga penegasannya dalam banyak peristiwa adalah benar. Kepastian semacam ini dapat disebut kepastian manusiawi, artinya kepastian yang diperoleh yang berkenaan dengan pengetahuan kita tentang manusia yang kehendak bebas (free will). Pengertian bebas dimaksudkan bebas dari dan bebas untuk. Dibedakan antara actus homonis dan actus humanus. Actus hominis adalah kegiatan, aksi dan reaksi manusia sebagai kenyataan fisik, alamiah dan biologis. Actus humanus adalah adalah kegiatan, perbuatan, aksi dan reaksi manusia sebagai mahluk intelektual, cultural dan mempunyai kehendak bebas. Misalnya, semua ibu menyayangi anaknya. (2) Kepastian tentang caranya dibedakan menjadi langsung dan tidak langsung; batin dan lahir. Diktakan langsung atau tidak Iangsung apabila menurut halnya kepastian itu dapat dicapai atau dengan secara Iangsung atas benda yang dipikirkan, atau melalui suatu pembuktian. Misalnya pernyataan “apa yang ada itu ada” (kepastian langsung). Ini adalah kepastian yang sudah self-evidence atau kepastian yang sudah jelas dengan sendirinya. Kepastian yang tidak perlu dibuktikan lagi. “Jumlah semua sudut segi tiga sama dengan dua sudut siku-siku” (kepastian tidak langsung). Kepastian batin atau lahir sekedar menurut halnya peninjauan atas benda itu sendiri atau berdasarkan kewibawaan dari orang yang meninjaunya. Misalnya “fajar menyingsing”. “Dua tambah dua sama dengan empat” (kepastian
batin
dan
kepastian
ilmiah).
Kemerdekaan
Indonesia
diproklamasikan oleh Soekamo dan Hatta atau Kota Roma didirikan oleh
Romulus (kepastian lahir atau kepercayaan). Semua pemyataan yang bersifat sejarah bercorak kepastian lahir, karena didasarkan pada kewibawaan (authority) dari para penulis dan ahli sejarah. D. Kebenaran (1) Hakikat kebenaran. Ada beberapa bentuk yang menyangkut penerapan istilah atau kata “benar”. (a) Kebenaran dapat deskriptif, artinya dapat diterapkan pada pernyataan (statement), proposisi, atau kepercayaan yang mesti atau yang boleh jadi. Pernyataan yang mesti misalnya yang secara analitis benar. Misalnya “Jika p maka q; dan kemudian p; kesimpulannya adalah q. Pemyataan yang boleh jadi, adalah yang secara empiris benar. Misalnya “Bumi itu bulat”. Kebenaran berfungsi sebagai ajektif misalnya kepercayaan yang benar. (b) Kebenaran dapat instrumental, artinya diterapkan pada kepercayaankepercayaan yang membimbing pikiran atau tindakan yang menimbulkan keberhasilan. Misalnya tindakan yang didasarkan pada kepercayaan bahwa api yang membakar membantu seseorang agar terhindar dari kebakaran. “Kebenaran” berfungsi sebagai adverb, misalnya “seseorang mempercayai secara benar”. (c) Kebenaran dapat substantive atau ontologis, artinya istilah itu menunjuk pada sesuatu yang nyata. Misalnya :Tuhan adalah kebenaran”. Kebenaran berfungsi sebagai kata benda (noun). (d) Kebenaran dapat eksistensial, artinya menunjuk pada cara hidup (way of life) seseorang atau keterikatan yang terdalam. Manusia hidup dan tidak hanya sekedar mengetahui kebenaran. “Kebenaran” berfungsi sebagai kata kerja (verb). (2) Kriteria (ukuran) Kebenaran. Salah satu pertanyaan dalam epistemologi adalah : apakah kebenaran itu?. Manusia belum merasa puas kalau hanya memperoleh pengetahuan. Mereka melangkah lebih lanjut yaitu berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar yang dicari ini tidak sekedar benar bagi sendiri, akan tetapi adalah benar bagi orang lain. Inilah yang dimaksud dengan kebenaran yang universal. Berdasar atas hal ini pertanyaan yang muncul adalah: apakah kebenaran itu. Kebenaran bersifat objektif atau subjektif? Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa teori. Teori-teori ini mengajukan ukuran
yang menentukan apakah pengetahuan yang diperoleh itu benar atau salah. Masing-masing teori mengajukan ukuran tentang kebenaran sesuai dengan asumsi dan sudut pandangan yang digunakan. Tidak semua pernyataan dapat dinilai dengan kata benar atau kata salah. Misalnya “usulan” dapat diterima atau ditolak, dan bukannya benar atau salah. “Resolusi”, diikuti atau dilanggar. “Janji”, dipenuhi atau tidak dipenuhi. “Saran” diperhatikan atau tidak diperhatikan. “Perintah” dipatuhi atau tidak dipatuhi. (1)
Teori Kesesuaian tentang kebenaran (Correspondence Theory of Truth).
Teori ini digunakan oleh aliran realisme. Menurut realisme objek-objek yang diketahui yang berupa pengetahuan, tidak bergantung pada subjek yang mengetahui atau pada pikiran yang mengetahui. Objek-objek pengetahuan merupakan sesuatu hal yang berdiri sendiri berada di luar subjek, terpisah dari pikiran. Menurut
teori
korespondensi,
kebenaran
adalah
kesesuaian
(kecocokan) hal-hal atau pengetahuan yang terdapat dalam pikiran (subjek) dengan kenyataan objektif yang di luar pikiran. Seseorang yang mengetahui berarti dia memiliki pengetahuan. Pengetahuan itu mengacu (menunjuk) pada sesuatu yang di luar pikiran yaitu dengan kenyataan yang wujud konkritnya berupa fakta-fakta. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebenaran merupakan kesesuaian di antara pengetahuan yang ada dalam pikiran dengan fakta yang sesungguhnya yang ada di luar pikiran. Seseorang yang memiliki pengetahuan akan mengungkapkan pengetahuannya dalam bentuk pernyataan atau putusan. Putusan ini menggambarkan sesutu objek atau peristiwa yang diketahui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara putusan (judgment) dengan situasi atau keadaan yang digambarkan oleh putusan tersebut. Misalnya dikatakan bahwa “candi Borobudur terletak di Propinsi Jawa Tengah”. Pernyataan ini merupakan pengetahuan yang benar bukan karena sesuai
dengan
pernyataan-pernyataan
lain
yang
lebih
dahulu
telah
dikemukakan melainkan karena pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau fakta-fakta
situasi geografis yang
dapat
diamati.
Proses menemukan
kesesuaian atau pembuktian dengan fakta disebut verifikasi atau konfirmasi. Verifikasi dibedakan menjadi dua yaitu: versi kuat dan versi lemah. Menurut verifikasi versi kuat, suatu pernyataan bermakna jika dan hanya jika pernyataan itu dapat diveriflkasi secara empiris. Sedangkan menurut verifikasi versi lemah,
suatu pernyataan bermakna jika dan hanya jika pernyataan itu sedikitnya dalam prinsip dapat diverifikasi secara empris, Teori korespondensi berasumsi bahwa data indera itu jelas dan cermat. Data indera dipandang mengungkapkan sifat dan kenyataan duniawi seperti apa adanya. Bagi aliran idealisme dan pragmatisme mempertanyakan validitas asumsi ini. Dikatakan bahwa dalam persepsi (cerapan indera) akal mengubah pandangan-pandangan tentang dunia. Kalau kemampuan persepsi berkurang atau meningkat, atau seseorang memiliki alat penginderaan yang kurang baik atau malahan lebih baik, dengan sendirinya dunia mungkin nampak berbeda. Akibatnya pernyataan atau putusan yang dibuat tidak menggambarkan kenyataan seperti apa adanya. George Edward Moore salah seorang tokoh teori ini mendefinisikan kebenaran sebagai kesesuaian pengetahuan (idea) dengan sesuatu yang berada di luar (dunia objectif, fakta-fakta). Fakta itu sendiri tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi yang ada adalah kepercayaan. Kebenaran dan kesalahan ditempatkan sebagai sebutan (predikat) bagi idea, pernyataan dan kepercayaan. Yang harus memiliki hubungan kesesuaian dengan faktafakta. Sifat umum dari kebenaran adalah kesesuaiannya dengan fakta, sedangkan kesalahan adalah tidak adanya sifat seperti itu. Kebenaran merupakan kepercayaan yang menggambarkan unsur-unsur dan struktur alam (kenyataan). (2)
Teori Keruntutan tentang Kebenaran (Coistence Theory of Truth). Yang
menerima teori ini adalah aliran idealisme. Menurut idealisme tidak ada yang dapat diketahui kecuali jiwa dan pikiran. Yang dapat diketahui semata-mata merupakan kerja jiwa dan pikiran. Pengetahuan tentang jiwa atau pikiran adalah hal yang pokok dan merupakan satu-satunya sumber untuk membentuk pengetahuan. Adanya pengetahuan sebagai isi di dalam jiwa dan disebabkan oleh jiwa. Karena manusia tidak dapat secara langsung membandingkan gagasan atau putusan dengan dunia luar seperti apa adanya, maka diperolehnya pengetahuan yang benar didasarkan pada koherensi atau konsistensi atau keselarasan di antara putusan-putusan yang dibuat. Suatu putusan dikatakan benar, kalau putusan-putusan itu runtut atau selaras dengan putusan-putusan yang lain yang sebelumnya sudah dianggap benar.
Istilah “koherensi” mengandung arti “berhubungan dengan sesuatu idea, prinsip, tatanan atau berhubungan dengan konsep yang bersifat umum”. Atau dapat juga berarti mengikuti secara logis, sesuai dengan hukum-hukum logika. Sedangkan
istilah
“konsistensi”
mengandung
arti
tidak
mengandung
pertentangan secara kontradiksi. Konsep- konsep dikatakan konsisten jika tidak mengandung makna-makna yang bertentangan secara kontradiksi atau makna yang saling menyisihkan, Pernyataan atau istilah yang tidak konsisten misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”, “bujangan yang sudah menikah”, “orang Negro yang berkulit putih”, Teori koherensi tentang pengetahuan dikaitkan dengan pandangan aliran rasionalisme dan idealisme sebagaimana dikemukakan oleh Leibniz, Spinoza, Hegel dan Bradley.Teori ini berlaku dalam matematika. Dengan mengandaikan definisi-definisi dan aksioma-aksioma tertentu dapat dibentuk sistem geometri yang mengandung definisi dan aksioma yang sesuai dengannya. Asas konsistensi atau implikasi logis mendasari sistem-sistem matematika dan logika formal. Bagi teori ini dapat diajukan kritik. Kalau teori ini diterima berarti dapat dikonstruksikan sistem-sistem koherensi yang salah maupun benar. Teori ini tidak membedaan antara kebenaran yang runtut (consistent truth) dengan kesalahan yang runtut (consistent error). (3)
Teori Pragmatik tentang Kebenaran (Pragmatic Theory of Truth). Teori
ini dianut oleh aliran pragmatisme. Dalam kaitannya dengan kebenaran, teori pragmatik beranggapan bahwa manusia tidak dapat mengetahui “substansi”, “hakikat”, “kenyataan yang terdalam”. Penganut pragmatisme seluruhnya bersifat
empiris
dalam
menafsirkan
pengalaman.
Bagi
pragmatisme,
pengetesan atas pengetahuan yang benar adalah: (a) kemanfaatan, kegunaan (utility) (b) dapat dikerjakan (workability) (c) akibat-akibat yang memuaskan (satisfactory consequences) Menurut C.S. Peirce, yang penting adalah pengaruh apa yang dilakukan sebuah ide dalam suatu rencana untuk bertindak. Pengetahuan yang dimiliki manusia tidak lain daripada gambaran yang diperoleh tentang akibat (consequence) yang dapat disaksikan. Nilai suatu konsep tergantung pada penerapannya yang konkrit dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia itu dikatakan benar bukannya karena memantulkan atau menciptakan
kenyataan melainkan pengetahuan itu dapat membuktikan kemanfaatan bagi masyarakat. Menurut William James, ukuran kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu ide tidak pernah benar, sesuatu ide hanya dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran dicari dalam taraf seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa memperoleh kepuasan. Kebenaran mutlak (absolute truth) yang terlepas pada akal itu tidak ada, karena semuanya selalu berjalan terus, selalu berubah. Yang ada hanya kebenaran khusus dalam pengalaman khusus. Akal hanya memberikan inforrnasi bagi perbuatanperbuatan. Dunia selalu dalam keadaan menjadi. Dunia dapat dibuat manusia. Dunia adalah suatu multiversum dan bukannya universum. Ada pergeseran arti kebenaran yang dikemukakan oleh James. James memberikan penafsiran secara personal. Dikatakan bahwa “Kita tidak dapat menolak sesuatu hipotesis jika akibat-akibatnya berguna untuk kehidupan. Jika hipotesis Tuhan berlaku (bagi individu) maka hipotesis itu benar.” Pada awalnya James mendefinisikan kebenaran sebagai yang bekerja (that which works). Kemudian ia mendefinisikan sebagai berikut: (1) sesuatu yang memiliki nilai kontan (cash value) artinya secara prinsip dapat diverifikasi (dibuktikan kebenarannya secara empiris) (2) yang bersifat koheren, artinya cocok dengan fakta-fakta sebelumnya. (3) yang menyetujui nilai-nilai yang lebih tinggi, artinya mendorong kemajuan. Menurut John Dewey, tiap-tiap organisme selalu dalam keadaan berjuang yang berlangsung terus-menerus terhadap alam sekitarnya dan mengembangkan alat yang membantu dalam perjuangan tersebut. Akal atau pikiran berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen ketika manusia berusaha untuk menguasai dan memberi bentuk pada alam sekitar itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kecerdasan bersifat kreatif dan pengalaman merupakan unsur terpokok dalam segala pengetahuan. Bagi Dewey, yang penting bukan benar tidaknya pengetahuan, melainkan sejauh mana manusia dapat memecahkan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat dan dalam kehidupan yang nyata. Seperti halnya Peirce, bagi Dewey yang menjadi ukuran adalah kegunaan untuk umum. Daya pikir dan daya tahu merupakan sarana. Bukan konsep-konsep sendiri yang benar, tetapi ide-ide itu baru menjadi benar dalam rangka proses penggunaan (penerapan) oleh manusia. Pengetahuan bersifat dinamis, karena harus sesuai
dengan peristiwa-peristiwa yang silih berganti dan yang memantulkan hakikat dunia. Berkebalikan dengan William James, Peirce dan Dewey memberikan penafsiran secara social dalam kerangka kemampuan meramal (predictive power). Kebenaran harus bersifat social dan dapat diverifikasi secara eksperimental dan bukan hanya berguna secara pribadi. Kebenaran adalah public dan bukannya privat. (4)
Teori Sintaksis tentang Kebenaran. Teori kebenaran sintaksis bertitik
tolak dan keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakan oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang mengaturnya. Yang dimaksud sintaksis adalah pengaturan dari hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan yang lebih besar, atau satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Suatu pernyataan mengandung makna kebenaran bila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan demikian apabila proposisi ini tidak memenuhi syarat atau menyimpang dari persyaratan yang ditentukan maka proposisi itu tidak mengandung arti (meaningless). Teori ini berkembang di antara para filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat atas penggunaan gramatika di antaranya adalah Friedrich Schleiermacher (1768-1834). (5)
Teori Semantis tentang Kebenaran. Teori ini dianut oleh aliran filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan pada periode paska filsafat Bertrand Russell (1872-1970) sebagai tokoh awal dari filsafat analitika bahasa. Menurut teori ini kebenaran semantik dari suatu proposisi memiliki nilai kebenaran ditinjau dari segi arti dan maknanya. Pertanyaan pokoknya adalah apakah proposisi yang merupakan tumpuannya itu mempunyai acuan (referent) yang jelas?. Dengan demikian teori ini mempunyai tugas untuk mengungkapkan syahnya proposisi dalam acuannya itu. Ada hubungan antara nilai kebenaran dengan arti. Suatu proposisi memiliki nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini diungkapkan dengan mengacu pada sesuatu atau kenyataan, di samping itu arti yang dikemukakan itu mempunyai arti yang bersifat definitive atau mempunyai arti yang jelas dengan menunjuk pada ciri yang khas dan sesuatu yang ada. (6)
Teori performatif tentang kebenaran (performative theory of truth).
Kebenaran itu bersangkutan dengan melakukan tindakan konsesi (menyetujui, menerima, membenarkan) terhadap apa yang telah dinyatakan. Kebenaran
bukanlah sebuah kualitas atau sifat sesuatu hal akan tetapi tindakan berbicara (sebuah tindakan performatif). Artinya tidak ada hubungannya dengan deskripsi benar atau salah dan sebuah keadaan factual. Kadang kala disebut teori ditto. Bahasa performatif adalah bahasa yang digunakan dalam kaitannya yang khas: (a) yang maknanya diturunkan (dijabarkan) dan penggunaannya dalam melakukan (perform) pemaknaan (kegiatan) yang diinformasikan kepada kita, atau (b) yang maknanya ada dalam perbuatan mengucapkannya. Misalnya: “Saya berjanji”, “Saya ucapkan selamat atas kemenanganmu”. “Saya memberimu tanda mata ini sebagai penghargaan dan saya”. “Saya minta maaf atas sikapku yang kasar”. (7)
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut
filsafat fungsionalisme. Istilah fungsionalisme berasal dari kata Latin funger = “saya Iaksanakan”. Suatu pernyataan dikatakan mempunyai nilai benar tergantung pada peran atau fungsi dari pemyataan itu. Dengan demikian, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pemyataan itu memiliki fungsi yang sangat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu pernyataan itu merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Bertalian dengan istilah “benar dan salah” tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan artinya dengan menganalisis melainkan dimaksudkan penggunaan istilah itu secara praktis.