BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK DAN KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA
2.1
Istilah Perikatan, Perjanjian dan Kontrak Buku III KUH Perdata tidak memberikan rumusan tentang perikatan. Menurut Ilmu pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua ) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.42 Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Perikatan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan perjanjian, yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji.43 Istilah perjanjian yang sebelumnya dikenal dengan persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang bersumber dari Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, “Kompilasi Hukum Perikatan”, Bandung, Citra Aditya Bhakti, hal. 1. 43 Subekti, 1980, “Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional”, Bandung, Alumni, hal.10. 42
58
59
“ Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan denga mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Dalam bahasa aslinya berbunyi: Eene overeenkomst is eene handeling waarbij een of meer personen zich jegens een of meer andere verbinden. Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikaatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbutan di dalam lapangan hukum keluarga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III krterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dengan uang.44 Timbulnya perubahan istilah persetujuan ke perjanjian bersumber dari KUHPerdata yang diterjemahkan Subekti dan Tjitrosudibio, dimana pada awalnya kata overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan. Namun pada KUHPerdata cetakan ke-25 terbitan tahun 1992, Subekti dan Tjitrosudibio mencantumkan kata perjanjian sebagai ganti kata persetujuan. Kamus hukum menterjemahkan istilah Overeenkomst dengan persetujuan atau permufakatan yang juga sinonim dengan istilah
44
Mariam Darus Badrulzaman, Op-Cit, hal. 65.
60
agreement atau conformity.45 Overeenkomst dalam struktur bahasa belanda termasuk jenis kata benda dan bersifat tunggal, oleh karenanya ketika berbicara tentang persetujuan maka yang digunakan adalah overeenkomst. Sementara itu jika berbicara tentang segala persetujuan, macam-macam
persetujuan
atau
juga
persetujuan-persetujuan,
dipergunakan overeenkomsten. Overeenkomst dalam artinya sebagai persetujuan diperbedakan dengan akkoord yang artinya setuju demikian juga dengan eenstemmig yaitu sepakat, karena makna dari persetujuan adalah saling menyetujui atau saling sepakat.
Walaupun
pengertian
saling
sepakat
diartikan
sebagai
persepakatan, dimana persepakatan adalah terjemahan overeenkomen, tidak bisa semata-mata dipersamakan dengan persetujuan karena overeenkomst lebih menekankan kepastian dalam sebuah kesepakatan. Oleh karenanya terdapat kata verbinden didalam penjabaran pengertian overeenkomst yang artinya
membalut.
Dalam
KUHPerdata
terjemahan
Subekti
dan
Tjitrosudibio, verbinden diterjemahkan sama dengan kata binden yang artinya mengikat. Perkembangan keilmuan tentang hukum perjanjian yang terjadi di Indonesia diperoleh melalui proses penerjemahan ganda, karena terjadi dua kali proses interpretasi dalam memahami satu masalah hukum yang
45
Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 248.
61
bersumber dari Burgerlijk Wetboek. Hal ini berakibat pada apa yang diterima oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia saat ini, lebih dipengaruhi oleh bagaimana sarjana-sarjana hukum sebelumnya menginterpretasikan isi Burgerlijk Wetboek. Proses penerimaan tersebut diikuti pula dengan proses pengembangan pemikiran hukum perjanjian yang dilakukan sarjana-sarjana hukum Indonesia sendiri. Harus diakui bahwa sebagai sebuah terjemahan yang bersumber dari Burgerlijk Wetboek, pendapat hukum tentang pengertian perjanjian yang berkembang saat ini amatlah beragam. Walaupun para sarjana hukum menganggap keragaman interpretasi perjanjian bukanlah hal yang penting untuk
diperdebatkan, namun
pada kenyataannya sering tercantum
pemahaman-pemahaman yang berbeda antara istilah persetujuan dengan perjanjian. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Dengan kata lain perjanjian adalah sumber, bahkan sumber utama, dari perikatan. Suatu perikatan adalah suatu pengertian abstrak (dalam arti tidak dapat dilihat dengan mata), maka perjanjian adalah suatu peristiwa atau kejadian yang kongkrit.46 Berkaitan dengan istilah perjanjian, adalah hal yang tidak asing lagi dikalangan sarjana hukum Indonesia bahwa terdapat istilah lain yang cenderung dipersamakan dengan perjanjian, yaitu kontrak.
46
Subekti, Op-Cit, hal.11
62
Adapun istilah kontrak lazim ditujukan pada suatu perjanjian yang diadakan secara tertulis atau yang diadakan
dikalangan bisnis (dunia
usaha).47 2.1.1
Pengertian Kontrak Istilah kontrak berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris.
Dalam
bahasa
“overeenkomst”
Prancis
“contrat”
sekalipun
dan
kadang-kadang
dalam
bahasa
juga
digunakan
Belanda istilah
“contract”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. 48 Dalam literatur-literatur yang berkaitan tentang hukum kontrak, hukum bisnis dan hukum perjanjian, terdapat beberapa pemikiran yang menganggap kedua istilah tersebut sama dan ada pula yang membedakan pengertian antara keduanya : a. Hasanudin berpendapat dalam tulisannya yang berjudul contract drafting49, bahwa kontrak itu tidak lain adalah perjanjian itu sendiri selama perjanjian yang dimaksud itu sifatnya mengikat. Dasar alasan pendapat Hasanudin tersebut adalah Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perikatan itu dilahirkan dari perjanjian dan undangundang. Sedangkan dalam hukum perdata Indonesia, merujuk ke pasal
47
Subekti, ibid. Hasanudin Rahman, op-cit, hlm. 2 49 Hasanudin Rahman, ibid. 48
63
1313 KUH Perdata, maka kontrak itu diartikan dengan overeenkoms yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. b. Ridwan Khairandy, dalam bukunya Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, menyebutkan definisi kontrak yang juga sejajar dengan pengertian perjanjian, yaitu:50 “Kontrak adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih atau dimana keduanya saling mengikatkan diri.” c. Munir Fuady berpendapat bahwa terdapat banyak definisi tentang kontrak dan masing-masing bergantung pada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang dianggap penting, maka bagian itulah yang akan ditonjolkan dalam definisi tersebut.51 d. Salim HS berpendapat kontrak adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahi bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.52 e. J.D. Karla berpendapat bahwa dalam pengertiannya yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau
50
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 38 51 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional: Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cetakan Pertama, P.T. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 4 (Selanjutnya disebut Munir Fuady II) 52 Salim HS, 2005, “Perkembanga Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal.17.
64
lebih. Kontrak itu bisa bersifat tertulis maupun tidak tertulis dan untuk kontrak yang bersifat tertulis dapat berupa memo, sertifikat, atau kuitansi. Dikarenakan hubungan kontraktual dibuat oleh dua pihak atau lebih yang berpotensi menimbulkan pertentangan kepentingan, maka perlu adanya persyaratan-persyaratan dalam kontrak sebagai pembatasan secara hukum. Fungsinya adalah untuk melindungi para pihak dalam kontrak dan mendefinisikan hubungan khusus antar para pihak dalam kontrak bila ketentuan dalam kontrak itu tidak jelas, mendua, atau tidak lengkap.53 f. Hikmahanto berpendapat dalam tulisannya yang berjudul teknik pembuatan dan penelaahan kontrak bisnis, bahwa pengertian kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi. Hikamahanto selanjutnya menyimpulkan bahwa dalam pengertian yang demikian itu, maka kontrak merupakan perjanjian. Namun demikian kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis.54 Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa timbulnya istilah kontrak dikarenakan adanya asumsi-asumsi sebagai berikut:
53 J.D. Karla C. Shippey, 2001, “Menyusun Kontrak Bisnis Internasional”, Cetakan Pertama, PPM, Jakarta, hal.1 54 Hikmahanto Juwana, 2001,”Teknik Pembuatan dan Penelaahan Kontrak Bisnis”, Pascasarjana FH-UI, hal. 1
65
a. Asumsi tuntutan kepastian hukum. Asumsi yang dikenal dan melekat di masyarakat bahwa berbicara tentang kontrak berarti berbicara tentang “surat kontrak”, yaitu sesuatu yang diyakini sebagai “bukti hitam diatas putih”. Tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya jaminan kepastian hukum untuk memperoleh perlindungan hukum atas harta bendanya, meyakini bahwa satu-satunya bukti terkuat selain saksi adalah bukti yang tertulis. b. Asumsi perdagangan, bisnis dan komersialisme. Praktek perdagangan dan bisnis yang terjadi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak dalam setiap transaksi dan umumnya bersifat tertulis. c. Asumsi transaksi non-riil (tidak tunai). Dalam dunia perdagangan dan bisnis, selain karena transaksi yang terjadi berpotensi pada kerugian materiil yang tidak kecil sehingga diperlukan bukti tertulis dalam perjanjiannya, pelaksanaan transaksi juga jarang dilakukan secara riil. d. Asumsi kesepakatan antara dua pihak. Kontrak selain dipahami sebagai surat perjanjian, dipahami juga sebagai hasil tertulis yang isinya tentang kesepakatan diantara dua pihak, sangat janggal ditelinga masyarakat jika terjadi hibah yang dimuat dalam suatu kontrak hibah. e. Asumsi kesepadanan bahasa. Istilah kontrak sudah lama dikenal di Indonesia, sejak istilah contract dalam bahasa Inggris berhasil diterjemahkan sebagai kontrak dalam bahasa Indonesia dan merupakan sinonim dari perjanjian. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak yang merupakan terjemahan dari
66
freedom of contract, sangat janggal bila diartikan dengan kebebasan dalam perjanjian. Namun makna freedom of contract tetap dapat diartikan secara lebih halus menjadi kebebasan dalam membuat perjanjian, mengingat pengertian hukum dari kebebasan berkontrak dalam kamus hukum perjanjian selalu mengarah pada tahap pra-kontrak (pembuatan perjanjian). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan unsurunsur dalam hukum perjanjian, yaitu:55 a. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum kontrak terdiri atas dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat. b. Subyek hukum. Istilah lain dari subyek hukum adalah rechtperson, yang diartikan sebagai salah satu kategori yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Subyek hukum di dalam hukum perjanjian terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban (debitur) dan pihak yang berhak (kreditur).
55
Salim H.S., Loc - Cit.
67
c. Prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang menjadi hak subyek hukum (hak kreditur) dan disisi lain merupakan kewajiban subyek hukum yang lain (kewajiban debitur). Prestasi terdiri dari: melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. d. Kesepakatan. Perjanjian yang sah secara hukum adalah perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat keabsahannya (Pasal 1320 KUH Perdata), salah satunya adalah tercapainya kata sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak. e. Hubungan hukum. Hubungan tercipta antar para pihak yang sah secara hukum telah menimbulkan akibat-akibat yang dikehendaki hukum. f. Akibat Hukum. Setiap perjanjian yang dibuat para pihak secara sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum dalam hubungan mereka. Akibat hukum yang terjadi dalam hubungan antar pihak meliputi hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban adalah beban tuntutan akibat dari adanya hak tersebut. Perjanjian
yang sah secara hukum adalah perjanjian yang
memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan menurut hukum, dimana
68
persetujuan antar para pihak dilakukan berdasarkan 4 (empat) syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata:56 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kamauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah, dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. orang yang dianggap cakap berbuat hukum adalah orang yang telah dewasa, yaitu orang yang telah berumur 21 tahun penuh dan atau orang yang telah kawin dan tidak berada di bawah pengampuan. Beberapa golongan orang oleh Undang-undang dinyatakan ”tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata, disebutkan tentang orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian sebagai berikut : 1) Orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
56
Subekti, 1987, ”Hukum Perjanjian”, Cet. XI , Intermasa, Jakarta, hal. 17-18.
69
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk mengadakan perjanjian tertentu. Apabila dilihat dari sudut rasa keadilan bahwa orang yang membuat perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, harus mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dari perjanjian itu. Dilihat dari sudut kepastian hukum, karena seseorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan seluruh harta kekayaannya, maka orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya itu. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya dan berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya sama dengan anak yang belum dewasa. Kalau anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.57 c. Suatu hal tertentu. Hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
57
Subekti, Ibid
70
d. Suatu sebab yang halal. Maksudnya adalah bahwa hal yang diperjanjiakan oleh para pihak merupakan perbuatan yang dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subyeknya. Apabila salah satu unsur tidak terpenuhi dapat dimintakan pembatalan, sedangkan dua syarat yang terakhir menyangkut obyeknya dan apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka akan batal demi hukum. Setelah membahas pengertian kontrak dan syarat sahnya suatu perjanjian, ada baiknya juga disinggung unsur-unsur yang harus dipenuhi pada waktu menyusun suatu kontrak. Unsur-unsur kontrak ada tiga, yaitu: a. Essensialia, adalah unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian yang sifatnya mutlak harus ada, sebab tanpa adanya unsur ini suatu perjanjian tidak mungkin ada. b. Naturalia, adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, artinya bagian dari suatu perjanjian yang tanpa diperjanjikan dianggap ada dalam perjanjian tersebut. c. Accedentalia, Adalah unsur yang secara khusus dan tegas diperjanjikan dalam perjanjian.
71
2.1.2 Fungsi Kontrak Pada Umumnya Kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji dari para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran maka terdapat kompensasi yang harus dibayar. Kontrak dengan demikian merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai oleh para pihak dapat diwujudkan . Isi kontrak pada umumnya berkaitan dengan pertukaran ekonomi. Hukum kontrak dengan demikian merupakan instrumen hukum yang mengatur terjadinya pertukaran itu dan sekaligus memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang dirugikan. Menurut J Beatson dalam Yohanes Sogar Simamora terdapat dua fungsi penting dari kontrak yaitu :58 1.
Untuk menjamin terciptanya
harapan
atas
janji
yang telah
dipertukarkan; 2.
Mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi kelanjutannya kedepan.
Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang dibuat.
Yohanes Sogar Simamora, 2009,”Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah”, LaksBang, Yogyakarta, hal. 32 58
72
Menurut P.S Atiyah dalam Yohanes Sogar Simamora, secara fundamental terdapat tiga tujuan hukum kontrak, berikut ini :59 1.
Hukum
kontrak
merupakan
sarana
bagi
para
pihak
untuk
mengakomodasikan seluruh kepentingannya. 2.
Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji tersebut menimbulkan harapan-harapan yang layak.
3.
Hukum kontrak merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji dan harapan itu.
Jadi dengan demikian fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis kontrak adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.60
2.1.3 Asas-Asas Hukum Kontrak Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.61 Sistem hukum dibangun berdasarkan asas-asas yang diakui dan menjadi dasar pembentukan suatu peraturan, asas hukum diartikan
59
Ibid, hal. 33 Salim HS, 2005, “Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku Kesatu”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35 61 Mariam Darus Badrulzaman, 1990, “Hukum Benda Nasional”, Alumni, Bandung, hal. 15. 60
73
sebagai : suatu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat didalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.62“ Asas hukum bukanlah peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang sifatnya umum dan abstrak. Asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari sebuah sistem hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas hukumnya maka norma hukum itu akan kehilangan jati diri dan semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut. Suatu norma hukum perjanjian yang baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan (unambiguous).63 Dalam penyusunan suatu kontrak, harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari
62 Sudikno Mertokusumo, 1999, “Mengenal Hukum (suatu Perjanjian)”, Liberty, Yogyakarta, hal.32 63 Romli Atmasasmita, 2006, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, Prenada Medan, Jakarta, hal.17
74
unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang telah para pihak sepakati. Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak
adalah sebagai
berikut : a. Asas Kebebasan Berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yaitu ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 1) membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan; 4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. b. Asas Konsensualisme. Asas konsensualisme dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dimana dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
75
c. Asas Kepastian Hukum. Asas kepastian hukum dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: ” Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Asas kepastian hukum disebut juga asas pacta sunt servanda. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. d. Asas Iktikad Baik. Asas iktikad baik dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak harus melaksanakan subtansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik para pihak. Asas ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1) Iktikad baik nisbi; Pada iktikad baik ini orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek.
76
2) Iktikad baik mutlak; Pada iktikad baik ini penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang obyektif. e. Asas Kepribadian. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : ”pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian melainkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri”. Sedangkan pasal 1340 KUH Perdata berbunyi : “persetujuan-persetujuan
hanya
berlaku
antara
pihak-pihak
yang
membuatnya. “ f.
Asas Keseimbangan. Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Keseimbangan dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari perbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya”. Hal ini berarti bahwa kata keseimbangan pada satu sisi, dibatasi oleh satu kehendak (yang dimunculkan oleh atau keadaan yang menguntungkan), dan pada sisi
77
lainnya, oleh keyakinan (akan kemampuan untuk) mengejawantahkan hasil atau akibat yang dikehendaki.64 Hal ini berarti bahwa janji antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbang antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. Dengan adanya asas ini maka berarti bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang seimbang, tidak ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai pihak yang mendominasi atau didomisani oleh pihak yang lain.
2.2 Kontrak Pengadaan Barang/Jasa 2.2.1
Pengertian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Kontrak
pengadaan
barang/jasa
bagi
keperluan
Pemerintah
merupakan jenis kontrak yang rutin dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi aneka kebutuhan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Di Indonesia, batasan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah dapat kita telusuri dari Perpres yang mengatur pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah yaitu Perpres No. 54 Tahun 2010. Dalam pasal 1 angka 22 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 batasan kontrak pengadaan barang/jasa adalah :
Herlien Budiono, 2006, “Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 304 64
78
“ perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pengelola swakelola”. Batasan pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang selengkapnya berbunyi : “Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.” Dalam kajian tentang kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah, pemahaman tentang siapa yang dimaksud pemerintah merupakan sasaran yang essensial, tidak saja karena kedudukan pemerintah yang istimewa sebagai kontraktan tetapi juga untuk menentukan wilayah penerapan hukum tentang pengadaan barang/jasa oleh instansi pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh Sujan dalam Yohanes Sogar Simamora65 memahami apa yang dimaksud sebagai pemerintah mungkin tidak terlalu sulit, tetapi memberikan definisi merupakan usaha yang tidak mudah karena difinisi selalu saja tidak dapat mencakup seluruh sisi dan karenanya tidak pernah memuaskan. Sering istilah pemerintahan digunakan sebagai sinonim untuk negara, atau sebaliknya. Secara etimologis itu tidak benar, sekalipun memang fungsi negara nampak jelas dari apa yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu dalam konteks kajian kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan
65
Yohanes Sogar Simamora, Op-cit, hal.66.
79
pemerintah, pengertian pemerintah harus dipahami dalam organisasi pemerintahan atau kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan dan bukan dalam pengertian fungsi pemerintahan atau kegiatan memerintah.66 Sejauh ini belum ditemukan secara eksplisit
batasan tentang
pemerintah baik dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun undangundang. Pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberi batasan pemerintah sebagai “pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah”. Apa yang dimaksud pemerintah pusat dan daerah masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sejauh yang menyangkut kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah belum ditemukan ketentuan yang menentukan siapa yang disebut pemerintah. Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, juga Keppres-Keppres sebelumnya yang mengatur tentang pelaksanaan APBN yang menjadi dasar hukum bagi pengadaan barang/jasa oleh Pemerintah, tidak secara tegas menyebutkan pengertian pemerintah, kecuali pasal 1 angka 2 Keppres No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang menyebutkan, ”Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Instansi Pemerintah lainnya”.
Philipus M Hadjon,dkk, 2002, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah Mada University Press, cet. VIII, Yogyakarta, hal. 6-7. 66
80
Telah disebutkan tadi, pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah yang dimaksud oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2010 kegiatan untuk memperoleh pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”,
sedangkan kontrak didifinisikan sebagai
”perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola”. Siapa yang dimaksud pengguna barang/jasa, dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 3 Perpres No. 54 Tahun 2010 yang selengkapnya berbunyi ”Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang dan/atau
Jasa
milik
Negara/Daerah
dimasing-masing
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya”. Jadi yang dimaksud dengan pengguna barang/jasa, yaitu : 1) Kepala kantor; 2) Kepala Satuan Kerja; 3) Pemimpin Proyek; 4) Pemimpin Bagian Proyek; 5) Pengguna Anggaran Daerah; 6) Pejabat yang disamakan. Sementara organisasi pengadaan barang/jasa terdiri dari : 1) Pengguna Anggaran (PA); 2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
81
3) Unit Layanan Pengadaan (ULP); 4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Sementara itu yang dimaksud sebagai Pengguna Anggaran (PA) sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 angka 5 Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah
Pejabat
pemegang
kewenangan
penggunaan
anggaran
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Sedangkan dalam pasal 1 angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010, yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PengadaanBarang/Jasa. Yang
dimaksud
dengan
Unit
Layanan
Pengadaan
(ULP)
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 8 Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Sedangkan yang dimaksud dengan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 10 adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
82
2.2.2
Sejarah Perkembangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Jika dikaitkan dengan wewenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka yang dapat diklasifikasikan sebagai pembentuk undang-undang orisinil adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pembentuk konstitusi. Sedangkan yang diklasifikasikan
sebagai pembentuk Undang-Undang yang diwakilkan adalah Presiden yang berdasarkan pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair), dimana diciptakan wewenangwewenang pemerintahan kepada badan/pejabat TUN. Dalam hal ini Presiden mendapat kewenangan delegasi dari Badan Legislatif untuk membuat suatu undang-undang yang berlaku khusus dalam bidang administrasi untuk menjalankan pemerintahan. Karena undang-undang yang dibuat oleh Badan Legislatif pada dasarnya bersifat umum. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Jay A Sigler yang menyatakan “legislative bodies often delegate considerable power to administrative
83
agencies to effect the purposes of statutes. This has given rise to administrative policies, since statutes are often quite general.67 Maka sejalan dengan hal tersebut diatas, Presiden akan mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menunjang dilaksanakannya pembangunan, salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, agar pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Dewasa ini aturan yang secara khusus mengatur pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah adalah Perpres No. 54 Tahun 2010. Perpres ini merupakan hasil penyempurnaan dari perjalanan panjang ketentuan pengadaan barang/jasa oleh Pemerintah sejak Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1973/1974 (Keppres No. 11 Tahun 1973). Setelah Keppres No. 11 Tahun 1973 berturut-turut hampir setiap tahun lahir keppres baru karena memang
Jay A Sigler and Benjamin R Beede, 1977, “The legal sources of public policy”, Lexington Books, D.C Heath and Company, Massaehusetts, Toronto, page 27. 67
84
keppres yang bersangkutan mengatur tentang pelaksanaan APBN. Namun ketentuan pengadaan barang bagi pemerintah selalu disisipkan di dalamnya. Baru setelah tahun 2000 lahir keppres yang secara khusus mengatur tentang pengadaan. Keputusan Presiden yang terkait dengan pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah setelah Keppres No. 11 Tahun 1973 tersebut adalah : 1. Keppres No. 17 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975. 2. Keppres No. 7 Tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976 3. Keppres No. 14 Tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1976/1977. 4. Keppres No. 12 Tahun 1977 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 5. Keppres No. 14 Tahun 1979 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 6. Keppres No. 14 A Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 7. Keppres No. 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan
Keputusan
Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 8. Keppres No. 29 Tahun 1984 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 9. Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 10. Keppres No. 24 Tahun 1995 tentang Perubahan Atas Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN.
85
11. Keppres No. 6 Tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keppres No. 16 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24 Tahun 1995 tentang APBN. 12. Keppres No. 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN. 13. Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. 14. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 15. Keppres No. 61 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 16. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Ke Tiga Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 17. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Ke Empat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 18. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 19. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
86
20. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 21. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dari daftar diatas nampak bahwa Perpres tersebut merupakan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tentang APBN. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, keppres-keppres itu juga mengacu pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang keuangan.68 Keppres yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah tersebut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :69 1) Yang termuat dan menjadi bagian dari keppres tentang pelaksanaan APBN; 2) Dalam keppres yang substansinya khusus tentang mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah. Selanjutnya akan dipaparkan perkembangan aturan pengadaan tersebut :70
68 Salim HS, 2006, “Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata”, Ed I, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 259 69 Yohanes Sogar Simamora, Op-cit, hal.127 70 Yohanes Sogar Simamora, Ibid, hal.128
87
1. Periode 1973 - 2000 Keppres No. 11 Tahun 1973 merupakan pelaksanaan dari UndangUndang No. 3 Tahun 1973 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 1973/1974 (LN 1973 No. 10, TLN No. 2998) Ketentuan yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa Pemerintah tertuang dalam Bab I tentang Pedoman Pokok khususnya yang mengatur tentang Pengeluaran Negara. Dalam Keppres ini belum ditentukan apa substansi yang harus dalam kontrak kecuali menetapkan kontrak yang dilarang. Jenis kontrak yang dilarang adalah yang bersifat cost-plus fee, yaitu jenis kontrak yang besarnya biaya pemborongan tidak dinyatakan dengan pasti terlebih dahulu, melainkan baru akan ditetapkan kemudian dengan menghitung biaya ditambah dengan upah atau keuntungan. Sampai dengan terbitnya Keppres No. 14 Tahun 1976 sejauh yang menyangkut pengeluaran negara tidak banyak perubahan. Dengan demikian aturan tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah yang tertuang dalam Keppres No. 17 Tahun 1974 dan Keppres No. 7 Tahun 1975 pada dasarnya sama dengan apa yang tertuang dalam Keppres No. 11 Tahun 1973 kecuali tentang batas minimal nilai pekerjaan atau pembelian barang yang harus dilelangkan karena memang diperlukan penyeseuaian berhubung kenaikan harga pada tiap tahunnya.
88
Perubahan yang signifikan adalah ketika tahun 1975 terdapat keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa. Dalam kurun waktu antara 1977 sampai 1980 aturan pengadaan barang/jasa Pemerintah mengalami perubahan yang fundamental yakni : Pertama, melalui Keppres No. 12 Tahun 1977, pengaturan tentang pengutamaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa berkembang menjadi lebih jelas dan diatur pula larangan perangkapan fungsi pekerjaan (pelaksana pekerjaan tidak boleh merangkap sebagai pengawas pelaksanaan). Kedua, dalam Keppres 14 Tahun 1979, aturan pengadaan barang/jasa pemerintah khususnya yang berkaitan dengan aspek kontrak berkembang lagi yaitu dengan diaturnya mengenai isi perjanjian, sesuatu yang tidak diatur dalam Keppres sebelumnya, Pasal 18 ayat (4) Keppres No. 14 Tahun 1979 mensyaratkan hal-hal yang sekurang-kurangnya harus dimuat dalam perjanjian, yakni : -
Pokok yang diperjanjikan;
-
Harga dan syarat-syarat pembayaran;
-
Persyaratan dan spesifikasi teknis;
-
Jangka waktu penyelesaian;
-
Sanski dan status hukum;
-
Hak dan kewajiban.
89
Keppres No. 14 Tahun 1979 juga memuat kebijakan pemerintah tentang partisipasi golongan ekonomi lemah dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara kongkrit disamping keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri. Ketiga, perkembangan yang dapat kita telusuri melalui Keppres 14A Tahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 18 Tahun 1981. Disamping lebih lengkap dalam mengatur lebih lengkap daam mengatur perihal mekanisme pembayaran kepada rekanan dan alam menentukan kriteria produksi dalam negeri, Keppres 14A Tahun 1980 juga menentukan kriteria perusahaan yang digolongkan sebagai perusahaan golongan ekonomi lemah serta tugas bagi Tim Pengendali Pengaaan Barang/Peralatan Pemerintah yang dibentuk melalui Keppres No. 10 Tahun 1980 untuk menetapkan standar surat perjanjian/kontrak bagi pelaksanaan pemborongan/pembelian. Tahapan perkembangan berikutnya adalah dalam kurun waktu antara 1984 sampai dengan 1994. Dengan diterbitkannya Keppres No. 29 Tahun 1984, aturan pengadaan barang/jasa oleh pemerintah mengalami perubahan yang mendasar. Terdapat empat hal yang patut diperhatikan dalam Keppres ini, yaitu : Pertama, keharusan menggunakan hasil produksi dalam negeri dijadikan salah satu prinsip dasar dalam pengeluaran anggaran. Kedua, metode pengadaan berkembang menjadi empat jenis dari tiga jenis yang sebelumnya diterapkan. Jenis yang keempat itu adalah
90
pengadaan langsung yaitu bentuk pelaksanaan pemborongan/pembelian yang dilakukan diantara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah tanpa melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas atau penunjukan langsung. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yag lebih luas kepada pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah sebagai upaya pembimbingan untuk meningkatkan kemampuan yang lebih besar dan sekaligus usaha untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan. Ketiga, adalah tentang SPK yang dalam Keppres sebelumnya tidak dijelaskan. Dalam pasal 20 ayat (1) Keppres No. 29 Tahun 1984 ini ditentukan apa yang sekurang-kurangnya harus dimuat dalam SPK. Isi SPK ternyata pada dasarnya sama dengan perjanjian tetapi lebih ringkas. Bagian komparisilah yang membedakan dengan perjanjian, sebab dibagian ini dituangkan pihak yang memerintahkan dan yang menerima perintah pelaksanaan pekerjaan serta ditandatangani oleh kedua belah pihak. Keempat, Keppres ini melarang perumusan klausula sanksi ganti rugi bagi pemerintah dalam perjanjian. Dengan demikian sanksi hanya berlaku bagi pemborong/rekanan. Sampai tahun 2000, aturan pengadaan barang/jasa pemerintah tidak mengalami perubahan yang fundamental.
91
2. Periode 2000 – 200771 Sebagai konsekuensi dari penerimaan Indonesia terhadap World Trade Organization (WTO) yang ditandai dengan diratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, kebijakan dan aturan hukum dan aturan hukum mengenai pengadaan barang/jasa bagi pemerintah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Isu transparansi dan penolakan terhadap perlakukan yang diskriminatif yang bergaung kuat sangat mempengaruhi pembentukan Keppres ini. Pengaruh ini nampak dalam bagian yang memuat prinsip dasar dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dan aturan-aturan yang termuat di dalamnya. Pada periode ini perkembangan aturan hukum pengadaan meliputi dua tahap yakni dalam Keppres No. 18 Tahun 2000 dan Keppres No. 80 Tahun 2003, yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 61 Tahun 2004 dan Perpres No. 32 Tahun 2005. Keppres No. 18 Tahun 2000 merupakan tonggak sejarah dalam aturan pengadaan barang/jasa di Indonesia. Melalui Keppres inilah kebijakan dan aturan hukum pengadaan mengalami perubahan total pada seluruh aspeknya termasuk yang menyangkut aspek kontrak pengadaan. Apabila ketentuan tentang pengadaan yang sebelumnya hanya disisipkan dalam Keppres pelaksanaan APBN maka dengan dikeluarkannya Keppres No.
71
Yohanes Sogar Simamora, Ibid, hal.140
92
18 Tahun 2000, aturan pengadaan bersifat terpisah dan khusus. Pemisahan aturan pelaksanaan pengadaan barang/jasa dari pelaksanaan APBN ditegaskan dalam pasal 12 Keppres No. 17 Tahun 2000 yang berbunyi : “Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa diatur dengan Keputusan Presiden”.72 Keppres ini juga menegaskan tentang prinsip-prinsip pengadaan yang dianut, yaitu : efesien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan bertanggungjawab. Prinsip-prinsip ini perlu ditekankan agar dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi lebih efisien, partisipasi dan persaingan yang sehat dan terbuka diantara penyedia barang/jasa. Dari sisi metode pengadaan juga dalam Keppres ini mengalami perubahan yang prinsipil. Apabila dalam Keppres sebelumnya hanya ditentukan empat jenis metode pengadaan yag meliputi pengadaan untuk berbagai macam barang dan jasa, maka dalam keppres ini jenis metode pengadaan disesuaikan dengan objek pengadaan. Untuk objek pengadaan yang berupa pengadan barang dan jasa pemborongan, sesuai dengan ketentuan pasal 12 ayat (2) Keppres No. 18 Tahun 2000 digunakan metode pelelangan, pemilihan langsung, penunjukan langsung dan swakelola. Sedangkan untuk objek pengadaan jasa konsultasi dilakukan
72
Keputusa Presiden No. 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara LN RI Tahun 2000 No. 14, TLN RI No. 3930
93
dengan cara sesuai dengan yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) Keppres No. 18 Tahun 2000 yang berbunyi : ” Pelaksanaan pengadaan jasa konsultasi dilakukan dengan salah satu cara : a. seleksi umum; b. seleksi langsung; c. penunjukan langsung”. Ketentuan yang menyangkut kontrak pengadaan ditempatkan pada Bab V, yang mengatur tentang isi kontrak dan jenisnya, juga diatur tentang keharusan adanya pendapat hukum (legal opinión) dari ahli hukum kontrak sebelum kontrak ditutup untuk jenis kontrak yang kompleks dan atau bernilai diatas Rp. 50.000.000.000,-. Ketentuan mengenai sanksi yang sebelumnya selalu bersifat sepihak, dengan Keppres ini ditegaskan bahwa klausula sanksi dalam kontrak pengadaan berlaku bagi kedua belah pihak. Dengan demikian pengguna jasa yang note bene adalah pemerintah juga dapat dikenai sanksi jika lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya klausula sanksi bagi kedua belah pihak maka sekaligus ini mencerminkan bahwa dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah setidaknya, secara normatif, telah terdapat keseimbangan kewajiban kontraktual bagi para pihak. Selanjutnya pada tanggal 3 November 2003, diterbitkanlah Keppres No. 80 Tahun 2003. Pada Keppres No. 80 Tahun 2003, juga disyaratkan adanya sertifikasi keahlian yaitu tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang merupakan persyaratan seseorang untuk diangkat sebagai pengguna barang/jasa atau panitia/pejabat pengadaan.
94
Pejabat pengadaan sebagaimana didefinisikan dalam pasal 1 angka 9 Keppres ini adalah personil yang diangkat oleh pengguna barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan
penyedia barang/jasa dengan nilai
sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Sedangkan panitia pengadaan adalah tim yang diangkat oleh pengguna barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa (pasal 1 angka 8 Keppres No. 80 Tahun 2003). Syarat yang diperlukan dalam pengangkatan seseorang sebagai anggota panitia pengadaan sebagaimana diatur dalam Bab I huruf B angka 2 Lampiran I Keppres No. 80 Tahun 2003 adalah yang memiliki kemampuan dalam memahami : 1) Tata cara pengadaan; 2) Substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan; dan 3) Hukum-hukum perjanjian/kontrak. Dari syarat bahwa anggota panitia pengadaan harus memiliki pemahaman
dan
menguasai
hukum
perjanjian/kontrak,
hal
ini
menunjukkan bahwa Keppres ini menempatkan aspek kontrak sebagai bagian yang sangat penting dalam keseluruha proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Perihal kontrak pengadaan barang/jasa dalam Keppres ini diatur dalam Bab II Bagian Kesebelas. Terdapat sepuluh pasal yang secara khusus
mengatur
tentang
kontrak
pengadaan
barang/jasa
bagi
pemerintah, yaitu mulai pasal 29 sampai dengan pasal 38. Dalam kaitan
95
ini yang diatur sesuai dengan urutan pasal adalah menyangkut : isi kontrak, jenis kontrak, penandatanganan kontrak, pembayaran uang muka dan prestasi pekerjaan, perubahan kontrak, penghentian dan pemutusan kontrak, serah terima pekerjaan, sanksi apabila para pihak tidak memenuhi kewajibannya dan penyelesaian perselisihan. Keppres ini membedakan tiga jenis dasar pembentukan kontrak pengadaan, yaitu : 1) berdasarkan bentuk imbalannya : ♦ kontrak lumpsum; ♦ kontrak harga satuan; ♦ kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan; ♦ kontrak terima jadi (turn key); ♦ kontrak persentase. 2) berdasarkan jangka waktunya : ♦ kontrak tahun tunggal; ♦ kontrak tahun jamak (multi years). 3) jumlah pengguna barang/jasanya : ♦ kontrak pengadaan tunggal; ♦ kontrak pengadaan bersama. Keppres-keppres setelah Keppres No. 80 Tahun 2003 tidak mengalami perubahan yang mendasar, sehingga dalam pembuatan kontrak pengadaan tetap berpedoman pada Keppres No. 80 Tahun 2003.
96
Pada tanggal 6 Agustus 2010, ditetapkanlah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk mengganti Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman Pengadaan Barang/Jasa Bagi Pemerintah. Dengan dikeluarkannya Perpres No. 54 Tahun 2010 ini diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/ PBD. Selain itu, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang berpedoman pada Peraturan Presiden ini ditujukan untuk meningkatkan keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha-usaha kecil, serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa dengan mengutamakan penggunaan industri strategis dalam negeri. Selanjutnya, ketentuan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap proyek/kegiatan yang pelaksanaannya dilakukan melalui skema pembiayaan bersama (cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.73 Perihal kontrak pengadaan barang/jasa dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tersebar dalam beberapa bab yakni : - Bab IV, Bagian Ketiga pada paragraf keenam, pasal 50 – pasal 55 mengatur tentang jenis kontrak pengadaan barang/jasa;
73
Penjelasan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentatang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, hal. 1
97
- Bab VI, bagian keenam, pasal 64 mengatur tentang penyusunan dokumen pengadaan barang/jasa; - Bab VI, bagian kesepuluh, paragraph 11, pasal 86 mengatur tentang penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa; - Bab VI, bagian kesebelas pada pasal 87 hingga pasal 95 mengatur tentang pelaksanaan kontrak; - Bab XV, bagian keempat mengatur tentang sanksi baik sanksi yang dijatuhkan kepada penyedia barang maupun kepada pemerintah dalam hal ini diwakili oleh PPK maupun ULP. Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 membedakan 4 jenis kontrak dalam pengadaan barang/jasa untuk keperluan pemerintah sebagai berikut : a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak berdasarkan Tahun Anggaran; c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. Kontrak pengadan barang/jasa berdasarkan cara pembayaran dibedakan menjadi : a. Kontrak lumpsum; b. Kontrak harga satuan; c. Kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan; d. Kontrak persentase; dan e. Kontrak terima jadi (turn key).
98
Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran dibedakan menjadi : a. Kontrak tahun tunggal; b. Kontrak tahun jamak. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan dibedakan menjadi : a.
kontrak pengadaan tunggal;
b.
kontrak pengadaan jamak;
c.
Kontrak payung (framework contract).
Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan dibedakan menjadi : a. Kontrak pengadaan pekerjaan tunggal; b. Kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.