11
BAB II KAJIAN LITERATUR
2.1
Pengertian Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik
Pengadaan barang/jasa secara elektronik atau e-procurement untuk selanjutnya disingkat e-proc berdasarkan Perpres 70 Tahun 2012 adalah pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). E-proc merupakan pengembangan sistem pengadaan secara manual ke elektronik sebagai sebuah website dengan memanfaatkan sarana teknologi, informasi dan komunikasi berbasis internet17. Pengadaan barang/jasa secara elektronik bertujuan untuk:18 a.
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
b.
Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
c.
Memperbaiki tingkat efisiensi proses Pengadaan;
d.
Mendukung proses monitoring dan audit; dan
e.
Memenuhi kebutuhan akses informasi yang realtime. Dengan e-proc, proses lelang dapat berlangsung secara efektif, efisien,
terbuka, bersaing transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, sehingga mencerminkan keterbukaan dan meminimalisir praktik curang/KKN dalam lelang yang berakibat merugikan keuangan negara.
17
18
Sutedi, Andrian (2014): Pengadaan Barang/Jasa dan berbagai Permasalahannya.Sinar Grafika. Jakarta.Edisi Kedua.Hal 254 Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 107.
11
12
Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, kualitas (spesifikasi), kuantitas (volume), waktu dan kesepakatan lainnya19. Agar dapat terwujud, maka pengguna jasa maupun penyedia jasa harus tunduk pada etika pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip, metode dan prosedur pengadaan yang baik (sound practices). Prinsip dalam pengadaan barang/jasa dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, teknis dan keuangan. Prinsip dalam pengadaan barang/jasa adalah20: a.
Efisien,
berarti
pengadaan
barang/jasa
harus
diusahakan
dengan
menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas maksimum. b.
Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat sebesar-besarnya.
c.
Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasayang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
d.
Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.
19
20
Abu Samman Lubis (ND): Widyaiswara Madya Balai Diklat Keuangan Malang, Tinjauan Hukum dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. http://www.bppk.depkeu.go.id, diakses tanggal 3 Juni 2016. Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 5 dan penjelasannya.
13
e.
Bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin pengadaan barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa.
f.
Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon pengadaan barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
g.
Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Agar prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa itu berjalan sebagaimana
mestinya, maka para pihak terkait (pengguna, peserta pengadaan dan pelaksana pengadaan) harus mematuhi etika dalam pengadaan barang/jasa, yaitu21: a.
Melaksanakan tugas secara tertib, disertai tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan.
b.
Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.
c.
Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
d.
Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.
21
Ibid., Pasal 6 dan penjelasannya.
14
e.
Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa.
f.
Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.
g.
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, dan
h.
Tidak menerima, menawarkan atau menjanjikan, memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan. Melalui sistem e-proc telah diperoleh manfaat berupa keuntungan langsung
dengan meningkatkan akurasi data, meningkatkan efisiensi dalam operasi, proses aplikasi yang lebih cepat, mengurangi biaya administrasi dan mengurangi biaya operasi) dan keuntungan tidak langsung dengan membuat pengadaan lebih kompetitif, meningkatkan customer services, dan meningkatkan hubungan dengan mitra kerja 22 . Selain itu e-proc dapat mengurangi supply cost (rata-rata 1%), mengurangi cost per tender (rata-rata 20% cost per tender), peningkatan proses yang sederhana, mengurangi pekerjaan kertas, mengurangi pemborosan, mempersingkat birokrasi, standarisasi proses dan dokumentasi23.
22
23
Theo, et.al (2009) dalam Salmah, E. (2015).Evaluasi Kesiapan LPSE Pasaman Barat dalam Pengadaan Barang dan Jasa.Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta.Hal.33 Panayiotou, N.A (2004) An e-procurement system for governmental purchasing. International Journal Production Ekonomics.doi:10.1016/S0925-5273(03)00103-8.Hal.91
15
2.2
Kedudukan Pengadaan Barang/Jasa
Pengaturan tentang pengadaan barang dan jasa memiliki peran yang sangat penting
dalam
penyelenggaraan
negara,
terutama
untuk
mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan transparansi dan kompetisi secara sehat 24 . Penyimpangan akan berdampak pada rendahnya kualitas hasil pengadaan dan kualitas barang/jasa hasil pengadaan akan berdampak pada pelayanan publik yang diberikan 25 . Logikanya apabila proses pengadaan barang/jasa penuh dengan penyimpangan dan produk barang/jasa yang dihasilkan bermasalah maka masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang berkualitas pula26.
Perencanaan (Planning)
Pemrograman (Programming)
Penganggaran (Budgeting)
Pengadaan (Procurement) Perencanaan Pengadaan Pemilihan Penyedia (tender) Pelaksanaan Kontrak dan Pembayaran (Contract Implementation and Payment) Penyerahan barang/pekerjaan (handover)
Gambar 2.1 24
25
26
Pemanfaatan dan Pemeliharaan (Operation and Maintenance) Kedudukan Pengadaan Barang/Jasa dalam Kegiatan Pembangunan
Susila, Adi (2012): Mencermati Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jurnal AKP vol.1 No. 1.Februari 2012. Perpres 54 Tahun 2010 Poin Pertimbangan a: “bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang efisien, terbukadan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan Barang/Jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak padapeningkatan pelayanan publik”. Susila, Op.Cit. hal. 40.
16
Pengadaan barang/jasa diawali perencanaan, pemrograman, penganggaran, pengadaan (procurement), pelaksanaan kontrak dan pembayaran, penyerahan pekerjaan, dan yang terakhir adalah pemanfaatan dan pemeliharaan27.
2.3 Bidang Hukum yang Terkait Dengan Pengadaan Barang/Jasa Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi sehingga dapat tercapai tertib dan damai dalam suatu masyarakat. Terdapat tiga bidang hukum yang secara langsung dan tidak langsung mengatur pengadaan barang/jasa di lingkungan instansi pemerintah, yaitu: a.
Hukum Administrasi Negara (HAN) HAN adalah cabang ilmu hukum yang berfokus pada hubungan antara administrasi (pemerintah/eksekutif) dengan individu ataupun badan hukum. Secara formil, HAN mengulas hal-hal yang dapat atau wajib dilakukan serta yang dapat atau wajib untuk tidak dilakukan oleh administrasi berdasarkan asas dan peraturan. HAN juga mengulas upaya yang dapat dilakukan oleh individu atau badan hukum untuk melawan keputusan administrasi28. Hubungan hukum HAN adalah hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang/jasa pada proses persiapan sampai proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa, dimana PA/KPA bertindak sebagai pejabat negara/daerah sehingga semua keputusan yang dikeluarkan pada proses ini merupakan keputusan pejabat negara/daerah atau publik.
27 28
Sutedi, Op.Cit. Hal 14. Seerden, R.J.G.H (ed.) (2007):“Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States, Intersentia”, Antwerpen dalam Wibowo, R.A (2015): “Mencegah Korupsi Pengadaan Barang Jasa”, Jurnal Integritas, Vol 1, No 1, KomisiPemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, hal. 41.
17
Apabila ada pihak yang dirugikan (penyedia atau masyarakat) akibat keputusan tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).29 b.
Hukum Perdata Hukum perdata adalah seperangkat aturan-aturan yang mengatur hubungan subjek hukum (orang atau badan hukum) satu dengan subjek hukum yang lain, yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi) dan memberikan sanksi yang keras atas pelanggaran yang dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata30. Hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, tunduk pada perjanjian yang disepakati dalam pengadaan barang/jasa yang disebut kontrak 31 . Hubungan hukum antara pengguna jasa dengan penyedia jasa yang terjadi sejak penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak diatur oleh hukum perdata (privaat). Dalam kontrak, disepakati hak dan kewajiban para pihak. Pengguna barang/jasa berhak menerima hasil pekerjaan melalui PPK, yang sebelumnya dilakukan oleh PPHP sesuai dengan isi kontrak. Sedangkan PA/KPA wajib membayar harga pekerjaan yang telah dilaksanakan. Selanjutnya hak penyedia jasa adalah menerima pembayaran sesuai harga kontrak. Sedangkan kewajiban penyedia adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan isi kontrak. Sengketa dalam hubungan hukum privaat,
29
30 31
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, terakhir UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53,“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara….”. Ronald G. Salawane.http://tesishukum.com/pengertian-hukum-perdata-menurut-para-ahli/ Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 22, Kontrak adalah yaitu perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana swakelola.
18
diselesaikan di pengadilan umum atau lembaga arbitrase atau alternatif penyeselaian sengketa. c.
Hukum Pidana Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran terhadap undangundang, kepentingan umum dan barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana akan diancam dengan sanksi pidana tertentu. Hukum pidana bersifat publik, walaupun pihak korban tidak menuntut atau bahkan para pihak telah membuat perjanjian untuk tidak saling menuntut, negara tetap berhak untuk menghukum orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam pengadaan barang/jasa, hukum pidana mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna sejak tahap persiapan pengadaan sampai selesainya kontrak pengadaan barang/jasa (serah terima) ketika berkaitan dengan aspek hukum pidana. Apabila terjadi tindak pidana dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, seperti korupsi, penyuapan, pemerasan maka negara dapat menuntut melalui peradilan umum. Secara sederhana bidang hukum terkait pengadaan barang/jasa dapat dilihat pada gambar 2.2. Persiapan Pengadaan
SPPBJ
TTD Kontrak
Hukum Administrasi Negara HAN
Berakhirnya Kontrak
Hukum PERDATA
Hukum PIDANA
Gambar 2.2 Bidang Hukum Pengadaan Barang/Jasa
19
2.4
Aturan Hukum Pengadaan Barang/Jasa
Aturanterkait pengadaan barang/jasadi Indonesia, yaitu: a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
b.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 59 Tahun 2010.
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
e.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 157 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
f.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
g.
Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentang E-Tendering.
Terkait e-proc, telah dimulai sejak tahun 2003 seiring dengan wacana mewujudkan tata pemerintahan yang baik melalui e-government, salah satu bentuk pelayanan publik berbasis e-government adalah e-proc. Kemudian melalui Keppres Nomor 80 Tahun 2003 memuat ketentuan tentang e-announcement dan e-procurement. Selanjutnya kewajiban e-proc diatur lebih detail dalam Perpres 54 Tahun 2010, sampai pada akhirnya diwajibkan e-proc. Aturan yang mendukung pelaksanaan e-proc dapat dilihat pada tabel 2.1.
20
Tabel 2.1 Aturan yang mendukung pelaksanaan e-procurement No 1
Regulasi Inpres No.3 Tahun 2003 Lampiran I
Uraian “…e-procurement dapat dimanfaatkan oleh setiap situs pemerintah…”
Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government 2
Inpres No.5 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Ekonomi Selama dan Setelah Program Kerjasama dengan IMF
3
Lampiran I Bab IV Kepres No. 80 Tahun 2003 (huruf D)
Program Stabilitas Eknomi Makro –Rencana Tindak Kebijakan Peningkatan Efisiensi Belanja Negara berkewajiban mengembangkan dan implementasi e-procurement. (Menko Perekonomian, Pengadaan yang kredibel, Mensejahterakan Bangsa, Kemenkominfo, Bappenas dan Setneg) “…..e-procurement disesuaiakan dengan kepentingan PPK …”
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 4
Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
5
Perpres No. 20 Tahun 2006
“….. menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian, Menkeu, dan Bappenas melakukan kajian dan uji coba pelaksanaan sistem e-procurement yang dapat digunakan bersama oleh Instansi Pemerintah.” “ salah satu tugas Dewan TIK Nasional adalah menentukan flagship (e-procurement oleh Bappenas)”
Tentang Pembentukan Dewan TIK Nasional 6
Perpres No. 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
- Pasal 3 huruf d “ Pembinaan dan Pengembangan system informasi serta pengawasan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa secara elektronik (electronic procurement)” - Bab XIII Pasal 111 Gub/Wal/Bup membentuk LPSE untuk melaksanakan e-proc.
7
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
8
Perpres No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Pemerintah Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014
- Pasal 5 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” - Pasal 11 Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hokum danakibat hukum Pengadaan yang kredibel, mensejahterakan bangsa yang sah” terwujudnya pengadaan barang/jasa secara elektronik menuju satu pasar nasional dengan jumla LPSE 500 buah sampai tahun 2014”
21
Tabel 2.1 Aturan yang mendukung pelaksanaan e-procurement (lanjutan) No
Regulasi
9
Perpres No. 54 Tahun 2010
Uraian
- Pasal 106 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik. Tentang Pengadaan - Pasal 131 Barang/Jasa Pemerintah K/L/D/I mulai menggunakan e-Procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa disesuaikan dengan kebutuhan. Inpres 17/2011 Dalam APBN/APBD tahun 2012, sekurang-kurangnya Lampiran Butir 11 75 % dari seluruh belanja K/L dan 40 % belanja tentang Aksi Pencegahan Pemda (Prov/Kab/Kota) yang dipergunakan untuk dan Pemberantasan Korupsi pengadaan barang/jasa wajib menggunakan SPSE Th.2012 melalui LPSE sendiri atau LPSE terdekat Perpres No. 70 Tahun 2012 K/L/D/I wajib melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Pasal 131 (ketent. secara elektronik untuk sebagian/seluruh paket-paket peralihan) pekerjaan pada Tahun Anggaran 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Inpres 1/2013 e-procurement merupakan salah satu sistem informasi Lampiran Butir 147 untuk mendorong upaya pencegahan dan Tentang Aksi Pencegahan pemberantasan korupsi khususnya dalam pengadaan dan Pemberantasan Korupsi barang/jasa Th.2013 Perpres No. 4 Tahun 2015 - Ayat (1) Pasal 106 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dilakukan secara Tentang Tentang elektronik Pengadaan Barang/Jasa - Ayat (2) Pemerintah Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik dilakukan dengan cara E-Tendering atau E-Purchasing Sumber: Hasil Olahan
10
11
12
13
Selain Perpres Nomor 54 Tahun 2010 serta perubahannya sebagai aturan pelaksanaan teknis pengadaan barang/jasa, terdapat sejumlah regulasi lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan pengadaan barang/jasa, antara lain: 1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 2232.
32
UU No 5 Tahun 1999Pasal 22, Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
22
2.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 533.
3.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 dan Pasal 334.
4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
5.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.
6.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2.5 Penyedia Jasa Konstruksi "Konstruksi" adalah suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana yang meliputi pembangunan gedung (building construction), pembangunan prasarana sipil (civil engineer), dan instalasi mekanikal dan elektrikal. Pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya 35 . Pemilihan penyedia untuk pekerjaan konstruksi dilakukan melalui e-tendering. E-tendering adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan melalui penyedia barang/jasa 33
34
35
UU No 28 Tahun 1999 Pasal 5, Penyelenggara Negara berkewajiban tidak melakukan KKN, melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU 31Tahun 1999 jo.UU 20 Tahun 2001Pasal 2, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3, ibid. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sesuai Pasal 1 ayat 1.
23
yang terdaftar pada sistem e-proc. Secara sederhana metode pemilihan penyedia jasa konstruksi dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Berdasarkan Perpres 4 Tahun 2015 Pemilihan Penyedia untuk pengadaan Metode Pemilihan Penyedia
Barang
Pekerjaan Konstruksi
Jasa Konsultansi
Jasa Lainnya
e-Pelelangan Umum e-Pelelangan Terbatas e-Pelelangan Sederhana e-Pemilihan Langsung e-Seleksi Umum e-Seleksi Sederhana Sayembara Kontes Penunjukan Langsung Pengadaan Langsung (berupa e-purcashing jika terdapate-catalog)
Sumber: Perpres 4 Tahun 2015 Pasal 35 Metode pengadaan untuk pemilihan penyedia jasa konstruksi, yaitu: a.
Pelelangan Umum adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti semua pekerjaan konstruksi yang memenuhi syarat.
b.
Pelelangan Terbatas adalah metode pemilihan pekerjaan konstruksi dengan jumlah penyedia yang mampu melaksanakan diyakini terbatas dan untuk pekerjaan yang kompleks.
c.
Pemilihan Langsung adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp5.000.000.000.
d.
Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung satu penyedia barang/jasa.
e.
Pengadaan Langsung adalah pengadaan barang/jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa Pelelangan/Seleksi/Penunjukan Langsung.
24
2.6 Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa dikelola oleh empat bagian yaitu:36 a.
Pengguna
Anggaran
(PA)
adalah
pejabat
pemegang
kewenangan
penggunaan anggaran dan bertanggung jawab secara umum terhadap anggaran di K/L/D/I. Atas dasar pertimbangan besaran beban pekerjaan atau rentang kendali yang terlampau besar, PA dapat menetapkan seorang atau beberapa orang Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan mendelegasikan kewenangannya ke KPA. Salah satu kewenangan PA/KPA adalah menetapkan PPK, PP, dan PPHP37. Selain itu PA adalah penanggung jawab anggaran, menetapkan Rencana Umum Pengadaan (RUP), kebijakan umum pemaketan dan menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) pada paket pekerjaan yang ada didalam kewenangannya. b.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Memiliki tugas pokok menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa (spesifikasi, HPS dan rancangan kontrak), melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa dan bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kontrak.
c.
Pejabat Pengadaan (PP) adalah adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan langsung, penunjukan langsung dan e-purchasing sedangkan ULP adalah adalah unit organisasi K/L/D/I yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa.
36 37
Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 7 Ibid., Pasal 8 Ayat 1, angka c, d, dan e.
25
d.
Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) adalah adalah panitia/pejabat yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. PPHP didesain untuk melakukan pengecekan akhir apakah spesifikasi sesuai kontrak. PA
KPA
KPA
KPA
Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan ULP
PPK Pejabat Pembuat Komitmen
PPHP Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan
Gambar 2.3 Struktur Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
2.7
Unit Layanan Pengadaan
ULP adalah unit yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada38. Perangkat organisasi ULP ditetapkan sesuai kebutuhan. Minimal perangkat organisasi ULP dapat dilihat pada gambar 2.4. KEPALA ULP
STAF PENDUKUNG
SEKRETARIAT
POKJA
Gambar 2.4 MinimalPerangkat Organisasi ULP Pemilihan penyedia jasa konstruksi dilakukan oleh ULP melalui kelompok kerja (Pokja) ULP yang memiliki tugas pokok dan kewenangan meliputi:
38
Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 14, K/L/D/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikanpelayanan/pembinaan dibidang Pengadaan Barang/Jasa.
26
a.
Menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa;
b.
Menetapkan dokumen pengadaan;
c.
Menetapkan besaran nominal jaminan penawaran;
d.
Mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di website K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
e.
Menilai kualifikasi penyedia barang/jasa melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi;
f.
Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran;
g.
Khusus untuk ULP: 1) Menjawab sanggahan; 2) Menetapkan penyedia barang/jasa untuk: - Pelelangan atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000; atau - Seleksi atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp10.000.000.000; 3) Menyampaikan hasil pemilihan penyedia barang/jasa kepada PPK; 4) Menyimpan dokumen asli pemilihan penyedia barang/jasa. 5) Membuat laporan progress pengadaan kepada kepala ULP. Dalam melaksanakan pengadaan anggota Pokja ULP harus memiliki
persyaratan sebagai berikut :
27
a.
Memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab;
b.
Memahami pekerjaan yang akan diadakan;
c.
Memahami jenis pekerjaan yang menjadi tugas ULP/Pokja ULP;
d.
Memahami isi dokumen, metode dan prosedur pengadaan;
e.
Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
f.
Menandatangani pakta integritas. Dalam pelaksanaan pengadaan secara elektronik ULP membutuhkan sebuah
unit khusus bernama Layanan Pengadaan Secara Elektronik disingkat LPSE. LPSE berfungsi sebagai penghubung dan fasilitator antara PPK/ULP dengan Penyedia Barang/Jasa melalui aplikasi e-proc. LPSE bertugas untuk membangun sistem e-proc, memberikan username dan password kepada semua pihak yang terlibat serta menjaga, merawat, dan memperbaiki sistem e-proc.
2.8
Tahapan Pelaksanaan E-Proc
Pada dasarnya proses pelaksanaan pengadaan secara elektronik dan manual tidak jauh berbeda, hanya saja dalam e-proc memanfaatkan teknologi informasi. Melalui pemanfaatan teknologi informasi pada pelaksanaane-proc bertujuan untuk menciptakan suatu sistem pengadaan barang/jasa yang bebas dari korupsi yang dilandaskan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pelaksanaan e-proc berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 terdiri dari dua tahapan, persiapan dan pelaksanaan pengadaan.
28
Tabel 2.3 Tahapan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Persiapan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
1. Perencanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa (Pasal 34) 2. Pemilihan Sistem Pengadaan (Pasal 35) 3. Penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa (Pasal 59) 4. Penyusunan dan Penetapan HPS (Pasal 66) 5. Penyusunan dokumen Pengadaan Barang/Jasa (pasal 64) Pelaksanaan Pemilihan 6. Pengumuman (Pasal 73) Penyedia Barang/Jasa 7. Pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan (Pasal 76) 8. Pemberian penjelasan (aanwijzing) (Pasal 77) 9. Pemasukan dan pembukaan dokumen penawaran (Pasal 78) 10. Evaluasi dokumen dan pembuktian (Pasal 79) 11. Penetapan dan pengumman pemenang (Pasal 80) 12. Sanggahan (Pasal 81) 13. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (Pasal 85) 14. Penandatanganan Kontrak (Pasal 86) 15. Serah Terima Pekerjaan (Pasal 95) Sumber: Perpres 54 Tahun 2010, diolah
Pasal 106 Perpres 54 Tahun 2010 menjelaskan bahwa pengadaan Barang/Jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering atau epurchasing. E-tendering adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan melalui penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem e-proc. Dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2015 diatur tata cara pelaksanaan pemilihan melalui e-tendering, yaitu: Tabel 2.4 Tahapan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik 1. PPK menyerahkan rencana pelaksanaan pengadaan Persiapan (paket, spesifikasi teknis, HPS dan rancangan kontrak) Pemilihan dalam bentuk dokumen elektronik kepada pokja ULP Pokja ULP menyusun dan menetapkan dokumen 2. pengadaan Pelaksanaan 3. Pembuatan Paket, Pengumuman dan Pendaftaran Pemilihan 4. Pemberian Penjelasan 5. Pemasukan Data Kualifikasi 6. Pemasukan/Penyampaian Dokumen Penawaran Pembukaan dan Evaluasi Dokumen Penawaran serta 7. Pengumuman Pemenang 8. Sanggahan 9. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa 10. Penandatanganan Kontrak Sumber: Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015, diolah
29
Hasil elaborasi tahapan pemlihan penyedia jasa konstruksi berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 dapat dilihat pada gambar 2.5.
- PPK membuat RPP 1 (paket, spesifikasi teknis, HPS danrancangan umum kontrak) - PPK menyerahkan dokumen elektronik RPP ke Pojka ULP
- Pokja Menyusun 2 jadwal pengadaan - Pokja menyusun dan metepapkan dokumen pengadaan 3 berdasarr RPP
- Penyedia mendaftar pada LPSE - Penyedia melakukan klarifikasi data ke LPSE (offline) dan mendapat userID dan password
Pengumuman Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi 4
Pendaftaran Lelang
Download dokumen pengadaan
Penjelasan (Aanwijzing)
5
Upload dokumen kualifikasi/penawaran
6
Dekripsi dokumen penawaran, Evaluasi, dan Klarifikasi
7
Pengumuman Pemenang
8
Sanggahan
9
Penunjukan Pemenang SPPBJ
10
Penandatanganan Kontrak
11
Gambar 2.5 Tahapan Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara Elektronik
30
Tahapan pemlihan penyedia jasa konstruksi dijelaskan sebagai berikut: 1.
Tahap persiapan pemilihan penyedia barang/jasa Setelah PA akan mengumumkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara luas melalui website K/L/D/I setelah ada rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. PPK dan/atau ULP melakukan pengkajian ulang paket pekerjaan dan jadwal pengadaan dengan menyesuaikan dengan kondisi nyata (lapangan) pada saat akan melakukan pemilihan penyedia barang/jasa dan melaui PPK mengusulkan perubahan kepada PA/KPA.Sementara itu PPK bertanggungjawab menyusun rencana pelaksanaan pengadaan yang berisi data paket, spesifikasi teknis, HPS dan rancangan umum kontrak.
2.
Penyusunan jadwal pemilihan penyedia barang/jasa ULP akan menyusun dan menetapkan jadwal pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan mengalokasikan waktu yang cukup untuk semua tahapan proses pengadaan. Memperhatikan jam kerja dan hari kerja pada tahapan yang merupakan titik kritis seperti pemberian penjelasan, batas akhir pemasukan penawaran, pembukaan penawaran, pembuktian kualifikasi dan batas akhir sanggah.
3.
Penyusunan dokumen pengadaan barang/jasa Pokja ULP menyusun dokumen pengadaan yang terdiri atas dua dokumen, yaitu dokumen kualifikasi dan dokumen pemilihan. Dokumen pengadaan mengikuti standar dokumen yang melekat pada aplikasi SPSE. Data kualifikasi disampaikan melalui form isian elektronik yang tersedia pada SPSE, jika belum terakomodir maka data kualifikasi dapat diunggah pada fasilitas pengunggahan lain pada aplikasi SPSE. Adendum dokumen
31
pengadaan dapat dilakukan melalui aplikasi SPSE paling kurang 2 (dua) hari sebelum batas akhir pemasukan dokumen pengadaan dan hal tersebut menyebabkan
kebutuhan
penambahan
waktu,
maka
Pokja
ULP
memperpanjang waktu pemasukan dokumen pengadaan. 4.
Pengumuman dan Pendaftaran Setelah RUP diumumkan dan rencana pengadaan ditetapkan, Pokja ULP mengumumkan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa secara luas kepada masyarakat sekurang-kurangnya melalui website K/L/D/I dan Portal Pengadaan Nasional Inaproc. Penyedia barang/jasa yang berminat harus mendaftar melalui aplikasi SPSE, kemudian melakukan verifikasi ke LPSE untuk mendapatkan username dan password. Password ini dapat digunakan untuk melakukan pendaftaran di seluruh Indonesia. Pengambilan dokumen pengadaan dilakukan dengan cara mengunduh (download) dokumen pengadaan paket yang diminati pada aplikasi SPSE tersebut.
5.
Pemberian penjelasan Pemberian penjelasan dilakukan secara online oleh Pokja ULP untuk memperjelas dokumen pengadaan dan menambah informasi yang dianggap penting baik terhadap dokumen pengadaan maupun gambar. Proses penjelasan pelelangan dilakukan mirip dengan chatting, dimana pokja ULP dan penyedia barang/jasa dapat saling berinteraksi melalui SPSE. Jika tidak dimungkinkan
memberikan
informasi
lapangan
kedalam
dokumen
pemilihan, Pokja ULP dapat melaksanakan proses pemberian penjelasan lanjutan dengan peninjauan lapangan/lokasi pekerjaan.
32
6.
Pemasukan dan pembukaan dokumen penawaran Penyedia Barang/Jasa memasukkan dokumen penawaran dalam jangka waktu dan sesuai persyaratan dengan terlebih dahulu melakukan enkripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Penawaran yang terlambat secara otomatis akan ditolak oleh sistem. Dokumen penawaran disampaikan melalui fitur penyampaian penawaran dan Pokja ULP mengunduh dan melakukan dekripsi file penawaran menggunakan aplikasi yang sama sesuai jadwal.
7.
Evaluasi dokumen dan pembuktian kualifikasi Dalam melakukan evaluasi penawaran, ULP harus berpedoman pada tata cara/kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan. Evaluasi penawaran dilakukan terhadap semua penawaran yang masuk meliputi evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga secara offline (manual), kemudian dilanjutkan pembuktian kualifikasi (apabila lelang menggunakan metode pasca kualifikasi), maka hasil dari semua evaluasi tersebut kemudian dibuat rangking. ULP dan penyedia jasa dilarang melakukan tindakan post bidding, yaitu tindakan mengubah, menambah, mengganti dan/atau mengurangi dokumen pengadaan dan/atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran. Selanjutnya penyedia jasa yang akan diusulkan sebagai pemenang dan pemenang cadangan, dilakukan verifikasi terhadap semua data yang ada dalam formulir isian kualifikasi dengan dokumen asli yang sah.
33
8.
Penetapan dan pengumuman pemenang Pokja ULP/PP menetapkan hasil pemilihan penyedia barang/jasa dan mengumumkan hasil pemilihan penyedia melalui website K/L/D/I dan papan pengumuman resmi. Jika pemenang suatu paket pekerjaan telah ditetapkan, SPSE secara otomatis akan menampilkan informasi pemenang tersebut, dan juga mengirim informasi melalui email kepada seluruh peserta lelang paket pekerjaan. Pengumuman sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Nama paket pekerjaan dan nilai total HPS; b. Nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat pemenang; dan c. Hasil evaluasi penawaran administrasi, teknis, dan harga.
9.
Sanggahan Peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada Pokja ULP (ditembuskan kepada PPK, PA/KPA, dan APIP K/L/D/I) apabila menemukan: a. Penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Perpres dan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan; b. Aadanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat; c. Adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau Pejabat yang berwenang lainnya.
10. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) akan diterbitkan oleh PPK dengan ketentuan:
34
a. Tidak ada sanggahan dari peserta, maka SPPBJ harus diterbitkan paling lambat enam hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang. Jika terdapat sanggahan banding, SPPBJ harus diterbitkan paling lambat dua hari kerja setelah semua sanggahan banding dijawab. Jika terdapat Sanggahan tetapi tidak terdapat Sanggahan Banding, SPPBJ harus diterbitkan paling lambat enam hari kerja untuk pelelangan umum dan paling lambat empat hari kerja untuk pemilihan langsung setelah sanggahan dijawab. b. Sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar. c. Masa sanggahan dan/atau masa sanggahan banding berakhir. 11. Penandatanganan Kontrak Penandatanganan kontrak dilakukan setelah DPA ditetapkan dan setelah penyedia
barang/jasa
menyerahkan
jaminan
pelaksanaan.
Kontrak
ditandatangani oleh direksi sesuai akta pendirian/anggaran dasar atau dapat diwakilkan oleh pengurus/karyawan perusahaan yang berstatus tenaga kerja tetap mendapat kuasa atau pendelegasian wewenang yang sah dari direksi.
2.9 Penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa secara Elektronik Terminologi “penyimpangan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyimpang atau menyimpangkan atau sikap tindak diluar ukuran (kaidah) yang berlaku. Arti kata “menyimpang” sendiri menurut sumber yang sama adalah menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya). Oleh Karena itu penyimpangan pada prinsipnya merupakan
35
perbuatan yang menyeleweng dari kaidah hukum yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa, baik aturan teknis maupun aturan tidak langsung. 1.
Penyimpangan terhadap Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya.
2.
Penyimpangan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3.
Penyimpangan
terhadap
UU
Nomor
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 4.
Penyimpangan terhadap UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Larasati (2011) menyatakan bentuk-bentuk penyimpangan pengadaan
barang/jasa pemerintah berdasarkan akibat yang ditimbulkan dikelompokkan dalam empat kelompok yaitu: penyimpangan administrasi; pemborosan keuangan negara; kerugian keuangan kegara; serta kerugian keuangan negara yang mengarah pada tindak pidana korupsi39. Jenis penyimpangan administrasi dalam pengadaan barang/jasa misalnya kesalahan dalam pemaketan pekerjaan pengadaan barang/jasa, kesalahan dalam menentukan metode lelang dan metode evaluasi pelelangan dan kesalahan dalam menentukan persyaratan dokumen bagi peserta pelelangan. Jenis penyimpangan keuangan negara yang mengakibatkan pemborosan keuangan negara khususnya dalam pengadaan barang/jasa di lingkungan instansi pemerintah antara lain penyusunan HPS/owner estimate tidak sesuai ketentuan,
39
Larasati, RR (2011) : “Tanggung Jawab Hukum Tentang Keuangan Negara Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”. Tesis, Ilmu Hukum, Universitas Indnesia, hal. 80.
36
perencanaan pengadaan barang/jasayang tidak didasari atas analisa kebutuhan, dan pengadaan barang/jasa yang tidak atau belum termanfaatkan. Jenis penyimpangan keuangan Negara yang mengakibatkan kerugian negara dan mengandung unsur dalam delik tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa seperti penggelembungan anggaran pengadaan barang/jasa (mark up) dan penentuan pemenang lelang yang telah diarahkan/persekongkolan dalam lelang dengan atau pun tanpa didahului atau pun diakhiri dengan pemberian suap dan/atau gratifikasi. Salah satu indikasi penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilihat dari banyaknya penanganan perkara terkait pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh KPK, KPPU, IPW, ICW maupun oleh penegak hukum lain. Dari segi pelakunya, penyimpangan berupa persekongkolan tender menurut pedoman pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dibedakan pada tiga jenis, yaitu:40 a. Persekongkolan horizontal, merupakan persekongkolan yang terjadi antara penyedia barang/jasa dengan sesama penyedia barang/jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender. b. Persekongkolan vertikal, merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa penyedia barang/jasa dengan panitia lelang atau pengguna barang/jasa. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia lelang atau pengguna barang/jasa bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender.
40
Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (2009)Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persengkongkolan Dalam Tender berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal. 15.
37
c. Gabungan
persekongkolan
vertikal
dan
horizontal
merupakan
persekongkolan antara panitia lelang atau pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Penyimpangan terhadap Perpres 54 Tahun 2010 sebagai aturan teknis pengadaan barang/jasa,dapat berupa penyimpangan administrasi, namun apabila memenuhi tiga unsur, yaitu (1) Melawan hukum; (2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; dan (3) Merugikan keuangan negara atau perkonomian negara, maka dapat dikenai Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 2001. Menurut buku Tool Kit Anti Korupsi di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat sepuluh bentuk „korupsi‟ dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu:41 1.
Pemberian suap/sogok (bribery); Penyuapan adalah pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas, dan janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang akan berakibat membawa untung terhadap diri sendiri atau pihak lain, yang berhubungan dengan jabatan yang dipegangnya pada saat itu.
2.
Penggelapan (embezzlement); Penggelapan adalah perbuatan mengambil tanpa hak oleh seseorang yang telah diberi kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang milik negara, oleh pejabat publik maupun swasta.
41
Tool Kit Anti Korupsi di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.(2005).Indonesia Procurement Watch (ICW) dengan dukungan ADB Project Public Relations Activities in Support of Government’s Anticorruption Effort Tahun 2005.
38
3.
Pemalsuan (fraud); Pemalsuan adalah suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi, dengan maksud untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain.
4.
Pemerasan (extortion); Pemerasan adalah memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.
5.
Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion); Penyalahgunaan
jabatan
atau
wewenang
adalah
mempergunakan
kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya 6.
Pertentangan kepentingan/memiliki usaha sendiri (internal trading); Pertentangan kepentingan yaitu melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga, dengan cara mempergunakan
kesempatan
dan
jabatan
yang
dimilikinya
untuk
memenangkan kontrak pemerintah. 7.
Pilih kasih (favoritism); Pilih kasih yaitu memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai politik, suku, agama dan golongan, yang bukan kepada alasan objektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme kerja.
39
8.
Menerima komisi (commision); Pejabat Publik yang menerima sesuatu yang bernilai, dalam bantuan uang, saham, fasilitas, barang dll, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.
9.
Nepotisme (nepotism); Nepotisme adalah tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sefaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.
10. Kontribusi atau sumbangan ilegal (illegalcontribution). Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah. Modus penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasaantara lain mark up (penggelembungan anggaran), suap untuk memenangkan tender, menggabungkan atau memecah paket pekerjaan, penunjukan langsung, maupun kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan untuk pengaturan tender42. Hal yang sama diungkapkan Aprizal (2013) bahwa indikasi kecurangan dan penyimpangan yang terjadi di lelang manual ternyata masih terjadi dalam e-procurement. Indikasi tersebut berupa cover bidding (penawaran pura-pura), bid suppression (mengundurkan diri), dan bid rotation (arisan) dalam proses pengadaan barang/jasa43.
42
43
Syarifuddin (2015): “Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Secara EProcurement pada Dinas Cipta Karya, Perumahan dan Tata Ruang Daerah Sulawesi Tengah”. E-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 11 hal. 25. Aprizal (2013):“Akuntabilitas Publik Dalam Pelaksanaan E-Procurement di Kota Pangkalpinang”, Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 ISSN 08529213.
40
2.10 Upaya Pencegahan Penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa Menurut Suswinarno (2012), pada pengadaan barang/jasa terdapat resiko yang mengakibatkan tindak pidana. Ketidakmampuan dalam memahami aturan tentang pengadaan barang/jasa disinyalir sebagai salah satu penyebab. Salah satu upaya pencegahan penyimpangan telah diatur mengenai “larangan” berbuat curang atau KKN dalam Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya.Pengaturan larangan tersebut dapat dilihat pada Tabel. 2.5. Tabel. 2.5 Pengaturan Larangan KKN dalam Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya Pasal Pasal 1 ayat 13 Tentang Pakta Integritas, surat pernyataan berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme Pasal 6 Tentang Etika Pengadaan
Uraian 1. PPK (Pasal 12 ayat 22) 2. Kepala ULP/Anggota Pokja/Pejabat Pengadaan ayat 1) 3. PPHP (Pasal 18 ayat 4) 4. Penyedia Barang/Jasa (Pasal 19 yat 1)
(Pasal 17
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidakyang mengakibatkan persaingan tidak sehat; d. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan; e. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; f. tidak menerima, menawarkan atau menjanjikan untuk memberi/menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Pasal 83 ayat 3 Tentang kewenangan PA/KPAmenyatakan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung gagal
a. apabila pengaduan masyarakat adanya dugaan KKN yang melibatkan Pokja ULP dan/atau PPK ternyata benar; b. dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat tersebut dinyatakan benar oleh pihak berwenang.
Pasal 93 ayat 1 Tentang kewenangan PPK melakukan Pemutusan Kontrak, apabila
c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan; d. penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dinyatakan benar olehinstansi yang berwenang
41
Tabel. 2.5 Pengaturan Larangan KKN dalam Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya (lanjutan) Pasal 118 Tentang Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang akan dikenakan sanksi, apabila
a. berusaha mempengaruhi Pokja ULP/ PP/pihak lainyang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan; b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yangsehat; c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.
Beberapa tantangan dalam penerapan e-proc antara lain rendahnya tingkat komitmen politik dari Pemerintah Daerah dan pengawasan internal yang lemah oleh Pemerintah Daerah44. Sehingga upaya membangun kemitraan antara LKPP dengan lembaga pengawas internal di Daerah perlu dilakukan. Salah satu upaya tersebut telah dilakukan Provinsi Maluku Utara, melalui diskusi terkait membangun kemitraan antara LKPP dan APIP/Biro atau Bagian Hukum Pemerintah Daerah dengan difasilitasi oleh Perwakilan BPKP Provinsi Maluku Utara. Latar belakang diadakannya diskusi ini karena masih banyaknya permasalahan terkait pengadaan barang/jasa pemerintah di Daerah45. Selain itu LKPP telah bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melengkapi SPSE dengan modul e-audit pengadaan. Modul ini memungkinkan 44
Hidayat (2015): “Local Government E-Procurement Practices in Indonesia: Accountability, Efficiency and Barriers”. Journal of US-China Public Administration Vol. 2 No. 2 Hal.113. 45 http://www.bpkp.go.id/malut/berita/read/11712/10/BPKP-MALUKU-UTARA-MEMBANGUNKEMITRAAN-LKPP-APIP-DAN-INSTANSI-PEMDA-DALAM-PENGADAANBARANGJASA.bpkp diakses pada 26 Agustus 2016.
42
auditor (inspektorat atau BPK) untuk melakukan audit secara elektronik terhadap proses pengadaan. BPKP juga akan membantu LKPP dan seluruh pengelola LPSE untuk sosialisasi sistem e-audit ini ke Satuan Pengawas Internal di instansi pengguna LPSE. Implementasi dan sosialisasi e-audit pengadaan juga dilakukan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam e-audit terdapat prosedur pengujian validitas pelaksanaan e-lelang46, yaitu: 1.
Pengujian terhadap prosedur persetujuan lelang.
2.
Pengujian terhadap validitas time-frame penggunaan user id.
3.
Pengujian terhadap acces control oleh ULP/Pokja ULP.
4.
Pengujian terhadap kemungkinan kolusi antara ULP/Pokja dengan penyedia.
5.
Pengujian terhadap kemungkinan kerjasama antar peserta lelang.
6.
Pengujian terhadap kemungkinan pengaturan availability aplikasi SPSE Hal ini dikarenakan e-lelang dinilai belum mampu menghilangkan korupsi,
kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa, terutama karena faktor manusia yang memang berniat tidak baik dalam pengadaan barang/jasa.
2.11 Penelitian Terdahulu tentang Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa Terdapat beberapa referensi mengenai penyimpangan pengadaan barang/jasa, baik yang bersumber dari buku, jurnal/artikel ilmiah, maupun studi yang dilakukan dalam penelitian terdahulu. Berikut diuraikan beberapa pendapat mengenai penyimpangan dalam tahapan pengadaan barang/jasa:
46
Arumsari, Totok.P dalam http://www.bpkp.go.id/investigasi/berita/read/13521/0/AUDITATAS-PELAKSANAAN-LELANG-SECARA-ELEKTRONIK-DALAM-PENGADAANBARANG-DAN-JASA-PEMERINTAH.bpkp diakses tanggal 16 September 2016.
43
A.
Waluyo (2010)
Dalam presentasi saat Inhouse Training pada Kementerian Pekerjaan Umum, Waluyo selaku Wakil KPK yang membawahi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, mempresentasikan penyimpangan yang terjadi dalam 15 tahapan pengadaan47. Senada dengan contoh-contoh penyimpangan pada Modul Pengantar Pengdaan Barang/Jasa LKPP48 sebagai berikut: 1.
Perencanaan Pengadaan A1. A2. A3. A4.
2.
Pembentukan Panitia Lelang A5. A6. A7. A8.
3.
48
Pengumuman lelang semu/fiktif Jangka waktu pengumuman terlalu singkat Pengumuman lelang tidak lengkap
Pengambilan Dokumen Lelang A20. A21. A22.
47
Spesifikasi diarahkan pada merk tertentu Rekayasa kriteria evaluasi Dokumen lelang tidak standar Dokumen lelang tidak lengkap
Pengumuman Lelang A17. A18. A19.
6.
Dokumen administrasi tidak memenuhi syarat Legalitas dokumen administrasi Tidak dilakukan legalisasi dokumen administrasi Evaluasi tidak sesuai kriteria
Penyusunan Dokumen Lelang A13. A14. A15. A16.
5.
Panitia yang tidak transparan Lemahnya integritas panitia Panitia yang memihak peserta tertentu Panitia kurang/tidak independen
Prakualifikasi Perusahaan A9. A10. A11. A12.
4.
Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana pengadaan yang diarahkan pada pihak tertentu Rekayasa (penyatuan atau pemecahan) pemaketan untuk tujuan KKN Penentuan jadwal pengadaan yang tidak realistis
Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten) Waktu pendistribusian dokumen terbatas Lokasi pengambilan dokumen sulit ditemukan
Waluyo (ND): Penyimpangan dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Inhouse Training Kementerian Pekerjaan Umum. Modul pelatihan LKPP http://www.lkpp.go.id/v2/files/content/file/Modul_Pengantar_PBJP_110.pdfhal 32, diakses tanggal 4 Mei 2016.
44
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
B.
Penyusunan HPS A23. Gambaran nilai HPS ditutup-tutupi A24. Harga dasar yang tidak standar A25. Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan Penjelasan (aanwijzing) A26. Pre bid meeting yang terbatas A27. Informasi dan deskripsi yang terbatas A28. Penjelasan yang kontroversial Penyerahan dan Pembukaan Penawaran A29. Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran A30. Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat A31. Penyerahan dokumen fiktif Evaluasi Penawaran A32. Kriteria evaluasi cacat A33. Penggantian dokumen Evaluasi tertutup dan tersembunyi A34. Penawaran peserta lelang terpola dalam rangka kolusi Pengumuman Calon Pemenang A35. Pengumuman sangat terbatas A36. Penundaan tanggal pengumuman dengan sengaja A37. Pengumuman yang tidak jelas Sanggahan Peserta A38. Tidak seluruh sanggah ditanggapi oleh Pokja A39. Substansi sanggahan tidak ditanggapi A40. Sanggahan pro forma untuk menghindari pengaturan tender Penunjukan Pemenang Lelang A41. Surat penunjukan yang tidak lengkap A42. Penundaan tanggal surat penunjukan dengan sengaja A43. Surat penunjukan dikeluarkan terburu-buru A44. Surat penunjukan tidak sah Penandatanganan Kontrak A45. Penandatanganan kontrak kolutif A46. Penundaan penandatanganan kontrak A47. Penandatanganan kontrak secara tertutup A48. Penandatanganan kontrak tidak sah Penyerahan jasa konsultan A49. Biasnya kriteria penerimaan hasil/karya konsultan A50. Pemalsuan data lapangan A51. Design plagiat (tanpa dukungan design note)
Suswinarno A.K (2012)
Hampir senada dengan Effrianto (2015), dalam buku Aman dari Resiko Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 49 , Suswinarno memaparkan praktik-praktik yang 49
mengakibatkan
terjadinya
tindak
pidana
dalam
pengadaan
Suswinarno Ak., MM (2012): Aman dari Resiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Visi Media. Jakarta. Hal.21
45
barang/jasaberdasarkan perbuatan/peristiwa yang “memicu” terjadinya tindak pidana tersebut: B1. Menyuap; B2. Menggabungkan pekerjaan; B3. Memecah pekerjaan; B4. Penunjukan langsung; B5. Mengatur/merekayasa proses lelang/tender; B6. Memalsukan dokumen perusahaan; B7. Meggelembungkan harga (mark up); B8. Mensubkontrakkan seluruh pekerjaan; B9. Membuat spesifikasi yang mengarah pada rekanan tertentu; B10. Membuat syarat-syarat tender untuk membatasi peserta lelang; B11. Mengurangi kuantitas barang/jasa; B12. Mengurangi kualitas barang/jasa; B13. Pengadaan fiktif; B14. Salah merancang kontrak; B15. Kontrak tanpa tersedia anggaran; B16. Pemborosan keuangan daerah/negara; B17. Penentuan HPS yang terlalu tinggi. C.
Sutedi, A (2014)
Dalam buku Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan berbagai permasalahannya, Sutedi mengemukakan penyimpangan-penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pada 15 tahapan pengadaan. Penyimpangan yang ada
46
disertai gejala-gejala yang biasa dijumpai terkait penyimpangan tersebut, sebagai berikut:50 1.
Perencanaan Pengadaan C1.
C2. C3. C4. C5. 2.
Pementukan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan C6. C7. C8. C9.
3.
C11.
Pengumuman gambaran nilai HPS ditutup-tutupi Penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN Harga dasar yang tidak standar (dalam KKN) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan
Penjelasan Tender (aanwijzing) C26. C27. C28. C29.
50
Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (partial) Waktu pendistribusian informasi terbatas Penyebarluasan dokumen yang cacat
Penentuan HPS C22. C23. C24. C25.
8.
Pengumuman lelang semu atau fiktif Materi pengumuman yang membingungkan (ambigious) Pengumuman lelang tidak lengkap
Pengambilan Dokumen Tender C19. C20. C21.
7.
Spesifikasi teknis mengarah pada suatu produk tertentu Kriteria evaluasi dalam dokumen kontrak diberikan penambahan yang tidak perlu Dokumen lelang non standar (sehingga mudah KKN) Dokumen lelang yang tidak lengkap
Pengumuman Tender C16. C17. C18.
6.
Dokumen mitra kerja tidak memenuhi syarat (tidak didukung oleh data yang benar) Tidak melakukan pembuktian dokumen mitra kerja yang tidak didukung data
Penyusunan Dokumen Pengadaan C12. C13. C14. C15.
5.
Panitia bekerja secara tertutup dan tidak adil Panitia tidak jujur Panitia memberi keistimewaan pada kelompok tertentu Panitia dikendalikan oleh pihak tertetu
Prakualifikasi Peserta C10.
4.
Penggelembungan biaya rencana pengadaan Gejala unit price yang tidak realistis dan pembengkakan jumlah anggaran APBN/APBD, akibatnya Terjadi “tender arisan” yang sudah jamak pada pemaketan kolutif Rencana pengadaan diarahan untuk kepentingan produ kontraktor tertentu Pemaketan untuk mempermudah KKN Rencana waktu pelaksanaan yang tidak realistis
Pre-Bid Meeting yang terbatas Informasi dan deskripsi yang terbatas Ketiadaan partisipasi masyarakat Penjelasan yang kontroversial
Andrian Sutedi, SH, MH (2014): Pengadaan Barang/Jasa dan berbagai Permasalahannya.Sinar Grafika.Jakarta.Edisi Kedua. Hal.190-222
47
9.
10.
Penyerahan dan Pembukaan Penawaran C30. Relokasi penyerahan dokumen penawaran C31. Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat C32. Penyerahan dokumen yang semu C33. Ketidak lengkapan dokumen penawaran C34. Upaya menghalangi pemasukan dokumen penawaran oleh oknum tertentu Evaluasi Penawaran C35. C36. C37. C38
11.
Pengumuman Calon Pemenang C39. C40. C41. C42.
12.
Penandatanganan kontrak yang kolutif secara sistemik Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda Penandatanganan kontrak tidak sah
Penyerahan Barang/Jasa C53. C54. C55. C56.
D.
Surat penunjukan tidak lengkap Surat penunjukan sengaja ditunda pengeluarannya Surat penunjukan yang dikeluarkan terburu-buru Surat penunjukan yang tidak sah
Penandatangan Kontrak C50. C51. C52.
15.
Tidak seluruh sanggahan ditanggapi Substansi sanggahan tidak ditanggapi Sanggahan proforma untuk menghindari tender diatur
Penunjukan Pemenang C46. C47. C48. C49.
14.
Pengumuman yang disebarluaskan sangat terbatas Pengumuman tidak mengindahkan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan publik dengan harapan tidak ada sanggahan Tanggal pengumunan ditunda Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman
Sanggahan Peserta Lelang C43. C44. C45.
13.
Kriteria evaluasi cacat Penggantian dokumen Pemilihan tempat evaluasi tersembuyi Peserta lelang terpola dalam rangka kolusi
Rekomendasi palsu Volume konstruksi tidak sama dengan spesifikasi/BOQ Kriteria penerimaan hasil konstruksi bias Perintah perubahan dalam rangka KKN
Alfian (2015)
Dalam artikel ilmiah dengan judul Pemetaan dan Jenis Resiko Kecurangan dalam Audit Pengadaan Barang dan Jasa yang dipublikasi melalui jurnal pengadaan LKPP bulan Oktober 2015 volume 4 nomor 1. Alfian membahas modus operandi
48
yang sering dilakukan pelaku tindak kecurangan dalam pengadaan barang/jasa, dalam limabelas tahapan pengadaan menurut Suhartanto51, sebagai berikut: 1.
Perencanaan Pengadaan D1. D2. D3. D4. D5.
2.
Pementukan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan D6. D7. D8. D9.
3.
D11.
D12.
D14. D15.
Alokasi waktu seperti pengumuman pelelangan dan pemasukan dokumen penawaran sangat tidak realistis Penggunaan waktu libur atau di luar hari kerja sebagai kegiatan pelaksanaan lelang Penetapan jadwal proses lelang yang secara disengaja mendekati akhir tahun ang garan, sehingga memungkinkan dilakukan penunjukan langsung
Penyusunan Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) D16. D17. D18. D19.
51
Penetapan sistem pemilihan penyediabarang/jasa cenderung kepada penggunaan sistem penunjukan langsung Pemilihan sistem evaluasi penawaran mengarah kepada sistem yang mampu mengamankan penyedia dan anggaran termasuk unsur “suap” dan “uang terima kasih” yang telah ditetapkan Kecenderungan pemilihan sistem kontrak jenis lump-sum untuk memudahkan melakukan praktik mark-up anggaran ataupun HPS
Penyusunan Jadwal Pengadaan D13.
5.
Pemilihan orang-orang yang telah memberi kesanggupan untuk mem berikan uang suap dan uang terima kasih Pemilihan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan calon penyedia barang/jasa Pemilihan orang-orang yang tidak memiliki integritas moral dan mudah dipengaruhi untuk melakukan praktik korupsi-kolusi Pemilihan dari orang-orang yang tidak profesional, tidak mempunyai pemahaman, dan kemampuan mengenai proses pelelangan sehingga mudah dija dikan “boneka” untuk memuluskan jalannya praktik korupsi kolusi
Penetapan Sistem Pengadaan D10.
4.
Perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan riil Perencanaan disesuaikan dengan keiinginan pihak-pihak tertentu Barang/jasa mengarah kepada satu kemampuan rekanan tertentu Adanya uang suap untuk politisi dan uang terima kasih (kickback) yang dimasukkan dalam perencanaan Perencanaan yang ditunda tunda pengesahannya agar dapat dilakukan penunjukan langsung
HPS disusun sendiri oleh calon penyedia barang/jasa sehingga barang/jasa dan harga sehingga disesuaikan dengan keinginan penyedia barang/jasa Adanya rekayasa (markup) koefisien dan jenis komponen yang diperlukan untuk membentuk harga satuan subjenis peker jaan Adanya rekayasa (mark-up) volume subjenis pekerjaan, khususnya untuk jenis kontrak lump-sum HPS tidak disusun berdasar data-data yang valid
Alfian: 2015. Pemetaan dan Jenis
49
6.
Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa D20. D21. D22. D23.
7.
Pengumuman Pendaftaran Peserta Lelang D24. D25. D26. D27. D28.
8.
D31. D32. D33. D34.
Proses kualifi kasi dengan meminta seluruh salinan atau asli dokumen pendukung Evaluasi persyaratan kualifi kasi tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan sehingga rekanan-rekanan yang tidak memenuhi dinyatakan memenuhi syarat kualifikasi Melakukan perubahan kriteria kualifikasi pada saat evaluasi dilakukan Hasil prakualifikasi tidak diumumkan dan tidak disediakan waktu sanggah bagi peserta/masyarakat Dokumen pelelangan yang diberikan tidak sama Waktu dan tempat pengambilan dokumen pelelangan tidak jelas
Tahap Penjelasan (Aanwijzing) D35. D36. D37. D38. D39. D40. D41.
10.
Pengumuman lelang semu atau fiktif Penetapan jangka waktu pengumuman yang sangat terbatas Isi pengumuman yang tidak informatif Waktu penetapan untuk pendaftaran tidak jelas Alamat yang digunakan untuk mendaftar tidak jelas atau alamat jelas tetapi sulit di cari atau alamatnya fiktif
Tahap Kualifikasi Penyedia Barang/Jasa D29. D30.
9.
Adanya rekayasa persyaratan kualifikasi yang hanya berpihak kepada kepentingan penyedia barang/jasa tertentu Adanya penetapan persyaratan administrasi detail / tidak substantif dengan tujuan untuk “menjegal” penyedia barang/jasa yang tidak dimenangkan Spesifi kasi teknis barang/jasa yang mengarah pada kemampuan penyedia barang/jasa tertentu (merek dan jenis barang/jasa) Dokumen lelang dibuat ganda, sebuah dokumen untuk rekanan yang akan imenangkan dan sebuah lagi untuk rekanan yang tidak akan dimenangkan
Tidak semua peserta pelelangan yang mendaftar/lulus prakualifikasi diundanguntuk aanwijzing Kegiatan aanwijzing semu atau fiktif Aanwijzing tidak menjelaskan seluruh isi dokumen pelelangan, termasuk dampak atau akibat dari isi yang ditetapkan dalam dokumen lelang Tidak memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang kurang jelas Tidak melakukan dokumentasi terhadap perubahan yang mungkin terjadi dalam aanwijzing sebagai adendum dokumen pelelangan Adendum dokumen pelelangan tidak didistribusikan kepada seluruh peserta pelelangan Perincian HPS diberitahukan kepada rekanan tertentu
Penyampaian dan Pembukaan Dokumen Penawaran D42. D43. D44. D45. D46.
Penyerahan dokumen fiktif sebagai pendamping (dummy document) Tidak jelasnya waktu mulai dan penutupan penyampaian dokumen penawaran Terjadinya relokasi tempat penyampaian dan pembukaan dokumen penawaran Sengaja tidak langsung menerima dan mengarsipkan dokumen penawaran yang diterima lewat pos untuk menjustifikasi tidak diterimanya dokumen tersebut Waktu dan tempat pembukaan dokumen penawaran tidak jelas, tidak semua peserta mengetahuinya
50
D47. 11.
Evaluasi Penawaran, Pmbuktian Kualifikasi dan Pembuatan BA Hasil Pelelangan D48. D49.
D50. D51. D52. 12.
D61. D62.
Penandatanganan kontrak tanpa dilengkapi surat jaminan pelaksanaan Penandatanganan kontrak dilakukan bukan oleh pihak yang berwenang (dipalsukan oleh pihak tertentu) Kontrak “dijual” kepada pihak lain atau seluruh pekerjaan utama dialihkan kepada penyedia lainnya Pekerjaan utama disubkontrakkan
Penyerahan Barang/Jasa D63. D64. D65.
E.
Rekayasa sanggahan, formalitas sanggahan agar pelelangan terlihat fair Substansi sanggahan tidak ditanggapi atau tidak seluruhnya ditanggapi Panitia/penyedia yang dimenangkan melakukan negosiasi dengan memberi uang tutup mulut
Penandatangan Kontrak D59. D60.
15.
Pemenang lelang tidak diumumkan secara luas Isi pengumuman pemenang lelang tidak memenuhi standar minimal pengumuman Waktu pengumuman ditunda-tunda, untuk mengelabui rekanan yang sengaja tidak dimenangkan
Sanggahan Peserta Lelang dan Pengaduan Masyarakat D56. D57. D58.
14.
Evaluasi penawaran tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Adanya perubahan kriteria pada saat pelaksanaan evaluasi penawaran disesuaikan dengan kriteria yang dimiliki oleh penyedia yang akan dimenangkan atau “pendampingnya” Tidak dilakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap daftar dan dokumen kualifi kasi yang meragukan (pengalaman, ijazah, dan dukungan bank); Berita acara hasil pelelangan tidak informative dan tidak didukung dengan berkas-berkas evaluasi penawaran Pemenang yang ditetapkan dalam berita acara hasil pelelangan tidak sesuai dengan hasil evaluasi yang sebenarnya
Penetapan dan Pengumuman Lelang D53. D54. D55.
13.
Adanya pengguguran penawaran pada saat pembukaan penawaran
Pembuatan berita acara penyelesaian pekerjaan fiktif untuk mencairkan anggaran Kuantitas dan kualitas pekerjaan tidak sesuai yang ditentukan dalam kontrak Adanya pekerjaan tambah yang tidak jelas untuk meng habiskan anggaran.
Effrianto, P (2015)
Dalam buku Kiat-Kiat Terhindar dari Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Effrianto membahas pasal-pasal yang sering dilanggar baik oleh pengelola pengadaan (ULP/PP) maupun penyedia jasa sehingga berujung menjadi tersangka atau bahkan terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Berbagai
51
pelanggaran dikemukakan menurut kronologi waktu dalam proses pengadaan barang/jasa, sebagai berikut:52 1.
Pemaketan pekerjaan yang tidak benar Pelanggaran Pasal 22 dan 39 Perpres 70 Tahun 2012 dan Pasal 24 Perpres 54 Tahun 2010. Skema perbuatan melawan hukum/penyimpangan terhadap Pasal tersebut berupa: E1.
Paket yang dipecah-pecah agar bernilai dibawah Rp. 200.000.000, indikasi untuk menghindari lelang;
E2.
Paket yang seharusnya dipecah dijadikan satu untuk mengarahkan pemenang pada perusahaan besar;
E3.
Pengelola pengadaan menginginkan/mendapat imbalan (kickback) atas kolusi tersebut.
2.
Penyusunan HPS yang tidak benar HPS yang tidak benar atau lebih tinggi dari wajar karena beberapa alasan: E4.
PPK beralasan tidak mengerti cara pembuatan HPS sehingga menyerahkan pembuatannya pihak tertentu;
E5.
Unsur
harga
jenis
pekerjaan/bahan
yang
digunakan
dalam
penyusunan HPS berasal dari perusahaan tertentu; E6.
Unsur
jenis
harga
jenis
pekerjaan/bahan
tidak
memiliki
bukti/dokumen pendukung. 3.
Penunjukan langsung (PL) yang tidak benar E7.
Kontrak PL yang tidak benar terjadi karena kolusi agar kontrak jatuh ke rekanan tertentu dengan harga yang telah ditinggikan (mark up).
52
Piping Effrianto, SE, M.Si. CFr.A (2015): Kiat-Kiat Terhindar dari Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.Smart.Cetakan I. Hal.295
52
4.
Lelang yang tidak benar Skema perbuatan melawan hukum/penyimpangan terhadap Pasal tersebut antara lain memiliki kesepakatan tertentu dengan pengelola pengadaan, untuk tujuan dimenangkan menjadi rekanan pelaksana. Beberapa metode yang
biasa
dipakai
pengelola
kegiatan/penyedia
dalam
rangka
memenangkan pihak tertentu, yaitu: E8.
Menambahkan syarat-syarat tertentu dalam dokumen lelang;
E9.
Meminjam
nama
perusahaan
lain
(pinjam
bendera),
untuk
menunjukkan seolah-olah lelang diikuti oleh peserta yang saling bersaing; 5.
Pekerjaan disubkontrakkan Skema perbuatan melawan hukum/penyimpangan berupa: E10.
tidak
melaksanakan
pekerjaan
yang
dimenangkan,
namun
menyerahkan pada perusahaan lain (sub) yang mampu melaksanakan pekerjaan dengan harga yang lebih murah dari nilai kontrak.
F.
Nasution, S.P (2012)
Dalam tesis yang berjudul Evaluasi Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Pada LPSE Kementerian Keuangan, Nasution mengevaluasi capaian tujuan e-proc pada kementerian tersebut dengan kesimpulan bahwa: F1.
E-proc dapat meningkatkan transparansi, namun permasalahan pada tahap aanwijzing yang belum maksimal, dan proses evaluasi yang masih manual (offline).
F2.
E-proc juga meningkatkan akuntabilitas, namun terdapat temuan dari
53
segi akuntabilitas berupa kurangnya pemahaman panitia dan penyedia atas ketentuan yang berlaku (dalam hal ini Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2011). F3
Pada tujuan akses informasi yang realtime masih terdapat hambatan pada infrastruktur komunikasi.
G.
Tristianti, A.S (2014)
Dalam tesis yang berjudul Analisis Faktor Dominan Penyebab Permasalahan Pada Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi Untuk Proyek Jalan Nasional IV Kementrian Pekerjaan Umum, Tristianti menyimpulkan bahwa faktor dominan yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi yaitu: Menurut Panitia Pemilihan G1.
Lemahnya pemahaman spesifikasi proyek dan aturan pemilihan penyedia barang/jasa.
G2.
Kurangnya kompetensi panitia dan peserta pemilihan penyedia barang/jasa.
Sedangkan menurut Peserta Pemilihan G3.
Adanya penyimpangan-penyimpangan dan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum.
G4.
Kurangnya pemahaman akibat akibat ketidakjelasan peraturan yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi antara pihak.
54
H.
Ferdian, 2014
Dalam tesis yang berjudul Kajian Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi melalui LPSE pada ULP Provinsi Kep. Bangka Belitung, disimpulkan bahwa dari sisi tujuan penerapan pengadaan jasa konstruksi melalui e-procurement telah tercapai melalui peningkatan kinerja e-procurement dari manual. Khusus tujuan “meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat” menurut pengguna jasa sistem e-proc menunjukkan kinerja baik (87%) dan menurut penyedia jasa juga baik (79,1%). Adapun indikator untuk mengukur kinerja tujuan “meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat” sebagai berikut: H1.
Isi pengumuman yang dibuat oleh Panitia Pengadaan/Pokja ULP sudah jelas dan rinci, sehingga bisa diketahui oleh penyedia jasa dengan klasifikasi dan kualifikasi pekerjaan yang sesuai.
H2.
Spesifikasi teknis pekerjaan yang ditetapkan Panitia Pengadaan/Pokja ULP sudah jelas dan rinci dalam dokumen lelang serta tidak mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa serta bisa dipahami dengan baik oleh calon penyedia jasa.
H3.
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan/Pokja ULP merupakan persyaratan minimal sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan pekerjaan dan telah dijelaskan dengan rinci dalam dokumen lelang.
H4.
Metode dan kriteria evaluasi penawaran telah ditetapkan secara objektif, dan dijelaskan secara rinci dalam dokumen pelelangan (keterbukaan metode dan kriteria evaluasi panawaran digunakan).
yang
55
H5.
Dalam proses pemasukan penawaran tidak terjadi tekanan dan ancaman dari kelompok peserta lelang tertentu terhadap peserta lelang lainnya.
H6.
Tidak ditemukan adanya indikasi pengaturan harga penawaran diantara penawaran yang masuk (yang dapat diketahui dari sebagian besar harga penawaran memiliki selisih harga yang sangat tipis, dan mendekati harga HPS).
H7.
Dalam penunjukan pemenang lelang telah dilakukan sesuai dengan peraturan dan dilakukan setelah semua proses pelelangan telah selesai.
H8.
Terjadi peningkatan calon penyedia jasa konstruksi yang mendaftar dan kembali ikut bersaing secara terbuka dengan cara memasukkan penawaran.
I.
Soetanto, L.A (2015)
Dalam jurnal Jurnal Dimensi Pratama Teknik Sipil Vol. 4 No. 2 (2015) menggunakan variabel tingkat kemampuan sumber daya manusia, kondisi insfrastruktur dan sarana pendukung dan pengawasan prosedur. Dari ketiga aspek tersebut, Soetanto menyimpulkan sebagai berikut: I1.
Aspek teknis (sarana, prasarana dan infrastruktur yang dimiliki kontraktor) merupakan kendala yang cukup berarti dalam e-proc.
I2.
Perlindungan terhadap gangguan keamanan sistem aplikasi (virus atau hacker) merupakan kendala utama.
56
Dari referensi yang masih relevan, maka penulis bermaksud melakukan penelitian yang mengkaji variabel penyimpangan, apa saja indikator/faktor yang bisa digunakan untuk mengetahui dominasi penyimpangan pada pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi pemerintah melalui sistem e-procurement. Semua faktor/indikator yang relevan akan digunakan dalam penelitian ini dengan disesuaikan pada kondisi dan tata cara pelaksanaan sistem e-proc.
2.12 Metode Penelitian dan Statistik Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu53. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian bersifat rasional (masuk akal), empiris (menggunakan cara pengamatan oleh indera manusia sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara yang digunakan peneliti) dan sistematis (menggunakan langkah-langkah logis). Sehingga didapat data hasil penelitian yang bersifat empiris dengan ciri valid, reliable dan objektif. Statistik merupakan cara untuk menganalisis data yang diperoleh dari suatu penelitian. Statistika akan berkenaan dengan data dan variabel penelitian, hipotesis, populasi dan sampel dan interprestasi uji statistik. Peranan statistik dalam penelitian adalah:54 1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang diambil dari suatu populasi,
sehingga
jumlah
sampel
yang
diambil
lebih
dapat
dipertanggungjawabkan.
53 54
Sugiyono (2013): “Statistika untuk Penelitian”, Alfabeta : Bandung, hal.3. Sugiyono (2013): “Statistika untuk Penelitian”, Alfabeta : Bandung dalam Rakasiwi, G (2014): “Analisis Potensi Penyebab Terjadinya Sengketa Pada Proyek Konstruksi Jalan Tol yang Menggunakan FIDIC General Condition of Contract MDB Harmonised Edition 2006”, Tesis, Program Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, hal.53.
57
2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen, sebelum instrumen penelitian digunakan untuk penelitian. 3. Teknik-teknik untuk menyajikan data sehingga data lebih komunikatif. Teknik-teknik menyajikan data ini antara lain; tabel, grafik, diagram lingkaran dan pictogram. 4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Dalam hal ini statistik yang digunakan antara lain: regresi, t-test, anova dll. 2.12.1 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data Berdasarkan sumbernya, pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yaitu pengambilan data yang dihimpun langsung oleh peneliti, sedangkan data sekunder merupakan pengambilan data secara tidak langsung (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) dapat berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan menjadi lebih mudah. Kaitan antara metode dan instrumen pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2.6 seperti berikut : Tabel 2.6 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data No 1.
Jenis Metode Angket (questionnaire)
2.
Wawancara (interview) Pengamatan (observation)
3.
Jenis Instrumen a. Angket (questionnaire) b. Daftar cocok (checklist) c. Skala (scala) d. Inventori (inventory) a. Pedoman wawancara (interview guide) b. Daftar cocok (checklist) a. Lembar pengamatan b. Panduan pengamatan\ c. Panduan observasi (observation sheet atau observation schedule) d. Daftar cocok (checklist)
58
No 4.
Jenis Metode Ujian atau tes (test)
Jenis Instrumen a. Soal ujian (soal tes atau tes [test]) b. Inventori (inventory) 5. Dokumentasi a. Daftar cocok (checklist) b. Tabel Sumber: Arikunto (1995:135) dalam Riduan (2013:98)
2.12.2 Populasi dan Sampel Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Ada dua jenis populasi, yaitu: populasi terbatas dan populasi tidak terbatas (tak terhingga). Populasi terbatas adalah mempunyai sumber data yang jelas batasnya secara kuantitatif sehingga dapat dihitung jumlahnya.Sedangkan populasi tak terbatas yaitu sumber datanya tidak dapat ditentukan batasan-batasannya sehingga relatif tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah.55 Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel sebagai kesimpulan yang berlaku bagi populasi. Pengambilan sampel harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya atau representatif 56. Sampel yang representatif adalah sampel yang anggota-anggotanya mencerminkan sifat dan ciri-ciri yang terdapat pada populasi sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan terhadap populasi yang diteliti. Ada beberapa teknik dalam statistik untuk mendapatkan sampel yang representatif, yaitu: a.
55 56
Teknik Sampel Random
Riduwan (2013): “Metode dan Teknik Menyusun Tesis”, Alfabeta, Bandung, hal 55. Suharsimi Arikunto (2006): “Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik”, Rineka Cipta, Jakarta, hal 131-133.
59
b.
Teknik Sampel Proporsional
c.
Teknik Sampel Stratifikasi
d.
Teknik Sampel Quota
e.
Teknik Sampel Cluster Untuk menentukan jumlah sampel yang diperlukan dalam pengumpulan
data, dapat menggunakan rumus Taro Yamane dalam Riduwan57 sebagai berikut:
n
N =
Keterangan:
N.d2+ 1
............................................................... (2.1)
n = jumlah sampel, N = jumlah populasi, d2 = presisi yang ditetapkan.
2.12.3 Skala Pengukuran Pemahaman tentang jenis skala pengukuran yang digunakan dan tipe-tipe skala pengukuran dibutuhkan agar instrumen penelitian bisa diukur sesuai apa yang hendak diukur dan bisa dipercaya serta reliabel (konsisten) terhadap permasalahan instrumen penelitian. Maksud dari skala pengukuran ini untuk mengklasifikasikan variabel yang akan diukur supaya tidak terjadi kesalahan dalam menentukan analisis data dan langkah penelitian selanjutnya. Jenis-jenis skala pengukuran data ada empat, yaitu:58 1.
Skala nominal yaitu skala yang paling sederhana disusun menurut jenis (kategorinya)
atau
fungsi
bilangan
hanya
sebagai
simbol
membedakan sebuah karakteristik dengan karakteristik lainnya. Contoh: gender 1 = Laki-Laki, 2 = Perempuan.
57 58
Riduwan, Op. Cit. hal 65. Ibid., hal 81.
untuk
60
2.
Skala ordinal ialah skala yang didasarkan pada ranking diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang terendah atau sebaliknya. Contoh: Mengukur ranking kelas: I, II, III.
3.
Skala interval adalah skala yang menunjukkan jarak antara satu data dengan data yang lain dan mempunyai bobot yang sama. Contoh:Waktu: menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun.
4.
Skala ratio adalah skala pengukuran yang mempunyai nilai nol mutlak dan mempunyai jarak yang sama. Contoh: Umur manusia dan ukuran timbangan keduanya tidak memiliki angka nol negatif, artinya seseorang tidak dapat berumur dibawah nol tahun dan seseorang harus memiliki timbangan diatas nol pula. Skala pengukuran untuk instrumen berbeda dengan skala pengukuran untuk
data. Dengan skala pengukuran instrumen, nilai variabel yang diukur dengan instrumen tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan komunikatif. Terdapat 5 (lima) penerapan skala dalam pengukuran instrumen, yaitu:59 a. Skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam penelitian gejala sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnyadisebut sebagai variabel penelitian. Dengan skala likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap instrumen yang
59
Ibid., hal.86-96.
61
menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, contoh: Sangat setuju
= 5
Tidak setuju
= 2
Setuju
= 4
Sangat Tidak Setuju
= 1
Netral
= 3
b. Skala Guttman, yaitu skala yang digunakan untuk jawaban yang bersifat tegas (jelas) dan konsisten, dimana alternatif jawaban pada skala ini hanya terdiri dari dua alternatif. Contoh : Benar – Salah, Ya – Tidak, Setuju – Tidak Setuju c. Skala Diferensial Semantik, berisikan serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub), seperti: panas-dingin; popular-tidak popular, dsb. Contoh : Netral 0
1
2
3
5
4
6
7
Cerdas
8
Bodoh
d. Rating Scale, yaitu data mentah yang didapat berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Berbeda dengan skala Likert, Guttman, dan Semantik Diferensial, dimana data yang diperoleh adalah data kualitatif yang dikuantitatifkan. Contoh: Peneliti ingin meneliti seberapa harmoniskah hubungan suami istri untuk menciptakan keluarga sejahtera. Berilah tanda lingkaran pada angka yang sudah disediakan. SB
B
CB
KB
STB
1. Masalah agama
5
4
3
2
1
2. Manajemen pendidikan anak
5
4
3
2
1
3. Dst
62
e. Skala Thurstone, yaitu meminta responden untuk memilih pertanyaan yang ia setujui dari beberapa pernyataan yang menyajikan pandangan yang berbeda-beda. Pada umumnya setiap item mempunyai asosiasi nilai antara 1 sampai 10, tetapi nilai-nilainya tidak diketahui oleh responden. Contoh: Dalam merekrut calon Dosen, kepada responden diberikan 10 pernyataan. Kemudian responden diminta untuk memilih 5 pernyataan yang paling sesuai dengan persepsinya.
2.12.4 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid (Sugiyono, 2013). Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Pengujian validitas dapat menggunakan rumus Pearson Product Moment, dengan rumusan berikut:60
n.∑ xy - ∑ x ∑y
rhitung = Keterangan:
rhitung ∑x ∑y n
√*n ∑ x² - (∑ x)²+ *n ∑y²- (∑ y)²+
.....................(2.2)
= koefisien korelasi = jumlah skor item = jumlah skor total (seluruh item) = jumlah responden
Selanjutnya dihitung dengan Uji-t dengan rumus :
thitung = 60
√n – 2 √1 – r
Riduwan, op. cit. hal 110.
r
2
................................................................(2.3)
63
Keteragan:
t= nilai thitung r= koefisien korelasi hasil rhitung n = jumlah responden
Distribusi (Tabel t) untuk α = 0,05 dan derajad kebebasan (dk = n – 2), dengan kaidah keputusan: Jika thitung > ttabel berarti instrumen penelitian valid atau Jika thitung < ttabel berarti instrumen penelitian tidak valid. Jika instrumen penelitian tersebut valid maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya (r) sebagai berikut: Antara 0,800 – 1,000
: Sangat tinggi
Antara 0,600 – 0,799
: Tinggi
Antara 0,400 – 0,599
: Cukup Tinggi
Antara 0,200 – 0,399
: Rendah
Antara 0,000 – 0,199
: Sangat Rendah
Reliabilitas mengandung pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.Instrumen dikatakan baik apabila tidak bersifat tendensius, yaitu mengarahkan responden untuk memilih jawaban tertentu. dalam teknik ini suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitas (rii) > 0,6. Untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0, contoh seperti pada angket, maka digunakan rumus Alpha 61 . Menurut Siregar (2010), teknik Alpha digunakan bila jawaban dalam skala seperti 1-3, 1-5 atau 1-7 atau untuk jawaban responden yang menginterpretasikan penilaian sikap. Untuk
61
Ibid., hal 195.
64
mencari nilai reliabilitas dengan metode Alpha, dilakukan melalui beberapa tahapan. Langkah-langkah dalam metode Alpha tersebut adalah sebagai berikut:62 a. menghitung Varians Skor tiap-tiap item dengan rumus: (∑Xi)²
.....................................................(2.4)
∑Xi² N
Si =
N
b. menjumlahkan Varians semua item dengan rumus : ∑Si = S1 + S2 + S3 ...............Sn...........................................................................(2.5) c. menghitung Varians total dengan rumus : (∑Xt)² ∑Xt² -
...................................................(2.6) N
St =
N
d. Masukkan nila Alpha dengan rumus : r11 =
Keterangan:
[
k k-1
Si ∑ Xi² N ∑Si St K r11
= = = = = = =
][
1-
∑Si St
]
...................................................(2.7)
Varians skor tiap-tiap item Jumlah kuadrat item Xi Jumlah responden Jumlah varian semua item Varians total Jumlah butir pertanyaan Koefisien reliabilitas instrumen
2.12.5 TeknikAnalisis Data Analisis statistik dapat digunakan apabila data bersifat kuantitatif, yaitu data yang berupa angka atau bisa diubah dengan angka. Pengolahan data dan rumus-rumus yang digunakan biasanya mengikuti dengan karakteristik data dan pendekatan
62
Riduwan, op. cit. hal 110.
65
yang dipilih. Terdapat beberapa metode dalam melakukan analisis data yang sering digunakan diantaranya:63 1.
Korelasi Parametric Pearson Product Moment. Korelasi ini digunakan untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung yang berskala interval (parametric). Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Jika korelasi menghasilkan angka positif maka hubungan kedua variabel bersifat searah. Searah mempunyai makna jika variabel bebas besar maka variabel tergantungnya juga besar, begitu juga sebaliknya.
2.
Analisis Jalur Analisis jalur merupakan bagian analisis regresi yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausal antara variabel dimana variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tergantung, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui satu atau lebih variabel perantara.
3.
Relative Importance Index (RII) RII adalah suatu terminology yang pertama kali dipublikasikan oleh Mayer, Barnett and Brown (1997) seperti yang dikemukakan dalam Hardjomuljadi (2014)64. RII adalah suatu analisis yang memungkinkan suatu kuantifikasi relatif, dimana semakin tinggi peringkat (rating) semakin tinggi pula
63
Jonathan Sarwono (2006): “Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS”, Andi, Yogyakarta dalam Rakasiwi, G (2014): “Analisis Potensi Penyebab Terjadinya Sengketa Pada Proyek Konstruksi Jalan Tol yang Menggunakan FIDIC General Condition of Contract MDB Harmonised Edition 2006”, Tesis, Program Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, hal.60. 64 Sarwono Hardjomuljadi (2014): “Factor Analysis on Causal of Construction Claims and Disputes in Indonesia (with reference to the construction of hydroelectric power project in Indonesia)”, International Journal of Applied Engineering Research, ISSN 0973-4562, Volume 9, November 22, pp. 12421-12445.
66
pengaruh yang diberikan oleh variabel yang diteliti tersebut. Perhitungan menggunakan RII dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut: RII = ∑ W / (A x N) Dimana :
...........................................................(2.8)
W = bobot yang diberikan untuk faktor penyebab dominan A = bobot tertinggi N = jumlah total responden
Menggunakan skala likert 1-6 (1 = sangat tidak berpengaruh dan 6 = sangat berpengaruh), maka Rumus RII menjadi seperti berikut:65
Keterangan: n6 = Jumlah responden yang menjawab “Sangat Tidak Berpengaruh” n5 = Jumlah responden yang menjawab “Tidak Berpengaruh” n4 = Jumlah responden yang menjawab “Kurang Berpengaruh” n3 = Jumlah responden yang menjawab “Agak Berpengaruh” n2 = Jumlah responden yang menjawab “Berpengaruh” n1 = Jumlah responden yang menjawab “Sangat Berpengaruh” N = Jumlah total responden Pengukuran RII tersebut untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor yang diteliti, dengan nilai berkisar antara 0 (minimum) hingga 1 (maksimum), dengan ketentuan jika nilai mendekati 0 maka faktor dianggap tidak berpengaruh penting, begitupula sebaliknya. Tabel 2.7 Rentang Nilai RII 0,80 – 1,00 0,66 – 0,80 0,51 – 0,65 0,36 – 0,50 0,21 – 0,35 0,00 – 0,20 65
Peringkat RII
Peringkat Sangat Penting Penting Agak Penting Kurang Penting Tidak Penting Sangat Tidak Penting
Wijiono, S (2014): Identifikasi Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Waktu Pelaksanaan Proyek Dengan Dana Pinjaman Luar Negeri pada Tahap Konstruksi. Universitas Indonesia
67
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif untuk menggambarkan penyimpangan dalam pelaksanaan pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik, menurut pendapat/opini pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa terbagi dalam dua kelompok yaitu PPK sebagai kelompok pengambil kebijakan dan pokja ULP selaku pengelola pengadaan. Secara umum kerangka atas permasalahan penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik seperti gambar berikut: Kasus/Perkara Pengadaan KPK = 30% Barang/Jasa KPPU = 71,95% Sektor paling banyak korupsi adalah PBJ dan Pelaku PA, PPTK, PPK (ICW, 2014)
Tantangan 1. Belum jelas indikator transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan. 2. Tingkat komitmen politik yang rendah. 3. Pengawasan Internal yang lemah di Pemerintah Daerah.
E-Proc
Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi di Pemda
Penyimpangan Indikasi kecurangan dan penyimpangan secara manual masih terjadi di dalam e-proc: Cover Bidding, bid suppression dan bid rotation, dengan modus mark up, suap, pemecahan/ penggabungan paket, dan pengaturan tender
Unsur Pengambil Kebijakan: 1. menetapkan RPP (spesifikasi, HPS dan rancangan kontrak) 2. Menandatangani, melaksanakan dan mengendalikan kontrak 3. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan kepada PA
PPK
Aturan 1. Perpres 54 Tahun 2010 2. Perka LKPP No. 1 Tahun 2015 3. UU Nomor 5 Tahun 2009 4. UU Nomor 31 Tahun 2010
Aturan tidak dilaksanakan dengan baik
Pokja Unsur Pelaksana: Pihak yang melaksanakan pemilihan penyedia jasa konstruksi
PJ Penyedia Jasa selaku peserta lelang yang memasukkan penawaran
Gambar 3.1 Kerangka Permasalahan 67
68
Penelitian dimulai dari pengamatan terhadap tata cara pelaksanaan pemilihan jasa konstruksi secara elektronik sesuai Perpres Nomor 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Juga aturan lain yang berhubungan seperti Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentag E-Tendering. Selanjutnya, indikasi penyimpangann didapat dengan cara studi literatur baik dari Perpres Nomor 54 tahun 2010 maupun dari penelitian terdahulu dan sumber lain yang relevan, seperti buku, jurnal, publikasi, maupun karya tulis ilmiah. Berdasarkan kajian literatur ini diperoleh faktor dan indikator sebagai dasar untuk meyusun pertanyaan untuk mengetahui peringkat indikator penyimpangan pada tahapan pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik. Setelah kuesioner disusun sebagai instrumen penelitian, dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner sebelum disebarkan kepada responden. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden untuk mendukung data yang diperoleh. Selanjutnya, dari data yang diperoleh dilakukan analisis RII untuk mengetahui peringkat penyimpangan yang dominan/penting, kemudian diusulkan suatu rekomendasi untuk mencegah dan mengatasi penyimpangan tersebut. Secara lebih jelas kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.2.
69
Mulai
Merumuskan Masalah Indikasi Penyimpangan Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara Elektronik Di Pemerintah Daerah
Identifikasi Penyimpangan Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara Elektronik Melalui kajian literatur
Menganalisis (seleksi dan penggabungan) Indikator Penyimpangan terhadap Tahapan Pengadaan secara e-Proc
Menentukan Populasi dan Sampel Penelitian (Responden PPK, Pokja ULP dan Penyedia Jasa Konstruksi)
Mmbuat Desain Kuesioner
Memperbaiki Kuisioner
Tidak
Menguji Validitas dan Reliabilitas
Ya Menyebarkan Kuisioner
Analisis Peringkat Penyimpangan menggunakan Relative Importance Index RII
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian
70
3.2
Identifikasi Faktor Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa
Dari kajian literatur, yaitu aturan Perpres 54 Tahun 2010 dan Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015, diperoleh faktor untuk mengukur sejauhmana kesesuaian antara prosedur pengadaan secara eletronik pada SPSE dengan aturan, selain itu dari item faktor tersebut dapat menggambarkan tingkat pemahaman dari PPK dan Pokja. Faktor tersebut diuraikan sebagai berikut: 1.
Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan perubahan RUP (jika ada) diumumkan secara terbuka dalam SPSE.
2.
Pokja membuat paket dalam aplikasi SPSE berdasarkan informasi PPK maupun keputusan internal Pokja.
3.
Pokja membuat jadwal sesuai dengan memperhatiakan jam kerja dan hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, batas akhir pemasukan penawaran, pembuktian kualifikasi dan batas akhir sanggah.
4.
Penayangan pengumuman lelang dilaksanakan sesuai ketentuan (7 hari untuk pelelangan umum, terbatas, seleksi umum dan terbatas, 4 hari untuk pemilihan langsung dan seleksi sederhana).
5.
Pemberian Penjelasan (aanwijzing) dilaksanakan paling cepat 3 (tiga) hari sejak tanggal pengumuman.
6.
Pokja menjawab setiap pertanyaan yang masuk (kecuali untuk substansi pertanyaan yang telah dijawab).
7.
Pada tahap pembukaan penawaran, harga penawaran penyedia dan koreksi aritmatik dimasukkan dalam aplikasi
8.
Hasil evaluasi dapat dilihat pada SPSE.
71
9.
Semua tahapan proses e-proc telah sesuai dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010.
10. Semua tahapan proses e-proc telah sesuai dengan Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentang E-Tendering. Dari aturan terkait pengadaan barang/jasa dan penelitian terdahulu dilakukan identifikasi untuk mendapatkan indikator penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik. Indikator tersebut diidentifikasi terlebih dahulu sesuai tahapan pengadaan barang/jasa sesuai hasil elaborasi pada gambar 2.5 pada bab sebelumnya.
Tabel 3.1 Faktor Penyimpangan dalam Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi Berdasarkan Penelitian Terdahulu No. Referensi
Faktor Penyimpangan
Referensi
1. TAHAP PERRSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA 1.
-
2.
-
3.
A3, B2, B3, C4, E1, E2
4.
A24, A25, B7, B16-17, C2325, D17-19
Tidak menandatangani Pakta Integritas
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015
Rencana Umum Pengadaan (RUP) tidak diumumkan secara luas sebelum lelang
Perpres 54/2010 Pasal 8
Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan
Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan
Perpres 54/2010 Pasal 24 Waluyo, 2010 Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Effrianto, p, 2015 Perpres 54/2010 Pasal 6 (etika) Waluyo, 2010 Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015
2. TAHAP PENYUSUNAN JADWAL 5.
D14
6.
-
Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
Perpres 54/2010 Pasal 61 Alfian, 2015 Perka LKPP No.1/2015
72
Tabel 3.1 Faktor Penyimpangan dalam Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi Berdasarkan Penelitian Terdahulu (lanjutan) No. Referensi
Faktor Penyimpangan
3. TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN 7. A2, A13, B5, B9, C3, C12, Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah D2-3, D20, satu calon penyedia jasa D22, F4 8. G1, I3 Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan 9. B10, E8, D20, D21 Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang
Referensi
Waluyo, 2010 Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 Tristianti, A.S, 2014 Ferdian, 2014
Perpres 54/2010 Pasal 56 Suswinarno, A.K, 2012 Effrianto, p, 2015 Alfian, 2015 10. A16, C15, H2 Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak Waluyo, 2010 rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi Sutedi, A, 2014 pelelangan Ferdian, 2014 4. TAHAP PENGUMUMAN, PENDAFRTARAN DAN DOWNLOAD DOKUMEN PENGADAAN 11. A18, D13 Perpres 54/2010 Pasal 59-62 Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu Waluyo, 2010 singkat) Alfian, 2015 12. E9 Meminjam bendera (User ID dan Password) Effrianto, P, 2015 perusahaan lain untuk mendaftar 5. TAHAP PENJELASAN 13. F1 Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk Perka LKPP No.1/2015 (mengumpulkan pertanyaan untuk dijawab Nasution, S.P, 2012 sekaligus) 14. Aanwijzing atau penjelasan lapangan tidak Perka LKPP No.1/2015 dilakukan antara penyedia dan perwakilan PPK dan tidak dibuat berita acara 6. TAHAP PEMASUKAN (UPLOAD) DOKUMEN PENAWARAN Gangguan yang disengaja terhadap Server dan 15. I2 Soetanto, L.A, 2015 sistem aplikasi 7. TAHAP PEMBUKAAN, EVALUASI DAN KLARIFIKASI DOKUMEN PENAWARAN 16. Pada tahap pembukaan penawaran, harga Perka LKPP No.1/2015 penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE 17. Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan Perka LKPP No.1/2015 pada SPSE 18. A10, B6 Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak Perpres 54/2010 Pasal 118 memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Waluyo, 2010 Suswinarno, A.K, 2012 19. A34, C38, H6 Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang Perpres 54/2010 Pasal 118 dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014 Ferdian, 2014
73
Tabel 3.1 Faktor Penyimpangan dalam Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi Berdasarkan Penelitian Terdahulu (lanjutan) 8. TAHAP PENGUMUMAN PEMENANG 20. A19, C18, Pengumuman pemenang dan pemenang D26, H7 cadangan tidak sesuai format pada SPSE
9. TAHAP SANGGAHAN 21. A39, C44, Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi D57 sanggahan yang tidak ditanggapi
22.
A40, C45, D56, H5
Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan
10. TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG 23. PPK tidak menandatangani SPPBJ 11. TAHAP PENANDATANGANAN KONTRAK 24. A46, C51 Penundaan penandatanganan kontrak
25.
B8, D61, D62, E10
Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain
26.
A45, A48, C50, C52, D60,
Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan
Perpres 54/2010 Pasal 80 Perka LKPP No.1/2015 Waluyo, 2010 Ferdian, 2014
Perka LKPP No.1/2015 Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 UU Nomor 5/1999 Pasal 22 Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 Ferdian, 2014 Perpres 54 Pasal 85 Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014 Perpres 54/2010 Pasal 83 Suswinarno, A.K, 2012 Alfian, 2015 Effrianto, P, 2015 Perpres 54/2010 Pasal 86
Sumber: Hasil Olahan, 2016 Berdasarkan hasil elaborasi, diperoleh sebanyak 26 faktor yang diyakini sebagai faktor penyimpangan. Penyimpangan dalam hal ini seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan secara elektronik. Jadi penyimpangan bersifat internal, maksudnya penyimpangan terjadi karena irregulations/deviations sistem e-proc ataupun para pihak yang terlibat didalam sistem tersebut. Berikut akan dijelaskan mengenai keseluruhan faktor penyimpangan di atas:
74
1.
Pakta integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa. Pakta integritas diatur dalam Perpres sebagai persyaratan untuk menjadi PPK (Pasal 12 ayat 22), pokja (Pasal 17 ayat 1) dan penyedia jasa (Pasal 19 ayat 1). Sebagai bentuk komitmen para pihak dalam pengadaan barang/jasa, pakta integritas tersistem pada SPSE ketika melakukan log in atau masuk pada sistem. Bagi penyedia jasa, pakta integritas disampaikan bersamaan pada saat pemasukan dokumen kualifikasi untuk sistem prakualifikasi atau bersamaan dengan pemasukan dokumen penawaran pada sistem pascakualifikasi.
2.
RUP atau Rencana Umum Pengadaan merupakan tugas dan wewenang PA untuk menetapkan dan mengumumkan RUP sesuai kebutuhan secara luas melalui website (Pasal 8 ayat 1). RUP tersebut diumumkan setelah rancangan peraturan daerah tentang APBD (sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD) serta mengumumkan kembali Rencana Umum Pengadaan, apabila terdapat perubahan/penambahan DIPA/DPA (Pasal 25 ayat 1).
3.
Penggabungan atau pemecahan pemaketan
tidak sesuai ketentuan
diindikasikan bertujuan untuk menghindari lelang. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pengadaan yaitu efisiensi dan persaingan sehat. Dalam melakukan pemaketan, berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 24 ayat 3 PA dilarang untuk:
75
a. Menyatukan/memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya tetap dilakukan di lokasi masing-masing; b. Menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil; c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan. 4.
Penggelembungan anggaran (mark up) rencana pengadaan. Hal ini dapat mengakibatkan pemborosan keuangan daerah, dan apabila terdapat penyalahgunaan wewenang dan menguntungkan pihak lain maka dapat terkena pasal korupsi. Sesuai etika pengadaan Pasal 6 huruf f bahwa para pihak terkait menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa.
5.
Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 61 ayat 4 yang menyatakan batas akhir setiap tahapan pemilihan melalui e-procurement adalah hari kerja. Lebih lanjut dalam Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 secara lebih khusus menyatakan bahwa Pokja menyusun jadwal dengan memperhatikan jam kerja dan hari kerja untuk tahapan: (1) pemberian penjelasan, (2) batas akhir pemasukan penawaran,
(3) pembukaan
penawaran, (4) pembuktian kualifikasi dan (5) batas akhir sanggah. 6.
Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Perka LKPP diatur bahwa Pokja ULP dapat melakukan
76
perubahan jadwal tahap pemilihan dan wajib mengisi alasan perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu PPK dapat melakukan perubahan jadwal kegiatan pengadaan, dengan terlebih dahulu mengusulkan kepada PA/KPA. Jika terdapat addendum dokumen pengadaan, maka perubahan jadwal dilakukan 2 hari sebelum tahap pemasukan (upload) berakhir. 7.
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa merupakan bentuk rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Dalam Pasal 24 ayat 3 huruf d, menyatakan bahwa PA dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
8.
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan. Pada satu sisi PPK menginginkan hasil (outcome) yang sangat bermutu, namun disisi lain menimbulkan pemborosan dan rawan dijadikan “kunci” untuk memenangkan penyedia yang dijagokan. Persyaratan yang ditetapkan selayaknya wajar, relevan dan berdasrkan kebutuhan (kompleksitas) pekerjaan.
9.
Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang. Pokja ULP dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang bertujuan diskriminatif serta diluar yang telah ditetapkan (Pasal 56 ayat 10).
10.
Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan. Dokumen pengadaan yang terdiri atas dua dokumen, yaitu dokumen kualifikasi dan dokumen pemilihan. Dokumen Kualifikasi merupakan dokumen yang ditetapkan oleh Pokja ULP sebagai dasar penilaian kompetensi, kemampuan usaha dan pemenuhan persyaratan
77
tertentu lainnya dari Penyedia Barang/Jasa, sehingga persyaratan, tata cara dan kriteria penilaian harus dicantumkan dengan jelas dan rinci dalam dokumen pengadaan. 11.
Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat). Pokja berwenang menyusun dan menetapkan jadwal pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan mengalokasikan waktu yang cukup untuk semua tahapan proses pengadaan. Untuk jasa konstruksi melalui e-lelang umum dan elelang terbatas, minimal pengumuman selama 7 (tujuh) hari. Sedangkan untuk pemilihan langsung minimal pengumuman selama 4 (empat) hari.
12.
Meminjam bendera (User ID dan Pasword perusahaan lain) untuk mendaftar. Hal ini adalah upaya untuk pengaturan tender.
13.
Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan). Pemberian penjelasan dilakukan secara online tanpa tatap muka melalui aplikasi SPSE dan Pokja ULP menjawab setiap pertanyaan yang masuk, kecuali untuk substansi pertanyaan yang telah dijawab. Setelah waktu pertanyaan ditutup Pokja masih memiliki tambahan waktu untuk menjawab pertanyaan yang telah masuk. Pemberian penjelasan dilaksanakan paling cepat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal undangan Pelelangan.
14.
Aanwijzing atau penjelasan lapangan tidak dilakukan antara penyedia dan perwakilan PPK dan tidak dibuat berita acara. Jika ULP/Pejabat Pengadaan dapat memberikan penjelasan lanjutan dengan cara melakukan peninjauan lapangan.
78
15.
Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi dapat menyebabkan kegagalan dalam melakukan upload dokumen penawaran dari peserta lelang. Jika disengaja maka hal ini merupakan suatu bentuk kecurangan dalam tender.
16.
Pada tahap pembukaan penawaran, harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE, hal ini sebagai bentuk transparansi. Dalam Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 pada lampiran tata cara etendering dijelaskan bahwa setelah pokja membuka penawaran dengan cara mengunduh (download) dan melakukan dekripsi file penawaran, harga penawaran dan hasil koreksi aritmatik dimasukkan pada fasilitas yang tersedia pada aplikasi SPSE.
17.
Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE. Setelah pembuktian Pokja ULP memasukkan hasil evaluasi penawaran dan hasil evaluasi kualifikasi pada aplikasi SPSE. Hal ini diatur dalam Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015.
18.
Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu). Hal ini bertentangan dengan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 118 ayat 1 huruf c bahwa jika penyedia membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan pengadaan barang/jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan, akan dikenakan sanksi.
19.
Adanya
“Pola”
harga
penawaran
peserta
lelang
dalam
rangka
kolusi/persaingan tidak sehat. Hal ini bertentangan dengan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 118 ayat 1 huruf b bahwa salah satu perbuatan atau
79
tindakan penyedia yang dikenakan sanksi adalah melakukan persekongkolan dengan penyedia barang/jasa lain untuk mengatur harga penawaran diluar prosedur
pelaksanaan
pengadaan
barang/jasa,
sehingga
menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain. Selain itu diatur persekongkolan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 20.
Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE. Pokja ULP menetapkan dan mengumumkan hasil pemilihan melalui website K/L/D/I, papan pengumuman resmi dan portal pengadaan nasional. Sesuai format SPSE pengumuman sekurang-kurangnya terdiri dari: a. nama paket pekerjaan dan nilai total HPS; b. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat pemenang; dan c. hasil evaluasi penawaran administrasi, teknis, dan harga.
21.
Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi. Sanggahan merupakan hak peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran jika menemukan a) penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 dan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan, b) rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat, dan c) penyalahgunaan wewenang oleh Pokja ULP dan/atau Pejabat berwenang lainnya.
80
22.
Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan. Hal ini merupakan bentuk pengaturan tender, dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
23.
PPK tidak menandatangani SPPBJ. Jika PPK menyetujui penetapan pemenang lelang, maka SPPBJ diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman untuk lelang umum, dan paling lambat 4 (empat) hari kerja untuk pemilihan langsung dengan ketentuan dalam Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 85: a. Tidak ada sanggahan dari peserta. b. Sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar. c. Masa sanggahan dan/atau masa sanggahan banding berakhir. Namun jika PPK tidak menyetujui penetapan pemenang lelang dan PA/KPA sependapat dengan PPK, maka PA/KPA dapat menyatakan Pelelangan /Pemilihan Langsung gagal.
24.
Penundaan penandatanganan kontrak. Para pihak menandatangani Kontrak setelah Penyedia Barang/Jasa menyerahkan Jaminan Pelaksanaan dan dilakukan setelah DPA ditetapkan.
25.
Mensubkontrakkan
pekerjaan
utama
kepada
pihak
lain.
Hal
ini
beretentangan dengan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 83 ayat (3) penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan
81
kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis. Jika dilanggar dapat dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam dokumen kontrak. 26.
Penandatanganan
kontrak
tidak
dilakukan
oleh
pihak
yang
berwenang/dipalsukan. Berdasarkan Pasal 86 ayat 5 dan 6 Perpres 54 Tahun 2010 pihak yang berwenang menandatangani kontrak adalah direksi yang disebutkan namanya dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar Penyedia Barang/Jasa, atau Pihak lain yang bukan direksi atau yang namanya tidak disebutkan dalam akta namun pengurus/karyawan perusahaan yang berstatus sebagai tenaga kerja tetap dan telah mendapat kuasa/pendelegasian wewenang yang sah dari direksi untuk menandatangani kontrak. Selain pertanyaan di atas, terdapat item pertanyaan tambahan untuk mengetahui tingkat pemahaman para pihak yang terlibat dalam e-tendering sebagaimana dimaksud pada Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 109 ayat (1) para pihak yang terlibat dalam e-tendering yaitu PPK, ULP/Pejabat Pengadaan dan Penyedia Barang/Jasa. Pertanyaan tersebut ditujukan bagi pihak untuk menilai dirinya sendiri dan menilai pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan e-tendering. Pertanyaan tersebut yaitu: 1.
Tingkat pemahaman PPK/Pokja/Penyedia akan spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang.
2.
Tingat pemahaman PPK/Pokja/Penyedia di bidang teknologi informasi.
3.
Tingkat pemahaman PPK dan Pokja terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering.
82
4.
Tingkat pemahaman Penyedia (kontraktor) terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang ETendering.
Pertanyaan pada setiap indikator yang akan dijawab responden menggunakan skala likert (1-6) dibuat bersifat kriteria maksimal, artinya jika semakin besar/maksimal skala indikator maka semakin besar pula pengaruh terhadap penyimpangan (dominan). Pertanyaan indikator sesuai tahapan dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Daftar Pertanyaan Faktor Penyimpangan sesuai Tahapan Pengadaan 1.
TAHAP PERRSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA 1.
Tidak menandatangani Pakta Integritas
2.
Rencana Umum Pengadaan (RUP) tidak diumumkan secara luas sebelum lelang
3.
Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan
4.
Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan
2.
TAHAP PENYUSUNAN JADWAL 5.
Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah
6.
Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
3.
TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN 7.
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa
8.
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan
9.
Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang
10. 4.
Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan PENGUMUMAN, PENDAFRTARAN DAN DOWNLOAD DOKUMEN PENGADAAN
11.
Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat)
12.
Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
5. 13. 14. 6. 15.
TAHAP PENJELASAN Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Aanwijzing atau penjelasan lapangan tidak dilakukan antara penyedia dan perwakilan PPK dan tidak dibuat berita acara TAHAP PEMASUKAN (UPLOAD) DOKUMEN PENAWARAN Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi
83
Tabel 3.2 Daftar Pertanyaan Faktor Penyimpangan sesuai Tahapan Pengadaan (lanjutan) 7. 16. 17. 18. 19.
TAHAP PEMBUKAAN, EVALUASI DAN KLARIFIKASI DOKUMEN PENAWARAN Pada tahap pembukaan penawaran, harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat
8. 20.
TAHAP PENGUMUMAN PEMENANG
9. 21. 22. 10. 23.
TAHAP SANGGAHAN Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG PPK tidak menandatangani SPPBJ
11. 24. 25. 26.
TAHAP PENANDATANGANAN KONTRAK Penundaan penandatanganan kontrak Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan
Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE
Sumber: Hasil Olahan (2016) 3.3
Rancangan Instrumen Penelitian Jenis Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/
kuesioner yang disebarkan kepada responden baik secara langsung ataupun melalui e-mail. Responden merupakan pihak-pihak yang terlibat atau pernah terlibat dalam pelaksanaan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi di Kabupaten Bangka Selatan. Untuk melihat tingkat kepentingan faktor penyimpangan digunakan skala pengukuran instrumen berupa skala likert (1-6) seperti pada tabel 3.3. Format kuesioner dapat dilihat pada lampiran. Tabel 3.3 Skala Likert Angka 1 2 3 4 5 6
Arti Sangat Tidak setuju Tidak Setuju Kurang Setuju Agak Setuju Setuju Sangat Setuju
84
3.4 Objek Wilayah Studi Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu dari enam kabupaten yang ada di Provinsi Kep. Bangka Belitung, dibentuk pada tanggal 25 Februari 2003 berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003. Memiliki wilayah terluas di Provinsi sebesar 22% wilayah (3.607,08 Km2 dari total 16.424,14 Km2). Letak Kabupaten Bangka Selatan, dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut.
Gambar 3.3 Letak Kabupaten Bangka Selatan di Pulau Bangka
Wilayah Kabupaten Bangka Selatan terletak di bagian selatan di Pulau Bangka, memiliki dua kecamatan di pulau yang terpisah oleh selat, yaitu kecamatan lepar pongok dan kecamatan kepulauan pongok, sehingga akses orang maupun barang hanya dapat dilakukan melalui jalur laut. Dengan wilayah administratif terdiri dari 7 Kecamatan dan 1 Kota Kabupaten yaitu Toboali, persetase luas wilayah dapat dilihat pada gambar 3.4.
85
Lepar Pongok Kep. Pongok 2.49% 4.78% Payung 10.34% Air Gegas 23.67%
Pulau Besar 4.71% Simpang Rimba 10.04% Payung Pulau Besar
Toboali 40.49% Tukak Sadai 3.49%
Simpang Rimba Toboali Tukak Sadai
Gambar 3.4 Luas Wilayah Adminisratif Kab. Bangka Selatan 3.5 Penentuan Jumlah Sampel Dalam penelitian ini akan diteliti tentang penyimpangan pada proses pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi di Pemerintah Daerah, dengan studi kasus Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan. Oleh karena itu, populasi adalah pihak pengguna jasa/pemilik dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen dan Pokja ULP selaku pelaksana pemilihan penyedia jasa konstruksi dan penyedia jasa (kontraktor). 1.
Sampel responden PPK Jumlah PPK Konstruksi yang ada pada tahun 2014-2016, yaitu Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Akan diambil 22 Responden PPK menggunakan sampling kuota/jenuh.
2.
Sampel responden pokja ULP Berdasarkan SK Bupati Bangka Selatan Nomor 188.45/90.B/DPU/2016 sebanyak 5 Pokja yang ada di Bangka selatan, setiap pokja memiliki masing-masing lima anggota, sehingga populasi Pokja ULP berjumlah 25
86
orang. Karena populasi kurang dari 30 maka, semua populasi akan dijadikan sampel (sampel jenuh). 3.
Sampel responden penyedia jasa Berdasarkan data dari http://lpse.bangkaselatankab.go.id/eproc/, penyedia jasa yang secara aktif dalam pengadaan hingga memasukkan penawaran melalui LPSE Bangka Selatan yaitu, tahun 2014 sebanyak 85 penyedia, tahun 2015 sebanyak 99 penyedia dan tahun 2016 sebanyak 69 penyedia. Kecenderungan yang ada, penyedia jasa yang aktif dalam tahun sebelumnya akan tetap aktif mengikuti dan memasukkan penawaran untuk tahun selanjutnya, sehingga populasi penyedia pada tahun 2016 diasumsikan sama dengan tahun tahun sebelumnya. Menggunakan rumus Taro Yamane didapatkan:
Dari penentuan ketiga sampel diatas, maka jumlah sampel adalah: 1. Sampel Pengguna Jasa
=
22 Sampel
2. Sampel Pokja ULP
=
25 Sampel
3. Sampel Penyedia Jasa
=
41 Sampel
4. Total Sampel
=
88 Sampel
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan untuk mengetahui kesahihan dan konsistensi instrumen pertanyaan. Uji validitas menggunakan Pearson Product Moment sedangkan uji reliabilitas dengan satu kali pengukuran
87
dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Langkah yang dilakukan adalah dengan menyebar terlebih dahulu instrumen penelitian kepada kelompok kecil responden (10 responden) untuk mengetahui tingkat validitas dan konsistensi dari instrumen penelitian dengan bantuan SPSS. Kemudian instrument yang memiliki nilai Cronbach Alpha > 0,6 menunjukkan bahwa kuisioner dinyatakan reliabel.
3.7 Metode Pengolahan Data Setelah instrument kuesioner dinyatakan valid dan reliabel, selanjutnya dilakukan pengolahan data sesuai tujuan penelitian. Metode pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah RII (rumus 2.8 dan 2.9) untuk menentukan peringkat faktor penyimpangan dalan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi sesuai kelompok responden (pengguna jasa, pokja ULP dan penyedia jasa). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pandangan masing-masing kelompok pelaku jasa konstruksi mengenai indikator/faktor penyimpangan yan penting. Setelah diperoleh faktor yang paling dominan/penting, maka akan dilakukan analisis dan usulan rekomendasi solusi untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi di Pemerintah Daerah.
88
89
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1
Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Faktor penyimpangan yang didapat dari aturan dan penelitian terdahulu dijadikan dasar untuk pertanyaan/instrumen dalam kuesioner yang bersifat tertutup. Artinya alternatif jawaban responden telah tersedia dalam skala 1-6, sehingga responden tinggal memilih skala yang sesuai dengan opini/persepsinya. Kemudian dilakukan pengujian apakah pertanyaan/instrumen yang digunakan valid dan reliabel. Uji validitas bertujuan untuk mengetahui pertanyaan/instrumen yang digunakan tepat untuk mengukur penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik. Uji dilakukan dengan menyebar kuesioner kepada 10 responden yang memiliki pengalaman diatas 5 tahun. Hal tersebut dikarenakan e-proc yang dilakukan Pemda Bangka Selatan dimulai tahun 2011 (masih menginduk pada LPSE Propinsi Kep. Bangka Belitung), sehingga responden dengan kriteria tersebut dianggap memahami pelaksanaan e-proc yang ada di wilayah studi. Langah-langkah dalam melakukan uji validitas instrument menggunakan rumus Pearson Product Moment dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menghitung korelasi r hitung (persamaan 2.2). 2. Menghitung nilai t hitung (persamaan 2.3). 3. Mencari t tabel dengan nilai signifikansi 0.05 (dk: 10-2=8) diperoleh nilai t tabel = 1.860.
89
90
4. Membuat keputusan dengan membandingkan antara t hitung dengan t tabel, dengan kaidah keputusan jika t
hitung
≥ t tabel berarti valid dan
berlaku sebaliknya jika t hitung ≥ t tabel berarti instrument tidak valid. Perhitungan uji validitas instrument dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4.1 Pengujian Validitas Dengan Pearson Product Moment Pertanyaan
Correlation r hitung
t hitug
t tabel (sig 5%, dk=8)
Ket
X1
0.777
3.491
1.860
Valid
X2
0.677
2.602
1.860
Valid
X3
0.881
5.267
1.860
Valid
X4
0.689
2.689
1.860
Valid
X5
0.804
3.824
1.860
Valid
X6
0.687
2.674
1.860
Valid
X7
0.826
4.145
1.860
Valid
X8
0.814
3.964
1.860
Valid
X9
0.749
3.197
1.860
Valid
X10
0.789
3.632
1.860
Valid
X11
0.788
3.620
1.860
Valid
X12
0.722
2.952
1.860
Valid
X13
0.727
2.995
1.860
Valid
X14
-0.475
-1.527
1.860
Tidak Valid
X15
0.697
2.749
1.860
Valid
X16
0.666
2.525
1.860
Valid
X17
0.865
4.876
1.860
Valid
X18
0.705
2.812
1.860
Valid
X19
0.865
4.876
1.860
Valid
X20
0.795
3.707
1.860
Valid
X21
0.650
2.419
1.860
Valid
X22
0.660
2.485
1.860
Valid
X23
0.822
4.083
1.860
Valid
X24
0.819
4.037
1.860
Valid
X25
0.735
3.066
1.860
Valid
X26
0.698
2.757
1.860
Valid
X27
0.923
6.784
1.860
Valid
X28
0.819
4.037
1.860
Valid
X29
0.823
4.098
1.860
Valid
3.121
1.860
Valid
X30
0.741 Sumber: Hasil Olahan, 2016
91
Berdasarkan tabel 4.1, terdapat satu variabel yang dihilangkan (tidak valid) yakni variabel X14 tentang Aanwijzing lapangan atau penjelasan lapangan tidak dilakukan antara penyedia dan perwakilan PPK dan tidak dibuat berita acara. Hal tersebut karena sampai waktu penelitian (Desember 2016) tahapan tersebut tidak pernah dilaksanakan. Hal itu menunjukkan bahwa tahap Aanwijzing lapangan tidak cukup penting bagi calon penyedia jasa, sehingga calon penyedia tidak meminta untuk dijadwalkan. Hal ini dikarenakan calon penyedia cenderung mengetahui lokus kegiatan yang didapat dari dokumen pengadaan, dan yang lebih penting adalah penawaran pada harga terendah. Seanjutnya untuk 29 instrumen yang valid dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data. Uji reliabilitas menggukan rumus Alpha Cronbach dengan bantuan program SPSS for windows version 21, didapatkan nilai alfa sebesar 0.969 seperti yang tertera pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Pengujian Realibility Stastistics Cronbach‟s Alpha
Cronbach‟s Alpha based on standardized items
N of Item
0.969
0.975
29
Sumber: Hasil SPSS Instrumen dikatakan reliabel jika nilai Alpha Cronbach ≥ t tabel. Nilai r tabel dengan jumlah 10 responden (dk: 10-2 = 8, signifikansi 0.05) diperoleh nilai r tabel = 0,707.
Sehingga Alpha Cronbach (0.969) ≥ t tabel (0.707), maka
instrumen dinyatakan reliabel dan layak untuk dilakukan anlisis lebih lanjut. Perhitungan uji reliabilitas secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.
92
Tabel 4.3 Daftar Item Pertanyaan Kuesioner setelah Uji Validitas dan Reliabilitas PROSES PEMILIHAN 1. TAHAP PERRSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA 1. PPK, Pokja dan Penyedia Tidak menandatangani Pakta Integritas 2. Rencana Umum Pengadaan (RUP) tidak diumumkan secara luas sebelum lelang 3. Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan 4. Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan 2. TAHAP PENYUSUNAN JADWAL 5. Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah 6. Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan 3. TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN 7. Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa 8. Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan 9. Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang 10. Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan 4. PENGUMUMAN, PENDAFRTARAN DAN DOWNLOAD DOKUMEN PENGADAAN 11. Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat) 12. Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar 5. TAHAP PENJELASAN 13. Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) 6. TAHAP PEMASUKAN (UPLOAD) DOKUMEN PENAWARAN 14. Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi 7. TAHAP PEMBUKAAN, EVALUASI DAN KLARIFIKASI DOKUMEN PENAWARAN 15. Pada tahap pembukaan penawaran, harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE 16. Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE 17. Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) 18. Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat 8. TAHAP PENGUMUMAN PEMENANG 19. Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE 9. TAHAP SANGGAHAN 20. Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi 21. Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan 10. TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG 22. PPK tidak menandatangani SPPBJ 11. TAHAP PENANDATANGANAN KONTRAK 23. Penundaan penandatanganan kontrak 24. Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain 25. Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan SUMBER DAYA MANUSIA 26. Pemahaman PPK/Pokja kurang terkait spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang 27. Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang di bidang teknologi informasi 28. Pemahaman PPK dan Pokja kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering 29. Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering
93
4.2
Pengumpulan Data Kuesioner Responden penyedia jasa sesuai dengan penentuan sampel seperti pada
subbab 3.5 sebagai berikut: 1. Sampel PPK konstruksi berjumlah 30 orang, didapatkan sejumlah 22 orang karena 10 orang PPK konstruksi yang ada merangkap sebagai Pokja ULP, terdapat 2 responden memilih untuk memberikan pendapat sebagai PPK konstruksi. Dengan demikian response rate responden PPK adalah 73%. 2. Sampel Pokja berjumlah 25 orang, dikurangi 2 orang yang memilih untuk menjawab pertanyaan sebagai PPK. Sehigga response rate responden Pokja adalah 92%. 3. Sampel penyedia jasa berjumlah 41 kontraktor. Penyebaran kuesioner dikirimkan melalui bantuan PPK konstruksi, diberikan secara langsung ke kantor kontraktor, ataupun melalui staf perusahaan yang mengurus administrasi ke SKPD. Dari seluruh kuesioner yang disebar, jawaban yang berhasil diterima berjumlah 28 kuesioner. Sehigga response rate responden adalah 68%.
Berdasarkan data di atas, total responden yang ada berjumlah 73 responden. Pengumpulan data dilakukan kurang lebih lima pekan sejak akhir Oktober 2016 hingga akhir November 2016. Penyebaran dimulai dengan menginventaris responden PPK yang ada di Dinas Teknis, responden Pokja melalui Surat Keputusan Bupati tentang pengangkatan Pokja dan responden penyedia jasa
94
melalui olah data dari portal LPSE Bangka Selatan untuk penyedia jasa yang aktif mengikuti lelang dan memasukkan penawaran. Dari data responden terlihat bahwa terdapat jabatan rangkap antara PPK dan Pokja. Pada tahun 2016 dari 25 orang Pokja, sebanyak 10 Pokja merangkap PPK konstruksi, hal ini terjadi karena keterbatasan sumber daya. Sejak berdiri ULP pada tahun 2012, pokja yang terlibat masih berasal dari dinas teknis, dimana pokja tersebut memiliki tugas fungsi pada dinas masing-masing, sehingga berpengaruh pada beban dan fokus anggota pokja. Selain itu manajemen ULP menjadi tidak professional karena harus menghindari pokja tertentu melakukan pemilihan penyedia jasa konstruksi bila anggota pokja tersebut adalah PPK konstruksi paket yang akan dilelangkan. Terkait hal ini, pemda perlu mendorong pegawai fungsional pengadaan, minimal dikotomi tugas dan wewenang yang tegas bahwa Pokja ULP tidak dapat merangkap sebagai PPK dengan memberikan insentif/honor yang lebih layak.
4.3
Deskripsi Data Umum Responden
Data umum responden terdapat dalam kuesioner bagian pertama, berupa nama (pilihan), umur, instansi, pengalaman, serta tipe organisasi pengadaan tempat responden berada. Untuk organisasi pengadaan, terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu PPK, Pokja dan Penyedia Jasa dengan komposisi yang cukup berimbang. Komposisi responden berdasarkan organisasi pengadaan dapat dilihat pada gambar 4.1.
95
38.4% Kontraktor
30.1% PPK 31.5% POKJA
PPK POKJA Kontraktor
Gambar 4.1 Komposisi Responden Penelitian
Sedangkan data umum responden berdasarkan pengalaman responden mengikuti e-proc cukup baik, pengalaman 2-5 tahun mendominasi hingga 55% responden, hal ini karena e-proc yang ada di Kabupaten Bangka Selatan sejak tahun 2011 (menginduk pada LPSE Propinsi), dan mulai tahun 2012 dikelola sendiri oleh daerah. Jadi diasumsikan responden yang memiliki pengalaman 5-10 tahun adalah responden yang berkecimpung pada e-proc sejak awal dan memahami e-proc dengan baik. Data umum responden dapat dilihat pada Gambar 4.2. 9.6%
35.6%
< 2 Tahun 2 - 5 Tahun 5 - 10 Tahun
54.8%
Gambar 4.2 Pengalaman Responden Penelitian
96
4.4
Analisis Relative Important Index (RII)
Analisis RII bertujuan untuk mengetahui peringkat dari faktor penyimpangan dalam proses pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik. Peringkat didapatkan dari Nilai RII dari masing-masing faktor dari persamaan 2.8. Pengukuran RII, seperti dijelaskan bab 2.13.5 digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor yang diteliti, dengan nilai berkisar antara 0 (minimum) hingga 1 (maksimum), dengan ketentuan jika nilai mendekati 0 maka faktor dianggap tidak berpengaruh penting, sedangkan bila mendekati 1 maka faktor tersebut memiliki pengaruh yang sangat penting. Rentang RII diperoleh dengan membagi rata dalam enam kategori sesuai dengan skala likert yang digunakan, karena rata-rata hasil yang diperoleh dalam bentuk angka desimal, maka perlu untuk menentukan skala penilaian. Tabel 4.4 Peringkat RII Rentang Nilai RII 0,81 – 1,00
Peringkat Sangat Penting
0,66 – 0,80
Penting
0,51 – 0,65 0,36 – 0,50 0,21 – 0,35 0,00 – 0,20
Agak Penting Kurang Penting Tidak Penting Sangat Tidak Penting
Contoh perhitungan RII dijelaskan melalui ilustrasi berikut. Untuk variabel (X7) “Spesifikasi teknis mengarah kepada salah satu penyedia jasa” menurut pendapat 22 responden PPK diperoleh data berikut: 4 Responden menjawab sangat tidak setuju
Bobot 1
3 Responden menjawab tidak setuju
Bobot 2
8 Responden menjawab agak setuju
Bobot 3
2 Responden menjawab cukup setuju
Bobot 4
3 Responden menjawab setuju
Bobot 5
97
2 Responden menjawab sangat setuju
Bobot 6
Hasil RII yang didapat (0,52) masuk dalam kategori “agak penting” (0,51 – 0,65). Dengan menggunakan cara yang sama dilakukan perhitungan RII terhadap semua faktor penyimpangan baik untuk pengguna jasa maupun penyedia jasa. Dari jawaban responden dalam 6 skala likert, yang kemudian dimasukkan dalam 6 rentang perhitungan RII pada tabel 4.4. 4.4.1 Peringkat RII menurut responden PPK Setelah mendapatkan hasil perhitungan RII dari pendapat PPK, selanjutnya diurutkan untuk mengetahui peringkat penyimpangannya. Pendapat PPK terhadap faktor penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik dapat dilihat pada tabel 4.5. Hasil perhitungan RII secara lengkap tehadap reponden PPK dapat dilihat pada lampiran 4. Tabel 4.5 Peringkat Hasil Perhitungan RII menurut PPK Kode X18 X12 X29 X7 X8 X21 X9 X3
Faktor Penyimpangan Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan
RII
Peringkat
0.727
1
0.720
2
0.553
3
0.523
4
0.508
5
0.477
6
0.409 0.348
7 8
98
Kode X17 X6 X10 X16 X4 X27 X11 X13 X24 X28 X1 X20 X25 X5 X14 X15 X26 X2 X19 X22 X23
Faktor Penyimpangan Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang di bidang teknologi informasi Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat) Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain Pemahaman PPK dan Pokja kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Tidak menandatangani Pakta Integritas Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi Harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang terkait spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang Tidak adanya pengumuman Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara luas sebelum lelang Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE PPK tidak menandatangani SPPBJ Penundaan penandatanganan kontrak
RII
Peringkat
0.348
8
0.333
10
0.326
11
0.318 0.311 0.310 6061 0.303
12 13
0.303
15
0.303
15
0.303 0303
15
0.265
19
0.265
19
0.265
19
0.258
22
0.258
22
0.258
22
0.257 5758
22
0.242
26
0.242
26
0.235 0.227
28 29
13 15
Sumber: Data Olahan, 2016
Dari nilai RII diatas, dapat dilihat tidak terdapat nilai RII dalam kategori sangat penting (RII > 0.80) atau sangat tidak penting (RII < 0.20). Hal ini menggambarkan bahwa responden berpendapat faktor penyimpangan merupakan isu yang cukup riskan sehingga cenderung berpendapat netral dan normatif terhadap terminologi penyimpangan.
99
Dari
hasil
diatas,
responden
PPK
berpendapat
bahwa
peringkat
penyimpangan tertinggi berupa “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat (X18) dengan RII 0.727 (penting). Dari hasil ini tiga peringkat teratas adalah adalah penyimpangan yang berasal dari penyedia jasa, dimana jumlah penawar yang masuk cenderung jumlah minimal penawar, dan penawar adalah penyedia jasa yang sama pada paket-paket sejenis yang lain. Selanjutnya dengan selisish nilai RII yang sangat kecil yaitu variabel meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar (X12) dengan nilai RII 0.720 (penting). Peringkat RII terkecil yaitu variabel X22 dan X23 yaitu PPK tidak menandatangani SPPBJ dan Penundaan penandatanganan kontrak. Ini berarti PPK berpendapat “tidak setuju” bahwa tidak menandatangani SPPBJ dan penundaan menandatangani kontrak merupakan penyimpangan, sehingga masuk dalam kategori yang “tidak penting”.
4.4.2 Peringkat RII menurut responden Pokja Pendapat 23 (dua puluh tiga) Pokja terhadap faktor penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik dapat dilihat pada tabel 4.6. Hasil perhitungan RII reponden Pokja dapat dilihat pada lampiran 5. Tabel 4.6 Hasil Perhitungan RII menurut Pokja Kode X12 X18 X8 X7
Faktor Penyimpangan Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon
RII
Peringkat
0.674
1
0.652
2
0.580
3
0.536
4
100
Kode
X29 X21
Faktor Penyimpangan penyedia jasa Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan
RII
Peringkat
0.522
5
0.486
6
X9
Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang
0.478
7
X3
Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan
0.377
8
X17
Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu)
0.362
9
X16
Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE
0.341
10
X6
Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
0.319
11
X24
Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain
0.319
11
X4
Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan
0.304
13
X10
Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan
0.304
13
X11
Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat)
0.297
15
0.297
15
0.290
17
0.290
17
0.290
17
0.283
20
X13 X25 X27 X28 X20
Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang di bidang teknologi informasi Pemahaman PPK dan Pokja kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi
X22
PPK tidak menandatangani SPPBJ
0.283
20
X1
Tidak menandatangani Pakta Integritas Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang terkait spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang Harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE
0.268
22
0.268
22
0.261
24
X14
Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi
0.254
25
X23
Penundaan penandatanganan kontrak Tidak adanya pengumuman Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara luas sebelum lelang Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE
0.254
25
0.246
27
0.232
28
0.232
28
X26 X15
X2 X5 X19
101
Sama seperti hasil dari responden PPK, tidak terdapat nilai RII dalam kategori sangat penting (RII > 0.80) atau sangat tidak penting (RII < 0.20). Nilai tertinggi (0.674) yaitu variabel meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar (X12). Dan peringkat terendah dengan nilai RII 0.232 ada dua variabel yaitu Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah (X5) dan Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE (X19). Menurut Pokja penggunaan hari kerja dan jam kerja secara sistem pada SPSE otomatis mengunci, sehingga tidak dapat dilakukan diluar ketentuan. Begitu pula dengan pengumuman pemenang, secara jelas sesuai format harus memuat minimal nama paket pekerjaan dan nilai total HPS; nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat pemenang; dan hasil evaluasi penawaran administrasi, teknis, dan harga. Pokja menyetujui bahwa penyimpangan Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan (X8) dan spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa tertentu (X7) merupakan penyimpangan dalam proses pemilihan penyedia jasa konstruksi dalam kategori “agak penting” dan merupakan kewenangan PPK walaupun Pokja dapat mengusulkan perubahan persyaratan/kualifikasi suatu paket pekerjaan. 4.4.3 Peringkat RII menurut responden Penyedia Jasa Hasil perhitungan RII secara lengkap reponden penyedia jasa dapat dilihat pada lampiran 6. Pendapat penyedia jasa terhadap faktor penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik dapat dilihat pada tabel 4.7.
102
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan RII menurut Penyedia Jasa Kod e
Faktor Penyimpangan
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa Meminjam bendera (User ID dan Password) X12 perusahaan lain untuk mendaftar Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu X8 persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait eproc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta X29 perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang ETendering X7
X9 X18 X21 X10 X16 X3 X17 X6 X11 X27 X25 X4
Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat) Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang di bidang teknologi informasi Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan
X26
Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang terkait spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang
X5
Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir
RII 0.64 9 0.64 3 0.61 3 0.60 1 0.58 9 0.50 0 0.48 2 0.44 6 0.34 5 0.33 9 0.33 9 0.31 5 0.29 8 0.29 7 0.28 6 0.28 0 0.27 976 19 0.27 4
Peringk at 1 2 3
4
5 6 7 8 9 10 10 12 13 13 15 16 16
18
103
Kod e
Faktor Penyimpangan
sanggah Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab X13 setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera X15 dimasukkan dalam SPSE Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan X20 yang tidak ditanggapi X24 Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain Pemahaman PPK dan Pokja kurang terkait e-proc X28 sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem X14 aplikasi Tidak adanya pengumuman Rencana Umum X2 Pengadaan (RUP) secara luas sebelum lelang X1
Tidak menandatangani Pakta Integritas
X22 PPK tidak menandatangani SPPBJ X19
Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE
X23 Penundaan penandatanganan kontrak
RII 0.27 4 0.27 4 0.27 4 0.27 4 0.27 380 95 0.26 8 0.26 2 0.25 6 0.25 6 0.23 8 0.23 2
Peringk at 18 18 18 18 18 24 25 26 26 28 29
Sumber: Data Olahan, 2016
Dari tabel 4.7 di atas terlihat penyedia jasa Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa (X7) dengan RII 0.649 sebagai penyimpangan agak penting. Disusul kemudian Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar (X12) dengan RII 0.643. Peringkat RII terkecil adalah penundaan penandatanganan kontrak (X23). Menurut penyedia tidak ada penundaan dalam penandatanganan kontrak dan minimnya sanggah.
104
4.4.4 Peringkat RII Gabungan Para Pihak Berdasarkan jawaban gabungan antara responden PPK, Pokja dan Penyedia jasa didapat variabel meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar (X12) dengan nilai RII 0.676 berada pada kategori “penting”. Kemudian adanya pola dalam penawaran dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat (X18) dengan nilai RII 0.616. berdasarkan nilai RII ini termasuk kategori “agak penting”, namun akan tetap dibahas. Hal ini menunjukkan secara umum responden memberikan pendapat secara netral/normatif. Hasil Perhitungan RII menurut Penyedia Jasa secara lengkap terdapat pada lampiran 7. Tabel 4.8 Hasil Perhitungan RII Gabungan Kode X12 X18 X7 X8 X29 X9 X21 X10 X3 X17 X16 X6 X24 X11 X27 X4
Faktor Penyimpangan Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat) Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang di bidang teknologi informasi Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan
RII
Peringkat
0.676
1
0.616
2
0.575
3
0.571
4
0.562
5
0.500
6
0.482
7
0.365
8
0.340
9
0.338
10
0.336
11
0.317
12
0.301 0.299
13 14
0.299
14
0.297
16
105
Kode
Faktor Penyimpangan
X14 X1
Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Pemahaman PPK dan Pokja kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (beserta perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tentang E-Tendering Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi Pemahaman PPK/Pokja/Penyedia kurang terkait spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelang Harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi Tidak menandatangani Pakta Integritas
X22
PPK tidak menandatangani SPPBJ
X25 X13 X28 X20 X26 X15
X5 X2 X19 X23
Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah Tidak adanya pengumuman Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara luas sebelum lelang Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE Penundaan penandatanganan kontrak
Sumber: Data Olahan, 2016
RII
Peringkat
0.295
17
0.290
18
0.287
19
0.274
20
0.269
21
0.265
22
0.260 0.258
23 24
0.258
24
0.256
26
0.251
27
0.237
28
0.237
28
106
Tabel 4.9 Perbandingan Peringkat RII Responden PPK Kode
Faktor Penyimpangan
X18
Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persainga n tidak sehat
X12
Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
X29
Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait eproc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015
RII
0,727
0,720
0,553
Responden Pokja Rank
1
2
3
Kode
Faktor Penyimpangan
X12
Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
X18
Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persainga n tidak sehat
X8
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan
RII
0,674
0,652
0,580
Responden Penyedia Jasa Rank
1
2
3
Kode
Faktor Penyimpangan
X7
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa
X12
Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
X8
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan
RII
0,649
0,643
0,613
Responden Gabungan Rank
1
2
3
Kode
Faktor Penyimpangan
RII
Rank
0,676
1
X18
Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persainga n tidak sehat
0,616
2
X7
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa
0,575
3
X12
Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
107
Tabel 4.9 Perbandingan Peringkat RII Responden PPK
X7
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa
X8
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan
0,523
0,508
Responden Pokja
4
5
X7
X29
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa
Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait eproc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015
0,536
0,522
Responden Penyedia Jasa
4
5
X29
X9
Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait eproc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015
Persyaratan/krit eria tambahan untuk membatasi lelang
0,601
0,589
Responden Gabungan
4
5
X8
X29
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan
Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait eproc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015
0,562
4
0,562
5
108
Berdasarkan Tabel 4.9 terlihat bahwa peringkat penyimpangan sedikit berbeda, namun secara umum memberikan persepsi yang sama. PPK berpendapat bahwa adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat sebagai peringkat teratas dan merupakan kategori “penting” PPK berpendapat bahwa “pola” tersebut dapat diketahui dari tahapan pemasukkan penawaran. Hal ini menunjukkan PPK tidak trust terhadap Pokja dan berpedapat Pokja “memiliki hubungan” dengan penyedia jasa tetentu. Menurut Pokja “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat ada di peringkat kedua dan dalam kategori “agak penting” (RII 0.652). Hal ini dapat diketahui pada saat evaluasi, dimana ada penawaran yang sangat lengkap sementara penawaran yang lain tidak lengkap, kemiripan penawaran karena penawaran dibuat oleh pihak yang sama, namun Pokja menganggap tidak memiliki bukti untuk memasukkan hal tersebut dalam pasal persekongkolan. Sedangkan penyedia (kontraktor) tidak setuju faktor “Pola” penawaran peserta lelang tersebut sebagai penyimpangan yang dominan/berpengaruh penting, karena mereka lebih mementingkan spesifikasi yang ada agar tidak mengarah pada penyedia jasa tertentu. Terkait “pinjam bendera” (berikut password), PPK berpendapat bahwa hal tersebut adalah penyimpangan yang penting, karena tujuan dibuatkan password itu untuk menjaga kerahasiaan secara sistem elektronik, namun pada penerapanya tidak sesuai tujuan. Sementara Pokja berpendapat bahwa “meminjam password” adalah penyimpangan peringkat satu dan kategori penting karena “password” tidak menjadi rahasia dan terkadang diserahkan ke pihak tertentu untuk membuat penawaran. Bagi penyedia “meminjam bendera” berikut password adalah
109
penyimpangan dalam kategori “agak penting” karena terdapat pihak yang ingin mengikuti lelang namun tidak memiliki perusahaan sesuai kualifikasi yang dibutuhkan. Sedangkan persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan yang merupakan kewenangan PPK. Menurut PPK persyaratan kualifikasi ini dibuat berdasar hasil perencanaan dan sesuai kompleksitas pekerjaan (RII 0.508). PPK menginginkan kualifikasi untuk mendapatkan penyedia terbaik, hal ini menunjukkan bahwa PPK lebih secure jika akan berkontrak dengan penyedia yang kualified. Menurut Pokja (RII 0.580) persyaratan kualifikasi merupakan kewangan PPK dan Pokja hanya “mencari” penyedia yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan oleh PPK. Sedangkan menurut penyedia persyaratan kualifikasi yang tidak mengacu kebutuhan
pekerjaan
merupakan
indikasi
persyaratan/kriteria
untuk
membatasi/mempersempit lelang. Pendapat yang hampir sama diberikan semua pihak terkait kemampuan penyedi dalam e-proc. PPK memberikan pendapat setara dengan Pokja, sedangkan penyedia memberikan pendapat lebih tinggi (RII 0.601). hal ini terkait tata cara membut berkas penawaran secara elektronik, enkripsi dan upload dokumen. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen belum cukup baik. Pendapat yang berbeda diberikan oleh penyedia jasa, dimana penyedia berpendapat bahwa persyaratan atau kriteria tambahan untuk membatasi lelang sebagai penyimpangan yang “agak penting”. Sehingga penyedia berpendapat persyaratan kualifikasi dan spesifikasi diarahkan kepada penyeda tertentu.
110
Selanjutnya dilakukan validasi kepada expert untuk menguji hasil perhitungan RII yang telah diperoleh. Hasil wawancara dengan 3 (tiga) orang ahli dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik dapat diuraikan sebagai berikut: Ahli pertama adalah pejabat yang mempunyai pengalaman dalam pengadaan barang/jasa > 15 tahun, dan pengalaman terkait e-proc selama 7 tahun. Ahli pertama menyampaikan bahwa terkait meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar dapat terjadi walaupun sekarang dilakukan secara elektronik. Kemudian terkait “pola” dalam penawaran, ahli pertama berpendapat bahwa masih terjadi pola seperti peserta yang memasukkan penawaran itu-itu saja untuk jenis pekerjaan tertentu sehingga terlihat grup atau golongan tertentu. Pemantauan sebaiknya dari asosiasi terkait. Terhadap persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan, ahli berpendapat bahwa karena tidak terdapat standar baku dalam minimal persyaratan, maka persyaratan mengacu pada kompleksitas pekerjaan dan setuju bahwa persyaratan tidak mengacu persyaratan minimal dapat mempersempit peserta lelang. Ahli kedua adalah pejabat yang mempunyai pengalaman dalam pengadaan barang/jasa > 15 tahun, dan pengalaman terkait e-proc selama 7 tahun. Ahli kedua berpendapat meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar
sebagai
penyimpangan
karena
seharusnya
password
tersebut
dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan. Ahli kedua berpendapat bahwa terjadinya “pola” dalam penawaran cenderung ketika harus ada persyaratan minimal 3 penawar, hal ini disebabkan karena jumlah penyedia jasa yang ada belum cukup banyak sehingga yang memasukkan penawaran dan pemenang
111
cenderung sama. Terkait spesifikasi persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal, ahli menyatakan untuk menentukan batasan karena berbeda kompleksitas pekerjaan dan tidak ada batasan maksimal terhadap persyaratan suatu pekerjaan. Terhadap hal ini ahli berpendapat seharusnya pengawasan lebih diperkuat sehingga tercipta pengadaan yang lebih akuntabel. Berkenaan dengan pemahaman kontraktor terhadap e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 terkait tata cara pemilihan, bagaimana membuat dokumen penawaran dan cara mengunggah dokumen tersebut secara elektronik. Ahli ketiga adalah pejabat Eselon IIIb di Kabupaten yang mempunyai pengalaman dalam pengadaan barang/jasa > 10 tahun, dan pengalaman terkait eproc selama 6 tahun dan pernah menjabat PPK konstruksi dan Pokja ULP. Ahli ketiga berpendapat bahwa meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar karena penyedia ingin mendapatkan lelang namun tidak memiliki kualifikasi yang memadai, dikarenakan lebih mudah dan murah meminjam bendera perusahaan lain. Terkait “pola” misalnya dalam penawaran ada penawar yang sangat lengkap namun penawar lain sangat tidak lengkap, jadi semacam pendamping saja, selain itu adanya kemiripan dalam penawaran. Untuk itu perlu pengawasan yang lebih intensif. Terkait spesifikasi tidak mengacu pada minimal ahli ketiga berpendapat hal tersebut adalah kewenangan PPK karena spesifikasi terkait dengan mutu dan kompleksitas pekerjaan, namun seharusnya karena pekerjaan di wilayah studi tidak terlalu kompleks (rata-rata dilakukan dengan pemilihan langsung) maka seharusnya tidak berlebihan dalam membuat persyaratan.
112
4.5
Pembahasan Peringkat RII Gabungan Faktor Penyimpangan dalam Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara Elektronik Setelah
dilakukan
analisis
faktor
dominan/penting
yang
menjadi
penyimpangan akan dibahas faktor penyimpangan dengan nilai RII > 0.50 merupakan gabungan antara agak penting, penting dan sangat penting, karena jawaban responden yang sangat setuju, setuju dan agak setuju sulit dibedakan dan cenderung memberikan opini yang netral atau normatif. 4.5.1 Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar (RII 0.676) kategori “penting”. Responden berpendapat bahwa Meminjam bendera (User ID dan Password)
perusahaan
lain
untuk
mendaftar
merupakan
faktor
penyimpangan dengan kategori “penting”. Salah satu penyebab dari penyimpangan berupa Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain adalah penyedia ingin mengikuti suatu pelelangan namun tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, hal ini dapat dilihat bahwa faktor “Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain” termasuk dalam kategori “tidak penting” sehingga penyedia memang menginginkan tender namun tidak memiliki kualifikasi yang sesuai. Keengganan penyedia untuk memiliki atau membangun perusahaan dikarenakan lebih mudah dan murah meminjam “bendera” perusahaan lain. Hal tersebut dikarenakan untuk membangun perusahaan terdapat persyaratan yang dianggap sulit dipenuhi dalam waktu yang singkat. Adapun persyaratan tersebut antara lain Sertifikat Badan Usaha (SBU) berikut sertifikat tenaga ahli/terampil dari asosiasi yang tergabung dalam
113
Lembaga Pembinaan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD) sementara ketersediaan tenaga ahli/terampil di daerah cukup terbatas. Selain itu dibutuhkan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) dari pemerintah daerah, yang mana untuk mendapatkan SIJUK tersebut masih ditemui kesulitan
dalam
proses
pembuatan
perizinannya
sehingga
perlu
menyederhanakan/mempercepat proses dan persyaratan perizinan. Sebagai langkah pencegahan penggunaan password perusahaan lain dalam lelang, diperlukan pendampingan dari pengawas internal (APIP) sebagai kontrol. Selain itu, Pemda harus melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity building) kontraktor lokal dengan cara mendorong masyarakat konstruksi agar lebih profesional. Disamping itu, Pemda juga perlu mendorong tumbuhnya kontraktor baru yang siap dengan tuntutan kebutuhan konstruksi di daerah melalui komunikasi dua arah dan sinergi dengan asosiasi jasa konstruksi untuk meningkatkan daya saing kontraktor lokal. Selanjutnya seiring perkembangan teknologi diusulkan mengganti password menggunakan data forensik, seperti finger print, scan wajah/retina yang terintegrasi dengan SPSE sehingga proses pendaftaran hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan. 4.5.2
Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat (RII 0.616) kategori “agak penting”.
Pola dalam penawaran adalah suatu bentuk pengaturan tender dan indikasi persaingan usaha yang tidak sehat. Pola-pola yang ada seperti kemiripan
114
dokumen penawaran, calon penyedia yang cenderung sama pada pekerjaan sejenis, dan harga penawaran yang mendekati HPS, dan lain lainnya. Di wilayah studi, memiliki karakteristik sebagai wilayah kepulauan dimana penyedia khususnya jasa konstruksi yang ada didominasi dari dalam propinsi. Sementara penyedia yang berasal dari luar wilayah masih terbatas (kurang diminati). Indikasi penyebab terbatasnya penawar dari luar dimungkinkan karena paket pekerjaan yang ada tidak komplek (indikator 64 % pengadaan tahun 2014-2016 melalui pemilihan langsung) dan juga nilai paket yang tidak terlalu besar. Data nilai paket kegiatan dan penyedia yang memasukkan penawaran dapat dilihat pada lampiran 8. Lebih lanjut kondisi tersebut merupakan salah satu pemicu munculnya pola dalam penawaran. Selain itu pola penawaran dapat terjadi karena adanya pengaturan baik oleh pemegang kekuasaan maupun antar sesama pihak berkepentingan. Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010 pada Pasal 83 ayat (1) huruf e, Pokja ULP memiliki kewewenangan untuk menyatakan pelelangan gagal apabila dalam evaluasi penawaran ditemukan bukti/indikasi terjadi persaingan tidak sehat. Penjelasan indikasi terjadi persaingan tidak sehat dalam hal ini persekongkolan antar penyedia barang/jasa harus dipenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) indikasi sebagai berikut: 1. Terdapat kesamaan dokumen teknis, antara lain: metode kerja, bahan, alat, analisa pendekatan teknis,harga satuan, dan/atau spesifkasi barang yang ditawarkan (merk/tipe/jenis) dan/atau dukungan teknis. 2. seluruh penawaran dari Penyedia mendekati HPS.
115
3. adanya keikutsertaan beberapa Penyedia Barang/Jasa yang berada dalam 1 (satu) kendali. 4. adanya kesamaan/kesalahan isi dokumen penawaran, antara lain kesamaan/kesalahan pengetikan, susunan, dan format penulisan. 5. jaminan penawaran dikeluarkan dari penjamin yang sama dengan nomor seri yang berurutan. Dalam pelaksanaannya, pokja ULP harus bertindak tegas jika mengetahui indikasi pengaturan/persekongkolan dan mengoptimalkan wistleblower system yang ada. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus SDM Pokja yang memiliki integritas dan professional. Disamping itu perlu kolaborasi antara ULP dengan APIP. Selain itu, diperlukan sinergi yang berkala untuk mendorong peran asosiasi-asosiasi jasa konstruksi dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pengenaan sanksi terhadap pengaturan/persekongkolan tender antar penyedia jasa diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 118 ayat 1 huruf b berupa pencairan jaminan penawaran yang disetorkan ke kas negara, dan diusulkan daftar hitam (blacklist) kepada KPA. 4.5.3
Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa (RII 0.575) kategori “agak penting”.
116
Berdasarkan responden gabungan, spesifikasi teknis pekerjaan mengarah pada salah satu calon penyedia merupakan penyimpangan kategori “agak penting”. Pada implementasinya spesifikasi teknis sebagai bagian dari Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP) merupakan tugas pokok dan kewenangan PPK sesuai Perpres 54 Tahun 2010 pasal 11 ayat (1). PPK selaku pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa (Pasal 1 angka 7) dan pejabat yang wajib melaksanakan serta mengendalikan kontrak dengan penyedia yang akan terpilih, secara manusiawi mengharapkan penyedia yang terpilih adalah penyedia yang memiliki kualifikasi sehingga menjamin mutu pekerjaan dan pelaksanaan tepat waktu dan bertanggungjawab jika ada permasalahan terhadap pekerjaan walaupun kontrak telah berakhir. Selain itu belum terdapat standar penentuan spesifikasi persyaratan teknis dokumen lelang konstruksi, masih mengacu pada kompleksitas pekerjaan yang berbedabeda dan tidak objektif. Namun demikian, untuk menjaga prinsip dan etika pengadaan yang baik, maka diperlukan pengaasan dari pihak lain, seperti Pokja ULP dapat mengusulkan kepada PPK akan perubahan spesifikasi teknis jika tidak wajar, dan juga pengawasan dari sesama peserta lelang (termasuk calon penyedia). Pengawasan dari sesama peserta lelang dalam bentuk meminta penjelasan selengkap-lengkapnya tentang spesifikasi yang dibutuhkan pekerjaan
pada
tahap
aanwijzing
dan
jika
masih
terdapat
keberatan/keraguan akan spesifikasi yang mengarah pada salah satu
117
penyedia jasa, calon penyedia dapat melakukan pengaduan melalui APIP dan whistleblower system. Bagi calon penyedia yang memasukkan penawaran dapat melakukan sanggah. Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 81 menyatakan peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan: a.
penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 dan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan barang/jasa;
b.
adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau
c.
adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau Pejabat yang berwenang lainnya. Seperti hal di atas, sanggah hanya dapat dilakukan penyedia yang
memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran, maka penyedia yang tidak dapat menawar (karena tidak dapat memenuhi spesifikasi tertentu) tidak
dapat
melakukan
sanggah,
sehingga
diperlukan
perbaikan
mekanisme sanggah bagi peserta yang tidak dapat memasukkan penawaran terkait dokumen pengadaan (Wibowo, 2015). Menurut Wibowo (2015) di Indonesia, mekanisme sanggah hanya efektif untuk melindungi peserta tender yang merasa dirugikan dengan memberikan kesempatan untuk menyanggah keputusan pemenang lalang. Mekanisme sanggah di Indonesia tidak melindungi (tidak memberikan kesempatan
118
sanggah) kepada calon peserta tender yang merasa dirugikan akibat dokumen pengadaan, misalnya karena desain spesifikasi dan/atau persyaratan pengadaan yang dianggap tidak adil. PPK selaku penanggungjawab administrasi dan keuangan kegiatan menginginkan hasil (output) dengan mutu yang baik dan penyedia yang bertanggung jawab, sehingga pemerintah daerah perlu membina dan mendorong penyedia untuk memiliki kinerja yang lebih baik. Saat ini, kinerja penyedia dapat diketahui dari Sitem Informasi Kinerja Penyedia Barang/Jasa (SIKAP) yang dikembangkan LKPP. Melalui SIKAP penyedia dapat memperoleh “nilai” atas atas kinerjanya pada pengalaman proyek sebelumnya melalui sistem, dan dapat dikombinasikan dengan tim yang “menilai” kinerja nyata di lapangan. 4.5.4
Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan (RII 0.562) kategori “agak penting”.
Persyaratan kualifikasi merupakan komponen yang memberikan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan. Proses penetapan persyaratan kualifikasi terbuka untuk penyimpangan ketika tidak mengacu pada kebutuhan dan kompleksitas pekerjaan. Bentuk penyimpangan yang terjadi pada komponen ini berupa penambahan persyaratan yang berlebihan, seperti mensyaratkan jumlah SKA dan SKT sehingga tindakan tersebut rawan untuk “mengunci” dalam rangka memenangkan penyedia yang dijagokan. Selain itu, penambahan persyaratan kualifikasi dapat menimbulkan pemborosan dan melanggar etika pengadaan.
119
Hal tersebut dikarenakan belum adanya standar yang baku dalam penyusunan persyaratan kualifikasi pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh PPK. Hal demikian dilakukan karena PPK menginginkan hasil (output) dengan mutu yang baik sehingga menggunakan kualifikasi maksimal. Idealnya persyaratan kualifikasi yang ditetapkan selayaknya wajar, relevan dan berdasarkan kebutuhan (kompleksitas) pekerjaan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu acuan/standar dalam menentukan tingkat kewajaran kualifikasi suatu pekerjaan. Standar dimaksud diantaranya persyaratan kualifikasi mengacu pada pekerjaan sejenis dengan lokasi yang berdekatan. Disamping itu perlu ditingkatkan peran PA dan Pokja dalam mencegah persyaratan kualifikasi yang berlebihan. 4.5.5
Pemahaman Penyedia (kontraktor) kurang terkait e-proc sesuai Perpres 54 Tahun 2010 (perubahannya) dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015 (RII 0.562) kategori “agak penting”.
Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010, Pasal 19 menyatakan bahwa penyedia jasa wajib memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa. Akan tetapi, terkait eproc pemahaman penyedia masih kurang, terutama berhubungan dengan pemahaman akan dokumen lelang, tata cara pemilihan, cara mendaftar, proses download, enkripsi dan upload dokumen penawaran. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen perusahaan belum mengerti akan proses pelaksanaan e-proc.
120
Untuk meningkatkan pemahaman penyedia, pemerintah daerah perlu melakukan
pembinaan
sebagaimana
yang
diamanatkan
Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi Pasal 7 ayat (3) dengan cara: a.
melaksanakan kebijakan pembinaan jasa konstruksi.
b.
menyebarluaskan peraturan perundang-undangan jasa konstruksi.
c.
melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis, dan penyuluhan.
d.
menerbitkan perizinan usaha jasa konstruksi.
e.
melaksanakan pengawasan sesuai dengan kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi. Wujud pembinaan dari pemerintah daerah kepada penyedia dalam
rangka mendukung aturan tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan, pelatihan dan meningkatkan kapasitas masyarakat jasa konstruksi termasuk penyedia jasa yang ada di wilayah pemda sebagai bentuk pembinaan.