JAI
Volume II Nomor 01, Maret 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) Jawa Tengah
JAI
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sejawat terhormat,
Pelindung: ο· Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ο· Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP ο· Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat artikel penelitian klinik dan preklinik. Diantaranya adalah mengenai Atrakurium dan MgSO4 untuk mencegah peningkatan kratininin serum akibat Suksinilkolin , Pengaruh Ketorolak terhadap klirens kreatinin, dan pengaruh agen inhalasi terhadap agregasi trombosit.
Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn
Dua tinjauan pustaka, mengenai pengelolaan rawat intensif pasien pasca trauma dan anestesi pada mediastinoskopi diharapkan menambah wawasan kita dalam bidang anestesi dan terapi intensif.
Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med
Semoga bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Kamtini, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
DAFTAR ISI PENELITIAN Moch. Rahardi Hamsya, Mohamad Sofyan Harahap Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Kreatinin Fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatan kadar kreatinin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain. Rosa Afriani, Heru Dwi Jatmiko Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan menggunakan agen inhalasi isofluran. Eva Susana Putri Daya, Uripno-Budiono, Heru Dwi Jatmiko Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam Intravena Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu persalinan Agatha Citrawati Anom, Mohamad Sofyan Harahap Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran Dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran TINJAUAN PUSTAKA Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktorfaktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma. Satrio Adi Wicaksono, Hari Hendriarto, Heru Dwi Jatmiko Anestesi Pada Mediastinoskopi Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan. Igun Winarno, Jati Listiyanto Pujo, Mohamad Sofyan Harahap Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP.
Hal 1
10
17
24
36
44
52
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Kreatin fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin Moch. Rahardi Hamsya*, Mohammad Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Succinylcholine is commonly used for intubation and induction, short operation emergency, day case anaesthesia and difficult airway controlled. Unexpected complication after succinylcholine administration is fasciculation, myalgia and increase of potassium blood level and creatin phosphokinase serum. Methods: This research was a clinical trial stage I (human sample) for 60 patients benign breast tumors undergoing surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6 hours fasting period and give no premediacation. Peripheral blood sample were taken to measure the potassium level and creatin phosphokinase serum before premedication given. Patients randomly divided in to two grou., group I pretreatment with atrakurium 0,05 mg/kgBW and group II pretreotment with MgSO4 40mg/kgBW. Induction with succinylcholine 1,5mg/kgBW fifteen minute after premedication. Seven minute after induction, peripheral blood sample were taken on contralateral inffusion to measure potassium blood level after induction and 24 hours post operation. Peripheral blood sample were taken on contralateral infusion to measure creatine phosphokinase serum level. Statistical analysis were performed by independent t-test, Mann-Whitney U test and rank spearman correlation which were πΌ = 0,05 was considered significant. Results: There was no difference for patients characteristics distribution data, creatin phosphokinase serum and blood potassium level before induction between two groups, For potassium blood level elevation between two group were significantly difference ( p = 0,029). Creatin phosphokinase level elevation between two group were no significantly difference ( p > 0,05 ). There was no significantly correlation (p = -0,138; p = 0,466) proved is between creatin phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium group such no significantly correlation (π = 0,186; p = 0,325) proved is between creatine phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium group. Conclusions: The administration of 40% magnesium sulphate 40 mg/kg BW could prevent the elevation of serum creatin phosphokinase following succinylcholine induction and blood potassium ion level, althought not as effective as atrakurium but better than other pretreatment. Keywords: succinylcholine, magnesium sulphate, potassium, potassium, fasciculation ABSTRAK Latar belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi dan induksi masih merupakan pilihan untuk tindakan yang singkat, emergensi, rawat jalan dan keadaan dimana jalan napas belum tentu dapat dikuasai. Efek samping yang sering timbul adalah fasikulasi dan mialgia yang ditandai meningkatnya kadar serum kreatin fosfokinase (CPK) dan ion kalium.
________________________________________________________________________________ 1 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap I ( subyek manusia ) pada 60 penderita tumorjinak mama yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberi obat premedikasi.Pengambilan sampel darah perifer di daerah antebrakhii kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium dan kreatin fosfokinase sebelum induksi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2 kelompok. Kelompok I mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan kelompok II mendapat pretreatment MgSO4 40% 40 mg/kgBB. 15 menit kemudian dilakukan induksi dengan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB pada masing-masing kelompok. 7 menit setelah intubasi dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium pasca perlakuan dan 24 jam setelah operasi dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar kreatinin fosfokinase. Uji statistik menggunakan independent t-test dan Mann-whitney U test serta uji korelasi dengan rank Spearman dengan derajat kemaknaan πΌ: 0,05. Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada distribusi karateristik penderita serta kadar serum kreatin fosfokinase dan kadar kalium sebelum perlakuan. Peningkatan kadar ion kalium antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat terdapat perbedaan bermakna (p = 0,029) dan peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat tidak terdapat perbedaan bermakna ( p > 0,05 ). Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (π = 0,138; p =0,466) peningkatan kadm kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok atrakurium demikian juga hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (π = 0,186; p = 0,325) peningkatan kadar kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok MgSO4. Kesimpulan: Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatankadar kreatin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain. Kunci : suksinilkolin, magnesium sulfat, kalium, fasikulasi
PENDAHULUAN Hampir sebagian besar pasien pasca operasi memberikan keluhan adanya rasa nyeri otot dari sebagian anggota badan setelah menjalani operasi yang menggunakan pelumpuh otot golongan depolarisasi suksinilkolin sebagai obat induksi dalam anestesi umum. Oleh karenanya banyak para ahli anestesi melakukan berbagai macam penelitian untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tersebut dengan berbagai macam jenis obat di antarannya adalah pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil, anestesi lokal, klorpromazine, benzodiazepin, golongan OAINS dan lain-lain.1,2,3,4 Insiden nyeri otot ini menurut Aitkenhead Β± 50%.5 dan Shrivastava Β± 45%.6 sedang menurut
Dennis dkk Β± 5-83 % .7 Besarnya angka kejadian ini sampai sekarang masih merupakan tantangan bagi dokter anestesi untuk menurun-kannya. Obat pelumpuh otot suksinilkolin golongan sampai sekarang merupakan obat yang menguntungkan sebagai rapid sequence induction atau crash induction yang merupakan fasilitas induksi oleh karena mempunyai sifat onset of action yang cepat dan duration of action yang pendek oleh karena sifatnya itu sampai sekarang suksinilkolin masih merupakan obat gold standard untuk tindakan intubasi cepat.8,9,10 Munculnya fasikulasi biasanya dimulai dari otot rahang, leher, bahu dan dada. Pada pemakaian obat golongan OAINS yang bersifat inhibitor prostaglandin hasilnya belum memuaskan
________________________________________________________________________________ 2 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
karena hanya mengatasi mialgia oleh karena kerusakan otot akibat pemakaian suksinilkholin bukan mencegah mialgia oleh karena kerusakan otot yang ditandai peningkatan kadar kreatin fosfokinase (CPK).11,12,13 Timbulnya nyeri otot ini dikarenakan timbulnya kontraksi-depolarisasi motor unit yang tidak sinkron sehingga menyebabkan kekuatan tarikan serabutserabut otot rangka yang dirasakan pasien setelah 24 jam pasca operasi.11 Menurut Leeson-Payne dkk kerusakan otot ini menyebabkan peningkatan kadar CPK serta terganggunya proses pertukaran elektrolit yaitu kalium (hiperkalemi).14 Terjadinya proses depolarisasi repolarisasi ini merupakan peran utama akibat adanya pertukaran ion kalium dan natrium pada permukaan membran sel motorik yang menghasilkan perubahan listik dalam tubuh.15 Pada penelitian pasien preeklamsi yang mendapatkan magnesium sulfat dapat mencegah dan menghentikan proses terjadinya kejang, hal ini disebabkan efek ion magnesium pada otot diketahui mempunyai efek kerja secara kompetitif ion kalsium pada prejunctional site. Ketika kadar ion kalsiumnya tinggi di dalam plasma akan meningkatkan pelepasan asetilkolin pada presynaptic nerve terminal sebaliknya manakala kadar magnesium tinggi di plasma akan menghambat pelepasan asetilkolin, disamping itu keuntungan magnesium lainnya adalah hambatan pada postjunctional potensials sehingga menyebabkan menurunnya eksitabilitas pada membran sel serat-serat otot. Selanjutnya kontraksi otot tidak terjadi sehingga fasikulasi, mialgia, peningkatan CPK dan hiperkalemi tidak terjadi. Fakta ini menunjukkan peran dari CPK secara umum merupakan tolak ukur untuk menilai kerusakan otot.
Pada penelitian sebelumnya dikatakan penggunaan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil sebagai pretreatment juga memberikan kemampuan untuk mengurangi mialgia khususnya atrakurium pada dosis kecil lebih dominan pada postsynaptic receptor colinergic nicotinic dibandingkan dosis besar target organ pada presynaptic dan postsynaptic nerve terminal. Pretreatment dengan pelumpuh otot non depolarisasi (termasuk atrakurium) ini terbukti lebih baik (superior) dibandingkan metode pretreatment dengan obat-obat lain sehingga menjadi semacam baku emas.2,3 Dengan alasan target kerja organ masingmasing obat diatas inilah disamping obat MgSO4 mudah didapat didaerah terpencil sekalipun dan harganya murah dibanding atrakurium kami mencoba berusaha membuktikan bahwa obat MgSO4 lebih menguntungkan dalam mencegah terjadinya fasikulasi dan mialgia yang dilihat dari peningkatan kadar ion kalium serum CPK dibandingkan atrakurium. Dengan penggunaan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB dan magnesium sulfat 40% 40 mg/kgBB atau suksinilkolin 1,5 mg/kgBB dengan atrakurium 0,05 mg/kgBB angka kejadian fasikulasi, mialgia hiperkalemi dan peningkatan CPK post operasi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Apabila ini dikerjakan pada pasien-pasien operation ambulatory system maka dapat mengurangi atau menekan biaya dan waktu yang diperlukan untuk rawat inap di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan menilai secara obyektif efektifitas pemberian pretreatment atrakurium dan magnesium sulfat pada induksi suksinilkolin yang
________________________________________________________________________________ 3 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dilihat dari kadar kreatin fosfokinase dan ion kalium.
wan (informed consent), lama dan jenis operasi (1-2 jam).
Dari beberapa jurnal penelitian dalam satu dekade belakangan ini baik dinegara Amerika, Eropa maupun Asia diketahui bahwa penggunaan MgSO4 dapat menurunkan/ mengurangi angka kejadian infark miokard akut, aritmia, kejang akibat eklamsia, level epineprin atau norepineprin dalam darah sehingga hemodinamik pasien lebih stabil.
Kriteria eksklusi : pasien tidak kooperatif, riwayat hipertermia maligna, meng-gunakan obat tertentu (CPZ, vit E), penyakit atau kelainan neuromuskuler, penyakit atau kelainan metabolik, latihan fisik atau trauma, keganasan, hemolisis, luka bakar dan kejang.
METODE Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda (double blind randomized controlled trial) dengan tujuan untuk mengetahui bukti yang obyektif derajat beratnya fasikulasi-mialgia pasca operasi 24 jam yang dilihat dari peningkatan kadar kreatin fosfokinase dan ion kalium dengan membandingkan 2 kelompok penelitian, yaitu kelompok kontrol atrakurium (I) dan magnesium sulfat (II) melalui rancangan pretest posttest group design untuk variabel kadar kreatin fosfokinase darah dan ion kalium. Untuk homogenitas sampel dengan luka operasi yang sama sehingga dihasilkan kualitas penelitian yang baik dipilih pasien tumor mama jinak di RS. Dr. Kariadi yang dipersiapkan untuk pembedahan dengan menggunakan teknik anestesi umum yang memenuhi kriteria seleksi tertentu. Populasi target adalah semua penderita tumor mama jinak wanita berusia 15-60 th, berat badan 35-60 kg tinggi badan 135-170 cm yang akan menjalani pembedahan elektif dengan teknik anestesi umum. Kriteria inklusi, yaitu usia 15-60 tahun, ASA I-II, BMI 17-25 kg/m2, tinggi badan 135-170 cm, bersedia sebagai sukarela-
HASIL Sampel penelitian berjumlah 60 orang perempuan yang merupakan pasien tumor mama jinak di RS. Dr. Kariadi Semarang yang dipersiapkan untuk pembedahan dengan menggunakan teknik anestesi umum yang memenuhi kriteria seleksi tertentu. Jumlah sampel tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu 30 orang mendapat perlakuan atrakurium dan 30 orang lagi mendapat perlakuan MgSO4. Rerata berat badan kelompok atrakurium 55,2 kg (Β± 8,0) sedangkan rerata tinggi badan 1,57 m (t 0,06). Rerata umur kelompok atrakurium adalah 36 tahun Β± 8,8 sedikit lebih tua dibandingkan kelompok MgSO4 yaitu 31 tahun Β± 11,3. Deskripsi umur, berat badan dan tinggi badan sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata tekanan darah sistole awal pada kelompok atrakurium adalah 128 mmHg Β±16,6, sedangkan rerata tekanan darah sistol awal pada kelompok MgSO4 adalah 126 mmHg Β± 10,2. Rerata tekanan darah diastol awal pada kelompok atrakurium adalah 74 mmHg Β± 9,2, sedangkan rerata tekanan darah diastole awal pada kelompok MgSO4 adalah 73 mmHg Β±7,7. Gambaran lengkap hemodinamik awal sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Distribusi data umur, berat badan dan tinggi badan berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan data yang normal, sehingga uji beda di antara ke dua
________________________________________________________________________________ 4 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kelompok dengan independent t-test. Tidak terdapat perbedaan bermakna berat badan, tinggi badan dan umur antara kelompok atrakurium danMgSO4 (p> 0,05). (Tabel l) Hasil uji Kolmogornov Smirnov menunjukkan bahwa data kadar kalium awal dan data kadar CPK awal tidak berdistribusi normal sehingga uji beda kadar kalium awal dan kadar CPK awal antara kelompok atrakurium dan MgSO4 dengan uji Mann Whitney. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar kalium awal dan kadar CPK awal antara kelompok atrakurium dan MgSO4. (Tabel 2) Hasil uji Kolmogomov Smirnov menunjukkan bahwa data kadar kalium akhir, data kadar CPK akhir tidak berdistribusi normal. Sehingga uji beda kadar kalium akhir, kadar CPK akhir, antara kelompok atrakurium dan MgSO4 dengan Uji Mann Whitney. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar kalium akhir dan kadar CPK akhir antara kelompok atrakurium dan MgSO4 (p > 0,05) (Tabel 3). Hasil uji Kolmogornov Smirnov menunjukkan bahwa data selisih kadar kalium dan data selisih kadar CPK, tidak berdistribusi normal,. sehingga uji beda selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK, antara kelompok atrakurium dan MgSO4 dengan uji Mann Whitney. Tidak terdapat perbedaan bermakna selisih kadar CPK antara kelompok atrakurium dan MgSO4 (p > 0,05) namun terdapat perbedaan bermakna selisih kadar kalium (p = 0,029), antara kelompok atrakurium dan MgsO4 (Tabel 4). Pada kelompok Atrakurium, selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK untuk kelompok atrakurium tidak berdistribusi normal, sehingga uji hubungan selisih
kadar kalium dan selisih kadar CPK dilakukan dengan uji rank Spearman Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (p = 0,138; p: 0,466) selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK pada kelompok atrakurium. Diagram tebar selisih kadar CPK data dilihat pada hubungan antara selisih kadar kalium dan Gambar 1. Pada kelompok MgSO4, selisih kadar karium dan serisih kadar CPK untuk kelompok MgSo4 tidak berdistribusi normal, sehingga uji hubungan selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK dilakukan dengian uji rank sparman. Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (p = 0,186; p = 0,325) selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK pada kelompok MgSo4. Diagram tebar hubungan antara selisih kadar kalium dan selisih kadar CPK kelompok MgSO4 dapat dilihat pada Gambar 2. PEMBAHASAN Pada penelitian ini kedua kelompok, kelompok Atrakurium dan kelompok MgSO4 untuk karateristik penderita, jenis operasi, sistolik, diastolik, MAP, kadar kalium dan CPK preoperasi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dan berdistribusi normal sehingga data dapat dikatakan homogen dan dapat dibandingkan. Secara statistik peningkatan serum konsentrasi ion karium didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Fakta ini berbeda dengan penelitian Stoelting dan Peterson12 serta Ferres15 dkk dalam penelitiannya mengatakan peningkatan ion kalium sama antara yang menggunakan pretreatment atau tidak menggunakan pretreatment obat golongan non depolarisasi. Kejadian ini dapat diterangkan secara teori bahwa pelumpuh otot golongan
________________________________________________________________________________ 5 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Rerata umur, antropometri hemodinamik sampel pada kedua kelompok Variabel Rerata (Β± Rerata (Β± SD) SD) Kelompok Kelompok Atrakurium MgSO4 55,2 Β± 8,01 51,4Β±7,26 Berat badan (kg) 157Β±0,06 158Β±0,05 Tinggi (m) 36Β±8,7 31Β±11,3 Umur (tahun) 128Β±16,6 126Β±10,2 Sistol (mmHg) 74Β±9,2 73Β±7,7 Diastol (mmHg) 91Β±10,4 91Β±8,4 MAP 89,8Β±12,6 90,6Β±11,9 Laju jantung
dan P
Gambar 1. Diagram tebar antara selisih kadar kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok Atrakurium
0,057
0,811 0,073 0,642 0,651 0,870 0,810
Tabel 2. Perbedaan Nilai Awal Kadar Kalium dan CPK pada kedua kelompok Variabel Rerata Rerata P (Β±SD) (Β±SD) Kelompok Kelompo Atrakurium k MgSO4 4,24 (Β±0,34) 4,2 0,660* Kadar (Β±0,46) Kalium 64,7 (Β±43,69) 51,8 0,301** Kadar (Β±29,72) CPK Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney Tabel 3. Perbedaan Nilai Akhir Kadar Kalium dan CPK pada ke dua kelompok Variabel Rerata (Β± Rerata (Β± P SD) SD) Kelompok Kelompok Atrakurium MgSO4 4,32Β±0,33 4,38Β±0,35 0,639 Kadar Kalium 209,6Β±223,7 140,4Β±137,7 0,128 Kadar CPK Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney
Gambar 2. Diagram tebar antara selisih kadar kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok Atrakurium
Tabel 4. Perbedaan Peningkatan Akhir dengan Awal Kadar Kalium dan CPK Variabel Rerata Rerata P (Β±SD) (Β±SD) Kelompok Kelompok Atrakurium MgSO4 0,08 Β± 0,12 0,18 Β± 0,20 0,029 Kadar Kalium 144,9 Β± 196,7 88,6 Β± 134,8 0,080 Kadar CPK
________________________________________________________________________________ 6 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
nondepolarisasi bekerja dengan cara berkompetisi dengan neurotransmitter asetilkolin untuk menduduki reseptor asetilkolin sedangkan magnesium bekerja dengan cara kompetitif inhibitor terhadap ion kalsium sehingga asetilkolin yang dilepaskan dari presinap berkurang. 8,15,16,17
Di post sinap magnesium menurunkan efek asetilkolin pada reseptor dan meningkatkan batas ambang eksitasi akson. Pada penelitian yang dilakukan Sugirt tentang penggunaan MgSo4 untuk penatalaksanaan paroksismal atrial takikardi juga mendapatkan hasil yang berbeda bermakna antara yang mendapatkan MgSO4 dengan yang tidak mendapatkan MgSO4. Aktivitas listrik jantung berasal dari pergerakan berbagai ion yang melintasi membrane sel miokardium. Dalam hal ini ion natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++) dan magnesium (Mg++) merupakan ion yang paling berperan. Ion Mg merupakan elemen penting untuk kinerja berbagai enzim vital, termasuk energi yang mengatur distribusi ion Na+, K+, Ca+ pada saat melintasi membran sel, sehingga perubahan ion Mg+ dalam serum mempunyai potensi besar terhadap pengaturan aktivitas listrik jantung. Aksi antagonis ion Mg++ terhadap ion Ca+ adalah dengan berkompetisi pada membrane sel juga dengan memodulasi pergerakan transmembran maupun fuansportasi ion Ca+ melalui sistem retikulo endoplasmik. Disamping itu pemberian Mg+ akan mengakibatkan penurunan sekresi katekolamin dalam miokardium.18-20 Dalam hal peningkatan kadar kreatin fosfokinase, pada kedua kelompok tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik (p = 0.080) namun secara klinis nilai peningkatan kadar CPK kelompok MgSO4 mempunyai kecenderungan lebih
rendah dibandingkan kelompok atrakurium. Fakta ini sesuai teori bahwa atrakurium dosis besar (dosis induksi) mempunyai efektivitas kerja pada presinap dan postsinap neuromuscular junction, sedangkan pada dosis kecil (dosis pretreatment) Atrakurium lebih dominan pada postsinap, sehingga blokade pada pintu gerbang ion kalsium dipresinap tidak terjadi dengan sempurna menyebabkan asetilkolin banyak diproduksi dan dikeluarkan kedalam rongga lipatan postsinap yang memungkinkan masih terjadinya proses depolarisasi yang membutuhkan energi yang besar yang di suplai oleh enzim CPK untuk membentuk energi tersebut.21 Secara biokimia dapat diterangkan salah satu enzim yang diaktifkan oleh Ca2+kalmodulin adalah glikogen fosforilase kinase, enzim yang sama yang diatur oleh fosforilase yang diaktifkan oleh hormon. Sewaktu kalmodulin diaktifkan oleh Ca2+ yang dibebaskan dari retikulum sarkoplasma sewaktu otot berkontraksi, C2+-kalmodulin mengikat glikogen fosforilase kinase otot dan mengaktifkannya. Akibatnya glikogen otot diuraikan menjadi glukosa l-fosfat selama olahraga untuk memberi bahan bakar bagi otot dengan demikian bila terjadi blok gerbang Ca2+ maka pembentukan bahan energi tidak terbentuk.22 Peningkatan CPK merupakan indikasi adanya kerusakan otot oleh suksinilkolin. Peningkatan ini terjadi 24 jam setelah pemakaian suksinilkolin.23 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maddineni dkk didapatkan hubungan antara mialgia dengan meningkatnya serum CPK akibat induksi suksinilkolin.24 Besamya angka kejadian peningkatan CPK dan peningkatan ion kalium tidak didapatkan hubungan yang signifikan, sesuai dengan hasil penelitian Jae Hwan
________________________________________________________________________________ 7 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kim dkk dan Naguib M dkk. Mcloughlin mencatat menurunnya kejadian mialgia (CPK menurun) pada peningkatan ion kalium tidak berbeda bermakna antara kelompok yang mendapatkan pretreatment non depolarisasi atau tidak fakta ini berbeda dengan hasil penelitian Chatterji.18 Perbedaan ini semua dapat disebabkan oleh perbedaan dosis yang digunakan serta dimungkinkan oleh karena masingmasing obat mempunyai dominasi tempat kerja yang berbeda disamping itu kelompok sebaran umur yang lebar menyebabkan data tidak normal, ini disebabkan jumlah pasien yang tidak terlalu banyak sehingga merupakan salah satu keterbatasan dari penelitian ini. SIMPULAN Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/KgBB sebagai pretreatment tidak seefektif Atrakurium dalam mengurangi kenaikan kadar ion kalium darah meskipun lebih baik dibanding dengan obat preteatnent yang lain akibat suksinilkolin. Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB sebagai pretreatment dapat mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat suksinilkolin. Tidak ada korelasi antara peningkatan serum CPK dan peningkatan ion kalium akibat induksi suksinilkolin antara kelompok yang mendapatkan premedikasi MgSO4 40% 40 mg/kgBB dan kelompok yang mendapatkan premedikasi Atrakurium 0,05 mg/kgBB. Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB sebagai pretreatment dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kenaikan kadar serum kreatin fosfokinase akibat pemberian suksinilkolin, sehingga kejadian mialgia dapat dikurangi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut korelasi
antara peningkatan kadar CPK dengan angka kejadian mialgia DAFTAR PUSTAKA 1.
Mc Loughlin C, Elliot P, McCarthy JG, Mirakhur KR. Muscle pains and Biochemical changes Following Suxamethonium Administration After Six pretreatrnent Regimens. Anaesthesia 1993 : 41 : 202-206. 2. Laurence AS. Myalgia and Biochemical change following intermittent Suxamethonium Administration. Anaesthesia 1987 ; 42 : 503-5 I 0 3. Cannon JE. Precurarization. Can J Anaes 1994; 44:177-183 4. PaseNL. Prevention of Succinylcholie Myalgias : A Meta Analysis. Anasthesia and Analgesia 1990; 70 : 477-483 5. Aitkenhead A.& G Smith. Neuromuscular Blockade-Textbook of Anaesthesia, 2nd Ed. New york, 1991:218-219, 417, 446447, 6. Shrivastava chatterji S, Kachhwa s, Daga SR calcium Glukonate prctneatment for prevention of succinylcholine-induced myalgia Anesthesia and analgesia 1983; 62 : 59-62. 7. Spence DLT, Domen & Herbert, Boulette E, Vachiano C, Maye J. A comparation of Rocuronium and Lidocain for The prevention of Postoperative Myalgia After Succinylcholine A&ninistration. AANA Joumal 2002:70 :367-372. 8. Hemmerling TIVI, schimidt J, wolf, Klein, Jacobi. comparation of succinylcholine with two dosds of rocuronium using a new methode of monitoring neuromuscular block at the laryngeal muscles by surface laryngeal electromyography.Britis J Anaes 2000; 85 :251-255. 9. Kim JH, [Iun Chq Lee [IW- Lim HJ, Chang SIf Yoon SM, Comparation of rocuronium and vecuronium hetreatment for Prevention of Fasciculations, Myalgia and Biochemical Changes Following Succinylcholine Administration. Acta Anaethesia Sin 1999; 37 : 173-177. 10. Naguib H. Effect of Pretreafinent with Lysine Acetyl Salicylate on Suxamethoniuminduced myalgia. In : General issues W. Fitch ed. British J Anaes. 1987; 59 : 606-610. 11. Houghton IT. Aunt CST, Lau JTF. Suxamethonium Myalgia : An Ethnic Comparation With and Without pancuronium pretreatment. In : The Association of Anaesthetists of Gt Britian and Irpland ed. Anaesthesia 1992; 69:200-210.
________________________________________________________________________________ 8 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
12. Leeson-Payng Nicoll, Hobbs. use ou Ketorolac in The hevention of Suxamethonium Myalgia. In : British J Anaes.1994:73 :788-790 13. Samad R. Muscle Pain After Succinylcholine Injection and Its Management. Journal Surgery Pakistan. 2003;volume 09, Number 03. 14. Krisnanto D, Saleh SC, Sylvaranto T,. Pengaruh suksinitkholin dosis intubasi terhadap kalium pada penderita di RSUD Dr. Sutomo surabaya. Dalam : Kumpulan Makalah Pra PIB VIII IDSAI Surakartq 1994. 15. Vaugh RS. Potasssium and the perioperative periods. British J Anaes l99l; 67:194-200. 16. Worthley LIG. Fluid and elecholyte therapy. In: T.E.OH, ed. Intensive care Manual. 3'd ed. London: Butterworttrs. 1990:502-5 11. 17. Dobb GJ. Electrolytes and Parenteral rherapy. In: Davidson c. wylie. A Practice of Anaesthesia 5s ed. singapore: Lroydruke.1996:566-568. 18. Moir DD. Thorburn J. obstefic Anaesthesia and Analgesia. 3d ed. London: Balliere Tindal, 1986: 13.
19. Myles PS, Hunt Jo, and Moloney JT. Postoperativi: minor complications. Anaesthesia, 1997 ; 52: 300-306. 20. Katnng, BG, Editor Bahsa Indonesia oleh : sjabana D. dkk : Farmakologi Dasar dan Klinilq Edisi 8-Buku 2 Jakarta; salemba Medika, 2002 : 177-203 21. Sugiri. Penggunaan Magnesium Sulfat dalam tatalaksana Paroksismal Atrial Takikardi. Media Medika Indonesiana 2002: 36(4): 12734. 22. Pokharel M.comparative study of Intravenous Magnesium sulphate and Lignocain in Attenuation of Hemodynamic response to raryngoscopy and tracheal Intubation. Can J Anaesth 2004:49:11286 23. Glaaser IW, clancy cE.cardiac Na+ channel as therapeutic Taget dor Antiarrhyhnic Agents.I.:Kass Rs, Clancy cE. Basis and Treatment of cardiac Arrhyhnias Berlin ; Springer 2006 :99 β 120 24. Chakraborti S, Makdal M, Ghosh S. Protective role of Magnesium in Cardiovasculer disease : A Riview . J Molecular and Celluler biochemistry 2002;238:163-179
________________________________________________________________________________ 9 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran Rosa Afriani*, Heru Dwi Jatmiko* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Every patient undergoing surgery should receive proper pain management. A non steroid antiinflamation drug, 30 mg ketorolac provide analgesic effect as well as 10 mg morphine or 100 mg meperidine without any cardio respiration depression side effect. Ketorolac non selectively inhibit the function of cyclooxigenase enzyme and prostaglandin synthesizes which cause endogenous vasoconstriction and decrease renal perfusion and glomerular filtration. Purpose: To detect effect of intravenous administration of ketorolac on Glomerular Filtration Rate in anesthesia with isoflurane. Method: This research was a second phase clinical trial, designed as double blind randomize control trial. Sample of this study consisted of 48 patients, divided in to two groups. Group Kl : receive intravenous 30 mg ketorolac (1 ml) 1 hour before the end of surgery, and Group K2 : receive intravenous 1 ml saline 1 hour before the end of surgery. Serum creatinine level was measured before and at 6 hours after surgery. Result: There were no significant increase of serum creatinine and no significant decrease of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group. Conclusion: There were no significant increase of serum creatinine and decrease of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group in anesthesia with isoflurane. Key words: ketorolac, Glomerular Filtration Rate, isoflurane ABSTRAK Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi giomerulus pada anestesi isofluran. Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai. Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo. Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan menggunakan agen inhalasi isofluran. Kata kunci: ketorolak, laju filtrasi glomerulus, isofluran ________________________________________________________________________________ 10 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENDAHULUAN Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri dapat mengakibatkan timbulnya Metabolic Stress Response (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh penderita. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan hambatan pada penyembuhan luka, mobilisasi yang terganggu, dan jangka waktu rawat di rumah sakit akan semakin bertambah. Analgesia lebih efektif tercapai dengan menggunakan kombinasi obat yang bekerja pada tempat-tempat yang berbeda sepanjang jalur nyeri dan dengan efek samping yang minimal. Terapi analgetik dengan opioid menimbulkan banyak efek samping antara lain: sedasi, narkosis, depresi respirasi, dan ileus intestinal. Beberapa efek samping tersebut tidak terjadi dengan pemberian anti inflamasi non steroid.3 Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi.4,5 Ketorolak bekerja secara non selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostagiandin yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus.6 Pada penelitian sebelumnya, Merja dkk melaporkan bahwa ketorolak 30 mg menurunkan fungsi glomerulus dan tubulus ginjal meskipun secara statistik tidak bermakna.6 Merja dkk menggunakan agen inhalasi sevofluran. Sampai saat ini belum terdapat penelitian yang menerangkan pengaruh ketorolak
intravena terhadap laju filtrasi glomerulus pada pasien yang menggunakan agen inhalasi isofluran, padahal isofluran lebih sering digunakan di Instalasi Bedah Sentrai RSUP. Dr. Kariadi Semarang dibandingkan dengan sevofluran. Penelitian yang akan kami lakukan adalah bagaimana pengaruh ketorolak intravena terhadap laju filtrasi glomerulus pada anestesi dengan isofluran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi glomerulus pada anestesi isofluran. Sedangkan tujuan khususnya, pertama untuk mengukur kadar kreatinin sebelum dan sesudah pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi glomerulus pada anestesi isofluran, kedua menghitung klirens kreatinin sebelum dan sesudah pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi glomerulus pada anestesi isofluran. METODE Penelitian ini merupakan uji klinik tahap 2 (subjek manusia) fase 3 (bertujuan mengevakuasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada/standar) dengan cara double blind randomized controled trial, dengan bentuk rancangan eksperimental ulang (pretest-postest control group design). Dalam rancangan eksperimental ulang, pengukuran atau observasi dilakukan awal sebelum diberikan perlakuan dan setelah perlakuan. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: Kelompok I (K1): mendapat tramadol 2 mg/kgBB i.v dan ketorolak 30 mg intravena 1 jam sebelum operasi diperkirakan selesai. Kelompok 2 (K2): mendapat tramadol 2 mg/kgBB i.v dan plasebo intravena 1 jam sebelum operasi diperkirakan selesai. Tempat penelitian adalah Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian dimulai setelah
________________________________________________________________________________ 11 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
proposal disetujui sampai tercapai sampel yang telah ditetapkan.
diberikan 20 menit setelah pemberian fentanyl.
Kriteria inklusi, yaitu : usia antara 16-50 tahun, status fisik ASA I - II, menjalani operasi dengan anestesi umum, lama operasi 2 - 3 jam, tidak ada kontraindikasi pemakaian obat anestesi yang digunakan, berat badan normal (BMI 2025 kg/m2). Kriteria eksklusi, yaitu : penyakit otot, penyakit jantung, penyakit ginjal.
Ketika operasi berlangsung, infus diberikan dengan kecepatan yang disesuaikan dengan kebutuhan cairan intra operatif, sedangkan operasi dibatasi 2-3 jam. Satu jam sebelum operasi diperkirakan selesai, pasien diberikan ketorolak (kelompok tramadol-ketorolak) dan plasebo (kelompok tramadolplasebo). Enam jam pasca bedah diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan serum kreatinin.
Pemilihan sampel dilakukan dengan concecutive random sampling, dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan diatas dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok tramadol-ketorolak (Ki) dan kelompok tramadol-plasebo (K1), sehingga masingmasing kelompok berjumlah 24 orang. Semua pasien diberi penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kondisi yang akan dialami selama perlakuan dan bersedia mengikuti penelitian. Pasien dikeluarkan dari penelitian apabila menolak perlakuan, tidak kooperatif, dan lama operasi lebih dari 3 jam. Semua pasien dipuasakan selama 6 jam dan diberikan premedikasi sulfas atropine 0,01 mg/kgBB, midazolam 0,07 mg/kgBB intramuskuler, dan ondansetron 4 mg intramuskuler 30 menit sebelum induksi. Setelah sampai di kamar operasi segera diperiksa sampel darah pasien. Penderita diinduksi dengan thiopentone 5 mg/kgBB, atrakurium besylate 0,5 mg/kgBB, fentanyl 2 οg/kgBB intravena untuk fasilitas pemasangan pipa endotrakeal. Anestesi dirumat dengan O2 50% dan N2O 50%, isofluran 0,5-1 MAC., serta penambahan 0,2 mg/kgBB atrakurium besylale untuk rumatan pelumpuh otot, tramadol 100 mg
HASIL Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien yang menjalani operasi di bidang THT, mata, bedah tumor, bedah ortopedi, badah digestif, dan bedah plastik di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi Semarang dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Kl (ketorolak) dan K2 (plasebo). Uji statistik untuk data normal meliputi jenis kelamin dan status ASA dengan menggunakan MannWhitney. Nilai dinyatakan dengan rerata dan simpangan baku. Uji t dan MannWhitney terhadap karakteristik kedua kelompok menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p<0,05), sehingga dapat dibandingkan. Karakteristik klinis pasien sebelum dan sesudah operasi yang terdiri dari tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan laju nadi menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p > 0,05), sehingga kedua kelompok dapat dibandingkan. Fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan tidak bermakna (p>0,05) pada saat sebelum operasi. Fungsi ginjal pada kelompok ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan tidak bermakna (p > 0,05) pada saat setelah operasi.
________________________________________________________________________________ 12 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Data numerik umur, BMI, serum kreatinin, dan klirens kreatinin menggunakan uji {(independent i test dan paired t test) dengan derajat kemaknaan p< 0,05. Variabel Umur (th) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan (kg) BMI Status ASA (%) ASA I ASA II
Kelompok K1 (n=24) 31,58 Β± 9,86
Kelompok K2 (n=24) 31,33 Β± 9,16
Uji Statistik
P
Uji-t
0,928
12 12 56,58 Β± 7,19 21,62 Β± 1,53
10 14 53,79 Β± 5,59 21,13 Β± 1,07
Mann Whitney
0,140
Uji t Uji t
0,140 0,206
16 8
19 5
Mann Whitney
0,335
Tabel 2. Karakteristik klinis pasien pre operasi Variabel
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Laju Nadi (x/mnt)
Pre operasi Kelompok K1 Kelompok K2 (n=24) (n=24) 121,25 Β± 9,89 120,58 Β± 11,4 75,46 Β± 7,14
74,58 Β± 8,66
86,08 Β± 8,77
88,13 Β± 9,28
Uji Statistik
P
Independent t test Independet t test Independent t test
0,827
Uji Statistik
P
Independent t test Independet t test Independent t test
0,835
0,704 0,438
Tabel 3. Karakteristik klinis pasien post operasi Variabel
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Laju Nadi (x/mnt)
Post operasi Kelompok K1 Kelompok K2 (n=24) (n=24) 121,17 Β± 9,40 121,75 Β± 9,84 73,46 Β± 7,05
76,75 Β± 6,28
83,75 Β± 8,7
85,46 Β± 8,65
0,095 0,499
Tabel 4. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo sebelum operasi Variabel
Kreatinin Klirens kreatinin
Post operasi Kelompok K1 Kelompok K2 (n=24) (n=24) 0,75 Β± 0,18 0,746 Β± 0,13 117,30 Β± 21,91
111,44 Β± 22,66
Uji Statistik
P
Independent t test Independet t test
0,940 0,367
________________________________________________________________________________ 13 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 5. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo setelah operasi Variabel
Kreatinin Klirens kreatinin
Post operasi Kelompok K1 Kelompok K2 (n=24) (n=24) 0,777 Β± 0,19 0,776 Β± 0,15 113,65 Β± 22,24
108,27 Β± 24,76
Uji Statistik
P
Independent t test Independet t test
0,987 0,432
Tabel 6. Delta perubahan kliners kretinin kelompok ketorolak dan placebo Variabel
Kelompok K1 (n=24)
Kelompok K2 (n=24)
Uji Statistik
P
Selisih klirens kreatinin pre op β post op
Kelompok K1 (n=24) Kelompok K2 (n=24)
3,6463 Β± 16,5139 3,1733 Β± 21,2519
Paired t test
0,291
Paired t test
0,472
Delta perubahan klirens kreatinin pada kelompok ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan tidak bermakna (p > 0,05). PEMBAHASAN Ketorolak sangat berguna untuk mencegah nyeri pasca operasi, baik sebagai obat tunggal atau diberikan bersama opioid sehingga mempunyai efek potensiasi. Ketorolak adalah obat analgesia ami inflamasi non steroid dan merupakan analgesia yang bekerja diperifer dengan cara menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus.6 Laju filtrasi glomeruius paling tepat menggunakan klirens inulin, karena inulin difiltrasi secara lengkap di glomerulus, tidak toksik terhadap ginjal, tidak direabsorbsi dan disekresi di tubulus ginjal serta tidak mengalami metabolisme di ginjal.20,21 Karena nilai LFG dengan klirens inulin dirasakan sulit dan tidak praktis, maka untuk keperluan klinis praktis klirens kreatinin telah digunakan secara luas
untuk memperkirakan LFG karena kreatinin difiltrasi dan sebagian kecil disekresi tetapi tidak direabsorbsi dalam dalam Ginjal Diasumsikan bahwa kreatinin diekskresikan semata-mata melalui filtrasi glomerulus.24 Pada penelitian ini diteliti pengaruh ketorolak intravena terhadap laju filtrasi glomerulus pada pasien anestesi isofluran. Penelitian dilakukan terhadap 48 penderita yang menjalani operasi di bidang THT, mata, bedah tumor, bedah ortopedi, badah digestif, dan bedah plastik di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi Semarang dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Kl (ketorolak) dan K2 (plasebo), yang masing - masing kelompok terdiri dari 24 penderita. Dari data karakteristik penderita pada Tabel 1 dan karakteristik klinis penderita sebelum operasi pada Tabel 2, menunjukkan bahwa pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna sehingga keduanya layak untuk diperbandingkan. Hasil pengamatan tambahan meliputi pengukuran tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan laju nadi
________________________________________________________________________________ 14 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sebelum dan sesudah operasi. Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan laju nadi menunjukkan penurunan yang tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo. Pada tekanan darah tersebut, autoregulasi masih bekerja sehingga masih dapat mempertahankan aliran darah ginjal dan iaju nitrasi giomerulus yang stabil. Respon ginjal terhadap penurunan tekanan darah menyebabkan timbulnya aktivasi simpatis. Aktivasi simpatis ini menyebabkan konstriksi arteriol aferen dan eferen yang akan mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Pemeriksaan klirens kreatinin menggunakan serum kreatinin untuk menentukan fungsi ginjal dengan menggunakan rumus Cockcroft dan Gault cukup nyaman karena cara penghitungan yang mudah dan praktis akan tetapi kurang akurat sensitivitasnya, sedangkan penggunaan inulin untuk pemeriksaan laju nitrasi glomerulus yang lebih akurat membutuhkan banyak tenaga dan mahal, sehingga diperlukan penggunaan penanda baru yang akurat, cepat, dan murah sebagai pengganti serum kreatinin untuk menentukan fungsi ginjal misalnya Cyst at in C dalam serum.
Hasil penelitian terutama ditujukan terhadap klirens kreatinin yang dilakukan sebelum dan sesudah operasi. Metoda perhitungan klirens kreatinin pada penelitian ini memakai rumus Cockcroft dan Gauit.
SIMPULAN
Terdapat penurunan klirens kreatinin tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo. Ketidakbermaknaan ini terjadi mungkin pengamatan klirens kreatinin dilakukan 6 jam setelah pemberian ketorolak, sedangkan dari kepustakaan pengamatan dilakukan sampai 3 hari, walaupun pernah dilaporkan juga pada beberapa pasien setelah pemberian dosis tunggal ketorolak terjadi penurunan klirens kreatinin, atau diperlukan tehnik tambahan untuk menghitung klirens kreatinin menggunakan jumlah produksi urin dan kreatinin urin. Penurunan klirens kreatinin tidak bermakna juga dikemukakan oleh Merja dkk6 yang mengukur klirens kreatinin dengan menggunakan agen inhalasi sevofluran. Pemberian obat-obatan yang tidak termonitor, pasien melakukan latihan fisik berat, adanya penyakit otot yang tidak diketahui sebelumnya merupakan factor-faktor yang bisa mempengaruhi laju nitrasi glomerulus.
Dari hasil penelitian terhadap 48 penderita berusia 16-50 tahun yang tidak menderita penyakit otot, penyakit jantung, penyakit ginjal, syok (MAP < 50), menstruasi, demam, menggunakan obat-obatan seperti oksitetrasiklin, netilmisin, trimethoprim-sulfadiazin, metoksifluran, flunixin, gentamisin, penisilin, neomisin, dan kanamisin, yang menjalani operasi di bidang THT, mata, bedah tumor, bedah ortopedi, bedah digestif, dan bedah plastik dengan ASA III di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi Semarang, diperoleh kesimpulan yaitu terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, selama operasi 2 - 3 jam dengan menggunakan agen inhalasi isofluran. Diperlukan pengamatan terhadap serum kreatinin dan klirens kreatinin pada penderita yang mendapat ketorolak intravena dalam jangka waktu yang lama. Diperlukan penggunaan penanda baru yang lebih akurat, cepat, dan murah untuk menentukan fungsi ginjal, sebagai pengganti serum kreatinin.
________________________________________________________________________________ 15 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pederson D. Accelerated surgical stay programme. Annals of surgery 1994; 219:374-81. Bardram L, Funch - Jensen P, Crawford ME, Kehlet H. Recovery after laparoscopic colonic surgery with epidural analgesia and early oral nutrition and mobilisation. Lancet 1995; 345 : 763-4. Wong HY. Non opioid analgesic : use in the perioperative periode. In : Collms VJ. Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Pennsylvania : William & Wilkins ; 1996, 599-610. Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism of action of anti inflamatory drugs. Kluwer academic publisher / William Haqrvey Press ; 1996, 2 - 27. Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac, bupivacain and low - dose heparin on tromboelastographic variables in vitro. Br. J. Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30. Merja L, Maija AT, Koivusalo, Honkanen E, Yalta P,Lindgren L. The effect of ketorolac and sevoflurane anesthesia on renal glomerular and tubular function. 2001. Available from : The Electronic Anesthesia Library. Jung D, Mroszozak EJ, Wu A. Pharmacocinetic of ketorolac and p-hydroxy ketorolac following oral and intramuscular administration of ketorolac tromethamine. Pharmaceutical Res 1989 ; 35 : 423-5. Ding Y, Fredman B, White PF. Use of ketorolac and fentanyl during outpatient gynecologic surgery. Anesth Analg 1998 ; 77: 205 -10. Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism of action of anti inflamatory drugs. Kluwer academic publisher / William Haqrvey Press ; 1996, 2 - 27. Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac, bupivacain and low-dose heparin on thromboelastographic variables in vitro. Br. J. Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30. Jung D, Mroszcak EJ, Bynum L. Pharmacokinetics of ketorolac tromethamine in human after ntravenous, intramuscular and oral administration. Eur J Clin Pharmacol 1998 ; 35: 423 - 25. Gillis JO, Brogden RN. Ketorolac : a reappraisal of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and therapeutic use in pain management. Drug Adis Drug Evaluation 1997, 53(1): 139 - 88. Malmberg AB, Yaksh TL. Hyperalgesia Mediated by Spinal Glutamate or Subtance P
14.
15.
16.
17. 18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
receptor Blocked by Cyclooxygenase Inhibition. Sience 1997;257:1276-9. Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice, 3 rd ed. Philadelphia and New York: Lippincott Raven ; 1999,247 - 56. Ketorolac. Available from : URL : http : //www.rmhonline.com/ modules/goldstandard/ketorolac.html. May 08 2006. Galli G, Panzetta G. Do non-steroidal antiinfl amatory drugs and COX-2 selective inhibitors have different renal effects? J Nephrol 2002; 15: 480-8. Arthur V. Renal physiology. New york : Me Graw-Hill Inc ; 1991,19-52. Markun MS, Suhardjono. Evaluasi penderita penyakit ginjal. Dalam : Soeparman, Waspadji, penyunting. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Badan penerbit FKUI; 1990,189-98. Behnia R. Renal physiology, physiopathology and pharmacologic effect on kidney function. In : Collins VJ. Physiologic and pharmacologic base of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins ; 1996,42145. Achmadi N, Marwoto. Penatalaksanaan anestesi pada penderitaan gagal ginjal kronik. Kumpulan karya ilmiah. Semarang : Bagian Anestesiologi FK Undip ; 1998. Lessard MR, Trepanier CA. Renal function and haemodynamics during prolong isoflurane-induced hypotension in human. Anesihesiology 1991 ; 74 : 860-5. Smith JF. Medical Library. Available from : URL : http: //www.chclibrarv.org /micromed/Q0044300.html. March 20,2005. Boswell MV, Collins VJ. Fluorinated ether anesthetics. In : Collins VJ (editor). Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins A Waferly Co; 1996, 687-91. Nam YT, Kim JS, Park KW. Effect of hypotensive anesthesia with sodium nitroprusside or isoflurane on haemodynamic and metabolic changes. Yonsei MedJ 1991; 33: 320-5.
________________________________________________________________________________ 16 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam Intravena Eva Susana Putri Daya*, Uripno-Budiono*, Heru Dwi Jatmiko* *Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Routine midazolam premedication is given in spinal anesthesia because very useful to give sedation, amnesia, decrease anxiety so that the patientsβ hemodynamic is more stabile. To date, midazolam premedication for Cesarean section is still controversial because can depress nenonate respiratory. It is because data about the pharmacology of transplacental is still limited. In Cesarean section didnβt have bad effect to neonate. This study want to add information about transplacental pharmacology so that analysis the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and time of labor. Objective: To prove the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and time of labor. Method: There were 15 sample who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Patient was injected with 0,02 mg/kgBW intravenous midazolam premedication just before spinal anesthesia (Β± 2 minute). After the umbilical cord cut, the maternal blood sample and umbilical vein blood sample was taken. The level of midazolam plasma was measured by HPLC. Statistic Corelation was analyzed using Person. Result: The aged of mother had positive significant correlation with blood plasma midazolam level of mother (r=0,932 ; ο‘=0,000) and baby ( r=0,578 ; ο‘=0,024 ). The aged of pregnancy had negative significant correlation with mother blood plasma midazolam level ( r= -0,648 ; ο‘= -0,009 ). The weight of the baby had negative significant correlation with baby blood plasma midazolam level ( r= -0,954 ; ο‘=0,000 ). Time of labour have negative significant correlation with blood plasma midazolam level of mother ( r= - 0,760; ο‘=0,001 ) and the baby (r= -0,558 ; ο‘= -0,031 ). Conclusion: There is relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and time of labor Keywords : Midazolam, Spinal Anesthesia, Sectio Caesaria
ABSTRAK Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis 0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai studi farmakokinetika yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.
________________________________________________________________________________ 17 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan : Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan kondisi fisik serta waktu persalinan. Metode : Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal (Β± 2 menit). Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC. Analisa statistik korelasi dengan pearson. Hasil : Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma ibu (r=0,932 ; ο‘=0,000) dan bayi (r=0,578 ; ο‘=0,024). Usia kehamilan mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; ο‘= -0,009). Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma bayi (r= -0,954 ; ο‘=0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; ο‘=0,001) maupun bayi (r= 0,558 ; ο‘= -0,031). Kesimpulan : Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu persalinan Kata kunci : Midazolam, Anestesi Spinal, Sectio Caesaria
PENDAHULUAN Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria mempunyai banyak keuntungan seperti onset cepat, risiko terhadap bayi minimal, serta pencegahan dan penyulit anestesi sudah diketahui dengan baik, sedangkan premedikasi sedasi intravena pada wanita hamil sangat bermanfaat dalam persiapan untuk prosedur medis dan pembedahan pada sectio caesaria, dimana obat premedikasi anestesi yang biasa digunakan untuk sedasi yaitu midazolam. Midazolam selain memberikan sedasi juga dapat mengatasi rasa cemas pasien, memberikan amnesia dan sedikit relaksasi, dengan demikian diharapkan hemodinamik pasien lebih stabil. Dosis premedikasi midazolam intravena untuk ibu hamil yang direkomendasikan aman bagi janin yaitu dengan menggunakan dosis rendah 0,02 mg/kgbb. 1,2,3 Beberapa laporan mendiskusikan pemberian midazolam secara intra vena selama kehamilan tanpa memberikan informasi lebih banyak mengenai
penggunaannya pada saat persalinan.4,5 Penelitian sebelumnya menyatakan dosis tunggal midazolam pada sectio caesar tidak berpengaruh buruk pada Apgar Score dan neurobehaviour score.6 Untuk menyediakan lebih banyak informasi farmakologi klinis terutama mengenai farmakologi transplasenta pada prosedural premedikasi midazolam pada kehamilan aterm yang akan dilakukan sectio caesar dengan anestesi spinal, maka pada penelitian ini kami bermaksud mengukur berapa kadar midazolam plasma darah ibu dan bayi setelah diberi premedikasi midazolam dosis 0,02 mg/kgBB iv. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan consecutive sampling. Tempat penelitian adalah Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Pemeriksaan kadar midazolam plasma darah dilakukan di Bio Equivalen Lab
________________________________________________________________________________ 18 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Jakarta. Penelitian dilakukan sejak November 2008 sampai Januari 2009. Jumlah sampel yang diperlukan untuk penelitian ini seluruhnya adalah 15 sampel ibu dan 15 sampel bayi.
Adapun pelarut untuk HPLC grade antara lain : dichloromethane, hexane, isopropyl alcohol, tetrahydrofuran, t-butyl methyl ether, acetonitrile. Standar internal menggunakan climazolam.
Pasien diberikan oksigen kanul nasal 3 l/mnt, dipasang alat monitoring, diberikan koloid HES 6% sebanyak 500ml dimana sebelumnya dari ruangan telah diberikan kristaloid RL 500 ml dan dievaluasi monitoring hemodinamik. Kemudian pasien mendapatkan premedikasi midazolam 0,02 mg/kgbb iv sesaat ( Β± 2 menit ) sebelum dilakukan spinal anestesi. Anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg, sebelum dilakukan insersi spinal needle 25 G dilakukan infiltrasi subcutis dengan lidokain 2%.
Data-data meliputi data demografi dasar (usia ibu, tinggi badan, berat badan), lab pre operasi (darah rutin, elektrolit, ureum, creatinin, albumin, GDS, ppt), status obstetric (multiparitas, umur kehamilan), hemodinamik ibu (pre operasi, durante operasi (tiap 5 menit), post op), manajemen operatif (waktu yang diperlukan mulai dari premedikasi s/d bayi lahir, durasi operasi, total efedrin), berat badan bayi baru lahir dan Skor apgar menit 1, 5, dan 10. Sampel plasma darah vena umbilikalis diambil sesaat setelah bayi lahir bersamaan diambil sampel darah vena ibu @ 2 cc. Sampel darah vena diambil plasmanya dengan centrifuge kemudian besar kadar midazolam plasma diukur dengan metode HPLC.
Setelah bayi lahir dan tali pusar dipotong diambil sampel darah pada vena umbilikalis bersamaan juga diambil sampel darah vena maternal di regio ante brachii ibu untuk mengukur kadar midazolam dalam plasma darah vena umbilikalis dan plasma darah ibu. Sampel darah masing-masing diambil 2 cc dan dimasukkan ke dalam tabung vakum plastik berisi EDTA, dan segera dikirim ke laboratorium. Kemudian darah vena diambil plasmanya dengan alat pemusing. Selain itu mencatat data penilaian Skor APGAR menit ke 1 dan ke 5 oleh dokter anak/residen anak dan berat badan bayi. Masing-masing sampel darah vena diambil plasmanya dengan sentrifus 3000 rpm selama 45 detik kemudian disimpan dalam lemari es -80ΒΊ C. Media transport sampel menggunakan cooling box yang berisi dry ice. Kadar midazolam plasma darah diukur dengan menggunakan metode HPLC ( High Performance Liquid Chromatography ) dengan sistem grading tehnik column switching. Reagen grade analistis yang digunakan antara lain : sodium hydroxide, orthophosporic acid, disodium hydrogen orthophospat.
Analisa Statistik deskriptif untuk masingmasing variabel numerik dinyatakan dalam rerata Β± simpang baku ( mean Β± SD ). Semua variabel numerik diuji normalitas untuk sebaran data. Analisa korelasi antara usia ibu, berat badan ibu, BMI ibu, usia kehamilan, berat badan bayi serta waktu persalinan dengan kadar midazolam plasma darah ibu dan bayi menggunakan statistik korelasi Pearson. Penyaji dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL Didapat 15 ibu hamil aterm yang menjalani section caesar dengan anestesi spinal yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) didapat 13 orang subyek penelitian (86,7%) dengan kategori ASA I dan 2 orang subyek
________________________________________________________________________________ 19 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 1. Subyek kategori skor ASA
penelitian (13,3%) dengan kategori ASA II. Distribusi frekuensi subyek APGAR penelitian berdasarkan kategori skor ASA juga ditampilkan pada Gambar 1.
12 10
Rerata (Simpang Baku = SB)
8
Umur ibu (tahun)
29,1 (3,22)
6
Umur kehamilan (minggu)
38,8 (1,27)
4
66,5 (11,83)
2
28,9 (4,30)
0
Berat badan ibu (kilogram)
berdasarkan
14
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian Karakteristik
penelitian
ASA I
BMI ibu (kg/m2)
ASA II
Tabel 2. Rerata waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor APGAR (n=15) Karakteristik
Rerata (Simpang Baku)
Waktu dari premedikasi s/d lahir (menit)
17,2 (7,19
Berat Badan Lahir Bayi (gram)
3126,7 (278,94)
Skor APGAR menit ke-1
8,6 (0,63)
Skor APGAR menit ke-5
9,3 (0,59)
Skor APGAR menit ke-10
10,0 (0,00)
Tabel 3. Parameter hemodinamik subyek penelitian sebelum premedikasi, 1 menit setelah premedikasi dan durante operasi Karakteristik
Sebelum premedikasi
1 menit setelah premedikasi
Rerata (SB) Denyut Jantung (x/menit)
Durante operasi (menit ke-) 5
10
15
30
45
60
Rerata (SB)
Rerata (SB)
Rerata (SB)
Rerata (SB)
Rerata (SB)
Rerata (SB)
Rerata (SB)
103,3 (4,98)
91,4 (4,01)
90,1 (3,73)
94,8 (4,41)
99,3 (6,40)
94,3 (4,30)
91,5 (4,78)
90,5 (3,56)
Sistol (mmHg)
118,6 (8,09)
113,2 (7,37)
109,9 (6,56)
108,5 (3,81)
111,1 (5,33)
112,9 (6,51)
117,1 (6,73)
117,9 (7,03)
Diastol (mmHg)
73,9 (6,29)
67,6 (7,38)
64,1 (6,68)
62,5 (7,06)
62,9 (6,50)
66,5 (6,72)
70,5 (6,92)
68,9 (7,53)
MAP (mmHg)
78,5 (5,20)
80,5 (4,53)
84,0 (5,04)
83,6 (5,61)
105,5 (2,15)
105,9 (2,24)
91,3 (2,10)
89,2 (2,46)
SpO2 (%)
99,7 (0,59)
99,9 (0,35)
100,0 (0,00)
100,0 (0,00)
100,0 (0,00)
100,0 (0,00)
100,0 (0,00)
100,0 (0,00)
________________________________________________________________________________ 20 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Kadar midazolam plasma darah vena maternal, vena umbilikalis dan rasio fetomaternal kadar midazolam Karakteristik kadar midazolam Vena Maternal (ng/ mL) Vena Umbilikalis (ng/ mL) Rasio fetomaternal
Rerata (SB)
Median
Minimal
Maksimal
55,04 (32,819) 14,83 (5,909) 0,31 (0,135)
43,55 14,90 0,37
19,87 2,19 0,08
129,64 23,73 0,51
Tabel 5. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah ibu Indikator Usia ibu Berat badan ibu BMI ibu Usia kehamilan Waktu premed s/d lahir
r hitung 0,932 0,006 0,269 0,648 0,760
Ξ± 0,000 0,982 0,333 0,009 0,001
Kriteria Korelasi sangat kuat Tidak bermakna Tidak bermakna Korelasi kuat (-) Korelasi kuat (-)
Tabel 6. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah bayi Indikator Usia ibu Berat badan ibu BMI ibu Usia kehamilan Waktu premed s/d lahir BB bayi Rasio Fetomaternal
r hitung 0,578 0,358 0,425 0,375 0,558 0,954 0,347
Gambar 2. Perbandingan kadar midazolam plasma darah vena maternal dan umbilical subyek penelitian (n=15)
Ξ± 0,024 0,190 0,114 0,168 0,031 0,000 0,205
Kriteria Korelasi cukup Tidak bermakna Tidak bermakna Tidak bermakna Korelasi cukup (-) Korelasi sangat kuat (-) Tidak bermakna
2500 gram dengan berat teringan adalah 2700 gram dan terberat adalah 3600 gram Kadar midazolam plasma darah vena maternal (ibu), vena umbilikalis (bayi) dan rasio fetomaternal kadar midazolam stelah premedikasi midazolam dosis 0,02 mg/kgBB iv ditampilkan pada Tabel 4. Dari Tabel 5 diketahui ada 3 indikator yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar midazolam plasma darah ibu yaitu : usia ibu, usia kehamilan dan waktu antara premedikasi sampai bayi lahir, sedangkan usia dan BMI ibu tidak bermakna.
Waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor APGAR ditampilkan pada Tabel 2. Berat badan lahir bayi seluruhnya >
Dari Tabel 6 dapat dilihat indikator bermakna terhadap kadar midazolam dalam plasma darah bayi yaitu : usia ibu, waktu antara premedikasi sampai bayi lahir dan berat badan bayi, sedangkan berat badan ibu, BMI ibu, usia
________________________________________________________________________________ 21 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kehamilan, rasio fetomaternal tidak bermakna terhadap besarnya kadar midazolam plasma darah bayi. PEMBAHASAN Penggunaan midazolam sebagai suatu metode premedikasi untuk memberikan sedasi, dan mengurangi rasa cemas pada pasien yang akan menghadapi operasi sudah menjadi subyek dari banyak penelitian. Penggunaan midazolam sebagai obat anestesi tambahan untuk prosedur operasi selama persalinan masih jarang, midazolam sebagai premedikasi untuk anestesi spinal belum diteliti secara prospektif. 6,7 Nilai skor APGAR yang rendah pada menit pertama saja tidak menunjukkan hasil akhir dari bayi. Skor APGAR yang renda pada menit pertama menunjukkan bahwa bayi baru lahir memerlukan perhatian medis tetapi bukan merupakan indikasi bahwa bayi tersebut akan mempunyai masalah kesehatan dalam jangka panjang. Dari penelitian analisis retrospektif disimpulkan bahwa skor APGAR pada menit kelima merupakan predictor yang valid untuk menilai risiko kematian bayi baru lahir. Skor APGAR pada menit kelima 7 sampai 10 menunjukkan bahwa kondisi bayi normal, skor APGAR 4, 5, 6 adalah agak rendah dan biasanya memerlukan bantuan medis misalnya dapat diberikan oksigen dan dibersihkan saluran napas, sedangkan skor APGAR kurang dari 4 maka bayi tersebut memerlukan resusitasi. 8,9 Monitoring hemodinamik selama operasi pada seluruh pasien penelitian ini didapatkan hasil yang relatif stabil dan baik. Hal ini menunjukkan tidak ada efek samping premedikasi midazolam maupun anestesi spinal yang merugikan bagi ibu. Perubahan MAP (mean arterial pressure) selama durante operasi masih dalam batas normal menunjukkan perfusi yang baik ke jaringan.
Midazolam dapat menembus sawar plasenta karena mempunyai berat molekul < 500 Dalton. Pada tabel 5, gambar 12 dan 13 didapatkan kadar midazolam plasma darah v. Umbilikalis lebih rendah karena kadar midazolam dalam sirkulasi ib sampai dengan cara proses difusi untuk dapat melalui plasenta. Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah protein pengikat (protein binding), sehingga kadar obat bebas di dalam darah akan meningkat.10 Sehingga mempengaruhi kadar midazolam plasma bayi dimana pada penelitian ini usia ibu mempunyai korelasi positif yang cukup dengan kadar midazolam plasma bayi (r=0,578 ; ο‘=0,024). Usia kehamilan mempunyai korelasi negatif yang kuat dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; ο‘=0,009) karena semakin tua usia kehamilan semakin banyak peningkatan jumlah volume cairan tubuh yang berakibat penurunan kadar obat serum.10 Berat badan bayi mempunyai korelasi negatif yang sangat kuat terhadap kadar midazolam plasma bayi (r= -0,954 ; ο‘= 0,000) karena semakin besar bayi semakin banyak jumlah cairan tubuhnya sehingga kadar obat dalam plasma akan semakin rendah. Waktu persalinan yang diukur mulai premedikasi midazolam sampai bayi lahir (dipotong tali pusat) mempunyai korelasi negatif yang kuat ( r= -0,760 ; ο‘=0,031 ). Hal ini sesuai dengan teori farmakokinetik pemberian obat secara intra vena dimana obat akam mengalami distribusi secara cepat sehingga semakin lama waktu semakin rendah kadar obat yang berada di dalam plasma darah.10
________________________________________________________________________________ 22 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut diatas, pemberian obat pada wanita hamil harus memperhitungkan dosis yang tepat yang didasari pengetahuan tentang fisologi ibu hamil dan farmakokinetik obat yang terjadi pada ibu hamil serta hubungannya dengan kondisi fisik ibu dan lamanya pemberian obat.
3.
4.
5.
SIMPULAN Makin tua usia ibu makin besar kadar midazolam dalam plasma darah ibu dan bayi. Makin tua usia kehamilan ibu makin rendah kadar midazolam dalam plasma darah ibu. Makin besar berat badan bayi makin rendah kadar midazolam yang berada dalam plasma darah bayi. Makin lama waktu persalinan makin rendah kadar midazolam dalam plasma darah ibu maupun bayi. Kadar midazolam dalam plasma darah ibu tidak dipengaruhi oleh ; berat badan ibu atau BMI ibu. Kadar midazolam plasma darah bayi tidak dipengaruhi oleh : berat badan ibu, BMI ibu dan usia kehamilan.
6.
7.
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M, Fritz HG. A comparison between meperidine, clonidine and urapidil in the treatment of postanesthetic shivering. Anesth Analg 2001 ; 95:257 - 60. Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW, Schmidt CC, Reich DGP. A comparison of urapadil, clonidine, meperidine, and placebo in preventing postanesthetic shivering. Anesth Analg 2000 ; 90:954 - 7.
10.
Bigatella L. The post anesthesia care unit. In : Davidson JK, Eckhart WT, Perese DA, eds. Cinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital, 4th ed. Boston : Little Broun and Co, 1993 : 527 43. Sessler DL Temperature monitoring. In : Miller ed. Anesthesia. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone, 1993 : 1227-41. Collins VJ. Temperature regulation and heat problems. In : Collins VJ (ed). Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins, 1996:316-39. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Post anesthesia care. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2002: 169-172. Tsai YC, Chu KS. A comparison of tramadol, amitriptyline, and meperidine for postepidural anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288 1292. Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic receptor antagonists. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : 294 - 305. Thaib MR, Harjanto E, George YWH. Comparative study of the effectiveness of pethidine and clonidine for prevention of post anesthtetic shivering in enflurane anesthesia. Asean Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3 :108-15. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Acute pain management. In : Lee's synopsis of anesthesia. 12l ed. Oxford : Reed Education and Professional Publishing Ltd., 1999:81-2.
________________________________________________________________________________ 23 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit Agatha Citrawati Anom*, Mohamad Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background : Perioperatif haemorrage is a serious problem often faced in every operation process. It is said that the administration of volating anesthetic agents have an effect to inhibit thrombocyte aggregation. Using the same capture point, ADP, as an inductor, we will observe the difference effect between enflurane and halothane administration toward thrombocyte aggregation. Objective : To find out the effect between enflurane and halothane administration toward thrombocyte aggregation. Methods : Experimental study with sampling quota design to 48 patients underwent general anesthetic procedures. The subjects was devided into two groups, 24 patients each, The first group using enflurane as the anesthetic agent while the other group taken halothane during operation process. Each agent was given start from induction until the end of operation process, with the given rate 0,5-1 MAC along with O2 : N2O = 50% : 50% ( Enflurane and Halothane MAC is 1,2 and 0,8, respectively). The specimens were taken from each group before intervention start which is before operation begin and after intervention which is shortly before the administration of anesthetic agents stoped. Specimens was collected from vein as much as 10 cc than stored in the plastic vaccum tubes contain citrate anticoagulant. The speciments immidietly sended to Clinical Pathology Laboratory of Kariadi Hospital to do the thrombocyte aggregation examination. The statistical test using pair t-test and independent samples test (significancy degree < 0,05). Result : The distributionbetween patientsβ characteristic data and variable data was statisticly normal. This study shows that the administration of Halothane using ADP 2 Β΅M as inductor causing a significant decrease (p=0,003) on thrombocyte maximal aggregation percentage, but there was no significant difference (p= 0,340) with enflurane. When using ADP 10 Β΅M as inductor found a simmiliar result, there was a significant difference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after administration of halothane and not with enflurane (p=0,066). Other results shows there was a significant diference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after the administration both halothane and enflurane using 10 Β΅M inductor. Conclusion : Halothane have higher effect in inhibitting thrombocyte aggregation than enflurane. Key word : Enflurane, Halothane, ADP, thrombocyte aggregation ABSTRAK Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah serius yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi inhalasi dikatakan mempunyai pengatuh dalam menghambat agregasi trombosit. Dengan titik tangkap yang sama yaitu ADP sebagai induktor akan diamati perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan terhadap Agregasi Trombosit. ________________________________________________________________________________ 24 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan : untuk mengetahui perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan terhadap agregasi trombosit. Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 48 pasien yang menjalani anestesi umum. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n:24), kelompok I menggunakan Enfluran sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi dan kelompok II menggunakan Halotan sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi, yang diberi sejak awal induksi sampai dengan operasi berakhir dengan besar pemberian 0,5 β 1 MAC bersama O2 : N2O = 50 % : 50 %. (MAC enfluran : 1,2 dan halotan : 0,8). Masing β masing kelompok akan diambil spesimen sebelum perlakuan (sebelum operasi) dan sesudah perlakuan (sesaat sebelum obat anestesi inhalasi dimatikan). Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dilakkan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit Uji statistik menggunakan pair t-test dan independent t-test (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Hasil : karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal trombosit yang bermakna antara sebekum dan sesudah pemberian halotan (p = 0,001) sementara tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada enfluran (p = 0,066). Pada kelompok enfluran didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit sebesar 81,46ο±4,38 dan pada halotan 76,58ο±5,15, sehingga menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p = 0,01). Sesudah perlakuan didapatkan gambaran normoagregasi 77,8 % pada kelompok yaang memperoleh enfluran dan 22,2 % pada kelompok halotan. Sementara gambaran hipoagregasi 66,6 % didapatkan pada kelompok yang menperoleh halotan dan 33,4 % pada kelompok enfluran. Secara statistik halotan secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada enfluran, p = 0,03 (p < 0,05). Kesimpulan : Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran Kata Kunci : Enfluran, halotan, ADP, agregasi trombosit PENDAHULUAN Perdarahan durante dan pasca operasi masih merupakan masalah serius yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Apabila tidak tertanggulangi akan menimbulkan kondisi yang akan menyulitkan, dan berpeluang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas perioperatif. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kelainan hemodinamik durante dan pasca operasi, diantaranya: jenis operasi, lamanya operasi, jumlah perdarahan, kompetensi operator, obat anestesi yang digunakan serta faktor intrinsik pasien seperti beratnya penyakit, penyakit sistemik yang menyertai maupun kelainan perdarahan.
Mekanisme fisiologis tubuh untuk mengendalikan perdarahan yaitu dengan cara mengaktifkan proses hemostasis dan pembekuan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan akan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endothel. Proses ini akan melindungi individu dari perdarahan masif sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan atau trombosis dan penyumbatan cabang-cabang vaskuler yang dapat mengancam nyawa. Tiga faktor utama yang bertanggungjawab dalam proses hemostasis adalah: (1) vasospasme pembuluh darah, (2) reaksi trombosit (adhesi, pelepasan, dan agregasi), (3) pengaktifan faktor-faktor koagulasi.1,2
________________________________________________________________________________ 25 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Disfungsi trombosit diketahui merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan selama periode perioperatif, yang merupakan masalah serius dalam pengelolaan pasien yang menjalani operasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi trombosit adalah interaksi obat-obat yang digunakan selama proses anestesi dengan trombosit. Interaksi tersebut dapat memperberat risiko komplikasi perdarahan, mengingat peran trombosit yang penting pada proses homeostasis durante dan pasca pembedahan.3 Suatu kepustakaan dari Departement of Anestesiology and General Intensive Care University of Vienna Austria, menyebutkan bahwa halotan merupakan agen anestesi yang mempunyai pengaruh dalam menurunkan afinitas ikatan reseptor tromboksan A2 sebagai suatu agonis-trombosit yang poten. Sementara dari sumber yang sama, dikemukakan bahwa isofluran dikatakan tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah trombin, konsentrasi IP3, maupun konsentrasi Ca2+ intraseluler yang beperan dalam fungsi agregasi 4 trombosit. Dalam suatu studi in vitro Ueda, dkk menyatakan isofluran mempunyai peran dalam menurunkan aktivasi agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP, namun tidak demikian dengan pendapat studi Hirakata. Sementara sejumlah studi klinis menunjukkan penurunan yang besar pada agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP pada pasien-pasien yang mendapatkan anestesi halotan, walaupun dikatakan potensi hambatan agregasi yang terjadi bersifat reversible namun menurut penelitian Dalsgaard halotan juga secara signifikan memperpanjang waktu perdarahan selama teranestesi halotan. Dalam menggunakan obat anestesi diperlukan pertimbangan yang meliputi
indikasi, kontra indikasi, efek samping sampai dengan komplikasi. Halotan termasuk agen inhalasi yang mempunyai koefisien partisi darah β gas yang relatif tinggi (2,3) karena kelarutannya dalam darah sedang, sehingga diperlukan lebih banyak molekul yang larut sebelum terjadi perubahan tekanan parsial yang berarti, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pencapaian tersebut juga relatif lebih lambat bila dibandingkan isofluran yang mempunyai koefisien partisi darah β rendah (1,40). Halotan dapat dikategorikan sebagai agen yang mula kerjanya sedang dan pemulihannya sedang (obat dimetabolisme oleh tubuh > 40 %), sementara isofluran mempunyai mula kerja awal dan pemulihannya sedang (obat dimetabolisme tubuh hanya < 2 %). Namun demikian halotan pada beberapa keadaan tetap menjadi pilihan, terutama karena sifatnya yang tidak menyebabkan iritasi saluran jalan napas, agen ini sering digunakan pada metode induksi cuff-dalam anestesi pediatrik juga aman bagi penderita asma karena mempunyai sifat bronkodilator.5 Disamping itu halotan mempunyai keunggulan dari segi ekonomis, karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan agen-agen inhalasi lainnya termasuk isofluran, sehingga pada beberapa rumah sakit terutama di beberapa rumah sakit tipe C, halotan tetap menjadi pilihan walaupun mempunyai sifat β sifat merugikan seperti aritmogenik, hepatotoksik, menyebabkan depresi miokardium, meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) serta dapat menurunkan cardiac-output.5 Oleh karena itu pemakaian halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan penurunan curah jantung (misalnya pada penderita dengan kelainan jantung atau keadaan syok), pada pasien dengan kelainan ritme jantung, gangguan hepar maupun pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.6
________________________________________________________________________________ 26 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sementara Isofluran saat ini merupakan agen inhalasi yang paling digemari mengingat sifatnya yang minimal menyebabkan depresi sistem kardiovaskuler, tidak bersifat aritmogenik dan relatif tidak menaikkan tekanan intrakranial, walaupun mempunyai sifat menyebabkan iritasi saluran pernapasan sehingga bukan menjadi pilihan untuk metode induksi dengan cuff dalam pada anak-anak Isofluran dan halotan kita ketahui mempunyai kelemahan dan keunggulan masing β masing, namun pada penelitian berikut kami berusaha melihat interaksi masing-masing obat tersebut terhadap agregasi trombosit, mengingat pentingnya peran trombosit dalam proses homesostasis pada suatu proses pembedahan. Agregasi trombosit dinilai melalui suatu pemeriksaan yang disebut dengan Tes Agregasi Trombosit (TAT). Teknik yang penting untuk pemantauan in vitro yaitu hambatan respon agregasi trombosit oleh agonis trombosit yang diberikan. Beberapa agonis/induktor yang dapat digunakan adalah trombin, TxA2, asam arakidonat, serotonin, vasopresin, dan ADP yang dipakai pada Laboratorium Patologi Klinik di RS Dr. Kariadi. TAT berdasarkan perubahan transmisi cahaya sampai sekarang masih dianggap sebagai baku emas untuk menilai fungsi agregasi trombosit. Spesimen pemeriksaan yang digunakan adalah plasma dari whole blood pasien yang diberikan antikoagulan sitrat. Alat yang digunakan adalah agregometer dengan daya pemantauan agregasi tubidimetrik. Setiap peningkatan transmisi cahaya dicatat sebagai suatu agregasi trombosit.7 Hasilnya akan dididapatkan persen maksimum agregasi trombosit yang terjadi dengan pemberian ADP 2 Β΅M ; 5Β΅M dan 10 Β΅M sebagai induktor agonis trombosit.
Pada penelitian ini secara khusus akan membandingkan hasil TAT sampel yang terpapar isofluran dengan yang terpapar halotan, dengan demikian akan diperoleh perbedaan pengaruh pemberian halotan dan isofluran terhadap agregasi trombosit. METODE Penelitian ini merupakan uji klinik dengan bentuk rancangan eksperimental ulang ( pretest dan posttest control group design). Dalam rancangan eksperimental, pengukuran atau observasi dilakukan di awal dan setelah perlakuan.9 Ruang lingkup penelitian Anestesiologi dan tempat melaksanakan pemeriksaan laboratorium di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel diambil dari pasien yang menjalani operasi elektif di Instalasi Bedah Sentral RS Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, menggunakan βRandomized Clinical Control Trialβ dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: Kelompok 1 (K1): menggunakan Isofluran sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi, Kelompok 2 (K2): menggunakan Halotan sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi Kriteria inklusi : Wanita, usia antara 19 35 tahun, Status fisik ASA I-II, Menjalani operasi dengan anestesi umum, Lama operasi 1 - 3 jam, BMI normal. Kriteria eksklusi : Pasien dengan kadar trombosit < 100.000 / Β΅L, Pasien dengan kadar kolesterol > 200 mg/dl, Pasien yang mendapat pemberian koloid > 1000 cc selama perlakuan (selama pemberian volatile agent), Pasien yang mendapat pemberian tranfusi darah selama perlakuan (selama pemberian volatile agent)
________________________________________________________________________________ 27 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Data yang terkumpul kemudian diedit, dikoding dan di-entry ke dalam file komputer. Setelah itu dilakukan cleaning data. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung proporsi gambaran karakteristik responden menurut kelompok perlakuan (isofluran dan halotan). Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Dilakukan pembuatan grafik pada gambaran agregasi trombosit menurut kelompok perlakuan (isofluran dan halotan). Analisis analitik dilakukan untuk menguji perbedaan persen agregasi maksimal trombosit pada kedua kelompok dengan uji paired t-test. Semua uji analitik menggunakan Ξ± = 0,05. Semua perhitungan statistik menggunakan software SPSS 11.5 HASIL Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan pemberian isofluran dan halotan terhadap agregasi platelet pada 48 orang penderita yang menjalani operasi dengan status fisik ASA I dan II. Uji normalitas One Sample Kolmogorov Smirnov digambarkan pada tabel 1, dimana karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok memliki distribusi yang normal (p > 0,05), sehingga untuk uji homogenitas diperlukan analisis statistik dengan independent t test. Hasilnya didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak bermakna, p > 0,05) dari semua variable yakni umur, BMI, tekanan darah sistole, tekanan darah diatole, nadi, status ASA dan lama operasi sebelum dilakukan perlakuan. Pada Tabel 2 menunjukkan data sebelum perlakuan pada kelompok I (Isofluran) dan II (Halotan) didapatkan hasil uji normalitas menunjukkan nilai % agregasi trombosit maksimal berdistribusi normal
dengan induktor 10 ΞΌM ADP ( p = 0,828 dan 0,954). Sementara pada Tabel 3 menunjukkan data sesudah perlakuan pada kelompok I (Isofluran) dan II (Halotan) didapatkan hasil uji normalitas Shapiro Wilk menunjukkan nilai % agregasi maksimal trombosit berdistribusi normal dengan induktor 10 ΞΌM ADP ( p = 0,447 dan 0,975). Data kemudian dianalisis secara parametrik menggunakan uji pair t-test untuk melihat perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan 10 ΞΌM ADP. Dari Tabel 4 nampak bahwa sebelum dan sesudah perlakuan dengan induktor ADP 10 ΞΌM pada kelompok isofluran didapatkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap % agregasi maksimal trombosit dengan p = 0,066 (p> 0,05). Sedangkan untuk kelompok halotan terbukti menyebabkan penurunan % agrgegasi maksimal trombosit yang secara statistik berbeda secara bermakna p = 0,001 (p< 0,05). Pada Grafik 1 digambarkan perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok dengan menggunakan induktor 10 ΞΌM ADP. Dalam Tabel 5 digambarkan bahwa sebelum diberi perlakuan antara kelompok isofluran dan halotan yang diberi induktor ADP 10 ΞΌMditemukan perbedaan % agregasi maksimal trombosit yang tidak bermakna p = 0,995 (p > 0,05), kemudian yang sudah diberi perlakuan antara kelompok isofluran dan halotan yang diberi induktor ADP 10 ΞΌM juga ditemukan perbedaan % agregasi maksimal trombosit yang bermakna p = 0,001 (p < 0,05). Pada Grafik 2 menggambarkan perbedaan rerata % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian isofluran dan sesudah
________________________________________________________________________________ 28 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pemberian halotan dengan ADP 10 ΞΌM sebagai induktor. Hasil Tes Agregasi Trombosit yang terbaca oleh PACKS-4 selain menunjukkan persen agregasi trombosit juga menggambarkan pola kurva agregasi yang terbentuk oleh masing-masing dosis induktor ADP pada masing-masing kelompok perlakuan. Semua sampel pada kedua kelompok sebelum perlakuan mempunyai gambaran normoagregasi.
Kemudian sesudah perlakuan didapatkan gambaran normoagregasi 77,8 % pada kelompok yaang memperoleh isofluran dan 22,2 % pada kelompok halotan. Sementara gambaran hipoagregasi 66,6 % didapatkan pada kelompok yang menperoleh halotan dan 33,4 % pada kelompok isofluran. Secara statistik halotan secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada isofluran, p = 0,03 (p < 0,05).
Tabel 1. Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok No 1 2 3 4 5 6
7
Variabel Umur (tahun) Body Mass Index Tekanan Darah Sistol (mmHg) Tekanan Darah Diastol (mmHg) Nadi Status ASA ASA I ASA II Lama Operasi (menit)
Kel. Isofluran (n=24) 27,00ο±6,34 23,13ο±2,01 120,71ο±11,91 73,21ο±13,35 85,46ο±8,65
Kel. Halotan (n=24) 29,63ο±5,72 23,67ο±1,48 125,00ο±13,14 70,67ο±11,63 83,75ο±8,70
22 2 58,13ο±13,42
21 3 60,17ο±14,47
p 0,139 0,296 0,242 0,486 0,499 0,640 0,615
Tabel 2. Uji normalitas rerata % agregasi trombosit sebelum perlakuan Variabel % agregasi maks. trombosit
Induktor 10 ΞΌm ADP
Perlakuan Kel I Kel II
P 0,828 0,954
Keterangan distribusi normal distribusi normal
Tabel 3. Uji normalitas rerata % agregasi trombosi sesudah perlakuan Variabel % agregasi maks. trombosit
Induktor 10 ΞΌm ADP
Perlakuan Kel I Kel II
p 0,447 0,975
Keterangan distribusi normal distribusi normal
Tabel 4. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 ΞΌM) No Keterangan 1 Kel Isofluran 2 Kel. Halotan * = bermakna (p<0,05)
Sebelum 82,89ο±4,11 82,90ο±4,42
Sesudah 81,46ο±4,38 76,58ο±5,15
P 0,066 0,001*
________________________________________________________________________________ 29 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
84 82 80 78 76 74 72
adp 10 isofluran
sebelum sesudah Grafik 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan
Tabel 5. Perbedaan rerata persen agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 ΞΌM) No
Keterangan
Kel Isofluran
Kel. Halotan
P
1
Sebelum
82,89ο±4,11
82,90ο±4,42
0,995
2
Sesudah
81,46ο±4,38
76,58ο±5,15
0,001*
82 81 80 79 78
adp 10 isofluran
77 adp 10 halotan
76 75 74 sesudah
Grafik 2. Perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian pemberian halotan
isofluran dan sesudah
30
20
20
14 10 10
Count
kelompok 4
kel halotan kel i sof luran
0
Normoagregasi - hipoagregas i
Grafik 3. Perbedaan isofluran dan halotan dalam menyebabkan hipoagregasi
________________________________________________________________________________ 30 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PEMBAHASAN Hellem di tahun 1960 melakukan observasi tentang suatu molekul kecil yang berasal dari eritrosit dapat memacu adhesi trombosit pada gelas. Olligard menjumpai bahwa molekul tersebut juga menyebabkan agregasi trombosit. Gaardener dan kawan-kawan mengidentifikasi molekul/ substansi tersebut sebagai ADP.25 Selanjutnya ADP dikenal sebagai salah satu agonis/ induktor tertua yang dapat memicu aktivasi trombosit. Agonis ini akan menginduksi tranduksi sinyal yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan.26 ADP yang terikat pada reseptor (integrin) di permukaan trombosit mengaktifkan enzim fosfolipase A untuk memecah fosfolipid membran trombosit sehingga asam arakidonat dilepaskan. Enzim siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin sintase) mengkatalisis transformasi asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2), lalu enzim peroksidase mengubah PGG2 menjadi PGH2 (prostaglandin H2), selanjutnya PGH2 akan diubah menjadi tromboksan A2 (TxA2).27,28 Efek biologik TxA2 menyebabkan pelepasan granula sekunder dari trombosit, merangsang sekresi ADP oleh trombosit sendiri sehingga terjadi agregasi trombosit irreversible. Disamping itu, setelah ADP terikat pada reseptornya maka trombosit akan mengalami perubahan bentuk dari cakram menjadi bulat, sehingga reseptor untuk fibrinogen yaitu GP IIb-IIIa, fibrinogen, tromboksan A2, diperlukan kofaktor ion kalsium atau magnesium, fibronektin, GP Ib-IX, untuk mengawali agregasi trombosit. Ion kalsium akan menghubungkan fibrinogen dimana fibrinogen menjadi jembatan antar trombosit yang akan mengikat trombosit yang berdekatan dalam suatu agregat.
Respon trombosit tergantung dari kadar ion kalsium (transmiter) yang dilepaskan ke dalam sitoplasma. Peningkatan kalsium intrasel memudahkan pembentukan asam arakidonat yang akan dimetabolisir menjadi TxA2.29 Menurut penelitian terdahulu pada kelompok umur yang sama telah disimpulkan bahwa nilai rujukan % agregasi maksimal dengan induktor ADP 2 Β΅M : 14,51 β 29,29 % dengan pola kurva gambaran satu gelombang agregasi primer reversible (mengalami disagregasi).30 Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa penggunaan ADP dengan kadar rendah ( 0,5-2,5 Β΅M ) akan menyebabkan terjadinya respons agregasi primer yang bersifat reversible. Pada keadaan in vitro ini, pertama-tama ADP yang ditambahkan terikat pada reseptornya dan melepaskan ion Ca2+. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk trombosit yang direfleksikan dengan peningkatan ringan absorbans pada agregometer, setelah itu terbentuk kompleks atau ikatan dengan fibrinogen pada kontak antar sel sehingga terjadi agregasi reversible. Disimpulkan bahwa ADP 2 Β΅M merupakan kadar induktor terendah yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk menetapkan kemungkinan hiperagregasi yaitu apabila nilai % agregasi maksimal trombosit lebih tinggi dan rentang nilai rujukan tertinggi disertai pola kurva agregasi irreversible.31,32 Sementara nilai rujukan % agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP 10 Β΅M : 66,3 - 97,7 %, dikatakan bahwa induktor ADP > 5 Β΅M secara langsung akan memacu pembentukan agregasi trombosit tanpa tergantung kandungan ADP yang dilepaskan oleh trombosit sendiri. ADP dengan dosis ini dianggap dapat digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan keadaan hipoagregasi apabila nilai % agregasi
________________________________________________________________________________ 31 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
maksimal trombosit lebih rendah dari rentang nilai rujukan terendah, sehingga pada penelitian ini induktor yang paling tepat digunakan yaitu dengan dosis ADP 10 Β΅M. Pada penelitian Tes Agregasi Trombosit dilakukan pemberian induktor dosis tinggi diharapkan akan menyebabkan agregasi trombosit primer irreversible diikuti pelepasan granula padat dan granula Ξ± yang kemudian menyebabkan aktivasi jalur asam arakidonat dan pembentukan tromboksan A2, menghambat aktivitas enzim adenil siklase sehingga terjadi penurunan siklik AMP (cAMP). ADP yang disekresi granula padat akan merangsang agregasi lebih lanjut sehingga agregasi trombosit bertambah, dan sewaktu-waktu dapat membentuk kurva bifasik.33 Sementara hasil lain dari penelitian ini bahwa dengan ADP 10 ΞΌM untuk kelompok isofluran antara sebelum dan sesudah perlakuan juga memberi perbedaan yang tidak bermakna p = 0,066 (p > 0,05), hal ini semakin memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa isofluran bisa dikatakan tidak mempengaruhi secara bermakna respon trombosit terhadap aktivasi ADP. Pada pola kurva yang terbentuk dengan ADP 10 ΞΌM pada kelompok isofuran juga terlihat terbentuk gelombang bifasik disebut juga sebagai irreversible double wave aggregations menunjukkan terjadinya respon optimal dimana respons agregasi primer terhadap aktivasi GP IIb/IIIa di permukaan trombosit membentuk kurva datar singkat yang diikuti respon sekunder yang diikuti oleh respon sekunder yang lebih besar (hasil dari degranulasi trombosit) dan bersifat irreversible.33 Sedangkan pada kelompok halotan dengan induktor 10 ΞΌM antara sebelum dan sesudah perlakuan didapatkan
perbedaan yang bermakna p = 0,001 (p< 0,05). Hasil ini mendukung pengamatan awal yang dilakukan oleh Ueda, dimana dikatakan halotan dalam konsentrasi klinis terbukti menurunkan agregasi trombosit yang dirangsang ADP secara in vitro. Dengan ADP 10 ΞΌM diharapkan terjadi pelepasan granula sekunder dari permukaan trombosit dan terbentuklah agregasi sekunder, dimana perlu diingat agregasi sekunder terjadi akibat pelepasan granula padat setelah terjadinya agregasi primer sehingga kembali membuat jalur arakidonat dan terbentuk tromboksan A2. Tromboksan A2 ini akan menurunkan konsentrasi cAMP (Adenosin Mono Phosphat cyclic) yang berfungsi mengendalikan konsentrasi ion Kalsium bebas yang dibutuhkan dalam proses agregasi. Kadar cAMP yang tinggi menyebabkan kadar ion Kalsium bebas dalam trombosit yang digunakan dalam proses agregasi.12 Penelitian ini juga disebutkan bahwa sesudah pemberian isofluran dan sesudah pemberian halotan dengan induktor 10 ΞΌM ditemukan perbedaan yang bermakna antara sesudah pemberian isofluran dan sesudah pemberian halotan dengan p = 0,001 (p< 0,05), dimana pada halotan terjadi penurunan rerata % agregasi maksimal trombosit. Hal tersebut memperkuat pernyataan yang mengatakan pemberian halotan secara bermakna menurunkan aktivasi ADP pada proses terjadinya agregasi trombosit bila dibandingkan dengan isofluran. Pemberian induktor ADP 10 ΞΌM merupakan induktor terkuat yang umumnya digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan keadaan hipoagregasi apabila nilai % agregasi maksimal trombosit lebih rendah dari rentang nilai rujukan terendah dan disertai pola kurva agregasi reversible. Alasan pemilihan ADP sebagai induktor disamping induktor lain seperti : epinefrin, kolagen,
________________________________________________________________________________ 32 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
trombin, asam arakidonat yaitu karena dianggap paling tepat dalan menilai funsgsi agregasi trombosit, dimana hanya selektif untuk agregasi trombosit dan stimulasinya bersifat langsung. Bersama epinefrin merupakan induktor berkekuatan lemah dan menimbulkan respon yang sama namun dilaporkan 30 % dari populasi normal tidak memberi respon terhadap epinefrin. Sedangkan kolagen dan trombin sebgai induktor kuat berperan utama memacu trombosit melepaskan ADP dan tromboksan A2.7 Hasil dari penelitian ini mendukung penelitian sejenis penelitian Dalsgaard, dkk yang menyatakan bahwa halotan menurunkan sensitivitas ADP terhadap terjadinya agregasi trombosit, namun penelitian tersebut juga menghubungkan dengan kejadian memanjangnya waktu perdarahan yang secara signifikan ditemukan hubungan yang kuat di antaranya. Walaupun peran agregasi trombosit pada manifestasi memanjangnya waktu perdarahan dianggap mempunyai peran besar, namun juga harus dipikirkan penyebab lainnya dimana juga terjadi relaksasi sel-sel otot polos pembuluh darah akibat halotan di samping akibat pengaruh-pengaruh komponen lain seperti faktor pembuluh darah dan faktor koagulasi.21 Sementara isofluran yang pada penelitian ini dinyatakan secara tidak bermakna menurunkan rerata agregasi maksimal trombosit berarti mundukung penelitianpenelitian sebelumnya seperti Ueda, dkk dan Dogan, dkk (1999) yang membandingkan isofluran preinduksi, durante operasi dan 1 jam pasca operasi sesudah operasi dimana terjadi penurunan agregasi maksimal trombosit yang tidak signifikan pada durante operasi
dibandingkan operasi.
preinduksi
dan
pasca
Menurut beberapa sumber dinyatakan bahwa potensi hambatan agregasi trombosit akibat obat-obat anestesi inhalasi ini bersifat reversible, akan kembali ke fungsi semula seiring dengan hilangnya paparan obat. Ini menjelaskan mengapa beberapa penelitian sukar menjelaskan hambatan yang terjadi akibat paparan obat anestesi inhalasi akibat kemungkinan sebagian konsentrasi obat yang mengalami evaporasi. Pada penelitian ini sudah dikecilkan kemungkinan tersebut dengan pengambilan spesimen langsung dengan tabung vakum.21 Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penilitian ini selain melihat perbedaan respon pemberian isofluran maupun halotan terhadap rerata agregasi maksimal yang terjadi, juga membandingkan hasil interpretasi tes agregasi trombosit dengan mengamati pola kurva agregasi, yang akhirnya bila keduanya digabungkan semakin mendukung bahwa halotan secara bermakna selain menurunkan rerata agregasi maksimal trombosit juga menyebabkan terjadinya hipoagregasi trombosit lebih besar daripada isofluran. Hal ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan tambahan dalam memilih obat anestes inhalasi terutama pada pasien dengan kelainan perdarahan atau yang beresiko terjadi perdarahan masif perioperatif, dan dari hasil penelitian ini isofluran dianggap lebih baik daripada halotan.21 SIMPULAN Tidak terdapat perbedaan bermakna pada % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah pemberian isofluran
________________________________________________________________________________ 33 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Terdapat perbedaan bermakna pada % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah pemberian halotan Terdapat perbedaan bermakna pada % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian isofluran dan sesudah pemberian halotan. Halotan secara bermakna menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada isofluran. Penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam memilih obat anestesi inhalasi, terutama pada penderita dengan kelainan koagulasi maupun pada operasi yang cenderung terjadi perdarahan masif . Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah pemberian obat anti perdarahan dapat mengurangi efek halotan dalam menghambat proses agregasi trombosit.
7.
8.
9.
10.
11.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Catherine M. Baldy. Pembekuan dalam : Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep linis proses β proses penyakit. Edisi ke 4. Jakarta : EGC : 1995, 264 β 5 Kozek-Langenecker. The effect of drugs used in anesthesia on trombosit membrane receptors and on trombosit function. Medical Chemistry Reviews-online, Volume 1, Number 1, January 2004 pp 101 β 110 on line] : URL. http://www.ingentaconnect. com/content/ben/mcro/2004/000000001/0000 000/art00012 Lisyani BS. Tes agregasi trombosit untuk pemantauan terapi anti trombosit. Dalam : Purwanto AP, Vincencia L, Megawati T. Kumpulan naskah simposium penyakit jantung koroner. Semarang : CV Agung ; 2005, 23 β 34 Rifkin RM. The megakaryocyte trombosit system. In : Stiene EA. Lotspeich CA, Koepke JA eds. Clinical hematology principles, procedurs, correlation. 2nd ed. Philadelphia : Lippincott ; 1998 : 689 β 706 Hawinger J. Hemostasis and thrombosis. In : Colman R, Hirsh J, Marder V, et al. Basic principles and clinical practice. Philadelphia : JB Lippincott : 1994, 603 β 28 Ashby B, Colman RW, Daniel JL, Kunapuli S, Smith JB. Trombosit stimulatory and inhibitory receptors. In : Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Hemostasis and thrombosis : basic principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Walkins ; 2001 : 505 β 20 Freedman JE, Keaney JF. Vitamin E inhibition of trombosit aggregation is independent of antioxidant activity. Journal of Nutrition. 2001;131:374S-377S.) Sluand EM, Klein HG. Effect of albumin on the inhibition of trombosit aggregation by beta lactam antibiotics. Blood Journal, Volume 79. Issue 8, pp 2002 β 2027, 4/15/1992 Rahman K, Billington D. Dietary supplementation with aged garlic extract inhibits ADP-induced trombosit aggregation in human. Journal of nutrition ; 2000, 130 : 2662 β 5 Allison GL, Lowe Gm. Aged garlic extract and its constituents inhibiut trombosit aggregation through multiple mechanism. American Society for Nutrition J. Nutr. 136:782S-788S, March 2006 Hirakata, Nakamura, et al. Trombosit aggregationis impaired during anesthesia with sevufluran but not with isofluran. Canadian Jurnal of Anesthesia, November 1997, Volume 44, Number 11. Dogan, Varlik, et al. The in vitro effevts of isofluran, sevofluran and propofol on trombosit aggregation. Anesthesia and Analgesia, February 1999, Volume 88, Number 2. Patel P, Gonzalez R. Impact of adenosine diphosphate and kalsium chelation on trombosit aggregation. Journal of american College of Cardiology Foundation ; 2006, 47 : 464 β 465 [on line] : URL. http://www.content.onlinejacc.org/cgi/conten t/full/j.jacc.2005.10.032.VI Colman RW. Aggregin : a platelet receptor that mediates activation. FASEB J 1990 ; 4 : 1425 β 35 Parise LV, Boudignon-Prouddhon C, Patricia J,Naik KP, Naik UP. Platelet ini hemostasis and thrombosis. In : Lee GR Foerster J, Lukens J, Paraskevas F,Ge\reer JR, Rodgers GM eds. Winthrobeβs Clinical Hemo\atology. 10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ; 1999 : 661 β 63 Altman R, Luciardi HL, Muntaner J, Herrera RN. The antithrombotic profile of aspirin. Aspirin resistance, or simple failure? Thrombosis Journal 2004 ; 2 (1). Stenberg PA, Hill RJ. Platelets and megakaryocytes. In : Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM eds. Winthrobeβs Clinical Hemo\atology.
________________________________________________________________________________ 34 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
18.
19.
20.
21.
10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ; 1999 : 61560 Lisyani BS. Hasil tes agregasi trpmbosit pada subyek sehat kelompok usia 19 β 39 tahun dibandingkandengan 40 tahun ke atas. Media Medika Indonesiana vol 41 no.2, 2006 : 69 β 77 Koepke JA. Laboratory evaluation of platelets and Quantitive and qualitative disorders of platelets. In : Martin EAS, Lotspeich-steininger CA, Koepke FA eds. Clinical hematologu principles, Procedures, correlations. 2nd. New York : Lippincott ; 1998 : 70716 Laffan MA, Manning RA. Investigation of hemostasis. In : Lewis Dm, Bain BJ, Bates I, eds. Practical hematology. 9th ed. London : Churchill Livingstone ; 2001 : 339 - 4 Kottke-Marchant K, Corcoran G. The laboratory diagnosis of platelet disorders. An algorithmic approach. Arch Panthol Lab Med, 2002 ; 126 : 133 - 46
________________________________________________________________________________ 35 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Pasca Operasi dan Rawat Intensif pada Pasien Trauma Rindarto*, Jati Listiyanto Pujo*, Ery Leksana * *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical, because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher. Management of trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of hypothermia, coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is because of these factors is the leading cause of death in the first hours after trauma. ABSTRAK Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU, tingkat survival pasien trauma menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma. PENDAHULUAN Trauma karena tindak kekerasan dan kecelakaan lalu lintas membunuh lebih dari 2,5 juta orang tiap tahun. Menurut WHO pada tahun 2002 ada 1,6 juta kematian karena tindak kekerasan dan 1,2 juta kematian karena kecelakaan lalu lintas, kombinasi keduanya menunjukkan mortalitas sebesar 48 kematian tiap 100.000 orang tiap tahun. Hampir semua kematian terjadi pada jam pertama setelah trauma, dengan proporsi 34-50% kematian terjadi di rumah sakit. Kematian ini bisa dicegah dengan mengoptimalkan penanganan trauma, keberhasilan pencegahan kematian akibat trauma bisa mencapai 76% atau bisa hanya 1% bila penanganan kurang optimal. Trauma merupakan penyebab utama kematian pada pasien berusia kurang dari 45 tahun, di Amerika Serikat, dan trauma menempati urutan ketiga penyebab kematian secara umum, yaitu > 100.000 pada tahun 2002 dan setidaknya > 1,5
juta orang dirawat di RS karena trauma akut. Trauma yang mengakibatkan kecacatan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar. Pada pasien trauma, 3 penyebab utama kematiannya adalah karena trauma kepala, perdarahan dan sepsis atau gagal multi organ. Truma didefinisikan sebagai gangguan atau kerusakan struktur atau fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi yang mendadak (mekanik, kimia, panas, radioaktif atau biologi) yang melebihi kemampuan tubuh.1,2,3 Tindakan operasi pada pasien trauma yang diikuti oleh periode pengawasan dan penatalaksanaan berkelanjutan sangat erat kaitannya. Resusitasi pasca trauma yang cukup dan survei sekunder harus dilakukan. Terminasi anestesi umum diperlukan, terutama pada pasien dengan gangguan tingkat kesadaran yang berubah atau cedera otak traumatis sebelum operasi. Banyak pasien akan membutuhkan dukungan ventilator
________________________________________________________________________________ 36 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
karena trauma SSP, trauma langsung dinding paru atau dada, transfusi masif, edema saluran napas atas dan intoksikasi berkelanjutan. Obat analgesik yang sesuai harus diberikan, dengan sedasi jika diperlukan. Support 12 sampai 24jam menentukan keberhasilan resusitasi dan perbaikan pembedahan, hemodinamik stabil, titrasi analgesik yang sesuai dan resolusi intoksikasi. Pasien trauma yang tidak dapat diekstubasi berada pada risiko tinggi terjadinya gagal multi organ dan akan berkembang menjadi ARDS pasca trauma yang biasanya akan memerlukan beberapa hari sampai minggu untuk perawatan intensif. 2 Beberapa masalah yang dihadapi pada pasien trauma pasca operasi dan perawatan intensif yaitu : Nyeri akut pasca operatif Nyeri neuropatik timbul bila ada trauma langsung pada saraf sensorik utamadan umumnya setelah trauma tulang belakang, amputasi traumatik dan major crush injury. Nyeri neuropatik ditandai dengan rasa terbakar, rasa tersengat listrik intermiten dan disestesia yang mempengaruhi distribusi dermatomal. Analgesia epidural telah terbukti menghasilkan tingkat kepuasan tinggi pasien dan fungsi paru membaik setelah operasi thorako abdominal dan ortopedi.3 Hipotermia Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti di bawah 35ΒΊC, disertai asidosis, hipotensi dan koagulopati pada pasien dengan trauma berat.Hipotermia pada pasien trauma harus dibedakan dari hipotermia karena sebab lain. Mortalitas pada hipotermia moderat (28-32ΒΊC) karena paparan kurang dari 25% dimana kematian ini disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya, sementara pada pasien trauma suhu inti kurang dari 32ΒΊC berkaitan dengan tingkat kematian 100%
dan setiap penurunan suhu di bawah 35ΒΊC memberikan prognosis yang buruk. Hipotermia lebih sering terjadi dan lebih berat pada pasien dengan cedera serius, sehingga sulit untuk dibedakan apakah kematian ini disebabkan oleh hipotermia atau parahnya trauma yang mendasarinya. Suatu penelitian menyebutkan bahwa pada pasien yang tidak dihangatkan selama resusitasi angka kematiannya meningkat tujuh kali lebih besar dibandingkan pasien yang dihangatkan.1,2,3,4,5 Hipotermia merupakan komorbiditas utama pada pasien dengan trauma. Selain kehilangan panas dari radiasi (paparan) dan konduksi (infus dingin), evaporasi dan konveksi (ekspose permukaan abdomen), redistribusi darah ke perifer darah akibat gangguan autoregulasi yang terjadi akibat penggunaan obat-obat dan cedera tulang belakang. Paralisis farmakologis mencegah mekanisme produksi panas normal (misalnya menggigil) dan vasodilatasi agen anestesi mengganggu mekanisme konservasi panas (misal vasokonstriksi).3 Hipotermia biasanya berkaitan dengan meningkatnya risiko perdarahan. Efek hipotermia ternasuk gangguan fungsi trombosit, gangguan fungsi faktor koagulasi (setiap penurunan suhu 1ΒΊC tejadi penurunan fungsi 10%), penghambatan enzim dan fibrinolisis). Hipotermia juga mempengaruhi proses koagulasi platelet, meningkatkan sekuestrasi platelet, mengurangi metabolisme obat dan menginduksi vasokonstriksi. Gabungan hipotermia dan asidosis mencerminkan penurunan curah jantung dan perfusi jaringan. Miokardium hipotermi rentan terhadap ektopi, terutamadisritmia ventrikel. Banyak penelitian telah mengidentifikasi hipotermia sebagai faktor yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien trauma
________________________________________________________________________________ 37 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
berat. Menariknya, hipotermia moderat (33-350C) merupakan neuroproteksi dan dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu, terutama ketika tidak adanya manifestasi klinis dari perdarahan, sehingga hipotermia bisa dipertimbangkan pada pasien cedera kepala. Hipotermi moderat pada pasien trauma kepala harus dilakukan dalam 3 jam pertama setelah trauma, khususnya dengan pendinginan daerah kepala dan leher yang dipertahankan selama 48 jam, rewarming harus dilakukan selama 24 jam dan perfusi serebral harus dipertahankan (MAP β₯70 mmHg). Pasien yang mendapatkan keuntungan dengan hipotermia adalah pasien dengan GCS saat masuk 4-7. Efek sampingnya adalah hipotensi, hipovolemi, gangguan elektrolit, penurunan sekresi insulin dan meningkatkan resiko infeksi.4 Hipotermia primer terjadi bila produksi panas normal, tetapi suhu tubuh menurun sebagai akibat dari kehilangan panas berat karena kondisi lingkungan. Hipotermia sekunder merupakan akibat produksi panas yang berkurang. Oleh karena panas tubuh dihasilkan dari konsumsi oksigen maka panas tubuh yang dihasilkan selama keadaan syok, ketika konsumsi oksigen patologis berkurang, mengakibatkan penurunan suhu inti tanpa stres lingkungan dingin yang berat. Perdarahan tidak terkontrol adalah penyebab paling sering kematian dini pada pasien trauma, dan mungkin efek terparah hipotermia adalah efek inhibisi terhadap laju reaksi enzimatik dari kaskade koagulasi. Secara klinis yang relevan dari hipotermia (< 35oC) dapat memperpanjang waktu pembekuan seperti pada defisiensi berat faktor pembekuan. Defisiensi faktor IX, menyebabkan perdarahan abnormal ketika kadarnya turun di bawah 25-30% dari normal. Pada
pasien trauma, deplesi faktor pembekuan yang sering menyertai hipotermia. Hipotermia juga mempengaruhi fungsi trombosit. Oleh karena itu manajemen suhu merupakan isu utama dalam pengelolaan pasien trauma. Tubuh memiliki panas spesifik relatif tinggi (heat gain/loss per derajat Celcius perubahan suhu) 0,83 kkal/kg/oC. Produksi panas basal sekitar 1 kkal/kg/jam jika konsumsi oksigen normal, menghasilkan tingkat rewarming sekitar 1,2 0C/jam jika semua kehilangan panas dicegah. Namun, sebagian besar pasien syok, telah mengalami pengurangan produksi panas dan tidak mampu melakukan rewarming spontan. Metode rewarming eksternal membantu untuk mencegah kehilangan panas, tetapi transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu kulit mungkin 10-15 0C lebih dingin dari suhu inti pasien hipotermia. Panas mengalir dari area yang bersuhu tinggi ke suhu yang lebih rendah sebagaimana hukum kedua termodinamika. Teknik rewarming eksternal karena itu tidak dapat mentransfer panas ke inti sampai suhu kulit meningkat untuk setidaknya seperti suhu inti. Selama jeda waktu, suhu inti sebenarnya dapat terus menurun (afterdrop). Selimut pemanas dengan cairan bersirkulasi sangat tidak efisien karena selimut hanya bersentuhan dengan permukaan tubuh dalam persentase kecil (<25%). Selain itu, selama hipotermia, perfusi kulit menurun dari sekitar 200 ml/menit/m2 menjadi 4 ml/menit/m2, yang mengurangi konduktivitas termal. Rewarmer udara konvektif juga mengirimkan panas yang sangat sedikit karena kerapatan udara sangat rendah sehingga sangat sedikit mengandung panas bahkan pada suhu tinggi. Oleh karena sebagian besar kehilangan panas terjadi melalui kulit, membungkus pasien
________________________________________________________________________________ 38 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dalam penghangat konvektif secara efektif dapat mencegah kehilangan panas.4 Airway rewarming tergantung pada prinsip bahwa jumlah air yang mampu ditahan sebagai uap tergantung pada suhu udara. Ketika seorang pasien hipotermia membutuhkan udara hangat jenuh, kondensasi terjadi pada kontak dengan airway dingin. Peritoneal lavage atau pleura lavage menunjukkan transfer panas yang signifikan karena panas spesifik air adalah 1 kkal/L0C. Pemberian cairan intravena hangat merupakan salah satu metode dalam mencegah dan mengurangi hipotermia. Pasien akan mendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk 1 L kristaloid dari suhu kamar (210C) ke 370C. Jika pasien tidak dapat menghasilkan panas tambahan karena konsumsi oksigen fixed akan mengakibatkan hilangnya 16 kkal, yang akan menurunkan suhu tubuh 0,280C/L. Rewarming arteriovenosa kontinyu (Continuous ArterioVenous Rewarming) adalah metode yang relatif baru melakukan rewarming sirkulasi extracorporeal yang tidak memerlukan pompa mekanis atau heparin, dan dapat dilakukan oleh personil unit perawatan intensif dengan pelatihan yang minimal. Teknik ini analog dengan hemofiltrasi arteriovena kontinyu.4,5\ Koagulopati Trauma mayor tidak hanya berakibat perdarahan karena kerusakan anatomi tetapi lebih sering karena koagulopati yang meningkatkan kematian. Koagulopati yang terjadi lebih dini pada pasien trauma biasanya ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi (base deficit > 6 mEq/l) dan ditandai dengan peningkatan produksi trombomodulin endotel yang membentuk kompleks dengan thrombin. Monitoring dini terhadap koagulasi
penting untuk mendeteksi koagulopati yang disebabkan oleh trauma dan untuk menentukan penyebab utama termasuk hiperfibrinolisis. Terapi intervensi lebih dini memperbaiki studi koagulasi.5 Efek berkelanjutan hipotermia adalah koagulopati yang terjadi pada pasien trauma berat dan merupakan masalah kompleks dan sulit ditangani. Pembekuan in vivo dipengaruhi oleh beberapa variabel, dan pada banyak kasus fibrinolisis merupakan faktor predominan. Pembentukan clot menyebabkan pembatasan formasi trombus pada lokasi trauma. Jika perdarahan terus berlanjut, dapat terjadi aktivitas fibrinolitik lokal berlebihan menghasilkan koagulopati lokal. Sejumlah inhibitor platelet ditemukan pada pasien trauma berat, seperti prostaglandin I2 (PGI2) dan antitrombin III, mencegah stabilisasi plug platelet dengan memblok formasi fibrin, menyebabkan mekanisme feedback negatif yang mencegah aktivasi platelet. Tranfusi faktor pembekuan dan platelet sampai proses konsumtif tercapai merupakan langkah awal penting dalam penatalaksanaan koagulopati. Transfusi masif adalah prediktor terpenting darikoagulopati pada trauma abdomen. Kemungkinan koagulopati (waktu protrombin [PT] atau waktu parsial thromboplastin [PTT] sama dengan atau lebih besar dari dua kali normal) mengikuti transfusi masif pada pasien trauma berat, diperkirakan karena hipotermia persisten, asidosis dan hipotensi. Dengan semua faktor resiko (pH β€ 7.10, suhu β€ 340C, tekanan darah sistolik < 70mmHg), 98% pasien akan berkembang menjadi koagulopati yang mengancam kehidupan.4 Kalsium Kalsium penting untuk pembentukan dan stabilisai fibrin dan meningkatkan
________________________________________________________________________________ 39 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
aktivitas trombosit. Disamping itu kalsium juga akan meningkatkan kontraktilitas miokardium dan resistensi vaskuler. Kombinasi keuntungan antara kardiovaskuler dan koagulasi didapat bila tingkat konsentrasi kalsium yang terionisasi di atas 0,9 mmol/l. Fresh Frozen Plasma (FFP) Dosis awal FFP yang direkomendasikan adalah 10-15 ml/kgBB. Dosis selanjutnya tergantung studi koagulasi dan produk darah lain yang diberikan. Fibrinogen dan Cryopresipitate Diberikan bila kadar fibrinogen kurang dari 1,5-2 g/l. Dosis yang direkomendasikan 3-4 g atau 50 mg/kgBB cryopresipitate yang setara dengan 15-20 unit untuk pasien dengan berat badan 70 kg. Dosis ulangan diberikan berdasarkan kadar fibrinogen. Antifibrinolitik Asam traneksamat bekerja dengan cara kompetitif inhibitor terhadap plasmin dan plasminogen. Dosis yang direkomendasikan adalah 10-15 mg/kgBB diikuti infus kontinyu 1-5 mg/kgBB/jam. Sindrom Kompartemen Abdominal Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam suatu ruangan tertutup yang dapat menyebabkan gangguan fungsi organ yang ada didalam ruangan tersebut. Sindrom kompartemen abdominal adalah peningkatan tekanan intraabdominal biasanya disebabkan oleh edema jaringan usus dan interstisial akibat trauma, pada pasien syokdan resusitasi cairan masif. Sindroma kompartemen abdominal sering terjadi pada pasien dengan trauma berat, khususnya pasien yang menjalani laparotomi dengan packing abdomen. Dilaporkan bahwa angka kejadiannya sebesar 14% dari pasien yang menjalani
laparotomi dan ditemukan adanya trauma serius pada usus atau organ berongga. Sindroma kompartemen abdomen dikenali dengan adanya distensi abdomen kuat, peningkatan tekanan puncak jalan nafas, ventilasi yang tidak adekuat dan hipoksia. Peningkatan tekanan intraabdominal menyebabkan gangguan sirkulasi, penurunan perfusi jaringan, dan disfungsi organ (jantung, ginjal, usus, paru). Distensi abdomen menyebabkan peningkatan peak tekanan jalan nafas, hiperkarbia dan oliguria. Penurunan venous return dengan penurunan cardiac output dan penurunan fungsi ginjal karena hipoperfusi. Selain itu peningkatan tekanan intraabdominal menyebabkan penurunan volume tidal, peningkatan tekanan ventilasi dan atelektasis. Peningkatan tekanan intraabdominal juga dapat menyebabkan hipertensi vena dan meningkatkan tekanan intrakranial.3,4,5 Tekanan lebih dari 30 mmHg menyebabkan terjadinya oliguria menyebabkan penurunan aliran darah ginjal akibat peningkatan tekanan vena pada ginjal yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Sindrom kompartemen abdomen juga menyebabkan penurunan cardiac output sebesar 30-40% yang diakibatkan oleh penurunan venous return dan peningkatan tekanan darah sistemik. Penelitian eksperimental menunjukkan penurunan aliran darah splancnic sebesar 75% disertai asidosis mukosa usus yang tidak dipengaruhi cardiac output pada pasien dengan sindrom kompartemen abdomen. Tekanan intra abdominal sebesar 25 mmHg juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial karena peningkatan tekanan vena sentral yang berakibat penuruna perfusi serebral.
________________________________________________________________________________ 40 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sindrom kompartemen abdomen memiliki efek buruk pada fungsi paru menyebabkan hipoksemia progresif dan retensi CO2 yang memerlukan tekanan puncak jalan nafas yang sangat tinggi untuk mempertahankan volume tidal yang adekuat. Risiko terjadinya barotrauma lebih disebabkan oleh tekanan transpulmoner daripada tekanan puncak atau statis jalan nafas. Bila tekanan intra abdomen meningkat dapat diasumsikan terjadi peningkatan intra pleura. Suatu penelitian menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan tekanan intra abdomen dengan peningkatan tekanan intra pleura. Bila tekanan intra abdomen meningkat 25 mmHg maka tekanan intrapleura menjadi 18 mmHg atau 24,5 cmH2O. Bila besarnya tekanan akhir ekspirasi dibawah tekanan pleura maka akan terjadi kolaps alveolar. Banyak diantara pasien ini yang mengalami hipoksemia refrakter terkait ketidakmampuan mempertahankan tekanan akhir ekspirasi untuk mempertahankan kapasitas residual. Pemberian tekanan positif pada akhir ekspirasi yang lebih tinggi mungkin masih diperlukan selama sirkulasi berjalan baik. Tekanan intraabdominal lebih besar dari 2025mmHg disertai dengan kegagalan organ membutuhkan dekompresi. Tekanan intraabdominal pasca operasi normal adalah 0-5 mmHg. Jika tekanan lebih besar dari 10 mmHg, terjadi penurunan aliran darah arteri hepatika, pada tekanan 15 mmHg terjadi perubahan kardiovaskular, pada tekanan 15-25 mmHg terjadi oliguria, dengan anuria dapat terjadi pada tekanan antara 3040mmHg.4
Deep Venous Thrombosis Pasien-pasien trauma memiliki resiko terkena tromboemboli vena. Penelitan yang dilakukan oleh Schackford et al. mengidentifikasikan 4 grup pasien trauma yang beresiko terhadap terjadinya emboli yaitu pasien dengan trauma kepala, trauma tulang belakang, fraktur pelvis kompleks dan fraktur sendi panggul. Pemberian heparin subkutan, mobilisasi awal, stocking, dekompresi vena, alat dekompresi sekuensial dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko terjadinya DVT. Komplikasi Akhir Stres ulser terjadi akibat penurunan aliran darah lambung dan kehilangan proteksi mukosa dan hal ini terjadi hampir lebih dari 20% pasien ICU dimana dapat menyebabkan terjadinya gastritis, ulserasi dan perdarahan. Pemberian inhibitor pompa proton, antagonis reseptor H2 dapat dipertimbangkan. Komplikasi paru seperti pneumonia, pneumonitis aspirasi dan ARDS sering terjadi pada pasien trauma. Asidosis Asidosis mengganggu kontraktilitas miokard sebagai respon katekolamin endogen dan eksogen. Kurva disosiasi oksi hemoglobin bergeser ke kanan oleh asidosis, dengan demikian meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan. Asidosis laktat harus ditangani dengan penggantian cairan. Meskipun kontroversial, pH β€ 7,10 diberikan natrium bikarbonat dan hiperventilasi. Penting untuk mengoreksi asidosis dengan melakukan resusitasi agresif untuk mencapai end-point yang sesuai. Laktat serum dan nilai base deficit dari analisa gas darah memberikan prediksi tidak langsung tentang asidosis jaringan secara menyeluruh terkait gangguan perfusi. Abramson melakukan observasi
________________________________________________________________________________ 41 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada pasien dengan trauma multiple untuk mengevaluasi hubungan antara bersihan laktat dan survival. Semua pasien yang kadar laktatnya kembali ke nilai normal ( β€ 2) dalam 24 jam akan survive. Survival akan menurun menjadi 77,8% bila normalisasi terjadi dalam 48 jam dan menurun lagi menjadi 13,6% pada pasien yang kadar laktatnya naik di atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam. Penelitian ini didukung oleh penelitian Manikins yang menunjukkan non survival pada pasien dengan trauma
mayor bila kadar awal laktat tinggi dan bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam berkorelasi dengan berkembangnya gagal organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai awal base deficit juga merupakan prediktor tingkat kematian pada pasien trauma.Davis membagi base deficit menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l) dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese deficit dalam 24 jam menurunkan risiko gagal organ dan kematian pada pasien trauma.3,4,5
Tabel 1. Target Resusitasi Parameter
Goal
Observations
TBI patien need MAP >70 mmHg Trend to reduction in the first 6 hours Complete clearence in 24 hour >-5.0 mEq/L Trend to reduction in the first 6 hours Base deficit Complete clearence in 24 hour 7.0-9.0 g/dL Patien with significant heart disease or older Hemoglobin than 55 years may need higher levels >94% With the lowest PEEP that permits keeping SatP FiO2 <0.6 Keterangan : MAP,Mean arterial pressure; PEEP, Positive end expiratory pressure; TBI ; traumatic brain injury MAP Lactic Acidocis
>65 mmHg in the first 30 minutes <2.1 mmol/L
Perdarahan terkontrol mengurangi konsumsi oksigen (VO2) dan reperfusi, untuk meningkatkan VO2 di atas baseline. Ketika durasi syok memanjang fase hipermetabolik tidak terjadi, menunjukkan syok menyebabkan gangguan metabolik intraseluler terhadap oksigen dan pemanfaatan substrat yang tidak lagi responsif pada peningkatan pengiriman oksigen. Fenomena ini dibuktikan dalam sebuah studi pasien trauma yang mendapatkan resusitasi adekuat. Satu kelompok terjadi peningkatan konsentrasi laktat terus-menerus dan berkurangnya konsumsi dan ekstraksi oksigen dibandingkan dengan kelompok asidosis dan defek ekstraksi yang telah dikoreksi, tingkat kegagalan organ adalah 35% dibandingkan dengan 5% (p<0,001),
dan kematian adalah 50% dibandingkan dengan 9% (p< 0,01). Beberapa penelitian menunjukkan korelasi kuat antara terjadinya gangguan koagulasi dan durasi hipotensi.Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa hipoperfusi dikaitkan dengan koagulopati konsumtif dan perdarahan mikrovaskular independen dari jumlah kehilangan darah. Dalam satu studi asidosis diinduksi-syok lebih dari 150 menit menyebabkan perpanjangan signifikan dari PTT dan penurunan aktivitas faktor V. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Acute Lung Injury (ALI) ARDS merupakan gagal respirasi akut yang terjadi pada pasien dengan paruparu sehat setelah terpapar syok, trauma,
________________________________________________________________________________ 42 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi toksik. Pada ARDS terjadi kerusakan membran kapiler alveolar sehingga terjadi kebocoran cairan protein dari intravsakular ke interstistial yang menyebabkan gambaran klinis disfungsi pulmoner sedang sampai berat. ARDS ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dan penurunan functional residual capacity (FRC)
trauma menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma.
DAFTAR PUSTAKA Kriteria ARDS: PaO2/ FiO2 < 200, gambaran infiltrat difus bilateral pada foto thoraks. Sedangkan kriteria ALI; PaO2/ FiO2 < 300, dan ditemukan gambaran infiltrat difus bilateral pada foto thoraks.
1.
2.
3.
Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi mekanik yang bertujuan meminimalkan efek pertukaran gas. Tetapi ventilasi mekanik juga terkait dengan trauma paru akibat volume alveolar berlebih, barotraumas. Positive end-expiratory pressure (PEEP) digunakan untuk meningkatkan oksigenasi pada FiO2 fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6 ml/kg) pada pasien dengan ARDS menurunkan mortalitas, barotrauma rendah.
4. 5.
Gentiltllo LM, Pierson DJ. Trauma critical care. Respir Crit Care Med. 2001; (163) : 604β7 Rossaint. Management of bleeding following major trauma : an updated European guideline. Critical Care 2010 ; (14) : 52 Miller R.D. Anesthesia for Trauma. 7th ed. USA :Elseiver ; 2010 ; (2) : 2306-7 Smith C.E. Trauma Anesthesia..UK: Cambridge Press: ; 2008 : 215 Edwin AD, Saraswati DD. Intensive care unit management of the trauma patient. Crit Care Med 2006 ; (34) : 9
Sepsis Sepsis pasca operasi dapat terjadi akibat soiling peritoneal, intubasi trakea lama, jalur intravaskular, dan pneumonia pretrauma. Bakteremia dapat diklasifikasikan menjadi onset awal, terjadi dalam 96 jam setelah trauma, dan onset lambat, muncul setelah 96 jam setelah trauma. Risiko onset-awa lbakteremia meningkat dengan adanya kontusio paru, pneumonia aspirasi, dan trauma abdomen skala besar. Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU tingkat survival pasien ________________________________________________________________________________ 43 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi pada Mediastinoskopi Satrio Adi Wicaksono*, Hari Hendriarto*, Heru Dwi Jatmiko* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Mediastinoskopy increasingly used in health centers. Mediastinoscopy is a minimally invasive technique for excision biopsy of lung cancer. Mediastinoscopy provides access to the mediastinal lymph nodes and is used for diagnosis or resektabilitas intrathorakal malignancy. Preoperative CT is important for the evaluation and if there is compression of trachea. Mediastinoscopy using general anesthesia. Venous access with a large diameter intravenous catheters (14 to 16 gauge) is required because of the risk of excessive bleeding and difficulty controlling bleeding. And is expected to review the above it can be understood how the management of anesthesia in patients undergoing mediastinoscopy surgery.
ABSTRAK Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi merupakan tehnik minimal invasif untuk eksisi biopsi pada kanker paru-paru. Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperatif penting untuk mengevaluasi dan bila terdapat kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan. Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi
PENDAHULUAN Mediastinoskopi merupakan suatu prosedur diagnostik, yang pertama kali dijelaskan oleh Carlens pada tahun 1959. Meskipun semakin canggihnya teknik pencitraan (misalnya emisi positron tomogafi), mediastinoskopi tetap penting dalam pementasan kanker paru-paru karena sifat sensitivitasnya tinggi (0,80%) dan spesifisitasnya yang tinggi (100%).1 Indikasi lainnya untuk mediastinoskopi adalah biopsi massa mediastinum terutama di mana pemeriksaan lainnya, misalnya CT kurang sensitif dan biopsi
lebih meyakinkan dan tepat untuk menegakkan diagnosis pada beberapa penyakit dengan limfadenopati mediastinum (misalnya: sarkoidosis, limfoma). Pada mediastinoskopi kita menggunakan anestesi umum, dimana relaksan otot harus dihindari pada pasien dengan sugestif sindrom klinis myasthenia gravis, dan akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan. Diharapkan pada tinjauan ini, kita dapat mengerti apa mediastinoskopi dan bagaimana pengelolaan dan manajemen anestesi pada
________________________________________________________________________________ 44 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pasien-pasien yang mediastinoskopi.
akan
dilakukan
Anatomi Mediastinum yaitu rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.3,4 Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya.4 Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting :4 1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra torakal ke-5 dan bagian bawah sternum, berisi: arkus aorta, arteri innominata dan bagian toraks dari carotis communis kiri dan arteri subklavia kiri; vena innominata dan setengah bagian atas vena kava superior; v. Interkostalis kiri; nervus vagus, jantung, nervus, frenikus, trakea, esofagus, duktus toraksikus, sisa-sisa timus, dan beberapa kelenjar getah bening. 2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafargma di depan jantung, berisi sejumlah jaringan areolar yang tipis, beberapa pembuluh limfatik yang naik dari permukaan hati, dua atau tiga kelenjar getah bening dari mediastinum anterior, dan cabang-cabang kecil dari arteri mammaria interna.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di belakang jantung berisi bagian dari aorta torakalis descenden, vena azigos dan dua vena hemiazygos, nervus vagus dan splanknikus, esofagus, saluran torak dan beberapa kelenjar getah bening. 4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior. Berisi jantung yang tertutup dalam perikardium, aorta asendens, bagian bawah dari vena kava superior dengan pembukaan vena azigos ke dalamnya, percabangan dari trakea dan kedua bronkus, arteri pulmonalis yang terbagi menjadi dua cabang, vena pulmonalis kanan dan kiri, nervus frenikus, dan beberapa kelenjar getah bening. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan asal dan penyebaran tumor (yaitu anterior, berdekatan dengan atau di belakang jantung dan perikardium) dan harus dicatat bahwa tidak ada anatomis atau fasia memisahkan kompartemen yang berbeda. Mediastinum kaya pada kelenjar getah bening yang merupakan tempat inflamasi local penyakit, limfatik utama tumor atau penyakit metastasis Tabel 1 memberikan daftar kondisi yang dapat dilihat sebagai massa mediastinum.3,4 Gambar 1. Potongan melintang melalui batas atas vertebra thoraks dua
________________________________________________________________________________ 45 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 2. Mediastinum medial dan posterior
Gambar 3. Isi mediastinum medial dan posterior
Tabel 1. Gambaran tumor mediastinum Tumor Mediastinum anterior Tumor timus Tumor tiroid dan paratiroid Limfoma Germ cell tumour Mediastinum medial Limfoma Tumor mesenkim Mediastinum posterior Kanker sofagus Tumor neurogenik Kondisi Jinak Kista yang berkembang Kista pericardium Kista esophagus Limfadenopati granulomatosa Tuberkulosis Sarkoidosis Vaskular Aneurisma, aorta torakal, v. innominata Vasa berlebih, SVC kiri persisten, anomali a. pulmonalis kiri
MEDIASTINOSKOPI
Gambar 4. Tindakan Mediastinoskopi
Mayoritas mediastinoskopi dilakukan melalui pendekatan servikal, memasuki mediastinum melalui sayatan 3 cm pada insisura suprasternal. Sebuah diseksi dibuat antara vena innominata kiri dan sternum menciptakan sebuah terowongan di lapisan fasia. Kemudian mediastinoskop tersebut dimasukkan lewat anterior kelengkungan aorta. Pendekatan anterior yang jarang dilakukan adalah melalui kedua ruang interkostalis, perbatasan lateral dari sternum; teknik ini sering digunakan untuk memeriksa mediastinum yang lebih rendah.1,6 Kontraindikasi Mediastinoskopi sebelumnya adalah kontraindikasi yang relative kuat untuk dilakukan prosedur ulang karena jaringan parut menghilangkan letak dari diseksi. Sindrom Vena kava superior (SVC) meningkatkan risiko perdarahan dari vena yang terdistensi merupakan
________________________________________________________________________________ 46 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kontraindikasi relatif. Kontraindikasi relative lain yaitu; deviasi trakea parah, penyakit serebrovaskular, gangguan tulang belakang leher yang parah, penyakit dengan ekstensi leher yang terbatas, radioterapi dada, dan adanya aneurisma aorta torakalis. Pemeriksaan Selain hematologi rutin, biokimia, dan EKG, pemeriksaan preoperatif harus mencakup ronsen toraks, dan CT scan bertujuan untuk mengevaluasi lokasi tumor, hubungannya dengan struktur yang berdampingan, dan tingkat kompresi trakea. Tes fungsi paru yang berguna dalam mendeteksi keparahan penyakit paru-paru dan efek massa mediastinum. Arus kurva volume yang harus diperoleh dalam posisi tegak dan terlentang untuk mengevaluasi gangguan fungsional dan memastikan adanya obstruksi. Kedua arus inspirasi dan ekspirasi biasanya berkurang bila terdapat massa intratoraks. Sebuah proporsional penurunan aliran ekspirasi maksimal meningkatkan kecurigaan dari munculnya trakheomalasia. Pemeriksaan tambahan (misalnya ekokardiografi dan stress test) dapat diindikasikan dengan adanya gejala jantung.5 Namun pada pasien yang sesuai, mediastinoskopi dapat dilakukan. Manajemen Anestesi Pertimbangan pra operasi 1. Karsinoma bronkogenik Kebanyakan pasien dengan kanker paru-paru adalah perokok sebagai komorbiditas yang signifikan, termasuk hipertensi, penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer, dan penyakit paru.3, 4 2. Massa mediastinum
Pasien dengan massa mediastinum yang besar menyajikan sebuah tantangan yang sulit bagi dokter anestesi karena kompresi pada bagian-bagian vital penting yang berdekatan. Tingkat keparahan gejala yang dihasilkan tergantung pada ukuran dan lokasi dari massa, tingkat pertumbuhan, dan invasi struktur vital yang berdekatan. Namun, mayoritas pasien tidak bergejala dan ditemukan massa di dada pada pemeriksaan rutin X foto thorax.3, 4 3. Kompresitrakeobronkial Kompresi trakeobronkial mengarah ke persisten infeksi saluran pernapasan, wheezing pada satu sisi, atau stridor. Kejadian kesulitan dengan ventilasi dan henti jantung selama anestesi pada saat dilakukan prosedur diagnostic atau terapeutik dengan kasus massa mediastinum dengan baik dijelaskan.3, 4 Namun, mendefinisikan kejadian yang sebenarnya dari komplikasi ini adalah sulit. Beberapa pusat telah melaporkan kejadian yang pada pasien pediatrik 7-20% selama anestesi dan 18% pada periode pasca operasi. Insiden pada orang dewasa diyakini jauh lebih sedikit, kemungkinan karena saluran udara pada anak-anak yang sempit lebih rentan terhadap obstruksi. Obstruksi trakeobronkial berpotensi dapat memperburuk dengan induksi dari anestesi umum dan ventilasi tekanan positif intermiten (IPPV). Penurunan fungsi dinding dada dan perpindahan cephalic diafragma menyebabkan hilangnya tekanan transmural distending gradien. Oleh karena itu, pemeliharaan ventilasi spontan sangat penting untuk menghindari pencetus obstruksi pada pasien ini. Intubasi sadar atau induksi inhalasi dengan pemeliharaan spontan ventilasi dianjurkan tergantung pada
________________________________________________________________________________ 47 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
derajat obstruksi dan gejala yang dihasilkan. Jika ada kesulitan dalam ventilasi karena obstruksi pada tingkat karina atau bronkus, sebuah bronkoskop harus dimasukkan dan ventilasi dipelihara dengan menghubungkan injektor Sanders atau ventilator jet ke port sisi bronkoskop. Dengan adanya gejala obstruksi parah, stenting dapat dilakukan sebelum mediastinoskopi.3,4 Sindroma SVC Kompresi SVC dengan pembesaran kelenjar getah bening atau massa mediastinum dapat mengakibatkan obstruksi aliran darah dari kepala, leher, dan ekstremitas atas, sehingga 6 mengakibatkan SVC syndrome. Manifestasi klinis tergantung pada kecepatan pertumbuhan tumor dan pengembangan sirkulasi kolateral. Gangguan drainase vena menyebabkan lidah edema, laring bengkak dan membuat intubasi berpotensi sulit. Pasien dengan pembengkakan orofacial yang luas, suara serak, dan distensi dari vena azygous pada CT scan meningkatkan risiko perdarahan dari trauma saat diintubasi. Kepala elevasi, steroid, dan diuretic dapat membantu dalam menurunkan resiko sebelum operasi.6 Efek sistemik Paru-paru atau tumor mediastinum menyebabkan gejala ekstra toraks dengan penyebaran atau metastasis oleh sekresi hormon endokrin atau zat seperti, misalnya ACTH, ADH, PTH.5 Tabel 2 memberikan daftar sindrom paraneoplastik yang berkaitan dengan kanker paru-paru, yang memiliki implikasi anestesi. Tumor timus berhubungan dengan miastenia gravis yang menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot. Manifestasi klinis berkisar dari gejala
ocular yang terisolasi hingga keterlibatan pernapasan otot. Pasien dengan miastenia gravis sensitif terhadap pelumpuh otot nondepolarisasi dan memiliki respon variabel untuk agen depolarisasi. Sindroma Eaton-Lambert (sindrom myasthenic) miopati proksimal berhubungan dengan small cell carcinoma. Pengurangan asetilkolin yang dilepaskan dari saraf motorik terminal presinaptik pada pasien ini menyebabkan peningkatan sensitivitas untuk semua obat yang memblokir neuromuskuler. Berbeda dengan miastenia gravis, dimana kelemahan otot meningkat dengan kegiatan fisik yang berat dan tidak dapat dibalik dengan terapi asetil kolinesterase inhibitor.4, 6 Tabel 2. Manifestasi non metastatik tumor mediastinal Endokrin Hiperparatiroid Sindroma Cushing SIADH Sindroma karsinoid Neuromuskular Miastenia gravis Sindroma Eaton-Lambert Neuropati perifer Neuropati otonom Hematologi Anemia Trombositopenia Trombosis Lainnya Sindroma nefrotik Amiloidosis
Pengelolaan Anestesi Sebuah short-cting benzodiazepine dapat diberikan untuk menurunkan kecemasan, namun, obat sedatif harus dihindari jika terdapat obstruksi trakea.4 Kanula intravena yang besar harus dimasukkan dan crossmatched darah harus tersedia karena potensi risiko perdarahan. Jika pasien asimtomatik, preoksigenasi diikuti dengan induksi
________________________________________________________________________________ 48 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
anestesi intravena dapat dilakukan. Dengan adanya obstruksi pernapasan, sebuah intubasi sadar di bawah anestesi lokal adalah teknik pilihan. Hal ini memungkinkananestesi dan tim bedah melihat keseluruhan tingkat yang tepat dariobstruksi dan bila tabung endotrakeal dilewatkan distalobstruksi. Dalam kasus obstruksi lebih distal (tingkat carinal), bronkoskop harus tersedia untuk frekuensi rendah ventilasi. Atau, induksi inhalasi dapat digunakan, diikuti olehintubasi trakea dengan anestesi dalam. Pasien ditempatkan dalam posisi 20 derajat head-up untuk mengurangikongesti vena, namun harus diingat bahwa ini. Posisi ini meningkatkan kemungkinan emboli udara. Sebuah agen anestesi intravena, anestesi inhalasi, atau keduanya, bersama dengan agen blok neuromuskular dan infus kontinyu short-acting opioid akan memungkinkan sebuah tingkat yang memadai anestesi dan pemulihan pasca operasi cepat. Ventilasi kedua paru-paru melalui tabung endotrakeal tunggal lumen biasanya cukup. Sebuah tabung lebih disukai untuk meminimalkan risiko tabung terpuntir selama operasi. Endoskopi fiberoptik harus disiapkan sebelum ekstubasi untuk menyingkirkan tracheomalacia.5 Idealnya, relaksan otot harus dihindari pada pasien dengan sugestif sindrom klinis miastenia gravis. Jika menggunakan relaksan, dosis harus hatihati, dan dititrasi dengan respons yang diukur dengan pemantauan neuromuskular. Pasien diextubasihanya bila setelah pemulihan refleks dan fungsi neuromuskuler baik; dalam jangka pendekventilasi pasca operasi mungkin diperlukan.
Anestesi lokal lewat infiltrasi luka, blok saraf interkostal analgesia pasca operasi, Parasetamol reguler dan NSAID (jika tidak kontraindikasi) dapat diberikan sebagai bagian dari multimodal analgesia. Pasca operasi ronsen toraks harus diambil pada semua pasien di ruang pemulihan untuk menyingkirkan kemungkinan pneumotoraks. Selanjutnya, pasien dapat dirawat di bangsal, dimana mereka harus diamati secara khusus untuk dispnea dan stridor, yang mungkin disebabkan oleh cedera pada laring berulang saraf atau hematoma paratrakeal.4,5,7 Monitoring Pemantauan tekanan darah invasive, arterial line lebih disukai untuk deteksi dini reflex aritmia dan bila adanya kompresi pada vena besar selama tindakan mediastinoskopi, sebaiknya berlokasi di lengan kanan untuk deteksi kompresi brakiosefalika, yang berakibat pengurangan aliran darah ke arteri karotis kanan dan dapat menyebabkan iskemia dengan adanya sirkulasi kolateral yang tidak memadai. Atau probe pulse oxymeter harus ditempatkan pada tangan kanan. Pemantauan neuromuskular adalah wajib pada pasien dengan miastenia gravis dan sindroma EatonLambert. Ventilator pengukur tekanan juga harus diperhatikan untuk mencatat setiap peningkatan tekanan saluran napas akut, yang menunjukkan adanya kompresi trakea atau bronkus oleh mediastinoskop tersebut. Penggunaan ventilasi pressure controlled membantu dalam deteksi dini kenaikan tekanan saluran udara.5,7 Komplikasi Kerusakan pembuluh darah Insiden perdarahan utama setelah mediastinoskopi (didefinisikan sebagai perdarahan yang persisten yang membutuhkan eksplorasi melalui
________________________________________________________________________________ 49 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sternotomi median atau torakotomi) adalah 0,4%,8 tetapi meningkat pada adanya kelainan pembuluh darah, peradangan mediastinum, dan SVC obstruksi. Pembuluh yang paling sering mengalami cedera adalah vena azigos, vena innominata, dan arteri pulmonalis. Kontrol awal perdarahan dicoba dengan kompresi dan packing luka. Jika gagal untuk mengontrol perdarahan atau adanya ketidakstabilan hemodinamik persisten meskipun sudah dilakukan resusitasi volume maksimal, maka eksplorasi bedah diindikasikan. Vena innominata dan cedera arteri pulmonalis dapat diperbaiki melalui sternotomi garis tengah, sedangkan cedera vena azigos memerlukan torakotomi posterolateral kanan. Prinsip-prinsip dasar manajemen adalah sama seperti yang dari setiap utama perdarahan, tetapi ada beberapa fitur unik untuk perdarahan mediastinum. Akses vena besar harus segeradiamankan di tungkai bawah, karena perdarahan bisa dari gangguan pembuluh vena mengalir ke SVC. Beberapa penulis merekomendasikan akses vena pada tungkai rutin untuk semua pasien yang menjalani mediastinoskopi. Ini mungkin tidak dibenarkan mempertimbangkan kelangkaan perdarahan pada mediastinoskopi.9 Dalam kasus intubasi sulit atau lifethreatening dan resusitasi perdarahan, dimana dokter anestesi yang sibuk dalam resusitasi, intubasi pasien dengan lumen tabung tunggal dapat dilakukan. Selain itu, sebuah bronchial blocker dapat digunakan, namun penempatan yang akurat membutuhkan bronkoskop serat optic dan lebih banyak waktu diperlukan untuk menutup paru. Cedera dari lengkung aorta dan supra-arteri aorta jarang terjadi. Ini menyebabkan leher hematoma dan bila dilakukan reintubation membuat trakea sulit untuk diintubasi, meskipun pada intubasi awal mudah. Perdarahan ringan biasanya
akibat dari luka pada pembuluh getah bening, hal ini respon dengan kompresi dan packing.9 Kerusakan paru-paru Kejadian pneumotoraks setelah mediastinoskopi adalah 0,08-0,23%. Tube torakostomi harus dilakukan pada akhir operasi jika ada robekan pleura, dengan trauma jaringan paru-paru. Seorang pasien asimtomatik dengan pneumotoraks kecil (20%) terdeteksi di pasca operasi hanya dapat diamati dengan ronsen toraks.8 Komplikasi-lain Komplikasi berhubungan dengan mediastinoskopi termasuk (1) refleks bradikardi yang dimediasi vagus karena kompresi trakhea atau pembuluh darah besar, (2) perdarahan yang banyak, (3) iskemi cerebral karena kompresi arteri inominata (dideteksi dengan plethysmograf atau pulse oksimetri di tangan kanan), (4) pneumothoraks (biasanya terjadi postoperatif), (5) emboli udara (karena elevasi kepala 30Β°, resiko diperbesar selama ventilasi spontan), (6) kerusakan n. laryngeus reccuren, dan (7) cedera n. phrenicus.8,9 Kemungkinan komplikasi lainnya termasuk stroke (brakio sefalika arteri kompresi), cedera trakeobronkial, dan frenikus dan berulang cedera saraf laring (Tabel 3). Tabel 3. Komplikasi mediastinoskopi Perdarahan mayor Stroke Emboli udara Pneumotoraks Aritmia reflex Paralisis n. phrenicus Kelemahan n. laringeus rekuren Regangan pada esophagus Laserasi trakheobronkhial Cedera duktus toraksikus Perdarahan minor
________________________________________________________________________________ 50 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi merupakan minimal invasive teknik untuk eksisi biopsi kanker paru. Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperative penting untuk evaluasi dan bila ada kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan. Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Thoracic Surgery. Philadelphia: WB Saunders, 1995; 491β512 Hammer GB. Anaesthetic management for the child with mediastinal mass. Paed Anaes 2004; 14: 95β97 Narang S, Harte B, Body S. Anaesthesia for patients with a mediastinal mass. Anesthesiol Clin North America 2001; 19: 559β83 Bechard P, Letourneau L, Lacasse Y, et al. Perioperative cardiorespiratory complications in adults with mediastinal mass. Anesthesiology 2004; 100: 826β34 Jahangari M, Goldstraw P. The role of mediastinoskopi in superior vena caval obstruction. Ann Thorac Surg 1995; 59: 453β 552 Cybulsky IJ, Bennett WF. Mediastinoskopi as a routine outpatient procedure. Ann Thorac Surg 1994; 58: 176β8 Park BJ, Flores R, Downey RJ, et al. Management of major haemorrhage during mediastinoskopi. J Thorac Cardiovasc Surg 2003; 126: 726β31 Lohser J, Donington JS, Mitchell JD, et al. Anaesthetic management of major haemorrhage during mediastinoskopi. J Cardiothorac Vasc Anesth 2005; 19: 678β83
Hammound ZT, Anderson RC, Meyers BF, et al.The current role omediastinoskopi in the evaluation of thoracic disease. J Thoracic Cardiovasc Surg 1999; 118: 894β9 Benumof JL. Anaesthesia for special elective diagnostic procedures. In: Anesthesia for
________________________________________________________________________________ 51 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat Igun Winarno*, Jati Listiyanto Pujo*, Mohamad Sofyan Harahap
οͺ
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT CNS trauma is a major health problem as the cause of death and disability worldwide. The severity of the injury is crucial primary outcome, whereas secondary injury caused by physiological factors hypotension, hypoxemia, hiperkarbi, hyperglycemia, hypoglycemia, and other develop further will cause further brain damage and aggravate CNS trauma. Appropriate perioperative anesthetic management and began preoperative period, especially when the patient is in the emergency, determine the outcome of the patient. ABSTRAK Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien. Pendahuluan Trauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun mental. Kejadian lanjutan juga dapat memberikan dampak kerugian perekonomian yang yang lebih besar diakibatkan beaya yang dibutuhkan, akibat pemutusan kerja, dan juga tanggungan untuk kelangsungan hidup berikutnya. Angka kejadian trauma pada susunan saraf pusat dari tahun ke tahun semakin meningkat, di Amerika dikatakan berkisar 1/1000 orang dengan kejadian terbanyak pada usia 15-24 tahun dan lebih dari 75 tahun. Angka ini tidak menunjukkan yang sebenarnya, hal ini dikarenakan hanya pada korban yang ditangani di rumah sakit dan angka kematian 19,3/1000 orang. Sedangkan
beaya yang dibutuhkan berkisar 9-10 miliar dolar AS per tahun dan beaya tanggungan untuk kelangsungan hidup mencapai 1,85 juta dolar pertahun perorang.1 Di Indonesia sendiri belum ada data pasti, tetapi trauma pada susunan saraf pusat lebih dominan karena faktor kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala merupakan epidemi yang tersembunyi, oleh karena sebagian besar masyarakat belum begitu mengetahui tentang cedera kepala beserta akibatnya. Lima belas persen dari pasien yang dirawat dengan cedera kepala akan mengalami skuele (problem gangguan kronik) sepanjang hidupnya.2 Prinsipprinsip pengeloaan trauma pada susunan saraf pusat sangat penting diketahui oleh masyarakat umum dan bagi tenaga profesional juga diperlukan pemahaman mengenai neurofisiologi dan patofisiologi.1-2 Pada tulisan ini menjelaskan mengenai neurofisiologi dan
________________________________________________________________________________ 52 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
patologi, pengelolaan trauma susunan saraf pusat, dan komplikasi yang terjadi. Anatomi dan fisiologi Sistem saraf secara anatomis dibagi dalam susunan saraf pusat, sistem saraf perifer dan sistem saraf autonom. Susunan saraf pusat (SSP) dibagi lagi menjadi otak, batang otak dan medula spinalis sedangkan cairan cerebrospinal, darah dan selaput otak sebagai pelindung.3 Susunan saraf pusat (SSP) di dalam ruang kepala pada orang dewasa berisi sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Ruangan ini bersifat konstan tetapi tidak selalu penuh tegang, maka setiap ada peningkatan volume pada salah satu komponen akan terjadi pendesakan pada komponen lain, sehingga akan diimbangi dengan pengurangan volume pada komponen lainnya. Bila kompensasi ini telah terlewati maka akan terjadi peningkatan tekanan di dalam kepala. Konsep ini dikenal dengan fisiologi otak dari hukum Monro-Kellie.2-3 Trauma pada susunan saraf pusat juga akan menimbulkan gejala kelainan sesuai dengan regio yang disarafi. Berikut tabel mengenai regio, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan. Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata, bagian ini mempunyai peranan untuk mengontrol pernafasan dan kardiovasculer serta menjaga kesadaran, siklus tidur. Sistem hantaran saraf baik ascending dan descending akan melewati batang otak.3 Medula spinalis berada dalam canalais medula spinalis didalam vertebra dan merupakan bagian dari susunan syaraf pusat, terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1 pada orang dewasa
dan L3 pada anak, di tempat berakirnya medula spinalis melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terdapat 31 pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf servikal, 12 pasang syaraf torakal, 5 pasang syaraf lumbal, 5 pasang syaraf sakral dan 1 pasang syaraf koksigeal. Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.3-4 Trauma susunan saraf pusat Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP.5,12 Mekanisme trauma susunan saraf pusat bisa berupa tekanan positif, tekanan negatif, laserasi otak, perdarahan dan pergeseran otak akibat gerakan percepatan atau perlambatan yang mendadak. Taruma SSP dapat diklasifikasikan sebagai trauma primer atau sekunder dan fokal atau difus. Cedera primer sebagai dampak langsung bisa dari patah tulang, memar atau perdarahan. Cedera primer akan berlanjut pada proses inflamasi edema dan pembentukan axcitotoxicity yang akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial (TIK), dampak selanjutkan akan terjadi penurunan tekanan perfusi cerebral/cerebral pressure perfusion (CPP), keadaan ini juga akan semakin mempengaruhi tingkat berat ringannya
________________________________________________________________________________ 53 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1: Regio susunan saraf pusat, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan.3
Regio SSP Lobus frontal
Lobus parietal
Lobus temporal
Fungsi primer Motorik Intelegency personality Fungsi aspektif dan bicara (area broca) Fungsi sensoris primer
Lobus occipital Thalamus
Pendengaran Bahasa Persepsi Acalculia pemahaman komunikasi (Wernikeβs area) Fungsi primer penglihatan Area memory
Sistem limbik Cerebellum
Emosi Keseimbangan motorik
Temporoparietal
Kelinan yang ditimbulkan Hemiparesis kontralateral Gangguan intelgency Gangguan penampilan Gangguan bicara Gangguan kontralateral Apraxia Gangguan visual acalculia alexia agraphia gangguan visual disfasia
sensoris
gangguan penglihatan gangguan sinyal gangguan ingatan ketidakstabilan emosi gangguan keseimbangan
Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS)6 Jenis Pemeriksaan Respon buka mata (Eye Opening, E) Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) Respon terhadap suara (suruh buka mata) Respon terhadap nyeri (dicubit) Tida ada respon (meski dicubit) Respon motorik terbaik (M) Ikut perintah Melokalisir nyeri Fleksi normal Fleksi abnormal Ekstensi abnormal Tidak ada (flasid) Respon verbal (V) Berorientasi baik Berbicara mengacau (bingung) Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tidak ada suara
cedera sekunder yang berkembang, misalnya : iskemia, hipoksia dan konsekuensi dari peningkatan tekanan intrakranial. Dua faktor utama yang menyebabkan cedera sekunder hipotensi [tekanan darah sistolik (SBP) <90
Nilai 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
mmHg] dan hipoksemia (Pao2 <60 mmHg). Cedera otak fokus adalah cedera yang terbatas pada lokasi tertentu dan termasuk memar dan hematome, sedangkan cedera otak difus bila kerusakan menyebar diotak tanpa ada
________________________________________________________________________________ 54 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
batas jelas, misalnya: diffuse axonal injury (DAI) dan diffuse subarachnoid hemorrhagic. 1,3,5 Klasifikasi Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut: Cedera kepala ringan ( CKR ) : GCS antara 13-15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ). Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) : GCS antara 9-12 Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit sampai 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ). Cedera kepala berat ( CKB ) : GCS 3-8 Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoma atau edema. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak. Sedangkan cedera kepala tertutup dapat disamakan gegar otak ringan dengan disertai edema cerebri. Gejala dan tanda Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang. Struktur anatomi kepala yang merupakan ruang tertutup menyebabkan permasalahan yang tidak dijumpai pada
organ lain yaitu terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.2,7 Gangguan yang terjadi setelah pasien mengalami gangguan cedera kepala ringan dapat berupa: nyeri kepala, vertigo atau gangguan keseimbangan, mudah lupa, lamban, fatigue (mudah lelah), sensitive terhadap suara dan sinar. Cedera kepala sedang sampai berat prosentasenya 15% dari seluruh cedera kepala dan biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien mengalami penurunan kesadaran yang signifikan, dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, selanjutnya mengalami gangguan berfikir, gangguan fisik, dan emosi yang berkepanjangan. Setelah mengalami cedera kepala, pasien beresiko terjadi cedera kepala berulang 23 kali lipat. Hal ini disebabkan karena perhatian pasien berkurang, reaksi lebih lambat (lebih impulsive), dan sulit mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Cedera kepala berulang ini mengakibatkan kerusakan otak yang lebih besar.2 Trauma susunan saraf pusat sering dihubungkan dengan kejadian edema paru, secara patofisiologi masih diperdebatkan, tetapi secara umum kejadian edema paru bisa disebabkan karena menurunnya osmolaritas, peningkatan permeabilitas membran pembuluh darah, atau tekanan onkotik dan meningkatnya tekanan hydrostatik sehingga terjadi aliran cairan keluar dari pembuluh darah. Pada trauma kepala disebutkan bahwa kerusakan pada hipothalamus, medula oblongata atau pada susunan syaraf pusat akan meningkatkan aktifitas sympatis dan pelepasan katekolamin, hal ini berakibat terjadinya peningkatan afterload atau sytemic vascular resistence sehingga beban ventrikel kiri meningkat dan tekanan hydrostatik di paru juga meningkat. Peningkatan ini
________________________________________________________________________________ 55 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
mengakibatkan overload volume cairan di paru yang mengakibatkan kerusakan endotelial paru dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru sehingga cairan akan menuju ke interstitial dan alveolar paru. 18
pada gambaran radiologis dan temuan klinis yang ada. Pasien dalam keadaan kritis harus dimonitoring secara dekat selama dilakukan pemeriksaan CT atau angiografi. Pasien yang kurang kooperatif bisa diberikan anestesi umum. Sedasi tanpa kontrol jalan nafas harus dihindari karena bisa beresiko meningkatkan TIK
Pilihan antara tindakan operatif dan medis pada trauma kepala didasarkan
Gambar 1 : Mekanisme cedera kepala16
Trauma Primer
iskemia
Kerusakan langsung sel dan pem.darah
Perdarahan dan hematom
Peningkatan CBF
Mediator inflamasi
Oedem
Kerusakan langsung sel dan pem.darah
Kematian sel
Gambar 2: Proses pada trauma brain injury16
________________________________________________________________________________ 56 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
akibat hipoksemi dan hiperkapni. Bila terjadi defisit neurologis saat studi dilakukan, bisa dipertimbangkan pemberian mannitol. CT rutin mungkin tidak diperlukan pada pasien dengan trauma kepala ringan yang memenuhi kriteria berikut: tidak ada sakit kepala atau muntah, berusia dibawah 60 tahun, tidak mabuk, tidak ada defisit dalam memori jangka pendek, tidak ada bukti fisik trauma atas klavikula, dan tidak ada kejang.9,12 Pengelolaan Cedera Kepala Pengelolaan cedera kepala merupakan bagian integral dari resusitasi dan pengobatan pasien trauma, ahli anestesi memainkan peranan penting dalam upaya resusitasi otak selama periode perioperatif dengan merencanakan pengelolaan jalan nafas, kontrol cairan, kontrol tekanan darah, kontrol ventilasi dan menentukan pilihan anestesi serta memonitoring pasien berkelanjutan.2,7 Perawatan pra rumah sakit Tujuan dari setiap sistem perawatan prarumah sakit adalah untuk memberikan perawatan yang optimal sampai pengelolaan pasien ditransfer ke rumah sakit. Langkah yang perlu dilakukan adalah stabilisasi, meliputi stabilisasi jalan nafas, trauma atau luka, dekompresi tekanan dinding dada, membuat akses intravena sebagai persiapan resusitasi cairan dan kegunaan di rumah sakit serta untuk akses minimal obat-obatan emergency. Angka kematian berkisar 25 % segera pada cedera primer dimana sebagiaan besar akibat cedera susunan saraf pusat. Sistem komunikasi dengan rumah sakit juga sangat menentukan untuk pengelolaan selanjutnya.8
Resusitasi Trauma Kepala Pertimbangan pertama dalam evaluasi dan pengelolaan pasien trauma brain injury (TBI) adalah menentukan kebutuhan untuk membentuk suatu definitif jalan napas. Sambil memberikan pengelolaan saluran napas, sejumlah kendala yang bertentangan pasti muncul. Awal masalah pada pasien cedera kepala meliputi: kenaikan tekanan intrakranial, isi perut penuh, trauma vertebrae cervic, problem jalan nafas, trauma trakhea, dan fraktur tengkorak mungkin fraktur basis, status hemodinamik, pasien tidak kooperatif / agresif, dan hipoksemia. Ada suatu patokan resusitasi awal otak yaitu pendekatan airway, breathing dan circulasi kemudian tekanan intra kranial. Data klinis menunjukkan bahwa cedera otak sangat rentan terhadap keadaan hipoksia dan adanya korelasi yang kuat antara defisit neurologis awal dengan hipotensi dan hipoksia. Bila memungkinakan penderita dapat diberikan jalan nafas definitif dengan pemasangan endotracheal tube dengan tujuan mengamankan jalan nafas, menjamin pertukaran gas, menstabilkan sirkulasi dan mengelola tekanan intrakranial dengan semestinya.7 Kita perlu segera melakukan intubasi bila : GCS kurang dari 8, pasien butuh ventilasi mekanik / kontrol pernafasan, pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat TBI, kerusakan ini perlu pengamatan selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi biasanya cukup dalam 24 jam pertama.7 Adanya ketidakpastian integritas tulang vertebra cervicalis, memerlukan penundaan pada tindakan yang memerlukan ekstensi sendi atlantooccipial, kecuali bersifat urgenci untuk mengkontrol jalan nafas, keadaan ini direkomendasikan untuk dilakukan stabilisasi leher dahulu. Sekitar 2 %
________________________________________________________________________________ 57 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pasien dengan TBI yang bertahan hidup sampai rumah sakit menurut data memiliki patah tulang cervik. Pada pemasangan intubasi pasien TBI tidak dianjurkan melalui nasopharing karena ditakutkan masuk ke dasar tengkorak, intubasi ini bisa dilakukan dengan menggunakan fiber optik.7,9 Fraktur dasar tengkorak ditandai dengan adanya cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau otorhea, hemotimpanum, atau ekimosis di dalam jaringan periorbital atau di belakang telinga.9 Pengelolaan tekanan intrakranial Pengukuran tekanan intrakranial biasanya berpatokan kepada status neurologis pasien baik yang akan menjalani operasi maupun tidak, tetapi pada umumnya pasien dengan GCS < 9 memerlukan pemantauan tekanan intrakranial. Untuk pasien yang memerlukan operasi cito yang bertujuan untuk dekompresi dan evakuasi masa, tingkat keparahan pada CT Scan dan temuan operatif juga memerlukan pemantauan tekanan intra kranial.8 Hipertensi intrakranial adalah besarnya TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur lain hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg dan menetap lebih dari 20 menit. Peningkatan progresif dari batas ini atau TIK yang terus menerus >20 mmHg, disarankan untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan. Peningkatan progresif dari TIK dapat mengindikasikan memburuknya hemoragik/hematoma, edema, hidrosefalus, atau kombinasinya dan merupakan indikasi diakukannya pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus menerus TIK akan memperparah resiko terjadinya cedera sekunder (komplikasi) berupa iskemik dan/atau herniasi.9 Pengelolaan tekanan intrakranial dapat dilakukan dengan craniotomi untuk
dekompresi atau evakuasi masa, pengurangan volume darah ke cerebral (elevasi kepala, hiperventilasi, menaikkan tekanan darah, menghilangkan sumbatan vena), pemberian obat hyperosmotic, diuretic, kortikosteroid, dan anestesi vasokontriksi pembuluh darah cerebral (mis. barbiturate, propofol),8-9,12 Manitol Manitol adalah obat yang paling umum digunakan pada pasien dengan cedera kepala, obat ini diklasifikasikan sebagai diuretik osmotik untuk mengurangi tekanan intra kranial. Kemampuan ini didasari oleh sifat hiperosmotik manitol, dimana akan menarik cairan dari sel-sel otak menuju intravaskuler dan dikeluarkan melalui ginjal.9-11 Mannitol, dengan dosis 0,25-0,5 g/kg, secara khusus efektif dalam menurunkan TIK, hati-hati dengan penambahan volume intravaskuler karena dapat menyebabkan edema paru.9 Manitol telah terbukti meningkatkan tekanan perfusi serebral (CPP) dan mikrosirkulasi perfusi. Dalam sebuah studi oleh Kirkpatrick et al, manitol ditemukan untuk meningkatkan CPP sebesar 18% dan penurunan TIK sebesar 21% tanpa mempengaruhi tekanan darah arteri. Dikatakan manitol digunakan oleh 83% pusat kesehatan dan lebih dari 50% digunakan untuk cidera kepala berat.10 Kombinasi penggunaan manitol dan furosemid bisa bersinergi namun membutuhkan monitoring dari 9 konsentrasi serum Kalium. Pengelolaan tekanan darah Hipotensi pada trauma kepala sering berhubungan dengan trauma lainnya (biasanya intraabdominal). Perdarahan dari laserasi kulit kepala bisa berkaitan pada anak-anak. Hipotensi dapat timbul bersama dengan trauma tulang belakang
________________________________________________________________________________ 58 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
karena simpatektomi berkaitan dengan syok spinal.9 Konsep bahwa trauma pada susunan saraf pusat sangat rentan terhadap efek buruk dari hipotensi dan hipoksia telah dipahami benar oleh para ahli. Dari penelitian Chesnul et al dikatakan bahwa pada saat kedatangan pasien dengan GCS 8 dan dalam kondisi hipotensi (sistole < 90 mmHg) dan kombinasi hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg) telah memberikan efek negatif pada status neurologis.2,10 Dikatakan pula bahwa CPP < 70 mmHg pada pemeriksaan saturasi vena jugularis (SvjO2) dan transkranial Doppler telah menunjukkan penurunan perfusi cerebral, demikian juga dikatakan oleh Robertson et al bahwa pada MAP < 50 telah terjadi penurunan aliran darah ke otak dan CPP < 70 terjadi demikian juga. Prinsip pengelolaan tekanan darah pada trauma SSP adalah cedera otak sangat rentan dengan hipotensi, perfusi cerebral yang dapat ditolerir adalah tidak kurang dari 70 mmHg.7 Pengelolaan cairan Perdebatan mengenai cairan kristaloid atau koloid masih belum terselesaikan, tetapi fakta berikut dapat digunakan bahwa pemberian yang menyebabkan cairan keluar dari intravaskuler dapat menyebabkan gangguan osmolaritas dan edeme otak pada orang normal dan cedera kepala. Sehingga prinsip yang digunakan dalam pengelolaan cairan pada trauma SSP adalah hindari cairan yang dapat mengurangi osmolaritas dan keluarnya cairan dari intravaskuler, pengurangan tekanan onkotik koloid tidak menyebakan edema cerebri, pendekatan yang memungkinkan dengan menggunakan campuran koloid dan kristaloid, dan larutan hipertonik telah memberikan keuntungan atas solusi isotonis tetapi karena adanya kekawatiran
akan implikasi fisiologis natrium yang tinggi maka ada pembatasan kegunaannya.7 Kontrol gula darah Kadar gula darah yang tinggi berhubungan dengan iskemia cerebri, sedangkan iskemia cerebri hampir pasti terjadi pada TBI sehingga pemberian glukosa eksternal tanpa indikasi khusus (hipoglikemi) merupakan sebuah kontra indikasi pada trauma SSP. Ada bukti pada perawatan jangka panjang bahwa kontrol gula darah pada kisaran 80-120 gr/dl akan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas.7 Kadar CO2 Prinsip utama pengelolaan CO2 adalah hiperventilasi dan hipokapnia dapat menurunkan tekanan intrakranial dan dapat untuk memfasilitasi bedah saraf, hiperventilasi dan vasokontriksi cerebral dapat menyebabkan iskemia cerebral terutama pada aliran darah ke otak yang rendah, pada pasca opreasi hiperventilasi profilaksis berkaitan dengan hasil yang buruk sehingga dilarang digunakan tanpa indikasi khusus. Hipotermia Efektifitas keadaan hipotermia dalam menguraikan kerusakan otak setelah terjadi trauma pada susunan saraf pusat masih dalam penelitian lanjutan, tetapi dikatakan kondisi optimal pada kisaran 32-34oC, dalam literatur dikatakan bahwa beberapa multicenter melaporkan pada pasien yang datang dalam kondisi hipotermi < 35oC lebih menguntungkan dari pada dalam kondisi normotermi.7 Patofisiologi pada trauma kepala Pengelolaan anestesi pada trauma kepala memerlukan pemahaman tentang 19 patofiologinya :
________________________________________________________________________________ 59 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Cek list untuk pemantauan tekanan intrakranial7 Item Apakah tekanan yang relevant untuk dikendalikan ?
Apakah CMRO2 terkendali ?
Apakah ada obat vasodilator yang digunakan ? Apakah ada lesi massa tidak diketahuai ?
Komentar Tekanan vena jugularis Menghilangkan fleksi kepala atau rotasi leher ekstrim, menghilangkan kompresi atau obstruksi dalam bentuk apapun (kateter leher yang besar, prengkat fiksasi leher). Tahanan jalan nafas : menghilangkan obstruksi, PEEP tinggi, kurangi bronkospasme, terapi pneumothoraks Pastikan PaO2 (60-300 mmHg) Pastikan PaCO2 (35-40 mmHg) Peningkatan TIK dapat menurunakan PaCO2 < 35 mmHg) Meminimalkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan Mengobati kejang, meminimalkansuhu (menjaga 3536.58C) Meminimalkan atau menghilangkan anestesi volatile, N2O, nitropruside, nitrogliserin. Ca chanel bloker Darah, edema, N2O Jika TIKβ, pertahankan PaCO2<35 sampai lesi didekompresi
Tabel 4. Faktor yang berpengaruh terhadap cerebral blood flow (CBF) 7 Faktor MAP
Efek terhadap CBF β MAP ο CBF β
PaCO2
PaCO2 β ο CBF β
PaO2
PaO2 β ο CBF β
CMRO2
CMRO2 β ο CBF β
Obat Vasoaktif
Obat vasodilator (nitropruside, nitrogliserin) menyebabkan CBF β
Komentar MAP antara 70-150 CBF akan terjadi autiregulasi 50 ml/100 gms/min MAP<50 ο CBF β, MAP>150 akan meningkat seiring MAP PaCO2 < 25 berkaitan dengan sikemia cerebral PaCO2 25-60 berkorelasi dengan CBF PaCO2 < 60 mempunyai hubungan terbalik dengan CBF PaO2 60-300 tidak akan merubah CBF, bila >300 bisa jadi β CBF Demam, gelisah, nyeri, kejang akan menaikkan CMRO2 dan CBF Obat anestesi inhalasi semua menyebabkan vasodilatasi, sehingga CBF β (berkaitan dosis) Semua obat intravena anestesi(kecuali ketamin) menyebabkan vasokonstriktor cerebral, ketamin sgb vasodilator cerebral
CPP = MAP-TIK1,3,7,9 Tabel 5 . Kriteria Intubasi11
GCS < 8 Pernafasan irreguler Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit Volume tidal < 3,5 ml/kgBB Vital capacity < 15 ml/kgBB PaO2 < 70 mmHg PaCO2 > 50 mmHg
________________________________________________________________________________ 60 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Efek sistemik trauma kepala
Excitotoxicity
Sistem kardiovaskuler biasanye memberikan efek awal ditandai dengan sympatomimetik yang meningkat : hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output. Faktor kehilangan darah berperan dalam kejadian hipotensi, penurunan cardiac output dan penurunan CPP.
Pelepasan glutamat yang berlebihan bisa terjadi pada trauma kepala sehingga terjadi penumpukan konsentrasi pada LCS, keadaan ini berakibat terjadinya peningkatan kadar ion kalsium intraseluler dan memicu kerusakan dan kematian sel saraf.
Sistem pernafasan sering memberikan gambaran gangguan jalan nafas, hiperventilasi dan apneu serta kejadian edema paru neurogenik. Kejadian akibat lambung penuh dan terjadinya aspirasi pneumonia juga perlu diwaspadai. Pengaturan suhu juga terganggu, kejadian hipertermi dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme dan semakin meningkatkan kerusakan sistem saraf pusat. Perubahan sirkulasi metabolisme
cerebri
dan
Kejadian trauma kepala mengakibatkan penurunan aliran darah ke kepala dan menurunkan kadar oksigen untuk kebutuhan metabolisme di cerebri. Pada kejadian trauma yang diffus bisa sampai menggangu sistem autoregulasi sehingga akan semakain memperberat iskemia cerebri. Peningkatan tekanan intra kranial Peningkatan tekanan intra kranial bisa dipicu oleh pembengkakan otak oleh karena penurunan tonus vasomotor dan peningkatan volume. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, bila tidak segera dikoreksi bisa berlanjut menjadi hipertensi intrakranial dan herniasi batang otak melalui foramen magnum.
Proses inflamasi Peningkatan sitokin sebagai respon dari iskemia cerebri, interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis alpha akan lebih meningkat seiring penurunan GCS pada trauma kepala. Keadaan ini akan merespon radikal bebas dan asam arachidonat yang mengaktivasi adhesi sehingga menyebabkan gangguan dalam mikrosirkulasi dan memperberat efek cedera sekunder otak. Pengelolaan preoperatif Pemberian anestesi pada pasien dengan trauma kepala idealnya dimulai sejak di UGD. Pastikan jalan nafas pasien baik, ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan koreksi hipotensi sistemik dilakukan secara simultan bersamaan evaluasi neurologis. Obsruksi jalan nafas dan hipoventilasi sering terjadi, sekitar 70% dari pasien tersebut dalam keadaan hipoksemi, yang bisa diperburuk dengan adanya kontusio pulmo, emboli lemak, atau edema pulmo neurogenik. Pemberian oksigen harus diberikan pada seluruh pasien dan dilakukan evaluasi terhadap jalan nafas serta ventilasinya. Seluruh pasien harus dipikirkan memiliki trauma leher (sekitar 10% insiden) hingga dinyatakan secara radiologis. Stabilisasi in-line digunakan selama melakukan tindakan terhadap jalan nafas untuk menjaga kepala dalam posisi normal. Pasien dengan hipoventilasi yang jelas, tidak adanya reflek muntah, atau GCS <8 yang persisten membutuhkan intubasi trakea dan hiperventilasi. Seluruh pasien
________________________________________________________________________________ 61 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
harus diawasi perburukan.7,9,11,12
terhadap
adanya
menurunkan LCS, tingkat konsumsi oksigen cerebral dan tekanan intrakranial
Manajemen perioperatif pada pasien dengan trauma kepala akut, harus mempertimbangkan resiko cedera sekunder akibat iskemia serebral serta cedera yang mempengaruhi sistem organ selain otak. CBF biasanya berkurang di awal dan kemudian secara bertahap meningkat seiring dengan waktu. Faktorfaktor yang berkontribusi perburukan pada pasien yang mengalami cedera kepala, peningkatan intra cranial pressure (ICP/TIK) dan MAP kurang dari 70 mm Hg. Autoregulasi normal dari CBF sering terganggu pada pasien dengan cedera kepala akut, tetapi reaktivitas karbon dioksida biasanya tidak terpengaruh. Pengendalian peningkatan ICP dengan manitol atau furosemide juga menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien yang dilakukan craniectomy.9,12 Hiperventilasi, meskipun efektif dalam mengendalikan ICP, juga dapat berkontribusi dalam iskemia serebral pada pasien yang mengalami cedera kepala, hal ini menjadi rekomendasi umum untuk menghindari hiperventilasi kecuali jika diperlukan. Obat-obat sedasi mungkin bermanfaat pada beberapa pasien sebagai alat untuk mengontrol hipertensi intrakranial ketika cara lain yang lebih konservatif telah gagal. Pada orang dewasa, hipotermia ringan pada pasien dengan cedera kepala akut belum terbukti memperbaiki hasil. Administrasi salin hipertonik dan manitol dapat mengurangi volume otak. Edema paru neurogenik mungkin juga berkontribusi pada disfungsi paru akut. 7,9,12, 18
Ketamin memiliki efek saraf antagonis NMDA (N metil D aspartat), namun dalam pengaturan cedera kepala akan meningkatkan TIK, ketamin merupakan kontra indikasi untuk induksi, ketamin akan meningkatkan MAP pada orang normal tetapi akan menurunkan MAP pada pasien syok hipovolemik karena terjadinya depresi myokard dan tidak adanya efek simpatomimetiknya pada kondisis ini.
Pada dosis tinggi semua obat akan menurunkan produksi liquor cerebro spinal (LCS), kecuali ketamin yang meningkatkan LCS Jika ventilasi mempertahankan
terkontrol, atau
fentanyl sedikit
Dosis rendah obat anestesi lokal akan menurunkan TIK, alirandarah serebral laju konsumsi oksigen cerebral (CMRO2), sedangkan dosis induksi dapat menyebabkan kejang dan meningkatkan CMRO2. Pasien dengan cedera otak mungkin memerlukan anestesi untuk intervensi bedah saraf seperti evakuasi hematoma, craniectomy pada edema serebral, atau stabilisasi tulang belakang. Pengelolaan anestesi meliputi upaya untuk mengoptimalkan CPP, meminimalkan terjadinya iskemia serebral, dan menghindari obat-obatan dan teknik yang dapat meningkatkan ICP serta memberikan kondisi yang memadai bagi ahli bedah saraf. CPP, jika memungkinkan, dipertahankan di atas 70 mm Hg, dan hiperventilasi tidak digunakan kecuali jika diperlukan sebagai ukuran untuk mengontrol kenaikan TIK. Selama evakuasi bedah akut hematoma epidural atau subdural, tekanan darah sistemik menurun drastis pada saat bedah dekompresi dan memerlukan resusitasi agresif. Pasien dengan cedera kepala parah dapat mengalami gangguan oksigenasi dan ventilasi yang merumitkan periode intraoperatif. Resusitasi cairan yang memadai dan penggantiannya adalah hal yang penting. Solusi kristaloid
________________________________________________________________________________ 62 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
hipertonik, meningkatkan tekanan plasma osmotik dan dengan demikian mengurangi cairan dari ruangan yang bersinggungan dengan otak. Penggunaan cairan kristaloid hipotonik dihindari, karena dapat menurunkan tekanan plasma osmotik dan meningkatkan edema serebral bahkan di otak normal. Cairan yang mengandung glukosa harus dihindari kecuali dinyatakan secara khusus (misalnya, perlakuan terhadap diagnosis-laboratorium pada hipoglikemia), dari kepedulian untuk memperburuk cedera neuronal dalam penetapan hyperglikemia. Pemantauan hemodinamik pasien sangat diperlukan sehingga pemasangan monitoring dengan kateter arteri baik di a. radialis atau a. dorsalis pedis sangat diperlukan. Berbagai macam teknik anestesi dianjurkan, tetapi hal ini disesuaikan dengan kondisi dan status hemodinamik pasien.19 Induksi Anestesi Pasien dalam keadaan hemodinamis stabil, induksi anestesi dengan induksi obat-obatan intravena dan relaksan otot non-depolarisasi dapat diterima. Penggunaan fiberoptic intubasi atau trakeostomi harus dipertimbangkan pada pasien, ketika dipertimbangkan terdapat kesulitan intubasi laryngoscopy secara langsung, atau dapat memperburuk defisit neurologis lebih lanjut (misalnya, patah tulang belakang leher), atau sudah ada bukti fraktur dasar tengkorak. Rapid sequence induction (RSI) RSI memungkinkan digunakan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil dan ada resiko kemungkinan aspirasi akibat lambung penuh. Resiko teknik ini terjadinya kenaikan tekanan darah dan TIK. Obat yang bisa digunakan dengan oksigen 100 %, thiopental 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholine
1,5 mg/kg. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis obat diturunkan atau bahkan tidak dipakai. Succinylcholine telah terbukti meningkatkan TIK, oleh kerena itu bila tidak memungkinkan bisa diganti dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg.19 Induksi intravena Pasien dengan hemodinamik stabil dan kondisi lambung tidak penuh, teknik ini merupakan pilihan. Thiopental atau propofol dapat diberikan secara titrasi untuk meminimalkan depresi kardiovaskuler, relkasan non depolarisasi dapat diberikan tanpa priming, fentanyl 1-4 mcg.kg iv dapat diberikan untuk merespon pengaruh hemodinamik saat intubasi, lidokain 1,5 mg/kg iv bisa diberikan 90 detik sebelum intubasi, hal ini dapat mencegah peningkatan TIK. Nasogastric tube (NGT) Pemasangan NGT dipertimbangkan setelah intubasi dan bila dikuatirkan adanya fraktur dasar tengkorak sebaiknya pemasangan melalui mulut, pemsangan ini untuk dekompresi isi lambung. Pemeliharaan Anestesi Pemeliharaan anestesi yang ideal adalah dapat menurunkan TIK, dapat menjaga pasokan oksigen dan mempunyai efek brain protector. Pemeliharaan anestesi bisa dengan obat intra vena atau volatile dosis rendah, dengan mengingat bahwa tujuannya adalah untuk mengoptimalkan CPP dan mencegah peningkatan TIK (lihat tabel 7). Nitrous oksida harus dihindari karena resiko dan kemungkinan penambahan cedera pneumocephalus non-neurologis atau pneumotoraks. Sevofluran dosis rendah dapat meminimalisir kerusakan auto-regulasi, meskipun isoflurane dosis rendah juga merupakan pilihan yang
________________________________________________________________________________ 63 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
baik. Jika edema otak akut berkembang, segera perbaiki beberapa hal seperti hiperkapnia, hypoxemia, hipertensi sistemik, dan obstruksi vena harus dipertimbangkan dan diperbaiki jika ada. Pemantauan tekanan darah pada sistemik dengan arteri line dapat membantu, sedangkan pemasangan CVP juga dapat dipertimbangkan Muscle relaxan Relaksasi otot yang cukup dapat memfasilitasi ventilasi mekanis, menghilangkan reflek batuk dan dapat menurunkan TIK. Vecuronium Efek minimal bahkan tidak berpengaruh terhadap TIK, tekanan darah, heart rate dan efektif pada cedera kepala. Dosis awal 0,08-0,1 mg/kg diikuti dengan infus syringe pump 1-1,7 mcg/kg/menit. Pankuronium Obat ini tidak menghasilkan peningkatan ICP tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi karena efek vagolytic, sehingga meningkatkan risiko pasien. Atracurium Tidak berpengaruh pada ICP, onset cepat dan durasi singkat tindakan, dosis bolus 0,5 sampai 0,6 mg / kg diikuti dengan infus kontinu pada tingkat 4 sampai 10 mcg/kg/menit diberikan dengan pemantauan blokade neuromuskuler. Laundanosin merupakan hasil metabolit yang dapat merangsang terjadinya kejang. Rocuronium Berguna untuk RSI karena onset yang cepat kerjanya dan kurangnya efek pada dinamika intrakranial.
Ventilasi mekanik Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk menjaga oksigenasi dan mempertahankan PaCO2 sekitar 35, penyesuaian FiO2 dengan target PaO2 lebih dari 100 mmHg. Pada perlakuan khusus dengan edema pulmonum dapat diberikan dengan PEEP yang memadai. PEEP yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal sehingga mengganggu sistem vena cerebral dan kemingkinan peningkatan TIK semakin besar. Sistem sirkulasi CPP harus dipertahankan antara 60 β 110 mmHg. Pemantauan langsung hemodinamik dapat melalui kateter arteri. Bila kondisi ventilasi dan oksigenasi baik, kecukupan cairan pasien dalam kondisi hipotensi, pertimbangan pemberian inotropik atau vasopressor dapat dibenarkan. Fenilephrin 0.1-0.5 mcg/kg/mnt dan dopamin 1-10 mcg/kg/mnt adalah obat yang dianjurkan. Pemberian bolus dan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba tidak dianjurkan, karena dapat meningkatkan TIK terutama. Kejadian hipertensi harus disikapi hati-hati kemungkinan mencerminkan efek kompensasi sistem saraf simpatik akibat TIK meningkat dan kompresi batang otak (refleks Cushing). Peningkatan TIK Intraoperatif Posisi pasien dengan kepala sedikit dielevasikan 10-30o dan pastikan bahwa sistem vena pada daerah leher baik tanpa ada sumbatan. Ventilasi pertahankan PaCO2 pada kisaran 35 mmHg, hiperventilasi sebaiknya dihindari bila tidak ada monitoring yang memadai Tekanan darah bila sistolik < 90 mmHg atau > 160 mmHg sebaiknya dikoreksi.
________________________________________________________________________________ 64 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Diuretik bila diperlukan dapat menggunakan manitol dan kombinasi dengan furosemide 0.1 - 0.2 mg bisa diberikan bila ada resiko kelainan jantung
dan berikan 15 menit sebelum manitol. Pemantauan elektrolit, kecukupan cairan dengan CVP dan hemodinamik dengan kateter arteri sangat diperlukan.
Pemantauan ventilasi, oksigenasi, kedalaman anestesi dan pemberian diuretik terakhir diperhatikan. Bila otak tetap menonjol dapat diberikan thiopental atau pentobarbital dan hiperventilasi dengan monitoring SjO2 secara ketat.
Bila ini kembali gagal dipertimbangkan untuk dekompresi dan ventrikulostomi. Monitoring 19 Pemantauan dalam operasi bedah saraf sangat penting diantaranya pemantauan
Tabel 6. Obat indukasi intra vena dan pengaruh terhadap tekanan intrakranial, proses lanjutan, tekanan darah7
Obat
ICP
CMRO2
CBF
CSFproda
MAP
Etomidate
β
β
β
ββ
ββ
Propofol
β
β
β
ββ
β
Thiopental
β
β
β
ββ
β
Midazolam
ββ
β
β
ββ
ββ
Fentanyl
β
ββ
ββ
ββ
ketamin
β
β
β
ββ ? (βreabsorbsi)
Lokal anestesi
ββ
ββ
ββ
?
β
βd ββ
Catatan: Bila dua panah disajikan, panah pertama menunjukkan efek dosis obat yang rendah dan panah kedua meunjukkan efek dosis obat yang tinggi Tabel 7. Perbandingan efek agen anestesi pada fisiologi cerebral.14
βββ β β β
Produksi CSS β Β± β ?
Absorp si CSS β β β ?
β
β
Β±
ββββ βββ βββ
βββ ββ ββββ
ββ Β± Β± ββ
Agen
CMR
ADO
CBV
TIK
Halothan Isofluran Desfluran Sevofluran Nitrogen oksida Barbiturat Etomidate Propofol Benzodiazepi n Ketamin Opioid Lidokain
ββ βββ βββ βββ
ββ ββ β β
ββ β ββ ββ
Β±
Β±
β
Β± Β± ?
β β ?
ββ ββ ββ
βββ ββ ββ
β
Β±
β
β
β
ββ Β± ββ
Β± Β± ?
β β ?
ββ Β± ββ
ββ Β± ββ
Keterangan : β, peningkatan; β, penurunan; Β±, sedikit atau tidak berubah; ?, tidak diketahui; CMR, cerebral metabolic rate; ADO, aliran darah otak; CSS, cairan serebrospinal; CBV, volume darah serebral; TIK, tekanan intrakranial.
________________________________________________________________________________ 65 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
standar tekanan darah (kateter arteri), irama jantung (EKG), heart rate, suhu, SpO2, End Tidal CO2, urine output, CVP. Laboratorium analisa gas darah (AGD), elektrolit, glukosa, osmolaritas serum darah secara berkala. Bila diperlukan pemantauan emboli udara, EEG, TCD (trans Cranial dopler), TIK, SjO2. SjO2 memberikan gambaran mengenai keseimbangan antara pasokan oksigen cerebral dan kebutuhan untuk metabolisme. Bila < 50 % dalam waktu > 15 menit memberikan gambaran prognosis yang buruk. Proteksi cerebral Hipotermia antara 33 β 35oC dapat memberikan perlindungan otak, mekanisme ini termasuk penurunan metabolisme, excitotoxicity, pembentukan radikal bebas, dan pembentukan edema. Perlakuan hipotermi pada pasca operasi masih kontroversial. Periode Pasca Operasi Keputusan saat mengekstubasi endotrakea saat akhir pembedahan tergantung pada berat traumanya, adanya trauma abdomen atau thoraks yang terjadi bersamaan, penyakit yang ada sebelumnya, serta tingkat kesadaran preoperatif. Pada pasien muda yang sadar saat preoperatif bisa diekstubasi setelah pengangkatan lesi, namun pada pasien dengan trauma otak diffus masih dipertahankan intubasinya. Selanjutnya, hipertensi intrakranial yang persisten membutuhkan agen sedasi, paralisis, hiperventilasi dan mungkin fenobarbital pada postoperatifnya.9,12,19
Hematome Keadaan ini seharusnys telah melewati skrining sejak awal melalui pemeriksaan faktor pembekuan darah, trombosit lebih dari 100 000, protombine time, partial tromboplastin international normalized ratio (INR). Pada gambaran klinis tidak menunjukkan secara spesifik, misalnya menunjukkan tanda-tanda fokal hemipharesis, aphasia, kelainan saraf cranial, kejang dan perubahan tanda vital seperti trias Cushing (hipertensi, bradikardi dan depresi pernafasan) yang mencerminkan peningkatan tekanan intra kranial. Terlepas dari perlunya monitoring CT Scan atau diooperasi ulang, ada langkah awal yang perlu dilakukan, misalnya pemberian manitol antara 1 β 1,5 g/kg dan dilanjutkan 0,5 g/kg tiap 4 jam. Pemberian manitol memerlukan pemantauan BGA dan osmolaritas cairan. 17 Edema cerebri Keadaan ini mungkin disebabkan karena faktor pengelolaan cairan maupun komplikasi operasi. Edema cerebri pada prinsipnya akan menambah volume intrakranial sehingga akan menyebabkan TIK yang meningkat. Pemberian steroid dapat memberikan manfaat pada kasus neoplastik. Sedangkan bila karena trauma pemberian manitol lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan steroid. Pneumoenchephalus Kondisi menumpuknya udara didalam ruang kepala sebagai akibat craniotomy atau penutupan tulang tengkorak yang kurang baik.
Perawatan pasien pasca craniotomi memerlukan perhatian yang cemat dari ahli anestesi. Beberapa komplikasi yang sering ditemukan misalnya: 17 ________________________________________________________________________________ 66 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hydrochepalus Infeksi selaput otak Pada sistem metabolik bisa terjadi gangguan elektrolit, hiponatremi atau hipernatremi. Periode pasca operasi pada hakekatnya sama dalam memonitoring pasien tanpa operasi di bangsal perawatan resiko tinggi maupun di ICU. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : Oksigenasi Pasca trauma cerebri maupun pasca bedah craniotomi kejadian iskemia sekunder sering terjadi, oleh karena itu pengelolaan hipoksia dengan oksigenasi sangat diperlukan. Keadaan pasca resusitasi diusahakan PaO2 tidak kurang dari 60 mmHg.1 Pengelolaan cairan untuk pengendali hipotesi Kedaaan hipotensi seperti diatas telah diterangkan sangat berperan untuk menunjang terjadinya hipoksia sel-sel otak, oleh karena itu harus dijaga dengan baik. Pengelolaan hipotensi harus mencakup tidak hanya penggantian cairan tetapi juga diidentifikasi faktor penyebabnya.1,7 Ventilasi dan monitoring PaCO2 dan evaluasi efek tekanan intrathorak Pada pasien dengan riwayat trauma kepala atau dalam kondisi koma, tidak ada jaminan untuk jalan nafas, oleh karena itu ventilasi harus terjamin dengan baik, hal ini bisa dilakukan dengan pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik. Keadaan ini juga diusahakan untuk mencegah hiperkapnia, kondisi yang direkomendasikan antara PaCO2 30-45 mmHg. Pemberian PEEP yang tinggi juga dapat mengganggu vena balik sehingga akan meningkatkan TIK,
demikian juga pada pemasangan central venous pressure (CVP) direkomendasikan melalui vena 7 subclavia. Sedasi, analgesi neuromuskuler
dan
blok
Pasien dengan menggunakan ventilator mekanik memerlukan kenyamanan agar tidak terjadi gejolak hemodinamik, peningkatan work of brething (WOB) yang kesemuanya dapat meningkatkan TIK. Sedasi dapat diberikan propofol 0,1 β 0,5 mg /kg/jam, midazolam 1-6 mg/jam. Anelgetik dapat diberikan morphin dengan dosis rendah dalam titrasi, sedangkan blok neuromuskuler dapat diberikan golongan nondepolarisasi.7 Elevasi kepala Secara tradisional pasien diposisikan dalam elevasi 30o, dan akan menurunakan TIK berkisar 1-2 mmHg. Kondisi ini secara umum juga akan menurunkan CPP, oleh karena itu pemberian vassopresor juga 7 direkomendasikan. Ventriculostomi untuk ventrikeler eksternal
drainase
Diuretik osmotik Loop diuretik Furosemide efektif digunakan bila pemberian tunggal manitol tidak memberikan manfaat yang diinginkan.1,11 Dosis furosemide dapat diberikan 0,5-1 mg/kgBB. Pengendalian kejang Kejang dapat dikendalikan dengan pemberian phenitoin 5-20 mg/kg, atau diazepam 0,3 mg/kg titrasi pelan-pelan, barbiturat dan pentotal.
________________________________________________________________________________ 67 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Steroid Pada cedera otak, pemberian kortikosteroid di Amerika sudah tidak dianjurkan.7 Vasopressor Untuk menjaga CPP dapat diberikan vassopressor pada kondisi kebutuhan cairan telah terpenuhi, yang sering digunakan adalah norephinephrin, dopamin, adrenalin, dobutamin.7 Kontrol suhu Kontrol gula darah Rehabilitasi Hendaknya perawatan rehabilitasi untuk menunjung kualitas hidup seseorang pasca trauma susunan saraf pusat dimulai sejak awal di ICU atau lebih dini. Tujuan dari rehabilitasi adalah untuk menunjang kemampuan fisik secara maksimal, dukungan psikologis, fungsi sosial, kemampuan berkarya, rekreasi, dan ekonomi.1 Ringkasan Cedera kepala merupakan problematika yang komplek, karena hal ini dipengaruhi keadaan saat cedera dan akan mempengaruhi keadaan setelah cedera. Oleh karena itu penanganan yang tepat sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Penanganan yang tepat dengan mempertimbangkan penanganan pertama, sistem transportasi dan penanganan ditingkat rumah sakit. Kejadian setelah trauma merupakan komplikasi yang sering terjadi dan menyebabkan keadaan menjadi lebih berat, misalnya penanganan yang kurang baik dan iskemia sekunder. Penanganan psikologis sangat diperlukan untuk penderita pasca cedera kepala maupun keluarga dan
orang-orang terdekat, hal ini dimungkinkan timbulnya penurunan kualitas hidup seseorang pasca cedera kepala. DAFTAR PUSTAKA 1.
Sutcliffe AJ. Traumatic Brain Injury: Critical Care Management. In : Marshall LF. Section D: Neurological Injuries And Considerations. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB. Trauma Critical Care. Informa healt care. New York. Volume 2.2007 ; 201-94. 2. Retnaningsih. Cedera Kepala Traumatik. www.kabarindonesia.com. 28-Apr-2008. 3. Picton P, Deaki CD, Jandia R. Neurophysiology Review. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB. Trauma Critical Care.. Informa healt care. New York. Volume 2. 2007; 1-19. 4. Kleinman W, Mikhail M. Section III. Regional Anesthesia & Pain Management, Chapter 16. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In : Morgan GE, Murray Michael J. Clinical anesthesiology. New York : McGraw Hill; 2006; 289-323. 5. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci 2011;1:27-35 6. Levin D, Bachtis C, Acosta JA, Jacoby IJ. Trauma Scoring and Triage. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB. Trauma emergency resuscitation perioperative anesthesia surgical management. Informa healt care. New York. . volume 1.2007; 59-79 7. Atkins GG, Drummond JC. Traumatic Brain Injury. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB. Trauma emergency resuscitation perioperative anesthesia surgical management. Informa healt care. New York. . volume 1.2007;433-444. 8. Christensen EF, Deakin CD, Vilke GM, Lippert FK. Prehospital Care and Trauma Systems. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB. Trauma emergency resuscitation perioperative anesthesia surgical management. Informa healt care. New York. . volume 1.2007; 43-59. 9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Section IV. Physiology, Pathophysiology, & Anesthetic Management. Chapter 26. Anesthesia for Neurosurgery , In Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;631-646. 10. Abrar Ahad Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR. Controversy in use of mannitol in head injury. Indian Journal
________________________________________________________________________________ 68 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
11. 12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
of Neurotrauma (IJNT) 2008, Vol. 5, No. 1, pp. 11-13. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Saga olahcitra, Bandung, 2008 Pasternak JJ, William L Lanier WJ. Chapter 10a β Diseases Affecting The Brain. In : Hines & Marschall: Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, 5th ed,. Churchill Livingstone, An Imprint of Elsevier, Philadelpia, 2008. Traill R. Acute Head Injuries: Anaesthetic Considerations. Australasian anaesthesia . Australia dan New zeland;2007. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Section IV. Physiology, Pathophysiology, & Anesthetic Management. Chapter 25. Neurophysiology & Anesthesia, In: Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;614-630. Trauma Brain Injury. http://en.wikipedia.org/wiki/Traumatic_brain _injury Guha A. Management of traumatic brain injury: some current evidence and applications. Postgrad Med J 2004;80:650β 653. Jea A, Razack N. PART VII : Neurosurgical Complications. Complications After Craniotomy. In : Cohn SM. Complications in Surgery and Trauma. Informa Healthcare USA. New York. 2007; 483-490. Bahlaoul M, Anis N, Kallel H, Khabir A. Neurogenic Pulmonary Edema Due to Traumatic Brain Injury: Evidence of Cardiac Dysfunction. American Journal of Critical Care. 2006;15(5):462-470. Takefumi Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic Management : Anesthetic Management of Head Trauma. In : Newfield, Philippa, Cottrell, James E. Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
________________________________________________________________________________ 69 Volume II, Nomor 1, Tahun 2010