JAI
Volume IV Nomor 01, Maret 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah
ISSN 2089-970X www.janesti.com
Pelindung: Ÿ Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ÿ Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ÿ Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang) Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang) Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta) Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar) Seksi Usaha: dr. Mochamat, Sp.An Administrasi: Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,per tahun. Bagi pengirim artikel penelitian yang dimuat di JAI, dikenakan kontribusi senilai Rp. 500.000,-. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346. Email:
[email protected]
Website: www.janesti.com
Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian. Diantaranya adalah mengenai pengaruh terapi cairan terhadap asam basa tubuh, oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik, dan pengaruh penggunaan mesin Cardiopulmonary Bypass terhadap jumlah leukosit. Dua tinjauan pustaka, mengenai perkembangan sirkuit anestesi dan awareness dan recall intraoperatif diharapkan menambah wawasan kita dalam bidang anestesi. Seiring dengan semakin berkembangnya sistem informasi, maka Jurnal Anestesiologi Indonesia membangun situs web www.janesti.com untuk memudahkan akses informasi berkala ilmiah dan memberikan kesempatan yang luas agar situs web tersebut dapat di-link atau dijadikan referensi ilmiah. Semoga bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Ucapan Terima Kasih Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. IV No. 1 Tahun 2012: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang) Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
DAFTAR ISI PENELITIAN Suriyadi, Mohamad Sofyan Harahap, Ery Leksana Perbedaan Pengaruh Pemberian HES 6 % Dalam Larutan Berimbang Dengan HES 6 % Dalam Larutan Nacl 0,9 % Terhadap Perubahan pH, Strong Ion Difference Dan Klorida Pada Pasien Bedah Sesar Dengan Anestesi Spinal Terdapat penurunan pH, penurunan SID dan peningkatan kadar klorida pada kelompok HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan HES 6% terdalam larutan berimbang secara tidak bermakna. Mochamat, Johan Arifin, Jati Listiyanto Pujo Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Penurunan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%. M Mukhlis Rudi P, Hariyo Satoto, Uripno Budiono Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional Pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart . Rapto Hardian, Hariyo Satoto, Soenarjo Pengaruh Penggunaan Mesin Cardiopulmonary Bypass Terhadap Kadar Leukosit pada Operasi Bedah Jantung Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada penggunaan mesin CPB terutama pada menit ke 30. Pada menit ke 15 belum terdapat peningkatan jumlah leukosit yang bermakna akibat pemakaian mesin CPB .
TINJAUAN PUSTAKA Taufik Eko Nugroho, Himawan Sasongko, Soenarjo Perkembangan Sirkuit Anestesi Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-rebreathing berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali Aunun Rofiq, Witjaksono, Widya Istanto Awareness dan Recall Intraoperatif Awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak berhubungan sama sekali. Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es
Hal 1
9
17
29
36
51
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Pengaruh HES 6 % Dalam Larutan Berimbang Dengan HES 6 % Dalam Larutan Nacl 0,9 % Terhadap pH, Strong Ion Difference Dan Klorida Pada Pasien Bedah Sesar Dengan Anestesi Spinal Suriyadi*, Mohamad Sofyan Harahap**, Ery Leksana** *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Patut Patuh Patju, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Colloid administration as preload on caesarian section with spinal anesthesia is more effective than crystalloid administration. Colloid solvent-based-on administration has been improved due to the effect of acid-base balance. Purpose: To analyze the effect of HES 6% in balance solution and HES 6% in NaCl 0,9% solution on pH, SID and chloride change in caesarian section delivery with spinal anesthesia. Methode: This is second stage experimental clinical trial, double blind randomized with consecutive sampling, divided into two groups (n=24), HES 6% in balance solution and HES 6% in NaCl 0,9% solution. T-test or Wilcoxon Signed Rank Test was performed to compare pH, SID and chloride level in each group whereas Independent t-test or Mann Whitney U-test was used to compare both. Result: There was no significant difference on pH, SID and chloride level after administration of HES 6% in balance solution and HES 6% in NaCl 0,9% on caesarian section. Conclusion: There is increasing on chloride concentration not significantly after administration of HES in NaCl 0,9% solution, while pH and SID decrease after the administration of two solution. Keyword: HES 6%, balance solution, NaCl 0,9% solution, pH, SID, chloride level ABSTRAK Latar belakang penelitian: Pemberian koloid sebagai preload pada bedah sesar dengan anestesi spinal lebih efektif dibandingkan kristaloid. Kebijakan pemilihan koloid berdasarkan jenis pelarutnya mulai dikembangkan terkait dengan dampak terhadap keseimbangan asam-basa. Tujuan: Melihat perbedaan pengaruh pemberian preload HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dengan HES 6% dalam larutan berimbang terhadap perubahan pH, SID dan kadar klorida pada pasien bedah sesar dengan anestesi spinal Metode: Merupakan uji klinik eksperimental tahap II yang dilakukan secara acak tersamar ganda, menggunakan consecutive sampling, dibagi dua kelompok (n=24), kelompok HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9%. Uji statistik t-test atau Wilcoxon signed rank test digunakan untuk membandingkan nilai pHSID, dan kadar klorida pada masing-masing kelompok, sedangkan uji statistik antarkelompok digunakan independent t-test atau Mann-Whitney U-test Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
1
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hasil: Nilai pH, SID, dan kadar klorida kelompok HES 6 % dalam larutan sebelum dan sesudah operasi antara berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% terdapat perbedaan yang 6% terdalam larutan berimbang secara tidak bermakna (p>0,05) tidak bermakna. Kesimpulan: Terdapat penurunan pH, penurunan SID dan peningkatan kadar Kata Kunci: HES 6 %, larutan klorida pada kelompok HES 6% dalam berimbang, larutan NaCl 0,9 %, pH, SID, larutan NaCl 0,9% dibandingkan HES klorida _________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Anestesi spinal merupakan salah satu teknik yang paling sering dipilih pada operasi bedah sesar. Efek samping yang paling sering dijumpai pada teknik anestesi spinal adalah hipotensi sebagai akibat blok simpatis dalam ruang subarakhnoid. Hipotensi pada parturien (kondisi tekanan intraabdominal tinggi) menyebabkan insidensi penurunan tekanan darah + 20 % lebih sering dibandingkan pasien lain.1 Aliran darah uterus secara langsung ditentukan tekanan darah maternal. Oleh karena itu hipotensi yang tidak dikelola dengan baik akan berpengaruh pada ibu dan janin. Pengelolaan pencegahan hipotensi dilakukan dengna memastikan terpasangnya akses vena yang lancar sebelum anestesi spinal, pemberian cairan intravena untuk meningkatkan preload dan pemberian vasopressor (efedrin). Berdasarkan system review analgesia spinal, didapatkan hasil bahwa kemampuan cairan kristaloid sebagai cairan preloading untuk mencegah hipotensi tidak konsisten dan koloid dalam hal ini lebih efektif daripada kristaloid.2 Cairan koloid juga mampu menurunkan kebutuhan pemakaian efedrin sebagai vasopressor dan menurunkan insidensi terjadinya mual muntah hingga penurunan kesadaran.3 Penelitian Riley dkk, menunjukkan bahwa hipotensi lebih sedikit terjadi pada kelompok yang mendapatkan preload 500
2
mL HES 6 % dibandingkan kelompok yang mendapatkan preload 1 liter Ringer Laktat.4 Penelitian Ueyama (1999) membandingkan kelompok yang diberi preload Ringer Laktat 1,5 liter, koloid HES 6 % 1 Liter, dan koloid HES 6% 500 ml, didapatkan hasil bahwa kelompok yang mendapatkan preload HES 6% 1 liter lebih sedikit mengalami hipotensi dibandingkan kelompok lainnya.5 Konsep berbasis pendekatan Stewart menguraikan bahwa terdapat beberapa independent variabel yang menentukan keseimbangan asam-basa, antara lain: tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) dan Strong Ion Difference (SID) merupakan variabel yang penting dalam pemberian cairan infus.6,7 Pemberian cairan yang tidak mengandung elektrolit berimbang dikatakan mempunyai tendensi memperberat kondisi asidosis yang semula mungkin sudah ada karena proses hipoperfusi.8 Penelitian Base dkk, menunjukkan kadar klorida serum secara signifikan lebih rendah setelah pemberian larutan berimbang dibandingkan pemberian HES dalam larutan NaCl 0,9% dan terkait dengan keseimbangan asam-basa, penggunaan HES dalam larutan berimbang menunjukkan keuntungan yang lebih jelas.9
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Penelitian Nicholas dkk, menunjukkan bahwa tingkat klorida pascaoperasi meningkat lebih tinggi pada kelompok HES dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan kelompok HES dalam larutan berimbang. Base excess standar pascaoperasi menunjukkan penurunan yang lebih besar pada kelompok HES dalam NaCl 0,9 %, namun tidak kelompok HES pada larutan berimbang. Asidosis metabolik hiperkloremik terjadi pada dua pertiga pasien kelompok HES dalam NaCl 0,9 % namun tidak pada kelompok HES dalam larutan 10 berimbang. Berdasarkan latar belakang tersebut berkembang suatu pemikiran apakah pemberian preload pada anestesi spinal menggunakan cairan koloid yang mengandung pelarut NaCl 0,9 % bila dibandingkan cairan koloid yang mengandung pelarut berimbang menimbulkan perubahan kadar klorida yang bermakna, serta mempengaruhi keseimbangan asam basa yang dapat dilihat dari nilai strong ion difference (SID) dan pH pada pemeriksaan gas darah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan pengaruh pemberian HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9% dan HES 6 % dalam larutan berimbang terhadap komponen keseimbangan asam basa dengan parameter pH, SID, dan kadar klorida pada operasi bedah sesar menggunakan anestesi spinal. METODE Jenis penelitian ini adalah uji klinik eksperimental tahap II dengan desain acak tersamar ganda. Penelitian ini dilakukan sejak November 2010 hingga Januari 2011 pada pasien bedah sesar di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang. Pemeriksaan laboratorium pH,
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
strong ion difference, kadar klorida dilakukan menggunakan sampel darah pasien 1 jam sebelum dan setelah diberikan cairan preload untuk diperiksa pada Laboratorium Patologi Klinik RSUP dr. Kariadi Semarang. Larutan berimbang didefenisikan sebagai larutan isotonik yang mengandung komposisi elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca++ dan laktat) yang menyerupai komposisi cairan ekstraseluler. Larutan NaCl adalah larutan isotonik yang mengandung komposisi elektrolit Na+ dan Cl-. Kriteria inklusi adalah parturien berusia 19 hingga 35 tahun, status fisik ASA I-II, menjalani operasi SC cito dan elektif dengan anestesi spinal, BMI normal (18,5-24,9), dan setuju mengikuti penelitian yang diperoleh menggunakan consecutive sampling yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok 1 menggunakan cairan HES 6 % dalam larutan berimbang sebagai cairan preload anestesi spinal pada operasi bedah sesar dan Kelompok 2 menggunakan cairan HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9 % sebagai cairan preload anestesi spinal pada operasi bedah sesar. Kriteria eksklusi adalah pasien mendapatkan pemberian cairan koloid >500 mL, transfusi darah selama perlakuan, durante operasi mengalami komplikasi anestesi maupun pembedahan. Analisis menggunakan uji normalitas data dan analisis inferensial untuk menguji hipotesis dengan menggunakan independent t-test dan Mann Whitney U test. Etika penelitian dilakukan informed consent tertulis dengan penjelasan tujuan dan manfaat penelitian. Segala konseskuensi khususnya mengenai pembiayaan ditanggung oleh peneliti. Pasien dengan pembedahan elektif
3
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dengan anestesi spinal tetap diberikan pengelolaan anestesi sesuai standar yang berlaku. Data pribadi penderita dijamin kerahasiaannya. Tidak terdapat conflict of interest dengan pihak mana pun.
HASIL Karakteristik umum subjek penelitian terlihat pada tabel 1
Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek penelitian No
Variabel
HES 6% dalam larutan berimbang
HES 6 % dalam
p
larutan NaCl 0,9 % 1
Umur (tahun)
26,830 + 4,449
27,250 + 4,465
0,748*
2
Body Mass Index
22,40 (18,90-24,80)
22,35(18,60-24,80)
0,929*
3
Status ASA ASA I
13 (27,1)
12 (25)
0,773**
ASA II
11 (22,9)
12 (25)
*uji independent t-test, **uji kai-kuadrat
Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan pada tabel di atas, di mana karakteristik umum umur dan BMI pada masing-masing kelompok memiliki distribusi yang normal (p>0,05), sehingga
uji statistik dilakukan dengan independent t-test. Karakteristik status ASA dengan skala nominal digunakan uji kai-kuadrat. Hasilnya didapatkan data homogen (p>0,05) dari semua variabel
Tabel 2. Uji normalitas masing-masing kelompok P
Variabel
HES 6 % dalam larutan berimbang
HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9 %
Pre
Post
Pre
Post
pH
0,176*
0,417*
0,206*
0,526*
SID
0,053*
0,053*
0,023**
0,039**
Klorida
0,148*
0,482*
0,146
0,283*
*distribusi normal **distribusi tidak normal
Berdasarkan uji normalitas data sebagaimana terlihat dalam tabel, bahwa nilai pH dan klorida HES 6 % dalam larutan berimbang maupun HES 6%
4
dalam larutan NaCl 0,9 % terlihat distribusi normal (p>0,05), maka digunakan uji paired t-test. Nilai SID pada kelompok HES 6% dalam larutan
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
berimbang didapatkan distribusi normal (p>0.05) sehingga digunakan paired t test sedangkan kelompok HES 6 % dalam
larutan NaCl 0,9 % didapatkan distribusi tidak normal (p<0.05) sehingga digunakan wilcoxon signed rank test.
Tabel 3. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6 % dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9 % terhadap perubahan nilai pH, SID, dan klorida HES 6 % dalam larutan berimbang
HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9 %
p
pH pre
7,40 + 0,025
7,40 + 0,030
0,759*
pH post
7,40 + 0,023
7,40 + 0,026
0,773*
p
0,831*
0,435*
SID pre
37,92 + 1,28
37,96 + 1,40
0,908***
SID post
37,88 + 1,23
37,54 + 1,14
0,329***
p
0,885*
0,199**
Klorida pre
102,96 + 2,88
102,5 + 2,04
0,528*
Klorida post
102,67 + 2,51
103,13 + 1,75
0,467*
p
0,480*
0,109*
*uji dengan paired t-test *uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test *** uji dengan Mann Whitney U Test
Dari tabel di atas kita lihat bahwa, rerata nilai pH, SID, dan klorida sebelum dan sesudah operasi antara kelompok HES 6 % dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9 % terdapat perbedan yang tidak bermakna (p>0,05). PEMBAHASAN Karakteristik kedua kelompok penelitian yaitu umur, BMI, status fisik (ASA) setelah diuji tidak ada perbedaan bermakna (Tabel 1) sehingga layak untuk dibandingkan. Pada tabel 3 terlihat pH sebelum dan sesudah operasi pada kelompok HES 6 % dalam larutan berimbang dan HES 6 %
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
dalam larutan NaCl 0,9 % tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) Bila dalam tubuh terdapat penambahan asam, pH akan turun karena asam ditangkap oleh unsur basa dari sistem penyangga sehingga perubahan pH dapat dinetralkan. Demikian juga sebaliknya bila dalam tubuh terdapat penambahan basa, pH akan naik, basa akan diikat oleh asam dari sistem penyangga, sehingga kenaikan pH dapat dikurangi. pH yang konstan dipelihara secara bersama oleh sistem penyangga (buffer) tubuh, paruparu dan ginjal.6 Pada tabel 3 terlihat bahwa nilai SID sebelum dan sesudah operasi pada
5
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kelompok HES 6 % dalam larutan berimbang dan HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9% tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Pada keadaan hiperkloremia, setiap peningkatan klorida akan menurunkan SID. Secara normal SID selalu positif, maka akan sama jika setiap penurunan SID akan menurunkan [OH-]. Penurunan [OH-] menyebabkan asidosis.12 Pada pemberian NaCl 0,9% tidak terjadi perbaikan SID karena mempunya komposisi klorida yang sama dengan natrium.13 Menurut Stewart, status asam-basa cairan tubuh ditentukan oleh PCO2, SID, konsentrasi total asam lemah nonvolatil (albumin, fosfat).11 Difusi CO2 melewati membran sangat mudah dan cepat, sehingga setiap perubahan yang terjadi pada PCO2 akan cepat diatasi oleh perubahan ventilasi. Konsekuensinya adalah konsentrasi [H+] di semua cairan kompartemen tubuh mudah berubah atau diatur dan perubahan pada PCO2 tidak akan menyebabkan terjadinya perbedaan konsentrasi [H+] pada masing-masing kompartemen sehingga CO2 tidak berkontribusi dalam menyebabkan perbedaan status asam basa antarmembran. Protein terbanyak terdapat intrasel dan plasma kecuali interstitial. Albumin karena bermolekul besar tidak dapat melewati membran kecuali saat kebocoran/kerusakan membran. Dengan dasar ini, tiap perubahan konsentrasi [H+] antarmembran bukan berasal dari pergerakan protein. Konsentrasi fosfat dalam plasma sedikit sekali dan diatur sepenuhnya oleh regulasi kalsium sehingga transfer fosfat melewati membran juga tidak berkontribusi secara bermakna dalam interaksi asam basa. SID
6
merupakan variabel terpenting dalam pengaturan asam basa antarmembran. Ion-ion kuat dapat melewati membran melalui mekanisme channel ion (pasif) atau pompa transpor (aktif). Ion-ion kuat ini juga dpat bergerak mengikuti atau melawan perbedaan konsentrasi. Kadar klorida sebelum dan sesudah operasi pada kelompok HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05), namun terdapat kecenderungan adanya peningkatan kadar klorida setelah operasi pada kelompok HES 6% dalam larutan NaCl 0,9%. Klorida adalah elektrolit utama yang berada dalam cairan ekstraseluler dan merupakan elektrolit bermuatan negatif berkompetisi dengan bikarbonat dalam mengikat natrium yang berperan dalam menjaga keseimbangan elektrolit. Bila kadar bikarbonat serum menurun, klorida akan meningkat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Ginjal berperan dalam mengeluarkan asam dari tubuh (misalnya, jika pH urin lebih rendah dalam plasma, H+ akan diekskresi oleh ginjal). Namun, berdasarkan teori Stewart, mekanisme tersebut bukan terjadi melalui mekanisme ekskresi H+, melainkan regulasi tubuh terhadap SID (terutama Cl- melalui tubulus ginjal). Ion klorida akan difiltrasi namun tidak direabsorbsi, sehingga nilai SID dalam plasma dijaga tetap seimbang. Amoniagenesis di ginjal berfungsi menghasilkan NH4+ agar Cl- dapat diekskresikan dalam bentuk NH4Cl.11 Contoh lain adalah interaksi asam basa antarmembran di lambung. Cairan lambung bersifat asam bukan karena transpor H+ ke dalam lambung, melainkan pergerakan ion klorida. Ion
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
klorida akan diekskresi ke dalam lambung dari plasma sehingga SID cairan lambung menjadi kecil dan karena SID kecil maka [H+] akan lebih banyak dari [OH-], maka pH akan turun, sehingga berdaasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan dengan menjaga SID tetap normal dapat diasumsikan pH tubuh juga normal.11 Kelemahan penelitian ini adalah tidak memeriksa secara keseluruhan asam basa Stewart seperti penilaian terhadap kadar albumin dan unmeasured anionin. Penelitian ini juga hanya dilakukan pada operasi bedah sesar dengan perdarahan kurang dari 500 ml, hal ini berhubungan dengan etika dan keselamatan pasien karena belum ada penelitian sebelumnya. SIMPULAN Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat penurunan pH dan SID pada kelompok HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan HES 6 % dalam larutan berimbang secara tidak bermakna. Selain itu, juga terdapat peningkatan kadar klorida pada kelompok HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan kelompok HES 6% dalam larutan berimbang secara tidak bermakna. Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan peneliti antara lain HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dalam jumlah 500 mL dapat digunakan sebagai cairan preload tanpa mempengaruhi nilai pH, SID, dan klorida secara bermakna, walaupun tampak adanya kecenderungan terjadinya peningkatan klorida pada penggunaan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9%. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk memilih jenis cairan koloid sebagai cairan preload pada bedah sesar dengan anestesi spinal serta perlu dilakukan studi Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
serupa dengan sampel jumlah cairan yang lebih banyak serta jenis operasi yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for obstetrics. In: Miller RD. Miller‟s anesthesia. 6th ed. Pennsylvania: Elsevier Churcill Livingston, 2005; 32629. Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S. Cairan koloid. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia. 2009; 130-31. Abdelrachman RS, Elzeftawy AE, et al. Comparison of colloid versus crystalloid preload for preventation of hypotension during spinal anesthesia for elective section caesarian. Tanta Medical Sciences Journal Vol (2) No (1) January 2007; pp. 131-41 ISSN:1687-5788. Rilley ET, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. Prevention of hypotension after spinal anesthesia for caesarean section: six persent hetastarch versus lactated ringer solution. AnestAnalg 1995; 81(4):838-42. Ueyama H, Le H, Tanigami H, Mashimo T, Yoshiva I. Effect of crystalloid and colloid preload on blood volum in the parturient undergoing spinal for elective caesarian section. Anesthesiology 1999; 91; 1571-6. Zander R. Fluid management. Bibliomed, Melsungen (Germany) 2006. www.physioklin.de/immages/stories/pdf/ literatur/Z/fluidmanagement060728.pdf (accesed 6 November 2006). Ery Leksana. SIRS, sepsis, keseimbangan asam basa, shock dan terapi cairan. SMF/Bag. Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/Fak. Kedokteran UNDIP Semarang. 2006 Brill SA, Stewart TR, Brundage SI, Schreiber MA. Base deficit does not predict mortality when secondary to hyperchloremic acidosis. Shock 2002; 17: 459-62. Base E, Standl T, Mahl C, Jungheinrich C. Comparisson of 6 HES in balanced electrolyte solution versus 6 % HES saline solution in cardiac surgery. Critical care 2006.www.ccforum.com/content/10/SI/p 176 (accesed 6 November 2006).
7
Jurnal Anestesiologi Indonesia
10. Nicholas J. Wilkes, Rex Woolf, Marjorie Mutch, Susan V. Mallett. The effect of balanced versus salin-based hetastarch 11. mucosal perfusion in erderly surgical patients. Anest-Analg 2001; 93:811-816. 12. Finucane BT. Compllications of regional anaesthesia. Churchill Livingstone. New York. 2000. 13. Price LA, Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolaritas dan
8
and crystalloid solutions on acid-base and electrolyte status and gastric elektrolit. Dalam: Patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Edisi 1. Jakarta: EGC; 1994: 302-23. 14. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke 2. Jakarta: CV Sagung Seto, 2002: p146-5
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Mochamat*, Johan Arifin*, Jati Listiyanto Pujo* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Oral hygiene antiseptic is one of the manner can reduce incident ventilator associated pneumonia (VAP). Chlorhexidine and povidone iodine can reduce number of bacteria on decontamination oropharyngel process Objectives: To find the difference in decrease in the number of oropharyngeal bacteria on oral hygiene with chlorhexidine 0.2% and povidone 0.1% on patients with mechanical ventilator Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical ventilator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0,2% and group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12 hours for 48 hours. Each group was taken secretions from the oropharynx before and after treatment, for later examination in counting the number and type of oropharyngeal bacteria. Statistical test using paired t-test, Wilcoxon, and Mann Whitney (with degrees of significance <0.05) Result: In this study, a decrease in the number of oropharyngeal bacteria of chlorhexidine group 140±76.625 (significant difference, p =0.000) while in povidone iodine group amounted to 100.80±97.209 (significant difference, p=0.008). While the comparative difference test result obtained both groups did not differ significantly (p-0.234). Conclusion: The decrease number of oropharyngeal bacteria on oral hygiene with chlorhexidine 0,2% was not different from povidone iodine 1% Keywords: Chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, number of oropharyngeal bacteria, oral hygiene, mechanical ventilator.
ABSTRAK Latar belakang: Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara yang dapat menurunkan insiden ventilator associated pneumonia (VAP). Chlorhexidine dan povidone iodine merupakan antiseptik yang mampu menurunkan jumlah bakteri pada proses dekontaminasi orofaring. Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0.2% dan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik. Metode : Merupakan penelitian Randomized clinical control trial pada 30 penderita dengan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 menggunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masing-masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari orofaring sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
9
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dilakukan pemeriksaan hitung jumlah kedua kelompok didapatkan hasil dan jenis bakteri orofaring. Uji berbeda tidak bermakna(p=0,234). statistik menggunakan paired tKesimpulan : Penurunan jumlah bakteri test,Wilcoxon, dan Mann Whitney orofaring pada tindakan oral hygiene (dengan derjat kemaknaan < 0,05). dengan chlorhexidine 0,2% tidak Hasil : Pada penelitian ini didapatkan berbeda bermakna dengan povidone penurunan jumlah bakteri orofaring iodine 1%. pada kelompok chlorhexidine sebesar 140±76,625 (berbeda bermakna, Kata Kunci : Chlorhexidine 0,2 %, p=0,000) sedangkan pada kelompok povidone iodine 1%, jumlah bakteri povidone iodine sebesar 100,80±97,209 orofaring, oral hygiene, ventilator (berbeda bermakna, /p=0,008). mekanik. Sedangkan pada uji selisih komparatif _____________________________________________________________________ PENDAHULUAN Kesehatan mulut yang baik tercermin dari campuran seimbang dari bakteri gram positif dan gram negatif, integritas fungsional orofaring, dan sinkronisasi mekanisme menelan. Selama rawat inap, bakteri patogen dapat menggantikan flora normal orofaring dalam waktu 48 jam dan dapat berkolonisasi di saluran napas1, gigi, gusi, atau keduanya, yang terlibat sebagai tempat cadangan patogen untuk pernafasan, dapat memberikan kontribusi pada proses terjadinya pneumonia. Tetapi kesehatan mulut dapat menurun akibat sakit kritis atau pada penggunaan ventilator mekanik.2 Pada pasien sakit kritis yang terintubasi, pipa endotrakhea dan pipa orofaring yang digunakan untuk melindungi jalan napas dapat bertindak sebagai vektor untuk migrasi dari organisme patogen.1 Pneumonia nosokomial adalah kontributor yang signifikan untuk morbiditas dan mortalitas pasien. Hal tersebut memiliki angka kematian tertinggi infeksi nosokomial dan merupakan infeksi yang paling umum di unit perawatan intensif.3 Kombinasi kesehatan mulut dan alat jalan napas yang buruk dapat meningkatkan resiko pneumonia terkait ventilator atau yang disebut ventilator associated pneumonia (VAP). Tingkat kematian 10
yang terkait dengan rentang VAP dari 20% menjadi 41% di berbagai unit perawatan intensif.1 Salah satu faktor risiko pneumonia adalah kolonisasi pada orofaring oleh flora yang berpotensi patogen seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri gram-negatif bentuk batang. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap hubungan antara kesehatan mulut dan perkembangan pneumonia terkait ventilator. Dalam waktu 48 jam dari masuk ke unit perawatan intensif (ICU), flora oral pasien sakit perubahan yang didominasi flora gram negatif yang mencakup lebih banyak organism virulen. Plak gigi juga dapat menyediakan habitat bagi mikroorganisme yang bertanggung jawab atas rerjadinya pneumonia terkait ventilator, dan plak gigi pada pasien di ICU dapat dijadikan tempat kolonisasi oleh flora berpotensi potensi patogen pada pernapasan seperti MethicillinResistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Pseudomonas aeruginosa.4 Kolonisasi orofaring dengan mikroorganisme yang berpotensi patogen, dari berbagai mikroorganisme gram negatif dan gram positif, adalah penting dalam proses patogenesis VAP.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Beberapa strategi untuk mencegah terjadinya kolonisasi orofaring telah dievaluasi. Aplikasi dengan menggunakan antibiotik yang tidak diserap, baik dalam bentuk larutan atau pasta, untuk rongga orofaring telah dikaitkan dengan pengurangan yang signifikan dari VAP dalam sebuah penelitian double blind dengan kontrol dua plasebo. Akan tetapi profilaksis yang terus menerus dengan menggunaan antibiotik dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi patogen, dan oleh karena itu tidak direkomendasikan.5 Dekontaminasi oral pada penderita dengan ventilator mekanik menggunakan antiseptik berkaitan dengan kejadian rendah akan terkena pneumonia terkait ventilator. Baik dengan menggunakan antibiotik ataupun antiseptik, dekontaminasi oral akan menurunkan angka mortalitas dan durasi penggunaan ventilator mekanik serta lama rawat inap di ruang rawat intensif. 6 Antiseptik atau antimikroba peptida dengan penggunaan terapeutik yang terbatas, seperti chlorhexidine dan cholistin dapat menjadi alternatif menarik untuk dekontaminasi orofaringeal. Chlorhexidine memiliki berbagai aktivitas melawan mikroorganisme gram positif, termasuk patogen multiresisten seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Vancomisin resistant Enterococcus (VRE), meskipun kegiatan terhadap mikroorganisme gram negatif mungkin kurang optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Adakah perbedaan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene menggunakan chlorhexidine 0,2% dibandingkan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
METODE Penelitian ini merupakan penelitian dengan bentuk rancangan randomized clinical control trial. Dalam rancangan eksperimental, pengukuran atau observasi dilakukan diawal & setelah perlakuan: Kelompok 1 chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik Kelompok 2 povidone iodine 1% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik Ruang lingkup keilmuan : Anestesiologi dan Terapi Intensif, Mikrobiologi Klinik Ruang Lingkup tempat ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang Ruang lingkup waktu Februari-April 2011 Populasi terjangkau Semua penderita di ICU RSUP Dr. Kariadi pada bulan Februari - April 2011 Semua penderita dengan ventilator mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada bulan Februari-April 2011. Sampel yang ada dikelompokkan menjadi dua kelompok perlakuan. Sampel dikelompokkan dengan cara probability sampling, dimana penderita pertama dikelompokkan dalam kelompok 1, penderita kedua dimasukkan kedalam kelompok 2. Peneliti tidak mengetahui penderita karena urutan penderita berdasarkan undian terhadap 2 kelompok secara acak. Kelompok 1 menggunakan obat oral hygiene chlorhexidine 0,2% Kelompok 2 menggunakan obat oral hygiene povidone iodine 1% Penderita dengan ventilator mekanik Laki-laki dan perempuan dewasa. Kriteria eksklusi yakni penderita yang Alergi atau terdapat kontraindikasi terhadap obat yang digunakan dalam penelitian, penderita dengan penyakit keganasan, penderita dengan HIV, penderita menggunakan kortikosteroid dalam jangka lama.
11
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Dari perhitungan jumlah sampel didapatkan jumlah sampel : N = 14,533 orang. Dalam penelitan ini akan digunakan sampel sebesar 15 orang. Total sampel adalah 30 orang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 = 15 orang Kelompok 2 = 15 orang Chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene diberikan pada kelompok 1 diberikan setelah terpasang ventilator mekanik, dengan besar pemberian 25 ml setiap 12 jam Pemberian povidone iodine Povidone iodine 1% sebagai obat antiseptik oral diberikan pada sampel kelompok 2, diberikan setelah terpasang ventilator mekanik, dengan besar pemberian 25 ml setiap 12 jam jumlah kolonisasi bakteri dari sekret oral Variabel terikat dengan skala numerik, yang menunjukkan salah satu diagnosis mikrobiologis VAP. Ditentukan dengan penghitungan bakteri hasil kultur di media McConkey dan nutrien agar dari sampel sekret orofaring 12 jam setelah 4 kali perlakuan. Seleksi penderita dilakukan saat dirawat di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang pada penderita yang mengunakan ventilator mekanik, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Keluarga penderita diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan, serta
bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi formulir informed consent. Penderita secara berurutan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 : Chlorhexidine dan kelompok 2 : Povidone iodine, sehingga masingmasing kelompok berjumlah 16 orang. Pada kelompok 1 diberikan chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml. Pada kelompok 2 diberikan povidone iodine 1% sebanyak 25 ml. Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik box plot. Analisis analitik akan dilakukan untuk menguji hasil kultur mikrobiologi pada kedua kelompok perlakuan dengan uji non parametrik Mann Whitney, Wilcoxon. Semua uji analitik menggunakan p = 0,05. Semua perhitungan statistik menggunakan software Statitical Package for Social Science (SPSS) 15. HASIL Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene menggunakan chlorhexidine 0,2% dibandingkan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik pada 30 orang setelah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi tertentu. Karakteristik subyek penelitian ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian No
Variabel
Chlorhexidine
Povidone iodine
p
1.
Umur (tahun)
49,47±16,128
48,20±13,718
0,917*
2.
Jenis kelamin
15(26,7-23,3)
15(23,3-26,7)
0,133**
*uji Mann Whitney U **uji kai-kuadrat
Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan pada tabel di atas, dimana karakteristik
12
umum umur pada kelompok chlorhexidine memiliki distribusi yang
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
normal (p > 0,05), sedangkan kelompok povidone iodine memiliki distribusi tidak normal (p < 0,05) sehingga untuk uji homogenitas diperlukan Mann Whitney U test. Karakteristik jenis kelamin dengan skala nominal digunakan uji kai-kuadrat (x2). Hasilnya didapatkan data homogen (p > 0,05) dari semua variabel.
Jumlah bakteri orofaring yang diambil sebelum dan sesudah mendapat perlakuan pada masing-masing kelompok subyek penelitian ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Jumlah bakteri ororfaring pada masing-masing kelompok Chlorhexidine Variabel
Jumlah bakteri
Povidone iodine
Pre
Post
Pre
Post
(mean±SD)
(mean±SD)
(mean±SD)
(mean±SD)
300±0,0
160±76,625
294,67±20,656
193,87±97,592
Data perubahan jumlah bakteri orofaring sebelum dan sesudah mendapat perlakuan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan didapatkan distribusi data normal (p > 0,05) pada kelompok chlorhexidine dan tidak normal pada kelompok povidone iodine (p < 0,05)
pada variabel jumlah bakteri pada kelompok chlorhexidine didapatkan distribusi normal, maka untuk masingmasing kelompok penelitian digunakan paired T-test. Jumlah bakteri pada kelompok povidone iodine didapatkan distribusi tidak normal (p < 0,05), sehingga digunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil analisis disajikan dalam tabel berikut.
Berdasarkan uji normalitas data sebagaimana terlihat pada tabel di atas,
Tabel 3. Uji normalitas masing-masing kelompok P Variabel
Jumlah bakteri
Chlorhexidine
Povidone iodine
Pre
Post
Pre
Post
0,676
0,676
0,000
0,009
*uji dengan Shapiro-Wilk Tabel 4. Uji pre dan post masing-masing kelompok Jumlah bakteri
Chlorhexidine
Povidone iodine
Pre Post
300±0,0 160±76,625
294,67±20,656 193,87±97,592
P
0,000*
0,008**
*uji dengan paired t-test **uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
13
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel menunjukkan jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine sebelum perlakuan 300 ± 0,0 dan setelah perlakuan 160 ± 76,625, yang berarti mengalami penurunan sebesar 140 ± 76,625. Kelompok povidone iodine jumlah bakteri orofaring sebelum perlakuan 294,67 ± 20,656 dan setelah perlakuan 193,87 ± 97,592, yang berarti mengalami penurunan sebesar 100,80 ± 97,209. Hasil uji statistik yang dilakukan menggunakan paired t-test pada kelompok chlorhexidine menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05), sedangkan uji statistik menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok povidone iodine juga menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada analisis komparatif antarkelompok digunakan Mann Whitney U-test. Hasil analisis disajikan dalam box plot berikut. Perbandingan jumlah bakteri orofaring dari kedua kelompok perlakuan Pada analisis komparatif antarkelompok didapatkan penurunan jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine dibandingkan kelompok povidone iodine dengan perbedaan tidak bermakna (p=0,234) Pada pasien sakit kritis yang terintubasi, pipa endotrakhea yang digunakan untuk melindungi jalan napas dapat bertindak sebagai vektor untuk migrasi dari organisme patogen.1 Pneumonia nosokomial adalah kontributor yang signifikan untuk morbiditas dan mortalitas pasien. Kombinasi kesehatan mulut dan alat jalan napas yang buruk dapat meningkatkan resiko pneumonia terkait ventilator, ventilator associated pneumonia (VAP). Tingkat kematian yang terkait dengan rentang VAP dari
14
20% menjadi 41% di berbagai unit perawatan intensif. Dalam waktu 48 jam dari masuk ke unit perawatan intensif (ICU), flora oral pasien sakit perubahan yang didominasi flora gram negatif yang mencakup lebih banyak organism virulen.4 Kolonisasi orofaring dengan mikroorganisme yang berpotensi patogen, dari berbagai mikroorganisme gram negatif dan gram positif, adalah penting dalam proses patogenesis VAP. Beberapa strategi untuk mencegah terjadinya kolonisasi orofaring telah dievaluasi.5 Dekontaminasi oral pada penderita dengan ventilator mekanik menggunakan antiseptik berkaitan dengan kejadian rendah akan terkena pneumonia terkait ventilator. Dengan menurunnya pertumbuhan kuman di orofaring, diharapkan bahwa insiden VAP juga menurun, hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Tantipong dan Chan. Penelitian yang dilakukan ini adalah membandingkan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine dan povidone iodine pada penderita dengan ventilator mekanik. Penelitian yang dilakukan oleh Susan Houston dkk telah membuktikan bahwa chlorhexidine mampu menurunkan jumlah bakteri pada pasien yang terintubasi lebih dari 24 jam. Penelitian Ishikawa dkk juga membuktikan terjadi penurunan jumlah total bakteri orofaring dengan menggunakan povidone iodine kumur. Namun belum terdapat penelitian yang membandingkan kedua obat tersebut dalam menurunkan jumlah bakteri orofaring. Pada penelitian ini digunakan 30 subyek penelitian dengan karakteristik yang telah diseleksi melalui kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan 30 pasien dengan karakeristik umur, jenis kelamin yang
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
tidak berbeda bermakna (p > 0,05) sehingga layak dibandingkan. Hasil analisis pada kedua kelompok menunjukkan bahwa jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine sebelum perlakuan dan setelah perlakuan berbeda bermakna (p=0,000), sedangkan kelompok povidone iodine juga berbeda bermakana (p=0,008). Sedangkan selisih jumlah bakteri orofaring pada kedua kelompok dianalisis dengan uji komparatif Mann Whitney, dengan hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna 0=0,234). Meskipun didapatkan hasil tidak berbeda bermakna pada uji komparatif kedua kelompok, akan tetapi chlorhexidine lebih efektif dalam menurunkan jumlah bakteri orofaring dibanding povidone iodine. Hal dilihat dari penurunan jumlah bakteri sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok chlorhexidine sebesar 140±76,625( p=0,000), sedangkan pada kelompok povidone iodine sebesar 100,80±97,209 (p=0,008). Hasil ini dapat dihubungkan dengan kemampuan chlorhexidine yang bekerja pada spektrum luas, bekerja cepat, mempunyai aktivitas residu, absorbsi yang minimal serta mempunyai aktivitas pada darah atau jaringan yang lebih baik dibandingkan povidone iodine, Penelitian yang dilakukan oleh Mimoz dkk juga menyebutkan bahwa chlorhexidine lebih efektif dibandingkan povidone iodine dalam menurunkan kontaminasi kultur darah serta oleh Rabih dkk dengan hasil yang sama namun dilakukan pada kateter vena sentral. Kekurangan pada penelitian ini adalah ketidakmampuan peneliti dalam mengontrol waktu antara pengambilan sampel di ICU, pengiriman, serta pemeriksaan sampel di laboratorium mikrobiologi klinik. Peneliti telali berusaha meminimalkan kekurangan
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
dengan cara mempersingkat pengiriman serta langsung dilakukan pemeriksaan saat sampel diterima petugas. SIMPULAN Terdapat penurunan jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine secara bermakna. Terdapat penurunan jumlah bakteri orofaring pada kelompok povidone iodine secara bermakna. Terdapat penurunan jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine dibandingkan kelompok povidone iodine secara tidak bermakna. Sebaiknya chlorhexidine digunakan sebagai oral hygiene terpilih pada penderita dengan ventilator mekanik dibandingkan povidone iodine. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgraduate medical journal ( serial on internet) 2006 (cited 2010 Dec 10); 82 (965): 172-78. Available from : http//pmj.bmj.com/content/82/965/172.full Kohl BA, Hanson CW. Critical care protocols. In: Miller RD, editor. Miller's anesthesia 7th ed. America: Elsevier, 2010;Vol 2:23-87. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral decontamination for prevention of pneumonia in mechanically ventilated adults: systematic review and meta-analysis. BMJ (serial on internet) 2007 (cited 2010 Dec 10);334:889. Available from :http//www.medscape.com/viewarticle/70783 3_4 Wiryana M. Ventilator associated pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on internet) 2007 (cited 2010 Dec 12); 8(3):25469. Available from : http //ejournal.unud.ac.id/.../ventilator%20associa ted%20pneumonia Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical review:airway hygiene in the intensive care unit. Critical care (serial on internet) 2008 (cited 2010 Dec 19); 12:209. Available from :http// www.ncbi.nlm.nih.gov > Journal List > Crit Care > v.12(2); 2008 Koeman M, Hak F, Ramsay G, Joore, Kaasjager K, Hans, et al. Oral decontamination with chlorhexidine reduces the incidence of
15
Jurnal Anestesiologi Indonesia
7.
16
ventilator-associated pneumonia. American journal of respiratory and critical care medicine (serial on internet) 2006 (cited 2010 Dec 9); 173 : 1348-1355. Available from : http://ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/short /173/12/1348 Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone-iodine reduces the transport of bacteria during oral intubation. Can j anaesth (serial on internet) 2004 (cited 2010 Dec
8.
9);51(9):932-6. Available from : http//pubget.com/paper/15525622 Tantipong H, Morkchareonpong C, Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized controlled trial and meta-analysis of oral decontamination with 2% chlorhexidine solution for the prevention of ventilator associated pneumonia. Infect control hosp epidemiol (serial on internet) 2009 (cited 2010 Dec 10);30(l):101-2. Available from : http//pubget.com/paper/1817936
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional M Mukhlis Rudi P*, Hariyo Satoto**, Uripno Budiono** * Bagian Anestesiologi FK Unsoed/ RSUD Margono Soekardjo, Purwokerto **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Back ground : Administration of crystalloid solution in patients prone for surgery, especially sectio caesarian rarely completed with blood electrolyte examination previously so could cause electrolyte imbalance and worse metabolic and healing process. Because of fluid intervention during surgery, post operative electrolyte examination are important to control electrolyte level and acid base balance. Method : An experimental study with double blind randomize control trial method which purposed to find the better solution, RL or NaCl 0,9% for SID acid base balance on Stewart method. Patients prepared for sectio caesarian as require for regional anesthesia and prevent nausea and vomit. At the operation theatre an intravenous line inserted while at the same time blood venous sample was taken. Before inducing anesthesia patient received pre medication and fluid “loading” to prevent regional anesthesia induce hypotension. During surgery patient received crystalloid solution. At the end of surgery venous blood are examined. The noted data for statistic count in this study is electrolyte level. Statistical t-test are used in this study. Result : Pre operative SID of RL (38,58 ± 2,28) show alkalosis state, while SID of NaCl (37,42 ± 1,18) show acidosis. Post operative mean of RL SID (37,79 ± 1,18) more stable than alkalosis NaCl SID (39,67 ± 3,10). Conclusion : Administration of RL solution in caesarean section patients is more benefit than sodium chloride (NaCl) 0,9% because of it lack effect on SID acid-base balance shifting. Keywords : Crystalloid solution, Stewart Acid base balance, caesarian section, regional anesthesia.
ABSTRAK Latar belakang: Pemberian cairan pada pasien yang akan operasi, khususnya sectio caesaria (SC), sebelumnya jarang dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga dapat menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit yang akan memperberat proses metabolik dan penyembuhannya. Pemeriksaan elektrolit setelah operasi sangat penting, karena intervensi cairan selama operasi, dengan alasan untuk mengontrol elektrolit dan keseimbangan asam-basa. Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui cairan mana yang lebih baik, RL ataupun NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asambasa yang didasarkan pada metode Stewart.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
17
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pasien yang dipersiapkan untuk Hasil: Rerata sebelum operasi SID RL menjalani operasi SC, sebagai salah satu (38,58±2,28) menunjukkan alkalosis, persyaratan untuk menjalani tindakan sedangkan SID NaCl (37,42±4,35) pembiusan dan mencegah mual muntah. menunjukkan asidosis. Rerata setelah Kemudian dilakukan pemasangan jalur operasi SID RL (37,79±1,18) intravena serta pengambilan darah vena menunjukkan kestabilan dibandingkan di ruang bedah sentral dan diberikan rerata SID NaCl (39,67±3,10) yang premedikasi serta “loading” cairan alkalosis. sebelum dibius dengan tujuan untuk Kesimpulan: Pemberian RL pada pasien mencegah terjadinya hipotensi akibat sectio caesaria lebih menguntungkan obat regional anestesinya. Setelah itu, dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat selama operasi pasien diberikan cairan mempengaruhi pergeseran SID kristaloid. Setelah operasi selesai, keseimbangan asam-basa Stewart. dilakukan pemeriksaan darah vena. Data-data yang dicatat untuk Kata kunci: Cairan kristaloid, perhitungan statistik yang termasuk keseimbangan asam-basa Stewart, dalam tujuan penelitian ini adalah kadar caesarian section, anestesi regional. elektrolit. Uji statistik dengan menggunakan t-test. _________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Pasien yang menjalani pembedahan terbagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan pada beberapa hal yaitu hemodinamik dan perkiraan volume darah (estimated blood volume/ EBV). Selama ini volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa dengan menggunakan cairan ringer laktat (RL) ataupun NaCl 0,9%. Dengan memperhatikan keseimbangan asambasa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien pasca operasi. Penelitian ini khusus dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan perkiraan perdarahan kurang dari 15% EBV, karena dievaluasi berkaitan dengan penggantian volume perdarahan. Pada operasi dengan perdarahan lebih dari 15% EBV, dianjurkan penggantian cairan dengan darah. Selama penggantian cairan tersebut terjadi perubahan metabolik
18
dalam tubuh, antara lain keseimbangan antar elektrolit. Kasus-kasus dengan perdarahan kurang dari 15% EBV banyak ditemukan pada operasi sectio caesaria, laparotomi tanpa reseksi usus, bedah urologi, pasien trauma ortopedi tertutup, trauma kepala (EDH), dan operasi-operasi lain dengan perdarahan yang dikendalikan. Selama ini, penggantian cairan pada pasien operasi dengan perdarahan kurang dari 15% EBV lebih banyak menggunakan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) atau NaCl 0,9% dibandingkan koloid hydroxy ethyl starch (HES), sementara pasien dengan regional anestesi lebih banyak menggunakan koloid. Pada 25 kasus penelitian pendahuluan, pasien dengan sectio caesaria dengan status fisik ASA (American Society of Anesthesiologist) 1 – 2 dan menggunakan teknik anestesi regional di RSUP Dr Kariadi dan pemeriksaan BGA (blood gas analysis) pre-operatif dan postoperatif pada tahun 2006 selama bulan
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Februari – Mei 2006, sebanyak 76% (19 kasus) mengalami asidosis, sedangkan sisanya mengalami alkalosis. Setelah pemberian cairan kristaloid, tidak dilakukan pengecekan ulang BGA, elektrolit dan albumin. Pengecekan ulang tersebut merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan perbaikan atau kesembuhan luka. Keseimbangan asam basa merupakan keseimbangan antar komponen elektrolit cairan tubuh yang dinilai dengan menggunakan persamaan dari Stewart. Penilaian didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium BGA, albumin, dan elektrolit (Na, K, Cl, Mg, PO ) preoperatif dan postoperatif. 4
Berdasarkan gambaran awal dari kasus yang terjadi pada pasien yang menjalani operasi sectio caesaria dengan regional anestesi, maka kejadian yang hampir sama mungkin akan terjadi pada pasien operatif lain yang menggunakan regional anestesi dengan perdarahan yang tidak lebih dari 15% EBV, sehingga pasienpasien tersebut tidak memburuk keseimbangan asam-basa dan akan mempermudah perbaikan metabolik yang terganggu selama tindakan operasi, ataupun pasca operasi. Setelah operasi selesai, sebaiknya pasien dilakukan pemeriksaan elektrolit, albumin, dan BGA ulang, dengan maksud agar dapat mengetahui pengaruh pemberian cairan tersebut terhadap keseimbangan elektrolit dan asam-basa tubuh. Penelitian yang dilakukan selama ini hanya berkisar pada masalah perbandingan antar cairan kristaloid terhadap keseimbangan asam-basa Hendersen-Hasselbalch, akan tetapi belum dilakukan penelitian yang lebih spesifik dengan menggunakan metode Stewart. Padahal pemberian cairan
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
kristaloid, RL ataupun NaCl, pada pasien operatif memerlukan penggantian cairan yang cepat, dengan harapan dapat mempertahankan kadar oksigen dalam jaringan secara adekuat. Pemberian kristaloid harus tetap memperhatikan kebutuhannya, karena bila berlebih dapat menimbulkan edema yang berat serta dapat mempengaruhi keseimbangan elektrolit tubuh yang berakibat gangguan keseimbangan asam-basa.1 Penilaian keseimbangan asam-basa dengan metode Stewart memiliki kelebihan dibandingkan metode Hendersen-Hasselbalch, dimana kelebihan Stewart terletak pada konsistensi penilaian pada faktor kompensasi tubuh dalam mempertahankan keseimbangan asambasa. Faktor kompensasi yang tidak didapatkan pada Hendersen-Hasselbalch adalah faktor yang menilai proses pertukaran cairan tubuh yang dipengaruhi oleh tekanan onkotik. Penentu tekanan onkotik tersebut adalah albumin. Pemilihan keseimbangan asam-basa Stewart didasarkan pada kenyataan yang terjadi di ICU (intensive care unit) RSUP Dr. Kariadi, bahwa terapi cairan yang didasarkan pada Handersson-Hasselbalch tidak lebih baik daripada Stewart. Bukti dari keseimbangan tersebut dinilai dari hasil pemeriksaan laboratorium blood gas analysis (BGA), elektrolit, albumin, dan kondisi obyektif dari pasien. Berdasarkan kenyataan di ICU RSUP Dr. Kariadi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang membandingkan antara cairan dasar (RL dengan NaCl 0,9%), karena kedua cairan tersebut selain murah juga mudah didapat di daerah. Pemeriksaan yang akan dilakukan adalah penghitungan strong ion difference (SID) yang bersumber dari hasil pemeriksaan elektrolit, sedangkan albumin dan pCO
2
tidak diperiksa dikarenakan SID (strong 19
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ion difference) lebih mewakili status keseimbangan asam-basa Stewart. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa cairan RL lebih baik dibanding NaCl 0,9% dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa Stewart dalam tindakan operasi. METODE Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian infus RL dan infus NaCL terhadap keseimbangan asam-basa yang didasarkan pada metode Stewart. Subyek penelitian ini adalah Semua pasien RSUP Dr. Kariadi dengan operasi elektif ataupun cito sectio caesaria usia 20-35 tahun dengan status fisik ASA I-II, berat badan 50-70 kg, tinggi badan 150170 cm, tidak ada indikasi kontra untuk tindakan regional anestesi. Lama operasi antara 60-120 menit. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang Kriteria inklusi : Umur antara 20 – 35 tahun Status fisiknya ASA I – II Diberikan cairan kristaloid (RL/ NaCl) Pembiusan dengan anestesi regional Kriteria eksklusi : Terdapat permasalahan yang timbul yang akibat oleh anestesi regional, seperti alergi, spinal tinggi ataupun total spinal. Adanya perdarahan masif Dilakukan tindakan anestesi umum karena anestesi regional gagal Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara Consecutive Sampling terhadap 20
semua penderita yang dipersiapkan untuk operasi elektif, usia 20 – 35 tahun, ASA I-II, posisi terlentang, di mana semua penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam sampel sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi, bersedia menjadi sukarelawan. Berdasarkan jumlah sampel, maka penderita dikelompokkan ke dalam 2 kelompok penelitian, yaitu : 1. Kelompok A (perlakuan 1) : penderita dengan diberikan infus RL 2. Kelompok B (perlakuan 2) : penderita dengan diberikan infus NaCl Data-data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar elektrolit (Na, K, Cl). Data yang diperoleh dicatat dalam suatu lembar penelitian khusus yang telah disediakan satu lembar untuk setiap penderita. Data diolah dan dianalisis dengan komputer menggunakan program SPSS 13.0 dan dinyatakan dalam nilai rerata ± simpang baku. Uji statistik menggunakan t-test dan derajat kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel. HASIL Penelitian ini menganalisa pengaruh pemberian cairan kristaloid RL dan NaCl 0,9% terhadap keseimbangan asam-basa menurut metode Stewart. Analisa yang dilakukan pada karakteristik penderita berdasarkan umur dan lama operasi, distribusi SID kedua kelompok sebelum dan sesudah operasi, rerata SID kedua kelompok sebelum dan sesudah operasi, serta rerata masing-masing kelompok sebelum dan sesudah operasi. Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien yang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 24 orang diberikan RL dan 24 orang diberikan NaCl 0,9%.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Karakteristik Pasien Kelompok RL dan NaCl 0,9% Karakteristik
Kelompok SID RL
Kelompok SID NaCl
P
(n=24)
(n=24)
1.Umur
26,54±2,963
26,58±3,55
0,965
2. Lama operasi
84,79±13,947
84,79±12,022
1
Nilai pada tiap kelompok dalam rata-rata ± simpangan baku, karakteristik penderita oparasi untuk nilai SID dari kelompok SID RL tidak berbeda bermakna dengan kelompok SID NaCl, karena p > 0,05. Distribusi kelompok RL pra operasi didapatkan pasien yang mengalami asidosis sebanyak 33,33% dan yang mengalami alkalosis hipernatremik sebanyak 58,33% dan yang normal sebanyak 8,33%. Kelompok NaCl 0,9% didapatkan asidosis sebesar 58%, sedangkan yang mengalami alkalosis sebesar 42%. Hasil uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov diperoleh nilai p = 0,017 atau p<0,05, dengan demikian data dari nilai SID RL pra operasi adalah tidak normal. Hasil uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov SID NaCl diperoleh probabilitas 0,733 atau p>0,05, dengan demikian data nilai dari SID NaCl pra operasi adalah normal. Nilai SID untuk kelompok SID RL dan SID NaCl dengan mengunakan uji t (p = 0,253) dan Mann Whitney (p = 0,264), karena p > 0,05 ini berarti nilai SID dari kelompok SID RL dan SID NaCl sebelum operasi tidak berbeda.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Hasil dari grafik boxplot (grafik 51), SID praoperasi menunjukkan bahwa nilai median kelompok SID RL pra operasi lebih tinggi dibandingkan kelompok SID NaCl pra operasi. Distribusi SID kelompok RL pasca operasi menunjukkan bahwa pasien yang mengalami asidosis sebanyak 25% (6 orang) dan yang mengalami alkalosis sebanyak 29,16% (7 orang), sedangkan sisanya 45, 83% (11 orang) normal. Distribusi SID kelompok NaCl pasca operasi menunjukkan bahwa pasien yang mengalami asidosis sebanyak 54 % (13 orang), sedangkan sisanya 46% (11 orang) mengalami alkalosis.
21
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hasil uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov diperoleh probabilitas 0,063 atau p > 0,05. Dengan demikian data nilai dari SID RL pasca operasi adalah normal, sedangkan hasil uji normalitas SID NaCl dengan Kolmogorov-Smirnov diperoleh probabilitas 0,455 atau p > 0,05, dengan demikian data nilai dari SID NaCl pasca operasi adalah normal.
Nilai SID untuk kelompok SID RL dan SID NaCl dengan mengunakan uji t (p = 0,01) dan Mann-Whitney (p = 0,043), karena p < 0,05 ini berarti nilai SID dari kelompok SID RL dan SID NaCl setelah operasi berbeda secara bermakna.
Median dari SID kelompok SID NaCl pasca operasi lebih tinggi dibadingkan dengan kelompok SID RL pasca operasi (grafik 2). Kelompok SID RL dan SID
NaCl pasca operasi menunjukan distribusi agak miring ke kanan, ini berarti kelompok SID RL dan SID NaCl pasca operasi berdistribusi tidak normal.
Tabel 2. Rerata SID pada kelompok RL, NaCl Pra dan Pasca Operasi Waktu Operasi
Kelompok RL
Sebelum Operasi (Pra) Setelah Operasi (Pasca)
SID
Kelompok SID NaCl
P
38,58±2,28
37,42±4,35
0,253
37,79±1,18
39,67±3,10
0,01*
*Significant<0,05 (independent t test)
SID RL sebelum operasi rata-ratanya adalah 38,58 dengan standar deviasi (simpangan baku) 2,28 ini berarti secara garis besar alkalosis, sedangkan untuk SID NaCl sebelum operasi rata-ratanya adalah 37,42 dengan standar deviasi (simpangan baku) 4,35 ini berarti secara garis besar asidosis. 22
SID RL setelah operasi rata-ratanya adalah 37,79 dengan standar deviasi (simpangan baku) 1,18 ini berarti secara garis besar asidosis, sedangkan untuk SID NaCl setelah operasi rata-ratanya adalah 39,67 dengan standar deviasi (simpangan baku) 3,10 ini berarti secara garis besar alkalosis. Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Rerata SID pada kelompok NaCl Pra dan Pasca Operasi Waktu Operasi
Kelompok SID RL
Kelompok SID NaCl
P
Sebelum dan Sesudah Operasi
37,42 ± 4,35
37,92 ± 4,14
0,218
Untuk rata-rata SID NaCl sebelum operasi adalah 37,42 dengan standar deviasi 4,35 ini berarti bersifat asidosis (<38), sedangkan untuk SID NaCl setelah
operasi juga tidak beda jauh yaitu 37,92 dengan standar deviasi 4,14 ini berarti bersifat asidosis (<38).
Nilai median dari SID kelompok SID NaCl pra sama dengan kelompok SID NaCl pasca operasi (gambar 3). Kelompok SID NaCl pra dan SID NaCl pasca operasi mempunyai garis hitam
tebal median agak kebawah, ini menunjukan distribusi miring ke kanan. Maka dapat dikatakan kelompok SID NaCl pra dan SID NaCl pasca berdistribusi tidak normal.
Tabel 4. Rerata SID pada kelompok RL pra dan pasca operasi Waktu operasi
Kelompok SID RL Pra
Kelompok SID RL Pasca
P
Sebelum dan sesudah operasi
38,58 ± 2,28
37,96 ± 0.91
0,074
Untuk rata-rata SID RL sebelum operasi adalah 38,58 dengan standar deviasi 2,28 ini berarti bersifat alkalosis (>38), sedangkan untuk SID RL setelah operasi
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
turun menjadi 37,96 dengan standar deviasi 0,91 ini berarti bersifat netral (=38).
23
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Nilai median dari SID kelompok SID RL pasca operasi lebih rendah dibandingkan kelompok SID RL pra operasi. Kelompok SID RL pasca menunjukkan garis hitam median agak kebawah, berarti distribusi miring ke kanan, sedangkan untuk kelompok SID RL pra, garis hitam median paling atas ini menunjukan distribusi miring ke kiri, ini berarti kelompok SID RL pasca operasi berdistribusi tidak normal. PEMBAHASAN Pemberian cairan pengganti selama tindakan operatif, selama ini memang menjadi suatu hal yang kontroversial dalam menentukan mana yang lebih efektif dan efisien dalam penggantian cairan. Keduanya dianggap merupakan cairan dasar yang paling baik yang didasarkan pada kandungannya. Hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa infus NaCl 0,9% akan berpengaruh pada pergeseran keseimbangan asam-basa Stewart, karena apabila pasien dengan SID < 38, kemudian diberikan larutan NaCl 0,9% dalam jumlah yang disesuaikan kebutuhannya, kemungkinan yang timbul adalah menjadi asidosis yang lebih berat
24
atau bahkan alkalosis yang lebih berat, dikarenakan keseimbangan kadar natrium dan kloridanya dalam cairan tersebut. Namun, bila diberikan larutan RL, pergeseran keseimbangan asam-basanya tidaklah terlalu besar, dikarenakan kandungan natrium dan kloridanya tidaklah sama, selain itu juga adanya tambahan laktat, yang nantinya akan dimetabolisme melalui siklus Kreb yang kemudian akan di buffer oleh bikarbonat menjadi asam bikarbonat dan akhirnya akan dilepaskan melalui paru-paru 1,2, sehingga tidak sampai menggeser timbangan asam-basa secara berlebihan ke salah satu sisi. Hasil SID untuk kelompok RL dan SID NaCl dengan mengunakan uji t (p=0,253) dan Mann Whitney (P=0,264), karena p > 0,05 ini berarti nilai SID dari kelompok SID RL dan SID NaCl sebelum operasi tidak berbeda bermakna, hal ini mungkin terjadi, karena intervensi cairan yang diberikan hanyalah 500 cc dan berfungsi sebagai ”loading” yang bertujuan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya hipotensi yang diakibatkan oleh anestesi regional. Untuk menimbulkan perubahan yang nyata pada SID, paling tidak dibutuhkan intervensi hingga 3 kali perdarahan yang hilang. Kondisi elektrolit pasien sebelum operasi juga
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
akan sangat mempengaruhi SID pasca intervensi.3 SID cairan RL dan NaCL 0,9% untuk kelompok RL dan NaCl dengan mengunakan uji t (p=0,01) dan MannWhitney (p=0,043), karena p < 0,05 ini berarti nilai SID dari kelompok SID RL dan SID NaCl setelah operasi berbeda secara bermakna. Pemberian cairan yang disesuaikan dengan perdarahannya, akan mengakibatkan perubahan pada keseimbangan elektrolit, karena setiap perdarahan atau keluarnya cairan tubuh akan disertai dengan perubahan keseimbangan elektrolit tubuh.4,5,6 Selain itu, bila dilihat tonisitas cairannya, NaCl 0,9% lebih hipertonis bila dibandingkan dengan RL, karena mengandung Na+ (154 mmol/L) yang tinggi, serta Cl- yang tinggi (154 mmol/L). Padahal kandungan Na+ plasma hanya berkisar antara 135-147 mmol/L, sedangkan Cl- plasma sebesar 94-111 mmol/L. Pemberian infus NaCl 0,9% dalam jumlah yang besar akan berakibat pada asidosis.2 Selama dilakukan penelitian, tidak ditemukan gangguan-gangguan akibat pemberian cairan, seperti alergi dan mual muntah. Sehingga, pemberian cairan pengganti selama dan setelah tindakan operasi, bila sesuai dengan kebutuhannya tidak akan menimbulkan efek tersebut. Rasa mual yang timbul, biasanya lebih sering disebabkan oleh manipulasi operator selama operasi. Menurut Magner dkk (2004), bahwa pemberian oksigenasi selama operasi akan berperan dalam menurunkan kejadian mual-muntah pasca operasi (PONV)7. Distribusi data SID pada kelompok RL dan NaCl sebelum operasi menunjukkan bahwa 33,33% (SID < 35) terjadi pada pasien dengan pemberian NaCl awal,
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
sedangkan 8,33% (SID = 38) terdapat pada pemberian infus RL. Kemudian alkalosis banyak terjadi pada pasien dengan pemberian RL sebelum operasi sebesar 58,33%, sedangkan pada NaCl hanya 16,66%. Berarti kedua kelompok tersebut tidak berbeda. Distribusi data SID pasca operasi, menunjukkan bahwa asidosis yang berat (SID < 35) terjadi pada pemberian NaCl (25%), alkalosis juga lebih banyak terjadi pada pemberian NaCl (25%). Rerata SID kelompok NaCl pra operasi sebesar 37,42±4,35 dan pasca operasi 37,92±4,14 menunjukkan bahwa NaCl bersifat asidosis (<38). Sedangkan pada RL rata-rata SID sebelum operasi adalah 38,58 dengan standar deviasi 2,28 ini berarti bersifat alkalosis (>38), sedangkan SID setelah operasi turun menjadi 37,96 dengan standar deviasi 0,19 ini berarti bersifat netral (=38). Berdasarkan analisa data yang dilakukan, menunjukkan bahwa RL ataupun NaCl secara statistik berbeda tidak bermakna, akan tetapi perbedaan sebesar 1,00 secara klinis sangatlah bermakna. Pemberian cairan kristaloid (RL / NaCl 0,9%) pada kedua kelompok pasien yang menjalani SC sangatlah bervariasi, disesuaikan dengan perdarahan yang keluar selama tindakan operasi. Sehingga perbedaan secara klinis SID kedua cairan sangatlah penting, karena pergeseran sedikit saja dari keseimbangan akan berakibat fatal terhadap kondisi pasien. Berdasarkan distribusi SID pemberian cairan kristaloid pasca operasi, menunjukkan bahwa SID 24 pasien yang diberikan RL berkisar antara 35-41. Sedangkan yang diberikan NaCl < 35 dan > 41 tanpa SID yang normal, yang berarti memperberat kondisi asidosis ataupun alkalosis.
25
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Cairan pengganti yang diberikan didasarkan pada 5 aspek utama yang penting untuk dipertimbangkan, antara lain : 4 1. jenis cairan yang harus diberikan 2. jumlah cairan harus jelas 3. kriteria petunjuk terapi cairan harus jelas 4. kemungkinan efek samping yang harus dipertimbangkan 5. biaya Hipovolemi berhubungan dengan perubahan aliran yang tidak kuat untuk memenuhi jalur nutrisi sirkulasi. Selama hipovolemik yang berhubungan dengan disfungsi hemodinamik, organisme mencoba untuk mengkompensasi defisit perfusi dengan meredistribusi aliran ke organ vital (jantung dan otak) yang mengakibatkan kurangnya perfusi pada organ lain seperti usus, ginjal, otot, dan kulit. Aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan mekanisme kompensatorik untuk menjaga perfusi perifer. Banyaknya substansi vasoaktif yang beredar dan mediator inflamasi merupakan kejadian tambahan yang terjadi pada situasi tersebut. Bagaimanapun juga, kompensasi aktivasi neurohumoral bermanfaat saat pertama kali, mekanisme ini merusak dan mungkin mengakibatkan hasil yang buruk pada pasien sakit kritis. Jadi, perbaikan yang adekuat volume intravaskuler tetap merupakan tindakan yang penting dalam pengaturan pasien bedah.4,5 Pemberian cairan mungkin bertahan dalam kompartemen intravaskuler atau seimbang dengan kompartemen cairan interstisial/ intraseluler. Tujuan utama penatalaksanaan cairan adalah jaminan hemodinamik yang stabil oleh perbaikan sirkulasi volume plasma.
26
Bagaimanapun juga, kelebihan akumulasi cairan, terutama sekali dalam jaringan interstisial harus dihindari. Hipotesis Starling menganalisa dan menjelaskan perubahan cairan yang melintasi membran biologis. Berdasarkan persamaan tersebut, tekanan onkotik koloid merupakan faktor yang penting dalam menentukan aliran cairan yang melintasi membran kapiler antara ruang intravaskuler dan interstisial. Jadi, adanya manipulasi tekanan onkotik koloid menjadi jaminan sirkulasi volume intravaskuler yang adekuat.3 Besar dan durasi efek volume tergantung pada : 1. Kapasitas substansi ikatan air yang spesifik 2. Berapa banyak substansi yang diinfuskan bertahan di rongga intravaskuler Dikarenakan sifat fisikokimia yang berbagai macam, umumnya penggunaan cairan untuk pengganti cairan dibedakan secara luas dengan didasarkan pada tekanan onkotik koloid, efek volume, dan lamanya bertahan dalam intravaskuler. Keseimbangan elektrolit dan asam-basa harus dinilai dan apabila ada yang tidak normal harus dikoreksi terlebih dahulu, karena pemberian cairan kristaloid (RL/ NaCl) akan sangat berpengaruh. Kekurangan waktu paruh intravaskuler dan hiponatremia, biasanya mengurangi penggunaaan cairan saline < 0,9% untuk cairan resusitasi dan pemeliharaan intraoperatif. Penyebab utama pemilihan NaCl dan RL atau larutan garam berimbang yang lain adalah efeknya terhadap rasio Na ekstraseluler dan keseimbangan asam-basa.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 5. Pertimbangan kualitatif dalam pemilihan terapi cairan intraoperatif Pertimbangan Kapasitas angkut oksigen Faktor koagulasi Tekanan onkotik koloid Edema jaringan Keseimbangan elektrolit Keseimbangan asam basa Metabolisme glukosa/ nutrisi Abnormalitas serebral
Aldosteron meningkat segera mengikuti dan selama operasi, jadi meningkatkan absorbsi tubulus distal renal. Peningkatan aviditas tubulus terhadap natrium, memerlukan pendampingan absorbsi ion negatif Cl yang lain atau sekresi hidrogen atau ion K untuk menjaga netralitas elektrik tubulus renal. Jadi, jumlah Cl berhubungan dengan peningkatan Na, yang mungkin terjadi pada pemberian dalam NaCl 0,9% dalam jumlah besar, sekresi hidrogen dan K akan diminimalkan dengan akibat hiperkloremik yang dipicu oleh asidosis metabolik non-gap. Pemberian RL, bagaimanapun juga akan lebih fisiologis (seimbang) antara Na dengan Cl dan tidak akan mengakibatkan asidosis. Pemberian RL dalam jumlah besar mungkin akan mengakibatkan alkalosis metabolik pasca operasi yang berkaitan dengan adanya peningkatan bikarbonat dari metabolisme laktat.7,8,9,10
Pemberian cairan RL sebaiknya diberikan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi besar, dengan perdarahan kurang dari 15% dari EBV, karena dapat mempertahankan keseimbangan asambasa Stewart. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan penilaian terhadap parameter asam-basa Stewart yang lain, seperti penilain terhadap kadar albumin dan BGA (PCO2), karena untuk menilai secara keseluruhan asam-basa Stewart untuk kepentingan terapi, juga harus mempertimbangkan parameter yang lain. Penelitian lain yang perlu dilakukan adalah perbandingan antara cairan koloid dengan pelarut yang berbeda-beda, seperti koloid dengan pelarut RL dibandingkan dengan koloid dalam pelarut NaCl, kemudian dinilai status keseimbangan asam basanya dengan menggunakan metode Stewart, karena saat ini perkembangan cairan untuk tindakan operasi yang besar sudah menggunakan cairan koloid dengan tujuan sebagai cairan resusitasi untuk penggantian perdarahan diatas 15% EBV sebelum digantikan dengan darah. DAFTAR PUSTAKA
SIMPULAN
1.
Pemberian infus RL dan infus NaCl 0,9%, yang mulai diberikan sebelum, selama, dan setelah operasi, kemudian dilakukan penilaian terhadap SID (strong ion difference) menunjukkan hasil bahwa :
2.
1. Pemberian infus RL lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%. 2. NaCl 0,9% dapat menimbulkan asidosis ataupun alkalosis lebih besar pada pasien dibandingkan dengan RL.
4.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
3.
Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta. 2000. Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD IDSAI Jateng-Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Undip. Semarang. 2006 Madyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995 : 187 – 212 Boldt J. Intraoperative Fluid Therapy – Crystalloid or Colloid Debate. Revista Mexicana de Anesthesiologia. 2005; 28 : 2328
27
Jurnal Anestesiologi Indonesia
5.
6.
28
Boldt J. New Light on Volume Therapy in The Critically Ill. Yearbook of Intensive Care and Emergency Medicine. Springer. Berlin. 2003. Magner JJ, McCaul C, Carton E, Gardiner J, Buggy D. Effect of Intraoperative Intravenous Crystalloid Infusion on PONV after Gynaecological Laparoscopy : Comparison of 30 and 10 ml kg-1. BJA. 2004 ; 93(3) : 381-385
7.
Norris MC. Handbook of Obstetric Anesthesia. Lippincot. Philadelphia. 2000 8. Hood Vl, Tannen RL. Protection of Acid Base Balance by pH Regulation of Acid Production. NEJM. 1998; 12 : 819-825 9. Cooper N. Acute Care : Volume Resuscitation. BMJ. 2004; 12 : 145-146 10. Singh G, Chaudry KI, Chaudry IH. Crystalloid is as Effective as Blood in the Resuscitation of Hemorrhagic Shock. Journal of Annual Surgery. 1992; 04 : 377-382
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Pengaruh Penggunaan Mesin Cardiopulmonary Bypass Terhadap Kadar Leukosit pada Operasi Bedah Jantung Rapto Hardian *, Hariyo Satoto**, Soenarjo** * Bagian Anestesiologi FK Unlam/ RSUD Ulin, Banjarmasin **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Recently more cardiopulmonary bypass device is used on cardiac surgery procedure. The utilization of cardiopulmonary bypass device is increasing total leukocyte count which could be one sign the Systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Purpose: to understand the effect of cardiopulmonary bypass device utilization on leukocyte count increase on cardiac surgery. Method: this is a prospective cohort observational study on 22 patients that underwent cardiac surgery using Cardiopulmonary bypass device. Periphery blood samples for the leukocyte count was obtained pre-sternotomy (Leukocyte 1), pre-cannulation (Leukocyte 2), 15th minute (Leukocyte 3) during CPB and 30th minute (Leukocyte 4) during CPB. Blood sample was count using automatic device. Paired t-test and Wilcoxon signed ranks test is used for statistical analysis (confidence interval < 0.05). Result: patient's data characteristic will be presented as tables. This research shows no significant results on Leukocyte 2 and Leukocyte 3, p = 0.170 (p > 0.05 ). However, there is a significant result on Leukocyte 1 and Leukocyte 2, Leukocyte 1 and Leukocyte 3, Leukocyte 1 and Leukocyte 4, Leukocyte 2 and Leukocyte 4, and Leukocyte 3 and Leukocyte 4, with p = 0.019, p = 0.026, p = 0.001, p = 0.003 and p = 0.007 (p < 0.05 ), respectively. Conclusion: there is an increase on leukocyte count during CPB device utilization especially on 30th minute. On 15th minute there is no significant increase on leukocyte count during CPB device utilization. Keyword: Leukocyte, cardiopulmonary bypass.
ABSTRAK Latar belakang : Prosedur bedah jantung menggunakan mesin cardiopulmonary bypass semakin banyak dilakukan. Penggunaan mesin cardiopulmonary bypass dianggap menyebabkan peningkatan jumlah leukosit yang merupakan salah satu tanda terjadinya Systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Tujuan : untuk mengetahui pengaruh penggunaan mesin cardiopulmonary bypass terhadap peningkatan jumlah leukosit pada operasi bedah jantung. Metode : merupakan penelitian cohort observational prospective pada 22 pasien yang menjalani operasi bedah jantung menggunakan Cardiopulmonary bypass. Pengambilan sampel darah tepi untuk menghitung leukosit diambil pada saat pra sternotomy (Leukosit 1), pra kanulasi (Leukosit 2), menit ke 15 (Leukosit 3) selama CPB dan menit ke 30 (Leukosit 4) selama CPB. Sampel darah dihitung menggunakan mesin secara otomatis. Uji statistik menggunakan Paired t-test dan Wilcoxon signed ranks test (dengan derajat kemaknaan < 0,05).
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
29
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hasil : karakteristik data penderita akan = 0,026, p = 0,001, p = 0,003 dan p = disajikan dalam bentuk tabel. Pada 0,007 (p < 0,05). penelitian ini didapatkan hasil uji pada Kesimpulan : terdapat peningkatan Leukosit 2 dengan Leukosit 3 didapatkan jumlah leukosit pada pemakaian mesin hasil yang tidak bermakna p = 0,170 (p CPB terutama pada menit ke 30. Pada > 0,05 ). Hasil uji pada Leukosit 1 menit ke 15 belum terdapat peningkatan dengan Leukosit 2, Leukosit 1 dengan jumlah leukosit yang bermakna akibat Leukosit 3, Leukosit l dengan Leukosit 4, pemakaian mesin CPB Leukosit 2 dengan Leukosit 4, dan Leukosit 3 dengan Leukosit 4, didapatkan Kata kunci : Leukosit, cardiopulmonary hasil yang bermakna dengan p = 0,019, p bypass. ______________________________________________________________________ PENDAHULUAN Penyakit jantung, stroke, dan penyakit periferal arterial merupakan penyakit yang mematikan. Diseluruh dunia, jumlah penderita penyakit ini makin bertambah. Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup yang kurang sehat yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup. Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan pada tahun 2002 tercatat lebih dari tujuh juta orang meninggal dunia akibat penyakit arteri koroner/penyakit jantung koroner di seluruh dubia. Angka kematian tersebut diperkirakan meningkat hingga 11 juta pada tahun 2020.1,2 Jenis operasi bedah jantung antara lain operasi Coronary artery bypass graft (CABG), operasi perbaikan atau penggantian katup jantung dan operasi yang lainnya. Prosedur bedah jantung ini biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu menghentikan jantung secara sementara (on-pump) dan pembedahan dengan jantung yang masih berdenyut (offpump).3 Penghentian jantung sementara ini memerlukan alat pengganti fungsi jantung dan paru sehingga sirkulasi tubuh tetap terjaga. Alat pengganti jantung dan paru tersebut dinamakan mesi cardiopulmonary bypass (CPB). 4,5
30
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien yang menggunakan mesin ini adalah terjadinya suatu respon inflamasi sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan disebabkan oleh karena infeksi, DIC, oedem jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ tubuh. Penyebab inflamasi sistemik ini terdiri dari banyak hal, antara lain karena penggunaan CPB.6 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses inflamasi dan komplikasi yang terjadi pada pemakaian CPB maupun tidak. Ascione et al melakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan jumlah IL-8 dan juga peningkatan jumlah leukosit pasca operasi pada operasi CABG yang
menggunakan CPB dibandingkan yang tanpa menggunakan CPB (p < 0.01). Namun Wehlina et al menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah sel pro inflamasi yang terinfeksi pada operasi CABG yang menggunakan CPB maupun tanpa menggunakan CPB.7,8,9 Banyak penelitian telah pula dilakukan untuk mengurangi jumlah leukosit yang ada dalam sirkulasi. Leal-Noval et al menyatakan penggunaan penyaring Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
leukosit menurunkan tingkat infkesi perioperatif, tingkat demam, dan tingkat kejadian hiperdinamik. Gu et al menyatakan penggunaan penyaring leukosit ini menurunkan jumlah leukosit dalam sirkulasi sebesar 39% dan berakibat penurunan produksi IL-8 (p < 0.05).10,11 Berdasarkan hal-hal tersebutlah maka peneliti ingin meneliti sejauh mana pengaruh alat cardio pulmonary bypass terhadap peningkatan jumlah leukosit pada operasi bedah jantung. METODE Desain penelitian ini adalah penelitian cohort observational prospective. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang, dalam kurun waktu Januari 2009 – Juni 2009. Populasi penelitian ini adalah semua penderita yang akan menjalani operasi bedah jantung di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang, yang menggunakan cardio pulmonary bypass. Kriteria inklusi terdiri dari jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, usia 14 tahun ke atas, dan akan menjalani operasi bedah jantung menggunakan mesin CPB. Sementara kriteria inklusinya adalah lama penggunaan alat CPB yang kurang dari 30 menit. Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria seperti yang disebut diatas dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Semua penderita telah mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan sebelumnya serta telah memberikan pernyataan tertulis akan kesediaannya dalam lembar informed consent.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Uji normalitas jumlah leukosit sebelum dan sesudah perlakukan dilakukan dengan uji Saphiro-Wilkin atau uji Kolmogorov-Smirnov. Analisa deskriptif dilakukan dengan menghitung proporsi gambaran karakteristik responden yang hasilnya akan ditampilkan dalam tabel silang. Mean ± SD jumlah leukosit sebelum dan sesudah perlakuan juga dihitung. Analisa analitik untuk menguji perbedaan jumlah leukosit sebelum dan sesudah perlakukan dilakukan dengan paired t-test (bila distribusi normal) atau uji Wilcoxon signed rank (bila distribusi tidak normal). Hasil uji statistik akan disajikan dalam bentuk tabel dan penghitungan statistik menggunakan software SPSS 15.0. HASIL Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan jumlah leukosit terhadap waktu lamanya penggunaan mesin CPB pada 22 orang penderita yang menjalani operasi bedah jantung setelah memasuki kriteria inklusi dan eksklusi. Pada tabel 1 didapatkan karakteristik subyek pada umur memiliki rata-rata 51.45 dan standar deviasi 11.20. Pada LVEF memiliki rata-rata 53.64 dan standar deviasi 9.328. Dari jenis tindakan yang dilakukan, sebanyak 18 pasien menjalani CABG dengan persentase 81.8% dan sisanya 9.1% pasien menjalani DVR serta MVR. Pemasangan Swan Ganz dilakukan pada 18 pasien dengan persentase 81.8% dan sisanya 18.2% tidak dilakukan pemasangan Swan-Ganz. Pada tabel 1 didapatkan karakteristik subyek pada umur memiliki rata-rata 51.45 dan standar deviasi 11.20. Pada LVEF memiliki rata-rata 53.64 dan standar deviasi 9.328. Dari jenis tindakan yang dilakukan, sebanyak 18 pasien menjalani CABG dengan persentase 81.8% dan
31
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sisanya 9.1% pasien menjalani DVR serta MVR. Pemasangan Swan Ganz dilakukan pada 18 pasien dengan
persentase 81.8% dan sisanya 18.2% tidak dilakukan pemasangan Swan-Ganz.
Tabel 1. Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok No.
Variabel
1
Umur
22
51.45
11.207
-
2
LVEF
22
53.64
9.328
-
3
GDS
22
132.09
22.862
-
4
Jenis tindakan CABG
18
-
-
81.8
DVR
2
-
-
9.1
MVR
2
-
-
9.1
Ya
18
-
-
81.8
Tidak
4
-
-
18.2
5
Frekuensi
Mean
Std.
Persentase
Pemasangan Swan Ganz
Tabel 2. Jumlah rerata leukosit dan uji normalitasnya No.
Variabel
Mean
Std
P
1
Leukosit 1
6731,0
2198,99
0,177
2
Leukosit 2
7121,8
2489,98
0,142
3
Leukosit 3
7798,2
2976,01
0,210
4
Leukosit 4
8784,5
4306,23
0,000
Uji normalitas leukosit ditunjukkan pada tabel 2, dimana karakteristik subyek pada leukosit 1, leukosit 2, dan leukosit 3 memiliki distribusi yang normal ( p > 0.05 ), dan pada leukosit 4 memiliki distribusi yang tidak normal (p < 0.05 ), sehingga dilakukan uji statsitik dengan menggunakan Paired t-test dan uji Wilcoxon signed ranks.
32
Hasil uji pada leukosit 2 dengan leukosit 3 didapatkan hasil yang tidak bermakna p = 0.170 (p > 0.05). Hasil uji pada leukosit 1 dengan leukosit 2, leukosit 1 dengan leukosit 3, leukosit 1 dengan leukosit 4, leukosit 2 dengan leukosit 4, dan leukosit 3 dengan leukosit 4, didapatkan hasil yang bermakna dengan p = 0,019, p = 0.026, p = 0.001, p = 0.003, dan p = 0.007 (p < 0.05).
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Hasil Uji No.
Variabel
P
1
Leukosit 1 - Leukosit 2
0,019
2
Leukosit 1 - Leukosit 3
0,026
3
Leukosit 1 - Leukosit 4
0,001
4
Leukosit 2 - Leukosit 3
0,170
5
Leukosit 2 - Leukosit 4
0,003
6
Leukosit 3 - Leukosit 4
0,007
PEMBAHASAN CPB mengaktifkan sistem pertahan tubuh yang menyebabkan respon inflamasi pada seluruh tubuh. Inflamasi ini diawali oleh kerusakan dari beberapa komponen darah. Kerusakan komponen darah dapat terjadi karena pompa pada CPB, peralatan cardiotomy suction, dan oleh karena kanul arteri yang dipakai, namun sebagian besar kerusakan berasal dari berulangnya perjalanan darah melewati sirkuit CPB. Komponen darah yang paling banyak megalami kerusakan adalah sel darah merah. Leukosit juga sensitif terhadap kerusakan yang terjadi yang berakibat terjadinya gangguan fungsi leukosit itu sendiri. Pengaktifan sistem kontak terjadi oleh karena darah terpapar dengan sirkuit CPB yang dikenali sebagai benda asing oleh tubuh. Proses tersebut menyebabkan terjadinya aktivasi leukosit, terbentuk mikroemboli, gangguan pembekuan, dan berlanjut ke Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).12,13,14,15 Dari hasil uji pada leukosit 1 dengan leukosit 3 didapatkan hasil yang bermakna dengan p = 0,026 (p < 0,05). Hal tersebut terjadi oleh karena peningkatan leukosit karena pembedahan ditambah dengan pemaparan darah terhadap mesin CPB selama 15 menit
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
yang berakibat terjadi peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Hasil uji pada leukosit 1 dengan leukosit 4 didapatkan hasil yang bemakna p = 0.001 (p < 0,05). Peningkatan leukosit terjadi karena pembedahan ditambah dengan pemaparan darah terhadap mesin CPB selama 30 menit yang berakibat pada peningkatan jumlah leukosit yang bermakna.16,17 Hasil uji pada leukosit 2 dengan leukosit 4 didapatkan hasil yang bermakna p = 0,003 (p < 0,05). Peningkatan leukosit oleh karena pemaparan darah terhadap mesin CPB selama 30 menit yang berakibat terjadinya peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Hasil uji pada leukosit 3 dengan leukosit 4 didapatkan hasil yang bermakna p = 0,007 (p < 0,05). Peningkatan leukosit oleh karena pemaparan darah terhadap mesin CPB selama 15 menit kedua yang berakibat terjadinya peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Hal ini terjadi karena leukosit sudah teraktivasi pada 15 menit pertama. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Moen skk. Moen dkk menyatakan bahwa pada 10 menit pertama setelah CPB dimulai, terjadi penurunan jumlah leukosit, namun pada menit-menit berikutnya jumlah leukosit mengalami peningkatan yang bermakna.17,18,19
33
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, telah banyak dilakukan usaha pencegahan agar respon inflamasi sistemik dapat dicegah atau dikurangi. Usaha tersebut mulai dari menggunakan obat-obatan sampai dengan modifikasi komponen dari CPB. Penggunaan obat-obatan untuk mengurangi respon inflamasi antara lain dengan menggunakan obat-obat glukokortikoid, inhibitor protease (aprotinin), heparin, inhibitor phospodiesterase (milrinone) dan lainlain. Sedangkan modifikasi dari komponen mesin CPB antara lain dengan cara menggunakan sirkuit heparincoated, pemakaian filter dan lainnya.15,20 Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukannya pemeriksaan sitokin-sitokin proinflamasi yaitu interleukin (IL-6,IL-8) dan TNF-α. Menurut Ascione dkk serta Biglioli dkk, ketiga faktor tersebut merupakan pertanda awal terjadinya respon inflamasi selain peningkatan leukosit.7,21 SIMPULAN Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada pemakaian mesin CPB terutama pada menit ke 30. Pada menit ke 15 belum terdapat peningkatan jumlah leukosit yang bermakna akibat pemakaian mesin CPB.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
34
Wikipedia. Serangan jantung. April 2009. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Seranganjantung Yahya A F. Terapi penyakit jantung koroner. 2009. Available from: http://huxleyi.wordpress.com/2009/02/02/tera pi-penyakitjantung-koroner/ Werdha A, Setyawati V, Primasari. Profil penyakit jantung koroner (PJK) dan faktor risiko PJK pada penduduk miskin perkotaan di Jakarta. Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan. Available from: http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes/Bu
12.
13.
14.
ku%20Laporan%20Penelitian%202006/peny akit%20jantung%20koroner.htm Vallely M P, Bannon P G, Kritharides L. The systemic inflammatory response syndrome and off-pump cardiac surgery. 2000. Available from: http://www.hsforum.com/stories/articleReade r$1905 Wikipedia. Coronary artery bypass surgery. June 2009. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Coronary_artery _bypass_surgery Hess P J. Systemic inflammatory response to coronary artery bypass graft surgery. September 2005. Available from: http://www.medscape.comlviewarticle/51250 2_1 Biglioli P, Cannata A, Alamanni F, et al. Biological effects of off-pump vs. on-pump coronary artery surgery: focus on inflammation, hemostasis and oxidative stress. Eur J Cardiothorac Surg 2003;24:260269 Levy J H, Tanaka K A. Inflammatory response to cardiopulmonary bypass. Ann Thorac Surg 2003;75:S715-S720 Bull DA, Neumayer LA, Stringham JC,et al . Coronary artery bypass grafting with cardiopulmonary bypass versus off-pump cardiopulmonary bypass grafting: does eliminating the pump reduce morbidity and cost?. Ann Thorac Surg 2001;71:170-175 Leal-Noval SR, Amaya R, Herruzo A, Hernandez A, Ordonez A, et al. Effects of a leukocyte depleting arterial line filter on perioperative morbidity in patients undergoing cardiac surgery: a controlled randomized trial. Ann Thorac Surg 2005;80:1394-1400 Gu YJ, Vries AJ, Vosa P, et al. Leukocyte depletion during cardiac operation: a new approach through the venous bypass circuit. Ann Thorac Surg 1999;67:604-609 Ascione R, Lloyd CT, Underwood MJ, Lotto AA, Pitsis AA, Angelini GD. Inflammatory response after coronary revascularization with or without cardiopulmonary by pass. Ann Thorac Surg 2000;69:1198-1204 Wehlin L, Vedinb J, Vaagea J, et al. Activation of complement and leukocyte receptors during on- and off pump coronary artery bypass surgery. Eur J Cardiothorac Surg 2004;25:35-42 Boyle EM, Pohlman TH, Johnson MC, et al. Endothelial cell injury in cardiovascular surgery: the systemic inflammatory response. Ann Thorac Surg 1997;63:277-284.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
15. Hunt IJ, Day JRS. Cardiac surgery and inflammation: the inflammatory response and strategies to reduce the systemic inflammatory response syndrom . Current Cardiology Reviews 2007; 3: 91-98 16. Paparella D, Yau TM, Young E. Cardiopulmonary bypass induced inflammation: pathophysiology and treatment. Eur J Cardiothorac Surg 2002;21:232-244. 17. Lappegard KT, Fung M, et al. Artificial surface-induced cytokine synthesis: effect of heparin coating and complement inhibition. Ann Thorac Surg 2004;78:38-44 18. Kaul TK, Fields BL. Leukocyte activation during cardiopulmonary bypass: limitations
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
of the inhibitory mechanisms and strategies. J Cardiovasc Surg (Torino). 2000 Dec;41(6):849-62. 19. Salamonsen RF, Anderson J. Total leukocyte control for elective coronary bypass surgery does not improve short-term outcome. Ann Thorac Surg Vol. 79.2005 :2032-2038 20. Chiba Y, Morioka K, et al. Effects of depletion of leukocytes and platelets on cardiac dysfunction after cardiopulmonary bypass. Ann Thorac Surg 1998;65:107-1 13 21. Moen O, Hogasen K, et al. Attenuation of changes in leukocyte surface markers and complement activation with heparin-coated cardiopulmonary bypass. Ann Thorac Surg 1997;63:105-11
35
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Sirkuit Anestesi Taufik Eko Nugroho*, Himawan Sasongko*, Soenarjo* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT For an anesthesiologist, an understanding of the functioning of anesthesia delivery systems is very important. Based on the facts of the American Society of Anesthesiologists Data (ASA), Caplan found that despite the demands of the patient against the errors of the anesthesia delivery systems are rare, but when it happens it will be a big problem, which often result in death or permanent brain damage.1,2 Anesthesia circuit, known as the respiratory system is a system that functions to deliver oxygen and anesthetic gases from the anesthesia machine to a patient who was operated. Anesthesia circuit is a pipe / tube that is an extension of the upper respiratory tract of patients. Rebreathing anesthesia circuit and is classified as a non-rebreathing based on presence or absence of expiratory air is inhaled again. This circuit is also classified as open, semi open, semi closed and closed based on the presence or absence of (1) reservoir bag, (2) expiratory air we breathe again (rebreathing exhaled gas), (3) components to absorb korbondioksia and expiratory (CO2 absorber) (4) one-way valve. ABSTRAK Bagi seorang ahli anestesi, pemahaman terhadap fungsi dari sistem penghantaran anestesi ini sangatlah penting. Berdasarkan fakta dari data American Society of Anesthesiologists (ASA), Caplan menemukan bahwa meskipun tuntutan dari pasien terhadap kesalahan dari sistem penghantaran anestesi jarang terjadi, akan tetapi ketika itu terjadi maka akan menjadi suatu masalah yang besar, yang sering mengakibatkan kematian atau kerusakan otak yang menetap. Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung yang merupakan perpanjangan dari saluran pernafasan atas pasien. Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-rebreathing berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali. Sirkuit ini juga diklasifikasikan sebagai open, semi open, semi closed dan closed berdasarkan ada tidaknya (1) reservoir bag, (2) udara ekspirasi yang dihirup kembali (rebreathing exhaled gas), (3) komponen untuk menyerap korbondioksia ekspirasi serta (CO2 absorber) (4) katup satu arah. _________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Sistem penghantaran anestesi (Anesthesia Delivery System) telah bekembang mulai dari peralatan yang sederhana hingga menjadi suatu sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari mesin anestesi, sirkuit anestesi, vaporizer, pembuangan gas serta monitor. Bagi 36
seorang ahli anestesi, pemahaman terhadap fungsi dari sistem penghantaran anestesi ini sangatlah penting. Berdasarkan fakta dari data American Society of Anesthesiologists (ASA), Caplan menemukan bahwa meskipun tuntutan dari pasien terhadap kesalahan Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dari sistem penghantaran anestesi jarang terjadi, akan tetapi ketika itu terjadi maka akan menjadi suatu masalah yang besar, yang sering mengakibatkan kematian atau kerusakan otak yang menetap.1,2 Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung yang merupakan perpanjangan dari saluran pernafasan atas pasien. Komponen sirkuit anestesi pada saat sekarang ini terdiri dari kantong udara, pipa yang berlekuk-lekuk, celah untuk aliran udara segar, katup pengatur tekanan dan penghubung pada pasien. Aliran gas dari sumber gas berupa campuran oksigen dan zat anestesi akan mengalir melalui vaporizer dan bersama zat anestesi cair tersebut keluar menuju sirkuit. Campuran oksigen dan zat anestesi yang berupa gas atau uap ini disebut sebagai fresh gas flow (FGF) (aliran gas segar). Sistem pernafasan atau sirkuit anestesi ini dirancang untuk mempertahankan tersedianya oksigen yang cukup di dalam paru sehingga mampu dihantarkan darah kepada
jaringan dan selanjutnya mampu mengangkut karbondioksida dari tubuh. Sistem pernafasan ini harus dapat menjamin pasien mampu bernafas dengan nyaman, tanpa adanya peningkatan usaha bernafas, tidak menambah ruang rugi (dead space) fisiologis serta dapat menghantarkan gas / agen anestesi secara lancar pada sistem pernafasan pasien. Sampai saat ini berbagai teknik dan modifikasi sirkuit anestesi telah dikembangkan dan masingmasing mempunyai efisiensi, kenyamanan dan kerumitan sendirisendiri. 3,4 Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-rebreathing berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali. Sirkuit ini juga diklasifikasikan sebagai open, semi open, semi closed dan closed berdasarkan ada tidaknya (1) reservoir bag, (2) udara ekspirasi yang dihirup kembali (rebreathing exhaled gas), (3) komponen untuk menyerap korbondioksia ekspirasi (CO2 absorber) serta (4) katup satu arah (Tabel 1). Meskipun dengan pengklasifikasian tersebut kadang menyebabkan kebingungan dibandingkan pemahaman. 4,5
Tabel 1. Klasifikasi sirkuit Anestesi 5 Sistem Open Insuflasi Open Drop
Reservoir Bag
Rebreathing
CO2 absorbent
Katup
Aliran FGF
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Tidak diketahui Tidak diketahui
Semiopen Mapleson A, B, C, D Mapleson E Mapleson F
Ya Tidak Ya
Tidak Tidak Tidak
Tidak Tidak Tidak
Satu Tidak Satu
Tinggi Tinggi Tinggi
Semiclosed Sistem lingkar
Ya
Ya
Ya
Tiga
Sedang
Closed Sistem Lingkar
Ya
Ya
Ya
Tiga
Rendah
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
37
Jurnal Anestesiologi Indonesia
SISTEM INSUFLASI Istilah insuflasi menunjukkan peniupan gas anestesi di wajah pasien. Meskipun insuflasi dikategorikan sebagai breathing system, mungkin istilah ini lebih baik bila dianggap sebagai suatu teknik anestesi tanpa
hubungan langsung antara sebuah rangkaian alat pernafasan dengan pasien. Karena anak-anak sering menolak penempatan masker wajah atau melalui intravena, insuflasi berguna sekali untuk induksi pasien anak-anak dengan anestesi inhalasi (gambar 1). Hal ini berguna untuk situasi yang lain.4
Gambar 1. Insuflasi agen anestesi di wajah pasien anak selama induksi
Pada pembedahan ophtalmic (mata) dengan anestesi local, akumulasi CO2 di bawah kain (drapping) kepala dan leher, dapat berbahaya. Insuflasi O2 dan udara di wajah pasien pada laju aliran tinggi (> 10 L/menit) dapat menghindari masalah ini (gambar 2). Karena insuflasi
menghindari kontak langsung dengan pasien, maka hembusan gas rebreathing tidak akan terjadi jika alirannya cukup tinggi. Pada teknik ini ventilasi tidak dapat dikontrol sehingga gas yang masuk mengandung sejumlah udara atmosfer yang tidak dapat diprediksi.4
Gambar 2. Insuflasi O2 dan udara di bawah tirai kepala (drapping)
SISTEM OPEN-DROP Meskipun anestesi tetes terbuka (open drop) tidak digunakan lagi dalam kedokteran modern, tapi ada makna bersejarah yang akan dijelaskan di sini.
38
Penggunaan sistem open drop diawali oleh Simpson yang pertama kali menggunakan kloroform pada tahun 1847 dengan cara sederhana yaitu dengan menyiramkan zat ini pada sebuah sapu tangan dan diletakkan menutupi mulut
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dan hidung penderita sehingga ia dapat menghirup uapnya.6 Kemudian Schimmelbusch (1860-1895), seorang ahli bedah di Berlin menggunakan masker yang dapat dipakai untuk memberikan kloroform, etil klorida atau dietil eter.7 Masker Schimmelbusch berupa masker rangka besi dengan cekungan untuk mengumpulkan agen anestesi yang berlebihan dan dilengkapi rangka kawat yang dapat dilepas untuk menahan kain penutup (gambar 3).8 Pada teknik ini sejumlah zat anestesi inhalasi diteteskan melalui masker yang dipasang pada wajah penderita diatas mulut dan hidung. Zat anestesi yang mudah menguap, seperti ether atau halothane menetes di atas kain tipis yang menutupi wajah (masker Schimmebusch), digunakan pada wajah pasien. Zat anestesi diteteskan secara perlahan-lahan di atas masker kemudian dialirkan oksigen yang cukup dibawahnya sehingga didapatkan sirkulasi udara yang baik di bawah masker. Ketika proses inspirasi, udara melewati kain, menguapkan agen cair dan membawa zat anestesi dalam konsentrasi tinggi pada pasien. Penguapan menurunkan temperatur masker, mengakibatkan kondensasi uap air dan pengembunan serta penurunan tekanan uap anestesi (tekanan uap sebanding dengan suhu). Turunan dari anestesi open drop modern adalah menggunakan vaporizer draw over yang tergantung pada usaha nafas pasien untuk mengambil udara ruangan melalui ruang vaporizer.4 SISTEM DRAW-OVER Alat draw-over merupakan rangkaian nonbreathing yang menggunakan udara sekitar sebagai pengangkut gas, walaupun suplemen O2 dapat digunakan jika
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
tersedia. Walaupun alat ini sederhana, tetapi konsentrasi udara dan oksigen yang masuk dapat diprediksi dan dikontrol. Alat ini dapat dilengkapi dengan perlatan yang memungkinkan Intermitent Positive- Pressure Ventilation (IPPV) dan pembuangan pasif, serta Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan Positive End-Expiratory Pressure 4 (PEEP).
Gambar 3. Masker Schimmelbusch
Pada sebagian besar dasar alat (gambar 4), udara diambil melalui alat penguap resistensi rendah saat pasien inspirasi. Pasien bernafas spontan dengan udara ruang dan agen inhalasi, sering menimbulkan saturasi oksigen (SpO2) <90%, sehingga dalam situasi ini diperlukan IPPV, suplemen oksigen, atau keduanya. Fraksi inspirasi oksigen (FIO2) dapat ditambahkan dengan menggunakan reservoir tabung terbuka sekitar 400 mL, yang melekat pada sebuah T-piece di sisi atas vaporizer. Kisaran tidal volume dan laju pernafasan disebutkan bahwa laju aliran oksigen 1 L/menit memberikan FIO2 (30-40%) atau dengan 4 L/menit memberikan FIO2 (60-80%).4 Beberapa sistem draw-over komersial yang tersedia memiliki beberapa sifat, diantaranya mudah dibawa, kuat, resistensi rendah terhadap aliran gas, dapat digunakan dengan beberapa agen, serta dapat mengontrol pengeluaran uap.
39
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 4. Diagram skema rangkaian anestesi draw-over
Keuntungan dari sistem draw-over adalah sederhana dan mudah dibawa. Meskipun begitu terdapat beberapa kelemahan pada sistem ini. Tidak adanya reservoir bag, menyebabkan kedalaman tidal volume tidak dapat dinilai selama ventilasi spontan. Adanya katup nonrebreathing, katup PEEP, dan rangkaian saringan tertutup (filter-close) yang berada pada kepala pasien, menyebabkan kesulitan pada pembedahan kepala dan leher serta pada kasus-kasus anak. Jika kepala ditutupi, maka katup nonbreathing sering tertutup juga.4
Ini merupakan peralatan anestesi inhalasi draw-over yang paling terkenal pada saat itu. Bagi Angkatan perang India alat ini merupakan perlengkapan anestesi yang penting di tempat-tempat terpencil dimana tentara bertugas. OIB (Oxford Inflating Bellow) merupakan alat yang digunakan untuk bantuan ventilasi manual.9 Sedangkan peralatan Triservice merupakan sistem draw over yang dibuat oleh tentara Inggris untuk digunakan pada saat perang (Gambar 6).10
EMO merupakan sistem anestesi draw over yang dirancang oleh Epstein dan Machintosh di Oxford pada tahun 1952 (Gambar 5).
Gambar 6. Peralatan Triservice
RANGKAIAN MAPLESON
Gambar 5. Unit Vaporizer EMO dengan IOB
40
Insuflasi dan sistem draw-over memiliki beberapa kelemahan diantaranya kurangnya kontrol terhadap konsentrasi gas inspirasi dan kedalaman anestesi, ketidakmampuan untuk membantu atau mengontrol ventilasi, tidak ada
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
perlindungan terhadap udara panas ekspirasi atau kelembaban, manajemen jalan nafas yang sulit selama pembedahan pada kepala dan leher, serta polusi ruang operasi karena gas buang yang besar. Sistem Mapleson diperkenalkan di Inggris oleh Prof. WW Mapleson tahun 1954. Sistem mapleson ini memecahkan beberapa masalah ini dengan menambahkan komponen (pipa pernafasan, fresh gas inlets yaitu sisi tempat masuknya gas segar, katup APL (Adjustable Pressure-Limitting) yaitu katup untuk menyesuaikan batas tekanan, dan reservoir bag) dalam sirkuit pernafasan (Gambar 7). Lokasi dari komponen-komponen ini relatif
Gambar 7. Komponen Rangkaian Mapleson
Komponen-komponen Rangkaian Mapleson Tabung Pernafasan (Breathing Tubes) Tabung pernafasan bergelombang – terbuat dari karet (dapat digunakan lagi) atau plastik (sekali pakai) – menghubungkan komponen-komponen dari rangkaian Mapleson kepada pasien (gambar 7). Diameter tabung yang besar
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
menentukan kinerja sirkuit dan merupakan dasar dari klasifikasi Mapleson (tabel 2).4 Sirkuit Mapleson cukup ringan, sederhana dan tidak memerlukan katup searah. Efisiensinya ditentukan oleh gas segar yang dibutuhkan untuk mengeliminasi CO2. Karena tidak ada katup searah dan absorpsi CO2 maka rebreathing dicegah dengan katup pengurang tekanan. Selama pernapasan spontan, udara alveoli yang mengandung CO2 akan dikeluarkan melalui katup (APL). Bila aliran gas segar melebihi ventilasi semenit alveoli sebelum inhalasi terjadi maka kelebihannya akan dibuang melalui katup (Gambar 8).1,4,10, 11
Gambar 8. Katup APL
(22 mm) menghasilkan jalur resistensi rendah dan reservoir yang potensial untuk gas-gas anestesi). Untuk meminimalkan kebutuhan FGF, volume tabung pernafasan pada sebagian besar rangkaian Mapleson harus setidaknya sama besar dengan volume tidal pasien. Compliance tabung pernafasan menentukan compliance dari sirkuit. (Compliance didefinisikan sebagai
41
Jurnal Anestesiologi Indonesia
perubahan volume yang dihasilkan oleh perubahan tekanan). Tabung pernafasan panjang dengan compliance tinggi meningkatkan perbedaan antara volume gas yang dikirim ke sirkuit oleh reservoir bag atau ventilator, dengan volume sebenarnya yang dikirim ke pasien. Contohnya, jika sebuah rangkaian pernafasan dengan compliance 8 mL gas/cm H2O adalah tekanan selama pengiriman, tidal volume menjadi 20 cm H2O, 160 mL tidal volume akan hilang pada rangkaian. 160 mL menggambarkan kombinasi dari kompresi gas dan ekspansi tabung pernafasan. Ini merupakan pertimbangan penting pada setiap sirkuti yang memberikan ventilasi tekanan positif melalui tabung pernafasan (seperti sistem lingkar). 4,11,12 Fresh Gas Inlet Gas (anestesi dengan oksigen atau udara) dari mesin anestesi secara terus menerus masuk ke sirkuit melalui fresh gas inlet. Katup APL (Adjustable Pressure – Limiting) Saat gas-gas anestesi memasuki sirkuti pernafasan, tekanan akan meningkat jika aliran gas lebih besar daripada kombinasi jumlah gas yang dihirup pasien dan sirkuit. Gas-gas yang keluar dari sirkuit melalui sebuah katup APL mengontrol penambahan tekanan ini (Gambar 8). Gas-gas pengeluaran akan memasuki atmosfir ruang operasi atau sebaiknya
42
ditampung oleh sebuah saluran pembuangan. Semua katup-katup APL memungkinkan variabel ambang tekanan untuk ventilasi. Katup APL harus sepenuhnya terbuka selama ventilasi spontan, sehingga tekanan pada sirkuit yang tertinggal dapat diabaikan saat inspirasi dan ekspirasi. Ventilasi bantuan dan kontrol memerlukan tekanan positif selama inspirasi untuk mengembangkan paru. Penutupan sebagian dari katup APL membatasi gas keluar, memungkinkan tekanan positif pada sirkuit selama kompresi reservoir bag. Reservoir Bag (Breathing Bag) Reservoir bag berfungsi sebagai penyimpan gas anestesi dan sebuah cara untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif. Komponen ini dirancang untuk meningkatkan compliancenya, ketika volumenya meningkat. Tiga tahap yang jelas berbeda dari pengisian reservoir bag dapat dilihat (gambar 9). Setelah reservoir bag untuk orang dewasa mencapai kapasitas 3 L (tahap I), tekanan naik dengan cepat ke puncak (tahap II). Peningkatan volume lebih lanjut akan menyebabkan tekanan berada pada posisi plateu atau sedikit menurun (tahap III). Efek ini membantu melindungi paru pasien melawan tingginya tekanan udara ketika katup APL tanpa sengaja bearada dalam posisi tertutup, sementara gas segar terus mengalir ke dalam sirkuit. 4,11,12
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 9. Fase peningkatan compliance dan elastisitas reservoir bag.
Tabel 2. Klasifikasi Mapleson
Karakteristik Mapleson
Kinerja
Rangkaian
Rangkaian Mapleson ringan, murah dan sederhana. Efisiensi sirkuit pernafasan diukur dengan FGF yang diperlukan untuk menghilangkan sebanyak mungkin CO2 rebreathing. Karena tidak ada katup searah atau CO2 absorber pada sirkuit Mapleson, rebreathing dicegah dengan mengalirkan gas melalui katup APL Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
sebelum inspirasi. Biasanya terdapat beberapa rebreathing udara ekspirasi dalam sirkuit Mapleson. Aliran yang melalui rangkaian mengatur jumlah udara rebreathing tersebut. Untuk meminimalkan terjadinya rebreathing, diperlukan FGF yang tinggi. Selama ventilasi spontan, gas alveolar yang mengandung CO2 akan dihembuskan ke dalam tabung pernafasan 43
Jurnal Anestesiologi Indonesia
atau langsung melalui sebuah katup APL yang terbuka. Sebelum inhalasi terjadi, jika FGF melebihi menit ventilasi alveolar, masuknya FGF akan memaksa gas alveolar yang tersisa dalam tabung pernafasan untuk keluar melalui katup APL. Jika volume tabung pernafasan sama dengan atau lebih besar dari tidal volume pasien, inspirasi berikutnya hanya akan berisi gas segar. 4,14 Sistem Mapleson A Sistem mapleson A atau dikenal sebagai sistem Magill merupakan susatu sistem yang populer digunakan di Inggris (Gambar 10). Pada pernafasan spontan, selama ekspirasi, bagian pertama dari gas ekspirasi berasal dari dead space anatomi dan tidak mengandung CO2. Gas tersebut berjalan sepanjang tabung corrugated hingga reservoir bag, akan tetapi tidak memasukinya karena kapasitas tabung corrugated melebihi volume tidal. Ketika reservoir bag diisi dan tekanan sirkuit meningkat, katup ekspirasi (katup APL) akan terangkat. Pada keadaan ini gas yang akan keluar pada siklus respirasi adalah gas alveoli yang mengandung CO2. Pada fase ekspirasi yang selanjutnya, FGF yang memasuki reservoir bag selanjutnya akan mengalir melalui tabung corrugated dan mendorong gas alveoli yang tersisa. Sistem ini baik dalam mengeluarkan gas alveoli. Pada sistem ini rebreathing tidak terjadi hingga FGF turun di bawah 70 % dari minute volume. 4,14 Ketika digunakan untuk ventilasi mekanik dengan kompresi manual dari reservoir bag, kemampuan dari sistem ini untuk mengeluarkan gas alveoli dari sistem ini menjadi hilang, sehingga selama inspirasi FGF akan keluar melalui katup APL. Pada keadaan ini sistem menjadi tidak efisisen dan diperlukan FGF 3 kali menit volume untuk mencegah rebreathing.Sistem Lack
44
merupakan coaxial dari sistem mapleson A (Gambar 11). 4,14 Sistem Mapleson B dan C Kedua sistem ini pada dasarnya adalah sama dan untuk mengurangi tingkat rebreathing pada tingkat yang dapat diterima, diperlukan FGF sama atau dua kali menit volume diperlukan selama ventilasi spontan ataupun terkontrol. Dari dua sirkuit ini, sistem mapleson C menjadi kurang efisien karena tidak memiliki tabung yang berfungsi menjaga pemisahan gas alveoli dengan dead space dari gas ekspirasi, dan seluruh volume ekspirasi akan bercampur dalam reservoir bag. Meski begitu, merupakan sistem yang baik untuk ventilasi manual pasien sebelum intubasi. 4,14 Sistem Mapleson B dan C Kedua sistem ini pada dasarnya adalah sama dan untuk mengurangi tingkat rebreathing pada tingkat yang dapat diterima, diperlukan FGF sama atau dua kali menit volume diperlukan selama ventilasi spontan ataupun terkontrol. Dari dua sirkuit ini, sistem mapleson C menjadi kurang efisien karena tidak memiliki tabung yang berfungsi menjaga pemisahan gas alveoli dengan dead space dari gas ekspirasi, dan seluruh volume ekspirasi akan bercampur dalam reservoir bag. Meski begitu, merupakan sistem yang baik untuk ventilasi manual pasien sebelum intubasi. 4,14
Gambar 10. Mapleson A
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dan kinerja dari tiga sistem ini adalah sama. 4,14 Sistem Mapleson D
Gambar 11. Sistem Lack
Gambar 12. Mapleson B
Sistem ini merupakan sistem T-piece yang memiliki cabang ekspirasi (tabung corrugated) dengan reservoir bag dan katup APL pada bagian akhir tabungnya (Gambar 14). Selama ventilasi spontan sistem ini bekerja serupa dengan mapleson E dan F, bahwa volume tidal adalah kurang dari volume dari tabung corrugated ekspirasi. Jika volume tidal melebihi volume tabung corrugated ekspirasi, campuran gas ekspirasi akan dihirup dari reservoir bag. 4,14 Selama ventilasi kontrol sistem ini lebih efisien dibandingkan dengan mapleson A, B, atau C. Efisiensi ini disebabkan pemisahan pipa FGF dengan katup APL (yang terletak jauh dari pasien). Desain ini memungkinkan bahwa sebagian besar gas yang dihirup selama inspirasi merupakan FGF. Sistem Bain merupakan coaxial dari sistem mapleson D (Gambar 15). 4,14
Gambar 13. Mapleson C
Sistem Mapleson D, E dan F Sistem ini pada dasarnya merupakan sistem T-pieces. Sistem ini digunakan secara luas di Amerika dibandingkan sistem mapleson A atau B. 14 Sistem T-pieces Sistem T-pieces didefinisikan sebagai sirkuit nafas dimana FGF masuk diantara sisi pasien dan sisi lubang ataupun katup ekspirasi. Definisi fungsional ini kadang membingungkan karena sistem ini tidak harus memiliki suatu cabang terpisah untuk sisi ekspirasi. Karena sistem ini juga mencakup sistem yang sepertinya tidak terlihat sebagai T-pieces. Sistem Mapleson D, E dan F berbeda hanya pada akhir dari cabang ekspirasi dari T-pieces,
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Gambar 14. Sistem Mapleson D
Gambar 15. Sistem Bain
45
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sistem Mapleson E Sistem Mapleson E merupakan T-pieces yang sederhana dengan akhir cabang ekspirasi yang terbuka yang menggantikan reservoir bag. Sistem ini hanya untuk pernafasan spontan. Ukuran dan bentuk dari tabung cabang ekspirasi adalah penting. Tabung ini harus memiliki diameter yang cukup untuk menghasilkan resistensi yang rendah pada aliran gas, akan tetapi diameter yang terlalu besar akan menghasilkan campuran antara gas ekspirasi dan FGF sehingga menyebabkan efisiensi yang berkurang. Kapasitas tabung cabang ekspirasi harus melebihi volume tidal untuk menghindari kemungkinan terhirupnya udara bebas. Kurangnya kapasitas tabung cabang ekspirasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan FGF (Gambar 16). 4,14
Gambar 17. Sistem Mapleson F (Jackson-Rees)
SISTEM CIRCLE
LINGKAR
/
SISTEM
Meskipun rangkaian Mapleson mengatasi beberapa kelemahan dari insuflasi dan sistem draw-over, tingginya FGF yang diperlukan untuk mencegah terjadinya rebreathing menyebabkan pemborosan agen anestesi, polusi ruang operasi dan hilangnya panas pasien dan kelembaban. Upaya untuk menghindari masalah ini, sistem lingkar menambahkan beberapa komponen ke dalam sirkuit pernafasan. 1,4,11,14
Komponen-komponen Sistem Lingkar Carbon dioksida absorbent (Pengisap CO2) Gambar 16. Sistem Mapleson E
Sistem Mapleson F (Jackson-Rees) Sistem ini berbeda dengan sistem mapleson D, dimana katup APL ekspirasi terletak pada ujung distal reservoir bag yang terbuka yang dapat diatur oleh operator. Sistem ini umumnya digunakan untuk mengatur ventilasi selama transport pasien dan pasien yang diintubasi. Sistem ini juga populer digunakan pada anetesi anak karena memiliki dead space dan resistensi yang minimal. Kekurangan sistem ini meliputi kebutuhan akan FGF yang tinggi untuk mencegah rebreathing, terjadinya tekanan yang tinggi dan barotrauma jika katup ekspirasi tertutup serta kurangnya humidifikasi. 4,14
46
Rebreathing gas alveolar memelihara panas dan kelembaban. CO2 pada gas yang dihembuskan harus dihilangkan untuk mencegah hiperkapni. Secara kimiawi CO2 bergabung dengan air untuk membentuk asam karbonat. CO2 absorbent (seperti sodalime atau baralime) mengandung garam hidroksida yang mampu menetralkan asam karbonat. Produk akhir reaksi meliputi panas (termasuk panas netralisasi), air dan kalsium karbonat. Sodalime adalah CO2 absorbent yang umum dan mampu menyerap untuk 23 L CO2 per 100 g absorbent. Perubahan warna dari sebuah indikator pH oleh peningkatan konsentrasi ion hidrogen memberi tanda terpakainya alat
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
penyerap. Absorbent harus diganti bila 50-70 % telah berubah warna. Meskipun butiran yang telah digunakan dapat kembali ke warna aslinya jika diistirahatkan, tetapi pemulihan kapasitas CO2 absorbent yang terjadi tidak signifikan. Ukuran butiran menunjukkan dengan daya serap permukaan yang tinggi dari butiran-butiran kecil dan aliran gas dengan resistensi yang rendah dari butiran-butiran yang besar. Garam-garam hidroksida mengiritasi kulit dan selaput lendir. Meningkatkan kekerasan sodalime dengan menambahkan silika meminimalkan resiko menghirup debu natrium hidrokida. Karena kapur barium hidroksida memasukkan air ke dalam struktur tersebut (air kristal), sehingga cukup keras tanpa silika. Tambahan air ditambahkan untuk kedua absorbent selama pembungkusan untuk memberi kondisi yang optimal untuk pembentukan asam karbonat. Sodalime komersial memiliki kandungan air 14 – 19 %. Butiran penyerap dapat menyerap dan kemudian melepaskan sejumlah volatile anestesi (anestesi yang mudah menguap) secara signifikan. Alat ini dapat merespon untuk induksi yang tertunda atau muncul. Sodalime yang lebih kering besar kemungkinan akan menyerap dan mengurangi anestesi inhalasi. 1,4,11,14 Carbon dioksida absorbers Butiran-butiran penyerap yang terkandung dalam satu atau dua tabung yang melekat antara kepala dan alas lapisan. Bersama-sama, unit ini disebut absorbers (gambar 18). Meskipun besar, tabung ganda memungkinkan penyerapan CO2 yang lebih lengkap, frekuensi perubahan absorbent lebih sedikit/tidak banyak, dan resistensi aliran gas lebih rendah. Untuk memastikan penyerapan lengkap, tidal volume pasien tidak boleh melebihi volume udara ruang antara butiran penyerap, yang kurang lebih sama
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
dengan 50% dari kapasitas penyerap. Indikator pewarna dapat dipantau melalui dinding transparan penyerap. Terpakainya penyerap biasanya pertama terjadi pada lokasi dimana gas dihembuskan memasuki penyerap dan sepanjang dinding tabung yang halus. Absorbers generasi yang lebih baru dapat digunakan hingga CO2 ditemukan dalam gas yang dihirup yang dapat diamati pada monitor gas anestesi, yang menunjukkan saatnya tabung untuk diganti. 1,4,11,14
Gambar 18. Carbon dioksida absorbers
Undirectional Valves (Katup searah) Katup searah, yang berfungsi sebagai katup pengecek, mengandung sebuah keramik atau piringan (disk) mika yang diletakkan horizontal di atas sebuah tempat katup berbentuk cincin (gambar 19). Selanjutnya aliran gas mendorong piringan ke atas, memungkinkan gas untuk mengalir melalui sirkuit. Aliran balik mendorong piringan melawan tahanan, mencegah refluks. Kerusakan katup biasanya disebabkan oleh piringan yang bengkok atau wadah yang tidak sesuai. Katup ekspirasi menerima gas alveolar yang lembab.
47
Jurnal Anestesiologi Indonesia
katup ekspirasi. Gas ini keluar masuk (dikeluarkan) melalui katup APL atau rebreathing oleh pasien setelah melalui penyerap. Penutupan katup inspirasi selama ekspirasi mencegah pengeluaran gas dari percampuran dengan gas segar pada cabang inspirasi. Kerusakan katup searah memungkinkan terjadinya rebreathing CO2, sehingga menyebabkan hiperkapni. 1,4,11,14 Optimalisasi desain (sistem lingkar)
Gambar 19. Sebuah katup searah
Inhalasi membuka katup inspirasi, memungkinkan pasien untuk bernafas campuran dari gas segar dan gas yang dihembuskan yang sudah melalui penyerap CO2. Secara bersamaan, katup ekspirasi menutup untuk mencegah rebreathing dari hembusan gas yang masih mengandung CO2. Selanjutnya aliran gas dari pasien selama penghembusan (exhalation) membuka
sistem
circle
Meskipun komponen-komponen utama sistem lingkar (katup searah,inlet gas segar, katup APL, penyerap CO2 dan sebuah reservoir bag) dapat ditempatkan dalam beberapa susunan, tetapi berikut ini susunan yang lebih dianjurkan (Gambar 20).
Gambar 20. Sebuah sistem lingkar
Katup searah tertutup secara relatif ke pasien untuk mencegah aliran balik ke cabang inspirasi jika kebocoran rangkaian berkembang. Namun katup searah tidak
48
ditempatkan di Y-piece, karena menyebabkan kesulitan untuk mengkonfirmasi kondisi dan fungsi yang tepat dari katup selama operasi.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Inlet gas segar / fresh gas inlet ditempatkan antara penyerap dan katup inspirasi. Posisinya di hilir (ujung) dari katup inspirasi akan memungkinkan gas segar untuk memotong jalan pasien selama pengeluaran nafas dan menjadi pemborosan (sia-sia). Gas segar yang ditempatkan antara katup ekspirasi dan penyerap akan diencerkan oleh gas resirkulasi. Selanjutnya, anestesi inhalasi dapat diserap atau dilepaskan oleh butiran sodalime, sehingga memperlambat induksi dan kemunculannya. Katup APL harus ditempatkan tepat sebelum abesorber untuk memelihara kapasitas penyerapan dan untuk mengurangi pengeluaran gas segar. Resistensi terhadap udara ekspirasi berkurang dangan menempatkan reservoir bag di cabang komponen ekspirasi. Kompresi reservoir bag selama ventilasi terkontrol akan mengeluarkan gas ekspirasi melalui katup APL, sehingga juga memelihara absorbent. 1,4,11,14
Karakteristik Kinerja Sistem Lingkar Kebutuhan gas segar Dengan adanya absorber, sistem lingkar dapat mencegah rebreathing CO2 pada FGF rendah atau yang dianggap rendah (= 1 L) atau bahkan FGF yang sama dengan pengambilan gas anestesi dan oksigen dari pasien dan rangkaian itu sendiri (anestesi sistem). Pada aliran gas segar lebih dari 5 L/menit, rebreathing begitu minimal sehingga CO2 absorber biasanya tidak diperlukan. Dengan FGF rendah, konsentrasi oksigen dan anestesi inhalasi bervariasi yang mencolok antara gas yang dihirup (gas pada fresh gas inlet) dan gas inspirasi (gas pada inspiratory limb dari tabung pernafasan), yang merupakan campuran gas segar dan gas yang dihembuskan yang telah melewati penyerap. Semakin Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
besar laju FGF, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengubah konsentrasi gas segar anestesi, yang tercermin dalam sebuah perubahan konsentrasi gas inspirasi anestesi. Kecepatan aliran induksi dan pemulihan yang lebih tinggi, dapat mengkompensasi kebocoran dalam sirkuit dan mengurangi resiko campuran gas tak terduga. 1,4,11,14 Dead space Bagian dari tidal volume yang tidak mengalami ventilasi alveolar disebut ruang kosong (dead space). Setiap peningkatan dalam dead space harus disertai oleh peningkatan yang sesuai pada tidal volume jika ventilasi alveolar tetap tidak berubah. Karena terdapatnya katup searah, perangkat dead space dalam suatu sistem lingkar terbatas pada daerah distal titik percampuran gas inspirasi dan ekspirasi di Y-piece. Tidak seperti rangkaian Mapleson, tabung nafas panjang tidak mempengaruhi dead space. Seperti rangkaian Mapleson, panjang rangkaian mempengaruhi compliance dan dengan demikian sejumlah volume tidal akan hilang ke rangkaian selama tekanan ventilasi positif. Sistem lingkar pada anak mungkin memiliki suatu septum yang membagi gas inspirasi dan ekspirasi di Ypiece dan tabung-tabung pernafasan dengan compliance rendah untuk mengurangi dead space, meskipun alat ini jarang digunakan dalam praktek saat ini. Resistensi Katup searah dan absorber meningkatkan resistensi sistem lingkar, terutama pada laju respirasi yang tinggi dan tidal volume yang besar. Meskipun demikian, bayi prematur dapat diventilasi dengan sukses dengan menggunakan sistem lingkar.
49
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pemeliharaan kelembaban dan panas Sistem penghantaran gas medis memberikan gas-gas yang tidak dilembabkan ke sirkuit anestesi pada suhu kamar. Gas ekspirasi dipenuhi dengan uap air pada suhu tubuh. Oleh karena itu, panas dan kelembaban gas inspirasi tergantung pada proporsi relatif dari gas rebreathing ke gas segar inspirasi. Aliran yang tinggi akan disertai dengan kelembaban yang relatif rendah, sedangkan aliran yang rendah memungkinkan saturasi air yang lebih besar. Butiran absorbent menghasilkan sumber panas yang signifikan dan kelembaban di dalam sistem lingkar.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kontaminasi bakteri 8.
Resiko terdapatnya mikroorganisme pada komponen-komponen sistem lingkar secara teoritis dapat mengakibatkan infeksi saluran pernafasan pada pasien yang menggunakan sirkuit ini berikutnya. Karena alasan ini, penyaring bakteri kadang-kadang ditambahkan ke dalam tabung pernafasan inspirasi atau ekspirasi atau di Y-piece.
9.
10.
11.
Kekurangan sistem lingkar 12.
Meskipun sebagian besar masalah rangkaian Mapleson terselesaikan oleh sistem lingkar, sistem ini tetap memiliki kekurangan, seperti ukuran lebih besar dan kurang praktis dibawa, meningkatnya kompleksitas, mengakibatkan resiko tinggi pemutusan atau malfungsi, meningkatkan resistensi, dan kesulitan memprediksi konsentrasi gas inspirasi selama FGF rendah. 1,4,11,14
13.
14.
Eisenkraft JB, Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesia Delivery System. In: Anesthesiology. New York : McGraw-Hill, 2008; 767 – 820 Bready LL, Mullin RM, Noorily SH. Anesthesia Breathing System. In: Decision Making in Anesthesiology. 4th ed. Texas : Mosby Elsevier, 2007; 14-8 Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. New York: Lange Medical Books, 2006; 242-52 Roth PA, Howley JE. Anesthesia Delivery Systems. In: Basic of Anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Elsevier, 2007; 185-205 Michael AE, Ramsay, MD. Anesthesia and Pain Management at Baylor University Medical Center. New York: BUMC Proceedings, 2000; 151- 65. Atkinson RS, Rushman, GB, Lee, Alfred J. A Synopsis of Anaesthesia - Asian Economic ed. Singapore: Elsevier, 1988; 4 - 12 Col AK, Bhargava. Early Devices for Inhalation of Ether and Chloroform. Indian Journal Anaesthesia, 2003: 47(3); 176 - 7 Col AK, Bhargava. Anaesthetic Devices. Indian Journal Anaesthesia, 2003: 47(6); 4378 Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G. Anaesthetic Apparatus. In: Textbook of Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Livingstone, 2002; 380 – 90 Barrash Pg, Cullen BF, Stoelting RK. Delivery System for Inhaled Anesthetics. In: Clinical Anesthesia. 5th ed. Yale: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 558-94 Ward CS. Breathing Attachment and Their Components. In: Anaesthetic Equipment – Physical Principles and Maintenance.2nd ed. Portsmouth: Baillier Tindall, 1985; 122 - 70 Ward C, Moyle JT, Davey A. Breathing System and Their Components. In: Ward‟s Anaesthetic Equipment. 4th ed. London: Saunders, 1992; 109 - 30 White DC, Calkins J. Anesthetic Machine and Breathing System. In: General Anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Butlerworth International edition, 1989; 440 – 54
DAFTAR PUSTAKA 1.
50
Brockwell RC, Andrews JJ. Inhaled Anesthetic Delivery Systems. In: Miller‟s Anesthesia.7th ed. San Fransisco : Elsevier, 2010. ebook
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Awareness dan Recall Intraoperatif Aunun Rofiq*, Witjaksono*, Widya Istanto Nurcahyo* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT ASA reports the latest on intraoperative awareness conducted by the ASA is centered around the postoperative recall. As can be inferred from this chapter, introperatif awareness and postoperative recall is not a phenomenon that is not related at all, thereby allowing clinicians and researchers to use one of the two partially substitute for the other. Recall that typically do not provide actual estimates of the incidence of intraoperative awareness and simply represents the peak of the iceberg phenomenon. Monitor brain function can not be predicted with less recall very well, but better than the traditional autonomic parameters in knowing lost or the emergence of consciousness. Monitor brain function represents the rapid developments in anesthesia practice management. The ability to recognize intraoperative awareness and prevention by maintaining a depth of hypnosis level, offers great potential to prevent postoperative recall. ABSTRAK Laporan ASA terbaru mengenai awareness intraoperatif yang dilakukan oleh ASA dipusatkan seputar recall postoperative. Seperti dapat disimpulkan dari Bab ini, awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak berhubungan sama sekali, sehingga membolehkan para klinisi dan peneliti untuk menggunakan salah satu di antara keduanya sebagia substitusi bagi yang lain. Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es. Monitor fungsi otak tidak dapat memprediksi recall dengn sangat baik, tetapi lebih baik dari parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang atau timbulnya kesadaran. Monitor fungsi otak merepresentasikan perkembangan yang pesat dalam manajemen praktek anestesi. Kemampuan untuk mengenali awareness intraoperatif dan pencegahannya dengan mempertahankan kedalaman tingkat hypnosis, menawarkan potensi yang besar untuk mencegah recall postoperative. _________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Pernah nonton film “Awake” besutan Joby Harold tahun 2007? Film itu mengisahkan tentang seorang yang harus menjalani operasi transplantasi jantung di bawah pengaruh obat bius, tetapi tersadar pada saat operasi berlangsung tanpa bisa bergerak atau bicara. Serunya, dia bisa Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
mendengar semua percakapan yang terjadi selama dia dibius, dan menjumpai bahwa dokter yang sekaligus temannya ternyata memiliki rencana buruk terhadapnya. Tulisan kali ini agak lain dari sebelumnya, yaitu mencoba
51
Jurnal Anestesiologi Indonesia
mengangkat tentang peristiwa “anesthesia awareness”, yaitu tersadarnya pasien pada saat operasi di bawah pengaruh obat bius, sehingga ia bisa menyadari apa yang terjadi selama operasi. Ada lagi suatu cerita, dimana seorang wanita, 30 tahun, terdaftar di sebuah rumah sakit untuk tindakan bedah sterilisasi dengan anestesi general. Setelah induksi yang baik dan lancar pasien bangun dan mengeluh tidak dapat bergerak. Pasien mendengar dokter ginekolog, yang datang terlambat, dan bertengkar dengan dokter anestesi, yang berkata padanya, “kemana saja engkau dokter, pasienmu sudah siap sejak satu jam yang lalu!!”. Pasien tersebut kemudian merasa ada sensasi nyeri seperti ditusuk pisau di perutnya. Dia panik, dan menjadi ketakutan terhadap hal apa lagi yang akan terjadi padanya, takut akan rasa sakit yang lebih berat. Di dalam Recovery Room, pasien gelisah. Staf yang menjaganya mengatakan bahwa kegelisahannya merupakan efek samping yang umum terjadi dari tindakan anestesi, sehingga pasien sebaiknya tetap tenang. Karena dia mengingat hal-hal yang terjadi padanya selama operasi, dia memutuskan untuk bertanya lebih jauh tentang keadaan dirinya. Namun, sang perawat kurang menanggapinya, sehingga dia merasa diabaikan dan putus asa. Maka kemudian, dia merasa kecewa, marah, dan memutuskan untuk menghadap kepada dokter anestesi. Sang dokter, juga pada awalnya tidak membenarkan apa yang ia rasakan, karena melihat tanda vital pada pasien ini normal sepenuhnya. Namun, ketika sang pasien dapat mengulangi dengan sama persis kata-kata yang diucapkan dokter anestesi tersebut saat operasi ketika bertengkar dengan dokter ginekologi, sang dokter anestesi pun mulai berubah
52
pikiran. Setelah mendengarkan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sang dokter anestesi kemudian meminta maaf dan memberitahu dokter ginekologi. Setelah melakukan diskusi berulang kali dan dua kali pertemuan psikoterapi, pasien kemudian mengurungkan niatnya untuk membawa perkara ini ke meja hukum, dan memaafkan para dokter tersebut. Bangkitnya kesadaran adalah sebuah outcome yang tidak diinginkan, sebuah komplikasi dari sebuah manajemen anestesi yang menjadi hal yang sangat berpotensi untuk menimbulkan masalah hukum. Pasien yang mampu mengingat tindakan opreasi yang dilakukan padanya, khususnya ketika pasien merasa nyeri, berpotensi untuk mengakibatkan morbiditas yang lebih lama. Pengalaman ini sangat tidak baik bagi pasien, yang dapat melemahkan dirinya dalam menjalani aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya. Tulisan ini akan membahas tentang kejadian dan memahamkan pasien maupun praktisi medis, serta mempresentasikan seni teknologi monitoring. Pada operasi-operasi besar yang membutuhkan ketelitian, ketepatan dan waktu lama, pasien umumnya mendapat anestesi umum untuk menghilangkan kesadaran dan rasa sakit. Anestesi umum yang modern menggunakan tiga golongan obat untuk memberikan efek pembiusan, yaitu: obat yang menyebabkan tertidur dan menghapuskan memori selama operasi (obat bius), obat yang melemaskan otot untuk mencegah kontraksi otot yang tidak diinginkan selama operasi (pelemas otot), dan obat penghilang rasa sakit yang kuat (analgesik kuat) seperti obat golongan morfin. Obat pelemas otot menyebabkan pasien tidak bisa bergerak, termasuk tidak bisa bicara, atau bahkan bernafas,
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sehingga seringkali dibantu dengan alat bantu pernafasan. DEFINISI Istilah kesadaran (awareness) masih kontroversial. Sejauh ini, laporan dari ASA yang didiskusikan di akhir tulisan ini belum dapat menjawab kerumitan mengenai awareness ini. Salah satu yang membuat kontroversi adalah istilah awareness yang masih ditujukan pada consciousness. Tentu saja, hilangnya consciousness merupakan periode klinis yang umum, dan merupakan endpoint yang penting pada intraoperatif. Tetapi, apa yang sebenarnya hilang ketika pasien mulai hilang consciousness-nya? Prinsip biologi pada keadaan mental ini, atau keadaan yang semisal dengannya, belum dapat ditentukan secara pasti walaupun telah banyak menarik perhatian para ilmuwan.1 Karena alasan ini, secara praktis, kita dapat mengadopsi beberapa definisi. Umumnya, awareness merupakan keadaan didapatkannya pengalaman secara sadar (seperti seorang yang mengatakan, “saya mendengar seseorang berbicara”).2 Namun, pada anestesi klinik, istilah ini mempunyai makna yang berbeda, yaitu merujuk pada adanya memori pada pasien atau mampu mengingat tindakan bedah yang dilakukan (recall) (seperti, pasien berkata: “Saya mendengar dokter bedah bicara”). Oleh karena itu, ketika mendiskusikan mengenai awareness selama anestesi, kita tidak hanya merujuk pada pengalaman subjektif, tetapi juga memori yang ada. Perbedaan yang signifikan ini, yaitu antara pengertian awareness dari literatur dan yang digunakan dalam anestesi klinis, akan menjadi jelas ketika kita membicarakan tentang teknik monitoring (lihat Bab tentang “ apakah terdapat tanda peringatan selama anestesi yang memberitahu kita bahwa sesuatu yang
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
salah terjadi?”). Monitoring yang adekuat bergantung pada penggambaran yang benar tentang keadaan pasien, sehingga akan menimbulkan pertanyaan: apakah kesadaran intraoperatif ini disertai memori postoperatif? Bagaimana menguraikan kedua hal yang berhubungan namun tidak sama ini akan kita diskusikan pada tulisan ini. Untuk saat ini, mari kita bedakan awareness dengan recall dan awareness tanpa recall. Walaupun konsekuensi dari awareness tanpa recall tidak diketahui, namun kami mempertimbangkan adanya hubungan antara kejadian dan fenomena awareness dengan recall yang belum dapat dimengerti sepenuhnya. Nah, walaupun telah diberi anestesi dengan perhitungan yang teliti dari dokter ahli anestesi, dilaporkan 1-2 dari 1000 orang mungkin mengalami “anaesthesia awareness”, yaitu tersadar selama pembiusan, dengan berbagai tingkatan. Ada yang tersadar penuh, setengah tersadar, atau hanya sedikit tersadar. Ada beberapa bentuk kesadaran ini, antara lain: 1. Pasien sadar, dapat bergerak, tapi tidak merasakan sakit. Pasien semacam ini mungkin mendapatkan analgesik yang cukup, tetapi kurang cukup obat untuk melemaskan otot dan obat biusnya. 2. Pasien sadar, tapi tidak bisa bergerak atau berteriak, dan tidak merasakan sakit. Pasien ini mungkin mendapatkan obat analgesik dan pelemas otot dengan dosis yang cukup, tetapi kurang dalam obat biusnya. 3. Yang paling mengerikan buat pasien adalah jika pasien sadar, merasakan sakitnya operasi, tetapi tidak bisa bergerak atau berteriak, atau
53
Jurnal Anestesiologi Indonesia
mengerjakan apapun. Ini dapat disebabkan karena kurangnya dosis analgesik dan obat biusnya, tetapi cukup mendapatkan pelemas otot. Ini merupakan situasi yang cukup mengerikan dan kadang membuat trauma pasien terhadap operasi. Mestinya keadaan seperti ini bisa segera disadari oleh dokternya, tapi kadang2 karena pasien tidak bisa bereaksi, maka hal ini tidak disadari dan pasien akan sangat menderita. Selain itu, fungsi otak pasien yang tersadar ini umumnya abnormal karena di bawah pengaruh anestesi, dan ketambahan lagi dengan efek dari obat-obat lain, maka seringkali dapat menimbulkan efek-efek yang aneh seperti seolah-olah jatuh ke dalam neraka, merasa jiwanya keluar dari badannya, atau merasa akan mati. INSIDENSI Sebagaimana fenomena kompleks lainnya, tidak banyak data statistik tunggal yang menyebutkan angka insidensi kejadian ini. Sangat penting untuk mengetahui konteks dari data statistik yang ada. Dalam konteks tataran klinis misalnya, perlu dipertimbangkan penyebab insidensi awareness dengan recall ini, yaitu meliputi variable intraoperatif, seperti respon kardiovaskular. Kita akan melihat kondisi klinis lebih dekat ketika kita berbicara mengenai faktor risiko (lihat Bab, “Siapa saja yang Berisiko?”). Konteks penting kedua adalah standar pelayanan, yang selalu berubah dan meningkat. Sehingga, estimasi insidensi awareness dengan recall akan menurun. Sebagai contoh, insidensi dilaporkan pada pasien trauma pada tahun 1980an yaitu 43%3, dan sebuah observasi yang serupa 15 tahun kemudian hasilnya sebesar 1%4. Peningkatan yang luar biasa ini terjadi karena adanya kemajuan dalam hal
54
resusitasi di lapangan yang telah ditambahkan dalam manajemen anestesi kasus berisiko tinggi di kamar operasi. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian modern yang terus dilakukan akan dapat menurunkan angka insidensi. Selain peningkatan standar pelayanan, metode penelitian juga sekarang ini semakin akurat. Pada penelitianpenelitian sebelumnya, sebagai contoh, beberapa bukti anekdot dari recall post operasi telah ditemukan sebagai fakta pada munculnya awareness intraoperatif. 3 Beberapa keterangan dramatis tentang insidensi lainnya juga pernah dilaporkan di masa lalu. Karena obat-obat sedatif dapat mengubah persepsi terhadap waktu,5 pasien dapat merasa sadar selama operasi, walaupun memori mereka sebenarnya terbentuk di waktu yang lain selama periode perioperatif. Mereka dapat bingung mendengar suara sebelum atau sesudah ektubasi serta mendengar suara selama operasi. Untuk menghindari adanya kemungkinan kekeliruan laporan karena subjektivitas pasien, ketika obat sedasi telah diberikan, kita harus dapat memeriksa memori dengan hati-hati. Penilaian yang benar, secara spesifik dapat menggambarkan dengan spesifik apa yang terjadi selama periode anestesi. Dalam bentuk yang sangat sederhana, sebuah sistematika wawancara (lihat tabel 26-1) dipaparkan untuk mengeksplorasi memori selama periode intraoperatif, dan telah diterima dengan baik di klinik dan penelitian komunitas. Dengan menanyakan kepada pasien 5 pertanyaan yang sederhana dan kurang spesifik setelah recovery, kita menemukan hanya 1% insidensi recall setelah operasi, bukan 43%.4 Beberapa penelitian meneliti fungsi memori selama anestesi dengan mengetes adanya stimuli spesifik selama anestesi, seperti daftar kata-kata yang
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
diperdengarkan lewat headphone. Setelah recovey, stimuli yang sama dimunculkan lagi, bersama dengan stimuli lain yang tidak diberikan selama anestesi. Penelitian ini menunjukan adanya respon pasien terhadap stimulasi yang lama maupun baru, dengan beberapa jenis stimulasi yang dites. Tulisan ini akan focus pada explicit memory (memori yang jelas), dimana dilakukan pengumpulan kembali informasi dalam kesadaran. 6,7
7 senter kesehatan di negara tersebut.8 Semua pasien diberi anestesi general, mempunyai status mental normal, berkemampuan untuk memberikan informed consent, dan dapat diwawancara setelah operasi. Pasien diwawancara pertama di PACU (Post Anestesi Care Unit), dan wawancara lanjutan dilakukan 1 minggu kemudian. Peneliti mengetahui bahwa recall dapat terjadi terlambat, sehingga oleh karenanya dilakukan wawancara lanjutan.
Tabel 1. Kuosioner Inisial Postoperatif
Sebagai pengganti penelitian luas lainnya,9 peneliti mengklasifikasikan setiap individu ke dalam 4 kelompok berikut: 1. Tidak ada awareness (tidak ada laporan atau deskripsi yang samar, atau apa yang dilaporkan sering terjadi dalam periode preoperasi dan postoperasi, seperti musik, orang yang berbicara, pakaian yang dipakai) 2. Dreaming: Bermimpi (mungkin berhubungan dengan kesadaran) 3. Possible awareness (pasien tidak dapat mengingat kejadian-kejadian yang terjadi dengan jelas yang menunjukkan kesadaran) 4. Awareness (jika event yang dapat diingat dikonfirmasi kepada seseorang yang hadir atau peneliti diyakinkan bahwa memori tersebut benar tetapi tidak ada konfirmasi yang bisa didapat)
1.
Apa hal terakhir yang anda ingat sebelum tidur?
2.
Apa hal pertama yang anda ingat ketika bangun dari tidur?
3.
Apakah anda ingat apa yang terjadi pada waktu di antara anda mulai tidur hingga bangun dari tidur?
4.
Apakah anda bermimpi selama operasi?
5.
Apakah hal yang paling buruk mengenai operasi yang dilakukan pada anda?
Sistematika wawancara singkat untuk mengetahui kesadaran dan recall (tabel 1) dapat membantu, di mana pasien biasanya enggan untuk melaporkan kesadarannya. Jika pasien mengakui mengingat sesuatu selama intraoperasi, strategi yang lain dapat digunakan adalah seperti telah diberi contoh dan didiskusikan di Bab “ Apa yang Harus Dilakukan?”. Penting untuk diperhatikan bahwa kelima pertanyaan ini adalah untuk menilai kesadaran intraoperatif dengan cara yang sederhana, terbuka dan tidak berbias. Menggunakan kuesioner ini, insidensi awareness dengan recall ditemukan terbaru adalah 0,13% di US pada penelitian kohort-prospektif dengan sampel sebanyak 20.000 pasien dewasa di
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Di dalam Recovery room, 0,3% pasien yang diwawancara dilaporkan mengingat sesuatu di antara waktu akan tidur hingga bangun (menjawab ya untuk pertanyaan 3, tabel 26-1). Selama periode follow-up satu minggu kemudian, angka kejadiannya meningkat (0.6% dilaporkan mempunyai memori intraoperatif). Sebaliknya, dreaming dilaporkan lebih sering terjadi (6% menjawab ya pada pertanyaan no.4), dan menurun pada pariode follow-up (3,4%). Pada
55
Jurnal Anestesiologi Indonesia
wawancara dasar, 25 kasus awareness (0,13%) teridentifikasi. Pada semua kasus, kejadian yang dapat diingat terkonfirmasi atau dianggap kemungkinan besar benar-benar terjadi. Insidensi recall setelah anestesi general di US dapat dibandingkan dengan yang diobservasi secara luas di negara-negara lain 9,10,11,12 Oleh karena itu, awareness dengan recall muncul sebagai fenomena yang terjadi di mana-mana dengan insidensi 1-2 per 1000 kasus, tidak bergantung pada lokasi geografis, dan perbedaan teknik anestesi. Dengan sekitar 200 juta anestesi general yang dilakukan di United State setiap tahunnya, kira-kira sebanyak 26.000 kasus terjadi awareness dengan recall terjadi setiap tahun, atau 100 setiap hari kerja. Mengapa Saya Harus Peduli? Kebalikan dengan sebagian orang yang berpikir angka kejadian ini yang sudah cukup tinggi untuk memicu dilakukannya usaha yang terus-menerus untuk mencegah terjadinya awareness, sebagian lain berfikir bahwa kejadian recall postoperasi sangat jarang terjadi dan bukan merupakan kesulitan yang berarti. Jika anda berpikir sama, perhatikan bahwa banyak pasien yang dikhawatirkan akan mendapat outcme yang buruk ini. Sebelum anestesi, hingga 54% khawatir terhadap terjadinya nyeri, paralisis, dan distress mental selama operasi. Selanjutnya, ketika sakit, terjadinya awareness merupakan sebab utama ketidakpuasan pasien.10 Tidak mengherankan jika terdapat perasaan dan pengalaman subjektif pada orang yang sadar selama operasi. Walaupun tidak semua kejadian awareness intraoperatif perlu ditakuti, pembahasan tentang recall yang terjadi pada pasien berikut dapat mewakilkan pola berpikir yang berbeda. Memori pasien 56
Pasien dengan recall dan awareness kemungkinan besar mampu mengingat suara dan percakapan (30-90%), namun tidak melihat, merasa, dan menghidu sesuatu.14 Sejumlah angka yang signifikan (hingga 40%) dapat mengingat adanya nyeri, sebuah pengalaman yang dapat memediasi munculnya efek samping yang lebih besar (adverse aftereffect). Wawancara yang telah dilakukan memberi kesan bahwa kesadaran yang banyak mengganggu pasien tidaklah penting, tetapi yang lebih penting adalah ketidakmampuan untuk bergerak dan berkomunikasi (awake paralisis). Walaupun nyeri tidak dirasakan, namun kurangnya kontrol tubuh akan memberikan perasaan terhadap hal yang lebih buruk akan muncul kemudian. Kebanyakan pasien yang mengalami awake paralisis (7090%) merasa panik dan gelisah, di mana sebagian lain merasa lemah dan putus asa. Kejadian ini seperti mengubur orang hidup-hidup, dengan trauma mental yang memuncak terutama ketika nyeri muncul. Sejumlah kecil pasien (15%) dapat merasakan pengalaman berupa mati lemas, ancaman kematian, atau percaya bahwa mereka sedang koma dan tidak akan pulih dari anestesi. Sekitar dua per tiga pasien melaporkan perubahan perilaku setelah anestesi atau setelah terjadi awareness. Hingga 70% pasien yang mengalami awareness dengan recall akan mengalami pengalaman tidak menyenangkan yang berlanjut, seperti kesulitan tidur, mimpi buruk yang berulang, mangingat sesuatu yang sudah lalu (flashback), gelisah di waktu siang, dan penderitaan. Pasienpasien ini juga akan merubah persepsi mereka tentang anestesi dan menjadi lebih takut dan khawatir dengan prosedur anestesi. Pasien menghindari rumah sakit dan dokter untuk menghindari teringatnya pada pengalaman yang membuatnya
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
trauma, suatu keadaan yang dapat membahyakan keberhasilan pengobatan. Jika simptom menetap selama 1 bulan yang sangat mempengaruhi perasaan, perilaku, dan fungsi pasien, dapat berkembang menjadi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (lihat tabel 262). Bergantung pada pengalaman awareness dan reaksi dari staf rumah sakit, sebanyak 15% dari pasien dengan recall membutuhkan fisioterapi, di mana 10% diantaranya berkembang menjadi PTSD.14,15 Bahkan beberapa tahun setelah kejadian tersebut, 50% pasien dapat tetap menderita dengan pengalaman tersebut dan dapat menderita lumpuh yang berat karena efek psikiatri ikutan.16 Karena itu, walaupun kejadian ini jarang terjadi, awareness dengan recall ini dapat merubah hidup pasien. Pada Bab “Apa Yang Harus Dilakukan?” menyajikan halhal yang dapat anda lakukan, selama intra dan postoperatif, ketika anda menjumpai suspek awareness. Tabel 2. Gangguan stress postTraumatik Pengalaman menetap terhadap kejadian-kejadian (mimpi buruk, gelisah, kesukaran yang sangat) Penghindaran secara menetap tehadap stimuli yang berhubungan (dokter, rumah sakit, check up) Pengalaman yang meningkat timbulnya dan menetap Respon general yang membeku Durasi simptom lebih dari 1 bulan
Penting untuk diperhatikan bahwa sekuel ini berhubungan erat dengan penggunaan obat-obat muscle relaksan. Penelitian terhadap 14 pasien yang mengalami awareness dan diberikan obat muscle relaxan, 11 diantaranya dilaporkan mengalami efek ikutan yang tidak menyenangkan.9 Sebagai perbandingan, dari 4 orang yang nonparalisis tidak ada Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
yang mengalami pengalaman awareness postoperasi. Siapakah yang Berisiko? Faktor Klinik Penelitian pada penduduk Amerika, awareness dengan recall terjadi berhubungan dengan prosedur tindakan bedah (abdominal/thoraks, kardiak, dan oftalmologi, dll), dan kondisi pasien yang sakit (ASA III-V). 8 Penelitian terbaru menemukan kemungkinan hubungan penggunaan dosis obat anestesi yang rendah, yang merupakan sebab umum yang mengakibatkan awareness dengan recall. Insidensi yang lebih tinggi dilaporkan pada operasi Caesar, trauma dan bedar kardiak, yaitu 1-4%. 17,18,19 Penggunaan obat muscle relaksan dapat meningkatkan kejadian recall. Pada studi di Swedia, banyak pasien mengalami apisode awareness dengan paralisis dua kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang mendapat anestesi general tanpa muscle relaksan.9 Jika obat muscle relaksan tidak diberikan, pasien dapat mengalami awareness dan mampu bergerak, dan anestesi sebaiknya diperdalam. Pada penemuan dasar dari penelitian ini, kewaspadaan dan penggunaan muscle ralksan yang bijaksana harus diperhatikan. Obat muscle relaksan harus diberikan hanya jika diperlukan oleh pasien, misalnya untuk intubasi endotrakea, dan selama ventilasi. Namun, menghindari penggunaan muscle relaksan tidak bermanfaat untuk mencegah timbulnya awareness. Sebagai contoh, beberapa pasien tidak berusaha untuk bergerak meskipun kesadaran mereka telah pulih. Sementara pengguanan muscle relaksan mengakibatkan insidensi awareness dengan recall, sebaliknya benzodiazepine tidak. Karena efek sedatif yang
57
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dimilikinya, obat ini baik untuk menghilangkan ansietas postopeartif, sehingga umum digunakan. Karena efek sedatifnya, obat ini juga sering digunakan untuk mencegah pasien untuk mengalami memori yang tidak menyenangkan. Obat ini juga memiliki efek anterogard yang besar, sehingga secara spesifik akan mengacaukan memori yang baru dibentuk daripada memori yang sudah lama.20 Seseorang yang diberi benzodiazepine akan menerima dan memproses informasi secara akurat, dan dapat merespon terhadap pertanyaan atau komentar dengan benar, namun hanya sedikit dari pengalaman ini yang disimpan dalam memorinya. Efek amnesia anterogard setelah obat diberikan ini dapat diharapkan ketika adanya efek samping (seperti nyeri) ingin dihindari. Sebaliknya, penggunaan untuk profilaksis tidaklah umum, dan hanya sedikit pertimbangan mengenai isu etik yang muncul, yaitu: ke mana efek samping akan pergi jika tidak ke dalam memori?.21 Namun, berkebalikan dengan efek samping yang diakibatkannya, benzodiazepine sering diberikan setelah sebuah efek samping muncul untuk memperbaiki memori yang tidak menyenangkan. Pemberian obat ini untuk target memori retrogard kurang berguna karena fakmakkokinetik obat ini, serta dapat menjelaskan mengapa tidak ada bukti dalam literatur yang memberi kesan bahwa benzodiazepine dan skopolamin lebih berhasil untuk menginduksi amnesia diandingkan dengan anestesi biasa. Serupa dengan anestesi biasa, benzodiazepine dapat mengganggu memori dengan menginduksi sedasi, tetapi tidak ada penelitian yang mengesankan bahwa obat jenis ini juga
58
secara langsung mencampuri memori yang sudah terbentuk. Walaupun diberikan sebelum dan selama intibasi, benzodiazepine tidak dapat mengurangi insidensi awareness dengan recall. ASA mengevaluasi lebih dari 4000 tuntutan dari sejumlah Perusahaan Asuransi penduduk Amerika terhadap terjadinya efek samping anestesi yang terjadi antara tahun 1961-1995.15 Sebanyak 70% tuntutan terjadi selama tahun 1980-1990. Tuntutan karena awareness terjadi sebanyak 2%, di mana terbagi dalam 2 kategori: 1. Awake Paralisis (18 tuntutan) dan 2. Recall (61 tuntutan) Sebagian besar tuntutan awake paralisis ditemukan berhubungan dengan kesalahan infuse (56%), atau siring pump (44%): bag atau syringe yang megandung obat muscle relaksan tidak berlabel, ada kesalahan dalam label, atau pelabelan yang sudah benar namun tidak diperiksa sebelum pemberian obat. Periode dengan kerentanan tertinggi adalah saat preinduksi dan selama induksi ketika obat muscle relaksan diberikan sebagai pengganti obat hipnosis atau sedatif. Sebuah analisa menemukan bahwa injeksi benzodiazepine setelah muscle relaksan merupakan usaha yang tidak menghasilkan hasil yang baik untuk mendapatkan amnesia retrogard. Para ahli menduga sebagian besar kasus awake paralisis (94%) merepresentasikan pelayanan yang di bawah standar, dan karenanya pembebasan biasa pengobatan seringkali diberikan (78%). Laporan yang dibuat tidak menyebutkan adanya awake paralisis ikutan.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Penyebab Recall Dosis obat anestesi yang tidak adekuat Kegagalan peralatan, kebocoran (vaporizer yang kosong atau tidak tersambung) Opiod-based anestesi (opioid bukanlah anestesi general) Intubasi sulit (ingat untuk memberikan dosis ulang obat anestesi i.v) Hipotensi (perlu dihentikan pemberian agen anestesi) Adanya faktor risiko (dosis obat yang inadekuat mungkin dibutuhkan untuk menghindari efek samping)
Recall seringkali terjadi dalam fase maintenance dari anestesi (80-85%), dan sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi telah teridentifikasi (lihat tabel 26-3). Di sisni, pelayanan anestesi di bawah standar menjadi penyebab sebagian kecil kasus (43%), dan pembiayaan pengobatan pasien dibebaskan pada sekitar setengah dari kasus yang ada. Sebanyak 84% dari penuntut terhadap kasus recall menderita ditress emosional yang sementara, di mana 10% di antaranya akan berkembang menjadi PTSD. Sebuah penelitian tertutup yang lebih jauh menunjukkan bahwa, tidak bergantung pada standar pelayanan, opiod-based anestesi intraoperatif, muscle relaksan, dan tidak adanya agen anestesi inhalasi atau dalam konsentrasi rendah meningkatkan jumlah tuntutan untuk recall setelah anestesi general.15 Variabel yang lain, seperti usia, status ASA, petugas anestesi, penggunaan benzodiazepine, perbedaan teknik induksi, dan agen inhalasi atau intravena, secara umum tidak mempengaruhi kejadian recall. Jenis kelamin perempuan juga berhubungan dengan peningkatan jumlah tuntutan terhadap kejadian recall, walaupun tidak jelas apakah peningkatan faktor risiko internal ini menggambarkan perbedaan metabolism obat yang berbeda
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
pada individu laki-laki dan perempuan atau tidak,23 atau kecenderungan yang lebih besar pada wanita dalam penyimpanan obat dalam tubuh. Penelitian yang luas mengenai awareness pada gender yang berbeda belum memberikan hasil yang bermakna.8,9 Perbedaan individu Persyaratan anestesi yang berbeda untuk setiap individu yang satu dengan yang lain, dapat mencegah efek anestesi seperti munculnya awareness. Pertanyaan apakah beberapa orang lebih mudah mangalami awareness daripada sebagian orang lainnya jarang disebutkan. Laporan kasus yang ada umumnya tidak menggambarkan pola yang umum pada pasien yang mengalami awareness postoperative, namun faktor risiko lainnya telah banyak didiskusikan dibandingkan dengan karakter individu. Sedikit pengecualian adalah adanya riwayat depresi 11 dan riwayat mengalami awareness sebelumnya18, kedua faktor ini dapat membuat orangorang tertentu mempunyai risiko yang lebih besar mengalami awareness. Pengaruh dari ansietas dan distress preoperatif 11 pada terjadinya awareness intraoperatif masih controversial 12, walaupun stress menimbulkan pengaruh neuromodulatori yang meregulasi
59
Jurnal Anestesiologi Indonesia
konsolidasi beberapa bentuk memori. Efek regulatori ini tidak dapat dikenali dengan baik karena lebih fokus pada selfreporting daripada ukuran stress psikologi. Akhirnya, penelitian kami mengesankan bahwa pasien dengan memori postoperatif yang baik sering berkembang memorinya selama anestesi 24 . Jangkauan efek implisit ini sering masih menetap daripada efek eksplisitnya. Sifat lainnya, seperti kecepatan proses informasi, merupakan predictor memori yang tidak berhasil. Pada Preoperatif Pasien jarang diberi informasi bahwa mereka akan dapat mengalami paralisis karena anestesi, yang akan menambah kebingungan mereka ketika mereka terbangun selama anestesi. Pada saat itu, mereka hanya mendapatkan mereka tidak dapat bergerak, berbicara, atau bernapas dengan spontan. Pasien dapat membayangkan kejadian yang mengejutkan itu sebagai sebuah pengalaman. Ini menimbulkan pertanyaan apakah kejadian awareness harus didiskusikan terlebih dahulu saat preoperatif, khususnya pada pasien dengan risiko tinggi dan jika direncanakan akan menggunakan obat muscle ralaksan secara continue. Prevalensi ketakutan pasien akan nyeri dan paralisis sebelum anestesi adalah alasan yang lain mengapa persoalan awareness harus diedukasikan selama konsultasi preoperatif, walaupun sebenarnya dokter anestesi harus menghindari munculnya ketakutan yang tidak perlu. Anda dapat menjelaskan memori postoperatif yang tidak menyenangkan seperti pengalaman akan nyeri. Jika muscle relaksan tidak digunakan, pasien dapat diiberitahu bahwa mereka dapat bergerak jika mau. Dengan berkomunikasi dengan pasien sebelum operasi, anda dapat menjawab
60
kegelisahan yang umum pada pasien, serta dapat mereduksi ketakutan yang terjadi. Pada Intraoperatif Jika awareness dan paralisis tidak diedukasikan pada preoperatif, maka bersiaplah untuk berkomunikasi dengan pasien anda ketika awareness terjadi intraoperatif. Adanya feedback dari dunia luar akan menolong pasien untuk menguasai situasi yang mengejutkan tersebut, seperti telah ditemukan pada penelitian kami yang terbaru.25 Pada pasien dengan obat sedasi yang dalam pada operasi elektif, kita perlu memonitor kesadaran pasien dengan memintanya memegang tangan kita secara periodik. Ketika pasien merespon dengan baik, berikan feedback dengan menjelaskan apa yang sedang terjadi dan apa yang diharapkan. Beberapa pasien membutuhkan anestesi yang lebih dalam. Pada postoperatif, pasien yang mengalami awareness akan mengingat feedback yang kita berikan. Walaupun kemungkinan terjadinya awareness telah diedukasikan pada preoperatif sebagai bagian dari prosedur persetujuan, feedback yang kita berikan akan membantunya menghilangkan pengalaman buruk tersebut. Bab mengenai perpindahan dengan tujuan tertentu (lihat Bab “Apakah Ada Tanda Peringatan Selama Anestesi Yang Memberitahu Kita Bahwa Sesuatu Yang Salah Terjadi?”) memaparkan dengan detail komunikasi kepada pasien anda selama anestesi dengan menggunakan gerakan tangan. Pada Postoperatif Jika awareness tidak tercover dengan tindakan pada preoperatif dan postoperatif, pertimbangkan untuk menanyakan kepada pasien anda 5 pertanyaan standar (tabel 1) setelah Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
anestesi general. Beritahu pasien bahwa awareness dengan recall dapat terjadi terlambat atau mungkin absen sementara karena residu obat sedasi dan obat yang menginduksi amnesia. Idealnya, pertanyaan tersebut diajukan selama di PACU atau sebelum penghentian anestesi. Ini akan menjamin kevalidan penilaian terhadap memori. Ketika berhadapan dengan pasien yang mungkin akan mengalami awareness, penting untuk mengobati pasien dengan benar (lihat tabel 4). Respon empati kita, dengan penjelasan yang baik, akan membantu Pasien memahami apa yang terjadi dan memaklumi kesalahan yang mungkin terjadi. Sebaliknya, pengabaian terhadap pasien, penolakan terhadap pengalaman yang dirasakannya atau
episode awareness yang berat dapat memicu pasien menjadi marah dan kecewa. Ajukan pertanyaan tambahan (tabel 5) untuk mengeksplor pengalaman yang dirasakannya, atau minta orang lain melakukannya, jika anda tidak leluasa melakukannya. Jangan mengabaikan pasien, dan pastikan untuk terus mengelola pasien. Ditambah, mewawancarai pasien sebelum meninggalkan PACU atau rumah sakit adalah penting untuk memfasilitasi adanya diskusi dan penjelasan yang dibutuhkan. Jika simptom menetap, PTSD (tabel 2) dapat berkembang, dan penting untuk merujuknya pada dokter psikiatri atau psikoterapis untuk mengobatinya.
Tabel 4. Mengelola Pengaruh yang Terjadi Jaga komunikasi dan bagaimana mengelola pasien dengan penuh rasa hormat Mewawancarai pasien setelah operasi Dapatkan pengalaman yang dirasakan pasien dengan detail, jika ada Jika awareness terjadi, mintalah maaf kepada pasien Memberikan simpati kepada pengalaman yang tidak menyenangkan Percaya pada kebenaran apa yang dikeluhkan pasien Jelaskan apa yang (mungkin) terjadi, dan mengapa Tawarkan diskusi ulangan dan rujukan ke psikiatri Beritahu dokter bedah dan sejawat lain yang berhubungan Buatlah keluhan yang dilaporkan pasien dalam grafik Follow-up atau rencanakan untuk melakukan follow-up (1 minggu/1 bulan) setelah penghentian anestesi
Tabel 5. Pertanyaan Tambahan Untuk Pasien Dengan Recall Postoperatif Apakah yang anda keluhkan (nyeri, paralisis, suara, penglihatan)? Apakah anda merasakan sesuatu dalam mulut atau tenggorokan anda? Apakah anda mampu bergerak? Apa yang ada dalam pikiran anda? Apakah anda berpikir bahwa anda bermimpi? Berapa lama ini terjadi? Apakah anda mencoba memberitahu seseorang? Apakah anda memberitahu dokter anestesi/staf rumah sakit? Apakah terdapat konsekuensi lain? Apakah anda tidur lelap tadi malam?
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
61
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Catatan pada CM pasien akan mempersiapkan tindakan apa yang akan dilakukan untuk meperbaiki keadaan pasien. Selain itu, jika komunikasi di antara staf di ruang operasi yang hanya berisi hal-hal yang professional dan menghormati pasien, memori buruk yang potensial akan berkembang tidak perlu ditakuti.
muncul dalam jumlah yang cukup (76%) dari kasus awareness, dan pada kasus control sebanyak 21%. Penelitian lain mengesankan tanda klinis bukanlah parameter yang sensitif dan spesifik untuk mengukur tinggi rendahnya kemungkinan terjadinya awareness.
Tanda Klinis
Insiden recall serupa telah diteliti pada populasi yang luas dari pasien yang mendapatkan muscle relaksan, yang tidak bergantung pada monitoring konsentrasi gas anestesi end-tidal. 9 Berdasarkan Penelitian terhadap kasus individu maupun penelitian prospekstif yang luas terhadap konsentrasi gas end-tidal tidak direkomendasikan sebagai metode untuk mendeteksi terjadinya awareness.
Kontras dengan yang telah banyak dipercaya, awareness dengan recall sering tidak mengikuti pada pasien dengan riwayat hipertensi, takikardi, atau tanda klinis lain yang biasa kita cari saat intraoperatif. Pada analisis terhadap tuntutan legal, tidak ada tanda klinis pada anestesi ringan pada sebagian besar kasus, yaitu: hipertensi ditemukan sebanyak 15% dari kasus recall dan takikardi hanya 7%. Sebagian besar pasien yang diberi muscle ralaksan, terjadinya gerakan sangat jarang. Pada pasien yang tidak diberikan muscle relaksan, perhatikan bahwa gerakan tidak membuat pasien mendapatkan kesadaran kembali; ini hanyalah representasi dari gerakan reflex tubuh. Sebuah penelitian memperlajari kemungkinan kasus awareness dapat diidentifikasi dengan melihat catatan anestesi. Mereka menanyakan pengalaman dokter anestesi tentang kemungkinan terjadinya awareness dengan recall berdasarkan catatan medik pasien yang pernah mengalami ini.14 Untuk setiap kasus awareness, dua kasus yang mirip dipilih di mana tidak ada memori yang dilaporkan. Kemudian dilakukan pengambilan seluruh kasus secara random, dan dipilih 3 kasus, di mana salah satunya mengalami kasus awareness. Peneliti mengemukakan kesulitan mengidentifikasi mana kasus awareness yang sesungguhya. Pada penelitian ini, hipertesi dan takikardi 62
Konsentrasi Gas End-Tidal
Gerakan Bertujuan Metode yang bermanfaat adalah menilai gerakan tangan pasien dalam merespon perintah selama anestesi general atau sedasi (lihat gambar 26-1). Gerakan yang berulang dan konsisten dapat mengindikasikan sangat baik bahwa pasien anda bangun. Jangan mengambil tindakan untuk memberikan tambahan muscle realaksan, tetapi nilailah dulu status kesadaran pasien. Feedback yang anda berikan akan dihargai ketika pasien bangun (lihat bagian “Apa yang Harus Dilakukan?) Pegang tangan pasien, dan hindari untuk terus menulis. Mulailah menilai secara periodik, dengan memanggil nama depan pasien, sehingga pasien anda akan mengetahui bahwa mereka dikenali. Tanpa memanggil namanya, pasien sebenarnya mendengar anda namun tidak merespon karena ia berpikir anda sedang bicara denagn orang lain. Setelah memanggil namanya, minta pasien untuk memegang tangan anda jika ia dapat mendengar suara anda, dan tunggu sekitar
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
10 detik. Jika tidak ada respon, ulangi perintah untuk memastikan pasien memang tidak merespon. Selain itu, jika pasien tidak memegang tangan anda, minta ia untuk memegang tangan anda dua kali. Tidak adanya respon terhadap perintah mungkin diakibatkan oleh respon yang tidak adekuat yang menggambarkan munculnya kelemahan (pasien merespon, tetapi tidak cukup kuat), atau ini mungkin adalah reflex dari
stilmuasi auditori. Untuk contoh seperti ini, kami merekomendasikan untuk mengulang memerintahkan pasien untuk memegang tangan anda dua kali dan lihat apa yang terjadi. Jika ada respon, ulangi lagi beberapa saat kemudian (dalam 5-10 menit). Jika pasien kembali sadar, ia akan merespon dengan baik dalam 5-10 menit.
Pegang tangan saya 1x
Tidak ada respon
Respon 1x
Pegang tangan saya 2x
Tidak ada respon “tidur”
Respon 2 sentuhan
Pegang tangan saya 1x
Respon yang lemah
Secara umum, disepakati bahwa respon terhadap perintah untuk memegang tangan dua kali yang didapatkan dengan jelas, membuktikan bahwa pasien dalam keadaan awareness. Ketika pasien memegang dua kali terhadap perintah yang diberikan, (gambar 26-1), tegaskan bahwa ia telah bangun dan lanjutkan dengan mengeksplor apa yang ia rasakan. Minta ia untuk memegang dua kali lagi (atau tiga kali!) untuk melihat apakah keadaannya baik-baik saja, atau untuk meregangkan jari-jarinya. Kita menilai perasaan pasien selama ia menerima infus sedasi yang dalam. 25 Selain itu, anda juga dapat mengeksplor keinginan mereka untuk mendapatkan anestesi yang lebih dalam atau untuk melihat apakah ia
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Respon yang kuat
sedang merasakan nyeri. Jangan kaget mendapatkan beberapa pasien baik-baik saja padahal mereka dalam keadaan setengah bangun (partially awake). Kita harus membandingkan dengan pasien yang merespon perintah dengan jelas dan konsisten tetapi tidak menginginkan anestesi yang lebih dalam. Dua catatan akhir pada gerakan. Pertama, pastikan untuk menjawab gerakan ketika anda melihatnya, baik dengan respon gerakan yang jelas, samar, atau tak teratur. Karena pasien dapat kehilangan kemampuan untuk memonitor keinginannya untuk bergerak di bawah pengaruh obat sedatif (lhat bagian, “Apa yang harus Dilakukan?” dalam subbagian intraoperatif), menjawab gerakan akan 63
Jurnal Anestesiologi Indonesia
memberitahu pasien bahwa mereka telah berhasil. Kedua, prosedur memeriksa gerakan yang bertujuan seperti yang dideskripsikan di sini dapat digunakan untuk semua paralisis neuromuscular yang muncul. Ini membutuhkan peningkatan tekanan tourniquet (sampai 25 mmHg) di sekitar lengan bawah sebelum pemberian obat muscle relaksan, dan ini merupakan teknik isolasi formarm.26,27 Ini akan menghindari satu tangan lainnya dari paralisis, yang dapat digunakan sebagai tanda awareness, baik spontan maupun dengan perintah. Teknik ini dapat digunakan pada awal operasi yang lama, dengan menyediakan cuff yang mengempis secara berulang, atau alat yang dapat membuat iskemi lainnya setelah 25-30 menit. Ketika musclerelaksan diberikan kembali, tourniquet akan kembali mengembang. Penelitian dengan menggunakan respon terhadap perintah selama anestesi menunjukkan secara konsisten bahwa lebih banyak pasien yang bangun pada saat anestesi daripada hasil yang didapatkan melalui wawancara postoperatif. Pada salah satu penelitian terbaru kami, sebanyak 66% pasien merespon terhadap perintah, tetapi hanya satu dari empat orang yang ingat
melakukan hal tersebut ketika 25 diwawancarai kemudian. Begitu pula, pasien dengan sengaja bangun selama prosedur neurosurgikal tertentu dan hanya mengingat sedikit dari apa yang terjadi.28 Penelitian ini menunjukkan bahwa awareness tidak bermakna untuk merefleksikan memori, dan ilustrasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa awareness intraoperatif dan recall postoperatif mempunyai hubungan yang tidak erat. Wawancara postoperatif cenderung underestimate terhadap insidensi awareness, di mana akan menghentikan perubahan perbaikan selama monitoring intraoperatif. Keterbatasan penggunaan wawancara postoperatif dalam memonitoring dan mendeteksi awareness tidak berarti bahwa wawancara postoperatif ini harus diabaikan. Sebaliknya, kita dapat memperoleh sumber informasi yang tidak terhingga dan mengidentifikasi pasien yang mengalami awareness yang dapat dipercaya. Labih jauh, wawancara postoperatif memberikan pasien kesempatan untuk meringankan kekacauan pikiran dan mentalnya dengan adanya dokter yang untuk kedua kalinya bersedia mengatasi apapun yang ada maupun hilang padanya.
Tabel 6. Penilaian Pencegahan Kunjungan Preoperatif, menyebutkan possible awareness, khususnya kasus dengan risiko tinggi: section cesarean, trauma, bedah thoraks, obesitas, penyalahgunaan obat atau alcohol, riwayat awareness sebelumya Mengecek mesin penghantar anestesi sebelum memulai anestesi Pertimbangkan untum meminimalisasi muscle relaksan Nilai respon pasien terhadap peritah verbal (gambar 26-1) Nilai kedalaman anestesi dengan EEG
64
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Walaupun awakeness intraoperatif dan recall postoperatif menunjukkan hubungan yang tidak erat, terdapat bukti yang kuat bahwa memori post operatif muncul dari periode singkat saat terjadinya kelemahan. Pada penelitian kami pada pasien dengan sedasi yang dalam, sebagai contoh, pasien tanpa recall postoperative (n=47) merespon rata-rata 10% terhadap perintah yang diberikan selama anestesi, di mana pasien denagn recall (n=9) merespon sebesar 30%. 25 Dugaan ini memberikan potensi yang besar bagi monitoring awareness intraoperatif dan membawa para ahli untuk berpendapat bahwa pasien harus dimonitor untuk mendeteksi dan mengenali terjadinya awareness secara efektif (lihat tabel 26-6 untuk Penilaian Pencegahan) EEG Telah banyak upaya dilaukan beberapa tahun ini untuk mengembangkan metode monitoring terhadap anestesi yang adekuat untuk mencegah awareness intraoperatif. Dengan diketahuinya otak sebagai target efek samping dari agen anestesi dan telah terdemostrasikannya perubahan yang jelas dengan peningkatan konsentrasi obat, upaya yang dilakukan kini berkonsentrasi pada aktivitas EEG. Dengan beberapa pengecualian (seperti tidur dengan gerakan mata cepat: rapid eye movement sleep), otak yang sadar menghasilkan sinyal elektrik dengan gambaran yang tidak beraturan, gerakan yang cepat (dengan frekunsi tinggi) dan amplitudo yang rendah (voltase). Monitor EEG pada fase hipnosis menunjukkan fakta bahwa obat sedatif menyebabkan penurunan yang menyolok pada amplitudo. Gambaran karakter EEG memberikan informasi yang sangat berguna pada status hypnosis.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Beberapa perubahan terkait waktu pada sinyal dapat dikonversi menjadi 9 elemen gelombang dan dikonversi menjadi frekuensi dan amplitudo yang mewakili, yang dikenal dengan “Fourier Transformation”. Jumlah kekuatan spektrum adalah rangkaian nilai yang terpisah, komponen frekuensi, dan kekuatan yang berhubungan. Pada spectrum kekuatan, frekuensi ikatan (δ, θ, α, β) dapat dipisahkan, sebagaimana frekuensi di bawah 50 atau 95% dari kekuatan EEG reside (median frekuensi (MF) dan spectral edge frekuensi (SEF), secara berturut-turut). Semua ini berhubungan dengan status psikofisiologi, seperti tingkat kesadaran atau tidur, dengan keberhasilan yang moderate. Variable kekuatan tidak diperlukan untuk menampilkan respon yang sama untuk setiap obat, yang menghambat aplikasi klinis. Mereka juga dapat menunjukkan respon bifasik yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam suatu status khusus. Anestesi mengiduksi ledakan kekuatan variable, yang merujuk pada periode aktivitas isoelektrik voltase tinggi versus rendah, dan analisis spectral tidak dapat mengukur jumlah fase coupling dalam EEG. Fase coupling merujuk pada sinkronisasi dari komponen frekuensi dan merupakan karakter penting dari system nonlinier seperti otak.29 Pengertian fisiologi dari fase relationship ini tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi sinkronisasi aktivitas otak telah berimplikasi pada mekanisme anestesi yang bervariasi.30 Frekuensi relationship ini dapat diukur dengan bispektral analisis dari EEG dan, untuk tujuan klinik, sebuah index linier, yaitu bispectral index (BIS)-yang berkembang dengan rentang dari 0 (otak dalam keadaan isoelektrik) sampai 100 (sadar pebuh). BIS menggabungkan kekuatan dan fase dari EEG, yang merupakan abstraksi matematik, sebagaimana
65
Jurnal Anestesiologi Indonesia
parameter proses lainnya. Secara empiris, ini diperoleh dari estimasi parameter EEG yang memisahkan dengan baik status sedasi pada database yang luas dari subjek yang mendapatkan obat hipnosis dan opioid. Unit monitoring dan sensor elektroda pertama menerima persetujuan dari FDA (Food and Drug Association) untuk sebuah izin marketing untuk indikasi awareness telah disahkan pada pertengahan tahun 1990 dan 2003. Untuk mengevalusi teknologi monitoring untuk mendeteksi awareness, kriteria standar harus dibuat untuk menentukan apakah pasien dalam keadaan sadar. Secara eksperimental, ini hanya dapat diterima pada pasien yang tidak terstimulasi, sehingga banyak penelitian terhadap kegunaan parameter EEG bergantung pada subjek sukarelawan atau pasien pada periode preinsisi. Seperti kriteria yang direkomendasikan, sebagian besar menggunakan respon terhadap perintah verbal (lihat bagian “Apakah Terdapat Tanda Peringatan Selama Anestesi Yang Memberitahu Kita Bahwa Sesuatu Yang Salah Terjadi?“ sub bagian Gerakan Bertujuan) atau stimulasi taktil. Beberapa menggunakan stimulasi noksius untuk mengeksplorasi efek sedasi pada seluruh rentangnya. Namun, dengan menggunakan respon terhadap stimulasi verbal, peneliti menyatakan bahwa kesadaran lebih dari sekedar gerakan karena stimulasi nyeri (seperti intubasi dan insisi). Secara khas, dosis obat atau titrasi berhubungan dengan status sedasi, yang berhubungan dengan pengukuran nilai SEF, MF, dan/ atau BIS secara kontinue. Penemuan utama dari penelitian terhadap teknologi monitoring ini adalah superioritas pengukuran EEG melebihi heart rate dan tekanan darah dalam memprediksi hilang atau timbulnya kesadaran. Hal ini menjelaskan bahwa tanda autonomik tidak cukup baik merefleksikan status otak, yang membuat
66
sensasi yang sempurna, yang memberikan representasi system saraf. Secara klinis, ini mendorong petugas anestesi untuk berpedoman pada perubahan fisiologi sentral yang terjadi. Ketika perbedaan pengukuran EEG dibandingkan, BIS cenderung berbeda dari SEF dan MF. Pada pembandingan langsung dari ketiganya, kita akan menemukan hanya BIS yang dapat membedakan antara subjek yang nonresponsif dengan yang merespon secara tegas terhadap perintah.25 Penelitian lainnya, dengan menggunakan agen yang bervariasi, mendukung supeioritas BIS sebagai monitor awareness.31-35 Penemuan juga ini senada dengan dugaan bahwa BIS memberikan informasi EEG yang lebih banyak daripada variable lain, seperti SEF dan MF, sehingga sebagai konsekuensinya, BIS dapat diharapkan sebagai parameter yang lebih akurat untuk mendeteksi hilang atau timbulnya kesadaran. Berdasarkan data dari database, BIS memberikan nilai probabilitas yang tidak sempurna. Ini berarti bahwa perbedaan output dari monitor otak intraindividu dan interindividu diobservasi pada saat kehilangan dan kembalinya kesadaran. Walaupun monitor fungsi otak menampilkan hasil yang baik, tetap muncul teka-teki dalam observasi yang dilakukan (beberapa atribut atau artefak atau kurang tepatnya interpretasi dari tanda-tanda yang ada).36 Kesempurnaan mungkin sulit, jika tidak impossible, untuk mencapai standar biologis dari consciousness, dan sedikit lebih luas, yaitu awareness. Sangat berguna bila kita mengenali parameter tambahan daripada hanya bergantung pada satu parameter. Walaupun BIS meningkatkan monitoring terhadap sedasi, penelitian yang ada juga telah menyoroti keterbatasan ini ketika ia Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
digunakan untuk memprediksi memori. Pada penelitian kami terhadap pasien trauma, walaupun BIS merupakan satusatunya predictor yang signifikan, ia hanya dilengkapi dengan score memori yang sempit4, sehingga, walaupun kami telah menggambarkan dengan jelas, hubungan non-random antara dalamnya hipnosis yang diukur dengan BIS dengan memori postoperatif, variasi yang luas pada skor memori tidak terjelaskan. Ini menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor selain kedalaman hipnosis yang berkontribusi kepada memori, yang menggambarkan kekomplekan dan keanekaragaman sifat dari memori. Kami juga telah melakukan observasi membandingkan pembacaan BIS pada pasien dengan recall selama anestesi yang dalam dengan kelompok pasien tanpa recall.25 Didisain sebagai monitor untuk menilai kesadaran, BIS dapat memberikan sinyal awareness selama intraoperatif, tetapi bukan pada saat postoperatif. Dengan mengobservasi hubungan terhadap awareness intraoperatif dan recall postoperative, muncul bahwa monitoring fungsi otak akan mempengaruhi recall secara tidak langsung melalui kejadian awareness yang lebih rendah jika status unconsciousness dipertahankan secara terus-menerus. Monitor Elektro Encephalo Gram yang lain Alternatif alat yang dijadikan parameter lain yang sedang marak dikembangkan adalah AER (auditory evoked Response), yaitu sinyal elektrik lain yang didapatkan dari otak. Tidak seperti EEG yang meletakkan bispektral analisis pada jantung, AER diinduksi oleh bunyi klik dari ayunan auditori. Pada jenis stimulasi khusus ini, EEG menampilkan respon yang khas yang merepresentasikan lintasan sinyal neuron dari koklea ke
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
korteks auditori. Ketika sejumlah cukup bunyi klik didapatkan, rata-rata sinyal memberikan gambaran gelombang AER yang terdiri atas rangkaian puncak dan lembah dengan latensi yang berbeda (diekspresikan dalam beberapa milisekon) dan amplitude selama fase bangun. Potensial midlatensi yang muncul setelah 10-100 ms menunjukkan perbedaan grade dari konsentrasi obat anestesi, sehingga ini sangat baik untuk memonitor kedalaman anestesi.37 Keuntungan yang besar dari teknologi AER adalah bahwa ia didapatkan dari otak individual bukan dari status database otak, dengan demikian menawarkan akurasi prediksi yang lebih besar. Selain itu, kuantifikasi sinyal real-time tidak mungkin sampai adanya perkembangan teknologi fast-tracking38, dan meliputi teknologi yang diimplementasikan pada peralatan monitoring di ruang operasi. Indeks terbaru yang tersedia adalah (Aline (Danmeter A/S, Odense, Denmark), dan AA-Line ARX index (AAI) atau Auto Regrssive Model dengan algoritma Exogenous Input (ARX) untuk tujuan akademik dapat dibandingkan dengan BIS, yang sering digunakan sebagai referensi penelitian yang mudah dilakukan. Keduanya memonitor stautus sedasi dengan akurasi yang baik (8595%) dan berkorelasi baik dengan efek samping bergantung konsentrasi obat yang terkalkulasi. Terdapat dua monitor lain yang secara esensi tidak berbeda dengan teknologi berbasis EEG yang telah dideskripsikan. Entropi spectral didapatkan dari kekuatan analisis EEG dan menunjukkan keterbatasan paparan yang terdahulu (lihat bagian “EEG”).42,43 Narcotrent mengklasifikasikan gambaran EEG pada status sedasi yang berbeda (yaitu dari AF)44,45, dengan keberhasilan yang terbatas.46,47
67
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Epiphenomena: Apakah yang Ada di dalam Monitor? Hasil Jangka Pendek dan Jangka panjang Monitoring status hipnosis dengan menggunakan teknologi mutakhir (EEG) mungkin bukan hanya bermanfaat saat anestesi, tetapi juga mempunyai implikasi pada prosedur operasi. Dibandingkan dengan prosedur yang tidak menggunakan monitor, titrasi sampai mencapai level hipnosis yang optimal (cukup untuk mencegah awareness namun tidak terlalu dalam), dapat mengurangi semua efek samping obat dan secara umum mempercepat proses recovery, sebagai contoh penghentian di PACU.48,49 Sebagian besar bukti datang dari penelitian dengan menggunakan BIS, tetapi efek sekunder sekarang juga ditemukan pada AER dan pengukuran spectral. Lebih jauh, ini juga berguna untuk merubah pengalaman dramatis. Manajemen anestesi selama operasi sementara ini berimplikasi terhadap angka mortalitas dalam 1 tahun lebih. Setelah laporan postoperative inisial,50 dua buah penelitian prospektif di Eropa51 dan US52 terbaru memperkenalkan masalah ini pula. Keduanya menemukan angka yang signifikan (lebih dari 1000 dan 4000) pasien nonkardiak dan hasil observasi terhadap angka kematian dalm 1 tahun post operatif adalah sekitar 5,5%. di antara banyak faktor yang telah dilaporkan yang berhubungan dengan kematian, kedua kelompok ini dikenali dengan durasi dari anestesi yang dalam (waktu kumulatif), seperti diukur dengan BIS<45, melengkapi faktor risiko yang independen. Setiap jam dari anestesi dalam, memberikan peningkatan 24% risiko kematian dalam 1 tahun post operasi, dibandingkan dengan durasi total anestesi. Risiko yang tidak signifikan
68
juga telah tercatat pada hipotensi sistolik intraoperatif. Namun, faktor komorbiditas tetap muncul sebagai faktor risiko terbesar. Penelitian ini mengesankan penyebab yang mungkin dan telah terkonfirmasinya hubungan efek antara dalamnya sedasi dan mortalitas, monitoring terhadap kedalaman anestesi membuktikan pentingnya manajemen pasien, sehingga hasil observasi ini membutuhkan penelitian yang lebih jauh. Insidensi yang Lebih Rendah Tes tolok terhadap monitoring efikasi adalah untuk mengetahui apakah teknologi yang digunakan dapat menurunkan insidensi awareness, yaitu apakah teknologi dapat mereduksi kejadian recall postoperative pada penelitian control random. Karena recall setelah anestesi jarang terjadi, jumlah sampel yang besar dibutuhkan untuk menggambarkan perbedaan antara kelompok yang dimonitor menggunakan teknologi dan kelompok yang dimonitor dengan alat pengukur lainnya. Pada saat ini, penelitian control random hanya dilakukan dengan menggunakan BIS 18. Di US, penelitian tentang awareness dengan menggunakan BIS, dengan kehadiran dokter anestesi selama penelitian, menemukan tidak adanya hubungan antara penggunaan BIS dengan insidensi awareness yang ditemukan.8 Pada penelitian control random yang dilakukan di Australia pada orang dewasa dengan risiko tinggi terhadap terjadinya awareness, sekitar 2500 pasien diberikan anestesi dengan monitor BIS di mana ketika diberikan anestesi dilakukan penyesuaian untuk memepertahankan BIS pada 40-60 di antara laringoskop dan penutupan luka, atau untuk perawatan rutin, di mana sensor EEG digunakan tetapi unit monitoring BIS tidak diaktifkan. Observasi blind pada kelompok ini melakukan folow-up terhadap awareness dengan menggunakan Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sistematika kuesioner yang sudah dijelaskan sebelumnya.8,9 (tabel 26-1). Seperti sebelumnya, hasil pengukuran yang utama adalah insidensi awareness yang terkonfirmasi. Anestesi dengan menggunakan BIS mengurangi insidensi sebanyak 82% (dari 11 menjadi 2 kasus), sebuah angka yang menyerupai penemuan pada penelitian control nonrandom di Swedia, dengan pasien nonkardiak risiko rendah.53 penelitian control trial di Australia, menemukan potensi yang jelas untuk mereduksi recall postoperative dengan menggunakan teknik monitoring cerebral dibandingkan dengan monitoring tradisional. Pada kelompok ynag dimonitor dengan BIS, awareness terjadi pada nilai di atas 55, yang sebanding dengan nilai dari observasi terhadap respon yang jelas pada perintah, yaitu 55-6025,26, mirip dengan petunjuk dari pabrik untuk mempertahankan nilai di bawah 60 untuk menghindari awareness intraoperatif. Bagaimana Anak-Anak?
awareness
Mengenai
Kejadian dan pencegahan awareness pada anak-anak lebih controversial daripada pada dewasa. Mungkin karena pengambilan informasi yang lebih rumit, penelitian tentang awareness pada anak ini jarang dilakukan. Sebuah penelitian prospektif terbaru, menunjukkan insidensi sebanyak 0,8%, mengesankan bahwa anak lebih berisiko 4-8 kali daripada dewasa, sehingga perlu 55 diperhatikan. saat ini, tidak jelas apakah insidensi yang lebih besar ini adalah sesuatu yang unik pada anaksebagaimana peningkatan persyaratan anestesi-, atau apakah ini merefleksikan sebuah overestimate karena spesifiknya penelitian dan prosedur penilaian yang dilakukan. Monitoring intraoperatif terhadap awareness pada anak juga menjadi
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
tantangan baru, karena EEG normal pada anak sangat berbeda dengan dewasa tidak hanya pada jumlah yang besar, yang menampilkan variasi yang besar. Parameter EEG ini seperti BIS kurang dapat dipercaya pada anak (tetapi lihat penelitian sebelumnya57). Secara umum, perubahan aktivitas elektrik pada otak selama pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan pertimbangan kespesifikan usia dan kehati-hatian dalam menginterpretasikan data EEG pada anak. Poin Kunci 1. Laporan ASA terbaru mengenai awareness intraoperatif yang dilakukan oleh ASA58 dipusatkan seputar recall postoperative. Seperti dapat disimpulkan dari Bab ini, awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak berhubungan sama sekali, sehingga membolehkan para klinisi dan peneliti untuk menggunakan salah satu di antara keduanya sebagia substitusi bagi yang lain. 2. Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es. 3. Monitor fungsi otak tidak dapat memprediksi recall dengn sangat baik, tetapi lebih baik dari parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang atau timbulnya kesadaran. Monitor fungsi otak merepresentasikan perkembangan yang pesat dalam manajemen praktek anestesi. Kemampuan untuk mengenali awareness intraoperatif dan pencegahannya dengan mempertahankan kedalaman tingkat hypnosis, menawarkan potensi yang besar untuk mencegah recall postoperative.
69
Jurnal Anestesiologi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
70
Crick F, Koch C. A framework for consciousness. Nat Neurosci. 2003;6:119. Tassi P, Muzet A. Defining the states of consciousness. Neurosci Biobehav Rev. 2001;25:175. Bogetz MS, Katz JA. Recall of surgery for major trauma. Anesthesiology. 1984;61:6. Lubke GH, Kerssens C, Phaf RH, et al. Dependence of explicit and implicit memory on hypnotic state in trauma patients. Anesthesiology. 1999;90:670. Crystal JD, Maxwell KW, Hohmann AG. Cannabinoid modulation of sensitivity to time. Behav Brain Res. 2003;144:57. Andrade J. Learning during anaesthesia: A review. Br J Psychol. 1995;86:479. Kerssens C, Sebel PS. BIS and memory during anesthesia. In: Ghoneim MM, ed. Awareness during anesthesia. Woburn: Butterworth-Heinemann; 2001:103. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et al. The incidence of awareness during anesthesia: A multicenter United States study. Anesth Analg. 2004;99:833. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, et al. Awareness during anaesthesia: A prospective case study. Lancet. 2000;355:707. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, et al. Patient satisfaction after anaesthesia and surgery: Results of a prospective survey of 10 811 patients. Br J Anaesth. 2000;84:6. Ranta SO, Laurila R, Saario J, et al. Awareness with recall during general anesthesia: Incidence and risk factors. Anesth Analg. 1998;86:1084. Liu WH, Thorp TAS, Graham SG, et al. Incidence of awareness with recall during general anaesthesia. Anaesthesia. 1991;46:435. Klafta JM, Roizen MF. Current understanding of patients' attitudes toward and preparation for anesthesia: A review. Anesth Analg. 1996;83:1314. Moerman N, Bonke B, Oosting J. Awareness and recall during general anesthesia. Facts and feelings. Anesthesiology. 1993;79:454. Domino KB, Posner KL, Caplan RA, et al. Awareness during anesthesia: A closed claims analysis. Anesthesiology. 1999;90:1053.
16. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, et al. Victims of awareness. Acta Anaesth Scand. 2002;46:229. 17. Phillips AA, McLean RF, Devitt JH, et al. Recall of intraoperative events after general anaesthesia and cardiopulmonary bypass. Can J Anaesth. 1993;40:922. 18. Myles PS, Leslie K, McNeil J, et al. Bispectral index monitoring to prevent awareness during anaesthesia: The BAware randomised controlled trial. Lancet. 2004;363:1757. 19. Lyons G, Macdonald R. Awareness during caesarean section. Anaesthesia. 1991;46:62. 20. Buffett-Jerrott SE, Stewart SH. Cognitive and sedative effects of benzodiazepine use. Curr Pharm Des. 2002;8:45. 21. Hope MD. Pain and forgetting. JAMA. 2003;289:617. 22. Myles PS, Leslie K, Forbes A, et al. A large randomized trial of BIS monitoring to prevent awareness in high risk patients: The B-Aware trial. Anesthesiology. 2003;99:A320. 23. Ciccone GK, Holdcroft A. Drugs and sex differences: A review of drugs relating to anaesthesia. Br J Anaesth. 1999;82:255. 24. Kerssens C, Lubke GH, Klein J, et al. Memory function during propofol and alfentanil anesthesia: Predictive value of individual differences. Anesthesiology. 2002;97:382. 25. Kerssens C, Klein J, Bonke B. Awareness: Monitoring versus remembering what happened. Anesthesiology. 2003;99:570. 26. Russell IF, Wang M. Absence of memory for intraoperative information during surgery with total intravenous anaesthesia. Br J Anaesth. 2001;86:196. 27. Tunstall ME. Detecting wakefulness during general anaesthesia for caesarean section. Br Med J. 1977;1:1321. 28. Nordstrom O, Sandin R. Recall during intermittent propofol anaesthesia. Br J Anaesth. 1996;76:699. 29. Rampil IJ. A primer for EEG signal processing in anesthesia. Anesthesiology. 1998;89:980. 30. Mashour GA. Consciousness unbound: Toward a paradigm of general anesthesia. Anesthesiology. 2004;100:428.
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
31. Katoh T, Suzuki A, Ikeda K. Electroencephalographic derivatives as a tool for predicting the depth of sedation and anesthesia induced by sevoflurane. Anesthesiology. 1998;88:642. 32. Liu J, Singh H, White PF. Electroencephalographic bispectral analysis predicts the depth of midazolam induced sedation. Anesthesiology. 1996;84:64. 33. Liu J, Singh H, White PF. Electroencephalographic bispectral index correlates with intraoperative recall and depth of propofol-induced sedation. Anesth Analg. 1997;84:185. P.375 34. Iselin-Chaves IA, Flaishon R, Sebel PS, et al. The effect of the interaction of propofol and alfentanil on recall, loss of consciousness and the bispectral index. Anesth Analg. 1998;87:949. 35. Glass PS, Bloom M, Kearse L, et al. Bispectral analysis measures sedation and memory effects of propofol, midazolam, isoflurane, and alfentanil in healthy volunteers. Anesthesiology. 1997;86:836. 36. Rampil I, Mychaskiw GI, Horowitz M. False negative BIS? Maybe, maybe not! Anesth Analg. 2001;93:798. 37. Thornton C, Sharpe RM. Evoked responses in anaesthesia. Br J Anaesth. 1998;81:771. 38. Jensen EW, Nygaard M, Henneberg SW. On-line analysis of middle latency auditory evoked potentials (MLAEP) for monitoring depth of anaesthesia in laboratory rats. Med Eng Phys. 1998;20:722. 39. Struys MM, Jensen EW, Smith W, et al. Performance of the ARX-derived auditory evoked potential index as an indicator of anesthetic depth. Anesthesiology. 2002;96:803. 40. Struys MM, Vereecke H, Moerman A, et al. Ability of the bispectral index, autoregressive modelling with exogenous input-derived auditory evoked potentials, and predicted propofol concentrations to measure patient responsiveness during anesthesia with propofol and remifentanil. Anesthesiology. 2003;99:802. 41. Vereecke HE, Vasquez PM, Jensen EW, et al. New composite index based on midlatency auditory evoked potential and electroencephalographic parameters to optimize correlation with propofol
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
effect site concentration: Comparison with bispectral index and solitary used fast extracting auditory evoked potential index. Anesthesiology. 2005;103:500. Vanluchene AL, Struys MM, Heyse BE, et al. Spectral entropy measurement of patient responsiveness during propofol and remifentanil. A comparison with the bispectral index. Br J Anaesth. 2004;93:645. Vanluchene AL, Vereecke H, Thas O, et al. Spectral entropy as an electroencephalographic measure of anesthetic drug effect: A comparison with bispectral index and processed midlatency auditory evoked response. Anesthesiology. 2004;101:34. Kreuer S, Biedler A, Larsen R, et al. The NarcotrendTM-a new EEG monitor designed to measure the depth of anaesthesia: A comparison with bispectral index monitoring during propofol-remifentanil-anaesthesia. Anaesthesist. 2001;50:921. Kreuer S, Bruhn J, Larsen R, et al. Application of bispectral index and narcotrend index to the measurement of the electroencephalographic effects of isoflurane with and without burst suppression. Anesthesiology. 2004;101:847. Russell IF. The Narcotrend „depth of anaesthesia‟ monitor cannot reliably detect consciousness during general anaesthesia: An investigation using the isolated forearm technique. Br J Anaesth. 2006;96:346. Schneider G, Kochs EF, Horn B, et al. Narcotrend does not adequately detect the transition between awareness and unconsciousness in surgical patients. Anesthesiology. 2004;101:1105. Johansen JW, Sebel PS, Sigl JC. Clinical impact of hypnotictitration guidelines based on EEG bispectral index (BIS) monitoring during routine anesthetic care. J Clin Anesth. 2000;12:433. Johansen JW, Sebel PS. Development and clinical application of electroencephalographic bispectrum monitoring. Anesthesiology. 2000;93:1336. Weldon BG, Mahla ME, Van der Aa MT, et al. Advancing age and deeper intraoperative anesthetic levels are associated with increased first year death rates. Anesthesiology. 2002;96:A1097.
71
Jurnal Anestesiologi Indonesia
51. Lennmarken C, Lindholm M, Greenwald SD, et al. Confirmation that low intraoperative BISTM levels predict increased risk of post-operative mortality. Anesthesiology. 2003;99:A303. 52. Monk TG, Saini V, Weldon BC, et al. Anesthetic management and one-year mortality after noncardiac surgery. Anesth Analg. 2005;100:4. 53. Ekman A, Lindholm ML, Lennmarken C, et al. Reduction in the incidence of awareness using BIS monitoring. Acta Anaesthesiol Scand. 2004;48:20. 54. Flaishon R, Windsor A, Sigl J, et al. Recovery of consciousness after thiopental or propofol: Bispectral index
72
55.
56.
57.
58.
and the isolated forearm technique. Anesthesiology. 1997;86:613. Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C, et al. Awareness during anesthesia in children: A prospective cohort study. Anesth Analg. 2005;100:653. Davis PJ. Goldilocks: The pediatric anesthesiologist's dilemma. Anesth Analg. 2005;100:650. Kerssens C, Sebel PS. To BIS or not to BIS? That is the question. Anesth Analg. 2006;102:380. Practice advisory for intraoperative awareness and brain function monitoring: A report by the American Society of Anesthesiologists task force on intraoperative awareness. Anesthesiology. 104:847, 2006
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012