JAI
Volume I Nomor 02, Juli 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) Jawa Tengah
JAI
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sejawat terhormat,
Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat artikel penelitian klinik dan preklinik. Diantaranya adalah mengenai efek sedasi midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain, pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat untuk mencegah peningkatan TIO akibat Suksinilkolin.
Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn, dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med
Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah serebral diharapkan menambah pengetahuan kita dalam bidang anestesi. Semoga bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
DAFTAR ISI PENELITIAN Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19. Curniawati Trisasi, Marwoto Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada proses penyembuhan luka. R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi. Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
TINJAUAN PUSTAKA Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap Pemantauan Tekanan Intra Kranial Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik, penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian. Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
Hal 65
72
82
90
101
120
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM), intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a coinduction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous midazolam biotransformation. Objectives: Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM Methods: The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCRRFLP technique. Results: The results showed the general characteristics of patients with no laboratory abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5 minutes after administration of midazolam there were no significant differences between men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes there were no significant differences by age, sex and sedation score. Conclusion: There is no significant relationship between the scores of sedation with genotypes EM, IM and PM of CYP2C19. Keywords: Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
65
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ABSTRAK Latar Belakang: Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM), intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19. Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap biotransformasi midazolam intravena. Tujuan: Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM Metode: Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCRRFLP. Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ; P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16 (53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi. Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19. Kata Kunci : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19
66
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENDAHULUAN Dosis dan frekuensi yang diperlukan untuk mencapai kadar obat yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi karena adanya perbedaan individu di dalam metabolisme dan eliminasi obat. Perbedaan ini ditentukan oleh faktor genetik dan non genetik seperti umur, jenis kelamin, fungsi hati, irama sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor nutrisi serta pemaparan bersamaan terhadap induser dan inhibitor metabolisme obat. Perbedaan individu dalam kecepatan metabolisme juga tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi dalam individu yang sama, kadar steady state plasma dapat mencerminkan suatu variasi yang sangat besar antara 2 sampai 30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3 Sitokrom P450 berperan penting dalam banyak metabolisme obat, zat kimia dan karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan di tiap individu maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam memetabolisme substrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM), intermediate metabolizer (IM) dan poor metabolizer (PM). Konsentrasi cycloguanil yang merupakan metabolit dari proguanil, berbeda secara bermakna diantara ketiga grup berdasarkan jumlah dari alel mutan (Kruskal Wallis, P<0,05). Hasil ini menggambarkan hubungan antara genotip CYP2C19 dan metabolisme proguanil, serta 4 peningkatan suatu efek dosis gen.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Akan tetapi, ada beberapa obat yang metabolitnya masih mempunyai aktifitas farmakologik yang sama atau berbeda dengan obat asalnya dan yang dapat menyebabkan efek toksik obat. Beberapa obat lain yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit yang aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau ekskresi yang mengakhiri kerjanya. 1,2,3,4,5 Pada tahun 1977, Kupfer dan kawankawan melaporkan metabolisme stereooselektif dari mephentoin dan metabolit N-dimethyl pada hewan.6 Setelah itu ditemukan bahwa 4 hydroxilatixylate dari s-mephenytoin bersifat polimorfik, sekitar 3% dari Kaukasian yang PM. Dua defek pada gen CYP2C19 bertanggung jawab pada metabolisme yang buruk dari s-mephenytoin yang diperlihatkan oleh Morais dan kawankawan. Mutan M1 disebabkan oleh G681A mutasi pada exon 5, yang membentuk pada tempat penyambungan yang menyimpang. Mutasi ini merusak
67
Jurnal Anestesiologi Indonesia
tempat pembelahan sel pada DNA melalui tes PCR yang dapat dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6(2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol(1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan benzodiazepine agonist yang mempunyai sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan anterograd amnesia.7,8 Obat ini banyak digunakan perioperatif. Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5 untuk menjaga kestabilan dalam air, potensinya 1,5 – 2 kali diazepam. Midazolam pada pH netral dan basa larut dalam air dan dapat dicampur dalam larutan infus seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu kamar.8 Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah penghambat neurotransmiter yang utama pada SSP. Penelitian elektrofisiologi menunjukkan bahwa benzodiazepin menguatkan neurotransmisi GABAergik pada semua tingkat neuroaksis, yang mencakup medula spinalis, hipotalamus, hipokampus, substansia nigra, korteks serebeli dan korteks serebri. Benzodiazepin tampaknya meningkatkan efisiensi inhibisi sinaptik GABAergik (melalui membran hiperpolarisasi) yang menyebabkan penurunan kecepatan pencetusan neuron yang krisis dalam banyak regio otak. Benzodiazepin tidak menggantikan GABA, tetapi tampaknya meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi reseptor GABA secara langsung atau saluran klorida yang berhubungan.
68
Peningkatan konduksi klorida menyebabkan interaksi benzodiazepin dengan GABA yang menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian terbukanya saluran. Efek ini mungkin sebagian disebabkan oleh meningkatnya afinitas untuk GABA.7,9 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh midazolam intravena pada efek sedasi pasien dengan genotipe EM, IM dan PM. METODE Penelitian ini merupakan cross sectional yang akan menilai efek midazolam terhadap fungsi metabolisme tubuh. Sampel penelitian merupakan penderita yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum. Di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dan drop out. Kriteria Inklusi : umur 16 sampai <40 tahun (dewasa muda), BMI (Body Mass Index) 20-25Kg/m2, status fisik ASA I. Kriteria Eksklusi : mengkonsumsi obatobatan yang dapat mempengaruhi metabolisme obat penelitian dalam 1 minggu preoperasi, tidak ada riwayat penyakit hati, gangguan metabolisme tubuh dan sering terpapar pestisida. Kriteria drop out : Penderita mengalami efek samping yang memerlukan terapi sebelum dinilai. Sampel yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 24 orang. Genotip CYP2C19 diperiksa dengan menggunakan teknik PCR-RFLP
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
(Polymerase chain reaction-restriction length polymorphism). DNA diisolasi dari darah tepi dengan menggunakan teknik standar yang digunakan dilaboratorium bioteknologi pusat kegiatan penelitian UNHAS. Setelah mendapatkan informed consent, subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan dibawa keruang operasi tanpa jalur intravena dan premedikasi. Setelah sampai di ruang operasi dilakukan pemasangan jalur intravena sekaligus mengambil sampel darah sebanyak 10 cc dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang monitor standar rutin dan diberikan midazolam 0,07 mg/kgbb intravena bolus. Waktu pemberian midazolam disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5 dinilai skor sedasi dengan 4 skala pengukuran seperti yang digunakan oleh field et al (Field Score) 7-10. Skor : 1. Aktif (Alert/active) 2. Bangun/tenang (Awake/calm) 3. Mengantuk, respon terhadap suara (drowsy but respon verbal) 4. Tertidur (asleep)
Pasien kemudian diinduksi sementara itu sampel darah dimasukkan kedalam kotak khusus sebagai transport dan dibawa ke laboratorium biomolekuler untuk analisa genetik tipe dari sitokrom P450 pasien termasuk poor/ normal/ extensive metabolism).
data komputer. Analisa data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis menggunakan program SPSS 13.0. HASIL Jumlah subjek penelitian 30 orang yang terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki dengan berbagai jenis tindakan operasi. Tidak ditemukan kelainan laboratorium pada semua subjek penelitian. Usia ratarata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada usia rata-rata antara perempuan (29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53 ±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek yang mengikuti penelitian ini tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap midazolam. Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna nilai skor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5) dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p<0,05). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250; P-0,183). Dari 30 subjek yang diteliti, ditemukan distribusi genotip CYP2C19 masingmasing 6 (20%) genotip extensive metabolizer (EM), 16 (53,3%) intermediate metabolizer (IM) dan 8 (26,7%) poor metabolizer (PM). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga genotip tersebut dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.
Data yang terkumpul selanjutnya diberi kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
69
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PEMBAHASAN Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30 subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB midazolam intravena dikaitkan dengan genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi didasarkan atas respon kognitif subjek 5 menit setelah diberikan midazolam intravena. Nilai skor sedasi yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 2 sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor sedasi setelah pemberian midazolam dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi kadar plasma midazolam (variasi farmakokinetik) dan variasi dalam sensitifitas terhadap midazolam (variasi farmakokinetik) diantara subjek yang diteliti. Variasi skor sedasi pada penelitian ini kemungkinan lebih disebabkan oleh faktor farmakodinamik dibandingkan faktor farmakokinetik. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa orang dengan usia lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi benzodiazepin. Orang usia lanjut membutuhkan dosis lebih rendah dibandingkan orang yang lebih muda untuk mencapai efek sedasi yang sama. Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua subjek dengan usia muda (16 tahun) nilai sedasinya hanya dua setelah pemberian midazolam. Walaupun faktor farmakodinamik dianggap lebih berperan dalam menentukan skor sedasi pada penelitian ini, tidak berarti bahwa faktor farmakokinetik sama sekali tidak berperan. Tidak adanya hubungan yang
70
bermakna antara skor sedasi dengan genotip PM dan EM dari CYP2C19 belum dapat menyingkirkan peran faktor farmakokinetik. Bila faktor farmakokinetik lebih berperan, maka penelitian ini menghasilkan dua hal penting dalam pemberian midazolam. Pertama, midazolam merupakan pilihan yang aman bagi subjek yang mempunyai genotip PM untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan merupakan jalur utama metabolisme midazolam, tetapi menjadi jalur utama metabolisme diazepam. Kedua, pemberian midazolam bersama dengan obat-obat yang menghambat CYP3A4, seperti diazepam, anti jamur dan opioid akan mempunyai konsekuensi klinik yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas akan menghambat aktifitas enzim tersebut, sehingga kemampuannya untuk memetabolisme midazolam akan menurun. Konsekuensinya adalah memanjangnya amnesia dan terjadinya gangguan psikomotor.11 SIMPULAN Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19. Ada tiga hal yang kemungkinan dapat menjelaskan temuan tersebut. Pertama, kadar midazolam dalam plasma mengikuti model dua kompartemen dan obat masih dalam fase distribusi, belum berada dalam fase eliminasi, lima menit setelah pemberian intravena. Kedua, CYP2C19 bukanlah enzim utama yang
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
memetabolisme midazolam. Ketiga, faktor farmakodinamik lebih berperan dibandingkan faktor farmakokinetik, walaupun faktor ini tidak dapat diabaikan. Perlu dilakukan penelitian mengenai efek sedasi midazolam dikaitkan dengan kadar midazolam dalam darah. Selain itu untuk menilai apakah faktor farmakodinamik dan faktor farmakokinetik yang lebih berperan dalam efek sedasi midazolam. DAFTAR PUSTAKA 1. Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik & Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam : Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar & Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta : EGC, 1998 : 36-51) 2. Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam : Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta : EGC, 1998 : 53-64) 3. Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R. Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63. 4. Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K, Kaneko A, Marzuki M Ethnic and
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
geographical distributions of CYP2C19 alleles in the populations of southeast asia. Adv Exp Med Biol. 2003. 5. Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK. CYP2C19 genetic mutations in North Indian. Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35. 6. Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A, Higuchi S, Genetic Polymorphism of cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9 in Japanese population. Ther Drug Monit 1998;20:243-7 7. Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of Anaesth 1995;12:5-11. 8. Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent: Induction and Maintenance. In: Healy TEJ, Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia, 6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101. 9. Collin VJ. Intravenous Anesthesia: Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ, Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd ed. Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63. 10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik. Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI 1987: 49-63.
11. Hamaoka N, Oda I and Asada A. Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not metabolize midazolam: kinetik analisis and inhibition study with monoclonal antibodies. Br J Anaesth 2001; 86:540-4.
71
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka Curniawati Trisasi*, Marwoto* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms, depress immune responses which leads to delayed wound healing process. Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control. Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression, leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing. Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel proliferation. Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from tissue biopsy on 5th day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using Spearmans correlation test. Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2 histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693). Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR. Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.
72
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ABSTRAK Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis, menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka. C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh darah sehingga mempercepat penyembuhan luka. Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada proses penyembuhan luka tikus Wistar. Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3 kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain, kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24 jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut. Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada proses penyembuhan luka. Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka PENDAHULUAN Penyembuhan luka adalah faktor penting paska operasi yang selalu dihadapi dan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai proses meliputi inflamasi akut menyusul terjadinya
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
kerusakan jaringan, regenerasi sel parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein extra cellular matrix (ECM), remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan akuisisi kekuatan luka.1,2
73
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Dokter bedah membuat luka pada tiap pembedahan. Pasca bedah luka ini mengakibatkan nyeri karena adanya kerusakan jaringan. Nyeri akut sering menimbulkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi penderita sepert kegelisahan, perubahan hemodinamik, gangguan pernafasan, retensi urin, ileus dan lain-lain.3,4 Keadaan tersebut dapat menghambat penyembuhan luka, mobilisasi yang terganggu dan lama rawat di rumah sakit bertambah. Luka pasca bedah di Inggris Raya, menghabiskan dana National Health Services minimal sebesar 1 milyar poundsterling setiap tahunnya.3,4 Pada proses penyembuhan luka pembentukan dan perkembangan pembuluh darah atau angiogenesis merupakan hal yang sangat penting. Tepi sel endotel pembuluh darah mengalami proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan tunas baru dari endotel pembuluh darah yang sudah ada, membentuk jaringan vaskularisasi baru.1 Terdapat sejumlah faktor sistemik dan lokal yang mengganggu penyembuhan luka. Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka antara lain infeksi, faktor mekanik, benda asing, macam, lokasi dan ukuran besarnya luka.3 Faktor sistemik yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain nutrisi, status metabolik, status sirkulasi darah dan hormon 3 glukokortikoid.
74
Banyak ditemukan permasalahan dalam penyembuhan luka, seperti waktu penyembuhan yang lama, terutama bila terjadi penyembuhan secara sekunder. Nyeri menjadi stressor yang memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis, memicu modulasi respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang berakibat pemanjangan waktu penyembuhan luka.1 Rasa nyeri merupakan salah satu pencetus peningkatan hormon glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal, dalam hal ini levobupivakain dapat mengurangi intensitas nyeri, sehingga menurunkan sekresi hormon glukokortikoid dan menghilangkan salah satu faktor penghambat penyembuhan luka.5,6 Di tingkat sel proses angiogenesis merupakan faktor yang penting dalam penyembuhan luka. Proses ini merupakan proliferasi endotel yang terus menerus membentuk jaringan vaskuler yang menunjang semua kebutuhan sel selama fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor mempengaruhi proses proliferasi endotel ini, baik faktor eksogen maupun endogen. Salah satu faktor endogen yang mempengaruhi proliferasi sel adalah Epidermal Growth Factor (EGF).7 C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih dari 50% strukturnya sama dengan reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan reseptor ini dan kemudian reseptor berikatan dengan ligan yang cocok (epidermal growth factor receptor
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ligands), sel yang bersangkutan akan mengalami proliferasi.8 Salah satu marker proliferasi sel adalah dengan pengecatan Argyrophilic Nucleolar Organizer Region (AgNOR), dimana ekspresinya akan meningkat pada fase G1 dari sel, dan mencapai puncaknya pada saat transisi dari fase G1 ke fase S, dan akan menurun pada fase G2.8 Berdasarkan penjelasan diatas dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah infiltrasi levobupivakain menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB2, proliferasi endotel pembuluh darah pada proses penyembuhan luka tikus Wistar. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan proses penyembuhan luka dengan pemberian infiltrasi levobupivakain. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain “Randomized post test only control group design”. Sampel penelitian adalah tikus Wistar yang diperoleh dari Fakultas peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria inklusi tikus Wistar betina keturunan murni, belum pernah digunakan untuk penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan, berat badan 250-300 gram, tidak terdapat kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah tikus sakit selama masa adaptasi, tikus mati selama masa adaptasi dan perlakuan. Menurut WHO besar sampel hewan coba untuk penelitian jangka pendek tiap
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
kelompok penelitian digunakan ekor untuk hari ke5).9
minimal 5 ekor, pada ini jumlah sampel yang 15 ekor, masing-masing 5 tiap kelompok (pemeriksaan
Randomisasi dilakukan dengan mengelompokkan 15 ekor tikus secara random menjadi 3 kelompok, yaitu : Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa perlakuan) : 5 ekor tikus Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa anestetik lokal) : 5 ekor tikus Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi anestetik lokal) : 5 ekor tikus
Penelitian dan pengumpulan data dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada tikus dan proses pengambilan jaringan dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan preparat dan pewarnaan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP Semarang. Setelah data terkumpul dilakukan data cleaning, coding dan tabulasi. Analisa data meliputi analisis deskriptif dalam bentuk rerata, standart deviasi, median dan grafik dan uji hipotesis. Data dikumpulkan, diolah serta dinyatakan dalam rerata ± simpang baku (mean ± SD) disertai kisaran (range). Dilakukan uji homogenitas menggunakan uji Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2 dan mAgNOR dan p AgNOR diuji dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena sesuai dengan uji non parametric 75
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dan n<30. Selanjutnya dilakukan uji beda non parametrik untuk 3 variabel (c-erbB2 dan mAgNOR dan pAgNOR) menggunakan uji Kruskal Wallis. Uji beda parametrik untuk 2 variabel berskala rasio (c-erbB-2) menggunakan independent sample t-test. Untuk menilai hubungan (c-erbB-2) terhadap nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) digunakan uji korelasi yang sesuai dengan uji non parametrik dengan n<30 yaitu uji Spearman (apabila uji normalitas data hasilnya normal). Dengan batas derajat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan 95% interval kepercayaan. Penyajian
dalam bentuk table dan grafik. Analisis data menggunakan program SPSS 11.0 for windows.10 HASIL Pada penelitian ini dilakukan pengujian efek perlakuan terhadap ekspresi c-erb-2 dan nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke lima. Hasilnya adalah sebagai berikut : Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai rerata berat badan pada ketiga kelompok berbeda tak bermakna (p=0,847). Berarti ketiga kelompok berasal dari populasi yang homogen sehingga layak untuk dibandingkan.
Tabel 1. Data berat badan tikus Kelompok I II III 255,0±10,00 255,4±9,48 257,0±8,72
Variabel Berat badan p<0,05 Data dinyatakan dalam rerata±simpang baku *Uji homogenitas variasi
Tabel 2. Skor histologi c-erbB-2 pada hari ke 5 Skor histologi c-erbB-2 No. K1 K2 1. 3,4 7,4 2. 3,7 10,7 3. 3,0 8,7 4. 7,8 5,6 5. 6,4 4,0 Keterangan : Satuan dalam skor histologi
76
P 0,874*
K3 10,7 8,7 10,9 10,9 8,3
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
No.
Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5 Nilai AgNOR mAgNOR pAgNOR 2,4 2 3,2 2 2,1 3 1,4 2 2,2 1 5,7 3 6,0 2 6,1 4 5,9 1 6,0 2 11,0 2 12,6 2 11,9 3 10,7 3 13,1 3
K1.1 2 3 4 5 K2.1 2 3 4 5 K3.1 2 3 4 5 Keterangan : mAgNOR : Nilai mean AgNOR pAgNOR : Prosentase AgNOR
Variabel c-erbB-2
mAgNOR
pAgNOR
Kel K1 K2 K3 K1 K2 K3 K1 K2 K3
Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR N Rerata Simpang Baku Minimal 5 4,86 2,11 3,0 5 7,28 2,61 4,0 5 9,90 1,29 8,3 5 2,26 0,65 1,4 5 5,94 0,15 5,7 5 11,86 1,02 10,7 5 2,00 0,7 1,0 5 2,40 1,14 1,0 5 2,60 0,55 2,0
Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain (K3) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut (K2). Nilai rerata mAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levibupivakain (K3) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain (K3) lebih tinggi dari kelompok tanpa infiltrasi obat (K2).
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Maksimal 7,8 10,7 10,9 3,2 6,1 13,1 3,0 4,0 3,0
Tanpa levobupivakain dan dengan levobupivakain berbeda bermakna (p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda bermakna (p=0,002) dan uji beda pAgNOR berbeda tidak bermakna (p=0,453). Rerata dari kelompok dengan levobupivakain, lebih tinggi daripada kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2 secara bermakna lebih banyak dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi levobupivakain.
77
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR Variabel P Uji I II III c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal
Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR diuji menggunakan uji normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai untuk uji non parametrik, jumlah sampel kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok 1&2 terdistribusi normal (p=0,109 dan p=0,783). Data mAgNOR pada kelompok 1 terdistribusi normal (p=0,968). Data pAgNOR pada kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal (p=0,600 dan p=0,725). Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi c-erB-2 antara kelompok tanpa Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan mAgNOR dengan levobupivakain (K3) lebih besar daripada kelompok tanpa levobupivakain (K2). Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
dan mAgNOR dengan infiltrasi levobupivakain akan meningkat. Pada kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2 dan mAgNOR lebih rendah dari kelompok tanpa levobupivakain. Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap mAgNOR mempunyai koefisien korelasi π =0,693 dan p=0,004. Hasil ini berarti ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap pAgNOR mempunyai koefisien korelasi π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR. Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR koefisien korelasinya π=0,335 berarti tidak ada hubungan antara mAgNOR dengan pAgNOR.
Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR Kelompok Varia-bel Uji I (n=5) II (n=5) III (n=5) c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288 Kruskal-Wallis 11,860±1,02 mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,152 Kruskal-Wallis 0 pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548 Kruskal-Wallis p<0,05 : berbeda bermakna, data dinyatakan dalam rerata±simpang baku
P 0,015 0,002 0,453
Tabel 7. Analisis hubungan c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR Korelasi Spearman [r] p c-erbB-2 – mAgNOR 0,693 0,004 c-erbB-2 – pAgNOR 0,312 0,257 mAgNOR-pAgNOR 0,335 0,222 *p<0,05 [r] : koefisien korelasi rho
78
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PEMBAHASAN Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina galur Wistar dewasa dibagi dalam 3 kelompok, kelompok 1 adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun, kelompok 2 dilakukan insisi pada punggung, kemudian disuntik dengan alat suntik kosong dan kelompok 3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi levobupivakain pada sekitar luka dan dilihat perbedaannya terhadap skor histologi c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR setelah hari kelima. Kelompok kontrol bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat ekspresi cerbB-2 dan apakah ada aktivitas proliferasi sel endotel pembuluh darah dalam keadaan tidak ada rangsangan pada tikus yang tidak dilakukan insisi pada punggungnya. Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR dengan tujuan untuk melihat apakah infiltrasi levobupivakain mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang merupakan up regulator dan angiogenesis. Proses angiogenesis dimulai bila reseptor pada permukaan sel berikatan dengan ligan yang cocok yang bersifat mitogenik, baik yang bersifat mengaktifkan tirosin kinase pada permukaan membran maupun yang non tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel pembuluh darah yang sedang membelah memberikan pulasan positif pada pengecatan AgNOR.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Pada penelitian ini mengambil biopsi jaringan pada luka yang dilakukan pada hari kelima, karena proses angiogenesis menjadi sangat aktif pada saat ini.11 Untuk uji homogenitas ketiga kelompok dilihat dengan variabel yang dapat diukur yaitu berat badan, dimana didapat hasil statistik berbeda tidak bermakna. Berarti kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen, pada umumnya tikus berasal dari satu indukan dimana mempunyai karakteristik yang mirip. Dalam hal ini faktor bias pada hewan coba dapat dihindari. Hasil penelitian menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2 pada endotel pembuluh darah kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun. Samarut J pada penelitiannya reseptor membran sitokin dan reseptor hormon inti pada leukemogenesis dan diferensiasi hemopoetik memperlihatkan reseptor c-erbB normal diperlukan dalam mengontrol pembelahan sel progenitor eritrositik.12 Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3 lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi cerbB-2 pada endotel pembuluh darah, sedangkan mAgNOR pada kelompok 3 juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan kelompok kontrol, hal ini menunjukkan bahwa infiltrasi levobupivakain meningkatkan aktivitas proliferasi sel endotel pembuluh darah. Pada kelompok 3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal ini dapat karena aktivitas angiogenesis yang terjadi pada proses penyembuhan luka bukan merupakan proliferasi yang
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
berlebihan seperti yang terjadi pada pertumbuhan tumor. Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan mAgNOR menunjukkan adanya hubungan yang kuat, karena c-erbB-2 merupakan upregulator angiogenesis. Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak menunjukkan adanya hubungan, juga antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini mungkin karena sifat proliferasi sel yang normal tinggi tidak kearah yang berlebihan. Pengamatan secara makroskopis mengenai jaringan luka dapat dilakukan dengan pengambilan biopsi jaringan dengan waktu yang berbeda, sehingga dapat dibandingkan yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat menyeluruh. Dari hasil penelitian ini maka dalam aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal levobupivakain dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan nyeri akut paska bedah sehingga penyembuhan luka dapat lebih baik. SIMPULAN Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok yang diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari infiltrasi levobupivakain. Nilai mAgNOR kelompok yang diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi
80
daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti proliferasi endotel pembuluh darah meningkat akibat dari infiltrasi levobupivakain Terdapat hubungan antara skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara statistik bermakna. Perlu dilakukan penelitian yang melihat langsung perbedaan proses penyembuhan luka pada yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak. Pada pengecatan AgNOR untuk melihat proliferasi pada endotel pembuluh darah untuk mendapat hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan blok parafin dengan pengecatan hematoksilin eosin terlebih dahulu. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology basic of disease. 6thed. Philadelphia:WB Saunders Co, 1999.p. 21-20. Constantinnides P. General pathobiology. 1sted. Connecticut: Appleton and Lange,1994.p. 173-81. Mast AB. Normal wound healing. In: Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic surgery, indications, operations and outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53. Pedersen D. Accelerated surgical stay programe. Annals of surgery 1994; 219: 374-81. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME, Kehlet H. Recovery after laparoscopic colonic surgery with epidural analgesia and early oral nutrition and mobilitation. Lancet 1995; 345: 763-4. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ, Chrousos GP. Corticotropin releasing hormone and inflammation. Annals of the New York Academy of Sciences 1998; 840: 21-32.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
7.
Carpenter G, Cohen S. Epidermal growth factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709. 8. Angiogenesis and stromal markers in experimental and laryngeal tumor development. [editorial]. 2002. Available from:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142 69497/html/i251889.html 9. World Health Organization. Research guidelines for evaluating the safety and efficacy of herbal medicines. New York: WHO Publications, 1993.p. 37-41. 10. Wasito R. Imunihistokimia. Dalam: pedoman kuliah immuno-histopatologi. DepDikbud. Proyek pengembangan pusat fasilitas bersama antar uuniversitas. Yogyakarta: PAU Bioteknologi-Universitas Gajah Mada, 1991. Hal. 36-80. 11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff R, Thomsen J. Pain relief by wound infiltration with bupivacaine or high dose rovacaine after inguinal hernia repair. Reg Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.
12. Samarut J. Nuclear hormone receptors cytokine membrane receptors in the control of chicken hematopoietic differentiation and leukemogenesis. 2004. Available from: URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety /pab/pababs4.html
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
81
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background: Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation, myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug, has not been studied most for these utilities yet. Objective: The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03 mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of CPK level following succinylcholine administration. Method: This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients underwent elective surgery, 16–40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias. Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl 0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5 mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation. Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman correlation test. Result: The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly reduction of fasciculation incidence (p<0,01), myalgia incidence (p<0,01) and CPK level elevation in atracurium group (p<0,05). In midazolam group, myalgia incidence is significantly reduced (p<0,01) but CPK level is only slight reduced (p=0,086) and there is no reduction of fasciculation incidence (p=0,125). The only significant correlation proved is between myalgia and CPK level elevation (corr.coef = 0,334; p = 0,013). Conclusions : Atracurium is proved to be effective for pretreatment againts fasciculation, myalgia and elevation of CPK level. Midazolam is as effective as atracurium to reduce myalgia, less effective to reduce CPK level and not effective to reduce fasciculation. Keywords : pretreatment, fasciculation, myalgia, CPK elevation, succinylcholine.
82
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ABSTRAK Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment. Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium 0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin. Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54 penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03 mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin 1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji korelasi dari Spearman. Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 ) dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor = 0,034; p = 0,013). Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi. Kata kunci: pretreatment, fasikulasi, mialgia, kenaikan CPK, suksinilkolin.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
83
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENDAHULUAN Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot golongan depolarisasi yang saat ini masih sering digunakan untuk fasilitas intubasi, terutama pada anestesi emergensi (rapidsequence induction) dan anestesi rawat jalan (ambulatory/ day case 1,2,3,4 anesthesia). Beberapa keuntungan pemberian suksinilkolin untuk intubasi adalah mula aksi yang cepat, lama kerja yang pendek, murah, dan mudah diperoleh serta toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek samping suksinilkolin meliputi fasikulasi otot, disritmia jantung, hiperkalemia, reaksi anafilaktik, spasme otot masseter, dan mialgia serta peningkatan tekanan intragastrik, tekanan intraokuler dan tekanan intrakranial, hingga timbulnya komplikasi serius berupa hipertermia maligna.1,4,6,7 Efek samping kerusakan otot yang ditimbulkan akan disertai dengan perubahan biokimia berupa peningkatan kadar kalium, mioglobin dan kreatin fosfokinase darah.7,8,9,10 Fasikulasi otot dan mialgia akibat pemberian suksinilkolin merupakan komplikasi yang sering dijumpai, dimana berbagai studi melaporkan kejadian mialgia paska suksinilkolin berkisar antara 2% hingga 89%.2,11,12,13 Frekuensi dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, latihan otot sebelumnya, kelainan metabolit, merokok, lama dan jenis operasi, posisi pasien selama
84
operasi serta pemberian obat sebelumnya (pretreatment).14,15 Berbagai penelitian sebelumnya menemukan bahwa ternyata antara fasikulasi otot dan mialgia paska operasi akibat pemberian suksinilkolin tidak terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16 Banyak jenis obat yang telah diteliti untuk mencari upaya alternatif dalam mengurangi atau menghilangkan fasikulasi otot dan mialgia paska suksinilkolin, diantaranya pretreatment dengan obat anestesi lokal, golongan NSAID, preparat kalsium, preparat magnesium, klorpromazin, vitamin, golongan benzodiazepin dan yang paling populer adalah dengan pelumpuh otot non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17 Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin dengan potensial dua kali lipat dari diazepam dan saat ini merupakan obat yang paling sering digunakan dalam premedikasi.1,7 Di Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997, lebih dari 75% premedikasi 18. menggunakan midazolam Diazepam, generasi pendahulu midazolam, dua dasawarsa yang lalu telah digunakan setidaknya pada dua penelitian sebagai obat pretreatment pencegah fasikulasi dan mialgia dengan hasil cukup memuaskan, yaitu 17,19,20,21 mengurangi mialgia hingga 30%. Midazolam sendiri sejauh penelusuran kepustakaan oleh penulis, baru satu kali digunakan pada suatu penelitian yang
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
menyimpulkan bahwa midazolam tidak bermanfaat dalam mencegah mialgia, kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah.10 METODE Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang lingkup anestesiologi, dan merupakan uji klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai uji klinis acak tersamar ganda (double blind randomized controlled trial) yang membandingkan 3 kelompok penelitian, yaitu kelompok kontrol, kelompok midazolam, dan kelompok atrakurium. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan pre test – post test control group design untuk variabel kadar kreatin fosfokinase darah dan post test only control group design untuk variabel skor fasikulasi dan skor mialgia. Populasi targetnya adalah penderita yang mengalami operasi selektif dengan anestesia umum di instalasi bedah sentral RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out. Kriteria inklusi disini meliputi : jenis kelamin laki-laki dan perempuan, umur 16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak memiliki kelainan neuromuskular dan atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidak melakukan aktivitas lebih dari aktivitas harian, bukan penderita trauma, operasi ortopedik atau kardiovaskular, tidak sedang hamil dan tidak merokok, serta tidak ada kontraindikasi penggunaan obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini meliputi operasi yang direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat injeksi intramuskular dalam 24 jam
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
sebelum operasi, mendapat obat jenis pretreatment lain 24 jam sebelum operasi, posisi operasi direncanakan tidak telentang. Sedangkan kriteria drop out penelitian ini adalah lama operasi ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita mengalami hipertermia maligna saat operasi, mendapat injeksi intramuskular selama 24 jam paska operasi. Alokasi penderita untuk ketiga kelompok penelitian dilakukan secara randomisasi sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok adalah 45 orang, dan dengan memperhitungkan faktor koreksi drop out (diperkirakan 10%) maka jumlah sampel keseluruhan sebanyak 56 orang.
HASIL Telah dilakukan penelitian pengaruh pretreatment midazolam atau atrakurium terhadap fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat suksinilkolin pada 56 orang penderita dengan status fisik ASA I – II yang dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing 19 orang penderita kelompok midazolam (M) yang mendapat pretreatment midazolam 0,03 mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok atrakurium (A) yang mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan 18 orang penderita kelompok kontrol (K) yang tidak mendapat pretreatmnet (diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita dikeluarkan dari penelitian, yakni satu orang dari kelompok midazolam karena lama operasi lebih dari dua jam (operasi polipektomi + CWL) dan satu orang dari kelompok atrakurium karena pulang dari
85
Jurnal Anestesiologi Indonesia
rumah sakit sebelum 24 jam pasca operasi (operasi medis wanita/ MOW). PEMBAHASAN Data–data karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan), kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan, lama operasi dan jenis operasi dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis operasi yang termasuk THT adalah tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi
dan CWL. Jenis operasi ginekologi meliputi ooforektomi, miomektomi, dan kistektomi. Sedangkan jenis operasi digestif meliputi appendiktomi dan herniorafi. Pada tabel 3 terlihat prosentase skor fasikulasi berat kelompok atrakurium dan midazolam lebih rendah daripada kelompok kontrol. Uji kai kuadrat terhadap perbedaan skor fasikulasi antara ketiga kelompok menunjukkan
Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol Variabel (n=18) (n=18) (n=18) Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) Jenis Kelamin : Laki – laki 4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%) Tingkat Pendidikan : Tak Tamat SD 1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%) Tamat SD 3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%) Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%) Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%) 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) Kadar CPK Awal * )uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol Variabel (n=18) (n=18) (n=18) Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) Jenis Operasi : THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%) Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%) Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%) * )uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol 0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %) 1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %) 2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %) Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %) **) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
86
p 0,978* 1,000*
0,662** 0,462*
p 0,839*
0,992
p 0,000**
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok Perbedaan Skor Kel. Atrakurium – Kel. Kontrol – Kel. Kontrol – Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Midazolam Z -3,464 -3,668 -1,536 p (2 ekor) 0,001* 0,000* 0,125 * ) berbeda bermakna Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol 0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %) 1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %) 3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%) ** ) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
Perbedaan Skor Mialgia
Kel.AtrakuriumKel.Midazolam
Z p(2 ekor) * ) berbeda bermakna
0,480
Dari data karakteristik tersebut terlihat adanya perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga kelompok penelitian. Data hasil penilaian skor fasikulasi dapat dilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Untuk mencari dimana letak perbedaannya, analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks (non parametrik) dengan hasil pada tabel 4. Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa meskipun prosentase skor fasikulasi berat kelompok atrakurium dan midazolam lebih rendah daripada kelompok kontrol, perbedaan ini hanya bermakna pada kelompok atrakurium, sedangkan pada kelompok midazolam kuadrat terhadap perbedaan skor mialgia antara ketiga kelompok penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Kel.KontrolKel. Atrakurium -3,720 0,000*
P 0,000**
Kel.KontrolKel.Midazolam -3,487 0,000*
Hasil uji hipotesis ini menunjukkan bahwa prosentase skor mialgia berat pada kelompok atrakurium dan secara statistik tidak bermakna. Perbedaan prosentase skor fasikulasi berat antara kelompok atrakurium dan midazolam secara statistik bermakna. Data hasil pengukuran skor mialgia dapat dilihat pada tabel 5. Midazolam lebih rendah secara amat bermakna daripada kelompok kontrol. Perbedaan prosentase skor mialgia berat antara kelompok atrakurium dan midazolam secara statistik tidak bermakna. Pada tabel 5 terlihat bahwa prosentase skor mialgia berat pada kelompok atrakurium dan midazolam lebih rendah daripada kelompok kontrol. Data pengukuran kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan, pasca perlakuan dan perbedaan (kenaikan) diantara pra dan pasca perlakuan dapat dilihat pada tabel 7. Terlihat bahwa
87
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada kelompok midazolam maupun atrakurium lebih rendah daripada kelompok kontrol. Uji Anova terhadap perbedaan kadar kreatin fosfokinase darah akibat suksinilkolin. Diantara tiga akibat (variabel terikat) pemberian suksinilkolin ada korelasi antara mialgia dengan kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p = 0,013)
sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc Bonferroni pada tabel 8. Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa perbedaan kenaikan ini pada kelompok atrakurium secara statistik bermakna, sedangkan pada kelompok midazolam tidak bermakna. Perbedaan kenaikan kadar kreatin fosfokinase antara kelompok atrakurium dan midazolam tidak bermakna secara statistik.
Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol Rerata SB Rerata SB Rerata SB CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 * )uji Anova = berbeda bermakna
p 0,462 0,006* 0,013*
Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok Kel.Atrakurium – Kel.Kontrol – Kel.Kontrol – Perbedaan Kadar CK Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Midazolam 20,00 83,72 63,67 Beda Rerata 1,000 0,014* 0,086 p(2 ekor) * )berbeda bermakna
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05 mg/kgBB) efektif digunakan sebagai pretreatment dalam mengurangi fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar fosfokinase darah akibat suksinilkolin. Kemudian midazolam (dosis 0,03 mg/KgBB) sebagai pretreatment sama efektifnya dengan atrakurium dalam mengurangi mialgia akibat suksinilkolin, tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi akibat suksinilkolin, dan kurang efektif dibandingkan atrakurium dalam mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah, tidak ada korelasi antara fasikulasi dengan mialgia, dan tidak ada korelasi antara fasikulasi
88
dengan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami menyarankan agar atrakurium dapat dipergunakan sebagai pretreatment yang efektif dalam mencegah atau mengurangi fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin. Kemudian diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap efektivitas midazolam sebagai pretreatment dengan dosis lebih besar, interval waktu pemberian lebih lama dan cara atau rute pemberian yang berbeda (misalnya secara intramuskular yang biasa dilakukan dalam premedikasi) serta dengan konfirmasi silang dari hasil pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase agar hasilnya lebih sahih.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA 1.
Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed. Oxford : Butterworth Co, 174 – 99, 200 – 28, 416 – 8. 2. Cartwright DP. Suxamethonium in day-case anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr. 3. Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation and management. In : Hurford WE, Bailin MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical anesthesia procedures of the Massachusetts General Hospital. 5th ed. Philadelphia : Lippincott-Raven, 1998 : 204 – 22. 4. Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan RS. Effects of magnesium sulphate on suxamethonium-induced complications during rapid-sequence induction of anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 – 6. 5. Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J Anesthesia 1982; 54: 195 – 205. 6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller RD. Pharmacology of muscle relaxants and their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th ed. Philadelphia : Churchill Livingstone, 2000 : 412 – 90. 7. Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia : Lippincott-Raven, 1999: 126 – 39, 182 – 223, 748 – 51. 8. Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR. Myalgia and biochemical changes following suxamethonium after induction of anesthesia with thiopenton or propofol. Anesthesia 199; 48: 626 – 8. 9. McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle pains and biochemical changes following suxamethonium administration after six pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47: 202 – 6. 10. Laurence AS. Myalgia and biochemical changes following intermittent suxamethonium administration. Anesthesia 1987; 42: 503 – 10. 11. Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL. Pretreatment with vecuronium as a prophylactic againts post-suxamethonium muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735 – 41.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
12. Raman SK, San WM. Fasciculations, myalgia and biochemical changes following succinylcholine with atracurium and lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia 1997; 44: 498 – 502. 13. Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth 1994; 41: 177 – 83. 14. Houghton IT, Aun CST, Gin T. Suxamethonium myalgia: an ethnic comparison with and without pancuronium pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 – 81. 15. Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative muscle pain and suxamtethonium. Br J Anesth 1980; 52: 215 – 8. 16. Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K. Effect of preoperative i.m. administration of diclofenac on 17. Pace NL. Prevention of succinylcholine myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg 1990; 70: 477 – 83. 18. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K. Role of Magnesium Sulphate in Postoperative Analgesia. Anesthesiology 1996; 84: 340-7. 19. Koinig H, Wallner T, Marhofer P, Magnesium Sulphate Reduces Intra and Postoperative Analgesic Requirements. Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10. 20. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith OH. Perioperative Magnesium Infusion and Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica Scandinavica 1997; 41: 1023-7. 21. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K, Magnesium Sulphate does not Reduces Postoperative Analgesic Requierments. Anesthesiology 2001; 95: 640-6.
89
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap * *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Background:Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure. Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the neuromuscular junctionon prejunctionaly site. Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by succinylcholine administration. Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3 minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3 ml, 3 minutes before induction. Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after sucynilcholine administration Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium. There was no significant difference in the change of intraocular pressure after pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium. Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure. ABSTRAK Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada neuromuscular junction menduduki prejunctional site.
90
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian suksinilkolin. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I : diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10 menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml 3 menit sebelum induksi. Kelompok II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera setelah intubasi. Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun II. Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium. Kata kunci : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium. PENDAHULUAN Suksinilkolin adalah satu-satunya obat pelumpuh otot golongan depolarisasi, yang digunakan dalam praktek klinik. Suksinilkolin merupakan satu-satunya obat anestesi dengan kejadian komplikasi yang begitu tinggi yang masih tetap digunakan sampai saat ini, karena obat ini mempunyai onset yang cepat dan durasi kerja yang sangat singkat walaupun hal ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3 Penggunaan suksinilkolin hanya untuk fasilitas intubasi, terutama pada anestesi keadaan darurat (rapid-sequence induction), anestesi rawat jalan (ambulatory/day-case anaesthesia), dan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
pada pasien dengan prediksi kesulitan intubasi.l,2,3,4 Keuntungan lain penggunaan suksinilkolin untuk fasilitas intubasi adalah harganya murah, mudah diperoleh, stabil disimpan dalam suhu kamar serta toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek samping suksinilkolin adalah fasikulasi otot disritmia jantung hiperkalemia reaksi anafilaktik spasme otot masseter, mialgia, peningkatan tekanan intragastrik kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan intrakranial, sampai komplikasi serius berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7
91
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka secara cepat terus menerus (tetanik), tidak sinkron disebabkan oleh depolarisasi yang terus-menerus, akibat ikatan suksinilkolin dengan reseptor membran post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti kenaikan kadar kalium, peningkatan tekanan intrakranial, kenaikan tekanan intragastrik dan 7 kenaikan tekanan infaokuler. Berbagai metode dan jenis obat telah diteliti sebagai pretreatment untuk mencegah atau mengurangi efek samping akibat pemberian suksinilkolin, diantaranya 8,9 adalah: magnesium, golongan NSAID, benzodiazepin, obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi kalsium dan magnesium.10,11 Efek suksinilkolin yang menaikkan tekanan intraokuler membatasi penggunaannya terutama pada pasien dengan trauma tembus mata dan operasi mata yang akan membuka bilik anterior.12,13,14 Kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin disebabkan karena efek langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot ekstraokuler,13,14 dan mungkin karena dilatasi sementara dari pembuluh darah koroid.15 Berbagai jenis obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi telah diteliti untuk mencegah timbulnya efek samping akibat pemberian suksinilkolin mulai dari tubokurarin, galamin, pankuronium, alkuronium, atrakufium, vekuronium, okuronium hingga mivakurium.16,17,18
92
Tetapi pemberian obat pelumpuh otot golongan non depolarisari sebelum pemberian suksinilkolin untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler menyebabkan peningkatan jumlah suksinilkolin yang dibutuhkan untuk relaksasi sampai antara 50-90%.15,19 Sedangkan menurut Bartkowski dan Savarese, pemberian prekurarisasi dengan makurium dan pelumpuh otot non depolarisasi lainnya mengakibatkan perlambatan mula kerja dan penurunan kualitas (kondisi intubasi) blok neuromuskuler oleh suksinilkolin, sehingga dosis suksinilkolin harus ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19 Efek magnesium pada neuromuscular junction adalah ion magnesium bekerja secara kompetitif dengan ion kalsium untuk menduduki prejunctional site. Magnesium memblok pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma sehingga menyebabkan penutupan kanal kalsium20, masing-masing ion bekerja secara antagonis satu sama lain, ion magnesium yang tinggi akan menghambat pelepasan asetilkolin sedangkan ion kalsium yang tinggi akan meningkatkan pelepasan asetilkolin dari presinaptic nerve terminal. Diketahui juga bahwa ion magnesium memiliki efek inhibisi pada postjunctional potential dan mengakibatkan turunnya eksitabilitas membran pada serat-serat otot.20 Namun, sampai saat ini secara langsung belum
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
diketahui efek pretreatment magnesium sulfat terhadap kenaikan tekanan intraokuler karena pemberian suksinilkolin. METODE Penelitian ini dilaksananakan dalam ruang lingkup anestologi, penelitian ini memerlukan waktu sekitar 10 minggu dan dimulai sejak usulan ini disetujui. Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II dan dirancang sebagai uji klinis acak ganda (double blind randomized controlled trial) yang membandingkan 2 kelompok penelitian, yaitu kelompok magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II). Penelitian dengan rancangan pre-test post-test group design. Sampel kami adalah Penderita yang menjalani operasi elektif di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi Semarang serta memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi : 1. Pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum 2. Jenis kelamin laki - laki dan perempuan 3. Usia 16-40 4. Status fisik ASA I-II 5. Pasien setuju diikutsertakan dalam penelitian Kriteria eksklusi : 1. Kelainan metabolisme (hiperparatiroid, hipoparatiroid, diabetes melitus) 2. Hipertensi 3. Kelainan otot 4. Menderita glaukoma
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
5. Menderita trauma mata 6. Kelainan ginjal 7. Terdapat kontra indikasi terhadap obat-obat yang dipakai dalam penelitian Alokasi penderita untuk kedua kelompok penelitian dilakukan secara random sederhana dengan consecutive sampling (quota sampling). Membuat daftar urutan perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak 54 pasien dengan menggunakan daftar bilangan acak, nomer ganjil untuk perlakuan dan genap untuk kontrol. Penelitian ini menggunakan metode double blinding. Penderita dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan kebutuhan cairan selama puasa dipenuhi dengan pemberian infus ringer laktat sejak puasa. Di ruang perawatan penderita tidak mendapatkan premedikasi, setelah sampai di ruang operasi dilakukan pemasangan monitor kemudian diukur tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata (TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data dasar pada penelitian ini. Salah satu mata pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1 menit dan diukur tekanan intraokulernya dengan tonometri dibantu oleh seorang dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang telah ditunjuk. Penderita mendapat pretreatment masingmasing sesuai kelompok yang telah ditentukan secara acak sebelumnya. Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40 mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml, diberikan dalam waktu l0-13 menit sebelum induksi, kemudian diberikan NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.
93
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam 10 menit, 13 menit sebelum induksi, kemudian diberikan atracurium 0,05 mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi. Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II dilakukan induksi dengan propofol 1% secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB) dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah reflek bulu mata hilang, diikuti pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB intravena dalam l0 detik. Dua menit kemudian peneliti pembantu mengukur kembali tekanan introkuler dengan alat tonometri yang telah disiapkan, kemudian dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit setelah intubasi, tekanan infaokuler diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat siap dilakukan pengukuran tekanan intraokuler. Analgetik digunakan tramadol 2 mg/kgBB intravena dan sebagai rumatan anestesi digunakan isofluran, O2 : N2O (50%:50%) dan trakrium hingga selesai. Data yang terkumpul akan dilakukan editing, coding dan dimasukkan ke dalam file kemudian dilakukan cleaning. Setelah itu dilakukan analisis statistik sebagai berikut: 1. Dilakukan analisis deskriptif dengan menghitung nilai mean±SD untuk nilai tekanan intraokuler (bila distribusi normal). Namun, bila distribusi tidak normal akan dihitung mediannya. Hasil disusun dalam bentuk tabel. 2. Analisis bivariate akan menguji komparabilitas karateristik (umur, jenis kelamin, kelainan metabolik, dll) menurut kelompok perlakuansesuai dengan skala pengukuran variabel.
94
3. Analisis statistik selanjutnya akan menguji perbedaan tekanan intraokuler sebelum dan sesudah pemberian suksinilkolin, pada kelompok magnesium dan atracurium dengan menggunakan Paired t-test (bila distribusi normal) atau Wilcoxon Rank Sum test (bila distribusi tidak normal). 4. Kemudian akan diuji perbedaan perubahan tekanan intraokuler antara kelompok I, II dengan menggunakan independent t-test (bila disribusi normal) atau menggunakan MannWhitney U test (bila disribusi tidak normal). HASIL Subyek penelitian ini adalah penderita yang menjalani operasi atau tindakan bedah elektif dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Jumlah subyek penelitian 54 orang, yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok magnesium dan kelompok atrakurium, dengan masing-masing 27 orang tiap kelompok. Subyek penelitian ini terdiri dari 26 lakilaki dan 28 perempuan. Pada kelompok magnesium, subyek perempuan lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 48% lakilaki dan 52% perempuan 52%. Sedangkan pada kelompok atracurium terdiri dari 48% laki-laki dan 52% perempuan. Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur dan rerata Body Mass Indeks (BMI) kelompok magnesium dan kelompok
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
atrakurium tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Untuk variabel tekanan darah sistolik, diastolik dan TAR antara kelompok magnesium dan atracurium tidak ada perbedaan yang bermakna. Sedangkan tekanan irtraokuler antara kelompok magnesium dan atracurium sebelum perlakuan juga tidak pada perbedaan
No. 1. 2.
3.
Variabel Umur (tahun) Jenis kelamin (%) - Laki-laki - Perempuan BMI
yang bermakna. Dengan demikian, kedua kelompok ini layak untuk dibandingkan. Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi, tekanan darah sistolik & diastolik, TAR dan jantung tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok magnesium dan (p>0,05). Sedangkan tekanan intraokuler antara kelompok magnesium dan atracurium terdapat perbedaan bermakna (p>0,05)
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol (Magnesium) (Atracurium) (n=27) (n=27) 32,33±9,60 33,41±6,91
48,1 51,9 21,96±2,39
48,1 51,9 21,81±2,04
Uji statistik
P
Uji-t
0,639
Mann-Whitney
1
Uji-t
0,808
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol No. Variabel Uji statistik P (Magnesium) (Atracurium) (n=27) (n=27) 1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884 2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730 3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515 4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953 5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t test 0,685 Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan Intraokuler Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol Uji No. Variabel P (Magnesium) (Atracurium) Statistik (n=27) (n=27) 1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884 2. TDD 69,85±13,03 65,70±12,04 Indepen t test 0,230 3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515 4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953 5. TIO 12,88±0,95 12,41±1,00 Indepen t test 0,085
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
95
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan Intraokuler Setelah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol Uji No. Variabel p (Magnesium) (Atracurium) Statistik (n=27) (n=27) 1. TDS 127,70±14,49 134,22±19,49 Indepen t test 0,169 2. TDD 78,19±11,26 82,37±14,26 Indepen t test 0,237 3. TAR 95,11±12,60 100,15±15,86 Indepen t test 0,202 4. LJ 91,85±3,63 94,48±11,87 Indepen t test 0,356 Mann-Whitney 5. TIO 16,21±1,46 17,16±1,45 0,024 test Tabel 5. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium TIO Setelah TIO Sebelum No. Variabel Pemberian Uji Statistik P Anestesi Suksinilkolin 1. Magnesium 15,14±1,39 12,88±0,95 Pair t test 0,000 2. Atracurium 14,19±1,43 12,41±1,00 Pair t test 0,000
Tabel 6. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Sesudah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium TIO Sebelum TIO Setelah No. Variabel Uji Statistik P Anestesi Intubasi 1. Magnesium 15,14±1,39 16,21±1,46 Pair t test 0,000 2. Atracurium 14,19±1,43 17,16±1,45 Pair t test 0,000
Dari tabel 3 kita ketahui bahwa setelah diberikan suksinilkolin tekanan darah diastolik, TAR, laju jantung, dan tekanan intaokuler tidak tedapat perbedaan bermakna antara kelompok magnesium dan atracurium (p>0,05). Dari tabel 5 kita lihat bahwa pada kelompok magnesium, tekanan intraokuler dan setelah pemberian suksinilkolin mengalami penurunan yang bermakna. Demikian juga pada kelompok atracurium, tekanan intraokuler setelah suksinilkolin bila dibandingkan dengan nilai tekanan intraokuler sebelum mengalami penurunan secara bermakna (p < 0,05). Tekanan intraokuler (tabel 2), tidak terdapat perbedaan yang bermakna
96
(p> 0,05) antara kelompok magnesium dan atrakurium, sehingga kedua kelompok. Dari tabel 6 kita lihat bahwa, pada kelompok magnesium, tekanan intraokuler sebelum dan setelah intubasi, mengalami kenaikan yang bermakna (p< 0,05). Demikian juga pada kelompok atrakurium, tekanan intraokuler settelah intubasi bila dibandingan dengan nilai tekanan intraokuler sebelum anestesi mengalami kenaikan secara bermakna (p<0,05). PEMBAHASAN Untuk karakteristik subyek kedua kelompok penelitian, yaitu jenis kelamin, umur, dan Body Mass Index (BMI), setelah diuji beda tidak terdapat
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (Tabel 1). Sehingga kelompok magnesium dan atrakurium ini layak untuk dibandingkan. Demikian juga, setelah dilakukan analisis statistik variabel tekanan darah sistolik dan diastolik tekanan arteri ratarata, laju jantung dan tekanan sebanding sebelum diberikan perlakuan. Pada tabel 3 nilai tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok magnesium dan atrakurium tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Berarti bahwa pretreatment dengan magnesium sulfat dapat mencegah kenaikan tekanan intraokuler karena suksinilkolin sebaik pretreatment dengan atrakurium. Hal ini sesuai dengan pendapat Rushman, dkk bahwa prekurarisasi tiga menit sebelum induksi anestesi dengan pelumpuh otot non depolarisasi termasuk atracurium, vecuronium dan pelumpuh otot yang lain akan mencegah kenaikan tekanan intraokuler karena efek samping suksinilkolin. Demikian juga penelitian yang dilakukan SK Raman dan kawan-kawan, mendapatkn bahwa precurarisasi dengan atracurium 0,05 mg/kgBB, tiga menit sebelum pemberian suksinilkolin dapat mencegah kejadian fasikulasi sampai kurang lebih 60% yang akan mencegah kenaikan tekanan intraokuler karena suksinilkolin. Sedangkan Libonati dan kawan-kawan menggunakan pretreatment pelumpuh otot non depolarisasi untuk mengontrol kenaikan tekanan intraokuler
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
saat Rapid-squence induction dengan suksinilkolin pada pasien dengan trauma mata tembus.21 Sakuraba dkk (2006) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pretreatment dengan magnesium sulfat 40 mg/kgBB, 1,5 menit sebelum pemberian subsinikolin lebih efektif untuk menekan kejadian fasikulasi karena suksinilkolin, dibandingkan dengan prekurarisasi vecuronium 0,02 mg/kg BB, 3 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Kejadian fasikulasi inilah yang akan menaikkan tekanan intraokuler, akibat kontraksi otot-otot ekstraokuler. Sehingga pretreatment dengan magnesium sulfat sebelum pemberian suksinilkolin diharapkan mampu mencegah kenaikan tekanan intraokuler lebih baik. Pada tabel 4 kita lihat bahwa setelah intubasi tekanan darah sistolik, diastolik tekanan arteri rerata dan laju jantung antara kelompok magnesium dan atrakurium tidak ada perbedaan bermakna. Tetapi tekanan intraokuler antara kelompok magnesium dan atrakurium ada perbedaan bermakna dimana pada kelompok atrakurium tekanan intraokuler lebih tinggi. Hal ini kemungkinan karena pretreatment dengan magnesium sebelum intubasi bisa mengurangi gejolak intubasi karena bisa menekan kenaikan kadar kortisol saat intubasi. Sedangkan pretreatment dengan atrakurium sebelum pemberian suksinilkolin akan memperlambat onset
97
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dan mengurangi kualitas relaksasi saat intubasi.22 Pada tabel 5 tekanan intraokuler pada kelompok magnesium dan atrakurium setelah pemberian suksinilkolin tidak mengalami peningkatan. Pemberian suksinilkolin seharusnya meningkatkan tekanan intraokuler sebesar 10-20 mm/Hg. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada pasien dalam penelitian ini, karena pemberian pretreatment obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti atrakurium yang bekerja pada reseptor nikotinik kolinergik prejunctional dapat mencegah terjadinya fasikulasi karena suksinilkolin tanpa mernpengaruhi kerja antagonis suksinilkolin pada reseptor kolinergik post sinap.22 Fasikulasi inilah yang akan menyebabkan kenaikan tekanan 12,13 intraokuler. Demikian pretreatment dengan magnesium akan mencegah terjadinya kenaikan tekanan intra okuler karena suksinilkolin, karena ion magnesium yang bekerja secara kompetitif dengan ion kalsium untuk menduduki prejunctional site, akan memblok pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma sehingga menyebabkan penutupan kanal kalsium.20 Hal ini akan menghalangi aksi agonis dari suksinilkolin pada reseptor nikotinik prejunctional pada neuromuscular junction, sehingga akan mencegah timbulnya fasikulasi.11,22 Pada tabel 5 ini juga kita lihat bahwa, tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin justru mengalami penurunan. Penurunan nilai tekanan intra
98
okuler ini secara statistik bermakna karena nilai p<0,05. Hal ini kemungkinan disebabkan karena, peningkatan tekanan intraokuler bisa dicegah dengan pemberian pretreatment magnesium sulfat atau atrakurium, sedangkan pemberian propofol sebelum suksinilkolin menyebabkan penurunan tekanan intraokuler. Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot ekstraokuler, memperbaiki aliran humor aqueous menyebabkan penurunan tekanan darah, sehingga menyebabkan penurunan tekanan intraoluler.10,12 Pada tabel 8, tekanan intraokuler setelah intubasi mengalami kenaikan bermakna dibandingkan dengan sebelum anestesi, pada kelompok magnesium maupun pada kelompok atracurium. Hal ini karena intubasi akan menyebabkan kenaikan tekanan intra okuler lewat peningkatan penganuh saraf simpatis. Sedangkan pretreatment dengan magnesium tidak sepenuhnya mampu menekan gejolak intubasi.10,12,21 SIMPULAN Tidak ada kenaikan tekanan intraokuler, sebelum perlakuan dan setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok magnesium dan atrakurium. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai tekanan intaokuler kelompok magnesium dan kelompok atracurium, setelah pemberian suksinilkolin. Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai alternatif pretreatment untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian suksinilkolin. Pretreatment dengan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
magnesium dan atrakurium masih belum mampu sepenuhnya mencegah peningkatan tekanan intraokuler setelah intubasi sehingga diperlukan penambahan obat-obat lain.
9.
10.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
Rusman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lee's synopsis of anaesthesia. 12th ed.Oxford: Butterworth Co; 1999, l7-99 Cartwright DP. Suxamethonium. In: Daycase anaesthesia. Br J Anaesth 1998; 71(6):200-28. Aliktrani S, Roberts JT. Airway evaluation and management. ln: Hurford WE,Bailin MT, Davison JK, Haspel KL, Rosow C (eds). Clinical anesthesiaprocedures of the th Massachusetts General Hospital. 5 ed. Philadelphia :Lippincoff-Raven; I 998, 20+22. Stacey MRW, Barclay K Asai T, Vauglran RS. Effects of magnesium sulphate onsuxametonium-induced complications during squence induction of anaesthesiaAnaesthesi a 1999; 50: 933-6. Durant NN ,KatzRL. Suxamethonium. Br J Anaesth 1992; 54: 195-205. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller RD. Pharmacology of muscle relanantsand their antagonists. In: Miller RD (ed). Anesthesia 56 ed. Philadelphia :Churchill Livingstone ; 2000, 412-90. Stoelting RK. Neuromuscular bloking drugs. In: Pharmacology and physiolory innesthetic practice. 3rd. Philadelphia : Lippincott-Raven; 1999, 126-39. Sakuraba S, Serita R, Kosugi S, at al. Pretreatrnent with m sulphate is associatedwith less succinylcholine- induced fasciculation and subsequent trachealintubation-induced hemodynamic changes than precurarization with vecuroniumduring rapid sequence induction. 2006. Available from :http://cat.inist.frl?aModelraffi cheN&cpsidp 18187504.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
11. 12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Mcloughlin C, Elliot P, McCarthy G, Mirakhur RK. Muscle pains andbiochemical changes following suxamethonium adminisnation after sixpreteafrnent regimens, Anaesthesi; 1997: 202-6. Laurence AS. Myalgia and biochemical changes following intermitentsuxamethonium administration. Anaesthesi a 1997 ;42: 50310. Cannon JE. Precuraritation. Can J Anaesth 1994;41: 177-83. Morgan GE, Mikhail MS.Anesthesia for Ophtalmic Surgery In : Clinicalanesthesiol 2nd. ed. New York : Mc Graw Hill ; 2000 , 397 -8. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nosq and throat surgery.In : Miller RD ( editor). Anesthesia. 5thed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000, 2176-8. Miller RD. Obat pelemas otot. Dalam Karzung BG (editor). Farmakologi dasardan klinik. Terjemahan AnwarAgoes. Jakarta: EGC; 1998,423-34. Fenes CJ, Mirakhur RK, Craig FIJL, Browne ES, Clarke RSJ. Meatment withvecuronium as a prophylactis against postsuxarnethonium muscle pain. Br JAnaesth 1993; 55: 735-41. Bennetts FE, Khalil KI. Reduction of postsuxamethonium pain by pretreatmentwith four nondepolarizing agents. Br J anaesth 1987;53: 53-16 McCoy EP, Connoly FM, Mirakhur RK, Loan PB, Paxton LD. Nondepolarizing neuromuscular blocking drugs and train offour trade. Can J Anaesth l997 42:213-6. Pace NL. Prevention of succinylcholine myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg990;70: 477-83. Dube L, Granry JC. The therapeutic use of magnesium in anesthesiology,intensive care and emergency medicine : a review. Neuroanesthesia and IntensiveCare. Canadian Journal of Anesthesia 2003; 50:73246. Coetzeein. EI, Dommisse J, Anthony J. A randomized controller fiial of intra venous magnesium sulphate venus placebo the management of women with severe pre-
99
Jurnal Anestesiologi Indonesia
eclampsia. Br J Obstet Gynaecol 198; 105: 300-3. 21. Libonati MM, Leahy JJ, Ellison N. The use of succinylcholine in open eyesurgery. Anesthesiology 1995; 62: 63-40. 22. Bennetts FE, Khalil LI. Reduction of post suxamethonium pain by pretreahtentwith four nondepolarizing agents. Br J Anaesth 1997;53: 531
100
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Pemantauan Tekanan Intra Kranial Igun Winarno*, Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Treatment of patients with increased intra-cranial pressure in the pressure began with monitor with invasive and non invasive way before the management of surgical and non surgical. It was instrumental in the field of management of anesthesia for intra-cranial pressure lowering to keeping the airway, keeping the emotional stability of patients with sedation drugs and anelgetik, the use of drugs and inhalation agents that do not affect intra-cranial pressure and cope with the effects that arise later. ABSTRAK Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik, penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian. PENDAHULUAN Ruang di dalam kepala dibatasi oleh struktur yang kaku, semua kompartemen intra kranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini dikarenakan volume intra kranial yang konstan (Hukum Monro-Kellie). Oleh karena itu bila terdapat kelainan pada salah satu isi yang mempengaruhi peningkatan volume didalamnya akan terjadi peningkatan tekanan intra kranial setelah batas kompensasi (compliance) terlewati. Tekanan intra kranial normal berkisar pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai hipertensi intra kranial. Efek peningkatan tekanan intra kranial sangatlah kompleks, oleh karena itu perlu Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
penanganan segera agar penderita tidak jatuh dalam keadaan yang lebih buruk. Tiga puluh enam persen penderita dengan cedera otak yang disertai koma, datang dalam keadaan hipoksia dan gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik. Pengertian tentang tekanan intra kranial bagi seorang ahli anestesi sangat penting untuk mendasari terapi kelainan yang terjadi. Ruang intra kranial merupakan struktur yang kaku dengan total volume yang tetap, meliputi otak (80%), darah (12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan kanalis vertebralis membentuk perlindungan yang kuat terhadap otak, medulla spinalis, cairan serebrospinal (LCS), dan darah. Semua kompartemen intra kranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini dikarenakan volume intra kranial adalah sangat konstan (Hukum Monro-Kellie).1-5,9,l0,12
101
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Penambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memiliki kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (ICP/TIK).2,3,4 Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial bila gagal dalam mempertahankannya dapat menyebabkan terjadinya herniasi. Meskipun batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka pemantauan dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya : peningkatan volume jaringan didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan penambahan efek massa. 13,5,9
Disamping pengetahuan tentang tekanan intra kranial, pemahaman tentang bagaimana cara mengatasinyapun sangat perlu untuk diketahui. Oleh karena itu pada tulisan ini akan membahas tentang pengukuran tekanan intra kranial, efek peningkatan dan pengelolaannya, serta kepentingannya dalam anestesi.
102
TEKANAN INTRA KRANIAL Anatomi dan fisiologi Cerebral Orang dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan serebrospinal (CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat, kira-kira 150 mL ada di dalam ruang intra kranial. Ruang intradural terdiri dari ruang intraspinal ditambah ruang intra kranial. Total volume ruang ini pada orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang belakang tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang intradural dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural tulang belakang . Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan volume selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intra kranial yang harus diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain. Konsep ini dikenal dengan fisiologi otak dari doktrin MonroKellie.1-10 Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan 3 intrakranial (ICP/TIK). V CSF + V darah+ Votak = V konstan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar : Skema jalan terjadinya herniasi : (1) subfalcine (2) transtentorial (3) cerebral (4) transcalvarial (dari Fisman RA : Brain Edema. N Engl Neo 293: 706-7111)
Jadi dengan peningkatan patologis pada satu komponen, sedikitnya salah satu dari yang lain harus turun untuk menjaga volume konstan. Jika komponen yang mengakomodasi penurunan volume sama dengan volume yang ditambah, maka tekanan tidak berubah Yang paling efektif dan yang merupakan kompensasi awal adalah perpindahan CSF dari ruang kranial ke dalam ruang spinal (terjadi kompresi vena epidural), diikuti oleh reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses kompensasi ini tidak cepat). Saat ICP naik, tingkat produksi CSF mulai menurun,sehingga ikut membantu kompensasi. Kompensasi utama kedua adalah perpindahan volume darah intra kranial ke sinus-sinus vena. Kompensasi terakhir, otak itu sendiri dapat dikompresi untuk mengkompensasi peningkatan volume. Hal ini ditunjukkan pada kasus hidrosefalus akut, di mana otak dikompresi oleh CSF yang menyebabkan pembesaran ventrikel, atau pada kasus hematoma epidural akut, ketika otak secara akut dikompresi dan terdistorsi oleh massa hematoma. 1,3,9 Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap normal untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap normal untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai hipertensi intra kranial.4 Tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral (CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai selisih selisih antara rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intra kranial (ICP/TIK). 4,6,9,10,12 CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai ketika cranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. 2,3,5 Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, tekanan perfusi pada medulla spinalis dapat dihitung dengan selisih antara MAP dan tekanan LCS. Meskipun sebagian besar pasien cedera medulla spinalis menunjukkan gambaran lesi komplit, gangguan anatomi jarang ditemukan, dan menjaga perfusi tetap adekuat adalah penting untuk mempertahankan fungsi medulla spinalis pada daerah proksimal dari tempat cederanya.9 Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intra kranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intra kranial. 1,2,5,6,9 Pendapat komplians
lain intra
dikatakan bahwa kranial ditentukan
103
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dengan pengukuran perubahan TIK terhadap respon perubahan volume intra kranial. Normalnya, peningkatan volume pada awalnya terkompensasi baik. Setelah batas optimal tercapai, maka peningkatan yang berlanjut akan menyebabkan peningkatan TIK.
Mekanisme kompensasi mayor yaitu (1) perpindahan awal CSS dari kranial ke kompartemen spinal, (2) peningkatan absorpsi CSS, (3) penurunan produksi CSS, (4) penurunan volume darah serebral total (terutama vena).2
Gambar : hubungan tekanan intrakranial dan volume6
Gambar : Patofisiologi dari tekanan intra kranial Gambar ini menunjukkan bagaimana cara peningkatan volume dari beberapa atau kempat bagian didalam kepala-darah, cairan cerebro spinal, cairan (interstitial atau intracellular) dan sel-akan menigkatkan tekanan intra kranial dan kerusakan saraf. Tanda * ini potensial dibawah control ahli anestesi 6
Gambaran Klinis Kenaikan Tekanan Intra Kranial Kenaikan tekanan intra kranial sering memberikan gejala klinis yang dapat dilihat seperti :1,6 a. Nyeri Kepala Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anakanak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow
104
dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intra kranial. Juga lonjakan tekanan intra kranial sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian belakang dan leher. b. Muntah Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu. c. Kejang Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari himisfer, batang otak dan difossa posterior. d. Papil edema Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intra kranial. Karena tekanan tinggi intra kranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan kawan-kawan, mengemukakan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
bahwa papil edem ditemukan pada 80% anak dengan tumor otak. e. Gejala lain yang ditemukan: False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi tumor. Pengukuran Tekanan Intra Kranial Walaupun tidak ada data dari percobaan random, secara umum telah diterima bahwa pemantauan dan pengobatan agresif pada peningkatan TIK dapat meminimalis iskemik sekunder dan meningkatkan outcome. Sehingga, penggunaan peralatan intra kranial untuk pengukuran TIK secara kontinyu menjadi praktek standar dalam merawat pasien neurologi yang mempunyai masalah dengan peningkatan TIK. Peralatan ini meliputi kateter intraventrikuler, subarachnoid bolt, epidural systems dan peralatan fiberoptic intraparenchymal. Kateter ventrikulostomi umumnya dijadikan gold standard untuk pemantauan ICP. Kateter jenis ini mempunyai kelebihan tambahan yaitu dapat menjadi drainage CSF untuk menurunkan ICP.2,9
105
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar : Metode pemantauan TIK
Bagaimanapun juga, penggunaan kateter fiberoptik intraparenkim dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi bila dibandingkan alat lainnya. Monitor subarachnoid sebaiknya ditempatkan pada sisi yang sama dengan sisi lesi untuk menghindari ketidakakuratan karena ada perbedaan tekanan antara dua himisfer. Perekaman dan penampilan gelombang tekanan tranduced ICP secara komputerisasi dengan penggunaan monitor bedside pasien yang paling multimodal saat ini menjadi standar : gelombang tekanan „real-time‟ dan analisis beberapa trend tekanan dapat ditampilkan dan dibandingkan dengan tanda monitor lainnya seperti tekanan darah sistemik atau central venous pressure (CVP). 2 Pada umumnya, pemantauan TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma dengan cedera kepala , dan pada pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT-Scan abnormal. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pertimbangan dibutuhkannya pemantauan TIK pada pasien cedera kepala sedang yang membutuhkan perpanjangan prosedur operasi di bawah
106
pengaruh general anestesi. Sebagai tambahan, beberapa senter melakukan pemantauan TIK post-operasi secara rutin mengikuti prosedur major neurosurgical. Satu-satunya kontraindikasi pemantauan TIK adalah adanya koagulopati yang tidak terkoreksi.2 Terlepas dari alat pemantauan ICP, terkait dengan jumlah alat maka pemeriksaan neurologis jangan pernah digantikan, bahkan ketika pemeriksaan tersebut terbatas akibat sesuatu misalnya koma atau sedasi.9 Ventrikulostomi Kateter intraventrikel yang selain digunakan untuk pemantauan ICP juga berfungsi untuk terapi drainase CSF. Kateter intraventrikel merupakan metode standar emas pemantauan ICP. Digunakan pertama kali tahun 1960. Sebuah kateter plastic dimasukkan ke ventrikel lateral dan dihubungkan dengan tranduser eksternal. Kateter intraventrikel mengukur ICP dan juga sebagai terapi drainase CSF. Hal ini direkomendasikan sebagai monitor awal, setelah terjadi trauma pada pasien untuk mengantisipasi peningkatan ICP. Pada kondisi trauma, ukuran ventrikel sering mengecil
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
berbanding terbalik degan peningkatan ICP, menyebabkan insersi kateter ventrikel secara blind lebih sulit. Bila ventrikel tidak dapat dikanulasi pada
usaha yang ketiga maka tehnik alternative pemantauan ICP harus dicoba untuk menguangi terjadinya komplikasi terkait percobaan pemasangan berulang.9
Gambar : Teknik insersi ventriculostomi (A) trepination (B) durotomy (C) Pemasangan kanul Ventricular (D) Terowongan subcutaneous kateter
Gambar : Pendekatan pungsi ventricular
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
107
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar : Cara baut Richmond
Kebanyakan ahli bedah saraf merekomendasikan tempat insersi melalui pendekatan frontal, parasagital pada titik Kocher (2-3 cm lateral dari midline dan di anterior sutura koronal). Meskiun pendekatan yang lain masih ada, akan tetapi pedekatan frontal menawarkan hasil yang baik yaitu akses mudah pada kornu frontalis dari sistem ventrikel lateral, meminimalkan keterlibatan jaringan otak sebagai jalan masuk kateter, dan memfasilitasi perawatan ketika pasien terlentang di tempat tidur. Tapi familiaritas para ahli bedah terhadap pendekatan insersi merupakan hal terpenting. Potensi masalah akibat ventrikulostomi adalah sumbatan,salah meletakkan kateter ke dalam struktur yang menyebabkan kerusakan jaringan otak, hematoma intraserebral, perdarahan intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas akan tersumbatnya kateter ventrikel meningat bila kateter tersebut dibiarkan terbuka saat ventrikel dalam kondisi sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak dapat digunakan untuk memonitor ICP ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka yang saat itu berfungsi sebagai drain.
108
Pada kondisi trauma kami merekomendasikan satu sampai dua menit untuk mendrainase ketika ICP > 20 mmHg, kemudian kateter diklemp lagi bila sudah tidak digunakan sebagai drain. Hal ini memunkinkan CSF membentuk ventrikel serta dapat mengukur ICP. Baut Richmond Baut Richmond (subdural-subarakhnoid) biasanya terdiri atas sekrup berongga yang ujungnya melewati dura dan masuk 1-2 mm dibawah lapisan dalam tengkorak dan menempati/menempel pada arakhnoid yang menutupi permukaan otak. Jika baut terletak terlalu superficial, maak ada resiko salah posisi/longgar dan kehilangan tekanan. Tetapi bila terlalu dalam maka permukaan otak dapat penetrasi menuju kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup berongga dan menyumbat proses sistem. Keuntungan baut Richmond adalah kemudahan insersi dan penetrasi yang sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi dilain sisi, baut Richmond tidak bias digunakan untuk menurunkan ICP dengan cara drainase, dapat menyebabkan infeksi, perdarqahan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
epidural, dan kejang fokal. Selain itu dapat terjadi penumbatan pada tubingnya, sehingga rekaman yang diperoleh berkurang atau hilang. Memang salah satu kelemahan baut Richmond adalah mudahnya tersumbat oleh debris luka, darah dan atau dura.9 Monitor Tekanan Intra kranial Epidural Dua tipe monitor ICP epidural telah dikembangkan. Satu menggunakan sensivitas tekanan membran yang kontak dengan dura, sedang yang satu lagi menggunakan sensivitas perubahan tekanan udara yang merubah bentuk dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih rendah karenapenempatannya di ekstradura, akan tetapi ada beberapa kerugian termasuk kesulitan tehnik, perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah penempatan baut, dan ketidakmampuan untuk drainase CSF untuk terapi.9
yang biasanya menempatkan ujung distal dari sensor fiber optik 10 hingga 15 mm ke dalam parenkim otak. Alat fiber optik yang baru dikembangkan dapat mengukur perubahan jumlah cahaya yang dipantulkan sebuah tekanan sensitive diafragma yang berada di ujung alat, kemudian nilai tekanan ditampilkan oleh sebuah alat digital. Kabel keluaran dapat juga digunakan untuk mengirimkan data ke monitor ruang operasi atau unit rawat intensif diaman akan tampak gelombang ICP.
Monitor Tekanan Intra kranial Intraparenkim Alat intraparenkhym misalnya monitor ICP Camino ( Camino Laboratories, San Diego, California USA) menggunakan kateter yang dimasukkan kedalam substansia grissea sehinga dapat mengukur secara langsung tekanan jaringan otak.
Sebagai perbandingan terhadap ventrikulostomi, monitor Camino lebih mudah dimasukkan dan probe intraparenkim mempunyai ukuran diameter lebih kecil, sehingga kerusakan neulorogis jarang terjadi. Keuntungan alat ini adalah infeksi minimal dan kebocoran serta sumbatan kateter tidak terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan akibat salah posisi tranduser juga minimal. Kerugian utama alat ini adalah tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat ini dimasukkan, kemungkinan bergeser juga ada yang mengharuskan penggantian probe fiber optik dalam kondisi steril. Keterbatasan yang bermakna dari alat ini adalah tidak mampu digunakan sebagai terapi drainase CSF.
Sisi frontal kanan biasanya dipilih sebagai tempat insersi, dan karena insersi intraventrikuler (yang menggunakan titik Kocher) tidak diperlukan, maka sisi lateral frontal secara kosmetika dapat digunakan. Setelah dilakukan trepanasi, batangan berulir dimasukkan ke tengkorak sampai plastic batas berhenti, dimana ujungnya berada 1-2 mm dibawah lapisan dalam tengkorak. Setelah membuat sebuah lubang kecil di dura, sensor fiber optic dikalibrasi kemudian dimasukkan sampai tanda 5 cm sejajar dengan bagian atas batang,
Pada kondisi trauma, ketika ICP meningkat dan ventikel terdesak, hanya sebagian kecil jalan keluar CSF yang terlihat selama penempatan ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan monitor kedua misalnya Camino harus ditempatkan untuk memantau ICP. Ketika kateter itraventrikuler mulai mendrainase CSF yang bertumpuk dalam
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
109
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ventrikel, salah satu dari dua monitor tersebut dapat ditarik tergantng pada situasi klinis.9 Bentuk gelombang Tekanan Intra kranial Bentuk gelombang ICP yang normal adalah pulsatil dan sejalan dengan irama jantung. Tetapi nilai dasar akan naik turun sesuai dengan siklus pernapasan (seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang yang fisiologis). Fluktuasi normal gelombang ICP dikarakteristikan mempunyai tiga puncak tekanan. Yang pertama, merupaakn puncak paling tinggi (P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang ditransmisikan menuju parenkim otak dan CSF. Puncak yang kedua (P2) diterjemahkan sebagai gelombang tidal atau rebound dan komplien reflek intra kranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan disebut gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju otak. Pada kondisi komplien otak normal besarnya gelombang adalah kecil, sedangkan pada otak yang ketat, perubahan tekanan yang diikuti dengan perubahan volume adalah besar. Selain mempunyai karakter tiga puncak, gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus jantung, perubahan tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi akan mengubah komplien intra kranial. Lebih lanjut lagi, perubahan dasar terkait ventilasi adalah sebagai berikut: pada napas spontan, inhalasi menurunkan tekanan intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan ICP). Dimana ekshalasi menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga ICP meningkat. Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan positif. Bila ICP meningkat dan komplien serebral menurun (dengan berbagai penyebab), komponen vena
110
menghilang dan pulsasi arteri menjadi lebih jelas. Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil pemantauan ICP secara langsung dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia menyebutkan patofisiologi dan tanda klinis yang bermakna dari tiga gelomang patologis ICP yang ditandai dengan gelombang A, gelombang B, dan gelombang C. Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu dicirikan dengan elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai 20 menit diikuti penurunan mendadak ke level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul gelombang A. Gelombang A ini akan muncul lagi dengan meningkatkan frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada peningkatan simultan dari tekanan arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang mungkin dihasilkan dari sebuah kelelahan kapasitas buffering dan komplien intrakranial. Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan dengan peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2 menit. Gelombang ini bervariasi sesuai tipe periode napas dan lebih sering terlihat pada kondisi peningkatan ICP dan penurunan komplien intrakranial. Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak semuanya konsisten dan mewakili temuan kualitatif selama peningkatan ICP. Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-Hering yang ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi empat sampai delapan kali per menit. Gelombang ini
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
mungkin saja mewakili status preterminal dan kadang terlihat pada puncak gelombang plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat sugesti tapi bukan patognominis akan peningkatan ICP. Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan yang berhasil akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis Lundberg (A, B, C) jarang terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada pasien yang telah diintervensi terapeutik, maka mereka diramalkan mempunyai outcome yang buruk. Metode non invasif Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan TIK, Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap tanda peningkatan TIK. Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound time of fligh” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
digunakan untuk mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus. Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada fraktur. MANAJEMEN PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL Hipertensi intra kranial adalah besarnya TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur lain hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg dan menetap lebih dari 20 menit. Peningkatan progresif dari batas ini atau TIK yang terus menerus >20 mmHg, disarankan untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan. Peningkatan progresif dari TIK dapat mengindikasikan memburuknya hemoragik/hematoma, edema, hidrosefalus, atau kombinasinya dan merupakan indikasi diakukannya pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus menerus TIK akan memperparah resiko terjadinya cedera sekunder (komplikasi) berupa iskemik dan/atau herniasi.2
111
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Penanganan Konvensional Peningkatan TIK 2 P
Penanganan konvensional 1. 2. 3. 4.
P
P
Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena Peningkatan MAP (jika perlu) Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika perlu). Pertahankan z Osmolalitas serum <320. 5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan. 6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan. 7. Pemberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol 8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan 9. Mempertahankan normovolemia. Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional) 1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C 2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate 3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2) 4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium 5. Serum Penanganan ekstrim 1. Kraniektomi dekompresi 2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi
Penurunan Volume Darah Serebral Elevasi Kepala Elevasi kepala pada tempat tidur dengan membentuk sudut 20−30° menurunkan ICP dengan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return). Akan tetapi, pada pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan dari CPP. Jika keadaan normovolemi dipertahankan, elevasi sampai 30° telah terbukti menurunkan TIK tanpa mempengaruhi CPP atau CBF pada pasien cedera kepala.2 Perawatan seharusnya dilakukan untuk mencegah obstruksi pada venous return serebral dengan cervical collars atau memasang endotrakeal tube (ET) dan menjaga kepala tetap berada pada posisi netral. Pada pasien dengan autoregulasi serebralnya terjaga (stabil), peningkatan MAP akan menyebabkan vasokonstriksi kompensatorik dengan disertai penurunan ICP. Hal ini dapat dicapai dengan mempertahankan kondisi normovolemia dan infus phenylephrine 1-10 g/kg/menit, atau norepineprine 0,050,22 g/kg/menit.2
112
Hiperventilasi Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF terhadap PaCO2, hiperventilasi dapat menurunkan CBF dan disertai penurunan volume darah serebral (CBV), menyebabkan penurunan mendadak (akut) dari TIK. Meskipun penurunan mendadak TIK dan perbaikan CPP secara teoritis diharapkan, dan hiperventilasi telah dipakai sejak dahulu sebagai modalitas terapi, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini kekhawatiran akan terjadinya iskemik serebral telah berkurang dengan penggunaan metode ini. Penelitian tentang CBF telah menunjukkan bahwa meskipun “hiperventilasi sedang” dapat meningkat pada regio otak dengan CBF dibawah ambang batas iskemik. Penurunan konsentrasi oksigen vena jugularis (SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali dibuktikan pada penelitian terhadap pasien dengan cedera kepala. Terlebih lagi, satu-satunya penelitian kontrol random tentang
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
modalitas terapi, hiperventilasi profilatik telah ditunjukkan berkaitan dengan efek merugikan yang ada. Maka Brain Trauma Foundation Guidelines menyatakan bahwa hiperventilasi seharusnya tidak dipakai sebagai managemen pada pasien dengan cedera kepala, kecuali jika terdapat monitor yang mampu mendeteksi adanya iskemik serebral tersedia (CBF, SjvO2 or PbrO2). Sebagai tambahan, karena normalisasi pH dari cairan serebrospinal, efikasi dari hiperventilasi pada CBF, CBV, dan TIK mengalami penurunan setelah 24 jam. Akan tetapi, selain penelitian ini, pendapat tentang hiperventilasi masih kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan penurunan CBF, menyebabkan CBF berada pada batas atau di bawah anbang batas iskemik, bukti pasti tentang iskemik masih kurang. Dengan memakai positron emission tomography, Diringer et al. tidak dapat mendemonstrasikan adanya penurunan metabolisme serebral atau perubahan pada rasio piruvat-laktat dengan hiperventilasi akut, menyatakan bahwa rendahnya kadar metabolism basal (basal metabolic rate) pada pasien cedera kepala secara bertentangan melindungi pasien ini dari rendahnya CBF. Maka selama kita menunggu bukti yang pasti dari hiperventilasi, PaCO2 dipertahankan pada 35-40 mmHg. Pada situasi akut dimana terdapat ancaman atau terjadinya herniasi otak, hiperventilasi PaCO2 dipertahankan pada kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal ini seharusnya dilihat sebagai penanganan sementara sambil menunggu penanganan definitif. Untuk maintenance, PaCO2 harus dijaga pada 30-35 mmHg. CT Xenon dan SPECT (single-proton emission computed tomography) dapat berguna untuk
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
mengukur respon hiperventilasi.2
CBF
terhadap
Mempertahankan Tekanan Darah Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan compliance intra kranial, penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasodilatasi kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini akan semakin menurunkan CPP, dengan efek “spiraling downhill” dan penurunan progresif perfusi serebral. Hal sebaliknya, pasien dengan autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan peningkatan TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk mendapat gambaran tentang respon TIK.2 Reduksi Massa pada Otak Karena adaya sawar darah otak (bloodbrain barrier), yang relatif impermiabel terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan masuk sel otak terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik osmotik yang efektif dipakai untuk mengatasi peningkatan TIK adalah manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja dengan onset yang cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan berakhir setelah 90 menit. Sedangkan diuretik „loop‟ yaitu furosemide akan meningkatkan kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK dan sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol terhadap hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi vaskuler sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang dapat disertai hipertensi sistemik. Pasien dengan fungsi jantung yang jelek dapat terjadi edema pulmo akut pada pemberian infus manitol. Dengan onset
113
Jurnal Anestesiologi Indonesia
diuresis, penyusutan volume intravaskuler yang terjadi akan meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak adekuat. Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal ginjal. Selama pemberian terapi manitol, elektrolit, dan osmolalitas cairan harus diawasi secara berkala, osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 320 mOsm. Meskipun mekanisme utama dari mannitol berdasarkan gradien osmotik, hal ini juga menyebabkan refleks vasokonstriksi dan menurunkan produksi LCS. Pasien yang tidak bisa ditangani dengan manitol sering memberi respon terhadap pemberian infus salin hipertonik (3% atau 7,5%). Meskipun beberapa penelitian membuktikan efikasi infus salin hipertonik, tetapi belum ada penelitian randomized tentang penggunaan salin hipertonik dan adanya komplikasi hipertensi intra kranial “rebound” (munculnya hipertensi intra kranial setelah efek terapi ini habis). 2 Pada pasien edema vasogenik yang sering terjadi pada pasien dengan tumor, efektif jika diberikan steroid dan dexamethasone 10 mg yang diberikan setiap 6 jam. Secara umum pemberian steroid merupakan kontraindikasi pada pasien dengan cedera kepala dan tidak efektif pada pasien dengan perdarahan subaraknoid atau stroke iskemik. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, pemberian methylprednisolon dosis tinggi telah terbukti memperbaiki fungsinya jika diberikan dalam 8 jam. Pada beberapa pusat, dikatakan bahwa dalam 3 jam, pasien ini diberikan methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24 jam dan selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam (NACIS III). Meskipun kemajuan yang terjadi sedikit dan beberapa keraguan apakah keuntungannya lebih besar
114
daripada resiko pneumonia dan infeksi. Akan tetapi, gambaran efikasi pemberian steroid pada cedera medulla spinalis, pemakaian methylprednisolon dosis tinggi pada cedera kepala harus diteliti lebih lanjut dan dilakukan penelitian randomized yang melibatkan 20.000 pasien dengan metode ini.2 Reduksi Volume LCS Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang berasal dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus akut dengan peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase kontrol LCS merupakan terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt ventrikulo-peritoneal (VP-shunt). Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid lumbal juga dapat menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak. Hal ini kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.2 Pengaruh obat-obat anestesi : Anestesi inhalasi : Isoflurane : banyak digunakan dalam neuroanestesi, dapat meningkatkan aliran darah otak (ADO) namun tidak terlalu besar, MAC 1 tidak mempengaruhi tekanan LCS, menurunkan metabolism otak (CMRO2), efek meningkatkan TIK dapat dikompensasi dengan hiperventilasi.4 Sevoflurane : pada MAC 1 tidak mempengaruhi tekanan intrakranial, namum akan menurunkan tekanan darah. Secara umum efek ADO dan CMRO2 sama dengan isoflurane.4
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Anestesi intravena : Sedasi dan Paralisis Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan peningkatan TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta untuk mempermudah toleransi terhadap ET (endotrakeal tube). Batuk atau sumbatan pada ET atau selama trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK. Paralisis neuromuskular secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian obat ini tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan untuk memonitor kondisi pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan miopati dan paralisis persisten. Pemberian obat penghambat neuromuscular (NBMs) hanya dipakai pada pasien yang mendapat sedasi adekuat dengan tujuan untuk mencegah paralisis saat pasien yang sadar. Dosis intermiten dan pemberian secara periodik, disertai dengan pemantauan seksama terhadap derajat blokade neuromuskuler, sebaiknya dilakukan untuk memungkinkan penilaian 2 neurologic secara teratur. Pelumpuh otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak mempengaruhi juga ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan tekanan tekanan intrakranial. Pankuronium meningkatkan laju nadi dan tekanan darah sehingga tidak menguntungkan pada hipertensi kranial, sebaliknya vekuronium tidak menyebabkan histamine release, tidak menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah. Sedang atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan hasil metabolismenya laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat menyebabkan kejang.4
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Propofol Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap metabolisme serebral dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi intravena lainnya kecuali ketamine. Semuanya memiliki efek depresan susunan saraf pusat, menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan tingkat metabolisme. Propofol memiliki profil metabolik dan vaskuler yang mirip dengan barbiturate, menyebabkan dosis yang berkaitan dengan penurunan metabolisme serebral dan disertai penurunan CBF, menyebabkan penurunan TIK pada pasien melalui aktivitas metabolisme serebral. Akan tetapi, pada beberapa penelitian tentang penurunan CBF sebanding dengan penurunan metabolisme. Profil farmakokinetiknya dengan waktu paruh yang pendek, membuat obat ini cocok dipakai sebagai obat sedatif pada pasien neurosurgical, memungkinkan penilaian neurologis yang cepat dalam waktu 2-3 jam setelah penghentian pemberian obat ini melalui infus dengan dosis biasa (50-150 µg/kg/menit). Beberapa penelitian mengatakan bahwa propofol sangat baik dipakai dalam menurunkan TIK meskipun beberapa penelitian gagal menunjukkan perbaikan outcome neurologiknya. Pada pemberian dosis tinggi (>300 µg/kg/menit), dapat dipakai untuk menginduksi koma farmakologik dengan burst-supresi pada electroencephalogram untuk mendapatkan supresi metabolisme maksimal untuk mengontrol TIK. Pada anak-anak, ketika dipakai infus kontinyu dalam periode lama, dilaporkan bahwa propofol sering menyebabkan sindrom metabolik yang ditandai dengan asidosis, rhabdomiolisis, gagal jantung, dan tingginya angka kematian. Saat ini, sidrom serupa juga dilaporkan terjadi
115
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada pasien dewasa yang mengalami cedera kepala dengan terapi propofol >5 mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun dewasa, insidensi sebenarnya pada sindrom ini belum diketahui dan patofisiologinya masih belum jelas. Akan tetapi, menyebabkan angka kematian yang tinggi pada anak-anak, dan data yang didapat dari penelitian klinik (saat ini belum dipublikasikan), sehingga saat ini pemberian infus propofol tidak direkomendasikan. Pada dewasa, jika terdapat indikasi bahwa keuntungan pemakaian propofol lebih besar dari pada resikonya dan sebaiknya tetap diberikan pada pasien di ruang neurointensive care unit. Akan tetapi, pemakaian infus berkepanjangan lebih dari satu minggu dengan dosis lebih dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan dan harus segera dihentikan untuk mencegah resiko terjadinya asidosis atau disfungsi jantung. Sebagai tambahan, propofol dosis tinggi akan menyebabkan hipotensi, sehingga sering mengharuskan pemakaian vasopressor untuk membantu memperbaiki tekanan darah.2 Etomidate Meskipun etomidate dulunya dipakai sebagai obat sedatif, tidak boleh diberikan melalui infus karena akan menghambat sintesis kortikosteroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini menyebabkan depresi kardiovaskuler yang lebih rendah dibandingkan propofol atau barbiturate dan dan telah dipakai sebagai dosis intermiten pada pasien yang kurang stabil. Obat ini dapat mereduksi TIK dengan efeknya pada CBF dan CBV.2 Dexmedetomidine Dexmedetomidine adalah obat golongan agonis selektif reseptor alpha-2 dan telah terbukti dapat dipakai obat sedative pada pasien jantung di ICU. Meskipun belum
116
diteliti pada pasien neurosurgical, profil farmakologikalnya menunjukkan bahwa obat ini mungkin berguna sebagai sedatif pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam, sebagian besar pasien akan tersedasi dengan baik tetapi terstimulasi dengan depresi nafas yang minimal. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi serebral dan akan menurunkan TIK, meskipun penurunan CBF tidak sesuai dengan penurunan metabolism serebral. Penelitian kami menunjukkan bahwa autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak mempengaruhi dosis sedatif dexmedetomidine (data tidak dipublikasikan). Pada iskemik eksperimental menunjukkan penurunan jumlah neuron yang rusak pada iskemik global sementara (transient) pada gerbil (tikus mencit) dan menyebabkan iskemik serebral pada tikus. Mekanisme kerja diperkirakan melalui penurunan release (pelepasan) norepinephrine. Serta tampaknya memacu pemecahan glutamine melalui proses metabolism oksidatif pada astrosit, maka penurunan availabilitas glutamine sebagai prekursor neurotoksik glutamate. Sampai saat ini belum ada penelitian yang meneliti tentang pemakaian obat sedatif pada unit perawatan neurointensif, tetapi kekurangan signifikan yaitu depresi pernafasan membuatnya terjadi pada pemberian sedatif yang tepat pada pasien yang bisa bernafas spontan dengan compliance intra kranial yang jelek.2 Barbiturate Barbiturate menurunkan TIK dengan cara menekan metabolisme cerebral dan CBF. Keduanya dilakukan secara langsung dan dengan cara mengurangi aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan thiopental, keduanya telah digunakan untuk menginduksi koma barbiturate.
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Barbiturate biasanya digunakan untuk pasien hipertensi intra kranial yang sukar disembuhkan. Sama halnya dengan sedatif lainnya, penggunaan thiopental berhubungan dengan hipotensi sistemik dan sebaiknya hanya digunakan pada pasien normovolemik. Dua percobaan randomized controlled telah menilai manfaat thiopentone untuk mengobati kenaikan TIK pada pasien cedera kepala. Percobaan yang pertama menunjukkan bahwa penurunan TIK secara signifikan lebih besar terjadi pada grup yang diobati dengan barbiturate, namun tanpa perbaikan outcome dalam jangka panjang. Percobaan kedua menemukan bahwa TIK terkontrol pada kira-kira sepertiga grup yang diobati, dan pada pasien yang berespons, terdapat perbaikan outcome dalam jangka panjang. Hal ini mungkin akibat pelepasan dari cerebral metabolic rate terhadap konsumsi oksigen dari CBF dan merupakan sebuah indikator prognosis yang buruk.2 Pada kepustakaan lain disebutkan tiopental menurunkan ADO dan CMRO2 yang setara pada isolektrik pada EEG, efek lain membuang radikal bebas, stabilisasi membrane, menurunkan CPP dan antikonvulsan.4 Hipotermi Hipotermi menurunkan metabolisme cerebral dan CBF, dengan menghasilkan penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat juga menjadi neuroprotektif dengan mengurangi pelepasan eksitotoksik asam amino. Walaupun pada awalnya dilaporkan secara antusias bahwa pengobatan dengan moderat hipotermi pada suatu percobaan single-center, sebuah multi-center, percobaan randomized controlled tidak dapat menunjukkan beberapa efek yang menguntungkan , walaupun sejumlah pasien berumur kurang 45 tahun, yang Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
diakui hipotermi dan secara randomized hipotermi, mempunyai hasil yang lebih baik daripada mereka yang dibuat normotermi .Untuk saat ini, pengobatan hipotermi sebaiknya digunakan sebagai tambahan yang efektif dan berguna untuk mengontrol TIK.2,4,6 Pencegahan kejang Kejang terjadi pada sekitar 15-20% penderita cedera otak dan berkorelasi dengan beratnya cedera. Kejang akan meningkatkan CMRO2 dan TIK, namun tidak ada hubungannya dengan kemunculan kejang dini dengan keluaran defisit neurologis. Suatu penelitian menyatakan bahwa fenitoin efektif untuk mencegah kejang dalam satu minggu pertama pasca cedera, sehingga terapi profilaksisnya hanya diberikan sampai hari ke tujuh.4 Nyeri Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun pada keadaan lainnya ini akan meningkatkan TIK, oleh karena itu perhatian terhadap nyeri dan kenyamanan penderita sangatlah perlu untuk diperhatikan. Narkotik salah satu anti nyeri yang kuattidak mempunyai efek terhadap CMRO2 dan ADO, namun pada beberapa penderita dapat menyebabkan peningkatan TIK.4 Kraniektomi Dekompresi Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy) diindikasikan untuk pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit disembuhkan dengan pengobatan medikal. Pada pasien dengan pembengkakan unilateral yang mengikuti evakuasi hematoma atau reseksi tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah besar flap kranial dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP.
117
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pada pasien dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan bilateral kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah rusak atau lobektomi mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi intra kranial pada kebanyakan kasus berat hipertensi intra kranial. Prosedur ini tampak efektif untuk trauma cedera kepala, sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke atau subarachnoid hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk trauma cedera kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di masa depan sebagai pengobatan definitif untuk hipertensi intra kranial.2,4,6 Penggunaan Positive End-expiratory Pressure pada pasien dengan peningkatan TIK Penderita pada peningkatan tekanan intrakranial sampai terjadinya hipertensi intrakranial sering jatuh pada keadaan gagal nafas sampai pada penggunaan ventilator mekanik. Tiga puluh enam persen penderita dengan cedera otak yang disertai koma, datang dalam keadaan hipoksia dan gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik.4 Positive end-expiratory pressure (PEEP) berulang kali digunakan untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan respiratory distress syndrome atau kehilangan volume paru akibat berbagai penyakit paru. Secara teori, hal ini dapat meningkatkan tekanan intratoraks, yang mana akan menghalangi aliran vena dari kepala yang menyebabkan peningkatan TIK. Bagaimanapun juga, hal ini hanya nampak relevan secara klinis jika pasien mempunyai compliance intratoraks yang baik dan compliance intra kranial yang buruk. Keamanannya baru-baru ini didemonstrasikan pada pasien stroke
118
akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan dengan tepat, PEEP sampai dengan 10 mmHg jarang menyebabkan peningkatan TIK yang signifikan. Bagaimanapun juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor respons TIK terhadap PEEP pada pasien, khususnya ketika menggunakan PEEP > 10 mmHg.2 DAFTAR PUSTAKA 1.
Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and Intrakranial Dynamics : Pemantauan and management of intrakranial pressure, In : Critical Care Neurology and Neurosurgery, ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47 2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 , 3. Anne J. Moore, David W. Newell. Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive Care, In : Neurosurgery Principles and Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71. 4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent ; Still Valueble to Treat Intrakranial Hypertension, In : Proceeding Book 9th National Congress of Indonesian Society of Anesthesiology, ed. Nasution A H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 5746 5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic Pemantauan, In : Miller‟s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010, 6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical Anesthesia, In : Miller‟s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010, 7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral Physiology and the Effects of Anesthetic Drugs, In : Miller‟s Anesthesia, 7th Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010, 8. Kincaid MS, Lam AM, General Considerations : Neurophysiologic Pemantauan, In : Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield P, Cotrell J E, Lippincott Williams & Wilkins : 2007, P 57-37 9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C: Pemantauan Considerations for Trauma and Critical Care ; Neurological Pemantauan, In : Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt care, New York : 2007, 204-125 10. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken V, Struys MM, Influence Of An Increased Intrakranial Pressure On Cerebral And
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Systemic Haemodynamics During Endoscopic Neurosurgery: an animal model, British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361– 8 (2009) 11. Steiner LA, Andrews PJ. Pemantauan the injured brain: ICP and CBF. British Journal of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
119
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral Iwan Dwi Cahyono*, Jati Listiyanto*, Mohammad Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT Change in the cerebral blood flow having the regulations vidual considering so great role of the brain for the life . Factors that might affect the regulation of the flow of blood to the brain one of them was the actions and anesthetic drugs during anesthesia . To avoid gord bad that might happen need to learn about auto regulation cerebral blood well . The use of medicinal also need to consider . Operation to head takes time relative long operasi than the others . The brain of a distinctive have the ability to regulate the flow of blood against : 1. The activity of functional and metabolic ( flow metabolism coupling and metabolic regulation ) 2. The change in pressure perfusi perssure autoregulation. 3. Oxygen saturation is change or carbon dioxide of the arteries Besides the bloodstream the brain can change through a direct influence of relations between the special centers in the brain and the blood vessels ( neurogenic regulation ) Changes in the flow of blood to the brain having the risk of fatal in determining the prognosis . Death caused by the most aneurisma from arteri breakage in the brain and hurt the head caused by a traffic accident . A diagnosis aneurisma difficult or too late to be known . A doctor well ektra to the heart of hearts anesthetic in patients with the monitor hemodynamic and maintaining hemodynamic not experienced that the high risk to avoid the rupture of aneurysm. ABSTRAK Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya. Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap : 1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic regulation). 2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation) 3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri. Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation). Perubahan aliran darah ke otak memiliki resiko yang fatal dalam menentukan prognosis. Kejadian kematian paling banyak disebabkan aneurisma dari arteri yang pecah didalam otak serta cidera kepala yang disebabkan suatu kecelakaan lalu lintas. Diagnosis
120
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Aneurisma sulit dilakukan atau terlambat untuk diketahui. Seorang dokter anestesi dituntut ektra hati hati dalam membius pasien dengan cara memantau hemodinamik dan menjaga hemodinamik tidak mengalami gejolak yang tinggi untuk menghindari resiko pecahnya aneurisma.
PENDAHULUAN Otak membutuhkan metabolisme yang lebih tinggi dibanding organ tubuh yang lain, otak menerima 14% aliran darah dari pompa jantung, sebanyak 700 ml/menit darah dipompakan keotak, sebanyak 20% kebutuhan oksigen diambil oleh otak. Tingkat aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow). Harga CBF sebagian besar ditentukan oleh tingkat metabolisme dan konsumsi oksigen otak, metabolism otak cenderumg menurun pada saat terjadi hipotermi.1,2,3 CBF pada orang dewasa adalah sekitar 50 mL/100 g / menit sedangkan pada anakanak adalah sekitar 95 mL/100 g / menit, yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Sebaliknya, bayi memiliki CBF sedikit lebih rendah daripada orang dewasa (40 mL/100 g / menit). Medula spinalis (MS) memiliki aliran darah rata-rata 60 mL/100 g / menit dan 20 mL/100 g / menit .1,4 Otak sebagai organ pengatur tubuh memiliki bagian terkompleks dan sangat terorganisasi sehingga membutuhkan aliran darah yang baik. Karena cadangan energi didalam otak tidak dapat diabaikan, aliran darah yang cukup diperlukan untuk menyediakan substratsubstrat penghasil energi dan untuk membersihkan produk-produk dari metabolisme sel. Otak sangat sensitif pada penurunan aliran darah. Berkurangnya aliran darah yang hebat dapat menyebabkan gejala neurolofis dalam beberapa detik. Gangguan aliran darah yang kontinyu dapat menyebabkan
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
terjadinya kerusakan ireversibel.
jaringan
yang
Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap : 1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic regulation). 2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation) 3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri. Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation).2 Otak mendapat aliran darah dari 2 pasang arteri yaitu arteri carotis interna dan arteri vertebralis keempat arteri saling terbebas dan beranastomose menjadi sirkulus arteri Willisi dan arteri Basilaris sistem ini diikuti oleh arteri-arteri serebri propria.3 Darah kapiler memasuki vena-vena meninggalkan otak melalui vena interna dan vena externa yang mengalir melalui sinus-sinus duralis besar, dari sinus-sinus besar melaluai vena jugularis interna, vena anonymae dan vena kava superior kemudian menuju ke atrium kanan. Keadaan lingkungan ikut mempengaruhi regulasi darah ke otak, perubahan pola makan berakibat terjadi perubahan komposisi darah serta mempengaruhi viskositas darah, perubahan tekanan darah ke otak dapat memicu terjadinya proses iskemik otak maupun pecahnya pembuluh darah otak. 3
121
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Dalam tulisan ini akan membahas mengenai aneurisma yang terjadi intra cerebral dan tindakan anestesi yang dapat dilakukan. Peredaran Darah Arteri Otak Aa Karotis Interna Arteri-arteri ini merupakan lanjutan dari dari arteri karotis komunis, yang berasal dari batang brakiosefalik yang berada pada sisi kiri dari arcus aorta. Pada daerah kartilago tyroid arteri karotis komunis terbagi menjadi 2 yaitu arteri karotis eksterna yang bertugas memberi darah daerah leher, wajah dan regio fronto temporalis dari kranium. Sedangkan arteri karotis interna berjalan menuju kanalis karotikus kemudian memberikan cabang kecil pada dasar telinga, dan daerah pada kelenjar hipofise dan juga mencabang menjadi arteri oftalmika untuk mendarahi seluruh bola mata dan dasar bola mata. 3 Aa Vertebralis Arteri ini merupakan cabang pertama dari arteri subklavia memasuki tengkorak melalui ruang antara sendi atlanto ocipitalis tepi lateral foramen magnum. Sebelum memasuki kranium arteri vertebralis membentuk siphon seperti huruf S yang mungkin bertujuan
melembabkan gelombang nadi yang datang, kemudian menyusuri tepi lateral dari medula oblogata. Diantara ponto meduler arteri vertebralis bergabung menjadi arteri basilaris .3 Sirkulus Arteri Willisi Setelah memasuki rongga subarakhnoid, a. Karotis interna berlanjut ke posterior dibawah saraf optik dan kemudian kearah lateral, setinggi kiasma optikum membuat sudut belokan memasuki fisura sylvii, pada putaran ini memberikan cabang a. Komunikans Poterior yang bergabung dengan a. Serebri posterior membentuk bersama dengan a. Basilaris menjadi sirkulus wilis.3,5,6 Aa Serebri Propria Merupakan percabangan kecil dari a komunikans posteior yang mendarahi tuber sinerium, korpus mamilare, sepertiga anterior talamus, sub talamus dan sebagian dari kapsula intern.3 Arteri Serebri Anterior Setelah keluar a karotis interna a cerebri anterior memberikan cabang menjadi a rekurens, memberikan perdarahan pada kiasma optikus dan saraf optikus. A cerebri anterior memiliki 5 cabang besar yaitu orbitalis, frontopolaris, perikalosal, kaloso marginalis dan parietalis.3
Gambar 2. Perjalanan arteri menuju otak (Peter Duus)
122
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 1. Sirkulus dari Willisi dan cabang cabangnya (Peter Duus)
Arteri Serebri Media A carotis interna memberikan cabang menjadi a cerbri anterior dan cerebri media, cabang ini membemberikan darah hampir semua putamen dan nukleus kaudatus, sepertiga palidum dan segmen dorsal dari palidum, segmen dosrsal dari kapsula interna berjalan antara putamen dan nukleus kaudatus. Cabang a serebri media sering menjadi sumber dari hematom hipertensi. Arteri ini bertanggung jawab untuk seluruh regio dari lobus frontalis, parietalalis dan temporalis. Jika arteri ini rusak atau terjadi perdarahan menimbulkan tandatanda afasia motorik dan sensorik, aleksia, agrafia, apraksia, akalkulia dan gangguan citra tubuh.3 Arteri Serebri Posterior Merupakan cabang akhir dari a.basilaris kadang-kadang merupakan perpanjangan dari a.karotis interna. Pembuluh darah ini bertanggung jawab pada otak tengah,
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
sebagian dari pons juga talamus juga memberikan perdarahan untuk ventrikel ketiga.3 Peredaran Darah Vena Darah kapiler yang memasuki vena-vena, meninggalkan otak melalui vena interna dan eksterna yang mengalir ke sinussinus duralis besar, dari sinus-sinus darah kembali ke jantung melalui vena jugularis interna, vena brakhiosefalika, vena cava superior dan sebagian kecil melaluai canalis spinalis, vena-vena tersebut antara lain ; a. b. c. d.
V.v Superior dorsal V.v serebri media V.v Serebri inferior V.v Serebri anterior
Bersama-sama vena-vena ini membentuk vena magna dari galen yang merupakan vena terbesar dan mengalir kedalam sinus rectus, kemudian bermuara ke vena cava superior melalui vena jugularis interna.3
123
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 3. Aliran Darah Vena(Color Atlas of Neurology)
Defisiensi Sirkulasi Cerebral a. Aneurisma Arteri (1,3,7,,8) Pembuluh darah intracranial bersandar dalam ruang subarachnoid, memberikan perforasi kecil pembuluh darah. Perdarahan dari pembuluh darah ini atau dari suatu aneurisma yang diasosiasikan terjadi secara primer kedalam ruang ini, berakibat SAH. Aneurisma cerebral adalah penyebab tersering Sub Arachnoid Hemorarge (SAH) spontaneus, dengan malformasi arterivenous perkiraan sekitar 6%, walaupun penyebab lain termasuk trauma dan tumor. Kejadian SAH aneurisma mempunyai insiden tahunan 10-20 per 100.000, meningkat secara konsisten dengan usia sampai decade 60, dengan insiden tertinggi 55-60 tahun. Terdapat variasa bermakna dalam insiden SAH di seluruh 124
dunia, berkisar dari 1.1 sampai 92.3 per 100.000 orang. Insidens terendah pada Timur pertengahan dan tertinggi pada Jepang, Australia dan Scandinavia terutama Finlandia, dimana insiden sebanyak tiga kali di seluruh dunia. Tingkat spesifik usia untuk SAH tampaknya lebih tinggi pada mereka yang berasal dari ras Afro karibian dibanding Kaukasia. Tampaknya ada kecenderungan pada wanita dengan laporan rasio laki-laki dibanding wanita sekitar 1 : 1,8.(8) Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah, yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan/ balon. Dinding pembuluh darah pada aneurisma
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah. Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah otak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak, yang juga dikenal dengan stroke. Sebagian besar kejadian aneurisma aorta adalah kongenital dan ditemukan pada dasar otak biasanya pada sirkulus wilisi, aneurisma biasanya asimptomatik sampai menjadi besar dan melibatkan banyak jaringan disekitarnya seperti menekan kiasma optikus dan biasanya ditandai dengan nyeri kepala hebat. Tanda-tanda terjadinya aneurisma adalah peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dengan tanda khas adalah sakit kepala, mual,muntah, kekakuan dileher serta kesadaran yang berkabut. Aneurisma intrakranial sering ditemukan ketika terjadi ruptur yang dapat menyebabkan perdarahan dalam otak atau pada ruang subarahnoid, sehingga menyebabkan perdarahan subarahnoid. Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur atau aneurisma otak dapat menyebabkan terjadinya stroke hemoragik, kerusakan dan kematian otak(3). Faktor risiko turunan diasosiasikan dengan formasi aneurisam dapat termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi :
Defisiensi alfa glukosidase- defisiensi parsial atau lengkap enzim lisosomal, alfa glukosidase. Enzim ini penting untuk memecah glikogen dan mengubahnya menjadi glukosa. Defisiensi alfa 1 antitripsin, suatu penyakit herediter yang menuju pada
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
hepatitis dan sirosis hati atau emfisema paru. Malformasi arteri venous (AVM) suatu hubungan abnormal antara arteri dan vena Koarktasio aorta atau penyempitan aorta (arteri utama keluar dari jantung) Sindrom Ehlers Danlos-gangguan jaringan penghubung (umumnya jarang) Riwayat keluarga dengan aneurisma Wanita Displasia fibromuskular-penyakit arterial, penyebab tidak diketahui, yang paling sering sering mempengaruhi arteri medium dan besar pada wanita muda sampai usia pertengahan. Teleangiectasia hemorrhagic herediter, gangguan genetik pembuluh darah cenderung membentuk pembuluh darah yang kurang kapiler suatu arteri dan vena. Sindrom Klinefelter, suatu kondisi genetik pada pria dimana ekstra kromosom X. Sindrom Noonan, gangguan genetik yang menyebabkan perkembangan abnormal banyak bagian dan sistem dari tubuh. PCD-Polycystic Kidney Disease, gangguan genetik dengan karakteristik pertumbuhan banyak kistik berisi cairan dari ginjal, PCKD adalah penyakit medis paling umum diasosiasikan dengan aneurisma sakular. Sclerosis Tuberous, tipe sindrom neurokutaneus yang dapat menyebabkan tmor tumbuh dalam otak, sumsum tulang belakang, organ dan tulang.
Faktor risiko didapat diasosiasikan dengan pembentukan aneurisma termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi:
125
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Usia (tidak lebih dari 40 tahun) Konsumsi alkohol Aterosclerosis, suatu pembentukan plak (terbuat dari deposit substansi lemak, kolesterol, sisa produk seluler, kalsium dan fibrin) pada lapisan dalam arteri. Kebiasaan merokok Penggunaan obat-obat terbatas seperti kokain dan amfetamin Hipertensi (tekanan darah tinggi) Trauma (luka) pada kepala Infeksi
tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diameternya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas: Aneurisma sakuler kecil dengan diameter < 1 cm.
Aneurisma sakuler besar dengan diameter antara 1- 2.5 cm. Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter > 2.5 cm. Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).
KLASIFIKASI Pembagian aneurisma adalah sebagai berikut : 1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9% 2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6% 3. Aneurisma arteriosklerotik 4. Aneurisma traumatik 50-76,8% Laporan otopsi insidensi aneurisma kongenital sebesar 4.9%-20% yang terdiri dari 15% multiple dan 85% soliter. Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan : 85-90% pada bagian depan sirkel wylisii; 30--40% pada arteri carotis interna; 3040% di a. cerebri anterior/communicans anterior; 20 30% di a. cerebri media; 1015% di a. vertebro-basilaris.
Gambar 4. Tipe aneurisma (NeurosurgeryPrinciples and Practice)
Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan:
Aneurisma tipe fusiform (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol. Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada aneurisma ini, kelemahan hanya pada satu permukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk seperti kantong dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar
126
Gambar 5. Frekuensi Lokasi dari Aneurisma serebral Kongenital (Peter Duus)
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Bagaimana suatu aneurisma cerebralis didiagnosis? Suatu aneurisma cerebralis sering ditemukan setelah ruptur atau pada kesempatan selama pemeriksaan diagnostik seperti computed tomography (CT Scan), magnetic resonance imaging (MRI) atau angiografi yang dilakukan untuk kondisi lain.
Sebagai tambahan untuk melengkapi riwayat medis dan pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik untuk aneurisma cerebralis dapat termasuk
Digital subtraction angiography (DSA), menyediakan gambaran pembuluh darah dalam otak untuk mendeteksi masalah dengan aliran darah. Prosedural meliputi pemasangan suatu kateter (tube kecil dan tipis) kedalam arteri pada kaki dan melewati sampai pembuluh darah dalam otak. Suatu kontras disuntikkan melalui kateter dan gambaran X-ray diambil pada pembuluh darah.8 Computed tomography scan (CT atau CAT scan), suatu prosedural diagnostik image yang menggunakan kombinasi X ray dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambaran cross sectional ( sering disebut potongan) baik horisontal maupun vertikal pada tubuh. Suatu CT scan menunjukkna gambar detail setiap bagian tubuh termasuk tulang, otot, lemak dan organ. CT Scan lebih detail dibanding X ray keseluruhan dan dapat digunakan untuk mendeteksi abnormalitas dan membaantu mengidentifikasikan lokasi atau tipe stroke. 8 Magnetic Resonance Imaging (MRI), suatu prosedural diagnostik yang menggunakan suatu kombinasi magnet besar, frekuensi radio dan suatu komputer untuk menghasilkan gambaran detail organ dan struktur dalam tubuh. Suatu MRI
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
mengguankan lapangan magnet untuk mendeteksi perubahan kecil dalam jaringan otak yang membantu menglikasikan dan mendiagnosis stroke.8 Magnetic Resonance Angiography (MRA), suatu prosedural non invasif yang menggunakan kombinasi magnetic resonance teknologi (MRI) dan kontras intravena (IV) untuk menggambarkan pembuluh darah. Kontra menyebabkan pembuluh darah terlihat opak pada gambar MRI, memungkinkan pemeriksa untuk menggambarkan pembuluh darah yang dievaluasi.8
Penanganan cerebralis
untuk
aneurisma
Penanganan spesifik untuk aneurisma cerebralis akan ditentukan oleh dokter berdasar pada :
Usia, kesehatan keseluruhan dan riwayat medis Keparahan kondisi Tanda dan gejala Toleransi untuk obat-obatan tertentu, prosedural atau terapi Harapan untuk kondisi terjadi saat ini Pendapat sendiri atau referensi
Gambar 6. Aneurisma kantong (NeurosurgeryPrinciples and Practice)
127
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Berdasar pada situasimu, dokter akan membuat rekomendasi untuk intervensi yang tepat. Apa pun intervensi yang dipilih, perhatian utama adalah untuk mengurangi resiko perdarahan subarachnoid, baik secara initial atau pun episode perdarahan berulang.
Gambar 7. Metode craniotomi dengan klip (NeurosurgeryPrinciples and Practice)
Banyak faktor dipertimbangkan ketika membuat keputusan penanganan untuk aneurisma cerebralis. Ukuran dan lokasi aneurisma, hadir atau absennnya gejala, usia pasien dan kondisi medis dan hadir atau absennya faktor resiko lainnya untuk ruptur aneurisma harus dipertimbangkan. Pada beberapa kasus, aneurisma tidak diobati tapi pasien akan secara ketat diawasi oleh dokter. Pada kasus lain, penanganan bedah dapat menjadi indikasi.
Endovaskular coiling atau coil embolisasi Endovaskular coiling adalah teknik invasif minimal, yang berarti insisi pada tengkorak kepala tidak dibutuhkan untuk menangani aneurisma cerebralis. Lebih jauh, suatu kateter dimasukkan dari pembuluh darah naik menuju pembuluh darah dalam otak. Fluoroskopi ( tipe spesial X ray sama dengan „film” X ray) digunakan untuk memandu kateter menuju kepala dan masuk dalam aneurisma.8 Saat kateter pada tempatnya, gulungan platinum sangat kecil dimasukkan melalui kateter ke dalam aneurisma. Gulungan platinum kecil, yang tampak dengan X ray, menggambarkan bentuk dari aneurisma. Aneurisma dengan coil menjadi tersumbat (embolisasi), mencegah ruptur. Prosedur ini dilakukan baik dengan anestesi umu atau lokal. 8,9
Terdapat dua penanganan bedah primer untuk aneurisma cerebralis:
128
Open Kraniotomi (surgical clipping) Prosedur ini meliputi bedah pengangkatan bagian tengkorak otak. Dokter menemukan aneurisma dan menempatkan suatu metal klip sepanjang leher aneurisma untuk mencegah aliran darah masuk kantung aneurisma. Sekali klipping selesai, tulang tengkorak disatukan kembali.8
Gambar 8. Terapi Aneurisma dengan metode sumbat balon (NeurosurgeryPrinciples and Practice)
Dolikoektasia Arterial Istilah yang mewakili suatu kesatuan penyakit dari arteri yang lebih besar ( mencakup arteri intrakranial ) ditandai dengan elongasi dan distensif progresif secara bertahap dari arteri arteri yang
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
disebabkan oleh perubahan dalam jaringan elastik, biasanya penyakit multiple sklerosis.3 Regulasi CBF(1) 1. Metabolisme daerah otak bergantung pada penumpukan metabolit. Timbunan metabolit menyebabkan dilatasi lokal dari aliran darah tepi atau kecil di otak. Penyebab mekanisme ini secara pasti belum diketahui, ini mungkin disebabkan oleh penumpukan K atau H di sekitar cairan ekstraselular arteriola. Agen lain yang dapat mempengaruhi metabolisme termasuk nitrous oxide (NO), kalsium, adenosin, dan eikosanoid seperti tromboksan dan prostaglandin. Kombinasi faktorfaktor ini akan memberikan kontribusi metabolism otak.4 2. NO adalah vasodilator yang dikeluarkan secara lokal oleh sel endotel pembuluh darah. Vasodilatasi ini penting bagi peraturan vaskular seluruh tubuh, tetapi peran yang tepat NO dalam mengendalikan CBF masih harus ditentukan. Kemungkinan menjadi regulator penting CBF setempat, mungkin dengan mempengaruhi mikro sirkulasi otak .1,4 3. Karbon dioksida (CO2) dapat meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan CBF. CO2 yang terhidrasi dengan bantuan enzym karbonat anhydrase yang mengarah kepada peningkatan keasaman. Penurunan pH diperkirakan menyebabkan vasodilatasi. Ketika CO2 yang dibelah dua 40-20 mm Hg, maka CBF berkurang kira-kira setengah .1 Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan perubahan CBF antara lain ; a. Hiperventilasi menyebabkan pengurangan CO2, peningkatan pH, dan dengan demikian
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
penurunan CBF. Jika hiperventilasi dijaga selama 6 sampai 8 jam, pH kembali normal karena transportasi dan CBF bikarbonat kembali ke tingkat prehyperventilation. Demikian, hiperventilasi hanya berguna untuk jangka waktu yang singkat . b. Jika hiperventilasi dihentikan tiba-tiba, menyebabkan peningkatan CO2 ke tingkat normal, akan terjadi pengurangan HCO3, menyebabkan asidosis. Peningkatan CBF Ini bisa menjadi masalah kritis ketika hiperventilasi digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial (ICP). c. Ada kemungkinan bahwa hiperventilasi ekstrem ke tingkat di bawah 20 mm Hg dapat menyebabkan iskemia karena vasokonstriksi dan hiperventilasi di bawah 30 mm Hg ini tidak dianjurkan . 4. Autoregulasi memungkinkan CBF tetap konstan jika tekanan perfusi serebral (CPP) bervariasi antara 50 dan 150 mm Hg. Tanda-tanda iskemia serebral terlihat di bawah 50 mm Hg, di atas 150 mm Hg gangguan dari sawar darah otak dan edema serebral dapat terjadi. Penyesuaian aliran perubahan tekanan mendadak memerlukan waktu antara 30-180 detik. Mekanisme autoregulasi belum sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin dipengaruhi kombinasi efek termasuk myogenik dan faktor-faktor metabolik. a. Myogenik merupakan aktivitas otot-otot dinding pembuluh darah terjadi akibat peningkatan tekanan dalam pembuluh darah, ketika dinding pembuluh darah ditarik, karena akan dengan peningkatan tekanan darah, otot polos kontraksi, menyebabkan
129
Jurnal Anestesiologi Indonesia
vasokonstriksi yang mengurangi aliran. hal ini menyebabkan aliran darah meningkat karena meningkatnya tekanan dan mengakibatkan sedikit perubahan dalam aliran darah. b. Teori metabolik menyatakan bahwa tekanan berkurang menyebabkan penurunan aliran dan mengurangi penumpukan metabolit. Penumpukan metabolit dan penurunan pH lokal menyebabkan vasodilatasi lokal dan dengan demikian peningkatan aliran darah kembali normal.1,4,7 c. Autoregulasi dapat terganggu oleh hipoksia, iskemia, hypercapnia, trauma, dan agen anestesi tertentu.1,4 d. Pasien dengan hipertensi kronis memiliki autoregulatory pergeseran kurva ke kanan. Mereka mungkin menunjukkan tanda-tanda iskemia akibat penurunan tekanan aliran darah dibandingkan pasien dengan normotensi. 5. Tekanan parsial oksigen (PaO2) hanya berpengaruh sedikit terhadap CBF bila turun sampai jatuh di bawah 50 mmHg. Pada titik ini peningkatan dramatis dalam aliran darah dengan lebih penurunan PaO2 terjadi. Karena oksigen kapasitas darah tinggi, kritis penurunan kandungan oksigen dalam darah mungkin tidak terjadi sampai Pao2 turun di bawah ambang batas sebesar 50 mm Hg. 6. Faktor neurogenik termasuk adrenergik, cholinergic, dan sistem serotonergik juga mempengaruhi CBF. Pengaruh terbesar mereka adalah pada pembuluh darah lebih besar. 7. Hematokrit mengubah viskositas darah dan dengan demikian dapat mempengaruhi aliran darah. Hematokrit yang rendah dapat
130
meningkatkan aliran darah dengan menurunkan viskositas darah. 8. Keadaan Hipotermia menyebabkan metabolisme saraf menurun dan dengan demikian mengurangi CBF sedangkan hipertermia memiliki efek sebaliknya. 9. Tingkat metabolisme neuron yang mengelilingi mikrovascular daerah mengatur aliran darah. Jika aktivitas neuron ini meningkat, tingkat metabolisme mereka meningkat, dan aliran darah ke daerah itu meningkat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa. hal ini telah dimanfaatkan menggunakan tomografi emisi positron untuk pemetaan aktivitas fungsional otak. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Philippa Newfield MD, James E. Cottrell MD. Physiology and Metabolism of the Brain and Spinal Cord in Handbook of Neuroanesthesia.4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.1-20 Iskandar J(2003). CONTROL OF CEREBRAL BLOOD FLOW ( Digitized by USU digital library.from http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi56.pdf, 6 juni 2009 Peter Duus. Teleensefalon atau korteks serebral dalam diagnosis topic Neurologi anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi 2; Jakarta: EGC; 1996. 310-334 Cerebral Blood Flow. From http://www.vascularneurosurgery.com/cbf.ht ml, 25 september 2009 Raymond D. Adams, M.A., M.D. Maurice Victor, M.D. Allan H. Ropper, M.D. Disturbances of CSF Circulation andIntracranial Pressure in PRINCIPLES OF NEUROLOGY, 6th ed. New York; McGRAW-HILL;1998. 261-267 Reinhard Rohkamm, M.D. Fundamentals in Color Atlas of Neurology, Stuttga, Grammlich, Pliezhausen; 2004. 10-22 Intracranial Pressure and Cerebral Blood Flow, World Federation of Societies of AnaesthesiologistsWWW implementation by the NDA Web Team, Oxford, from http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_ 015.htm#cbf, 25 oktober 2009
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Jurnal Anestesiologi Indonesia
8.
9.
Philippa Newfield, James E, Cottrel.Anesthetic Management of intracranial aneurysms in Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed,San Francisco, Lipincott wiliams & wilkins, 2007 Joan P. Grieve and Neil D. Kitchen, Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage in Neurosurgery Principles and Practice, london, Springer, 2005;315-33
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
131