JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
1
JURNAL PENDIDIKAN Maret 2010, Volume 1 Nomor 1 Perbandingan Metode Cooperatif Learning Tipe Jigsaw Dengan Tipe Stad Terhadap Prestasi Belajar Biologi Kelas Viii Mtsn Kembangsawit (Hal. 3) Nur Citra Utomo,Cicilia Novi Primiani Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan Pemodelan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas VIII Smpn I Jiwan Kabupaten Madiun (Hal. 12) Lailatul Khasanah, Darmadi Implementasi Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Kemampuan Sintesis (Synthesis) Pada Mata Pelajaran Biologi Ery Tri Wulandari, Marheny Lukitasari (Hal. 20) Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tps Dan Nht Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Aspek Self Concept (Hal. 31) Agus Darmawan, Sanusi Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Mempercepat Penyelesaian Soal-Soal Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika (HaL. 44) Anggun Windha Ningrum, Erawan Kurniadi Efektivitas Model Pembelajaran Explicit Instruction Dan Stad Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa (Hal. 52) Toyyib Syaichoni, Sardulo Gembong Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Mempercepat Penyelesaian Soal-Soal Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika (Hal. 61) Heri Pratiwi, Purwandari
2
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmad dan karunia-Nya Jurnal Pendidikan MIPA IKIP PGRI Madiun telah terbit untuk edisi yang pertama. Berbagai penelitian yang mengkaji secara mendalam tentang pembelajaran MIPA telah banyak di kaji oleh berbagai peneliti pendidikan. Namun, implementasinya masih terasa belum sampai pada praktisi pendidikan. Untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian agar dapat digunakan sebagai bahan acuan pembelajaran terutama bagi dunia pendidikan, Jurnal Pendidikan MIPA pada edisi yang pertama ini memuat hasil-hasil penelitian tentang : Perbandingan Metode Kooperatif Learning Tipe Jigsaw Dengan Tipe STAD Terhadap Prestasi Belajar Biologi Kelas VIII MTsN Kembang Sawit, Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan Pemodelan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas VII SMP I Jiwan Kabupaten Madiun, Implementasi Model Pembelajaran Scramble Untuk Meningkatkan Kemampuan Sintesis Pada Mata Pelajaran Biologi, Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dan NHT Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Aspek Self Concept, Penerapan Model Pembelajaran Picture and Picture Untuk Mempercepat Penyelesaian Soal-Soal Matematis Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika, Efektivitas Model Pembelajaran Explicit Instruction dan STAD Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa, Penerapan Pendekatan Konstruktivsme Melalui Pendekatan Problem Base Instruction Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pembiasan Cahaya Sumbang saran berbagai pihak sangat diharapkan dalam upaya meningkatkan kualitas Jurnal Pendidikan MIPA IKIP PGRI Madiun, dan akhirnya redaksi berharap semoga tulisan dalam edisi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca sehingga mampu menmbah wawasan di bidang pendidikan
Redaksi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
3
PERBANDINGAN METODE COOPERATIF LEARNING TIPE JIGSAW DENGAN TIPE STAD TERHADAP PRESTASI BELAJAR BIOLOGI KELAS VIII MTsN KEMBANGSAWIT Nur Citra Utomo Cicilia Novi Primiani Pendidikan Biologi FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Tujuaan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penggunaan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan metode cooperatif learning tipe STAD. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan populasi adalah siswa kelas VIII MTsN Kembangsawit dengan jumlah 180 siswa. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII A berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan kelas VIII C berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Pemilihan sample dengan teknik cluster random sampling. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan tes yang diberikan pada akhir KBM. Pengujian hipotesis menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa t hitung 4,83 dan t tabel 1,67, dengan taraf signifikasi 5% derajat kebebasan 70. Hal ini bererti ada perbedaan penggunaan metode cooperatif learning tipe jigsaw dengan metode cooperatif learning tipe STAD Kata Kunci : Cooperatif Learning Tipe Jigsaw, Cooperatif Learning Tipe STAD, Prestasi Belajar
PENDAHULUAN Mata pelajaran biologi merupakan sarana berfikir ilmiah yang diperlukan untuk mengembangkan cara berfikir siswa, sehingga guru harus mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan bagi
4
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
siswa. Ketidaksenangan terhadap pelajaran biologi mengakibatkan prestasi belajar biologi kurang memuaskan. Oleh karena itu, untuk mengubah cara berfikir siswa yang sulit memahami biologi perlu diadakan berbagai upaya untuk mengubah proses pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru kearah keaktifan siswa sehingga minat siswa terhadap biologi meningkat. Kenyataan di sekolah, meskipun berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas siswa ternyata hasil belajar di sekolah belum optimal. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di MTsN Kembangsawit Kebonsari Madiun nilai raport biologi siswa yang tuntas belajar > 65, sedangkan yang tidak tuntas < 65. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya kemampuan guru dalam memilih metode dan menggunakan metode, sehingga minat siswa terhadap biologi kurang. Penggunaan metode mengajar hendaknya seorang guru mampu menyesuaikan materi pelajaran dengan metode yang digunakan, sehingga dapat melibatkan siswa aktif. Siswa diberi kebebasan
untuk
menyelesaikan
soal-soal
sesuai
dengan
pengalamannya, tanpa aturan yang diharapkan dan mengikat, siswa bebas menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal sehingga dapat menemukan lebih dari satu macam cara menjawab soal. Metode mengajar yang melibatkan keaktifan siswa diharapkan
dapat
meningkatkan
keberhasilan
dalam
prestasi
belajarnya dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan pengajaran
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
5
dengan mendengarkan belajar akan lebih efektif bila siswa diberi kesempatan berpartisipasi dan dirangsang untuk menyelesaikan masalah. Bentuk metode mengajar yang menekankan keaktifan siswa antara lain adalah metode cooperatif learning tipe jigsaw dan metode cooperatif learning tipe STAD. Pembelajaran kooperatif menunjukkan bahwa sasaran pembelajaran sangat penting, tugas belajar bersifat rumit dan konseptual, pemecahan masalah diperlukan, berfikir divergen atau kreatif diperlukan, kualitas kinerja sangat diharapkan. Strategi berfikir sangat tinggi dan berfikir kritis sangat dibutuhkan, pengembangan sosial dari siswa adalah suatu sasaran utama pembelajaran. Menurut (Yusuf, 2005) metode jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian siswa saling bergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Sedangkan metode STAD merupakan salah satu pilihan yang tepat pada strategi belajar mengajar. Tidak hanya mengajar pada tujuan pemahaman konsep, tetapi ada tujuan tertentu kepada siswa. Tujuan iringan itu misalnya belajar menghargai pendapat orang lain, bersikap terbuka, mengaktualisasikan diri, percaya diri dan sebagainya. Apabila kita
6
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
memperhatikan bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka keberadaannya hanya dapat dikembangkan dalam kebersamaan dan sesama siswa dalam satu kelompok akan menciptakan realitas sosial (Nurhadi, 2004)
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Kembangsawit Kebonsari Madiun Penelitian ini berupa penelitian eksperimen, Variabel bebas adalah model pembelajaran Jigsaw dan model pembelajaran STAD. Sedangkan variabel terikat adalah prestasi belajar. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VIII sebanyak 180 siswa. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII A berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan kelas VIII C berjumlah 36 siswa yang belajar menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Pemilihan sample dengan teknik cluster random sampling. Teknik pengambilan data menggunakan tes yang diberikan pada akhir KBM. Teknik analisis data secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik parametrik uji t.
Untuk keperluan
analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah uji prasyarat analisis dipenuhi dilakukan uji analisis t tes. Adapun hasilnya adalah seperti pada tabel 1 Tabel 1. Uji Analisis menggunakan Uji t Deskripsi
Metode Jigsaw
Metode STAD
N (jumlah siswa)
36
36
Skor Maks
90
85
Skor Min
67
62
X (Mean)
77,94
71,16
S (simpangan baku)
6,13
6,07
Berdasarkan data hasil tes yang dianalisa dengan uji t, perhitungan diperoleh t hitung adalah 4,83, sedangkan t table sebesar 1,67, untuk dk 70 dengan taraf signifikan 5%. Karena t hitung > t tabel maka ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan yang menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Berdasarkan analisis data yang diperoleh, maka terdapat perbedaan prestasi belajar yang menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dengan yang menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Siswa yang menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw rata-rata prestasi belajar adalah 77,94 dengan nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 67. Sedangkan siswa yang menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD rata-rata prestasi
8
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
belajar adalah 71,16 dengan nilai tertinggi 85 dan nilai terendah 62. Hal tersebut sesuai dengan hasil perhitungan uji t, dengan t hitung sebesar 4,83 dan t tabel sebesar 1,67. Karena t hitung > t tabel, artinya prestasi belajar yang diajar menggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw berbeda dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode cooperatif learning tipe STAD. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga pemahaman konsep pun berbeda. Dalam penelitian ini, pembelajaran dengan metode jigsaw memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode STAD. Hal ini terjadi karena metode jigsaw lebih melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam arti siswa lebih aktif. Dalam metode jigsaw, siswa mempelajari materi yang telah diberikan sesuai kelompok ahli, kemudian hasil belajar disampaikan kepada teman yang lain. Dalam hal ini siswa telah belajar beebrapa kali, sehingga secara tidak langsung siswa lebih memahami materi. Sedangkan metode STAD dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan mengembangkan sifat tolong menolong. Dalam metode STAD, siswa mampu menjelaskan konsep dengan menggunakan bahasa sendiri. Akan tetapi kemampuan tiap siswa berbeda (heterogen) maka siswa yang aktif saja yang mampu
mengembangkan
kemampuannya.
Selain
itu
proses
pembelajaran hanya terjadi satu kali saja, sehingga pemahaman konsep dirasakan masih kurang.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
9
Metode jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota yang lain dalam kelompoknya. (Yusuf, 2005:36). Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri. Siswa hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok yang lain. Dengan demikian siswa saling bergantungan dengan yang lain dan harus bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang diberikan. Metode STAD adalah suatu tipe pembelajaran yang dapat memahami konsep-konsep yang sulit, menumbuhkan kemampuan kerjasama, kreatif, berfikir kritis serta adanya kemampuan membantu teman. Dalam pembelajaran tipe STAD ini, guru mengacu pada belajar kelompok siswa menggunakan informasi verbal atau tes. Siswa dalam suatu kelas dipecah menjadi beberapa kelompok yang bersifat heterogen. (Nurhadi, 2005:116) STAD didesain untuk memotivasi siswa-siswa supaya kembali semangat dan saling menolong untuk mengembangkan keterampilan yang diajarkan oleh guru. Siswa harus dapat menyemangati anggota timnya untuk mengajarkan yang terbaik. Penggunakan metode cooperatif learning tipe jigsaw dan tipe STAD yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat terlibat aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Secara
10
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
intelektual dan emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan dengan anggota kelompok. Dengan suasana belajar kelompok yang menyenangkan dan efektif hal tersebut dapat menumbuhkan sikap kreatif, kritis, terhadap suatu masalah dan tanggungjawab siswa terhadap materi pelajaran, sehingga diharapkan prestasi belajar biologi yang dicapai siswa dapat maksimal. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ada perbedaan penggunaan metode cooperatif learning tipe jigsaw dengan metode cooperatif learning tipe STAD terhadap prestasi belajar biologi di MTsN Kembangsawit Tahun Pelajaran 2008/2009. Saran 1. Sekolah, diharapkan fasilitas belajar mengajar lebih ditingkatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. 2. Guru, diharapkan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dapat lebih mengembangkan metode pembelajaran jigsaw dan metode pembelajaran STAD. 3. Siswa, diharapkan para siswa meningkatkan motivasi belajar dalam mempelajaran bidang studi agar mendapatkan hasil prestasi yang memuaskan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
11
DAFTAR RUJUKAN Anita Lie. 2004. Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperatif Learning Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia. Baharudin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Arr-Ruzz-Media. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta: Gramedia Widia sarana Indonesia. Oemar Hamalik. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Syaiful Djamarah. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Wina Sanjaya. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi KBK. Jakarta: Kencana Prenoda Media Group.
12
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMPN I JIWAN KABUPATEN MADIUN Lailatul Khasanah Darmadi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah penerapan pendekatan kontekstual dengan pemodelan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada siswa kelas VIII SMPN 1 Jiwan Kabupaten Madiun. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Subyek penelitian adalah siswa kelas VIIIC SMPN 1 Jiwan Kabupaten Madiun dengan jumlah 41 siswa. Pengumpulan data berupa data prestasi belajar yang diambil dengan teknik tes dan data minat belajar yang diambil dengan angket. Hasil penelitian ketuntasan prestasi belajar menunjukkan terjadi peningkatan dari siklus I sebesar 60,98%, siklus II sebesar 65,85% dan siklus III sebesar 80,49%. Kata Kunci
: prestasi belajar, pendekatan kontekstual, pemodelan
PENDAHULUAN Salah satu mata pelajaran yang penting dan selalu dibutuhkan dalam berbagai segi kehidupan adalah matematika. Materi yang terkandung dalam matematika sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu matematika sudah diajarkan sejak anak duduk di bangku sekolah dasar bahkan sudah diperkenalkan sejak anak duduk di bangku taman kanak-kanak.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
13
Namun pada kenyataannya banyak anak merasa kesulitan belajar matematika. Selama ini kebanyakan guru mengajarkan matematika dengan ceramah, menulis di papan tulis dan menggambar. Selain itu guru cenderung mendominasi kelas sehingga tidak ada kesempatan siswa untuk mengungkapkan pendapatnya. Saat pembelajaran, banyak siswa yang kurang aktif dan kurang memperhatikan penjelasan guru. Kebanyakan siswa tidak tertarik dengan apa yang disampaikan guru. Setiap kali ulangan baik ulangan harian maupun ulangan semester banyak siswa yang nilainya di bawah kriteria ketuntasan minimal sehingga mereka harus mengikuti ulangan perbaikan atau remidi. Pembelajaran seperti ini tentu sangat tidak mendukung pembelajaran matematika karena pada dasarnya penelaahan matematika tidaklah konkret, tetapi abstrak (Herman Hudojo, 1990:2). Menurut Wina Sanjaya (2006:109), contextual teaching and learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan
pembelajaran
yang
menekankan
kepada
proses
keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi dunia nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Siswa dituntut penuh untuk terlibat dalam
pembelajaran dan menemukan sendiri materi yang ia pelajari. Setelah materi ditemukan, siswa didorong untuk menemukan hubungan materi yang
diperoleh dengan kehidupannya. Pembelajaran kontekstual
sebagai suatu pendekatan pembelajaran mempunyai tujuh komponen.
14
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Ketujuh komponen tersebut menurut Nurhadi, dkk (2004), yaitu: konstruktivisme,
(constructivism),
inkuiri
(inquiry),
bertanya
(questioning), pemodelan (modeling), masyarakat belajar (learning community), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,
mendemonstrasikan
bagaimana
guru
menginginkan
siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang dinginkan guru. Pembelajaran kontekstual dengan pemodelan, penjelasan materi disertai dengan contoh-contoh soal dan penyelesaiannya, pemberian contoh apa yang harus dikerjakan siswa, penggunaan alat peraga dan lain-lain (Erman Suherman, 2009).Siswa mendapatkan gambaran konkret tentang konsep yang sedang diajarkan, dengan demikian siswa tidak kesulitan memahaminya. Alat peraga yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual bermacam-macam sesuai dengan materi. Pemodelan sangat tepat jika digunakan untuk mengajarkan matematika terutama pada pokok bahasan kubus dan balok. Dengan pemodelan siswa ditunjukkan contoh-contoh bangun ruang secara konkret sehingga konsep mengenai bangun ruang tersebut lebih cepat diterima dan dipahami oleh siswa, sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika melalui pendekatan kotekastuan dengan pemodelan.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
15
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 1 Jiwan Kabupaten Madiun Tahun Pelajaran 2008/2009. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII C dengan jumlah 41 siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan tiga siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masingmasing siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting). Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes. Instrumen yang digunakan adalah soal tes yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar.
Analisis data yang digunakan adalah
kualitatif dengan model analisis
interaktif.
Guru melakukan
pembelajaran pendekatan kontekstual dengan pemodelan. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah ketuntasan individu ditetapkan dengan kriteria apabila peserta didik telah menguasai 65% dari jumlah soal yang diberikan atau dengan nilai 6,5. Ketuntasan klasikal tercapai apabila 85% dari jumlah peserta didik telah tuntas atau dengan nilai 85.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes prestasi belajar seperti ditunjukkan pada tabel 1, siklus I nilai rata-rata siswa yaitu 65. Adapun jumlah siswa yang tuntas pada siklus I sebanyak 25 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 19 siswa. Prosentase ketuntasan belajar siswa adalah 60,98%. Siklus
16
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
II tes prestasi belajar menunjukkan nilai rata-rata siswa yaitu 69,02. Jumlah siswa yang tuntas sebanyak 27 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 14 siswa. Prosentase ketuntasan belajar adalah 65,85%. Hasil tes prestasi beajar siklus III nilai rata-ratanya 77,80. Jumlah siswa yang tuntas pada siklus I sebanyak 33 siswa dan yang tidak tuntas sebanyak 8 siswa. Prosentase ketuntasan belajar siswa adalah 80,49%. Tabel 1. Rerata prestasi dan persentase ketuntasan belajar Matetatika siswa kelas VIII SMPN I Jiwan Kab. Madiun melalui pendekatan kontekstual dengan pemodelan
Siklus I
Nilai Ratarata 65
Jumlah siswa tuntas 25
Jumlah siswa tidak tuntas 19
Siklus II Siklus III
69,02 77,8
27 33
14 8
Keterangan
Prosentase Ketuntasan 60,98% 65,85% 80,49%
Seperti tabel 1 nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena guru selalu melibatkan siswa dalam diskusi, memotivasi siswa untuk bertanya serta lebih banyak mengajak komunikasi siswa. Pembelajaran kontekstual siswa dituntut penuh untuk terlibat dalam pembelajaran dan menemukan sendiri materi yang ia pelajari. Setelah materi mereka temukan, siswa didorong untuk menemukan hubungan materi yang ia peroleh dengan kehidupan mereka. Selain itu, dalam pembelajaran
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
17
kontekstual siswa juga didorong untuk dapat menerapkan materi yang mereka peroleh dengan kehidupan mereka. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran kontekstual. Menurut Wina Sanjaya (2006) melalui modeling atau pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Hal ini mempunyai pengertian bahwa dengan modeling siswa akan mendapatkan gambaran yang konkret tentang apa yang sedang ia pelajari sehingga pengetahuan yang ia peroleh bukan sekedar teori tapi benar-benar ia pahami baik secara konsep maupun prakteknya. Sesuai dengan materi yang diajarkan tentang kubus dan balok, maka guru membawa contoh-contoh bentuk kubus dan balok, sehingga siswa dapat menggambarkan secara nyata. Melalui alat peraga siswa akan mendapatkan gambaran yang konkret mengenai materi yang mereka pelajari. Misalnya dalam mempelajari luas permukaan bangun kubus dan balok, mungkin beberapa siswa hafal dengan rumus tersebut, akan tetapi mereka tidak mengerti bagaimana rumus tersebut diperoleh bahkan seiring waktu berjalan mereka akan lupa dengan rumus tersebut. Melalui pendekatan kontekstual dengan pemodelan siswa akan ditunjukkan secara konkrit bangun kubus dan balok, dan bersama-sama mereka diajak mencari rumus luasnya sehingga rumus yang mereka peroleh dapat lebih melekat dalam ingatan mereka.
18
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan pemodelan pada pokok bahasan kubus dan balok dapat meningkatkan prestasi belajar matematika Saran Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan pemodelan dalam pembelajaran matematika, sehingga dalam penjelasan materi dapat dihindari pemahaman yang abstrak. Tersedianya alat peraga dan media yang memadai juga sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
19
DAFTAR RUJUKAN Aulia Arie Fridayanti. 2008. Upaya Meningkatkan prestasi Belajar siswa pada pokok bahasan geometri dengan menggunakan alat peraga melalui pendekatan kooperatif di kelas VIII SMP Negeri Jiwan Tahun Ajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan. Madiun: Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun Erman Suherman. 2009. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika, (Online),http://educare.e-fkipunla.com Diakses 4 Maret 2009 Herawati Susilo, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas sebagai sarana pengembangan keprofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayumedia Publishing Herman Hudojo. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press Retno Wulandari. 2008. Upaya Menciptakan Suasana Belajar Matematika yang Menyenangkan dengan Media Karikatur pada Sub Pokok Bahasan Geometri Siswa Kelas V MI Islamiyah 02 Madiun Tahun Ajaran 2007/2008. Skripsi tidak diterbitkan. Madiun: Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun Sudaryani. 2008. Penerapan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika di kelas VIII E SMP Negeri 10 Madiun Tahun Pelajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan. Madiun: Fakultas MIPA IKIP PGRI Madiun Wina Sanjaya. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana
20
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN SCRAMBLE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SINTESIS (SYNTHESIS) PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI
Ery Tri Wulandari Marheny Lukitasari Pendidikan Biologi FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus melalui tahap perencanaan, tindakan, observasi, refleksi. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-D SMP N 10 Madiun, sejumlah 42 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penerapan model pembelajaran scramble kemampuan kognitif siswa pada tingkat sintesis meliputi aspek menyusun, merumuskan dan menghubungkan suatu masalah, meningkat dari siklus I sebesar 64% dan siklus II sebesar 81%. Aktivitas siswa pada siklus I sebesar 68% meningkat pada siklus II menjadi 87,5%. Kata kunci : model scramble, kemampuan sintesis.
PENDAHULUAN Proses pembelajaran merupakan kegiatan integral antara pelajar dan guru sebagai pengajar, yang dalam kegiatan ini berlangsung interaksi reciprocal yaitu hubungan antara guru dengan peserta didik dalam situasi dalam pembelajaran. Keberhasilan kegiatan pembelajaran ditentukan oleh kerja sama antara guru dan peserta didik tersebut. Proses pembelajaran di SMP Negeri 10
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
21
Madiun, belum dapat mengaktifkan peserta didiknya sebagai subyek secara maksimal. Berdasarkan observasi yang sudah dilakukan, di SMP Negeri 10 Madiun hasil belajar yang dicapai menunjukkan bahwa siswa sudah cukup menguasai kemampuan kognitif pada aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Namun ketika siswa diberi tes tulis berupa soal aspek sintesis, siswa merasa kesulitan sehingga nilai yang diperoleh menjadi rendah. Kemampuan
sintesis
merupakan
kemampuan
untuk
mengumpulkan dan mengorganisasikan semua unsur atau bagian, sehingga
membentuk
satu
keseluruhan
secara
utuh.
Untuk
menampilkan pikiran secara orisinal dan inovatif secara intelektual dengan
mengkombinasikan semua unsur
yang relevan guna
membentuk suatu pola atau struktur yang sama. Aspek sintesis dalam pembelajaran ditunjukkan dalam suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga membentuk menjadi struktur yang baru.
Menurut
Nasution, (2005: 35)
kemampuan sintesis yang dikemukakan pada hasil belajar pada aspek sintesis merupakan suatu proses yang didasarkan untuk menjadikan orang lebih kreatif, yang mana berpikir kreatif merupakan salah satu hasil yang hendak dicapai dalam pendidikan. Sehubungan dengan kemampuan sintesis hasil belajar pada aspek sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan siswa lebih kreatif. Seseorang yang kreatif sering menemukan atau menciptakan sesuatu, dengan kemampuan sintesis orang mungkin
22
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau menemukan abstraksinya atau operasionalnya (Nana Sudjana, 2002) Menurut Martinis (2007) Model pembelajaran scramble merupakan
model
pembelajaran
yang
menyerupai
permainan
scramble menyusun kembali susunan huruf-huruf yang memang telah dikacau balaukan terlebih dahulu menjadi kata seperti semula. Dalam pembelajaran scramble ini keaktifan dan kreatifitas siswa menjadi hal yang penting karena tanpa hal tersebut siswa menjadi tidak berkembang. Model pembelajaran scramble mampu mengoptimalkan siswa untuk berpikir lebih kreatif dalam menemukan dan menyusun suatu pola atau
struktur yang baru yang ternyata dapat meningkatkan
kemampuan sintesis peserta didik. Berdasarkan observasi yang sudah dilakukan, di SMP Negeri 10 Madiun hasil belajar yang dicapai menunjukkan bahwa siswa sudah cukup menguasai kemampuan kognitif pada aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Namun ketika siswa diberi tes tulis berupa soal aspek sintesis, siswa merasa kesulitan sehingga nilai yang diperoleh menjadi rendah. Untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa, terutama menyeimbangkan kemampuan kognitifnya maka model pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran scramble. Kemampuan
sintesis
merupakan
kemampuan
untuk
mengumpulkan dan mengorganisasikan semua unsur atau bagian, sehingga
membentuk
satu
keseluruhan
secara
utuh.
Untuk
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
23
menampilkan pikiran secara orisinal dan inovatif secara intelektual dengan
mengkombinasikan semua unsur
yang relevan guna
membentuk suatu pola atau struktur yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi model pembelajaran scramble untuk meningkatkan kemampuan sintesis pada mata pelajaran Biologi siswa Kelas VIII-D SMP Negeri 10 Madiun. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 10 Madiun Tahun Pelajaran 2008/2009. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII D dengan jumlah 42 siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan tiga siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masing-masing siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting). Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa selama proses KBM dengan menerapkan model pembelajaran scramble yang meliputi data prestasi belajar siswa terutama dari aspek sintesis siswa, data aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Teknik pengumpulan data menggunakan tes prestasi belajar dan observasi. Tes prestasi belajar aspek sintesis diberikan pada akhir kegiaan pembelajaran. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah ketuntasan individu ditetapkan dengan kriteria apabila peserta didik telah menguasai 65% dari jumlah soal yang
24
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
diberikan atau dengan nilai 6,5. Indikator ketercapaian dalam penelitian ini adalah 80%. Teknik analisis
data menggunakan analisis kualitatif
interaktif. Dalam analisis yang harus dilaksanakan adalah
reduksi
data, yang merupakan komponen pertama dalam analisis berupa proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari jenis yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes prestasi belajar seperti ditunjukkan pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa masih kurang dari indikator yang ditetapkan, karena rata-rata hanya 64,28% siswa yang mencapai ketuntasan belajarnya. Prosentase ketidak tuntasan belajar siswa adalah 35,72%.
Tabel 2. Frekuensi Relatif Prestasi Belajar Siswa Siklus I SKBM
Siklus I
Rata-rata
Keterangan
Tatap
Tatap Muka
Muka I
II
65
59,52
69,04
64,28
Tuntas
< 65
40,48
30,95
35,72
Tidak tuntas
Indikator ketercapaian 80 %
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
25
Sedangkan hasil prestasi belajar siswa siklus II seperti pada tabel 2 yang menunjukkan prestasi belajar siswa telah mencapai ketuntasan dengan prosentase sebesar 80,95%, sehingga sudah mencapai indikator yang ditetapkan yaitu 80 % siswa mendapat nilai 65. Sedangkan 11,91% siswa lainnya belum tuntas. Tabel 2. Frekuensi Relatif Prestasi Belajar Siswa Siklus II SKBM
Siklus I
Rata-rata
Keterangan
TM I
TM II
65
69,05
92,85
80,95
Tuntas
< 65
16,67
7,14
11,91
Tidak tuntas
Indikator ketercapaian 80 %
Siklus I siswa yang belum tuntas sebanyak 15 siswa, dengan prosentase 36%. Masih banyak siswa yang belum mencapai ketuntasan disebabkan karena kurang aktifnya siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga aktifitas-aktifitas siswa yang sebenarnya merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran kurang termotivasi dengan baik. Pola pikir siswa kurang terbentuk kearah pemikiran yang mengacu pada aspek sintesis. Aktifitas siswa pada siklus I mayoritas siswa belum mampu mengerjakan soal sintesis sehingga masih banyak jawaban salah. Sulitnya materi pelajaran serta masih belum terbiasa menggunakan model pembelajaran scramble menjadikan siswa mengalami kebingungan saat KBM berlangsung. Siklus II yang belum mencapai ketuntasan sebanyak 5 siswa dengan prosentase 12% dari jumlah seluruh siswa. Aktivitas
26
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
intelektual siswa pada aspek sintesis mengalami peningkatan dan kemampuan dalam pola pikir siswa sudah terbentuk ketingkat pemikiran aspek sintesis, siswa sudah mulai berpikir aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai pendapat (Anas Sudjiono, 2006: 51) menyatakan bahwa kemampuan aspek sintesis merupakan suatu proses yang didasarkan untuk berpikir menjadikan orang lebih kreatif, berpikir kreatif salah satu yang hendak dicapai dalam pendidikan. Bukti yang lain banyak siswa yang antusias dan aktif bertanya pada materi yang belum dipahami. Siswa sudah mampu dalam menguasai materi, karena guru dalam penyampaian materi pelajaran dilaksanakan dengan tepat dan jelas. Memotivasi siswa dengan melontarkan pertanyaan yang cukup merangsang siswa untuk berpikir serta memberi kesempatan pada siswa. Setelah penerapan model pembelajaran scramble prestasi belajar siswa mengalami peningkatan dari 64% pada siklus I 64% menjadi 81% pada siklus II, hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran scramble berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran siklus I seperti pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran pada siklus I adalah 68,75%, termasuk kedalam kategori aktif tetapi belum mencapai indikator ketercapaian yaitu 81.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
27
Tabel 3. Data Hasil Aktivitas Siswa Kegiatan Aktivitas Siswa
Aspek yang diamati a.
Mendengarkan atau memperhatikan penjelasan dari guru b. Aktif dalam kegiatan pembelajaran c. Keaktifan siswa dalam mengerjakan LKS sesuai model scramble d. Mengerjakan soal tes diakhir PBM Jumlah Persentase rata-rata Rata-rata Jumlah aktivitas siswa
Skor TM I TM II 2 2 2 4
4 4
2 2 10 12 62,5 75 68,75 22
Indikator ketercapaian 81 kategori aktif
Hasil refleksi menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang kurang antusias saat guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada saat kegiatan
belajar berlangsung, kurang mampunya siswa
dalam menguasai materi, kemampuan siswa masih kurang dan belum menunjukkan adanya kreatifitas pada saat mengerjakan LKS model scramble, masih kurangnya antusias pada saat mengerjakan soal tes diakhir KBM, terlihat guru masih dominan pada dalam menerapkan model scramble. Sedangkan hasil observasi aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran siklus I seperti pada tabel 4 menunjukkan bahwa skor yang diperoleh mencapai 14, menunjukkan aktivitas siswa sebesar 87,5 % dengan kategori sangat aktif.
28
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Tabel 4. Hasil Aktivitas Siswa Pada Siklus II Kegiatan
Aspek yang dinilai a. Mendengarkan dan memperhatikan guru b. Aktif dalam kegiatan pembelajaran c. Keaktifan siswa dalam mengerjakan LKS d. Mengerjakan soal tes diakhir PBM
Aktivitas siswa
Skor TM I TM II 3 4 3 4 4 4 2 4
Jumlah 12 16 Prosentase nilai rata-rata 75 100 Rata-rata 87,5 Jumlah skor maksimal 16 Indikator ketercapaian 81 kategori sangat baik
Aktivitas siswa pada siklus I masih banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan dari guru, sehingga kurang lebih dari 50% siswa memperhatikan penjelasan dari guru. Saat guru memberikan tugas berupa LKS model scramble masih banyak siswa yang bingung, ramai sendiri. Siklus II saat guru menjelaskan materi, semua siswa antusias memperhatikan penjelasan dari guru sehingga siswa menunjukkan keaktifan dalam kegiatan pembelajaran misalnya: siswa menanyakan pada guru materi yang belum ia pahami, terbukti sudah mengalami peningkatan dari yang 1 atau 2 siswa yang bertanya menjadi 3 atau 5 siswa. Saat mengerjakan LKS siswa banyak yang kreatif sehingga sudah mampu untuk menyusun, menggabungkan dan menjawab dengan benar. Sesekali guru memberi saran untuk diskusi dengan teman sebangku. Sesuai pendapat (George Boeree, 2008: 74) yang menyatakan bahwa kebaikan metode diskusi antara lain menyadarkan
peserta
didik
bahwa
dengan
diskusi
mereka
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
29
mengungkapkan pendapat secara kontruktif atau dapat diperoleh suatu keputusan yang lebih baik.
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran scramble dapat meningkatkan hasil prestasi belajar khususnya pada aspek sintesis siswa serta meningkatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam proses pembelajaran. Saran Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan metode pembelajaran yang sesuai untuk dapat melatih konsep berpikir sintesis, sehingga proses berpikir analitis dapat dibangun oleh siswa. DAFTAR RUJUKAN M. Sardiman . 2003. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada Asep Herry Hermawan. 2008. Pemgembangan Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. E. Mulyasa . 2005. Imp lementasi Kurikulum 2004 Tingkat Satuan Pendidikan. PT Bumi Aksara. Hadiyanto, M.Ed. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta.
30
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Martinis Yahmin. 2007. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press Nana Sudjana. 2002. Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah. Bandung: PT Sinar Baru Algasindo. Nana Sudjana. 2002. Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah. Bandung: PT Sinar Baru Algasindo. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
31
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TPS DAN NHT TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI ASPEK SELF CONCEPT Agus Darmawan Sanusi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan NHT terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari aspek self concept. Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMPN 1 Ngariboyo yang berjumlah 5 kelas atau 186 siswa. Sampel yang diambil menggunakan teknik cluster random sampling yaitu kelas VII A dan VII E atau berjumlah 76 siswa. Metode pengumpulan data menggunakan tes untuk memperoleh data prestasi belajar matematika dan angket untuk memperoleh data self concept siswa. Analisis data yang digunakan adalah anava dua jalan dengan sel tak sama. Hasil uji hipotesis dengan uji anava (α = 0,05) menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan efek antar baris terhadap variabel terikat (Fobs = 8,1990 dan Fα = 4,00), (2) terdapat perbedaan efek antar kolom terhadap variabel terikat (Fobs =29,5828 dan Fα = 3,15), (3) tidak ada interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat (Fobs = 0,1504 dan Fα = 3,15). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah prestasi belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe NHT. Siswa yang mempunyai self concept tinggi lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept sedang maupun rendah, tetapi bagi siswa yang mempunyai self concept sedang dan rendah tidak mempunyai perbedaan prestasi belajar yang berarti. Kata Kunci: TPS, NHT, self concept, prestasi belajar
32
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bahwa tidaklah sedikit dari siswa yang menganggap bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit. Pandangan ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap siswa untuk dapat menerima pelajaran yang disampaikan guru.
Dengan adanya
pandangan tersebut,
tidak
seharusnya
matematika diberikan secara langsung oleh guru sedangkan siswa hanya sebagai pendengar. Siswa harus lebih memiliki kesadaran untuk mempelajari dan mempunyai kemampuan cara mempelajari.Untuk itulah belajar matematika tidak hanya berorientasi pada materi dan latihan soal untuk mengejar hasil belajar siswa, tetapi juga harus berorientasi
kepada
proses
belajar
agar
siswa
mendapatkan
pengalaman belajar yang mengesankan. Model pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada aktivitas siswa untuk mengembangkan sendiri pengetahuan yang ada pada
dirinya
serta
menentukan
lingkungan
belajar
yang
mendukungnya. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas terstruktur. Sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dalam membantu siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya tersebut sehingga dapat menggali setiap kompetensi yang dimiliki siswa. Guru sebagai salah satu komponen yang memegang peran penting dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Guru harus mampu mengelola kelas secara baik dan benar, mulai dari pemilihan metode pembelajaran, persiapan rencana pembelajaran dan penerapannya di dalam kelas. Melalui
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
33
metode pembelajaran yang dipakai guru, diharapkan mampu menciptakan suasana kelas yang siswanya aktif dan merasa senang dalam kegiatan belajarnya. Selain itu model pembelajaran yang diterapkan oleh guru haruslah mampu meningkatkan kemampuan intelektual siswa serta membantu perkembangan keterampilan kognitif yang
memungkinkan
siswa
untuk
belajar
sehingga
mampu
memecahkan permasalahan. Selain faktor guru, keberhasilan proses belajar mengajar juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian siswa. Faktor kepribadian ini merupakan bagian dari psikologi siswa. Tingkat perkembangan kepribadian siswa sebagai dampak dari proses belajar mengajar sangat bervariasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Menurut Yusuf dan Nurihsan (2007), salah satu aspek dari kepribadian anak tersebut adalah konsep diri (self concept) siswa. Aspek ini kurang mendapat perhatian dari
guru selama proses belajar mengajar
berlangsung. Konsep diri siswa dapat tumbuh dan berkembang akibat dari interaksi anak dengan lingkungan serta orang-orang yang berpengaruh
dalam
kehidupannya.
Bagi
siswa-siswa
Sekolah
Menengah Pertama (SMP) orang-orang tersebut adalah orang tua, guru serta teman-temannya. Jika seorang guru dapat menerapkan sebuah metode pembelajaran yang menunjang interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa maka kemungkinan hal ini akan membantu perkembangan konsep diri siswa. Hal ini perlu disadari oleh guru supaya siswa mempunyai konsep diri yang positif sehingga
34
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
menumbuhkan rasa kepercayaan diri yang kuat. Kepercayaan diri inilah siswa akan termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajarnya secara maksimal (Hawadi, 2004). Self concept merupakan bagian dari kepribadian seseorang, oleh karena itu self concept dapat mengalami perkembangan baik itu perkembangan ke arah positif dan ke arah negatif. Orang yang memiliki self concept positif ataupun negatif memiliki karakteristik yang berbeda. Meskipun demikian, belum tentu anak yang pada dasarnya diperlakukan dan dididik dalam lingkungan yang sama akan memiliki tingkah laku dan perkembangan self concept yang sama pula. Menurut Syamsu Yusuf (2007), hal ini dikarenakan dalam proses perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi fisik, kematangan biologis, dampak media masa, tuntutan sekolah, pengalaman ajaran agama, masalah ekonomi keluarga, hubungan dalam keluarga dan harapan orang tua. Metode TPS dan NHT merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang dapat mengembangkan pola pikir dan psikologis anak. Metode Think Pair Share (TPS) berkembang dari penelitian belajar
kooperatif.
Teknik
belajar
mengajar
TPS
(berpikir–
berpasangan–berbagi/Think Pair Share) dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland pada tahun 1985. Teknik ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir dan merespon serta saling berinteraksi satu sama lainya. Metode Numbered Head Together (NHT) adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
35
lebih banyak siswa dalam menelaah pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan NHT terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari aspek self concept.
METODE PENELITIAN Penelitian
ini
berupa
penelitian
eksperimen
yang
dilaksanakan di SMP Negeri 1 Ngariboyo, Kecamatan Ngariboyo. Populasi penelitian ini adalah siswa Kelas VII di SMP N 1 Ngariboyo Tahun Ajaran 2008/2009, yang terdiri dari 5 kelas yaitu kelas VII A sampai dengan VII E sebanyak 186 siswa. Sampel yang diambil adalah sebesar 2 kelas atau 76 siswa, dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Teknik
pengumpulan
data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah metode tes dan angket. Metode tes digunakan untuk mengambil data prestasi
belajar siswa, sedangkan dengan
metode angket digunakan untuk mengambil data konsep diri (self concept) siswa. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif yaitu datadata yang dapat dihitung atau diukur. Teknik
analisis
data
secara
kuantitatif
dengan
menggunakan analisis statistik analisis varian dua jalan dengan frekuensi sel tak sama. Untuk keperluan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu: Uji Normalitas dengan
36
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
menggunakan
uji
Lilliefors
dan
Uji
Homogenitas
dengan
menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya skema penelitian adalah seperti pada gambar 1 Desain penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Kelompok eksperimen
Tingkat Self concept tinggi, sedang dan rendah
Sampel Kelompok kontrol
Metode TPS PRESTASI
Tingkat Self concept tinggi, sedang dan rendah
Metode NHT
Gambar 1. Skema Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pembelajaran dan siswa diberikan angket self concept serta tes prestasi belajar matematika, diperoleh rata-rata untuk kelas eksperimen sebesar 10, 4474 dan kelas kontrol sebesar 9,5790. Data nilai rata-rata prestasi belajar siswa dan self concept terdapat pada tabel 1.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
37
Tabel 1. Nilai rata-rata prestasi belajar siswa dan self concept Self Concept
Rata-rata prestasi
Rata-rata prestasi belajar
belajar
Eksperimen
Kontrol
Tinggi
11,8
12,5
11,1539
Sedang
9,5455
10
9,1667
Rendah
8,3889
8,8182
7,7143
Berdasarkan data induk penelitian diperoleh rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe TPS pada pokok bahasan garis dan sudut adalah 10,4474. Ini berarti siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe TPS mampu menyelesaikan soal dengan benar 65,53%. Siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe NHT diperoleh rata-rata tes prestasinya adalah 9,5790. Ini berarti siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe NHT mampu menyelesaikan soal dengan benar 59,87%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata prestasi belajar siswa yang memiliki self concept tinggi adalah 11,8 atau 73,75%, siswa yang memiliki self concept sedang adalah 9,5455 atau 59,66% dan siswa yang memiliki self concept rendah adalah 9,3889 atau 58,68%. Ini berarti bahwa siswa yang memiliki self concept tinggi mampu menyelesaikan soal dengan benar 73,75%, self concept sedang mampu menyelesaikan soal dengan benar 59,66%, self concept rendah
mampu
menyelesaikan
soal
dengan
benar
58,68%.
38
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
menunjukkan bahwa peluang siswa yang memiliki self concept tinggi untuk menyelesaikan soal dengan benar lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept sedang maupun rendah dan peluang siswa yang memiliki self concept sedang untuk menyelesaikan soal dengan benar lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept rendah. melihat rata-rata prestasi belajar matematika pada siswa yang memiliki self concept tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki self concept sedang maupun rendah. Begitu juga dengan siswa yang self conceptnya sedang memiliki rata-rata prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept rendah meskipun perbedaannya tidak begitu signifikan. Ini berarti, prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai self concept tinggi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai self concept sedang maupun rendah, tetapi bagi mereka yang memiliki self concept sedang dan rendah tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa peluang siswa untuk menyelesaikan soal dengan benar pada kelas yang diberikan pembelajaran TPS lebih baik jika dibandingkan dengan kelas yang diberikan pembelajaran NHT. Teknik belajar mengajar TPS memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir dan merespon serta saling berinteraksi satu sama lainya. Sehingga siswa mampu berpikir kritis dan analitis. Kerja sama dengan sesama teman dapat memberikan motivasi belajar, sehingga siswa menjadi lebih aktif. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
39
telah dipenuhi kemudian dilakukan uji anava. Hasil uji hipotesisis seperti pada tabel 2 Tabel 2. Hasil uji anava Sumber
JK
dk
Fobs
RK
F
Kesimpulan
H0 Metode (A)
20,8787
1
20,8787
8,1990
4,00
H0
Self Concept (B)
Ditolak
150,6654
2
75,3327
29,5828
3,15
Ditolak
H0 Interaksi (AB)
0,7658
2
0,3829
0,1504
3,15
Diterima
Galat
178,2573
70
2,3768
-
-
-
Total
350,5672
75
-
-
-
-
Berdasrkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa Fobs = 8,1990 DK sehingga H 0 A ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe TPS dan NHT. Setelah dilakukan uji lanjut pasca anava terlihat bahwa siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif tipe TPS dan NHT memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan. Jika dilihat dari rata-rata yang diperoleh pada masing-masing kelas, terlihat bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pembelajaran dengan metode kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada siswa yang diberi pembelajaran dengan metode kooperatif tipe NHT.
40
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa H 0 A ditolak, H 0 B ditolak dan H 0 AB diterima. Ini berarti untuk H 0 A dan H 0 B perlu dilakukan uji lanjut pasca anava untuk melihat perbedaan yang terjadi untuk setiap kategori faktor A dan B. Akan tetapi H 0 AB diterima sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut pasca anava. Untuk melihat perbedaan yang terjadi untuk setiap kategori cukup dengan melihat rataan marginal pada setiap sel. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Shceffe dengan tingkat signifikans 0,05. Hasil yang diperoleh dari uji lanjut pada H 0 A adalah Fobs = 5,6318 dengan daerah kritik F > 4,00. Ini berarti bahwa Fobs DK , sehingga H 0 ditolak. Sedangkan rangkuman hasil uji lanjut pada H 0 B yang diperoleh adalah sebagai berikut seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji lanjut Faktor Komparasi
Self Concept (B)
H0
Fobs
DK
Kesimpulan
1 2
28,3955
6,3
H 0 Ditolak
1 3
47,8044
6,3
H 0 Ditolak
2 3
6,1166
6,3
H 0 Diterima
Berdasarkan hasil uji shceffe tersebut menunjukkan bahwa faktor a1 memiliki perbedaan rataan secara signifikan dengan faktor
a 2 , faktor b1 memiliki perbedaan rataan secara signifikan dengan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
41
faktor b2 dan b3 . Sedangkan faktor b2 tidak memiliki perbedaan rataan secara signifikan dengan faktor b3 .
42
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prestasi belajar matematika siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe NHT. Apabila ditinjau dari masing-masing kategori self concept siswa; prestasi belajar siswa yang mempunyai self concept tinggi lebih baik dari pada siswa yang memiliki self concept sedang maupun rendah, tetapi bagi siswa yang mempunyai self concept sedang dan rendah tidak mempunyai perbedaan prestasi belajar yang berarti. Saran Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik siswa, serta perlunya memberikan motivasi belajar, sehingga siswa mampu membangun kepercayaan dirinya. Semuanya itu diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
43
DAFTAR RUJUKAN Reni Akbar Hawadi (Eds.). 2004. Akselerasi: A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta: Grasindo. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Slavin, Robert E. 2009. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. T. Safaria. 2004. Tes Kepribadian untuk Seleksi Pekerjaan. Yogyakarta: Amara Books. Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. _______, 2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
44
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MEMPERCEPAT PENYELESAIAN SOALSOAL MATEMATIS DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR FISIKA
Anggun Windha Ningrum Erawan Kurniadi
Pendidikan Fisika FP MIPA IKIP PGRI Madiun ABSTRAK Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk menerapkan model pembelajaran Picture and Picture dalam memudahkan siswa menyelesaikan soal matematis, meningkatkan ketepatan siswa dalam mengerjakan soal matematis sebagai upaya dalam meningkatkan prestasi belajar fisika. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 1 Barat Magetan sebanyak 39 siswa. Pengumpulan data menggunakan tes prestasi belajar dan pengamatan aktivitas pebelajaran. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Picture and Picture pada dapat mambantu siswa untuk lebih cepat dalam menyelesaikan soal matematis. Kata kunci: picture and picture, menyelesaikan soal, prestasi belajar
ketepatan
jawaban,
kecepatan
PENDAHULUAN Berdasarkan
hasil
pengamatan
terbatas
yang
telah
dilakukan, dalam proses belajar mengajar fisika di SMA secara umum, guru fisika masih terbiasa dengan pengajaran klasikal dengan pendekatan ekspositori dan jarang memberikan kesempatan terjadinya interaksi dan kerja sama antar siswa. Siswa kurang maksimal dalam menyerap konsep yang dijelaskan oleh guru, mereka cenderung pasif dan tidak termotivasi untuk memperhatikan materi yang disampaikan.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
45
Akibatnya konsep yang dijelaskan tidak dapat dipahami atau bahkan siswa tidak mampu menyelesaikan soal-soal deskripsi maupun soalsoal matematis. Nilai rata-rata ulangan yang diperoleh siswa dibawah SKM yaitu 58,46 dengan keterangan 11 siswa yang mendapat nilai diatas SKM, nilai terendah 35 dan nilai tertinggi 75. Pembelajaran fisika merupakan pembelajaran sains yang menitikberatkan pada proses, dan merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
mengumpulkan
data,
menganalisis
dan
akhimya
menyimpulkan (Agus S, 2003). Terkait tentang pembelajaran, maka yang menjadi pusat perhatian adalah komponen-komponen dalam sistem pembelajaran. Komponen ini terutama apabila dikaitkan dengan kegiatan dalam pengebangan teori-teori pembelajaran. Salah satu komponen tersebu adalah metode pembelajaran, yang merupakan suatu cara yang berbeda untuk mencapai hasil pmbelajaran di bawah kondisi pembelaaran yang berbeda. Hasil pembelajaran mencakup semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Evaluasi yang dilakukan tidak terbatas pada evaluasi hasil (ulangan harian, kuis, tugas kelompok, tugas individu dan ulangan akhir semester), tetapi dapat juga dilakukan evaluasi proses.
46
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Untuk meningkatkan mutu pembelajaran fisika diperlukan perubahan pola pikir yang digunakan sebagailandasan pembelajaran. Pembaharuan harus dimuali dari bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Penyelesaian soal adalah bagian yang amat penting, bahkan paling penting dalam pembelajaran eksakta, mampu menyelesaikan soal merupakan tujuan utama belajar matematika dan fisika. Banyak ahli berpendapat bahwa pembelajaran yang berorientasi atau memfokuskan pada penyelesaian soal akan memberi hasil yang bagus dan mampu mengatasi kelemahan pembelajaran ekskata (Aunmansda.2004). Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apabila antara metode, strategi, teknik dan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Model pembelajaran Picture and Picture menggunakan media gambar sebagai pengantar untuk mengetahui apakah media tersebut mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa khususnya membantu siswa ketika mereka menyelesaikan soal-soal khususnya soal matematis. Model pembelajaran Picture and Picture merupakan model pembelajaran yang mementingkan permainan dengan gambar tentang pelajaran yang bersangkutan. Pada metode ini siswa diharapkan
bisa
belajar
dengan
rasa
senang.
Metode
ini
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
47
mementingkan sesuatu yang nyata terhadap apa yang akan dipelajari siswa. Model pembelajaran Picture and Picture mempunyai kelebihan yaitu guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing dari peserta didiknya, melatih berfikir secara logis dan sistematis. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan banyak waktu, banyak siswa yang pasif. Namun demikian model pembelajaran ini merupakan salah satu cara dalam meningkatkan siswa dalam berpikir logis dan sistematis, sehingga diharapkan siswa mampu menyelesaikan soal-soal matematis pada mata pelajaran fisika.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Barat Kabupaten Magetan. Subyek penelitian adalah siswa kelas X 2 dengan jumlah 31 siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan dua siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masing-masing siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting). Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes prestasi belajar dan observasi aktivitas belajar siswa.
Instrumen yang
digunakan adalah soal tes yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar serta lembar observasi aktivitas belajar siswa. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan model analisis interaktif.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
48
Indikator
keberhasilan dalam penelitian
ini
adalah
ketuntasan individu ditetapkan dengan kriteria apabila peserta didik telah menguasai 65% dari jumlah soal yang diberikan atau dengan nilai 6,5. Ketuntasan klasikal tercapai apabila 85% dari jumlah peserta didik telah tuntas atau dengan nilai 85.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes prestasi belajar dan ketepatan menyelesaikan soal matematis pada pokok bahasan energi dan daya listrik seperti ditunjukkan pada tabel 1, adapun nilai rata-rata prestasi belajar siswa pada siklus I adalah 62,76 sedangkan nilai rata-rata prestasi belajar siswa pada siklus II adalah 84,19. Ketepatan dan kecepatan dalam menjawab soal matematis pada siklus I adalah 36,2% dengan waktu 18,4 menit tiap soal, sedangkan pada siklus II adalah 65% dengan waktu 9,9 menit tiap soal. Tabel 1. Hasil tes prestasi belajar, ketepatan dan kecepatan menyelesaikan soal matematis kelas X 2 SMAN 1 Barat Kabupaten Magetan. No
Keterangan
Siklus I
Siklus II
1.
Nilai rata-rata prestasi belajar
62,76
84,19
2.
Persentase Ketepatan jawaban
36,2 %
65%
3.
Kecepatan menyelesaikan soal
18,04 menit/soal
9.9 menit/soal
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
49
Seperti tabel 1 nilai rata-rata prestasi belajar dan ketepatan serta kecepatan
dalam menyelesaikan soal matematis mengalami
peningkatan, hal ini disebabkan karena guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan berpendapat sebanyak 3 kali. Kesempatan tersebut telah membuat siswa merasa puas dalam bertanya dan berpendapat. Media pembelajaran berupa gambar materi listrik dinamis sudah disediakan di depan kelas. Dalam siklus II siswa mulai aktif bertanya dan memahami untuk mencocokan gambar soal dengan hasilnya. Keaktifan siswa juga mulai berubah, ditunjukkan dengan pergiliran siswa berani untuk menjawab pertanyaan guru. Pengarahan guru juga diberikan agar interaksi dapat saling berlangsung dua arah.
Siswa mampu menghargai pendapat siswa
yang lain. Pembagian waktu dan pemberian kesempatan berpendapat yang diberikan pada siswa membuat siswa lebih banyak untuk mengeluarkan pendapatnya. Siswa juga mampu mengerjakan dan menjawab pertanyaan dari soal-soal bergambar. Model pembelajaran Picture and Picture dilaksanakan berbantuan media gambar sebagai alat
pengantar
pembelajaran dan penerapannya dengan cara
memberikan soal bergambar. Soal bergambar diberikan beserta urutan jawabannya maka siswa hanya dituntut untuk mencari proses perhitungan soal tersebut. Penerapan model pembelajaran Picture and Picture sangat membantu siswa dalam meyelesaikan soal matematis dengan cepat.
50
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutikno (2007) menytakan
bahwa
siswa
telah
memahami
tata
cara
model
pembelajaran picture and picture dan mampu berperan aktif dalam proses pembelajaran, karena model pembelajaran ini mampu melatih siswa untuk berpikir logis dan sistematis dengan melihat gambar yang diberikan oleh guru. Sehingga siswa akan menjadi lebih cepat dan tepat dalam menyelesaikan soal matematis pada konsep listrik dinamis.
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran picture and picture sangat membantu siswa dalam meyelesaikan soal matematis dengan tepat dan cepat.
Saran Guru diharapkan dapat menerapkan pembelajaran menggunakan model picture and picture sehingga siswa dapat lebih cepat dan tepat dalam menelesaikan soal matematis pada mata pelajaran fisika.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
51
DAFTAR RUJUKAN Slameto. 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara Sudjana Nana.2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama Aunmansda.2004:Penyelesaian soal.http://journal.www.mediapembelajaran.go.id. Diakses 3 Februari 2009. Arikunto suharsimi. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara Sudrajat. 2008. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. Jurnal Ilmu Pendidikan (Online), (http://smacepiring.wordpress.com, diakses 11 April 2009 Sutopo. 2006. Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
52
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN EXPLICIT INSTRUCTION DAN STAD TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA Toyyib Syaichoni Sardulo Gembong Pndidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelaaran explicit instruction dan STAD terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari motivasi belajar. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen. Populasi yang digunakan adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Kawedanan berjumlah 175 siswa. Sampel sejumlah 35 siswa kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan 36 siswa VIIB sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dengan teknik cluster random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan tes untuk meliht data prestasi belajar dan angket untuk melihat data motivasi belajar. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik analisis variansi dua jalan frekuensi sel tak sama dan dilanjutkan dengan uji lanjut komparasi metode Scheffe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika yang dilakukan dengan pembelajaran model STAD lebih baik dari pada yang dilakukan dengan pembelajaran model Explicit Instruction. Jika ditinjau dari kategori motivasi belajar, prestasi belajar matematika tidak memberikan perbedaan yang berarti, baik pada model pembelajaran STAD maupun model pembelajaran explicit instruction. kata kunci: model pembelajaran explicit instruction, STAD, motivasi belajar, prestasi belajar
PENDAHULUAN Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang selama ini banyak ditakuti dan dianggap sulit oleh siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
53
Kurang tepatnya guru dalam memilih model pembelajaran yang sesuai. Selama ini model pembelajaran yang banyak digunakan guru adalah pengajaran konvensional yaitu cara mengajar yang banyak menggunakan metode ceramah, pada pembelajaran ini siswa lebih banyak menjadi objek dari pada subjek. Pembelajaran ini akan mengakibatkan kurangnya keaktifan dan kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran karena siswa hanya duduk, diam, dengar, catat dan hafalkan materi yang disampaikan guru. Siswa juga akan bersifat individualis karena kurang dilatih dan diajarkan keterampilan sosial yang bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal antar sesama teman (seperti bekerja sama, sikap toleransi, menghargai pendapat orang lain dll) Model pembelajaran STAD (Student Teams–Achievement Divisions) merupakan salah satu dari beberapa model pembelajaran kooperatif. Model ini merupakan suatu cara yang efektif untuk melaksanakan pembelajaran sebagai pengganti diskusi kelas, dalam model pembelajaran ini akan ada kerja sama dalam kelompok dan rasa tanggung jawab yang besar setiap angotanya. Sehingga setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain. Setiap siswa mendapat kesempatan sama untuk menunjang timnya mendapat nilai maksimum sehingga termotivasi untuk belajar. Model pembelajaran Explicit Insruction bukan jenis model pembelajaran kooperatif, Menurut Muhammad Nur (dalam Adi bandono, 2003) model ini adalah suatu pendekatan mengajar yang
54
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
dapat membantu siswa di dalam mempelajari dan menguasai keterampilan dasar serta memperoleh informasi selangkah demi selangkah. Dalam pembelajaran langsung dibutuhkan keaktifan, kelihaian, keterampilan dan kreatifitas guru tanpa menghilangkan peran siswa sebagai subyek pembelajaran, pembelajaran ini peran guru lebih menonjol dari pada peran siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelaaran explicit instruction dan STAD terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari motivasi belajar.
METODE PENELITIAN Penelitian ini berupa penelitian eksperimen, Variabel bebas adalah motivasi, model pembelajaran Explicit Instruction dan model pembelajaran STAD. Sedangkan variabel terikat adalah prestasi belajar. Populasinya adalah seluruh siswa kelas VII sebanyak 175 siswa SMP N 3 Kawedanan Kab. Magetan.
Sedangkan sampel
sebanyak 71 siswa yang terdiri darai kelas VIIA dan VII B yang ditentukan secara cluster random sampling. Teknik pengambilan data menggunakan tes dan angket. Teknik analisis data secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik analisis varian dua jalan dengan frekuensi sel tak sama. Untuk keperluan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu: Uji Normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors dan Uji Homogenitas dengan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
55
menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya skema penelitian adalah seperti pada gambar 1 Kelas Eksperimen (motivasi tinggi,
STAD
Prestasi
Sampel Kelas Kontrol (motivasi tinggi, rendah)
Explicit Instruction
Gambar 1. Skema Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji validitas tes prestasi belajar terhadap 33 siswa menunjukkan bahwa dari 30 butir soal diujikan, yang memenuhi kriteria adalah 22 butir soal. Dalam penelitian ini kriteria soal yang digunakan jika nilai r xy > 0,3. Sedangkan uji reliabilitas digunakan rumus Flanagan, instrumen dikatakan reliabel jika r11 > 0,3. Hasil uji coba instrumen terhadap 33 siswa diperoleh harga r11 = 0,731. Ini berarti instrumen tes matematika reliabel dan dapat digunakan untuk mengambil data prestasi belajar siswa. Tingkat kesukaran (P) terletak antara 0,30 ≤ P ≤ 0,70. Suatu soal dikatakan baik apabila soal tersebut tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit. Hasil uji coba instrumen tes matematika bahwa soal nomor 4, 16, 24, 25, 26, 29, tingkat kesukarannya
56
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
kurang dari 0,30. Ini berarti soal tersebut terlalu sulit. Soal nomor 20, 30, tingkat kesukarannya lebih besar dari 0,70. Ini berarti soal tersebut terlalu mudah. Oleh karena itu soal-soal tersebut tidak digunakan untuk mengambil data prestasi belajar matematika siswa. Nilai rata-rata prestasi belajar seperti terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata prestasi belajar siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen Kelas
Jumlah siswa
Jumlah soal
Rata-rata prestasi belajar
VII A
35
20
70,00
VII B
36
20
59,17
Sedangkan motivasi belajar matematika siswa kelas VII A dan VII B seperti pada tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas VII A (kelas eksperimen) mempunyai prestasi lebih baik dari pada siswa kelas VII B (kelas kontrol) untuk setiap kategori motivasi belajar tinggi maupun rendah Tabel 2. Rata-rata prestasi dan motivasi belajar kelas kontrol dan kelas eksperimen Motivasi
Kelas VIIA (eksperime n)
Kelas VIIB (kontrol)
Tinggi
17
Rendah
18
Rata-rata prestasi belajar Kelas VII A
Kelas VII B
21
75
58,3333
15
65,2778
60,3333
Selain melihat rata-rata nilai belajar dalam setiap kategori motivasi belajar dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
57
normalitas dan homogenitas. Setelah uji prasyarat analisis dipenuhi dilakukan uji analisis varian dengan uji anava dua jalur sel tak sama. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut seperti pada tabel 3. Tabel 3. Uji Analisis Varian dengan Uji Anava Dua Jalur Sel Tak Sama. Sumber
JK
dk
RK
Fobs
Fα
P
(A)
260,381
1
260,381
0,947
4,00
> 0,05
Kolom ( B )
2041,683
1
2041,683
7,429
4,00
< 0,05
Interaksi ( AB)
598,734
1
598734
2,179
4,00
> 0,05
Galat
18413,6107
67
274,830
-
-
-
Total
21314,409
70
-
-
-
-
Baris
Setelah diadakan perhitungan dengan uji anava dua jalan sel tak sama, didapatkan nilai Fobs = 0,947. Sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk = 1 adalah 4,00. ternyata F obs lebih kecil dari pada Ftabel (0,947 < 4,00). Dengan demikian H0 yang menyatakan tidak ada perbedaan pengaruh antara siswa yang motivasinya tinggi dan siswa yang motivasinya rendah terhadap prestasi belajar matematika siswa, diterima. Ini menunjukkan bahwa motivasi belajar tinggi maupun rendah memberikan masukan yang sama terhadap prestasi belajar matematika siswa.
58
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Perhitungan dengan uji anava dua jalan sel tak sama, didapatkan nilai Fobs = 7,429 sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk = 1 adalah 4,00 ternyata Fobs lebih besar daripada Ftabel (7,429 > 4,00). Dengan demikian H o yang menyatakan tidak ada perbedaan pengaruh antara pengajaran dengan model STAD dan pengajaran dengan model explicit instruction terhadap prestasi belajar matematika, ditolak. Dari deskripsi data nilai rata-rata prestasi belajar pada pembelajaran model STAD (kelas VIIA) adalah 70,00 dan nilai rata-rata pada pembelajaran model explicit instruction (kelas VIIB) adalah 59,17. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa dengan pembelajaran STAD lebih tinggi dari pada nilai rata-rata siswa dengan pembelajaran explicit instruction. Jadi dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika dengan pembelajaran model STAD lebih baik dari pada dengan pembelajaran model explicit instruction. Berdasarkan uji anava dua jalan sel tak sama, didapatkan nilai Fobs = 2,179 sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk = 1 adalah 4,00. ternyata Fobs lebih kecil dari pada Ftabel (2,179 < 4,00). Dengan demikian Ho yang menyatakan tidak ada interaksi antara pengajaran dengan model STAD dan pengajaran dengan model explicit instruction dengan motivasi belajar siswa tinggi maupun rendah terhadap prestasi belajar matematika, diterima. Hal ini disebabkan karena antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap prestasi belajar matematika.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
59
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prestasi belajar matematika yang dilakukan dengan pembelajaran model STAD lebih baik dari pada yang dilakukan dengan pembelajaran model explicit instruction. Tetapi, jika ditinjau dari kategori motivasi belajar, prestasi belajar matematika tidak memberikan perbedaan yang berarti, baik pada model pembelajaran STAD maupun model pembelajaran explicit instruction. Saran Untuk penelitian lanjutan, perlu dianalisis apakah motivasi belajar dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Penelitian ini perlu diujicobakan lagi pada siswa SD, SMP atau SMA yang lain dengan populasi yang lebih besar, apakah dapat menghasilkan kesimpulan yang sama atau tidak. DAFTAR RUJUKAN
Anita Lie. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning Diruang–Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo Adi Bandono. 2003. Model Pembelajaran Langsung. (Online), (http://beta.tnial.mil.id/cakrat-cetak.php?id=150. Diakses 16 februari 2009) Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
60
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Suyanto. 2008. Kelulusan UN SMP Naik Tipis. (Online), (http://beritauangmu. blogspot.com/2008/06/kelulusan-unsmp-naik-tipis.Html, Diakses 16 februari 2009) Wina Sanjaya. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Predana Media Group.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
61
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE PROBLEM-BASED INSTRUCTION UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PEMBIASAN CAHAYA
Heri Pratiwi Purwandari
Pndidikan Fisika FP MIPA IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa pada materi pembiasan cahaya. Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan tes. Metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data pelaksanaan pembelajaran, data kemampuan afektif dan psikomotorik siswa. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan kognitif siswa. Kualitas pelaksanaan pembelajaran pada siklus I sebesar 72,5%, prosentase kualitas pelaksanaan pembelajaran meningkat pada siklus II menjadi 85%. Kemampuan kognitif siswa pada siklus I sebesar 64, nilai rata-rata meningkat pada siklus II menjadi 66,75. Kemampuan afektif siswa pada siklus I sebesar 70,8, nilai rata-rata meningkat pada siklus II menjadi 75. Kemampuan psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 68,75, nilai rata-rata meningkat pada siklus II menjadi 73. Kata kunci: konstruktivisme, problem-based instruction, kognitf, afektif, psikomotor
PENDAHULUAN Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang cukup sulit bagi siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan
62
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
salah seorang pengajar fisika, guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung melalui metode demonstrasi. Model pembelajaran langsung ini masih berpusat pada guru. Selain itu, 25 dari 40 siswa tidak memiliki buku pelajaran atau sumber belajar yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Hal ini berdampak pada nilai siswa rendah, karena siswa kesulitan untuk memahami konsep yang diberikan oleh guru. Berdasar hasil observasi pendahuluan didapatkan siswa pada semester genap memiliki nilai hasil belajar ranah kognitif (nilai ulangan harian) rata-rata 62 dan nilai kemampuan afektif, serta nilai kemampuan psikomotorik yang mendapatkan nilai C, 20 siswa dan lainnya B. Melihat keadaan tersebut, maka pada pembelajaran fisika perlu adanya perubahan dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Kondisi seperti ini memposisikan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran, sehingga semua siswa diajak aktif dalam pembelajaran. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah pembelajaran dengan pendekatan kontruktivisme melalui metode Problem-Based Instruction (PBI). Metode PBI merupakan suatu metode pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata. Misalnya suatu fenomena alam, mengapa tongkat seolah-olah kelihatan patah saat dimasukkan dalam air? Dari contoh
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
63
permasalahan nyata jika diselesaikan secara nyata, memungkinkan siswa memahami konsep dan bukan sekedar menghafal konsep (Trianto, 2007:67). Problem
Base
Instruction
(PBI)
digunakan
untuk
merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar. Model ini menekankan peran guru sebagai penyaji masalah mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi adalah bahwa guru melakukan scafolding. Suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuahn intelektual. Scafolding merupakan proses seseorang yang lebih banyak pengetahuannya (guru) membantu seseorang
yang
lebih
sedikit
pengetahuannya
(siswa)
untuk
menuntaskan suatu masalah. Model
pembelajaran
langsung
adalah
salah
satu
pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah (Arends dalam Trianto, 2007:29). Pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan kata-kata) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu (Kardi dan Nur dalam Trianto, 2007:30).
64
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
Penggunakan berbagai metode belajar yang melatih keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah PBI yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat terlibat aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara intelektual dan emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan dengan anggota kelompok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa pada materi pembiasan cahaya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 11 Madiun. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII A dengan jumlah 40 siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan dua siklus, tiap siklus terdiri dilakukan dengan tiga kali pertemuan. Masing-masing siklus terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting). Teknik pengambilan data dengan menggunakan tes dan observasi. Instrumen yang digunakan adalah soal tes digunakan untuk mengetahui prestasi belajar, lembar observasi untuk mengetahui ranah afektif dan psikomotorik siswa. Analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan model analisis interaktif.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
65
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes prestasi belajar, kemampuan ranah afektif dan psikomotorik siswa
pada materi pembiasan cahaya seperti
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil tes prestasi belajar kemampuan ranah afektif dan psikomotorik siswa kelas VII A SMPN 11 Madiun No
Keterangan
Siklus I
Siklus II
64
66,75
1.
Nilai rata-rata prestasi belajar
2.
Kemampuan ranah afektif
70,8
75
3.
Kemampuan ranah psikomotorik
68,7
73
Seperti tabel 1 nilai rata-rata prestasi belajar siswa pada silkus I adalah 64 sedangkan pada siklus II adalah 66,75. Hal ini disebabkan model pembelajaran PBI yang digunakan oleh guru mampu melatih keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah. Hal ini sesuai yang dikatakan Arends dalam Trianto, 2007 bahwa model pembelajaran PBI (langsung) adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Kemampuan afektif siswa pada siklus I sebesar 70,8 sedangkan pada siklus II menjadi 75. Hal ini disebabkan keterampilan guru mengorganisasi siswa dalam belajar yaitu dengan membagi kelompok secara heterogen dan memberi kesempatan kepada seluruh siswa untuk berpendapat. Penggunaan berbagai metode belajar yang
66
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
melatih keterampilan kognitif dan membiasakan penyelesian masalah PBI
yang menekankan keaktifan siswa, maka siswa dapat terlibat
aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara intelektual dan emosional, sehingga prestasi belajar akan lebih efektif dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan dengan anggota kelompok. Data kemampuan psikomotorik siswa pada siklus I sebesar 68,7 sedangkan pada siklus II 73. Hal ini disebabkan guru konsisten dalam membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dan memberi penghargaan kepada kelompok yang melakukan kegiatan praktikum
sesuai
prosedur.
Guru
mendorong
siswa
untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Suasana belajar kelompok menjadi lebih menyenangkan dan efektif,
hal
tersebut dapat menumbuhkan sikap kreatif, kritis, terhadap suatu masalah.
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode Problem-Based Instruction pada materi pembiasan cahaya berpusat pada siswa dan memposisikan guru sebagai fasilitator sehingga siswa dapat menemukan ide-ide mereka sendiri.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009
67
Saran Guru diharapkan dapat menerapkan pendekatan konstruktivisme melalui
metode
Problem-Based
Instruction
danlebih
sering
memberikan bimbingan penyelidikan individual maupun kelompok serta lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan ide-ide mereka sendiri dalam proses pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2003. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung : AR-Ruz Media. Djiwandono.W, Sri Esti. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo Herawati Susilo, dkk. 2008. Penelitian Tindakan Kelas sebagai sarana pengembangan keprofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayumedia Publishing Holubed, E.2001. Cooperation Learning A Web-Based System for The Professional Development of Teachers in Contextual Teaching and Learning Project. USA: Bowling Green State University. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif berorientasi Konstruktivistik. Surabaya : Prestasi Pustaka Publiser. Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo.
68
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 1 Maret 2009