J. Sains & Teknologi, April 2015, Vol.15 No.1 : 74 – 83
ISSN 1411-4674
RESPON PERKEMBANGAN LARVA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) PADA PERCEPATAN PERGANTIAN PAKAN ALAMI KE PAKAN BUATAN PREDIGEST Development Response of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus) Larvae in Acceleration of Live Feed Replacement with Predigested Artificial Diet
Okto Rimandi Bakkara, Siti Aslamyah, Yushinta Fujaya Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin (Email:
[email protected])
ABSTRAK Produksi benih rajungan komersial masih memerlukan beberapa upaya penyempurnaan agar dapat berjalan lebih efisien. Penelitian ini bertujuan menentukan waktu yang tepat dalam peralihan penggunaan pakan alami ke pakan buatan predigest berdasarkan respon perkembangan larva selama stadia zoea. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan . Penelitian tahap pertama didesain menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan jadwal pemberian pakan. Tahap kedua membandingkan performa pakan buatan predigest dengan pakan buatan tanpa predigest menggunakan perlakuan terbaik pada tahap pertama. Data penelitian tahap pertama dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam, sedangkan tahap kedua dianalisis dengan uji t independen. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa pemberian pakan buatan predigest 100% pada larva stadia zoea-2 menyebabkan keterlambatan pergantian stadia dibandingkan perlakuan lain. Demikian juga data sintasan diakhir penelitian menunjukkan persentase rata-rata 6,13±2,01 %, lebih rendah dibandingkan larva yang diberi pakan buatan predigest 100% pada stadia zoea-4 dengan sintasan rata-rata 15,47±2,41%. Pemberian pakan buatan predigest 100% pada stadia zoea-3 menghasilkan laju pergantian stadia dan sintasan yang tidak berbeda nyata dibandingkan larva yang hanya diberi perlakuan pakan alami (kontrol). Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan laju pergantian stadia serta sintasan yang berbeda nyata pada larva yang diberi pakan buatan predigest. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan predigest secara sempurna pada stadia zoea-3. Kata Kunci:
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan, Pakan Buatan Predigest, Rajungan
ABSTRACT Blue swimming crab juvenile production needs more innovation to become more efficient. The research aimed at determining the exact time in the replacement from the natural woof use to the predigested artificial woof based on the larvae development response during the zoeal stage. The research was carried out in two stages. The first stage research was designed using the completely randomized design with 5 treatments of the feeding schedules. The second stage research compared the performance of the predigested woof with no predigested artificial woof using the best treatment in the first stage. The first stage research data were analysed statistically using variance analysis, whereas the data in the second stage were analysed by the independent t test. The first stage research indicates that 100% predigested artificial feeding in the zoea-2 stage larvae causes the delay of the stage changing than the other stages. Moreover, the survival data in the end of the research indicate the average percentage of 6.13±2.01 % lower than the larvae which are given 100% predigested artificial woof in zoea-4 stage with average survival of 15.4 7 ±2.41 %. 100% predigested artificial feeding in the zoea-3 stage produces the stage changing rate and survival which are not significantly
74
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan
ISSN 1411-4674
different compared with the larvae which are given the natural woof treatment (control). The second stage research result indicates that the stage changing rate and survival are significantly different in the larvae which are given the predigested artificial woof. Based on the research result, it is suggested to subtitute the live feed with predigested artificial diet competely in the zoea-3 stage. Keywords: Live Feed Replacement, Larval Development Rate, Survival Rate, Predigested Artificial Diet, Blue Swimming Crab
memanipulasi kandungan nutriennya agar mencukupi kebutuhan nutrisi larva rajungan pada tiap stadia (Coutteau dan Sorgeloos, 1997; Sorgeloos dkk., 1998; Southgate dan Partridge, 1998). Produksi benih rajungan dapat berjalan lebih ekonomis bila penggunaan pakan buatan dapat dibatasi dan segera digantikan dengan pakan buatan. Walaupun demikian sejauh ini hasil penelitian masih menunjukkan bahwa pergantian pakan secara sempurna hanya dapat dilakukan pada stadia zoea lanjutan. Nikhlani (2013), melakukan kajian perkembangan organ-organ pencernaan (lambung, usus dan hepatopankreas) dan mengemukakan bahwa pemberian pakan buatan secara overlap dengan pakan alami dapat dimulai pada larva berumur 5 hari setelah menetas (zoea-2), kemudian pemberian pakan buatan 100% dapat dimulai pada larva berumur 13 hari (zoea-4). Muskita (2006), juga menyarankan hal serupa yaitu pakan buatan hanya layak diberikan pada larva rajungan stadia zoea-4. Pemberian pakan buatan pada stadia lebih awal menyebabkan larva tidak mampu bertahan hidup mencapai stadia megalopa. Berdasarkan informasi tersebut maka perlu dilakukan optimasi penggunaan pakan buatan. Kendala utama yang dihadapi dalam upaya mengintroduksi pakan buatan adalah belum sempurnanya fungsi sistem pencernaan pada larva stadia awal sehingga produksi enzim masih belum memadai untuk mencerna nutrien dalam bentuk molekul kompleks (Kumlu, 1999). Untuk mengatasi masalah ini maka dipandang perlu untuk memberi pakan yang mengandung nutrien dalam
PENDAHULUAN Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditi perikanan yang menjadi andalan ekspor non migas Indonesia. Ekspor kepiting dan rajungan terbukti memberikan sumbangan devisa yang besar. Berdasarkan data statistik Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2012), pada tahun 2011 nilai ekspor kepiting dan rajungan menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu sejumlah 23.089 ton dengan nilai mencapai US$ 259 juta, sedangkan pada tahun 2012 volume ekspor tersebut meningkat menjadi 28.211 ton dengan nilai US$ 329 juta. Produksi kepiting dan rajungan secara nasional diharapkan dapat terus meningkat untuk mampu memenuhi permintaan pasar terutama pasar ekspor untuk menghasilkan devisa. Produksi benih rajungan komersial masih memerlukan beberapa upaya penyempurnaan agar dapat berjalan lebih efisien. Kegiatan pembenihan rajungan saat ini masih sangat bergantung pada penggunaan pakan alami. Hal ini menjadi kendala teknis utama karena kultur massal pakan alami sangat bergantung pada kondisi cuaca (Smith, 1988). Penggunaan pakan alami yang berkepanjangan selama produksi benih juga sangat mempengaruhi biaya produksi mengingat biaya pengadaan pakan alami yang relatif mahal, terutama kista artemia yang dapat mencapai 50% dari biaya operasional hatchery kepiting (Quinitio dkk., 2001). Dari perspektif nutrisi, penggunaan pakan alami rotifer dan naupli Artemia dinilai masih jauh dari ideal karena kualitas nutriennya yang tidak selalu konsisten sehingga masih perlu dilakukan pengayaan untuk
75
Okto Rimandi Bakkara
ISSN 1411-4674
bentuk lebih sederhana. Nutrien dalam bentuk molekul sederhana diharapkan dapat lebih mudah dicerna dan diserap oleh larva walaupun ketersediaan enzim pencernaan endogen masih terbatas (Aslamyah, 2006). Upaya menyederhanakan pakan kompleks dapat dilakukan melalui proses predigestion pakan buatan dengan bantuan bakteri probiotik. Bakteri probiotik mampu menghasilkan enzim pencernaan eksogen yang dapat membantu memecah nutrien kompleks yang terkandung pada pakan buatan. Proses predigestion diharapkan dapat membantu mengoptimalkan pemanfaatan nutrien yang terkandung dalam pakan buatan, terutama kandungan protein yang sangat diperlukan dalam tahap perkembangan larva stadia awal. Penelitian ini bertujuan menentukan waktu yang tepat dalam peralihan penggunaan pakan alami ke pakan buatan predigest serta mengevaluasi performa pakan buatan predigest berdasarkan respon perkembangan larva rajungan selama stadia zoea. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang menjadi acuan bagi strategi pemberian pakan yang tepat pada pembenihan larva rajungan.
sebanyak 30 buah yang dilengkapi peralatan aerasi. Setiap wadah diisi air media sebanyak 5 L dan larva ditebar dengan kepadatan 50 ekor/L. Semua wadah pemeliharaan ditempatkan dalam bak beton dan direndam dalam air laut dengan ketinggian 50 cm. Rancangan Percobaan Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan pertama ditujukan untuk menentukan waktu yang tepat bagi peralihan penggunaan pakan alami ke pakan buatan predigest. Selanjutnya pemeliharaan tahap kedua dilakukan dengan tujuan mengevaluasi perbedaan performa pakan buatan predigest dibanding pakan buatan tanpa predigest terhadap kinerja pertumbuhan dan perkembangan larva rajungan. Penelitian tahap pertama dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, sehingga pada tahap pertama terdapat 15 satuan percobaan. Hasil terbaik pada penelitian tahap pertama digunakan dalam penelitian tahap kedua. Penelitian tahap kedua dilaksanakan dengan 2 perlakuan dan 4 kali ulangan sehingga terdapat 8 satuan percobaan. Jadwal pemberian pakan pada masing-masing tahap penelitian disajikan pada Gambar 1. Pakan yang digunakan selama penelitian adalah pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami terdiri atas rotifer (Brachionus rotundiformis) dan naupli Artemia (Artemia salina). Pakan buatan yang digunakan adalah pakan komersial Japonicus 0 (J0) untuk larva stadia zoea-1 dan zoea-2 dan Japonicus 1 (J1) untuk stadia zoea-3 dan zoea-4. Pakan buatan predigest dibuat melalui proses hidrolisis menggunakan probiotik Bacillus sp. hingga dihasilkan derajat hidrolisis protein pakan sebesar 52%. Rotifer diberikan dengan kepadatan 20 ind/mL, sedangkan pakan naupli Artemia diberikan dengan kepadatan 2 ind/mL pada stadia zoea-2 dan dinaikkan menjadi 5 ind/mL pada stadia zoea-3.
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Juli 2014 di lokasi pembenihan skala rumah tangga backyard, desa Bojo kecamatan Mallusettasi, kabupaten Barru. Analisis konsentrasi RNA dan DNA dilakukan di Laboratorium Bioteknologi pada Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di desa Lawallu kabupaten Barru, sedangkan analisis derajat hidrolisis protein dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar. Wadah Penelitian Wadah percobaan yang digunakan adalah toples plastik bervolume 10 L 76
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan
ISSN 1411-4674
Gambar 1. Jadwal pemberian pakan selama pemeliharaan Perlakuan
A
B
C
D
E
Jenis pakan
Z1 Tahap Pertama
Z2
Z3
Z4
Rotifer Artemia Pakan predigest Rotifer Artemia Pakan predigest Rotifer Artemia Pakan predigest Rotifer Artemia Pakan predigest Rotifer Artemia Pakan predigest Tahap Kedua
IID1
IID2
Rotifer Artemia Pakan predigest Rotifer Artemia Pakan tanpa predigest
Tabel 1. Jumlah pakan buatan yang diberikan pada tiap stadia Stadia Dosis pakan buatan (mg/L/hari) Zoea-1 0,5 Zoea-2 2,0 Zoea-3 4,0 Zoea-4 6,0 Megalopa 8,0 Dosis pakan alami dan pakan buatan pada stadia overlap masing-masing dikurangi setengah dari dosis normal. Kepadatan pakan alami dalam media pemeliharaan dikontrol dua kali sehari, yaitu pada pukul 08.00 dan 16.00. Pakan buatan diberikan 6 kali dalam sehari, yaitu berselang waktu 4 jam. Rincian serta dosis pakan buatan tiap stadia disajikan pada Tabel 1.
Arshad dkk (2006), laju pergantian stadia diukur menggunakan Indeks Perkembangan Larva (IPL) sesuai dengan metode yang disarankan oleh Ikhwanuddin dkk (2012). Untuk menghitung nilai IPL, tiap stadia perkembangan larva diberikan pembobotan seperti yang tertera pada Tabel 2. Nilai IPL ditentukan dengan persamaan:
Laju Pergantian Stadia Identifikasi morfologi larva rajungan dilakukan setiap hari sesuai dengan kriteria morfologi yang disarankan oleh
= Keterangan: Z0 = nilai stadia awal; n0 adalah= jumlah larva stadia awal;Z0+1 = nilai satu stadia berikutnya; n0+1 = jumlah
[(
77
) (
)]
Okto Rimandi Bakkara
ISSN 1411-4674
larva pada stadia berikutnya; N = jumlah total larva disampling.
mati dan yang hidup setiap hari. Sintasan dihitung pada masing-masing stadia perkembangan larva berdasarkan jumlah larva yang berhasil bermetamorfosis menuju satu stadia berikutnya.
Sintasan Sintasan larva rajungan ditentukan dengan mengamati jumlah larva yang
Tabel 2. Pembobotan nilai IPL tiap stadia perkembangan larva Stadia larva Bobot IPL Kisaran nilai IPL Zoea-1 (Z1) 1 1 - 1,5 Zoea-2 (Z2) 2 1,6 - 2,5 Zoea-3 (Z3) 3 2,6 - 3,5 Zoea-4 (Z4) 4 3,6 - 4,5 Megalopa (M) 5 4,6 – 5,5 Tabel 3. Laju pergantian stadia larva rajungan berdasarkan indeks perkembangan larva Perlakuan
1
2
3
IPL Stadia IPL Stadia IPL Stadia IPL Stadia IPL Stadia
1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1
1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1 1,0 Z1
1,2 Z1 1,3 Z1 1,2 Z1 1,2 Z1 1,3 Z1
IPL Stadia IPL IID2 Stadia
1,0 Z1 1,0 Z1
1,0 Z1 1,0 Z1
1,1 Z1 1,1 Z1
A B C D E
IID1
Umur larva (hari) 4 5 6 7 8 Tahap Pertama 1,7 2,0 2,1 2,9 3,4 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3 1,9 2,0 2,1 2,5 2,8 Z2 Z2 Z2 Z2 Z3 1,7 2,0 2,2 2,8 3,4 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3 1,8 2,0 2,2 3,0 3,4 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3 1,8 2,0 2,2 2,9 3,3 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3 Tahap Kedua 1,7 1,9 2,1 2,7 3,1 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3 1,8 2,0 2,1 2,7 3,0 Z2 Z2 Z2 Z3 Z3
9
10
11
3,7 Z4 3,3 Z3 3,7 Z4 3,8 Z4 3,8 Z4
3,9 Z4 3,6 Z4 3,9 Z4 3,9 Z4 3,9 Z4
4,1 Z4 4,1 Z4 4,1 Z4 4,2 Z4 4,2 Z4
3,6 Z4 3,4 Z3
3,9 Z4 3,7 Z4
4,0 Z4 3,9 Z4
Keterangan: Tahap Pertama A = Pemberian pakan alami total hingga akhir pemeliharaan (kontrol) B = Overlapping hari 1-3, Pakan predigest hari 4-11 C = Pakan alami hari 1-3, Overlapping hari 4-6, Pakan predigest hari 7-11 D = Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan predigest hari 9-11 E = Pakan alami hari 1-8, Overlapping hari 9-11 Tahap Kedua IID1=Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan predigest hari 9-11 IID2=Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan tanpa predigest hari 9-11
78
12
4,3 Z4 4,1 Z4
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan
Rumus yang digunakan untuk menghitung sintasan yang disarankan Effendie (2002), adalah: = 100
ISSN 1411-4674
HASIL Laju Pergantian Stadia Hasil pengamatan laju pergantian stadia larva rajungan pada pemeliharaan tahap pertama dan kedua disajikan pada Tabel 3. Perbedaan signifikan pada laju pergantian stadia mulai tampak pada stadia zoea-2 dimana perlakuan B menunjukkan laju pergantian stadia yang lebih lambat pada zoea-2 dibanding perlakuan lain. Pada pemeliharaan tahap kedua tampak jelas pengaruh perbedaan perlakuan jenis pakan buatan terhadap laju pergantian stadia pada zoea-3. Larva yang diberi pakan buatan tanpa predigest menghasilkan laju pergantian stadia zoea3 yang lebih lama dibandingkan larva yang diberi pakan predigest.
Keterangan: SR = sintasan larva rajungan pada suatu stadia (%); No = jumlah larva pada awal stadia; Nt = jumlah larva yang berhasil bermetamorfosis hingga satu stadia berikutnya. Analisis Data Data yang diperoleh pada pemeliharaan tahap pertama dianalisis menggunakan analisis ragam, sedangkan data pada pemeliharaan tahap kedua dianalisis menggunakan uji t independen. Uji Tukey digunakan untuk membandingkan perbedaan antara perlakuan.
Tabel 4. Sintasan larva rajungan (Portunus pelagicus) setiap stadia Perlakuan
Zoea 1
A B C D E
88,93±3,33a 90,00±2,22a 88,93±1,80a 88,00±1,39a 91,60±2,88a
IID1 IID2
88,70±0,88x 89,07±1,15x
Sintasan (%) Zoea 2 Zoea 3 Tahap Pertama 57,20±1,83b 33,47±3,40b a 39,20±0,80 11,87±1,51a 57,20±2,88b 32,80±3,17b 52,67±4,74b 30,00±3,55b 55,47±2,60b 33,60±4,18b Tahap Kedua 53,00±3,10x 30,80±2,14y 53,87±3,18x 18,80±2,22x
Zoea 4 13.47±1,28b 6,13±2,01a 12,67±2,20b 15,47±2,41b 14,80±2,00b 12,20±0,95y 6,27±1,35x
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menandakan tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan Tahap Pertama A = Pemberian pakan alami total hingga akhir pemeliharaan (kontrol) B = Overlapping hari 1-3, Pakan predigest hari 4-11 C = Pakan alami hari 1-3, Overlapping hari 4-6, Pakan predigest hari 7-11 D = Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan predigest hari 9-11 E = Pakan alami hari 1-8, Overlapping hari 9-11 Tahap Kedua IID1 =Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan predigest hari 9-11 IID2 = Pakan alami hari 1-6, Overlapping hari 7-8, Pakan tanpa predigest hari 9-11.
79
Okto Rimandi Bakkara
ISSN 1411-4674
vannamei (L.vannamei) dengan konsentrasi 1 mL/ 10 g pakan menghasilkan derajat hidrolisis protein berkisar antara 23,20 sampai 33,99% (Lemos dkk., 2000). Aslamyah (2006), mendapatkan derajat hidrolisis protein hingga 50,47% pada proses predigestion selama 12 jam menggunakan ekstrak crude enzyme dari microflora saluran pencernaan ikan bandeng (C.chanos) dengan dosis 20 mL/Kg pakan. Namun derajat hidrolisis protein pada penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kecernaan protein pada larva ikan secara umum, yaitu berkisar antara 80-95% (Watanabe, 1988). Walaupun demikian, larva rajungan diharapkan dapat memanfaatkan enzim pencernaan endogen untuk mencerna sisa protein yang belum terhidrolisis dalam proses predigestion. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat perlakuan B relatif lebih lambat berkembang menuju stadia zoea-3 diantara semua perlakuan tahap pertama. Hal ini menjadi indikasi jelas bahwa larva stadia zoea-2 masih sangat membutuhkan kontribusi enzim pencernaan exogenous dari pakan alami untuk membantu mencerna pakan, dalam hal ini tampaknya peran tersebut belum sepenuhnya dapat tergantikan oleh pakan predigest. Menurut Jantrarotai dkk (2005), stadia zoea-2 pada larva S.olivacea merupakan fase kritis dimana larva sangat memerlukan suplai energi yang besar untuk kepentingan perkembangan organ pencernaan. Nikhlani (2013), menyatakan bahwa organ-organ pencernaan larva P.pelagicus khususnya hepatopankreas berkembang pesat selama stadia zoea-2. Ini menjadi indikasi jelas bahwa larva rajungan stadia zoea-2 membutuhkan banyak energi untuk perkembangan organ pencernaan sehingga kehadiran pakan alami menjadi sangat penting pada stadia ini. Rotifer dan naupli Artemia merupakan sumber berbagai jenis asam lemak (EPA dan DHA) yang sangat dibutuhkan larva rajungan dalam
Sintasan Sintasan larva rajungan selama pemeliharaan tahap pertama dan kedua disajikan pada Tabel 4. Pada penelitian tahap pertama, perbedaan sintasan larva rajungan secara signifikan mulai terjadi pada stadia zoea-2 dimana perlakuan B yang diberi pakan predigest sepenuhnya pada zoea-2 menunjukkan sintasan yang lebih rendah secara signifikan dibanding perlakuan lain. Data ini konsisten dengan laju pergantian stadia yang juga berlangsung lebih lama pada perlakuan ini. Demikian pula halnya dengan penelitian tahap kedua yang mulai menunjukkan perbedaan sintasan yang signifikan setelah larva diberi perlakuan pakan buatan predigest dan pakan tanpa predigest. PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang menjadi fokus untuk dihidrolisis adalah kandungan protein pakan. Protein merupakan komponen utama pada pakan larva krustasea dan khususnya larva rajungan bersifat karnivora sehingga membutuhkan kandungan protein yang tinggi (Holme dkk., 2009). Oleh karena itu kecernaan protein juga menjadi faktor kunci untuk menentukan kualitas pakan (Chamcuen dkk., 2014). Kecernaan protein bergantung pada struktur biokimia dari jenis protein yang dikonsumsi, dimana peningkatan kecernaan protein berhubungan dengan peningkatan jumlah gugus reaktif sulfihidril (SH) dan penurunan jumlah ikatan disulfida. (RungruangsakTorrissen dkk., 2002). Protein yang dapat larut dalam air cenderung lebih mudah dicerna karena memperbesar peluang bertemunya enzim dan substrat sehingga reaksi hidrolisis ikatan peptida dapat berjalan lebih cepat. Derajat hidrolisa protein pada pakan predigest digunakan dalam penelitian ini relatif lebih baik bila dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh beberapa peneliti. Hidrolisis pakan udang penaeid dengan ekstrak enzim pencernaan udang 80
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan
metabolism energi serta menjaga struktur membran sel (Suprayudi dkk., 2002; Takeuchi dan Murakami, 2007). Naupli Artemia merupakan pakan alami yang umum digunakan dalam pembenihan larva kepiting portunid. Naupli Artemia memiliki kandungan nutrien yang lebih baik dibandingkan (51-55% protein, 14-15% karbohidrat, 13-19% lemak serta 3-15% n-3 HUFA) sehingga diupayakan pemberian Artemia dapat dilakukan sedini mungkin (Redzuari dkk., 2012). Pemberian pakan naupli Artemia dinilai layak dilakukan pada larva stadia zoea-2 yang telah memiliki kemampuan renang yang lebih baik dan aktif menangkap mangsa. Larva stadia zoea-2 sepenuhnya mengandalkan sumber nutrien dari pakan exogenous sehingga kinerja pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrien pada pakan yang diberikan (Jantrarotai dkk., 2004). Oleh karena itu pemberian naupli Artemia pada zoea-2 akan membantu meningkatkan kecukupan nutrisi pada larva, terutama kebutuhan protein serta asam-asam lemak essensial. Pemeliharaan tahap kedua menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal performa pakan predigest terhadap kinerja pertumbuhan larva rajungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva rajungan relatif lebih lama melewati stadia zoea-3 pada perlakuan overlap dengan pakan buatan tanpa predigest. Hal ini menjadi indikasi bahwa larva zoea-3 lebih mampu mencerna pakan predigest sehingga menghasilkan kinerja pertumbuhan lebih baik dibanding perlakuan pakan buatan tanpa predigest. Disamping itu pakan buatan yang tidak dicerna pada akhirnya akan memunculkan sedimentasi bahan organik yang akan memicu pertumbuhan bakteri patogen pada media pemeliharaan (Quinitio dkk., 1999). Kandungan protein yang terbuang dari pakan buatan dapat terdeaminasi oleh bakteri pada media pemeliharaan dan menghasilkan amonia yang berpengaruh negatif terhadap kinerja pertumbuhan maupun sintasan
ISSN 1411-4674
larva selama pemeliharaan (Genodepa dkk., 2004). Data sintasan serta laju pergantian stadia larva rajungan secara konsisten menunjukkan nilai yang lebih rendah secara signifikan pada perlakuan B. Walaupun pakan predigest telah memiliki derajat hidrolisis protein hingga 52,97±4,37%, namun tampaknya larva rajungan pada stadia zoea-2 masih belum mampu mencerna residu protein kompleks yang belum terurai pada proses predigestion. Hal ini menjadi indikasi bahwa kapasitas enzim pencernaan endogen pada stadia ini masih sangat minim untuk mencerna protein kompleks. Nikhlani (2013), menyatakan bahwa aktivitas enzim tripsin dan pepsin mencapai nilai terendah pada stadia zoea2. Pada stadia ini pula proses perkembangan organ-organ pencernaan larva berkembang pesat sehingga dibutuhkan suplai energi dan nutrien yang besar. Hal ini berdampak pada kemampuan larva untuk mencerna nutrien kompleks yang juga membutuhkan pembelanjaan energi yang relatif besar untuk memecahnya menjadi molekul sederhana. Berdasarkan penelitian ini dapat dikatakan bahwa pakan buatan predigest layak menggantikan peran pakan alami secara sejak stadia zoea-3. Pada stadia kritis perkembangan saluran pencernaan, pakan buatan predigest belum sepenuhnya mampu menyamai kinerja pakan alami dalam mendukung kinerja pertumbuhan larva. Pakan alami mampu menyebar lebih merata dalam kolom air sehingga peluang larva untuk memakan pakan alami juga relatif lebih besar. Selain itu pakan alami telah mengandung satu kesatuan nutrien yang siap dimanfaatkan dalam saluran pencernaan ketika dikonsumsi oleh larva rajungan. Walaupun pakan buatan predigest sudah berbentuk nutrien sederhana namun nutrien yang terkandung didalamnya relatif rentan tercuci oleh media pemeliharaan sehingga pada akhirnya
81
Okto Rimandi Bakkara
ISSN 1411-4674
dapat berakibat buruk bagi kualitas air (Genodepa dkk., 2004; Aslamyah, 2006).
cultures. Freshwater Biology 38:501-512 Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. (2012). Buku statistik ekspor hasil perikanan tahun 2011. Jakarta: KKP. Effendie M.I. (2002). Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta Genodepa J., Southgate P.C. dan Zeng C. (2004). Diet particle size preference and optimal ration for mud crab, Scylla serrata, larvae fed microbound diets. Aquaculture 230:493-505. Holme M.H., Zeng C., dan Southgate P.C. (2009). A review of recent progress toward development of a formulated microbound diet for mud crab, Scylla serrata, larvae and their nutritional requirements Aquaculture 286:164-175. Ikhwanuddin M., Talpur A.D., Azra M.N., Azlie B.M., Hii Y.S., dan Abol-Munafi A.B. (2012). Effects of stocking density on the survival, growth and development rate of early stages blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) larvae. World Applied Sciences Journal 18(3):379-384. Jantrarotai P., Temphakdee P. dan Pripanapong S. (2004). Evaluation of different larval feeds for survival and development of early stage mud crab (Scylla olivacea). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 38:484-492. Jantrarotai P., Srakaew N. dan Sawanyatiputi A. (2005). Histological study on the development of digestive system in zoeal stages of mud crab (Scylla olivacea). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 39: 666 – 671. Kumlu M. (1999). Feeding and digestion in larval decapod crustaceans. Trop. J. Biol. 23:215-229. Lemos D., Ezquerra J.M. dan GarciaCarreno F.L. (2000). Protein digestion in penaeid shrimp: digestive proteinases, proteinase
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil evaluasi kinerja pakan buatan predigest terhadap respon perkembangan larva, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan predigest 100% pada zoea-3 tidak memberi perbedaan sintasan dan laju pergantian stadia yang signifikan bila dibandingkan dengan larva yang dipelihara dengan pakan alami. Melalui analisis respon perkembangan larva maka disarankan untuk memulai pemberian pakan buatan predigest secara overlap pada stadia zoea-2 dan dilanjutkan dengan dosis 100% pada stadia zoea-3. DAFTAR PUSTAKA Arshad A., Efrizal, Kamarudin M.S. dan Saad C.R. (2006). Study on fecundity, embryology and larval development of blue swimming crab Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology 1(1):35-44. Aslamyah S. (2006). Penggunaan mikroflora saluran pencernaan sebagai probiotik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal). Disertasi Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chamchuen P., Pratoomchat B., Engkakul A., Kovitvadhi U. dan Rungruangsak-Torrissen K. (2014). Development of Enzymes and In Vitro Digestibility during Metamorphosis and Molting of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus). Journal of Marine Biology Vol. 2014. 12 hal. doi:10.1155/2014/436789. Coutteau P. dan Sorgeloos P. (1997). Manipulation of dietary lipids, fatty acids and vitamins in zooplankton
82
Pergantian Pakan Alami, Laju Pergantian Stadia, Sintasan
inhibitors and feed digestibility. Aquaculture 186:89-105. Muskita WH. (2006). Pengaruh waktu pemberian pakan buatan terhadap kelangsungan hidup larva rajungan (Portunus pelagicus): Hubungannya dengan perkembangan aktivitas enzim pencernaan. Tesis Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nikhlani A. (2013). Penemuan time schedule pemberian pakan buatan berfitoecdysteroid untuk menanggulangi sindrom molting pada metamorphosis larva rajungan (Portunus pelagicus). Disertasi Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Quinitio E.T., Estepa F.P. dan Alava V.R. (1999). Development of hatchery techniques for the mud crab Scylla serrata (Forskål): comparison of feeding schemes. Dalam: Keenan, C.P dan A. Blackshaw (Eds.), Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings No.78. Canberra. Australia. hal:125-130. Quinitio E.T., Parado-Estepa F.D., Millamena O.M., Rodriguez E. dan Borlongan E. (2001). Seed production of mud crab Scylla serrata juveniles. Asian Fisheries Science 14:161-174. Redzuari A., MN. Azra, AB. AbolMunafi, ZA. Aizam, YS. Hii dan M. Ikhwanuddin. (2012). Effects of Feeding Regimes on Survival, Development and Growth of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) Larvae. World
ISSN 1411-4674
Applied Sciences Journal 18(4):472478. Rungruangsak-Torrissen K., Rustad A., Sunde J., Eiane S.A., Jensen H.B., Opstvedt J., dkk. (2002). In vitro digestibility based on fish crude enzyme extract for prediction of feed quality in growth trials. Journal of the Science of Foof and Agriculture 82:644-654. Smith D.W. (1988). Phytoplankton and catfish culture: a review. Aquaculture 74:167-189 Sorgeloos P., Coutteau P., Dhert P., Merchie G., dan Lavens P. (1998). Use of brine shrimp, Artemia spp., in larval crustacean nutrition: A review. Reviews in Fisheries Science 6(1&2):55-68. Southgate P.C. dan Partridge G.J. (1998). Development of artificial diets for marine finfish larvae: problems and prospects. Dalam: De Silva, S (Ed.), Tropical Mariculture. Academic Press. London. UK. hal 151-170. Suprayudi MA., T. Takeuchi dan K. Hamasaki. (2002). The effect of N3HUFA content in rotifers on the development and survival of mud crab, Scylla serrata, larvae. Suisanzoshoku 50(2): 205-212. Takeuchi T. dan Murakami K. (2007). Crustacean nutrition and larval feed, with emphasis on Japanese spiny lobster, Panulirus japonicus. Bull. Fish. Res. Agen 20:15-23 Watanabe T. (1988). Fish Nutrition and Mariculture. JICA textbook the general aquaculture course. Departement of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. Tokyo.
83