40
IV.KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Kondisi Kehutanan di Indonesia Hutan Indonesia merupakan hutan tropis di dunia yang luas dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Keanekaragaman hayati yang dikandung sumberdaya hutan dan perairan di Indonesia termasuk sangat tinggi dan sebagian bersifat
endemik, sehingga Indonesia disebut
sebagai negara megabiodiversity. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari : Mamalia 515 species (12 % dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17% dari jenis burung dunia), ampibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan sebanyak ± 38.000 jenis, diantaranya 1.260 jenis yang bernilai medis. Sampai dengan akhir tahun 2007, Departemen Kehutanan telah menetapkan jenis flora dan fauna yang dilindungi adalah : mamalia (127 jenis), burung (382 jenis), reptilia (31 jenis), ikan (9 jenis), serangga (20 jenis), krustasea (2 jenis), anthozoa (1 jenis) dan bivalvia (12 jenis) (Baplan, 2008). Berdasarkan Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (TGHK dan RTRWP), luas kawasan hutan Indonesia adalah 120,35 juta hektar. Namun demikian, sampai dengan akhir tahun 2007 masih terdapat 3 provinsi yang belum selesai proses paduserasi TGHK dan RTRWP-nya, yaitu Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah, sehingga penghitungan luas kawasan hutannya masih menggunakan TGHK.
Sedangkan perhitungan luas
kawasan hutan berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi (30 provinsi) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (3 provinsi), maka luas kawasan hutan (daratan) ialah 133.694.685,18 ha atau jika ditambahkan dengan luas kawasan konservasi perairan menjadi seluas 137.090.468,18 ha (Baplan, 2008). Hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan Indonesia yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha, dengan hasil sebagai berikut : arel berhutan 93,92 juta ha (50 %), areal tidak berhutan : 83,26 juta ha (44 %), dan sata
41
tidak lengkap 10,73 juta ha (6 %). Khusus penutupan lahan di dalam kawasan hutan yang luasanya luasnya 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah areal berhutan seluas 85,96 juta ha (64 %), areal tidak berhutan seluas 39,09 juta ha (29 %), serta data tidak lengkap seluas 8,52 juta ha (7 %) (Baplan, 2008). Luas kawasan hutan berdasarkan pasuserasi TGHK dan RTRWP, serta Penunjukan dan TGHK disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Paduserasi TGHK dan RTRWP, serta Penunjukkan dan TGHK -Kawasan Hutan Kawasan Hutan Tetap Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Luas Kawasan Hutan (juta ha) Paduserasi TGHK dan Penunjukan dan TGHK RTRWP 112,27 110,89 8,08
22,8
120,35
133,69
Sumber : Baplan (2008).
Luas penutupan lahan hutan mengalami perubahan menjadi bukan hutan (deforestrasi), misalnya perubahan penutupan lahan hutan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain. Baplan (2008) menyatakan bahwa laju deforestasi 7 (tujuh) pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun 2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar. Untuk memenuhi kebutuhan lahan untuk kegiatan pembanguan, Departemen Kehutanan telah mengalokasikan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Pada tahun 2007, perubahan peruntukkan kawasan hutan untuk sektor pertanian/perkebunan tercatat seluas 65.461,68 ha. Sampai dengan tahun 2007, kawasan hutan yang dikonversi untuk pemukiman transmigrasi seluas 958.672,81 ha. Pada tahun 2007 terdapat perubahan fungsi hutan seluas 2.860,00 ha, yaitu dari Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Hutan Produksi Tetap di Provinsi Maluku Utara. Besarnya tekanan terhadap hutan dan kawasan hutan memerlukan upaya perlindungan hutan. Selama tahun 2007, telah tercatat berbagai gangguan yang mengancam eksistensi dan kondisi kawasan hutan. Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat
42
mencapai luasan 32.678,39 hektar, sedangkan gangguan terhadap tegakan
hutan
berupa
penebangan
ilegal
diperkirakan
telah
mengakibatkan kehilangan kayu 3.650,59 M3 kayu bulat. Kebakaran melanda kawasan hutan seluas ±6.974,62 Ha. Namun demikian, karena adanya kendala dalam memperkirakan luasan kawasan yang terbakar, diyakini bahwa angka tersebut lebih kecil dari kenyataan lapangan yang sebenarnya. Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, antara lain dengan mendeteksi titik api, dimana pada tahun 2007 dideteksi sebanyak 37.909 titik panas (Baplan, 2008). Selain itu akibat tekanan terhadap lahan hutan yang masih tinggi, menyebabkan luasnya lahan kritis di Indonesia. Luas lahan kritis di Indonesia pada tahun 2007 tanpa DKI Jakarta seluas ± 77.806.881 ha yang terdiri dari: Sangat kritis : 47.610.081 ha. Kritis : 23.306.233 ha. Agak kritis : 6.890.567 ha. Lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah ditentukan oleh Departemen Kehutanan untuk direhabilitasi adalah: Dalam kawasan hutan: 59.170.700 ha, Luar Kawasan hutan : 41.466.700 ha (Baplan, 2008). Perlindungan mempertahankan
terhadap eksistensi
kawasan kawasan
hutan hutan
dan
diarahkan
untuk
keanekaragaman
hayatinya serta menjaga agar peranan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dapat terus berlangsung. Upaya lain yang dilaksanakan untuk melindungi kawasan hutan, Departemen Kehutanan telah melaksanakan berbagai kegiatan yang bersifat
pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat serta upaya penegakan hukum. Sarana dan prasarana pengamanan Berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya. Kawasan hutan konservasi dibedakan menjadi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kawasan Suaka Alam adalah hutan yang dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Termasuk dalam kategori kawasan ini
43
ialah Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa. Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Saat ini terdapat 236 unit Cagar Alam Darat dengan total luas 4.588.665,44 hektar, dan 8 unit Cagar Alam perairan dengan luas sekitar 273.515,00 hektar; sedangkan Suaka Margasatwa darat sebanyak 75 unit dengan luas 5.099.849,06 hektar serta 6 unit Suaka Margasatwa perairan dengan luas sekitar
338.940,00 hektar.
Kawasan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman
jenis
tumbuhan
dan
satwa,
serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Termasuk ke dalam kategori kawasan ini adalah Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk keperluan Pada tahun 2007 telah ada 50 unit Taman Nasional Darat dengan luas 12.298.216,34 hektar, dan 7 unit Taman Nasional Laut dengan luas 4.049.541,30 hektar. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Saat ini terdapat 105 unit Taman Wisata Alam Darat dengan total luas sekitar 257.316,53 hektar, dan 19 Taman Wisata Laut dengan total luas sekitar 767.120,70 hektar. Taman Hutan Raya merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Saat ini terdapat 21 unit Taman Hutan Raya dengan luas total sekitar 343.454,91 hektar. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru. Saat ini terdapat 14 unit Taman Buru dengan total luas sekitar 224.816,04 hektar. Penetapan lahan kritis
44
mengacu pada lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon. Berdasarkan kondisi vegetasinya, kondisi lahan dapat diklasifikasikan sebagai : sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan kondisi normal. Berdasarkan kriteria tersebut. 4.2. Kondisi Kehutanan Provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 00 45’ sampai 20 45’ Lintang Selatan dan antara 1010 10’ sampai 1040 55’’ Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Provinsi Jambi dibentuk tanggal 2 Juli 1958 bersamaan waktunya dengan pembentukan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Sebelumnya Jambi merupakan salah satu daerah keresidenan di wilayah Provinsi Sumatera Tengah.
Gambar 3. Wilayah Administratif Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009)
45
Luas daratan wilayah Provinsi Jambi adalah sekitar 53.435 km2, yang terdiri dari : Kabupaten Kerinci seluas 4.200 km2 (7,86%),
Kabupaten
Merangin seluas 6.380 km2 (11,94%),Kabupaten Sarolangun seluas 7.820 km2 (14,63%), Kabupaten Batanghari seluas 4.983 km2 (9,33%), Kabupaten Muaro Jambi seluas 6.147 km2 (11,50%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 5.330 km2 (9,97%), Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 4.870 km2 (9,11%), Kabupaten Tebo seluas 6.340 km2 (11,86%) - Kabupaten Bungo seluas 7.160 km2 (13,40%),dan Kota Jambi seluas 205 km2 (0,38%). Panjang garis pantai Provinsi Jambi mencapai 210 km.
4.3. Topografi, Jenis Tanah dan Iklim Topografi bagian Timur Provinsi Jambi umumnya merupakan rawarawa sedangkan wilayah Barat pada umumnya adalah tanah daratan (lahan kering) dengan topografi bervariasi dari datar, bergelombang sampai berbukit. Topografi yang datar (0-2%) mencapai 1.688.534 ha, bergelombang (2-15%) seluas 1.557.549 ha, curam (15-40%) seluas 1.015.343 ha, serta sangat curam (>40%) seluas 838.565 ha. Persentase luas daerah dataran rendah 0-100 m (69,1%) daerah dataran dengan ketinggian sedang 100-500 m (16,4%), dan daerah dataran tinggi >500 m (14,5%). Luas wilayah di Provinsi Jambi dengan ketinggian antara 0-100 meter adalah 34.738 km2 (53,2%), ketinggian antara 101-500 meteradalah 17.981 km2 km2
(24,5%), ketinggian antara 500-1.000 meter adalah 9.127
(13,9%), serta ketinggian
> 1.000 meter adalah
5.437 km2
( 8,4%). Kondisi topografi Provinsi Jambi disajikan pada Gambar 4.
46
Gambar 4 . Kondisi Topografi Wilayah Provinsi Jambi (PIK Jambi, 2009)
Jenis tanah di Provinsi Jambi secara umum didominasi oleh Podsolik Merah Kuning (PMK) yaitu sebesar 44,56%. Jenis tanah lainnya adalah Latosol termasuk Regosol 18,67% dan Gley Humus 10,74%. Sebagian besar wilayah Iklim Propinsi Jambi bertype A (Schmidt and Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 1.900 – 3.200 mm/tahun dan rata-rata curah hujan 116 – 154 hari pertahun. Suhu maksimum sebesar 31 derajat cescius. Rata-rata curah hujan bulanan Jambi adalah 179-279 mm pada bulan basah dan 68-106 mm pada bulan kering. Musim hujan di Propinsi Jambi dari bulan November sampai Maret dan musim kemarau dari bulan Mei sampai Oktober. 4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Provinsi Jambi Berdasarkan data proyeksi Survey Penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2005 menunjukkan data pada tahun 2006 jumlah penduduk Provinsi Jambi mencapai 2.683.099 jiwa yang terdiri dari sejumlah 1.365.132 lakilaki dan 1.317.967 perempuan. Pada tahun 2007 berjumlah 2.742.196 jiwa yang terdiri dari sejumlah 1.398.700 lakilaki dan 1.343.496
47
perempuan. Selama kurun waktu tersebut terjadi pertumbuhan sebesar 2,20%. Pada tahun 2006 persentase penduduk di Provinsi Jambi yang tinggal di daerah perkotaan dengan usia produktif sebanyak 67,37%, dengan porsi yang hampir seimbang antara lakilaki dengan perempuan yaitu dengan perbandingan 66.90% dan 67,85%. dengan demikian berarti sisanya sebesar 32,63% adalah penduduk usia non produktif atau dapat dikatakan masih dalam kondisi ketergantungan yang tinggi. Usaha
lain
yang
telah
dilakukan
untuk
mengurangi
tingkat
kemiskinan adalah perluasan lapangan kerja pada berbagai sektor ekonomi. Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2007 telah meningkat menjadi 1 147 000 jiwa atau bertambah sebesar 44 000 jiwa dari 1 103 000 jiwa pada tahun 2006. Pada sisi lain jumlah pengangguran terbuka berkurang sebesar 2 000 jiwa atau turun dari 78 000 jiwa (2006) menjadi 76 000 jiwa (2007). Penurunan ini diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka dari 6.6 persen (2006) menjadi 6.2 persen (2007). Masih rendahnya penurunan tingkat pengangguran, terkait langsung dengan rendahnya tingkat investasi yang menghambat upaya perluasan lapangan pekerjaan dalam skala yang lebih besar. Pada tahun 2004, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jambi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 15,5 triliun rupiah menjadi 18,7 triliun pada tahun 2005. Share terbesar didominasi oleh sektor pertanian yang memberi kontribusi sebesar 30,2 %. Namun, potensi tersebut belum dikelola secara optimal, sehingga belum mampu memberikan konstribusi bagi pembangunan Jambi. Komoditas ekspor Provinsi Jambi masih bergantung pada kelompok komoditas berbasis sumber daya alam yang terdiri dari komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit), kehutanan (kayu dan pulp dan kertas), dan produk mineral. Pendiversifikasian komoditas ekspor berjalan relatif lambat, padahal melalui peningkatan nilai tambah dengan memperluas prosesing berbagai produk antara yang diekspor pada saat ini, akan dapat meningkatkan keanekaragaman produk ekspor berupa hasil olahan industri berbasis pertanian. Peningkatan prosesing bahan mentah dan bahan baku juga
48
akan meningkatkan nilai tambah dan penerimaan produsen domestik sekaligus meningkatkan penerimaan devisa dari hasil ekspor berbagai produk olahan lanjutan bukan produk antara seperti CPO dan SIR 20 dan SIR 50. Seiring dengan konsentrasi ekspor pada komoditas primer, diversifikasi negara tujuan ekspor juga berjalan lamban. Perkembangan aktivitas ekonomi yang pesat di kawasan Amerika Latin dan Asia Selatan utamanya India dengan penduduk 1 milyar merupakan potensi pasar yang belum digarap secara optimal. Demikian juga kawasan Afrika yang memiliki potensi pasar cukup besar di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Mesir, dan negara lainnya di kawasan ini. Bila diamati secara sektoral, sektor pertanian masih berperan sebagai penyerap terbesar angkatan kerja di Provinsi Jambi yaitu mencapai 57.7 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja pada tahun 2007. Angka ini tidak mengalami perubahan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar 57.8 persen. Sektor perdagangan tampil sebagai sektor kedua terbesar dalam menyerap tenaga kerja dan meningkat dari 14.5 persen (2006) menjadi 15.9 persen (2007). Penurunan dominasi sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja belum bergerak secara paralel dengan penurunan peran nilai tambah sektor ini terhadap PDRB. Hingga akhir tahun 2007 pangsa nilai tambah sektor pertanian terhadap PDRB tercatat sebesar 29.64 persen turun dari 30.19 persen pada tahun 2006. Ketidakberimbangan pangsa serapan tenaga kerja dengan pangsa nilai tambah sektor pertanian terhadap PDRB mengindikasikan masih tingginya tingkat penganguran terselubung, rendahnya
tingkat
produktivitas
sektor
pertanian
dan
sekaligus
mencerminkan tingginya tingkat kemiskinan di sektor ini yang umumnya berlokasi di daerah perdesaan. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, sektor pertanian mendominasi perekonomian Provinsi Jambi dengan peningkatan kontribusi cukup signifikan. Pada tahun 1999, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jambi berdasarkan harga konstan baru berkisar 27,65 %, kemudian meningkat drastis mencapai
49
30,22 % pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa peran sektor pertanian terhadap perekonomian daerah tetap terbesar, yang berarti pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan telah dapat diimplementasikan.
Namun
ternyata
peningkatan
kontribusi
sektor
pertanian tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan, dimana selama kurun waktu tersebut perkembangan kontribusi sektor industri pengolahan relatif stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa produk-produk pertanian yang dihasilkan lebih banyak dipasarkan oleh petani dalam bentuk bahan primer yang tidak mempunyai nilai tambah, belum diolah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi. Dalam hal penduduk miskin, berdasarkan data penduduk miskin (Badan Pusat Statistik Jakarta, 2004), jumlah penduduk miskin Provinsi Jambi pada tahun 2002/2003 berada pada ranking ke-3 se-wilayah Sumatera, setelah Bangka Belitung (1) dan Sumatera Barat (2). Namun jika dibandingkan proporsinya, Provinsi Jambi memiliki proporsi yang terbesar. Dari hasil-hasil penelitian baik yang dilakukan oleh berbagai Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi daerah maupun yang berasal dari luar daerah, termasuk penelitian yang dilakukan oleh beberapa LSM, diketahui bahwa tertinggalnya petani Jambi dibandingkan dengan petani daerah lain di Sumatera paling tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu : (1) kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pertanian yang rendah dan (2) posisi tawar yang lemah. Sehubungan dengan permasalahan di atas paling tidak terdapat dua program prioritas dan mendasar dalam upaya mengentaskan kemiskinan keluarga petani, yaitu : (1) Meningkatkan kualitas
sumberdaya
menusia
masyarakat
pertanian
dan
(2)
Meningkatkan posisi tawar petani yang salah satunya melalui peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui industri pengolahan hasil pertanian (agro-industri) atau peningkatan dan pengembangan industri hilir yang mampu mengolah produk pertanian menjadi bahan jadi atau setengah jadi sesuai dengan permintaan pasar, baik lokal, domestik maupun pasar mancanegara.
50
4.5. Kondisi Pengelolaan Hutan di Provinsi Jambi Luas kawasan hutan di Provinsi Jambi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 adalah seluas 2.179.440 ha, yang terdiri atas: hutan produksi terbatas seluas 340.700 ha (15,63%), hutan produksi tetap seluas 971.490 ha (44,47%), hutan lindung seluas 191.130 ha (8,77%), serta hutan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 676.060 ha (31.13%). Kawasan hutan suaka alam dan pelestarian alam terdiri dari : cagar alam seluas 30.400 ha (1,39%), taman nasional seluas 608.630 ha (27,92%), taman hutan raya seluas 36.660 ha (1,68%), dan hutan wisata alam seluas 430 ha (0,02%). Di dalam wilayah Provinsi Jambi terdapat empat taman nasional yang penting peranannya bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam menyediakan jasa lingkungan hutan, seperti pengaturan hidroorologis, penyerapan karbon, wisata alam, dan perlindungan plasma nutfah. Keempat taman nasional (TN) adalah : TN Kerinci Seblat seluas 429.630 ha, TN Nasional Bukit Tiga Puluh seluas 33.000 ha, TN Bukit Dua Belas seluas 60.500 ha, dan TN Berbak seluas 146.000 ha
(Dishut
Provinsi Jambi, 2008). Pemegang konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) yang masih aktif di Provinsi Jambi adalah PT Putra Duta IW yang berada di Kabupaten Muaro Jambi dengan luas konsesi 61.000 ha. Adapun pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 13 perusahaan dengan luas total mencapai 507.177,77 ha. Dari 13 perusahaan pemegang konsesi IUPHHK-HT hanya 6 perusahaan yang masih aktif beroperasi sampai dengan akhir tahun 2008. Realisasi produksi hasil hutan dan industri hasil hutan di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
51
Tabel 9. Realisasi Produksi Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008 No 1 a b
2
Produksi Hasil Hutan Kayu Bulat Kayu Bulat (diameter >30 cm) Kayu Bulat Kecil (diameter 20-29 cm) BBS (Hutan Tanaman/HTI) BBS (Hutan Alam) Kayu Tanaman (Karet, Sengon, Kayu Manis) Total Produksi Kayu Non Kayu Rotan Kecil Rotan Besar Total Produksi Non Kayu
Realisasi Produksi 3 (m ) 108.722,13 17.784,28 3.830.069,62 457.560,7 525.29,68 4.466.666,41 44 64.500 64.544
Tabel 10. Realisasi Produksi Industri Hasil Hutan Provinsi Jambi Tahun 2008 No
Industri Pengolahan Hasil Hutan
1 2 3 4 5 6 7
Kayu Gergajian Kayu Lapis (Plywood) Veneer Pencil Slate Container Floor Olahan lain Moulding
8 9
Tissue Pulp
Realiasasi Produksi (m3) 13.001,0683 98.718,023 68.586,2747 57,6361 32.741,3572 55.562,9721 3.841,4738 272.508,81 27.260,531 50.6084,79
Sektor kehutanan masih merupakan sektor ekonomi unggulan di Provinsi Jambi. Volume ekspor kelompok komoditas kayu, barang dari kayu dan barang anyaman mencapai 434.518 ton pada tahun 2004. Volume ekspor kelompok komoditas kayu, barang dari kayu, dan barang anyaman pada tahun 2006 menjadi 239.005 ton, namun menurun menjadi 162.774 ton pada tahun 2007, dan pada tahun 2008 meningkat sedikit menjadi adalah 200.574 ton. Volume produksi hasil hutan yang cenderung terus menurun disebabkan oleh makin sedikitnya bahan baku kayu dan non kayu yang dihasilkan dari kawasan hutan. Keterbatasan sumber bahan baku diindikasikan dengan banyaknya kegiatan pengusahaan hutan yang tidak beroperasi walaupun ijin konsesinya masih berlaku.
52
Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengarahkan kebijakan pengelolaan hutannya untuk : 1. Penurunan kegiatan penebangan liar (Illegal logging) dan perdagangan kayu illegal, pembakaran hutan serta perambahan dan okupasi kawasan hutan. 2.
Memperbaiki
sistem
pengelolaan
hutan
melalui
meningkatkan
keterlibatan masyarakat secara langsung di dalam dan disekitar hutan. 3. Meningkatkan koordinasi dan penguatan kelembagaan dalam wilayah DAS, serta meningkatkan pengawasan dan penegakan hukumnya. 4. Peningkatan pelaksanaan Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. 5. Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan. 6. Memanfaatkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungannya secara optimal. Adapun sasaran program kehutanan Provinsi Jambi yang ingin dicapai adalah : 1. Terwujudnya penegakan hukum terutama dalam pemberantasan pembalakan liar (Illegal logging), turunnya penyalahgunaan izin eksploitasi hasil hutan dan peredaran/perdagangan hasil hutan illegal. 2. Menurunnya pembukaan kawasan hutan untuk areal budidaya non kehutanan dan okupasi kawasan oleh badan usaha serta menurunnya perburuan satwa/tumbuhan liar yang dilindungi serta peredarannya serta turunnya tingkat kebakaran hutan. 3. Terciptanya industri kehutanan yang tangguh serta terwujudnya struktur industri pengolahan yang efisien dan berwawasan lingkungan. 4. Ditetapkannya batasan luar kawasan hutan dalam tataruang di Provinsi Jambi. 5. Meningkatnya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan terutama Ex HPH. dan sepanjang DAS Batanghari untuk menjamin pasokan air dan sistem penopang kehidupan lainnya. 6. Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu.
53
7. Meningkatnya hasil hutan nonkayu seperti rotan manau, madu dan tanaman obatobatan. 8.Terjalinnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. 9. Diterapkannya iptek yang inovatif pada sektor kehutanan. Arahan dan sasaran program kerja Dinas Kehutanan Provinsi Jambi sebagaimana tersebut sebelumnya menunjukkan bahwa aktifitas ilegal di dalam kawasan hutan sudah mengkhawatirkan. Perubahan respon hidrologis di wilayah tersebut menjadi indikator signifikan telah terjadinya kerusakan ekosistem hutan. Awal tahun 2002, banjir melanda sebagian besar wilayah Provinsi Jambi dan secara ironis pada akhir tahun yang sama terjadi kekeringan. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumberdaya air, baik air permukaan maupun air tanah. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai
(DAS)
memprihatinkan
dalam adalah
menahan
dan
menyimpan
indikasi tejadinya
proses
air.
Hal
percepatan
yang laju
kerusakan daerah tangkapan air yang secara alami didominasi penutupan lahan hutan. Aktifitas ilegal tersebut terutama terkait dengan penebangan pohon secara ilegal dan perambahan lahan hutan untuk budidaya non kehutanan. Dalam hal ini Dinas Kehutana Provinsi Jambi memprioritaskan pemberantasan IL dan perambahan lahan hutan sebagai prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan. Tanpa adanya kepastian keamanan kawasan hutan, maka investasi di bidang kehutanan tidak akan berjalan. -