ISSN: 2089-7553 TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN Oleh : I Made Kastama * Abstrak Masyarakat memiliki kepentingan yang beraneka ragam yang sangat perlu dipenuhi agar mendapat kehidupan yang lebih baik, namun dalam pemenuhan kepentingan itu sering terjadi benturan-benturan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang sering mengarah pada pelanggaran yang merugikan masyarakat, sebagai akibat dari ketidakteraturan dan ketidaktentraman dalam memenuhi kebutuhan/kepentingan yang satu dengan yang lainnya tidak searah sehingga terjadi benturan/perselisihan. Apalagi dalam memenuhi kebutuhan itu sampai melanggar hak orang lain bahkan mengambilnya dengan cara merampas hak orang lain. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya bukan barang saja menjadi objek sasarannya melainkan si pemilik barang ikut menjadi korban kekerasan. Pencurian dengan kekerasan sering meresahkan masyarakat sehingga perlu diambil tindakan hukum secara tegas dan nyata. Kejahatan pencurian dengan kekerasan merupakan tindak pidana yang sadis dan mengerikan, karena si pelaku sebelum melakukan kejahatan pencurian, mereka terlebih dahulu harus melumpuhkan atau membuat si korban menjadi tidak berdaya dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian yang dilakukan. Untuk terwujudnya ketentraman dan rasa keadilan dalam masyarakat, perlu adanya penegakan hukum yang berlaku sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku, Negaralah merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Pemerintah yang mengendalikan hukum tersebut, karenanya pemerintah berhak untuk memidana. Hak menjatuhkan pidana merupakan perlengkapan Negara, hanya yang mempunyai wewenang yang dapat melaksanakan dan memberlakukan kehendak yang mempunyai hak memidana. Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana, melalui alat pemerintah.
Kata Kunci : Pidana, Pencurian, Kekerasan.
* Penulis adalah Dosen pada Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
103
I.
Pendahuluan Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hukum, hak-hak asasi manusia, negara Indonesia menganut persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara, tercantum dalam pasal 27 (1) UUD 1945, yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah. Pemerintah memiliki kewajiban dalam melaksanakan pembangunan terutama dalam hal pembangunan di segala bidang dan yang paling penting pembangunan di bidang hukum. Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang semakin meningkat serta makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum nasional dan produk hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegak hukum secara konsisten, konsekuen, berkualitas dan bertanggung jawab. Peningkatan aparat hukum yang berkualitas dan bertanggung jawab itu diperlukan juga peranan dari negara. Cara negara bertindak dalam hal ini adalah dengan bantuan badan-badan yang berwajib sebagai alat-alat perlengkapan negara seperti polisi dan jaksa yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan jika perlu diadakan penahanan bagi mereka yang melanggar hukum. Warga negara dalam memenuhi hak dan kewajibannya memiliki kepentingan yang beraneka ragam yang sangat perlu dipenuhi agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Dalam memenuhi kepentingan itu sering terjadi benturan-benturan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang tidak mustahil terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan yang merugikan masyarakat. Di dalam masyarakat sering terjadi ketidakteraturan dan ketidaktentraman sebagai akibat adanya kebutuhan/kepentingan yang satu dengan yang lainnya tidak searah sehingga terjadi benturan/perselisihan sebagai akibat dari pertentangan Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
104
kepentingan itu. Apabila pertentangan atau ketidakseimbangan hubungan masyarakat meningkat menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Disamping itu kebutuhan hidup manusia dalam kehidupan sehariharinya juga sangat mempengaruhi perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan. Kebutuhan yang mendesak bisa mengakibatkan orang-orang memenuhinya dengan cara tidak baik atau melakukan kejahatan baik yang disadarinya atau tidak disadarinya sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Kejahatan akan selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Sejarah perkembangan manusia sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah ditandai dengan berbagai upaya manusia untuk mempertahankan kehidupannya dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia pada abad ke 21 ini masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena yang tidak berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri, bahkan ia sudah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah studi tentang kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini. (Romli Atmasasmita, 1992 : 52) Dilihat dari sudut pandangan kriminologi, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur-struktur yang ada dalam masyarakat. Sumber-sumber cultural dari kejahatan-kejahatan dengan kekerasan terletak pada berseminya sub kebudayaan kekerasan yang antara lain merupakan nilai-nilai dan norma yang mendukung pola prilaku kekerasan dimana respon-respon yang secara pisik agresif diharapkan, bahkan dibutuhkan oleh kelompok-kelompok sosial pendukung sub kebudayaan tersebut.(Mulyana W. Kusumah, 1990 :53) Seringkali perkembangan sub kebudayaan kekerasan ini diperkuat oleh reaksi-reaksi terhadapnya, baik dari masyarakat maupun dari mereka yang mempunyai monopoli atas kekerasan yang sah seperti pelaksana penegak hukum. Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
105
Dalam beberapa kasus misalnya : perampokan dan bentuk-bentuk kejahatan dengan kekerasan lain – tidak jarang terbetik berita mengenai mati tertembaknya pelaku kejahatan oleh pelaksana penegak hukum. Hal ini merupakan perwujudan reaksi kekerasan yang sah atas kekerasan illegal dan kekerasan kian dipandang sebagai bagian gaya hidup, pemecah masalah kolektif secara cepat. (Mulyana W. Kusumah, 1990 :53) Kejahatan dengan kekerasan selalu ada dan berkembang mengikuti perkembangan jaman dan masyarakat, sehingga dapat dikatakan “Crime is a social phenomenen”. Kejahatan tidak dikehendaki masyarakat, tetapi ia selalu ada dan dilakukan oleh warga masyarakat, kejahatan sebagai fenomena sosial tidak bisa lepas (riil) dalam masyarakat dan dalam penanggulangannya tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme hukum saja tetapi juga diperlukan mekanisme lain termasuk juga pelaksanaan pembinaan terhadap masyarakat. Disamping itu kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan akan berpengaruh pula terhadap kualitas dan kuantitas kejahatan. Di wilayah perkotaan pertumbuhan dan perkembangan fungsi kota secara administratif maupun komersial serta keadaan kota yang semakin menjadi interaksi sosial budaya yang sangat mempengaruhi nilai, pandangan dan sikap prilaku warganya. Palangka Raya sebagai Ibukota Kalimantan Tengah tidaklah terlepas dari apa yang dikemukakan di atas. Sebagai pusat aktivitas usaha, tempat lokasi sejuta hektar tersedianya fasilitas-fasilitas fisik yang sangat mendukung baik berupa komunikasi maupun transportasi tentu merupakan tempat yang sangat menarik. Tingginya urbanisasi maupun arus pendatang luar daerah tentunya merupakan fenomena tersendiri, karena dapat dipastikan yang datang ke Palangka Raya belumlah tentu mereka-mereka yang punya ketrampilan ataupun pekerjaan tetap, bahkan banyak dari mereka datang justru untuk mencari lapangan pekerjaan. Keadaan yang demikian bisa menimbulkan kerawanan bagi daerah setempat dan yang paling ditakutkan apabila kedatangan mereka justru mengalihkan kegiatan kejahatannya. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya bukan barang saja menjadi objek sasarannya melainkan si pemilik barang ikut menjadi korban kekerasan. Disinilah yang dimaksud dalam Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya (lemah). Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar. Melakukan kekerasan disini mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah seperti memukul dengan tangan atau dengan Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
106
segala macam benda misalnya senjata tajam, kayu atau benda keras lainnya serta menyabot orang dengan mengikat orang dalam kamar yang terkunci dan tertutup. Kekerasan yang dilakukan harus pada orang bukan pada benda atau binatang, seseorang disini bukan saja orang yang mempunyai barang yang akan dicuri tetapi siapa saja yang menjadi korban di Tempat Kejadian Perkara (TKP) , sewaktu dan setelah si pelaku melakukan aksinya. Kejahatan dengan cara melakukan kekerasan seperti dalam pembahasan disini yaitu pencurian dengan kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 365 KUHP yaitu : Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu, atau jika tertangkap tangan, supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap tinggal di tangannya. (R. Soegandhi, 1980 : 382) Pencurian dengan kekerasan sering meresahkan masyarakat sehingga perlu diambil tindakan hukum secara tegas dan nyata. Kejahatan pencurian dengan kekerasan merupakan tindak pidana yang sadis dan mengerikan, karena si pelaku sebelum kejahatan pencurian, mereka terlebih dahulu harus melumpuhkan atau membuat si korban menjadi tidak berdaya dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian yang dilakukan. Pencurian dengan kekerasan dapat diklasifikasikan dalam bentuk : perampokan, pembegalan, penodongan, penjambretan dan perampasan. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas hal menarik yang ingin dibahas adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berbeda dengan pencurian biasa yaitu mengambil dengan diam-diam, dengan sembunyi tanpa diketahui orang. II. Pemidanaan Terhadap Pelaku Pencurian Dengan Kekerasan Pidana merupakan istilah yang mempunyai pengertian khusus berbeda dengan “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana yaitu sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.
Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
107
Pembahasan tentang pidana di dalam lapangan hukum pidana mendapat perhatian khusus para praktisi hukum dalam keterkaitannya dengan tugas melakukan penegakan hukum pidana. Secara definitif dikenal beberapa pendapat para ahli hukum yang merumuskan tentang pengertian pidana. Sudarto mengatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. (Sudarto, 1983 : 30). Sedangkan menurut Roeslan Saleh, “Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu”. ( Muladi Dan Barda Nawawi, 1992 : 2). Selanjutnya pidana didefinisikan “sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan / diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan yang telah melanggar larangan hukum pidana”. ( Adami Chazawi, 2005 : 24) Pidana dapat dikatakan merupakan sanksi negatif yang diberikan kepada orang yang telah terbukti bersalah atau dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Dari pengertian tersebut bahwa pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan, apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka harus dibebaskan. Pidana adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh negara, kepada orang-orang yang melanggar Undang-Undang Hukum Pidana. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi si terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum. Negara merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Pemerintah yang mengendalikan hukum tersebut, karenanya pemerintah berhak untuk memidana. Hak menjatuhkan pidana merupakan perlengkapan Negara, hanya yang mempunyai wewenang yang dapat melaksanakan dan memberlakukan kehendak yang mempunyai hak memidana. Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana, melalui alat pemerintah. ( Soejono, 1996 : 37) Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
108
masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukan. Pemidanaan merupakan konkritisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan dilakukan melalui suatu proses yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, sebagai suatu perangkat yang bertujuan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil. Pemberian ancaman pidana itu merupakan bidang dari pembentuk undang-undang berdasarkan asas legalitas, yang berbunyi: nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege (poenali). Jadi, untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang terlebih dahulu. Peraturan tentang sanksi yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang itu memerlukan perwujudan lebih lanjut, dengan dibentuknya badan atau instansi dengan alat-alat yang secara nyata dapat merealisasikan aturan pidana itu. (Siswanto Sunarso, 2005 : 65) Pemidanaan bila diartikan secara luas adalah sebagai suatu “proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). (Barda Nawawi Arief, 1996 : 129) Dengan demikian, proses penyelesaian perkara pidana dengan mekanisme sistem peradilan pidana merupakan suatu proses penegakan hukum, dalam arti penegakan hukum secara konkrit yaitu berlakunya hukum positif dalam praktek sebagaimana seharusnya ditaati, oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum inconcreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Secara fungsional dan operasional pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan yang konkritisasinya sengaja direncanakan melalui tahap formulasi oleh pembuat Undang-Undang, tahap aplikasi oleh aparat yang berwenang dan tahap eksekusi oleh aparat/ instansi pelaksana pidana. Oleh karena itu pemidanaan atau penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit, yang hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga macam putusan yang dapat dijatuhkan hakim yaitu :
Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
109
a.
Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya; atau b. Pembebasan dari penuntutan hukuman (ontslag van rechtsvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu; atau c. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atau peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya. (R. Soesilo, 1995 : 90) Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana, pidana yang dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan. Atas dasar ancaman pidana tepat yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu, hakim dapat menimbang-nimbang penerapan pidana yang dipandang paling tepat dan adil bagi terpidana. Dalam menjatuhkan pidana hakim tetap terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang terbukti dilakukan terpidana, akan tetapi disamping keterikatan itu, hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dipandang paling adil dan tepat. Pencurian dengan kekerasan merupakan tindak pidana yang sadis dan mengerikan, karena pelaku sebelum, sedang atau setelah melakukan kejahatan dengan pencurian, maka mereka harus melumpuhkan atau membuat si korban menjadi tidak berdaya dengan maksud untuk memudahkan pencuriannya itu. Pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365 KUHP. Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu, atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap tinggal di tangannya. (R. Soesilo, 1995 : 253) Pencurian dengan kekerasan tersebut mempunyai unsur sebagai berikut : 1. Pencurian 2. a. Didahului kekerasan atau ancaman kekerasan b. Disertai kekerasan atau ancaman kekerasan Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
110
c. Diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Dengan maksud ; a. mempersiapkan pencurian b. memudahkan pencurian c. memudahkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya d. menjamin tetap dikuasainya barang yang telah dicurinya Pasal 365 KUHP ini merupakan pencurian dengan keadaan yang memberatkan karena disertasi kekerasan atau ancaman kekerasan baik dilakukan seorang atau lebih yang mengakibatkan luka berat atau mati, maka pasal ini disebut “ Pencurian dengan penggunaan kekerasan. (Soeharto. RM., 1991 : 47) Kalau kita hubungkan perbuatan kekerasan dengan unsur-unsur tertentu dari ayat-ayat dalam Pasal 365 KUHP itu, maka disitu kita jumpai unsur-unsur luka berat dan matinya orang, sehingga kekerasan itu merupakan kekerasan fisik yang ditujukan kepada orangnya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) KUHP. Ayat (2) Pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun , dijatuhkan : 1e. jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup, yang ada rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 2e. jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih; 3e. jika si tersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu 4e. jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat Ayat (3) Pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati; Ayat (4) Pidana mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara semetara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam 1 dan 3. (R. Soesilo, 1995 : 253-254) Kemudian dalam pasal 365 ayat (2) KUHP menentukan bahwa kejahatan yang diatur dalam ayat (1) tersebut di atas disertai dengan hal-hal yang diatur dalam ayat (2), maka pidananya diperberat menjadi pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Semua unsur yang disebutkan dalam ayat (2) di atas telah dibicarakan dahulu sehigga tidak perlu diulangi lagi, maka yang perlu ditinjau adalah pengertian mengenai jalan umum dan luka berat. Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
111
Yang dimaksud dengan jalan umum adalah setiap jalan di dataran dalam bentuk apapun (jalan raya, gang, jalan terowongan, jalan layang, jembatan dan lainlain) yang terbuka untuk umum. Sedangkan yang dimaksud dengan luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah sebagai berikut : a. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau mendatangkan bahaya maut; b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian; c. Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra; d. Mendapat cacat besar e. Lumpuh (kelumpuhan); f. Akal, tenaga faham tidak sempurna lebih dari empat minggu; g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. (R. Soegandhi, 1980 : 107) Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP) dibandingkan dengan pemerasan (Pasal 368 KUHP), maka akan tampak suatu perbedaan yang penting, misalnya apabila orang yang kena kekerasan atau ancaman kekerasan dari penjahat, menyerah lalu memberikan barangnya (baik dengan cara menyampaikan barang itu kepada penjahat, maupun penjahat mengambil sendiri barang itu) kepada si pengancam, maka hal ini masuk dalam pemerasan, akan tetapi jika pemilik barang itu dengan adanya tekanan kekerasan atau ancaman kekerasan tetap tidak mau menyerah dan kemudian si penjahat mengambil sendiri barang tersebut maka hal ini masuk pencurian dengan kekerasan. Pencurian dengan kekerasan, ancaman pidananya yang lebih berat daripada pencurian biasa. Dengan menggunakan kekerasan, biasanya menimbulkan cidera jasmaniah atau rohaniah bagi pihak korban. (Gerson W. Bawengan, 1977 : 178) Diperberatnya ancaman pidana pada tindak pidana pencurian dengan kekerasan, oleh karena bersatunya dari berbagai unsur (kumulatif), baik yang bersifat objektif maupun yang bersifat subjektif. Unsur-unsur objektif yaitu cara atau upaya yang digunakan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, yang ditujukan kepada orang dan waktu penggunaan upaya kekerasan dan atau ancaman kekerasan itu adalah sebelum, pada saat atau setelah berlangsungnya pencurian sedangkan unsur subjektif yaitu digunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan itu, dengan maksud yang ditujukan untuk mempersiapkan pencurian, untuk mempermudah pencurian atau memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya apabila tertangkap tangan atau untuk tetap menguasai benda yang dicuri apabila tertangkap tangan. Oleh adanya unsurBelom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
112
unsur khusus kumulatif yang sifatnya sangat memberatkan pidana itulah diletakkan alasan pemberat pidana. Dari rumusan Pasal 365 (1) KUHP tersebut dapat penulis simpulkan bahwa unsur esensial dalam pengertian pencurian dan kekerasan adalah mengambil milik orang lain yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang secara melawan hukum. Didahului dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengandung pengertian bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan ini dipergunakan sebelum melakukan pencurian yang dimaksudkan untuk mempersiapkan diri bagi si pelaku, disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maksudnya penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pencurian. Penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan disini dimaksudkan untuk mempermudah dilaksanakan pencurian. Diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengandung maksud penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan setelah pencurian dilakukan, tujuannya memberikan kesempatan kepada diri sendiri atau peserta lain untuk melarikan diri, serta dapat menjamin pemilikan hasil kejahatan tersebut jika tertangkap tangan. Mengenai arti kekerasan dapat dilihat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan arti daripada “melakukan kekerasan” ialah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah. Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang yang kena kekerasan itu menderita sakit yang sangat. Pingsan artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya, karena minum racun atau obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, shingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikit juapun, seperti misalnya orang yang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar , memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. (R. Soesilo, 1995 : 98) Pengertian orang tidak berdaya itu, masih dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, tetapi tidak dapat melakukan perlawanan, sedangkan orang pingsan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Keadaan pingsan dan tidak berdaya keduanya merupakan akibat dari suatu kejadian yang timbul karena
Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
113
keadaan jasmani tidak mampu memberikan perlawanan dan juga dapat timbul tanpa adanya kesadaran. Dalam percakapan sehari-hari menggunakan kekerasan maksudnya adalah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin, maksudnya hampir dengan seluruh kekuatan jasmani membuat lawan tidak berdaya, tetapi hal yang demikian tidaklah seluruhnya benar. Menurut penulis, sudah dapat dikatakan seseorang melakukan tindakan kekerasan dengan menggunakan jasmani kecil, yaitu apabila seseorang diperdaya dengan memberikan pil yang dikatakan obat penyembuh, padahal sebenarnya pil itu adalah racun sehingga orang tersebut menjadi tidak berdaya atau pingsan. Hal inipun termasuk melakukan kekerasan walaupun tidak menggunakan jasmani besar. Kekerasan-kekerasan itu baik yang sudah dilakukan maupun sedang diancamkan kekerasan harus ditujukan kepada orang, bukan kepada barang dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama atau sesudah pencurian itu dilakukan.
III. Penutup Penjatuhan pidana oleh hakim dalam perkara pencurian dengan kekerasan adalah merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit yang hanya dilakukan oleh hakim tetap terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang terbukti dilakukan terpidana. Dalam hal tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan jenis pidana lebih berat dibandingkan dengan pencurian biasa dikarenakan pencurian dengan kekerasan dilakukan yang didahului dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Disamping itu mengenai luasnya kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yaitu dengan menanggapi gagasan masyarakat dengan pengertian bahwa hakim dalam memberikan hukuman yang berupa penjatuhan sanksi pidana harus menyadari apa makna pemidanaan itu, harus menyadari pula apa yang hendak dicapai. Karena dalam menetapkan hukum, hakim tidak semata-mata hanya menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, melainkan harus memperhatikan kemanfaatan sosial. Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagai berikut : Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
114
dengan adanya tindak pidana itu ? kerugian apakah yang ditimbulkan ? apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah merupakan suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak ? (Masruchin Rubai, 1997 : 72) Dengan demikian pemidanaan terhadap pencurian dengan kekerasan merupakan perwujudan konkrit dikenakan pidana dengan pertimbanganpertimbangan yang telah diberikan oleh hakim sebagai penegak hukum dan keadilan.
Daftar Pustaka Atmasasmita Romli, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung, 1992 Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,1998. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Bawengan Gerson W., Pengantar Psychologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977 Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 ----------, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 Kusumah Mulyana W., Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Muladi Dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992 Rubai Masruchin, Mengenal Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Ikip Malang, 1997. Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1985. Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, 1976 -----------, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983. Soejono, Kejahatan Dan Penegakan Hukum DI Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996 Sunarso Siswanto, Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 Sianturi, S.R., Tindak-Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, 1983 Soeharto RM, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 1991. Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
115
Soegandhi R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Usaha Nasional, Surabaya, 1980. Poernomo Bambang, , Asas-Asas Hukum Pidana, FH. UGM, Yogyakarta, 1982.
Belom Bahadat Volume II No.2 Oktober 2012
116