BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetepi pada pasal 45 yang memakai batasan usia 16 tahun. Pasal 45 berbunyi: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman; atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu tang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. 44 Ketentuan pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah dicabut dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan telah dirubah
44
Nashriana, Op. cit, hal. 4
46 Universitas Sumatera Utara
47
pula dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu oleh pembentuk undangundang telah diatur dalam pasal 365 KUHP Yang berbunyi sebagai berikut: 1. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau untuk mempermudah pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lainlain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika diketahui pada waktu itu juga, ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda yang telah dicuri. 2. Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun: 1. Jika tindak pidana itu dilakukan pada malam hari di dalam sebuah tempat kediaman atau diatas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau di atas jalan umum, atau diatas kereta api atau trem yang bergerak; 2. Jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; 3. Jika untuk mendapat jalan masuk ke tempat kejahatan, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu, suatu perintah palsu atau suatu seragam palsu; 4. Jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka berat pada tubuh. 3. Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana itu telah mengakibatkan matinya orang. 4. Dijatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan luka berat pada tubuh atau matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang disertai dengan salah satu keadaan yang disebutkan dalam angka 1 dan 3. 45 Pencurian dengan kekerasan memang sangat berbeda dengan pencurian, namun subtansi yang ada dalam pencurian dengan kekerasan sama dengan pencurian. Letak perbedaan keduanya pada teknis dilapangan, pencurian dengan kekerasan ialah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui sang korban, sedangkan pencurian identik dilakukan saat tidak diketahui korban. 45
P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Kejahatan tehadap Harta Kekeyaan, (Jakarta, Sinar Grafika : 2009), hal. 55-56
Universitas Sumatera Utara
48
Pencurian dengan
kekerasan
dalam hukum positif
atau
KUHP
dikategorikan dalam delik pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya. 46 Menurut Prof. Simons, kekerasan itu tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi sebelum, selama, dan sesudah pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan pasal 365 ayat (1) KUHP yakni: a. Untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan; b. Jika kejahatan yang mereka lakukan itu op heterdaad betrapt atau diketahui pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri; c. Untuk menjamin tetap mereka kuasai benda yang telah mereka curi. Kesimpulannya adalah bahwa tidak setiap pencurian disertai dengan kekerasan merupakan pencurian seperti yang dimaksud dalam pasal 365 ayat (1) KUHP, yakni misalnya pencurian pada malam hari dalam sebuah tempat kediaman yang disertai dengan kekerasan dengan maksud untuk dapat melakukan perbuatan melanggar susila dengan anak gadis pemilik rumah. Kejahatan tersebut bukan merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 365 ayat (2) angka 1 KUHP, karena kekerasan yang dilakukan orang
46
http://digilib.uinsby.ac.id/3849/8/Bab%203.pdfdiakses pada : jum’at, 24 Maret 2017 pukul 20.55 WIB
Universitas Sumatera Utara
49
dalam pasal ini juga harus dimaksud untuk maksud yang sama seperti yang ditentukan dalam pasal 365 ayat (1) KUHP. 47 Kekerasan atau ancaman kekerasan ini harus dilakukan pada orang, bukan kepada barangdan dapat dilakukan sebelumnya, bersamaan, atau setelah pencurian itu dilakukan, asal maksudnya untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian itu dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu teta ada di tangannya. Seseorang pencuri dengan merusak rumah, tidak masuk disini, karena kekerasan (merusak) itu tidak dikenakan pada orang. Seseorang copet setelah mencuri dimaki-maki oleh orang yang melihat dan karena sakit hati lalu memukul pada orang itu, tidak termasuk disini, sebab kekerasan (memukul) itu untuk membalas karena sakit hati, bukan untuk keperluaan tersebut di atas Seperti diketahui pencurian dengan kekerasan pada dasarnya identik dengan pencurian lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada klasifikasi kekerasan atau ancaman kekerasan yang melekat pada perbuatan pencurian. Dengan demikian unsurunsurnya dapat dikatakan sama dengan Pasal 362 KUHPidana ditambah klasifikasi ancaman kekerasan. Unsur-unsur delik pencurian dengan kekerasan dapat kita lihat dalam Pasal 365 KUHPidana. Adapun unsur-unsur delik ini sama dengan yang dipunyai oleh Pasal 362 KUHP ditambah dengan tambahan unsurunsur sebagai berikut Pasal 365 ayat (1): 1. Unsur Pencurian a. Perbuatan mengambil;
47
P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Op. cit, hal. 58-59
Universitas Sumatera Utara
50
b. Yang diambil harus sesuatu; c. Barang itu harus seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain; d. Maksud untuk memiliki dengan melawan hukum (hak); 2. Unsur didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang. 3. Unsur dengan maksud menyiapkan atau memudahkan pencurian itu. 48 B. Pengaturan Percobaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tentang syarat untuk dapat dipidananya pembuat percobaan kejahatan dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni: Poging tot misdrijf, wanneer het voornemen des daders zich door een begin van uitvoering heeft goepenbaar en de uitvoering allen ten gevolge van omstandigheden van zijnen wil onafhankelijk, niet is voltooid. Oleh BPHN diterjemahkan: mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Jadi ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Adanya niat; 2. Adanya permulaan pelaksanaan; 3. Pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan kerena kehendaknya sendiri. 49 Perihal percobaan kejahatan merupakan ketentuan umum hukum pidana, yang dalam buku I bab IV terdiri dua pasal, 53 dan 54, dalam hal ini berbeda 48
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sUDyFFkMTmsJ:repository.un has.ac.id/bitstream/handle/123456789/9977/SKRIPSI%2520LENGKAP-PIDANAJUNAEDI%2520AZIS.pdf%3F diakses pada : Sabtu, 25 Maret 2017 pukul 00.51 WIB 49 Adami Chazawi, Op. cit, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
51
dengan pengulangan (residive) yang tidak mengenal ketentuan umum yang dimuat dalam buku I Pasal 53 merumuskan: 1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri; 2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga; 3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun; 4. Pidana tabahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. 50 C. Perlindungan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan UndangUndang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah sebagai upaya untuk melindungi anak dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi, hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang melakukan suatu tindak pidana seperti yang kita diketahui bahwa perkembangan kejahatan yang semakin meningkat tentunya sangat memprihatinkan yang mana pelakunya tidak hanya orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak, pada dasarnya perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa tidak ada perbedaan hanya saja
50
Ibid, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
52
perbedaan itu terlihat dari pelakunya yang masih dibawah umur dan yang sudah dewasa. Selain itu juga niat/tujuan antara anak dan orang dewasa dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya juga berbeda. Ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan batasan usia terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yakni: Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 51 Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka. 52 Lahirnya Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep Diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
51
Dheny Wahyudhi, 2015, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum melalui Pendekatan Restorative Justice, hal. 148-149 52 Nashriana, Op.cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
53
pidana ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). 53 Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan Anak sebagai pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat memungkinkan Anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial lainnya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan Anak dalam suatu proses peradilan. Peradilan Anak merupakan
sistem
peradilan
yang
bersifat restorative
justice dengan
mengutamakan kebutuhan dan kepentingan dimasa yang akan datang. Stigmatisasi Anak nakal seperti yang terjadi selama ini tidak akan memberikan peluang kepada Anak untuk mendapatkan ruang tumbuh kembang yang lebih baik. Begitu juga penanganan Anak dipenjara, jangan sampai menimbulkan trauma dan tidak ditahan bersama orang dewasa. Resiko penanganan Anak di penjara menjadi tekanan yang sangat luar biasa bagi Anak setelah menjalani putusan hukum. Upaya mewujudkan criminal restorative justice system bagi Anak 53
Skripsi Novi Megawaty Aritonang, Penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pembunuhan berencana (studi putusan pengadilan negeri Stabat nomor 1/pid.sus.anak/2015/pn-stb), (Medan, USU : 2016) hal. 38
Universitas Sumatera Utara
54
yang berhadapan dengan hukum, diperlukan payung hukum antar pihak terkait agar penanganan komprehensif. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap Anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the child. 54 Susan Sharpe mengemukakan ada lima prinsip dalam restorative justice, yaitu: 1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara konprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecah persoalan ini; 2. Restorative
justice
mencari
solusi
untuk
mengembalikan
dan
menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya; 3. Restorative justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukkan rasa penyesalan dan mengakui semua kesalahannya serta
54
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:iWXkm0oY90YJ:digilib.unila. ac.id/9611/10/BAB%2520II.pdf+&cd=5&hl=en&ct=clnk, diakses pada : jum’at, 24 Maret 2017 pukul 22.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
55
menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 4. Restorative justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebeskan dari masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah; 5. Restorative justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan bersumber pada diri pelaku, oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Konsep Diversi dan restorative justice seperti dikemukakan di atas bisa dijadikan sebagai salah satu tujuan pemidanaan sebagai upaya penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Selain itu juga bisa
Universitas Sumatera Utara
56
memberikan nuansa edukatif kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai kebahagian kehidupan bersama. 55 Pasal 2 Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa, Sistem Peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
perlindungan; keadilan; nondiskriminasis; kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; proporsional; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan. 56
Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa, setiap Anak dalam Proses Peradilan berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebes dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehiduan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; 55 56
Marlina, Op. cit, hal. 74-75 Pasal 2 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
57
n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 57 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menyatakan, Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. b. c. d. e. f. g.
mendapat pengurangan masa pidana; memperoleh asimilasi; memperoleh cuti mengunjungi keluarga; memperoleh pembebasan bersyarat; memperoleh cuti menjelang bebas; memperoleh cuti bersyarat; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 58
Pasal 5 ayat Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Restoratif; 2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh Pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. 3. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. 59
57
Pasal 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 4 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 59 Pasal 5 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 58
Universitas Sumatera Utara
58
Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak-hak yang harus diperjuangkan pelaksanaan secara bersama-sama, yaitu: 1. Sebelum persidangan a. hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah; b. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya); c. hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo; d. hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib). 60 2. Selama persidangan a. hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya; b. hak mendapat pendamping, penasihat selama persidangan; c. hak untuk mendapat fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan); d. hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial
60
Nashriana, Op, cit, hal 20
Universitas Sumatera Utara
59
(berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat-tempat penahanan misalnya); e. hak untuk menyatakan pendapat; f. hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHP (pasal 1 ayat 22); g. hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya; h. hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. 61 3. Setelah persidangan a. hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai Pemasyarakatan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya); c. hak
untuk
tetap
dapat
berhubungan
dengan
orang
tuanya,
keluarganya. 62
61
Ibid, hal 21-22 Ibid, hal. 23
62
Universitas Sumatera Utara
60
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, menyatakan, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 63 1.
Tahap Proses penyidikan
Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: 1. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 2. Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial Profesional atau tenaga Kesejahteraan sosial dan tenaga ahli lainnya. 3. Dalam hal melalukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi, penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial Profesional atau tenaga Kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 64 Bertolak dari hal tersebut, maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seorang penyidik disarankan tidak memakai seragam dinas dan dalam tugasnya harus melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik, hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam pasal 22 Undang63 64
Pasal 1 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 27 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
61
Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa penyidik pada saat melakukan penyidikan terhadap anak yang diduga pelaku tindak pidana, tidak memakai toga atau atribut kedinasan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penyidik anak dalam melakukan tugasnya harus menggunakan pendekatan secara simpatik, dan tidak melakukan tindakan pemaksaan dam intimidasi, hal ini bertujuan agar menghindari ketakutan dan trauma pada anak, selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan dengan lancar dan penuh kekeluargaan. 65 Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai pasal 20 UndangUndang No. 11 tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun si Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dipersidangan. 66 2.
Proses Penangkapan dan Penahanan
Pasal 30 ayat (1) sampai (5) menyatakan bahwa: 1. Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
65
Skripsi Novi Megawaty Aritonang, Op,cit, hal. 43 http://www.bphn.go.id/data/documents/laphir_pengkajian_lpas.pdf Senin, 27 Maret 2017 pukul 14.51 WIB 66
diakses
pada
:
Universitas Sumatera Utara
62
2. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruangan pelayanan khusus anak. 3. Dalam hal ruangan pelayanan khusus anak belum ada wilayah yang bersangkutan, anak dititipkan di LKPS. 4. Penangkapan terhadap anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. 5. Biaya bagi setiap anak yang ditempatkan di LKPS dibebankan pada anggaran kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 67 Asas Praduga tak bersalah pada saat melakukan tindakan penangkapan harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tersebut harus didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas yaitu hanya dalam satu hari. Pada saat melakukan penangkapan, hak-hak anak sebagai tersangka haruslah juga diperhatikan, seperti hak mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang. 68 Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
67
Pasal 30 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung, Refika Aditama : 2014) hal. 122 68
Universitas Sumatera Utara
63
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 69 Pasal 33 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 untuk kepentingan penyidik dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum atas permintaan penyidik paling lama 8 (delapan) hari. Pejabat
yang
melakukan
penangkapan
terhadap
anak
wajib
memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum, dan untuk menjaga proses tetap berjalan sesuai hukum, dalam hal pejabat tidak melakukan pemberitahuan sebagaimana yang mestinya, maka penangkapan terhadap Anak batal demi hukum. 70 3.
Tahap Penuntutan
Setelah Penuntut Umum menerima berkas perkara dari Penyidik dan berkas perkara tersebut telah dinyatakan lengkap, maka penuntut umum kemudian melakukan tindakan yang disebut dengan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
69
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:vgMpcjxMIFUJ:www.hukumo nline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilanpidana-anak+&cd=1&hl=id&ct=clnk diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul 16.56 WIB 70 http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:CSB7GnDxN88J:icjr.or.id/data /wp-content/uploads/2013/12/Studi-atas-Praktik-Peradilan-Anak-diJakarta.pdf+&cd=6&hl=id&ct=clnk diakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul 17.10 WIB
Universitas Sumatera Utara
64
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. 71 Proses peradilan anak, struktur pidana yang selanjutnya berperan adalah Jaksa/Penuntut Umum anak, artinya yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana adalah Penuntut Umum Anak. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 53 Undang-Undang Pengadilan Anak. 72 Pasal 41 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penuntutan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum ditetapkan berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Pasal 42 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi, dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan, dan dalam hal gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. 4.
Tahap Persidangan
Proses persidangan merupakan proses akhir dari rangkaian proses seseorang yang tersangkut perkara, karena di dalam persidanganlah akan dibuktikan apakah perbuatan yang dilakukan seseorang terbukti atau tidak. 71
http://www.bphn.go.id/data/documents/laphir_pengkajian_lpas.pdf diakses pada :
Senin, 27 Maret 2017 pukul 17.30 WIB 72 Nashriana, Op, cit, hal. 129
Universitas Sumatera Utara
65
Penuntut umumlah dalam proses pembuktian di persidangan yang akan berusaha meyakinkan hakim akan kesalahan seseorang (terdakwa) dengan mengajukan alatalat bukti, baik berupa keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk persidangan anak yang berkonflik dengan hukum, Undangundang Pengadilan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mensyaratkan agar dilakukan oleh hakim anak. Sedangkan hakim anak disini ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Adapun syarat untuk dapat ditetapkan menjadi hakim anak, meliputi ”telah berpengalaman sebagai hakim di lingkungan peradilan umum serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. 73 Pemeriksaan sidang Anak pada dasarnya dilakukan dengan Hakim tunggal dengan sidang tertutup, dengan Hakim tunggal, bertujuan agar sidang anak dapat diselesaikan dengan cepat. Memang pada prinsipnya bahwa penyelesaian perkara anak dapat dilakukan dengan waktu singkat/cepat agar anak tidak berlama-lama mendapat perlakuan terkait pemberian sanksi terhadap kenakalan yang telah dilakukannya. Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal adalah perkaraperkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau ke bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Apabila tindak pidananya diancam dengan hukuman penjara di atas lima tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan
73
http://www.bphn.go.id/data/documents/laphir_pengkajian_lpas.pdfdiakses pada : Senin, 27 Maret 2017 pukul 18.20 WIB
Universitas Sumatera Utara
66
pasal 11 ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak, perkara tersebut diperiksa dengan Hakim Majelis. 74 Menurut Lilik Mulyadi, dengan diaturnya prinsip hakim tunggal dalam sidang anak, memunculkan banyak hikmah positif yang diambil, yang diuraikan pada yang berikut: Pertama dengan tibanya abad XXI di mana timbulnya kebutuhan mendesak tentang transparansi peradilan, maka diperlukan kesiapan mental, profesionalisme dan moral dari aparat pengadilan pada umumnya serta hakim pada khususnya. Konsekuensi logis aspek ini tentu dituntut adanya: sumber daya manusia (SDM) hakim yang memadai, pintar, bijaksana, tangguh dan mumpuni dan bermoral baik. Untuk itu merupakan suatu keharusan tumbuhnya jiwa profesionalisme hakim guna meningkatkan secara teoretik dalam hakim majelis terbentuk polarisasi pemikiran sehingga putusan hakim terlihat lebih baik, sempurna dan lengkap. Akan tetapi dalam aspek pengalaman, ternyata belum tentu demikian. Salah satu aspek negatif hakim majelis adalah kurang timbulnya jiwa kompetitif hakim untuk belajar, oleh karena kebanyakan menggantungkan kepada kepiawaian Ketua Majelis yang dalam praktik memang ditunjuk hakim senior selain ketua/wakil ketua Pengadilan Negeri. Bagaimana kalau hakim majelis kurang piawai, dengan diterapkannya hakim tungal maka secara teoretik dan praktik hakim dituntut, dipacu dan mau tidak mau harus lebih banyak memperdalam ilmu hukum, belajar pengalaman secara langsung memimpin
74
Nashriana, Op, cit, hal. 141
Universitas Sumatera Utara
67
sidang sendirian sejak awal, sehingga masyarakat pencari keadilan dapat menilai lebih objektif kemampuan hakim tersebut. Kedua, dengan diterapkannya hakim tunggal, maka eksaminasi hakim dapat dilakukan secara lebih cepat, benar dan terarah. Oleh karena putusan hakim yang dieksaminasi tersebut memang benar sesuai dengan kemampuan hakim bersangkutan. Apabila dilakukan eksaminasi dengan tetap mempergunakan hakim majelis maka dikhawatirkan kurang tampak kemampuan hakim yang sebenarnya karena kekurang jelasan siapa yang membuat putusan hakim majelis tersebut. Ketiga, argumentasi diterapkannya hakim majelis, akan mempersempit, mempersulit dan meminimalisasikan hakim nakal rasanya kuarng tepat dan seluruhnya belum tentu benar oleh karena faktor ini tidak dapat ditumpahkan kepada hakim semata. Selain itu, eksistensi hakim nakal tersebut ternyata senyatanya hidup, tumbuh dan berkembang karena aspek lingkungan, moral, sosial dan lain sebagainya. Tegasnya eksistensi hakim nakal juga tergantung kepada moral pihak berperkara pada perkara perdata, dan juga tergantung pada moral jaksa penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum. Singkatnya, fenomena tersebut kurang memungkinkan timbul apabila elemen itu tidak bersatu mendukung. Keempat, dengan diterapkannya hakim tunggal maka diharapkan baik langsung maupun tidak langsung dapat lebih mempercepat proses penanganan perkara sehingga peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Di tingkat banding maupun di tingkat kasasi, hakim yang memeriksa dan
Universitas Sumatera Utara
68
memutus perkara anak nakal sama dengan di tingkat peradilan pertama, yaitu dengan hakim tunggal. 75
75
Ibid, hal 142-143
Universitas Sumatera Utara