ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH BERDASARKAN HUKUM PERTANAHAN INDONESIA (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 740 K/PDT/2009, PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 292 PK/PDT/2009, PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2030 K/PDT/2003) Ires Amanda Putri
Abstrak Artikel ini membahas mengenai asas pemisahan horizontal dalam pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia serta pengaruhnya terhadap hak pemilik permukaan tanah yang juga dilihat dari dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus sengketa yang berkaitan dengan hal ini. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia saat ini belum ada peraturan yang mengatur khusus dan sebagai akibat dari berlakunya asas pemisahan horizontal maka dimungkinkan adanya pembedaan kepemilikan antara permukaan tanah dengan ruang di bawah tanahnya, dengan tidak merugikan hak pemilik permukaan tanah karena apabila hal tersebut dilakukan maka akan termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum. Kata Kunci : Tanah, Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah, Asas Pemisahan Horizontal. Abstract This article discusses about the horizontal separation principle in the use of the space beneath The Earth’s Surface in Indonesia and its influence on the owner of the surface rights of the land, which is also seen from the consideration of the Supreme Court Decision relating to this. The method used is juridicial normative. The result of this research is by this time, the use of the beneath The Earth’s Surface in Indonesia has no specific regulations and as a result of the horizontal separation principle of makes it possible if the ownership between the surface of the land with space under the ground be divided, with no prejudice to the surface of the land owner’s right as if it made it will be included in the tort. Key Words : Land, The Use of Space Beneath The Earth’s Surface, Horizontal Separation Principle.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
1. Pendahuluan Hukum pertanahan di dunia mengenal dua macam asas mengenai tanah yang memberikan pengaruh dalam bentuk kewenangan dan kepemilikan tanah.1 Asas pertama dikenal sebagai asas perlekatan (acessie) yang menguraikan pengertian bahwa tanah tidak hanya terbatas pada permukaan bumi saja tetapi juga apa yang berada di bawah dan diatasnya karena seluruhnya adalah satu kesatuan yang melekat dan tidak dapat dipisahkan. Pemilik hak atas tanah diberikan kewenangan yang sejalan dengan pengertian tersebut, artinya, kewenangan dan kepemilikan hak atas tanah bukan hanya sebatas permukaan tanah saja melainkan juga yang terkandung di bawahnya pula yang melekat dan berdiri di atasnya. Kewenangan yang begitu luas dalam pemilikan tanah yang menggunakan asas perlekatan tersebut didasarkan pada asas yang dikenal dalam hukum Romawi, yaitu supefices cedit solo, dan selaras pula dengan adagium hukum yang menyatakan cujus est solum, ujus est usque ad coelum et de inferos yang memiliki arti bahwa barang siapa memiliki tanah, dia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya sampai ke surga, dan segala apa yang dibawahnya sampai ke pusat bumi.2 Asas yang kedua adalah asas pemisahan horizontal.3 Dalam asas ini, pengertian tanah hanya meliputi permukaan tanah saja sehingga apa yang melekat atau berdiri di atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan bentukbentuk yang terpisah.4 Ter Haar mengemukakan pendapatnya mengenai asas ini, menurutnya, tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.5 Mengacu kepada pengertian dari asas pemisahan horizontal dan pendapat Ter Haar, pemberian kewenangan kepada pemegang 1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.20.
2
Eman Ramelan, “Pidato Pengukuhan : Asas Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Tanah Nasional” http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/01/19/asas-pemisahan-horizontal-dalam-hukum-tanah-nasional-bagian-i/ diunduh 13 September 2012 3
Ibid.
4
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam KonsePsli Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 70. 5
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Jogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 54
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
hak atas tanah hanya sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun yang melekat di atas tanah tersebut berbeda hak kepemilikannya dengan tanah tersebut dan hal ini membuka kemungkinan bahwa individu yang menjadi pemegang hak atas benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan individu yang memegang hak atas tanah. Hukum Pertanahan Indonesia memiliki sejarah tersendiri untuk menetapkan asas mana yang menjadi dasar dalam pengaturan mengenai tanah di Indonesia. Sebelum tahun 1960, Indonesia memiliki dualisme di bidang hukum pertanahan sebagai warisan dari zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, terdapat pembagian golongan yang didasarkan pada pembagian golongan kependudukan yang ditetapkan dalam pasal 131 dan 163 IS (Indische Staats Regeling). Golongan Eropa dan Timur Asing tunduk pada ketentuan Buku II Burgerlijke Wetboek (BW) yang berisi tentang hukum benda, yang dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan (acessie) seperti yang diatur dalam pasal 500, 506 dan 507 BW, sedangkan golongan pribumi diberlakukan hukum adat yang memberlakukan asas pemisahan horizontal.6 Tanah merupakan harta yang paling tinggi nilainya dalam hukum adat karena tanah adalah bentuk kepemilikan dan pengikatan terhadap tempat bermukim yang dalam masyarakat adat merupakan faktor penentu mereka sebagai bagian dari masyarakat adat.7 Asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum adat inilah yang kemudian diadopsi dalam hukum pertanahan Indonesia yang diwujudkan dalam pembentukan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). 6
Soepomo, Sedjarah Politik Hukum Adat, (Jakarta: Djambatan, 1954), hlm. 85.
7
Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia, cet.3 (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 108, memberikan definisi masyarakat adat sebagai masyarakat-masyarakat hukum adat seperti di Jawa, marga di Sumatera, Kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya … Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya, terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Sebagai peraturan hukum pertanahan di Indonesia, UUPA harus bersifat nasional dari segi formil maupun materil.8 Dari segi formal, hukum tanah nasional harus dibentuk oleh perumus undang-undang di Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam bahasa Indonesia, berlaku bagi semua wilayah di Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di Indonesia9, sedangkan dari segi materiil, bentuk tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isi UUPA harus bersifat nasional.10 Dalam UUPA, pengertian tanah tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) yaitu “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air” 11 Pembentukan UUPA juga merupakan unifikasi di bidang hukum agraria yang mengakhiri dualisme dalam hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat sebagai dasar dari pembentukan hukum pertanahan di Indonesia yang terkandung dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi :
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.12 Hukum adat dipilih sebagai dasar dari pengaturan hukum pertanahan Indonesia karena Hukum Adat yang merupakan hukum asli dari rakyat Indonesia hidup dan terbentuk dari perkembangan masyarakat asli Indonesia.13 Hukum adat bentuknya tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu, sifat kemasyarakatan dan 8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet.X, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 53. 9
Ibid, hlm. 162.
10
Ibid.
11
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, No. 5 Tahun 1960, LN 1960/104, TLN NO. 2043, Psl 1 Ayat (4). 12
Ibid., Psl 5
13
Maria S. Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 58.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Hukum adat yang berlaku dalam UUPA bukanlah hukum adat yang murni melainkan hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas kesatuan bangsa, sosialisme Indonesia, peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA, peraturan-peraturan perundangan lainnya dan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.14 Maka dari itu, hukum agraria nasional mengadaptasi konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi normanorma hukum yang tertulis, yang diisusun menurut Sistem Hukum Adat tersebut dan salah satu asas yang diambil dari Hukum Adat dalam pengaturan Hukum Tanah Nasional, adalah asas pemisahan horizontal. UUPA menentukan bahwa asas yang digunakan dalam hukum pertanahan di Indonesia adalah asas pemisahan horizontal dalam pasal 4 ayat (2) yang berbunyi Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.15 Pemberlakuan asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia memberikan pemisahan antara kepemilikan tanah dengan apa yang melekat di bawahnya dan berada di bawahnya, hanya yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah saja yang dapat dimanfaatkan. Hal ini membatasi kewenangan pemilik hak atas tanah dalam memanfaatkan tanah yang dimilikinya, karena pemanfaatan apa yang terkandung di dalam tanah dan yang melekat di atasnya harus dapat dibuktikan bahwa memang dan hanya yang berkaitan dengan penggunaan tanah tersebut. Sebagai hasil dari pemberlakuan asas pemisahan horizontal ini, di Indonesia dikenal berbagai macam hak untuk pemanfaatan atas tanah yang terpisah dari kepemilikan atas tanah yang dimanfaatkan tersebut. Yang pertama, dalam pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA dikenal Hak Guna Usaha (HGU) yang memberikan hak untuk mempergunakan tanah negara dalam pengusahaan tanah di bidang perikanan, 14
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. V, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 16.
15
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 4 Ayat (2)
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
pertanian, perkebunan dan peternakan. Hak ini diberikan lewat penetapan pemerintah yang berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun.16 HGU membolehkan pemegang hak untuk membangun bangunan di atas tanah negara yang berkaitan dengan pemanfaatan usaha tersebut, hanya saja, bangunan dan benda lain yang ada di atasnya harus dibongkar dalam waktu satu tahun setelah masa berlakunya hak tersebut habis dan tanah tersebut telah kembali menjadi tanah negara. Jika hal itu tidak dilakukan, bangunan tersebut akan dibongkar oleh Pemerintah dengan biaya yang dibebankan kepada pemilik bangunan. Apabila bangunan tersebut masih diperlukan, kepada pemilik bangunan tersebut mendapatkan ganti rugi yang bentuk dan besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak.17 Yang kedua, dalam pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA terdapat yang disebut dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang memberikan hak untuk mendirikan dan/atau memiliki bangunan diatas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.18 Yang ketiga, terdapat Hak Pakai yang memberikan hak untuk memungut hasil dari tanah negara ataupun hak milik individu.19 Yang terakhir adalah Hak Pengelolaan yang memberikan hak untuk merencanakan dan menggunakan tanah untuk kepentingan menjalankan fungsi Negara, maka dari itu hak ini hanya dapat diberikan kepada Birokrat Pemerintahan.20 Selain mengenai apa yang melekat di atas tanah dan telah diatur dengan berbagai hak seperti yang telah diuraikan diatas, terdapat pula pemanfaatan untuk apa yang berada di bawah tanah, dalam Pasal 5 UUPA yang merupakan bentuk dari penerapan asas pemisahan horizontal ditentukan bahwa pemanfaatan bawah tanah hanya sekedar yang berkaitan langsung dengan penggunaan tanah. Pemegang hak atas tanah memiliki kewenangan terbatas atas apa yang terkandung di bawah tanah miliknya tersebut. Oleh 16
Ibid., Psl 29.
17
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. PP Nomor 40 Tahun 1996, Psl 37. 18
Indonesia, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 35-
19
Ibid., Psl 41-43
40.
20
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria (Permenag) Nomor 9 Tahun 1965 Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan Tentang Kebidjaksanaan Selandjutnja, Psl 2.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
karena itu, jika di tubuh buminya terdapat kekayaan alam tidak menjadi bagian dari hak yang dimilikinya tapi menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 UUPA. Pasal ini menentukan bahwa atas dasar hak menguasai negara, diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Pasal ini juga yang kemudian menjadi pangkal bagi lahirnya pengaturan di bidang pertambangan. Permasalahan mengenai pemanfaatan bawah tanah timbul pada saat ruang kosong yang berada di bawah tanah dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa mempedulikan hak dari pemilik tanah tersebut. Contoh yang dapat diambil adalah jika bawah tanah dimanfaatkan sebagai jalur kabel listrik atau pipa gas. Kasus pelanggaran hak pemilik tanah yang berkaitan dengan penggunaan ruang bawah tanahnya seperti ini banyak terjadi tanpa adanya kejelasan mengenai perlindungan pemilik tanah tersebut. Pengaturan mengenai pemberian hak pemanfaatan bawah tanah juga belum jelas karena yang telah diatur hanyalah yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber mineral yang dituangkan secara khusus dalam hukum pertambangan Indonesia. Tentunya ini bertolak belakang dengan pengaturan mengenai hak-hak yang terkait dengan benda yang melekat di atas tanah seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahkan telah ada aturan khusus mengenai hakhak tersebut contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. 2. Metode Metode yang digunakan adalah metode yuridis-normatif untuk menganalisis mengenai pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Asas Pemisahan Horizontal di Indonesia Hukum perekonomian Adat definisinya adalah21 :
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.
3.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Hukum Indonesia yang mengatur hubungan hukum tentang hak-hak kebendaan dan perekonomian, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana-sini terdapat unsur agama Hukum Perekonomian Adat merupakan aturan-aturan Hukum Adat yang mengatur cara bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidup keluarga rumah tangganya di dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dalam hukum harta benda adat, L.J. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa22 : hukum adat tidak mengenal sistem pembagian benda (vermorgensrecht) menurut hukum perdata barat (Burgerlijke Wetboek) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang membagi dalam hukum harta mutlak yang disebut “hukum kebendaan” yang mengatur hak-hak kebendaan dan hukum harta yang relatif disebut “hukum perjanjian” yang mengatur tentang perhutangan dan perikatan. Harta benda yang diatur dalam hukum adat menurut Hilman Hadikusuma adalah tidak semata-mata mengenai harta yang bernilai uang, tetapi juga kekeluargaan, kebersamaan dan magis-religius. Begitu pula ia tidak membedakan antara barang yang berwujud dan tidak berwujud, barang bergerak atau barang tidak bergerak. Semua harta benda itu dilihat menurut apa adanya dan dibedakan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Jadi, sifatnya sederhana dan mengandung asas
kekeluargaan,
keagamaan
dan
dipengaruhi
oleh
susunan
kemasyarakatannya.23 Arti tanah bagi masyarakat adat melahirkan suatu asas yang menentukan kewenangan atas tanah dan benda yang melekat di atasnya dan melahirkan suatu konsep kepemilikan harta benda tanah dan bukan tanah. Asas tersebut merupakan asas pemisahan horizontal. Asas Pemisahan Horizontal merupakan asas yang 22
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradhya Paramita, 1976), hlm. 234.
23
Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, hlm.7.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
memisahkan kepemilikan dan kewenangan tanah dengan bangunannya.24 Jadi, bagi masyarakat adat, kepemilikan tanah berbeda dengan kepemilikan benda apapun yang melekat di atas tanah atau terkandung di dalam tanah. Asas pemisahan horizontal ini berbanding terbalik dengan asas perlekatan yang menganggap bahwa kepemilikan tanah merupakan satu kesatuan dengan kepemilikan apa yang melekat dan terkandung di dalamnya.25 Asas pemisahan horizontal diterapkan dalam hukum pertanahan Indonesia lewat bentuk-bentuk hak atas tanah contohnya Hak Sewa di Atas Tanah Milik Orang Lain yang diatur dalam padal 44 UUPA. Hak sewa memberikan pemegang haknya wewenang untuk membangun dan memiliki bangunan di atas tanah milik pihak lain.26 Maka dari itu, hak sewa melahirkan adanya perbedaan kepemilikan antara tanah dengan bangunan yang berdiri di atasnya dengan imbalan berupa uang sewa yang dibayarkan kepada si pemilik tanah sesuai dengan aturan pasal 44 ayat 1 UUPA yaitu : Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.27
Hak sewa didasarkan pada perjanjian antara si pemilik tanah dengan penyewa. Di Indonesia, seringkali perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat tertulis hanya berbentuk lisan dan mengandalkan kepercayaan saja. Sebenarnya, hal ini tidak menyalahi aturan KUHPerdata, karena syarat sah perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah28 : 24
Tim Pengkajian Bidang Hukum Adat Indonesia, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Adat Tahun 1984/1985, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1986), hlm. 209. 25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 266. 26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya), hlm.
27
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 44 ayat (1).
28
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 339.
297.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu. 4. Sebab yang halal. Hukum perjanjian Indonesia memberlakukan asas konsensualisme yang memberikan pengertian bahwa, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan.29 Makna kesepakatan dalam hal ini adalah kedua subyek yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian telah sepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dikehendaki tersebut.30 Tidak ada aturan bahwa suatu perjanjian harus dibuat tertulis sehingga apabila perjanjian sewa tanah hanya berbentuk lisan, seperti yang banyak diterapkan di Indonesia maka hal ini dibolehkan dan perjanjian tersebut dianggap sah selama syarat sah perjanjian terpenuhi. Hanya saja, perjanjian sewa tidak tertulis seringkali menimbulkan permasalahan karena banyak ketidakjelasan yang terjadi. Contohnya, dalam hal jangka waktu sewa, dalam perjanjian sewa tertulis akan jelas tercantum kapan sewa tersebut akan berakhir sehingga akan otomatis selesai jangka waktu persewaannya ketika telah jatuh tempo. Tertera dalam pasal 1570 KUHPerdata yang mengatur bahwa “jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu untuk pemberhentian untuk itu.”31 Sedangkan apabila bentuknya tidak tertulis, maka harus ada pemberitahuan dari para pihak bahwa sewa telah berakhir dan tidak akan dilanjutkan. Hal ini tertera dalam pasal 1571 KUHPerdata bahwa jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika
29
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), hlm.15.
30
Ibid., hlm. 17
31
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm.385
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.32 Permasalahan yang mungkin timbul dari adanya ketidakjelasan apabila perjanjian sewa dibuat tidak tertulis adalah si penyewa dapat sewaktu-waktu diminta untuk mengembalikan tanah kepada pemilik karena dianggap sewa telah habis. Hal ini dapat merugikan penyewa karena hanya mendapatkan sedikit waktu untuk bersiap-siap meninggalkan tanah atau justru tidak memiliki waktu sama sekali yang menimbulkan perasaan terusir yang tentunya akan sangat mengganggu ketentraman diantara kedua pihak. Permasalahan ini tidak akan terjadi apabila perjanjian berbentuk tertulis dengan jangka waktu yang sudah ditentukan karena kedua belah pihak mengetahui sampai kapan sewa tersebut akan berlangsung. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (6) UndangUndang No. 4 Tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994 telah menegaskan bahwa sewa menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun sejak berlakunya undangundang tersebut. Berkaitan dengan jangka waktu sewa, karena hak ini bersifat sementara, permasalahan lain yang paling sering timbul adalah bagaimana kedudukan bangunan yang didirikan oleh penyewa tersebut setelah waktu sewa habis dan tanah dikembalikan kepada pemiliknya. Solusi yang berkembang dalam masyarakat adalah pemilik tanah sering menawarkan pilihan agar penyewa menerima ganti rugi terhadap bangunan yang dimiliki, sehingga bangunan tersebut akan jatuh ke tangan pemilik. Namun, terkadang ganti rugi yang diberikan tidak sebanding dengan keadaan bangunan yang ditinggal
oleh
penyewa. Tentunya hal ini merugikan bagi pihak penyewa. Solusi lainnya adalah pemilik meminta penyewa agar membongkar bangunan mereka tersebut sebelum pengembalian dan mengembalikan tanah pada keadaan semula seperti sebelum 32
Ibid.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dilakukan penyewaan tanah. Hal ini menimbulkan kerugian lain pada pihak penyewa karena harus mengeluarkan biaya pembongkaran bangunan. Masalah ini jelas akan sangat merugikan pihak penyewa dan juga tidak mencerminkan apa yang merupakan ketentuan dari Undang-Undang Pokok Agraria yang menghendaki tidak terjadinya pemerasan oleh salah satu pihak yang bertujuan untuk memenuhi pertimbangan keadilan. Ditegaskan di dalam Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agararia (UUPA) yang menjelaskan bahwa “Perjanjian sewa tanah yang dimaksud dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-sayarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan”.33 Kerugian tidak hanya sering diderita oleh penyewa saja, pihak pemilik tanah juga dapat menderita kerugian. Dengan didirikannya bangunan rumah atau bangunan lainnya di atas tanah sewa tersebut oleh penyewa tanah maka pihak pemilik tanah sudah tidak dapat lagi menikmati atau mempergunakan tanahnya. Terlebih lagi jika perjanjian sewa tidak menentukan kapan batas akhir dari perbuatan sewa-menyewa, sehingga kedudukan penyewa tanah seolah-olah sudah seperti pemilik tanah dan pemilik tanah yang telah menyewakan tanahnya merasa tidak nyaman karena merasa terjajah haknya dalam kepemilikan tanah tersebut. Untuk menghindari terjadinya konflik, perjanjian sewa yang dibuat harus menyatakan secara jelas mengenai jangka waktu persewaan dan status bangunan yang kemungkinan dibangun atau apapun yang ditanam dan melekat pada tanah setelah persewaan jatuh tempo agar jelas bentuk hak dan kewajiban dari masingmasing pihak. Selain itu, pihak penyewa sebaiknya menghindari membuat bangunan permanen diatas tanah sewa, namun, apabila hal ini tidak dapat dihindari maka sebaiknya bentuk ganti rugi bangunan yang telah didirikan di atas tanah sewa
jika hubungan sewa menyewa berakhir atau dibatalkan juga
dicantumkan di dalam perjanjian sewa agar terjadinya permasalahan dapat diminimalisir. 3.2 Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah
33
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl. 44 ayat (3).
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Penerapan asas pemisahan horizontal juga dapat dijumpai lewat pengaturan pemanfaatan bawah tanah. Pemanfaatan bawah tanah dapat dibagi menjadi pemanfaatan benda yang telah diatur khusus lewat peraturan dan pemanfaatan ruang bawah tanah. Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai aturan pemanfaatan ruang bawah tanah. Namun, terdapat suatu kasus yang cukup menarik untuk memberikan penggambaran mengenai pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia, yaitu, kasus mengenai revitalisasi lapangan Karebosi di Makassar. Karebosi merupakan suatu alun-alun kota yang berada di Makassar. Letaknya berada di jantung Kota Makassar dan menjadi titik 0 kilometer sebagai penunjuk arah di Makassar. Keberadaan lapangan seluas 11 ha ini telah menyatu dengan masyarakat termasuk dengan adanya latar belakang sejarah hingga kini menjadi tempat rekreasi, berdagang, sarana olahraga, sarana berkumpul, obyek wisata dan lain sebagainya. Permasalahan muncul ketika Pemerintah Kota memutuskan
untuk
melakukan
revitalisasi
Lapangan
Karebosi
untuk
memperbaharui tempat ini. Memang, Lapangan Karebosi yang semakin tidak terawat dan juga setiap musim penghujan menjadi danau di tengah kota akibat letaknya yang lebih rendah daripada tanah sekitarnya. Pemerintah Kota menggandeng investor lokal yang sebelumnya telah membangun pusat perbelanjaan (Karebosi Link) di Makassar, PT Tosan Permai Lestari untuk membangun pusat perbelanjaan di bawah Lapangan Karebosi tersebut. rencananya, akan dibangun pusat perbelanjaan bawah tanah dan terowongan yang menghubungkan dengan Mall lainnya. Masyarakat bereaksi keras menolak pembangunan ini namun Pemerintah Kota menjelaskan bahwa bagian bawah tanah yang akan dijadikan pusat perbelanjaan hanya 3 ha saja, Dari 3 ha itu, hanya 1,1 ha untuk bangunan komersil, dan 1,9 ha untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti area parkir, area sirkulasi angkutan kota,mushallah, dan terowongan (under pass). Namun tetap saja masyarakat Karebosi mengajukan class action menolak pembangunan ini. Badan Pertanahan Nasional setempat lewat ketuanya, Sulsel Elfahri Budiman mengatakan bahwa Lapangan Karebosi tersebut memang belum
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
memiliki izin untuk mengelola atau membangun apapun di atasnya. Hasilnya, Lapangan Karebosi kemudian menjadi Status Quo yang artinya, aktivitas bisnis di kawasan Lapangan Karebosi Makassar khususnya di pusat perbelanjaan Karebosi Link terancam dihentikan. Alasannya, PT Tosan Permai Lestari selaku pengembang belum mengantongi izin Hak Pengelolaan dari BPN. Lapangan Karebosi merupakan ruang publik di mana yang dimaksud dengan ruang publik pada hakikatnya adalah ruang yang dimiliki oleh semua orang di mana setiap orang
dapat memanfaatkannya.34 Lapangan Karebosi
merupakan tanah lapang yang sangat luas yang tidak bertuan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 2 UUPA, Pemerintah Kota Makassar memiliki wewenang untuk mengelolanya, apalagi sampai saat ini tidak ada satu pun pihak, baik individu maupun kelompok yang mampu menunjukkan bukti hukum yang sah sebagai dasar untuk menguasai atau mengklaim bahwa lahan karebosi adalah miliknya. Lapangan Karebosi sebagai ruang publik dan merupakan tanah tak bertuan adalah merupakan objek Hak Menguasai Negara. oleh karena Lapangan Karebosi adalah milik Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kota Makassar di mana kewenangan untuk mengelolanya ada pada Pemerintah Kota Makassar sebagai pendelegasian fungsi dan tugas Hak Menguasai Negara dari negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi. Pembangunan gedung, baik yang berada di atas maupun yang ada di ruang bawah tanah (tubuh bumi), harus memenuhi persyaratan yang bersifat komulatif seperti syarat administratif yang di dalamnya termasuk menyangkut hak atas tanah dan aspek perizinan. Terhadap hak atas tanahnya, sebelum pendirian bangunan gedung harus dipastikan terlebih dahulu hak atas tanahnya, baik yang menyangkut macam atau jenis haknya, juga subjek serta kepastian luas dan batasbatas tanahnya. Sesuai dengan pengaturan Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang berbunyi “Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status 34
F. Budi Hardiman, Ruang Publik, (Jakarta: Kanisius, 2010), hlm.372.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.”35 Demikian pula jika bangunan tersebut dibangun atau didirikan di bawah permukaan bumi (tubuh bumi), tentu juga diperlukan persyaratan perizinan pembangunan seperti halnya pembangunan gedung yang berada di atas tanah, yaitu ada hak yang secara hukum memberi kewenangan untuk mendirikan, memiliki dan menggunakan ruang bawah tanah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung telah menentukan adanya keberadaan gedung di ruang bawah tanah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dijelaskan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil kerja konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di bawah tanah.36 Hal ini berarti bahwa selain bangunan yang berada di atas permukaan bumi, ada pula bangunan yang berada di bawah permukaan bumi. Bangunan-bangunan tersebut terhadap tanah yang dilekatinya, apabila dianalogikan sama dengan bangunan yang berada di atas permukaan tanah, maka secara umum berlaku pula terhadapnya asas-asas dan prinsip-prinsip hukum tanah nasional, tidak terkecuali asas pemisahan horizontal. Untuk itu, dalam pembangunan ini harus dimintakan izin pemanfaatan ruang bawah tanah kepada pihak yang berwenang untuk memberikan izin tersebut apabila memang ingin dibangun gedung pusat perbelanjaan di bawah tanah ini. Bertolak dari kewenangan yang bersumber dari Hak Menguasai Negara, maka terkait dengan penentuan dan pengaturan pendirian bangunan gedung di ruang bawah tanah adalah kewenangan Negara seperti yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b UUPA, yakni mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Atas dasar kewenangan ini, Negara dapat menentukan dan memberikan hak-hak atas penguasaan bumi, 35
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Nomor 36 Tahun 2005, Psl 11 Ayat 1. 36
Ibid., Psl. 1 angka 1.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
air, dan ruang angkasa kepada warga Negara atau subjek lain yang memenuhi syarat. Lebih lanjut ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa Atas dasar hak menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.37
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dengan dasar Hak Menguasai Negara, maka Negara memiliki kewenangan untuk memberikan hak atas tanah, hak atas air, hak atas ruang angkasa, serta hak atas pengambilan kekayaan alam dalam bumi, air, dan ruang angkasa (disebut sebagai kuasa pertambangan). UUPA tidak mengatur secara tegas mengenai penggunaan atau pemanfaatan ruang bawah tanah (tubuh bumi) untuk keperluan pembangunan gedung. Namun demikian tidak berarti bahwa Negara tidak memiliki dasar atau wewenang untuk memberikannya
atau
bahkan
menutup
kemungkinan
untuk
melakukan
pembangunan gedung di bawah tanah. Jika dilihat kembali dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, khususnya pada huruf b yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus sebagai sumber pengaturan dari Pasal 4 ayat (1) dan (3) serta Pasal 8 UUPA, di dalam Pasal tersebut disebutkan kata “bumi” sebagai sebagai salah satu objek pengaturannya. Bumi itu sendiri telah diatur definisinya dalam Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air”.38 Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b tidak secara limitatif merinci atau menyebutkan peruntukan dan penggunaan tubuh bumi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peruntukan dan penggunaan tubuh bumi tidak hanya untuk pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tapi juga
37
Indonesia, Undang-undang Pokok Dasar Agraria, Pasal 4 Ayat 1.
38
Ibid., Psl 1 Ayat (4)
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dimungkinkan untuk kepentingan lain, termasuk penggunaan dan peruntukan pembangunan gedung. Untuk itu, Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini berwenang untuk memberikan Hak Pengelolaan sebagai dasar perizinan dibangunnya Karebosi Link di bawah tanah Lapangan Karebosi tersebut. Hal ini dikuatkan lewat surat yang bernomor 576/73.300/V/2012 yang menjelaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional telah mengakui bahwa Hak Pengelolaan lapangan karebosi yang telah diajukan sejak tahun 2007 telah memperoleh kekuatan hukum dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 366 K/Pdt/2010, tertanggal 26 November 2010 sebagai salah satu dokumen pendukung penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan lapangan Karebosi yang artinya, prosedur perizinan ini sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hanya saja, pemanfaatan ruang bawah tanah yang belum memiliki aturan tersendiri ini menjadi polemik tersendiri di Indonesia. Kasus Karebosi yang berbelit ini disebabkan juga oleh pertanyaan bahwa benarkah Pemerintah Kota Makassar berwenang untuk mengeluarkan izin Hak Pengelolaan bawah tanah. Jawabannya tentu saja dihubungkan dengan aturan hukum yang berlaku saat ini yang hanya mengatur tentang pemanfaatan ruang atas tanah. Sehingga, sangat perlu kiranya penyusunan dan pemberlakuan peraturan mengenai pemanfaatan ruang bawah tanah tersendiri.
3.3 Dasar Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memutus Sengketa Terkait Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Putusan Mahkamah Agung yang dianalisis dengan masing-masing nomor putusan yang pertama adalah Putusan Mahkamah Agung No. 740 K/Pdt/2009, yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 2030 K/Pdt/2003 dan yang terakhir adalah Putusan Mahkamah Agung No. 292 PK/PDT/2009, ketiganya merupakan putusan yang berkaitan dengan pemanfaatan bawah tanah yang dirasa melanggar hak pemilik tanah yang asli. Ketiganya menimbulkan isu hukum dan analisisnya sebagai berikut : a. Perbuatan Melawan Hukum
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Para Tergugat dalam ketiga kasus yang berbeda tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.39 dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan hukum atau tidak, ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain40 : a) Ada perbuatannya yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undangundang. b) Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara : i.
Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.
ii.
Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. c) Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : (a) Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian 39
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1365.
40
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 12.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh. (b) Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. d) Adanya
hubungan
kausal
antara
perbuatan
dan
kerugian
yang
menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut. Para Tergugat dalam ketiga kasus yang berbeda tersebut dianggap telah melakukan perbuatan ini dan memenuhi unsur-unsur tersebut dengan memanfaatkan serta menguasai tanah yang dianggap milik Para Tergugat dengan menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil karena dalam penguasaan dan pemanfaatannya, telah menimbulkan kerusakan maupun tidak dapat dimanfaatkannya tanah milik mereka tersebut. namun, dalam pembuktiannya, Para Penggugat dianggap sebagai bukan pemilik yang sah dari tanah yang digunakan tersebut. pada putusan Mahkamah Agung No. 2030 K/Pdt/2003, ternyata tanah yang menjadi obyek sengketa telah jatuh pada hak kepemilikan masyarakat. Berdasarkan Narasumber Bapak Dr. Arya Widya Wasista, S.T., M.Si., Kepala Seksi Hak & Pendaftaran Pertanahan Badan Pertanahan Kabupaten Bandung Barat, tanah yang telah dilepaskan kepada masyarakat dipegang oleh Negara. Sehingga, tanah tersebut memang bukan lagi milik Penggugat dan Tergugat tidak perlu meminta izin apapun kepada Penggugat mengenai pemanfaatan tanah tersebut, permohonan izin seharusnya dimintakan kepada Pemerintah, sehingga Tergugat tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 740 K/Pdt/2009, Penggugat tidak dapat membuktikan batas-batas dan tanah yang dimilikinya dengan yang dimanfaatkan oleh Tergugat sehingga tanah tersebut bukanlah tanah milik Penggugat dan Tergugat tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini erat kaitannya dengan Pembuktian mengenai hak kepemilikan atas tanah. yang terakhir, putusan Mahkamah Agung Nomor 292 PK/PDT/2009, menguraikan bahwa tanah tersebut bukanlah tanah milik
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Penggugat karena Penggugat juga tidak dapat membuktikan kepemilikan atas tanahnya sehingga Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat seperti yang menjadi dasar gugatan. Isu hukum berupa Perbuatan Melawan Hukum yang menjadi dasar gugatan dari ketiga kasus dalam putusan Mahkamah Agung ini tidak terbukti di keseluruhan Putusan Mahkamah Agung tersebut karena ketiganya dianggap oleh Mahkamah Agung bukan pemilik sah dari tanah yang menjadi obyek sengketa. Hal ini mengakibatkan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perbuatan melawan hukum menjadi tidak terpenuhi seluruhnya. Selain itu, yang harus diperhatikan bahwa apabila tanah tersebut bukan milik Para Penggugat dalam ketiga kasus tersebut, maka memang Para Tergugat tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada Para Penggugat dengan melanggar hukum.
b. Pembuktian Hak Atas Tanah Tanah yang menjadi obyek sengketa dalam kasus-kasus tersebut dianggap sebagai milik dari Para Penggugat, karena itulah mereka melayangkan gugatan terhadap Para Tergugat. Dalam pembuktiannya, ketiganya dianggap sebagai bukan pemilik yang sah dari tanah sengketa tersebut yang menyebabkan kalahnya Para Penggugat dalam ketiga sengketa tersebut. pembuktian hak atas tanah diwujudkan lewat kepemilikan sertipikat. “\sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.41 Di dalam sertipikat tertera batas-batas dan gambar situasi tanah yang bersangkutan. Dalam ketiga sengketa tersebut, hanya Penggugat dalam kasus yang diputus lewat putusan Mahkamah Agung Nomor 292 PK/PDT/2009 sajalah yang tidak memiliki sertipikat. Penggugat ini tidak memiliki sertipikat karena masih dalam proses pembuatan oleh Badan Pertanahan Nasional. 41
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Psl 1 Butir 20.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Hanya saja, akibat tidak dimilikinya sertipikat sebagai dasar pembuktian tersebut, hakim kemudian melihat dari sudut hukum adat yang berlaku dan setelah ditelusuri, tanah tersebut bukanlah milik Penggugat karena Penggugat mendapatkan tanah tersebut lewat cara mewaris, hanya saja, Pewaris yang merupakan ayah dari Penggugat ternyata mendapatkan hak atas tanah yang sifatnya sementara dan tidak dapat diwariskan. Maka, tanah tersebut bukanlah merupakan milik Penggugat. Lain halnya dengan Para Penggugat dalam kasus yang diputus oleh 740 K/Pdt/2009 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2030 K/Pdt/2003, kesemuanya dianggap bukan sebagai pemilik yang sah karena sertipikat yang mereka miliki tidak mencantumkan batas-batas tanah dan gambar situasi yang menyebabkan tidak jelasnya letak tanah yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan tidak terbuktinya kepemilikan mereka atas tanah yang menjadi obyek sengketa dan menyebabkan tidak dapatnya Para Tergugat untuk dimintakan pertanggungjawaban atas pemanfaatan bawah tanah yang mereka lakukan. c. Fungsi Sosial Atas Tanah Ketiga Putusan Mahkamah Agung tersebut juga erat kaitannya dengan fungsi social atas tanah. permasalahan utama yang timbul adalah apakah pemanfaatan bawah tanah di atas tanah orang lain adalah perbuatan melawan hukum. Perbuatan tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum apabila tanpa seizin pemilik tanah dan langsung memanfaatkannya serta mengakibatkan kerugian bagi si pemilik. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2030 K/Pdt/2003, si Penggugat bukanlah pemilik tanah sengketa lagi karena kepemilikan atas tanahnya telah beralih kepada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan asas fungsi sosial atas tanah yang mendahulukan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Maka dari itu, jika memang tanah tersebut dibutuhkan masyarakat dan tidak menimbulkan kerugian bagi si pemilik, maka akan diperbolehkan. Untuk putusan Mahkamah Agung No. 740 K/Pdt/2009 dan Nomor 292 PK/PDT/2009, Tergugat adalah Perusahaan Gas Negara dan Pertamina yang melakukan pemanfaatan tanah untuk menanam aliran pipa maupun sumur minyak yang dibutuhkan untuk kepentingan orang
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
banyak. Maka, jikapun tanah tersebut adalah tanah milik Para Penggugat, mereka harus memberikan tanahnya untuk kepentingan penanaman tersebut. hanya saja yang harus dibicarakan selanjutnya adalah soal kompensasi akibat penanaman dan pemanfaatan bawah tanahnya tersebut. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, yang termasuk tanah kepentingan umum salah satunya adalah untuk infrastruktur minyak, gas dan panas bumi.42 Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, maka tanah yang digunakan untuk kepentingan umum akan dibayarkan ganti rugi sesuai dengan musyawarah bersama pemilik tanah yang terkena dampak pembangunan tersebut.43 Hanya saja, yang mendapatkan ganti rugi hanyalah pemilik yang dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut. dalam ketiga kasus tersebut, Para Penggugat tidak dapat membuktikan kepemilikan mereka atas tanah tersebut yang menyebabkan mereka tidak dapat mendapatkan ganti rugi dari Para Tergugat yang memanfaatkan bawah tanah tersebut. 4. Simpulan Asas pemisahan horizontal dianut dalam hukum tanah Indonesia dan memberikan kemungkinan adanya pemisahan kepemilikan antara tanah dengan apa yang berada di atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya. asas pemisahan horizontal juga memberikan batasan kewenangan bagi pemilik hak tanah dalam memanfaatkan tanahnya. Pada bagian atas, tidak termasuk pada kewenangan atas apa yang berada di atasnya (apabila termasuk, harus dijelaskan atau disebutkan) dan untuk bawah tanahnya hanya yang berhubungan dengan kepentingan pemanfaatan permukaan tanah yang dimilikinya saja. Asas pemisahan horizontal merupakan warisan hukum adat Indonesia yang menunjukkan bahwa hukum adat masih diakui dan menjadi dasar pemikiran bagi hukum tanah nasional. Penerapan asas pemisahan horizontal di Indonesia diwujudkan melalui adanya beragam hak atas tanah. Pengaturan mengenai beragam macam hak atas tanah ini merupakan wujud 42
Indonesia, Undang-undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, Nomor 2 tahun 2012, Psl. 10. 43
Ibid., Psl. 27 Ayat (2).
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dari dapat dimilikinya suatu tanah dan apa yang melekat di atasnya oleh dua subyek hukum yang berbeda. Hak-hak atas tanah yang berlaku di Indonesia sesuai dengan aturan UUPA antara lain : a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Pemanfaatan bawah tanah di Indonesia terbagi atas pemanfaatan ruang bawah tanah dan pemanfaatan benda yang terkandung di bawah tanah. Pemanfaatan mengenai benda yang terkandung di bawah tanah telah diatur melalui peraturan khusus contohnya adalah pengaturan mengenai pengambilan bahan tambang dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pengambilan minyak dan gas bumi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, serta pengambilan air bawah tanah dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor, 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Pemanfaatan mengenai ruang bawah tanah belum memiliki aturan khusus, padahal, ruang bawah tanah dapat dimanfaatkan dalam hal keterbatasan lahan yang terjadi di masa kini. Dalam praktiknya, hak atas ruang bawah tanah kepemilikannya dapat dibedakan dengan pemilik permukaan tanah dan alas hak bagi pemegang hak ruang bawah tanah diberikan sesuai dengan analogi pengaturan hak atas tanah selama belum ada peraturan yang mengatur khusus. Namun, pemanfaatan ruang bawah tanah harus memperhatikan aspek hak pemilik permukaan tanah agar jangan sampai menyebabkan kerugian bagi pemilik permukaan tanah dan pemilik hak ruang bawah tanah harus siap bertanggung jawab bila terjadi hal-hal yang menyebabkan kerugian bagi pemilik permukaan tanah.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013