1
ABSTRAK Siti Nabila Ramadhanty A. Syarief, Nim : 271410006. Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo. Penyelesaian Perjanjian Gadai Tanah Dalam Prakteknya Di Desa Boalemo Pembimbing I : Mutia Cherawaty Thalib, SH.,MH dan Pembimbing II : Ismail Tomu, SH.,MH. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum dalam perjanjian gadai tanah dalam prakteknya di desa Dulupi Kabupaten Boalemo serta mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesaian permasalahan gadai tanah di desa Dulupi Kabupaten Boalemo. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah menggunakan tipe kajian empiris atau sosiologis yaitu studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pada prinsipnya kedudukan hukum dari transaksi gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber dari hukum adat yang sampai sekarang masih tetap hidup di berbagai lingkungan hukum adat di Indonesia tidak terkecuali hal ini terjadi di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo. Perubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 UUPA yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat, serta untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dilkaukan yaitu dengan melalui arbritase, mediasi, negosiasi dan musyawarah. Kata Kunci : Perjanjian, Gadai Tanah
2
PENDAHULUAN Kemajemukan komunitas masyarakat Indonesia pada tahap realitas sangat mempengaruhi identitas/kekhasan bangsa indonesia, dan kekhasan suatu komunitas selain dikaji dari kultur dalam konteks adat istiadat juga banyak dipengaruhi oleh kearifan lokal suatu komunitas masyarakat yang secara spesifik memiliki nilai plus dalam peristiwa-peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa segala persoalan yang ada disekitarnya, sebagai salah satu contoh persoalan hukum tentang gadai tanah secara adat istiadat atau kebiasaan. Diakui atau tidak, konflik yang terjadi ditingkat masyarakat memiliki spesifikasi
khusus,
baik
dalam
konteks
pembahasan
maupun
cakupan
persoalannya. Tak heran bila penyelesaian sengketa adat atau hukum kebiasaan selama ini hampir selalu mengalami jalan buntu apabila pendekatan formalistik (terutama KUHPerdata dan Undang-undang Agraria) dipergunakan. Sistem hukum nasional tidak mengakomodir secara komprehensif mengenai problem yang bersifat mendasar dan khusus, terutama yang menyangkut pola kehidupam masyarakat adat atau the living law, beserta kesadaran mereka akan pengaturan masyarakat dan keadilan. Pembinaan hukum yang memperhatikan hukum tidak tertulis atau hukum adat ini, maka diharapkan Indonesia akan mendapatkan suatu sistem hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai kehidupan dalam era sekarang ini. Indonesia sekarang ini sedang berusaha untuk menyempurnakan sistem hukum nasional yang masih belum menemukan kejelasan dengan memperhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat yaitu hukum agama dan hukum adat, dan berupaya mereformasi semua peraturan hukum baik itu warisan kolonial maupun yang dianggap sudah tidak layak lagi.1 Salah satu contoh kesehariannya didalam kehidupan masyarakat kita untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga merupakan hal yang sangat penting dan
1
Suhardi, 2004. Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian (Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960), USU Repository. hal. 2.
3
merupakan hal yang wajib diberikan sebagai bentuk tanggungjawab kepala keluarga. Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kadang menemui beragam kendala yang akhirnya terbersit untuk menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang atau hasil pertanian dari tanah yang digadai sebagai gantinya, ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang belum mengenal arti akan hukum positif kita. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, masyarakat Desa Dulupi Kabupaten Boalemo, dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Telah terjadi gadai ladang yang ditanami jagung yang dilakukan oleh masyarakat Desa Dulupi Kabupaten Boalemo untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebun ladang yang digadai seluas 4 (empat) hektar dengan pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, dan dimana cara pengembalian pinjaman uang tersebut telah disepakati dengan cara pemberi pinjaman dengan melakukan pemanenan selama 4(empat) kali panen. Perjanjian gadai ini dilakukan secara lisan sebagaimana kebiasaan lama secara turun temurun atau adat istiadat yang berlaku dimasyarakat Desa Dulupi. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian perjanjian gadai tersebut justru menimbulkan konflik bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Dari hasil penelitian yang ada, telah tercatat ada sejumlah 5 (lima) kasus yang pernah terjadi di Desa Dulupi terkait dengan proses gadai tanah, namun yang diangkat oleh peneliti untuk dijadikan objek penelitian hanya 1 (satu) kasus. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian terkait dengan proses penyeleseaian perjanjian gadai tanah di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo jika dalam hal perjanjian tersebut terjadi wanprestasi atau ingkar janji terhadap sesuatu yang telah diperjanjikan. Untuk itu dalam melakukan suatu penelitian maka peneliti akan menuangkan dalam suatu karya
4
ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : “Penyelesaian Perjanjian Gadai Tanah Dalam Prakteknya Di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo”. Agar mempermudah pencapaian yang diharapkan dalam suatu penelitian ini, maka peneliti membatasi pada suatu permasalahan yang akan dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian gadai tanah dalam prakteknya di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo? 2. Upaya apakah
yang dapat
dilakukan dalam penyelesaian
permasalahan perjanjian gadai tanah dalam prakteknya di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo? TINJAUAN PUSTAKA Tinjaun kepustakaan merupakan suatu aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang ditujukan untuk menunjukkan jalan memecahkan permasalahan penelitian. A. PENGERTIAN PERIKATAN Untuk mengetahui hukum perikatan, maka perlu membuka kembali sistimatik hukum perdata yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang terdiri dari 4 buku. B.
Buku I
: mengatur tentang orang-orang (van personen)
C.
Buku II
: mengatur tentang benda (van zaken)
D.
Buku III
: mengatur tentang perikatan (van verbiteinissen)
E.
Buku IV
: mengatur tentang pembuktian dan daluarsa (van
bawjs en verjaring) pengertian dari perikatan yaitu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut Kreditur sedangkan yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut Debitur. Hubungan antara dua orang atau dau pihak merupakan hubungan hukum yaitu hubungan yang meinimbulkan akibat hukum yang dijamin
5
oleh hukum atau undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut melalui Pengadilan.2 B. PENGERTIAN PERJANJIAN Selain tentang perikatan yang dikenal dalam hukum positif kita sebagamana yang telah disampaikan di atas maka tidak dapat dipisahkan untuk mengetahui tentang perjanjian yang dikenal dalam hukum positif kita. Dalam hukum perdata Nederland dalam hubungannya dengan istilah perjanjian dikenal dua istilah yaitu VERBINTEINIS dan OVEREENKOMST. Dari dua istilah tersebut para ahli hukum perdata Indonesia berbeda-beda dalam menafsirkan ke dalam istilah hukum Indonesia. Diantara para ahli hukum yang berusaha menafsirkan dua istilah tersebut ke dalam istilah hukum Indonesia.3 Menurut Utrecht pengertianverbinteinis diterjemahkan dengan perutangan dan overeenkomst menggunakan istilah perjanjian. Achmat Ichsan, SH menggunakan istilah perjanjian untuk verbinteinis dan persetujuan untuk overeenkomst. Drs. Kansil, SH verbinteinis diterjemahkan perikatan dan perjanjian untuk menterjemahkan overeekomst.4 KUHPerdata terjemahanR. Subekti, SH dan Tjitro Sudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbinteinis dan istilah persetujuan untuk overeenkomst. Dari pendapat tersebut diatas terlihat bahwa belum ada kesatuan pendapat dalam menafsirkan istilah aslinya yang bersumber pada hukum perdata Belanda. Di masa mendatang hendaknya ada kesepakatan untuk menterjemahkan istilah verbinteinis dan overeenkomst ke dalam istilah Indonesia. Pandangan yang berbeda-beda akan meinimbulkan simpang-siur dan menyulitkan dalam mempelajari hukum perjanjian. Kesepakatan ahli hukum ini perlu dimasa mendatang seperti yang dikatakan Wiryono Projodikoro, Bahwa satu-satunya
2
Subekti, R, 1986. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT Intermasa. Cetakan Kesepuluh. hal.5 Ibid. hal.97. 4 Ibid. hal.98. 3
6
hukum perdata yang dalam jangka pendek dapat dimodifikasi ialah hukum perjanjian”. C. HAK-HAK KEBENDAAN Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan suatu benda, sedangkan suatu hak perseorangan (persoonlijk recht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang.
A.
BEZIT
Bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Bezit atas suatu benda yang tak bergerak memberikan hak-hak sebaga berikut: 1. Seorang bezitter tidak dapat begitu saja diusir oleh si pemilik, tetap harus digugat didepan hakim. 2. Jika bezitter itu jujur, ia berhak mendapat semua penghasilan dari benda yang dikuasainya pada waktu ia digugat didepan hakim dan ia tidak usah mengembalikan penghasilan itu, meskipun ia dikalahkan. 3. Seorang bezitter yang jujur, lama kelamaan karena lewatnya waktu dapat memperoleh hak milik atas benda yang dikuasainya itu. 4. Jika ia diganggu oleh orang lain, seorang bezitter dapat meminta kepada hakim supaya ia dipertahankan dalam kedudukannya atau supaya dipulihkan keadaan semula, sedangkan ia berhak menuntut pembayaran kerugian.
B. Eigendom Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan
7
benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. Menurut pasal 584 B.W. Eigendom dapat diperoleh dengan jalan: 1. Pengambilan, (contoh: membuka tanah) 2. Natrekking, yaitu jika suatu benda bertambah besar atau berlipat karena perbuatan alam (contoh: tanah bertambah besar akibat gempa bumi) 3. Lewat waktu, (verjaring) 4. Pewarisan Penyerahan, berdasarkan suatu titel pemindahan hak yang berasal dari seorang yang berhak memindahkan eigendom.
C.Hak-hak kebendaan diatas benda orang lain 1.
Erfdienstbaarheid atau servituut
Yang dimaksudkan dengan “Erfdienstbaarheid”ialah suatu beban yang diletakkan diatas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan yang berbatasan. 2.
Hak Opstal
Hak opstal adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman diatas tanahnya orang lain (Pasal 711 B.W.). Hak kebendaan ini dapat dipindahkan pada orang lain dan dapat juga dipakai sebagai jaminan hutang (Hypotheek). 3.
Hak Erfpacht
Erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas–luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah dari orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun (Pasal 720 B.W).
4.
Vruchtgebruik
Vruchtgebruik
adalah
suatu
hak
kebendaan
untuk
menarik
penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya
8
sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula (Pasal 756 B.W). D.Pand dan Hypoteek Kedua hak kebendaan ini, memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Betul menurut pasal 113 B.W. semua benda atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutang-hutangnya, tetapi sering orang tidak puas dengan jaminan secara umum ini. Pandrecht atau hak gadai adalah yang dinamakan suatu hak accessoir artinya adanya hak itu tergantung dari adanya perjanjian pokok. Jika kita ringkaskan hakhak seorang pandnemer adalah sebagai berikut: 1. Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggukan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. 2. Ia berhak mengambil pelunasan ini dari pendapatan penjualan barang tersebut, apabila orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya. 3. Ia berhak minta ganti biaya-biaya yang ia telah keluarkan untuk menyelamatkan barang tanggungan itu. Ia berhak untuk menggadaikan lagi barang tanggungan itu, apabila hak itu menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi. HypotheekMenurut pasal 1162 B.W. hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari ( pendapatan penjualan ) benda itu. Perbedaan antara pand dan hypotheek dapat kita ringkaskan sebagai berikut : 1. Pandrecht harus disertai
dengan penyerahan kekuasaan atas
barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak. 2. Pandrecht hapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak sebagai beban di
9
atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan pada orang lain. 3. Lebih dari satu pandrecht atas satu barang meskipun tidak dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek hampir tak pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama dibebankan di atas satu rumah adalah suatu keadaan yang biasa. D.Pengertian Gadai Tanah Hukum adat sebagai hukum yang berlaku secara turun temurun dalam suatu masyarakat Indonesia mempunyai konsep dan dasar pemikiran mengenai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.masyarakat di Indonesia juga mengenal bentuk gadai lainnya, seperti gadai menurut hukum perdata yang dikenal dengan sebutan pand, gadai berdasarkan Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan gadai yang terjadi di Pegadaian. Masingmasing jenis gadai ini memiliki perbedaan misalnya dari segi objek gadainya. Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyebutkan bahwa objek gadai adalah tanah pertanian, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) menyebutkan bahwa objek gadai adalah hanya barang bergerak saja, sedangkan objek gadai dalam lembaga gadai menurut hukum adat tidak terbatas hanya barang bergerak saja, tetapi juga segala macam barang yang dapat digadaikan. para ahli hukum yang memberikan pendapat mengenai pengertian gadai menurut hukum adat seperti yang diungkapkan; Menurut Soerjono Soekanto, gadai atau yang disebut dengan jual gadai adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.5 Menurut Hilman Hadikusuma, jual gadai ini mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai oleh orang lain dengan menerima pembayaran tunai, dimana 5
Soerjono Soekanto. 2002. Hukum Adat Indonesia. Cet V. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, hal.95.
10
si penjual (pemberi gadai, pemilik tanah) tetap berhak menebus kembali tanah tersebut dari pembeli gadai (penerima gadai, pemegang gadai, penguasa tanah gadai). Pengertian gadai dijelaskan dalam penjelasan umum UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah hubungan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjam uang tadi (“pemeganggadai”). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, perjanjian gadai merupakan transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak, dengan mana pihak yang satu menyerahkan kebendaan untuk dikuasai pihak lain dengan menerima pembayaran tunai, akan tetapi si pemilik kebendaan tetap mempunyai hak untuk menebusnya kembali di kemudian hari. Adapun yang dimaksud dengan kebendaan disini dapat berupa tanah saja, rumah saja, tanah beserta rumah yang ada diatasnya, tanah beserta tanaman diatasnya, sebagian dari rumah, sebagian dari rumah dan tanah dan mungkin masih banyak lagi kebendaan lainnya yang dapat dijadikan sebagai objek gadai. Perjanjian gadai terjadi karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, yakni pihak pemberi gadai (pemilik benda) dengan pihak penerima gadai (pemegang gadai), dimana dalam hal ini terdapat perjanjian bahwa yang diserahkan bukanlah hak kepemilikan atas benda akan tetapi masih adanya kesempatan bagi pemberi gadai (pemilik benda) untuk menebus kembali benda yang dimilikinya dengan sejumlah uang yang diserahkannya kepada penerima gadai ketika perjanjian terjadi. Lembaga gadai tanah adalah salah satu jenis dari lembaga jaminan yang terdapat di dalam hukum adat dan ternyata hingga sekarang masih banyak dipergunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam rangka mencari pinjaman atau kredit.
11
E.Transaksi Tanah Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat rill, dilapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu bentuk perbuatantunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan penerimaan pembayaran tunai.6 Di dalam hukum tanah, transaksi jual dapat mengandung 3 (tiga) maksud, yaitu :7 1. Menjual Gadai, yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. 2. Menjual Lepas, yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali; jadi penyerahan itu berlaku seterusnya/selamanya. Perjanjian jual lepas
tanah
sekaligus
persetujuan/persesuaian
selesai
kehendak
dengan
(consesus),
tercapainya
diikuti
dengan
ikrar/pembuatan kontrak jual beli, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak milik kepada pembeli. Dengan terjadinya perjanjian itu hak milik atas tanah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. 3. Menjual Tahunan, yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan janji tanpa suatu perbuatan hukum lagi, tanah itu akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya, sesudah berlalu beberapa tahun/beberapa kali panen (menurut perjanjian). Hak-hak yang diperoleh si pembeli tahunan yaitu : -
Mengelola tanah;
6
Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat. Liberti : Yogyakarta. hal. 28. Ibid.
7
12
-
Menanami dan memetik hasilnya;
-
Berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya sendiri.
Sedangkan larangan bagi si pembeli tahunan adalah menjual/menyewakan tanah itu, kecuali dengan seizin pemiliknya.
METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. A.Jenis Penelitian Penelitian hukum (legal research) yang dilakukan oleh penulis adalah menggunakan tipe kajian empiris atau sosiologis (socio legal research). Menurut Syamsuddin Pasamai8 yang dimaksud dengan penelitian empiris atau sosiologis (socio legal research), yaitu studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. B.Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Boalemo Khususnya di Desa Dulupi, alasan ditetapkannya di Boalemo khususnya di Desa Dulupi yaitu karena lokasi tersebut dapat memberikan data atau keterangan tentang masalah yang diteliti. C.Populasi dan Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam penelitian. Sampel atau bagian dari populasiyang diteliliti.9 Sampel yang baik representatif, yaitu sampel yang dapat mewakili populasinya, maka pengambilan sampel dari populasi harus menggunakan teknik pengambilan sampel (sampling) yang benar. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) 8
Syamsuddin Pasamai. 2010. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum (Suatu Pengetahuan Praktis. PT. Umitoha Ukhuwah Grafika : Makassar. hlm. 61. 9 Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Him. 104.
13
orang yang terdiri dari 2 (dua) orang masyarakat yang melakukan gadai, 2 (dua) orang tokoh masyarakat dan 1 (satu) orang pihak aparat desa. D.Jenis Data a.
Data primer biasa juga disebut data empiris atau data yang bersifat
langsung. Sumber perolehan data primer melalui penelitian secara langsung di lapangan dengan mempergunakan
metodologi penelitian tertentu,
seperti wawancara,diskusi interaktif, interview, observasi, questioner, angket dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, di mana data ini diperoleh dari lokasi penelitian melalui wawancara. b.
Data sekunder disebut juga data teoritis dan bersifat tidak langsung,
diperoleh melalui kepustakaan (library research) dan yang diteliti adalah bahanbahan kepustakaan atau tertulis denmgan membaca, inventarisasi, identifikasi dan komperatif. E.Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Lapangan, yaitu pengamatan langsung di
lokasi
penelitian. b. Wawancara, yaitu melakukan
wawancara
kepada
responden
maupun kepada informan atau pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian permasalahan yang akan diteliti. c. Studi kepustakaan,
yaitu dengan
mengumpulkan
bahan dari
berbagai literatur yang relevan dengan masalah yang akan diteliti. D.Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif pada dasarnya data dari penelitian ini tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, dan berdasarkan teori-teori atau konsepsikonsepsi yang bersifat umum, atau dengan kata lain penelitian dekriptif bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematik dan akurat mengenai sesuatu fakta dan kareteristik tentang populasi atau mengenai bidang-bidang tertentu, sedangkan kualitatif adalah dimana pelaksanaan penelitian ini lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis
14
terhadap hubungan antar fenomena yang diamati10. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Kedudukan Hukum Dalam Perjanjian Gadai Tanah Di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari aspek transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak. Sebagai contoh dari transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah pendirian suau desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan, sedangkan mengenai transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak adalah pengoperan atau penyerahan sebidang tanah yang disertai oleh pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pihak penerima tanah dan pembayaran tanah. Transaksi ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu :11 1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang. 2. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah. 3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa pabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesuadah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula. Berkaitan dengan adanya suatu perjanjian gadai tanah yang terjadi di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo, maka pada prinsipnya kedudukan hukum dari transaksi gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber dari hukum adat yang sampai sekarang masih tetap hidup di berbagai lingkungan 10 11
Syamsiddin Pasamai. Op. cit. hlm. 28. Dewi Wulansari. 2010. Hukum Adat Di Indonesia (Suatu Pengantar). PT. Refika Aditama : Bandung. Hal. 80.
15
hukum adat di Indonesia tidak terkecuali hal ini terjadi di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo. Karena pembentuk undang-undang beranggapan bahwa gadai tanah mengandung unsur pemerasan, maka dikeluarkanlah aturan Pasal 7 IJU No. 56/Prp/1960 yang menyatakan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang berdasarkan hukum adat, namun lembaga peradilan di dalam penerapannya masih tidak konsisten sehingga menimbulkan adanya dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat. Karena batasan antara keduanya tidak jelas maka menimbulkan ketidakpastian hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara keduanya. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang peraturan gadai tanah terhadap pelaksanaan gadai tanah dalam hukum adat. Perubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 UUPA yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menutut ketentuan adat dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Namun sengketa gadai yang lahir akibat adanya ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 cukup mempengaruhi perkembangannya disamping itu jika terjadi sengketa dalam hukum adat, para pihak biasanya mengutamakan musyawarah, dan hal ini terjadi di Desa Dulupi yang dimana permasalahan yang timbul akibat adanya suatu perjanjian gadai tanah, dimana mereka lebih memilih melakukan suatu penyelesaian melalui musyawarah ketimbang menggunakan penyelesaian melalui pengadilan.
16
B.Upaya Yang Dapat Dilakukan Dalam Penyelesaian Permasalahan Perjanjian Gadai Tanah Di Desa Dulupi Kabupaten Boalemo Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dilkaukan. Cara-cara yang dimaksud adalah sebagai berikut :12 1. Arbitrase Perkataan Arbritase berasal dari arbitrare(bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Mediasi Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai ”kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada ditangan pada pihak sendiri. Beberapa prinsip mediasi bersifat sukarela atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada bidang perdata, sederhana, tertutup dan rahasia, serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai fasilitator. 3. Negoisasi Kata negoisasi berasal dari kata negotiation, yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negisiator. Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif. Negosiasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit. Suatu hal yang penting dalam bernegosiasi adalah suatu iktikad baik para pihak untuk secara bersama-sama duduk dan menyelesaikan masalah. 12
Gatot Soemartono. Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hlm. 1.
17
4. Musyawarah Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah pada hakekatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak
yang
memerlukan
tanah,
untuk
memperoleh
kesepakatan.Bagaimanapun musyawarah untuk mufakat merupakan kesaktian warisan leluhur kita untuk terus dilestarikan. Jangan sampai emosi dan tindakan anarkis muncul dalam setiap penyelesaian sengketa tanah. Masyarakat juga sudah bosan dengan adu domba dan demonstrasi yang berujung pada perusakan fasilitas umum. Dalam hukum adat, upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. DAFTAR PUSTAKA A.
Buku
Adrian Sutedi. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar Grafika. 2008. Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Burhan Ashshofa, 2007 . Metode Penelitian Hukum. Rhineka Cipta. Jakarta. Dewi Wulansari. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Cetakan Ke 2. Bandung : Refika Aditama, 2010. Gatot Soemartono. Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. 2006.
18
Iman Sudiyat. Hukum Adat. Liberti : Yogyakarta. 1981. Kartini Mulyadi Dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. . Perikatan Pada Umumnya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. . Hak Tanggungan. Jakarta : Prenada Media. 2005. Riduan Syahrani. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung : Alumni, 2000. Rikardo Simarmata. Pembaharuan Hukum Daerah. Menuju Pengembalian Hukum Kepada Rakyat. HuMa. 2003. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Cet V. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa, 2002. .
. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press : Jakarta. 2008.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT Intermasa, Cetakan Kesepuluh, 1986. Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta : Garaha Ilmu. 2013. Suhardi, Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian (Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960), USU Repository. 2004. Syamsuddin Pasamai. Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum (Suatu Pengetahuan Praktis. PT. Umitoha Ukhuwah Grafika : Makassar. 2010. Zetria Erma, 2001, Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian dari Hukum Agraria, USU Repository B.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
19