VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
ISSN : 1858-3261
INTERNALISASI SEKTOR KEHUTANAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH : Membumikan Rencana Sektor Dalam Pembangunan Daerah Oleh : Syaiful Ramadhan * Latar Belakang Mekanisme perencanaan pembangunan yang selama ini dianut dan dijalani bertumpu pada proses memadukan kepentingan berbagai pihak melalui pendekatan dua arah, yaitu : top down planning dan bottom up planning. Dalam prakteknya sampai dengan saat ini, khususnya untuk pembangunan sektor kehutanan, dokumen rencana pembangunan masih kental dengan muatan top down (sebagai ruang acuan kegiatan prioritas yang ditetapkan pemerintah cq sektor-sektor), hal tersebut yang tercermin dari minimnya aspirasi muatan bottom up (cerminan ruang usulan perencanaan partisipasi masyarakat/grass root) yang terakomodir dalam kegiatan pembangunan yang teranggarkan dalam dokumen perencanaan tersebut. Meskipun fenomena tersebut dirasakan “tidak wajar” dalam arti proses perencanaan tidak berjalan secara efektif, namun dalam implementasinya yang telah berjalan dari era sentralisasi sampai era desentralisasi selama ini belum dirasakan ada perubahan yang berarti atau malah cenderung “mapan”.
Salam Planolog, Memasuki volume atau terbitan tahun ke empat, tiada yang layak dan lebih utama daripada memanjatkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga terima kasih pada semua pihak yang mendukung dan memungkinkan berlanjutnya buletin yang hakikinya milik seluruh Rimbawan. Berangkat dari keprihatinan bencana lingkungan berupa perubahan iklim yang kian mengglobal, dan kenyataan adanya sumbangan yang nyata dari terdegradasinya sumberdaya hutan terhadap kondisi tersebut, maka “optimalisasi Penataan Ruang Kehutanan Dalam Rangka Mengurangi Dampak Bencana Alam “ terpilih menjadi tema volume empat nomor satu, selayaknya menjadi spirit pembangunan kehutanan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berbagai bentuk pemikiran yang secara langsung maupun tidak langsung terkluster dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan dan dampak perubahan iklim, diharapkan mewarnai isi bulletin, baik yang terkait keruangan seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) maupun upaya lainnya yang intinya menuju pemantapan pengelolaan hutan secara lestari, karena kita semua yakin hubungan kausalitas logis “hutan dan fungsi hutan lestari mengembalikan keseimbangan alam, kestabilan iklim terjaga, meningkatnya kesejahteraan hidup dan kehidupan”. Sejatinya laku perbuatan merupakan cerminan pikiran, buah pikir merupakan cerminan nurani, mudah-mudahan ketulusan berkembang dan teguh di dalam diri kita, selalu.
tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi oleh DPRD ). Seiring jalan dengan pemberian ruang partisipasi masyarakat tersebut, dalam prakteknya baik dalam perumusan program, kegiatan dan anggaran maupun alokasinya lebih diwarnai oleh dominasi teknokrat berupa kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk upaya pencapaian visi, misi pembangunan yang ditetapkan masingmasing sektor yang maaf seringkali tidak mengakar/membumi juga tidak jarang menimbulkan trade off antar sektor.
Situasi kemapanan yang tidak menguntungkan sebagaimana tersebut di atas apalagi dalam jangka panjang, karena sejujurnya apabila dibiarkan akan berakibat pada perlambatan akselerasi pembangunan sektor kehutanan, karena tidak maksimalnya perencanaan pemanfaatan alokasi berbagai sumberdaya yang tersedia dan fatalnya bila pembiaran keadaan ini berlanjut sudah barang tentu akan bermuara pada tidak optimalnya sumbangan sektor kehutanan pada pembangunan nasional secara vertikal dan dukungan pada sektor lain secara horisontal.
Di pihak lain posisi tawar dan peluang masyarakat yang seyogyanya menjadi representasi lokus pembangunan (bottom up) menjadi semakin termarjinalisasi, kondisi ini berakibat pada rencana yang disusun dalam bentuk penyempurnaan kerangka regulasi, kerangka pelayanan/inventasi dan intervensi anggaran pemerintah yang secara hakiki bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih mewakili proses top down dengan kata lain tidak menjawab atau tidak menjadi solusi permasalahan mendasar/isu nyata dan atau kebutuhan riel masyarakat (miss leading in problem and its solution).
Berangkat dari kaidah “tidak berubah nasib/fenomena suatu komunitas/kaum (kondisi obyektif) apabila tidak ada upaya (yang kuat dan konsisten) untuk merubah sikap/persepsi/sistem (akumulasi kondisi subyektif pembentuk kondisi obyektif) yang ada/yang sudah mapan”, maka tulisan ini diharapkan menjadi salah satu upaya untuk mengenali anatomi permasalahan dan mengidentifikasi alternatif upaya menuju sesuatu yang lebih baik. Kondisi dan Permasalahan Pelbagai peraturan per-UU-an terkait mekanisme perencanaan pembangunan kehutanan yang diselenggarakan yang telah berjalan berpuluh tahun, sebenarnya telah menyediakan ruang kebijakan para teknokrat melalui birokrasi, ruang proses politik melalui jalur legislatif (DPR/D) dan ruang partisipasi masyarakat melalui jalur penjaringan aspirasi masyarakat pada forum penyaluran usulan-usulan kegiatan pembangunan dengan tahapan mulai dari forum-forum musyawarah pembangunan (Musbang-Rakorbang) mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota sampai dengan provinsi dengan kerangka regulasi Permendagri No.11 tahun 2006 sebagai ranah bottom up planning, khusus kehutanan ditambah dengan tingkat regional bahkan terakhir diverifikasi dan disahkan oleh Legislatif selaku Wakil Rakyat (RAPBN oleh DPR di tingkat Nasional dan RAPBD di
Upaya penguatan proses bottom up planning sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Bappenas dan Mendagri tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang intinya menegaskan, bahwa forum tersebut harus menjadi arena pembahasan yang efektif bukan sekedar rutinitas dan formalitas belaka (business as usual) yang diimplementasikan dengan dibentuknya Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) di tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi yang bertugas memberikan jaminan usulan prioritas dari tingkat pemerintahan terbawah (spasial) dapat diakomodir dan disinkronkan dengan perencanaan sektoral di tingkat SKPD Kabupaten/Kota dan provinsi.
2
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Diharapkan aspirasi yang tertuang dalam usulan secara berjenjang yang dikompilasi di tingkat Desa (bahan APB Desa).
sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan, maka lingkup pembangunan kehutanan terdiri dari 2 (dua) bagian proses besar, yaitu ;
Mengacu pada kondisi potret perencanaan pembangunan kehutanan di atas, runtut permasalahan dapat diidentifikasi dari berbagai antara lain :
1.
1.
2.
3.
Belum tersosialisikannya dengan jelas dan benar konsep/ filosofi perencanaan pembangunan kehutanan sebagai proses bottom up dan top down planning. Ketidakjelasan tata hubungan kerja, siapa berbuat apa dan bertanggung jawab apa dalam proses perencanaan bottom up dan top down planning. Kondisi butir 1 dan 2 di atas berdampak pada rencana yang tersusun tidak sepenuhnya mewakili kebutuhan riel pembangunan sektor dan lintas sektor (belum menyentuh peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengelolaan hutan secara optimal dan lestari).
Analisis Permasalahan dan Alternatif Solusi Konsep (Sistem) Perencanaan Pembangunan Kehutanan Untuk permasalahan penyamaan persepsi konsep pembangunan kehutanan, akibat kurangnya dan atau belum tersosialisasikannya hal tersebut maka analisis dan solusi alternative sudah selayaknya sejalan dengan konsep pengurusan dan pengelolaan hutan (Penetapan kawasan hutan Negara, rehabilitasi, perlindungan hutan dan pemanfaatan hutan) yang dimandatkan pada Departemen Kehutanan sesuai ketentuan per-UU-an yang berlaku.
Proses Pertama adalah penetapan “ranah bekerja” yang sekaligus menjadi batasan fisik yang menjamin kepastian pengelolaan sumberdaya hutan diselenggarakan. Proses ini disebut juga proses “Prakondisi pengelolaan sumberdaya hutan” dengan kegiatan-kegiatan pokok ; a.
Inventarisasi Potensi Calon dan atau Kawasan Hutan,
b.
Pengukuhan [Penunjukan Kawasan, Penatabatasan, penatagunaan ke dalam fungsi lindung, produksi dan konservasi dari kawasan hutan dan penetapan pengesahan hukum kawasan hutan hingga level unit-unit kelola / Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak]
2.
Proses Kedua adalah optimalisasi pengalokasian manfaat sumberdaya hutan bagi sebesar-sebesar kemakmuran rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses ini disebut juga sebagai “Pengelolaan sumberdaya hutan sesuai fungsi manfaatnya” di dalam wadah unit kelola KPH yang telah ditetapkan dalam proses pertama.
Konsep dasar lingkup pembangunan di atas mempunyai konsekuensi logis pada variasi road map pembangunan kehutanan, antara lain :
Berangkat dari mandat pengelolaan fungsi manfaat sumberdaya hutan untuk
Ruang Kerja .....
3
Proses pembangunan kehutanan di atas juga sekaligus sebagai lingkup basis “penilaian kinerja di setiap level pembangunan kehutanan” yang menjawab pertanyaan-pertanyaan strategis :
Sedangkan proses bottom up-nya dicerminkan dari usulan daerah/wilayah untuk rencana investasi dalam rangka pemanfaatan hutan oleh swasta dan badan usaha pemerintah (nasional/daerah) serta usulan rencana wilayah/daerah untuk merehabilitasi, merestrukturisasi dan merevitalisasi fungsi manfaat hutan melalui skema pendanaan pembangunan hingga siap dimanfaatkan melalui skema investasi.
“Sudahkan kawasan hutan ditetapkan cukup dan tersebar secara proporsional ? “ “Sudahkan aneka fungsi manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya hutan terepresentasikan secara optimal bagi kesejahteraan (fisik dan non fisik/ jasa lingkungan) masyarakat di suatu wilayah?”
Analisa di atas, menghasilkan solusi alternatif berupa harus adanya upaya mensosialisasikan, hingga terpahaminya konsep perencanaan pembangunan kehutanan secara utuh pada para pihak terkait yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya persepsi awal dari sinkronisasi proses top down dan bottom up planning pada pembangunan kehutanan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konsep pembangunan kehutanan yang utuh.
Dalam konteks konsep pembangunan kehutanan ini, proses perencanaan pembangunan kehutanan top down dicerminkan dari Arahan (Norma, Kriteria, Standar) kawasan hutan tetap dengan fungsinya di setiap wilayah, arahan teknis pengelolaan sesuai fungsinya dan arahan road map pembangunan sesuai kondisi awal (baseline) hutan di awal penetapannya.
4
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Kejelasan 4 R (Rule, Role, Responsibility/ Risk and Revenue)
Pemerintah, provinsi dan Kabupaten Kota yang didasari prinsip :
Untuk permasalahan ketidak jelasan tata hubungan kerja, siapa berbuat apa dan bertanggung jawab apa dalam proses perencanaan bottom up dan top down planning, analisis dan solusi alternatifnya dikaji dari sisi pandang pelaku pembangunan kehutanan yang sekaligus menjadi para pihak (stakeholder) pembangunan a.l. ;
a. b. c.
1. 2. 3. 4. 5.
dalam pembangunan kehutanan dengan tetap dalam kerangka konkuensi/ kebersamaan. 3.
Pemerintah Pusat, provinsi, Kabupaten Kota , Pengusaha dan Masyarakat,
terepresentasikan dari ketidak kejelasan 4 (empat) R (Rule, Role, Responsibility/ Risk dan Revenue) antar para pihak tersebut. Padahal 4 (empat) R tersebut menjadi syarat pemungkin, sehingga wajib dipenuhi, karena 4 (empat) R agar proses top down dan bottom up planning pada pembangunan kehutanan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
2.
UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan Mentari baik Dalam Negeri maupun Kehutanan yang terkait, mendasari Rule, Role dan Responsibility/ Risk dalam proses perencanaan pembangunan kehutanan mulai dari DesaKecamatan-Kabupaten/Kota sampai level provinsi (bottom up) dan proses perencanaan pembangunan top down mulai dari arahan sasaran : a. b. c.
Pada hakekatnya keberadaan peraturan per-UU-an yang ada sangat relevan dengan 4 (empat) R terkait pembangunan kehutanan, yaitu : 1.
Efisiensi, Akuntabilitas dan Ekternalitas
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan aturan-aturan turunan lainnya, mendasari substansi serta road map pembangunan kehutanan dan terkait dengan aspek Rule, Role dan Responsibility/ Risk dalam pembangunan kehutanan, baik pada proses prakondisi maupun di tingkat pengelolaan.
4.
lima tahunan, tahunan dan arahan kebijakan teknis program kegiatan prioritas dari Pemerintah (BappenasMenteri Keuangan dan Menteri Kehutanan).
UU No. 17 tahun 2004 tentang Keuangan dan PP No. 7 tahun 2008, serta ketentuan yang tentang bagi hasil dan distribusinya, mendasari Rule dan Revenue dalam pembangunan kehutanan
Penggambaran hasil analisis harmonisasi proses perencanaan pembangunan kehutanan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang merepresentasikan 4 (empat) R tersebut di atas adalah sebagai berikut:
UU No. 32 tahun 2006 tentang Otonomi Daerah dan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan dan Kewenangan Pusat Daerah Otonom, mendasari kesepakatan proporsi Role dan Responsibility/ Risk
Gambar 2. .....
5
Solusi alternatif ketidakjelasan 4 (empat) R yang terjadi selama ini yang baik disadari atau tidak telah menghambat proses top down dan bottom up planning, adalah melalui pembenahan tata hubungan kerja yang didasari pemahaman gambar 2 di atas berikut ini :
dan koordinasi perencanaan tingkat Desa dan Kecamatan dalam Kabupaten/Kota, dengan dasar lingkup urusan kehutanan yang menurut PP 38 tahun 2007 menjadi kewenangannya serta mengacu pada pagu anggaran APBD, APBD provinsi yang didekonsentrasikan, APBN Tugas Perbantuan dan sumber-sumber dana sah lainnya yang ada di masing-masing Kabupaten Kota serta Renstra Kehutanan Kabupaten/Kota, penapisan usulannya menjadi tanggung jawab Instansi yang menangani urusan Kehutanan di level Kabupaten/Kota.
Ranah (Domein) Bottom up planning 1.
Kejelasan tanggung jawab para pihak masing-masing Kabupaten/Kota menangani proses perencanaan dan outputnya di perencanaan level pertama dalam Ranah (domein) mekanisme bottom up planning, mulai dari forum proses sinkronisasi
6
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Hal ini sejalan dengan kaidah yang berwenang dan bertanggung jawab atas kinerja Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota cq Instansi yang menangani Kehutanan di bawahnya. Output/ keluaran proses perencanaan level ini adalah bagian Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) Kabupaten/Kota yang dibiayai dari APBD provinsi dan atau APBN Kehutanan. 1.
Ranah (Domein) Bersama / Momentum Sinkronisasi Top Down dan Bottom Planning Ranah pengawalan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan level ketiga merupakan tanggung jawab bersama provinsi cq Instansi yang menangani Kehutanan di provinsi dengan Pusat Pengendalian (Pusdal) di masing-masing Regional. Ranah ini menjadi momentum yang strategis bagi pembangunan kehutanan, karena menjadi ajang sinkronisasi dan koordinasi perencanaan top down yang merupakan arahan pembangunan prioritas Departemen Kehutanan dengan perencanaan bottom up yang merupakan usulan pembangunan kehutanan Kabupaten/Kota dan provinsi yang direncanakan dibiayai dari APBN sektor kehutanan. Kejelasan tanggung jawab dan output sinkronisasi dan koordinasi perencanaan top down dengan perencanaan perencanaan bottom up adalah :
Kejelasan tanggung jawab para pihak masing-masing provinsi dalam menangani proses perencanaan dan outputnya di perencanaan level kedua dalam Ranah (domein) mekanisme bottom up planning , yaitu pada forum proses sinkronisasi dan koordinasi perencanaan Kabupaten/Kota dalam suatu provinsi di forum perencanaan provinsi, dengan dasar lingkup urusan kehutanan yang menurut PP 38 tahun 2007 menjadi kewenangannya serta mengacu pada PP no. 8 tahun 2007 terkait pagu anggaran APBD provinsi, APBN yang didekonsentrasikan pada provinsi dan sumber-sumber dana sah lainnya yang ada di masingmasing provinsi serta Renstra Kehutanan masing-masing provinsi, penapisan usulannya menjadi tanggung jawab Instansi yang menangani urusan Kehutanan di level provinsi.
1.
Hal ini sejalan dengan kaidah yang berwenang dan bertanggung jawab atas kinerja provinsi adalah Gubernur c q In s ta n s i y a n g m e n a n g a n i Kehutanan di bawahnya. Pada level perencanaan ini peran Pusdal adalah terbatas pada fasilitasi. Output/keluaran proses perencanaan level ini adalah bagian Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) provinsi yang dibiayai dari APBN dekonsentrasi Kehutanan
7
Masing-masing Pusdal di regionalnya bertanggung jawab dalam mengkompilasi dan mensosialisasikan kebijakan masing-masing Eselon I Departemen Kehutanan selaku Penanggung Jawab Program dan Fokus Kegiatan dalam bentuk batasan-batasan kerangka regulasi, kerangka pelayanan dan investasi, batasan kegiatan yang didekonsentrasikan pada provinsi dan atau yang diperbantukan pada Kabupaten/Kota serta intervensi kegiatan prioritas Departemen Kehutanan alokasi pagu APBN pada Dekonsentrasi Kehutanan di provinsi m a u p u n Tu g a s P e r b a n t u a n Kehutanan Kabupaten/Kota yang secara keseluruhan menjadi muatan perencanaan top down yang mendasari langkah sinkronisasi/ penapisan usulan masing-masing provinsi di regionalnya yang memenuhi kriteria layak untuk dibiayai melalui APBN.
Output/keluaran proses perencanaan level ini adalah penajaman bagian Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) yang dibiayai dari APBD provinsi dan atau APBN Kehutanan di regional masing-masing Pusdal. 2.
RPJM Nasional, Renstra KL Departemen Kehutanan, serta RKP (Buku I dan II) dan acuan program dan kegiatan prioritas kehutanan pada tahun perencanaan, serta Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan yang dikompilasi dan menjadi tanggung jawab penyusunannya oleh Pusat Perencanaan Kehutanan dalam proses penyusunan Renja-KL Dephut dan dalam proses penyusunan Rencana Kegiatan dan AnggaranKL (RKA-KL Dephut) oleh Biro Perencanaan dan Biro Keuangan Dephut serta Renstra Eselon I yang mencerminkan tugas pokok fungsi masing-masing Eselon I selaku Penanggung Jawab Program dan Fokus Kegiatan Kehutanan.
Masing-masing Instansi yang bertanggung jawab urusan Kehutanan di provinsi dengan mendasari pada pembagian urusan yang diatur dalam PP No. 38 tahun 2007, PP 8 tahun 2007 dan memperhatikan kegiatan yang didekonsentrasikan di provinsi dan atau ditugasperbantuankan di Kabupaten/Kota, bertanggung jawab dalam menapis usulan dan memastikan tidak terjadinya duplikasi usulan pembangunan kehutanan yang akan dibiayai APBN dengan usulan APBD provinsi dan usulan APBD Kabupaten Kota dalam masing-masing provinsinya di level sikronisasi perencanaan ketiga ini.
Masing-masing Eselon I bertanggung jawab merumuskan program kegiatan prioritas tahun perencanaan yang terbagi dalam rincian kegiatan yang menjadi tanggung jawab Pusat menurut PP 38 tahun 2007 yang dilaksanakan Departemen Kehutanan dan Unit Pelaksana Tugas (UPT) nya di Daerah dan kegiatan yang dilimpahkan (dekonsentrasi) ke provinsi serta tugas yang diperbantukan (medebewijn) ke Kabupaten/Kota sesuai mekanisme dan kriteria yang diatur dalam PP No.7 tahun 2008.
Output/keluaran proses perencanaan level ini adalah penajaman hasil pencermatan bagian Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) yang dibiayai dari APBD provinsi dan atau APBN Kehutanan dalam wilayah provinsinya masing-masing.
Perumusan tersebut akan digunakan sebagai bahan criteria penapisan usulan di proses perencanaan lingkup instansi dalam Departemen Kehutanan dan penapisan penajaman usulan pembangunan kehutanan dari Daerah pada Forum Rakornis atau Rakontek Eselon I.
Keluaran/output total pada level perencanaan ketiga ini adalah Ikhtisar Usulan Kegiatan Anggaran Pembangunan Kehutanan di tingkat provinsi dan Kabupaten yang bersumber APBN pada setiap Eselon I Departemen Kehutanan yang selanjutnya menjadi bagian APBN Departemen Kehutanan dimasing-masing Daerah.
Output/keluaran proses perencanaan level ini adalah kriteria program dan kegiatan prioritas Departemen Kehutanan pada tahun Perencanaan yang menjadi acuan Pusdal dalam mengalokasikan bagian Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) yang dibiayai dari APBN Kehutanan.
Ranah (Domein) Top Down Planning Proses perencanaan pada ranah ini berlangsung di tingkat Nasional dengan bahan acuan bagian Kehutanan pada
8
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Argumen ranah proses top down planning ini didasarkan pada kenyataan tata nilai, bahwa kinerja Departemen Kehutanan dicerminkan dari seberapa jauh optimalisasi kerangka regulasi, kerangka pelayanan investasi dan intervensi alokasi program kegiatan dan APBN Kehutanan mendukung dan menyentuh terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia yang berkelanjutan yang mendukung sebesar-besar kemakmuran khususnyarakyat di dalam dan di sekitar hutan (di provinsi dan Kabupaten/Kota dalam NKRI) dan mendukung pembangunan lintas sektor terkait pada umumnya.
dengan merencanakan kesalahan yang bermuara pada pemborosan sumberdaya yang ada dan pada akhirnya tidak kurang mendukung percepatan terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia yang berkelanjutan yang mendukung sebesar-besar kemakmuran khususnya Rakyat di dalam dan di sekitar hutan (di provinsi dan Kabupaten/Kota dalam NKRI) dan mendukung pembangunan lintas sektor terkait pada umumnya. Rekomendasi
Kesimpulan dan Rekomendasi
1.
Penegasan kembali konsep ruang kerja dan road map pembangunan kehutanan yang sekaligus sebagai Sistem Pembangunan Kehutanan yang utuh sebagai yang ditampilkan pada gambar 1 pada Bab Analisis.
2.
Penegasan kembali tugas tanggung jawab dan output pembangunan kehutanan yang didasari oleh aspek 4 (empat) R (Rule, Role, Responsibility/Risk dan Revenue/Benefit sharing) secara proporsional sesuai ketentuan per UU an yang berlaku sebagai ditampilkan pada gambar 2 pada Bab Analisis.
3.
Mutlak menjadikan Konsep Perencanaan Pembangunan Kehutanan sebagai Pengawal sekaligus Kriteria Penilaian Kinerja dan Penerapan Insentif dan disInsentif pada Satker sesuai tugas tanggung jawab dan output dalam masing-masing ranah perencanaan baik top down maupun bottom up.
Mengacu pada hasil analisis 2 (dua) permasalahan yang selama ini ditengarai menjadi hambatan efektifitas proses harmonisasi top down dan bottom up planning pembangunan kehutanan dapat disimpulkan dan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : Kesimpulan 1.
2.
Terbukti, bahwa apabila mekanisme perencanaan pembangunan kehutanan tetap berjalan mapan seperti sampai dengan saat ini (business as usual), maka dapat dipastikan forum sinkronisasi dan koordinasi yang ada menjadi tidak efektif (maaf ; upaya yang mubazir saja) dan akan menghasilkan dokumen perencanaan yang tidak mencerminkan kebutuhan pembangunan kehutanan yang sebenarnya (menjadi dokumen yang tidak menjadi acuan) atau dengan kata lain tetap didominasi oleh ruang kebijakan teknokrat semata, sedangkan ruang aspirasi tetap termarjinalisasi.
_________________ * Perencana Madya pada Pusat Rencana & Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanaan Departemen Kehutanan
Perencanaan pembangunan kehutanan yang tidak mempresentasikan harmonisasi top down dan bottom up planning sama
9
BERBAGAI DATA SEPUTAR PERUBAHAN IKLIM Oleh : Iman Santosa Tj.*
Konferensi para pihak (Conference of Parties/COP) ke-13 dalam rangka United Nations Fremework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang berlangsung di Bali tanggal 3-14 Desember 2007 telah lama usai. Konferensi sedunia yang konon dihadiri oleh 10.000 orang dan menghabiskan biaya APBN sebesar Rp. 115 miliar telah menghasilkan apa yang disebut Bali Road Map (Peta Jalan Bali), yaitu suatu rancangan kesepakatan yang akan menjadi jalan untuk mencapai konsensus baru pada tahun 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012.
yang terkait dengan perubahan iklim. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini akan disajikan berbagai data dan informasi yang terkait dengan perubahan iklim, beberapa diantaranya disertai dengan sumber data dan ulasan ringkasnya. Gas Rumah Kaca (GRK) Gas Rumah Kaca merupakan gasgas di atmosfir yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang sinar matahari yang dipantulkan bumi sehingga menimbulkan pemanasan atau peningkatan suhu bumi. Menurut UNFCCC yang tertuang dalam Pasal 3 Protokol Kyoto, saat ini disepakati ada 6 gas rumah kaca utama, yaitu : Karbon doiksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulphur hexafluorida (SFs). Berbagai sumber GRK dan kontribusinya terhadap emisi global dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Beberapa hal yang telah disepakati dalam Peta Jalan Bali tersebut antara lain : 1.
2.
3.
Negara-negara maju mendukung peningkatan kapasitas, menyediakan bantuan teknis, memfasilitasi alih teknologi untuk meningkatkan, diantaranya, pengumpulan data, estimasi emisi, monitoring dan pelaporan, serta melaksanakan demonstration activity (pilot project), Diakomodirnya deforestasi, degradasi dan konservasi serta sustainable management of forest dan referensi, Perubahan batas skala proyek A/R CDM (Aforestation/Reforestation Clean Development Mechanism) dari 8 kilo ton CO2/tahun menjadi 16 kilo ton CO2/tahun. Kelebihan di atas 16 kilo ton tidak dapat diklaim sertifikasinya (CER = Certified Emission Reductions)
Tabel 1.
No.
Gas Rumah Kaca
1
2
1
Karbon doiksida (CO2)
2
Metana (CH4)
3 4 5
Mengingat isu perubahan iklim masih akan terus menjadi isu yang sangat strategis di masa yang akan datang, maka semua pihak perlu lebih memahami hal-hal
Sumber GRK dan kontribusinya terhadap emisi global
6
Dinitrogen Oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs) Perfuorokarbon (PFCs) Sulphur hexafuorida (SF6)
Sumber 3
Kontribusi terhadap emisi global 4
Deforestasi, Komsumsi 76,7 %, diantaranya energi dari pembakaran 56,6% dari penggunaan bahan bakar fosil bahan bakar fosil Kegiatan pertanian, produksi energi, limbah Terutama dari kegiatan pertanian
14,3%
Digunakan sebagai pengganti zat-zat perusak ozon
1,1%
7,9 %
Digunakan dalam beberapa proses industri dan peralatan elektronik
Sumber data : Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)
10
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Perubahan Penutupan Hutan / Deforestasi Dan Potesi Penyerapan Karbon Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan hutan menjadi bukan hutan, yang dapat terjadi karena perubahan untuk perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan dan prasarana wilayah. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Citra SPOT Vegetation yang mempunyai resolusi 1.000 meter, laju deforestasi di tujuh pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa serta Bali dan Nusa Tenggara, pada periode 20002005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar. Berdasarkan perhitungan, potensi penyerapan karbon oleh hutan alam ialah sebesar 200-300 ton/hektar, sedanglan huutan tanaman berpotensi menyerap karbon sebesar 100 - 150 ton/hektar.
3.
4.
5.
Negara Pengemisi Karbon : Indonesia No. 3 (?) Data ini merupakan data yang paling kontroversial dan banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak di Indonesia. Menurut Wetland International (dan IPCC?), Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina dalam mengemisi CO2. Namun demikian menurut Meneg LH, IPCC tidak bisa menunjukkan berapa besar emisi dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan dimana saja.
Berdasarkan berbagai faktor di atas, tampaknya pemeringkatan ini patut diberi tanda tanya besar, sehingga tidak merupakan data yang sesat dan menyesatkan.
Beberapa pakar iklim di Indonesia mengatakan ada beberapa kelemahan penilaian tersebut, antara lain : 1.
2.
International - menunjukkan angka yang lebih tinggi. Selain itu angka maksimum penelitian Page 13 kali lipat angka minimum sehingga rataratanya terlalu besar biasnya. Estimasi Wetland hanya memasukkan faktor kebakaran hutan tanpa memperhitungkan daya serap karbon oleh hutan saat tidak terjadi kebakaran. Asumsi yang digunakan juga mengandaikan seluruh hasil pembakaran hanya berupa CO2 Berdasarkan data yang diperoleh dari satelit Badan Antariksa Eropa (ESA/European Space Agency), kondisi kebakaran terparah Indonesia tahun 1997 dan 2006 ternyata tidak lebih parah dari kebakaran di Brasil dan beberapa negara Afrika. Berdasarkan pengamatan konsentrasi CO2 di stasiun meteorologi di Koto Tabang - Bukit Tinggi yang merupakan stasiun standar resmi World Meteorology Organization (WMO), konsentrasinya lebih rendah dari Mauna Loa Hawaii. Kondisi yang sama terjadi pada penelitian empat tahun terakhir. Tahun 2006 terjadi kebakaran hutan yang cukup hebat.
Emisi CO2 per Kapita Berdasarkan Human Development Report (HDR) Tahun 2007 yang dikeluarkan United Nations Development Program (UNDP) di Brasilia menjelang COP 13 di Bali, terdapat data mengenai besarnya emisi CO2 per kapita di beberapa negara seperti terlihat di tabel 2 di bawah ini. Dalam laporan tersebut istilah emisi CO2 yang dihasilkan dari gaya hidup manusia disebut sebagai jejak kaki atau jejak karbon di atmosfir.
Perhitungan tersebut hanya didasarkan pada kebakaran lahan gambut tahun 1997, sedangkan untuk tahun berikutnya belum ada perhitungan yang lengkap, Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar iklim lain (Duncan, Levin, Heil, Aldrian dll) pada tahun 1997, angka hasil penelitian yang digunakan oleh Page - yang digunakan oleh Wetland
11
cukup baik di bidang kebijakan dan tingkat emisi tetapi agak mengkhawatirkan dalam hal kecenderungan emisi.
Dari Tabel 2 tersebut di bawah, terlihat bahwa kenaikan tertinggi baik secara absolut maupun relatif ialah AS, yaitu sebesar 11,3 ton per kapita. Besaran ini diikuti oleh Kanada dengan besaran 5, 0 ton per kapita. Beberapa negara yang turun emisi karbonnya per kapita adalah Federasi Rusia, Inggris dan Perancis, sedangkan negara-negara yang relatif tetap adalah Tanzania dan Ethiopia. Tabel 2.
Pada tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 43 dari 56 negara atau termasuk buruk. Peringkat Kerentanan Negara Terhadap Perubahan Iklim
Daftar Negara Pengemisi Co2 per Kapita Tahun 1990 dan 2004
No
Negara
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 Amerika Serikat Federasi Rusia Kanada Inggris Perancis China Mesir Brasil India Vietnam Tanzania Ethiopia
Dalam konteks kerentanan terhadap resiko perubahan iklim, menurut LSM German Watch, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia. Penetapan peringkat dilakukan dengan ukuran peristiwa bencana alam terkait perubahan iklim yang terjadi sepanjang tahun 2006. Peringkat ini disusun dalam suatu indeks yang disebut Indeks Resiko Perubahan Iklim (CRI). Berdasarkan indeks tersebut, peringkat pertama diduduki oleh Filipina, disusul oleh Korea Selatan dan Indonesia. Peringkat Indonesia naik dari tahun 2005 yaitu di peringkat ke 39.
Emisi CO2 (ton per kapita)
1990 3 9,3 15,0 13,4 (1992) 10,0 6,4 2,1 1,5 1,4 0,8 0,3 0,1 0,1
2004 4 20,6 20,0 10,6 9,8 6,0 3,8 2,3 1,8 1,2 1,2 0,1 0,1
Ada empat indikator yang digunakan, yaitu total jumlah korban tewas, kematian per 100.000 penduduk, kehilangan absolut dalam kemampuan membeli dalam juta dolar AS dan kehilangan per persentase GDP.
Kinerja Perubahan Iklim Penilaian Indeks Kinerja Perubahan Iklim dilakukan setiap tahun oleh German Watch, suatu LSM independen yang bersifat nirlaba dan Climate Action Network (CAN), suatu jaringan internasional yang terdiri lebih dari 365 NGO di seluruh dunia yang bekerja untuk mempromosikan kegiatan, baik individu maupun pemerintah untuk membatasi perubahan iklim yang disebabkan manusia sampai kepada batas yang berkelanjutan secara ekologis.
Dalam pemetaan yang lebih luas, yaitu dengan berpatokan pada data sepanjang tahun 1997 sampai 2006, Indonesia tidak termasuk ke dalam daftar 10 besar negara paling beresiko terhadap perubahan iklim. Forestry Eleven (F-11)
Indeks Kinerja Perubahan Iklim merupakan gabungan penilaian dari kecenderungan emisi di suatu negara dengan orientasi utama pada sektor energi, transportasi, perumahan dan industri (50 % dari penilaian), tingkat emisi saat ini menurut IPCC (30 %) dan kebijakan-kebijakan di bidang iklim (20 %).
Forestry Eleven merupakan forum dari 11 negara pemilik hutan tropis atau negara-negara pemilik hutan yang terletak 0 0 diantara 10 Lintang Utara dan 10 Lintang Selatan. Sebelumnya forum ini hanya beranggotakan 8 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kolombia. Papua Nugini, Kamerun, Gabon, Kongo dan Kosta Rika. Pada bulan Spetember 2007, bergabung tiga negara lain, yaitu Peru, Republik Demokratik Kongo dan Brasil.
Berdasarkan kriteria tersebut Indonesia tahun ini menduduki peringkat ke 15 dari 56 negara yang dinilai. Indonesia yang mendapat nilai 57,6 dan dianggap
12
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Salah satu tujuan pembentukan forum ini ialah untuk konsolidasi dalam rangka memperkuat peranan sumberdaya hutan sebagai salah satu alat untuk mengurangi pemanasan global. Pembentukan F-11 merupakan inisiatif Presiden SBY, yang dibentuk berdasarkan fakta bahwa 25% total Gas Rumah Kaca global berasal dari deforestasi dan degradasi. Dengan mencegah kerusakan hutan di negara yang tergabung dalam F11 emisi GRK akan berkurang banyak.
Tabel 4. Potensi penyerapan CO2 oleh laut.
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Brazil Rep. Demokratik Kongo Indonesia Peru Kolombia Papua Niugini Kamerun Kongo Malaysia Gabon Kosta Rika Jumlah
Luas (km2)
Potensi Penyerapan CO2 (juta ton)
1 2 3
Terumbu karang Mangrove Padang lamun
61.000 93.000 30.000
73,5 75,4 56,3
4
Sebaran klorofil
5,8 juta
40,4 245,6
Sumber : Dep. Kelautan dan Perikanan Kebutuhan dan Bantuan Pendanaan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pidatonya di Pertemuan Komite Pengembangan Bank Dunia di Washington 18 Oktober 2007 menyatakan bahwa dalam 23 tahun ke depan biaya yang disebabkan perubahan iklim global mencapai 200 miliar USD atau sekitar Rp. 1.800 triliun per tahun dan separuhnya dibebankan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Luas hutan negara-negara yang tergabung dalam F-11
No
Aspek Kelautan
Jumlah
Berdasarkan data Global Forest Resources Assessment (FRA) yang dikeluarkan FAO (2005) luas hutan tropis di negara-negara yang tergabung dalam F-11 adalah sebagai tercantum dalam tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3.
No
Dalam kerangka COP 13, Amerika Serikat telah sepakat untuk melakukan pemotongan hutang luar negeri Indonesia ke AS sebesar 19,6 juta USD atau sekitar Rp. 18,6 milyar melalui mekanisme Debt for Nature Swap (DNS), yaitu pengalihan dana yang awalnya untuk membayar pinjaman ke biaya konservasi hutan. Namun demikian pemotongan utang itu baru berlaku jika pemerintah atau pihak ketiga, misalnya LSM menyediakan dana sebesar 20% dari hutang yang akan dipotong.
Luas hutan (x 1.000 ha) 477.698 135.610 88.495 68.742 60.728 29.497 21.245 22.471 20.890 21.775 2.391 949.542
Potensi Laut Dalam Penyerapan Karbon Dioksida
Beberapa negara lain yang telah berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim antara lain Australia, Inggris dan Jerman.
Pemanasan global dapat memusnahkan terumbu karang. Selain itu dapat mengancam ketahan pangan dari sumber perikanan laut.
Emisi Gas Rumah Kaca Dari Sektor Pertanian
Beberapa aspek kelautan yang terdiri dari terumbu karang, mangrove, padang lamun dan sebaran klorofil ternyata memegang peranan yang penting dalam penyerapan CO2. Potensi penyerapan CO2 dari berbagai aspek kelautan tersebut dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
Menurut perhitungan Departemen Pertanian, besarnya emisi GRK dari sektor pertanian pada tahun 2005 sebesar 96,42 juta ton CO2 eq. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (62%) berasal dari kegiatan budidaya padi sawah sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5
13
Tabel 5.
Emisi Gas Rumah Kaca dari sektor pertanian Emisi GRK (juta ton CO2 eq.)
No
Kegiatan Pertanian
1 2 3 4
Budidaya padi sawah Peternakan Tanah pertanian Pembakaran lahan (sabana, padang rumput dan perladangan berpindah) Pembakaran sisa pertanian (jerami padi, jagung, tebu dll)
61,781 19,338 3,750 3,619
Jumlah
96,420
5
budidaya kelapa sawit di Indonesia menciptakan nilai sebesar 114 USD per hektar atau hanya sekitar 2 persen dari nilai karbon di dalamnya. Pohon yang tadinya tumbuh di suatu areal tetapi kemudian ditebang, dibakar dan dibiarkan membusuk mengeluarkan CO2 ke atmosfir sebesar 500 ton per hektar.
7,932
Berbagai Dampak Perubahan Iklim
Sumber : RAN dalam Menghadapi Perubahan Iklim (2007)
a. Potensi Penyerapan CO2 Beberapa Komoditas Perkebunan
Perubahan iklim ternyata berkontribusi terhadap penyebaran penyakit. Musim hujan yang berkepanjangan memperluas area genangan air dan menjadi tempat ideal bagi perkembangbiakan nyamuk-nyamuk penyebab malaria, demam berdarah dan berbagai penyakit lainnya yang terkait banjir. Di sisi lain, musim kemarau panjang menyebabkan menipisnya persediaan air bersih dan memudahkan penularan penyakit diare, kolera dan penyakit-penyakit saluran pencernaan lainnya. Penyebaran penyakit akibat perubahan iklim ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negaranegara maju. Hanya ironisnya, negara berkembang yang lebih sedikit kontribusinya terhadap pemanasan global, justru merupakan pihak yang paling banyak dan sering menderita.
Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian mengeluarkan data yang terkait dengan penyerapan CO2 oleh berbagai komoditas perkebunan seperti tercantum dalam tabel 6 dan tabel 7 di bawah ini. Tabel 6.
Kesehatan
Potensi penyerapan CO2 oleh tanaman kelapa sawit, karet dan tebu
Jenis
Direktorat Jenderal Perkebunan juga menyebutkan bahwa potensi penyerapan Gas Rumah Kaca oleh tanaman kelapa sawit ialah sebesar 66 ton CO2 eq. per hektar setiap tahunnya. Berdasarkan Human Development Report 2007 yang secara khusus menyoroti masalah tanaman sawit, menyebutkan bahwa
Jika suhu meningkat tiga derajat Celcius, diperkirakan kasus penularan penyakit melalui nyamuk meningkat dua kali lipat. Selain itu, menurut seorang guru besar dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Umar Fahmi Achmadi, peningkatan suhu
Tabel 7. Potensi penyerapan dan pelepasan CO2 oleh tanaman kopi dan cokelat
No
Komoditas Perkebunan
Luas areal pada tahun (juta ha) 2005
1 1 2
2 Kopi Cokelat
3 1.202 1.167
proyeksi 2025 4 1.234 1.778
Potensi penyerapan CO2 bruto pada tahun (juta ton) Proyeksi 2005 2025 5 6 30,32 31,11 93,36 142,24
Ket. : n.a = Data tak tersedia (not available) Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan
14
Potensi pelepasan CO2 pada tahun (juta ton) proyeksi 2005 2025 7 8 1,00 1,02 12,60 19,20
Potensi penyerapan CO2 netto pada tahun (juta ton) proyeksi 2005 2025 9 10 29,32 30,09 80,76 123,04
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
dan surut di beberapa Daerah Aliran Sungai.
bumi dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk mendinginkan tubuh dan meningkatkan kasus asma serta penyakit kulit. b.
Semakin tinggi naiknya permukaan air laut, akan semakin banyak daratan yang akan tergenang bahkan tenggelam dan semakin banyak pula populasi manusia yang akan terkena dampaknya, sebagaimana tergambar dalam tabel 8 di bawah ini.
Keanekaragaman hayati
Bahkan ada yang memperkirakan dalam 100 tahun mendatang 80% species flora dan fauna di seluruh dunia akan musnah.
Tabel 8. c.
Laporan UNEP menyebutkan bahwa setiap kenaikan suhu sebesar 2 derajat Celcius, antara lain akan menurunkan produksi pertanian sebesar 30% di Cina dan Bangladesh pada tahun 2050. d.
Naiknya permukaan air laut
Menurut data yang dikeluarkan oleh IPCC yang melibatkan 2.500 ahli dan 800 penulis ilmiah, telah terjadi pengurangan jumlah es dan salju di permukaan bumi. Pengurangan tersebut telah berkontribusi naiknya permukaan air laut yang mencapai 1,2 mm per tahun pada periode 19932003. Di wilayah arktik, tutupan es berkurang sebesar 2,7 persen per dekade. Dampak pemanasan global di Indonesia akibat naiknya permukaan air laut antara lain : a.
b.
c. d. e. f.
Perkiraan areal yang tergenang dan populasi manusia yang terkena dampaknya akibat naiknya permukaan air laut.
Pertanian
No
Kenaikan permukaan Laut (m)
Areal yang akan terkena Dampak (km2)
Populasi yang akan terkena dampak (juta jiwa)
1
2
3
4
1
1
194.309
53,3
2
2
305.036
89,6
3
3
449.428
133,0
4
4
608.239
183,4
5
5
768.804
245,9
Sumber : US Geological Survey, The World Bank
Penutup Untuk menghadapi perubahan iklim, pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk kegiatan sektor kehutanan dengan kerangka waktu 2007 s/d 2050 rencana aksi yang telah disusun terdiri dari :
Banyak pulau kecil akan hilang Ratusan pulau kecil di Indoensia terancam terendam akibat mencairnya gumpalan es di kutub utara dan kutub selatan. Mencairnya gumpalan es tersebut diperkirakan akan terjadai pada abad ini jika tidak ada upaya pencegahannya. Garis pantai akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat, nelayan akan terancam kehilangan tempat tinggal. Intrusi/perembesan air laut akan semakin meluas. Sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir akan berubah. Ekosistem hutan bakau akan rusak. Terjadi perbedaan tingkat air pasang
a. b. c.
Penurunan Emisi Dan Peningkatan Kapasitas Penyerapan Karbon Penerapan mekanisme insentif Kebijakan pendukung
Untuk mengimplementasikan RAN MAPI tersebut, sedang disiapkan pembentukan Komisi Nasional untuk Menghadapi Perubahan Iklim, walaupun beberapa pihak meragukan efektifitasnya. __________ * Penulis Staf Senior Kehutanan Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan
15
PENGUATAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN PERAN PENYULUH KEHUTANAN DALAM PENYIAPAN HUTAN TANAMAN RAKYAT Oleh : Suwignya Utama *
Pendahuluan
hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada kepala keluarga pemohon ijin usaha dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin usaha dan dikembalikan secara mengangsur.
Untuk menunjang keberhasilan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada tahun ini, Departemen Kehutanan mengalokasikan dana sebesar Rp. 1,6 triliun untuk pembangunan hutan tanaman rakyat. Dana ini nantinya diberikan kepada 95 ribu KK yang ditunjuk untuk mengembangkan HTR itu. Setiap KK maksimal akan mengelola lahan seluas 15 ha. Pengembangan HTR tersebut pada tahun ini akan dilakukan di delapan provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Departemen Kehutanan tahun ini mencadangkan areal seluas 1,4 juta hektar. Sampai tahun 2010, akan dicadangkan total areal sekitar 5,4 juta hektar untuk 360 ribu KK.
Aktor utama atau subyek yang melakukan program HTR tersebut sebenarnya adalah masyarakat setempat. Yaitu masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan, sebagai kesatuan komunitas sosial, yang mata pencaharian utamanya bergantung pada sumberdaya hutan. Sesuai ketentuannya pemohon ijin usaha perorangan diutamakan untuk membentuk kelompok agar memudahkan pelayanan dalam proses permohonan izin. Pembentukan kelompok ini diarahkan untuk difasilitasi oleh penyuluh kehutanan.
Hutan tanaman rakyat dalam hal ini adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. HTR ini akan dibangun dengan tiga pola yaitu pola mandiri, pola kemitraan dan pola developer. HTR pola mandiri yaitu hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh kepala keluarga sebagai pemegang ijin usaha. HTR pola kemitraan yaitu hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh kepala keluarga pemegang ijin usaha bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan HTR pola developer adalah
Agar masyarakat setempat bisa menjadi pelaku utama dan pengelola hutan tanaman rakyat tersebut secara optimal, maka perlu didukung oleh suatu kelembagaan masyarakat yang kuat. Kelembagaan masyarakat yang kuat tentu tidak bisa dengan sendirinya terwujud. Diperlukan fasilitator sebagai suatu agen perubahan untuk memperkuat kelembagaan petani tersebut. Dan sesuai dengan tugas dan fungsinya maka salah satu agen perubahan yaitu penyuluh kehutanan harus mampu menampilkan perannya tersebut secara efektif. Kelembagaan petani yang kuat merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyiapan program hutan tanaman rakyat (HTR).
16
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Sedangkan kelembagaan petani yang kuat tersebut sangat dipengaruhi oleh efektivitas peran penyuluh kehutanan dalam penguatan kelembagaan petani. Dua proposisi inilah yang penulis ajukan sebagai pokok bahasan dalam tulisan ini. Permasalahan selanjutnya strategi apa saja harus diambil agar penyuluh kehutanan mampu melakukan penguatan kelembagaan petani secara tepat dalam penyiapan HTR.
jiwa kelembagaan itu yaitu nilai, norma dan aturan. Sedangkan aspek struktural berupa sesuatu yang lebih bisa dilihat dan statis misalnya struktur, penetapan peran, tujuan dan keanggotaan. Dalam konteks tulisan ini, kelembagaan petani yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan bisa dimaknai dari dua aspek tersebut. Aspek pertama yaitu nilai, norma dan aturan yang telah berkembang. Aspek berikutnya yaitu struktur organisasi kelompok, tujuan, keanggotaan, pembagian tugas dan lainlain.
Oleh karenanya tulisan ini akan mengulas pentingnya penguatan kelembagaan tersebut sebagai persiapan pembangunan HTR, peran penyuluh kehutanan dan strategi mengefektifkan peran penyuluh dalam memperkuat kelembagaan masyarakat setempat.
Pembangunan HTR kalau dilihat dari paradigma pembangunan kehutanan yang berkembang selama ini, sebenarnya berakar dari landasan pemikiran “pembangunan kehutanan konvensional”. Paradigma konvensional yang biasa dikenal dengan “state-based” atau “economic-based”, menekankan kegiatan ekonomi berbasis kayu pada lahan milik negara. Sehingga pasokan kayu pada industri perkayuan menjadi tujuan utama. Namun demikian pembangunan HTR juga dimaksudkan untuk memberikan akses bagi masyarakat lokal terhadap pemanfaatan lahan, terhadap permodalan dan terhadap pasar hasilnya. Program HTR juga menjadikan masyarakat lokal sebagai aktor utama pengelolaan hutan. Dengan demikian maka paradigma kehutanan sosial mestinya harus dipergunakan sebagai landasan berpikir dalam melahirkan kebijakan tersebut. Yang menjadi soal adalah sejauh mana keefektifan landasan pemikiran kehutanan sosial ini bisa diadopsi dalam pelaksanaan program HTR ke depan. Diantaranya adalah sejauh mana bisa tercapai pemberdayaan dan penguatan masyarakat lokal yang sesungguhnya. Hal ini karena dalam konteks kehutanan sosial, masyarakat lokal menjadi pelaku utama dengan kelembagaan lokal yang mantap, dan memiliki otonomi dalam mengelola sumberdaya.
Penguatan Kelembagaan Masyarakat Setempat Konsep kelembagaan biasanya dipahami secara luas dan kadang membingungkan. Istilah kelembagaan sering dipertukarkan penggunaannya dengan istilah organisasi. Istilah kelembagaan (sosial) berasal dari kata “social institution” sedangkan istilah organisasi berasal dari “social organization”. Menurut Uphoff (1986) kelembagaan merupakan jalinan normanorma dan perilaku-perilaku yang kompleks yang telah berlangsung secara stabil dalam kurun waktu lama dalam masyarakat untuk berbagai tujuan kolektif. Syahyuti (2006) menekankan bahwa kelembagaan merupakan pemantapan perilaku yang hidup pada sekelompok orang. Merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola dan berfungsi untuk tujuan tertentu dalam masyarakat. Orangorang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Secara umum terdapat dua aspek dalam kelembagaan yaitu aspek kultural dan aspek struktural. Aspek kultural meliputi aspek yang lebih abstrak sebagai
17
Kemandirian kelembagaan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam hutan sudah banyak contoh-contohnya di Indonesia, misalnya pengelolaan repong damar di Krui, pengelolaan HKM di Sesaot dan lainlainnya. Oleh karena itu dalam kerangka pembangunan HTR, membangun kelembagaan lokal yang kuat dalam mengelola hutan tanaman semestinya memperoleh perhatian yang serius.
akan bisa mencapai skala ekonomi yang diharapkan. Sehingga memudahkan dalam aspek perencanaan, penanaman, pemeliharaan, maupun pemanenan dan pemasarannya. Dari aspek ekonomi usaha, dengan luasan tertentu akan berdampak kepada pengelolaan dan pemasaran hasilnya. Dengan berkelompok juga petani akan saling bisa belajar satu sama lain dalam berbagai aspek. Berbagai permasalahan akan bisa didiskusikan bersama untuk mencari solusinya. Dengan berkelompok juga bisa saling bekerjasama dan memperkuat posisi tawar mereka dengan pihak lain.
Penguatan kelembagaan petani yang notabene masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dalam kerangka pembangunan HTR menjadi sangat penting. Hal ini karena bisa ditinjau dari beberapa alasan baik secara normatif, secara pengalaman empiris maupun paradigmatis.
Berdasarkan pengalaman empiris pembangunan hutan tanaman yang melibatkan masyarakat setempat, ternyata kelembagaan berupa kelompokkelompok ini sudah berjalan dan memang diperlukan.
Secara normatif berarti bahwa memang aturan mengenai HTR tersebut menghendaki adanya kelompok-kelompok petani sebagai entitas yang akan memperoleh ijin usaha pemanfaatan. Dengan demikian petani akan berperan sebagai aktor utama yang mengelola hutan tanaman tersebut. Walaupun sebenarnya secara perorangan (kepala keluarga) bisa memperoleh ijin usaha tersebut, namun untuk kemudahan dalam pelayanan diperlukan adanya kelompok. Sehingga dari segi peraturan yang ada, masyarakat setempat didorong untuk membentuk kelompok-kelompok. Pentingnya kelompok sebagai bentuk kelembagaan petani paling tidak karena kelompok memiliki potensi dari tiga hal yaitu : 1.
2. 3.
Menurut catatan APHI (2007), hutan tanaman pola kemitraan di PT Wira Karya Sakti di provinsi Jambi telah dikembangkan sejak tahun 1997 dengan melibatkan 78 kelompok (7.554 anggota) dengan areal mencapai 12.065 ha. Demikian pula PT RAPP di provinsi Riau yang mengembangakn hutan tanaman bersama masyarakat seluas 23.000 ha dan melibatkan sekitar 4.600 KK. Berdasarkan beberapa pengalaman tersebut menunjukkan bahwa pengembangan kelompok masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan tanaman memang harus dilakukan. Secara paradigmatis, penguatan kelembagaan masyarakat setempat tidak lepas dari masyarakat sebagai subyek yang akan mengelola hutan tanaman.
sebagai suatu unit produksi hutan tanaman sehingga mencapai skala ekonomi yang menguntungkan sebagai wahana belajar untuk saling berinteraksi wahana bekerjasama antara anggota kelompok, antara kelompok dan pihak lain.
Paradigma kehutanan sosial dalam catatan Awang (2002) diantaranya adalah bahwa aktor utama pengelolaan hutan adalah masyarakat, Pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan pengawas kegiatan pengelolaan hutan, berkeadilan, keterbukaan, demokratis, partisipatif dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan berkelompok, maka luasan hutan tanaman yang dikelola bersama
18
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Dari beberapa prinsip yang melandasi paradigma kehutanan sosial ini, maka aspek penguatan masyarakat lokal kiranya menjadi suatu hal yang mesti dilaksanakan. Penguatan kelembagaan masyarakat setempat ini berarti juga pengakuan terhadap keberadaan kelembagaan yang saat ini ada, dan upaya-upaya penguatannya sesuai dengan tujuan pembangunan HTR ke depan. Masyarakat setempat sebagai aktor utama, berarti juga menempatkan masyarakat pengelola sumberdaya hutan secara sejajar dengan institusi perusahaan swasta kehutanan yang menjadi mitranya.
maupun dari aspek sosialnya. Pembangunan hutan tanaman rakyat yang menjadikan masyarakat setempat sebagai aktor pengelola utama dalam kegiatan tersebut, tentunya juga memerlukan kelembagaan masyarakat setempat yang kuat. Kelembagaan masyarakat ini digerakkan oleh unsur-unsurnya, para anggotanya dan para pemimpin lokalnya. Berarti kapasitas masyarakat lokal perlu ditingkatkan dengan berbagai upaya diantaranya melalui pendekatan penyuluhan. Pendekatan penyuluhan sebagai suatu sistem pendidikan bagi para petani dimaksudkan agar mereka menjadi lebih tahu, lebih mampu dan mau melaksanakan suatu inovasi dalam rangka memperbaiki kualitas kehidupannya. Disinilah peran “agent of change” yang harus mendampingi dan memfasilitasi masyarakat setempat agar mereka memiliki pengetahuan yang memadai, memiliki sikap yang positif dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam rangka melakukan pengelolaan hutan tanaman. Dan agen perubahan tersebut bisa saja tenaga LSM sebagai pendamping, para pemimpin komunitas lokal, atau tenaga penyuluh kehutanan yang bekerja pada Dinas-dinas yang menangani kehutanan di Kabupaten. Oleh karena itu perlu diulas kembali apa sebenarnya peran penyuluh kehutanan ke depan dikaitkan dengan program HTR ini.
Kelembagaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang sustainable baik dari segi ekonomi, dari segi ekologi dan dari segi sosial memiliki beberapa ciri. Pertama, mereka memiliki aturan-aturan yang disepakati bersama dan dihormati di lingkungan masyarakat setempat itu. Aturan-aturan tersebut juga termasuk norma-norma yang tidak tertulis tetapi hidup di kalangan mereka. Mereka juga memiliki wadah atau kelompok-kelompok dengan kepemimpinan lokal yang dihormati oleh para anggotanya. Kelembagaan mereka juga berangkat dari adanya kebutuhan yang mereka rumuskan bersama. Misalnya pengelolaan sumberdaya hutan itu mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat lokal tersebut atau untuk menangkal ancaman kerusakan sumberdaya alam dari pihak luar. Dan yang tidak kalah penting, mereka memiliki otonomi tertentu dalam melakukan pengelolaan sumberdaya itu, termasuk beberapa kearifan lokal yang hidup dan membudaya.
Peran Penyuluh Kehutanan Dengan semakin pesatnya perkembangan pembangunan di dunia ketiga, dan semakin menguatnya desakan terhadap menghargai peran masyarakat dalam pembangunan, maka paradigma penyuluhan kehutanan juga akan mengalami pergeseran. Secara umum dikatakan bahwa pendekatan penyuluhan transfer teknologi dari penyuluh kepada petani harus mengalami pergeseseran ke arah pemberdayaan petani, pengorganisasian petani, pengembangan SDM dan pemecahan masalah petani.
Jadi secara umum kelembagaan lokal yang kuat mestinya meliputi adanya aspek struktur yang efektif, dan aspek prosesproses sosial di dalamnya yang berjalan secara dinamis. Kelembagaan lokal yang kuat ini telah terbukti pada beberapa tempat bisa mengelola sumberdaya alam hutan secara berkelanjutan, baik dari aspek ekonomi, dari aspek ekologi
19
sesuai dengan tantangan dan kondisi pembangunan ke depan. Oleh karena itu beberapa peran penyuluhan bisa dirumuskan untuk membantu anggota komunitas pedesaan mengorganisir dirinya, dan difokuskan menjadi empat peran yaitu sebagai berikut :
Pergeseran paradigma penyuluhan kehutanan memerlukan penyesuaian kembali peran-peran penyuluh kehutanan saat ini. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan Black (2000) yang melihat pendekatan penyuluhan kehutanan dalam empat spektrum tergantung kepada perkembangan ketrampilan dari sasaran dan perkembangan kompleksitas dari situasi/lingkungan penyuluhan. Pendekatan yang digunakan dari level yang lebih rendah yaitu : 1. 2. 3. 4.
1.
Peran pemberdayaan
Peran pemberdayaan terhadap petani sasaran merupakan pendekatan baru dari penyuluhan. Penyuluh perlu mengembangkan landasan filosofis yang baru dimana peran mereka adalah untuk membantu petani dan penduduk pedesaan mengorganisir dirinya dan mengambil tanggungjawab terhadap pertumbuhan dan pengembangannya. Makna pemberdayaan berarti menjadikan mereka mampu agar mereka mempunyai inisiatif. Bagi para penyuluh di pedesaan, memberdayakan adalah tindakan membantu komunitas untuk membentuk, mengembangkan, dan meningkatkan daya dan kemampuannya melalui kerjasama, berbagi dan bekerja bersama. Kekuatan dari pemberdayaan datang dari lepasnya energi laten yang tersembunyi dalam diri anggota komunitas dan membangun aksi kolektif untuk kesejahteraan bersama. Pemberdayaan bukan hanya sekedar mendistribusikan daya dan kekuatan dari pihak yang berpunya kepada pihak yang lemah.
ransfer teknologi (technology transfer) pemecahan masalah (problem solving) pendidikan (education) pengembangan sumberdaya manusia (human development).
Jadi dengan semakin berkembangnya keterampilan petani dan semakin kompleksnya permasalahan petani maka pendekatan yang digunakan dalam penyuluhan harus ke arah pemberdayaan petani dan kelompok tani sehingga mereka bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Chamala dan Singi (1997), penyuluhan pada masa lalu lebih menekankan kepada transfer teknologi, dimana penyuluh di pedesaan menyampaikan teknologi dari stasiun penelitian kepada para petani dengan menggunakan pendekatan individu, kelompok dan metode media massa. Kemudian penyuluhan berkembang menjadi peran sebagai pengembangan teknologi, dengan menjadi jembatan penghubung antara riset/penelitian dengan kebutuhan kelompok komunitas sasaran dan membantu memfasilitasi pengembangan teknologi yang sesuai.
2.
Peran pengorganisasian masyarakat lokal
Tenaga penyuluh di pedesaan harus belajar prinsip-prinsip pengorganisasian komunitas dan keterampilan manajemen kelompok agar supaya bisa membantu komunitas terutama golongan miskin untuk mengorganisasikan dirinya dalam pembangunan. Pemahaman tentang struktur, norma-norma, aturan dan peran dalam kelompok akan membantu pemimpin kelompok untuk merencanakan, menerapkan dan memonitor program-program.
Paradigma baru peran penyuluh kehutanan dalam pemberdayaan petani tidak terlepas dari adanya kelompok petani. Namun demikian penyuluh di lapangan kurang memiliki kapasitas dalam mengembangkan organisasi petani yang
20
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
3.
Peran pengembangan sumber daya manusia
Memang diakui dalam kurun waktu sampai saat ini telah tercapai kesadaran masyarakat dalam melakukan upayaupaya konservasi tanah, dan upayaupaya penanaman pohon pada lahanlahan mereka. Namun di satu sisi, pendekatan demikian menimbulkan efek negatif berupa ketergantungan petani terhadap penyuluh/petugas kehutanan. Persepsi negatif kadang masih muncul bahwa kedatangan petugas diharapkan membawa bantuan buat mereka. Ketergantungan inilah yang sebenarnya kontaproduktif dengan tujuan penyuluhan itu sendiri yang mestinya menciptakan kemandirian dan keberdayaan petani. Dari persoalan ini muncul beberapa indikasi dimana kelompok-kelompok yang telah dibentuk pada akhirnya tidak menuju kemandirian, tetapi tetap berada pada kondisi ketergantungan. Sebagai ilustrasi, dalam catatan Sudiana (2006), dari 583 kelompok tani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis baru terdapat 6 kelompok (1,03%) yang termasuk dalam kategori “utama” atau bisa dikatakan memiliki kemandirian tinggi. Berdasarkan penelusuran kelompok-kelompok tersebut sebetulnya ada yang telah dibentuk pada tahun 1980-an berdasarkan keperluan kegiatan proyek pada waktu itu. Dengan demikian kemandirian kelompok yang dibentuk oleh penyuluh yang menggunakan paradigma lama tersebut cenderung kurang mendorong kepada kemandirian kelompok yang tinggi. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa peran penyuluh kehutanan dalam pengorganisasian masyarakat petani belum menunjukkan hasil yang efektif setelah lebih dari 25 tahun pelaksanaan penyuluhan kehutanan.
Pendekatan pengembangan sumber daya manusia akan memberdayakan masyarakat sasaran dan memberikan makna baru atas peran-peran yang lain. Pengembangan kapasitas teknis harus dikombinasikan dengan kapasitas manajerial. Filosofi dasar dari pengembangan kapasitas manusia adalah untuk mendorong komunitas pedesaan untuk memahami gaya individu dan gaya kelompoknya dalam mengorganisir dirinya untuk meningkatkan keterampilan dalam perencanaan, penerapan dan monitoring. 4.
Peran pemecahan masalah dan pendidikan
Pemecahan masalah adalah peran yang penting, namun peran ini sedang berubah dari menyediakan pemecahan masalah teknis menjadi peran untuk memberdayakan organisasi petani dalam memecahkan permasalahan mereka sendiri. Hal ini bisa dicapai dengan membantu mereka untuk mengenali permasalahan dan menemukan jawaban yang tepat dengan melakukan kombinasi antara pengetahuan lokal dengan teknologi yang ada dengan memanfaatkan sumber daya mereka secara tepat. Disamping itu, terdapat pergeseran dalam peran pendidikan dari pendekatan kuliah, seminar, dan pelatihan menjadi belajar sambil bekerja dan mendorong petani dan organisasi petani untuk melakukan uji coba dan melaksanakan proses belajar sambil bekerja.
Pendekatan penyuluhan kehutanan pada awalnya dilakukan untuk menyampaikan paket-paket teknologi dalam bidang kehutanan, misalnya dalam rangka konservasi tanah dan air. Penyuluhan kehutanan diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang berbasis keproyekan. Pembentukan kelompokkelompok tani juga dilakukan dalam kerangka kegiatan keproyekan tersebut.
Dalam rangka penguatan kapasitas masyarakat lokal, penguatan peran penyuluh kehutanan dalam pengorganisasian masyarakat lokal sangat diperlukan. Penyuluh kehutanan akan bisa menjalankan tugas-tugasnya dalam pengorganisasian masyarakat dengan baik apabila memiliki bekal kemampuan yang memadai.
21
Peran baru ini membutuhkan perubahan landasan berpikir yang cukup mendasar. Karena masyarakat setempat yang menjadi subyek diperlukan kesejajaran posisi dalam proses belajar mereka bersama penyuluh. Perlu reorientasi pemikiran dari penyuluh kehutanan yang mengajari petani menjadi penyuluh yang belajar bersama petani. Dari penyuluh kehutanan yang menyampaikan informasi inovasi kepada petani, menjadi komunikasi yang dialogis dengan petani untuk mencapai kesepahaman bersama. Dari penyuluh kehutanan yang membawa “inovasi” teknologi dari luar, menjadi penyuluh kehutanan yang memadukan inovasi tersebut dengan pengetahuan kearifan lokal untuk membangun hutan tanaman. Demikian seterusnya, maka diperlukan strategi bagaimana meningkatkan kemampuan penyuluh kehutanan yang berada di lapangan ini agar bisa menjalankan perannya dalam mengorganisasikan masyarakat setempat.
Kehutanan di provinsi dan Departemen Kehutanan sendiri. Kerangka pemikiran yang dibangun berawal dari masyarakat lokal yang akan menjadi sasaran program hutan tanaman rakyat tersebut. Masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan tersebut diasumsikan masih memerlukan penguatan kelembagaan setempat dalam rangka melaksanakan program hutan tanaman rakyat. Masih diperlukan pihak dari luar yang memfasilitasi untuk penyiapan aspek sosialnya. Diantaranya adalah bagaimana menyatukan kebutuhan-kebutuhan untuk berkelompok, membangun kelompok, membangun proses-proses dalam menetapkan aturan-aturan bersama, memperkuat kepemimpinan kelompok, dan membangun komunikasi bersama para anggotanya. Penyuluh kehutanan sebagai agen dari luar yang akan melakukan fungsi fasilitasi penguatan lembaga masyarakat setempat masih memiliki kemampuan yang terbatas dalam hal pengorganisasian petani. Diperlukan perubahan cara berpikir dan sikap baru yang menghargai petani dalam posisi yang sejajar dalam proses belajar bersama. Diperlukan kemampuan baru bagi penyuluh untuk menjalankan peran ini. Oleh karena itu penulis mencoba mengusulkan beberapa strategi yang diperlukan agar penguatan kelembagaan masyarakat setempat ini bisa dilakukan secara optimal yaitu :
Strategi Yang Diperlukan Strategi apa yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat setempat dalam kerangka pembangunan hutan tanaman rakyat?. Strategi yang diajukan tidak terlepas dari kedua proposisi yang kami ajukan di muka. Kedua proposisi tersebut yaitu: “kelembagaan petani yang kuat merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyiapan program hutan tanaman rakyat (HTR). Sedangkan kelembagaan petani yang kuat tersebut sangat dipengaruhi oleh efektivitas peran penyuluh kehutanan dalam penguatan kelembagaan petani”
1.
Oleh karena itu, dengan melihat kedudukan para penyuluh kehutanan pada dinas-dinas yang menangani kehutanan di kabupaten, maka strategi ini terutama ditujukan bagi Dinas Kehutanan tersebut terhadap penyuluh kehutanan di lingkungannya. Namun demikian, strategi ini juga tidak terlepas dari fungsi Dinas
22
Pengembangan diri penyuluh kehutanan melalui pelatihan tentang pengorganisasian dan pemberdayaan petani. Pelatihan ini paling tidak memuat prinsip-prinsip pengorganisasian komunitas, pengembangan kepemimpinan lokal, prinsip-prinsip pemberdayaan, dan dinamika kelompok. Metode pembelajarannya selain diskusi dan tatap muka di kelas, perlu dilengkapi dengan belajar dari pengalaman
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
2.
3.
kelompok masyarakat lokal yang berhasil dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan. Belajar dari pengalaman mereka-mereka yang sudah berhasil, akan meningkatkan kemampuan tentang apa yang telah dipelajari. Mendorong kemandirian belajar penyuluh kehutanan. Mendorong kemandirian belajar penyuluh bisa dilakukan dengan cara menyediakan akses yang memadai terhadap berbagai sumber informasi. Pihak Dinas perlu menyediakan berbagai informasi tentang kehutanan, baik dari hasil-hasil penelitian, hasil-hasil evaluasi program, hasil-hasil seminar/lokakarya dan informasi lainnya bagi para penyuluh kehutanan. Kemudian bisa diciptakan wahana untuk saling belajar antar sesama penyuluh dengan fasilitasi Dinas kehutanan setempat. Wahana belajar ini bisa berupa pertemuan penyuluh, kunjungan kepada berbagai kelompok yang berhasil dan lain-lain. Mendorong kedinamisan belajar masyarakat lokal. Selain mendorong kemandirian balajar penyuluh, diperlukan pula dorongan agar masyarakat lokal bisa lebih mengotimalkan cara belajar mereka dari berbagai sumber dan pengalaman masyarkat lainnya. Diperlukan fasilitasi dari pihak Dinas atau pihak lainnya dalam hal ini. Belajar dari sesama petani akan keberhasilan yang telah diraih, merupakan fenomena yang bisa dikembangkan. Karena pada hakekatnya sebagai orang dewasa, belajar dari pengalaman dan belajar dengan melihat dan mengalami secara langsung merupakan prinsip yang patut terus dipegang.
pemasaran hasil saja. Termasuk pula dalam pembangunan hutan tanaman rakyat, selain aspek teknis kehutanan tersebut, barangkali aspek sosial berupa kelembagaan masyarakat setempat inilah yang harus dipersiapkan dengan matang. Jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan menjadi tidak efektif pelaksanaannya di lapangan karena kesalahan dalam membuat asumsi. Kelembagaan masyarakat dianggap sudah kuat dan sudah siap melaksanakan berbagai prosedur yang harus ditempuh dalam perijinan, dalam membuat rencana pengelolaan dan seterusnya dengan tanpa dilakukan pendampingan secara memadai. Daftar Bacaan APHI. 2007. Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman : Peran hutan tanaman rakyat, masalah dan rekomendasi. www.aphi-net.com Awang, San Afri. 2002. Social Forestry, belajar dari lapangan. Warta FKKM Vol. 5 No. 9 September 2002. Black, AW. 2000. Extension Theory and Practice : a review. Australian Journal of Experimental Agriculture 40, 493-502. Chamala, Shankariah, dan P.M. Shingi. 1997. Establishing and Strengthening Farmer Organization. Di dalam : Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko (Editor). Improving Agricultural Extension : A reference manual. Rome : FAO of the UN. Dephut. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Perizinan IUPHHK-HTR. Suhardjito, Didik., Aziz Khan, Wibowo A. Djatmiko, Martua T. Sirait, Santi Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Yogyakarta : FKKM Ford Foundation. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Jakarta : Bina Rena Pariwara. Sudiana, Eming. 2006. Identifikasi Kelompok Tani Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kabupaten Ciamis. . Di dalam : Prosiding Dialog Stakeholder Project PD. 271/04 Rev.3(F) Rehabilitation of Degraded Forest land Involving Local Communities In West Java Indonesia, Pangandaran 30-31 Mei 2006. Ciamis : Dinas Kehutanan. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development : An analytical sourcebook with cases. West Hardwood, Connecticut : Kumarian Press.
Strategi tersebut di atas tentu harus ditopang oleh komitmen dan dorongan dari pihak pemerintah untuk mengembangkan sisi penyuluh kehutanan dan masyarakatnya. Keberhasilan suatu program pada hakekatnya tidak hanya tergantung dari aspek teknis kehutanan, perencanaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan
__________ * Karya siswa Program S3 Penyuluhan Pembangunan IPB Bogor
23
PENUNJUKAN VERSUS PENETAPAN KAWASAN HUTAN Bentuk Kebijakan Pemantapan Kawasan Hutan Yang Tak Berujung (tanggapan Tulisan Watty Karyati) Oleh : Andi Pramaria *
Pendahuluan
acuan awal dalam penentuan trayek batas hutan untuk disepakati PTB di Kabupaten/Kota.
Salah satu prasyarat utama dalam pengelolaan hutan lestari adalah adanya kawasan hutan yang tetap dengan batasbatas permanen, yaitu lokasi, letak, luas dan batas-batas yang tetap dan pasti secara fisik di lapangan serta mempunyai kepastian hukum. Untuk menuju kepastian kawasan hutan maka dilakukan pengukuhan kawasan hutan, melalui proses yang panjang yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut merupakan kesatuan dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan dengan tujuan utama memperoleh kepastian hukum atas kawasan hutan meliputi status kawasan hutan secara yuridis dan fisik di lapangan.
Peta TGHK juga merupakan rencana tata ruang bidang kehutanan karena berisi penentuan fungsi-fungsi kawasan hutan seperti hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, taman buru, suaka margasatwa, taman wisata alam, cagar alam dan lain-lain. Munculnya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keppres Nomor 30 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, mengamanatkan kepada setiap daerah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini menyebabkan perlunya pemaduserasian antara RTRW dengan hasil-hasil tata batas/pengukuhan hutan. Jika tata batas belum selesai dilaksanakan maka acuannya adalah TGHK.
Oleh karena itu, hasil penataan batas perlu dipetakan dan dibuatkan Berita Acara Tata Batas (BATB) yang selanjutnya ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Hutan (PTB) sebagai bentuk legitimasi atas kawasan hutan dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan untuk memperoleh status yuridis. Sedangkan di lapangan perlu dilakukan pengukuran dan pemasangan pal batas serta papan-papan peringatan sebagai bentuk batas kawasan hutan secara fisik.
Pengawalan terhadap penyusunan RTRW agar sesuai dengan hasil tata batas/kemajuan pengukuhan hutan / TGHK, sudah barang tentu berlangsung alot karena memadukan ruang antar sektor pengguna lahan. Pengesahan RTRW sendiri dilakukan melalui Peraturan Daerah sehingga mempunyai kekuatan hukum. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa RTRW seringkali 'tabrakan' dengan kawasan hutan, baik hasil pengukuhan hutan maupun TGHK. Oleh karena itu, pemaduserasian antara RTRW dengan hasil tata batas/pengukuhan hutan atau TGHK sangat diperlukan.
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Peta Penunjukan Kawasan Hutan tahun 1982 yang diwujudkan sebagai peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) atau TGHK, merupakan
24
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Penataan Batas dan Pemetaan.
Penetapan
Berdasarkan TGHK disusun rencana trayek batas untuk dibahas pada PTB. Hasil pembahasan tersebut, dituangkan dalam Berita Acara Trayek Batas yang ditandatangani oleh PTB untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan tata batas.
Kegiatan penetapan kawasan hutan diajukan berdasarkan dokumen-dokumen yang sudah dibuat yaitu BATB Sementara dan BATB definitif untuk ditandatangani Menteri Kehutanan. Kawasan hutan yang sudah ditatabatas dan disahkan BATBnya selanjutnya ditetapkan oleh Menteri sebagai kawasan hutan, sehingga proses pengukuhan hutan selesai. Implikasinya adalah kawasan hutan sudah mempunyai status hukum yang kuat, kejelasan yuridis, dan batas-batas yang jelas dalam perpetaan maupun lapangan.
Penataan Batas dilaksanakan melalui dua tahap yaitu penataan batas sementara dan penataan batas definitif. a.
Penataan Batas Sementara
Kegiatan tata batas sementara dilaksanakan sesuai dengan trayek batas yang sudah disepakati dengan menggunakan alat bantu kompas dan dipasang pancang sementara. Hasil tata batas sementara tersebut diumumkan pada setiap desa yang dilewati sehingga dapat diketahui masyarakat. Jika terdapat pengakuan masyarakat terhadap kawasan yang dilakukan penataan batas sementara yang dibuktikan dengan bukti-bukti penguasaan lahan maka batas sementara tersebut akan disesuaikan kembali. Hasil tata batas sementara tersebut dilegalkan d a l a m B AT B S e m e n t a r a y a n g ditandatangani PTB. Dalam hal terdapat perubahan akan dicatat dan disesuaikan dengan mendeliniasi pada peta hasil pancang sementara. b.
Kebijakan Tak Berujung Kegiatan pengukuhan hutan, pada dasarnya sudah dilaksanakan sejak lama sebelum kemerdekaan. Pada zaman penjajahan Belanda pengukuhan kawasan hutan dilaksanakan melalui proses verbal dan pemasangan batas secara fisik di lapangan dalam bentuk gundukan batu-batu atau yang biasa dinamakan gegumuk. Pada beberapa kawasan tanda batas tersebut masih terlihat dan dihormati karena adanya pengakuan masyarakat. Hasil-hasil pengukuhan hutan dan tata batas tersebut, diakomodir dalam peta TGHK sehingga dalam proses penataan batas hanya dilakukan dalam bentuk rekonstruksi batas kawasan hutan. Penunjukan kembali kawasan hutan dan perairan pada beberapa Provinsi pada tahun 1999, yang tidak mengakomodir hasil tata batas dan pengukuhan hutan, telah mengundang kontroversi sebagai kebijakan yang tak pernah berujung. Berdasarkan telaahan penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999, paling tidak ditemukan lima masalah pokok yang sulit diselesaikan, yaitu :
Penataan Batas Definitif
Pelaksanaan tata batas definitif, dilakukan dengan melaksanakan pengukuran lapangan sesuai dengan hasil pancang batas sementara dan perubahannya dengan menggunakan alat ukur yang lebih akurat antara lain Theodolith serta memberi batas definitif dengan memasang pal batas yang permanen dalam bentuk pal beton atau kayu sesuai ukuran yang telah ditentukan. Hasil pelaksanaan tata batas definitif tersebut dibuatkan BATB dan dipetakan untuk dibahas dan ditandatangani PTB sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan kawasan hutan.
a.
b.
25
Bentuk kawasan hutan yang berbeda dengan hasil tata batas/pengukuhan hutan, yang berimplikasi pada luasan dan batas yang berbeda; Posisi kawasan hutan yang berbeda dengan hasil tata batas/pengukuhan
c.
d.
e.
hutan, berimplikasi pada letak dan fungsi kawasan hutan; Penunjukan kawasan hutan yang sudah dilepaskan melalui prosedur tukar menukar kawasan hutan serta tetap menunjuk areal pengganti sebagai kawasan hutan, berimplikasi pada ketidakpastian usaha dan penggunaan lahan; Penghapusan kawasan hutan yang sudah ditatabatas/dikukuhkan, yaitu kawasan hutan yang sudah ditatabatas dan atau dikukuhkan tidak diakomodir dalam penunjukan kawasan hutan dan perairan; Penunjukan kawasan hutan baru yang secara faktual merupakan pemukiman penduduk, perkebunan, sawah, dan lain-lain, memperlihatkan bahwa penunjukan kawasan hutan dan perairan dilakukan tanpa memperhatikan realitas kondisi yang ada dan bersifat sepihak.
Menteri Kehutanan menyangkut kawasan hutan Provinsi. Hasil telaahan hukum menyatakan bahwa dalam hal SK yang sama menunjuk obyek yang sama maka SK terbaru akan melemahkan SK yang lama. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hasil-hasil tata batas/pengukuhan hutan sebelum penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999 menjadi tidak berarti karena dilemahkan oleh penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999. Pengukuhan hutan yang bertujuan untuk memberi kepastian hukum atas kawasan hutan (pasal 14 ayat 2, UU 41/99) tidak akan berujung dan sebaliknya semakin tidak memberi kepastian kawasan. Penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999, sebagai bagian proses pengukuhan hutan, perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW (pasal 15, UU 41/99) atau perlu dilakukan pengukuhan ulang.
Kelima masalah pokok tersebut, pada dasarnya disebabkan oleh penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999 yang tidak mengakomodir hasil-hasil tata batas/pengukuhan hutan yang sudah berlangsung.
Penutup Penunjukan kawasan hutan, semestinya mengakomodir hasil-hasil tata batas/pengukuhan hutan yang sudah berlangsung. Adanya perbedaan penunjukan dan proses pengukuhan hutan telah berimplikasi pada tingkat operasional seperti penggunaan lahan pada kawasan hutan versi hasil tata batas/pengukuhan hutan, namun berada di luar kawasan hutan versi penunjukan. Hal ini menyebabkan terjadinya keraguan dalam bertindak karena adanya ketidakpastian kawasan hutan.
Implikasi dari adanya penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999 dalam prosedur pengukuhan hutan adalah perlunya proses pengukuhan hutan ulang karena penunjukan tahun 1999 sangat berbeda dengan hasil tata batas kawasan hutan. Pertanyaannya adalah dimana kebijakan pemantapan kawasan hutan akan berujung? Penunjukan Versus Penetapan
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah mengapa harus dilakukan penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999 yang berbeda dengan hasilhasil tata batas? Benarkah pengukuhan hutan akan memberi kepastian kawasan hutan? Masih perlukah proses pengukuhan hutan atau tata batas hutan dengan model konvensional seperti sekarang? dan sampai kapan kawasan hutan akan menjadi mantap?
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (pasal 1 angka 3, UU 41/99). Berdasarkan pengertian tersebut, maka penunjukan dan penetapan kawasan hutan mempunyai kekuatan hukum yang sama. Penunjukan kawasan hutan dan perairan tahun 1999 dan hasil tata batas/pengukuhan hutan dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada obyek yang sama. Hal ini berarti terdapat dua Surat Keputusan
__________ * Staf Dinas Kehutanan Provinsi NTB.
26
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
ORGANISASI KPH, SEPERTI APA ? (Tinjauan aspek hukum) Oleh : Ali Djajono *
LANDASAN HUKUM
Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) adalah suatu keniscayaan (tuntutan UU, tuntutan prakondisi pengelolaan, tuntutan pengelolaan yang berkelestarian), namun demikian dalam implementasinya tidaklah segampang membalik tangan.
Dikaitkan dengan organisasi pemerintahan dan organisasi KPH, terdapat beberapa peraturan perundangan yang melandasinya yaitu:
Salah satu faktor penyebabnya antara lain belum ada komitmen dan dukungan kuat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan KPH. Hal ini dimungkinkan karena adanya beda pemahaman/persepsi tentang KPH, keterbatasan dana/anggaran pembangunan, termasuk terbatasnya peraturan perundangan pendukung yang mengikat bagi pembentukan KPH. Salah satu yang menjadi titik penting dari pembangunan KPH adalah organisasi KPH. Organisasi KPH lah yang akan menyelenggarakan pengelolaan di wilayahnya.
1.
PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan,
2.
PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU,
3.
PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
4.
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,
5.
PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Pp. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Berikut diuraikan beberapa pasal terkait dalam peraturan pemerintah tersebut.
Sebagai organisasi Pemerintah maka organisasi KPH tidak bisa dilepaskan dari landasan-landasan hukum pembentukan suatu organisasi pemerintahan.
Pertama, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Pasal 32 menyatakan bahwa Pada setiap unit pengelolaan hutan dibentuk institusi pengelola.
Seperti diketahui hingga saat ini belum ada suatu penetapan organisasi KPH oleh Pemerintah (kecuali yang terjadi pada Perum Perhutani di Jawa).
Institusi pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi:
Uraian di bawah ini mencoba mempelajari aspek-aspek hukum organisasi pemerintahan dikaitkan dengan kemungkinan penetapan suatu organisasi KPH.
1. 2. 3. 4.
27
Penrencanaan Pengelolaan, Penggorganisasian, Pelaksanaan Pengelolaan, Pengendalian dan pengewasan.
Kedua, PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Terdapat beberapa pasal penting, yaitu: pasal 1, pasal 3 dan pasal 4.
tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau 3.
Pasal 1 menyatakan bahwa Badan Layanan Umum yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan P e m e r i n ta h y a n g d i b e n tu k u n tu k memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa Pe rsya ra ta n te kn i s se b a g a i ma n a dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
2.
kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU
Bentuk organisasi pemerintah daerah tersebut antara lain: Dinas Provinsi, Dinas Kabupaten, UPTD Provinsi, UPTD Kab/Kota, Lembaga Teknis Daerah.
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
2.
1.
Ketiga, PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pasal 2 ayat (1) Menyatakan bahwa Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini.
Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
1.
Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Keempat, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
Pada Lampiran AA Pembagian urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, sub bidang Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan dinyatakan bahwa:
Pengelolaan wilayah/kawasan
28
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
1.
2.
3.
Urusan Pemerintah adalah Penetapan norma, standar, prosedur dan criteria dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan. Urusan Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pelaksanaan penyusunan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan. Urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah.
tersendiri. Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Menteri menetapkan organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP. Pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa Penetapan Organisasi KPHL dan KPHP, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: 1.
2.
3.
usulan dari pemerintah provinsi, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam lintas kabupaten/kota; usulan dari pemerintah kabupaten/kota, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam kabupaten/kota; pertimbangan teknis dari pemerintah provinsi.
Pasal 8 ayat (3) Pertimbangan teknis dan usulan penetapan organisasi KPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan pada norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.
Kelima, PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Pp. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Pasal 8 ayat (6) menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan organisasi, pertimbangan teknis dan usulan penetapan organisasi KPH, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pasal 2 kepada BUMN bidang Kehutanan. Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Direksi BUMN bidang kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH.
Berdasarkan Peraturan perundangan di atas, dapat disarikan, bahwa: 1.
Pasal 4 Ayat (3) menyatakan bahwa Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh BUMN, tidak termasuk kewenangan publik.
2. 3.
Pasal 4 ayat (4) Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh BUMN bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah
4.
29
Organisasi KPH harus dibentuk untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan, Organisasi KPH adalah merupakan institusi Pemerintah, Yang berwenang membentuk organisasi KPH adalah Pemerintah (pusat), alternatif organisasi yang bisa dibentuk oleh pemerintah (pusat) adalah UPT Pusat, BLU dan BUMN.
ANALISIS Pembentukan organisasi KPH adalah menjadi kewenangan Pemerintah, sehingga sebagai organisasi pemerintah maka segala sesuatu yang terkait dengan prosedur/proses/mekanisme pembentukan organisasi KPH harus mengikuti peraturan perundangan yang terkait dengan pembentukan organisasi pemerintah. Dengan demikian karena kewenangannya ada di Pemerintah Pusat, maka alternatif organisasinya adalah: UPT Pusat, BLU dan BUMN. Tidak mungkin Dinas ataupub UPTD.
3.
Berdasarkan fakta yang ada,pertama organisasi BUMN yang telah diserahi p e n g e l o l a a n h u t a n d a n penyelenggaraannya identik dengan KPH adalah Perum Perhutani. Sedangkan BUMN kehutanan lainnya (INHUTANI I s/d V) lebih mengarah pada penyelenggaraan pemanfaatan hutan seperti swasta yang memperoleh ijin pemenfaatan hutan. Kedua bentuk BLU yang telah ada di Departemen Kehutanan adalah Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) yang tugasnya khusus menangani pembiayaan pembangunan HTR. Ketiga UPT Pusat yang menyerupai penyelenggaraan pengelolaan hutan adalah Balai Taman Nasional (baik Balai Besar setingkat Eselon I maupun yang biasa setingkat eselon III). 1.
2.
4.
jumlah orgainsasi KPH yang akan dibentuk sangat banyak serta masing-masing akan sangat bervariasi antara lokasi yang satu dengan lainnya. Besarnya tuntutan beban tugas yang sangat besar tidak cukup tertampung dalam bentuk organisasi pemerintah seperti telah diatur dalam peraturan perundangan terkait dan tidak memadai apabila hanya diatur setingkat peraturan menteri (seperti diamanatkan dalam PP 38 tahun 2007 pada sub bidang pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan PP 3 tahun 2008 pasal 8 ayat 6). Disamping itu akumulasi jumlah organisasi KPH yang sangat banyak juga sangat sulit untuk diatur melalui peraturan perundangan yang ada. Oleh karena itu diperlukan terobosan peraturan hukum lain yaitu melalui peraturan pemerintah. Penampungan organisasi KPH dalam Peraturan Pemerintah, dapat ditempuh melalui 2 cara: a.
Tuntutan terhadap penyelenggaraan KPH sangat besar, al: cerminan integrasi Pusat-provinsi-Kab/Kota, penyelenggaraan yang berdampak local-nasional-global, penyelenggaraan pengelolaan mulai dari tata hutan-penyusunan rencana pengelolaan-pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan sampai pelaksanaan monev pengelolaan hutan, demi menjamin kelestarian fungsi hutan. Seluruh kawasan hutan di Indonesia (yang kemudian dibagi dalam wilayah-wilayah KPH) akan dikelola oleh organisasi KPH, sehingga
b.
Melalui revisi PP 44 tentang Perencanaan Kehutanan, karena pengaturan KPH secara keseluruhan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga cukup rasional apabila pengaturan detail terkait dengan organisasi KPH diatur dalam PP tentang Perencanaan Kehutanan. Membuat PP tersendiri yang memuat secara lengkap mulai dari prosedur/ proses/ mekanisme pembentukan organisasi KPH, bentuk dan kriteria organisasi KPH, tugas pokok dan fungsi KPH, SDM pendukung KPH sampai ke pendanaan pembangunan KPH dan operasionalisasi pengelolaan KPH.
_________________ * Perencana Madya pada Pusat Rencana & Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanaan Departemen Kehutanan
30
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
RESTRUKTURISASI MANAGEMEN SUMBERDAYA AGRARIA HUTAN: Solusi Konflik Tenurial Hutan Atau Meminggirkan Keberadaan Masyarakat Sekitar Hutan Dan Kearifan Lokal ? Oleh : Roosganda Elizabeth * Abstrak
Abstrak
Forest management by private sector and state (HPH) in Indonesia, be at situation that very concern, because break of the rules destroyed forest. This paper aim to propose factors determining failure or efficacy [of] an public policy in forest resource management and development program. Degradation and forest damage that happened effect [of] and illegal logging, and governmental policy failure effect in forest resource management. The failure made legitimation power base by for the sake of development project, although the loss of biggest ethics as people prosperity accomplishment risk of Forest domination resource rights enforcing as mastered by state, making agraria forest function have dregs from its as requirement accomplishment local society live of effort for traditional agriculture. Community forest participate very determine failure or efficacy of public program in development policy, and represent tool to reach enableness. Enableness represent goals which will be reached, which can be existed with existence participate from community forest. The importance of looking into people forest by holistic in order to the development program target more conductive, usable so that as base to rebuild forestry world which have destroyed, and also maintain and take care of people forest and remain order to own benefit and function continueing forever and ever
Pengelolaan hutan oleh negara dan swasta (HPH) di Indonesia, berada pada situasi yang sangat memprihatinkan, karena kebablasan dan kesewenangannya memporakporandakan hutan. Tujuan makalah untuk mengemukakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik dalam program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Degradasi dan kerusakan hutan terjadi akibat penjarahan dan perambahan sebagai dampak kekeliruan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya agraria hutan. Kekeliruan tersebut dijadikan dasar legitimasi kekuasaan untuk kepentingan proyek pembangunan, walaupun hilangnya pemenuhan etika sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sebagai resikonya. Pemaksaan hak penguasaan sumberdaya hutan sebagai dikuasai oleh negara, menjadikan sumberdaya agraria hutan telah terampas dari fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal dan lahan usaha bagi pertanian tradisional. Partisipasi (peran serta) masyarakat sekitar hutan sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik dalam program pembangunan, dan merupakan alat/ bentuk untuk mencapai pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan target yang hendak dicapai, yang dapat terwujud dengan adanya partisipasi dari masyarakat sekitar hutan itu sendiri.
Keyword: revitalization, forest resource management, local wisdom, community forestry.
31
Perlunya memandang hutan rakyat secara holistik agar tujuan program pembangunan lebih dimungkinkan, sehingga dapat dipakai sebagai landasan untuk membangun kembali dunia kehutanan yang telah porak poranda, serta mempertahankan dan menjaga hutan rakyat yang sudah ada agar tetap memiliki keberlanjutan fungsi dan manfaat selamalamanya.
sumberdaya hutan sebagai dikuasai oleh negara, menjadikan sumberdaya agraria hutan telah terampas dari fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal dan lahan usaha bagi pertanian tradisional, dimana peluang mereka sangat kecil untuk mengusahakan kepastian hak atas tanah. Pihak pengambil kebijakan di bidang kehutanan mengharapkan adanya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai kelestarian dan fungsinya. Akan tetapi, persepsi dan perilaku aparat pemerintah (pihak birokrat) seringkali tidak sesuai dengan harapan dan dibutuhkan masyarakat petani di sekitar hutan, tentang hutan dan fungsinya.
Kata kunci: revitalisasi, managemen sumberdaya hutan, kearifan lokal, masyarakat sekitar hutan. Pendahuluan Pengelolaan hutan oleh negara dan swasta (HPH) di Indonesia, berada pada situasi yang sangat memprihatinkan, karena kebablasan dan kesewenangannya telah memporakporandakan hutan dan segala keberadaannya. Kerusakan hutan yang terjadi akibat penjarahan dan perambahan adalah akibat kekeliruan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya agraria hutan, yang didasarkan pada paradigma lama, yaitu: bersifat state-based forest management (pengelolaan hutan yang berbasis Negara). Paradigma yang berorientasikan produksi dan kekuasaan semata tersebut, ternyata sangat memarginalkan kepentingan masyarakat/komunitas lokal sekitar hutan, dimana mereka berperan sebagai obyek, bukan sebagai pelaku utama (subyek) pembangunan. Kekeliruan tersebut berawal dari kekurangpahaman dalam mengartikan pasal 33, ayat (2) UUD 1945 tentang penguasaan dan pemanfaatan sebesar-besarnya oleh negara atas seluruh sumberdaya alam Indonesia.
Kesenjangan ini, menurut Dove (1992), menunjukkan kegagalan di pihak para pengambil kebijakan kehutanan (dan merupakan kegagalan program pembangunan kehutanan). Karena pada dasarnya, timbulnya partisipasi sangat ditentukan oleh manfaat (insentif), untuk dapat memenuhi kepentingan masyarakat. Tanpa suatu insentif, maka partisipasi akan berubah makna dari sukarela (karena lahirnya harapan akan adanya perbaikan kehidupan), menjadi keterpaksaan. Untuk itu peran keterbukaan atau transparansi sangat dibutuhkan agar dapat menimbulkan pemberdayaan masyarakat yang optimal untuk secara antusias untuk turut berpartisipasi dalam suatu program kegiatan pembangunan karena sudah memperoleh pemahaman yang sama atas program tersebut. Makalah ini bertujuan untuk mengemukakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik dalam program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Restrukturisasi manajemen sumberdaya agraria hutan hendaknya merupakan reaktualisasi wawasan dan wacana policy maker untuk menyelenggarakan kebijakan pembangunan kehutanan yang berpihak.
Kekeliruan tersebut dijadikan dasar legitimasi kekuasaan untuk kepentingan proyek pembangunan, walaupun hilangnya pemenuhan etika sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sebagai resikonya. Pemaksaan hak penguasaan
32
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Kebijakan berpihak tersebut sebagai solusi dan pengurai (pemecah) konflik (masalah) tenurial hutan, bukannya meminggirkan kearifan lokal bahkan seakan mengabaikan keberadaan masyarakat sekitar hutan.
Mahluk hidup (manusia) agar dapat bertahan hidup, berkembang biak, dan berkelanjutan harus mendukung dan melestarikan lingkungan hidup tersebut. Masalah pertumbuhan penduduk yang berkembang pesat tentunya berpengaruh pada kegiatan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin lama semakin terbatas dan tinggi nilai ekonomisnya seperti bahan makanan, perumahan, dan tingkat kehidupan bersosialisasi itu sendiri. Demi menuju pensejahteraan masyarakat melakukan pengeksploitasian sumber daya alam yang ada, sehingga penyesuaian oleh alam agar sesuai atau mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia (alam diadjustment) yang seperti tiada habisnya.
Degradasi Hutan, Gundul dan Erosi : Potret Kegagalan Managemen Sumberdaya Agraria Hutan Degradasi hutan, yang umumnya dipicu oleh tindakan kesewenangan suatu pihak, yang hanya memikirkan keuntungan p r i b a d i . P e m b a l a k a n h u ta n y a n g merajalela telah mengakibatkan terjadinya berbagai bencara alam, banjir, erosi, pendangkalan sungai, kekeringan yang parah, anomali iklim dan lonjakan suhu global karena hutan sebagai buffer alamiah telah gundul, dan berbagai bencana lainnya.
Industri HPH yang memperoleh legitimasi dalam kebijakan pemerintah yang berpijak pada pengembangan investasi untuk pembangunan yang besarannya mempengaruhi jumlah sumber energi yang dibutuhkan, sehingga tingginya nilai kontrak mempengaruhi luasnya hutan yang akan digarap, namun secara sengaja atau kasat mata sepertinya mengesampingkan kewajiban untuk melasanakan penanaman kembali (reboisasi). Terjadilah penebangan hutan secara besar-besaran. Kenyataan tersebut juga ditemukan pada suku asli pedalaman atau sekitar hutan yang yang sumber hidupnya dari hutan (pedalaman) seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, semakin dipicu untuk mengikuti kondisi ini, di samping merasa semakin sulitnya mencari sumber lain untuk kehidupan sementara mereka bermukim di lingkungan hutan tersebut.
Beberapa faktor penyebab kerusakan hutan misalnya (dalam konteks semena-mena/liar) perluasan lahan pertanian dan peternakan, kebakaran hutan dan pembakaran dengan sengaja (slash and burn agriculture system), perluasan pemukiman, industri HPH (merupakan faktor utama), di samping peran pemicu seperti perkembangan populasi dan teknologi, kemiskinan dan gaya hidup, pudarnya adat, dan sebagainya. Peran manusia di alam ini (ekosistim) relatif kecil, di mana terdapat banyaknya perubahan-perubahan ekosistim adalah di luar keterlibatan manusia, namun bisa menjadi sumber masalah karena sikap/nilai antroposentrisnya. (manusia menganggap dirinya sebagai mahluk yang paling sempurna, yang selalu menginginkan yang terbaik bagi dirinya sendiri).
Sangat disayangkan karena justru hal tersebut sering menjadi kambing hitam pihak terkait untuk menutupi kesewenangan tindakan para pengusaha HPH, yang diduga sebagai promotor yang memprakarsai penduduk agar melakukan penebangan liar dengan iming-iming bayaran (harga) hasil perolehan yang tinggi.
Nilai antroposentris manusia merupakan salah satu nilai inti yang harus diubah, disamping nilai inti lainnya yaitu kontemposentris, dimana manusia yang lebih mementingkan keadaan masa kini saja (kontemporer) dibanding masa depan.
33
Walhasil, kerugian yang diderita negara sangat besar yang semakin meningkat nilainya setiap tahun (nominal terakhir Rp. 30,4 triliyun setiap tahun, dari pajak saja, belum biaya dan korban karena bencana yang timbul akibat hutan yang gundul tersebut).
mereka, disertai ancaman hukuman yang serius dan bukan hanya sebagai gertakan semata dan yang paling penting adalah menjaga kekonsistenan pelaksanaan peraturan tersebut. Pembahasan dan deskripsi tersebut hendaknya mernjadi latar belakang para policy maker dalam menyusun dan membuat serta pengambil suatu kebijakan pemerintah dengan selalu mengantisipasi dampak yang bisa saja timbul di kemudian hari. Penyempurnaan cara atau pola pikir bukan untuk tujuan segolongan/sepihak belaka, melainkan untuk tujuan kebersamaan/semua golongan dan bisa terjaga kelestarian lingkungan keberadaannya.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut membuktikan kebenaran fakta tentang beragamnya bencana alam yang timbul akibat dari penebangan hutan membangkitkan semangat (arousal) yang memang terbersit dari kalangan pemerhati serta peduli akan alam dan lingkungan hidup seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Green Ecology, Pemantau Korupsi Indonesia (ICW) dan sebagainya. Kebangkitan semangat (arousal) atas keprihatian terhadap kerusakan hutan yang sudah pudar tersebut, dilakukan dengan mendesak pemerintah untuk tetap mengeluarkan undang-undang tentang pemberantasan praktik penebangan kayu secara liar (illegal logging), agar memperkuat koordinasi aparat penegak hukum membongkar dan menjerat secara hukum para sindikat mafia kayu dan jaringannya sampai tuntas. Kesemuanya ini mungkin dilakukan dengan dilatar belakangi environmental stress (dimana kedudukan lingkungan sebagai stressor) yang terjadi seperti makin rutin dan maraknya bencana alam, kacaunya musim dan iklim, temperatur udara yang tidak stabil, timbul dan mengepideminya berbagai jenis penyakit dan lain sebagainya, yang dapat dianggap sebagai tanda-tanda (alarm reaction) yang dapat men-stress keadaan/ kejadian selanjutnya.
Kegagalan Managemen Sumberdaya Agraria Hutan : Meminggirkan Kearifan Lokal dan Keberadaan Masyarakat Sekitar Hutan Dominasi dan penetrasi pemerintah terhadap hutan selama ini, dinilai kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat sekitar hutan, yang secara sistematis, justru meminggirkan kearifan lokal dan mengabaikan keberadaan mereka. Pengelolaan dan penguasaan hutan hanya untuk kepentingan modal dan pertumbuhan ekonomi global, dan bukan untuk kepentingan rakyat setempat. Kelalaian akibat keegoisan pemerintah tersebut mengakibatkan terkikisnya pengetahuan lokal (local knowledge) dan kearifan tradisional. Menyikapi hal tersebut, berbagai upaya dilakukan para aktifis (NGO) dan pemerhati lingkungan untuk menemukan pola pengelolaan sumberdaya agraria hutan, yang bertumpu pada komunitas lokal (Sistem Hutan Kerakyatan, SHK) yang memprakarsai pembentukan KpSHK (Konsorsium pendukung SHK). ). KpSHK melalui para pendukungnya berupaya secara proaktif memperjuangkan pengakuan dan legitimasi hukum bagi masyarakat lokal sebagai pemilik sah hak pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan dan untuk memperoleh pengakuan terhadap hak adatnya.
Target pemberantasan penjarahan hutan bisa lebih maksimal hasilnya bila terjadi interaksi positif untuk meningkatkan kohesitas hubungan dan tanggungjawab kerja antar instansi yang berwenang dan terkait. Hal tersebut ditempuh dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas (good governance) dalam konsolidasi dan koordinasi di antara
34
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Beberapa hal penting dalam memahami hutan rakyat yang dapat menyebabkan kegagalan dalam pengelolaannya, seperti: 1. 2. 3.
4.
Kemampuan kelembagaan dan institusi lokal Pengelolaan berdasarkan posisi geografisnya Secara ekologis, ekosistem hutan rakyat memiliki biodiversitas tinggi dibandingkan kawasan/areal budidaya lain, serta melahirkan sebuah sistem ketahanan pangan (food security) Dari segi ekonomi, terjadi pergeseran seiring beragamnya dinamika kehidupan petani hutan, juga dipengaruhi kondisi geografis, topografis, fungsinya sebagai paruparu dunia, mampu memenuhi prakondisi sustainable economic
5.
6.
development (pembangunan ekonomi berkelanjutan); sehingga jelas terlihat mata rantai hubungannya dengan fungsi ekonomi (sebagai Richardian Rent) dan semakin hilang kaitannya dengan fungsi sosial (sebagai Sociological Rent) yang dimiliki tanah (Nasikun, 1995) Dari segi sosial, kondisi lingkungan dan tradisi masyarakat yang relatif sangat variatif dibandingkan dengan kawasan rendah (lowland) mengakibatkan keputusan sosial petaninya sangat berbeda dengan daerah lain Di tengah kekalutan dunia kehutanan Indonesia saat ini, hutan rakyat masih dapat eksis, karena merupakan salah satu supplier komoditi utama program penghijauan dan rehabilitasi DAS.
Tabel 1: Aspek dan Kriteria sebagai Prasyarat Pembangunan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.
ASPEK Subtansi
Proses Penyusunan
KRITERIA SEBAGAI PRASYARAT 1.
mampu mengakomodasikan semaksimal mungkin berbagai aspirasi yang tumbuh dari bawah
2.
memperjelas status pelaku dan objek lain yang diatur, hubungan antar pelaku dan hubungan pelaku dengan sumberdaya hutan atau objek lainnya yang diatur
3.
dapat memberikan bentuk-bentuk insentif ekonomi, sehingga tercipta self interest, untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran, terutama dalam peningkatan, kapasitas, kapabilitas dan adaptability.
4.
mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan unsur-unsur ketidakpastian
5.
tidak diskriminatif
6.
tidak multi-interpretatif
7.
tidak mengandung unsur single perception yang sempit
1. 2.
menggunakan pendekatan bottom-up process memperhatikan perbedaan dan keragaman kondisi lapangan yang ada menerapkan asas demokrasi menerapkan asas transparansi dan partisipatif
3. 4.
Sumber: Suhardjito, D. 2000.
35
Di sisi lain, kegagalan pengelolaan hutan dengan paradigma state-based forest management, tampaknya memenuhi tiga kriteria (Garna, 1999), yaitu: 1. 2. 3.
2.
3.
Proses pembuatan kebijakan publik yang sepihak partisipasi masyarakat yang kurang dilibatkan keikutsertaannya menimbulkan konflik kepentingan, yaitu antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
4.
Secara evolutif, pengeluaran rumahtangga petani diefisienkan dan diarahkan ke aktivitas yang hemat waktu dan biaya. Sifat kedinamisan pemberdayaan sebagai faktor utama penyesuaian langkah keseimbangan pada segala perubahan yang terjadi.
Untuk tumbuhkembangnya kehutanan masyarakat di Indonesia, dibutuhkan dukungan dalam upaya mendorong pelaksanaannya, yakni dukungan kebijakan yang kondusif dan meminimumkan hal-hal yang bersifat distortif, yang mampu mengakomodasikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Perlunya upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki dengan membuka atau menciptakan aksesbilitas terhadap berbagai peluang yang menjadikannya semakin berdaya (Elizabeth, 2005). Penciptaan kebijakan kondusif meliputi: 1.
2.
3.
Dengan bentuk kebijakan kondusif tersebut, diharapkan dapat mengidentifikasikan pihak-pihak pelaku yang terlibat, hubungan antar pelaku, hubungan antar pelaku dengan kondisi sumberdaya hutan, serta perilaku sebagai perwujudan terjadinya proses belajar, sehingga kapabilitas dan adaptabilitas semua pelaku secara bertahap dapat ditingkatkan, yang beberapa aspeknya dapat dilihat dalam tabel 1.
perbaikan sistem dan mekanisme pemasaran khususnya peningkatan harga jual di tingkat petani perubahan persepsi sosial terhadap nilai kerja pertanian agar tidak lagi sebagai alternatif terakhir karena kurang terhormat dan tidak mampu mengangkat status kehidupan masyarakat selektifitas adopsi paket teknologi agar tidak memudarkan peran petani dan menghilangkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge).
Proses penyusunannya harus transparan dan partisipatif dengan berjalannya asas demokrasi serta melalui mekanisme yang bottom-up (dimulai dari bawah). Beberapa pergeseran konseptual yang diperlukan dalam perubahan paradigma kehutanan menjadi community-based forest management yang dikemukakan pada tabel 2. Partisipasi : Strategi Pemberdayaan Community Forestry, Keberpihakan menuju Lingkungan Berkualitas dan Berkelanjutanan
Dalam penciptaan kebijakan kondusif yang menunjang pemberdayaan petani terkait dengan sumber pendapatan, diperlukan beberapa upaya konkrit seperti; 1.
petani melibatkan tokoh agama dalam membangun etos kerja dan strategi hidup produktif dan hemat pemberian pelatihan/peningkatan kemampuan SDM petani agar mengarah pada unit ekonomi produktif melakukan pengkaderan generasi muda pertanian di pedesaan.
Partisipasi (peran serta) masyarakat sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik dalam program pembangunan (UU No. 41/1999, tentang Kehutanan, yaitu:
melibatkan kembali peran tokoh informal dalam kegiatan penggalangan sosial ekonomi SDM
36
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Tabel 2. Pergeseran Konseptual yang Diperlukan dalam Perubahan Paradigma Kehutanan No.
Menuju
Dari
A
SIKAP dan ORIENTASI
1.
Pengendalian
Dukungan/fasilitas
2.
Penerima manfaat
Mitra
3.
Pengguna
Pengelola
4.
Pembuatan keputusan unilateral
Partisipatif
5.
Orientasi penerimaan
Orientasi sumberdaya
6.
Keuntungan nasional
Orientasi keadilan lokal
7.
Diarahkan oleh rencana
Proses belajar/evolusi
B
INSTITUSIONAL dan ADMINISTRATIF
1.
Sentralisasi
Desentralisasi
2.
Manajemen (perencanaan,
Kemitraan
pelaksanaan dan monitoring) oleh pemerintah 3.
Top down
Partisipatif/negosiatif
4.
Orientasi target
Orientasi proses
5.
Anggaran kaku untuk rencana besar
Anggaran fleksibel dengan rencana mikro
6.
Aturan aturan untuk menghukum
Penyelesaian konflik
1.
Kaku
Fleksibel
2.
Tujuan tunggal
Tujuan ganda/beragam
3.
Keseragaman
Keanekaragaman
4.
Produk Tunggal
Produk beragam
5.
Menu manajemen yang tetap dengan
Beragam pilihan aturan silvikultur
aturan silvikultur tunggal
untuk spesifikasi lokasi
6.
Tanaman
Regenerasi alam
7.
Tenaga kerja/buruh/pengumpul
Manager/pelaksana/pemroses/ pemasar
Sumber: Campbell, 1997.
37
1.
2.
pada pasal (2) : penyelenggaraan kehutanan berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan pada pasal (3), huruf (d): penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan kebersamaan sosial ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.
upaya mewujudkan kemandirian yang transparan dan akuntabel antara komponen pemerintah, masyarakat, dan swasta, yang dilandasi aturan kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1. 2. 3.
Partisipatif dimaksudkan agar dapat menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat petani di sekitar hutan. Selain itu, makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan pertanian dan kehutanan di sekitar hutan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat petani sekitar hutan dalam penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dalam Bab X, secara khusus tertuang tentang peran serta masyarakat, yaitu: pada pasal 68, pasal 69, dan pasal 70; mengandung beberapa kriteria kebijakan, seperti: peran masyarakat, yang diposisikan sebagai pelaku utama/subyek pembangunan: 1.
2.
3.
partisipatif tranparansi akuntabilitas.
tranparansi/keterbukaan, dengan mengingat bahwa keterbukaan dapat menimbulkan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan pemahaman yang sama atas program pembangunan, yang dapat menimbulkan antusianisme masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan manfaat atau insentif yang akan mereka peroleh, akan menimbulkan partisipasinya terhadap program pembangunan tersebut.
Partisipasi dan pemberdayaan petani miskin sekitar hutan merupakan dua aspek/fokus utama yang selalu dikaitkan proses pembangunan pertanian dan kehutanan. Pemberdayaan merupakan target yang hendak dicapai, sedangkan partisipasi petani sekitar hutan adalah bentuk/alat mencapai target program pembangunan tersebut.
Makna sederhana dari adalah hak setiap orang untuk dapat ikut serta terlibat atau dilibatkan dalam segala proses pembangunan, melibatkan seluas-luasnya stake holder yang ada dalam setiap kebijakan publik, tidak sebatas lembaga formal semata.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan upaya menumbuhkan partisipasi berbagai pihak terkait, terutama pihak yang hendak diberdayakan, yang memungkinkan suatu potensi dapat berkembang dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran (arousal) akan potensi yang dimiliki (Elizabeth, 2007).
Partisipasi dapat dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi mencerminkan
38
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Di samping itu, diperlukan berbagai aspek lain: 1.
2.
3.
keberdayaan dalam memegang amanat dan tanggungjawab menjaga dan mengembangkan fungsi hutan sebagai sumberdaya kehidupan yang berkelanjutan. Beberapa kriteria pembangunan yang dapat menggerakkan partisipasi masyarakat adalah:
mengurangi/menghilangkan intervensi atas desa sekitar hutan terhadap struktur dan norma sosial petani dan usaha tani meningkatkan ketrampilan petani sekitar hutan agar dapat memperluas kegiatan usaha tidak hanya produksi, namun di bidang agribisnis secara keseluruhan, dimana peran fasilitator perlu ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam mendinamisasikan kelembagaan tradisional informasi teknologi dan transfer pengetahuan antar petani perlu ditingkatkan, baik melalui percontohan maupun kerjasama antar kelembagaan petani yang ada.
1. 2. 3. 4.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1.
2.
Faktor pendukung pemberdayaan petani sekitar hutan meliputi: 1.
2.
3.
4.
5. 6.
peran masyarakat tranparansi atau keterbukaan pemahaman manfaat sebagai insentif.
kekuatan solidaritas petani sebagai konsekuensi lahir dan terbentuk dari masyarakat di sekitar hutan tersebut struktur dan aturan main merupakan produk konstruksi petani itu sendiri sehingga ditaati, dihargai, dan dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat petani maupun komunitasnya bersifat informal dengan struktur sederhana dan arah yang adil dan bukan persaingan persepsi yang baik dari petani maupun buruh tani terhadap kedudukan dan peran usahatani partisipasi para petani yang tinggi memiliki kemampuan beradaptasi terhadap: agro-ekosistem setempat, mekanisme pembangunan yang diterapkan, maupun dinamikanya dalam mensiasati kemungkinan eksploitasi oleh petani lapisan atas.
3.
4.
Pemberdayaan petani sekitar hutan merupakan proses yang menghasilkan keberdayaan mereka. Keberdayaan bukan hanya memperoleh manfaat sebesar-besarnya, namun juga
39
Degradasi hutan, yang umumnya dipicu oleh tindakan kesewenangan suatu pihak, yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Paradigma state-based forest management, diduga menjadi salah satu penyebab kegagalan pelaksanaan pembangunan kehutanan, sehingga diperlukan reorientasi melalui paradigma community-based forest management, demi terwujudnya kehidupan masyarakat/petani sekitar hutan yang berkualitas dan berkelanjutan. Partisipasi (peran serta) masyarakat sekitar hutan sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan publik dalam program pembangunan, dan merupakan alat/bentuk untuk mencapai pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan target yang hendak dicapai, yang dapat terwujud dengan adanya partisipasi dari masyarakat sekitar hutan itu sendiri. Perlunya memandang hutan rakyat secara holistik agar tujuan program pembangunan lebih dimungkinkan, sehingga dapat dipakai sebagai landasan untuk membangun kembali dunia kehutanan yang telah porak poranda, serta mempertahankan dan menjaga hutan rakyat yang sudah ada agar tetap memiliki keberlanjutan fungsi dan manfaat selama-lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Keberpihakan Masyarakat Petani di Pedesaan yang Terpinggirkan terkait Konsep Ekonomi Kerakyatan. Forum Agro-Ekonomi (FAE) Vol. 26. Juli. 2007. PSE-KP. Bogor.
Arief, S. 1997. Kebijakan Pertanahan dan Pemerintahan Orde Baru: Telaah Ekonomi Politik. (Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat Dalam Globalisasi). CPSM dan Zaman Wacana Mulia (hal.251). Bandung.
Garna, J. K. 1999. Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia. Primaco Akademi. Bandung.
Campbell. 1997, dalam D. Suhardjito. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta.
Heydir, L., dkk (ed.). 1999. Pengakuan Hak-Hak Masyarakat untuk Pengembangan Community Forestry Abad 21. Aditya Media. Yogyakarta.
Dove, M. R. 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Studi Kasus dari Kalimantan. UGM. Press.Yogyakarta.
Nasikun. 1995. Perkembangan konflik Pertanahan di Indonesia dalam Era Pembangunan. Forum LSM-LPSM DIY. Yogyakarta. Nasoetion, L.I. 1999. Pendekatan Agropolitan dalam Rangka Penerapan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. “Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Perdesaan”, PWD-PPs, IPB Bogor, 5 Desember 1999.
Elizabeth, R. 2005a. Potret Dialektika Persoalan Tenurial Kekayaan Agraria Hutan di Indonesia. Kumpulan Tulisan Program SPD 2004. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Elizabeth. 2005b. PHBM: Inisiatif dari Atas untuk Menjawab Konflik Tenurial di Jawa? Kumpulan Makalah Mahasiswa SPD Program S2. Angkatan 2004. IPB Press. Bogor.
__________
Elizabeth, R. 2007. Fenomena Sosiologis Metamorphosis Petani: ke Arah
* Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161
[email protected]
40
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
SISTEM PERLINDUNGAN HUTAN BERPUSAT PADA MASYARAKAT Oleh : Sadarudin * ABSTRAK
pemahaman tentang resiko kerusakan hutan, pemantauan dan perlindungan hutan dari ancaman kerusakan, penyebarluasan informasi dan komunikasi serrta kemampuan penanggulangan terhadap ancaman kerusakan dan kebakaran hutan.
Paper ini bertujuan menyajikan usulan yang sederhana tentang unsurunsur dasar, upaya dan praktek yang baik, berkaitan dengan sistem perlindungan hutan yang efektif. Paper ini dimaksudkan sebagai acuan atau referensi non teknis dan tidak ditujukan bagaimana cara mendisain sistem perlindungan hutan secara lengkap.
Untuk memudahkan penggunaan dan pemanfatannya disusun daftar tindakan untuk masing-masing dari keempat unsur perlindungan hutan disamping daftar tindakan tambahan yaitu permasalahan penegakan hukum , tata kelolah pemerintahan yang baik dan susunan kelembagaan, karena masalah ini merupakan sentral bagi keberlanjutan dan keperpaduan sistem perlindungan hutan. Setiap daftar tindakan dikelompokkan dalam tema-tema utama dan apabila diikuti akan memberikan dasar yang kuat tentang bagaimana membangun atau menilai sebuah sistem perlindungan hutan .
Paper ini dibagi dalam bagian-bagian yang saling terkait yang harus dibaca secara berurutan. Bagian I berisi informasi tentang latar belakang dan permasalahan yang krusial terkait dengan perlindungan hutan. Bagian II berisi sejumlah elemen yang berisi daftar tindakan dan inisiasi yang bisa dikatakan sebagai daftar periksa praktis yang harus dipertimbangkan pada saat mengembangkan atau mengevaluasi system perlindungan hutan. Bagian singkat yang berisi empat unsur yaitu
Pemantauan Dan Perlindungan Hutan dari Ancaman Kerusakan Hutan
Pemahaman Tentang Resiko Kerusakan Hutan Pengumpulan Data Sistimatis Dan Melaksanakan Asesmen Hutan § Apakah bahaya kerentanan dan kerusakan hutan dikenal dengan baik ? § Bagaimana pola dan tren faktor-faktor yang mempengarui kerentanan dan kerusakan hutan § Apakah data dan peta kerusakan dan kerentanan hutan tersedia secara luas?
Penyebarluasan Informasi dan Komunikasi Komunikasi Informasi Berkaitan dengan Ancaman Kerentanan dan Kerusakan Hutan. § Apakah informasi yang dikomunikasikan bisa menjangkau semua lapisan masyarakat? § Apakah informasi yang dikomunikasikan bisa dimengerti ? § Apakah informasi yang dikomunikasikan jelas dan berguna
Membangun Pemantauan dan Perlindungan Hutan § Apakah parameter yang dipantau sudah benar ? § Apakah ada landasan ilmiah yang kuat dalam membuat prediksi tentang kerentanan dan kerusakan hutan ? § Mungkinkah membuat peringatan yang akurat dan pencegahan yang tepat tentang bahaya dan ancaman kerentanan dan kerusakan hutan. Kemampuan Penanggulangan Terhadap Ancaman Kebakaran dan Perusakan Hutan. Pengumpulan Data Sistimatis Dan Melaksanakan Asesmen Hutan § Apakah rencana penanggulangan selalu diperbaharui dan telah teruji ? § Apakah kecakapan dan kemampuan lokal bisa dimanfaatkan ? § Apakah setiap orang sudah siap dalam merespon kegiatan penaggulangan ?
Empat Unsur Utama Dari Sistem Perlindungan Hutan Berpusat Pada masyarakat
41
UNSUR UTAMA
hutan menciptakan suatu ekosistem hutan yang sangat rumit. Pola ekologi alami, hutan memiliki beberapa peranan antara lain melindungi berbagai jenis hewan dan tumbuhan dari kepunahan. Selain itu hutan dapat mencegah erosi tanah, menyimpan air hujan dalam bentuk air tanah, menyerap bahan-bahan pencemar udara, menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan oleh kebanyakan organisme.
Tujuan dari pengembangan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat adalah untuk memberdayakan setiap orang atau seluruh anggota masyarakat dalam melindungi dan melestarikan dari ancaman kerusakan, pengrusakan dan kebakaran hutan. Suatu sistem perlindungan hutan yang lengkap dan efektif terdiri atas empat unsur yang saling terkait, mulai dari pemahaman resiko bahaya kerusakan hutan hingga kesigapan dan kemampuan dalam menanggulangi kerusakan hutan. Sistem perlindungan hutan juga memiliki hubungan antar ikatan yang erat dan saluran komunikasi yang efektif di antara semua elemen tersebut.
Peranan hutan bagi manusia sangat besar, pada masa purba manusia mencari makanan di hutan dengan berburu binatang dan mencari buah-buahan. Sekarang manusia tetap mengambil manfaaat dari hutan meskipun bukan sebagai makanan melainkan dalam bentuk hasil hutan baik kayu maupun non kayu yang merupakan bahan baku penting bagi indusrtri sektor kehutanan dan industri lainnya. Disamping itu hutan menjadi areal berbagai kegiatan manusia seperti berkemah, berburuh atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan pariwisata. Ti n g g i n y a n i l a i e k o n o m i s e r t a meningkatnya kebutuhan manusia baik untuk tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya menyebabkan luas hutan semakin menyempit. Untuk mencegah perusakan dan penyempitan hutan para pakar lingkungan hidup dengan dukungan pemerintah dan masyarakat, menjadikan hutan alami sebagai kawasan konservasi, mengadakan peremajaan tumbuhan hutan dan sebagainya.
Fungsi, Pengetahuan dan Prinsip Pelestarian Hutan Hutan adalah kumpulan tumbuhan, pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Menurut UU pokok kehutanan, hutan diartikan sebagai lapangan yang cukup luas bertumbuhan kayu-kayuan, bambu atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya dan segala isinya baik nabati maupun hewani yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dan mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan manfaat-manfaat lainnya secara lestari. Namun kawasan hutan bisa juga didefinisikan sebagai wilayah yang berhutan maupun tidak berhutan yang telah ditetapkan untuk dijadikan hutan.
Hutan mempunyai peran sosial, ekonomi dan lingkungan yang sangat penting bagi kualitas pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan secara berkelanjutan. Hutan adalah aset nasional dan pusat penghidupan jutaan rakyat Indonesia. Masalah kehutanan menyentuh semua segmen masysrakat di hampir semua daerah termasuk masyarakat kelompok adat, kelompok agama, organisasi non pemerintah, masyarakat bisnis dan pemerintah pada semua tingkatan.
Selain tumbuhan hutan juga dipenuhi oleh berbagai jenis hewan dan mikro organisme seperti serangga, reptil, burung mamalia, bakteri dan jamur. Jenis organisme tiap hutan berbeda bergantung oleh iklim dan jenis hutannya. Interaksi antar makhluk hidup dan antar makhluk hidup dengan lingkungannya di dalam
42
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
Pemahaman tentang Resiko Kerusakan Hutan
pada masyarakat harus mampu melakukan pencegahan yang menjangkau semua lini dan sektor yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan program perlindungan dan pelestarian hutan. Pesan yang jelas dan berisi informasi sederhana namun berguna sangatlah penting dalam melakukan pencegahan yang tepat yang akan membantu menyelamatkan hutan beserta ekosistemnya. Interaksi dan kerjasama yang jelas dan fokus pada perlindungan dan pelestarian hutan termasuk pertukaran data dan informasi sangatlah berguna dan penting dalam pengambilan keputusan yang tepat yang akan membantu mencegah dan menyelamatkan hutan dari perusakan dan kebakaran hutan. Saluran komunikasi pada tingkat regional, nasional dan masyarakat di lapangan harus diidentifikasi dahulu dan pemegang kewenangan yang sesuai harus terbentuk, penggunaan berbagai saluran komunikasi sangat perlu untuk memastikan agar sebanyak mungkin orang bisa bangkit kesadarannya dan terperingatkan, di samping itu untuk menghindari kegagalan pada salah satu saluran komunikasi sekaligus untuk memperkuat pesan peringatan sehingga mampu memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam melindungi dan melestarikan hutan.
Resiko kerusakan hutan bisa muncul dari kombinasi eksploitasi hutan secara berlebihan dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan bisa terjadi sebagai akibat ulah manusia yang sembrono atau pengaruh iklim. Kajian tentang kerusakan hutan memerlukan pengumpulan dan analisis data yang sistimatis dan harus mempertimbangkan sifat yang dinamis dari bahaya kerentanan hutan yang muncul dari berbagai proses seperti pemberian dan penyimpangan ijin eksploitasi hutan, perubahan pemanfaatan lahan, penurunan kualitas hutan dan perubahan lingkungan hutan. Kajian dan peta resiko kerentanan dan kerusakan hutan membantu memotivasi orang sehingga mereka akan memprioritaskan pada kebutuhan sistem perlindungan hutan dan penyiapan panduan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan. Pemantauan Hutan dan Perlindungan Hutan dari Ancaman Kerusakan dan Kebakaran Pemantauan hutan dan perlindungan hutan dari ancaman kerusakan dan kebakaran hutan merupakan inti dari sistem. Harus ada dasar ilmiah yang kuat untuk dapat memprediksi dan meramalkan terjadinya dan meluasnya kerusakan hutan. Harus ada sistem yang mampu memantau dan beroperasi selama 24 jam. Pemantauan yang terus menerus terhadap parameter kerusakan hutan dan gejalagejala awalnya sangat penting dalam menetapkan pencegahan yang tepat, pencegahan terhadap kerusakan hutan yang berbeda-beda sebisa mungkin melalui pemanfaatan jaringan prosedural dan kelembagaan di samping komunikasi yang ada.
Kemampuan Penanggulangan Terhadap Ancaman Kebakaran dan Perusakan Hutan Kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi bahaya perusakan dan kebakaran hutan harus dibangkitkan melalui pemahaman yang benar tentang bagaimana mereka harus merespon dan bereaksi. Program pendidikan dan kesiapsiagaan memainkan peranan yang penting di sini. Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah rencana penanganan terhadap tindakan perusakan dan kebakaran hutan bisa dilaksanakan dengan tepat serta bisa dilaksanakan dengan baik dan teruji.
Penyebarluasan Informasi dan Komunikasi Sistem perlindungan hutan berpusat
43
Masyarakat harus mendapat informasi yang menyeluruh tentang pilihan-pilihan dalam melaksanakan penanggulangan kerusakan dan kebakaran hutan di samping juga bagaimana setiap orang harus bereaksi dalam partisipasinya untuk menanggulangi kerusakan hutan dan kebakaran hutan.
2. 3. 4. 5. 6.
PERMASALAHAN UTAMA 7. Ada beberapa permasalahan utama yang harus dipertimbangkan dalam merancang, mengembangkan dan menerapkan sistem perlindungan hutan yang berpusat pada masyarakat, yaitu : penegakan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik dan pengaturan kelembagaan yang efektif, pendekatan multi dimensi, keterlibatan masyarakat setempat, pertimbangan perspektif gender dan keragaman budaya.
8.
Ironisnya penegak hukum sepertinya tidak mampu menegakkan hukum dan pengadilan gagal menghukum dengan hukuman yang setimpal terhadap para pelaku kejahatan pembalakan liar yang diseret ke depan majelis hakim oleh pihak yang berwenang, akibatnya vomis majelis hakim tidak mempunyai efek jerah, tidak sedikit kasus pelaku kejahatan pembalakan liar yang diganjar dengan hukuman yang sangat ringan bahkan dibebaskan dari tuntutan hukum. Padahal tidak sedikit pakar hukum dan pakar lingkungan hidup yang berpendapat bahwa pembalakan liar bisa dikategorikan kejahatan yang luar biasa karena dampaknya pada kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan serta mengancam moral bangsa.
Penegakan Hukum Isu yang sangat penting dalam sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat adalah penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pangkal dari kerusakan hutan yang sangat luar biasa di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum yang selanjutnya bermuara pada tindakan korupsi besarbesaran yang dilakukan pada semua lini organisasi penegak hukum dan diperparah oleh tindakan para politisi yang tak bertanggung jawab yang berkolusi dengan pengusaha culas dalam membabat hutan dengan tidak mempedulikan pelestarian hutan. Praktek pembalakan liar merupakan kejahatan di sektor kehutanan yang mulai marak pada dasawarsa 1990 dan sampai sekarang masih berlangsung walaupun banyak sekali perangkat hukum yang dibuat dan diterbitkan seperti perundangan dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian hutan dan lingkungan hidup, yaitu ; 1.
dan Ekosistemnya UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan PP No. 27 Tahun 1999 PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, pencucian uang dan sebagainya. dan peraturan-peraturan lain yang sejenis yang tidak ditegakkan melalui mekanisme yudisial, seperti Keppres, Inpres, Kep. Menteri juga cukup banyak diterapkan.
Hal inilah yang menjadikan kenapa penegakan hukum menjadi elemen utama yang sangat penting dalam sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Pengaturan Kelembagaan yang Efektif Tata kelola pemerintahan yang baik dan pengaturan kelembagaan yang efektif bisa berkembang dengan baik, yang akan
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
44
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
mendukung keberhasilan pengembangan dan keberlanjutan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat. Keduanya merupakan pondasi untuk membangun, memperkuat dan memelihara elemen-elemen sistem perlindungan hutan yang telah dijelaskan di atas.
Keterlibatan Masyarakat Setempat Sistem perlindungan hutan yang berpusat pada masyarakat sangat bergantung pada partisipasi masyarakat yang berada dalam kawasan pedesaan di pinggiran hutan. Tanpa keterlibatan pemerintah daerah setempat dan masyarakat yang berada dalam kawasan pinggiran hutan, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga lain tidak akan berhasil. Pendekatan dari ”bawa ke atas” pada tingkat lokal dalam melindungi hutan melalui partisipasi aktif masyarakat setempat akan membangkitkan tanggapan yang multi dimensi terhadap masalah dan kebutuhan. Dengan demikian masyarakat setempat, kelompok sipil dan struktur tradisional bisa berperan dalam mengurangi tingkat kerusakan dan kebakaran hutan sekaligus memperkuat kemampuan lokal.
Tata kelola pemerintahan yang baik didorong oleh kerangka hukum dan peraturan yang benar dan didukung oleh komitmen politik jangka panjang serta pengaturan kelembagaan yang efektif. Tata pemerintahan yang baik dan efektif harus mendorong pengambilan keputusan dan partisipasi lokal yang selanjutnya akan didukung oleh kemampuan administrasi dan sumberdaya di tingkat provinsi maupun nasional. Komunikasi dan koordinasi vertikal dan horizontal antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan perlindungan hutan juga harus terbentuk.
Pertimbangan Perspektif Gender dan Keragaman Budaya.
Pendekatan Multi Dimensi Sedapat mungkin sistem perlindungan hutan harus memiliki kaitan dengan berbagai sektor agar mampu mengantisipasi faktor-faktor ancaman terhadap kerusakan hutan dan kebakaran hutan. Nilai ekonomis, keberlanjutan dan efisiensi bisa ditingkatkan jika sistem dan kegiatan operasional telah terbentuk dan terpelihara dalam kerangka kerja yang menyeluruh serta mempertimbangkan semua jenis faktor dan ancaman terhadap pelestarian hutan dan kebutuhan pengguna sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat. Pendekatan multi dimensi dalam perlindungan hutan diharapkan bekerja lebih baik dalam melindungi hutan serta membantu masyarakat dalam memahami dengan benar tentang resiko seperti apa yang akan dihadapi jika hutan tidak dilindungi dan mengalami kerusakan sehingga masyarakat benar-benar berusaha meningkatkan kesiapsiagaan dalam melindungi hutan dan memperbaiki pola perilaku mereka dalam memperlakukan hutan.
Dalam mengembangkan sistem perlindungan hutan berpusat pada masysrakat haruslah mengenali bahwa kelompok masyarakat yang berbeda akan memiliki pemahaman dan tradisi yang berbeda sesuai dengan budaya masingmasing, di samping itu prespektif gender dan karakteristik lain juga mempengaruhi kapasitas dalam menyiapkan secara efektif perlindungan dan pelestarian hutan dan bagaimana menyikapi terhadap tindak perilaku perusakan hutan dan kebakaran hutan. Kaum perempuan dan kaum pria seringkali memainkan peranan yang berbeda di dalam masyarakat dan mereka juga memiliki akses yang berbeda di dalam informasi yang berkaitan dengan ancaman tindak perusakan hutan dan kebakaran hutan. Informasi tentang pengaturan kelembagaan dan komunikasi perlindungan hutan harus diatur sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan setiap kelompok dalam masyarakat sehingga memudahkan
45
partisipasi mereka dalam sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat.
pengembangan dan pemeliharaan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat. Mereka harus mengerti tentang saran dan informasi yang diterima yang selanjutnya mampu membangun kesadaran publik dan mengurangi kemungkinan terjadinya tindak perusakan hutan yang lebih parah dan hilangnya sumberdaya tumpuan hidup masyarakat.
PARA PELAKU Pengembangkan dan penerapan sistem pelestarian hutan yang efektif memerlukan kontribusi dan koordinasi dari berbagai macam orang dan kelompok masyarakat yang berbeda. Daftar berikut ini memberikan penjelasan singkat tentang berbagai macam organisasi dan kelompok yang harus terlibat dalam sistem pelestarian hutan termasuk fungsi dan tanggung jawab mereka.
Pemerintah Pusat Bertanggung jawab atas kebijakan tingkat tinggi dan kerangka yang memfasilitasi perlindungan dan pelestarian hutan yang bertanggung jawab atas sistem teknis dalam rangka melindungi dan melestarikan hutan pada tingkat nasional. Pemerintah pusat harus berinteraksi dengan pemerintah negara lain pada tingkat regional maupun internasional serta lembaga-lembaga lainnya yang aktif di bidang lingkungan dan perlindungan hutan untuk menjamin bahwa perlindungan dan pelestarian hutan sudah disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat dan dunia bisnis yang aktif di bidang kehutanan. Penyediaan dukungan masyarakat yang hidup di pinggiran hutan, pemerintahan daerah dalam membangun kemampuan operasional juga merupakan fungsi yang penting.
Masyarakat Khususnya mereka yang tinggal di kawasan pedesaan yang lokasinya berada di pinggiran hutan yang sumber mata pencaharian mereka berasal dari sumberdaya hutan yang berada di sekitar mereka. Masyarakat ini adalah kelompok terpenting pada sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat. Mereka harus dilibatkan secara aktif pada semua aspek pembentukan dan pengoperasian sistem perlindungan hutan, mereka harus menyadari adanya bahaya dan dampak potensial yang dihadapi jika hutan mengalami kerusakan yang parah akibat illegal logging atau kebakaran hutan dan harus mampu mengambil tindakan untuk meminimalkan ancaman perusakan atau kebakaran hutan.
Lembaga dan Organisasi Regional Memainkan peranan dalam menyediakan pengetahuan khusus dan memberikan saran guna mendukung upaya nasional untuk mengembangkan dan mempertahankan kemampuan dalam melindungi dan melestarikan hutan selain itu lembaga ini berfungsi mendorong hubungan dengan lembaga internasional yang memfasilitasi pelaksanaan perlindungan dan pelestarian hutan yang efektif.
Pemerintah Daerah Seperti halnya masyarakat dan perorangan kelompok ini adalah titik pusat dari sistem pelestarian dan perlindungan hutan yang efektif. Mereka harus lebih diberdayakan oleh pemerintah pusat dan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian hutan dan bahaya yang akan dihadapi oleh rakyatnya jika hutan benar-benar mengalami kerusakan sehingga mereka wajib terlibat aktif dalam perencanaan,
Badan Internasional Bisa menyediakan koordinasi internasional, standarisasi dan dukungan
46
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
bagi kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan pada tingkat nasional serta menggalang pertukaran data dan pengetahuan baik itu pada tingkat bilateral maupun multilateral. Dukungan ini bisa juga berupa penyediaan informasi, nasehat, bantuan teknis dan dukungan kebijakan dan organisasi yang diperlukan untuk membantu pengembangan dan kemampuan operasional dari otoritas atau lembaga pada tingkat pusat.
Masyarakat Ilmiah dan Akademik
Keahlian mereka sangat penting dalam :
Lembaga Swadaya Masyarakat
1.
Memiliki peran penting dalam menyediakan masukan ilmiah dan teknis khususnya dalam membantu pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat.
Memainkan peranan dalam membangun kesadaran di antara orangorang, kelompok dan organisasi yang terlibat di dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan khususnya pada tingkat masyarakat, mereka juga bisa membantu menerapkan sistem perlindungan dan pelestarian hutan dan mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi segala bentuk aktifitas yang mengancam pelestarian hutan. Di samping itu mereka dapat memainkan peranan penting dalam memberi advokasi yang menjamin bahwa perlindungan dan pelestarian hutan selalu tetap menjadi agenda bagi pengambil kebijakan pada tingkat pemerintahan.
2.
3.
4.
menganalisis resiko apabila terjadi kerusakan dan kebakaran hutan yang dihadapi oleh masyarakat mendukung perancangan, pemantauan dan layanan dalam sistem perlindungan dan pelestarian hutan berpusat pada masyarakat secara ilmiah dan sistimatis mendukung pertukaran data, menterjemahkan informasi ilmiah atau teknis dalam bentuk pesan yang komprehensif memyebarluaskan kampanye perlindungan dan pelestarian hutan kepada seluruh komponen masyarakat.
Elemen 1. P e m a h a m a m Te n t a n g R e s i k o Kerusakan Hutan Dan Fungsi, Pengetahuan Dan Prinsip Pelestarian Hutan
Sektor Swasta Memiliki peranan yang luas dan penting dalam perlindungan dan pelestarian hutan terutama sektor swasta yang bergerak dalam bidang kehutanan mulai pada tingkat hulu sampai hilir dalam mengembangkan kemampuan dan kesadaran serta kebijakan korporasi dalam melindungi dan melestarikan hutan. Media mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesadaran terhadap adanya bahaya yang mengancam jika hutan belantara mengalami kerusakan kepada masyarakat umum. Sektor swasta juga sangat penting peranannya dalam membantu menyediakan layanan keahlian dalam bentuk tenaga teknis, pengetahuan atau donasi baik barang maupun uang.
Tujuan : menetapkan proses standar yang sistimatis dalam mengumpulkan, melakukan asesmen dan berbagi data, peta dan trend ancaman bahaya kerusakan dan kebakaran hutan dan strategi pencegahan. Para Aktor : Kementerian Lingkungan Hidup, Dewan Kehutanan Nasional, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam; Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan ; Badan Inventarisasi dan Tataguna Lahan ; Balitbang Kehutanan Dephut RI, Badan Planologi Kehutanan, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
47
Nasional. Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Kehutanan pada tingkat provinsi dan kabupaten; Lembaga Manajemen Hutan pada tingkat nasional, internasional dan lokal; pakar meteorologi dan hidrologi, pakar antropologi dan sosiologi, perencana pemanfaatan hutan; peneliti dan akademisi; perwakilan organisasi dan komunitas yang terlibat dalam perlindungan hutan; lembaga internasioanal seperti World Agroforestry Center, World Conservation Union, Wildlife Consevation Society, World Resources Institute, World Wild Fund For Nature dan Organisasi PBB seperti ; FAO, UNEP, UNDP, UNESCO.
g.
Tindakan : 1.
Penetapan Susunan Organisasi
a.
identifikasi lembaga utama pada pemerintahan yang terlibat dalam asesmen ancaman kerusakan dan kebakaran hutan dan diperlukan klarifikasi terhadap peranan mereka (misalnya; lembaga yang bertanggung jawab terhadap data kerusakan hutan, perencanaan pemanfaatan hutan dsb.) tanggung jawab untuk koordinasi dan identifikasi terhadap ancaman kerusakan hutan, asesmen ancaman dan resiko diserahkan ke salah satu organisasi nasional kebijakan pemerintah memberi mandat dalam menyiapkan peta ancaman dan resiko kerusakan hutan dan bahaya kebakaran hutan kepada semua komponen masyarakat yang terlibat langsung di lapangan mengembangkan standar nasional dalam pengumpulan, penggunaan bersama asesmen data dan ancaman kerusakan hutan dan kebakaran hutan. Juga melakukan standardisasi dengan negara-negara tetangga mengembangkan proses dan mengkaji keakuratan data dan informasi mengembangkan strategi yang mendorong peran aktif masyarakat
b.
c.
d.
e.
f.
2.
Mengidentifikasi Kondisi Alam
a.
menganalisis karakteristik alam (misalnya; intensitas kebakaran hutan pada musim kering, frekuensi dan peluang) dan mengevaluasi data historis mengembangkan peta kerentanan hutan dan ancaman kerusakan, kebakaran hutan, mengidentifikasi wilayah geografis dan masyarakat yang bisa terpengaruh oleh ancaman kerusakan dan kebakaran hutan mengembangkan peta ancaman kebakaran hutan terpadu dalam melakukan asesmen terhadap interaksi antara berbagai ancaman.
b.
c.
3.
Menganalisis Perilaku Masyarakat
a.
melakukan asesmen perilaku masyarakat untuk semua ancaman kerusakan hutan dan kebakaran hutan mempertimbangkan sumber data historis dan potensi ancaman kerusakan hutan dan kebakaran hutan di masa mendatang dalam asesmen perilaku mempertimbangkan berbagai faktor seperti gender, ketidakmampuan atau kecacatan, akses ke infrastruktur, diversitas ekonomi dan sensitivitas lingkungan. mendokumentasikan dan memetakan perilaku dan kebiasaan masyarakat (misalnya mengidentifikasi dan memetakan penduduk atau masyarakat di kawasan pinggiran hutan.
b.
c.
d.
48
dalam menanggulangi ancaman kerusakan dan kebakaran hutan setempat menetapkan proses untuk analisa dan memutakhirkan data ancaman setiap tahun, termasuk informasi tentang segala bentuk ancaman kerusakan dan bahaya kebakaran hutan yang baru muncul.
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
4.
Melakukan Asesmen Terhadap Ancaman
a.
melakukan asesmen terhadap interaksi ancaman dalam menentukan langkah solusinya bagi setiap wilayah atau masysrakat konsultasi dengan seluruh komponen masyarakat agar informasi ancaman selalu konprehensif dan mencakup pengetahuan historis termasuk di dalamnya tradisi masyarakat setempat, informasi lokal dan data pada tingkat nasional mengidentifikasi dan mengevaluasi kegiatan yang menimbulkan ancaman mengintegrasikan hasil asesmen ancaman ke dalam rencana manajemen perlindungan hutan pada tingkat lokal dan pencegahan kerusakan hutan.
b.
c.
d.
5.
Penyimpanan Informasi dan Aksesnya
a.
pembentukan ”perpustakaan” pusat data base untuk menyimpan semua informasi ancaman tindak perusakan hutan dan kebakaran hutan ketersediaan data ancaman perusakan hutan dan kebakaran hutan bagi pemerintah, masyarakat umum dan masyasrakat internasional (jika perlu) Pengembangan rencana pemeliharaan untuk menjaga agar data tetap mutakhir dan selalu diperbaharui.
b.
c.
pusat-pusat pemantauan hutan dan pemberi peringatan khusus; Dinas Kehutanan pada tingkat provinsi dan kabupaten ; Polri, Polda, Polres dan Polsek setempat; Universitas-universitas dan lembaga penelitian; korporasi yang bergerak di sektor kehutanan; pakar manajemen hutan; LSM di bidang lingkungan dan kehutanan; pusat-pusat teknis nasional seperti Rencana Aksi Strategis; lembaga internasional yang bergerak di bidang advokasi pengawasan dan pelestarian hutan dan sumberdaya hayati seperti yang disebutkan dalam para aktor pada elemen 1. Tindakan 1.
Penetapan Kelembagaan
a.
menetapkan proses standar serta peran dan tanggung jawab dari semua organisasi yang membuat dan melakukan pemantauan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku membentuk protokol perjanjian antar lembaga untuk memastikan konsistensi pemantauan, saluran komunikasi, pembagian wewenang dan tanggung jawab kepada instansi yang berbeda dalam menangani setiap kasus yang berbeda untuk memperoleh efisiensi dan efektifitas yang saling menguntungkan di antara bagian-bagian dari sistem perlindungan hutan yang berbeda semua bagian dari sub sistem pemantauan termasuk otoritas lokal mengerti, organisasi mana yang bertanggung jawab atas pemantauan protokol harus sudah dijalankan dengan benar dalam menentukan tanggung jawab dan saluran komunikasi bagi layanan pemantauan teknis mekanisme kordinasi dari pusat dijalankan dengan benar dalam menangani setiap kejadian tindak perusakan dan kebakaran hutan
b.
c.
Elemen 2. Pemantauan Hutan Dari Ancaman Kerusakan Dan Kebakaran d. Tujuan : membentuk pemantauan hutan dari ancaman kerusakan dan kebakaran hutan dan pencegahan yang efektif dengan dasar ilmiah dan teknologi yang memadai.
e.
Para Aktor : Badan Koordinasi Pemetaan dan Survey Nasional; Polisi hutan dan
49
Mekanisme
f.
g.
pengujian dan latihan pemantauan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun pusat-pusat pemantauan dijaga oleh staff sepanjang waktu (24 jam per hari, 7 hari sepekan)
2.
Pengembangan Pemantauan Hutan
a.
pendokumentasian parameter, pengukuran dan spesifikasi bagi pemantauan hutan yang relevan menyediakan perlengkapan teknis yang sesuai bagi kondisi dan keadaan setempat dan petugas harus dilatih agar mampu mengoperasikan dan memeliharanya peta dan analisis yang berguna harus bisa diakses dari jaringan nasional, wilayah perbatasan dan sumbersumber internasional data dalam format yang mudah dipahami, bisa diterima, diakses dan tersedia kapan saja menyediakan strategi dalam memperoleh, menganalisis dan menyebarluaskan data tentang kerentanan hutan, lahan dan bahaya kebakaran hutan data harus diarsipkan dan bisa diakses untuk kepentingan verifikasi dan penelitian.
dan mengevaluasi secara rutin produk-produk operasional termasuk performa kualitas data dan prosedur pemantauan. Elemen 3. Penyebarluasan Informasi Dan Komunikasi
Kapasitas
Tujuan :
b.
c.
d.
e.
f.
3.
Pengembangan Kemampuan Peramalan dan Pemantauan
a.
analisis data, prediksi dan penerbitan pemantauan didapatkan dengan metodologi ilmiah dan teknis yang dapat diterima penerbian produk data dan pemantauan sesuai dengan standar mimimal yang ditetapkan analis pemantauan dilatih sesuai dengan standar minimal yang telah ditetapkan melengkapi pusat peramalan dan pemantauan dengan peralatan yang sesuai agar mampu menganalisi data dan model prediksi penerapan rencana dalam memantau
b.
c.
d.
e.
Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi untuk memastikan seluruh kelembagaan dan seluruh komponen masyarakat pedesaan di kawasan pinggiran hutan memahami dengan benar dan mempunyai persepsi yang sama dalam menghadapi ancaman kerusakan hutan dan kebakaran hutan, memfasilitasi koordinasi dan pertukaran informasi pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten serta pada tingkat internasional dan regional Para Aktor : Lembaga-lembaga yang bergerak dalam manajemen perlindungan hutan dan pelestarian hutan baik pemerintah maupun non pemerintah pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten serta pada tingkat internasional dan regional, layanan Bakorsurtanal, otoritas sipil dan militer, masyarakat bisnis dan sektor swasta yang bergerak pada kegiatan yang rentan merusak hutan (pemegang konsesi IUPHHKdan korporasi lainnya yang bergerak di bidang kehutanan dan perkebunan monokultur), LSM nasional dan lokal yang berbasis pada akar rumput. Tindakan
50
1.
Melembagakan Proses Organisasi dan Pengambilan Keputusan
a.
penguatan rantai penyebarluasan perlindungan dan pelestarian hutan melalui kebijakan (misalnya pesan disampaikan dari pemerintah kepada seluruh komponen masyarakat termasuk masyarakat bisnis)
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
b.
c.
d.
e.
f. g.
h.
i.
j.
k.
pemberdayaan otoritas yang sudah diakui dalam menyebarluaskan program perlindungan hutan (misalkan otoritas Bakorsurtanal bertugas menyediakan peta dan hasil survey tentang hutan yang sedang terancam dan mengalami kerusakan) menentukan fungsi, peran dan tanggung jawab dari masing-masing aktor dalam proses penyebarluasan sistem perlindungan hutan pada tingkat kebijakan pemerintah (misalnya layanan media, LSM dan sebagainya) menentukan peran dan tanggung jawab pusat pemantauan dan perlindungan hutan pada tingkat regional atau lintas batas, termasuk menyebarluaskan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat ke negara tetangga pelatihan dan pemberdayaan jaringan relawan dalam rangka penyebarluasan dan pemantauan dan perlindungan hutan dari bahaya perusakan dan kebakaran hutan khususnya kepada masyarakat terpencil yang tinggal di pinggiran hutan pemasangan sistem komunikasi dan peralatan yang efektif pengaturan sistem komunikasi dan penyebarluasan sesuai dengan kebutuhan setiap masyarakat baik melalui radio maupun media lainnya Teknologi komunikasi pemantauan dan perlindungan hutan harus mampu menjangkau keseluruhan populasi termasuk populasi musiman di lokasi terpencil Konsultasi dengan organisasi atau pakar internasional dalam membantu identifikasi dan penyediaan perlengkapan yang sesuai penggunaan berbagai media komunikasi bagi penyebarluasan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat pembuatan media peringatan dan perlindungan hutan menggunakan sistem komunikasi konsisten bagi semua ancaman dan perlindungan
l.
m.
n.
hutan penyebarluasan peringatan dan perlindungan hutan menggunakan sistem komunikasi konsisten bagi semua ancaman dan perlindungan hutan. penyiapan dan pelatihan program perawatan peralatan komunikasi serta penyiapan suku cadang atas peralatan komunikasi tersebut jika terjadi kerusakan melakukan penelitian tentang bagaimana masyarakat mengakses dan menginterpretasikan informasi yang disebarluaskan dan pelajaran seperti apa yang bisa diambil kemudian bisa dijadikan masukan untuk bahan evaluasi.
Elemen 4. Kemampuan Penanggulangan Terhadap Ancaman Kebakaran Dan Perusakan Hutan Tujuan : Memperkuat kemampuan masyarakat dalam menanggulangi kerusakan hutan dan kebakaran hutan melalui pendidikan yang lebih baik tentang bagaimana merestorasi dan merawat hutan yang rusak serta partisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tindak perusakan hutan dan kebakaran hutan. Para Aktor : Para politisi di parlemen ; LSM akar rumput, sekolah, lembaga pendidikan tinggi dan sektor pendidikan informal; media cetak dan elektronik, jaringan online; lembaga teknis dengan kemampuan khusus tentang ancaman terhadap pelestarian hutan dan perlindungan hutan; layanan Bakorsurtanal, lembaga managemen hutan pada tingkat lokal, provinsi, nasional dan internasional seperti yangtertera pada elemen 1.
51
Tindakan 1.
a.
b.
c.
2.
a.
b.
c.
Memperhatikan Peringatan dan pencegahan terhadap Kerusakan Hutan dan Kebakaran Hutan
d.
peringatan dan pencegahan dibuat dan disebarluaskan terhadap hutan yang sedang mengalami ancaman terhadap tindak perusakan dan kebakaran hutan oleh sumber yang kompeten dan bisa dipercaya seperti pemerintah dan LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan hutan dan lingkungan menganalisis persepsi publik tentang pemahaman terhadap ancaman tindak perusakan hutan dan k e b a k a r a n h u t a n . Ti n d a k a n pemerintah dalam menanggulangi ancaman perusakan hutan dan kebakaran hutan dan tindakan restorasi yang dilakukan pemerintah terhadap hutan yang mengalami kerusakan sebagai akibat penebangan pohon secara masif di hutan belantara dan kebakaran hutan mengembangkan strategi untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya yang kompeten.
e.
f.
g.
Membangun Kesiapsiagaan Dalam Menghadapi Ancaman Perusakan H u t a n D a n R e n c a n a Penaggulangan
3.
Melaksanakan Asesmen dan Penguatan terhadap Kapasitas Penanggulangan oleh Masyarakat
a.
melaksanakan asesmen terhadap kemampuan masyarakat dalam menanggulangi kerusakan dan kebakaran hutan secara effisien menganalisis penanggulangan kerusakan hutan dan kebakaran hutan sebelumnya dan pelajaran yang bisa diambil lalu dimasukkan ke dalam strategi pengembangan kapasitas masyarakat dimasa mendatang mengajak organisasi berfokus ke masyarakat dalam membantu mengembangkan kapasitas masyarakat pengembangan dan pelaksanaan pendidikan masyarakat dan sularelawan beserta program pelatihan.
b.
memberdayakan kesiapsiagaan menghadapi perusakan hutan dan kebakaran hutan beserta rencana penanggulangan dengan undangundang kesiapsiagaan menghadapi perusakan hutan dan kebakaran hutan beserta rencana penanggulangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat penggunaan peta hutan dan kerentanan hutan untuk membangun
c.
d.
52
kesiapsiagaan menghadapi perusakan hutan dan kebakaran hutan beserta rencana penanggulangan pengembangan kesiapsiagaan darurat dan rencana penaggulangan yang senantiasa diperbaharui dan penyebarluasan ke masyarakat serta praktek pelaksanaannya menganalisis peristiwa perusakan hutan dan kebakaran hutan sebelumnya berikut penanggulangannya dan pelajaran yang dapat diambil, kemudian dimasukkan ke rencana manajemen penanggulangan penerapan strategi untuk menjaga kesiapsiagaan hutan menghadapi terulangnya peristiwa perusakan hutan dan kebakaran hutan melaksanakan pengujian secara berkala untuk memeriksa efektifitas proses penyebarluasan peringatan kebakaran hutan sedini mungkin serta penanggulangannya.
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
4.
Meningkatkan Kesadaran Publik dan Pendidikan
a.
penyebarluasan informasi sederhana tentang bahaya kerentanan resiko dan cara mengurangi dampak kerusakan dan kebakaran hutan kepada masyarakat dan kepada para pengambil kebijakan pendidikan masyarakat tentang bagaimana menanggulangi perusakan hutan dan kebakaran hutan khususnya kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pinggiran hutan melatih masyarakat dalam menanggulangi kerusakan dan kebakaran hutan sehingga mampu menciptakan respon penanggulangan memasukkan kesadaran dan kewaspadaan publik dan pendidikan tentang pentingnya melindungi dan melestarikan hutan dan mencegah hutan dari ancaman perusakan hutan dan kebakaran hutan ke dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi pemanfaatan media massa dan media masyarakat dalam meningkatkan kesadaran publik menyelenggarakan kampanye kesadaran dan kewaspadaan publik sesuai dengan kebutuhan setiap audiens (misalkan anak-anak) mengevaluasi strategi dan program kesadaran publik sekurangnya sekali setiap tahun dan diperbaharui jika perlu.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
memberantas tindak pidana penyuapan di dalam instansi penegak hukum, memberantas mafia peradilan pada semua tingkatan di badan peradilan
Para Aktor : Presiden RI, MPR RI dan DPR RI. BPK RI, Mahkamah Agung RI ; Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Menko Polkam, Kejaksaan Agung RI, POLRI, TNI, Komisi Yudisial; Menteri Kehutanan RI, Bapenas dan menteri-menteri lain yang terkait; Bank Indonesia dan perbankan nasional, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan; Para Gubernur dan Bupati di seluruh Indonesia; DPRD provinsi dan DPRD kabupaten di seluruh Indonesia, Bawasda pada tingkat provinsi dan kabupaten, Bapeda pada tingkat provinsi dan kabupaten; Interpol dan badan PBB tentang anti korupsi dunia; Seluruh partai politik yang eksis di Indonesia; Lembaga NGO internasional, nasional dan lokal baik di bidang lingkungan maupun di bidang pemberantasan korupsi dan penegakan hukum; Tokoh-tokoh masyarakat dan seluruh komponen masyarakat serta warga negara Republik Indonesia. Tindakan 1.
Reformasi Hukum dan Instansi Penegak Hukum
a.
menetapkan standar operasi minimal dalam bidang rekrutmen aparat penegak hukum dan melakukan pengawasan yang ketat pada setiap tingkatan melalui pengawasan internal dan eksternal untuk memastikan SOP dijalankan dengan benar dan berkelanjutan memberdayakan LSM dan seluruh komponen masyarakat sebagai stake holder dalam melakukan pengawasan terhadap aparat hukum dalam menjalankan penegakan hukum di lapangan memberdayakan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan dan melindungi kehormatan korps hakim
Elemen 5. Penegakan Hukum Tujuan : mengatasi kelemahan dalam penegakan hukum sekaligus memperkuat dalam penegakan hukum sesuai dengan azas persamaan di depan hukum dan kepastian hukum (sesuai dengan UUD 1945), memberantas tindak pidana perusakan hutan dan pembakaran hutan, memberantas tindak pidana korupsi di sektor kehutanan pada semua tingkatan,
b.
c.
53
d.
e.
2.
Penguatan Kerangka Hukum Dalam Mengelola Lahan Hutan Dan Status Sumberdaya Hutan
a.
memastikan tegaknya keseluruhan aturan hukum yang berkaitan dengan pelestarian dan pamanfaatan hutan, lingkungan hidup dan sumberdaya hayati dan air, agraria termasuk ketetapan MPR No. IX /2001 tentang Reformasi Agraria, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Inpres No. 4 /2005 tentang Pembalakan Liar dan peraturan lainnya yang ditegakkan melalui mekanisme non yudisial dengan tujuan mencapai cita-cita yang diinginkan oleh pasal 33 UUD 1945 memberdayakan dan menugaskan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan identifikasi sekaligus memburu uang hasil kegiatan sektor kehutanan yang melawan hukum yang ”dicuci”/ disimpan di lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan non bank mengadakan dan melaksanakan perjanjian kerjasama secara bilateral dengan negara-negara tetangga dalam memerangi kejahatan dan tindak pidana lintas batas di sektor kehutanan memberdayakan Interpol dan lembaga-lembaga penegakan hukum transnasional dalam memerangi kejahatan lintas batas pada sektor kehutanan dan memburu para
b.
c.
d.
pelanggar hukum termasuk penjahat di sektor kehutanan dan lingkungan yang melarikan diri ke luar negeri serta mengupayakan tindakan ektradisi.
serta memastikan bahwa keputusan dan vonis hakim pada semua tingkatan benar-benar berpihak kepada keadilan membangun koordinasi antar lembaga di bawah koordinator Menko Polkam dalam memerangi tindak pidana pada sektor kehutanan memberdayakan kelompok masyarakat termasuk media massa di dalam melakukan investigasi untuk mengungkap korupsi dan kejahatan pada sektor kehutanan.
Elemen 6. Pengelolaan Pemerintahan Dan Susunan Kelembagaan Tu j u a n : m e m b a n g u n k e r a n g k a kelembagaan dan yang mendukung penerapan dan pemeliharaan sistem perlindungan hutan yang berpusat pada masyarakat yang efektif Para Aktor : para politisi di parlemen; pembuat kebijakan (Bapenas, Dep. Kehutanan dan Kementerian PAN, dsb ) ; lembaga manajemen perlindungan hutan pada tingkat internasional, nasional dan lokal; peneliti dan akademisi ; organisasi non pemerintah ; lembaga internasional seperti UNEP, FAO, UNDP, UNESCO dan sebagainya. Tindakan 1.
Mengamankan Perlindungan Hutan dan Pelestarian Hutan Sebagai Prioritas Nasional Dalam Jangka pendek dan Jangka Panjang
a.
mengamankan perlindungan hutan dan pelestarian hutan sebagai prioritas nasional dalam jangka panjang menyampaikan keuntungan ekonomi atas perlindungan dan pelestarian hutan kepada pemerintah pada tingkat nasional dengan menggunakan metode praktis nalisis biaya keuntungan atas penanggulangan kerusakan dan kebakaran hutan sebelumnya penyebarluasan contoh dan studi kasus dari sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat yang telah berhasil dibuktikan
b.
c.
54
VOLUME 4 : NOMOR 1, MARET 2008
d.
e.
mengidentifikasi kerentanan hutan alam yang memerlukan sistem perlindungan hutan dan menetapkan tindakan operasional didalam kerangka multi budaya mengintegrasikan sistem perlindungan hutan berpusat pada masyarakat ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
2.
Menetapkan Kerangka Hukum dan Kebijakan dalam Mendukung Sistem Perlindungan Hutan Berpusat Pada Masyarakat
a.
mengembangkan perundangan dan peraturan atau kebijakan nasional dalam menyediakan dasar kelembagaan dan hukum untuk menerapkan sistem perlindungan hutan keseluruhan tanggung jawab dan kewenangan untuk kordinasi perlindungan hutan diserahkan kepada satu lembaga nasional menetapkan seorang pemimpin politik atau pejabat pemerintah tingkat tinggi yang disahkan oleh undang-undang sebagai pengambil kebijakan tingkat nasional mengembangkan kebijakan untuk mendesentralisasi manejemen perlindungan hutan dalam mendorong partisipasi masyarakat menempatkan pengambilan keputusan pada tingkat lokal dan pelaksanaan sistem perlindungan hutan di dalam kapabilitas administratif dan sumberdaya yang lebih luas pada tingkat nasional menyusun perjanjian regional dan lintas batas dalam memastikan keterpaduan sistem perlindungan hutan jika mungkin melembagakan hubungan dan kemitraan antara semua organisasi yang terlibat di dalam perlindungan hutan dan memberi mandat dalam mekanisme kordinasi pengintegrasian perlindungan hutan ke dalam kebijakan pengurangan dampak kerusakan hutan dan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
kebakaran hutan kedalam kebijakan pembangunan pemantauan dan penegakan hukum dilaksanakan untuk mendukung kebijakan dan peraturan.
3.
Melakukan Asesmen Dan Peningkatan Kapasitas Lembaga
a.
melakukan asesmen terhadap kapasitas dari semua organisasi dan lembaga yang terlibat serta mengembangkan dan mencari sumberdaya bagi rencana pengembangan kapasitas dan program pelatihan mengajak dan mendorong sektor non pemerintah untuk mengambil bagian dalam pengembangan kapasitas.
b.
4.
Mengamankan Sumber Keuangan
a.
melembagakan dan mengembangkan mekanisme pendanaan pemerintah untuk melindungi dan melestarikan hutan dan kesiapsiagaan dalam penanggulangan mengeksploitasi akses sumber dana pada tingkat nasional dan regional memanfaatkan kemitraan publik/ individu dalam membantu mengembangkan sistem.
b. c.
Daftar Pustaka ________________ Ensiklopedi Nasional Indonesia. 1989 P T Cipta Adi Pustaka Indonesia Jakarta. Jilid 6. Agus P, et al. Indonesia dan Perubahan I k l i m , S t a t u s Te r k i n i d a n Kebijakannya. Kolaborasi Bank Dunia, DFID dan PEACE. www.Worldbank.org; Jakarta Mei, 2007. Sarwar Lateef, et. al. Combating Corruption in Indonesia : Enhancing Accountability for Development. World Bank East Asia Poverty Reduction and Economic Management Unit. October 2003.
55
CAKRAWALA
Pelindung : Kepala Badan Planologi Kehutanan
Kata paling, terpaling sering dianalogkan dengan tujuan, seperti paling pintar , menjadi terpaling pintar, paling kaya menjadi terpaling kaya, namun dapat pula bermakna sebaliknya, sehingga perlu dihindari atau dijauhi, ketika paling miskin, menjadi terpaling miskin, paling bodoh menjadi terpaling bodoh. Makna kata paling ini pula yang kerap menjadi idiom dalam penamaan visi suatu komunitas seperti “paling depan dalam ……”, sehingga misi yang tersusun menjadi penunjang ambisi keterpalingan tersebut.
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan
Ketika seorang tokoh menyatakan bahwa waktu adalah kehidupan itu sendiri, maka tak salah pula ketika dikatakan visi adalah ujung waktu atau muara kehidupan. Dalam hal visi keterpalingan menjadikan komunitas fokus dan penuh integritas untuk mewujudkannya, sesungguhnya boleh dikatakan inilah dunia idealisme sedang tayang. Namun tidak jarang salah satu pandangan pesimis melihat ketiadaan figur pimpinan yang berkarakter kuat, kerap malah membuat keterpalingan-keterpalingan dalam mencapai visi terpaling tersebut. Dimulai dari keterpalingan atas kenyataan atau kebenaran yang berimplikasi pada menurunnya sense of crisis yang kemudian mengalir pada kemapanan pembenaran diri dan diakhiri dengan klaim pen-tuhan-an diri atau kelompok sebagai yang terpaling !!! Konteks cara pandang pesimis lain pada proses perencanaan juga tidak terlepas dari kata paling, dalam bentuk ungkapan “paling-paling ujungnya proyek yang tidak jelas juntrungannya” atau “paling-paling sekedar jadi buku dokumen perencanaan yang lama-lama berdebu karena tidak pernah dibuka, bahkan dilirikpun tidak”
Editor : Ali Djajono Sutoto Lilit Siswanty Watti Karyati
Kerja awal dan paling berat dari para Planolog adalah bagaimana memakukan dengan kokoh dunia ideal dalam benaknya dan menekan segala bentuk kenyinyiran negatif dan pesimis atas segala realita yang senyatanya merupakan dinamika yang tidak terlepas dari proses pewujudan dunia ideal tersebut. Sikap pesimis tak ubahnya bak godaan iblis yang menjerumuskan kita pada kluster dari peruwet masalah dan bukan bagian dari solusi masalah. Untuk itu paling penting dari penyusunan sampai dengan implementasi pewujudan rencana adalah “keyakinan”, keyakinan bahwa apa yang kita tuju, apa yang akan kita hasilkan benar dan bermakna, sehingga timbul komitmen yang kuat untuk mewujudkannya dalam tahapan-tahapan yang konsisten. Keterpalingan kita dari keyakinan walau dengan dalih untuk menjadi yang terpaling, tidak lain tidak bukan hanya akan menghasilkan wujud yang paling terpuruk. Yakinlah.
Dewan Pembina : § Sekretaris Badan Planologi Kehutanan § Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan § Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan § Kepala Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Pemimpin Redaksi : Syaiful Ramadhan Redaksi Pelaksana : A. Heri Irawan Tedi Setiadi Siti Zulaifah
Sekretariat : Jhon Piter Lubis Johaerudin Anang Kunarso Hasan Noor Arifin
§ Internalisasi Sektor Kehutanan Dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah : Membumikan Rencana Sektor Dalam Pembangunan Daerah § Berbagai Data Seputar Perubahan Iklim § Penguatan Kelembagaan Masyarakat Sekitar Hutan Dan Peran Penyuluh Kehutanan Dalam Penyiapan Hutan Tanaman Rakyat § Penunjukan Versus Penetapan Kawasan Hutan Bentuk Kebijakan Pemantapan Kawasan Hutan Yang Tak Berujung (tanggapan Tulisan Watty Karyati) § Organisasi KPH, Seperti Apa ? ( Tinjauan Aspek Hukum) § Restrukturisasi Managemen Sumberdaya Agraria Hutan: Solusi Konflik Tenurial Hutan Atau Meminggirkan Keberadaan Masyarakat Sekitar Hutan Dan Kearifan Lokal ? § Sistem Perlindungan Hutan Berpusat Pada Masyarakat
1 10 16 24 27
31 41