Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL (Interaction between genotypes and quality of diets on egg productions and egg quality of local ducks) L. HARDI PRASETYO dan PIUS P. KETAREN Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Tegal and Mojosari ducks are important local breeds of layer ducks in Indonesia with similar visual characteristics, but with medium genetic distance based on protein polymorphism. Their egg production are largely affected by quality of their diets. Therefore, this study was aimed at investigating the response of each breed to different diet quality on their egg production and quality. Eighty two female Tegal ducks and 90 female Mojosari ducks were used in this study with two different diets, R1 containing 14% crude protein (CP) and 2100 kkal/kg metabolisable energy (ME) and R2 containing 20% CP and 3000 kkal/kg ME. Observations were taken on age at first laying, weight of first egg, egg production to 49 weeks, and various components of egg quality. Results showed that both breeds gave good response to improvement in diet quality on egg production in the first three months, 23.7% increase in Mojosari ducks and only 10.6% in Tegal ducks. However, after 3 months only Mojosari ducks still responded positively to high quality diet, and Tegal ducks did not. Interaction between breeds and diet quality was also shown by the weight of egg yolk, weight of albumen, and by egg yolk color, but not by egg weight, eggshell weight and thickness, and Haugh Unit value. It can be concluded that under optimal condition Mojosari ducks were able to show their genetic superiority to Tegal ducks, but under sub-optimal condition Tegal ducks were more able to maintain their productivity. Key Words: Genotype by Environment Interaction, Diet, Local Ducks ABSTRAK Itik Tegal dan itik Mojosari tergolong itik lokal yang cukup terkenal sebagai itik petelur. Dengan penampilan luar yang mirip satu sama lain kedua jenis itik tersebut terbukti mempunyai jarak genetik sedang sehingga bisa disebut merupakan dua bangsa yang berbeda. Kemampuan produksi telur itik sangat dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan dan terutama kualitas ransum. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mempelajari apakah itik Tegal dan itik Mojosari memberikan respon yang berbeda terhadap kadar protein ransum yang berbeda pada produksi dan kualitas telur. Ternak yang digunakan 82 ekor itik Tegal betina dan 90 ekor itik Mojosari betina. Kualitas ransum yang diberikan adalah R1 yang mengandung 14% protein dan 2100 kkal/kg enersi metabolis, dan R2 yang mengandung 20% protein dan 3000 kkal/kg enersi metabolis. Pengamatan dilakukan terhadap umur pertama bertelur, bobot telur pertama, produksi telur sampai 49 minggu, dan berbagai komponen kualitas telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tiga bulan pertama bertelur kedua bangsa itik menunjukkan respon yang baik terhadap peningkatan kualitas ransum namun itik Mojosari memberikan respon produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan itik Tegal, yaitu peningkatan sebesar 23,7 vs 10,6%. Pada tahap produksi selanjutnya, itik Mojosari masih menunjukkan respon tapi itik Tegal sudah tidak lagi memberikan respon terhadap peningkatan kualitas ransum. Interaksi antara bangsa dan kualitas ransum juga terlihat pada bobot kuning telur, bobot putih telur, dan warna kuning telur. Sementara itu, pada bobot telur, bobot dan tebal kerabang telur, serta nilai Haugh Unit, bangsa maupun kualitas telur tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi optimal itik Mojosari mampu menunjukkan keunggulannya terhadap itik Tegal, namun pada kondisi kurang optimal itik Tegal lebih mampu mempertahankan kinerja produksi telurnya. Kata Kunci: Interaksi Genotipa dan Lingkungan, Ransum, Itik Lokal
811
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENDAHULUAN Usaha peternakan itik petelur secara intensif semakin populer dan digemari oleh para peternak di berbagai daerah di Indonesia, terutama karena usahanya cukup menguntungkan, tidak tergantung pada bahan impor, serta peluang pasar yang cukup baik. Di antara berbagai jenis itik lokal petelur yang ada di Indonesia, itik Tegal banyak dibudidayakan di Jawa Tengah dan itik Mojosari sering dijumpai di Jawa Timur. Kedua bangsa itik tersebut banyak digemari bahkan oleh para peternak di luar Pulau Jawa sebagai itik petelur yang cukup produktif dan mampu beradaptasi pada berbagai lingkungan pemeliharaan. Hasil analisa polimorfisme protein darah menunjukkan bahwa kedua bangsa itik tersebut menunjukkan jarak genetik sedang (TANABE et al. ., 1984, yang dikutip oleh HETZEL, 1986), walaupun dari penampilan luar keduanya mirip satu sama lain, dari warna bulu, ukuran tubuh, posisi berjalan, maupun panjang leher. Secara umum, produktivitas telur kedua bangsa itik ini juga tidak berbeda jauh. Kemampuan produksi telur itik sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan yang utama adalah kualitas ransum. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi itik periode produksi telur yang utama adalah kadar protein ransum sebesar 17-19% dan tingkat enersi metabolis sebesar 2900 kkal/kg (SINURAT, 2000), disamping komponen-komponen nutrisi yang lain. Terpenuhinya kebutuhan nutrisi tersebut dari ransum yang diberikan sangat penting, khususnya pada ternak itik yang dipelihara secara intensif terkurung di mana ternak tidak bisa mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, sebagaimana pada berbagai komoditas pertanian lain kepekaan ternak itik lokal terhadap perbedaan kadar nutrisi dalam ransum, khususnya tingkat protein, belum banyak diketahui. Fenomena interaksi antara genotipa dan lingkungan berbagai spesies ternak telah banyak diungkap dan dipelajari, karena informasi ini sangat berguna dalam melihat daya adaptasi genotipa yang bersangkutan pada lingkungan pemeliharaan yang berbeda. Interaksi antara genotipa dan kualitas ransum pada itik petelur terutama sangat penting untuk diketahui karena sifat ternak itik yang sangat
812
mudah stres akibat perbedaan kualitas ransum atau bahkan kualitas bahan penyusun ransum, khususnya pada kondisi yang intensif terkurung sepenuhnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari apakah kedua bangsa itik, Tegal dan Mojosari, memberikan respon yang berbeda terhadap perbedaan kualitas ransum, agar pemeliharaan dalam kondisi sub-optimal dapat diantisipasi. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak Bogor, dengan menggunakan 82 ekor itik Tegal betina dan 90 ekor itik Mojosari betina dengan umur sekitar 5 bulan. Ternak itik dipelihara dalam kandang batere secara individu dan masing-masing dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok I menerima perlakuan ransum R1 yang mengandung 14% protein dan 2100 kkal/kg enersi metabolis, sedangkan kelompok II memperoleh ransum yang mengandung 20% protein dan 3000 kkal/kg energi metabolis. Kedua ransum memiliki rasio enersi dan protein yang sama yaitu 150. Untuk itik Tegal, 40 ekor mendapat ransum R1 dan 42 ekor memperoleh R2, sedangkan untuk itik Mojosari, 44 ekor untuk R1 dan 46 ekor untuk R2. Susunan dan komposisi ransum yang digunakan seperti tercantum dalam Tabel 1, beserta kadar nutrisi terhitung. Pengamatan dilakukan terhadap umur pertama bertelur dan bobot telur pertama dari masing-masing ternak, produksi telur diamati berdasarkan produksi duck-day selama 49 minggu dari mulai awal bertelur. Kualitas telur diamati pada sampel telur yang diambil secara acak sejumlah 25–30 butir per kelompok perlakuan, selama periode produksi 35–39 minggu yang dianggap sudah stabil, yaitu pada bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot dan tebal kerabang telur, warna kuning telur, dan nilai Haugh Unit. Produksi telur disajikan secara deskriptif, sedangkan peubah yang lain dianalisis menggunakan Sidik Ragam pola faktorial 2 x 2 berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dan dengan Uji Beda Nyata Terkecil.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 1. Komposisi ransum dan kadar nutrisi masing-masing ransum perlakuan (%) Bahan pakan
Ransum R1
R2
Dedak padi
40,00
--
Menir
25,00
35,00
Pollard
17,00
13,55
Jagung
--
16,00
Tepung ikan
2,00
15,00
Tepung kapur
6,00
6,00
Minyak sayur Bungkil kedel
4,00 8,00
9,00
Dikalsium fosfat
1,00
1,00
Premix
0,25
0,25
Garam
0,20
0,20
L-lysine
0,30
--
DL-methionine
0,25
--
Protein kasar (%)
14,00
20,00
Enersi Metabolis (kkal/kg)
2100
3000
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi telur Disamping faktor genetik, jumlah dan kualitas pakan sangat menentukan umur pertama bertelur dan bobot telur pertama pada unggas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas ransum dan bangsa berpengaruh terhadap umur pertama bertelur itik tetapi tidak pada bobot telur pertama, (Tabel 2), sedangkan interaksi antara bangsa dan kualitas ransum tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Itik Tegal menunjukkan awal bertelur yang lebih cepat dari itik Mojosari, dan ransum dengan kandungan protein mencapai 20% juga mampu mempercepat umur pertama bertelur. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh HARDJOSWORO (1980) dimana umur pertama bertelur hanya dipengaruhi oleh perbedaan bangsa dan tidak oleh perbedaan kandungan protein ransum antara 16 dan 18%. Hal ini mungkin karena dalam penelitian ini jarak perbedaan kadar protein antara kedua ransum lebih besar. Umur pertama bertelur itik Tegal dengan ransum 14% protein sebesar 160,8 hari mendekati hasil yang diperoleh SUBIHARTA et al (2002) yaitu 162,24 hari pada itik Tegal
yang menerima ransum dengan kadar protein 17%. Perbedaan umur pertama bertelur karena perbedaan bangsa dan kualitas ransum tidak diikuti oleh perbedaan bobot telur pertama. Walaupun terlihat adanya kecenderungan bahwa itik Tegal menghasilkan telur yang lebih kecil namun perbedaan tersebut secara statistik tidak nyata. Begitu juga dengan itik-itik yang memperoleh ransum dengan kualitas lebih baik, mereka mampu bertelur lebih awal namun dengan bobot telur pertama yang tidak berbeda. NORTH (1984) menyatakan bahwa unggas yang lebih cepat mencapai dewasa kelamin akan menghasilkan telur-telur yang lebih kecil, namun dalam penelitian ini ternyata tidak demikian. Hal ini mungkin karena perbedaan umur pertama bertelur sekitar 10 hari tidak cukup besar untuk menyebabkan perbedaan bobot telur pertama yang dihasilkan. Jika ditinjau dari produksi telur, secara umum terlihat pada kurva produksi tertera pada Gambar 1 bahwa kualitas ransum berpengaruh nyata pada kedua bangsa itik sampai pada minggu ke-28, dan setelah itu tampak pada itik Tegal (TT) bahwa kualitas ransum tidak menunjukkan perbedaan lagi karena kedua kelompok perlakuan ransum mulai menunjukkan penurunan produksi. Sementara itu, pada itik Mojosari (MM), terlihat sampai pada akhir pengamatan bahwa produksi telur itik yang menerima ransum dengan kualitas lebih baik masih stabil dan selalu lebih tinggi dari itik dengan kualitas ransum lebih rendah.. Pada pemberian ransum dengan kadar protein 20%, itik Mojosari menunjukkan kemampuan produksi telur yang secara konsisten lebih baik dari itik Tegal, yaitu peningkatan awal yang cukup cepat dengan puncak produksi yang lebih tinggi (90%) dan baru pada akhir pengamatan terlihat awal dari penurunan produksi. Semenata itu, pada pemberian ransum dengan kadar protein 14% kedua bangsa menunjukkan tingkat produksi yang relatif sama, di mana peningkatan produksi sangat lambat dan pencapaian puncak produksi yang hanya sekitar 65%. Hal ini menunjukkan bahwa itik Mojosari lebih responsif terhadap pemberian ransum dengan kualitas tinggi, jika dibandingkan dengan itik Tegal.
813
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Pada 3 bulan awal produksi (12 minggu) itik Mojosari menunjukkan peningkatan produksi telur sebesar 23,76% sebagai akibat peningkatan kualitas ransum, jika dibanding dengan itik Tegal yang hanya menunjukkan peningkatan sebesar 10,6%. Setelah 28 minggu masa produksi, kedua bangsa itik menunjukkan tingkat produksi yang hampir sama selama 6 minggu, dan setelah itu itik Tegal mengalami penurunan produksi sedangkan itik Mojosari masih stabil pada produksi telur sekitar 70–
80% sampai pada masa produksi 46 minggu dan baru mulai menurun. Pada pemberian ransum dengan kadar protein 14%, kedua bangsa itik menunjukkan tingkat produksi telur yang hampir sama rendahnya dan juga menunjukkan fluktuasi produksi yang cukup besar dari waktu ke waktu. Hal ini memberi indikasi bahwa ransum dengan kadar 14% protein tidak cukup untuk mendukung produksi telur yang tinggi.
Tabel 2. Rataan umur pertama bertelur (UPB) dan bobot telur pertama (BTP) dua bangsa itik dengan dua perlakuan ransum Uraian
Perlakuan
UPB (hari)
BTP (g)
Bangsa
Rataan
Tegal
Mojosari
R1
171,8 + 27,1
182,3 + 25,1
177,3 + 26,1a
R2
160,8 + 26,3
170,1 + 25,9
165,7 + 26,1b
Rataan
166,2 + 25,5A
176,1 + 26,7B
R1
56,5 + 6,6
56,8 + 6,6
56,7 + 6,6
R2
53,1 + 6,6
56,2 + 6,3
54,7 + 6,4
Rataan
54,8 + 6,6
56,5 + 6,5
Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 1%
00 0
% Produksi telur
0 0 0 0 0 0 0 0 3
7
Tingkat produksi telur 90% pada itik Mojosari yang menerima ransum dengan kadar protein 20% pada minggu ke-42 dalam penelitian ini ternyata masih lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh MAHMUDI (2002) di mana itik Mojosari yang dipelihara mencapai tingkat produksi tertinggi hanya 85%, namun puncak produksi tersebut dicapai lebih awal yaitu pada minggu ke-16 dan dengan jumlah ternak yang lebih besar. Sementara itu, puncak produksi telur itik Mojosari yang diperoleh oleh PRASETYO dan SUSANTI (1996) adalah sebesar 87% dan dicapaiTT14 antara minggu ke-14 TT dan ke-17 masa produksi.MM14 %Hal ini menunjukkan 20% MM20 bahwa tingkat produksi % telur itik lokal % masih sangat beragam dan sangat tergantung pada lingkungan pemeliharaan, terutama kualitas 1 5 9 1 5yang digunakan. 9 3 7 ransum minggu
Gambar 1. Kurva produksi telur mingguan
814
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Kualitas telur Beberapa peubah yang menentukan kualitas telur adalah antara lain bobot telur, bobot putih telur, bobot kuning telur, warna kuning telur, bobot kerabang telur, tebal kerabang telur, dan nilai Haugh Unit (HU). Hasil pengamatan sifat-sifat yang berpengaruh pada kualitas telur tersebut disajikan pada Tabel 3, untuk kedua bangsa itik dan pada kedua kondisi kualitas ransum. Pada bobot kuning telur, bobot putih telur dan warna kuning telur terlihat adanya interaksi antara bangsa itik dan kualitas ransum, sedangkan pada nilai HU tidak ada interaksi namun pengaruh bangsa itik dan kualitas ransum secara terpisah menunjukkan pengaruh yang nyata. Sementara itu, pada
peubah yang lain tidak ada pengaruh nyata antara bangsa dan kualitas ransum. Jika dilihat pada komponen kuning telur, tampak bahwa peningkatan kadar protein dalam ransum yang berarti juga peningkatan konsumsi protein oleh itik berkorelasi positif dengan peningkatan bobot kuning telur maupun intensitas warna kuning telur. Khususnya pada intensitas warna kuning telur, kedua bangsa menunjukkan kenaikan yang cukup besar di mana itik Mojosari memberikan respon lebih besar jika dibandingkan dengan itik Tegal. Begitu juga pada bobot kuning telur, itik Mojosari memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan kadar protein dalam ransum, bahkan pada itik Tegal terlihat sedikit penurunan % bobot kuning telur.
Tabel 3. Rataan sifat-sifat kualitas telur itik Mojosari dan Tegal pada dua jenis ransum Peubah Bobot telur (g)
*Bobot kuning telur (%)
Jenis ransum
Bobot kerabang telur (%)
*Warna kuning telur
Nilai Haugh Unit (HU)
Rataan
R1
70,34 + 5,18
68,93 + 6,34
69,56 + 5,76
71,24 + 4,23
69,09 + 4,77
70,20 + 4,50
Rataan
70,79 + 4,70
68,98 + 5,55
R1
33,98 + 2,20ab
33,05 + 2,28bc
33,72 + 2,24
R2
c
34,71 + 1,98a
33,42 + 1,44
32,80 + 0,91
33,35 + 1,55
33,75 + 2,13
R1
55,82 + 2,16bc
56,49 + 2,33ab
56,19 + 2,24
R2
57,10 + 1,19a
55,18 + 2,14c
56,18 + 1,66
Rataan
56,46 + 1,67
55,94 + 2,23
R1
8,83 + 0,53
9,12 + 0,99
8,99 + 0,76
R2
8,26 + 0,75
8,82 + 0,37
8,71 + 0,56
0,38 + 0,03
0,38 + 0,04
0,38 + 0,03 0,38 + 0,03
Rataan Tebal kerabang (mm)
Mojosari
R2
Rataan *Bobot putih telur (%)
Bangsa Tegal
8,72 + 0,64 R1
8,99 + 0,68
R2
0,38 + 0,03
0,38 + 0,02
Rataan
0,38 + 0,03
0,38 + 0,03
R1
5,54 + 0,93c
5,17 + 1,26cd
5,33 + 1,09
R2
b
7,08 + 1,18
a
8,04 + 1,00
7,54 + 2,18
Rataan
6,31 + 1,05
6,38 + 1,13
R1
97,28 + 6,31
100,4 + 6,05
99,04 + 6,18a
R2
91,22 + 7,61
94,57 + 8,11
92,82 + 7,86b
b
a
Rataan
94,11 + 6,96
97,85 + 7,08
Peubah menunjukkan ada interaksi antara bangsa dan kualitas ransum Superskrip yang sama pada lajur atau kolom yang sama (jika tidak ada interaksi) atau pada lajur dan kolom (jika ada interaksi) menunjukkan tidak berbeda nyata
815
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Sebaliknya pada komponen putih telur, itik Tegal menunjukkan peningkatan % bobot putih telur dengan peningkatan kualitas ransum sedangkan itik Mojosari malah menunjukkan penurunan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa bobot telur secara keseluruhan tidak dipengaruhi oleh baik bangsa itik maupun kualitas ransum, sehingga penurunan % bobot kuning telur akan diikuti oleh peningkatan % bobot putih telur. Sementara itu, jika ditinjau dari nilai Haugh Unit (HU), itik Mojosari menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari itik Tegal dan ransum dengan kadar protein tinggi juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Namun demikian, semua nilai HU yang dihasilkan menunjukkan kualitas telur yang cukup baik dan digolongkan dalam kelas AA (STADELMAN dan COTTERILL, 1973), karena telur yang diamati semuanya adalah telur segar. KESIMPULAN Secara umum terlihat bahwa itik Mojosari memberikan respon yang lebih tinggi terhadap perbaikan kualitas ransum jika dibandingkan dengan itik Tegal. Ransum dengan kadar protein 20% secara jelas mampu menunjukkan peningkatan produksi telur, bobot kuning telur dan intensitas warna kuning telur pada itik Mojosari. Di lain pihak, itik Tegal menunjukkan respon yang tidak selalu konsisten terhadap perbaikan kualitas ransum. Hal ini memberikan indikasi bahwa pada kondisi yang optimal, itik Mojosari mampu menunjukkan keunggulan genetiknya terhadap itik Tegal, namun pada kondisi yang kurang optimal itik Tegal lebih mampu mempertahankan kinerja produksi telurnya.
816
DAFTAR PUSTAKA HARDJOSWORO, P.S. 1980. Pengaruh perbedaan kadar protein dalam ransum terhadap pertumbuhan dan kemampuan berproduksi itik yang dipelihara secara terkurung. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. MAHMUDI, H. 2002. Pengembangan usaha peternakan itik di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Ciawi, 6–7 Agustus 2001. Balai Penelitian Ternak dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. hlm. 42–46. NORTH, M.O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. The Avi Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. PRASETYO, L.H. and T. SUSANTI. 1996. Karakteristik dan potensi plasma nutfah itik : Itik Mojosari. Buletin Plasma Nutfah 1(1): 35–37. SINURAT, A.P. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan proyek pengembangan agribisnis peternakan. Dinas Peternakan DKI Jakarta. STADELMAN, W.J. dan O.J. COTTERILL. 1973. Egg Science and Technology. 2nd Ed. The Avi Publishing Inc. Westport, Connecticut. SUBIHARTA, L.H. PRASETYO, Y.C. RAHARDO, S. PRAWIRODIGDO, D. PRAMONO dan HARTONO. 2002. Program village breeding pada itik Tegal untuk peningkatan produksi telur: seleksi itik Tegal generasi pertama dan kedua. Pros. Lokakarya Unggas Air. Ciawi, 6–7 Agustus 2001. Balai Penelitian Ternak dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. hlm. 79–86. HETZEL, D.J.S. 1986. Duck Breeding Strategies–The Indonesian Example. In: Duck Production Science and World Practice. FARRELL, D.J. dan P. STAPLETON. (Eds.). The University of New England. pp. 204–233.