Informed Consent INFORMED CONSENT Asal mula istilah consent ini adalah dari bahasa latin: consensio, consentio, consentio, dalam bahasa Inggris consent berarti persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Informed consent berarti seatu izin (consent) atau pernyataan setuju dari apsien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan yang sudah dimengertinya. Bentuk informed consent terdiri dari: a. dengan dinyatakan ( express) 1) secara lisan (oral) 2) secara tertulis ( written) b. tersirat atau dianggap diberikan ( implied or tacit consent) 1) dalam keadaan biasa ( normal or constructive consent) 2) dalam keadaan gawat darurat ( emergency) Ada istilah lain yang sering dipergunakan juga untuk infomed consent yaitu real consent, dalam arti konsen yang sungguh-sungguh benar. Hal ini berarti bahwa antara dokter dan pasien sudah terdapat suatu temu pikiran consensus, meeting of minds) dan persetujuan mengenai tindakan medik yang hendak dilakukan serta pasien mengerti apa yang diinformasikan oleh dokternya. Informed consent terdiri atas tiga bagian dimana terdapat pertukaran informasi antara dokter dan pasien yaitu: a. bagian pertama adalah pengungkapan dan penjelasan ( disclosure and explanation) kepada pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang: 1) penegakan diagnosanya 2) sifat dan prosedur atau tindakan medik yang diusulkan 3) kemungkinan timbulnya risiko 4) manfaatnya 5) alternatif yang (jika) ada b. bagian kedua menyangkut: 1) memastikan bahwa pasien mengeti apa yang telah dijelaskan kepadanya (harus diperhitungkan tingkat kapasitas intelektualnya) 2) bahwa pasien telah menerima risiko tersebut 3) bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur/tindakan medik tersebut c. proses itu kemudian harus di dokumentasikan Informed Consent semula diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Berdasarkan ketentuan dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran , Peraturan Menteri tersebut telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut pengaturan tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran ditetapkan sebagai berikut: • Pengertian Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. • Persetujuan dan Penjelasan Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan tersebut dapat diberikan dengan persetujuan lisan. Persetujuan tertulis dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. Persetujuan dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan tersebut dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran, dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan. Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien • Penjelasan Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. 1. Penjelasan tentang tindakan kedokteran sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Altematif tindakan lain, dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan C e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f. . Perkiraan pembiayaan. 2. Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding; c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan. 3. Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi : a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif. b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidak¬nyamanan yang mungkin terjadi. c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan. d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan. e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya. 4. Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali: a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable) 5. Penjelasan tentang prognosis meliputi: a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam); c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam). 6. Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Penjelasan dimaksud dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi. 7. Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya. Tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien. 8. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan. Penjelasan kemungkinan perluasan
tindakan kedokteran merupakan dasar daripada persetujuan. 9. Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Setelah perluasan tindakan kedokteran di¬lakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat. • Yang Berhak Memberikan Persetujuan Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. Penilaian terhadap kompetensi pasien dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan. • Ketentuan Pada Situasi Khusus Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan. Persetujuan harus diberikan secara tertulis. Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan. • Penolakan Tindakan Kedokteran Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis. Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien. Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien. • Tanggung Jawab Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran. Secara teori apa yang dapat disimpulkan dari doktrin informed consent ini adalah bahwa keputusan yang diambil oleh pasien mengenai suatu tindakan medik atau perawatan medik harus dilakukan secara kolaboratif antar pasien dengan dokternya ( Jay katz, 1984). Karena pada prinsipnya informed consent adalah suatu proses bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangi formulir. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan apa yang sebenarnya sudah disepakati sebelumnya antara dokter dan pasien ( Loren H. Roth,viii). Dalam Permenkes 585 Tahun 1989 diatur dalam lampiran
contoh persetujuan tindakan medik dimana dalam form tersebut dokter yang melakukan tindakan juga dimintakan tanda tangan. Namun dalam Permenkes 290 Tahun 2008 contoh form tersebut tidak dilampirkan lagi sehingga diserahkan kepada sarana kesehatan untuk membuat formulir persetujuan kedokteran masing-masing. Di lapangan memang banyak terjadi kendala masalah tanda tangan dokter ini dalam formulir tersebut karena kadangkadang dokter tidak menandatanganinya dan informed consent ini bukan perjanjian para pihak tapi merupakan persetujuan dari pasien untuk dilakukan tindakan kedokteran setelah diberikan informasi secara lengkap dan jelas. Apa sebenarnya kegunaan tanda tangan tersebut sebenarnya merupakan tanda bukti bahwa pasien itu sudah memberikan persetujuannya dan untuk dokter dapat sebagai bukti pembelaan bahwa para pihak itu pernah berada di ruang yang sama pada waktu itu (Donald H. Stewart ). Didalam konteks informed consent masih terdapat suatu doktrin yaitu volenti non fit iniura atau juga dikenal dengan Asumption of Risk. Doktrin ini memakai asumsi bahwa sudah diketahui terdapatnya suatu risiko oleh yang bersangkutan, walaupun demikian pasien tetap bersedia menanggung segala risikonya. Ajaran ini berdasarkan suatu pemikiran bahwa sudah diketahui adanya suatu risiko dan secara suka rela bersedia menanggung risiko tersebut , maka apabila benar-benar timbul , ia tidak dapat menuntut lagi. Misal pasien menolak dilakukan tindakan atau pengobatan maka ia akan menanggung sendiri akibat ayng mungkin timbul, dan tidak dapat dipersalahkan lagi pada dokternya. Penolakan harus dalam bentuk tertulis dan tidak dalam bentuk tersirat ( implied). Oleh karena itu bila ada penolakan tindakan dari pasien maka perlu pencatatan yang meliputi: a. penjelasan yang diberikan dokter tentang risiko dan keuntungan dari tindakan medik tersebut; b. penjelasan tentang risiko yang timbul jika ditunda- tunda; c. penolakan pasien/ keluarganya dan pertanyaan yang diajukan olehnya; d. jawaban-jawaban yang diberikan oleh dokter dan pengulangan penjelasan risiko yang mungkin terjadi; e. dasar alasan pasien menolak tindakan medik tersebut; f. keputusan akhir dari pasien dan respon final dari dokter; g. Cantumkan tanggal, jam dan tempatnya; h. Saksi- saksi yang ada. Daftar Kepustakaan Guwandi, J, Trilogi Rahasia Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1992 Guwandi,J, Informed Consent & Informed Refusal, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2003 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Riati Anggriani ,SH,MARS,MHum (penulis)