INFID 07 Oktober 2015 Demokrasi dan Masyarakat sipil Mc : mereview acara hari sebelumnya Agus Wahyudi, mengajar filsafat politik di UGM dan fellow di INFID, sebagai moderator mengundang Rocky Gerung, untuk berbicara tentang Merawat Indonesia. Rocky Gerung : Ada kecemasan di republic ini, sekaligus keinginan untuk menghasilkan kejujuran dan keyakinan dalam kehidupan masyarakat. Apa yang harus kita fokuskan? Headline Koran pagi ini, KPK berusia12 tahun saja, usul ini bisa final karena diuusulkan oleh PDI Perjuangan, pemangkasan akan dimulai. Headline kedua teks amnesti diusulkan artinya ngemplang pajak dimaafkan. Korupsi adalah pembunuh reformasi. Kita merawat akal sehat dengan KPK dan keterbukaan informasi. Kita bisa duga bahwa rumah yang dibuat masyarakat sipil justru menjadi penjara, lokasi civil society ada di KPK, KPK ada d istana, dan istana ada di teuku umar. Ketika KPK diaduk, tema itu berlalu, tidak ada kemarahan publik.Relasi dengan KPK makin teknis. Lembaga yang kita jaminkan pada akal sehat dan pemerintahan bersih telah dihuni kepentingan politik Kita tidak punya akses untuk menjaga martabat Indonesia karena mereka duduk di pusat kekuasaan, mantan aktivis diam ketika berada di merdeka utara.Indonesia punya CSO tapi tidak punya civil society.ada LSM tapi etika civil society tidak ada Bangsa kita tidak punya ethics dan civility, kita tidak mendengar itu. Kita bekerja dan berkonfrontasi dengan kekuasaan dulu, ketika otoriter. Kini kekuasaandijalankan melalui civil society. Apakah kita bisa mengembalikan civil society dari cengkraman sublime hegemoni kekuasaan. Apa yang membuatkita bisa mengisi ulang agar bisa hidup dengan ethic civil society. Pertama kampus dengn critical thought, tapi kampus lebih banyak mencari akhirat daripada dalil pengetahuan. Rektor UI mengumpulkan untuk doa minta hujan. Kampus yangseharusnya mengolah rasionalitas, ada politik kesolehan palsu. Kekuatan politik mana yang bekerja disitu? Kedua Pers,yang seharusnyamenjadi selingkuhan LSM manun pers hari ini kawin tidak resmi dengan kekuasaan. Sinyal redaksional adalah sinyal kekuasaan.Tidak ada critical point of view.Bagaimana kekuatan kita merawat martabat Indonesia?
Ya beginilah keadaan terakhir, tapi kita menjadi permissive pada kedunguan politik.Politik dari awal adalah konfrontasi ideology, sekarang kita tidak melihat oposisi, yang terjadi adalah transaksi pragmatik, atas dasar keinginan untuk manuver material. Sipil hanya disebut sipil jika terlibat isu sipil, gender equality , democracy, environtalism,namun ia lebih fasih dengan financial market. Ada yang lumpuh dalam masyarakat, isu kemanusian tidak merembes pada pikiran public.Ada rasa muak dalam masy sipil, civil ideas tidak terselenggara.Kita punya semua fasilitas demokrasi tapi hanya instalasi dengan air kotor korupsi dan pasar gelap kekuasaan. Kita tidak punya diskusi nasib imigran eropa dan problem mutikultural?Pengertian kita tentang civility ikut lenyap. Design masy civil adalah menghasilkan paradigm baru agar pikiran bermutu dan tidak menjadi gumpalan kepentingan politik. Kita bercakap dalam batas ethnicity bukan sebagai warga negara, bau rasialis sedang tumbuh tapi kita tidak mau membongkar karena dianggap sensitive. Saya menduga, Desember nanti pilkada serentak seharusnya mengandalkan kematangan demokrasi tapi data awal menunjukkan tidak ada landasan etis melalui pilkada serentak. Konflik dana politik bukan pikiran politik. Kemarahan pada asap, civil society tidak mempunyai analisa structural karena menyangkut kawan yang ada di politik hari ini. Kita mendegradasi energy untuk menghasilkan pikiran baru tentang masyarakat. Intelektualitas kita tidak cukup untuk melihat dunia dengan cara baru. Pembicaraan di kampus, ada sinisme terhadap globalisasi, tapi jawabnya identitas kebudayaan besar di masa lalu, tapi logika yang akan kembali ke masalalu itu tidak mengenal civil society, lewat penghianatan dan pemberontakan, bukan pilkada. Majapahit lebih kejam darikolonial belanda tapi kita membanggakannya.Dalam superkultur kapitalisme, penganggur yang punya saham punya hak, tapi di sistem kerajaaan, kita harus ngesot untuk ketemu raja, feodalisme ada di parpol, kampus, LSM, jadi kita masih mengkonsumsi value lama. Pidato presiden di ulang tahun TNI, bahwa TNI harus berdekatan dengan rakyat, TNI tidak setara dengan rakyat karena dia alat perang. Tugas TNI adalah mengamankan teritori dan mental itu tidak akan didamaikan dengan masyarakat sipil yang berprinsip kesetaraan, tidak ada hirarki dalam masyarakat sipil. TNI adalah alat sipil, civilian values harus berkuasa. Kita tidakpernah menguji bahwa civilian values di atas militer. Cara kita melihat politik, kita menganggap kita punya kekhususan demokrasi pancasila, sialnya, kita membatasi aktivitas demokrasi atas nama pancasila, padahal hal ini tidak boleh membatalkan dalil demokrasi. Misalnya jalan-jalan ke Pentamburan dan ketemu FPI, demokrasi berhenti, untuk memfasilitasi diskursus ini, karena tukar tambah politik di tingkat politik. Kesimpulannya masyarakat kita tidak berhasill menghidupkan ide civil society, yang akarnya citizenship. Kita hidup dalam
komunalisme, kita ada di kumpulan komune yang tidak terintegrasi dengan pikiran kemajemukan dan modern, mudah disulut , kampus dan pers seharusnya bertanggung jawab. Tidak terjadi percakapan politik bermutu, seolah olah kita masih kampanye, tidak ada upaya bahwa setelahterjadi keputusan politik maka konfrontasi pikiran dimulai. Jikakita berekspresi melawan maka disebut hater, atau membenci tanpa fakta padahal kita punya Point of view yang bermutu. Waktu kitaberhenti dari authoritarian orba, kita tidak berhenti feodalisme dan komunalisme sehingga terbawa reformasi sehingga menghuni civil society dan kampus. Feodalisme di kampusparah, status profesor menentukan alam pikiran padahal ia tidak pernah membaca buku kecuali terjemahan. Kampus menikmati new kind of feudalism. Ketika mendesign politik, demokrasi kita cerna habis-habisan setelah kita berhenti. Kata Russeau, tentang penyebab romawi runtuh? Romawi itu demokrasi tapi ibarat buah, bagus untuk pencernaan tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya. Apakh civil society mempunyai lambung yang sehat, atau bangsa kita memag tidak punya lambung. INFID harus memikirkannya, sehat atau tidak untuk mencerna demokrasi, sebagai cara INFID merawat kejujuran. Lely dari Hapsari : kalau yang dimaksud masyarakat adalah yang saya kerjakan dari 25 tahunlalu membangun serikat perempuan, dari 1 RT ke 5 propinsi, kalau lambungnya tidak sehat untuk mengunyah demokrasi sehingga bisa berorganisasi , dengan pesimisme itu, apa lah yang bisa kami lakukan lagi ke depan. 24 tahun Hapsari, ketuanya baru lulus kejar paket A, tapi acaranya dihadiri ibu mentri dan kampus terbuka, tapi kawan-kawan memang perlu pandangan yang harus saya dengar hari ini dan ingin mengundang Rocky Gerung. Ical dari Pontianak lahir dalamgerakan 98, meski di daerah, jangan lagi memberikan cek kosong pada negara, teman-teman masuk ke banyak lini, ke parpol, 15 tahun reformasi, ada untungnya, ada perkembangan tapi banyak jugayang tidak berbuat apa-apa. Orasi membuat saya berpikir, perjalanan, untung rugi, terhadap martabat manusia Indonesia hampir tidak ada. Dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), kita setara, semua orang bisa menjadi pembawa berita, meski ada hoax dan air kotor, tapi kami masih mempercayai bahwa TIK bisa memunculkan citizenship. Komunitas anak muda sedang tumbuh di eranya, mereka tidak tergantung pada negara, tapi ketika dibawa ke ranah politik masih didominasi Di Kalimantan Barat, politik etnis masih ada, paradigm citizenship tidak bisa berkembang karena terfragmentasi, bahkan anak muda nya terkotak dengan kental, muslim, melayu, pada titik tertentu kekuasaan mengambilnya.
Apa yang harus diperbuat? Apa ngomong di medsos saja? Atau apa yang dapat membangkitkan energy. Rocky : sayamemperlihatkan sisi buruk agar kita tidak narsis, kita berada dalam demokrasi, fase ragu , apakah mampu mengolah ide demokrasi di daerah-daerah. Agen-agen yang seharusnya menanam memilih menjadi komisaris dan reportase istana, itu bukan kerja civil society. Kekuasaaan punyalogic sendiri, local wisdom is local crime, di NTT, setelah melahirkan 30 hari perempuan harus tidur di dapur, LSM tidak berpikir, bahwa bayi perlu oksigen bersih. Ini contoh local wisdom patriarki. Suami bisa 30 hari mencari perempuan lain yang ada di dapur maka local wisdom menggagalkan MDG. Kita mengkonsumsi feodalisme atas dasar local wisdom, tapi anti LGBT.Menteri agama plural tapi LGBT tidak boleh.Ide feminism berhenti di kebijakan bertabrakan dengan feudalism. 1998, kita masuk DPR untuk menjadi rumah rakyat, jadilah wakil kita,masuk DPR sekarang harus minta ijn. Tiap pilkada, mereka menjadi pengemis suara sehabis itu hilang.Tidak ada kurikulum dalam parpol yang mengajarkan civil values. Partai hanya briefing memasukkan pasal agar ada transaksi, maka ada pasal konservasi kretek Filsafat Yunani menjelaskan binatang politik, sebenarnya binatang yang berpolitik, politik seharusnya mengatur distribusi keadilan, kegagapan ini sering terjadi. Plaza senayan ada anggota DPR biasanya merk hugo boss 40juta, siapa hugo boss? Kawannya hitler. Pabriknya memperkerjakan yahudi dalam kamp konsentrasi.Jadi ada jejak rasialisme.Ia tidak tahu apalagi soal hugo chaves, kita gagap dengan pkiran2 besar. Anggota DPR punya cara hidup yang sama, hadirsecara fisik bukan hadir secara pikiran, misalnya dengan tas hermes. Hermes punya sejarah HAM, tas dipakai grace Kelly untuk menghajar pelayan karena tidak memperbolehkan kawannya yg kulit hitam, tapi disini ada ibuibu memarahi pelayan toko yang tidak menyediakan kursi untuk tas hermesnya.Kita gugup dan gagap menghadapi globalisasi dan memilih local kingdom. Agus : mengajak kita civil society meredefinisi dan sadar kembali dengan keberadaan kita dalam konteks perubahan yang terjadi, di level nasional dan global, perdebatan yang hebat dan arus globalisasi daritahun 70-80 an. Public space yang memberi perdebatan produktif menjadi sangat kontradiktif. Ruang civil society harus berbeda-beda, inspirasi, bayangan dan imajinasi, lebih free, hanya muncul dalam domain itu. Kedengarannya pesimis, tapi Gramsci mengatakan “I'm a pessimist because of intelligence, but an optimist because of will.”
Hamong : memulai diskusi hasil perumusan pertemuan hari sebelumnya. Tim perumus yang membantu merumuskan dokumen terdiri dr 3 orang, Bagus pengajar psikologi UI telah lama bersama INFID, Irene Gayatri peneliti LIPI, pernah riset dengan INFID, Cahyo Suryato, dari Surabaya. Proses perumusan tadi malam, dari sisi substansi di dikaitkan dengan tujuan di kerangka tujuan, tidak sepenuhnya bisa kita capai. Dokumen ini masih dalam kerangka besar pelaksanaan SDG, detail seperti rencana aksi belum bisa dirumuskan, tapi INFID akan mempersiapkan dokumen rencana aksi setelah pertemuan ini. Lima lembar poin rumusan ini posis strategis, tantangan, peluang, inisiatif strategi, Irene : kita harus tetap kritis kepada negara. Dalam konteks keragaman, inklusif dan partisipatif. (lihat powerpoint) Dari dokumen yang ada, kita melihat 2 posis strategis SDGs, keluar mencerminkan tata pergaulan global dan ke dalam dalam konteks penyelenggaraan pembangunan nasional dan daerah. Tidak ada pertentangan dengan instrument Indonesia, nawacita, RPJMN dan tidak keluar dari konstitusi. Tantangan dalam diskusi paralel sub tema, tantangan menyebar di semua aspek, seperti perbandingan dengan dokumen lain atau semata agenda global yang terpisah dari agenda nasional dan daerah apalagi dilihat dengan nasionalisme sempit. Modus yang kontraproduktif dialami oleh perancang advokasi kebijakan, misalnya SDGs adalah proyek artifisial atau slogan saja dan tidak terintegrasi dalam program serta anggaran nasional dan daerah. Konteks di daerah misalnya musrenbang, kita memahaminya sebagai global citizenship karena masyarakat lokal yang marjinal.Pemerintah bisa melihat secara utuh dan melakukan penyesuaian unuk mempertajam. Tidak perlu terlalu banyak menyebut SDGs tapi bisa menerapkan best practice. Kita tidak menemukan menkanisme insentif, mengambil secara partial dan take it for granted, ada desakan global citizen, kinerja dan akuntabilitas rendah, maka harus segera dirumuskan, mekanismenya, adakah rujukan dari global mechanism, pemerintah memahami bahwa ini adalah global need Tantangan ke 5 lemahnya kerjasama di tingkat kementrian. Koordinasi n data lemah, kesalahan data sharing dan akumulasi data harus diperbaiki, terkait juga dgn aplikasi SDGs
Perencanaan , pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, otoda, mendagri sudah melakukan beberapa hal, dan 17 goal ini bisa mempercepat yang dilakukan pemerintah Indonesia. Peluang Ruang politik terbuka dan itu peluang, hasil analisis kita ada keseuaian RPJMN, nawacita dan 17 goals SDGs. Inisiatif pemerintah dalam kerangka hukum dan kelembagaan. Mereka proaktif terhadap masukan saran dan kerjasama dengan organisasi lain dan muatan global, kita akan melihat substansinya. Fokus cakupan dan aktivitas CSO yang terkait SDGs, untuk kesetaraan, sumber daya, good governance, penegakan hukum.Ini peluang yang tidak bleh disia siakan, di semua level. Kesamaan perspektif masyarakat global dari analisis dan experiment, kesamaan kondisi, dan contoh best practice dan inovasi untuk mewujudkan SDGs. Misalnya akan ada replikasi bupati wonosobo, misalnya terkait minority dan co governance Ruang interaksi dengan kementrian dan tukar pikiran dilanjutkan dalam bentuk aksi dengan contoh bupati nyata, birokrat mau berdialog dalam paradigma dan aksi, dengan political will. Mengedepankan kolaborasi dan kerjasama dengan pemerintah dan juga sektor swasta. Atau mereka hanya akan mengulang hubungan oligarki dengan pemerintah. Kolaborasi ini harus dengan mengutamakan kepentingan umum Indonesia adalah inisiator yang membuka peluang CSO untuk kebijakan public.Interaksi dengan pemerintah, co engagement atau co governance, untuk mencocokkan agenda dalam melayani public. Kuncinya konsistensi dan stamina Pokja SDGs di DPR, memetakan kawan di DPR, kita jg wajib mendidik anggota dewan dan menjadikannya sekutu.Apapun ideologinya menyangkut kesejahteraan, mereka harus setuju, kawan per komisi. Inisiatif strategis Sosialisasi di berbagai lembaga pemerintah dan swasta serta multistakeholders terutama kampus.Kaukus pemerhati papua misalnya cukup berhasil, diskusi marathon multitakeholders yang memobilissi opini dan local NGO. Pembentukan sekber, sebagai model kerja, yang ditransplantasi di pemda, memastikan kesetaraan antar parlemen, dan menjadi bagian darisekber yangdibentuk kepres, memastikan peran para pihak, memastikan SDGs tidak hanya menjadi proyek. Sekber ada di nasional
dandaerah, dan diadopsi dalam kebijakan.Tidak hanya menjadi arus utama tapi menjadi bagian dari dalamCo governance. Aspek akuntabilitas tersistematisasi dalam knteks governance Pembiayaan diawali dengan advokasi penganggaran APBN dan APBD, Indicator panduan di berbagai tingkatan Insentif bisa dirumuskan, untuk memberikan keuntungan jika pemda melakukan Universitas dan lembaga riset memberi wacana dimanfaatkan untuk strategi campaigning, memperlihat analisis terkait RPJMN dan nawacita, dengan melihat tantangan ke depan Menyusun rencana aksi berkelanjutan dengan rencana kerja dan anggaran per tahun. Usulan dan tambahan Yohana dari Rutgers WPF, halaman 1 point a. point 1 perlu mencantuman soal kesetaraan gender, karena setelah diskusi capaian no 5, kesetaraan gender harus menajdi perspektif bersama, KTT persiapan SDGs ada yang membahas khusus kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Mengubah paradigm pembangunan ditambah kesetaraan gender. Pint tantangan 1, perlu menambahkan parlemen untuk sosialisasi karena pokja SDGs di DPR Point sosialiasi SDGs, bagaimana mengoptmalkan kerja instansi pemerintah, melibatkan menneg PP sejak awal, contoh menkes, ketika mengundang staff ahli, mereka sebenarnya sudah mempersiapkan SDGs di kemenkes.Kita bisa mereplikasi ini ke kementrian lain misalnya di menneg pp. Sigit mengpresiasi pada tim perumus, SDGs adalah meting poit berbagai kepentingan, halaman pertama yang di highlite adalah kepentingan CSO di dalamnya, right based, and no left behind, dan role of CSO sebagai independent actor. Inisiatif strategi, sebelum membentuk sekber, draft inpres sudah disiapkan, apa yang mau kita katakana disana? Apa isi inpres sesuai harapan kita? Dalam inpres, SDGs bukan alat bantu untuk mencapai RPJMN dan nawacita, yang sangat luas dan tidak jelas fokusnya. SDG bisa dicapai secara sistematis. Alat bantu berarti hanya referensi, harus ditegaskan bahwa fokus RPJMN dan nawacita adalah implementasi SDGs. Kelembagaan apa yang bisa melaksanakan? Menko SDGs?Saya idak setuju CSO hanya pelengkap dalam kelembagaan SDGs, sebagai aktor mandiri harus memperkuat dan punya mekanisme
sendiri.Shadow report dalam MDG contohnya, CSO sebagai independen membuat laporan tapi di level daerah ada perdebatan di open forum. Hamong : mencontoh Jerman dan Australia, memang mereka punya lembaga sendiri yang mengurusi, tapi berdasar pertemuan pemerintah tidak akanada lembaga baru yang mengurus SDGs. Kita usul sekber karena sebagai model kerja bukan lembaga baru, dengan prinsip open government dan partnership, pemerintah dan CSO merumuskan isu strategis terkait SDGs, akan membawa konsekuensi civil society ketika kemudian berhasil mendorong sekber. Masyarakat sipil menjadi kelompok yang bertanggng jawab dan mungkin tidak optimal, dari sisi akuntabilitas harus mula memilih CSO untuk duduk di sekber dan bertanggung jawab pada kelompok CSO lainnya.Usulan sekber ini di level nasional dan daerah bisa terbentuk. Jadi memastikan adanya pengambilan keputusan bersama terkait SDGs, meskipun ada menko tapi tidak partisipatif akan mereduksi SDGs itu sendiri. Ruby : khawatir tentang pendanaan SDGs, jika ada kerangka baru, maka jawabannya sudah ada di RPJMN, bagaimana anggarannya konkrit untuk pencapaian indicator, dengan model kerja birokrasi, dana akan hilang. Renstra kementrian akan menjadi sangat berbeda, dan hilang di tengah perjalanan. Apa mekanismenya untuk memastikan agar nyata di lapangan. Memastikan keterwakilan 30% di sekber, koordinator antar kementrian, respon akan dilaksanakan sesuai kemampuan Indonesia, seharusnya bukan mampu atau tidak, tapi harus. Peran CSO harus jelas disini, CSO jadi pelaksana atau monitor,ketegangan sekber juga perlu diantisipasi, sekber harus detail, agar tidak diintrepretasi baru oleh pemerintah. Mekanisme kerja harus secara detail dirumuskan, karena ada sektor swasta juga. Agar tidak kehilangan momentum lagi Hartoyo suara kita, saya tidak diundang secara formal, sayabaca SDGs tentang inklusi danpartisipatif, selalu jadi normative dan jargon, misalnya disini apakah ada yang terinfeksi HIV, PSK, LGBT?PR di CSO sendiri sebelum konteks keindonesiaan.Bagaimana LGBT dengan SDGs harus dikaitkan misalnya fatayat miskin berbeda dengan prostitusi HIV miskin. Kriteria inklusif dan partisipasi, kelompok marginal langsung disebutkan dengan indicator jelas, tidak normative saja. Sekber penting soal perspektif minoritas, sebagai CSO, biasanya powerless menghadapi pemerintah. Cahyo : sebenarnya sudah ada dalam dokumen ini tentang kelompok marjinal Ningsih KPI: tentang inisiatif strategis, pont D, hanya tujuan 16 dan 17 padahal tidakbisa terpisah, sebaiknya dihapus saja.
Usulan point 7, pelibatan sektor swasta adalah yang tidak merugikan manusia dan sumber daya alam dan bukan pelaku ketidakadilan Khairani dari Flower Aceh Inisiatif strategis dipecah dari pemerintah, CSO dan sektor swasta, agar lebih mudah dibaca, dan memisahkan peran dan posisi masing-masing. Jika kitabaca rumusannya masih umum, jika ada rencana aksi akan muncul dari dokumen ini. Hamong : point D halaman 4, memastikan goal 16 dan 17, memastikan partisipasi public, sekber yang mendorong posisi setara, bagian dari upaya untuk mencapai soal partisipasi. Sekber juga mendefiniskan sumber pembiayaan untuk mencapai tentang goal tentang pelaksanaan tapi tidak berarti terpisah.Bagaimana goal itu lebih operasional.Misalnya Indonesia bisa mencapai tujuan 1-15 dengan cara fasis, maka cara pelaksanaannya pun harus dipastikan dengan cara yang benar, partisipatif dan inklusif Cahyo : jadi hal ini dalam fungsi sekber Dewi KPI : harus eksplisit misalnya dengan kesetaraan gender Hamong : dokumen ini memperjelas partisipasi kelompok marjinal dan perempuan Romli dari banten : penekanan pada urgensi lingkungan, keadilan ekologis antar generasi, Gamma JOgja : argumentasi awalnya tidak cukup sosialiasi, bagaimana memastikan posisi CSO di sekber, fungsinya perlu didiskusikan kembali agar tidak menjadi ruang penaklukan, saya justru usul sekber masyarakat sipil yang menjadi watchdog bagi pemerintah Tentang pelibatan lembaga kajian n universitas, LIPI sebagai lembaga riset pemerintah tidak perlu dicantumkan. Kita kembali pada khitah awal civil society Irene : tidak ada implikasi politis dengan pencantuman LIPI Hamong ; sekbernya bukan sekber CSO, karena idenya adalah co governance, diantara CSO mengkonsolidasikan juga penting. Saya tidak tahu apakah sekber ini diterima oleh pemerintah,harus ada mekanisme di CSO untuk memilih perwakilan.Sekber ini juga menantang CSO untuk menjadi lebih baik dan akuntabel sesama kawan. Gama : pengalaman di Jogja dengan pemda sama-sama memperkuat tapi positioning penting, banyak pula mantan aktivis dan mantan NGO. Tapi saya menekankan semangat
Cahyo : konsep co governance memang memposisikan perubahan sistemik, kita perlu merevisi sisi saling menghantam, ini perspektif baru dalam advokasi, co partnership dan co governance. Yang diterjemahkan dalam posisi dan fungsi. Irene : ada konstruksi pikir bahwa CSO ada diluar pemerintah, penjinakan orba memang melakukannya, namun dengan semangat reformasi maka CSO bisa mereposisi untuk berhadapan dengan pemerintah, ada kemitraan, jejaring, UN communities juga melakukan pendekatan tidak bisa diametral, harus bekerja sama dengan negara agar isu-isu tersampaikan. Ada elemen pemerintah yang sudah berubah, tidak seperti orba namun ruang CSO mempunyai kekritisan.Jangan sampai co governance menjadi pencaplokan.Iniuji coba untuk pemerintah untuk mengubah paradigm atau tidak.Pemerintah tidak ingin diganggu dalam tupoksi dengan APBN nya, CSO memastikan bahwa agenda SDGs terlaksana. Wacana SDGs berarti sekaligus alatnya, level advokasinya adalah bahwa substansi ini harus dicapai. Khalizah dari WALHI : mengingatkan ada ketidak sesuaian target RPJMN dan SDGs, misalnya ancaman konversi lahan di RPJMN, listrik tidak sesuai dengan isu pangan danperubahan iklim. Tantangan ketidaksesuaian tidak hanya dengan SDGs tapi juga antara nawacita dan RPJMN Tentang keterlibatan private sector, target mereka pasti profit, misalnya medco pasti akan masuk sekber, kita perlu berhati hati, karena mereka selalu melihat krisis sebagai peluang profit. Dan komitmen bisa diubah setiap saat. Cahyo
:
sudah
ada
kriteria
misalnya
tidak
melanggar
HAM
Zumrotin : kita harus bersama menyadari bahwa harus ada yang masuk dan ada yang kritis di luar, ini strategi bersama, kita tidak bisa menuduh yang masuk sudah terkooptasi. Yang di dalam bisa bekerja dengan yang kritis di luar.Saat pemerintah mengatasi ganti rugi di lapindo, adalah usaha kawan-kawan.Kawan-kawan memang tidak bisa memenuhi harapan 100 %.Tidak hitam putih saja, ada yang dalam memberi info dan peluru keluar. Cara-cara lobby harus dimainkan, n tidak terlalu negative dengan yang diluar atau di dalam, strategi ini sebaiknya dipahami. Misalnya saat PP no 1/2014, strategi misalnya tidak perlu memprotes dan mengedepankan heroism sebagai aktivis, asal PP itu akhirnya ditandatangani. Kris dari institute dayakologi : di Pontianak kami diskusi ketika menggunakan kata pembangunan maka sebenarnya menjadi penindasan. Pembangunan seharusnyamemberdayakan dan membebaskan karena selama ini sifatnya
menindas.Pembangunan pembebasan.
identic
dengan
pembodohan.Kucinya
pemberdayaan
dan
Konteks pembanguann terkait investasi, dampaknya semakin parah, bagaimana memastikan perusahaan memenuhi hak-hak pekerja dan warga. Kalimantan menuju kelaparan karena tidak ada yang berladang, bagaiman menghentikan ekspansi sawit.Sikap kita pada sawit harus jelas. Isu masyarakat adat kenapa tidak masuk?Semua NGO di Kalbar terkait masyarakat adat, dan tidak ada yangtidak menindas masyarakat adat. Yaya dari Semarang, inisiatif strategis soal memperkuat gerakan masyarakat sipil berpotensi meninggalkan kelompok yang tidak ada sini, kelompok akar rumput misalnya masyarakat adat ditinggalkan. Cahyo : dari tanggapan ini, kita sebaiknya memasuki filosofi di balik itu, semoga kerangka ini sudah bisa mewakili dan menjadi anatomi pemikiran kita Sugeng menutup acara dan berterimakasih pada peserta dan tim perumus. JIka ini sulit, kita bayangkan waktu PBB merumuskan 17 goal and 169 target. Pertemuan harus dilanjutkan dengan engament dan stakeolder yang lain untuk memastikan bahwa ide-ide kita bukan tercantum dalam rencana aksi tapi dilaksanakan. Kita jago dalam membuat dokumen tapi implementasinya susah, jadi tantangannya di delivery, ini PR kita semua. Infidakan memastikan bahwa tiap tahun kita berkumpul untuk bertukar pikiran, membagi pengalamn dan sharing tentang apa yang tidak jalan. Misalnya LGBT yang kurang dilibatkan. Kitalebih melihat kesamaan daripada perbedaan. Apakah ada rencana aksi. Mungkin tidak dalam 1-2 th tapi 5 tahun. JIka pemerintah saja akan mengulang 15 tahun lalu maka pertemuan ini harus merumuskan strategi yang berbeda.
Rapporteur: Gracia D. Asriningsih